analisis sumber daya fungsi reskrim
DESCRIPTION
Analisa Sumber Daya Fungsi Reskrim PolriTRANSCRIPT
STRATEGI MEMBANGUN KOMPETENSI FUNGSI RESKRIM POLRI DALAM RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
I. PENDAHULUAN.
1. Latar Belakang.
Tujuan Renstra Polri 2005-2009 adalah membangun kepercayaan (trust) dari
masyarakat dengan menjadikan Polri sebagai organisasi yang peduli dan kredibel1. Seiring
dengan berakhirnya tahun 2009 sebagai tahun terakhir penentuan pencapaian Renstra
dimaksud, Polri akan melaksanakan tahapan “Membangun Polri sebagai Penegak Hukum
terdepan didukung komponen masyarakat dan aparat penegak hukum”2 yang harus
didukung dengan segala daya dan upaya oleh seluruh tingkat kesatuan mulai dari Mabes
Polri sampai dengan tingkat Polsek sebagai ujung tombak operasional.
Fungsi Reskrim sebagai salah satu unsur pelayanan Polri di bidang penegakan hukum
memiliki beban yang cukup berat dalam mewujudkan sasaran Renstra tersebut karena
dihadapkan pada keterbatasan sumber daya pada fungsi Reskrim dan realitas dukungan
pemerintah terhadap pemenuhan kesejahteraan personel yang relatif belum memadai
sehingga masih memungkinkan terjadinya penyimpangan seiring dengan pelaksanaan
kegiatan penyelidikan dan penyidikan. Menurut catatan Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas), sepanjang tahun 2008, pengaduan masyarakat paling banyak berdasar satuan
fungsi Polri jatuh pada fungsi Reskrim yaitu berjumlah 296 pengaduan. Dari lima hal yang
diawasi oleh Kompolnas selaku lembaga independen yang mengawasi kinerja Polri, yaitu
penyalahgunaan wewenang, diskriminasi, pelayanan buruk, diskresi yang keliru dan
korupsi, jumlah terbanyak pengaduan masyarakat terhadap Polri tersebut terfokus pada dua
hal, yaitu mengenai penyalahgunaan wewenang dan pelayanan yang buruk3. Belum lagi data
yang dimiliki oleh Ombudsman RI bahwa sepanjang tahun 2008, telah terjadi pengaduan
masyarakat yang tidak puas terhadap kinerja Polri yang mencapai prosentase sebanyak
30,73 % dari jumlah keseluruhan 1.244 pengaduan masyarakat terhadap kinerja instansi
pemerintah4. Namun demikian, publik, baik nasional maupun internasional, memiliki
apresiasi tersendiri terhadap Polri atas keberhasilannya mengungkap “kasus-kasus besar”
seperti pengungkapan kasus-kasus terorisme (Bom Bali 1 dan 2, Bom Kedubes Australia,
Bom Hotel J.W. Marriot 1 dan 2, dan lain-lain), kasus produksi narkoba (pabrik narkoba
Cikande, Banyuwangi, Surabaya dan lain-lain), dan lain-lain.
1 Peraturan Kapolri No. Pol. : 9 tahun 2007 tanggal 26 April 2007 tentang Rencana Strategis Polri Tahun 2005-2009 (Perubahan).2 Surat Edaran Kapolri Nomor : SE / 1 / I / 2008 tanggal 18 Januari 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kapolri Tahun 2009.3 Diakses dari situs : http://www.surya.co.id/2009/01/21/kompolnas-reskrim-masih-banyak-dikeluhkan.html, tanggal 23 Oktober 2009.4 Diakses dari situs : http://www.ombudsman.go.id/index.php/berita/items/catatan-ombudsman-polisi-paling-banyak-dilaporkan.html, tanggal 23
Oktober 2009.
Dengan berbagai kekurangan yang ada, sementara kinerja fungsi Reskrim tetap
dituntut untuk memberikan hasil yang prima dalam melayani publik terkait dengan bidang
penegakan hukum, maka melalui paper ini, penulis mencoba melakukan analisa terhadap
faktor-faktor sumber daya manajemen5 pada fungsi Reskrim meliputi unsur orang (men),
anggaran (money), peralatan (material), teknik dan taktik (method) serta pengguna jasa
pelayanan fungsi Reskrim (market) beserta fungsi manajemennya6 yang meliputi unsur
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan
pengendalian (controlling). Tujuan dari analisa dimaksud adalah mengidentifikasi kondisi
riil fungsi Reskrim saat ini sehingga diketahui faktor-faktor yang menghambat optimalisasi
kinerja fungsi Reskrim. Hasil dari identifikasi tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai
landasan dalam menyusun suatu strategi guna membangun kompetensi fungsi Reskrim
secara optimal dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik.
2. Permasalahan.
Berdasarkan uraian diatas, yang menjadi permasalahan dalam pembahasan NKP ini
adalah : “Bagaimana strategi membangun kompetensi fungsi Reskrim dalam rangka
meningkatkan kualitas pelayanan publik ?”.
3. Persoalan-persoalan.
a. Bagaimana kondisi riil kinerja fungsi Reskrim saat ini ?
b. Faktor-faktor apa yang menghambat kinerja fungsi Reskrim ?
c. Bagaimana strategi yang harus ditempuh untuk membangun kompetensi fungsi
Reskrim secara optimal dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat?
II. PEMBAHASAN.
1. Kondisi riil kinerja fungsi Reskrim
Berdasarkan pengalaman penulis selama berdinas di fungsi Reskrim kurang lebih 3
(tiga) tahun, dapat digambarkan hasil observasi singkat penulis tentang kondisi riil dalam
pelaksanaan kegiatan penyelidikan dan penyidikan pada fungsi Reskrim meliputi unsur
orang (men), anggaran (money), peralatan (material), teknik dan taktik (method) serta
pengguna jasa pelayanan fungsi Reskrim (market) , antara lain :
a. Penyidik maupun penyidik pembantu pada fungsi Reskrim belum seluruhnya memiliki
kompetensi di bidang penyelidikan dan penyidikan sehingga seringkali proses
penyelidikan dan penyidikan tidak berjalan sebagaimana yang seharusnya dengan
hasil yang optimal. Sebagai contohnya antara lain yaitu dalam penentuan suatu
perkara merupakan pidana atau bukan, penentuan tersangka maupun penentuan pasal
yang dipersangkakan kepada tersangka belum dapat dilaksanakan secara optimal oleh
5 Sumber daya manajemen menurut G. R. Terry, terdiri dari a). Men; b). Materials; c). Methods; d). Money dan e). Market, diakses dari situs : http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online.php?menu=bmpshort_detail2&ID=17, tanggal 23 Oktober 2009.
6 G. R. Terry dan Stephen G. Franklin, “Principles of Management”, dalam J. Winardi, Manajemen Perilaku Organisasi (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 23.
2
penyidik maupun penyidik pembantu akibat tidak dikuasainya metode analisa perkara
yang baik, sehingga tidak jarang mengakibatkan konflik antara pelapor, tersangka
beserta penasehat hukumnya dengan penyidik dan/atau penyidik pembantu ketika
terjadi perbedaan pendapat antara pihak-pihak tersebut tentang kategori suatu perkara
memenuhi unsur pidana atau tidak, seseorang layak dijadikan tersangka atau tidak
maupun pasal yang dipersangkakan terpenuhi unsur-unsur pidananya atau tidak.
Disamping itu belum dikuasainya teknik maupun taktik penyelidikan dan penyidikan
dengan baik oleh sebagian besar penyidik maupun penyidik pembantu, seringkali
mengakibatkan kesalahan-kesalahan dalam penanganan suatu perkara pidana, antara
lain dalam hal penangkapan terhadap tersangka yang perkaranya tidak termasuk
kategori “tertangkap tangan” tidak dilengkapi surat perintah penangkapan,
terlambatnya pengajuan surat perintah perpanjangan penahanan bagi tersangka yang
proses penyidikannya belum selesai, tidak dilengkapinya penyitaan terhadap barang
bukti tindak pidana dengan ijin dari pengadilan negeri setempat, dan lain-lain.
b. Dukungan anggaran terhadap pelaksanaan kegiatan penyelidikan dan penyidikan saat
ini memang sudah lebih baik, khususnya semenjak era kepemimpinan Kapolri
Jenderal Pol. Drs. Sutanto, dimana dalam penanganan perkara dilakukan kategorisasi
perkara dengan tingkat kesulitan ringan, sedang dan berat dengan jumlah anggaran
sesuai porsi masing-masing kategori dimaksud. Namun demikian, faktanya di
lapangan, tetap saja dukungan anggaran tersebut dirasakan belum optimal dalam
mendukung kegiatan penyelidikan dan penyidikan. Hal ini diperparah pula dengan
adanya penyimpangan distribusi anggaran oleh oknum-oknum tertentu dengan
berbagai alasan, sebagaimana yang terjadi di beberapa Polres di Polda Jawa Timur
bahwa anggaran penyelidikan dan penyidikan yang diterima oleh penyidik maupun
penyidik pembantu, berkisar antara 50% sampai dengan 60%, sedangkan sisanya tidak
diserahkan kepada penyidik dan/atau penyidik pembantu dengan alasan dipergunakan
untuk “kepentingan komando”. Sehingga upaya-upaya penyalahgunaan wewenang
untuk memenuhi kebutuhan anggaran secara swadaya dengan cara-cara yang
melanggar aturan pun masih kerap dilakukan oleh penyidik.
c. Dukungan sarana maupun prasarana penyelidikan dan penyidikan pada fungsi
Reskrim saat ini secara umum dapat dikatakan belum optimal. Contoh riilnya antara
lain : 1) Perangkat komputer, printer, meja, kursi, alat tulis kantor (ATK) dan lain-lain
masih disediakan secara swadaya oleh penyidik dan penyidik pembantu mengingat
dukungan dari dinas tidak memadai, baik secara kuantitas maupun kualitas; 2)
Peralatan Olah TKP yang tidak lengkap dan tidak terdukung anggaran dengan optimal,
sehingga pemenuhannya masih perlu didukung secara swadaya oleh satuan fungsi
3
Reskrim sendiri, misalnya pengadaan film kamera, cd, dvd, kartu sidik jari danlain-
lain untuk keperluan identifikasi; 3) Kendaraan dinas untuk fungsi Reskrim di tiap
satuan kerja (Satker) sangat minim bahkan banyak Satker yang tidak memiliki
kendaraan dinas sehingga hal ini pun menjadi pemicu penyalahgunaan wewenang oleh
penyidik dan penyidik pembantu dengan menggunakan kendaraan bermotor yang
merupakan barang bukti untuk keperluan pribadi maupun kedinasan; 4) Tidak
tersedianya ruangan penyimpanan berkas perkara dan barang bukti yang representatif
seringkali menimbulkan masalah-masalah klasik yang selalu berulang seperti
hilanganya berkas perkara atau barang bukti, jumlah barang bukti yang berkurang atau
berubah bentuk; dan lain-lain.
d. Beragam latar belakang dan karakteristik pribadi yang dimiliki para penyidik dan
penyidik pembantu, turut mempengaruhi tingkat kualitas kinerja masing-masing
penyidik dan penyidik pembantu tersebut, ada yang tinggi dan ada yang rendah, yang
pada akhirnya sebagai akumulasi akan mempengaruhi tingkat kualitas kinerja fungsi
Reskrim, baik latar belakang pendidikan, adat istiadat yang dianut, termasuk
beragamnya karakter kualitas emosional dan intelejensia setiap penyidik/penyidik
pembantu, kualitas mental dan keimanan setiap orang yang juga sangat beragam,
belum meratanya tingkat profesionalisme anggota polisi dalam segala tingkatan serta
masih ditemukan penempatan anggota polisi yang tidak sesuai dengan bidang
keahliannya, dalam hal ini kemampuan di bidang penyelidikan dan penyidikan.
e. Tingkat kepuasan masyarakat yang relatif masih rendah terhadap kualitas pelayanan
yang didapat dari kinerja fungsi Reskrim. Hal tersebut dibuktikan dengan masih
banyaknya pengaduan-pengaduan masyarakat melalui berbagai lembaga publik yang
terkait dengan pengawasan kinerja Polri seperti Kompolnas maupun Ombudsman
sebagaimana diuraikan pada bagian latar belakang tersebut diatas.
2. Analisa faktor-faktor penghambat kinerja fungsi Reskrim
Berdasarkan fakta-fakta kondisi riil fungsi Reskrim tersebut diatas, perlu dilakukan
suatu analisa guna mengidentifikasikan faktor-faktor yang menjadi kendala dalam
peningkatan kualitas kinerja fungsi Reskrim. Konsep analisa yang akan dipergunakan
adalah “Konsep Analisa Lingkungan Organisasi”7 yang merusmuskan bahwa keadaan
lingkungan suatu organisasi dapat dipahami melalui analisa terhadap segmen-segmennya,
yaitu bagian-bagian dari dari lingkungan organisasi yang berpengaruh terhadap perilaku
maupun performansi organisasi. Menurut Djasmin Saladin, lingkungan organisasi dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan internal. Dalam
7 Djasmin Saladin, “Manajemen Strategi dan Kebijakan Perusahaan”, dalam Said Saile dkk, Himpunan Teori/Pendapat Para Sarjana yang Berkaitan dengan Kepolisian, (Jakarta : PTIK, 2009), h. 90.
4
lingkungan ekternal maupun internal itulah terdapat faktor-faktor yang dapat digunakan
untuk menganalisa secara mikro terhadap kondisi fungsi Reskrim, yaitu sebagai berikut :
a. Lingkungan Internal :
1) Penyidik/Penyidik Pembantu (Man)
Kegiatan penyelidikan dan penyidikan memiliki karakteristik dan tingkat
kesulitan tersendiri khususnya dalam hal pengungkapan suatu perkara,
dilanjutkan dengan mekanisme pembuktian sampai dengan hasil penyidikan
tindak pidana dinyatakan lengkap oleh jaksa/penuntut umum sehingga
diperlukan sumber daya manusia yang handal untuk dapat melaksanakan
kegitan tersebut termasuk dalam hal ini memiliki motivasi kerja yang tinggi.
Handal berarti memiliki tingkat kualitas intelektual di atas rata-rata sehingga
memiliki wawasan luas tentang berbagai pengetahuan terkait kegiatan
penyelidikan dan penyidikan, khususnya tentang hukum formil dan materiil
yang terkait dengan pidana. Disamping itu perlu memiliki etos kerja yang tinggi
agar tidak mudah putus asa dalam melakukan pengungkapan dan pembuktian
suatu perkara tindak pidana. Belum cukup itu saja, seorang penyidik maupun
penyidik pembantu seyognyanya dipilih dari personel Polri yang memiliki
tingkat pengendalian emosi yang baik sehingga dapat tetap tenang dan berpikir
jernih dalam segala situasi yang dihadapi.
2) Anggaran Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana (Money)
Upaya pemerintah untuk memenuhi anggaran penyelidikan dan
penyidikan saat ini dapat diapresiasi sebagai kemajuan yang positif walaupun
tetap saja belum dapat memenuhi secara riil kebutuhan dimaksud. Namun
tindakan oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab khususnya
pimpinan pada satuan wilayah Polri termasuk satuan fungsi Reskrim yang tidak
mendistribusikan anggaran sesuai dengan jumlah/nominal yang seharusnya
diterima masing-masing penyidik maupun penyidik pembantu. Oleh karena itu
perlu diupayakan suatu mekanisme monitoring dan kontrol yang lebih baik
dalam distribusi anggaran dimaksud agar hak-hak penyidik maupun penyidik
pembantu dapat sampai kepada mereka sesuai dengan porsi tugas yang berhasil
dikerjakan masing-masing.
3) Sarana dan prasarana penunjang (Materiil)
Keterbatasan sarana dan prasarana penunjang penyelidikan dan
penyidikan tentunya tidak dapat diatasi secara optimal oleh penyidik maupun
penyidik pembantu sendiri, sehingga disini diperlukan kepedulian pimpinan
satuan wilayah Polri seperti Kapolres untuk turut memikirkan dan
5
mengusahakan pemenuhannya, tentunya dengan cara-cara yang sesuai dengan
aturan. Apabila faktor sarana dan prasarana ini tidak terdukung dengan optimal
sebagaimana juga faktor anggaran dan mengakibatkan kinerja fungsi Reskrim
tidak maksimal, maka pimpinan tentu tidak dapat serta merta menuntut kinerja
yang optimal pula dari para penyidik maupun penyidik pembantu. Misalnya
dengan melakukan subsidi silang menggunakan pos-pos anggaran penyelidikan
dan penyidikan pada unit Reskrim Polsek tertentu yang tidak terserap habis
pada suatu tahun anggaran untuk dialihkan kepada unit Reskrim Polsek lainnya
maupun Sat Reskrim Polres dikarenakan porsi kerja yang lebih tinggi sehingga
anggaran yang dialokasikan tidak memadai.
4) Tehnik dan taktik penyelidikan dan penyidikan (Methode)
Penguasaan terhadap teknik dan taktik penyelidikan dan penyidikan yang
optimal mutlak diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan dan
penyidikan. Kesalahan-kesalahan penyidik maupun penyidik pembantu dalam
pelaksanaan teknik dan taktik penyelidikan dan penyidikan senantiasa perlu
dievaluasi serta dilakukan pelatihan-pelatihan secara konsisten dan
berkesinambungan sehingga tidak berakibat fatal seperti terjadinya tuntutan-
tuntutan secara hukum terhadap kesalahan-kesalahan dimaksud yang berimbas
menurunnya kredibilitas Polri di hadapan publik, khususnya terkait tugas pokok
Polri dalam penegakan hukum.
b. Lingkungan Eksternal (Meliputi Market, yaitu masyarakat pengguna jasa Polri)
1) Banyaknya beban tugas polisi yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan;
2) Tingkat kejahatan secara kualitas semakin canggih dengan memanfaatkan
tehnologi (cyber crime, kasus bom dan terorisme);
3) Perkembangan kejahatan dengan kekerasan seperti pembunuhan, curas,
penganiayaan semakin signifikan dan meresahkan masyarakat;
4) Relatif rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dapat
dilihat dari masih maraknya tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh
masyarakat terhadap pelaku kejahatan yang tertangkap tangan;
5) Rendahnya tingkat disiplin masyarakat secara umum, dan rendahnya
pemahaman dan ketaatan masyarakat terhadap hukum
6) Keengganan masyarakat untuk menjadi saksi atau melaporkan suatu peristiwa
kejahatan. Keadaan tersebut diperburuk dengan adagium bahwa “melapor
kehilangan ayam kepada Polri, akan menyebabkan hilangnya kambing”
6
anggapan ini merupakan tantangan yang harus dibuktikan melalui kinerja dalam
mengungkap setiap perkara kejahatan secara profesional oleh penyidik Polri;
7) Masyarakat masih larut dalam suasana efuoria reformasi yang kebablasan;
8) Terjadi tumpang tindih dalam hal kewenangan penyidikan (seperti halnya
kewenangan penyidikan di perairan, di pabean, dan lain-lain);
9) Kemajuan tehnologi secara global yang menyulitkan sulit untuk dibendung,
khususnya jaringan terorism internasional.
10) Adanya sikap ambivalen masyarakat, dimana pada saat dirinya jadi
pelaor/korban suatu tindak pidana menghendaki penegakkan hukum secara
tegas, terukur dan tidak pandang bulu, tetapi pada saat posisinya sebagai
tersangka maka sikapnya berubah menghendaki adanya toleransi dalam
penegakan hukum baik melalui jalan damai, menyuap, mengintervensi dengan
menggunakan kekuatan pejabat atau stake holder yang dianggap berpengaruh.
3. Strategi membangun kompetensi
Berdasarkan hasil analisa diatas, maka penulis berupaya menyajikan formulasi strategi
untuk membangun kompetensi fungsi Reskrim sebagai berikut :
a. Identifikasi kemampuan.
Identifikasi kemampuan ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode yang
dikemukakan Dr. Meredith Belbin tentang 8 (delapan) tipe peranan dominan dalam
suatu organisasi8 sehingga didapatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat untuk
melakukan pekerjaan tertentu dalam periode waktu tertentu (right man on the right
job and the right time). Misalnya untuk melakukan pekerjaan sebagai Kasat Reskrim
diperlukan tipe Chairman sehingga dapat memimpin satuannya dengan baik,
sementara untuk melakukan pekerjaan lapangan (Unit Buser = Buru Sergap)
diperlukan orang-orang dengan tipe Company Worker yang memiliki etos kerja
tinggi, tidak kenal lelah dan putus asa sehingga pengungkapan kasus dilakukan
dengan upaya-upaya penyelidikan dan penyidikan secara optimal. Identifikasi
kemampuan ini harus dilaksanakan dalam suatu mekanisme recruitment yang
transparan, akuntabel dan obyektif sehingga tidak ada lagi anggota Polri yang
menjadi penyidik maupun penyidik pembantu berdasarkan sistem “titipan” atau
“lobi”. Dengan identifikasi kemampuan secara optimal, diharapkan kinerja fungsi
Reskrim pun akan optimal karena setiap penyidik maupun penyidik pembantu
mengerahkan segala daya upayanya untuk meraih hasil kerja yang optimal sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka pencapaian
8 Dr. Meredith Belbin, dalam Sugeng Nugroho Hadi, “Chemistry SBY-‘?’” (diakses dari situs : http://public.kompasiana.com/2009/05/10/chemistry-sby/, tanggal 23 Oktober 2009). Meredith Belbin dalam penelitiannya tentang management team menyatakan, pada dasarnya orang atau anggota tim dapat dikelompokkan dalam delapan peran dominan yakni: (1) Company worker; (2) Chairman; (3) Shaper; (4) Plan; (5) Resource investigator; (6) Monitor evaluator; (7) Team worker; dan (8) Complete finisher.
7
tujuan organisasi Polri untuk dapat menjadi penegak hukum yang profesional, dengan
cara-cara yang legal, tidak melanggar hukum dan aturan yang berlaku serta sesuai
dengan moral maupun etika. Hal tersebut sesuai dengan “Konsep Kinerja”9 yang
dikemukakan Russel.
b. Regenerasi SDM Reskrim
Regenerasi pada fungsi Reskrim harus dilakukan secar berkelanjutan melalui
mekanisme mutasi yang transparan, akuntabel dan obyektif. Personel yang telah lama
bertugas di fungsi Reskrim, misalnya diatas 10-15 tahun, perlu dilakukan pengalihan
ke fungsi kepolisian lainnya sebagai proses penyegaran dan menggantinya dengan
para Bintara yang baru lulus dari pendidikan pertama Polri. Kemudian para Bintara
tersebut dilakukan coaching10 tentang teknik dan taktik penyelidikan dan penyidikan
oleh para penyidik maupun penyidik pembantu senior terpilih secara melekat.
Coaching tersebut dimaksudkan untuk membantu individu-individu penyidik maupun
penyidik pembantu agar dapat bekerja dengan metode kerja tim (team work) sehingga
didapat hasil yang optimal apabila kinerja dilakukan berdasarkan potensi-potensi
masing-masing individu penyidik maupun penyidik pembantu. Dari hasil coaching
tersebut selanjutnya diseleksi terhadap para Bintara yang dinilai mampu bekerja di
fungsi Reskrim untuk ditempatkan sebagai penyidik pembantu pada fungsi Reskrim.
c. Anggaran berbasis kinerja (performance based budgetting)
Penganggaran berbasis kinerja adalah cara untuk mengalokasikan sumber daya
untuk mencapai tujuan tertentu. Polri saat ini telah menganut sistem anggaran
berbasis kinerja dimana dukungan anggaran terhadap pelaksanaan kegiatan
penyelidikan dan penyidikan disesuaikan dengan bobot kerja pada tiap-tiap Satker
fungsi Reskrim sehingga memang ada perbedaan jumlah anggaran antara Satker
fungsi Reskrim pada suatu wilayah dengan yang lainnya mengingat bobot kerjanya
pun berbeda, misalnya anggaran penyidikan untuk Sat Reskrim Polrestro di Polda
Metro Jaya tentu saja lebih besar dibanding dengan daerah lainnya karena intensitas
kegiatan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan pun tinggi sebagai akibat
dinamika masyarakat metropolitan yang tinggi. Oleh karena itu, suatu Satker harus
dapat memperhitungkan anggaran yang diperlukan untuk mendukung kegiatan
penyelidikan dan penyidikan pada tahun anggaran berikutnya seproporsional
mungkin berdasarkan hasil evaluasi kinerja pada tahun anggaran sebelumnya dan
tahun anggaran berjalan. Dengan sistem anggaran berbasis kinerja diharapkan
9 Sedarmayanti, ”Good Governance Dalam Rangka Otonomi Daerah”, dalam Said Saile dkk, Himpunan Teori/Pendapat Para Sarjana yang Berkaitan dengan Kepolisian, (Jakarta : PTIK, 2009), h. 93.
10 Prof. Dr. Wibowo, S.E., M. Phil., Manajemen Kinerja, PT. Rajagrafindo, Jakarta, 2007, h. 188. Dalam Coaching yang baik membantu tim dengan cara : (a) meningkatkan tingkat usaha yang dilakukan individu dalam pekerjaan; (b) menjamin bahwa pekerjaan dilakukan dengan tepat; dan (c) membantu anggota tim menggunakan bakat terbaiknya.
8
dukungan sarana dan prasarana penunjang kegiatan penyelidikan dan penyidikan pun
dapat terpenuhi secara optimal. Menurut Segal dan Summer penganggaran kinerja
terdiri dari 3 (tiga) unsur11 : 1) the result / final outcome (hasil akhir); 2) the strategy
(strategi berupa cara yang berbeda untuk mencapai hasil akhir); dan 3)
activity/outputs (kagiatan apa yang sebenarnya dilakukan untuk mencapai hasil
akhir). Dengan mempertimbangkan ketiga unsur tersebut maka kegiatan dapat
didukung dengan biaya yang hemat dan hasil yang diinginkan pun dapat tercapai.
c. Kepemimpinan
Intensitas kerja yang tinggi pada fungsi Reskrim membawa dampak psikologis
tersendiri bagi para penyidik maupun penyidik pembantu seperti meningkatnya kadar
stress, penurunan motivasi kerja, penurunan produktivitas kerja dan lain-lain. Oleh
karena itu, guna mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut diperlukan
penerapan model kepemimpinan yang tepat. Menurut penulis model kepemimpinan
yang tepat diterapkan pada fungsi Reskrim adalah gaya kepemimpinan situasional 12yang dikemukakan oleh Hersey dan Blancard. Dengan gaya kepemimpinan
situasional, seorang kepala satuan fungsi Reskrim akan dapat lebih sensitiv dan
fleksibel menerapkan model kepemimpinan yang sesuai dengan tipikal penyidik dan
penyidik pembantu yang dipimpinnya terkait dengan tingkat kematangan mereka,
antara lain : 1) Orang yang tidak mampu dan tidak mau atau tidak yakin => gaya
otokratik; 2) Orang yang tidak mampu tetapi mau => gaya demokratik. 3) Orang yang
mampu tetapi tidak mau atau kurang yakin gaya kepemimpinan partisipasi => gaya
kepemimpinan partisipasi; 4) Orang yang mampu dan mau atau yakin => gaya
kepemimpinan delegasi.
d. Mekanisme kontrol
Untuk mengetahui sejauh mana pencapaian sasaran pembangunan kemampuan
yang diselenggarakan dilakukan pengendalian meliputi kegiatan : Gelar Perkara,
untuk mengetahui proses penyelenggaraan penyidikan apakah sudah optimal dalam
pembuktian atau belum dan apakah ada penyimpangan atau tidak serta untuk
mendapatkan masukan, solusi apabila penyidikan mengalami hambatan; Anev
Mingguan/bulanan/insidentil untuk mengetahui sejauh mana kegiatan penyidikan
yang dilakukan setiap minggu/bulan sebagai bahan evaluasi; dan Buku Kontrol
Perkara, sebagai bentuk kontrol perjalanan penanganan kasus.
III. KESIMPULAN DAN SARAN
Secara umum kondisi kemampuan SDM Reskrim saat ini relatif cukup profesional banyak
kasus-kasus besar dapat diungkap, pengungkapan jumlah kejahatan cukup tinggi, namun dibalik
11 Diakses dari situs : http://en.wikipedia.org/wiki/Performance_Based_Budgeting, pada tanggal 23 Oktober 2009.12 Diakses dari situs : http://www.sabda.org/lead/-pdp/skill-kepemimpinan-pdp, pada tanggal 23 Oktober 2009.
9
keberhasilan tersebut masih ada beberapa keluhan masyarakat terhadap kinerja Reskrim antara
lain : aparat yang tidak profesional sehingga semakin banyak kasus tak terungkap dan daerah
rawan kejahatan semakin bertambah, penyelesaian perkara kejahatan yang rendah, Perilaku
aparat yang menyimpang dan penyalahgunaan wewenang dirasakan semakin meresahkan, Aparat
dinilai ragu-ragu bertindak apalagi terhadap kasus-kasus tertentu yang justru memiliki derajat
keresahan tinggi.
Faktor dominan yang menghambat pengembangan sumber daya manusia reskrim adalah
minimnya kualitas mental dan keimanan anggota fungsi Reskrim, tingkat kesejahteraan yang
dianggap masih kurang, anggaran operasional yang belum secara konsisten sampai ke unit
operasional terdepan, rendahnya tingkat disiplin masyarakat secara umum, dan rendahnya
pemahaman dan ketaatan masyarakat terhadap hukum dan adanya sikap ambivalen masyarakat
terhadap proses penegakan hukum.
Strategi membangun kompetensi fungsi Reskrim dapat ditempuh dengan melaksanakan
Identifikasi kemampuan (latar belakang pendidikan, masa dinas, kuantitas dan kualitas
pengungkapan, jumlah komplain), regenerasi SDM Reskrim serta menerapkan sistem anggaran
berbasis kinerja, menerapkan model kepemimpinan situasional dan mekanisme kontrol yang
efektif. Upaya-upaya tersebut harus dilaksanakan manurut fungsi manajemen, yaitu : 1) dalam
hal identifikasi kemampuan dan penyusunan anggaran berbasis kinerja dilaksanakan dalam tahap
perencanaan (planning); 2) tahapan pengorganisasian (organizing) dapat dilakukan dengan
metode team working sehingga pembagian kerja dapat disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas
sumber daya personel yang ada; 3) pada tahapan pelaksanaan (actuating) khususnya dalam
menggerakkan personel fungsi Reskrim oleh kepala satuan fungsi Reskrim diperlukan metode
kepemimpinan yang tepat yaitu gaya kepemimpinan situasional sehingga operasionalisasi
kegiatan fungsi Reskrim dapat terlaksana sesuai dengan teknik dan taktik penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana yang tepat13, tidak boleh terjadi kesalahan karena kesalahan dalam
penyelidikan dan penyidikan berimplikasi secara hukum; dan 4) tahapan pengendalian
(controlling) dapat dilakukan dengan mekanisme pengendalian kegiatan penyelidikan dan
penyidikan yang ada14, seperti gelar perkara, anev mingguan/bulanan/insidentil, buku kontrol
perkara, dan lain-lain.
Jakarta, 23 Oktober 2009Penulis
HANDIK ZUSENNO. MHS. 6877
13 Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep/1205/IX/2000, tanggal 11 September 2000, tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana.
14 Ibid.
10