analisis perubahan kerapatan hutan mangrove di nusa lembongan, bali dengan citra satelit landsat

17
ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT Nama : I Gede Surya Risuana Nim : 1214511012 Tanggal : 09 September 2014 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mangrove 2.1.1 Pengertian Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri khusus karena lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi oleh salinitas serta fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut air laut (Duke, 1992). Menurut Kusmana dkk., (2005) hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang waktu air laut pasang dan bebas dari genangan pada saat air laut surut, yang komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam. Adapun ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme yang berinteraksi dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas dan kedua sebagai individu spesies (Supriharyono, 2000). Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forestcoastal woodland, vloedbos dan hutan payau (Kusmana dkk., 2005) yang terletak di perbatasan antara darat dan laut, tepatnya di daerah pantai dan di sekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Sumaharni,1994) Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies dengan klasifikasi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman yang mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi pasang surut. Tanaman tersebut mempunyai cara reproduksi dengan mengembangkan buah vivipar yang bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya (Murdiyanto, 2003). 2.1.2Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove

Upload: surya-risuana

Post on 09-Dec-2015

73 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE   DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT Nama : I Gede Surya RisuanaNim : 1214511012Tanggal : 09 September 2014

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mangrove

2.1.1 Pengertian Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri khusus karena lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi oleh salinitas serta fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut air laut (Duke, 1992). Menurut Kusmana dkk., (2005) hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang waktu air laut pasang dan bebas dari genangan pada saat air laut surut, yang komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam. Adapun ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme yang berinteraksi dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas dan kedua sebagai individu spesies (Supriharyono, 2000). Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forestcoastal woodland, vloedbos dan hutan payau (Kusmana dkk., 2005) yang terletak di perbatasan antara darat dan laut, tepatnya di daerah pantai dan di sekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Sumaharni,1994)

Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies dengan klasifikasi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman yang mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi pasang surut. Tanaman tersebut mempunyai cara reproduksi dengan mengembangkan buah vivipar yang bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya (Murdiyanto, 2003).

2.1.2Ciri-Ciri Ekosistem MangroveEkosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan

kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan (Kusmana, 2002). Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala.

Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 1992). Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik menururt Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (2008) adalah:

Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;

Asus, 09/11/14,
siip
Asus, 09/14/14,
[Dephut] Departemen Kehutanan . 1992. Manual Kehutanan. Jakarta : Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Asus, 09/14/14,
Kusmana, C. 2002. Pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan dan berbasis Masyarakat .Jakarta
Asus, 09/09/14,
Asus, 09/14/14,
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Asus, 09/14/14,
Page 2: ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE   DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

Memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;

Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul.

Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.

Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah:

tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang pertama;

tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya

berkadar garam (bersalinitas) payau (2 - 22° /oo) hingga asin.

2.1.3 Vegetasi Hutan MangroveSoerianegara (1987) dalam Noor et al., (1999) memberikan batasan hutan mangrove

sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa. Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Telah diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri dari 30 genus dan lebih kurang 80 spesies. Berdasarkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia memiliki sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit. Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni :

1. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.

2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contoh : Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.

3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthu s, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.

Zonasi Mangrove

Menurut Bengen (1999), salah satu zonasi hutan mangrove, yaitu :

a. Daerah yang paling dekat dengan laut dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Di zona ini biasa berasosiasi jenis Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.

b. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.

Asus, 09/14/14,
Tomlinson, P.B. 1986. The botany of mangroves. Cambridge Tropical Biology Series, Cambridge University Press, 413 pages.
Asus, 09/14/14,
Noor, Y.R., M. Khazali, I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan pengenalan mangrove di Indonesia. PKA-Wetland Internationa Indonsia Program, Bogor.
Page 3: ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE   DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

c. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.d. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh

Nypa fruticans dan beberapa spesies palem lainnya. Salah satu tipe zonasi mangrove dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tipe zonasi mangrove dari laut ke darat (Bengen, 1999)

Sementara zonasi vegetasi mangrove menurut pasang surut meliputi (Nooret al., 1999 in Wahyudi, 2005) :

a. Areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang rendah, umumnya didominasi oleh Avicennia sp. atau Sonneratia sp.

b. Areal yang digenangi oleh pasang sedang, didominasi jenis Rhizophora sp. c. Areal yang digenangi hanya saat pasang tinggi. Areal ini lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh Bruguiera sp dan Xylocarpus sp.

c. Areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan), umumnya didominasi oleh Bruguiera sp. dan Lumnitzera littorea.

Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove

SalinitasSalinitas merupakan berat garam dalam gram per kilogram air laut. Salinitas ditentukan

dengan mengukur klor yang takarannya adalah klorinitas. Salinitas dapat juga diukur melalui konduktivitas air laut. Alat-alat elektronik canggih menggunakan prinsip konduktivitas ini untuk menentukan salinitas Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10- 30 ppt (Romimohtarto dan Juwana, 2001).

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya (Noor, 2006).

Fisiografi PantaiFisiografi Pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi sepesies dan lebar hutan

mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh (LPP Mangrove, 2008).

Asus, 09/14/14,
[ LPP Mangrove ] Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. 2008. http://imred.org [ 17 Oktober 2010].
Asus, 09/14/14,
Noor, Y. R. Khazali, M, dan Suryadiputra, I. N. N. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Ditjen PHKA. Bogor.
Asus, 09/14/14,
Romimohtarto, K. Dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta
Page 4: ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE   DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

Gelombang ArusGelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-

lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan. Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir dimuara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove (Noor dkk, 2006).

IklimMempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air).

Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

1. CahayaCahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur

fisik mangrove. Intensitas, kualitas, dan lama pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis). Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya. Cahaya berpengaruh terhadap pembungaan dan germinasi di mana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol.

2. Curah hujanJumlah, lama, dan distribusi curah hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan

mangrove. Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah. Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun.

3. SuhuSuhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi).

Produksi daun baru A. marina terjadi pada suhu 18-20°C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28°C. Bruguiera tumbuh optimal pada suhu 27°C, dan

Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26° C.

4. AnginAngin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus. Angin merupakan agen

polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove (Biology Resources on Shantybio, 2004).

Dampak Kerusakan Ekosistem MangrovePotensi manfaat ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari kawasan tersebut akan terus

menurun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies maupun tingkat ekosistem apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi yang dibangun antara ekosistem dengan masyarakat sekitar kawasan tidak mengalami perubahan. Ditambah lagi dengan fenomena bahwa sampai dengan saat ini belum terbentuk sistem pengelolaan kawasan mangrove yang efektif dan efisien di Pantai Timur Sumatera Utara dengan berbasis pada potensi kawasan yang ada. Fenomena di atas secara langsung

Asus, 09/14/14,
Biology Resources on Shantybio. 2004. Ekosistem Mangrove. Kumpulan Artikel, Makalah, Paper, Iktisar Biologi. Universitas Negeri Semarang. Semaranghttp://shantybio.transdigit.com. [ 3 Mei 2011].
Asus, 09/09/14,
Page 5: ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE   DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

menimbulkan akibat berupa sumber daya alam akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga ke tingkat yang sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat, tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan antara kriminal dan kemiskinan akan terus meningkat (Siregar dan Purwoko, 2002).

Penginderaan Jauh (Remote Sensing)Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di

Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry, 1983 dalam Jaya, 2009), penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi suatu objek atau fenomena menggunakan suatu alat perekaman dari kejauahan tanpa melakukan kontak fisik dengan ojek atau fenomena yang diukur/diamati. Pada saat ini, penginderaan jauh tidak hanya mencakup kegiatan pengumpulan data mentah, tetapi juga mencakup pengolahan data secara komputerisasi dan interpretasi (manual), analisis citra, dan penyajian data yang diperoleh. Kegiatan penginderaan dibatasi pada penggunaan energy elektromagnetik.

Berdasarkan sifat sumber energi elektromagnetik yang digunakan, penginderaan jauh dibedakan atas penginderaan jauh pasif (passive remote sensing) dan penginderaan jauh aktif (active remote sensing). Penginderaan jauh pasif didefinisikan sebagai suatu sistem yang menggunakan energi yang telah ada seperti reflektansi energi matahari dan/atau radiasi dari objek secara langsung. Beberapa sensor yang menggunakan sistem ini adalah MSS, TM, ETM+, NOAA, AVHRR, MOS-1, MESSR, IRS, dan potret udara. Sedangkan penginderaan jauh aktif didefinisikan sebagai suatu sistem yang menggunakan sumber energi buatan seperti gelombang/microwave. Beberapa sensor yang menggunakan sistem ini adalah RADAR, RADARSAT, ERS-1, JERS-1, SLAR, dsb (Jaya, 2009).

Kualitas data yang diperoleh dipengaruhi oleh komponen yang terlibat secara langsung. Menurut Butler at al. (1988) komponen yang terlibat pada proses pengumpulan data terdiri dari sumber energi elektromagnetik, atmosfer sebagai media lintasan energi elektromagnetik, keadaan obyek sebagai fenomena yang diamati, dan sensor sebagai alat yang mendeteksi radiasi elektromaknetik dari suatu obyek dan merubahnya menjadi sinyal yang selanjutnya dapat direkam dan diproses. 

Gambar 1. Ilustrasi perekaman object pada satelit

Indeks VegetasiDalam aplikasi penginderaan jauh, indeks vegetasi merupakan cerminan tingkat kehijauan

vegetasi yang juga dapat digunakan sebagai parameter kondisi kekeringan. Indeks vegetasi dapat berubah disebabkan oleh kondisi ketersediaan air akibat pergantian musim. Kondisi indeks vegetasi

Asus, 09/14/14,
Butler, M.J.A, M.C. Mouchot, V. Barole, and C. Le Blanc. 1988. The Application of Remote Sensing Technology to Marine Fisheries: An Introduction manual. FAO Fisheries Technical Paper No. 295. FAO. Rome.
Asus, 09/14/14,
Jaya, I Nengah Surati. 2009. Analisis Citra Dijital: Perspektif Penginderaan Jauh Untuk Pengelolaan Dumberdaya Alam. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Asus, 09/14/14,
Siregar, EBM dan Agus Purwoko, 2002. Pengelolaan Ekosistem dan Lingkungan Pesisir. Makalah pada Lokakarya Partisipasi Publik dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut, 28-30 Oktober 2002. Kerjasama Pemkab Deli Serdang dan dengan LPPM USU. Tanjung Morawa.
Page 6: ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE   DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

rendah mengakibatkan penurunan produksi pangan, kebakaran, dan lain sebagainya. Untuk mengantisipasi akibat buruk tersebut, upaya pemantauan indeks vegetasi perlu dilakukan.

Indeks vegetasi merupakan nilai yang diperoleh dari gabungan beberapa spektral band spesifik dari citra penginderaan jauh. Gelombang indeks vegetasi diperoleh dari energi yang dipancarkan oleh vegetasi pada citra penginderaan jauh untuk menunjukkan ukuran kehidupan dan jumlah dari suatu tanaman. Tanaman memancarkan dan menyerap gelombang yang unik sehingga keadan ini dapat di hubungakan dengan pancaran gelombang dari objek-objek yang lain sehingga dapat di bedakan antara vegetasi dan objek selain vegetasi (Horning, 2004).

Tanaman hidup menyerap gelombang tampak (visible) biru dan merah serta memantulkan gelombang hijau, oleh karena itulah kenapa mata manusia melihat daun-daun tanaman yang hidup adalah berwarna hijau. Akan tetapi ada satu jenis gelombang lain yang juga di pantulkan oleh tanaman selain gelombang hijau, akan tetapi gelombang ini tidak dapat di lihat oleh mata (invisible), gelombang ini adalah gelombang infra merah dekat.

Gambar 2. Beberapa Formula Indeks Vegetasi

Normalized Difference Vegetation IndexNDVI (Normalized Difference Vegetation Index) adalah perhitungan citra yang digunakan

untuk mengetahui tingkat kehijauan, yang sangat baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi. NDVI dapat menunjukkan parameter yang berhubungan dengan parameter vegetasi, antara lain, biomass dedaunan  hijau, daerah dedaunan hijau yang merupakan nilai yang  dapat diperkirakan untuk pembagian vegetasi.

Seperti perhitungan pada citra rasio, pada citra normalisasi juga menggunakan data channel 1 dan channel 2. Channel 1 terdapat dalam bagian dari spektrum dimana klorofil menyebabkan adanya penyerapan terhadap  radiasi cahaya yang datang yang dilakukan saat fotosintesis, sedangkan channel 2 terdapat dalam daerah spektral dimana struktur daun spongy mesophyll menyebabkan adanya pantulan terhadap radiasi cahaya. Perbedaan respon dari kedua channel ini dapat diketahui dengan transformasi rasio perbandingan satu channel dengan channel yang lain.

Perbandingan antara kedua channel adalah pertimbangan yang digunakan untuk mengurangi variasi yang disebabkan oleh topografi dari permukaan bumi. Hal ini merupakan kompensasi dari

Asus, 2014-09-09,
Page 7: ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE   DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

variasi pancaran sebagai fungsi dari elevasi matahari untuk daerah yang berbeda dalam sebuah citra satelit. Perbandingan ini tidak menghilangkan efek additive yang disebabkan oleh atmospheric attenuation, tetapi komponen dasar  untuk NDVI dan vegetasi saling berhubungan. Latar belakang daratan berfungsi sebagai pemantul sinyal yang terpisah dari vegetasi, dan berinteraksi dengan vegetasi melalui hamburan yang sangat banyak dari energi radiasi.

Tabel 1. Pembagian obyek berdasarkan nilai NDVI

NDVI= NIR−redNIR+red

Rentang nilai NDVI adalah antara -1.0 hingga +1.0. Nilai yang lebih besar dari 0.1 biasanya menandakan peningkatan derajat kehijauan dan intensitas dari vegetasi. Nilai diantara 0 dan 0.1 umumnya merupakan karakteristik dari bebatuan dan lahan kosong, dan nilai yang kurang dari 0 kemungkinan mengindikasikan awan es, awan uap air dan salju. Permukaan vegetasi memiliki rentang nilai NDVI 0.1 untuk lahan savanna (padang rumput) hingga 0.8 untuk daerah hutan hujan tropis. Nilai NDVI dapat diperoleh yaitu dengan membandingkan pengurangan data channel 2 dan channel 1 dengan penjumlahan dari kedua channel tersebut. Beberapa rumus NDVI untuk beberapa citra satelit :

NOAA AVHRR: X1= Band1 X2 = Band2MSS: X1 = Band2 X2 = Band4TM5: X1= Band3 X2 = Band4TM7: X1 = Band3 X2 = Band4SPOT: X1 = Band2 X2 = Band3

RVI, TVI, DVI Ratio Vegetation Index (RVI)

Telah dikemukakan beberapa ahli bahwa untuk menghitung beberapa perbedaan level pada cahaya matahari dengan menggunakan rasio dari radiasi NIR atau inframerah dekat dan radiasi pada panjang gelombang red atau merah indeks vegetasi ini dinamakan Ratio Vegetation Index yang selanjutnya disebut RVI. Meskipun pada kenyataannya indeks ini tidak terlalu peka pada beberapa kondisi cahaya.

RVI= NIRred

Indeks ini sensitive terutama pada variasi radiasi merah. Indeks ini biasa digunakan untuk membuktikan antara perbedaan dari permukaan batuan, mineral pada daerah gersang dan pada daerah yang tidak terdapat tutupan vegetasinya. RVI terletak antara 0 hingga +1.

Daerah Pembagian Nilai NDVI

Awan es, awan air, salju < 0

Batuan dan lahan kosong 0 – 0.1

Padang rumput dan semak belukar 0.2 – 0.3

Hutan daerah hangat dan hutan hujan tropis

0.4 – 0.8

Page 8: ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE   DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

Transformed Vegetation Index (TVI)Transformed Vegetation Index (TVI) diperkenalkan oleh Deering et al. (1975). Pada jenis

indeks vegetasi ini ditambahkan konstanta 0,5 sampai semua nilai-nilai dan kemudian mengambil akar kuadrat dari hasil. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan mendapatkan nilai negatif dan akar kuadrat dimaksudkan untuk mendapatkan nilai koreksi perkiraan distribusi Poisson NDVI untuk distribusi normal. (Ini berarti bahwa nilai NDVI input minimum harus lebih dari -0.5, jika nilai negatif akan tetap). Namun persamaan ini tidak meningkatkan kemampuan deteksi vegetasi, dibandingkan dengan NDVI.

TVI = √ (NIR-RED) / (NIR + RED) +0.5

Perry dan Lautenschlager (1984) kemudian mengusulkan Corrected Transformed Vegetation Index (CTVI) untuk mengoreksi kemungkinan nilai negatif di TVI.

Difference Vegetation Index (DVI)Indeks vegetasi ini yaitu indeks yang akan bernilai besar pada permukaan vegetasi. Indeks ini

akan bernilai negatif pada permukaan ini dimana pantulan inframerah dekat lebih rendah dibandingkan pantulan cahaya tampak dan indeks ini akan bernilai mendekati 0 pada permukaan dengan pantulan yang mirp dan terletak pada kedua panjang gelombang antara batuan dan tanah kosong, indeks ini terletak diantara nilai 0 sampai tak hingga.

Meskipun mudah dalam penghitungannya, indeks ini sangat sensitif pada kondisi lingkungan dengan bertambah besarnya intensitas cahaya matahari maka akan bertambah pula radiasi pada panjang gelombang inframerah dekat dan merah yang terekam oleh sensor. Hal ini terjadi karena pengaruh dari sudut pancaran dari sinar matahari yang berubah – ubah. Formula yang digunakan pada indeks vegetasi ini yaitu :

DVI=NIR−red

Pada NIR atau inframerah dekat yang terletak pada panjang gelombang 0,76 – 0,90 μm atau biasa disebut dengan kanal atau band 4 dan Red atau merah yang terletak pada kanal atau panjang gelombang 0,63 – 0,69 μm atau biasa disebut dengan band 3.

Satelit Landsat 7Data Landsat TM (Thematic Mapper) diperoleh pada tujuh saluran spektral yaitu tiga saluran

tampak, satu saluran inframerah dekat, dua saluran inframerah tengah, dan satu saluran inframerah thermal. Lokasi dan lebar dari ketujuh saluran ini ditentukan dengan mempertimbangkan kepekaannya terhadap fenomena alami tertentu dan untuk menekan sekecil mungkin pelemahan energi permukaan bumi oleh kondisi atmosfer bumi. Jensen (1986) mengemumakan bahwa kebanyakan saluran TM dipilih setelah analisis nilai lebihnya dalam pemisahan vegetasi, pengukuran kelembaban tumbuhan dan tanah, pembedaan awan dan salju, dan identifikasi perubahan hidrothermal pada tipe-tipe batuan tertentu.

Data TM mempunyai proyeksi tanah IFOV (instantaneous field of view) atau ukuran daerah yang diliput dari setiap piksel atau sering disebut resolusi spasial. Resolusi spasial untuk keenam saluran spektral sebesar 30 meter, sedangkan resolusi spasial untuk saluran inframerah thermal adalah 120 m (Jensen,1986). Dari kombinasi-kombinasi yang menghasilkan gambar dengan warna yang berbeda dapat mempermudah dalam proses klasifikasi tutupan dan penggunaan lahan yang akan dilakukan. Contohnya pada saat ingin mengetahui daerah yang memiliki vegetasi maka bisa digunakan kombinasi RGB 4,3,2

Band-band pada Landsat-TM dan kegunaannya (Lillesand dan Kiefer, 1997)

Asus, 09/09/14,
Asus, 09/09/14,
Asus, 09/09/14,
Page 9: ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE   DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

Band Panjang Gelombang (m) Spektral Kegunaan

1 0.45 0.52 Biru Tembus terhadap tubuh air, dapat untuk pemetaan air, pantai, pemetaan tanah, pemetaan tumbuhan, pemetaan kehutanan dan mengidentifikasi budidaya manusia

2 0.52 0.60 Hijau Untuk pengukuran nilai pantul hijau pucuk tumbuhan dan penafsiran aktifitasnya, juga untuk pengamatan kenampakan budidaya manusia

3 0.63 0.69 Merah Dibuat untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, yang dapat digunakannuntuk membantu dalam pemisahan spesies tanaman juga untuk pengamatan budidaya manusia

4 0.76 0.90 Infra

merah dekat

Untuk membedakan jenis tumbuhan aktifitas dan kandungan biomas untuk membatasi tubuh air dan pemisahan kelembaban tanah

5 1.55 - 1.75 Infra

merah sedang

Menunjukkan kandungan kelembaban tumbuhan dan kelembaban tanah, juga untuk membedakan salju dan awan

6 10.4 - 12.5 Infra

Merah

Termal

Untuk menganallisis tegakan tumbuhan, pemisahan kelembaban tanah dan pemetaan panas

7 2.08 2.35 Infra

merah sedang

Berguna untuk pengenalan terhadap mineral dan jenis batuan, juga sensitif terhadap kelembaban tumbuhan

Page 10: ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE   DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT
Page 11: ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE   DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

DAFTAR PUSTAKA

Page 12: ANALISIS PERUBAHAN KERAPATAN HUTAN MANGROVE   DI NUSA LEMBONGAN, BALI DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

Duke, D.L.,(1992). The rhetoric and the reality of reform in education administration. Phi Delta Kappan.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Kusmana, C. 2002. Pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan dan berbasis Masyarakat .Jakarta

[Dephut] Departemen Kehutanan . 1992. Manual Kehutanan. Jakarta : Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Noor, Y.R., M. Khazali, I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan pengenalan mangrove di Indonesia. PKA-Wetland Internationa Indonsia Program, Bogor.

Tomlinson, P.B. 1986. The botany of mangroves. Cambridge Tropical Biology Series, Cambridge University Press, 413 pages

Biology Resources on Shantybio. 2004. Ekosistem Mangrove. Kumpulan Artikel, Makalah, Paper, Iktisar Biologi. Universitas Negeri Semarang. Semarang http://shantybio.transdigit.com.[ 3 Mei 2011].

Siregar, EBM dan Agus Purwoko, 2002. Pengelolaan Ekosistem dan Lingkungan Pesisir. Makalah pada Lokakarya Partisipasi Publik dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut, 28-30 Oktober 2002. Kerjasama Pemkab Deli Serdang dan dengan LPPM USU. Tanjung Morawa.

Jaya, I Nengah Surati. 2009. Analisis Citra Dijital: Perspektif Penginderaan Jauh Untuk Pengelolaan Dumberdaya Alam. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Butler, M.J.A, M.C. Mouchot, V. Barole, and C. Le Blanc. 1988. The Application of Remote Sensing Technology to Marine Fisheries: An Introduction manual. FAO Fisheries Technical Paper No. 295. FAO. Rome.

Bengen, D.G. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

[ LPP Mangrove ] Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. 2008. http://imred.org [ 17 Oktober 2010].

Wahyudi, A.M. 2005. Distribusi Ekosistem Mangrove Berdasarkan Indeks Nilai Penting di Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.