republika batik

3
“P arang klithik? Apa ya, nama senjata tajam, bukan?” celoteh Rina, siswa kelas IX sebuah SMP swasta ternama di Jakarta Selatan. Ia baru mengangguk-angguk ketika salah seorang mentor di kelas membatik yang diikutinya, menunjuk baju yang dike- nakannya, batik dengan ornamen lereng, motif parang klithik. Tak hanya kaya warna dan rumit dalam proses pembuatannya, setiap motif batik juga memiliki makna filosofi yang unik dan menarik. Keistimewaan ini tak dimiliki oleh kain manapun dan industri tekstil dimanapun. Motif batik diciptakan tidak ber- dasarkan pertimbangan nilai estetis saja, tetapi juga berdasarkan harapan-harap- an yang dituangkan dalam bentuk ba- nyak simbol. “Dalam secarik kain, ter- dapat makna filosofi yang dalam, cerita, harapan, juga doa,” kata penggiat batik Indra Tjahjani. Sebutlah misalnya motif Parang. Motif berbentuk mata parang ini melam- bangan kekuasaan dan kekuatan. Di masa lalu, batik motif ini hanya boleh dikena- kan oleh penguasa dan ksatria. Batik jenis ini harus dibuat dengan ketenangan dan kesabaran yang tinggi. Kesalahan dalam proses pembatikan dipercaya akan meng- hilangkan kekuatan gaib batik tersebut. Motif parang sendiri mengalami per- kembangan dan memunculkan varian motif yang beragam, seperti Parang Kusu- ma, Parang Rusak, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah. Karena penciptanya pen- diri Keraton Mataram, maka motif parang menjadi pedoman utama untuk menen- tukan derajat kebangsawanan seseorang. Motif-motif parang dulunya hanya diperkenankan dipakai oleh raja dan keturunannya dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Sehingga jenis motif ini termasuk kelompok batik larangan. Namun seiring perkembangan zaman, motif ini bisa dikenakan oleh siapapun. Sempat mati suri, batik kini naik pa- mor lagi. Apalagi setelah badan dunia UNESCO menetapkannya sebagai waris- an budaya dunia asli Indonesia. Sentra- sentra batik yang semula sepi, kembali giat berproduksi. Batik di tiap daerah, kata Indra yang merupakan pendiri komunitas Mbatik Yuuk, memiliki kekhasan. Batik Tuban — kerap disebut batik Gedog — misal- nya, dalam proses pembuatannya melalui jalan yang panjang, dimulai dari me- mintal bahan kain yang akan dibatik ter- lebih dahulu langsung dari kapas. Setelah menjadi benang, kemudian di tenun dan menjadi selembar kain untuk mulai dibatik. Eksistensi batik gedog sempat mati suri, sempat menjadi langka dan hampir punah. Hal ini dikarenakan banyak pen- grajin batik gedog yang enggan untuk memintal kain terlebih dahulu. Nama Gedog berasal dari bunyi ‘dog-dog’ yang berasal dari alat menenun batik. Proses pembuatan batik gedog Tuban butuh waktu sekitar tiga bulan. Baru-baru ini, Museum Tekstil Indo- nesia menggelar pameran yang menam- pilkan batik dengan motif langka, nitik. Motif ini merupakan ragam hias ceplok- an yang tersusun dari garis-garis halus, balok kecil, segi empat, serta titik-titik halus yang sepintas menyerupai tenunan. Memang, batik nitik diilhami dari kain patola, tenun ikat ganda berbahan sutera asal India. Di Jawa pada masa lalu, kain ini disebut cinde, kain favorit keraton. Membuat batik dengan ragam hias nitik memerlukan keahlian khusus. Hanya pembatik yang sudah andal dan berpengalaman yang mampu menger- jakannya, dengan cantik batik khusus yang digunakan. Di Yogyakarta, canting yang digunakan adalah canting dengan ujung caratnya dibelah empat, sedang di Surakarta bercarat dua. Di Pekalongan, batik nitik dikenal dengan nama batik jlamprang, dibuat dengan canting ber- mata empat buah carat kecil. Beda dengan di Yogyakarta dan Solo, batik jlamprang redup pamornya. Tradisi pembuatan batik nitik di desa Krapyak, Pekalongan, sudah jarang ditemui. Saat ini hanya dibuat dengan cara cap oleh satu keluarga pembatik, karena keahlian membuat jlamprang dengan teknik tulis sudah tak ada yang mewarisi lagi. Jlamprang tulis dibuat terakhir tahun 2006 oleh Almarhum Aisyah, pembatik jlamprang Pekalongan yang terkenal. “Saya keliling Pekalongan mencari batik tulis jlamprang, sangat sedikit yang me- ngenalnya,” kata alumni Culture Heritage Universitas Canberra ini. Motif lama miskin apresiasi Soal nyaris punahnya motif nitik, penggiat batik Kendal, Shuniyya Ruhama Habiballah, tak sepakat. Menurutnya, pembatik jlamprang di Pekalongan masih ada, namun mereka jarang berproduksi. “Permintaannya memang tidak ada. Kalaupun berpro- duksi, hanya sedikit yang diserap pasar,” katanya. Ia menyatakan, booming batik saat ini tak diikuti dengan apresiasi yang tinggi terhadap motif-motif batik lama. “Memang menggembirakan batik kini menjadi tuan rumah lagi di negeri sen- diri, tapi kita kehilangan ruh dari batik itu sendiri,” katanya. Kini, kata dia, mulai muncul batik- batik yang digarap secara serampangan. “Asal kain dicanting, lalu disebut batik,” kata wanita asal Weleri ini. Batik, katanya, sarat filosofi. “Dalam satu kain terdapat cerita, nasihat, pitutur, fatwa, filosofi , doa, dan harapan,” ujar wanita kelahiran tahun 1982 ini. “Ka- lau yang sekarang kita lihat, lebih mengedepankan asal kain dicanting disebut batik. Jadi terdapat kemunduran dari makna batik itu sendiri.” Ia mencontohkan batik Semarangan. “Zaman dulu, batik mereka luar biasa indah sekali. Namun ketika hari ini kita datang ke Semarang, lalu cari batik Se- marangan, yang sebagus zaman dulu tak ada lagi, karena yang muncul batik kon- temporer motif lawang sewu, tugu muda. Bukan batik Semarangan,” katanya. Namun menurutnya, booming batik layak diapreasiasi. “Mestinya menjadi perhatian siapa saja untuk membenahi dan nguri-uri (melestarikan). Jangan sampai motif-motif lama hilang begitu saja,” katanya. Bersaing dengan batik printing Di sisi lain, booming batik juga ‘di- boncengi’ beberapa pihak yang ingin ikut ambil untung dengan membuat batik prin- ting. Banyak motif-motif lama yang di- buat versi printing, yaitu kain dengan ban- tuan mesin, bukan dibatik dengan canting, dibuat menjadi seolah-olah batik. “Kita tahu bahwa printing itu bukan batik. Tapi kain yang diberi motif batik.” katanya. Shuniyya menyatakan tak ada yang salah dengan motif batik tulis yang dija- dikan printing, asal disosialisasikan dengan baik bahwa kain batik printing bukanlah batik. “Apalagi batik tulis har- ganya memang mahal bagi sebagian orang,” katanya. Hal yang sama ditekankan pemulia batik asal Surabaya, Noorlailie Soewar- no Tjahjadi. “Tak masalah asal disosial- isasikan. Yang jadi masalah adalah jika printing dijual dan dibilang sebagai batik cap apalagi tulis,” katanya. Menurutnya, untuk mengenalkan ba- tik pada generasi muda, batik printing tak masalah. Namun harus disosialisasikan juga pada mereka bahwa batik itu bukan motif, melainnya keseluruhan mulai dari motif hingga proses pembuatannya. Lely mengapresiasi tingginya minat masyarakat untuk mencintai batik. “Du- lu, mana ada anak muda mau memakai batik. Batik konotasinya adalah untuk orang tua atau pergi kondangan,” kata do- sen di Universitas Airlangga yang sehari- hari mengenakan kain panjang batik ini. Menurut Lely, panggilan akrabnya, batik adalah karya adilihung bangsa. Ia mencotohkan wanita India yang bangga mengenakan sari sebagai busana mereka sehari-hari. “Sudah selayaknya kita menjaga warisan bangsa ini dan bangga mengenakannya,” katanya. REPUBLIKA KAMIS, 29 AGUSTUS 2013 23 Andika Wahyu/Antara Pesan dari Secarik Batik Oleh Siwi Tri Puji B Motif batik Indonesia sarat makna dan filosofi. Dari secarik kain, mengalir cerita, harapan, dan juga doa. B icaranya lugas. Berbincang batik dengan Shuniyya Ruhama tak per- nah membosankan. terutama ten- tang batik pesisiran yang menjadi passion wanita 31 tahun ini. Padahal, tak setetespun darah pemba- tik menetes di tubuh jebolan FISIP UGM ini. Ia mempelajari batik secara otodidak, sejak usia sangat belia. “Nenek saya ko- lektor batik, dan saya kerap diajak beliau berkunjung ke rumah-rumah pembatik,” katanya. Hobi mengoleksi batik neneknya me- nurun padanya. Namun beda dengan sang nenek, dia kini memutuskan untuk me- ngembangkan batik dengan memproduk- sinya sendiri. Dengan desain sendiri, dia membuat motif kontemporer dengan diil- hami motif lama. Shuniyya juga menghidup - kan motif batik yang sudah tak dibuat lagi. Untuk yang terakhir, ia punya alasan sendiri. Shuniyya ingin mematahkan mitos yang kerap didengungkan segelintir orang yang menjual batik dengan harga selangit bahwa batik-batik tertentu tak mungkin dibuat lagi. “Saya melawan kenakalan — dalam tanda petik — para makelar Batik. Tak sekadar membual, tapi saya mem- buat,” katanya. Ia mengaku sempat gemas dengan pihak yang mendompleng populeritas ba- tik demi mengeruk untung. “Ada batik yang sebenernya gampang dibuat, dimun- culkan seolah-olah langka dan harganya selangit,” katanya. Pecinta baru batik, kata dia, banyak yang tak mengerti batik. “Inilah yang di- manfaatkan oleh para makelar batik yang tak bertanggung jawab. Sehingga ada batik yang sebenarnya gampang dibuat, harganya menjadi luar biasa,” katanya. Ia mencontohkan batik opera istambul bisa dihargai sampai Rp 5 juta. “Padahal biaya produksinya, termasuk membayar dengan layak pembantiknya, hanya sekitar Rp 1 juta,” kata dia. Selain itu, ada juga batik-batik tertentu yang sebenarnya masih bisa direpro, tapi dengan berbagai dalih dan “bumbu”, dipasarkan dengan harga sangat mahal. “Demakan ada yang dijual sampai Rp 7,5 juta. Padahal harganya kalau dibuat paling Rp 1,5 juta,” katanya. Hal-hal seperti ini, katanya, tidak bisa dicerna dengan baik oleh pecinta batik. “Bisa dimaklumi karena pengetahuan yang minim dan industri batik sempat mati suri,” katanya, yang pernah merepro batik basurek, batik dengan motif huruf Arab yang pertama diciptakan oleh Sunan Gunung Jati. Bagi Shuniyya, batik adalah karya seni. Itu sebabnya, dia tak pernah memburu- buru pembantiknya -- jumlahnya lebih dari 80 orang dan tersebar di Kendal, Batang, dan Pekalongan -- untuk menyelesaikan satu karya. “Pembatik itu ibarat seniman. Karya seni yang indah, tentu tak lahir dengan cara instan,” kata dia. Mematahkan Mitos Para ‘Makelar’ Batik Dok Noorlailie Soewarno Tjahjadi

Upload: batikshuniyya

Post on 08-Apr-2016

136 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Liputan Batik diRepublika

TRANSCRIPT

Page 1: Republika Batik

“Parang klithik?Apa ya, namasen jata tajam,bukan?” celotehRi na, sis wa kelasIX se buah SMP

swas ta ternama di Jakarta Selatan. Iabaru meng angguk-angguk ketika salahseorang mentor di kelas membatik yangdiikutinya, menunjuk baju yang dike-nakannya, batik de ngan ornamen lereng,motif parang klithik. Tak hanya kaya warna dan rumit

dalam proses pembuatannya, setiapmotif batik juga memiliki makna filosofiyang unik dan menarik. Keistimewaanini tak dimiliki oleh kain manapun danindustri tekstil dimanapun. Motif batik diciptakan tidak ber -

dasarkan pertimbangan nilai estetis saja,tetapi juga berdasarkan harapan-ha rap -an yang dituangkan dalam bentuk ba -nyak simbol. “Dalam secarik kain, ter-dapat makna filosofi yang dalam, cerita,harapan, juga doa,” kata penggiat batikIndra Tjahjani.Sebutlah misalnya motif Parang.

Motif berbentuk mata parang ini melam-bangan kekuasaan dan kekuatan. Di masalalu, batik motif ini hanya boleh dikena -kan oleh penguasa dan ksatria. Batik jenisini harus dibuat dengan ketenangan dankesabaran yang tinggi. Kesalahan dalamproses pembatikan dipercaya akan meng -hilangkan kekuatan gaib batik tersebut.Motif parang sendiri mengalami per -

kembangan dan memunculkan varianmo tif yang beragam, seperti Parang Kusu -ma, Parang Rusak, Parang Klithik, danLereng Sobrah. Karena penciptanya pen -diri Keraton Mataram, maka motif parang

menjadi pedoman utama untuk menen-tukan derajat kebangsawanan seseorang.Motif-motif parang dulunya hanyadiperkenankan dipakai oleh raja danketurunannya dan tidak boleh di pa kaioleh rakyat biasa. Sehingga jenis mo tif initermasuk kelompok batik la rang an.Namun seiring perkembangan za man,motif ini bisa dikenakan oleh siapapun.Sempat mati suri, batik kini naik pa -

mor lagi. Apalagi setelah badan duniaUNES CO menetapkannya sebagai waris -an budaya dunia asli Indonesia. Sentra-sen tra batik yang semula sepi, kembaligiat berproduksi. Batik di tiap daerah, kata Indra yang

merupakan pendiri komunitas MbatikYuuk, memiliki ke khas an. Batik Tuban— kerap disebut ba tik Gedog — misal-nya, dalam proses pem buatannya melaluijalan yang pan jang, dimulai dari me -mintal bahan kain yang akan dibatik ter-lebih dahulu langsung dari kapas.Setelah menjadi benang, kemudian ditenun dan menjadi selembar kain untukmulai dibatik. Eksistensi batik gedog sempat mati

suri, sempat menjadi langka dan hampirpunah. Hal ini dikarenakan banyak pen-grajin batik gedog yang enggan untukmemintal kain terlebih dahulu. NamaGedog berasal dari bunyi ‘dog-dog’ yangberasal dari alat menenun batik. Prosespembuatan batik gedog Tuban butuhwaktu sekitar tiga bulan.Baru-baru ini, Museum Tekstil Indo -

nesia menggelar pameran yang menam -pilkan batik dengan motif langka, nitik.Motif ini merupakan ragam hias ceplok -an yang tersusun dari garis-garis halus,balok kecil, segi empat, serta titik-titikhalus yang sepintas menyerupai tenunan. Memang, batik nitik diilhami dari kain

patola, tenun ikat ganda berbahan su teraasal India. Di Jawa pada masa lalu, kainini disebut cinde, kain favorit keraton. Membuat batik dengan ragam hias

nitik memerlukan keahlian khusus.Hanya pembatik yang sudah andal danberpengalaman yang mampu menger-jakannya, dengan cantik batik khusus

yang digunakan. Di Yogyakarta, cantingyang digunakan adalah canting denganujung caratnya dibelah empat, sedang diSurakarta bercarat dua. Di Pekalongan,batik nitik dikenal dengan nama batikjlamprang, dibuat dengan canting ber -mata empat buah carat kecil. Beda dengan di Yogyakarta dan Solo,

batik jlamprang redup pamornya. Tradisipembuatan batik nitik di desa Krapyak,Pekalongan, sudah jarang ditemui. Saatini hanya dibuat dengan cara cap olehsatu keluarga pembatik, karena keahlianmembuat jlamprang dengan teknik tulissudah tak ada yang mewarisi lagi.Jlamprang tulis dibuat terakhir tahun2006 oleh Almarhum Aisyah, pembatikjlamprang Pekalongan yang terkenal.“Saya keliling Pekalongan mencari batiktulis jlamprang, sangat sedikit yang me -ngenalnya,” kata alumni CultureHeritage Universitas Canberra ini.

Motif lama miskin apresiasiSoal nyaris punahnya motif nitik,

penggiat batik Kendal, ShuniyyaRuhama Habiballah, tak sepakat.Menurutnya, pembatik jlamprang diPekalongan masih ada, namun merekajarang berproduksi. “Permintaannyamemang tidak ada. Kalaupun berpro-duksi, hanya sedikit yang diserap pasar,”katanya. Ia menyatakan, booming batik saat

ini tak diikuti dengan apresiasi yangtinggi terhadap motif-motif batik lama.“Memang menggembirakan batik kinimenjadi tuan rumah lagi di negeri sen -diri, tapi kita kehilangan ruh dari batikitu sendiri,” katanya. Kini, kata dia, mulai muncul batik-

ba tik yang digarap secara serampangan.“Asal kain dicanting, lalu disebut batik,”kata wanita asal Weleri ini.Batik, katanya, sarat filosofi. “Dalam

satu kain terdapat cerita, nasihat, pitutur,fatwa, fi lo sofi , doa, dan harapan,” ujarwanita kelahiran tahun 1982 ini. “Ka -lau yang sekarang kita lihat, lebihmengedepankan asal kain dicantingdisebut batik. Jadi terdapat kemundurandari makna batik itu sendiri.”Ia mencontohkan batik Semarangan.

“Zaman dulu, batik mereka luar biasaindah sekali. Namun ketika hari ini kita

datang ke Semarang, lalu cari batik Se -marangan, yang sebagus zaman dulu takada lagi, karena yang muncul batik kon-temporer motif lawang sewu, tugu muda.Bukan batik Semarangan,” katanya. Namun menurutnya, booming batik

layak diapreasiasi. “Mestinya menjadiper hatian siapa saja untuk membenahidan nguri-uri (melestarikan). Jangansam pai motif-motif lama hilang begitusaja,” katanya.

Bersaing dengan batik printingDi sisi lain, booming batik juga ‘di -

boncengi’ beberapa pihak yang ingin ikutambil untung dengan membuat batik prin -ting. Banyak motif-motif lama yang di -buat versi printing, yaitu kain dengan ban -tuan mesin, bukan dibatik dengan canting,dibuat menjadi seolah-olah ba tik. “Kitatahu bahwa printing itu bukan batik. Tapikain yang diberi motif batik.” katanya.Shuniyya menyatakan tak ada yang

sa lah dengan motif batik tulis yang dija -dikan printing, asal disosialisasikandengan baik bahwa kain batik printingbu kanlah batik. “Apalagi batik tulis har-ganya memang mahal bagi sebagianorang,” katanya. Hal yang sama ditekankan pemulia

batik asal Surabaya, Noorlailie Soe war -no Tjahjadi. “Tak masalah asal disosial-isasikan. Yang jadi masalah adalah jikaprinting dijual dan dibilang sebagai batikcap apalagi tulis,” katanya. Menurutnya, untuk mengenalkan ba -

tik pada generasi muda, batik printing takmasalah. Namun harus disosialisasikanjuga pada mereka bahwa batik itu bukanmotif, melainnya keseluruhan mu lai darimotif hingga proses pembuatannya. Lely mengapresiasi tingginya minat

masyarakat untuk mencintai batik. “Du -lu, mana ada anak muda mau mema kaiba tik. Batik konotasinya adalah untukorang tua atau pergi kondangan,” kata do -sen di Universitas Airlangga yang seha ri- hari mengenakan kain panjang batik ini. Menurut Lely, panggilan akrabnya,

batik adalah karya adilihung bangsa. Iamencotohkan wanita India yang banggamengenakan sari sebagai busana merekasehari-hari. “Sudah selayaknya kitamenjaga warisan bangsa ini dan banggamengenakannya,” katanya. �

REPUBLIKA KAMIS, 29 AGUSTUS 2013 23

Andika Wahyu/Antara

Pesan dariSecarik Batik

� Oleh Siwi Tri Puji B

Motif batik Indonesia saratmakna dan filosofi. Dari secarik kain, mengalir cerita, harapan,dan juga doa.

B icaranya lugas. Berbincang batikdengan Shuniyya Ruhama tak per -nah membosankan. terutama ten -

tang batik pesisiran yang menjadi passionwanita 31 tahun ini.

Padahal, tak setetespun darah pemba -tik menetes di tubuh jebolan FISIP UGMini. Ia mempelajari batik secara otodidak,sejak usia sangat belia. “Nenek saya ko -lektor batik, dan saya kerap diajak beliauberkunjung ke rumah-rumah pembatik,”katanya.

Hobi mengoleksi batik neneknya me -nurun padanya. Namun beda dengan sangnenek, dia kini memutuskan untuk me -ngembangkan batik dengan memproduk -sinya sendiri. Dengan desain sendiri, diamem buat motif kontemporer dengan di il -hami motif lama. Shuniyya juga meng hi dup -kan motif batik yang sudah tak dibuat lagi.

Untuk yang terakhir, ia punya alasansendiri. Shuniyya ingin mematahkan mitosyang kerap didengungkan segelintir orang

yang menjual batik dengan harga selangitbahwa batik-batik tertentu tak mungkindibuat lagi. “Saya melawan kenakalan —dalam tanda petik — para makelar Batik.Tak sekadar membual, tapi saya mem -buat,” katanya.

Ia mengaku sempat gemas denganpihak yang mendompleng populeritas ba -tik demi mengeruk untung. “Ada batikyang sebenernya gampang dibuat, dimun -culkan seolah-olah langka dan harganyaselangit,” katanya.

Pecinta baru batik, kata dia, banyakyang tak mengerti batik. “Inilah yang di -manfaatkan oleh para makelar batik yangtak bertanggung jawab. Sehingga adabatik yang sebenarnya gampang dibuat,harganya menjadi luar biasa,” katanya.

Ia mencontohkan batik opera istambulbisa dihargai sampai Rp 5 juta. “Padahalbiaya produksinya, termasuk membayardengan layak pembantiknya, hanya sekitarRp 1 juta,” kata dia.

Selain itu, ada juga batik-batik tertentuyang sebenarnya masih bisa direpro, tapidengan berbagai dalih dan “bumbu”,dipasarkan dengan harga sangat mahal.“Demakan ada yang dijual sampai Rp 7,5juta. Padahal harganya kalau dibuat palingRp 1,5 juta,” katanya.

Hal-hal seperti ini, katanya, tidak bisadicerna dengan baik oleh pecinta batik.“Bisa dimaklumi karena pengetahuanyang minim dan industri batik sempat matisuri,” katanya, yang pernah merepro batikbasurek, batik dengan motif huruf Arabyang pertama diciptakan oleh SunanGunung Jati.

Bagi Shuniyya, batik adalah karya seni.Itu sebabnya, dia tak pernah memburu-buru pembantiknya -- jumlahnya lebih dari80 orang dan tersebar di Kendal, Batang,dan Pekalongan -- untuk menyelesaikansatu karya. “Pembatik itu ibarat seniman.Karya seni yang indah, tentu tak lahirdengan cara instan,” kata dia. �

Mematahkan Mitos

Para ‘Makelar’ Batik

Dok Noorlailie Soewarno Tjahjadi

Page 2: Republika Batik

Batik. Bagi sebagian orangbarangkali sekadar kainyang digambari beragammotif. Lalu, sejalan denganperkembangan fashion danmode, batik pun menggeli-

at menjadi industri fashion. Mulai industrirumahan sampai industri besar. Batik asbusiness as usual. Namun, di sebuah kotakecamatan, sekitar 12 kilometer arah timurKabupaten Rembang, Jawa Tengah, batikbukan sekadar bisnis.Di Lasem, batik menyatu dengan napas

keseharian masyarakat. Di kota kecamatanyang sering dijuluki Tiongkok kecil ini,batik bukan sekadar kain yang dilukisiberagam motif. Setiap titik adalah peng-galan sejarah. Setiap goresan adalah pela-jaran kehidupan. Tangan-tangan terampilpenggerak canting fasih menuangkan titikdan goresan itu menjadi motif indah padaselembar kain; Batik Tulis Lasem. Dan itu,disebut-sebut, sudah terasa sejak berabadlalu. Sejak Lasem masih berstatus kerajaandi bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.Kerajaan Lasem saat itu, sekitar tahun

1351, diperintah Duhitendu Dewi (RatuDewi Indu) atau dikenal sebagai BhreLasem, yang tak lain adalah adik dariPrabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit.Setelah menikah dengan Rajasa Wardhana,seorang petinggi Angkatan Laut Majapahityang berpangkalan di Pelabuhan Lasem,Dewi Indu pun menetap dan tinggal diLasem. Sejumlah referensi menyebut DewiIndu-lah yang memulai pembuatan batikdi Lasem. “Saat itu, motif-motif khas Jawamasih mendominasi batik Lasem,” ungkapJoko Sri Purwanto, pengusaha batik tulisLasem, Sekar Mulyo.Salah satunya adalah motif sekar jagad.

Motif ini dengan sangat gamblang men-uangkan semua keindahan dan kemakmu-ran di bumi. Saat itu, Lasem yang terletakdi pesisir, memang dikenal sebagai daerahyang subur dan indah, baik di daratanmaupun di laut. Sekar jagad benar-benarsoal keindahan alam. Batik bermotif inijelas menampilkan titik-titik putih miripberas tumpah yang melambangkan kesub-uran Lasem. Di selembar kain, berastumpah berpadu apik dengan motif bungadan tumbuhan serta keindahan laut, sepertirumput laut. Budaya membatik di Lasem terus ber-

jalan sampai pada 1413, ketika armadaLak samana Cheng Ho, menurut bukuSabda Bradasanti, mampir ke Lasem untukmelakukan perbaikan kapal dan menu-runkan awak kapal yang sakit untukberobat. Bi Nang Un, nakhoda armada,menyadari Lasem adalah daerah subur danbanyak orang Campa. Maka, Bi Nang Unpun meminta izin kepada LaksamanaCheng Ho untuk menetap di Lasem, tidakikut melanjutkan pelayaran. Izin diberikanizin dan Bi Nang Un pun memboyongistrinya, Na Li Ni, serta putranya, Bi NangNa, dan putri bungsu, Bi Nang Ti.Kehadiran keluarga Bi Nang Un inilah

yang diyakini jadi titik awal berpadunyamotif Jawa pada batik Lasem dengan motifkhas Cina. Apalagi, Na Li Ni juga diyakiniturut ambil bagian dalam kegiatan mem-batik. Maka, beragam keindahan bumiLasem pun berpadu dengan motif khasCina, seperti pohon bambu serta hewan-hewan khasnya, seperti burung hong dansosok naga. Motif bambu pun berpadudengan motif burung elang. Begitu puladengan motif sekar jagad yang dipadudengan sosok naga.Seperti juga perpaduan motif batik,

dalam keseharian akulturasi dan pembau-ran antara Hoakiao (masyarakat Cina per-antauan) dan masyarakat setempat dengankultur Jawa, juga kental terasa. Sejak itupula batik tulis Lasem mendapat tempatpenting pada sektor perdagangan. Parasaudagar mengirim batik Lasem ke berba-gai pulau di nusantara.Pembauran semakin kental terasa ke -

ti ka terajadi Geger Cina (Tragedi Angke)di Batavia pada sekitar 1740-an. Banyakmasyarakat Cina di Batavia saat itu men-galami tindakan represif dari PemerintahBelanda (VOC) sebagai balasan atas pem-berontakan. Ribuan tewas dan sebagianmengungsi ke Lasem. Kedatangan peng -ungsi Cina dari Batavia disambut baikpemimpin Lasem saat itu, Adipati Widya -ningrat. Sang adipati, bersama Raden PanjiMargana, putra dari Pangeran TejakusumaV, serta para pengungsi akhirnya sepakatbersama mengangkat senjata mengusir

VOC dari Pulau Jawa.Goresan damar dari canting dan tangan

terampil perajin batik Lasem tak hanyamencerminkan berbaurnya budaya Jawadan Cina, tapi juga menghadirkan per-lawanan masyarakat Jawa dan Cina diLasem saat berjuang melawan penindasanVOC Belanda. Tak berhenti pada zamanVOC, perlawanan masyarakat Jawa danCina juga terasa saat terjadi kerja paksaBelanda dalam pembuatan Jalan Anyer-Panarukan yang juga melintasi wilayahLasem. Ekspresi kejengkelan sekaligus per-lawanan masyarakat Lasem saat itudituangkan dalam motif-motif batik, seper -ti motif Watu Pecah atau Kricak. “Motifinilah yang jadi simbol perlawanan ter-hadap kerja paksa yang dilakukan VOCpada warga setempat,” ujar Joko.Motif dan warna batik Lasem, yang

didominasi warna merah, merupakan per-tautan budaya Tionghoa dengan budayaJawa. “Dari selembar batik Lasem, ada ki -sah tentang persatuan etnis dan budaya,”kata Njo Tjoen Hian (80), pembatik Lasem,juga sebagai salah satu tokoh pentingLasem yang dikenal dengan nama SigitWitjaksono.Sejak bersama melawan penjajahan

VOC itulah kehidupan masyarakat Jawadan Cina di Lasem terasa harmonis. “Bah -kan, boleh dibilang sejak 1929, sudah tidakada lagi benturan atau konflik berbauSARA di Lasem,” ungkap Sigit, yang taklain merupakan turunan kedelapan darinenek moyangnya yang datang ke Lasempada sekitar 1750-an.Akulturasi dan perlawanan terhadap

penjajahan hanya sebagian dari yang tecer-min dalam motif batik tulis Lasem. Selainmotif-motif tersebut, kata Joko, batik tulisLasem juga menggambarkan nilai-nilaipersatuan dan kebersamaan yang sangatkuat. Joko lalu menunjuk pada motif batikTiga Negeri. Di motif ini, dia bilang, aromapersatuan tergambar jelas. Batik Tiga Ne -geri merupakan perpaduan tiga warna daritiga daerah berbeda.Batik tulis Lasem sejak dulu dikenal

memiliki kekhasan pada warna merahdarah ayam. Kabarnya, banyak pembatikdari luar Lasem tidak bisa membuat warnamerah tersebut. Maka, setelah diberi warnamerah khas Lasem, motif batik yang samadibawa ke Pekalongan untuk diberi warnabiru (biron), dan terakhir dibawa ke Solountuk diberi warna cokelat sogan yangkhas. Motif batik Tiga Negeri ini, tambahJoko, sudah ada sejak 17 tahun lalu. Dan,mengingat sarana transportasi pada zamanitu tidak sebaik sekarang, batik Tiga Negeripun dianggap salah satu masterpiece batik.Soal warna merah khas Lasem, Joko

me ngatakan, ada sebuah penelitian yangmeng ungkapkan warna tersebut dipen-garuhi sumber air di Lasem. “Sumber inime ngandung senyawa tertentu, yang jikadicampur dengan cat warna merah bisamenghasilkan warna merah khas Lasem,”ujarnya. Sumber air ini yang tidak ada dikota lain.Dalam perkembangannya, batik tulis

Lasem bersama motif-motifnya yang saratmakna dan simbol kehidupan mereduppamornya. Kehadiran batik-batik cap(print), yang kemudian juga berubahmenjadi industri besar, dengan harga yangjauh lebih murah jadi salah satu penyebab-nya. Sebab lainnya, kata Joko, masyarakatLasem yang terbiasa dengan budaya batiktulis seperti tidak ingin beralih ke batikcap. “Kita semua tetap dengan batik tulis.Usaha kebanyakan perajin batik di Lasempun seperti mati suri, hidup segan mati takmau,” katanya.Dengan jangkau pasar batik cap yang

jauh lebih luas, batik tulis Lasem semakintenggelam. Namun, setelah UNESCO me -ne tapkan batik masuk Daftar Representatif

sebagai Representative List of theIntangible Cultural Heritage of Humanitypada 2009 lalu, bersama batik-batik daerahlain batik Lasem kembali hidup.Pengakuan internasional tersebut

seperti angin segar bagi industri batik,terutama industri rumahan seperti diLasem. Sebagai warisan budaya dunia,batik tulis Lasem sudah saatnya bangkit.“Warga Lasem memang tak bisa lepas dari

batik tulis,” ungkap Joko tersenyumsembari memperlihatkan koleksi batikkunonya dengan beragam motif lengkapdengan canting kuno pula. Seonggok titik-titik sejarah, goresan pelajaran kehidupan,nilai-nilai akulturasi serta ekspresi per-lawanan terhadap penjajahan yang keluardari ujung canting, dan terpapar dalammotif batik tulis Lasem, memang taksemestinya pudar. �

24-25

� Oleh Agung P Vazza

akulturasiPerlawanan dari Ujung Canting

&

Sejak bersama melawanpenjajahan VOC itulah ke-hidupan masyarakat Jawadan Cina di Lasem terasaharmonis.

Agung P Vazza/Republika

Agung P Vazza/Republika

Agung P Vazza/Republika

Agung P Vazza/Republika

� Motif Watu Pecah

� Motif Tiga Negeri

� Motif Sekar Sejagad

� Motif Hong Bambu

Page 3: Republika Batik

B atik Lasem tak bisa di -pisahkan dari tradisi batikpesisir pada umumnya. Mo -tif batik pesisir memperli-

hatkan gambaran yang berbeda darimotif batik keraton. Jika motif batikkeraton mengikuti pakem-pa kem ter-tentu, batik pesisir lebih be bas danlebih kaya akan motif dan warna. Motif batik pesisir umumnya be -

rupa tanaman, binatang, dan ciri khaslingkungannya. Menurut Asti Musmardan Ambar B Arini dalam buku,Batik: Warisan Adiluhung Nu santara,batik pesisir banyak menyerap pe -ngaruh luar, seperti pedagang asingdan para penjajah. Karenanya, motif-motif batik ini seperti ‘melompat’ darimotif-motif klasik Jogja-Solo.Sebut contoh motif batik mega -

men dung khas Cirebon. Motif inimerupakan akulturasi dengan bu -daya Cina yang disesuaikan dengancita rasa masyarakat Cirebon yangmayoritas beragama Islam. Batikmotif ini telah berkembang sejaksekitar abad ke-16.Sejarah batik Cirebon dimulai

ketika Pelabuhan Muara Jati menjaditempat persinggahan pedagang dariTiongkok, Arab, Persia, dan India.Ter jadilah akulturasi dan asimilasipada masyarakat Cirebon saat itu. Pernikahan Putri Ong Tien de -

ngan Sunan Gunung Jati disebut-se -but menjadi pintu gerbang bagimasuknya pengaruh budaya Cinapada masyarakat Cirebon. Pernak-pernik Cina yang dibawa Putri OngTien menjadi inspirasi bagi seniman,termasuk seniman batik. Warna-warna cerah dalam teknik

membatik dikenalkan. Juga motif-motif khas negeri Tiongkok. Corakburung phoenix dengan warna merahmenyala diduga muncul karena pe -ngaruh ini. Sejarah batik pesisir juga terkait

dengan perkembangan gerakan tare -kat. Karenanya, kendati terpengaruhmotif Cina, penuangan gambarnyaberbeda, dengan corak bernuansaIslam. Contohnya adalah motif batikpaksi naga lima. Motif ini merupakansimbol pesan keagamaan. Paksi menggambarkan rajawali,

na ga adalah ular naga, dan liman me -nyim bolkan gajah. Motif itu meng -gam barkan peperangan antara ke -baik an melawan keburukan dalammen capai kesempurnaan. Di luar itu,motif ini menggambarkan pa du an tigabudaya: Islam, Cina, dan India. Mengenai pengaruh Cina pada

khazanah batik Indonesia, pendiriDanar Hadi, H Santoso Doellah,menyatakan dimulai tahun 1800-an.Meski bangsa Cina sudah masuk dantinggal di pesisir sejak abad ke-13,orang-orang Cina peranakan mulaimengembangkan batik baru padaabad ke-19.Dalam buku, Batik, Pengaruh Za -

man dan Lingkungan, Santoso me -nyatakan batik mereka khas, me -nampilkan pola-pola dengan ragamhias satwa mitos Cina, seperti naga,singa, burung phoenix atau burunghong, kura-kura, kilin (anjing ber ke -pala singa), dewa, dan mega, de nganwarna khas merah dan biru yangmencolok. Selain kain panjang, mere -ka mengembangkan sarung batik. Sarung-sarung batik yang mereka

kembangkan motifnya mirip denganpola tekstil atau hiasan pada keramikCina kuno, yang umumnya mempun-yai makna filosofis tertentu, misalnyabanji, melambangkan kebahagiaan,atau kelelawar, yang melambangkannasib baik. Perkembangan pesat batik Cina,

kata Santoso, antara lain, disebabkanoleh hak-hak khusus yang diberikanpemerintah jajahan Belanda, yangmembuat mereka mampu bersaingdengan para pedagang pribumi, In dia,dan Arab. Batik-batik Cina yang di -buat sesudah tahun 1910 banyak di -anggap sebagai adikarya, di sam pingbatik-batik Belanda. Ketika ba tikBelanda mulai membanjiri pasar danpermintaan meningkat, para pe dagangCina memanfaatkan peluang ini de -ngan membuat batik dengan pola danragam hias yang mengandung unsurbudaya Eropa meski de ngan cita rasadan warna yang berbeda. Motif-motif batik tersebut berupa

bunga-bunga lotus, seruni, serta bu -ketan (buket bunga) dengan bu rung-burung kecil dan kupu-kupu. Selainwar nanya yang lebih beragam, batikCi na juga lebih halus dan rumit pe -nger jaannya. Dengan isen-isen (motifpengisi) yang lebih beragam, penam -pil an batik Cina lebih hidup dan indah. Di samping batik Cina dengan

pengaruh budaya Eropa, para peda-gang Cina juga membuat berbagaijenis batik untuk pasar pedalamanJawa yang tetap menyukai ragamhias dan warna batik keraton.Mereka kemudian mengembangkanbatik dua negeri dan tiga negeri.Istilah dua dan tiga negeri mengacupada proses penyelesaian batik di duadan tiga kota yang berbeda. Batik ini ‘menabrakkan’ motif

keraton sebagai latar dengan motifbuketan gaya pesisiran. Begitu jugawarna yang dipakai merupakan ‘ke -ro yokan’ warna pesisiran dan kera -ton, yaitu merah, biru, soga, dan krem. Batik dua negeri dibuat di Lasem

untuk pola yang berwarna merah danuntuk warna birunya dikerjakan diKudus atau Pekalongan. Sedangkanuntuk batik tiga negeri, proses pem-buatan dilakukan di Lasem untukpewarnaan merah, warna biru diker-jakan di Kudus atau Pekalongan,sedangkan warna soga di Surakarta,Yogyakarta, atau Banyumas. Hampir sama dengan batik

keraton, pola dan warna batik Cinabanyak yang mengandung maknafilosofis, misalnya merah muda danbiru diperuntukkan bagi gadis muda,biru dan merah oleh wanita setengahbaya, dan untuk wanita berusialanjut menggunakan warna biru,cokelat, lembayung, dan hijau di atasdasar putih. Hal ini sesuai pahamyang dianut oleh orang Cina bahwausia menentukan apa yang dipakai. Pekalongan dikenal sebagai peng-

hasil batik Cina hasil karya-karyaterbaik. Dan, yang sangat terkenalpada abad ke-19 adalah batik Cinabuatan perusahaan Oey Soe Tjoenyang terletak di Desa Kedung Wuni.Selain karena kehalusan pengerjaan-nya, motifnya juga khas, denganmenggabungkan motif Cina danBelanda. Batik Cina sesudah tahun1910 tetap digemari hingga kini.Batik ini dikenal dengan batik encimdan banyak dikembangkan di daerahCirebon, Pekalongan, Demak, Kudus,dan Lasem. �

REPUBLIKA KAMIS, 29 AGUSTUS 2013

� Oleh Siwi Tri Puji B

� Burung hong

Adalah burung yang populer dalam mitologi Cina setelahnaga. Burung hong atau disebut juga burung feng -huang—feng sebutan untuk spesies jantan dan huangsebutan untuk betina—menyimbolkan kebahagiaan. Bi-asanya, burung hong disandingkan bersama naga. Inimelambangkan keindahan dan keabadian. Dikenal jugasebagai burung phoenix, hong juga memiliki arti keaba-dian, lambang siklus kehidupan setelah mati, dan simboldari kebangkitan tubuh setelah mati.

� Watu pecah

Dikenal juga dengan motif krecak. Watu pecahmenggambarkan kejengkelan masyarakat Lasem se-waktu pembuatan jalan Anyer-Panarukan oleh GubernurJenderal Belanda, Herman Willem Daendels, yangmemakan banyak korban. Dalam khazanah batik Lasem,motif ini paling banyak digunakan untuk isen-isen. Selainitu, juga untuk dijadikan highlight di bagian tumpal kain.

� Sekar jagad

Adalah salah satu motif batik khas Indonesia. Motif inimengandung makna kecantikan dan keindahan sehinggaorang lain yang melihat akan terpesona. Ada pula yangberanggapan bahwa motif sekar jagad sebenarnya be-rasal dari kata “kar jagad” yang diambil dari bahasa Jawa(kar atau peta dan jagat yang berarti dunia) sehinggamotif ini juga melambangkan keragaman di seluruhdunia.

� motif tiga negeri

Merujuk pada tiga warna utama yang digunakan dalambatik ini. Pada masa lalu, batik ini juga diselesaikan ditiga tempat yang berbeda untuk menyempurnakanproses pewarnaannya: di Lasem untuk pewarnaanmerah, warna biru dikerjakan di Kudus atau Pekalongan,sedangkan warna soga di Surakarta, Yogyakarta, atauBanyumas.

motif Khas Lasem

Batik PesisirKaya Ragamnya

Agung P Vazza/Republika

Tahta Aidila/Republika

Seno S/Antara

Agung Fama Putra

Adhi Wicaksono