analisis semiotik foto ibadah haji pada rubrik...
TRANSCRIPT
ANALISIS SEMIOTIK FOTO IBADAH HAJI PADA RUBRIK RANA HARIAN REPUBLIKA OKTOBER 2012
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh
ZAKI AHMAD THOHIR NIM: 109051100016
KONSENTRASI JURNALISTIK KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1434 H/ 2013 M
i
ABSTRAK
Zaki Ahmad Thohir
Analisis Semiotik Foto Ibadah Haji pada Rubrik Rana Harian Republika Oktober 2012
Komunikasi merupakan aktifitas setiap makhluk sosial yang tidak dapat dielakkan keberadaannya. Setiap makhluk hidup terlebih manusia membutuhkan komunikasi sebagai sarana berbagi informasi serta berita dari satu manusia ke manusia lain. Informasi ataupun berita yang disebarlusakan melalui beragam media sebagai alat bantunya, mulai dari mulut ke mulut perseorangan, media elektronik, media cetak hingga media berbasis satelit. Kesemua media yang digunakan tentunya berdasarkan kebutuhan dari manusia sebagai penerima maupun pemberi informasi.
Salah satu media sebagai penyebar informasi yaitu koran. Pada koran ataupun harian umum terdapat beragam informasi maupun berita yang disajikan, mulai dari berita berbasis politik, hukum dan kriminal, hingga berita sederhana mengenai kehidupan keseharian dari para pembaca. Selain itu, terdapat pula foto berita sebagai pelengkap terhadap suatu informasi yang sedang dikuak pada hari itu. Keberadaan foto berita dalam suatu media cetak merupakan suatu hal yang sangat membantu para pembaca dalam memahami suatu kasus.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengangkat foto berita sebagai kajian untuk diteliti. Penulis menggunakan kajian semiotik Roland Barthes dalam membedah tiga foto mengenai ibadah haji yang terdapat pada rubrik rana di harian Republika tanggal 27 Oktober 2012. Penulis merumuskan pertanyaan yang berkaitan dengan objek yang diteliti yaitu: apakah makna Denotasi, Konotasi serta Mitos dalam tiga foto mengenai ibadah haji?
Untuk mendapatkan data dan hasil yang sempurna dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode pendekatan kualitatif deskriptif yakni berupa pengamatan yang mendalam terhadap isi pesan yang disampaikan dengan menjabarkan isi pesan tersebut secara mendalam dan apa adanya. Berdasarkan kajian analisis yang digunakan yakni semiotik Roland Barthes serta metode kualitatif deskriptif sebagai landasan pijak, penulis berharap dapat membedah objek kajian dengan maksimal.
Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa tiga foto yang dijadikan objek penelitian berada di lokasi Padang Arafah. Arafah merupakan lokasi dimana dilaksanakan inti dari ibadah haji, yakni wukuf pada tanggal 9 Zulhijjah. Segala macam ibadah yang baik dapat dilakukan ketika berwukuf, mulai dari ibadah yang berlandaskan hubungan manusia dengan Allah (hablumminalloh) seperti shalat, hingga ibadah yang berlandaskan hubungan manusia satu dengan manusia lainnya (hablumminannas) seperti sikap saling tolong menolong, kasih sayang hingga menanamkan rasa persatuan di antara sesama jamaah haji.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil’alamin, segala puji serta syukur kehadirat Allah
SWT, sang pemberi kehidupan, kekuatan dan kemampuan dalam diri ini.
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW,
semoga kita semua termasuk dalam golongannya hingga akhir zaman nanti, amin.
Selesainya skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah membantu
baik dalam hal materi maupun doa. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:
1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Wakil Dekan (Wadek) I Drs. Wahidin Saputra, MA, Wadek
II Drs. H. Mahmud Jalal, MA, Wadek III Drs. Study Rizal LK, MA.
2. Rubiyanah, MA dan Ade Rina, M.Si sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan
Konsentrasi Jurnalistik.
3. Dr. Suhaimi, M.Si sebagai dosen pembimbing yang senantiasa
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan masukan
mengenai penyusunan skripsi ini hingga akhir.
4. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang telah mendidik dan
memberi ilmu sarat manfaat kepada penulis selama menempuh
pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga penulis dapat
mengamalkan ilmu yang telah Bapak/Ibu berikan dengan baik.
iii
5. Perpustakaan Utama (PU) UIN Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas buku-buku yang dijadikan referensi
dalam penelitian skripsi ini.
6. Almarhum Ayah terkasih dan Mama tercinta, semoga Allah membalas
segala hal yang telah engkau berikan selama ini baik dalam hal materi
maupun dukungan doa untuk penulis. Robbigh firli waliwa lidayya
warhamhuma kama robbayani shoghira, amiiiin...
7. Kakak-kakak, abang-abang, adek-adek semua yang ada di rumah,
terimakasih tak terhingga untuk segalanya yang sudah penulis terima dari
kalian semua. Selain itu, untuk sanak saudara semua terimakasih banyak
untuk dukungan dan sentilan-sentilan yang diberikan agar cepat
terselesainya skripsi ini.
8. Teman-teman seangkatan yaitu prodi Jurnalistik tahun angkatan 2009,
khususnya dari kelas A. Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis tidak
menyebutkan satu persatu, namun penulis harap tidak mengurangi rasa
cinta dan kasih sayang kepada teman-teman semua.
9. Para sedulur penulis dibidang fotografi dan juga dibidang burung kicau,
terimakasih karena telah membuat penulis terlena dengan dua hal tersebut,
terlebih dengan burung kicau sehingga skripsi ini sedikit terganggu
penyelesainnya, hehehe.
10. Para teman-teman semua yang telah meminjamkan bukunya serta telah
berbagi pengalaman dalam hal penulisan skripsi ini.
Terakhir dengan segala kerendahan hati penulis memohon maaf
atas segala kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Dan untuk semua
saran dan kritik yang bersifat membangun, sangat penulis harapkan untuk
iv
perbaikan di masa mendatang, selain itu besar harapan penulis agar
skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan.
Jakarta, September 2013
Zaki Ahmad Thohir
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 6
1. Tujuan Penelitian .........................................................................6 2. Manfaat Penelitian .......................................................................6
D. Kajian Pustaka .............................................................................. 7 E. Metode Penelitian ......................................................................... 8 1. Pendekatan Penelitian ............................................................... 8 2. Subjek dan Objek Penelitian ............................................................. 9 3. Teknik Sampling Data ....................................................................... 9 4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 10 5. Teknik Analisis Data ....................................................................... 11 6. Pedoman Penulisan .......................................................................... 12 F. Sistematika Penulisan .................................................................. 12
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Semiotika.. .................................................................................. 14 1. Pengertian Semiotika .................................................................14 2. Semiologi Roland Barthes..........................................................20 B. Fotografi .........................................................................................27 1. Pengertian Fotografi ...................................................................27 2. Sejarah Perkembangan Fotografi ..............................................32 3. Foto Berita. . ...............................................................................39 C. Ibadah Haji ................................................................................. 47 1. Pengertian Ibadah Haji............................................................ 47 2. Latar Belakang Ibadah Haji .................................................... 50 3. Waktu Ibadah Haji .................................................................. 51 4. Syarat, Rukun, dan Wajib Haji ............................................... 52 5. Ihram........ .................................................................................54
BAB III PROFIL HARIAN REPUBLIKA A. Sejarah dan Perkembangan Harian Republika ........... .............................56 B. Motto serta Visi dan Misi Harian Republika ......................................... 59 1. Motto Harian Umum Republika. ............. ...........................................59 2. Visi Harian Umum Republika ............. ...............................................60 3. Misi Harian Umum Republika.... ............ ...........................................61
vi
C. Target Audiens ..................................................................................... 62 D. Struktur Redaksi Harian Republika ....................................................... 63
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Foto Pertama dengan Judul “Shalat Berjamaah” .................................. 64 1. Makna Denotasi ................................................................................ 65 2. Makna Konotasi ............................................................................... 65 3. Makna Mitos......... ................. ..............................................................68 B. Foto Kedua dengan Judul “Menuju Puncak”.. ............ ............................69 1. Makna Denotasi... ............... ................................................................70 2. Makna Konotasi .............. ...................................................................71 3. Makna Mitos.. ............... .....................................................................72 C. Foto Ketiga dengan Judul “Menuju Arafah”.. ............ .............................74 1. Makna Denotasi... ............... ................................................................75 2. Makna Konotasi......... .........................................................................75 3. Makna Mitos... .............. .....................................................................78
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................... 80 1. Makna Denotasi...... ............... .............................................................80 2. Makna Konotasi... .............. ................................................................80 3. Makna Mitos .............. ........................................................................81 B. Saran ................................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Peta tanda Roland Barthes ...........................................................21 Gambar 2 Foto dengan judul “Shalat Berjamaah” ........................................64 Gambar 3 Foto dengan judul “Menuju Puncak” ...........................................69 Gambar 4 Foto dengan judul “Menuju Arafah” ............................................74
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi merupakan aktifitas keseharian setiap makhuk sosial di muka
bumi ini. Kegiatan komunikasi tersebut berguna untuk menyebarluaskan
informasi dari satu pihak kepada pihak lain. Komunikasi pun erat kaitannya
dengan media komunikasi yang berperan menyebarluaskan informasi dari
komunikator kepada komunikan. Keterlibatan media komunikasi sangat
mempengaruhi mutu dari informasi yang diterima oleh khalayak umum.
Keberadaan jurnalistik sebagai disiplin ilmu tidak dapat dipisahkan dari
aktivitas komunikasi. Pada masa global seperti sekarang ini, jurnalistik dipandang
menjadi salah satu elemen yang memiliki kekuatan komunikasi. Sejatinya,
jurnalistik seperti dua sisi mata uang. Keduanya dapat menjadikan masyarakat
lebih mudah dalam memperoleh informasi. Jurnalistik dan komunikasi pun
memiliki peran yang sama penting. Sekalipun sebagian kalangan menempatkan
jurnalistik menjadi bagian dari komunikasi, namun secara substansial, jurnalistik
dan komunikasi memiliki kesetaraan. Jurnalistik dan komunikasi memiliki unsur-
unsur pokok yang sama, yaitu (a) harus ada sumber, (b) harus ada pesan, dan (c)
harus ada tujuan.1
Suatu pemberitaan yang disajikan pada surat kabar terdiri dari berita
tertulis maupun foto berita. Keberadaan foto berita memberi suasana lain terhadap
suatu berita yang disajikan. Tidak ubahnya berita tertulis, foto berita memiliki
1 Syarifudin Yunus, Jurnalistik Terapan, (Bogor: Ghalia Pustaka, 2010), h. 1.
2 daya pikat tersendiri bagi khalayak pembaca surat kabar. Kehadiran foto berita
senantiasa melengkapi suatu artikel berita tertulis yang disajikan dan dibungkus
berdasarkan peristiwa yang sedang hangat dibicarakan di khalayak umum.
Terkadang khalayak lebih menikmati tampilan foto yang disajikan dalam berita
tersebut, ketimbang artikel berita yang menyertainya. Atas dasar hal tersebut,
keberadaan foto berita merupakan suatu hal yang penting dalam suatu berita
tertulis.
Istilah fotografi pertama kali dikemukakan oleh seorang ilmuwan Inggris,
Sir John Herscell pada tahun 1839. Kata fotografi (Inggris: Photography;
Belanda: Fotografic) berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata phos yang artinya
cahaya dan graph yang berarti menulis atau menggambar. Jadi secara harfiah,
fotografi berarti menggambar dengan bantuan cahaya.2
Secara harfiah fotografi memiliki makna mencatat atau melukis dengan
sinar atau cahaya. Pada awalnya fotografi dikenal dengan lukisan matahari, karena
pada saat itu sinar matahari yang digunakan untuk menghasilkan gambar. Saat
ini, fotografi telah melekat erat dengan fungsi komunikasinya dan model ekspresi
visual yang menyentuh kethidupan manusia diberbagai bidang.3
Selain itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fotografi
merupakan seni dan proses penghasilan gambar melalui cahaya pada film atau
permukaan yang dipekakan.4 Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kegiatan
fotografi merupakan kegiatan menghentikan waktu untuk merekam, menangkap
2 M. Mudaris, Jurnalistik Foto, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro,
1996), h. 7. 3 Agus Rusmana, Tanya Jawab Dasar-Dasar Fotografi, (Bandung: Penerbit Armico,
1981), h. 1. 4 Griand Giwanda, Panduan Praktis Belajar Fotografi, (Jakarta: Puspa Swara, 2001), h.
2.
3
atau mengabadikan situasi tertentu melalui bantuan cahaya sebagai media untuk
menjadi wujud dimensi atau biasa disebut foto.
Jurnalistik identik dengan pers atau bidang kewartawanan, yaitu kegiatan
mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan berita melalui media
massa. Dari pengertian tersebut bisa diartikan jurnalistik foto adalah pengetahuan
jurnalistik yang obyeknya foto atau kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah
dan menyebarkan foto yang mengandung nilai berita melalui media massa.
Jurnalistik foto merupakan bagian dari ilmu jurnalistik (komunikasi). Jurnalistik
foto adalah "ilmunya", sedangkan foto jurnalistik adalah "hasilnya".
Foto jurnalistik adalah karya foto "biasa" tetapi memilki nilai berita atau pesan
yang "layak" untuk diketahui orang banyak dan disebarluaskan lewat media
massa.
Dalam dunia jurnalistik, foto merupakan kebutuhan yang vital, sebab foto
merupakan salah satu daya pikat bagi para pembacanya. Jurnalistik foto memiliki
syarat seperti jurnalistik tulis, yang membedakan hanyalah foto yang
menyertainya. Pada foto, peristiwa yang tidak dapat diuraikan dengan kata-kata
akan lebih mudah dicerna dengan keberadaan foto yang mendukung peristiwa
tersebut. Selain itu, foto pun dapat ditampilkan secara lebih dramatis, sehingga
tidak heran jikalau terbentuk persepsi yang berbeda di antara penikmat foto
tersebut.
Sementara Audy Mirza Alwi dalam bukunya Foto Jurnalistik
mengemukakan foto jurnalistik adalah kombinasi dari kata dan gambar yang
menghasilkan satu kesatuan komunikasi. Foto jurnalistik merupakan salah satu
4 media penyampai berita melalui bentuk visual yang juga sebagai kombinasi dari
kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi.5
Selanjutnya menurut Wilson Hicks foto jurnalistik ialah kombinasi dari
kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan
antara latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya. Dilihat dari sisi
fungsinya, kata Emery, seperti halnya kata-kata, foto jurnalistik berfungsi untuk
menginformasikan (to inform), meyakinkan (to persuade), dan menghibur (to
entertain), para pemakai media tersebut. Jadi, foto itu sendiri merupakan pesan
yang dapat meyakinkan dan menghibur.6
Selain itu, Oscar Matuloh, direktur Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA)
dalam makalahnya, Suatu Pendekatan Visual Dengan Suara Hati menyebutkan,
foto jurnalistik adalah suatu medium sajian untuk menyampaikan beragam bukti
visual atas suatu peristiwa pada masyarakat seluas-luasnya, bahkan hingga kerak
di balik peristiwa tersebut, tentu dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Perkembangan teknologi pada fotografi dari masa ke masa sedikit banyak
membantu tersebarnya dakwah di khalayak umum. Foto jurnalistik dapat pula
dijadikan media berdakwah baik secara tersirat maupun tersurat dari hasil foto
tersebut. Melalui sebuah foto, kita dapat mensyiarkan simbol-simbol agama Islam
berdasarkan bentuk visual.
Republika sebagai koran harian yang bernafaskan Islam dalam musim
ibadah Haji 1433 H/ 2012 M ini seperti biasa memuat jurnal khusus yang diberi
nama Jurnal Haji. Jurnal ini berisikan segala hal pemberitaan mengenai ibadah
Haji jamaah Indonesia, baik saat masih di Indonesia maupun setelah berada di
5 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 1. 6 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, (Ciputat: PT. Logos
Wacana Ilmu, 1999), h. 120.
5
Arab Saudi. Pada jurnal ini pun terdapat pemberitaan dalam bentuk foto beserta
caption-nya. Pembaca sangat dibantu atas keberadaan foto-foto tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, penulis bermaksud melakukan penelitian
terhadap foto berita dalam Jurnal Haji Harian Republika tanggal 27 Oktober 2012
dengan judul: “Analisis Semiotik Foto Ibadah Haji Pada Rubrik Rana Harian
Republika Oktober 2012”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Untuk mempermudah penulisan dalam skripsi ini, maka perlu bagi penulis
untuk membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang akan dibahas pada kajian
ini. Agar pembahasan dalam skripsi ini jelas dan terarah, penulis hanya akan
memfokuskan permasalahan mengenai analisis semiotik makna jurnalistik foto
sebanyak tiga foto ibadah haji pada rubrik rana harian Republika pada tanggal 27
Oktober 2012.
Berdasarkan pembatasan masalah yang tertulis di atas, maka rumusan
masalah penelitian ini adalah:
1. Apa makna denotasi foto-foto berita ibadah haji pada rubrik rana harian
Republika pada tanggal 27 Oktober 2012?
2. Apa makna konotasi foto-foto berita ibadah haji pada rubrik rana harian
Republika pada tanggal 27 Oktober 2012?
3. Apa makna mitos foto-foto berita ibadah haji pada rubrik rana harian
Republika pada tanggal 27 Oktober 2012?
6 C. Tujuan dan Manfaat penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini untuk memberi pengetahuan mengenai makna
dalam foto berita pada rubrik rana harian Republika.
Tujuan khusus dari penelitian ini untuk mendeskripsikan dan menganalisa
beberapa permasalahan, antara lain sebagai berikut:
a. Mengetahui makna denotasi yang terdapat pada foto-foto berita ibadah
haji rubrik rana harian Republika pada tanggal 27 Oktober 2012.
b. Mengetahui makna konotasi yang terdapat pada foto-foto berita ibadah
haji rubrik rana harian Republika pada 27 Oktober 2012.
c. Mengetahui makna mitos yang terdapat pada foto-foto berita ibadah haji
rubrik rana harian Republika pada 27 Oktober 2012.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini untuk memperkaya kajian ilmu
komunikasi, khususnya pada bidang fotografi jurnalistik mengenai foto berita.
Selain itu, penelitian ini juga dapat digunakan untuk memperluas dan
memperkaya wacana pemikiran, serta dapat menjadi tambahan referensi pustaka
khususnya di Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Manfaat Praktis
i. Menambah keilmuan dan memperdalam pemahaman khususnya mengenai
semiotika beserta kaitannya dengan cabang ilmu komunikasi.
7
ii. Memahami secara mendalam mengenai makna simbolis yang terdapat
pada foto jurnalistik.
iii. Mengembangkan kajian mengenai fotografi khususnya pada foto
jurnalistik bagi mahasiswa maupun mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
D. Kajian Pustaka
Setelah mencari informasi yang terkait dengan judul penelitian ini, yaitu
dari perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, perpustakaan
utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, serta
perpustakaan pada perguruan tinggi lainnya, penulis tidak menemukan judul yang
sama dengan penelitian ini.
Penelitian dengan subjek foto berita pernah dilakukan oleh Fatimah,
mahasiswi Jurnalistik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah,
Jakarta pada tahun 2008, dengan judul Makna Foto Berita Perjalanan Haji
(Analisis Semiotika Karya Zarqoni Maksum Pada Galeri Foto Antara.co.id).
Selain itu, terdapat pula dalam skripsi lain dengan judul Analisis Semiotik
Foto Karya Ismar Patrizki pada Pameran Foto Gaza Perkasa tahun 2010 hasil
karya Muhammad Lutfi Rahman, Analisis Semiotik Foto Daily Life Stories pada
World Press Photo 2010 hasil karya Aida Islamie, dan Makna Foto Berita tentang
Tragedi Pembagian Zakat di Pasuruan pada Kompas.com (Analisis Semiotika)
hasil karya Sandro Gatra dari Universitas IISIP tahun 2009.
8
Keempat skripsi tersebut membahas makna dan simbol pada foto
jurnalistik dengan menggunakan analisis semiotika. Namun foto yang dianalisis
tentunya berbeda dan juga berasal dari sumber yang berbeda pula.
Karena pentingnya foto berita untuk dibahas, maka penelitian ini
digunakan untuk membahas makna yang terdapat di dalam foto berita. Terlebih
foto berita yang terkait pemberitaan masalah keislaman, di Universitas Islam
Negeri (UIN) Jakarta, khususnya Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
masih minim keberadaannya.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan kualitatif.
Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor adalah sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode yang digunakan
oleh penulis adalah dengan menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif
adalah penelitian yang memaparkan situasi atau peristiwa, dimana pada
hakikatnya metode deskriptif ini adalah mengumpulkan data-data.7
Dengan menggunakan metode deskriptif ini, maka data yang diperoleh
dari hasil penelitian dipaparkan atau digambarkan dalam sebuah tulisan ilmiah.
Analisis yang dipakai adalah analisis semiotika. Analisis semiotika bertujuan
melihat teks media sebagai sebuah struktur keseluruhan, mencari makna yang
laten atau konotasi terhadap sebuah tanda.
7 Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h.
25.
9
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah sumber utama (primary source) yang
memperkaya data-data penelitian, atau semua hal yang berhubungan langsung
dengan foto-foto tersebut. Sedangkan objek penelitian ini adalah suatu hal yang
diteliti. Singkatnya yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah harian
Republika pada tanggal 27 Oktober 2012.
Selanjutnya yang menjadi objek adalah foto-foto yang terdapat dalam
rubrik jurnal haji tanggal 27 Oktober 2012. Foto-foto yang terdapat dalam rubrik
tersebut sebanyak 8 populasi. Dari 8 populasi, peneliti mengangkat tiga foto yang
dijadikan sampel dalam penelitian ini.
3. Teknik Sampling Data
Dalam penarikan sample data, peneliti menggunakan teknik pengambilan
sampel yaitu purposive sampling. Teknik ini menggunakan metode penetapan
sampel dengan berdasarkan pada pertimbangan tertentu.8 Teknik ini dapat pula
diartikan sebagai suatu proses pengambilan sampel dengan menentukan terlebih
dahulu jumlah sampel yang akan digunakan, kemudian pemilihan sampel
dilakukan dengan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, tentunya tidak menyimpang
dari ciri-ciri sampel yang telah ditetapkan.
Pada penelitian ini digunakan purposive sampling, karena peneliti secara
sengaja mengambil sampel dengan maksud dan tujuan tertentu. Pemilihan sampel
foto dilakukan berdasarkan penglihatan terhadap objek penelitian yang memiliki
nilai tinggi terhadap tanda-tanda dalam fotografi. Selain itu, didasarkan pula pada
aspek momentum ketika rangkaian ibadah haji tersebut dilakukan. Sampel foto
8 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2008), hal. 85.
10 yang menjadi objek kajian merupakan foto-foto yang menggambarkan ibadah-
ibadah yang kerap dilakukan jamaah haji ketika di Tanah Suci.
Sumber data dalam penelitian ini terbagi dalam dua kategori, yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer merupakan sasaran utama dalam penelitian
ini, sedangkan data sekunder digunakan untuk diaplikasikan guna mempertajam
analisis data primer, yaitu sebagai pendukung dan penguat data dalam penelitian.
Data primer (primary source) dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil
foto yang telah dipilih. Terdapat 8 buah foto dalam rubrik tersebut, namun hanya
tiga foto yang dijadikan objek penelitian. Pengkerucutan dari 8 menjadi tiga foto
dengan tujuan agar tercapai maksud yang ingin dicapai dalam penelitian ini.
Sedangkan data sekunder (secondary source) dalam penelitian ini
diperoleh dengan membaca referensi beberapa buku-buku, artikel, jurnal, tulisan
dari internet maupun sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Teknik pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi yaitu pengamatan yang bertujuan unntuk mendapat data tentang
suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat pembuktian
terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Observasi
berguna untuk menjelaskan dan memeriksa realitas atau gejala yang terjadi.
Dalam penelitian ini observasi dilakukan dengan cara menelaah foto-foto
mengenai ibadah haji harian Republika pada tanggal 27 Oktober 2012.
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah instrumen pengumpulan data yang sering digunakan
dalam berbagai metode pengumpulan data. Dokumentasi bertujuan untuk
11
menggali data-data secara sistematis dan objektif untuk mendapatkan informasi
yang mendukung analisis dan interpretasi data.
c. Wawancara
Wawancara (interview) merupakan alat pengumpulan data yang sangat
penting dalam penelitian komunikasi kualitatif yang melibatkan manusia sebagai
subjek (pelaku atau aktor).9 Wawancara adalah salah satu faktor penting dalam
menggali informasi dari narasumber. Wawancara merupakan suatu seni
berkomunikasi dimana pewawancara dan orang yang diwawancarai mengerti apa
yang dimaksud dari masing-masing pihak.10 Dalam penelitian ini, dilakukan
wawancara mendalam (in-depth interview), yaitu wawancara yang bersifat
terstruktur dan mendetail.11
5. Teknis Analisis Data
Roland Barthes menggunakan istilah orders of signification. First order of
signification yang selanjutnya dinamakan denotasi, sedangkan second order of
signification merupakan konotasi. Tahap pertama mencakup penanda dan petanda
yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang selanjutnya dimaknai sebagai denotasi.
Kemudian dari tanda tersebut muncul pemaknaan baru, sebuah konsep mental lain
yang melekat pada tanda (penanda) tersebut. Pemaknaan baru inilah yang
kemudian berkembang menjadi konotasi.
Beranjak dari dua tahap sebelumnya, mitos merupakan produk semiologi
yang juga menelaah sistem tanda-tanda yang dimaknai manusia. Pemaknaannya
9 Parwito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta:Lkis pelangi Aksara. 2007), h.
132. 10 wordpress.com 11 Parwito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, h. 134.
12 bersifat arbitrer sehingga terbuka untuk berbagai kemungkinan. Namun, dalam
kebudayaan massa (la culture de masse) konotasi terbentuk oleh kekuatan
mayoritas atau kekuasaan yang memberikan konotasi tertentu pada suatu hal,
sehingga lama kelamaan menjadi mitos.
6. Pedoman Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi karya Hamid Nasuhi yang diterbitkan
CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini yaitu penulis menyusun dengan
membagi menjadi lima bab, tiap bab terdiri dari:
Bab I pendahuluan
Dalam bab ini membahas mengenai latar belakang masalah penelitian,
perumusan dan pembatasan masalah dalam penelitian, tujuan dan manfaat dari
penelitian, metodologi yang digunakan dalam penelitian, tinjauan pustaka dan
sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Teoritis
Bab ini menjelaskan tentang pengertian analisis semiotik, ibadah haji, foto
berita dan juga foto jurnalistik.
Bab III Gambaran Umum Republika
Dalam bab ini membahas sekelumit mengenai harian Republika.
Bab IV Analisis hasil penelitian
13
Bab ini membahas tiga foto ibadah haji mengenai makna yang terkandung
dalam rubrik jurnal haji harian Republika pada tanggal 27 Oktober 2012 dengan
menggunakan metode semiotik Roland Barthes.
Bab V Penutup
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan, sebagai
kesimpulan jawaban masalah yang telah dirumuskan secara singkat, kemudian
ditambah dengan saran-saran yang berkaitan dengan hasil temuan dalam
penelitian.
14
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Semiotika
1. Pengertian Semiotika
Semiotika merupakan suatu model dari ilmu pengetahuan sosial dalam
memahami dunia yang memiliki bagian dasar yang disebut dengan tanda. Sejak
awal keberadaan semiotika ini, penelitian sastra atau sebuah pendekatan keilmuan
yang mempelajari hubungan antar tanda-tanda merupakan kajian yang utama
untuk dibahas. Tanda dapat berbentuk tulisan, gambar, maupun lambang.
Dalam semiotika terdapat dua nama tokoh besar sebagai pengembang ilmu
semiotika itu sendiri. Kedua tokoh tersebut yaitu Ferdinand de Saussure (1857-
1913) dan Charles Sander Peirce (1834-1914). Keduanya mengembangkan ilmu
semiotika dengan berlatar belakang yang berbeda dan wilayah jangkauan yang
berbeda pula. Saussure berlatar belakang ilmu linguistik dan berada di Eropa
sedangkan Peirce berlatar belakang filsafat dan berada di Amerika Serikat.
Istilah semiotika kerap digunakan bersama dengan istilah semiologi.
Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin ilmu sedangkan istilah kedua
merujuk pada ilmu yang terdapat di dalam disiplin tersebut. Istilah semiotika lebih
mengarah pada tradisi Saussure yang diikuti oleh Charles Sanders Pierce dan
Umberto Eco, sedangkan istilah semiologi lebih banyak dipakai oleh Barthes.
Baik semiotika maupun semiologi merupakan cabang penelitian sastra atau
sebuah pendekatan keilmuan yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda.
15
Istilah semiotika (semiotics) merujuk pada sebuah nama yaitu Charles
Sander Peirce. Menurut Peirce yang ahli filsafah dan logika ini, penalaran
manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Selanjutnya istilah semiologi merujuk
pada nama seorang tokoh yakni Ferdinand de Saussure. Menurut Hidayat,
semiologi menurut Saussure didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan
dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda,
di belakangnya harus ada sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan
makna itu ada.1
Secara etimologis, semiotik berasal dari kata Yunani yaitu semeion yang
memiliki arti ‘tanda’. Dalam bahasa Inggris bermakna ‘sign’ yang memiliki arti
ilmu yang mempelajari sistem tanda, seperti bahasa, kode, sinyal dan lain
sebagainya. Semiotik merupakan teori dan analisis dari berbagai tanda dan
pemaknaan. Menurut Umberto Eco, tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu
yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap
mewakili sesuatu yang lain.2
Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang
mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, serta seluruh
kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah
ikhtisar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu ditanyakan lebih
lanjut ketika membaca teks atau narasi wacana tertentu. Analisisnya bersifat
1 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), h. 11. 2Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 95.
16
paradigmatic dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal-hal yang
tersembunyi di balik sebuah teks.3
Menurut Scholes, semiotika biasa didefinisikan sebagai pengkajian tanda-
tanda (the study of signs) yang pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-
kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan memandang entitas-entitas
tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Selanjutnya
menurut Peirce, semiotika tidak lain dari sebuah nama lain bagi logika, yaitu
“doktrin formal tentang tanda-tanda” (the formal doctrine of signs).4
Pateda mengemukakan terdapat 9 macam semiotik, yaitu:5
a. Semiotik analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce menyatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan mengnalisanya menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.
b. Semiotik deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat dialami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit yang mendung menandakan akan turun hujan, dari dahulu hingga sekarang akan tetap saja akan seperti itu. Namun, dengan majunya ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
c. Semiotik faunal, yakni semiotik yang khusus memperlihatkan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia.
d. Semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain.
e. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore).
f. Semiotik natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Alam yang tidak bersahabat dengan manusia,
3 Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media,
2011), h. 5. 4 Kris Budiman, Semiotika Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), h. 3. 5 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 100-101.
17
misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.
g. Semiotik normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu-lintas.
h. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang yang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Dengan kata lain, semiotik sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam dalam bahasa.
i. Semiotik strukturalis, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
Keberagaman ruang lingkup semiotika membuat sangat luas jangkauannya
sehingga akan menimbulkan kesan sebagai suatu ilmu. Dengan mendasar pada
pandangan yang dikemukakan oleh charles Morris (Morris, 1938:6 dan Levinson,
1983:1), yaitu seorang filsuf yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-
tanda, semiotika pada dasarnya terbagi dalam tiga cabang penyelidikan (branches
of inquiry), yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik.6
1. Sintaktik atau sintaksis, yaitu suatu cabang penyelidikan semiotika yang
mengkaji “hubungan formal di antara suatu tanda dengan tanda-tanda
lain”, dengan maksud lain karena hubungan-hubungan formal ini
merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi.
2. Semantik, yaitu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari
“hubungan di antara tanda-tanda dengan design data atau objek-objek yang
diacunya”. Bagi Morris, yang dimaksud dengan design adalah makna
tanda-tanda sebelum digunakan di dalam urutan tertentu.
3. Pragmatik, yaitu suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari
“hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter atau para pemakainya”
6 Anton Freddy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas
Makna, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), h. 26.
18
– pemakaian tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan
aspek-aspek komunikasi khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari
tuturan.
Selain itu, terdapat pula aliran semiotika konotasi yang dipelopori oleh
Roland Barthes. Barthes mengemukakan bahwa terdapat dua sistem pemaknaan
tanda, yakni denotasi (makna primer) dan konotasi (makna sekunder). Semiotika
jenis ini menelaah tanda tidak berdasarkan pada makna denotasi (primer),
melainkan pada makna konotasinya. Semiotika Barthes dinamakan semiotik
konotasi atas dasar untuk memberi perbedaan terhadap semiotika linguistik yang
diusung seniornya, yaitu Saussure.7
Pemikiran Saussure yang paling penting adalah pandangannya tentang
tanda. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan
pemilahan antara signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Signifiant adalah
bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa
yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signifie adalah gambaran mental,
yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa. Kedua unsur ini seperti dua
sisi dari sekeping mata uang atau selembar kertas.8
Atas dasar hal tersebut, tanda menurut Saussure terbagi menjadi tiga, yaitu:
a) Signifier (penanda), yaitu aspek material yang memiliki wujud dari tanda
itu sendiri.
b) Signified (petanda), yaitu pikiran atau konsep yang direpresentasikan atau
konsep mental dari penanda.
7 ST. Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 155. 8 Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, (Magelang: IndonesiaTera, 2001), h. 13-14.
19
c) Hubungan antara keberadaan fisik suatu tanda dengan konsep mental
tersebut yang kemudian dinamakan sign, yaitu upaya dalam memberi
makna terhadap suatu hal.
Keberadaan Saussure tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan kata
“strukturalisme”. Paham mengenai semiotik ini telah menjadi salah satu konsep
yang paling bermanfaat di dalam kerja dari kaum strukturalis. Dasarnya adalah
pengertian tanda, yakni segala sesuatu yang secara konvensional dapat
menggantikan atau mewakili sesuatu yang lain. Strukturalisme merupakan suatu
cara berpikir tentang dunia yang memberikan perhatian penuhnya pada persepsi
dan deskripsi suatu struktur. Struktur ini mendasarkan diri pada tiga ide, yaitu ide
tentang keseluruhan, ide tentang transformasi, dan ide tentang regulasi diri.
Secara umum, strukturalisme merupakan sebuah paham filsafat yang
memandang dunia sebagai realitas berstruktur. Peran linguistik Saussurean dalam
hal ini sangat besar (dalam membangun filsafat para strukturalis), karena
linguistik Saussurean memperkenalkan apa yang dinamakan sistem. Selanjutnya,
kaidah-kaidah linguistik ini dicoba untuk diterapkan di lapangan untuk penelitian,
yakni dengan menjadikannya semacam model yang paralel dengan realitas yang
menjadi objek-objek kajiannya.9
Strukturalisme berkembang pesat dan mempengaruhi perkembangan
semiologi juga. Tokoh-tokoh strukturalisme yang terkenal di antaranya adalah
Levi-Strauss yang mengembangkannya di bidang antropologi struktural, Jacques
Lacan di bidang psikoanalisis, Michel Foucault di bidang sejarah pengetahuan,
9 Ibid., h. 40.
20
dan Roland Barthes di bidang kritik sastra, bahasa, dan semiologi. Selanjutnya
Roland Barthes lah yang mengembangkan semiologi yang menerbitkan karyanya
yaitu Elements of Semiology pada tahun 1968.
2. Semiologi Roland Barthes
a. Makna Denotasi, Konotasi, dan Mitos
Roland Barthes lahir pada tahun 1915 dan berasal dari keluarga kelas
menengah Protestan di Cherbourg dan kemudian dibesarkan di Bayonne, kota
kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Perancis. Ayahnya seorang
perwira Angkatan Laut yang terbunuh dalam tugas saat usianya baru satu tahun.
Masa kecilnya dilatari oleh budaya borjuis dan ketika berusia 9 tahun dia pindah
ke Paris bersama ibunya.
Sampai pada akhirnya yaitu pada Februari 1980, saat Barthes sedang
keluar dari pertemuan makan siang dengan para politisi dan intelektual sosialis,
kemudian Barthes ditabrak oleh sebuah truk binatu saat menyeberangi jalan di
depan College de France. Setelah beberapa waktu, walaupun keadaan Barthes
telah cukup sembuh untuk menerima penjenguk, namun akhirnya Barthes wafat
empat minggu kemudian. Kematiannya makin membuat rumit karirnya karena
terjadi di pertengahan berbagai proyek yang sedang dijalaninya.10
Roland Barthes mengembangkan teori konotasi yang dimiliki masyarakat
budaya tertentu dengan mengatakan bahwa semua yang dianggap sudah wajar di
dalam suatu kebudayaan sebenarnya adalah hasil dari proses konotasi. Bila
konotasi menjadi tetap, itu akan menjadi mitos, sedangkan kalau mitos menjadi
10 Ibid., h. 48.
21
pasti, akan menjadi ideologi. Tekanan teori tanda Barthes pada konotasi dan
mitos.11
Barthes menggunakan istilah orders of signification. First order of
signification yang selanjutnya dinamakan denotasi, sedangkan second order of
signification merupakan konotasi. Tahap pertama mencakup penanda dan petanda
yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang selanjutnya dimaknai sebagai denotasi.
Kemudian dari tanda tersebut muncul pemaknaan baru, sebuah konsep mental lain
yang melekat pada tanda (penanda) tersebut. Pemaknaan baru inilah yang
kemudian berkembang menjadi konotasi.
Gambar 1. Peta Tanda Roland Barthes
Istilah yang kerap digunakan Barthes yaitu semiologi, hal itu sejalan
dengan pemikiran gurunya, yakni Saussure. Barthes dalam karyanya
menggunakan pengembangan teori tanda de Saussure (penanda dan petanda)
sebagai upaya menjelaskan bagaimana dalam kehidupan bermasyarakat
didominasi oleh konotasi.
11 Benny H. Hoed, Semiotika & Dinamika Sosial Budaya, (Depok: Komunitas Bambu,
2011), h. 18.
Penanda Petanda
TANDA DENOTATIF
PENANDA KONOTATIF
PETANDA KONOTATIF
TANDA KONOTATIF
22
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna
tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi
penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penendaan dalam tataran
denotatif.12
Konotasi adalah pengembangan segi petanda (makna atau isi suatu tanda)
oleh pemakai tanda sesuai dengan sudut pandangnya. Jika konotasi sudah
menguasai masyarakat akan menjadi mitos. Barthes mencoba menjelaskan
kejadian keseharian dalam kebudayaan menjadi seperti “wajar”, padahal itu hanya
sebuah mitos, akibat konotasi yang menjadi mantap di masyarakat.
Barthes menyebutkan yang dimaksud denotasi yakni makna paling nyata
dari tanda tersebut. Selanjutnya, konotasi merupakan istilah yang digunakan
Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini mengambarkan
interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari si
pembaca maupun penikmat suatu tanda tersebut, selain itu berkaitan pula dengan
nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi memiliki makna yang subjektif atau
paling tidak intersubjektif. Singkatnya, denotasi adalah apa yang digambarkan
tanda terhadap sebuah objek, dan konotasi adalah bagaimana
menggambarkannya.13
Menyoal mitos, Levi-Strauss mengemukakan bahwa mitos adalah bahasa,
bagian dari bahasa, yang substansinya tidak terletak pada gaya, irama, ataupun
sintaksis, melainkan pada cerita yang diungkapkannya. Fungsi mitos terletak pada
12 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 69. 13 Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 128.
23
suatu tataran khusus yang di dalamnya makna-makna melepaskan diri dari
landasan yang semata-mata kebahasaan.14
Pengertian mitos menurut Barthes:
Mitos merupakan sistem semiologis, yakni sistem tanda-tanda yang dimaknai manusia. Pemaknaannya bersifat arbitrer sehingga terbuka untuk berbagai kemungkinan. Namun, dalam kebudayaan massa (la culture de masse) konotasi terbentuk oleh kekuatan mayoritas atau kekuasaan yang memberikan konotasi tertentu pada suatu hal, sehingga lama kelamaan menjadi mitos.15
Feranand Comte membagi mitos menjadi dua macam, yaitu mitos
tradisonal dan mitos modern. Mitos modern ini dibentuk oleh dan mengenal
gejala-gejala politik, olahraga, sinema, televisi dan pers. Selain itu, mitos
menurutnya adalah sistem komunikasi, sebab ia menyampaikan pesan. Maka dari
itu mitos bukanlah objek, bukan pula sebuah konsep atau gagasan, melainkan
suatu cara signifikasi terhadap suatu bentuk.16
Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa denotasi
adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan
petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang eksplisit. Sementara
konotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda
dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak ekspisit, tidak
langsung, dan tidak pasti artinya dapat memunculkan berbagai tafsiran. Dari ini
terlihat bahwa dari tahapan denotatif yang maknanya “pasti” jika melihat
tandanya langsung, sedangkan konotatif membentuk makna yang secara khusus
dimana tergantung siapa yang melihat tanda tersebut. Terlihat pula disini bahwa
14 Kris Budiman, Semiotika Visual, h. 172. 15 Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, h. 67. 16 Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: UI, 2004), cet. Ke-1, h. 224.
24
tanda apapun jika dilihat dengan orang yang berbeda maka maknanya akan
berbeda juga. Namun apabila makna tersebut bisa saja berubah dari makna khusus
menjadi makna umun lagi, sehingga dari makna-makna tersebut terciptalah mitos.
b. Semiologi Roland Barthes dalam Fotografi
Semiologi Barthes merupakan sebuah pluralitas makna dan interpretasi
dalam membedah suatu tanda. Hasil dari pembedahan tersebut acap kali terjadi
perbedaan analisis antara individu yang meneliti. Pada kenyataannya, perbedaan
itu diciptakan berdasarkan atas manusia itu sendiri dalam hal sejarah maupun
kebudayaan yang menyertainya.
Sejalan dengan pemikiran-pemikiran Barthes dalam memaknai suatu
tanda, fotografi sebagai kajian penelitian Barthes pun dimaknai secara subjektif
atau paling tidak intersubjektif. Setiap penikmat suatu foto bebas dalam memaknai
foto yang dilihat tersebut. Kesubjektifitasan itu berkaitan langsung dengan
keadaan perasaan atau emosi dari penikmat foto serta nilai-nilainya
kebudayaannya.
Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam “Kisah Mata”, foto adalah suatu
pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran transmisi dan titik resepsi.
Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang terisolasi, karena selalu
berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks tertulis, judul,
keterangan, artikel, yang selalu mengiringi foto. Dengan demikian pesan
keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua struktur yang berbeda.17
Foto berita (press) adalah pesan. Pesan ini dibangun oleh beberapa
elemen, antara lain sumber pemancar pesan, saluran transmisi, dan juga pihak
17 Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata Fotografi, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 27.
25
penerima. Sumber pemancar pesan dalam hal ini adalah para insan pers yang
berkarya di surat kabar atau sekelompok teknisi yang selain bertugas memfoto,
memilah, menyusun, dan mengotak-atiknya, juga bertugas memberi judul,
keterangan singkat, dan komentar. Selanjutnya saluran transmisi adalah surat
kabar itu sendiri atau wadah sebagai pengumpul foto. Sementara pihak penerima
adalah publik yang membaca surat kabar tersebut.18
Bangunan struktural foto sulit untuk berdiri sendiri. Dalam foto
sekurang-kurangnya bersetubuh dengan satu bangunan struktural lain, yakni teks
(judul, penjelasan, atau komentar). Dengan demikian, totalitas informasi
diperantai dan dihadirkan oleh dua bangunan struktural berbeda (yang salah
satunya berdimensi linguistik). Dua bangunan ini saling bahu membahu dalam
keberadaannya. Pada teks, substansi pesan dibangun oleh kata-kata, sementara
pada foto, substansi pesan dibangun oleh garis, tekstur, dan warna.
Imaji fotografis adalah analogon (turunan, salinan, kopian) yang sempurna
dari realitas dan justru kesempurnaan analogis inilah yang diterima umum sebagai
kekhasan atau kekuatan foto. Selanjutnya, imaji fotografis menyandang status
istimewa, yakni “pesan tanpa kode”. Selain itu, pesan fotografis bersifat kontinyu
yang di dalamnya terdapat kepolosan maupun ketelanjangan.19
Semua seni imitatif dalam hal ini berkaitan dengan fotografi mengandung
dua pesan, pesan pertama yaitu denotatif dan pesan kedua yaitu konotatif.
Denotatif merupakan analogon itu sendiri, yakni apa yang dihasilkan dalam
menulis dengan bahasa foto. Sementara konotatifnya adalah pandangan atau
pendirian masyarakat tentang apa yang disodorkan kepadanya. Kandungan
18 Roland Barthes, Imaji Musik Teks, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 1. 19 Ibid., h. 3
26
konotasi ini tidak harus langsung terlihat pada foto tersebut, adakalanya bersifat
implisit, yakni sesuatu yang tidak tampak secara langsung dalam foto tersebut,
namun memiliki cukup makna tersirat yang dapat mendukung dari setiap konten
pada foto itu.
Pada tahap denotasi atau pesan lapis pertama, penggeledahan dilakukan
tidak secara mendetil. Hanya secara garis besar yang tampak secara kasat mata
dalam foto tersebut. Sedangkan tahap konotasi atau pesan lapis kedua,
penggeledahan dilakukan secara mendetil ke dalam unit-unit terkecil pada foto
tersebut. Tentunya konotasi pada tahap ini bukanlah penggeledahan secara
fotografis yang dikemukakan oleh Barthes melalui 6 prosedur penganalisaan foto,
yakni trick effect, pose, objects, photogenia, estetisme, dan sintaksis, namun lebih
pada gambaran interaksi yang terjadi ketika foto bertemu dengan perasaan atau
emosi dari penikmat foto tersebut. Selain itu, kebudayaan dalam suatu kelompok
masyarakat juga ikut memengaruhi penggeledahan pada tahap konotasi ini.
Dalam “The Photographic Message”, Barthes mengajukan tiga tahap
dalam membaca foto yang bersifat konseptual/diskursif, yaitu perseptif, konotasi
kognitif, dan etis-ideologis.20
1. Tahap Perseptif adalah tahap transformasi gambar ke kategori verbal atau
verbalisasi gambar yang bersifat imajinatif.
2. Tahap Konotasi Kognitif adalah tahap pengumpulan dan upaya
menghubungkan unsur-unsur historis dari analogon (denotasi) ke dalam
20 ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 187.
27
imajinasi paradigmatik. Dengan demikian pengetahuan kulturak sangat
menentukan.
3. Tahap Etis-Ideologis adalah tahap pengumpulan berbagai penanda yang
siap dijadikan satu dalam kalimat.
Ketiga tahap tersebut merupakan langkah-langkah konseptual atau
diskursif untuk menentukan wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang
berkaitan. Dengan demikian, objektifitas pesan foto dapat diamati dan diukur.
B. Fotografi
1. Pengertian Fotografi
Sebagaimana berita maupun karya tulis, sebuah foto hadir untuk
menyampaikan suatu maksud atau kepentingan atas pesan yang ingin
disampaikan. Fotografi sebagai bagian dari media komunikasi erat kaitannya
dalam menjalankan berbagai peran untuk menciptakan suatu berita maupun
informasi yang berguna bagi khalayak umum. Sebuah foto dapat merekam suatu
kejadian maupun peristiwa yang terjadi begitu cepat dan terkadang tidak dapat
terulang kembali.
Fotografi telah menjadi sarana komunikasi yang sangat kuat nilainya serta
sebagai mode ekspresi visual yang menyentuh kehidupan manusia dalam banyak
hal. Pada dasarnya tujuan dan hakikat fotografi adalah komunikasi. Komunikasi
yang dimaksud adalah komunikasi antara fotografer dengan penikmatnya, yaitu
fotografer sebagai pengantar atau perekam peristiwa untuk disajikan kehadapan
khalayak ramai melalui media foto.
28
Lahirnya fotografi tidak dapat dilepaskan dari peran fisikawan muslim
yaitu Ibnu Al-Haitham yang juga sebagai penemu dari lensa. Lensa tersebut
merupakan benda yang terbuat dari kaca yang mampu membiaskan ataupun juga
memfokuskan cahaya pada jarak tertentu.
Howard R Turner dalam bukunya “Science in Medieval Islam”
menyebutkan bahwa ilmu optik merupakan penemuan ilmiah para sarjana muslim
yang paling orisinil dan penting dalam sejarah Islam. Selain itu, Abu Ali Al-
Hasan Ibnu Al-Haitham yang lahir di Basra, Persia (965-1039M), tercatat dalam
sejarah dunia sebagai Bapak Ilmu Optik.21
Berawal dari Ibnu Haitham pada abad ke-10 Masehi yang sedang dalam
perjalanan mengembara, kemudian dia melihat bayangan yang terproyeksi dari
lubang kecil ke dalam tendanya. Kejadian tersebut merupakan cikal bakal lahirnya
kamera obscura (kamar gelap) yang merupakan prototipe dari kamera yang kita
kenal sekarang ini.
Dalam buku “The History of Photography” karya Alma Davenport (1991),
disebutkan bahwa pada abad ke-5 Sebelum Masehi (SM), seorang lelaki
kebangsaan Cina bernama Mo Ti telah mengamati sebuah gejala fotografi serupa
dengan apa yang dialami oleh Ibnu Al-Haitham tersebut.22
Istilah fotografi pertama kali dikemukakan oleh seorang ilmuwan Inggris,
Sir John Herscell pada tahun 1839. Kata fotografi (Inggris: Photography;
Belanda: Fotografic) berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata phos yang artinya
21 Ferry Irawan, Dunia dalam Bingkai, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 3. 22 Ibid., h. 5.
29
cahaya dan graph yang berarti menulis atau menggambar. Jadi secara harfiah,
fotografi berarti menggambar dengan bantuan cahaya.23
Secara harfiah fotografi memiliki makna mencatat atau melukis dengan
sinar atau cahaya. Pada awalnya fotografi dikenal dengan lukisan matahari, karena
pada saat itu sinar matahari yang digunakan untuk menghasilkan gambar. Saat
ini, fotografi telah melekat erat dengan fungsi komunikasinya dan model ekspresi
visual yang menyentuh kethidupan manusia diberbagai bidang.24
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, fotografi merupakan seni dan
proses penghasilan gambar melalui cahaya pada film atau permukaan yang
dipekakan.25
Foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran
transmisi dan titik resepsi. Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang
terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks
tertulis, judul, keterangan, maupun artikel yang selalu mengiringi foto tersebut.
Dengan demikian, pesan keseluruhan dibentuk oleh kooperasi dua struktur yang
berbeda.26
Menurut Suleiman:
Fotografi (photography) adalah pekerjaan membuat gambar dengan cahaya ke atas bidang yang peka terhadap cahaya dan seterusnya
23 M. Mudaris, Jurnalistik Foto, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro,
1996), h. 7. 24 Agus Rusmana, Tanya Jawab Dasar-Dasar Fotografi, (Bandung: Penerbit Armico,
1981), h. 1. 25 Griand Giwanda, Panduan Praktis Belajar Fotografi, (Jakarta: Puspa Swara, 2001), h.
2. 26 Ajidarma Gumira Seno, Kisah Mata Fotografi, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h.
27.
30
menetapkan gambar itu dengan bahan kimia. Semua pekerjaan yang berhubungan dengan hal yang tersebut di atas seperti mencetak foto, membesarkan gambarnya dan lain-lain.27
Selain itu, peranan foto menurut Soelarko adalah:
Untuk dapat menangkap sebuah makna sesuatu foto, kita perlu meresapkan isi ceritanya (picture content) apakah mendukung suatu ‘message’, yang ingin disampaikan oleh pemotretnya kepada pengamat foto. Memahami isi berita suatu foto umumnya tidak begitu sulit, dengan adanya caption atau keterangan singkat dari peristiwanya, dan dimana serta kejadian itu terjadi. Tetapi peristiwa itu sendiri dapat mengandung lambang, yang memancarkan di luar konteks tempat dan waktu, hingga berlaku bagi zamannya.28
Foto menurut The World Book Dictionary, gambar yang dibuat dengan
kamera foto adalah hasil dari kekuatan cahaya sinar yang dipantulkan oleh benda
yang masuk melalui lensa kamera ke dalam film dan menyebar di atas permukaan
cermin, kertas, seluloida atau metal.29
Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk
menghasilkan gambar atau foto dari suatu objek dengan merekam pantulan cahaya
yang mengenai objek foto tersebut pada media yang peka terhadap cahaya. Alat
paling populer dan biasa digunakan untuk menangkap cahaya ini adalah kamera.
Jadi dapat dikatakan bahwa bila tidak terdapat cahaya, maka tidak ada foto yang
bisa dihasilkan.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kegiatan fotografi merupakan
kegiatan menghentikan waktu untuk merekam, menangkap atau mengabadikan
situasi tertentu melalui bantuan cahaya sebagai media untuk menjadi wujud
27 Amir Hamzah Suleiman, Petunjuk Untuk Memotret, (Jakarta: PT. Gramedia, 1977), h. 1.
28 R.M Soelarko, Pengantar Foto Jurnalistik, (Bandung: PT. Karya Nusantara, 1985),h. 204.
29 Clarence L. Barnhart, The Wolrd Book Dictionary, (Chicago: Field Enterprises Education Corporation, 1972), h. 1553.
31
dimensi atau biasa disebut foto. Melalui bantuan bahan yang peka terhadap
cahaya (kertas dan film) mengubahnya menjadi monochrome (hitam putih)
ataupun berwarna foto tersebut dapat terproses dengan baik. Jadi, sebuah foto
merupakan gambaran terhadap suatu peristiwa yang didapatkan dari satu atau
serangkaian gerak.
Fotografi pun erat kaitannya dengan bidang seni rupa, selain dikarenakan
arti harfiahnya yaitu melukis atau menulis dengan cahaya, juga dalam proses
perekaman momentum dalam satu bingkai (frame) terdapat suatu cita rasa estetis
dari si fotografer yang khas dan erat kaitannya dengan nilai seni. Nilai seni
tersebut tidak lepas dari hasrat yang terkandung ketika si pemotret mengeksekusi
sebuah karya fotografi.
Henry Cartier-Bresson, seorang pelukis dan fotografer kebangsaan
Perancis yang juga mendirikan sebuah agen foto Internasional yang bernama
Magnum Photo, mengemukakan teori dalam fotografi yang terkenal yaitu
dessesive moment. Teori tersebut mengatakan bahwa saat mata, hati dan pikiran
melebur ketika menekan shutter kamera (tombol untuk menangkap objek) untuk
merekam sebuah objek. Dalam hal ini, selain penguasaan teknis operasional
kamera secara tepat, juga dibutuhkan sentuhan nilai estetis ketika menyusun
komposisi yang baik untuk menghasilkan sebuah karya foto yang bernilai seni
tinggi.
32
2. Sejarah Perkembangan Fotografi
a. Sejarah Fotografi di Dunia
Berawal dari peristiwa masuknya cahaya ke sebuah lobang yang terdapat
pada tenda fisikawan Irak yang bernama Ibnu Al-Haitham ketika dia berkelana ke
suatu tempat. Berkas cahaya tersebut memproyeksikan bayangan yang terdapat di
dalam tenda tersebut. Proses yang terjadi tanpa di konstruksi sebelumnya ini
menjadi awal lahirnya kamera obskura.
Keberadaan kamera pada awalnya memiliki bobot yang besar yaitu
berupa kamar yang cukup besar serta kedap terhadap cahaya. Pada salah satu
sisinya di bagian tengah terdapat lubang kecil seukuran jarum atau dikenal dengan
pin hole yang berfungsi sebagai tempat untuk masuknya cahaya sehingga
terproyeksi pada bidang lain di sisi lainnya. Selain ukuran kamera yang cukup
besar, kamera ini pun memiliki hasil akhir yang kurang jelas dan terkesan samar,
sehingga keberadaan kamera ini kurang diminati pada zamannya. Di sisi lain,
keberadaan kamera ini untuk mempermudah proses menggambar yang masih
dilakukan secara manual.
Selanjutnya seorang pelukis maestro dan juga ilmuwan yaitu Leonardo Da
Vinci yang namanya terkenal hingga kini karena menciptakan lukisan yang
fenomenal dan bernilai seni tinggi, sekitar pada akhir abad ke-15 Da Vinci
menggambar rincian sistem kerja alat yang menjadi asal muasal kata “kamera”
dan mulai menyempurnaknnya. Terdapat pengembangan secara signifikan
terhadap sistem kamera yang telah ada sebelumnya. Pada saat itu pengembangan
33
teknologi yang dilakukan yaitu penerapan sistem refleksi dan penggunaan lensa
sederhana yang berguna untuk memproyeksikan cahaya sebagai objek foto.
Cahaya yang masuk ke dalam kotak kemudian dipantulkan oleh cermin ke kain
tipis sebagai wadah penyimpan gambar yang terletak di atas permukaan kotak.
Kamera hasil temuan Da Vinci ini belum menggunakan proses kimiawi sebagai
media penghasil gambar, karena kamera ini hanyalah alat bantu bagi pelukis
naturalis dan realis untuk membuat sketsa lukisan.30
Beranjak dari tangan seorang maestro lukis, kemudian perlahan namun
pasti teknologi kamera mulai berkembang dibeberapa alat penunjang fotografi.
Penemuan lensa pada tahun 1550 dan sistem cetak dengan proses kimiawi pada
era 1826-1835 pun membawa teknologi fotografi sampai pada tahapan moderen.
Penyempurnaan kamera hingga sampai pada teknologi yang kita kenal saat
ini melalui proses yang panjang. Fotografi moderen kian diminati dibanding
fotografi pada saat awal kamera ditemukan dahulu. Tercatat dua nama tokoh besar
sebagai Bapak fotografi moderen, yaitu William Henry Fox Talbot (1800-1877)
dari Inggris yang memperkenalkan proses negatif-positif yang diberi nama proses
“Calotype” atau “Talbotype” – yang kita kenal sekarang ini dengan film.31
Kemudian Louis-Jacques Mande’ Daguerre (1787-1851) seorang perancang
panggung yang juga pelukis asal Perancis yang mengembangkan emulsi basahnya
yang diberi nama proses “Daguerreotype”.32
30 Darmawan, Dunia dalam Bingkai, h. 5. 31 Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2007), h. 61. 32 Ibid., h. 63.
34
Sejarah mencatat foto pertama di dunia yaitu hasil eksperimen karya
seorang seorang veteran Perancis yang bernama Joseph Nicephore Niepce pada
tahun 1826. Dia menggunakan kamera obskura dan plat logam yang dilapisi aspal
Bitumen Judea untuk memotret pemandangan dari jendela rumahnya yang
memakan waktu dalam menangkap gambar hingga 8 jam. Kemudian proses
temuannya ini diberi nama “Heliogravure” dan karya fotonya diberi judul “View
from the Window at Le Gras” yang dinobatkan sebagai foto pertama di dunia ini.
Kini karya tersebut tersimpan di University of Texas, Austin, Amerika Serikat.33
b. Sejarah Fotografi di Indonesia
Pada awalnya fotografi di Indonesia hanya digunakan oleh para ilmuwan
dari negara-negara kolonial sebagai pelengkap data yang berfungsi untuk memberi
gambaran visual secara jelas kehidupan masyarakat dari bangsa yang akan mereka
jajah. Melalui gambaran visual, data tentang potensi dan kondisi geografis tanah
jajahan terlihat lebih rinci.
Tercatat pada tahun 1841, Juarian Munich seorang pegawai kesehatan
Belanda mendapat perintah dari kementerian kolonial untuk berlayar ke Batavia
(Jakarta) dengan membawa daguerreotype. Tujuam dari berlayar tersebut guna
untuk mengabadikan tanaman-tanaman serta mengumpulkan informasi mengenai
kondisi alam di daerah tersebut.
Melalui peran dari kaum kolonialisme yang menjajah Indonesia pada saat
itu, fotografi mulai masuk seiring dengan pesatnya kedatangan bangsa asing untuk
33 Darmawan, Dunia dalam Bingkai, h. 6.
35
menguasai Indonesia. Walaupun keberadaan fotografi di Indonesia sudah cukup
lama, namun pada masa penjajahan sedikit fotografer lokal yang lahir. Hal
tersebut dikarenakan kolonial Belanda tidak mempercayai proses pemotretan pada
penduduk Indonesia. Selain itu, pada saat tersebut harga kamera terbilang mahal,
sehingga penduduk asli Indonesia sulit untuk memilikinya.
Fotografer pribumi pertama yang tercatat dalam sejarah yaitu Kasian
Cephas. Pria kelahiran Yogyakarta, 15 Februari 1844 ini adalah penduduk asli
Indonesia yang diangkat sebagai anak oleh pasangan berkewarganegaraan
Belanda yaitu Adrianus Schalk dan Eta Philipina Kreeft. Setelah diangkat sebagai
anaknya, kemudian Cephas disekolahkan di Belanda. Setelah beberapa lama,
Cephas hadir di dunia fotografi dan direkrut sebagai fotografer Keraton
Yogyakarta pada era Sri Sultan Hamengkubuwono ke-VII. Foto tertua Cephas
yang ditemukan adalah karyanya yang dibuat pada tahun 1875.
Masuknya Jepang pada tahun 1942 merupakan periode baru dalam sejarah
perkembangan fotografi di Indonesia. Jepang yang menduduki Kantor Berita
Antara pada masa penjajahannya kemudian mengganti nama Kantor Berita Antara
menjadi Domei. Penguasaan Kantor Berita Antara membawa dampak banyak
warga Indonesia yang dilatih dalam hal pemberitaan, dalam hal ini terkait masalah
fotografi. Pelatihan tersebut tidak lain dan tidak bukan bertujuan untuk kebutuhan
propaganda dari Jepang itu sendiri.
Begitu banyak tipe kamera yang diproduksi dari negara Jepang membawa
angin segar dalam kepemilikan kamera. Kamera mulai dimiliki oleh penduduk
36
pribumi, walaupun harganya masih terbilang mahal namun sudah membumi di
Indonesia pada saat itu.
Kemunculan kakak beradik yang bernama Alex Mendur dan Frans Mendur
membawa perkembangan fotografi Indonesia ke arah yang lebih pesat. Mereka
berdua mulai merintis serta memposisikan fotografer pribumi sejajar dengan
fotografer dari bangsa lain. Mendur bersaudara ini memilih untuk berindependen
dalam menciptakan karya fotografinya. Banyak karya foto dari kakak beradik ini
yang bertemakan Indonesia pada saat merdeka.
c. Aliran dalam Fotografi
Foto merupakan sinonim potret. Arti harfiahnya ialah gambar yang dibuat
dengan kamera dan peralatan fotografi lainnya. Fotografi dapat menjadi media
komunikasi. Foto harus dibedakan menjadi banyak kategori dengan tujuan untuk
mempermudah pembuatan dan pemanfaatannya, sesuai dengan standar kualitas
bagi masing-masing keperluan.34
Aliran fotografi dalam hal ini bukanlah penganut paham tertentu,
melainkan menilik fotografi dari ragam dan karakternya, serta penggunaan dari
foto tersebut diperuntukan. Dilihat dari jenis-jenis foto yang berkembang, terdapat
karakter menonjol dan khas yang dapat terpantau secara kasat mata serta
membedakan jenis foto tertentu dengan jenis lainnya, hal ini dikarenakan oleh
kayanya ragam dalam kajian seni visual yang telah diawali oleh kaka kandung
fotografi, yaitu seni lukis.
34 F. Rahardi, Panduan Lengkap Menulis Artikel, Features, (Depok: Kawan Pustaka,
2006), h. 83.
37
Terdapat beberapa aliran dalam fotografi, antara lain:
1. Fine Art Photography
Fine Art dikenal juga dengan aliran fotografi seni murni. Karena
merupakan sebuah karya seni, maka tidak terdapat aturan baku dalam
aliran ini. Perkembangannya mengikuti arus perubahan budaya seni yang
sedang berkembang. Jika dilihat dari subjek fotonya pun beragam dan tak
terbatas, nilainya sangat erat dengan subjektivitas sang fotografer.
2. Landscape Photography
Landscape photography merupakan salah satu aliran foto yang
paling populer. Ragam foto yang menampilkan keindahan alam ini banyak
diminati, karena foto pemandangan alam (landscape) mudah dicerna dan
dinikmati oleh berbagai kalangan.
3. Portraiture Photography
Foto portraiture menampilkan manusia sebagai subjek utamanya.
Poin utama dari aliran foto ini adalah kemampuannya untuk
menggambarkan karakter seseorang dalam sebuah gambar. Terkadang foto
portraiture tampil dengan natural, namun karakter tokoh utamanya tetap
nampak secara jelas.
38
4. Documentary Photography
Foto dokumenter merupakan cikal bakal dari keberadaan fotografi
pada saat ini. Fungsinya sebagai pencatat berbagai hal yang penting serta
saksi visual kehidupan dan budaya suatu masyarakat merupakan tujuan
awal foto dokumenter. Kini keberadaan foto dokumenter sangat erat
kaitannya pada kehidupan masyarakat. Setiap peristiwa yang terjadi
disekeliling kita dapat segera diabadikan dengan tujuan dokumentasi.
5. Street Photography
Street photography atau fotografi jalanan merupakan aliran foto
yang berkembang seiring dengan pertumbuhan budaya akibat arus
urbanisasi. Aliran foto ini kerap menampilkan tingkah laku para pekerja di
dunia perkotaan dengan mengambil sudut pemotretan di suatu jalan.
6. Comercial Photography
Foto komersial merupakan aliran dalam fotografi yang
mengkhususkan pekerjaannya untuk bidang komersial, seperti foto iklan
maupun foto untuk suatu produk. Foto yang ditampilkan sesuai dengan
produk yang akan diikalankan dikemudian hari.
7. Still-Live Photography
Aliran fotografi ini secara khas memotret benda-benda yang mati.
Walaupun subjek fotonya merupakan benda mati, namun foto-foto yang
dihasilkan terkesan hidup. Hal tersebut berkaitan dengan keahlian
39
fotografer dalam membuat sifat maupun karakter dari benda tersebut yang
akan ditonjolkan.
8. Wild-Life Photography
Aliran foto ini mendokumentasikan berbagai hal yang berkaitan
dengan alam bebas. Foto-foto tersebut kerap menampilkan objek yaitu
binatang-binatang liar yang ada di alam semesta ini.
9. Journalism Photography
Foto jurnalistik merupakan foto yang ditampilkan dalam surat
kabar ataupun koran. Keberadaan foto jurnalistik harus sesuai dengan
kaidah jurnalistik yang berlaku, yaitu dalam foto tersebut memuat
informasi dalam bentuk 5W+1H (what, who, when, where, why + how).
Sekalipun suatu foto tersebut tidak memuat informasi yang padat, namun
kerap ditambahkan caption maupun artikel berita untuk mendukung
informasi foto tersebut.
3. Foto Berita
Tidak ubahnya berita tertulis, foto berita memiliki daya pikat tersendiri
bagi khalayak pembaca surat kabar. Kehadiran foto berita senantiasa melengkapi
suatu artikel berita tertulis yang disajikan dan dibungkus berdasarkan peristiwa
yang sedang hangat dibicarakan di khalayak umum. Terkadang khalayak lebih
menikmati tampilan foto yang disajikan dalam berita tersebut, ketimbang artikel
40
berita yang menyertainya. Atas dasar hal tersebut, keberadaan foto berita
merupakan suatu hal yang penting dalam suatu berita tertulis.
Foto berita menurut Arthur Rothstein ialah berita dalam bentuk gambar
secara cepat dan efisien mengenai kejadian-kejadian yang penting dan dramatis.
Tujuan foto berita dibuat untuk dipublikasikan secara single picture, langsung,
terus terang, faktual dan realistis, tentang peristiwa yang menarik perhatian
umum, tentang tokoh-tokoh terkemuka, peristiwa-peristiwa olahraga dan
sebagainya.35
Sementara Ed Zoelverdi mengemukakan bahwa foto berita ialah tidak lain
dari sebuah berita yang disajikan dalam bentuk foto. Bisa sebagai pendamping
tulisan, bisa pula secara tunggal dengan tulisan minim pendampingnya.36
Dalam suatu berita tertulis, keberadaan foto yang terkait berita tersebut
berguna sebagai pelengkap informasi bagi khalayak pembaca. Selain itu, foto
berita dapat membuat mata pembaca lebih segar karena tidak melulu disajikan
berita tertulis. Sifat foto yang dapat dicerna secara langsung tanpa harus melihat
secara detail membuat banyak pembaca koran maupun surat kabar yang tidak
harus berfikir secara mendalam utnuk memahami suatu peristiwa yang disajikan
pada suatu koran.
Foto berita yang baik memiliki keterkaitan isi dengan berita yang
ditampilkan. Elemen-elemen yang ditampilkan dalam foto berita hendaknya
mudah dipahami oleh pembaca media, sehingga tidak tercipta sikap ambigu dari
35 M. Mudaris, Jurnalistik Foto, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, 1996), h. 54-55.
36 Ed Zoelverdi, Mat Kodak, (Jakarta: PT. Temprint, 1985), h. 11.
41
pembaca media tersebut. Sejatinya foto berita menggambarkan suatu peristiwa
dengan membungkusnya berdasarkan teori 5W 1H (what, who, when, where, why
dan how). Namun apabila foto berita tersebut kurang lengkap identitasnya, dapat
pula dibantu dengan caption ataupun naskah berita yang tersaji.
Foto berita ialah dibuat oleh seorang wartawan foto, dengan menggunakan
kamera foto, berupa gambar. Disusun berdasarkan kaidah-kaidah fotografi serta
kaidah-kaidah jurnalistik. Foto berita adalah fakta objektif karena kamera foto
tidak dapat berbohong dalam memuat gambar.37 Foto berita adalah dokumen kuat
karena pembaca akan percaya bila sudah benar-benar melihat gambarnya.
Syarat sebuah foto berita yang berhasil adalah foto berita harus mampu
menyajikan beritanya dengan kekayaan detail gambar yang dengan mudah dapat
dikenali (prinsip originalitas harus dipertahankan). Selain itu, foto berita harus
benar-benar terjadi karena bila terjadi pemalsuan dalam jangka waktu tertentu
dapat terjadi penolakan (prinsip dapat dipercaya harus diperhatikan).
Tidak dapat dipungkiri, hadirnya foto berita merupakan anak cabang dari
foto jurnalistik itu sendiri. Foto berita diatur atas dasar pakem-pakem yang diserap
dari kaidah jurnalistik yang berlaku. Singkatnya, foto berita merupakan hasil kerja
dari para pewarta foto jurnalistik dalam melaporkan mengenai peristiwa terjadi di
wilayah peliputannya.
Penemuan istilah jurnalistik foto (photojournalism) didedikasikan untuk
Cliff Edom (1907-1991), dosen Universitas Missouri Sekolah Ilmu Jurnalistik
selama 29 tahun. Edom mendirikan workshop jurnalistik foto pertamanya di
37 Ibid., h. 55-56.
42
universitas tersebut pada tahun 1946. Adapula yang mengatakan bahwa istilah
tersebut ditemukan oleh Frank Mott, dekan di universitas yang sama, di mana dia
juga membantu mendirikan program pendidikan jurnalistik foto pada tahun
1942.38
Usia foto jurnalistik lebih muda dibanding jurnalistik tulis. Hal tersebut
dikarenakan peralatan fotografi ditemukan jauh sesudah peralatan tulis ditemukan.
Selain itu setelah fotografi ditemukan pun teknologi percetakan belum bisa
membawa foto ke surat kabar. Atas dasar hal itu, foto sebuah kejadian diberitakan
dengan cara digambar ulang dengan sketsa.
Foto jurnalistik menurut M. Mudaris ialah pengetahuan jurnalistik yang
objeknya foto. Kemudian jurnalistik foto dapat dikatakan sebagai kegiatan
mengumpulkan, menyiapkan dan menyebarkan foto melalui media massa. Foto
yang disebarkan atau dimuat di dalam media massa itulah yang disebut dengan
foto jurnalistik. Foto jurnalistik pada dasarnya merupakan foto biasa namun
bernilai jurnalistik, yaitu mengandung pesan berupa berita biasa tentang kejadian
sehari-hari (news), berita olahraga (sport) ataupun berita ringan tentang
kemanusiaan (human interest).
Selain itu, menurut Wilson Hicks foto jurnalistik ialah kombinasi dari kata
dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan
antara latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya. Dilihat dari sisi
fungsinya, kata Emery, seperti halnya kata-kata, foto jurnalistik berfungsi untuk
menginformasikan (to inform), meyakinkan (to persuade), dan menghibur (to
38 Darmawan, Dunia dalam Bingkai, h. 163.
43
entertain), para pemakai media tersebut. Jadi, foto itu sendiri merupakan pesan
yang dapat meyakinkan dan menghibur.39
Dalam dunia jurnalistik, foto merupakan kebutuhan yang vital, sebab foto
merupakan salah satu daya pikat bagi para pembacanya. Jurnalistik foto memiliki
syarat seperti jurnalistik tulis, yang membedakan hanyalah foto yang
menyertainya. Pada foto, peristiwa yang tidak dapat diuraikan dengan kata-kata
akan lebih mudah dicerna dengan keberadaan foto yang mendukung peristiwa
tersebut. Selain itu, foto pun dapat ditampilkan secara lebih dramatis, sehingga
tidak heran jikalau terbentuk persepsi yang berbeda di antara penikmat foto
tersebut.
Menurut Oscar Matuloh mengenai foto jurnalistik:
Seorang jurnalis foto tidak sekedar menampilkan kekerasan dan darah tetapi juga merekam peristiwa-peristiwa di sekitar kita yang menarik untuk diabadikan. Foto jurnalistik dan foto dokumentasi mempunyai dasar yang sama, keduanya berdasarkan realitas kehidupan. Keduanya hanya dibatasi oleh suatu garis yang tipis yaitu dipublikasikan atau tidak.40
Foto jurnalistik merupakan bagian dari komunikasi massa, adapun yang
membedakan sebuah foto sehingga dapat dikategorikan sebagai hasil karya foto
jurnalistik yaitu, foto jurnalistik di dalamnya mengandung unsur-unsur berita dan
juga mencantumkan keterangan foto yang mengandung informasi 5W+1H. Frank
P. Hoy “Photojournalism The Visual Approach” menyebutkan terdapat 8 karakter
dalam foto jurnalistik, yaitu:41
39 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, (Ciputat: PT. Logos
Wacana Ilmu, 1999), h. 120. 40 Darmawan, Dunia dalam Bingkai, h. 162. 41 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT.Bumu Aksara, 2004), h.5
44
a. Foto jurnalistik adalah kombinasi melalui foto. Komunikasi yang
dilakukan akan mengekspresikan pandangan wartawan foto terhadap suatu
subjek, tetapi pesan yang disampaikan bukan merupakan ekspresi pribadi.
b. Medium foto jurnalistik adalah media koran atau majalah, dan media kabel
atau satelit juga internet seperti kantor berita (wire services).
c. Kegiatan foto jurnalistik adalah melaporkan berita.
d. Foto jurnalistik adalah panduan dari foto dan teks.
e. Foto jurnalistik merupakan hasil kerja editor foto.
f. Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak penyampaian
informasi kepada sesama, sesuai amandemen kebebasan berbicara dan
kebebasan pers (freedom of speech ang freedom of press).
g. Foto jurnalistik mengacu pada manusia. Manusia adalah subjek sekaligus
pembaca foto jurnalistik.
h. Foto jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak (mass
audiences). Ini berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan harus
segera diterima orang yang beraneka ragam.
Foto jurnalistik harus memenuhi nilai berita, nilai berita yang dimaksud
antara lain:
1. aktual,
2. kejadian luar biasa,
3. peristiwa penting,
4. mengandung unsur ketokohan,
5. bersifat universal,
6. berkaitan dengan kemanusiaan, dan
45
7. memiliki kedekatan dengan pembaca.
World Press Photo, organisasi foto jurnalis berskala Internasional yang
kerap menjadi acuan para fotografer dunia mengkategorikan beberapa jenis foto
berita, antara lain:
a) Spot Photo
Jenis foto ini dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal. Semisal foto
bencana alam, kebakaran, kecelakaan dan lain sebagainya. Foto jenis
seperti ini harus segera disiarkan karena merupakan sesuatu yang up to
date.
b) General News Photo
Foto yang diabadikan dalam jenis foto ini yaitu peristiwa yang terjadwal,
rutin dan terkesan biasa. Temanya bisa bermacam-macam, seperti politik,
ekonomi, hukum dan humor.
c) People in The News Photo
Jenis foto ini adalah foto yang berisi mengenai orang atau masyarakat
dalam suatu berita. Pribadi atau sosok seseorang yang dianggap penting
akan hadir dalam jenis foto ini.
d) Daily Life Photo
Foto yang berisi mengenai kehidupan sehari-hari manusia yang dipandang
dari segi kemanusiaannya (human interest).
46
e) Portrait
Adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close up dan
terkesan “narsis”. Foto tersebut ditampilkan atas dasar adanya kekhasan
pada wajah serta perawakan yang dimiliki si objek foto tersebut.
f) Sport Photo
Foto yang berisikan segalah hal mengenai peristiwa olahraga.
g) Science and Technology Photo
Foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa mengenai ilmu pengetahuan
dan juga teknologi.
h) Art and Culture Photo
Foto yang berisikan segala hal mengenai peristiwa seni dan juga budaya.
i) Social and Environment
Foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan hidupnya.
Untuk memenuhi kebutuhan terhadap pemberitaannya serta penyajiannya,
foto berita terbagi menjadi dua, yaitu foto tunggal (single photo) dan foto seri
(storie photo).
1) Foto Tunggal
Foto tunggal adalah foto yang memiliki informasi yang cukup lengkap dan
lugas secara visual sehingga berdiri sendiri tanpa perlu diperkuat oleh
kehadiran foto lainnya.
47
2) Foto Seri
Foto seri merupakan rangkaian beberapa foto yang membangun sebuah
cerita. Foto seri biasanya digunakan untuk memberikan gambaran
menyeluruh dan lengkap tentang suatu peristiwa. Dalam foto seri terdapat
tiga bagian foto, yaitu:
i. Foto pembuka, berfungsi sebagai pengantar untuk memasuki suatu
cerita. Biasanya menampilkan foto yang unik dan menarik.
ii. Foto isi, adalah foto yang mengandung konten utama dari peristiwa
yang hendak diceritakan.
iii. Foto penutup, merupakan foto yang menutupi cerita tersebut. Bisa
berbentuk foto konklusi, klimaks ataupun anti klimaks peristiwa
tersebut.
C. Ibadah Haji
1. Pengertian Ibadah Haji
Ibadah haji diwajibkan Allah SWT atas setiap umat Islam yang mampu,
berdasarkan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 97, yaitu:
و هللا على ا لنا س حج البیت من ا ستطا ع ا لیھ سبیال
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”
Ibadah haji merupakan perintah dari Allah SWT bagi para umatnya yang
mampu untuk melakukannya. Adapun pengertian haji ialah berkunjung ke
Baitullah (Ka’bah) untuk beribadah kepada Allah SWT dengan syarat-syarat dan
48
rukun-rukun serta beberapa kewajiban tertentu dan dilaksanakan dalam waktu
tertentu. Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima setelah mengucap dua kalimat
syahadat, sholat, puasa serta zakat.42
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian haji adalah
orang yang berziarah ke Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.43
Setiap ibadah yang dilakukan umat Islam mengandung keistimewaan.
Demikian pula dengan ibadah haji ini, Allah menyebutkan keistimewaan ibadah-
ibadah tersebut secara khusus. Termasuk ibadah haji, bagi kaum muslim yang
ingin berhaji dibutuhkan usaha yang tidak ringan. Dimulai dari biaya sampai pada
faktor fisik yang harus dipersiapkan untuk melaksamakam serangkaian ibadah
haji.
Ibadah haji menjadi istimewa karena merupakan salah satu perintah Allah
yang harus dikerjakan kaum muslimin pada waktu dan tempat yang ditentukan.
Haji termasuk dari rukun Islam yang menjadi sendi agama. Bahkan ibadah haji
merupakan klimaks atau puncak dari ibadah kepada Allah. Tanpa adanya salah
satu ibadah tersebut maka akan hancurlah bangunan Islam seseorang.44
Tujuan setiap makhluk Allah dalam melakukan ibadah haji tidak lain dan
tidak bukan untuk menyembah Allah SWT, memperhambakan diri kepada-Nya,
mematuhi perintah-Nya serta semata-mata mengharap ridho Allah SWT. Namun
sering pula kita jumpai bahwa jamaah melakukan serangkaian ibadah haji hanya
42 Nasaruddin Umar, Haji dan Umrah: ibadah, ziarah, wisata, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2009), h. 2.
43 Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya Karya, 2011), h. 160.
44 Miftah Faridl, Antar Aku ke Tanah Suci, (Jakarta: Gema Insani, 2007), h. 33.
49
untuk mengejar gelah Haji dan kemudian menyombongkan gelar tersebut ke karib
kerabatnya. Sungguh yang demikian bukanlah hal yang diajarkan dalam agama
Islam.
Bagi umat muslim, perjalanan ibadah haji bukanlah sekedar perjalanan
ibadah fisik semata, melainkan serangkaian perjalanan spiritual yang dapat
memberi pencerahan keagamaan bagi umat muslim yang melakukannya. Tidak
heran bahwa banyak pula jamaah haji yang mendapatkan pengalaman pribadi
berbentuk nilai positif maupun negatif atas cerminan perbuatan si jamaah tersebut
di dunia ini. Selain itu, ibadah haji pun merupakan perjalanan sosial budaya
karena dalam perjalanan ini setiap jamaah dari suatu negara bertemu dengan
jamaah dari negara lain yang notebennya memiliki karakter serta budaya yang
berbeda.
Melaksanakan ibadah haji hanya wajib dilakukan sekali seumur hidup.
Ibadah haji yang kedua atau seterusnya hukumnya sunah. Akan tetapi bagi mereka
yang bernazar untuk berhaji, maka wajib baginya untuk melaksanakan haji
tersebut.
Bagi mereka yang menunaikan ibadah haji secara benar dan ikhlas karena
Allah ta’ala, ganjaran yang luar biasa pun akan didapatkannya. Seperti halnya
puasa Ramadhan, meraka yang menyandang haji mabrur akan diampuni dan
dihapuskan segala dosanya yang telah lalu serta diberi hadiah surga oleh Allah di
akhirat kelak.45
45 Ibid., h. 6.
50
2. Latar Belakang Ibadah Haji
Penduduk Arab pada zaman jahiliah (zaman kebodohan) telah mengenal
ibadah haji ini atas warisan dari nenek moyangnya terdahulu. Akan tetapi banyak
ritual ibadah haji yang dilakukan perubahan dengan semena-mena. Perubahan
tersebut tentunya tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Namun
bentuk umum pelaksanaan ibadah haji masih tetap ada, seperti thawaf, sa'i, wukuf,
dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi
dengan syariat yang sebenarnya.
Kesemua hal tersebut memang cukup di luar nalar, maklum saja karena
pada zaman tersebut manusia berlaku sesuai kemauannya sendiri, tidak heran
jikalau dinakaman zaman tersebut dengan jahiliyah atau zaman kebodohan.
Selanjutnya Islam datang untuk memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap
menjalankan segala hal yang telah sesuai dengan petunjuk syara' (syariat),
tentunya yang telah diatur dalam Alquran dan sunnah Rasul.
Latar belakang ibadah haji ini juga didasarkan pada ibadah serupa yang
dilakukan oleh nabi-nabi dalam agama Islam, terutama nabi Ibrahim (nabinya
agama Tauhid). Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilakukan oleh
umat-umat sebelum nabi Ibarahim. Kemudian ritual sa'i, yakni berlari antara bukit
Shafa dan Marwah (daerah agak tinggi di sekitar Ka'bah yang sudah menjadi satu
kesatuan Masjid Al Haram, Makkah), juga didasarkan untuk mengenang ritual
istri kedua nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk anaknya nabi Ismail.
Sementara wukuf di Arafah merupakan ritual untuk mengenang tempat
51
bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu asal mula dari
kelahiran seluruh umat manusia.
Ibadah haji diwajibkan sejak tahun 9 Hijriyah atau 631 Masehi, ketika
umat muslim pertama kali beribadah haji dengan Abu Bakar Assidiq sebagai
amirul hajj (ketua rombongan). Rasulullah SAW sendiri baru melakukan
serangkaian ibadah haji pada tahun berikutnya, yaitu 10 Hijriyah atau 632
Masehi.46
3. Waktu Ibadah Haji
Berbeda dengan ibadah umrah yang dapat dilakukan kapan saja, ibadah
haji memiliki waktu khusus untuk melakukannya. Waktu melaksanakan ibadah
haji telah ditetapkan oleh firman Allah SWT yaitu dalam surah Al-Baqarah ayat
189 yang berbunyi:
یسئلو نك عن االھلة قل ھي موا قیت للنا س و الحج
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.”
Pada ayat lain yaitu surah Al-Baqarah ayat 197 disebutkan:
ا لحج اشھر معلو مت فمن فر ض فیھن الحج فال رفث و ال فسوق و ال جد ا ل في الحج
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan melaksanakan ibadah haji maka tidak boleh rafats (berkata-kata kotor), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa melaksanakan ibadah haji.”
46 Umar, Haji dan Umrah: ibadah, ziarah, wisata, h. 4.
52
Ulama telah sependapat bahwa yang dimaksud bulan-bulan haji itu terdiri
dari bulan Syawal, bulan Zulkaidah, dan 10 hari di bulan Zulhijjah. Namun
demikian, pelaksanaan inti dari ibadah haji terletak pada bulan Zulhijjah. Pada
bulan Syawal serta bulan Zulkaidah dinamakan bulan haji dikarenakan pada bulan
tersebut prosesi keberangkatan jamaah haji telah dilakukan dari negara masing-
masing jamaah haji. Selain itu, banyak ibadah sunnah haji yang telah dapat
dilakukan semenjak jamaah haji tiba di Tanah Suci.
4. Syarat, Rukun, dan Wajib Haji
Syarat haji adalah sejumlah ketentuan yang terdapat pada diri seseorang
sehingga ia terkena kewajiban untuk beribadah haji. Syarat-syarat haji adalah:47
a. Islam
b. Baligh (dewasa)
c. Akil (berakal sehat)
d. Merdeka (bukan hamba sahaya atau budak)
e. Istitha’ah (mampu), yaitu mampu melaksanakan ibadah haji yang ditinjau
dari segi:
1. Jasmani, yaitu sehat dan kuat sehingga tidak sulit melakukan
serangkaian ibadah haji.
2. Rohani, yaitu mengetahui dan memahami manasik haji, berakal sehat,
dan memiliki kesiapan mental untuk melakukan ibadah haji dengan
perjalanan yang jauh.
47 Ibid., h. 5.
53
3. Ekonomi, yaitu mampu membayar Biaya Penyelenggaraan Ibadah
Haji (BPIH). BPIH bukan berasal dari penjualan satu-satunya harta
yang dimiliki dan apabila dijual menyebabkan kemudaratan bagi diri
maupun keluarga. Calon haji memiliki biaya hidup bagi keluarga yang
ditinggalkan.
4. Keamanan, yaitu aman dalam perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji,
aman pula bagi keluarga serta harta benda dan juga tugas serta
tanggung jawab yang ditinggalkan.
Rukun haji merupakan perbuatan-perbuatan yang wajib dilakukan selama
dalam masa melaksanakan ibadah haji. Kesemua rukun haji harus dilaksanakan,
satu saja terdapat rukun haji yang lalai dilaksanakan maka haji tersebut tidak sah
hukumnya.
Rukun haji tersebut antara lain:
a. Ihram
b. Wukuf di Arafah
c. Tawaf (tawaf ifadah)
d. Sai antara Safa dan Marwah
e. Mencukur rambut kepala (tahalul)
f. Tertib
Wajib haji merupakan serangkaian perbuatan yang harus dilakuakan dalam
melaksanakan ibadah haji. Perbedaan antara wajib haji dan rukun haji adalah jika
terdapat perbuatan dalam wajib haji yang tertinggal, maka ibadah haji tersebut
54
masih tetap sah secara hukum, namun orang yang meninggalkan suatu perbuatan
dalam wajib haji tersebut dikenai kewajiban membayar dam (denda).
5. Ihram
Secara bahasa, ihram bermakna mengikat atau menahan diri dari larangan-
larangan yang sebelumnya diperbolehkan. Dalam ilmu fikih, ihram berarti niat
untuk memulai mengerjakan ibadah haji atau umrah. Selama dalam keadaan ihram
seeorang diharamkan melakukan perbuatan yang sebelumnya dihalalkan. Apabila
seseorang telah mengucapkan niat haji ataupun umrah, maka pada saat itu telah
dimulai untuk melaksanakan haji atau umrah.
Terdapat tiga macam ihram, yaitu:
a. Ihram untuk haji ifrad (al-ifrad), yakni melakukan ihram untuk
mengerjakan ibadah haji terlebih dahulu. Umrah dilakukan setelah selesai
mengerjakan ibadah haji.
b. Ihram untuk haji tamatuk (at-tamattu’), yaitu niat melakukan umrah saja.
Haji dilaksanakan setelah umrah.
c. Ihram untuk haji qiran (al-qiran), yakni melaksanakan ibadah haji dan
umrah secara bersamaan.
Sunah ihram adalah memotong kuku, kumis, rambut ketiak, dan rambut
kemaluan; mandi; melakukan salat sunah ihram dua rakaat (sebelum ihram); dan
membaca talbiah, shalawat, serta istighfar (setelah ihram). Waktu untuk memulai
berihram menurut para ulama sejak tanggal 1 Syawal sampai terbit fajar pada
55
tanggal 10 Zulhijjah. Bagi siapa yang melaksanakan ihram tidak pada tanggal
tersebut, maka tidak mendapatkan haji.
Dalam praktiknya, banyak pula ibadah-ibadah sunnah yang dapat
dilakukan ketika melaksanakan ibadah haji. Setiap ibadah haji baik yang wajib
maupun yang sunah dilakukan harus dengan benar dan ikhlas karena Allah SWT.
Kesemua itu akan menjadi faktor ibadah haji seseorang dapat diterima atau tidak
oleh Allah SWT. Puncak tertinggi yakni haji yang mabrur akan mendapat
ganjaran surga di hari akhirat kelak.
56
BAB III
PROFIL HARIAN REPUBLIKA
A. Sejarah dan Perkembangan Harian Republika
Harian Republika diterbitkan atas kehendak mewujudkan media massa
yang mampu membawa bangsa menjadi lebih kritis dan berkualitas serta
memberikan informasi yang dapat membuka mata khalayak secara rasional.
Bangsa tersebut yakni yang mampu sederajat dengan bangsa yang maju lainnya di
dunia ini, memegang nilai-nilai spritual sebagai perwujudan Pancasila sebagai
filasafat bangsa, serta memiliki arah gerak seperti yang digariskan UUD1945.
Kehendak melahirkan masyarakat seperti itu searah dengan tujuan, cita-
cita dan program Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang dibentuk
pada 5 Desember 1990. Salah satu dari program ICMI yang disebarkan ke seluruh
Indonesia antara lain, mencerdaskan kehidupan bangsa melalui program
peningkatan 5K, yaitu kualitas iman, kualitas hidup, kualitas kerja, kualitas karya
dan kualitas pikir.1
Untuk mewujudkan tujuan, cita-cita serta program ICMI di atas, beberapa
tokoh pemerintah dan masyarakat yang berdedikasi serta berkomitmen pada
pembangunan bangsa dan masyarakat Indonesia yang juga beragama Islam,
membentuk yayasan Abdi Bangsa pada 17 Agustus 1992. Yayasan ini kemudian
menyusun tiga program utamanya, yaitu pengembangan Islamic Center,
pengembangan CIDES (Center for Information and Development Studies) serta
penerbitan harian umum Republika.
1 Company Profile Harian Republika
57
Harian umum Republika berdiri di bawah Yayasan Abdi Bangsa yang
terbentuk pada 17 Agustus 1992. Pendiri yayasan ini sebanyak 48 orang, terdiri
dari beberapa mantan menteri Negara cendikiawan, tokoh masyarakat serta
pengusaha. Mereka antara lain Ir. Drs. Ginanjar Kartasasmita, Haji Harmoko,
Ibnu Sutowo, Muhammad Hasan, Ibu Tien Soeharto, Probosutedjo, Ir. Aburizal
Bakrie, dan banyak lagi lainnya. Sedangkan Haji Muhammad Soeharto, Presiden
RI pada saat itu, berperan sebagai pelindung yayasan. Sementara Prof. Dr. Ing.
BJ. Habibie yang menjabat ketua umim ICMI pada saat itu dipercaya sebagai
ketua badan pembina yayasan Abdi Bangsa.2
Untuk mewujudkan programnya dalam menerbitkan sebuah koran harian,
pada 28 November 1992 Yayasan Abdi Bangsa mendirikan PT Abdi Bangsa.
Melalui proses sedemikan rupa, kemudian yayasan tersebut memperoleh SIUPP
(Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dari Departemen Penerangan Republik
Indonesia sebagai langkah awal penerbitan Harian Umum Republika. SIUPP itu
bernomor 283/SK/MENPEN/SIUPP/A.7/1992 tertanggal 19 Desember 1992.3
PT Abdi Bangsa, penerbit Harian Umum Republika, didirikan di Jakarta
pada 28 November 1992. Perusahaan yang berada di bawah Yayasan Abdi Bangsa
ini bergerak dalam bidang usaha penerbitan dan percetakan pers. Pengelolaan
perseroan dilakukan oleh Direksi di bawah Dewan Komisaris yang anggotanya
dipilih oleh rapat umum pemegang saham. Staf direksi dalam mengelola
perseroan dibantu oleh pembina manejemen.
2 Company Profile Harian Republika 3 Company Profile Harian Republika
58
PT Abdi Bangsa dalam upaya penggalangan dana sebagai modal untuk
mengembangkan usahanya yaitu dengan melakukan penjualan saham kepada
masyarakat. Penjualan saham dilakukan dengan cara berbeda dari kebiasaan jual
beli saham pada umumnya. Satu lembar saham hanya boleh dimiliki oleh satu
keluarga. Maka dalam menawarkan 2,9 juta lembar saham pada masyarakat,
berarti PT Abdi Bangsa akan dimiliki oleh 2,9 juta pada keluarga atau pemegang
saham.
Pencetus nama Republika sebagai harian umum yaitu Presiden Soeharto
yang pada saat itu beliau menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Gagasan
tersebut disampaikan pada saat beberapa pengurus ICMI pusat menghadap
padanya guna menyampaikan rencana peluncuran harian umum tersebut. Sebelum
tergagas nama Republika, harian umum ini akan diberi nama “Republik”.
Harian umum Republika merupakan sebuah koran harian berskala nasional
yang terlahir dari kalangan komunitas muslim bagi publik di Indonesia.
Penerbitan koran ini merupakan upaya bagi umat khususnya para wartawan muda
yang profesional untuk menembus ketatnya izin penerbitan pada masa itu.
Keberadaan harian umum Republika pada saat itu memberi warna lain pada surat
kabar berskala nasional yang pada umumnya membahas politik, ekonomi, sosial
dan budaya tanpa melandaskan ideologi Islam.
Harian umum Republika terbit perdana pada 4 Januari 1993. Pada masa
penerbitan perdana ini sebetulnya sangat sulit untuk mendapatkan izin
menerbitkan harian umum atau koran, namun berkat hasil dari keputusan ICMI
se-Indonesia inilah yang dapat menembus ketatnya barisan pemerintahan untuk
59
perizinan penerbitan. Penerbitan Republika menjadi suatu peningkatan bagi
masyarakat Indonesia khususnya umat Islam. Sebelum masa itu, aspirasi umat
tidak mendapatkan tempat dalam wacana nasional. Kehadiaran media ini tidak
hanya memberi saluran bagi inspirasi tersebut, namun juga menumbuhkan sikap
pluralisme informasi di masyarakat.4
Harian umum Republika dinobatkan sebagai media pertama yang
melakukan Cetak Jarak Jauh (CJJ) pada 17 Mei 1997 di Solo. Selain itu, beberapa
tahun sebelumnya tepatnya pada 17 Agustus 1995, bidang teknologi Republika
terbukti menjadi media pertama di Indonesia yang mengembangkan media online
(www.republika.co.id).
Dalam upaya meningkatkan kualitas dan mutu harian umum Republika
menjadi lebih akrab serta cerdas terhadap pembacanya, maka Republika
mengeluarkan rubrik khusus seperti pendidikan, probes, medika, otomotif,
belanja, keluarga dan juga ada dialog jum’at. Kesemua rubrik tersebut sangat
membantu pembaca dalam mendapatkan informasi yang diperlukan sesuai rubrik
yang diinginkan.
B. Motto serta Visi dan Misi Harian Republika
1. Motto Harian Umum Republika
Motto harian Republika yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”, hal itu
menunjukkan semangat mempersiapkan masyarakat dalam memasuki era baru.
Keterbukaan dan perubahan telah dimulai dan tak ada langkah untuk kembali, bila
kita memang bersepakat mencapai kemajuan. Meski demikian, mengupayakan
4 Ibid.
60
perubahan yang juga berarti pembaharuan harus menggangu stabilitas yang telah
susah payah dibangun.
Keberpihakan Republika terarah sebesar-besarnya untuk penduduk negeri
ini, yang mempersiapkan diri bagi seluruh dunia yang lebih baik dan adil. Media
massa, dengan Republika sebagai salah satu darinya hanya akan menjadi
penopang agar langkah itu bermanfaat bagi kesejahteraan bersama.
2. Visi Harian Umum Republika
Setiap media baik cetak maupun elektronik pastinya memilki visi dan misi
yang berbeda-beda sesuai ideologi dari masing-masing kantor berita tersebut. Dari
keberagaman visi serta misi yang dimiliki suatu harian umum maupun koran, akan
mambawa dampak beragammnya pula sudut pandang pada pemberitaan serta
fasilitas yang diberikan dari setiap harian umum maupun koran tersebut.
Visi dari harian Republika sendiri yaitu menjadi perusahaan media cetak
terpadu berskala nasional serta dikelola secara profesional berlandaskan Islami,
sehingga akan berpengaruh dalam proses pencerdasan bangsa, pengembangan
kebudayaan, serta peningkatan keimanan dan ketaqwaan dalam kehidupan
bermasyarakat di Indonesia ini.5 Kemudian menjadikan harian umum Republika
sebagai koran umat yang terpercaya serta mengedepankan nilai-nilai universal
yang sejuk, toleran, damai, cerdas dan profesional. Selain itu juga memiliki
prinsip dalam keterlibatannya menjaga persatuan bangsa dan kepentingan umat
Islam yang berdasarkan Rahmatan lil ‘alamin.
5 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical
Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik; Pengantar: Prof. Dr. Harsono Suwardi, MA. (Jakarta: Granit, 2004), h. 122.
61
3. Misi Harian Umum Republika
I. Politik
a. Mengembangkan demokratisasi
b. Optimalisasi peran lembaga-lembaga Negara
c. Mendorong pertisipasi politik semua lapisan masyarakat
d. Mengutamakan kejujuran dan moralitas dalam politik
e. Penghargaan terhadap hak-hak sipil
f. Mendorong terbentuknya pemerintahan yang bersih
II. Ekonomi
a. Mendukung keterbukaan dan demokrasi ekonomi
b. Profesionalisme mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan dalam
manajemen
c. Menekankan perlunya pemerataan sumber-sumber daya ekonomi
d. Mempromosikan prinsip-prinsip etika dan moralitas dalam
berbisnis
III. Budaya
a. Republika mendukung sikap yang terbuka dan apresiatif terhadap
bentuk-bentuk kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusian dari manapun datangnya
b. Mempromosikan bentuk-bentuk kesenian dan hiburan yang sehat
c. Mencerdaskan, menghaluskan perasaan, mempertajam kepekaan
nurani
62
d. Bersikap kritis terhadap bentuk-bentuk kebudayaan yang
cenderung mereduksi manusia dan mendangkalkan nilai-nilai
kemanusiaan.
IV. Agama
a. Republika mendororng sikap beragama yang terbuka sekaligur
kritis terhadap realita sosial ekonomi kontemporer
b. Mempromosikan semangat toleransi yang lurus
c. Mengembangkan penafsiran ajaran-ajaran ideal agama dalam
rangka mendapatkan pemahaman yang segar dan tajam, serta
mendorong pencarian titik temu di antara agama-agama.
d. Mendorong pencarian titik temu di antara agama-agama
V. Hukum
a. Mendorong terwujudnya masyarakat sadar hukum
b. Menjunjung tinggi supremasi hukum
c. Mengembang mekanisme check and balance terhadap pemerintah
dan masyarakat
d. Menjunjung tinggi HAM
e. Mendorong pemberantasan KKN secara tuntas
C. Target Audiens
Harian Umum Republika memiliki target dalam memasarkan serta
menyebarluaskan hasil pemberitaan kepada para pembaca setia harian tersebut.
Target audiens antara lain adalah pemeluk agama Islam dan juga pemeluk agama
lain, memiliki golongan profesional, manejer, eksekutif, pelajar dan juga
pengusaha dengan mengambil pasar berskala nasional. Pembaca harian
63
Republika untuk golongan pria muda umur 20-29 tahun berkisar 31% dan untuk
umur 30-39 tahun berkisar 39%. Adapula untuk golongan wanita muda umur 20-
29 tahun berkisar 21% dan untuk umur 30-39 tahun berkisar 22%.
D. Struktur Redaksi Harian Republika
KOMISARIS
Komisaris Utama: Malik Sjafei Saleh Komisaris: Drs. Chaerudin R. Harry Zulnardy DIREKSI
Direktur Utama: Erick Thohir Direktur Operasional: H. Daniel Wewengkang Direktur Pemasaran: Nuky Surachmad Direktur Keuangan dan SDM: Rachmad Yuliwinoto Kadiv Iklan dan Promosi: Joko Susanto Kadiv Sirkulasi: Dedik Supardiona Kadiv Produksi: Norrokhim Kadiv Riset dan Pengembangan: Arif Supriono Kadiv Sistem Informasi: Anif Punto Utomo Kadiv SDM: Y. Sofyan Kadiv Keuangan: Hery Setiawan REDAKSI
Pemimpin Redaksi: Ikhwanul Kiram Mashuri Wakil Pemimpin Redaksi: Nasihin Masha Redaktur Pelaksana: Agung Pragitya Vazza Wakil Redaktur Pelaksana: Elba Damhuri Selamat Ginting ASREDPEL hal 1 dan Opini: Irwan Ariefyanto ASREDPEL POL NAS KESRA: Subroto ASREDPEL Ahad: Nina Chairani Ibrahim ASRREDPEL Agama: Syahrudin El Fikri Sekretaris Redaksi: Fachrul Ratzi Staf Redaksi: Yeyen Rostiana, Zaki Alhamzah, Wahida Handasah, Nurul S. Hamami, Didi Purwadi, Darmawan Sepriyossa, Nur Hasan Murtiaji, Magfiroh Yenni, Bidramnanta, Irwan Kelana, Christine Purwatiningsih, Joka Sadewo, Teguh Setiawan, Budi Utomo, dkk.
64
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Foto pertama dengan Judul “Shalat Berjamaah”
Gambar 2. Shalat Berjamaah
Shalat merupakan tiang agama dalam Islam. Selain itu, shalat juga merupakan
kewajiban yang harus dilakukan setiap umat Islam ketika telah memasuki usia akil
baligh. Bagi siapapun yang mendirikan dan menjalankan shalat karena Allah SWT,
maka orang tersebut mendirikan tiang agama serta memperkuat sendi agama.
Berdasarkan hal tersebut, shalat dapat dianalogikan sebagai pondasi dari suatu
bangunan. Ketika shalat dilaksanakan dengan baik dan teratur, maka pondasi bangunan
tersebut akan kuat dan kokoh. Namun ketika shalat dilakukan secara sembarang dan
tidak teratur, maka besar kemungkinan pondasi tersebut akan rapuh dan mengakibatkan
bangunan yang diibaratkan sebagai agama akan hancur.
65
1. Makna Denotasi
Makna denotasi merupakan makna yang paling nyata dalam sebuah tanda.
Dalam hal ini, makna denotasi yang ditunjukkan dalam sebuah foto merupakan
visualisasi dari hasil foto tersebut. Pada foto pertama ini dengan judul “Shalat
Berjamaah” memilki makna denotasi yaitu gambaran secara umum mengenai jamaah
haji yang sedang melakukan ibadah shalat berjamaah. Jamaah yang melakukan shalat
berjamaah terdiri dari jamaah pria dan wanita. Seluruh jamaah haji dalam foto ini
mengenakan pakaian ihram. Jamaah pria tampak mengenakan pakaian ihram
berwarna putih, sedangkan jamaah haji wanita mengenakan pakaian ihram berwarna
hitam dan ada pula yang berwarna hijau serta biru tua. Di samping itu, pada bagian
kanan bawah foto terdapat pula jamaah haji yang sedang makan dan minum. Bila
dilihat secara lebih jelas, pada bagaian tengah foto terdapat pula jamaah haji yang
tidak melaksanakan ibadah shalat. Beberapa jamaah yang tidak ikut shalat tampak
sedang berjalan menuju keluar dari barisan jamaah yang sedang bershalat jamaah.
2. Makna Konotasi
Makna konotasi menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu
dengan perasaan atau emosi dari si pembaca maupun penikmat suatu tanda tersebut,
selain itu berkaitan pula dengan nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi memiliki
makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif.
Shalat adalah tiang agama dalam Islam. Bagi siapapun yang mendirikan shalat
karena Allah SWT, maka orang tersebut mendirikan tiang agama serta memperkuat
66
sendi agama. Begitupun sebaliknya, apabila tidak menjalankan shalat atau bermain-
main terhadap shalatnya, maka hal tersebut akan meruntuhkan tiang agama.
Berdasarkan hal tersebut, shalat dapat dianalogikan sebagai pondasi dari suatu
bangunan. Shalat wajib yang terdiri lima waktu dalam sehari diibaratkan sebagai
tiang atau pondasi dari suatu bangunan tersebut. Ketika shalat dilaksanakan dengan
baik dan teratur, maka pondasi tersebut akan kuat dan kokoh. Namun ketika shalat
dilakukan secara sembarang dan tidak teratur, maka besar kemungkinan pondasi
tersebut akan rapuh dan mengakibatkan bangunan yang diibaratkan agama itu akan
hancur.
Pada foto yang berjudul “Shalat Berjamaah” ini memiliki makna utama bahwa
shalat merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan setiap manusia yang beragama
Islam, terlebih ketika telah memasuki usia akil baligh. Bermacam tipe cara jamaah
dalam melakukan serangkaian prosesi ataupun gerakan dalam shalat. Seperti pada
foto ini ditampilkan jamaah yang sedang berdiri shalat dan dalam posisi
menyedekapkan kedua tangannya. Sejatinya posisi tangan ketika berdiri setelah
takbiratul ihrom yaitu bersedekap dengan posisi tangan kanan di atas tangan kiri dan
diletakkan di atas antara dada sampai pada pusar. Namun tampak juga ada jamaah
yang meletakkan tangannya di bawah pusar, sehingga posisi berdirinya terkesan tidak
sempurna dan santai.
Pada lain hal, posisi pandangan mata ketika berdiri shalat dianjurkan untuk
menatap ke arah tempat kita sujud, akan tetapi pada foto ini ada jamaah yang
meletakkan pandangannya ke arah depannya atau ada juga yang sedikit mendangak
67
ke atas. Anjuran meletakkan pandangan ke arah tempat sujud bertujuan untuk
meningkatkan kekhusukan ketika berdiri shalat. Kekhusyukan diperlukan untuk
meningkatkan daya konsentrasi ketika shalat dan juga agar dapat meresapi setiap
makna shalat itu sendiri dengan baik.
Pada foto ini, jamaah haji melakukan shalat dengan cara berjamaah. Shalat
berjamaah lebih utama dan lebih banyak ganjaran pahalanya dibanding shalat secara
sendiri. Apabila shalat wajib dilakukan secara sendiri, maka akan mendapatkan
ganjaran pahala satu kebaikan saja. Namun apabila shalat wajib dilakukan dengan
berjamaah, maka ganjaran pahala akan dilipat gandakan menjadi 27 kebaikan.
Foto yang menempatkan lokasi di Arafah ini sangat memiliki daya tarik bagi
jamaah untuk beribadah lebih kuat dan maksimal kepada Allah. Hal tersebut
dikarenakan pada proses ini para jamaah sedang melakukan kegiatan puncak dari
ibadah haji tersebut yaitu wukuf di Arafah. Seperti halnya ibadah yang lain, shalat
berjamaah di lokasi ini pun sangat ditunggu para jamaah haji untuk dilaksanakan,
karena shalat jamaah yang dilakukan merupakan rangkaian dari prosesi wukuf yaitu
shalat zuhur dan asar secara jamak qashar taqdim.
Hal lain yang dapat dikuak dari foto ini yaitu dalam hal teknis fotogarfi.
Penempatan komposisi foto dibuat secara rapi dan teratur sehingga memudahkan
pembaca maupun penikmat foto dalam menangkap secara langsung makna yang
dimunculkan. Angle atau sudut pengambilan foto dilakukan dari atas (high angle),
sehingga posisi objek foto nampak berada di bawah letak kamera. Hal tersebut
68
membawa dampak objek kelihatan kecil dan memberi kesan pemerataan dalam
bidang fotonya.
3. Makna Mitos
Mitos merupakan signifikasi lanjutan dari tahap konotasi. Pada tahap ini
menjelaskan kejadian keseharian dalam kebudayaan menjadi seperti “wajar”, padahal
itu hanya sebuah mitos, hal tersebut diakibatkan konotasi yang menjadi mantap di
masyarakat.
Menyoal foto dengan judul “Shalat Berjamaah” yang berlokasi di padang
Arafah ini menggambarkan keberagaman namun tetap dalam semangat persatuan.
Hal tersebut dibuktikan dengan keberadaan jutaan jamaah haji dari berbagai negara di
dunia kemudian berkumpul dalam satu tempat dan dalam waktu tertentu hanya untuk
menjalankan perintah Allah dan pada akhirnya hanya mengharap ridho Allah SWT.
Pada intinya, semua makhluk diciptakan oleh Allah adalah untuk tunduk dan patuh
hanya kepada Allah.1
Berkumpulnya seluruh umat muslim dunia dalam satu waktu dan tempat
menjadikan haji sebagai sarana pembangunan silaturrahim dan berbagi untuk
menciptakan persaudaraan dan kekerabatan dengan tidak melihat suku, bangsa,
kultur, peradaban yang beragam, dan juga strata sosial. Sikap saling bersaudara dan
berkerabat tersebut tidak luput karena tujuan yang serempak dari seluruh jamaah haji,
yakni beribadah ikhlas kepada Allah dan hanya kepada Allah mengharap segalanya.
1 Wawancara Pribadi dengan Syahrudin El Fikri, Jakarta, 21 Juni 2013.
69
Terlihat pula dalam foto ini bahwasanya terdapat jamaah wanita di tengah-
tengah jamaah pria dalam melaksanakan ibadah shalat berjamaah. Selain itu, terdapat
pula jamaah haji yang sedang makan dan minum sedang di sekelilingnya jamaah lain
tengah bershalat jamaah. Sikap tersebut membuktikan keragaman yang terjadi ketika
melaksanakan serangkaian prosesi ibadah haji menciptakan rasa toleransi yang tinggi
di antara jamaah. Perbedaan tata cara beribadah, budaya, logat bahasa hingga status
sosial seakan sirna dan menimbulkan sikap saling menghormati dan saling mengasihi
antar sesama jamaah. Kesemua itu membawa dampak dan cerminan bahwa umat
muslim di dunia ini bersatu dan juga keberadaan agama Islam di dunia ini sebagai
rahmat bagi semesta alam.
B. Foto kedua dengan Judul “Menuju Puncak”
Gambar 3. Menuju Puncak
Ketika memasuki musim haji, jutaan calon jamaah haji dari berbagai negara
berbondong-bondong berangkat menuju kota suci Mekah dan Madinah di Arab
Saudi. Beragam ibadah dapat dilakukan oleh jamaah haji ketika sesampainya di
kedua kota tersebut, mulai dari ibadah wajib haji hingga yang sunnah pun kerap
dilakukan. Seperti yang terdapat pada foto ini, jamaah haji melakukan kunjungan ke
Jabal Rahmah sebagai wujud napak tilas dari sejarah dimasa Nabi Adam as. Jabal
Rahmah atau bukit kasih sayang merupakan tempat dipertemukannya kembali Nabi
Adam as dan Siti Hawa setelah keduanya dikeluarkan dari surga oleh Allah SWT.
70
1. Makna Denotasi
Pada foto kedua yang berjudul “Menuju Puncak” ini memiliki makna denotasi
yang utama yaitu dua orang jamaah haji wanita sedang saling membantu untuk
menaiki puncak bebatuan. Kedua jamaah haji tersebut saling mengulurkan tangan
kanannya guna saling membantu untuk mencapai puncak tersebut. Selain itu, pada
foto ini juga digambarkan terdapat banyak bebatuan yang besar serta memiliki
ketinggian yang cukup curam. Pada sisi lain dalam foto ini, digambarkan pula jamaah
lainnya baik pria maupun wanita tengah berusaha untuk menaiki puncak bebatuan
tersebut. Kesemua jamaah haji yang terdapat dalam foto ini mengenakan pakaian
ihram.
71
2. Makna Konotasi
Tampak dengan jelas pada foto ini bahwa terdapat dua jamaah haji wanita
yang saling membantu satu sama lain untuk menaiki sebuah puncak bebatuan. Kedua
jamaah haji wanita tersebut saling mengulurkan tangan kanannya sehingga tercipta
genggaman telapak tangan di antara keduanya. Genggaman telapak tangan tersebut
sangat sarat makna apabila dikaitkan dengan kehidupan bersosial di masyarakat.
Kerap diidentikakkan sikap saling tolong-menolong dalam bentuk saling merangkul
ataupun bergenggaman tangan seperti pada foto ini.
Tempat yang dipenuhi bukit bebatuan ini bernama Jabal Rahmah.
Berdasarkan asal usul lokasi dari foto ini diyakini sebagai tempat dipertemukannya
kembali Nabi Adam dan Siti Hawa setelah dipisahkan selama 200 tahun. Maka
timbul asumsi yang berkembang di kalangan jamaah haji maupun umroh bahwa
tempat ini merupakan perlambang kasih sayang. Banyak dari jamaah yang menulis
namanya beserta pasangannya di batu-batu yang terdapat di lokasi itu dengan tujuan
agar mereka kelak menjadi sepasang suami dan istri. Bagi mereka yang telah menjadi
suami dan istri pun kerap menuliskan namanya di bebatuan dengan tujuan semoga
jodoh mereka langgeng hingga akhir hayat nanti. Kesemua hal tersebut hanyalah
asumsi yang berkembang di kalangan jamaah, tetap yang menjadi panutan sebagai
penentu takdir mengenai pasangan hidup hanyalah Allah SWT.
Hal lain yang kerap dilakukan jamaah ketika di Jabal Rahmah antara lain
berdoa serta berfoto-foto. Karena pada tempat ini, pemandangan kota Mekah cukup
72
terlihat secara keseluruhan, sehingga minumbulkan decak kagum bagi jamaah yang
perdana mengunjungi tempat tersebut. Tidak heran para jamaah berbondong-bondong
ke lokasi ini dengan tujuan bernapak tilas atas sejarah yang telah diukir di tempat ini.2
Pada foto ini, sang fotografer memotret dengan cara menempatkan komposisi
fotonya ke arah bawah bukit bebatuan atau dalam istilah teknis fotografi yaitu high
angle. Hal tersebut bermaksud untuk memberi gambaran bahwa cukup terjalnya bukit
ini serta terdapatnya banyak gundukan batu besar yang terdapat di bukit ini. Namun
tekad jamaah yang begitu kuat, sehingga nampak pula pada bagian atas foto banyak
pula jamaah yang berusaha untuk menaiki puncak bebatuan ini. Selain itu, titik utama
foto (point of interst) dipusatkan pada dua jamaah wanita yang sedang saling
membantu untuk menaiki puncak bebatuan tersebut. Seluruh aspek yang terdapat
pada foto ini menggambarkan sikap saling tolong di antara sesama jamaah haji.
3. Makna Mitos
Ibadah haji merupakan ibadah yang cukup berat, baik dari segi materi
(keuangan) maupun fisik (kondisi tubuh). Dalam hal fisik, setiap jamaah harus
mampu mempersiapkan kondisi tubuh sehingga dapat melakukan setiap rangkaian
ibadah haji, baik yang bersifat rukun, wajib maupun sunnah haji. Tidak hanya itu,
sikap saling membantu dalam hal positif di antara sesama jamaah haji pun sangat
diperlukan untuk meningkatkan nilai dan mutu ibadah haji dari jamaah tersebut.
2 Wawancara Pribadi dengan Syahrudin El Fikri.
73
Kodrat manusia sebagai makhluk sosial nampaknya sulit dipisahkan terlebih
ketika manusia tersebut berada dalam kesulitan. Setiap manusia tidak dapat hidup
tanpa bantuan manusia lainnya. Begitupun ketika prosesi haji dilakukan, tidak ada
jamaah haji yang dapat melakukan seluruh rangkaian haji secara sendiri atau tanpa
bantuan jamaah lainnya. Sikap saling tolong-menolong sangat dibutuhkan, guna
untuk mencapai predikat haji yang mabrur.
Menyoal lokasi foto ini yang berada di Jabal Rahmah, tempat ini merupakan
lokasi yang diyakini sebagai tempat pertemuan Nabi Adam as dengan Siti Hawa
setelah dipisahkan selama kurang lebih 200 tahun. Keduanya dipisahkan setelah
dikeluarkan dari surga karena memakan buah khuldi yang notabennya dilarang oleh
Allah untuk dimakan. Setelah kejadian itu, Nabi Adam berada di bumi bagian barat
dan Siti Hawa berada di bumi bagian Timur.
Di puncak Jabal Rahmah terdapat tugu sebagai penanda bahwa disanalah Nabi
Adam dan Siti Hawa dipertemukan kembali. Jarak untuk mencapai tugu tersebut
sekitar 150 m dan memerlukan waktu perjalanan selama 15-20 menit untuk
mendakinya. Sebutan lain dari Jabal rahmah yaitu Ilal atau Alal atau An-Nabit.
Berdasarkan asal usul lokasi ini sebagai tempat yang diyakini
dipertemukannya kembali Nabi Adam dan Siti Hawa, maka timbul asumsi yang
berkembang dikalangan jamaah haji maupun umrah bahwa tempat ini sebagai
perlambang kasih sayang. Banyak dari jamaah yang menulis namanya beserta
pasangannya dengan tujuan agar mereka kelak menjadi sepasang suami dan istri.
74
Bagi mereka yang telah menjadi suami dan istri pun kerap menuliskan namanya di
bebatuan dengan tujuan semoga jodoh mereka langgeng hingga akhir hayat nanti.
Kesemua hal tersebut hanyalah asumsi ataupun mitos yang berkembang di
masyarakat khususnya para jamaah haji maupun umrah. Setiap hal yang terjadi di
muka bumi ini tidak lepas dari kehendak Allah SWT.
C. Foto ketiga dengan Judul “Menuju Arafah”
Gambar 4. Menuju Arafah
Puncak ibadah haji yaitu ketika para jamaah haji melakukan wukuf di Padang
Arafah. Wukuf dilakukan sejak tergelincirnya matahari pada tanggal 9 Dzulhijjah
hingga terbit matahari pada tanggal 10 Dzulhijjah. Pada proses wukuf, jamaah haji
dituntut untuk senantiasa melakukan ibadah seperti shalat, berzikir (beristighfar),
membaca Alquran, mengumandangkan kalimat talbiah serta ibadah lainnya yang
dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT. Esensi wukuf di
Arafah dari beberapa ulama yaitu sebagai perwujudan ketika seluruh umat manusia di
muka bumi ini dikumpulan di padang Mahsyar guna untuk
mempertanggungjawabkan segala amal ibadah serta dosa yang telah dilakukan di
dunia.
75
1. Makna Denotasi
Makna denotasi pada foto ketiga dengan judul “Munuju Arafah” ini yaitu
terdapat sekelompok jamaah haji pria sedang menumpangi sebuah mobil dengan
duduk di atas atap mobil tersebut. Sementara pada bagian bawah foto ditampilkan
jamaah haji pria lainnya yang berjalan menuju Arafah. Kesemua jamaah haji tersebut
mengenakan pakaian ihram dan ada pula yang melindungi hidung serta mulutnya
dengan masker.
2. Makna Konotasi
Berbagai cara ditempuh para jamaah haji untuk mencapai Arafah guna dalam
rangka melaksanakan wukuf. Seperti yang terdapat pada foto ini, jamaah haji ada
yang menumpangi mobil baik yang berada di dalam mobil maupun di atap mobil.
76
Selain itu ada pula jamaah haji yang berjalan kaki untuk sampai ke Arafah. Kesemua
itu dilakukan demi terlaksananya rukun haji yaitu wukuf di Arafah.
Arafah merupakan lokasi untuk dilaksanakannya proses wukuf. Wukuf sendiri
bermakna berhenti atau berdiam. Sehingga makna dasar dari proses wukuf di Arafah
ialah seluruh jamaah haji berhenti atau berdiam di kawasan padang Arafah. Seluruh
jamaah dari berbagai negara di dunia berbondong-bondong dalam waktu yang
bersamaan agar sampai di Arafah tepat pada waktunya.
Arafah terletak sekitar 21 km sebelah tenggara Mekah dan merupakan tanah
lapang atau padang yang sangat luas. Bagian belakangnya dikelilingi oleh bukit
berbentuk setengah lingkaran. Padang yang luasnya sekitar 3,5 km x 3,5 km ini
dilengkapi dengan jalan-jalan besar beraspal dan disertai pohon-pohon yang rindang.
Umumnya pohon tidak dapat tumbuh dan hidup di padang tandus seperti ini, namun
karena kuasa Allah SWT pepohonan dapat tumbuh dan berkembang di tempat ini.
Wukuf di Arafah merupakan bagian yang paling utama dari rukun haji. Rukun
haji haruslah dilaksanakan, apabila tidak dilaksanakan maka haji tersebut dikatakan
tidak sah. Oleh karena itu, seperti apapun kondisi dari jamaah haji, baik dalam
keadaan sakit parah pun diwajibkan harus melaksanakan wukuf. Sehingga apabila
dikaitkan dengan foto ini, maka keadaan jamaah yang menumpangi kendaraan
dengan berada di atap mobil merupakan gambaran pentingnya proses wukuf ini.
Seperti yang diriwayatkan Abu Dawud, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Haji itu
77
hadir di Arafah. Barangsiapa yang datang pada malam hari jamak (10 Zulhijjah
sebelum terbit fajar) maka sesungguhnya ia masih mendapatkan haji.”
Kebiasaan seperti menumpangi mobil kemudian duduk di atapnya bukan
karena mereka berasal dari kalangan tidak mampu, hanya saja perilaku yang kerap
dilakukan ini merupakan buntut dari jamaah haji terdahulu sebelum mereka yang
telah melakukan hal ini. Berbagai keadaan yang menyebabkan jamaah haji berlaku
seperti ini, seperti keadaan di dalam mobil telah penuh dengan jamaah lain, dan
karena wukuf di Arafah sesuatu yang wajib dilakukan, maka dengan modal “nekat”
mereka menumpang di atap mobil. Perilaku seperti ini adalah sedikit gambaran
banyaknya keragaman yang terjadi ketika prosesi haji dilakukan. Keragaman tersebut
ikut memeriahkan perjalanan keagamaan dari setiap jamaah haji.
Pada foto ini juga terlihat jamaah haji ada yang menggunakan masker sebagai
pelindung hidung serta mulut dari udara kotor. Dalam kondisi seperti ini, jamaah haji
sangat menjaga kondisi tubuhnya agar tidak terserang penyakit maupun virus yang
menyebar melalui udara. Karena prosesi wukuf di Arafah ini adalah suatu hal yang
penting dan wajib untuk dilakukan, maka hal seperti melindungi hidung serta mulut
dengan menggunakan masker ini salah satu cara yang ditempuh para jamaah haji agar
tetap menjaga kondisi tubuh.
Dalam hal teknis fotografi, fokus utama (point of interest) dalam foto ini di
tempatkan di tengah bidang foto. Sang fotografer mengkomposisikan foto ini dengan
menempatkan latar depan (foreground) secara blur dan objek utama secara jelas.
78
Tujuan dari hal itu agar penikmat foto dapat membandingkan antara jamaah yang
berjalan kaki dengan jamaah yang menumpang di atap sebuah mobil ketika hendak
menuju arafah. Hal lain mengenai teknis fotografi adalah pengambilan foto dengan
menggunakan sudut eye level. Sudut pengambilan foto seperti ini bermakna bahwa
letak kamera sejajar dengan letak objek foto, sehingga terkesan statis pada hasil akhir
fotonya.
3. Makna Mitos
Dalam foto di atas, dapat dilihat sikap kesungguhan yang harus dimiliki setiap
jamaah haji dalam melakukan segala aktifitas yang menyangkut ibadah kepada Allah
(hablumminalloh) maupun menjalin tali silaturrahim dengan jamaah lain
(hablumminannas). Kesungguhan sangat dibutuhkan ketika melaksanakan
serangkaian prosesi ibadah haji agar terlaksananya setiap rutinitas dari ibadah haji
secara maksimal dan benar.
Banyak ibadah yang dikejar dari jamaah haji untuk segara dilakukan. Hal itu
berkaitan dengan sikap dari jamaah haji dalam menilai seberapa pentingnya kualitas
ibadah haji tersebut. Seperti pada foto ini yang menampilkan keadaan jamaah haji
ketika menuju Arafah dengan menumpang di atap mobil. Kesungguhan untuk
mencapai Arafah yang tinggi yang membuat segelintir jamaah haji memutuskan
untuk menumpang di atap mobil.
Bukan hanya pada saat melaksanakan ibadah haji saja sikap sungguh-sungguh
harus diterapkan, bahkan pada kehidupan keseharian di luar ibadah haji pun harus
79
disertakan dengan sikap sungguh-sungguh. Segala aktifitas yang dilakukan secara
sungguh-sungguh akan membuahkan keberhasilan pada akhirnya nanti. Begitupun
sebaliknya, suatu pekerjaan apabila dilaksanakan jauh dilandasi dari sikap sungguh-
sunggu, besar kemungkinan hasilnya tidak akan maksimal. Selain itu, dampak lain
karena seseorang tidak memiliki rasa sungguh-sungguh dalam dirinya akan
membuahkan kegagalan atas dasar ulahnya sendiri. Mengenai hal tersebut, ada
pepatah Arab yang mengungkapkan bahwa “man jadda wa jada”, siapa yang
bersungguh-sungguh maka akan berhasil.
Sikap sungguh-sungguh pun dapat mengubah garis hidup seseorang. Ketika
seseorang yang berkekurangan dalam hal materi, kemudian dia bersungguh-sungguh
bekerja dan juga disertai doa yang tulus kepada Allah, maka akan dibukakan jalan
terang bagi hidupnya oleh Allah SWT. Begitupun pada aspek lainnya di kehidupan
sehari-hari, karena garis hidup atau nasib seseorang tidak akan diiubah dengan begitu
mudah oleh Allah tanpa dilandasi dari orang tersebut yang sungguh-sungguh
mengubah garis hidup atau nasibnya itu.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari temuan dan hasil analisis data pada tiga
foto dari rubrik rana Harian Republika tanggal 27 Oktober 2012 adalah sebagai
berikut:
1. Makna Denotasi
Makna denotasi yang dapat ditemukan pada tiga foto yang menjadi objek
penelitian yaitu foto-foto tersebut diabadikan ketika jamaah haji melakukan
ibadah rukun haji yaitu wukuf di Padang Arafah. Ketiga foto memvisualisasikan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan para jamaah haji ketika hendak dan saat berada
di lokasi wukuf. Seperti pada foto ditampilkan jamaah haji yang sedang shalat
berjamaah, kemudian terdapat pula jamaah haji yang hendak menaiki bukit
bebatuan, serta ada pula jamaah haji yang menumpangi mobil dengan duduk di
atap mobil tersebut. Ketiga foto tersebut menunjukkan suatu rangkaian prosesi
yang terjadi dalam satu waktu dan satu tempat, yakni saat wukuf dan di Arafah.
2. Makna Konotasi
Makna konotasi yang terdapat pada tiga foto yang menjadi sasaran utama
penelitian yaitu tidak lepas dari kegiatan maupun ibadah yang dilakukan jamaah
haji ketika melaksanakan wukuf di Arafah. Pada tahap konotasi ini lebih
menitiberatkan pada aspek kebudayaan serta peninjauan melalui sudut pandang
syariat agama Islam mengenai ibadah Haji. Dari tiga foto yang ditampilkan, yaitu
81
yang berjudul Shalat Berjamaah, Menuju Puncak dan Menuju Arafah merupakan
sedikit gambaran dari banyak aktifitas yang dilakukan jamaah haji ketika
melaksanakan wukuf di Arafah.
Wukuf di Arafah merupakan inti dari ibadah haji. Setiap jamaah haji
dalam kondisi apapun termasuk ketika sakit pun wajib melaksanakan wukuf.
Wukuf memiliki arti yakni berdiam atau berhenti. Ketika wukuf beragam ibadah
dapat dilaksanakan, mulai dari shalat berjamaah, berzikir, mengaji serta amalan
lainnya yang dapat meningkatkan nilai ibadah haji.
Pada ibadah haji dihiasi beragam corak kebudayaan serta mazhab yang
dianut para jamaah haji. Tidak heran bahwa kadang terdapat sedikit perbedaan
dalam melaksanakan suatu ibadah. Seperti pada foto jamaah haji yang sedang
shalat berjamaah, foto tersebut menggambarkan adanya perbedaan dalam
melaksanakan gerakan dalam shalat. Selain itu, ibadah sunnah seperti
mengunjungi puncak bebatuan atau Jabal Rahmah pun kerap dilakukan jamaah
haji setelah selesai melaksanakan ibadah wukuf di Arafah.
3. Makan Mitos
Makna mitos yang dapat dikuak dari tiga foto tersebut menunjukkan
bahwa dalam ibadah haji tidak hanya melulu melaksanakan ibadah yang bersifat
vertikal atau hubungan manusia dengan Allah SWT (hablumminalloh), akan tetapi
banyak juga kegiatan yang dituntut untuk terlaksananya hubungan yang bersifat
horizontal atau hubungan antar sesama manusia (hablumminannas). Dalam
praktiknya ketika melakukan serangkaian ibadah haji, hubungan yang baik antar
sesama manusia juga ikut menentukan kualitas haji dari jamaah tersebut. Apabila
82 jamaah haji memupuk dirinya untuk selalu bersikap terpuji antar sesama jamaah,
maka besar kemungkinan hasil akhirnya pun akan baik. Begitupun sebaliknya
ketika jamaah haji enggan untuk berlaku baik terhadap sesama jamaah, maka hasil
akhir yang diharapkan dalam beribadah haji sulit diperoleh.
Sikap-sikap terpuji yang dapat dilakukan oleh jamaah haji seperti saling
tolong-menolong, saling kasih-mengasihi, memupuk sikap bersatu di antara
perbedaan yang ada, dan juga sikap saling toleransi terhadap sesama sepatutnya
tidak hanya dilakukan ketika beribadah haji saja, melainkan ketika selesai berhaji
dan sekembali ke tanah air sikap-sikap tersebut juga harus kerap dilakukan.
Predikat haji mabrur bukanlah didapat ketika jamaah haji berada di tanah suci,
akan tetapi diperoleh ketika jamaah haji kembali ke kehidupan sehari-hari selepas
melaksanakan serangkaian ibadah haji. Haji yang mabrur dapat dilihat dari
aplikasi di kehidupan sehari-hari atas apa yang telah dilakukan selama
menjalankan ibadah haji. Menyoal haji mabrur, surganya Allah SWT adalah
balasannya.
B. Saran
Beberapa saran yang dapat penulis utarakan terkait penulisan skripsi ini
baik untuk Harian Republika maupun untuk rubrik Rana adalah sebagai berikut:
1. Berkaitan dengan Harian Republika, hendaknya meningkatkan kualitas
pemberitaan dengan cara menyajikan foto-foto yang mendukung atas
berita yang ditampilkan. Selain itu, ada baiknya foto-foto tersebut
berkompeten tinggi baik dalam hal pewarta fotonya maupun kualitas
akhir dalam hal cetakannya. Melalui peningkatan dalam hal foto berita
83
serta kualitas akhir dari cetakannya, semoga Harian Republika dapat
mensejajarkan bahkan melebihi pamor dari Harian maupun Koran lain
yang ada di Indonesia ini.
2. Berkaitan dengan rubrik Rana, sebaiknya pada setiap foto yang
ditampilkan dilengkapi dengan caption yang mendukung keterangan
dari setiap foto tersebut. Sehingga keberadaan narasi yang telah ada
apabila disertai dengan caption tentu akan lebih memudahkan pembaca
dalam menangkap maksud dari setiap foto yang ditampilkan. Selain
itu, pemilihan tema dalam hal foto untuk tiap pekannya agar lebih
variatif, sehingga dapat membentuk alur cerita yang imajinatif dan
menimbulkan decak kagum dari para pembaca maupun penikmat foto-
foto tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata Fotografi. Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Alwi, Audy Mirza. Foto Jurnalistik. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Barnhart, Clarence L. The Wolrd Book Dictionary. Chicago: Field Enterprises Education Corporation, 1972.
Barthes, Roland. Imaji Musik Teks. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Budiman, Kris. Semiotika Visual. Yogyakarta: Jalasutra, 2011.
Company Profile Harian Republika.
Christomy, Tommy. Semiotika Budaya. Depok: UI, 2004. cet. Ke-1.
Faridl, Miftah. Antar Aku ke Tanah Suci. Jakarta: Gema Insani, 2007.
Giwanda, Griand. Panduan Praktis Belajar Fotografi. Jakarta: Puspa Swara, 2001.
Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi
Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik; Pengantar: Prof. Dr. Harsono Suwardi, MA. Jakarta: Granit, 2004.
Hoed, Benny H. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu, 2011. Irawan, Ferry. Dunia dalam Bingkai. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. Magelang: IndonesiaTera, 2001.
Mudaris, M. Jurnalistik Foto. Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, 1996.
Muhtadi, Asep Saeful. Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.
Parwito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: Lkis pelangi Aksara. 2007.
Rahardi, F. Panduan Lengkap Menulis Artikel, Features. Depok: Kawan Pustaka, 2006.
Rakhmat, Jalaludin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007.
Rusmana, Agus. Tanya Jawab Dasar-Dasar Fotografi. Bandung: Penerbit Armico, 1981.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Soedjono, Soeprapto. Pot-Pourri Fotografi. Jakarta: Universitas Trisakti, 2007.
Soelarko, R.M. Pengantar Foto Jurnalistik. Bandung: PT. Karya Nusantara, 1985.
Sugiono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2008.
Suharso dan Retnoningsih, Ana. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang:
Widya Karya, 2011.
Suleiman, Amir Hamzah. Petunjuk Untuk Memotret. Jakarta: PT. Gramedia, 1977.
Sunardi, ST. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal, 2002.
Susanto, Anton Freddy. Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna. Bandung: PT. Refika Aditama, 2005.
Tinarbuko, Sumbo. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra, 2012.
Umar, Nasaruddin. Haji dan Umrah: ibadah, ziarah, wisata. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2009.
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2011. Yunus, Syarifudin. Jurnalistik Terapan. Bogor: Ghalia Pustaka, 2010.
Zoelverdi, Ed. Mat Kodak. Jakarta: PT. Temprint, 1985.
1
Analisis Semiotik Foto Berita Ibadah Haji pada Rubrik Rana Harian Republika Oktober 2012
Transkip Wawancara antara Zaki Ahmad Thohir sebagai Peneliti dengan Bpk. Syahrudin El Fikri sebagai Narasumber pada Hari Jumat, 21 Juni 2013, di Kantor Harian Umum
Republika.
1. Peneliti: Assalamu’alaikum pa.
Narasumber: Wa’alaikum salam mas.
2. Peneliti: Menyoal keberadaan foto-foto di rubrik rana harian Republika pada 27 Oktober 2012 yang berisi foto mengenai aktifitas ibadah haji pada 1434 H, bagaimana pendapat Bapak pada foto pertama yang berjudul Shalat Berjamaah?
Narasumber: Pada foto shalat berjamaah ini menggambarkan keberagaman namun tetap dalam semangat persatuan. Pada intinya, semua makhluk diciptakan oleh Allah adalah untuk tunduk dan patuh hanya kepada Allah. Nanti mohon di cek pada surat Adz-Dzariat pada ayat 56 yang memiliki arti “tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepada Allah”. Dalam foto ini, kita menyaksikan keragaman cara beribadah termasuk mungkin sisi-sisi lain dari pada saat prosesi ibadahnya. Ada diantaranya penggambungan antara jamaah perempuan dengan laki-laki. Tapi penggambungan ini dapat kita maknai adalah karena ada pandangan dari imam mazhab yang mereka yakini bahwa hukumnya boleh-boleh saja dan mungkin bagi pemahaman mereka, tapi bagi sebagian yang lain seperti dari mazhab syafi’i biasanya yang mereka lakukan adalah harus dipisah pada tempat tersendiri antara jamaah pria dan wanita. Rata-rata setiap tahun total jamaah haji itu mencapai tiga juta orang. Dengan jumlah jamaah yang demikian besar maka sangat susah menempatkan pemisahan dalam shalat yang itu dikhawatirkan akan bisa membuat hilang saudara atau teman yang saling kenal. Maka demi keamanan mereka melakukan seperti ini, dan dalam pandangan imam yang lain hal ini juga diperbolehkan. Kemudian sisi lain dari foto ini adalah ada di antara jamaah yang ternyata mereka lewat (lalu-lalang) begitu saja disaat pelaksaan ibadah. Lagi-lagi terdapat perbedaan pemahaman di antara jamaah bahwa imam yang mereka ikuti berbeda dengan mungkin mayoritas jamaah. Artinya ketika mereka melintas selama tidak benar-benar dihadapan yang sudah bergaris sutroh, maka hal itu tidak ada masalah, tapi karena mereka melintas di sutrohnya (pembatas shaf dalam shalat) berdasarkan hadist nabi hal tersebut ada ketentuannya tapi pasti ada pendapat ulama lain yang mereka angkap gitu, sehingga mereka berani untuk melakukan hal ini. Kemudian dalam foto ini kita juga melihat ada sebagian jamaah yang makan dan minum sementara jamaah yang lain sedang melaksanakan ibadah shalat. Kewajiban untuk shalat itu sudah kita ketahui bahwa semuanya wajib, namun ketika dalam keadaan lapar maka nabi menganjurkan lebih baik kita makan terlebih dahulu atau kalau haus kita minum dahulu, baru setelah itu kita melaksanakan shalat. Karena ketika kita shalat memikirkan makan dan minum hukumnya tidak sah, hal tersebut dapat mengurangi pahala shalat. Nah daripada itu yang terjadi, maka mereka mungkin kita berhusnudzon (berbaik sangka) kalau mereka dalam keadaan lapar, sehingga mereka makan dan minum lalu setelah itu baru mereka mengikuti shalat berjamaah atau mungkin shalat bersama-sama teman yang tadi makan atau minum berbarengan.
2
3. Peneliti: Selanjutnya pada foto kedua dengan judul “menuju puncak”, bagaimana menurut pandangan Bapak terhadap foto tersebut?
Narasumber: Jadi foto ini berada di Jabal Rahmah. Sebagaian jamaah itu mencoba untuk naik ke atas ingin mencapai yang namanya tugu Jabal Rahmah. Tuga Jabal Rahmah sebagai kita ketahui digambarkan sebagai lambang dari pertemuan antara Nabi Adam dan Siti Hawa. Sebagai wujud cinta kasih mereka kemudian oleh masyarakat disimbolisasikan dalam bentuk sebuah tugu. Mereka ingin sampai ke puncak itu, ingin menyaksikan mungkin bentuk rupa dari tugu itu seperti apa dan bagaimana ketika sudah di atas itu mereka bisa menangkap hampir seluruh wilayah kota Mekkah. Artinya dalam keadaan bagaimanapun sebagian jamaah kita mencoba memaksakan diri untuk mencapai puncak untuk melihat view atau pemandangan dari kota Mekkah yang mungkin bisa lebih luas lagi. Jadi dengan pengorbanan yang mereka miliki, keterbatasan yang mereka miliki, mereka mencoba naik ke puncaknya itu ke Jabal Rahmah.
4. Peneliti: Berarti ini masuk ke dalam rukun atau sunnah aja pak?
Narasumber: Kalau di Jabal Rahmah kan hanya ya tidak ada anjuran ataupun sunnah. Jadi ini hanya salah satu situs atau tempat bersejarah saja. Bagi jamaah ketika mereka sudah berada di sekitar Arafah, sayang waktu yang ada ketika mereka tidak ada aktifitas apapun untuk tidak mengunjungi yang namanya Jabal Rahmah. Ini di luar tidak ada sunnahnya dan tidak ada kewajibannya atau masuk ke dalam rukun haji. Hanya sebagai napak tilas saja dan memanfaatkan momentum saja.
5. Peneliti: Lanjut pada foto yang berjudul “berdoa”, bagaimana pendapat Bapak?
Narasumber: Soal keyakinan berdoa, jadi di Arafah itu adalah puncak dari ibadah haji, tidak sah bagi seorang muslim dalam melaksanakan ibadah haji, tapi mereka tidak tinggal atau melaksanakn wukuf di padang Arafah. Ketika mereka melaksanakn wukuf, maka mereka dianjurkan untuk memperbanyak berdoa, memperbanyak zikir, zikir tersebut bisa tahlil, tahmid, takbir atau segala macam untuk memaksimalkan waktu yang ada sambil menunggu pelaksanaan ibadah yang berikutnya. Selama prosesi itu, meraka ada yang berdoa, ada yang membaca Al Quran, ada yang berzikir dan lain sebagianya. Nah dalam foto ini ditampilkan mereka yang sedang berdoa. Tapi kalau dilihat dari sisi foto dengan ada pemandangan dari matahari ini ada di atas bukit Jabal Rahmah.
6. Peneliti: Kemudian kalau menelisik foto selanjutnya yang berjudul “menuju Arafah”, bagaimana pa?
Narasumber: Okeh ini menuju Arafah, mereka sebelumnya adalah berada di antara Mina dan Muzdalifah. Kemudian mereka karena wukuf adalah sebuah kewajiban, maka mereka harus melaksanakan ibadah wukuf. Karena itu mereka mencoba harus memaksakan diri untuk berangkat. Mereka ini kalau dilihat dari foto adalah orang-orang yang biasanya dari Eropa, bukan orang Asia. Yang sering melakukan seperti ini
3
adalah orang-orang Afrika. Mereka biasanya naik di atas bis karena di bagian dalam biasanya sudah penuh. Akibat suasana yang sudah tidak kondusif di dalam mobil, jadinya sekalian mereka berada di atas yang udara pastinya juga bermacam-macam. Mungkin mereka merasa lebih nyaman di atas. Gaya-gaya yang duduk di atas kendaraan pada saat menuju Arafah itu biasanya dilakukan oleh jamaah-jamaah Afrika.
7. Peneliti: Jadi dalam foto ini digambarkan bahwa pengorbanannya luar biasa ya pak?
Narasumber: Karena ini merupakan kewajiban seluruh jamaah untuk ke Arafah. Dengan kondisi seperti apapun,mereka sakit sekalipun, tetap saja mereka harus ke Arafah.
8. Peneliti: Selanjutnya pada foto dengan judul “Arafah”, bagaimana pandangan bapak?
Narasumber: Ini pandangan secara umum tentang padang Arafah tempat yang ada kemah-kemah jamaah. Terdapat sekian ribu tenda yang di dalamnya biasanya hampir satu rombongan, bukan satu kloter. Kalau satu kloter jumlahnya dalam satu penerbangan biasanya sekitar 450 jamaah. Dalam satu tenda yang terdiri dari satu rombongan atau satu regu dan biasanya sekitar 45 orang. Aktifitas mereka di dalam tenda pun beragam, ada yang istirahat, bersenda gurau, berzikir dan banyak lagi yang lainnya.
9. Peneliti: Lalu penempatan tenda ini berdasarkan apa pak?
Narasumber: Biasanya telah ditentukan negara mana di tempatkan di mana, hanya memang untuk Indonesia karena jumlah propinsinya yang banyak maka penempatannya juga mungkin berbeda-beda. Rata-rata setiap tahun sebanyak 210 ribu jamaah yang diberangkatkan dari Indonesia, kecuali pada 2013 ini mendapat pemangkasan jumlah porsi keberangkatan. Karena banyaknya jumlah jamaah dari Indonesia, terkadang kemah dari jamaah haji Indonesia terpisah-pisah. Makanya hampir dari setiap tenda ini terdapat tanda untuk mengingatkan jamaah yang jalan-jalan kemudian lupa dengan tendanya.
10. Peneliti: Langsung saja pada foto selanjutnya yang berjudul “tetap semangat”, bagaimana menurut Bapak?
Narasumber: Kewajiban berhaji itu untuk seluruh umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan terutama yang sudah akil baligh. Tapi dalam foto ini kita lihat bahwa terdapat anak kecil yang sedang tertidur dan dibawa oleh ayahnya. Ini menunjukkan bahwa mereka juga sedang menuju Arafah. Seperti pada sebelumnya, karena Arafah itu merupakan rukun haji yang harus diikuti, maka kondisi seperti apapun dari jamaah selama mereka masih bisa untuk dibawa, kecuali yang namanya kondisi sakit kalau tidak memungkinkan lagi, tapi semaksimal mungkin biasanya mereka akan mengupayakan untuk dibawa ke Arafah. Demikian juga dengan apa yang ada di foto ini, anak kecil ini telah terdaftar sebagai jamaah. Karena wukuf di Arafah merupakan rukun dari haji, maka mau tidak mau sang ayah ini harus membawa si anaknya untuk
4
menuju Arafah. Perkara anaknya lagi tidur pada saat di Arafah itu tidak masalah, yang penting selama prosesi pelaksanaan ibadah haji mereka tidak saling membantah, berdebat maupun berbuat fasik dan insya Allah hajinya pun akan diterima. Ada perbedaan pandangan ijma’ ulama soal kewajiban anak, pertama apakah anak ketika orangtuanya sudah mampu membiayai haji dengan mereka yang belum akil baligh, sebagian lain ada yang mengatakan kalau terhitung mampu maka mereka telah dikatakan wajib haji. Mampu di sini memiliki makna yang sangat luas. Mampu dapat dikategorikan masuk dalam akil baligh, juga mampu dalam hal fisik dan juga biaya. Yang jarang ditambah lagi yaitu istita’ah dalam memahami prosesi manasik haji. Ini yang sangat minim dimiliki jamaah haji. Para ulama pun berbeda pendapat bahwa yang dimaksud dengan istita’ah itu hanya tiga hal, pertama soal biaya, fisik kemudian keamanan. Selama keamanan mereka terjaga, maka mereka bisa masuk dalam kategori mampu. Tapi soal apakah jamaah tersebut memahami seluruh prosesi tata cara beribadah haji, hal itu pun para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan untuk makna istita’ah ini mampu atau tidak, karena semua bahasa dan semua ibadah yang dilaksanakan atau yang berkaitan dengan prosesi ibadah haji itu bisa saja dilakukan dengan cara yang mereka kerjakan. Tapi bagaimana memahami hal tersebut itu menurut saya pribadi sangat penting. Republika beberapa kali menerbitkan tulisan soal pentingnya memahami manasik haji, sampai kemudian kami pernah mengusulkan supaya calon jamaah haji yang mereka akan pergi haji, mereka harus mendapatkan sertifikat haji. Inti dari sertifikat jikalau seseorang belum mendapatkan sertifikat haji, maka mereka tidak wajib untuk berhaji dan mereka tidak masuk dalam kategori istita’ah. Saya secara pribadi setuju dengan sertifikat itu, hal tersebut dikarenakan terdapat perbandingan dengan jamaah haji dari Malaysia. Jamaah haji kita jumlahnya banyak, dari sisi kuantitas kita menang, namun dari sisi kualitas ibadah kita kalah. Kuantitasnya kita sangat banyak sekali jamaah ada 200 ribu, sementara Malaysia itu hanya 10% nya dari kita. Namun dari segi kualitas dalam pemaham ibadahnya, mereka jauh lebih baik dari kita. Hal tersebut dikarenakan di Malaysia terdapat ketentuan kalau mau berhaji, ketika mereka menabung dan berniat tahun depan akan berhaji, maka mulai saat itu juga sudah belajar untuk memahami tata cara beribadah haji. Nanti pada saat berangkat, mereka sudah sangat mumpuni dalam pengetahuan. Sementara kita, umpama tahun depan saya berangkat atau pada hari ini saya menabung, saya akan belajar tata cara manasik haji itu tiga bulan sebelum keberangkatan. Waktu tiga bulan itu sebenarnya tidak cukup, akan lebih baik lagi jauh sebelum menabung atau sejak 10 atau 20 tahun lagi mau berangkat, dan saat itu pula harus memahami selak beluk ibadah haji. Seperti thawaf itu seperti apa, apa makna filosofinya, apa makna yang terkandung di dalamnya. Kemudian sa’i itu seperti apa, apa bacaannya. Kecil kemungkinan dalam waktu 10 tahun atau 5 tahun atau mungkin 3 tahun si orang tersebut tidak hafal doa-doa haji, makna filosofi dari ibadah haji. selain itu juga ikut dipahami mengenai thawaf itu apa, sa’i itu apa, melempar jumrah itu apa, wukuf itu apa. Akan sangat sia-sia ketika jamaah haji tidak bisa memaksimalkan atau tidak bisa memahami makna terdalam dari prosesi ibadah haji. Kembali ke pokok mengenai anak, jadi dengan anak yang ada di foto ini para ulama tadi berbeda pendapat bahwa ada yang mengatakan apakah setelah anak yang
5
sudah berhaji yang mereka belum akil baligh itu punya masih memiliki kewajiban berhaji setelah mereka akil baligh. Hampir mayoritas ulama menyatakan bahwa anak yang berhaji masih usia belum akil baligh, namun nanti saat dewasa atau setalah akil baligh masih memiliki kewajiban untuk berhaji. Bagi sebagian yang lainnya tidak, mereka memaknai secara umum bahwa kewajiban berhaji hanyalah satu kali, kedua kali dan seterusnya hanyalah sunnah. Namun timbul pertanyaan kembali kalau si anak yang melakukan ibadah haji belum memahami makna ibadah haji, maka nanti bisa dibadalkan atau digantikan dengan orang lain.
11. Peneliti: Kemudian apabila ada anak yang belum akil baligh namun telah berhaji, apakah dia telah mendapatkan gelar haji?
Narasumber: Gelar haji itu kayanya hanya ada di Indonesia dan wilayah Asia Tenggara lainnya. Contohnya saja seperti Mike Tyson, dia walaupun telah berhaji namun tidak memakai gelar haji tersebut. Haji itu hanya gelar saja, tidak perlu harus dipasang sebenarnya. Berbeda memang yang berkembang di masyarakat kita bahwa haji itu adalah perjuangan. Soal gelar ini juga terkait semisalnya soal ketika kita kuliah, kemudian mendapat gelar Doktor sampai pada gelar Profesor, ketika kita hanya menyebutkan nama orang tersebut tanpa embel-embel gelar yang dimiliki ada sebagian Profesor yang protes. Kemudian saat kita tanya apakah penyebutan gelar tersebut penting, lantas Profesor itu menjawab berapa banyak pengeorbanan dan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan gelar tersebut. Artinya memang orientasi berbeda, jadi bagi masyarakat kita yang pribumi menganggap gelar haji itu penting dan bagi masyarakat lain gelar haji itu tidak penting, yang penting hanyalah bahwa mereka pernah melaksanakan ibadah haji dan memahami makna ibadah haji tersebut. Jadi kembali ke pribadi orang tersebut ingin menggunakan gelar haji atau tidak. Berbeda lagi kalau di Eropa atau Afrika apakah mereka menggunakan gelar bernama haji atau tidak.
12. Peneliti: Dalam foto ini si anak tidak menggunakan pakaian ihram sedangkan ayahnya menggunakan pakain ihram, apakah anak tersebut harus menggunakan pakaian ihram atau hanya pakaian biasa saja?
Narasumber: Ketika berhaji pada dasarnya harus menggunakan pakaian ihram yang telah ditentukan, bagi laki-laki pakaian ihram terdiri dari dua helai kain yang tidak berjahit dan di salah satu pundak harus terbuka. Berbeda lagi dengan pakaian ihram perempuan yang terdiri dari pakaian berjahit yang menutupi seluruh anggota tubuh terkecuali wajah dan telapak tangan. Dalam hal seperti ini, selama pakaian yang digunakan terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka mereka dikatakan bisa melakukan ibadah itu. Seperti itu gambaran dari beberapa foto haji ini.
13. Peneliti: Baik pak, terimakasih atas kesempatan wawancara singkat mengenai foto-foto ibadah haji, wassalamu’alaikum.
Narasumber: Iya sama-sama, wa’alaikum salam.
6
Narasumber
Syahrudin El Fikri