analisis risiko kesehatan lingkungan

26
ANALISIS RISIKO KESEHATAN LINGKUNGAN KADAR TIMBAL DALAM KERANG DARAH DI WILAYAH PESISIR KOTA MAKASAR Disusun Oleh : Kelompok 6 PRKL Charisma Hilda Dewi 101211132106 Nurul Kholifah 101211133013 Salsabila Al Firdausi 101211133049 Anggi Kumalasari 101211133054 DEPARTEMEN KESEHATAN LINGKUNGAN FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AIRLANGGA 2015

Upload: nurul-kholifah

Post on 26-Jan-2016

648 views

Category:

Documents


134 download

DESCRIPTION

ARKL Timbal pada Kerang darah di Pesisir pantai Makassar

TRANSCRIPT

i

i

ANALISIS RISIKO KESEHATAN LINGKUNGAN

KADAR TIMBAL DALAM KERANG DARAH DI WILAYAH PESISIR

KOTA MAKASAR

Disusun Oleh :

Kelompok 6 PRKL

Charisma Hilda Dewi 101211132106

Nurul Kholifah 101211133013

Salsabila Al Firdausi 101211133049

Anggi Kumalasari 101211133054

DEPARTEMEN KESEHATAN LINGKUNGAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2015

ii

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 2

1.3 Tujuan ................................................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 4

2.1 Risk Analysis ....................................................................................... 4

2.1.1 Paradigma Risk Analysis .................................................................. 4

2.1.2 Definisi Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) ............... 5

2.1.3 Metode Studi ARKL ........................................................................ 6

2.1.4 Manajemen Risiko ........................................................................... 11

2.1.5 Komunikasi Risiko ........................................................................... 11

2.2 Timbal ................................................................................................. 12

2.2.1 Timbal pada lingkungan ................................................................... 13

2.2.2 Timbal pada makhluk hidup ............................................................ 13

BAB III PEMBAHASAN ......................................................................... 17

3.1 Hazard Identification .......................................................................... 17

3.2 Dosis Respon ....................................................................................... 18

3.3 Exposure Assessment .......................................................................... 19

3.4 Karakteristik Risiko ............................................................................ 21

3.5 Manajemen Risiko .............................................................................. 21

3.6 Komunikasi Risiko .............................................................................. 22

BAB IV PENUTUP .................................................................................. 23

4.1 Kesimpulan ......................................................................................... 23

4.2 Saran .................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 24

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia tidak akan terlepas dari lingkungan untuk melangsungkan

kehidupannya. Lingkungan senantiasa menyediakan kebutuhan demi mendukung

kesejahteraan makhluk hidup didalamnya khususnya manusia. Dalam praktiknya,

interaksi antara manusia dengan lingkungan menimbulkan suatu dampak dibalik

manfaat yang didapatkan. Tiga aspek lingkungan yang dapat menimbulkan

bahaya pada manusia adalah lingkungan fisik, kimia, dan biologi. Interaksi

manusia dengan bahaya lingkungan menimbulkan suatu risiko.

Risiko dimaknai sebagai kebolehjadian atau probabilitas efek

merugikan pada organisme, populasi maupun sub populasi akibat terpapar suatu

agent lingkungan tertentu. Analisis risiko merupakan suatu proses memperkirakan

risiko pada suatu organisme beserta segala ketidakpastiannya setelah terpajan oleh

suatu agent lingkungan dengan memperhatikan karakteristik agent dan organisme

terpapar. Analisis risiko dapat dilakukan untuk pemajanan yang telah lampau

dengan efek yang telah atau belum terlihat maupun untuk memperkirakan risiko

pemajanan yang akan datang (Basri et al., 2014).

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk analisis risiko adalah

metode Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL). ARKL dapat dilakukan

untuk memantau efek karsinogenik maupun non karsinogenik. Besaran risiko

untuk efek karsinogenik dinamai ECR dan untuk efek non karsinogenik dinamai

RQ. Jika nilai RQ sedikitnya 1, maka risiko perlu dikendalikan, tetapi jika RQ

kurang dari 1, risiko tidak perlu dikendalikan melainkan dipertahankan agar RQ

tidak melebihi 1 (Basri et al., 2014).

Wilayah pesisir pantai merupakan wilayah yang memiliki berbagai

sumberdaya guna mendukung kebutuhan hidup manusia. Namun, pemanfaatan

sumberdaya sekitar pesisir seringkali menimbulkan dampak negatif pada perairan

pesisir. Polutan yang mencemari perairan pesisir dapat tenggelam ke dasar dan

terkonsentrasi dalam sedimen maupun termakan dan terkandung dalam biota laut.

Salah satu polutan yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah timbal (Pb).

2

2

Timbal dapat masuk pada tubuh manusia dan terakumulasi sehingga

menimbulkan efek jangka panjang.

Kawasan pesisir Kota Makasar memanjang dari utara hingga ke selatan.

Terdapat delapan kecamatan yang terletak di wilayah pesisir Kota Makasar.

Menurut data DKPPP tahun 2013 terdapat lima kecamatan yang berpotensi

terkenan pencemaran Pb, yaitu kecamatan Biringkanaya, Ujung Tanah, Tallo,

Mariso, dan Tamalate. Pada kawasan tersebut telah banyak penelitian yang

menunjukkan kadar Pb di perairan tersebut telah melampaui baku mutu sesuai

dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 yaitu

0,05 mg/L (Nurlete et al., n.d.).

Kerang merupakan biota laut yang dapat mengakumulasi logam lebih

besar dari pada hewan air lainnya karena sifatnya yang menetap, lambat untuk

menghindari diri dari pengaruh pencemaran. Kerang merupakan organisme yang

mendapatkan makanan dengan cara menyaring jasad-jasad renik terutama

plankton nabati maupun hewani, sehingga jika lingkungan tempat tinggalnya

tercemar logam berat maka pada tubuh kerang akan terakumulasi logam berat

dalam jumlah tinggi (Nurlete et al., n.d.).

Pada makalah ini, kita ingin melakukan analisis risiko kadar Pb yang

terkandung di dalam kerang darah di wilayah pesisir Kota Makasar dengan tujuan

menentukan apakah risiko yang terdapat pada kerang darah tersebut butuh

tindakan pengendalian atau tidak.

1.2 Rumusan Masalah

a. Berapa besar risiko kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat timbal yang

terkandung dalam kerang darah di daerah pesisir Makasar?

b. Apakah risiko tersebut perlu dilakukan manajemen dan komunikasi

risiko?

c. Apa tindakan manajemen risiko dan komunikasi risiko yang dapat

diambil?

3

3

1.3 Tujuan

a. Memahami teori analisis risiko kesehatan lingkungan dengan studi kasus

b. Mengetauhi besar risiko kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat

kandungan timbal pada kerang darah di daerah pesisir Makasar

c. Menentukan alternatif upaya manajemen dan komunikasi risiko sesuai

dengan karakteristik lingkungan setempat

4

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Risk Analysis

2.1.1 Paradigma Risk Analysis

Risk Analysis merupakan kegiatan memperkirakan risiko dari sebuah

pajanan atau bahaya lingkungan (risk agent) yang dapat menimbulkan efek

merugikan bagi organisme, sub-organisme maupun populasi yang terpajan. Risk

agent terdiri dari tiga macam yaitu biologi, kimia maupun fisik. Risk analysis

dikemukakan pertama kali untuk memperkirakan risiko kanker oleh pajanan

bahan kimia dalam makanan oleh US National Academic of Science di tahun

1983. Paradigma risk analysis dibagi menjadi tiga yaitu research, risk assessment,

risk management (Basri et al., 2014).

Sumber : Basri et al., 2014

Gambar 2.1 Paradigma risk assessment (NRC 1983)

Manajemen risiko bukan merupakan bagian dari risk analysis karena

terdiri dari tiga unsur yaitu evaluasi risiko, pengendalian emisi dan pemajanan,

dan pemantauan risiko. Manajemen risiko adalah proses pengambilan keputusan

untuk penentuan tindakan yang tepat dengan pertimbangan faktor politik, sosial,

ekonomi dan teknik yang relevan dengan pembangunan, analisis, pemilihan dan

pelaksanaan mitigasi risiko akibat bahaya lingkungan. Risk analysis menggunakan

sains, teknik, dan probabilitas statistik untuk memperkirakan risiko kesehatan

5

5

maupun lingkungan yang dapat terjadi sehingga semua pihak yang bersangkutan

dapat mengambil tindakan yang tepat. Suatu manajemen atau pengelolaan risiko

akan tercapai jika terjadi komunikasi koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Hal

ini disebut sebagai komunikasi risiko. Komunikasi risiko bersifat spesifik sesuai

dengan hasil karakterisasi risiko pada risk agent, pola pemajanan, individu atau

populasi yang terpajan, sosio-demografi dan kelembagaan masyarakat dan

pemerintah setempat (Djafri, 2014).

2.1.2 Definisi Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL)

IPCS di tahun 2004 mendefinisikan analisis risiko sebagai proses

menghitung atau memperkirakan risiko pada suatu organisme sasaran, sistem atau

sub-populasi, termasuk identifikasi ketidakpastian yang menyertainya setelah

terpajan oleh agent tertentu, dengan memperhatikan karakteristik yang melekat

pada agent yang menjadi perhatian dan karakteristik sistem sasaran yang spesifik.

Risiko sendiri diartikan sebagai suatu probabilitas efek merugikan pada suatu

organisme, sistem atau sub-populasi akibat pajanan tertentu (Basri et al., 2014).

Analisis risiko dapat digunakan untuk menilai pajanan yang telah

lampau maupun pajanan yang masih diperkirakan (belum terjadi) dengan segala

kemungkinan efek merugikan yang akan dialami oleh organisme terpapar. Bahaya

tidak sama dengan risiko. Bahaya adalah potensi risiko dan risiko tidak akan

terjadi jika tidak mencapai syarat tertentu. Syarat tersebut adalah toksisitas dari

risk agent dan pola-pola pajanannya. Dosis dan waktu pajanan dari sebuah risk

agent akan menentukan besar toksisitas pada organisme. Jika suatu risk agent

dikatakan toksik, tetapi tidak cukup dosis maka tidak akan ada dampak negatif

pada organisme terpapar. Toksisitas merupakan fungsi dari berbagai variabel

seperti dosis, waktu dan karakteristik reseptor biologisnya (Basri et al., 2014).

Efek kesehatan dalam ARKL dibagi menjadi dua yaitu efek

karsinogenik dan non karsinogenik. Efek karsinogenik merupakan efek yang

dapat menimbulkan kanker maupun mutasi gen. Efek karsinogenik dinyatakan

sebagai lifetime cancer risk (risiko kanker yang dapat terjadi suatu waktu

sepanjang hayat) dan excess cancer case (jumlah tambahan kasus kanker per

jumlah populasi). Efek yang diukur pada suatu organisme dapat menunjukkan

keparahan yang berbeda-beda, baik dari rendah hingga paling parah sesuai

6

6

kenaikan dosisnya. Efek seringkali disamakan dengan respon. Pengukuran efek

berbanding lurus dengan pengukuran dosis (Basri et al., 2014). Sehingga

hubungan kuantitatif dosis respon adalah kunci untuk menetapkan kuantitas

tingkat risiko.

Pada bahan kimia yang bersifat karsinogenik maupun non karsinogenik

memberikan ciri efek yang berbeda-beda.

Tabel 2.1 Karakteristik Efek Karsinogenik dan Non Karsinogenik

Non Karsinogenik Karsinogenik

Berambang Tidak berambang

Ada dosis diatas nol yang tidak

menimbulkan efek hingga pada

dosis tertentu

Setiap dosis diatas nol memberikan

efek

Risiko dinyatakan sebagai non

cancer hazard berupa hazard

qoutient dan hazard index

berdasarkan intake dan reference

dose

Risiko dinyatakan sebagai cancer

risk:

1. Slope factor (risk perdoses)

2. Unit risk (risk per media

concentrations)

3. Cancer risk

2.1.3 Metode Studi ARKL

Secara umum, Studi ARKL dibagi kedalam empat tahapan yaitu hazard

identification, analysis dose-respons, exposure assessment, dan risk

characterization. Keempat tahapan tersebut tidak harus dijalankan secara

berurutan tetapi selalu diakhiri dengan risk characterization. Risk

characterization dilakukan secara kuantitatif dengan menggabungkan exposure

assessment dan analysis dose-respons. Nilai estimasi yang didapatkan selanjutnya

digunakan sebagai patokan dalam melakukan manajemen dan pengelolaan risiko

(Rahman, 2007).

Nilai estimasi yang didapat juga bermanfaat untuk menilai efek aktual

yang terjadi pada populasi berisiko dengan melakukan studi epidemiologi. Pada

studi ini akan diperlihatkan berapa proporsi efek negatif penyakit maupun

tingkatan pencemaran, hubungan antara tingkat pencemaran dan angka kejadian

7

7

efek negatif. Dengan demikian, terdapat hubungan antara ARKL dengan studi

epidemiologi yaitu studi epidemiologi sebagai pembuktian perkiraan efek yang

telah dirumuskan pada ARKL. Kedua metode ini baik ARKL maupun studi

epidemiologi merupakan bagian dari Public Health Assessment yang digunakan

pada kajian-kajian kesehatan masyarakat pada studi AMDAL (Basri et al., 2014).

AMDAL merupakan salah satu dokumen lingkungan yang digunakan untuk

memperkirakan dampak lingkungan dari sebuah pembangunan.

a. Hazard identification

Hazard identification merupakan sebuah langkah penentuan apakah

suatu bahan kimia berhubungan secara kausalitas terhadap efek kesehatan

tertentu. Hazard identification merupakan langkah awal dalam melakukan analisis

risiko. Identifikasi bahaya dilakukan dalam tiga tahap yaitu:

1) Identifikasi sifat kimia toksin

Identifikasi ini menentukan apakah bahan kimia tersebut bersifat karsinogenik

atau non karsinogenik

2) Identifikasi jalan masuk dalam tubuh

Terdapat tiga jalan masuk bahan kimia pada tubuh yaitu melalui inhalasi,

digesti, dan dermal.

3) Penentuan tingkat toksisitas toksin

Pada tahap ini kita menentukan peringkat toksisitas dari bahan kimia tersebut

pada tubuh baik pada bahan karsinogen maupun non karsinogenik.

Identifikasi bahaya adalah proses identifikasi efek yang merugikan atau

kapasitas yang dimiliki suatu zat yang dapat menimbulkan kerugian. Pada tahap

ini penting untuk mengenali struktur dan komposisi yang melekat pada risk agent

serta efek yang merugikan kesehatan. Suatu zat dikatakan berbahaya jika

merugikan atau menimbulkan penyakit pada organisme, bahan korosif yang dapat

merusak kulit jika kontak langsung dan bahan karsinogenik yang dapat

menyebabkan kanker (Fatonah, 2010).

b. Exposure assessment

Pajanan merupakan jumlah zat yang sampai, memajani suatu organisme

target, sistem, atau subpopulasi dengan frekuensi dan durasi tertentu. Pemajanan

8

8

mengakibatkan organisme kontak dengan suatu bahaya. Pemajanan pada suatu

organisme dapat melalui tertelan, terminum, terhirup, maupun terserap pada kulit.

Analisis pajanan dilakukan untuk mengevaluasi konsentrasi dan intensitas suatu

risk agent di dalam media lingkungan tertentu sehingga dapat sampai pada

organisme target (Basri et al., 2014).

Tahap analisis pemaparan membutuhkan beberapa data terkait risk

agent maupun organisme target. Data yang dibutuhkan diantaranya adalah rute

pemaparan, media lingkungan yang bersangkutan, frekuensi dan durasi paparan,

karakteristik antropometri organisme target (Fatonah, 2010). Beberapa aspek

penting yang diperlukan pada penilaian terhadap analisis pemajanan IPCS, 2004

dalam Fatonah, 2010 adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2 Aspek Penting pada Penilaian Analisis Pemajanan

No. Aspek Keterangan

1. Agent Biologis, kimia, dan fisika

Agent tunggal, berganda dan campuran

2. Sumber Antropogenik atau non antropogenik, area

atau titik, bergerak atau diam, indoor atau

outdoor.

3. Media pembawa Air, udara, tanah, debu, makanan, produk

4. Jalur pajanan Memakan makanan yang terkontaminasi,

menghirup udara yang terkontaminasi,

menyentuh permukaan benda yang

terkontaminasi

5. Rute pajanan Inhalasi, kontak kulit, ingesti, rute berganda

6. Konsentrasi pajanan Mg/kg (makanan), mg/liter (air), µm/m3

(udara), µm/cm3 (permukaan

terkontaminasi), % (berat)

7. Durasi Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan,

tahun, seumur hidup

8. Frekuensi kontinyu, intermitten, bersiklus, acak

9. Latar pajanan Lingkungan kerja atau bukan lingkungan

kerja, permukiman atau bukan permukiman,

9

9

No. Aspek Keterangan

indoor atau outdoor.

10. Populasi terpajan Populasi umum, sub populasi, individu

11. Lingkup geografis Tempat atau sumber spesifik, lokal, regional,

nasional, internasional, global

12. Kerangka waktu Masa lalu, sekarang, masa depan, trend

Sumber : Human Exposure Assessment, Environmental Health Criteria 214

(IPCS,2000) dalam (Fatonah, 2010).

Tahap ini dilakukan pengukuran intake asupan yakni jumlah asupan

risk agent yang diterima organisme target pada jalur pemajanan tertentu.

Pengukuran intake dilakukan melalui persamaan sebagai berikut:

I = (C.R.te.fe.Dt) / (Wb.tavg)

dengan:

I : Intake asupan per satuan berat badan per hari (m3/kg/hari)

C : Konsentrasi risk agent,

R : Laju asupan

te : Waktu pajanan per hari (jam/hari)

fe : Frekuensi pajanan tahunan (hari/tahun)

Dt : Durasi pajanan, real time atau 30 tahun proyeksi

Wb : Berat badan (Kg)

tavg : Periode waktu rata-rata, 30 tahun x 365 hari/tahun (nonkarsinogenik)

atau 70 tahun x 365 hari/tahun (karsinogenik)

Nilai te didapatkan dari penelitian, fe dihitung dengan mengurangi hari

selama satu tahun (365 hari) dengan lama responden (dalam hari) meninggalkan

lokasi studi. Nilai Dt merupakan hasil penelitian yang menyatakan waktu

responden tinggal di lokasi studi dan terpajan risk agent untuk perhitungan real

time, sedangkan untuk perhitungan sepanjang hayat digunakan Dt default yaitu 30

tahun. R adalah laju asupan yang disesuaikan dengan karakteristik antropometri

organisme target.

c. Analisis dosis respon

10

10

Analisis dosis respon adalah suatu proses memperkirakan besar efek

negatif yang diterima target terpapar terhadap suatu dosis agen risiko tertentu.

Tahap ini adalah tahap paling penting dalam ARKL karena pada ARKL yang

dapat dilakukan analisis hanyalah agen risiko yang besar dosis responnya terukur.

Efek yang dapat timbul pada organisme terpapar bervariasi mulai dari reversible,

kerusakan organ, kerusakan fungsi organ bahkan kematian (Fatonah, 2010).

Terdapat dua ukuran toksisitas yang digunakan pada ARKL yaitu

RFD (Reference Dose) untuk nonkarsinogenik dan CSF (Cancer Slope Factor)

untuk karsinogenik. RfD adalah dosis pajanan harian yang diperkirakan tidak

menimbulkan efek meskipun terpapar sepanjang hayat. Dosis referensi dibedakan

menjadi RfD untuk pajanan oral atau ingesti dan RfC untuk pajanan inhalasi.

Dalam analisis dosis respon, satuan dosis yang digunakan adalah per Kg berat

badan per hari (Rahman, 2007).

Dosis yang digunakan untuk menetapkan RfD adalah yang

menyebabkan efek paling rendah yang disebut NOAEL (No Observed Adverse

Effect Level) atau LOAEL (Lowest Observed Adverse Effect Level). NOAEL

adalah dosis tertinggi yang secara statistik maupun biologis tidak menimbulkan

efek merugikan pada hewan coba maupun manusia. LOAEL adalah dosis

terendah yang dapat menimbulkan efek pada hewan uji atau manusia. RfD atau

RfC diturunkan dari NOAEL atau LOAEL berdasarkan persamaan (Rahman,

2007):

RfD atau RfC = (NOAEL atau LOAEL) / (UF1 x UF2 x UF3 x UF4 X MF)

UF adalah uncertainty factor atau faktor ketidakpastian dengan

UF1=10 untuk variasi sensitifitas dalam populasi manusia (10H, Human), UF2=10

untuk ekstrapolasi dari hewan ke manusia (10A, animal), UF3=10 jika NOAEL

diturunkan dari uji subkronik, bukan kronik, UF4=10 bila menggunakan LOAEL

bukan NOAEL dan MF adalah modifying factor bernilai 1 s/d 10 untuk

mengakomodasi kekurangan atau kelemahan studi yang tidak tertampung UF.

Penentuan UF maupun MF tidak lepas dari unsur subjektifitas (Rahman, 2007).

d. Karakterisasi risiko

Karakterisasi risiko dinyatakan dalam RQ (Risk Quotient) untuk

nonkarsinogenik dan ECR (Excess Cancer Risk) untuk karsinogenik. RQ dihitung

11

11

dengan membagi asupan nonkarsinogenik dengan RfD atau RfCnya. Nilai RfD

atau RfC maupun asupan harus spesifik pada agen kimia tertentu. Jika nilai RQ>1

maka risiko dinyatakan ada dan butuh pengendalian. Jika nilai RQ≤1 maka risiko

perlu dipertahankan agar tidak membahayakan. ECR dihitung dengan mengalikan

CSF dengan asupan karsinogenik. Asupan karsinogenik dan nonkarsinogenik

tidak sama nilainya karena bobot waktu rata-ratanya (tavg) berbeda. Nilai CSF dan

ECR harus spesifik pada bahan kimia tertentu. Karsinogenitas bersifat tidak

memiliki ambang atau non treshold (Rahman, 2007).

2.1.4 Manajemen risiko

Karakterisasi risiko dapat digunakan untuk menentukan pilihan-pilihan

manajemen risiko dengan cara memanipulasi faktor paparan untuk menurunkan

RQ atau ECR sehingga asupan lebih kecil atau sama dengan dosis referensi (Basri

et al., 2014) (Rahman, 2007). Terdapat dua cara yang dapat dilakukan yaitu

mengurangi waktu kontak atau menurunkan konsentrasi agen risiko.

Hasil karakterisasi risiko perlu ditindak lanjuti dengan kegiatan sebagai

berikut (Fatonah, 2010):

a. Merumuskan tingkat risiko (kanker dan nonkanker) menurut intake maksimum

dan intake minimum. Intake maksimum disebut sebagai worst scenario

sedangkan intake minimum sebagai best scenario.

b. Estimasi tingkat risiko pada berbagai konsentrasi, jumlah atau intensitas agen

risiko dan waktu pemajanan.

c. Penetapan nilai-nilai standar berbasis kesehatan. Nilai-nilai ini perlu

ditindaklanjuti melalui proses legislasi atau regulasi menjadi standar kualitas

lingkungan seperti baku mutu atau nilai ambang batas.

Pernyataan kuantitatif pada risiko, perlu juga dirumuskan secara kualitatif.

Penjelasan mengenai batas aman agen risiko yang dikaji pada kondisi-kondisi

tertentu, saran-saran untuk menghindari, meminimalisasi atau menghindari

pajanan.

2.1.5 Komunikasi Risiko

Setelah hasil analisis risiko diketahui dan disusun rencana manajemen

risiko sesuai karakteristik risiko, maka disadari interaksi tidak hanya diperlukan

12

12

antara risk assessor dan risk manager tetapi harus melibatkan semua pihak yang

terkait. Oleh karena itu, risiko dan persepsinya perlu dikomunikasikan secara

transparan. Proses inilah yang dinamakan komunikasi risiko. Komunikasi risiko

berperan secara transparan dan bertanggung jawab tentang proses dan hasil

karakterisasi risiko serta pilihan-pilihan manajemen risikonya kepada pihak-pihak

yang relevan.

2.2 Timbal

Timbal atau yang kita kenal sehari-hari dengan timah hitam memiliki

nama ilmiah plumbum serta disimpulkan dengan Pb. Logam ini termasuk kedalam

kelompok logam-logam golongan IV–A pada tabel Periodik unsur kimia.

Mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan bobot atau berat (BA) 207,2. Pb

merupakan suatu logam berat berwarna kelabu kebiruan dan lunak dengan titik

leleh 327oC dan titik didih 1.620

o C. Pada suhu 550- 600

oC. Pb menguap dan

membentuk oksigen dalam udara membentuk timbal oksida. Bentuk oksidasi yang

paling umum adalah timbal (II). Walaupun bersifat lunak dan lentur, Pb sangat

rapuh dan mengkerut pada pendinginan, sulit larut dalam air dingin, air panas dan

air asam timah hitam dapat larut dalam asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat

pekat (Palar,1994 dalam Ardyanto,2005).

Senyawa organometalik yang terpenting adalah timbal tatreil (tetra ethyl

lead /TEL) dan timbal titrametril lead (tetra metril lead /TML) yang tidak larut

dalam air tetapi mudah larut dalam pelarut organik, lemak dan lipit TEL dan TML

juga mudah menguap (Palar, 1994 dalam Ardyanto, 2005). Jumlah Pb di udara

mengalami peningkatan yang sangat drastis sejak dimulainya revolusi industri di

Benua Eropa, asap yang berasal dari cerobong asap pabrik hingga knalpot

kendaraan telah melepaskan Pb ke udara, hal ini berlangsung terus menerus

sepanjang hari, sehingga kandungan Pb di udara naik secara mencolok sekali, hal

ini dibuktikan dengan satu hasil penelitian terhadap kandungan Pb yang terdapat

pada lapisan es di Greenland pada tahun 1969. Emisi Pb ke dalam atmosfir dapat

berbentuk gas partikulat emisi Pb yang masuk dalam bentuk gas, terutama sekali

berasal dari buangan gas kendaraan bermotor. Emisi tersebut merupakan hasil

samping pembakaran yang terjadi dalam mesin - mesin kendaraan. Pb yang

merupakan hasil samping dari pembakaran ini berasal dari senyawa tetraetil -Pb

13

13

yang selaluditambahkan dalam bahan bakar kendaraan bermotor dan berfung si

sebagai anti ketuk (anti-knock) pada mesin-mesin kendaraan. (Ardyanto, 2005)

2.2.1 Timbal pada lingkungan

Penggunaan Pb di industri dan penambangan semakin meningkat seiring

dengan meningkatnya penambangan, peleburan, pembersih, dan berbagai industri.

Beberapa industri menggunakan Pb sebagai industri, seperti PbO, Pb3O4. Pada

industri baterai, Pb3O4 pada industri cat, PbO pada industri karet Pb sulfat pada

industri cat, Pb arsenat pada insektisida dan Pb naftenat sebagai pengering pada

industri kain katun, cat, tinta, cat rambut, insektisida, amunisi dan kosmetik.

Timah hitam digunakan pula sebagai zat warna yaitu Pb karbonat dan Pb sulfat

sebagai zat warna putih dan Pb kromat sebagai krom kuning, krom jingga, krom

merah dan krom hijau (Palar 1994 dalam Ardyanto, 2005).

Sumber keracunan timbal bisa berasal dari kenderaan yang menggunakan

bahan bakar bertimbal dan juga dari biji logam hasil pertambangan, peleburan,

pabrik pembuatan timbal atau recycling industri, debu, tanah, cat, mainan,

perhiasan, air minum, permen, keramik, obat tradisional dan kosmetik (DHOCNY

2007). Timbal masuk ke dalam tubuh manusia ketika bernafas, makan, menelan,

atau meminum zat apa saja yang mengandung timbal. Air terkontaminasi dengan

timbal ketika air mengalir melalui pipa atau keran kuningan yang mengandung

timbal (DHOCNY 2007). Timbal yang berada dalam cat umumnya memiliki rasa

yang manis yang di sukai anak-anak untuk di telan atau di letakkan di mulut

mereka. Selain itu, timbal yang berasal dari bahan bakar bisa mengkontaminasi

tanah dan bila terjadi kontak bisa meningkatkan kandungan timbal dalam darah

pada anak- anak di daerah perkotaan(CHW & HCHN 2008).

2.2.2 Timbal pada makhluk hidup

a. Timbal pada manusia

Timbal merupakan zat yang sangat beracun jika terserap ke dalam tubuh

(Kessel I & O’Connor 1997). Sejak timbal telah di identifikasi di zaman Mesir

kuno, berbagai laporan menunjukkan adanya keracunan timbal pada orang-orang

terdahulu (Pueschel et al 1996). Pusat pengontrolan dan pencegahan penyakit di

US telah mendefinisikan keracunan timbal karena kandungan timbal dalam darah

14

14

lebih besar dari 10 micrograms per deciliter (ug/dL) (Albalak et al 2003).

Selanjutnya, keracunan timbal di kalangan orang dewasa berhubungan dengan

tekanan darah tinggi pada populasi dasa; keguguran, lelaki yang kurang subur,

gagal ginjal, kehilangan keseimbangan, gangguan pendengaran, anemia, ketulian

dan rusaknya saraf seperti lambat dalam beraksi (Kessel I & O’Connor 1997

dalam Suherni, 2010).

Pengaruh timbal pada kesehatan anak sangat banyak sekali termasuk

diantaranya mengurangi perkembangan IQ, hiperaktif, susah dalam belajar,

masalah dalam bersikap seperti kurang peduli dan dalam darah lebih dari 50

ug/dL bisa menyebabkan rusaknya ginjal dan anemia. Konsentrasi timbal 100

micrograms per deciliter dalam darah anak bisa menyebabkan penyakit serius,

coma, sawan atau kematian (Kessel I & O’Connor 1997 dalam Suherni, 2010).

Hematotoksisitas dapat digunakan untuk meningkatkan kewaspadaan

terhadap efek Pb dalam darah pada masyarakat yang terpajan Pb. Dengan

mengetahui sifat fisik dan kimia Pb, metabolisme Pb serta efek hematologis maka

diagnosis keracunan Pb dalam darah dapat diketahui secara awal dan dapat

digunakan untuk pencegahan keracunan Pb pada masyarakat (Ardyanto, 2005).

Untuk mengendalikan efek negatif pada pekerja Occupational safety and

Health Association (OSHA) telah menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk

timbal inorganik, debu dan uapnya 0,05 mg/m³ sedangkan untuk TEL adalah 0

,075 mg/m³ . Menurut World Health Organization (WHO) pajanan timbal yang

diperkenankan untuk pekerja laki-laki 40 g/dL dan untuk pekerja perempuan

adalah 30 g/dL (DeRoos, 1997 dan OSHA, 2005 dalam Ardyanto 2005).

b. Timbal pada hewan

Apabila ikan terpapar oleh timbal dalam waktu yang lama, maka

kandungan timbal tidak hanya ditemukan pada insang tetapi ditemukan pula pada

saluran pencernaan, liver dan otot. Timbal dapat menimbulkan efek keracunan

pada ikan rainbow trout setelah ikan tersebut terpapar timbal selama 2 jam dengan

konsentrasi 7,7 mg/L Pb sedangkan pada ikan cyprinidonts efek tersebut terlihat

setelah terpapar selama 12 jam pada konsentrasi 3,0 mg/L Pb. Ikan mas lebih

resistant terhadap timbal organik hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang

menunjukkan bahwa ikan tersebut mengalami kematian setelah terpapar timbal

15

15

dengan konsentrasi 1 mg/L Pb selama 60 sampai 114 jam. Sedangkan belut

mengalami kematian setelah terpapar timbal selama 21 hari pada konsentrasi 3,0

mg/L Pb (Metelev et al, 1983).

c. Timbal pada kerang

Ekosistem pantai merupakan kawasan yang mendapat tekanan berat dari

aktivitas di daratan (hulu) maupun hilir. Aktivitas industry menghasilkan limbah

yang menjadi sumber bahan pencemar utama, baik pencemar kimia maupun

mikrobiologi yang dapat mempengaruhi kualitas perairan. Penyebab dari

pencemaran ini tidak saja berasal dari buangan industri termasuk limbah industry

domestik, limbah rumah tangga, dan bahan bakar transportasi yang kurang

memperhatikan aspek pengolahan air limbahnya, tetapi juga kurangnya kesadaran

sebagian masyarakat yang membuang langsung limbahnya ke dalam perairan.

Limbah yang mencemari lautan dipindahkan dari badan air melalui tiga proses

yaitu pengendapan, adsorbsi, dan absorbsi oleh organism perairan, kemudian

polutan tersebut akan diserap langsung oleh fitoplanton yang betindak sebagai

produsen dan sebagai tropic level pertama dalam rantai makanan, kemudian

fitoplaton dimakan oleh zooplankton, dan kerang.

Kerang merupakan hewan yang tergolong filter feeder yaitu jenis hewan

yang mendapatkan makanannya dengan cara menyaring air yang masuk ke dalam

tubuhnya. Makanan yang masuk bersama air tadi digerakkan, diperas, lalu dicerna

dengan bantuan cilia pada tubuhnya. Makanan kerang dapat berupa zooplankton,

fitoplankton, bakteri, flagellata, protozoa, detritus, alga, dan berbagai zat yang

tarsuspensi dalam perairan tempat tinggalnya. Oleh karena kerang bersifat filter

feeder non selective maka kerang dapat menampung logam berat dalam tubuhnya

tanpa menggangu sistem tubuhnya. Kerang dikenal sebagai bioakumulasi karena

selain kerang tergolong filter feeder kerang hidupnya relatif menetap dan bukan

termasuk organisme migratory (Yusma, 2010).

Manusia sebagai Tropic level tertinggi bila mengkonsumsi kerang yang

tercemar logam berat Pb dapat berdampak pada kesehatannya, karena logam Pb

dalam tubuh terutama terikat dalam gugus –SH molekul protein sehingga

menghambat aktivitas kerja enzim. Pb menggangu system sitesis Hb. Komponen

Utama Hb adalah hem yang disintesis dari glisin dan suksinil koenzim A (KoA)

16

16

dengan pridoksal sebagai kofaktor, setelah beberapa langkah bergabung bersama

Fe membentuk hem, yang terjadi di mitokondria. Penghabatan sintesis Hb

mengakibatkan terjadiny anemia. Waktu paruh Pb dalam eritrosit adalah selama

35 hari, dalam jaringan ginjal dan hati selama 40 hari, sedangkan waktu paruh

dalam tulang selama 30 hari. Tingkat ekskresi Pb melalui system urinaria adalah

sebesar 76 %, gastrointestinal 16%, dan rambut, kuku, serta keringat sebesar 8%

(Yusma, 2010).

17

17

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hazard Identification

a Agen risiko

Agen risiko berupa agen kimia yaitu Timbal (Pb). Berdasarkan

International Agency for Research on Cancer (IARC), timbal inorganik

tergolong kelompok 2A yang memungkinkan bersifat probably carsinogenic in

human dikarenakan terbatasnya data tentang efek karsinogenik pada manusia

namun cukup data untuk efek karsinogenik pada hewan. Sedangkan untuk

timbal organik tergolong kelompok 3 Unclassifiable as to carcinogenicity in

humans karena tidak cukupnya bukti untuk karsinogenitas pada manusia dan

hewan.

b Media lingkungan

Wilayah pesisir terpapar timbal yang dapat dihasilkan dari aktivitas

industri dan kegiatan rumah tangga yang menghasilkan limbah. Timbal yang

terdapat di perairan terakumulasi pada biota laut yaitu kerang darah dan ikan

kembung.

c Konsentrasi

Konsentrasi timbal (Pb) dalam ikan kembung dan kerang darah di

Wilayah Pesisir Kota Makassar berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan

di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kabupaten

Maros Provinsi Sulawesi Selatan.

Tabel 3.1 Konsentrasi di enam titik pengambilan sampel

Lokasi pengambilan

sampel Titik

Konsentrasi (mg/kg)

Ikan kembung Kerang darah

Untia I Tidak terdeteksi 0,047

KalukuBodoa II Tidak terdeteksi 0,536

Buloa III 0,282 0,979

Tallo IV Tidak terdeteksi 0,484

Cambaya V Tidak terdeteksi 0,828

Kodingaren VI Tidak terdeteksi 0,233

Barombong VII 0,305 0,420

Panambungan VIII Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi

Sumber: Nurlete, et al., n.d.

18

18

Konsentrasi tertinggi dan terendah biota laut:

Tabel 3.2 Konsentrasi tertiggi dan terendah pada biota laut

Biota laut Konsentrasi (mg/kg)

Terendah Tertinggi

Ikan Kembung 0,282 0,305

Kerang darah 0,047 0,979

Sumber: Nurlete, et al., n.d.

d Jalan masuk toksin ke tubuh

Dari studi kasus yang tersedia, jalur masuk toksin adalah via ingesti

atau pencernaan. Diketahui bahwa ikan kembung dan kerang darah dikonsumsi

oleh masyarakat pesisir. Dari sejumlah sampel yang diambil diketahui bahwa

62 sampel mengkonsumsi ikan kembung dan kerang darah, sedangkan 16

responden hanya mengkonsumsi ikan kembung dan tidak mengkonsumsi

kerang darah.

e Gangguan kesehatan yang mungkin timbul

Pb walaupun dalam jumlah yang rendah, namun apabila dikonsumsi

secara terus menerus akan menimbulkan dampak bagi kesehatan karena

mengalami akumulasi dalam tubuh. Beberapa masalah kesehatan yang dapat

timbul adalah anemia, gangguan saraf perifer, gangguan fungsi tiroid bahkan

kematian janin pada saat melahirkan.

3.2 Dosis Respon

Berdasarkan Oak Ridge National Laboratory tentang dosis referensi

kimia dan slope factor yang digunakan pada intake analalisis untuk air minum dan

ikan menunjukkan nilai Maximum Contaminant Level (MCL), untuk timbal

adalah 4x10-4

. Sedangkan pada Annual Site Environmental Report tahun 2014,

untuk RfD (Reference Dose) zat kimia yang tidak tersedia di IRIS, untuk

mendapatkan nilai RfD (Reference Dose) diperlukan untuk mengalikan nilai MCL

dengan laju konsumsi (2L/hari) dan dibagi dengan berat badan acuan (70 kg) (Oak

Ridge Reservation, 2012).

Diketahui :

a. Maximum Contaminant Level (MCL) : 4,00-4

mg/L

b. Consumption rate : 2 L/hari

19

19

c. Mass of reference man : 70 kg

Peritungan RfD :

RfD = MCL x consumption rate

Mass

RfD = 4,00x10-4

mg/L x 2 L/hari

70 kg

RfD = 1,143x10-6

(mg/kg/hari)-1

3.3 Exposure Assessment

1. Penilaian Pajanan

a. Agent : Kimia dan tunggal

b. Sumber : Titik, diam, dan outdoor

c. Media pembawa : Melalui air laut kemudian masuk kedalam

tubuh biota

d. Jalur pajanan : Memakan makanan yang terkontaminasi

e. Rute pajanan : Ingesti

f. Konsentrasi pajanan : mg/kg

g. Durasi : Tahun

h. Frekuensi : Intermiten

i. Latar pajanan : Lingkungan kerja, bukan pemukiman dan

outdoor

j. Populasi terpajan : Sub populasi yaitu masyarakat Kawasan

Pesisir Kota Makassar

k. Lingkup geografis : Lokal yaitu Kawasan Pesisir Kota

Makassar

l. Kerangka waktu : Sekarang

20

20

2. Variabel Perhitungan Intake (I)

Tabel 3.3 Variabel Intake

Variabel Angka

Konsentrasi kerang

darah tertinggi

0,979 mg/kg

Laju asupan (R)

kerang darah

21,19 gr/hari

Frekuensi pajanan

(fE) kerang darah

52 hari/tahun

Durasi pajanan (Dt) 20 tahun

Berat badan (Wb) 59 kg

Tavg 20 tahun x 365

hari/tahun

3. Perhitungan Intake (I) kerang darah

Diketahui:

C : konsentrasi agen risiko pada makanan = 0,979 mg/kg

R : laju konsentrasi makanan = untuk kerang tangkapan 21,19 gr/hari

= 0,02119 kg/hari

fE : lamanya terjadinya pajanan setiap tahun = 52 hari/tahun

Dt : jumlah tahun terjadinya pajanan = 20 tahun

Wb : berat badan manusia/kelompok/populasi = Dewasa 59 kg

tavg: periode waktu rata-rata = 20 tahun x365 hari

I = CRfEDt

Wbtavg

I = 0,979 mg/kg x 0,02119 kg/hari x 52 hari/tahun x20 tahun

59 kgx20x 365hari

21

21

I = 21,575

430.700

I = 0,00005009 mg/kg/hari

3.4 Karakteristik Risiko

Timbal merupakan logam berat yang non karsinogenik, sehingga dalam

penghitungan risiki timbal pada kerang darah menggunaka RQ (Risk Quotient).

Perhitungan risiko timbal pada kerang darah:

=4,38

RQ menunjukkan nilai >1 yang artinya kerang darah yang megandung

Pb 0,979 mg/kg tidak aman untuk dikonsumsi dengan asupan 0,02119 kg per hari

selama 52 hari dalam jangka waktu 20 tahun oleh orang dengan berat badan 59

kg.

3.5 Manajemen Risiko

A. Penentuan batas aman

Untuk toksin yang masuk melalui ingesti. Maka perlu untu menentukan

konsntrasi dan jumlah konsumsi aman pada manusia

1) Cara pengelolaan risiko

a Pengolahan air limbah hasil buangan aktifitas industri maupun rumah

tangga

b Pemantuan kadar logam berat di perairan

c Melakukan fitoremidiasi seperti menanam mangrov untuk mengurangi

kadar logam berat di perairan

d Pembatasan konsumsi kerang darah yang berasal dari perairan yang

tercemar logam berat.

22

22

e Penentuan batas aman untuk konsentrasi aman dan jumlah konsumsi

aman

2) Penentuan konsentrasi aman

=0,2234mg/kg

3) Penentuan jumlah konsumsi aman

=0,004835 kg/hari

3.6 Komunikasi Risiko

Berdasarkan hasil perhitungan Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan

(ARKL) dari keempat tahap, diketahui besar risiko yang dihasilkan. Maka dari itu

diperlukan manajemen risiko agar tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Perlu adanya komunikasi mengenai risiko yang diperoleh kepada pihak terkait

dengan harapan dapat mengurangi risiko kesehatan. Hasil ARKL dari paparan Pb

terhadap kerang darah hendaknya perlu di sosialisasikan kepada Badan

Lingkungan Hidup Daerah Makassar. Diharapkan dengan adanya komunikasi

risiko, hasil ARKL dapat dijadikan bahan pengambilan keputusan untuk

mengurangi risiko paparan. Dengan demikian diharapkan instansi terkait dapat

memperketat regulasi mengenai pembuangan logam berat ke badan air khususnya

bagi sumber penghasil Pb di air seperti misalnya industri yang menggunakan Pb

sebagai bahan produksi.

23

23

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan perhitungan Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan

melalui empat tahap yaitu identifikasi bahaya, dosis respon, penilaian paparan dan

yang terakhir adalah perhitungan risiko, didapatkan hasil bahwa RQ hasil dari

penilaian risiko (risk assessment) lebih dari 1 (RQ>1). Hal tersebut berarti bahwa

terdapat risiko paparan Pb yang tinggi pada kerang darah terhadap kesehatan

masyarakat di sekitar pesisir pantai Kota Makassar. Maka dari itu diperlukan

upaya manajemen risiko untuk mengurangi risiko terhadap kesehatan masyarakat

yang perlu dikomunikasikan kepada instansi terkait agar terlaksana pengendalian

risiko yang terkoordinasi dan berdampak nyata.

4.2 Saran

Pemerintah hendaknya melakukan pengendalian risiko paparan logam

berat yang terjadi di Kawasan Pesisir Makassar. Pengendalian risiko tersebut

dapat dilakukan dengan beberapa cara. Penetuan konsentrasi aman untuk pajanan

via inhalasi perlu dilakukan, dari hasil perhitungan konsentrasi aman didapatkan

bahwa konsentrasi aman sebesar 0,2234 mg/kg. Sedangkan jumlah konsumsi

aman sebesar 0,004835 kg/hari.

Selain itu, upaya yang perlu dilakukan meliputi pengelolaan limbah

yang berasal dari aktivitas industry dan rumah tangga, monitoring kadar logam

yang terdapat di perairan, melakukan fitoremidiasi untuk mengurangi kadar logam

yang ada di perairan, dan pembatasan konsumsi kerang yang berasal dari perairan

yang tercemar. Penyampaian informasi tentang tercemarnya biota laut oleh logam

berat juga perlu disampaikan ke masyarakat agar masyarakat dapat melakukan

upaya pencegahan seperti mengurangi konsumsi biota laut yang berasal dari

perairan yang tercemar.

24

24

DAFTAR PUSTAKA

Ardyanto, D. 2005. Deteksi Pencemaran Timah Hitam (Pb) dalam Darah

Masyarakat yang Terpajan Timbal (Plumbum). Jurnal Kesehatan

Lingkungan, VOL. 2, NO.68 1, JULI 2005 : 67 – 76

Basri, S. et al., 2014. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (Model Pengukuran

Risiko Pencemaran Udara Terhadap Kesehatan). Jurnal Kesehatan, VII(2),

pp.427-42.

Djafri, D., 2014. Prinsip dan Metode Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan.

Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, VIII(2), pp.99-103.

Fatonah, Y.I., 2010. Analisis Risiko Kesehatan Pajanan Benzena Pada Pekerja

Bengkel Sepatu 'X' di Kawasan Perkampungan Industri Kecil (PIK)

Pulogadung Jakarta Timur. Tesis. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia.

Nurlete, M.W., Anwar, D. & Anwar, n.d. Analisis Risiko Timbal (Pb) dalam Biota

Laut Pada Masyarakat Pesisir Kota Makassar. Makassar: Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.

Oak Ridge National Laboratory. Chemical Reference Doses and Slope Factors

Used in Drinking Water and Fish Intake Analysis. Available from: <

http://web.ornl.gov/sci/env_rpt/aser95/tb-6-9.pdf >. [25 November 2015]

Oak Ridge Reservation. 2012. Annual Site Environmental Report-2012. Available

from:

<http://web.ornl.gov/sci/env_rpt/aser2012/Appendix%20F_Chemicals.pdf>

. [20 Desember 2015]

Rahman, A., 2007. Public Health Assessment: Model Kajian Prediktif dampak

Lingkungan dan Aplikasinya untuk Manajemen Risiko Kesehatan. Depok:

Pusat Kajian Kesehatan Lingkungan dan Industri Universitas Indonesia.

Suherni. 2010. Keracunan Timbal di Indonesia. Summer Hills NSW. The LEAD

Group Inc.