analisis pengaruh investasi dan tenaga kerja …/analisis... · negara antara lain adalah...
TRANSCRIPT
ANALISIS PENGARUH INVESTASI DAN TENAGA KERJA
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB)PROVINSI JAWA TENGAH 1986
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Keuangan Daerah
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
ANALISIS PENGARUH INVESTASI DAN TENAGA KERJATERHADAP
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB)PROVINSI JAWA TENGAH 1986 – 2008
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat MagisterProgram Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan
Konsentrasi:
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Keuangan Daerah
Oleh : MOCH ARIFIN
S4208027
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNANSURAKARTA
2010
ANALISIS PENGARUH INVESTASI DAN TENAGA KERJA
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) 2008
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Keuangan Daerah
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET
MAGISTER EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
ANALISIS PENGARUH INVESTASI DAN TENAGA KERJA
TERHADAP
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB)
PROVINSI JAWA TENGAH 1986 – 2008.
Disusun oleh: MOCH ARIFIN
S4208027
Telah disetujui pembimbing
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. AM. Soesilo, M.Sc. Drs. Akhmad Daerobi. M.S. NIP: 19590328 198803 1 001 NIP:19570804 198601 1 002
Ketua Program Studi
Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan
Dr. J.J. Sarungu, MS. NIP:19510701 198010 1 001
ANALISIS PENGARUH INVESTASI DAN TENAGA KERJA TERHADAP
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH 1986 – 2008.
Disusun oleh: MOCH ARIFIN
S4208027
Telah disetujui oleh Tim Penguji:
Pada tanggal,
Jabatan Nama Tanda tangan
Ketua Tim Penguji Dr. J.J. Sarungu, MS. ......................... Pembimbing Utama Dr. AM. Soesilo, M.Sc. ........................ Pembimbing Pendamping Drs. Akhmad Daerobi. M.S. .........................
Mengetahui: Ketua Program Studi Direktur PPs UNS Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan
Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D Dr. JJ. Sarungu, MS NIP. 19570820 198503 1 004 NIP. 19510701 198010 1 001
HALAMAN PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : MOCH ARIFIN
NIM : S4208027
Program Study : Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan
Konsentrasi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Keuangan Daerah
Menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya sendiri dan bukan merupakan jiplakan dari hasil
karya orang lain.
Demikian surat pernyataan ini saya buat sebenar-benarnya.
Surakarta, 5 Mei 2010
Tertanda,
MOCH ARIFIN S4208027
ABSTRACT
Moch Arifin NIM S4208027
This research aims to find out the effect of investment and labor on the PDRB of Central
Java Province during 1986-2008 period. In line with such problems, the following hypothesis is proposed: It is hypothesized that investment and labor affect investment and labor on the PDRB of Central Java Province during 1986-2008 period.
In line with the problem and hypothesis of research, the research took the secondary data derived from Central Statistical Bureau (BPS) of Central Java Province; the data taken in this research consisting of data on investment, labor and PDRB of Central Java Province. The data employed was the one with 23 scale from 1986-2008, then the data collected was put onto the multiple linear regression, and after the estimation parameter obtained, the examination was done using statistic and classical assumption tests.
The result of statistic test in this research shows that the independent variable of investment affects positively and significantly the PDRB of Central Java Province, Similarly, the labor affects positively and significantly the PDRB of Central Java Province. Meanwhile based on the result of F-test, investment and labor simultaneously affects the PDRB of Central Java Province.
The result of econometric test shows the absence of multicolinearity, heteroscedasticity and autocorrelation distractions. Considering the result of data analysis, it is recommended that the government should create conducive climate for the implementation of various investment projects in Central Java Province. The labor has substantial effect on PDRB so that there should be the use of intensive-labor technology to absorb the labor more optimally in the production process.
Keywords: Investment, Labor, and PDRB
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjakan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah
melimpahkan taufik dan hidayahnya sehingga Thesis yang berjudul “ANALISIS PENGARUH
INVESTASI DAN TENAGA KERJA TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL
BRUTO (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 1986 – 2008”. ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa terselesainya penelitian ini adalah atas bimbingan, petunjuk,
serta nasehat dari Bapak-Bapak pembimbing dan Bapak/ Ibu Dosen serta Sekretariat Program
Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta, maka pada
kesempatan ini penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para beliau.
Selanjutnya penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari Bapak Ibu Dosen serta dari
rekan rekan sekalian guna perbaikan penelitian ini.
Demikian semoga penelitian ini bermanfa’at.
Surakarta, 5 Mei 2010
Peneliti
Moch Arifin
NIM: S 4208027
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN .................................................................. iv
ABSTRAKSI……………………………………………………………... v
KATA PENGANTAR ............................................................................ vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. vii
DAFTAR TABEL...................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR................................................................................ . xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Perumusan Masalah .......................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................ 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Investasi ............................................................................ 9
1. Definisi Investasi……………………………………. 9
2. Macam-macam Investasi…………………………….. 12
3. Peran dan faktor-faktor yang mempengaruhi investasi. 14
B. Tenaga Kerja ......................................…………………… 16
1. Pengertian Tenaga Kerja............................................... 16
2. Permintaan Tenaga Kerja ……………………………. 18
3. Penawaran Tenaga Kerja................................................. 31
C. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ....................... 34
1 Definisi PDRB............................................................... 34
2. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi……………………. 38
3. Model Pertumbuhan Ekonomi…………………………. 40
a. Teori pertumbuhan Harrod-Domar ………………. 41
b. Pendekatan Neo-Klasik…………………………….. 50
c.Teori Pertumbuhan Baru (new growth theory)…… 58
D. Peneliti Terdahulu ............................................................. 54
E. Kerangka Pemikiran .......................................................... 64
F. Hipotesis ............................................................................ 67
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian……………………………………………. 71
B. Ruang Lingkup Penelitian…………………………………... 71
C. Definisi Operasional Variabel ………………………… .. 72
1.Variabel Dependen............................................................ 72
2..Variabel Independen......................................................... 72
D Teknik Analisis Data ........................................................... 73
1. Uji Statistik…………………………………… ……. 74
2. Uji Asumsi Klasik……………………………………….. 78
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Wilayah………………………………………….. 80
1. Keadaan Geografis………………………………………. 80
2. Keadaan Penduduk………………………………………. 84
3. Kondisi Perekonomian................................................... 88
B. Analisis Data ....................................................................... 93
1. Persamaan Regresi Linier Berganda Hasil Penelitian…. 93
2. Uji Statistik………………………………………………. 94
3. Pengujian Asumsi Klasik……………………………….. 98
4. Analisis Hasil Regresi ………….……………………….. 102
5. Uji Hipotesa (Teori) ………….…………………………. 103
6. Intepretasi ekonomi .......................................................... 104
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ………………………………………………… 106
B. Saran-saran............................................................................. .106
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ ... 108
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Uraian Hal
4.1 Jumlah, Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk Jawa Tengah
84
4.2 Jumlah Penduduk, Kepadatan dan LPP Jawa Tengah Tahun 2008
87
4.3 PDRB Provinsi Jawa Tengah Tahun 1986-2008 89
4.4 Pembetukan Modal Tetap Provinsi Jawa Tengan Tahun 1986-2008
91
4.5 Jumlah Tenaga Kerja Provinsi Jawa Tengah 1986-2008 93
4.6 Hasil Estimasi FaktorFaktor yang Berpengaruh Terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah
94
4.7 Hasil Uji Multikolinieritas 98
4.8 Uji Heteroskedastisitas 100
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kurva Fungsi investasi............................................................ 10
2.2 Permintaan terhadap tenaga kerja........................................ 19
2.3 Kurve fungsi produksi............................................................ 20
2.4 Kurve nilai produk marjinal.................................................... 21
2.5 Kurve ekuilibrum permintaan tenaga kerja............................. 23
2.6 Kurve maksimasi keuntungan................................................. 24
2.7 Kurve total permintaan total beaya.......................................... 25
2.8 Kurve VMPL............................................................................ 27
2.9 Efek perubahan upah .............................................................. 29
2.10 Kurve perubahan tingkat upah.............................................. .. 32
2.11 Kurve Fungsi Penawaran Tenaga Kerja .............................. ....33
2.12 Kueve laju pertumbuhan…………………………………….. 49
2.13 Ekuelibrum dalam model pertumbuhan Solow……………... 54
2.14 Efek jangha panjang dari perubahan tingkat tabungan............ 56
2.15 Gambar kerangka pemikiran PDRB....................................... 58
3.1 Daerah terima dan daerah tolak uji t… …………………….…76
3.2 Daerah terima dan daerah tolak uji F……………………….. 77
3.3 Autokorelasi…………………………………………….. . 79
4.1 Daerah terima dan daerah tolak uji F………………………… 96
4.2 Grafik Uji Autokorelasi……………………………..............101
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kegiatan pembangunan nasional Indonesia secara nyata membawa pada peningkatan
kesejahteraan rakyat. Keberhasilan tersebut antara lain di tunjukan oleh tingginya laju
pertumbuhan ekonomi dan disertai semakin meningkatnya kualitas hidup dan kesejahteraan
masyarakat.
Namun pada pertengahan tahun 1997 krisis moneter telah melanda Indonesia dan
beberapa negara Asia lainnya, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan
sehingga menguncang dan membawa perubahan mendasar pada sendi-sendi kehidupan
politik bangsa dan negara serta perekonomian nasional.
Dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi perlu kerja keras, ketekunan dan
perjuangan tidak ringan serta kerja sama semua pihak baik pemerintah, masyarakat maupun
swasta. Pembangunan ekonomi dengan tujuan utama yaitu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi merupakan sasaran yang harus dicapai agar dapat mensejajarkan diri dengan
negara-negara maju.
Kegiatan dalam suatu perekonomian selalu mengalami perubahan. Adakalanya
perubahannya sangat nyata dan dapat dirasakan dengan jelas oleh masyarakat yaitu pada saat
perekonomian mencapai tingkat kemakmuran yang tinggi atau keadaan perekonomian yang
sedang mengalami kemerosotan serius. Namun demikian, menilai prestasi kegiatan
perekonomian dengan cara mengamati apa yang dialami oleh masyarakat bukanlah cara yang
terbaik. Cara paling baik adalah dengan memperhatikan data tertentu mengenai kegiatan
sesuatu perekonomian dan data ini dikenal sebagai indikator makro ekonomi.
Data yang selalu digunakan untuk mengamati kegiatan suatu perekonomian suatu
negara antara lain adalah pendapatan nasional, tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi
dan kestabilan harga-harga, kesempatan kerja dan pengangguran, neraca pembayaran, kurs
valuta asing, suku bunga dan perkembangan pasar saham (Sadono Sukirno, 1999 ).
Produk Domestik Bruto (PDB) sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja
perekonomian suatu negara. Produk Domestik Bruto mampu untuk meringkas aktivitas
ekonomi dalam nilai uang tunggal dalam periode waktu tertentu. Nilai dari Produk Domestik
Bruto mengandung dua macam persepsi yaitu sebagai perekonomian total dari setiap orang
didalam suatu perekonomian dan sebagai pengeluaran total pada output barang dan jasa
dalam perekonomian (Mankiw, 1997).
Secara lebih jelas, pengertian Produksi Domestik Bruto adalah jumlah barang dan
jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu (biasanya
satu tahun) dan dinyatakan dalam harga pasar (Suparmoko, 1998 ).
Pendekatan fungsi produk untuk menganalisis output secara agregat dapat
menggunakan konsep fungsi produksi dari teori ekonomi perusahaan/mikro. Di dalam fungsi
produksi disebutkan bahwa output merupakan fungsi dari faktor produksi tanah, tenaga kerja,
modal dan tingkat teknologi (faktor efisien). Sedangkan fungsi produksi agregrat
menunjukkan hubungan fungsional antara output agregat atau disebut juga dengan produk
domestik bruto dengan stok input. Jika faktor produksi tanah merupakan bagian dari faktor
produksi, modal dan teknologi dianggap konstan, maka hanya ada dua jenis faktor produksi
yaitu modal dan tenaga kerja.
Untuk mengukur maju tidaknya perekonomian daerah sebagai hasil dari program
pembangunan daerah diperlukan alat pengukur yang tepat yaitu Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB). Produk Domestik Regional Bruto bagi suatu daerah dapat dimanfaatkan :
1. Sebagi indikator pertumbuhan ekonomi suatu daerah baik secara sektoral maupun secara
struktural
2. Untuk mengetahui struktur perekonomian dan perubahan-perubahan di suatu daerah
3. Sebagai data dasar untuk menganalisis elastisitas kesemaptan kerja dengan dukungan
data ketenagakerjaan
4. Dengan PDRB perencanaan pembangunan suatu daerah bisa lebih terarah, misalnya
dengan mengetahui Capital Output Ratio (COR) dan Incremental Capital Output Ratio
(ICOR)
5. Dalam suatu negara atau daerah bisa dihitung berapa jumlah investasi yang dibutuhkan
untuk mencapai perkiraan / proyeksi PDB atau PDRB dari target pertumbuhan ekonomi
yang telah ditetapkan.
Stok modal atau investasi merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan
tingkat pendapatan nasional. Kegiatan investasi memungkinkan suatu masyarakat terus
menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, meningkatan pendapatan
nasional dan meningkatkan taraf kemakmuran. Perannya ini bersumber dari tiga fungsi
penting dari kegiatan investasi dalam perekonomian. Yang pertama, investasi merupakan
salah satu komponen pengeluaran agregat. Kenaikan investasi akan meningkatkan
permintaan agregat dan pendapatan nasional. Yang kedua, pertambahan barang modal
sebagai akibat investasi akan menambah kapasitas produksi di masa yang akan datang dan
perkembangan ini akan merangsang pertambahan produksi nasional. Ketiga, investasi selalu
diikuti oleh perkembangan teknologi. Perekembangan ini akan memberi sumbangan penting
keatas kenaikan produktivitas dan pendapatan perkapita masyarakat (Sadono Sukirno, 1999).
Investasi itu sendiri merupakan pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-
barang modal dan peralatan-peralatan produksi untuk mengganti dan terutama menambah
barang-barang modal dalam perekonomian yang akan dipergunakan untuk memproduksi
barang dan jasa di masa depan. Dengan kata lain investasi berarti kegiatan pembelanjaan
untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam perekonomian.
Penanaman modal atau investasi di daerah memegang dua macam fungsi yaitu untuk
menciptakan permintaan barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat dan untuk menambah
kapasitas produksi dari daerah yang bersangkutan. Sebagai faktor untuk menbambah
permintaan masyarakat, sejumlah tertentu penanaman modal akan menciptakan pendapatan
daerah beberapa kali lipat dari besarnya penanaman modal itu sendiri, karena penanaman
modal akan menciptakan proses multiplier yaitu menimbulkan pendapatan dan pengeluaran
baru dalam masyarakat sehingga akhirnya menciptakan pertambahan pendapatan beberapa
kali lipat lebih besar dari besarnya penanaman modal itu sendiri (Sadono Sukirno, 1999).
Investasi yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah dari tahun 1986 sampai dengan tahun
2008 tumbuh rata-rata 8,08 persen pertahun. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2008
sebesar 16.20 persen. Dalan beberapa kurun waktu, yaitu antara tahun 1997 s/d 1999, 2001,
dan 2005 nilai investasi mengalami penurunan , hal ini disebabkan oleh situasi politik yang
kurang kondusif.
Faktor tenaga kerja secara tradisonal dianggap sebagai salah satu faktor positif yang
mampu meningkatkan pendapatan nasional. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan
menambah jumlah tenaga produktif, sehingga apabila kuantitas tenaga kerja meningkat,
maka hasil produksi akan meningkat pula (Todaro, 2000).
Besarnya penawaran tenaga kerja dalam perekonomian adalah jumlah orang yang
menawarkan jasanya untuk proses produksi. Golongan tersebut terdiri dari mereka yan sudah
aktif dalam memproduski barang dan jasa (bekerja) dan mereka yan sudah siap bekerja dan
sedang mencari pekerjaan. Jumlah yang bekerja dan pencari kerja dinamakan angkatan kerja.
Dengan kata lain angkatan kerja dapat diartikan sebagai bagian dari tenaga kerja yang benar-
benar mau bekerja memproduksi barang dan jasa (Payaman Simanjuntak, 2001).
Kondisi ketenagakerjaan di Provinsi Jawa Tengah cenderung mengalami fluktuasi
tiap tahunnya namun secara keseluruhan mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 tenaga
kerja Jawa Tengah mencapai angka 15463658 orang. Angka pertumbuhan tenaga kerja rata
rata 0.89 persen dan pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2007, yaitu sebesar 7.19
persen.
Krisis multidimensional yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 dan adanya
krisis keuangan global sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Dampak secara
makro terhadap Indonesia adalah antara lain turunnya nilai investasi asing dan domestik,
turunnya nilai ekspor, tutupnya perusahaan, pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan dan
hal ini secara tidak langsung dapat mengakibatkan turunnya Produk Domestik Bruto
termasuk di dalamnya Produk Domestik Regional Bruto. Berikut ini sedikit ulasan PDRB
Provinsi Jawa Tengah. Nilai PDRB Jawa Tengah selama periode tahun 1986 sampai dengan
2008 cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5.27 persen.
Angka pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2000 yaitu sebesar 19.13 persen. Krisis
moneter yang dimulai pada pertengahan 1997 mengakibatkan kondisi perekonomian Jawa
Tengah mengalami saat paling buruk sepanjang satu dasa warsa terakhir. PDRB mengalami
laju pertumbuhan negatif yaitu sebesar 11,74 persen di tahun 1998. Pada tahun 1999
perekonomian sedikit mengalami perbaikan yang ditandai dari nilai PDRB yang tumbuh 3,5
persen.
Bertitik tolak dari uraian di atas, peneliti ingin meneliti bagaimana pengaruh Investasi
dan Tenaga Kerja terhadap Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Jawa Tengah tahun
1986 – 2008?
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh Investasi terhadap Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi
Jawa Tengah tahun 1986 – 2008 ?
2. Bagaimana pengaruh Tenaga Kerja terhadap Produk Domestik Regional Bruto di
Provinsi Jawa Tengah tahun 1986 – 2008 ?
3. Bagaimana pengaruh Investasi dan Tenaga kerja secara bersama-sama terhadap Produk
Domestik Regional Bruto di Provinsi Jawa Tengah tahun 1986 – 2008?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh Investasi terhadap Produk Domestik Regional Bruto di
Provinsi Jawa Tengah tahun 1986 – 2008
2. Untuk mengetahui pengaruh Tenaga Kerja terhadap Produk Domestik Regional Bruto di
Provinsi Jawa Tengah tahun. 1986 – 2008
3. Untuk mengetahui pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja secara bersama-sama terhadap
Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Jawa Tengah tahun 1986 – 2008
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah
Agar dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil
kebijakan yang terbaik. Sehingga PDRB Provinsi Jawa Tengah dapat lebih meningkat.
2. Bagi Lingkungan Akademis
Untuk menambah khasanah ilmu tentang penelitian yang berhubungan dengan
Perekonomian Indonesia serta hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia
khususnya di Provinsi Jawa Tengah.
3. Bagi Masyarakat
Memberikan sumbangsih bagi masyarakat umum untuk lebih mengetahui kondisi
pertumbuhan ekonomi .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Investasi
1. Definisi Investasi
Investasi adalah penambahan barang modal secara netto yang positif. Investasi
dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu investasi riil dan investasi finansial. Yang
dimaksud dengan investasi riil adalah investasi terhadap barang-barang tahan lama
(barang-barang modal) yang akan digunakan dalam proses produksi. Sedangkan investasi
finansial adalah investasi terhadap surat-surat berharga, misalnya pembelian saham,
obligasi, dan surat bukti hutang lainnya.
Pertimbangan-pertimbangan utama yang perlu dilakukan dalam melakukan
(memilih) suatu jenis investasi riil adalah tingkat bunga pinjaman yang berlaku (i),
tingkat pengembalian (rate or return), dari barang modal, dan prospek proyek investasi
Menurut Neo-Klasik, tingkat bunga dan tingkat pendapatan menentukan tingginya
tingkat tabungan. Pada suatu tingkat teknik tertentu, tingkat bunga juga menentukan
tingginya tingkat investasi. Tingkat bunga rendah, maka investasi akan tinggi dan
sebaliknya. Penjelasan diatas dapat diringkas dengan persamaan sebagai berikut :
I = ƒ ( r ) (1)
Bunga merupakan fungsi Investasi
Gambar dibawah ini menunjukkan fungsi investasi. Fungsi itu berbentuk miring ke
bawah, karena ketika tingkat bunga naik, jumlah investasi yang diminta turun.
Gambar 2.1
Fungsi investasi
Sumber: Mankiw, 2000
Fungsi investasi mengaitkan jumlah investasi pada tingkat bunga riil r. Investasi
bergantung pada tingkat bunga riil karena tingkat bunga adalah biaya pinjaman. Fungsi
investasi miring ke bawah: ketika tingkat bunga naik, semakin sedikit proyek investasi
yang menguntungkan ( Mankiw, 2000).
Mengenai pembentukan kapital yang dianggap penting untuk adanya
perkembangan, adalah sebagai berikut : Misalnya kesempatan untuk investasi bertambah-
katakanlah karena ada kemajuan teknologi. Tambahnya permintaan untuk investasi akan
menyebabkan tingkat bunga naik yang selanjutnya akan menaikkan jumlah tabungan.
Dengan adanya kenaikan investasi, harga-harga barang kapital juga akan naik.
Selanjutnya karena kenaikan-kenaikan tingkat bunga dan harga-harga barang kapital,
maka investasi selanjutnya terbatas pada proyek-proyek yang dapat memberikan
Tingkat Bunga riil
Fungsi
Investigasi, 1 ( r )
Kuantitas investasi
keuntungan terbesar. Bila proyek-proyek tersebut telah terlaksana maka permintaan
terhadap investasi berkurang sehingga tingkat bunga dan harga barang-barang kapital
turun kembali. Setelah itu maka proyek-proyek yang kurang menguntungkan menjadi
menguntungkan lagi dan seterusnya. Akhirnya tingkat bunga sudah menjadi begitu
rendahnya, sehingga tidak ada lagi orang yang mau menabung. Pada tingkat
perkembangan itu akumulasi kapital berakhir dan perekonomian mengalami suatu
keadaan yang statis. Dengan tidak adanya akumulasi kapital berarti tidak ada
perkembangan. Agar tidak mengalami keadaan yang statis tersebut, maka pengerjaan
penuh (full employment) harus selalu dijaga selama proses akumulasi kapital. Pemerintah
harus mengadakan proyek-proyek pekerjaan umum (public works).
Kemajuan teknologi juga merupakan salah satu faktor pendorong kenaikan
pendapatan nasional. Yang dimaksud dengan perubahan teknologi menurut Neo-Klasik
terutama adalah penemuan-penemuan baru yang mengurangkan penggunaan tenaga
buruh atau relatif lebih bersifat “penghematan buruh” (labor saving) daripada
“penghematan kapital” (capital saving). Jadi kemajuan-kemajuan teknik akan
menciptakan permintaan yang kuat akan barang-barang kapital.
Investasi juga dapat diartikan berbagai cara atau upaya penambahan modal baik
langsung maupun tidak langsung dengan harapan pada saatnya nanti pemilik modal
tersebut akan mendapat sejumlah keuntungan yang diharapkan dari hasil penanaman
modal tersebut.
Pembentukan atau pengumpulan modal dipandang sebagai salah satu faktor dan
sekaligus faktor utama di dalam pembangunan ekonomi. Menurut Nurkse (Jhingan, 1999
), lingkaran setan kemiskinan di negara terbelakang dapat digunting melalui
pembentukan modal. Sebagai akibat rendahnya tingkat pendapatan di negara terbelakang
maka permintaan, produksi dan investasi menjadi rendah atau kurang. Hal ini
menyebabkan kekurangan di bidang barang modal yang dapat diatasi melalui
pembentukan modal. Proses pembentukan modal tersebut membantu menaikkan output
yang pada gilirannya menaikkan laju dan tingkat pendapatan nasional.
2. Macam-macam Investasi
Macam-macam investasi berdasarkan pelaku investasi dapat dibedakan sebagai
berikut (Sobri, 1987 ) :
a. Investasi Pemerintah (Public Investment)
Public investment umumnya dilakukan tidak dengan maksud untuk
mendapatkan keuntungan, tetapi tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat (nasional), seperti jalan raya, rumah sakit, pelabuhan dan sebagainya.
Investasi-investasi seperti ini sering disebut dengan social overhead capital
(SOC). Keuntungan bagi investasi-investasi ini baru terasa apabila muncul
pertambahan permintaan dalam masyarakat. Bertambahnya permintaan efektif, yang
juga menaikkan pendapatan, akan memberikan keuntungan bagi produk investasi.
b. Investasi Swasta (Private Investment)
Private investment adalah jenis investasi yang dilakukan oleh swasta dan
bertujuan untuk memperoleh keuntungan (laba), dan didorong oleh adanya
pertambahan pendapatan. Apabila pendapatan bertambah, maka konsumsi juga akan
bertambah dan pada akhirnya bertambah pula efektif demand. Investasi yang
ditimbulkan oleh sebab bertambahnya permintaan yang bersumber investment
mungkin dilakukan oleh pemerintah maupun swasta.
c. Investasi Pemerintah dan Swasta
Jenis investasi yang dilakukan oleh pihak publik dan swasta adalah investasi
luar negeri (foreign investment). Foreign investment terjual dari selisih antara ekspor
di atas impor (X-M), induced investment dalam hal (X-M) adalah disebabkan oleh
dari penambahan permintaan disebut induced investment. Induced perkembangan
ekonomi di luar negeri.
Istilah investasi asing menurut definisi IMF Balance of Payment Manual
(Edisi, yang juga digunakan Bank Indonesia adalah investasi langsung yang
mengarah pada investasi asing untuk memperoleh manfaat yang cukup lama dari
penanaman modal tersebut). Sementara penanaman modal adalah untuk memperoleh
pengaruh secara efektif dalam pengelolaan perusahaan tersebut. Istilah “manfaat
yang cukup lama tersebut” merupakan investasi yang pengelolaannya hanya
memerlukan pengawasan. Dalam definisi tersebut tidak termasuk investasi portofolio
di Indonesia, investasi seperti ini masih sangat kecil dan modal pinjaman yang telah
masuk ke Indonesia dalam jumlah besar sejak 1996. (Jhingan 1999)
3. Peran dan faktor-faktor yang mempengaruhi investasi
Di berbagai negara, terutama di negara industri yang perekonomiannya sudah
sangat berkembang, investasi perusahaan adalah sangat volatile yaitu selalu
mengalami kenaikan dan penurunan yang sangat besar dan merupakan sumber
penting dari fluktuasi dalam kegiatan perekonomian. Di samping itu perlu diingat
kegiatan perekonomian dan kesempatan kerja meningkat pendapatan nasional dan
meningkatkan taraf hidup masyarakat (Jhingan 1999)
. Peranan ini bersumber dari tiga fungsi penting dari kegiatan investasi dalam
perekonomian :
a. Investasi merupakan salah satu komponen agregat maka kenaikan investasi akan
meningkatkan permintaan agregat dan pendapatan nasional, peningkatan ini akan
selalu diikuti oleh pertambahan dalam kesempatan kerja.
b. Pertambahan barang modal sebagai akibat investasi akan menambahkan kapasitas
produksi di masa depan, dan perkembangan ini akan menstimular pertambahan
produksi nasional dan kesempatan kerja.
c. Investasi selalu diikuti oleh perkembangan teknologi, sehingga perkembangan
teknologi akan memberikan sumbangan penting atas kenaikan produktivitas dan
pendapatan perkapita masyarakat.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi investasi adalah :
1) Suku Bunga
Untuk memperoleh modal diperlukan bunga, perusahaan mempunyai dua sumber
pembiayaan yaitu dari keuntungan yang tidak dibagikan dan dari meminjam.
Apabila keuntungan yang tidak dibagikan tersebut tidak diinvestasikan tetapi
didepositokan maka perusahaan akan mendapatkan bunga, sedangkan bila
perusahaan melakukan investasi dengan meminjam di bank maka ia harus membayar
bunga. Dengan demikian apakah ia akan meminjam pada bank ataukah menggunakan
dana sendiri. Oleh karena itu bunga perlu dipandang sebagai suatu biaya penting
untuk memperoleh barang modal.
2) Depresiasi
Setiap barang modal akan didepresiasikan, dalam prakteknya depresiasi dilakukan
secara bertahap yaitu barang modal dikurangi sedikit demi sedikit setiap tahunnya.
Pengurangan barang modal ini merupakan biaya bagi perusahaan.
3) Pendapatan Nasional
Pendapatan nasional yang semakin meningkat akan memerlukan barang modal yang
semakin banyak. Dengan demikian perusahaan harus melakukan investasi yang lebih
tinggi dan lebih banyak modal yang diperlukan.
4) Kebijakan Pemerintah
Sikap pemerintah dalam kegiatan usaha sangat penting perannya dalam kegiatan
investasi pemerintah. Pajak, keuntungan yang tinggi, hambatan dalam memperoleh
pinjaman/devisa untuk mengimpor barang modal akan mengurangi gairah sektor
perusahaan untuk berinvestasi.
B Tenaga Kerja
1. Pengertian Tenaga Kerja
Usia kerja adalah penduduk yang sudah mencapai usia kerja yaitu penduduk yang
sudah ikut dan dapat diikurtsertakan dalam proses produksi. Jadi dapat ditarik
kesimpulan bahwa usia kerja terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Yang dimaksud angkatan kerja adalah bagian dari tenaga kerja yang terlibat atau masih
berusaha untuk terlihat dalam kegiatan produksi yaitu menghasilkan barang dan jasa.
Sedangkan yang dimaksud dengan bukan angkatan kerja adalah penduduk yang sudah
memasuki usia kerja tetapi tidak melakukan usaha produktif dan tidak sedang mencari
pekerjaan karena alasan tertentu misalnya mereka yang masih bersekolah, mengurus
rumah tangga dan golongan lain. Perbandingan antara angkatan kerja dengan penduduk
usia kerja dinamakan tingkat partisipasi angkatan kerja. Selisih antara angkatan kerja
dengan penggunaan tenaga kerja yang sebenarnya disebut pengangguran ( Sadono
Sukirno, 1999 ).
Tenaga kerja mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja yang sedang
mencari pekerjaan. Secara praktis pengertian tenaga kerja dibedakan oleh batasan umur.
Tiap-tiap negara memberikan batasan umur yang berbeda-beda. Di Indonesia dipilih
batasan umur minimum sepuluh tahun tanpa batas umur maksimum. Dengan demikian
tenaga kerja di Indonesia dimaksudkan sebagai penduduk yang berumur sepuluh tahun
keatas. Pemilihan sepuluh tahun sebagai batas umur minimun adalah berdasarkan
kenyataan bahwa dalam umur tersebut sudah banyak penduduk muda terutama di desa-
desa yang sudah bekerja/mencari pekerjaan. Di Indonesia juga tidak menganut batas
umur maksimum, alasannya adalah karena di Indonesia belum mempunyai jaminan
sosial nasional. Hanya sebagian kecil penduduk Indonesia yang menerima tunjangan di
hari tua (Payaman Simanjuntak, 1985 )
Sedangkan yang dimaksud pekerja itu sendiri adalah bagian dari angkatan kerja yang
benar-benar atau telah memproduksi barang dan jasa. Menurut BPS (2000 ), konsep
bekerja adalah melakukan pekerjaan dengan maksud untuk memperoleh atau membantu
memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit satu jam
secara terus menerus dalam seminggu yang lalu (termasuk pekerja keluarga tanpa upah
yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi).
2. Permintaan Tenaga Kerja
a. Pasar persaingan sempurna
Berikut ini analisis permintaan tenaga kerja dalam dua kasus, yaitu: (1) apabila
tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi, (2) apabila ada beberapa faktor
produksi.
1). Permintaan perusahaan terhadap satu faktor produksi
Asumsi berikut ini mendasari analisis ini: a). Sebuah komoditas X
diproduksi di pasar persaingan sempurna. Maka dari itu, Px ditetapkan oleh semua
perusahaan di pasar. b). Tujuan perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan.
c). Terdapat satu faktor, yaitu tenaga kerja di pasar persaingan sempurna. Pada
gambar di bawah ini, w adalah upah tenaga kerja yang diberikan oleh perusahaan.
Hal ini menyiratkan bahwa persediaan tenaga kerja untuk masing-masing
perusahaan sangat elastis. Hal ini dapat dinyatakan dengan sebuah garis lurus w
yang sejajar dengan sumbu horizontal. Pada tarif upah tersebut perusahaan dapat
mempekerjakan sejumlah tenaga kerja yang diinginkan.
Gambar 2.2
Permintaan Tenaga Kerja
w
0 L
w SL
d). Teknologi diberikan. Bagian yang relevan dari fungsi produksi ditunjukkan
pada gambar 2.2. Lerengan fungsi produksi adalah produk fisik marjinal tenaga
kerja.
LMPPdL
dX
MPPL menurun pada tingkat pekerjaan yang lebih tinggi, dengan hukum proporsi
variabel. Jika kita mengalikan MPPL pada setiap tingkat pekerjaan dengan harga
output tertentu, xP , kita memperoleh kurva nilai produk marjinal VMPL (gambar
2.3). Kurva ini menunjukkan nilai output yang dihasilkan oleh unit tenaga kerja
tambahan yang dipekerjakan.
Gambar 2.3
Kuva fungsi produksi
w
0L
X = f(L)k
Gambar 2.4
Kurva nilai produk marjinal
W
MPPL
VMPL
MPPL
VMP = L MPP .PL k
L0
Perusahaan akan memaksimalkan keuntungan, jika selama penambahan akan
menghasilkan lebih banyak penerimaan total daripada biaya total. Maka dari itu,
suatu perusahaan akan mempergunakan sumberdaya sampai ke pada titik di mana
unit yang terakhir menyumbangkan kepada total biaya sebanyak total penerimaan,
karena Dengan kata lain, syarat keseimbangan dari perusahaan yang ingin
memaksimalkan keuntungan adalah
MCL = VMPL ( 2 )
Dimana MCL = biaya marginal tenaga kerja,
atau LVMPw =& ( 3 )
karena MC L = w& ( 4 )
Pada gambar 2.4 keseimbangan perusahaan dinyatakan dengan e. Pada tarif
upah pasar w& perusahaan akan memaksimalkan keuntungannya dengan
mempekerjakan unit tenaga kerja l* . Hal ini juga karena di bagian sebelah kiri
setiap unit l* biaya tenaga kerja yang lebih kecil dari nilai produknya (VMPL > w& ),
maka keuntungan perusahaan akan meningkat dengan mempekerjakan lebih
banyak pekerja. Sebaliknya pada bagian kanan l* VMPL < w& , dan oleh karena itu
keuntungan berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan berada pada
tingkat maksimal apabila VMPL =w& .
Fungsi produksi adalah
K
LfX )(= ( 5 )
Total biaya terdiri atas biaya variabel w& .L dan biaya tetap F
FLwC +⋅= & ( 6 )
Penerimaan perusahaan adalah [ ])(LfPR x ⋅= Perusahaan ingin memaksimalisasi
labanya
CR −=Π ( 7 )
[ ] ( )FLwLfPx +⋅−=Π &)( ( 8 )
Dengan menetapkan turunan fungsi keuntungan dalam kaitannya dengan
tenaga kerja sama dengan nol kita memperoleh
0=−
⋅=Πw
dL
dXP
dL
dx & ( 9 )
Dengan menyusun kembali
==⋅ LLx MPPdL
dXwMPPP karena)( & ( 10 )
Atau
VMPL = w& ( 11 )
Gambar 2.5
Kurva ekuilibrum permintaan tenaga kerja
VMPL
VMPL
SL
L
e
L*0
w
w
_
Gambar 2.6
Kurva maksimasi keuntungan
VMPL
VMPL
SL
L
e
L*0
w
w
_
e1
e2
w1
w2
L1 L2
S l1
S l2
Apabila upah di pasar tenaga kerja naik menjadi w1, maka perusahaan akan
mengurangi permintaan tenaga kerja menjadi l1 (gambar 2.5) untuk
memaksimalkan keuntungan (pada e1 pada gambar 2.5 w1 = VMPL). Demikian
halnya, jika upah turun menjadi w2, perusahaan akan memaksimalkan
keuntungannya dengan menambah pekerjanya menjadi l2.
Permintaan tenaga kerja yang memaksimalkan keuntungan perusahaan dapat
ditentukan baik dengan menggunakan total penerimaan maupun kurva total biaya,
atau dengan menggunakan jadwal VMPL dan tarif upah tertentu, yang menentukan
persediaan tenaga kerja bagi masing-masing perusahaan.
a. Pendekatan total penerimaan-total biaya
Keuntungan mencapai tingkat maksimum apabila selisih antara total
penerimaan dengan total biaya paling besar. Pendekatan total penerimaan-total
biaya ditunjukkan pada gambar 2.7 Lerengan kurva penerimaan adalah
penerimaan marginal per unit tambahan tenaga kerja, dan lerengan kurva total
biaya adalah tarif upah, yang di pasar persaingan sempurna sama dengan biaya
marginal tenaga kerja. Maka dari itu, kondisi untuk keseimbangan perusahaan di
pasar adalah
MRPL = w = MCL ( 12 )
Karena
)(
)(Lxx
xL MPPP
L
XP
L
PX
L
RMRP ⋅=
∂∂⋅=
∂⋅∂
=∂∂=
( 13 )
Gambar 2.7
Kurve total penerimaan-total biaya
TRTC
MPP L
L0
TR
TC
TVC
9
dan menurut definisi
LLx VMPMPPP =⋅ )( ( 14 )
dapat ditulis syarat keseimbangan sebagai
VMPL = w ( 15 )
yang merupakan hasil yang sama seperti hasil yang telah dicapai diatas.
b. Pendekatan VMPL
Gambar 2.8 adalah contoh VMPL yang menunjukkan kebutuhan tenaga
kerja bagi perusahaan. Kebutuhan tenaga kerja bagi masing-masing perusahaan
adalah garis lurus S1 yang melewati tarif upah yang ditentukan sebesar $40.
Kedua kurva tersebut berpotongan pada titik e, yang menentukan permintaan
akan tenaga kerja (l = 9) dimana laba perusahaan berada mencapai kedudukan
maksimal
Gambar 28
Kurve VMPL
VMPL
L0 9
$40 = w
w1
w2
100
200
e2
e
e1
w
SL
Perusahaan mencapai keseimbangan dengan menyamakan VMPL dengan
tarif upah pasar. Jika upah pasar naik, maka kesetaraan antara w1 dengan VMPL
terjadi pada bagian sebelah kiri e. Sebaliknya jika tarif upah turun menjadi w2
maka kesetaraan dengan urva VMPL terjadi pada sebelah kanan e. Dengan
demikian, kurva produk nilai produk marginal adalah kurva permintaan tenaga
kerja di masing-masing perusahaan.
2). Permintaan perusahaan terhadap beberapa faktor produksi
Apabila ada lebih dari satu faktor produksi maka kurva VMP dari sebuah
input bukan kurva permintaannya. Hal ini karena berbagai sumber digunakan
secara serentak dalam memproduksi barang-barang sehingga suatu perubahan pada
harga satu faktor mengakibatkan perubahan pada penggunaan faktor yang lain. Hal
itu nantinya menggeser kurva MPP input yang harganya berubah sejak awal.
Diasumsikan tarif upah turun, akan diperoleh permintaan baru untuk tenaga
kerja, dengan menggunakan analisis isoquant.
Perubahan pada tarif upah secara umum memiliki tiga efek yaitu: efek
substitusi, efek output, dan efek memaksimalkan keuntungan. Di bawah ini akan
dikaji efek tersebut, dengan menggunakan gambar 2.9.
Gambar 2.9
Efek perubahan upah
K
A
K2
K1
0 KL1 L’1 L2 B’
e2e1
B
x2
x1
a
Diasumsikan sejak awal perusahaan menghasilkan output memaksimalkan
keuntungan X1 dengan kombinasi antara faktor K1, L1, karena harga factor produksi
(awal) w1 dan r1, yang rasionya menentukan kemiringan garis isocost AB. Sekarang
diasumsikan bahwa tarif upah turun (w2) sehingga garis isocost yang baru adalah
AB (harga modal tetap konstan). Perusahaan, dengan menggunakan pengeluaran
biaya yang sama, sekarang dapat menghasilkan output lebih tinggi yang
dilambangkan dengan isoquant X2, dengan menggunakan K2 dan L2, yaitu masing-
masing adalah jumlah modal dan tenaga kerja. Hasil ini diperoleh dari tangen garis
isocost yang baru AB dengan isoquant tertinggi, yang pada contoh, adalah X2.
Perubahan dari e1 ke e2 dapat dibagi menjdi dua efek yang berbeda yaitu:
efek substitusi dan efek output (hasil).
Untuk memahami kedua efek tersebut akan ditarik sebuah garis isocost
sejajar dengan garis yang baru (AB) sehingga hal itu merefleksikan rasio harga
baru, tetapi tangen terhadap isoquant yang lama X1. Tangen terjadi pada titik a
pada gambar 2.8. Perubahan dari e1menjadi a merupakan efek substitusi:
perusahaan akan mensubtitusi modal yang relatif lebih mahal dengan tenaga kerja
yang lebih murah, bahkan meskipun ia harus memproduksi tingkat output awal X1.
Dengan demikian penggunaan tenaga kerja naik dari L1 ke L`1. Akan tetapi,
perusahaan tersebut tidak akan tetap berada pada a. Karena, apabila upah turun,
maka perusahaan, dengan total biaya pengeluaran yang sama, dapat membeli lebih
banyak tenaga kerja, lebih banyak modal, atau lebih banyak keduanya. Akibatnya,
perusahaan tersebut dapat memproduksi output yang lebih tinggi X2, yang
mempergunakan K2 modal dan L2 tenaga kerja. Peningkatan pekerjaan dari L`1 ke
L2, yang sesuai dengan perubahan dari a ke e2, adalah efek output.
b. Pasar persaingan tidak sempurna
Dalam kondisi pasar persaingan tidak sempurna, menunjukkan bahwa
permintaan tenaga kerja dari suatu perusahaan merupakan kurva Produk Penerimaan
Marjinal Tenaga kerja ( Marginal Revenue Product / MRPL ) yang ditentukan dengan
mengalikan Produk Marjinal Tenaga kerja ( Marginal Product of Labour/MPL) dengan
Penerimaan Marjinal ( Maginal Revenue/ MR) dari penjualan komoditas yang
diproduksi:
MRPL = MPL .MRx (16)
Turunan matematika dari kurva MRPL:
Dapat dilihat bahwa MRPL = MPL.MR (17)
1) Diketahui fungsi permintaan untuk produk adalah
)(1 xx QfP = (18)
Total penerimaan perusahaan adalah
TR = Px . Qx (19)
dan penerimaan marjinal
x
xx
x
xx
x dQ
dPQ
dQ
dQP
dQ
TRd ⋅+⋅=)( (20)
atau x
xxxx dQ
dPQPMR += (21)
2). Fungsi produksi dengan tenaga kerja sebagai satu-satunya variabel adalah
)(2 LfQx = (22)
MPPL adalah
Lx MPP
dL
dQ= (23)
3). Menurut definisi, produk penerimaan marginal tenaga kerja adalah penambahan
penerimaan yang didapat atas penambahan satu unit tenaga kerja.
dL
TRdMRPL
)(= (24)
Dengan TR = Px · Qx, turunan total penerimaan dalam kaitannya dengan L adalah
⋅+⋅=
dL
dQ
dQ
dPQ
dL
dQP
dL
TRd x
x
xx
xx
)( (25)
atau
⋅+=
x
xxx
xL dQ
dPQP
dL
dQMRP (26)
dari (10)
Lx
x MPPdQ
dP= (27)
dan dari (8)
xx
xxx MR
dQ
dPQP =
⋅+ (28)
Maka dari itu, MRPL = (MRL).(MPx) (29)
3. Penawaran Tenaga Kerja
Menurut teori, penawaran kerja merupakan fungsi dari upah, sehingga jumlah
tenaga kerja yang ditawarkan akan dipengaruhi oleh tingkat upah terutama untuk jenis
jabatan yang sifatnya khusus. Akibatnya kenaikan dari upah akan mempengaruhi jumlah
tenaga kerja yang ditawarkan. Sebetulnya penawaran tenaga kerja juga dipengaruhi oleh
keputusan seseorang, apakah dia mau bekerja atau tidak ? keputusan ini tergantung pula
pada tingkah laku seseorang untuk menggunakan waktunya, apakah digunakan untuk
bekerja, apakah digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya lebih santai (tidak
produktif tetapi konsumtif) atau merupakan kombinasi keduanya.
Kenaikan tingkat upah berarti pertambahan pendapatan. Dengan status ekonomi
lebih tinggi, seseorang cenderung untuk meningkatkan konsumsi dan menikmati waktu
senggang lebih banyak, yang berarti mengurangi jam kerja (income effect). Di pihak lain
kenaikan tingkat upah juga berarti harga waktu menjadi lebih mahal. Nilai waktu yang
lebih tinggi mendorong keluarga mensubstitusikan waktu senggangnya untuk lebih
banyak bekerja menambah konsumsi barang. Penambahan waktu bekerja tersebut
dinamakan substitution effect dari kenaikan tingkat upah.
Gambar : 2.10
Kurve Perubahan tingkat upah
OA1 : Jumlah upah bila bekerja selama 24 jam
OA2 : Upah per jam naik bekerja 24 jam
Titik C : Bila upah maksimum OA mau bekerja 12 jam dan istirahat 12 jam
Sebaliknya tingkat upah akan mengakibatkan pengurangan waktu bekerja bila
substitution effect lebih kecil dari income effect. Grafik fungsi penawaran tersebut dapat
dilukiskan dengan cara lain seperti dalam gambar dibawah ini.
Gambar : 2.11
Kurve Fungsi Penawaran Tenaga Kerja
A2
A1
O 12 24 jam 12
Laisure
Upah
Kerja
A2
A1
O 12 24 jam 12
C
Wage
Laisure
Sampai dengan jumlah jam kerja HD, waktu yang disediakan untuk bekerja
bertambah sehubungan dengan pertambahan tingkat upah. Sesudah mencapai jumlah
waktu bekerja HD jam, keluarga mengurangi jam kerjanya bila tingkat upah naik.
Penurunan jam kerja sehubungan pertambahan tingkat upah (penggal grafik S2S3)
dinamakan backward-bending. Penawaran (supply) tenagakerja keseluruhan adalah
penjumlahan jumlah jam kerja (supply) dari seluruh keluarga-keluarga. Hal ini dapat
dilukiskan dengan menambahkan grafik penawaran dari tiap-tiap keluarga secara
horizontal
C Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
1 Definisi PDRB
PDRB di artikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang
diproduksi dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun).
PDRB berbeda dari Produk Domestik Regional Netto karena tidak menghitung
S2
S3
S1
S2
H D
perpindahan pendapatan antar negara, dan dengan itu menilai sebuah wilayah
berdasarkan produksi yang dilakukannya dari pendapatan yang diterimanya.
PDRB nominal merujuk kepada jumlah nilai uang yang dihabiskan untuk PDRB,
PDRB asli merujuk kepada suatu langkah untuk mengoreksi angka tersebut dengan
melibatkan efek dari inflasi agar dapat memperkirakan jumlah barang dan jasa yang
sebenarnya menjadi basis perhitungan PDRB.
Produk Domestik Regional bruto atau Gross Domestic Product adalah suatu alat
ukur pertumbuhan ekonomi bagi suatu Provinsi ataupun Provinsi/Kota. Pertumbuhan
ekonomi menunjukkan perubahan tingkat angka ekonomi yang terjadi dari tahun ke
tahun. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dapat dinilai dari nilai
pendapatan nasionalnya.
Produk Domestik Regional Bruto adalah besarnya nilai produksi barang dan jasa
yang dihasilkan oleh seluruh penduduk yang ada di wilayah tersebut, baik kegiatan
produksi oleh warga negara sendiri atau dari warga negara asing (Al Gifari, 1998 ).
Pengertian Produk Domestik Regional Bruto menurut kantor statistik Provinsi
Jawa Tengah dibedakan menjadi 3 bagian :
1. Pengertian Menurut Produksi
Menurut pengertian produksi, PDRB adalah jumlah nilai produk barang dan
jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di dalam suatu daerah dalam
jangka waktu tertentu menjadi 9 lapangan usaha :
a. Sektor Pertanian
b. Sektor Pertambangan
c. Sektor Industri Pengolahan
d. Sektor Listrik, Gas dan Air
e. Sektor Bangunan
f. Sektor Perdagangan
g. Sektor Lembaga Keuangan Persewaan dan Jasa
h. Sektor Jasa-jasa
2. Pengertian Menurut Pendapatan
Menurut pengertian pendapatan PDRB adalah balas jasa yang diterima oleh
faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi suatu wilayah dalam
rangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah
upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan semuanya belum dipotong
pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam pengertian PDRB, kecuali
faktor pendapatan di atas termasuk pula komponen jangka waktu tertentu (satu
tahun).
3. Pengertian Menurut Pengeluaran
Menurut pengertian pengeluaran, PDRB adalah pengeluaran yang dilakukan
untuk konsumsi rumah tangga di lembaga swasta tidak mencari keuntungan,
konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok dan ekspor
netto di suatu wilayah.
Pengertian Produk Domestik Regional Bruto yang lain adalah PDRB atas
dasar harga konstan dan PDRB atas dasar harga berlaku.
1) PDRB atas dasar harga berlaku adalah jumlah nilai produksi atau pendapatan
atau pengeluaran yang dinilai sesuai dengan harga berlaku pada tahun yang
bersangkutan.
2) PDRB atas dasar harga konstan adalah jumlah nilai produksi atas pendapatan
atau pengeluaran yang nilai atas harga tetap suatu tahun tertentu.
3) PDRB perkapita yaitu PDRB dibagi jumlah penduduk pertengahan tahun.
Perhitungan PDRB atas harga konstan satu tahun dasar sangat penting karena
bisa untuk melihat perubahan riil dari tahun ke tahun dari agregat ekonomi
yang diamati. Hal ini berarti dapat pula melihat pertumbuhan ekonomi suatu
daerah.
Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja (yang terjadi beberapa
tahun kemudian setelah pertumbuhan penduduk) secara tradisional dianggap sebagai
salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang
lebih besar berarti akan menambah jumlah tenaga produktif, sedangkan pertumbuhan
penduduk yang besar berati ukuran pasar domestiknya lebih besar. Meskipun demikian,
kita masih mempertanyakan apakah begitu cepatnya pertumbuhan penawaran angkatan
kerja di negara berkembang, sehingga banyak di antara mereka yang mengalami
kelebihan tenaga kerja benar-benar akan memberikan dampak positif, justru negatif.
Dari pernyataan diatas, menurut (Todaro, 1998). Menyatakan bahwa positif atau
negatif pertambahan penduduk yang akan menjadi angkatan kerja bagi upaya
pembangunan ekonomi sepenuhnya tergantung pada kemampuan sistem perekonomian
yang bersangkutan untuk menyerap dan secara produktif memanfaatkan tenaga kerja
tersebut. Adapun kemampuan itu lebih lanjut dipengaruhi oleh tingkat dan jenis
akumulasi modal dan tersedianya input atau faktor-faktor pendukung, seperti kecakapan,
manajerial dan pengadministrasian.
2 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan PDB tanpa memandang apakah kenaikan
itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah
perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 1997). Suatu perekonomian harus
dapat dinyatakan dalam keadaan berkembang jika pendapatan perkapita menunjukkan
kecenderung jangka panjang yang meningkat. Namun demikian tidak berarti bahwa
pendapatan perkapita akan mengalami kenaikan terus menerus. Adanya resesi ekonomi,
kekacauan politik, dan penurunan ekspor dapat mengakibatkan suatu perekonomian
menurun pada tingkat kegiatan ekonominya. Jika keadaan demikian hanya bersifat
sementara dan kegiatan ekonomi secara rata-rata meningkat dari tahun ketahun, maka
masyarakat tersebut dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi modern pertanda penting dalam kehidupan perekonomian.
Simon Kuznets menyatakan ciri-ciri pertumbuhan ekonomi modern melalui (Jhingan,
1993 ) :
a. Laju Pertumbuhan Penduduk dan Produk Perkapita
Pertumbuhan ekonomi modern, sebagaimana terungkap dari pengalaman
negara maju sejak akhir abad ke-18 atau awal ke-19, ditandai dengan kenaikan
produk perkapita yang dibarengi dengan laju pertumbuhan penduduk yang cepat.
Laju pertumbuhan yang luar biasa ini paling sedikit sebesar lima kali untuk
penduduk dan paling sedikit sekali untuk produksi.
b. Peningkatan Produktivitas
Pertumbuhan ekonomi modern terlihat dari semakin meningkatnya laju
produk perkapita terutama sebagai akibat adanya perbaikan kualitas input yang
meningkatkan efisiensi atau produktivitas per unit. Hal ini dapat dilihat dari semakin
besarnya masukan sumber tenaga kerja dan modal atau semakin meningkatnya
efisiensi atau kedua-kedunya.
Kenaikan efisiensi berarti perolehan hasil output yang lebih besar dari setiap
unit input yang digunakan. Menurut Kuznes laju kenaikan produktivitas tetap dapat
menjelaskan keseluruhan pertumbuhan produk perkapita di negara maju.
Bahkan dengan beberapa penyesuaian untuk menampung biaya dan input
yang tersembunyi, pertumbuhan produktivitas tetap dapat menjelaskan lebih dari
separuh pertumbuhan dalam produk perkapita.
c. Laju Pertumbuhan Struktural Yang Tinggi
Perubahan struktural dalam pertumbuhan ekonomi modern mencakup
peralihan dari kegiatan pertanian ke non pertanian, dari industri ke jasa. Perubahan
dalam skala unit-unit produktif dan peralihan dari perusahaan perseorangan menjadi
perusahaan berbadan hukum serta perubahan status buruh.
d. Urbanisasi
Pertumbuhan ekonomi modern ditandai pula dengan banyaknya penduduk di
negara maju berpindah dari desa ke perkotaan yang disebut urbanisasi. Urbanisasi
pada umumnya merupakan produk industrialisasi, skala ekonomi yang timbul dalam
usaha non agraris sebagai hasil perubahan teknologi menyebabkan perpindahan
tenaga kerja dan penduduk secara besar-besaran dari pedesaan ke perkotaan. Karena
secara teknik transportasi, komunikasi berkembang menjadi efektif, maka terjadilah
penyebaran unit-unit skala optimum. Semua proses ini mempengaruhi
pengelompokan penduduk berdasarkan status sosial dan ekonomi serta mengubah
pola dasar perikehidupan.
e. Arus Barang, Modal dan Orang Antar Bangsa
Arus barang, modal dan orang antara bangsa kian meningkat sejak abad ke-
19 sampai perang dunia ke-1, tetapi memudar pada perang dunia ke-1 dan berlanjut
sampai akhir perang dunia ke-2. namun kemudian sejak abad ini terjadi peningkatan.
3. Model Pertumbuhan Ekonomi
Teori-teori pertumbuhan yang termasuk dalam kajian ini berusaha mengungkapkan
proses pertumbuhan ekonomi secara logis dan taat asas (konsisten), tetapi sering bersifat
abstrak dan kurang menekankan kepada aspek empiris (historis)-nya dan bersifat deduksi
teoritis. Adapun pendekatan yang dimaksud dan menjadi model pertumbuhan ekonomi
dalam kajian penelitian ini yaitu pendekatan Neo-Keynesian ( model Harrod-Domar ) dan
dari pendekatan Neo Klasik ( Model Solow ).
c. Teori pertumbuhan Harrod-Domar
Teori pertumbuhan ekonomi ini dikembangkan oleh Evsey Domar (
Massachussets Institute of Technology ) dan Sir Roy F. Harrod ( Oxford University )
Teori ini mengembangkan analisis Keynes dengan mamasukkan masalah-masalah
ekonomi jangka panjang serta menunjukkan syarat yang dibutuhkan agar
perekonomian bias tumbuh dan berkembang dengan mantap (steady growth).
Harrod dan Domar memberikan peranan kunci kepada investasi di dalam
proses pertumbuhan ekonomi, khususnya mengenai watak ganda yang dimiliki
investasi. Pertama ia menciptakan pendapatan, dan kedua, ia memperbesar kapasitas
produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Yang pertama dapat
disebut sebagai “dampak permintaan” dan yang kedua “dampak penawaran”
investasi.
Pekerjaan dipertahankan dalam jangka panjang, dengan memperbesar
investasi. Hal ini lebih lanjut memerlukan pertumbuhan pendapatan nyata secara
terus-menerus pada tingkat yang cukup untuk menjamin penggunaan kapasitas secara
penuh atas stok modal yang sedang tumbuh, tingkat pertumbuhan pendapatan yang
diperlukan ini dapat disebut sebagai “tingkat pertumbuhan terjamin” (warranted rate
of growth) atau “tingkat pertumbuhan kapasitas penuh”.
Model yang dibuat oleh Harrod dan Domar didasarkan pada asumsi sebagai
berikut :
1. Ada ekulibrium awal pendapatan dalam keadaan pekerjaan penuh
2. Tidak ada campur tangan pemerintah
3. Model ini bekerja pada perekonomian tertutup tanpa perdagangan luar negeri
4. Tidak ada kesulitan didalam penyesuaian antara investasi dan penciptaan
kapasitas produktif
5. Kecenderungan menabung rata-rata sama dengan kecenderungan menabung
marginal
6. Kecenderungan menabung marginal tetap konstan
7. Koefisien modal, yaitu rasio stok modal terhadap pendapatan, diasumsikan tetap
(fixed)
8. Tidak ada penyusutan barang modal yang diasumsikan memiliki daya pakai
seumur hidup
9. Tabungan dan invesatsi berkaitan dengan pendapatan tahun yang sama
10. Tingkat harga umum konstan, yaitu upah uang sama dengan pendapatan nyata
11. Tidak ada perubahan tingkat suku bunga
12. Ada proporsi yang tetap antara modal dan buruh dalam proses produksi
13. Modal tetap dan modal lancar disatukan menjadi modal.
Terakhir di dalam perekonomian itu hanya terdapat satu jenis produk.
Kesemua asumsi ini tidak penting bagi kesimpulan akhir permasalahannya, namun
dimaksudkan untuk menyederhakan analisanya.
Model Domar
Investasi di satu pihak menghasilkan pendapatan dan di pihak lain menaikkan
kapasitas produktif, agar kenaikan pendapatan sama dengan kenaikan di dalam
kapasitas produktif, maka perlu mempererat kaitan antara penawaran agregat dengan
permintaan agregat melalui investasi.
Kenaikan kapasitas produksi; Domar menjelaskan sisi penawaran tersebut
sebagai berikut. Kita anggap laju investasi tahunan adalah I, dan kapasitas produksi
tahunan per dolar modal yang baru ditanam rata-rata sama dengan s (yang
menggambarkan rasio kenaikan pendapatan nyata atau output terhadap kenaikan
modal output marginal). Jadi kapasitas produktif dolar I yang diinvestasikan adalah
I.s dollar per tahun.
Kenaikan yang diperlukan dalam permintaan agregat; Sisi permintaan
dalam sistem Domar dijelaskan dengan pengali (multiplier) Keynesian. Misalnya
kenaikan rata-rata pendapatan kita nyatakan dengan Y dan kenaikan dalam investasi
dengan I dan kecenderungan menabung dengan α(alpha) (=∆S/∆Y). Maka kenaikan
pendapatan itu akan sama dengan multiplikator (I/α) kali kenaikan dalam investasi.
∆Y = ∆I α1
( 30 )
Ekuilibrium; Untuk mempertahankan tingkat ekulibrium pendapatan pada
pekerjaan penuh, permintaan agregat harus sama dengan penawaran agregat.
Dengan ini kita sampai pada persamaan dasar model tersebut :
∆I α1
= Iσ ( 31 )
Dengan membagi kedua ruas persamaan dengan I dan mengalikannya dengan
σ kita mendapatkan :
ασ=∆I
I ( 32 )
Persamaan ini menunjukan bahwa untuk mempertahankan pekerjaan penuh
laju pertumbuhan investasi autonomous netto (∆I/I) harus sama dengan (MPS kali
produktivitas modal). Inilah batas kecepatan laju investasi yang diperlukan untuk
menjamin penggunaan kapasitas potensial dalam rangka mempertahankan laju
pertumbuhan ekonomi yang mantap pada keadaan pekerjaan penuh. Domar
memberikan contoh angka untuk menjelaskan hal ini.
Model Harrod:
Prof. R.F. Harrod mencoba menunjukkan dalam model bagaimana pertumbuhan
mantap (yaitu ekuilibrium) dapat terjadi dalam perekonomian. Sekali laju
pertumbuhan mantap itu terganggu dan perekonomian jatuh ke dalam dis-
ekuilibrium, kekuatan-kekuatan kumulatif cenderung mengabaikan perbedaan
tersebut yang selanjutnya akan membawanya ke deflasi jangka panjang atau inflasi
jangka panjang.
Model Harrod didasarkan pada 3 (tiga) macam laju pertumbuhan. Pertama,
laju pertumbuhan aktual , dinyatakan dengan G, yang ditentukan oleh rasio
tabungan dan rasio modal-output. Laju ini menunjukkan variasi siklis jangka pendek
dalam laju pertumbuhan. Kedua, laju pertumbuhan terjamin , yang dinyatakan
dengan Gw, yang merupakan laju pertumbuhan pendapatan kapasitas penuh suatu
perekonomian. Terakhir, laju pertumbuhan alamiah (natural growth rate),
dinyatakan dengan Gn, yang oleh Harrod dianggap sebagai “optimum
kesejahteraan”. Ia dapat juga disebut sebagai laju pertumbuhan potensial atau laju
pertumbuhan pekerjaan penuh.
Laju pertumbuhan aktual. Di dalam model Harrod persamaan dasarnya yang
pertama ialah :
GC = S ( 33 )
dimana G merupakan laju pertumbuhan output dalam jangka periode waktu
tertentu dan dapat dinyatakan sebagai ∆Y/Y; C adalah tambahan netto terhadap
modal yang didefinisikan sebagai rasio investasi terhadap kenaikan pendapatan, yaitu
I/∆Y; dan S adalah kecenderungan menabung rata-rata yaitu S/Y. Dengan
memasukkan rasio-rasio ini kedalam persamaan diatas kita peroleh:
Y
S
Y
Ix
Y
Y =∆
∆ atau
Y
S
Y
I = atau I = S ( 34 )
Persamaan ini hanyalah pernyataan kembali kebenaran bahwa tabungan
expost (aktual, terealisasi) sama dengan investasi expost.
Hubungan di atas terungkap perilaku pendapatan. Sementara S tergantung
pada Y, I tergantung pada tambahan pendapatan (∆Y), yang terakhir tidak lain adalah
prinsip percepatan (akselerasi).
Laju pertumbuhan terjamin; Laju pertumbuhan terjamin, menurut Harrod,
adalah laju pertumbuhan “dimana para produsen merasa puas atas apa yang
dikerjakan”.
Persamaan untuk laju terjamin ini ialah :
Gw Cr = s ( 35 )
dimana Gw merupakan “laju pertumbuhan terjamin” Jadi, Gw dalam hal ini
adalah nilai ∆Y/Y. Cr, atau modal yang dibutuhkan, menunjukkan jumlah modal
yang diperlukan untuk mempertahankan laju pertumbuhan terjamin tersebut yaitu
rasio modal-output yang diperlukan. s adalah sama dengan s dalam persamaan
pertama yaitu S/Y.
Persamaan itu dengan demikian menunjukkan bahwa apabila perekonomian
dimaksudkan untuk maju dengan laju pertumbuhan mantap Gw yang akan
menggunakan kapasitasnya secara penuh,
Asal muasal Dis-ekuilibrium jangka panjang. Bagi pertumbuhan ekuilibrium
pekerjaan penuh, laju pertumbuhan aktual G harus menyamai Gw yaitu laju
pertumbuhan terjamin yang akan memberikan kemajuan mantap kepada
perekonomian tersebut, dan C (barang modal aktual) harus menyamai Cr (barang
modal yang diperlukan bagi pertumbuhan mantap).
Jika G dan Gw tidak sama, perekonomian akan berada dalam disekuilibrium.
Misalnya, jika G melebihi Gw maka C akan lebih kecil daripada Cr. Apabila G >
Gw, timbul kelangkaan. “Akan terjadi kekurangan barang di pasaran dan atau
kekurangan peralatan”. Situasi semacam ini membawa ke arah inflasi jangka panjang
sebab pendapatan aktual berkembang dalam laju yang lebih cepat daripada yang
dimungkinkan oleh pertumbuhan kapasitas produktif perekonomiannya. Ini akan
lebih lanjut membawa ke arah kekurangan barang modal (C < Cr). Dalam situasi
seperti ini Cr, investasi yang diinginkan (direncanakan, dimaksudkan atau ex-ante)
akan lebih besar daripada C, investasi yang terlaksana agregat. Dengan demikian
akan terjadi inflasi kronis.
Pada fihak lain, apabila G lebih kecil daripada Gw, maka C lebih besar
daripada Gr, situasi semacam ini membawa kepada depresi jangka panjang sebab
pendapatan aktual tumbuh lebih lamban daripada apa yang diperlukan oleh kapasitas
produksi perekonomiannya. Ini akan menyebabkan timbulnya ekses barang modal
(C >Cr), yang berarti bahwa investasi yang diperlukan lebih kecil daripada investsi
yang teralisir dan bahwa permintaan agregat mengalami kekurangan penawaran
agregat. Akibatnya ialah jatuhnya output, pekerjaan dan pendapatan. Demikian yang
akan terjadi situasi itu ialah depresi kronis.
Laju pertumbuhan alamiah. Laju pertumbuhan alamiah “adalah laju kemajuan
dimana pertumbuhan penduduk dan perbaikan teknologi berjalan lamban”. Laju ini
tergantung pada variabel-variabel makro seperti penduduk, teknologi, sumber alam
dan peralatan modal. Persamaan untuk laju pertumbuhan alamiah adalah :
Gn . Cr = atau ≠ S ( 36 )
Gn adalah apa yang disebut laju pertumbuhan pekerjaan penuh atau alamiah
tersebut di atas. Perbedaan antara G, Gw, dan Gn
Sekarang bagi pertumbuhan ekuilibrium pekerjaan penuh Gn = Gw = G. Tetapi
keseimbangan ini merupakan “keseimbangan sempurna”. Karena, sekali timbul
perbedaan antara laju pertumbuhan alamiah, terjamin dan aktual, akan tercipta
kondisi stagnasi atau inflasi jangka panjang. Jika G > Gw, investasi meningkat lebih
cepat daripada tabungan. Dan pendapatan naik lebih cepat daripada Gw. Apabila
G < Gw, tabungan naik lebih cepat daripada investasi dan kenaikan pendapatan lebih
kecil daripada Gw. Jadi Harrod menunjukkan bahwa jika Gw > Gn stagnasi sekuler
akan terjadi. Dalam situasi seperti itu Gw juga lebih besar daripada G sebab batas
atas laju aktual ditentukan oleh laju alamiah sebagaimana ditunjukkan dalam gambar
2.12 (A), pada waktu Gw melampaui Gn > Cr dan barang-barang modal menjadi
berlebihan karena buruh langka. Kelangkaan buruh ini menyebabkan laju kenaikan
output tetap ada pada tingkat yang lebih rendah dari pada Gw. Mesin-mesin menjadi
ngangur (idle) dan terjadi ekses kapasitas. Ini lebih lanjut menghambat investasi,
output, pekerjaan dan pendapatan. Laju, perekonomian akan tercengkeram depresi
kronis. Di bawah keadaan seperti ini tabungan merupakan sesuatu hal yang buruk.
Gambar 2.12
Kurve laju pertumbuhan
Apabila Gw < Gn, Gw juga lebih kecil daripada G seperti terlihat dalam
gambar 2.12 (B). Dalam perekonomian seperti itu ada kecenderungan terjadinya
inflasi jangka panjang, jika Gw lebih kecil daripada Gn, C < Cr. Disini barang-
barang modal menjadi langka dan buruh melimpah ruah. Keuntungan begitu tinggi
karena investasi yang teralisir lebih kecil daripada investasi yang direncanakan dan
para pengusaha cenderung untuk meningkatkan stok modal mereka. Ini akan
membawa ke arah inflasi jangka panjang. Dalam situasi seperti itu tabungan
merupakan hal yang baik karena akan memungkinkan laju terjamin tersebut naik.
d. Pendekatan Neo-Klasik
Menurut Solow, keseimbangan yang peka antara Gw dan Gn tersebut timbul
dari asumsi pokok pokok mengenai proporsi produksi yang dianggap tetap, suatu
keadaan yang memungkinkan untuk mengganti buruh dengan modal. Jika asumsi ini
dilepaskan, keseimbangan tajam antara Gw dan Gn juga lenyap bersamanya. Oleh
karena itu Solow membangun model pertumbuhan jangka panjang tanpa asumsi
proporsi produksi yang tetap seperti itu.
Asumsi
Solow membangun modelnya disekitar asumsi berikut :
1. Ada satu komoditi gabungan yang diproduksi
2. Yang dimaksud output ialah output netto, yaitu sesudah dikurangi biaya
penyusutan modal
3. Returns to scale bersifat konstan. Dengan kata lain fungsi produksi adalah
homogen pada derajat pertama
4. Dua faktor produksi buruh dan modal dibayar sesuai dengan produktivitas fisik
marginal mereka
5. Harga dan upah fleksibel
6. Buruh terperkerjakan secara penuhj
7. Stok modal yang ada juga terperkerjakan secara penuh k
8. Buruh dan modal dapat disubstitusikan satu sama lain
9. Kemajuan teknik bersifat netral
Dengan asumsi tersebut, Solow menunjukkan dalam modelnya bahwa dengan
koefisen teknik yang bersifat variabel, rata-rata modal buruh akan cenderung
menyesuaikan dirinya, dalam perjalanan waktu, kearah rasio keseimbangan. Jika
rasio sebelumnya antara mdoal terhadap buruh lebih besar, modal dan output akan
tumbuh lebih lamban daripada tenaga buruh, dan sebaliknya. Analisa Solow berakhir
pada jalur keseimbangan (keadaan mantap) yang berangkat dari sembarang rasio
modal buruh.
Model Solow
Model pertumbuhan neoklasik Solow, mungkin merupakan model
pertumbuhan ekonomi yang paling terkenal. Meskipun dalam hal tertentu model
Solow menggambarkan perekonomian negara maju secara lebih baik daripada
kemampuannya dalam menjelaskan perekonomian negara berkembang. Model ini
menyatakan bahwa secara kondisional, perekonomian berbagai negara akan bertemu
(converge) pada tingkat pendapatan yang sama, dengan syarat bahwa negara-negara
tersebut mempunyai tingkat tabungan, depresiasi, pertumbuhan angkatan kerja, dan
pertumbuhan produktivitas yang sama. Karena itu, model Solow adalah kerangka
dasar bagi penelitian tentang konvergensi antaranegara.
Modifikasi penting dari model pertumbuhan Harrod-Domar (atau model
pertumbuhan AK), adalah model Solow membolehkan substitusi antara model dan
tenaga kerja. Dalam proses produksi, model ini mengasumsikan bahwa terdapat
tambahan hasil yang semakin berkurang dalam penggunaan input-input ini.
Fungsi produksi agregat, Y = F(K,L) mengasumsikan skala hasil yang konstan
(constant returns to scale). Sebagai contoh, dalam kasus khusus yang dikenal sebagai
fungsi produksi Cobb-Douglas pada waktu t didapatkan.
Y(t) = K(t)α(A(t)L(t)1-α ( 37 )
Dimana Y adalah produk domestik bruto, K adalah persediaan modal (yang
dapat mencakup modal manusia maupun modal fisik), L adalah tenaga kerja, dan A(t)
adalah produktivitas tenaga kerja, yang tumbuh selamanya pada tingkat eksogen.
Karena adanya skala hasil yang konstan, jika semua input dinaikkan dengan
jumlah yang sama, katakanlah 10%, maka output akan naik dengan jumlah yang sama
(10% dalam hal ini) Notasinya adalah :
γY = F(γK, γL) ( 38 )
Di mana γ adalah positif (1,1 jika kenaikannya 10%).
Karena γ dapat berupa angka riil positif berapa pun, sebuah “trik” matematis
yang bermanfaat untuk menganalisis implikasi model tersebut adalah dengan
menetapkan nilai γ = 1 / L, sehingga
Y/L = f(K/L, 1) ( 29 ) atau y = f(k) ( 39 )
Penyederhanaan ini membuat hanya berurusan dengan satu variabel dalam
fungsi produksi. Misalnya, dalam kasus Coba-Douglas.
Y = Akα ( 40 )
Hal ini mencerminkan sebuah cara alternatif mengenai fungsi produksi,
dimana segala sesuatu dihitung dalam kuantitas per tenaga kerja. Persamaan (
40 ) menyatakan bahwa output per pekerja adalah fungsi yang tergantung pada
jumlah modal per tenaga kerja. Semakin banyak jumlah modal yang harus ditangani
masing-masing pekerja, maka semakin banyak pula output yang dapat dihasilkan per
pekerja. Katakanlah angkatan kerja tumbuh pada tingkat sebesar n per tahun, dan
pertumbuhan produktivitas tenaga kerja (yaitu tingkat kenaikan nilai A dalam fungsi
produksi) meningkat sebesar γ. Persediaan modal total tumbuh ketika tabungan
tumbuh lebih cepat dibandingkan depresi, namun modal per tenaga kerja tumbuh
ketika tabungan juga lebih besar dari pada yang diperlukan untuk memasok para
pekerja baru dengan jumlah modal yang sama dengan yang dimiliki pekerja yang
sudah ada.
Gambar 2.13
Ekuilibrium dalam Model Pertumbuhan Solow
Persamaan Solow (Gambar 2.13) menunjukkan rasio pertumbuhan modal
tenaga kerja, k (disebut sebagai pendalaman modal atau capital deepening), dan
menunjukkan bahwa pertumbuhan k tergantung pada tabungan sf(k), setelah
memperhitungkan jumlah modal yang ada per tenaga kerja kepada tenaga kerja baru
neto yang memasuki angkatan kerja, nk, yaitu :
∆k = sf(k) – (δ + n)k ( 41 )
Versi lain dari persamaan Solow juga valid untuk model pertumbuhan yang
lain, seperti dalam model Harrod – Domar.
Untuk penyederhanaan, kita mengasumsikan sekarang bahwa A tetap konstan.
Dalam hal ini, akan terjadi keadaan dimana output dan modal per tenaga kerja tidak
lagi berubah, yang dikenal sebagai kondisi mapan (steady state). (Jika A meningkat,
kondisi yang mengikutinya adalah kondisi di mana modal per pekerja yang efektif
tidak lagi berubah, jika demikian, jumlah pekerja yang efektif meningkat jika A
meningkat, karena jika para pekerja mempunyai produktivitas yang lebih tinggi, hal
ini serupa dengan adanya pekerja tambahan yang mengerjakan pekerjaan tersebut).
Untuk menemukan kondisi mapan ini, ∆k ditetapkan sama dengan 0 :
sf(k*) = ( + n)k* ( 42 )
Notasi k* berarti bahwa tingkat modal per pekerja ketika perekonomian berada
pada kondisi mapan. Sehingga ekuilibrium ini stabil, seperti yang dapat kita lihat
pada Gambar 2.12
Modal per pekerja k* mencerminkan kondisi mapan, jika k lebih tinggi atau
lebih rendah daripada k*, perekonomian akan kembali ke kondisi mapan tersebut;
sehingga k* merupakan ekuilibrium yang stabil. Stabilitas ini terlihat di dalam peraga
dengan mencatat bahwa disebelah kiri k* , k < k*. Pada peraga, kita lihat bahwa
dalam hal ini, (n+δ)k < sf(k). Ketika (n+δ)k < sf(k), ∆k > 0. Hasilnya, k dalam
perekonomian bergerak menuju titik lihat bahwa ketika (n + d)k > sf(k), k < 0.
Hasilnya, k dalam perekonomian bergerak menuju titik ekuilibrium k*. Dengan
penalaran yang sama, di sebelah kanan k*, (n+d)k > sf(k) dan hasilnya k 0, dan modal
per tenaga kerja menyusut menuju ekuilibrium k*.
Perlu untuk dipertimbangkan apa yang akan terjadi pada model ini jika
meningkatkan tingkat tabungan s. Peningkatan sementara dalam tingkat pertumbuhan
output terjadi ketika k ditingkatkan dengan meningkatkan tingkat tabungan.. Dalam
model Solow, tidak seperti dalam analisis, implikasi kuncinya adalah bahwa
peningkatan s tidak akan meningkatkan pertumbuhan dalam jangka panjang, namun
hanya akan meningkatkan keseimbangan k*. Sehingga, setelah perekonomian
mempunyai waktu untuk menyesuaikan diri, rasio modal-tenaga kerja meningkat, dan
demikian pula rasio output-tenaga kerja, namun bukan tingkat pertumbuhan. Efeknya
terlihat pada Gambar 2.14
Gambar 2.14
Efek jangka panjang dari perubahan tingkat tabungan
Kalau di perhatikan, peningkatan s memang menaikkan output ekuilibrium per
kapita yang tentunya merupakan kontribusi yang sangat bernilai untuk pembangunan.
Dan tingkat pertumbuhan memang naik sementara, seiring dengan meningkatnya
ekuilibrium ke ekuilibrium modal per pekerja yang lebih tinggi. Lebih jauh, simulasi
yang didasarkan pada data antarnegara menyatakan bahwa jika s ditingkatkan,
perekonomian mungkin tidak akan kembali ke setengahnya kondisi mapan selama
berpuluh-puluh tahun. Sehingga, untuk tujuan praktis pembuatan kebijakan di negara
berkembang, bahkan jika model Solow merupakan penggambaran perekonomian
yang akurat, peningkatan tabungan dapat menaikkan tingkat pertumbuhan secara
substansi selama beberapa dekade ke depan.
Akhirnya, adalah mungkin bahwa tingkat tabungan berhubungan secara
positif dengan tingkat kemajuan teknologi itu sendiri, sehingga pertumbuhan A
bergantung pada s. Hal ini dapat terjadi jika investasi menggunakan modal unggulan
yang lebih baru dan karenanya lebih produktif, jika investasi mencerminkan inovasi
yang dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh perusahaan, dan jika
perusahaan yang lain melihat investasi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dan
menirunya (learning by watching), dan menghasilkan eksternalitas. Hal ini
menyebabkan munculnya sebuah model yang merupakan perpaduan antara model
Solow yang standar dengan model pertumbuhan endogen
c. Teori Pertumbuhan Baru (new growth theory): Pertumbuhan Endogen
Menurut teori neoklasik, rasio modal tenaga kerja yang rendah pada negara-
negara berkembang menjanjikan tingkat pengembalian investasi yang luar biasa
tinggi. Karenanya, reformasi pasar bebas yang dibebankan pada Negara-negara yang
mempunyai banyak utang oleh Bank Dunia dan IMF seharusnya akan memicu
investasi yang lebih tinggi, meningkatkan produktifitas, dan meningkatkan standar
kehidupan. Namun, bahkan setelah menerapkan liberalisasi dalam perdagangan dan
pasar domestik, banyak negara berkembang yang tidak tumbuh atau hanya tumbuh
sedikit dan gagal menarik investasi asing, atau gagal mencegah larinya modal
domestik ke luar negeri. Perilaku aliran modal negara-negara berkembang yang aneh
(dari negara miskin ke negara kaya) turut memicu konsep pertumbuhan endogen
(endogenous growth) atau dengan kata lain yang lebih sederhana, teori pertumbuhan
baru (new growth theory). Teori pertumbuhan baru ini mencerminkan komponen
kunci dari teori pembangunan yang muncul.
Teori pertumbuhan baru tersebut memberikan kerangka teoritis untuk
menganalisi pertumbuhan endogen, yaitu pertumbuhan GNP yang persisten, yang
ditentukan oleh sistem yang mengatur proses produksi dan bukan oleh kekuatan-
kekuatan di luar sistem. Berlawanan dengan teori neoklasik tradisional, model-model
ini menganggap bahwa pertumbuhan GNP merupakan konsekuensi alamiah dari
keseimbangan jangka panjang. Motivasi utama dari teori pertumbuhan baru ini
adalah untuk menjelaskan perbedaan tingkat pertumbuhan antar negara maupun
faktor-faktor yang memberi proporsi lebih besar dalam pertumbuhan yang
diobservasi. Lebih jelasnya lagi teori pertumbuhan endogen berusaha untuk
menjelaskan faktor-faktor yang memberi proporsi lebih besar dalam pertumbuhan
yang diobservasi. Lebih jelasnya lagi, teori pertumbuhan endogen berusaha untuk
menjelaskan faktor-faktor yang menentukan besaran λ, yaitu tingkat pertumbuhan
GDP yang tidak dijelaskan dan dianggap sebagai variabel eksogen dalam perhitungan
teori pertumbuhan neoklasik Solow (residu Solow).
Model pertumbuhan endogen mempunyai kemiripan struktural dengan
model neoklasik, namun sangat berbeda dalam hal asumsi yang mendasarinya dan
kesimpulan yang ditarik darinya. Perbedaan teoristis yang paling signifikan berasal
dari dikeluarkannya asumsi neoklasik tentang hasil marjinal yang semakin menurun
atas investasi modal, memberikan peluang terjadinya skala hasil yang semakin
meningkat (increasing returns to scale) dalam produksi agregat, dan sering kali
berfokus pada peran eksternalitas dalam menentukan tingkat pengembalian investasi
modal. Dengan mengasumsikan bahwa investasi sektor publik dan swasta dalam
sumber daya manusia menghasilkan bahwa investasi sektor publik dan swasta dalam
sumber daya manusia menghasilkan ekonomi eksternal dan peningkatan
produktivitas yang membalikkan kecenderungan hasil yang semakin menurun yang
alamiah, teori pertumbuhan endogen berupaya menjelaskan keberadaan skala hasil
yang semakin meningkat dan pola pertumbuhan jangka panjang yang berbeda-beda
antarnegara. Dan karena teknologi masih memainkan peran penting dalam model-
model ini, tidak ada perlunya lagi untuk menjelaskan pertumbuhan jangka panjang.
Dalam membandingkan teori pertumbuhan (endogen) yang baru dengan teori
neoklasik tradisional, sangat bermanfaat jika kita mengetahui bahwa banyak teori
pertumbuhan endogen yang dapat dinyatakan oleh persamaan sederhana Y =
AK, seperti yang terdapat dalam model Harrod-Domar. Dalam formulasi ini, A
dianggap mewakili semua faktor yang mempengaruhi teknologi, dan K
mencerminkan modal fisik dan sumber daya manusia. Namun dalam rumus ini tidak
terdapat hasil yang semakin menurun atas modal; sehingga terdapat kemungkinan
bahwa investasi dalam modal fisik dan sumber daya manusia dapat menghasilkan
ekonomi eksternal dan peningkatan produktivitas yang melebihi keuntungan pribadi
dalam jumlah yang cukup untuk membalikkan efek hasil semakin berkurang. Hasil
akhirnya adalah pertumbuhan jangka panjang yang berkesinambungan sebuah hasil
yang ditabukan oleh teori pertumbuhan neoklasik tradisional. Sehingga meskipun
teori pertumbuhan baru tersebut menekankan kembali pentingnya tabungan dan
investasi modal manusia untuk mempercepat pertumbuhan, teori ini juga membawa
beberapa implikasi pertumbuhan yang sama sekali berlawanan dengan teori
tradisional. Pertama, tidak terdapat kekuatan yang mengarahkan terciptanya
persamaan tingkat pertumbuhan antar negara yang perekonomiannya tertutup; tingkat
pertumbuhan nasional tetap konstan dan berbeda antar negara tergantung pada
tingkat pertumbuhan nasional dan tingkat teknologinya. Selanjutnya, tidak terdapat
kecenderungan bahwa level pandapatan perkapita di negara-negara kaya meskipun
tingkat pertumbuhan tabungan dan tingkat pertumbuhan populasinya serupa.
Konsekuensi serius dari fakta ini adalah bahwa resesi yang berlangsung sementara
atau lama disebuah negara dapat menyebabkan semakin melebarnya jurang
pendapatan yang permanent di dalam negara tersebut dan dengan negara-negara lain
yang lebih kaya.
Model Romer
Model Romer dimulai dengan mengasumsikan bahwa proses pertumbuhan
berasal dari tingkat perusahaan atau industri. Setiap industri berproduksi dengan
skala hasil yang konstan, sehingga model tersebut konstan dengan asumsi persaingan
sempurna; dan sampai titik ini asumsinya serupa dengan Solow, namun berbeda
dengan Solow, Romer mengasumsikan bahwa cadangan modal dalam keseluruhan
perekonomian, K , secara positif mempengaruhi output pada tingkat industri,
sehingga terdapat kemungkinan skala hasil semakin meningkat (incerasiung return
to scale – IRS) pada tingkat perekonomian secara keseluruhan.
Cadangan modal setiap perusahan meliputi pengetahuan yang dimilikinya
juga, bagian pengetahuan yang terdapat dalam cadangan modal setiap perusahaan
secara esensial adalah sebuah barang publik (public good), seperti A didalam model
Solow, yang merembes ke perusahaan lain di dalam perekonomian secara instan.
Hasilnya, model ini memperlakukan belajar dari pengalaman (learning by doing)
sebagai “belajar dari investasi (learning by investing)”. Model Romer dapat dianggap
– endogenisasi – sebagai cara untuk memahami alasan mengapa pertumbuhan
tergantung kepada tingkat investasi. Dalam model yang disederhanakan ini,
berangkat dari sektor rumah tangga, yang merupakan fitur penting dari model
aslinya, untuk memusatkan perhatian pada berbagai masalah yang menyangkut
industrialisasi. Rumusnya dinyatakan sebagai berikut :
Yi = AK αi L α−1
i K β ( 44 )
Diasumsikan kesimetrisan antarindustri untuk menyederhanakan masalah,
sehingga setiap industri akan menggunakan modal dan tenaga kerja pada tingkat
yang sama. Kemudian, diagregasi fungsi produksi :
Y = AK βα + L α−1 ( 45 )
Untuk memperjelas model pertumbuhan endogen, di asumsikan bahwa A
bersifat konstan dan bukan meningkat sepanjang waktu; sehingga pada saat ini
diasumsikan bahwa tidak terdapat kemajuan teknologi. Dengan bantuan sedikit
kalkulus, akan diperhatikan bahwa hasil tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita
di dalam perekonomian akan menjadi :
g – n = β / [1 - α + β] ( 46 )
Di mana g adalah tingkat pertumbuhan output dan n adalah tingkat
pertumbuhan populasi. Tanpa adanya imbasan, seperti dalam model Solow dengan
skala hasil konstan, β = 0, maka pertumbuhan per kapita akan menjadi nol (tanpa
kemajuan teknologi).
Namun Romer mengasumsikan bahwa dengan mengumpulkan ketiga faktor,
termasuk eksternalitas modal, β > 0; sehingga g – n > 0, dan Y / L tumbuh.
D. Penelitian Terdahulu
1. Ida Bagus Putu Purbadharmaja ( 2002 )
Ida Bagus Putu Purbadharmaja meneliti Implikasi Variabel Pengeluaran dan
Investasi terhadap pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali, Penelitian dilakukan dengan
menggunakan data sekunder berupa data deret waktu dari tahun 1999 sampai dengan
2002. variabel yang berpengaruh nyata terhadap PDRB adalah variabel pengeluaran
dengan nilai t statistik sebesar 19.79 (signifikan), sedangkan variabel yang tidak
mempengaruhi PDRB secara nyata adalah variabel investasi dengan nilai t statistik
sebesar 0.75 (nonsignifikan). Variabel investasi tidak signifikan terhadap PDRB
disebabkan oleh investasi yang dilakukan di Bali tidak efisien.
2. Jamzani Sodik & Didi Nuryadin ( 2005 )
Jamzani Sodik & Didi Nuryadin meneliti Investasi dan pertumbuhan Ekonomi
Regional ( Studi kasus pada 26 Provinsi di Indonesia Pra dan Pasca Otonomi ) bahwa
variabel penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi regional, sehingga bagaimanapun investasi (baik PMA
maupun PMDN) sangat diperlukan oleh suatu daerah untuk tumbuh dan berkembang
sesuai dengan kemampuannya sendiri.
3. Jamzani Sodik ( 2003 )
Jamzani Sodik meneliti Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi
Regional, selama periode penelitian ditemukan bahwa Variabel Investasi Swasta tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan Ekonomi Regional, sedangkan Pengeluaran
Pemerintah ( baik pengeluaran Pembangunan maupun Pengeluaran Rutin ) berpengaruh
terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional. Ini mengindikasikan bahwa Pengeluaran
Pembangunan sangat diperlukan oleh suatu daerahuntuk tumbuh dan berkembang
sesuai kemampuan sendiri. Variabel Keterbukaan Ekonomi ( ekspor netto ) memiliki
hubungan yang konsisten dengan teori ( baik sebelum maupun sesudah otonomi daerah
) tetapi tidak signifikan. Sekaligus menunjukkan bahwa keterbukaan perekonomian
suatu daerah belum berperan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi regional.
Variabel angkatan kerja berpengaruh signifikan dengan tanda negative untuk
tahun1993-2003 dan tahun 1998- 2000 ( sebelum era otonomi ) ini menunjukkan bahwa
daerah belum bias menyerapangkatan kerja tang ada di daerah tersebut sehingga bias
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Sedangkan untuk periode 2001-
2003 ( setelah otonomi daerah ) variable ini tidak signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi regional.
4. Waloejo Wirjo Wijono (2005)
Waloejo Wirjo Wijono meneliti Mengungkap Sumber-sumber Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia Dalam Lima Tahun Terakhir yang bersifat diskriptif, dengan
kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut: Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor
industry pengolahan ( yang bersifat padat modal serta tehnologi tinggi ) menjadi
penyumbang terbesar dalam pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh sector keuangan
dan jasa serta sector pertanian. Begitu pula belanja konsumsi swasta menyumbang
terbesar dari sisi pengeluaran dari pada pembetukan modal tetap domestic , dengan
kecenderungan semakin merurunnya foreigh direct investment . Pertumbuhan ekonomi
ternyata juga banyak didorong oleh factor eksternal yang terlihat pada tingginya
kandungan impor yang digunakan olek sector industry dalam proses produksinya.
5. Makmun dan Akhmad Yasin ( 2002 )
Makmun
dan Akhmad Yasin meneliti Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja
Terhadap PDB Sektor Pertanian. Dalam Pembahasan ini, data yang dipakai adalah data
time series periode 1980-2002 yang merupakan data sekunder dari BPS. Dari hasil
perhitungan dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaruh investasi dalam sektor pertanian
dan krisis ekonomi pada pertengahan 1997 terhadap perkembangan PDB signifikan,
sedangkan pengaruh tenaga kerja tidak sinifikan. Dilihat dari jenis investasinya,
pengaruh PMDN signifikan, sedangkan untuk PMA tidak signifikan. Model juga
menjelaskan bahwa variasi perubahan PDB sektor pertanian 91,70 persen (untuk model
pertama) dan 91,20 persen (untuk model kedua) dipengaruhi variabel investasi, tenaga
kerja dan krisis ekonomi. Tidak signifikannya pengaruh tenaga kerja terhadap PDB
sektor pertanian bahkan koefisien ini bertanda negatif menunjukkan bahwa
produktivitas tenaga kerja sangat rendah, sehingga penambahan jumlah tenaga kerja
tidak berdampak pada peningkatan produksi. Hal ini sejalan pula dengan tingkat
efisiensi (return on scale) menurun, karena β1+β
2+β
3+β
4 < 1.
6. Victor Siagian ( 2004)
Victor Siagian meneliti Analisa sumber-sumber pertumbuhan ekonomi Filipina
periode :1994-2003, variable pengukuran yang diteliti adalah meliputi;Tingkat
pertumbuhan ekonomi sebagai variable dependen, sedang variaberl independennya
adalah; ekspor barang, impor barang, realisasi investasi swasta asing, investasi swasta
domestic yang disetujui, tabungan pemerintah dan swasta, aliran netto utang luar negri
pemerintah dan swasta, utang pemerinyah pusat pada pinjaman dalam negri, dan
pengeluaran pemerintah. Metode analisis dengan menggunakan Error Correction Model
( ECM ), dengan hasil penelitian sebagai berikut ; 1. Dalam jangka panjang, kontribusi
positif dan signifikan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi Filipina diberikan
oleh variabel: ekspor, impor, investasi dalam negri, tabungan, dan pengeluaran
pemerintah. 2. kontribusi positif dan tidak signifikan dampaknya terhadap pertumbuhan
ekonomi Filipina diberikan oleh variable investasi asing. 3. Variabel utang luar negri
dan utang dalam negri berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Filipina
namun tidak signifikan.
E Kerangka Pemikiran
Berdasarkan dari landasan teori yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini bekerja
dengan kerangka pemikiran bahwa Investasi dan Tenaga Kerja secara individual maupun
secara bersama-sama berpengaruh terhadap Produk Domestik Regional Bruto ( PDRB
).
Gambar 2.15
Gambar Kerangka Pemikiran PDRB
Keterangan :
Untuk memberikan arahan yang jelas dalam memecahkan masalah, perlu disusun
suatu kerangka pemikiran sebagai dasar yang dipakai dalam menganalisa data.
Adapun kerangka pemikirannya adalah sebagai berikut : Investasi merupakan salah
satu komponen faktor produksi sehingga perubahan jumlah investasi akan mempengaruhi
tingkat produksi. Pengadaan peralatan dan bahan baku akan meningkatkan stok modal secara
fisik (yaitu nilai riil “netto” atas seluruh barang modal produktif secara fisik) dan hal ini jelas
memungkinkan terjadinya peningkatan output di masa-masa mendatang. Kegiatan investasi
bertujuan untuk meningkatkan akumulasi modal dimana akumulasi modal akan menambah
sumber daya baru atau meningkatkan kualitas sumber daya yang sudah ada. (Todaro, 2000 )
Perubahan kuantitas tenaga kerja akan berpengaruh pada tingkat produksi karena
tenaga kerja merupakan salah satu komponen dari faktor produksi. Bila kuantitas tenaga
kerja meningkat, maka hasil produksi (PDB) akan meningkat pula.
Investasi
PDRB
Tenaga Kerja
Dari kerangka pemikiran tersebut di atas maka dapat dijelaskan bahwa investasi dan
Tenaga Kerja ternyata dapat mempengaruhi PDRB baik secara individual ataupun secara
bersama-sama.
F. Hipotesis
Adapun pengertian dari hipotesis adalah suatu pernyataan yang harus diuji
kebenarannya (Djawanto, PS dan Pangestu Subagyo, 1998). Maka hipotesis masih bersifat
sementara dan masih harus diuji kebenarannya melalui pengumpulan dan penganalisaan data.
Dalam penulisan ini, penulis mengemukakan hipotesis sebagai berikut bahwa:
1. Investasi diduga berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB Provinsi Jawa
Tengah
2. Tenaga Kerja diduga berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB Provinsi Jawa
Tengah.
3. Investasi dan Tenaga Kerja secara bersama-sama diduga berpengaruh positif dan
signifikan terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi literatur yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh
Investasi dan Tenaga kerja terhadap Produk Domestik Regional Bruto ( PDRB ) Provinsi
Jawa Tengah tahun 1986 – 2008. Pokok-pokok pikiran yang ada didasarkan pada teori,.
penggalian data, dan referensi dari berbagai literatur yang berhubungan dengan masalah yang
akan dilakukan penelitian.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang
diambil dari laporan, dokumen-dokumen atau catatan-catatan yang dikeluarkan oleh instansi
atau badan-badan tertentu. Data sekunder tersebut diperoleh dari BPS, dan sumber-sumber
lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
Data yang diambil dalam penelitian ini adalah; Investasi, Tenaga Kerja, dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) dari Provinsi Jawa Tengah. Data yang digunakan adalah
data berskala 23 yaitu tahun 1986 – 2008. Data diambil dari Badan Pusat Statistik Provinsi
Jawa Tengah.
B. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan analisis mengenai Pengaruh Investasi, dan Tenaga Kerja
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Tengah, selama tahun
1986 – 2008. Penelitian ini sengaja mengambil obyek di Provinsi Jawa Tengah, karena
Provinsi Jawa Tengah merupakan Provinsi yang mempunyai laju pertumbuhan tertinggi
pada tahun 2008 ( Statistik Indonesia ).
C. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional adalah pernyataan tentang definisi, batasan, pengertian dan
pengambilan variabel dalam penelitian.
1.Variabel Dependen
Variabel terikat (Y) disini adalah Produk Domestik Regional Bruto ( PDRB )
Provinsi Jawa Tengah. yaitu total nilai produksi barang dan jasa yang diproduksi di
Daerah Provinsi Jawa Tengah. Produk Domestik Regional Bruto ( PDRB ) di sini
mewakili pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah yang dihitung dengan
menggunakan perhitungan PDRB atas dasar harga konstan, tahun dasar yang digunakan
adalah tahun 2000 dan dinyatakan dalam jutaan rupiah. Data PDRB diambil dari Jawa
Tengah Dalam Angka dan Produk Domestik Regional Bruto ( PDRB ) Provinsi
Jawa Tengah terbitan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. ( beberapa edisi).
2. Variabel Independen, dibedakan menjadi 2 variabel :
a). Investasi
Variabel ini diukur dengan tingkat pembentukan modal tetap bruto yang
terjadi di Provinsi Jawa Tengah yang dihitung dengan menggunakan perhitungan
dasar harga konstan, tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2000 dan dinyatakan
dalam jutaan rupiah. Data investasi diambil dari Jawa Tengah Dalam Angka dan
Produk Domestik Regional Bruto ( PDRB ) Provinsi Jawa Tengah terbitan Badan
Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. ( beberapa edisi).
b). Tenaga Kerja
Variabel ini diukur dengan jumlah tenaga kerja usia 10 tahun. sampai dengan
65 tahun yang ikut memproduksi barang dan jasa (sudah bekerja) yang terdapat di
Provinsi Jawa Tengah dan dinyatakan dalam jiwa. Data Tenaga Kerja diambil dari
Jawa Tengah Dalam Angka terbitan Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. ( beberapa
edisi)
D. Teknik Analisis Data
Alat analisis data dalam penelitian ini adalah menggunakan alat yang disebut dengan
regresi, yaitu suatu model yang menyatakan suatu hubungan antara variabel independen dan
variabel dependen dalam persamaan matematik. Karena pada penelitian ini variabel
independen berjumlah lebih dari satu maka alat analisis yang digunakan adalah analisis
regresi berganda. Pengertian linier dalam hal ini adalah bila penyajian variabel independen
dan parameternya hanya satu indeks dan tidak dikalikan atau dibagi dengan variabel atau
parameter lain
Fungsi regresi linier berganda dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Ln Y = β1 + β2 Ln X1 + β3 Ln X2 + e1 (48)
Dimana :
Y = PDRB
X1 = Investasi
X2 = Tenaga Kerja
Β1 = Konstanta
β2, β3 = Koefisiensi regresi x1 dan x2
e1 = Variabel pengganggu, wakil semua pengaruh yang timbul dari
variabel terikat akibat kesalahan peneliti
1. Uji Statistik
Untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel independent dalam
mempengaruhi variabel dependen, digunakan uji t test. Uji t test akan dilakukan untuk
membuktikan hipotesis yang diambil.
Adapun hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut :
Ho : β1 = O : tidak pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen
secara individual
Ha : β1 ≠ 0 : ada pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen
secara individual
a. Uji t
Yaitu pengujian untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (x1, x2 dan x3) terhadap
variabel terikat (Y) secara parsial atau individu. Menurut Gujarati (1995)
Dengan langkah :
1). t hitung = ( )ββ
SE (49)
Dimana :
β = Nilai masing-masing koefisien regresi
SE (β) = Standar error untuk masing-masing koefisien regresi
2). Dalam penelitian ini menggunakan tingkat signifikan sebesar 0,05 dengan
derajat kebebasan (n-k-1), karena pengujian dua sisi maka pada penentu t tabel
menggunakan 2a = 0,025
Dimana :
n = Jumlah pengamatan
k = jumlah variabel
3). Ho : β1, β2, = 0 (secara parsial, variabel bebas tidak berpengaruh terhadap
variabel terikat)
Ha : β1, β2, ≠ 0 (paling tidak salah satu variabel bebas berpengaruh terhadap
variabel terikat)
4). Uji t dipergunakan untuk mengetahui apakah Ho diterima atau ditolak dengan
ketentuan sebagai berikut :
a). Jika t hit > t tabel, atau t hit > - t tabel, maka Ho diterima dan ditolak. Berarti
signifikasi atau variabel independen yang diuji secara nyata berpengaruh
terhadap variabel dependent.
b). Jika t hit < t tabel atau t hit < -t tabel, maka Ho diterima dan ditolak. Berarti
signifikasi atau variabel independ yang diuji secara nyata tidak berpengaruh
terhadap variabel dependent dengan = 0,05
Gambar 3.1
Daerah terima dan daerah tolak uji t
Ho ditolak Ho diterima Ho ditolak -1( 2
a ; n –k) 1(2a ; n – k)
b. Uji F
Yaitu pengujian untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (x1, x2 dan x3) terhadap
variabel terikat (Y) secara bersama-sama. Menurut Gujarati (1995)
Dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1). F hitung :
F = ( )
( ) ( )1/1
1/2
2
−−−−
KnR
KR (50)
Dimana :
R2 : Koefisien determinan
K : Jumlah variabel independent
N : Jumlah data atau sampel
2). Dalam penelitian ini menggunakan tingkat signifikasi sebesar 0,05 dengan
derajat kebebasan (df) pembilang (k-1) dan penyebut (n-k). Df = k – 1 ; n – k
3). Ho : β1, β2, = 0 (tidak ada pengaruh secara bersama-sama, antara variabel terikat
dengan variabel bebas)
Ha : β1, β2, ≠ 0 (ada pengaruh secara bersama-sama, antara variabel terikat
dengan variabel bebas)
4). Uji F ini dipergunakan untuk mempengaruhi apakah Ho diterima dan ditolak
dengan ketentuan sebagai berikut :
a). Apabila Fhit > Ftabel, maka Ho ditolak dan diterima berarti signifikansi/variabel
independent secara keseluruhan berpengaruh terhadap variabel dependent
b). Apabila Fhit < Ftabel, maka Ho, ditolak dan diterima berarti tidak signifikan
variabel independent secara keseluruhan tidak berpengaruh terhadap variabel
dependen.
Gambar 3.2.
Daerah terima dan daerah tolak uji F
Ho diterima Ho ditolak
F(α ; k – 1 : n – k)
c. Koefisien Determinasi (R2)
Untuk mengukur kebaikan dari model regresi maka diperlukan perhitungan
determinasi (R2), yaitu angka untuk persentase total variasi variabel dependent yang
dapat dijelaskan variabel independent dalam model.
2. Uji Asumsi Klasik
a. Multikolinaritas
Variabel bebas terdapat korelasi dengan variabel bebas lainnya atau dengan
kata lain, suatu variabel bebas merupakan tugas linier dari variabel bebas lainnya.
Cara paling mudah untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas aalah
dengan metode Auxillary Regresi, yaitu dengan melihat nilai R2 dan nilai r2. Apabila
dari hasil pengujian statistik diperoleh r2 < R2 berarti tidak ada multikolinieritas,
sedangkan jika r2 > R2 berarti terjadi multikolinieritas.
b. Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas terjadi jika gangguan muncul dalam fungsi regresi yang
mempunyai varian yang tidak sama sehingga penaksir OLS tidak efisien baik dalam
sampel kecil maupun besar tapi masih tetap tidak bias dan konsisten
Salah satu cara untuk mendeteksi masalah heteroskedastisitas adalah dengan
uji Park. Langkah-langkah pengujiannya adalah sebagai berikut :
1) Dari hasil regresi OLS akan diperoleh nilai residualnya
2) Nilai residual dikuadratkan, lalu diregresikan dengan variabel bebas sehingga
diperoleh persamaan sebagai berikut :
e1 = α1X1 + α2X2 (51)
Hasil regresi tahap dua dilakukan uji t
Jika signifikan maka terjadi masalah heteroskedastisitas, sedangkan jika tidak
signifikasi maka tidak terjadi masalah heteroskedentisitas dalam model tersebut.
a. Autokolerasi
Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi maka dilakukan percobaan
d(darbin-Watson test).
D =
−
∑∑ −
21
1111
e
ee (52)
Gambar 3.3.
Autokorelasi
Ragu-ragu Ragu-ragu
Autokorelasi Autokorelasi Positif Negatif
Tidak ada autokorelasi
0 dL dU 2 4 – dU 4 – dL 4
Dengan Ho : tidak ada serial autokorelasi antara dua ujungnya baik yang positif
maupun negatif, sehingga jika :
0 < d < dL : menolak Ho 4-dL < d < 4 : menolak Ho
dU < d < 4 – dU : menerima Ho dL < d < dU atau 4 – dU < d < 4-dL: tidak
meyakinkan
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Wilayah
1. Keadaan Geografis
a. Letak Geografis
Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi di Pulau Jawa, yang letaknya diapit oleh
dua provinsi besar yaitu Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya antara 5o40’ dan
8o30’ LS dan antara 108o30’ dan 111o30’ BT (termasuk Pulau Karimunjawa). Jarak
terjauh dari barat ke timur adalah 263 km dan dari utara ke selatan 226 km (tidak
termasuk Pulau Karimunjawa). Batas-batas wilayah Jawa Tengah adalah :
Sebelah utara : Laut Jawa
Sebelah Selatan : DI Yogyakarta dan Samudra Indonesia
Sebelah Barat : Provinsi Jawa Barat
Sebelah Timur : Provinsi Jawa Timur
Provinsi Jawa Tengah terbagi ke dalam 35 Daerah Provinsi dan Kota yaitu 6
Daerah Kota dan 29 Daerah Kabupaten dengan 352 Kecamatan, yang meliputi 8.530
Desa dan 606 Kelurahan.
b. Sumber Daya Alam
1). Iklim dam Suhu Udara
Provinsi Jawa Tengah memiliki dua musim yaitu musin kemarau dan musim
hujan. Menurut Stasiun Klimatologi Klas I Semarang, suhu rata-rata Jawa Tengah
tahun 1999 berkisar antara 18oC sampai dengan 28oC. Tempat-tempat yang
letaknya dekat pantai mempunyai suhu udara rata-rata relatif tinggi, sedangkan
untuk kelembaban udara rata-rata bervariasi dari 74 % sampai 95%.
Jumlah curah hujan dalam satu tahun sebesar 200 mm, sehingga Jawa
Tengah termasuk beriklim basah. Jumlah curah hujan rata-rata bulanan di Bagian
Dataran Rendah Utara minimum 3 mm dan maksimum 663 mm, sedangkan di
Bagian Dataran Rendah Selatan minimun 8 mm dan maksium 207 mm.
2). Keadaan Alam
Provinsi Jawa Tengah memiliki relief yang beraneka ragam. Daerah
pegunungan dan dataran yang membujur sejajar dengan panjang Pulau Jawa, daerah
dataran rendah yang hampir tersebar diseluruh Jawa Tengah serta daerah pantai
yaitu pantai utara dan selatan.
Ditinjau dari sisi topografinya Jawa Tengah mempunyai relief yang
beragam meliputi daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Diukur dari
permukaan laut, Jawa Tengah dapat dibedakan atas empat golongan ketinggian,
yaitu :
� 0 – 9 meter meliputi wilayah seluas 53.3 persen
� 100 – 499 meter meliputi wilayah seluas 27.4 persen
� 500 – 999 meter meliputi wilayah seluas 14.7 persen
� 1000 meter keatas meliputi wilayah seluas 4.6 persen
Dari kemiringannya Jawa Tengah juga dibedakan menjadi empat golongan
derajat kemiringan, yaitu :
� 0o – 2o meliputi wilayah seluas 41,3 persen
� 3o – 15o meliputi wilayah seluas 27,7 persen
� 16o – 39o meliputi wilayah seluas 21,2 persen
� 4o keatas meliputi wilayah seluas 4,8 persen
Luas lahan yang terdapat di Jawa Tengah 64 persen dapat dibudidayakan
secara tidak terbatas sesuai dengan ketinggiannya, sedangkan 21,1 persen luas
lahan hanya dapat dibudidayakan dengan perlakuan khusus.
3). Hutan
Kelestarian hutan sangat penting artinya bagi kehidupan. Banyak manfaat
yang dapat diambil dari hutan antara lain sebagai pencegah bahaya banjir, pencegah
polusi, habitat flora dan fauna, selain itu dapat diambil hasil hutannya dan secara
umum adalah sebagai penyeimbang lingkungan.
Menurut Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah luas di Jawa Tengah adalah
646.831,93 ha atau kurang lebih 28,80 persen dari luas wilayah Jawa Tengah,
dimana 41.739,12 ha berfungsi sebagai hutan lindung 604.255,69 ha sebagai hutan
produksi dan 867,12 ha sebagai hutan suaka alam dan wisata.
4). Gunung
Jumlah gunung di Jawa Tengah relatif banyak dan empat diantaranya masih
aktif, artinya gunung tersebut sewaktu-waktu masih mengeluarkan lava atau gas
beracun. Gunung-gunung yang masih aktif tersebut adalah :
� Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten
Klaten, Kabupaten Magelang dan Daerah Istimewa Yogyakarta
� Gunung Slamet yang terletak di perbatasan Kabupaten Banyumas, Kabupaten
Banjarnegara, Kabupaten Brebes dan Tegal
� Gunung Sindoro yang terletak di perbatasan Kabupaten Temanggung dan
Kabupaten Wonosobo
� Pegunungan Dieng yang terletak di perbatasan Kabupaten Wonosobo dan
Kabupaten Pekalongan.
c. Luas Wilayah
Luas daerah Provinsi Jawa Tengah adalah 32.547 km2 atau sekitar 25,04 persen
dari luas Pulau Jawa (1,70 persen dari luas Indonesia). Wilayah terluas adalah
Kabupaten Cilacap yaitu sebesar 2.138,51 Km2, dan yang terkecil adalah Kota
Magelang dengan luas 18,12 Km2.
2. Keadaan Penduduk
Penduduk memiliki fungsi ganda di dalam perekonomian. Dalam konteks pasar,
penduduk berada di sisi permintaan sekaligus di sisi penawaran. Pada sisi permintaan
penduduk adalah konsumen, sumber permintaan akan barang-barang dan jasa. Sedangkan
di sisi penawaran penduduk adalah produsen, misalnya sebagai pengusaha atau tenaga
kerja. Dalam konteks pembangunan, pandangan terhadap keberadaan penduduk terpecah
menjadi dua yaitu penduduk pemacu pembangunan. Namun demikian, apakah penduduk
merupakan pemacu atau penghambat pembangunan, persoalannya bukan semata-mata
terletak pada besar/kecil jumlahnya, akan tetapi tergantung pada kapasitas penduduk
tersebut, baik selaku konsumen ataupun produsen (Dumairy, 1997 : 68).
Tabel 4.1.
Jumlah, Kepadatan dan LPP Jawa Tengah
Tahun 1980, 1990, 2000 dan 2008
Keterangan 1980 1990 2000 2008
Jumlah (juta jiwa) 25,37 28,52 30,78 32.62
Laki-laki (juta jiwa) 12,47 14,08 15,25 16.19
Persentase (laki-laki) 49,15 49,37 49,55 49,63
Perempuan (juta jiwa) 12,9 14,44 15,52 16.43
Persentase (perempuan) 50,85 50,63 49,63 50,37
10 tahun ke atas(juta jiwa)
23,46 21,87 25,12 27.10
Berlanjut ke halaman 72 …………Lanjutan Tabel 4.1
Persentase (10 tahun ke atas)
92,47 76,68 81,61 83.07
10 tahun ke bawah (juta jiwa)
1,91 6,65 5,66 5,52
Persentase (10 tahun ke bawah)
7,53 23,32 18,39 16.93
Kepadatan (Jiwa per km2)
745 834 918,98 1002.53
Pertumbuhan(persen) 1,18 0,75 1,24 0.55
Penduduk Pulau Jawa (juta jiwa)
91,27 107,53 121,20 132.86
Sumber : Jawa Tengah dalam Angka (beberapa edisi)
Dari Tabel 4.1 diatas dapat diketahui bahwa Provinsi Jawa Tengah memiliki
penduduk dalam jumlah yang besar. Jumlah penduduk Jawa Tengah berdasarkan Jawa
Tengah Dalam Angka 2009 adalah sebesar 32.626.400 jiwa. Jumlah ini setara dengan 25
persen penduduk Pulau Jawa atau 15 persen jumlah penduduk Indonesia sehingga Jawa
Tengah menempati urutan ketiga Provinsi yang memiliki penduduk terbesar dari seluruh
Provinsi di Pulau Jawa. Jumlah penduduk tahun 2008 menunjukkan peningkatan yang
sangat besar bila dibandingkan pada tahun 2000 dimana penduduk Jawa Tengah adalah
30,78 juta jiwa dan pada tahun 2008 berjumlah 32.62 juta jiwa.
Pertumbuhan penduduk Jawa Tengah pada tahun 2008 adalah 0.55 persen
dimana pada tahun 2007 penduduk Jawa Tengah berjumlah 32.380.3000 jiwa. Angka
pertumbuhan ini relatif lebih besar jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan pada
tahun 2007 yang besarnya 0.52 persen.
Dalam perspektif jenis kelamin, proporsi penduduk perempuan lebih besar
dibandingkan dengan penduduk laki-laki, dimana di tahun 2008 persentase jumlah
penduduk perempuan adalah sebesar 50,37 persen sedangkan persentase jumlah
penduduk laki-laki adalah 49,63 persen. Sedangkan pada tahun 2000 penduduk Jawa
Tengah menunjukkan persentase penduduk perempuan adalah sebesar 50,37 persen dan
persentase penduduk laki-laki adalah 49,63 persen. Pada tahun 1990 proporsi penduduk
perempuan sebesar 50,63 persen dan proporsi penduduk laki-laki adalah 49,37 persen.
Selain memiliki masalah tentang besarnya jumlah penduduk, Jawa Tengah juga
menghadapi masalah sebaran penduduk yang tidak merata. Ketidakmerataan jumlah
penduduk antar wilayah menimbulkan masalah urbanisasi. Urbanisasi dalam jumlah besar
akan menimbulkan masalah bagi kota yang didatangi, yang antara lain menyangkut
penyediaan lapangan kerja, permukiman, kriminalitas dan masalah-masalah sosial
lainnya. Kepadatan penduduk dapat diperoleh dengan membagi jumlah penduduk dengan
luas wilayah. Kepadatan penduduk cenderung naik seiring dengan kenaikan jumlah
penduduk.
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu Provinsi dengan tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi dimana 15 persen penduduk Indonesia tinggal di Jawa Tengah.
Kepadatan penduduk tiap tahunnya terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk tiap tahunnya. Pada tahun 1980 kepadatan penduduk tercatat 745 jiwa per km2,
tahun 1990 nilainya meningkat menjadi 834 jiwa per km2 dan pada tahun 2000 tercatat
rata-rata sebesar 918 jiwa setiap kilometer persegi dan pada tahun 2008 tercatat rata-rata
sebesar 1002 jiwa setiap kilometer persegi. Kepadatan penduduk di wilayah kota secara
umum lebih tinggi dibandingkan di wilayah Provinsi (lihat tabel 4.2), wilayah terpadat
terdapat di wilayah Kota Surakarta yaitu sekitar 11.876 orang setiap km2 dengan jumlah
penduduk sebesar 522.935 jiwa atau 1,6 persen dari jumlah penduduk Jawa Tengah.
Sedangkan wilayah dengan angka kepadatan terkecil di Kabupaten Blora yaitu sekitar
465 orang setiap km2 dengan jumlah penduduk sebesar 835.160 jiwa atau 2,6 persen dari
jumlah Jawa Tengah. Laju pertumbuhan penduduk terkecil adalah di Kabupaten Cilacap
yaitu 0.22 persen , angka pertumbuhan penduduk terbesar di Jawa Tengah yaitu Kota
Magelang yaitu sebesar 1.84 persen.
Tebel 4.2.
Jumlah Penduduk, Kepadatan dan LPP Jawa Tengah Tahun 2008
Kabupaten / Kota Jumlah (jiwa)
Pertumbuhan
( % )
Pertambahan Penduduk
Kepadatan
Cilacap 1626795 0.22 3619 760 Banyumas 1503262 0.49 7281 1132 Purbalingga 828125 0.76 6255 1064 Banjarnegara 869777 0.65 5629 813 Kebumen 1215801 0.59 7085 947 Purworejo 722293 0.40 2897 697 Wonosobo 757746 0.44 3299 769 Magelang 1170894 0.83 9616 1078 Jawa Tengah 938469 0.62 5771 924 Klaten 1133012 0.37 4160 1728 Sukoharjo 826699 0.86 7078 1171
Berlanjut ke halaman 88
…Lanjutan Tabel 4.2
Wonogiri 982730 0.27 2598 539 Karanganyar 812423 0.86 6961 1052 Sragen 860509 0.31 2665 909
Grobongan 1336322 0.75 9908 676 Blora 835160 0.39 3251 465 Rembang 575640 0.48 2761 567 Pati 1171605 0.34 3984 785 Kudus 786269 1.48 11431 1849 Jepara 1090839 1.60 17208 1086 Demak 1034286 0.87 8898 1152 Semarang 911223 1.20 10803 962 Temanbgung 707707 0.98 6862 813 Kendal 952011 1.48 13896 949 Batang 682561 0.54 3652 865 Pekalongan 851700 0.89 7472 1018 Pemalang 1375240 1.20 16288 1359 Tegal 1415625 0.38 5335 1609 Brebes 1788687 0.72 12748 1079 Kota Magelang 134615 1.84 2438 7429 Kota Surakarta 522935 1.04 5378 11876 Kota Selatiga 178451 2.15 3752 3369 Kota Semarang 1511236 1.52 22591 4044 Kota Pekalongan 275241 0.69 1899 6121 Kota Tegal 240502 0.27 642 6973
Sumber : Jawa Tengah dalam Angka 2009 diolah.
3. Kondisi Perekonomian
Data mengenai PDRB dan Investasi yang diwujudkan dalam Pembentukan
Modal Tetap Domestik Bruto. serta data Tenaga Kerja diperoleh dari Badan Pusat
Statistik Provinsi Jawa Tengah. Seluruh nilai PDRB dan Investasi, telah dideflasikan
dengan indeks harga konstan tahun dasar tahun 2000.
a. Perkembangan PDRB
Nilai PDRB Jawa Tengah selama periode tahun 1986 sampai dengan 2008
cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5.27
persen. Angka pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2000 yaitu sebesar 19.13
persen dari Rp. 96278664 juta di tahun 1999 menjadi Rp. 114701304 juta. Krisis
moneter yang dimulai pada pertengahan 1997 mengakibatkan kondisi perekonomian
Jawa Tengah mengalami saat paling buruk sepanjang satu dasa warsa terakhir.
PDRB mengalami laju pertumbuhan negatif yaitu sebesar 11,74 persen dari Rp.
105407654 juta ditahun 1997 menjadi Rp. 93030052 juta di tahun 1998. Pada tahun
1999 perekonomian sedikit mengalami perbaikan yang ditandai dari nilai PDRB
yang tumbuh 3,5 persen dari Rp. 98030052 juta di tahun 1998 menjadi Rp. .
96278664 juta.
Tabel 4.3 PDRB Provinsi Jawa Tengah Tahun 1986-2008
( Dalam Jutaan Rupiah )
NO TAHUN
BERDASARKAN BERDASARKAN PERTUM
HARGA DASAR HARGA BUHAN
TAHUN 1983
TAHUN 1993 TAHUN 2000 BERLAKU PDRB
1 2 3 4 5 7 9
1 1986
9.459.721,30 21.686.498,75 53.000.962,36 11.492.261,66
2,2925093
2 1987
10.016.163,95 183.156.327,26 447.626.964,66 13.593.745,27
18,29
3 1988
10.652.347,73 221.691.173,60 541.804.635,50 16.422.805,51
20,81
4 1989
11.340.444,99 156.705.199,80 382.981.434,40 18.692.151,22
13,82
5 1990
12.134.025,95 194.559.074,90 475.494.837,92 21.689.283,14
16,03
6 1991
13.002.587,13 257.252.159,61 628.714.306,96 25.980.440,64
19,78
7 1992
13.969.999,53 226.927.465,33 554.601.929,53 30.200.680,97
16,24
8 1993
14.821.710,71 33.978.909,16 83.043.136,96 33.978.909,16
12,51
9 1994 36.145.114,48 88.337.258,80 39.303.565,03 15,67
10 1995 39.013.952,64 95.348.588,06 46.586.032,91 18,53
11 1996 41.862.203,72 102.309.603,31 52.505.360,63 12,71
12 1997 43.129.838,90 105.407.654,55 60.296.426,87 14,84
Berlanjut ke halaman 90
………Lanjutan Tabel 4.3
13 1998 38.065.273,35 93.030.052,65 84.610.222,51 40,32
14 1999 39.394.513,74 96.278.664,64 101.509.193,76 19,97
15 2000 46.932.538,43 114.701.304,81 114.701.304,81 13,00
16 2001 118.816.400,29 133.227.558,11 16,15
17 2002 123.038.541,13 151.968.825,74 14,07
18 2003 129.166.462,45 171.881.877,04 13,10
19 2004 135.789.872,31 193.435.263,05 12,54
20 2005 145.051.213,88 234.435.323,30 21,20
21 2006 150.682.654,75 281.996.709,11 20,29
22 2007 151.362.625,34 312.428.807,09 10,79
23 2008 167.790.369,84 362.938.708,25 16,17
Sumber: Jawa Tengah dalam Angka dan PDRB Jawa Tengah diolah ( beberapa edisi ) b. Perkembangan Investasi
Nilai investasi yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah dari tahun 1986 sampai
dengan tahun 2008 hampir selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya dengan rata-
rata pertumbuhan sebesar 8,08 persen. Pertumbuhan investasi tertinggi dicapai pada
tahun 2008 yaitu sebesar 16.20 persen dari Rp. 55,161,025.48 juta menjadi Rp.
67,171,292.57 juta. Hal ini menunjukkan terciptanya kondisi yang mendukung bagi
kegiatan investasi di Provinsi Jawa Tengah pada saat itu. Dalan beberapa kurun
waktu, yaitu antara tahun 1997 s/d 1999, 2001, dan 2005 nilai investasi mengalami
penurunan , hal ini disebabkan oleh situasi politik yang kurang kondusif.
Tabel 4.4
Pembetukan Modal Tetap Provinsi Jawa Tengan Tahun 1986-2008 ( Dalam Jutaan Rupiah )
NO TAHUN
BERDASARKAN INV BERDASARKAN HASIL
HARGA DASAR PERT. HARGA DEFLATOR
TAHUN 1983 TAHUN
1993
TAHUN
2000 ( % ) BERLAKU
1 2 3 4 5 6 7 8
1 1986 1,803,313.73 2,287,717.03
10,550,682.52
2 1987 1,724,794.81 (0.02) 2,555,276.66
10,548,862.69
3 1988 1,983,300.68 9.48 3,177,939.16
11,549,122.23
4 1989 2,157,027.31 9.89 3,733,459.08
12,690,759.68
5 1990 2,418,138.98 10.61 4,478,539.18
14,037,879.59
6 1991 2,768,823.96 10.22 5,517,888.00
15,472,537.89
7 1992 3,068,466.85 8.74 6,491,537.19
16,824,130.15
8 1993
7,499,519.12 8.94 7,499,519.12
18,328,534.05
9 1994
8,646,098.98 12.22 9,151,738.67
20,569,113.94
10 1995
9,202,415.49 3.81 10,432,268.67
21,351,938.04
11 1996
10,008,798.84 9.15 11,960,812.49
23,306,305.61
12 1997
9,276,563.74 (5.75) 12,565,527.25
21,966,521.47
13 1998
7,795,292.13 (8.80) 18,221,031.66
20,034,264.00
14 1999
6,189,368.22 (13.2) 18,326,349.73
17,382,036.19
15 2000
19,443,890.34 11.86 19,443,890.34
19,443,890.34
16 2001
17,210,016.59 (1.31) 21,515,843.51
19,188,485.56
17 2002
17,846,043.00 2.92 24,392,021.63
19,748,515.80
18 2003
19,152,824.31 5.30 27,672,216.45
20,795,225.00
19 2004
21,731,823.21 10.06 32,603,177.99
22,887,147.39
20 2005
23,702,943.17 (0.59) 36,772,031.93
22,751,809.72
21 2006
26,759,732.63 13.97 48,525,638.48
25,929,281.42
22 2007
28,276,562.99 3.06 55,161,025.48
26,723,904.59
23 2008
30,169,301.77 16.20 67,171,292.57
31,053,992.77
Sumber: Jawa Tengah dalam Angka dan PDRB Jawa Tengah ( beberapa edisi ) diolah c. Perkembangan Tenaga Kerja
Kondisi ketenagakerjaan di Provinsi Jawa Tengah cenderung mengalami
fluktuasi tiap tahunnya namun secara keseluruhan mengalami peningkatan. Hal ini
diakibatkan oleh pengaruh kenaiakan jumlah penduduk Jawa Tengah. Jumlah tenaga
kerja cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan tiap tahunnya sebesar 0.86
persen. Pada tahun 2008 tenaga kerja Jawa Tengah mencapai angka 15463658 orang
atau tumbuh sekitar -5.15 persen dari tahun 2007 yang berjumlah 16304058 orang.
Angka pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2007, yaitu sebesar 7.19 persen
dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan tiap tahunnya. Kondisi ini sangat
mendukung bagi tercapainya tingkat Produk Domestik Regional Bruto Jawa Tengah
yang tinggi.
Tabel 4.5
Jumlah Tenaga Kerja Provinsi Jawa Tengah 1986-2008
No Tahun Jumlah Tenaga kerja Pertumbuhan
1 2 3 4
1 1986
12,837,119
2 1987
12,866,665 0.23
3 1988
12,504,593 -2.81
4 1989
13,106,608 4.81
5 1990
13,424,784 2.43
6 1991
13,144,046 -2.09
7 1992
14,022,669 6.68
8 1993
13,871,820 -1.08
Berlanjut ke halaman 93
………Lanjutan Tabel 4.5 9 1994
13,850,929 -0.15
10 1995
14,062,056 1.52
11 1996
13,841,255 -1.57
12 1997
13,805,930 -0.26
13 1998
14,117,828 2.26
14 1999
14,566,119 3.18
15 2000
14,491,222 -0.51
16 2001
15,066,542 3.97
17 2002
15,154,856 0.59
18 2003
15,124,082 -0.20
19 2004
14,930,097 -1.28
20 2005
15,655,303 4.86
21 2006
15,210,931 -2.84
22 2007
16,304,058 7.19
23 2008
15,463,658 -5.15
Sumber: Jawa Tengah dalam Angka ( beberapa edisi ) diolah.
B. Analisis Data
1. Persamaan Regresi Log Linier Berganda Hasil Penelitian
Perhitungan analisis regresi log linier berganda dilakukan dengan bantuan
komputer Eviews 3.0. Adapun hasilnya dapat dirangkum sebagai berikut :
Tabel 4.6
Hasil Estimasi Faktor Faktor yang Berpengaruh Terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah
Dependent Variable: Ln PDRB Method: Least Squares Date: 04/27/10 Time: 06:00 Sample: 1986 2008 Included observations: 23
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -34.31603 5.315654 -6.455655 0.0000 Ln INV 0.553125 0.097651 5.664279 0.0000 Ln TK 2.638201 0.401262 6.574752 0.0000
R-squared 0.958381 Mean dependent var 18.38898 Adjusted R-squared
0.954219 S.D. dependent var 0.340711
S.E. of regression 0.072900 Akaike info criterion -2.278337 Sum squared resid 0.106289 Schwarz criterion -2.130229 Log likelihood 29.20088 F-statistic 230.2729 Durbin-Watson stat 1.608425 Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber : olah data Eviews 3.0
Berdasarkan tabel 4.6 tersebut, hasil estimasi dengan menggunakan regresi Log
Linier Berganda dapat dituliskan persamaan regresi sebagai berikut:
Ln PDRB = -34.31603+ 0.553125 Ln INV + 2.638201 Ln TK (53)
2. Uji Statistik
a. Uji t ( Uji secara individu )
Uji t adalah pengujian terhadap koefisien regresi dari variabel independen secara
individu yang bertujuan untuk melihat apakah variabel independen tersebut signifikan
atau tidak dalam mempengaruhi variabel dependen. Jika besarnya t hitung lebih besar
dari pada t tabel ( t hitung > t tabel ) atau -t hitung lebih kecil dari pada t tabel ( -t hitung < t tabel ),
maka variabel bebas tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel
dependen secara individu.
1). Variabel Investasi
Koefisien regresi variabel investasi sebesar 0.553125 dengan nilai t hitung
5.664279 yang lebih besar dari t tabel pada α = 0,05; 2α : 0,025 df : 20 yang
bernilai 2,086. Bila dilihat dari probabilitasnya yang mempunyai nilai 0,0000 (
menunjukkan nilai yang sangat kecil) yang lebih kecil dari 0,05, maka dari kedua
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa koefisien regresi variabel investasi di
Provinsi Jawa Tengah memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap
PDRB di Provinsi Jawa Tengah.
2). Variabel Tenaga Kerja
Koefisien regresi variabel tenaga kerja sebesar 2.638201 dengan nilai t hitung
6.574752yang lebih besar dari t tabel pada α = 0,05; 2α : 0,025 df : 20 yang bernilai
2,086. Bila dilihat dari probabilitasnya yang mempunyai nilai 0,0000 (
menunjukkan nilai yang sangat kecil) yang lebih kecil dari 0,05, maka dari kedua
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa koefisien regresi variabel tenaga kerja di
Provinsi Jawa Tengah memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap
PDRB di Provinsi Jawa Tengah.
b.Uji F
Dari hasil pengolahan data pada table 4.6 diperoleh Fhitung = 230.2729
sedangkan Ftabel pada taraf signifikan 5% adalah sebesar 4.32. Dikarenakan Fhitung >
Ftabel (230.2729 > 4.32), maka Ho ditolak artinya variabel-variabel independen secara
bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen. Jadi investasi, dan Tenaga
Kerja secara serentak berpengaruh terhadap PDRB di Provinsi Jawa Tengah.
Langkah-langkah sebagai berikut :
1) Ho : b = 0 (tidak ada pengaruh)
Ha : b ≠ 0 (ada pengaruh)
2) α = 0,05
df pembilang : 1
df penyebut : 21
3) Perhitungan uji F
nilai F tabel : 4.32
nilai F hitung : 230.2729
4) Daerah pengujian
Gambar 4.1 Daerah terima dan daerah tolak uji F
Hoditolak
Hoditerima
4.32 230.2729
Tingkat signifikansi dari nilai F statistic juga dapat dilihat dari probabilitas F
statistiknya. Besarnya F Proob ( F statistik ) dalam model persamaan ini adalah
0,0000, maka dapat dikatakan bahwa secara statistik semua koefisien regresi tersebut
signifikan, bahwa sampai pada tingkat signifikansi 5 %. Ini berarti bahwa variabel
investasi dan tenaga kerja secara bersama-sama mempengaruhi variabel PDRB di
Provinsi Jawa Tengah.
c. Koefisien Determinasi (R2)
Kemudian untuk mengetahui persentase total variasi dari variabel dependen
yang dapat dijelaskan oleh variabel independen dalam model, maka digunakan
koefisien determinasi (R2). Nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1. Apabila R2 mendekati
1, ini menunjukkan bahwa variasi variabel dependen secara bersama-sama dapat
dijelaskan oleh variasi variabel independen. Sebaliknya jika nilai R2 mendekati 0,
maka variasi dari variabel dependen tidak dapat dijelaskan oleh variabel independen.
Dari pengujian yang telah dilaksanakan menghasilkan nilai adjusted R2
sebesar 0.958381; sehingga dapat dikatakan bahwa hasil pengujian yang dilakukan
memberikan hasil yang cukup baik. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 95.84 %
variasi dari variabel dependen dalam hal ini PDRB dapat dijelaskan oleh variabel
independen yang terdiri investasi, dan Tenaga Kerja. Sedang 4.16 % sisanya
dijelaskan oleh variabel lain diluar model.
3. Pengujian Asumsi Klasik
Model regresi yang digunakan akan menunjukkan hubungan yang representatif,
apabila model regresi memenuhi asumsi dasar klasik regresi, yaitu uji multikolinearitas,
uji heteroskedastisitas uji autokorelasi.
a. Uji Multikolinieritas
Multikolinieritas dimaksudkan untuk melihat apakah ada hubungan diantara
variabel yang menjelaskan. Cara paling mudah untuk mendeteksi ada tidaknya
multikolinieritas adalah dengan metode Auxillary Regresi, yaitu dengan melihat nilai
R2 dan nilai r2. Apabila dari hasil pengujian statistik diperoleh R2 > r2 berarti tidak
ada multikolinieritas, sedangkan jika R2 < r2 berarti terjadi multikolinieritas. Selain
itu juga menggunakan uji Klien. Berdasarkan uji Klien, maka untuk mendeteksi
multikolinieritas pada beberapa variabel bebas, maka dilakukan auxillary regresi
selama beberapa kali tergantung banyaknya variabel bebas tersebut. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.9 sebagai berikut :
Tabel 4.7
Hasil Uji Multikolinieritas
Keterkaitan antar variabel independen
R2 Tanda r2 Keterangan
INV dgn TK
0.958381 > 0.701061 Tidak terjadi
multikolinieritas
TK dgn INV
0.958381 > 0.701061 Tidak terjadi
multikolinieritas
Sumber: Hasil olah data Eviews 3.0
Dari tabel diatas dapat ditunjukkan bahwa untuk semua korelasi antar
variabel independent memiliki r2 yang lebih kecil daripada R2. Hal ini memberikan
kesimpulan bahwa semua variabel independent memberikan pengaruh bebas dari
masalah multikolineritas.
b. Heteroskedastisita
Heteroskedastistitas terjadi bila variabel gangguan mempunyai varians yang
tidak sama sehingga penaksir OLS tidak efisien baik dalam sampel kecil maupun besar
( Modul Laboratorium Ekonomi Pembnangunan II ).
Salah satu cara untuk mendeteksi masalah heteroskedastisitas adalah dengan
uji Park. Langkah-langkah pengujiannya adalah sebagai berikut :
1).Dari hasil regresi OLS akan diperoleh nilai residualnya
2).Nilai residual dikuadratkan, lalu diregresikan dengan variabel bebas
sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut :
Ln e2 = αo + α1 Ln INV+ α2 Ln TK (54)
Dimana :
α = Konstanta
e2 = Residual
INV = Investasi
TK : Tenaga Kerja
Meregres residual yang di kuadratkan dengan variable independen, dengan
hasil sebagai berikut;
Tabel 4.8
Uji Heteroskedastisitas
Dependent Variable: Ln e² Method: Least Squares Date: 04/27/10 Time: 06:18 Sample: 1986 2008 Included observations: 23
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 79.34029 102.9475 0.770687 0.4499 Ln INV 6.647721 4.354697 1.526564 0.1425 Ln TK -13.50767 17.89347 -0.754894 0.4591
R-squared 0.139626 Mean dependent var 31.04522 Adjusted R-squared 0.053589 S.D. dependent var 1.451576 S.E. of regression 1.412147 Akaike info criterion 3.649206 Sum squared resid 39.88316 Schwarz criterion 3.797314 Log likelihood -38.96587 F-statistic 1.622853 Durbin-Watson stat 1.789792 Prob(F-statistic) 0.222266
Sumber: Hasil olah data Eviews 3.0
Hasil regresi tahap dua dilakukan uji t (dengan melihat probabilitasnya )
Investasi tidak signifikan pada tingkat α = 5 %
Tenaga Kerja tidak signifikan pada tingkat α = 5 %
Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa pada tingkat keyakinan 5 % semua
koefisien regresi tidak signifikan yang berarti tidak terdapat masalah
heteroskedastisitas di dalam model tersebut. Dengan tidak adanya masalah
heteroskedastisitas dapat disimpulkan :
1.Penaksir OLS tidak bias dan konsisten serta efisien baik dalam sampel besar
maupun kecil
2.Varians minimum
c. Uji Autokorelasi
Pengujian terhadap gejala autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji
Durbin-Watson (DW). Uji ini dilakukan dengan membandingkan nilai Durbin-
Watson yang diperoleh dari hasil regresi dengan batas bawah uji d (df), dan batas atas
uji d (dU) dalam total statistik Durbin-Watson dan dengan (4-dL) dan (4-dU)
(Damodar Gujarati, 1991 : 372). Sedangkan kriteria pengujian adalah sebagai berikut
:
Gambar 4.2
Grafik Uji Autokorelasi
0
Tidak ada
korelasi
Autokorelasinegatif
Ragu-ragu
1,17
Ragu-ragu
Autokorelasipositif
1,54 2,46 2,83
Tidak ada
korelasi
Autokorelasinegatif
Ragu-ragu
1,17
Ragu-ragu
Autokorelasipositif
1,54 2,46 2,83
Tidak ada
korelasi
Autokorelasinegatif
Ragu-ragu
1,17
Ragu-ragu
Autokorelasipositif
1,54 2,46 2,83 4
1.608425
Dari hasil pengujian diketahui bahwa nilai dL = 1,17, dU = 1,54, 4-dL = 2,83,
4-dU = 2,46 sedangkan DW = 1.608425 sehingga dU < d < (4-dU) maka menerima
Ho berarti tidak ada autokorelasi.
4. Analisis Hasil Regresi
Dari hasil estimasi dengan menggunakan regresi Ln Linier Berganda diperoleh
datasebagai berikut:
Ln PDRB = -34.31603+ 0.553125 Ln INV + 2.638201 Ln TK
Model persamaan regresi di atas dapat di analisis sebagai berikut :
a. Pengaruh Investasi terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah
Dari hasil olah data diperoleh koefisien regresi variable investasi sebesar
0.553125 dan bertanda positif yang berarti bahwa apabila terjadi kenaikan pada
variable investasi di Provinsi Jawa Tengah sebesar satu persen maka akan
menyebabkan kenaikan variable PDRB Provinsi Jawa Tengah sebesar 0.55 persen
dengan asumsi variable lain konstan. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan yang
terjadi pada variable investasi di Provinsi Jawa Tengah akan berpengaruh pula pada
besarnya perkembangan PDRB Provinsi Jawa Tengah.
Dari hasil uji signifikansi terbukti perubahan yang terjadi dalam variabel
investasi mempunyai pengaruh yang signifikan pada perubahan variabel PDRB di
Provinsi Jawa Tengah pada taraf signifikansi 0.05 atau 5 %. Jumlah investasi yang
tinggi akan akan meningkatkan PDRB di Provinsi Jawa Tengah dengan pengaruh yang
signifikan.
b. Pengaruh Tenaga Kerja terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah
Dari hasil olah data diperoleh koefisien regresi variable tenaga kerja sebesar
2.638201 dan bertanda positif yang berarti bahwa apabila terjadi kenaikan pada
variable tenaga kerja di Provinsi Jawa Tengah sebesar satu persen maka akan
menyebabkan kenaikan variable PDRB Provinsi Jawa Tengah sebesar 2.64 persen
dengan asumsi variable lain konstan. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan yang
terjadi pada variable tenaga kerja di Provinsi Jawa Tengah akan berpengaruh pula pada
besarnya perkembangan PDRB Provinsi Jawa Tengah.
Dari hasil uji signifikansi terbukti perubahan yang terjadi dalam variabel tenaga
kerja mempunyai pengaruh yang signifikan pada perubahan variabel PDRB di Provinsi
Jawa Tengah pada taraf signifikansi 0.05 atau 5 %. Jumlah tenaga kerja yang tinggi
akan akan meningkatkan PDRB di Provinsi Jawa Tengah dengan pengaruh yang
signifikan.
5. Uji Hipotesa (Teori)
a. Koefisien variabel investasi bernilai positif sebesar 0.553125 artinya jika nilai
investasi meningkat maka PDRB cenderung mengalami peningkatan sesuai dengan
hipotesa.
b. Koefisien variabel tenaga kerja bernilai positif sebesar 2.638201 artinya jika
penerimaan daerah meningkat maka PDRB cenderung mengalami peningkatan sesuai
dengan hipotesa.
c. Dari hasil pengolahan data diperoleh Fhitung = 230.2729 sedangkan Ftabel pada taraf
signifikan 5% adalah sebesar 4.32. Dikarenakan Fhitung > Ftabel (230.2729 > 4.32),
maka Ho ditolak artinya variabel investasi dan tenaga kerja secara bersama-sama
berpengaruh terhadap PDRB di Provinsi Jawa Tengah. artinya investasi dan
tenaga kerja maka PDRB cenderung mengalami peningkatan sesuai dengan
hipotesa.
6. Intepretasi ekonomi
a. Nilai Konstanta.
Nilai konstanta persamaan regresi adalah -34.31603 berarti apabila Investasi dan
tenaga kerja bernilai 1 maka nilai Produk Domestik Regional Bruto akan meningkat
sebesar antilog -34.31603 atau sebesar 1,2495E-15
b. Nilai elastisitas Investasi terhadap PDRB.
Nilai elastisitas Investasi terhadap PDRB ditunjukkan oleh nilai koefisien
regresi variabel Investasi yaitu sebesar 0.553125. Jadi apabila Investasi meningkat
sebesar satu persen maka produk domestik regional bruto akan meningkat pula sebesar
0.553125 persen. ( tidak elastis )
c. Nilai elastisitas Tenaga Kerja terhadap PDRB.
Nilai elastisitas tenaga kerja terhadap PDRB ditunjukkan dengan nilai koefisien
regresi variabel tenaga kerja yaitu sebsar 2.638201. Hal ini berarti apabila ada
peningkatan input tenaga kerja sebesar satu persen maka nilai produk domestik
regional bruto akan meningkat sebesar 2.638201 persen. ( Elastis )
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan perumusan
masalah, hipotesis dan hasil analisis yang diperoleh, di mana kesemuannya telah di
kemukankan pada bab-bab sebelumnya. Hasil analisis tentang pengaruh Investasi dan
Tenaga Kerja terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Tengah adalah
sebagai berikut :
1. Investasi mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB, dalam analisis
terbukti bahwa Investasi mempunyai pengaruh positif dan signifikan dengan tingkat
signifikansi 5 % terhadap PDRB.
2. Tenaga Kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB, dalam analisis
terbukti bahwa Tenaga Kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan dengan tingkat
signifikansi 5 % terhadap PDRB.
3. Investasi dan Tenaga Kerja secara bersama-sama berpengaruh terhadap PDRB Jawa
Tengah. Dalam analisis terbukti bahwa Investasi dan Tenaga Kerja secara bersama-sama
berpengaruh terhadap PDRB Jawa Tengah dengan tingkat signifikansi 5 %.
B. Saran-saran
1. Agar PDRB meningkat perlu usaha untuk meningkatkan nilai investasi. Langkah-langkah
yang dapat ditempuh antara lain adalah menciptakan iklim yang kondusif ( misalnya
dengan mempermudah prosedur perijinan ) bagi terlaksananya berbagai proyek investasi.
Stabilitas ekonomi dan keamanan merupakan faktor penting yang menjamin para investor
menanamkan modalnya di Jawa Tengah. Selain itu diupayakan berbagai macam insentif
dari pemerintah daerah, akan dapat menarik minat para investor baik dari dalam maupun
dari luar daerah/negri.
2. Faktor Tenga Kerja memiliki pengaruh yang besar terhadap PDRB. Provinsi Jawa
Tengah. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat elastisitas sebesar satu ( elastis ), untuk itu
disarankan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah agar pertumbuhan PDRB
meningkat, perlu lebih banyak menggunakan tehnologi yang bersifat padat tenaga.
DAFTAR PUSTAKA
Al Gifari, 1990 “Makro Ekonomi”. Yogyakarta STIE YKPN. Arsyad, Lincoln 1999, ”Pengantar Perncanaan dan pembangunan Ekonomi Daerah” . BPPE : Yogyakarta
Badan Pusat Statistik,2008”Statistik Indonesia” Badan Pusat Statistik,Jakarta. Badan Pusat Statistik, ”Jawa Tengah dalam Angka” BPS Semarang beberapa edisi. Badan Pusat Statistik, ”Produk Domestik Regional Bruto” BPS Semarang beberapa edisi. Boediono,1992”Teori Pertumbuhan Ekonomi” Yogyakarta. BPFE. Boediono, Noegroho, 1992 ” Pengatar Statistik Ekonomi dan Perusahaan” UPP YKPN
Yogyakarta Djarwanto, PS dan Subagyo Pangestu. 1998. “Statistik Induktif”. Yogyakarta. BPFE. Dumairy,1997 ” Perekonomian Indonesia” Erlangga, Jakarta Gujarati Damodar, 1995. “Ekonometrika Dasar”. Terjemahan Edisi III. Jakarta : Erlangga Ida Bagus Putu Purbadharmaja, 2002 , Implikasi Variabel Pengeluaran dan Investasi
terhadap pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Bali. Buletin Studi Ekonomi. Volume 11 Nomor 1 tahun 2006. Halaman 79-91
Jamzani Sodik, 2007 Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional, http:/uii/.ac.id/
Jamzani Sodik & Didi Nuryadin, 2005 Investasi dan pertumbuhan Ekonomi Regional (
Studi kasus pada 26 Propinsi di Indonesia Pra dan Pasca Otonomi ) http://ejournal.unud.ac.id/
Jhingan ML. 1999. “Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan”. Diterjemahkan oleh Guritno. Jakarta: Penerbit Rajawali Pers.
Koutsoyiannis A.,1989”Modern Microeconomics” Second Edition English Language Book Society, Macmillan
Made Antara, 1996. Dampak Pengeluaran Pemerintah dan Wisatawan serta Investasi Swasta terhadap Kinerja Perekonomian Bali; Suatu Simulasi Model Social Accounting Matrix http://ejournal.unud.ac.id/
Makmun dan Akhmad Yasin, 2002. Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja Terhadap PDB Sektor Pertanian. Kajian Ekonomi dan keuangan, Vol. VII No. 3. September 2003. Hal. 57-83
Mankiw, N. Gregory,2000 ” Teori Makro Ekonomi” Jakarta, Erlangga. Mardiasmo, 2002. “Otonomi dan Manajemn Keuangan Daerah”. Yogyakarta: Andi
Offset. Payaman J. Simanjuntak, 1985 ”Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia” Jakarta:
Lembaga Penerbut Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Pindyck, Robert S.,2008” Mikro Ekonomi ” Jakarta , PT. Indeks. Sukirno Sadono, 1999. “Makro Ekonomi”. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suparmoko, 1998. “Pengantar Ekonom Makro”. BPFE Yogyakarta Simanjutak, Payaman J. 2001. “Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia”. Edisi 2001.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sobri. 1987. “Makro Ekonomi”. Yogyakarta: BPFE-UII. Todaro, 2000. “Ekonomi Pembangunan Di Dunia Ketiga”. Jakarta: Erlangga. Victor Siagian, 2004. “Analisis Sumber-sumber Pertumbuhan Ekonomi Filipina periode
1994-2003” http://ejournal.unud.ac.id/ Waloejo Wirjo Wijono, 2005. Mengungkap Sumber-sumber Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia Dalam Lima Tahun Terakhir, Jurnal Manejemen dan Fiskal, Volume V Nomor 2, Jakarta. http://ejournal.iei.or.id/
, Volume V, Nomor 2, Jakarta.
Lampiran 1 Hasil Estimasi Faktor Faktor yang Berpengaruh Terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah
Dependent Variable: LNPDRB Method: Least Squares Date: 04/27/10 Time: 06:00 Sample: 1986 2008 Included observations: 23
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -34.31603 5.315654 -6.455655 0.0000 LNINV 0.553125 0.097651 5.664279 0.0000 LNTK 2.638201 0.401262 6.574752 0.0000
R-squared 0.958381 Mean dependent var 18.38898 Adjusted R-squared 0.954219 S.D. dependent var 0.340711 S.E. of regression 0.072900 Akaike info criterion -2.278337 Sum squared resid 0.106289 Schwarz criterion -2.130229 Log likelihood 29.20088 F-statistic 230.2729 Durbin-Watson stat 1.608425 Prob(F-statistic) 0.000000
Lampiran 2
Uji Multikolinieritas Ln INV dengan Ln TK Dependent Variable: LNTK Method: Least Squares Date: 04/27/10 Time: 06:07 Sample: 1986 2008 Included observations: 23
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 13.05877 0.485996 26.87010 0.0000 LNINV 0.203764 0.029036 7.017722 0.0000
R-squared 0.701061 Mean dependent var 16.46887 Adjusted R-squared 0.686826 S.D. dependent var 0.070843 S.E. of regression 0.039645 Akaike info criterion -3.534747 Sum squared resid 0.033007 Schwarz criterion -3.436008 Log likelihood 42.64959 F-statistic 49.24842 Durbin-Watson stat 1.063632 Prob(F-statistic) 0.000001
Lampiran 3
Uji Multikolinieritas Ln TK dengan Ln INV Dependent Variable: LNINV Method: Least Squares Date: 04/27/10 Time: 06:09 Sample: 1986 2008 Included observations: 23
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -39.92645 8.074192 -4.944947 0.0001 Ln TK 3.440548 0.490266 7.017722 0.0000
R-squared 0.701061 Mean dependent var 16.73548 Adjusted R-squared 0.686826 S.D. dependent var 0.291104 S.E. of regression 0.162908 Akaike info criterion -0.708325 Sum squared resid 0.557317 Schwarz criterion -0.609586 Log likelihood 10.14574 F-statistic 49.24842 Durbin-Watson stat 0.949509 Prob(F-statistic) 0.000001
Lampiran 4
Uji Heteroskedastisitas Dependent Variable: Ln e² Method: Least Squares Date: 04/27/10 Time: 06:18 Sample: 1986 2008 Included observations: 23
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 79.34029 102.9475 0.770687 0.4499 Ln INV 6.647721 4.354697 1.526564 0.1425 Ln TK -13.50767 17.89347 -0.754894 0.4591
R-squared 0.139626 Mean dependent var 31.04522 Adjusted R-squared 0.053589 S.D. dependent var 1.451576 S.E. of regression 1.412147 Akaike info criterion 3.649206 Sum squared resid 39.88316 Schwarz criterion 3.797314 Log likelihood -38.96587 F-statistic 1.622853 Durbin-Watson stat 1.789792 Prob(F-statistic) 0.222266
Lampiran 5
PDRB PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 1986 - 2008
( Dalam Jutaan Rupiah )
NO TAHUN
BERDASARKAN BERDASARKAN DE
HARGA DASAR HARGA FLA
TAHUN 1983 TAHUN 1993 TAHUN 2000 BERLAKU TOR
1 2 3 4 5 7 8
1 1986 9,459,721.30 21,686,498.75 53,000,962.36 11,492,261.66 0.22
2 1987 10,016,163.95 22,962,148.68 56,118,601.35 13,593,745.27 0.24
3 1988 10,652,347.73 24,420,605.89 59,683,014.25 16,422,805.51 0.28
4 1989 11,340,444.99 25,998,075.23 63,538,288.18 18,692,151.22 0.29
5 1990 12,134,025.95 27,817,366.94 67,984,566.60 21,689,283.14 0.32
6 1991 13,002,587.13 29,808,551.49 72,850,944.47 25,980,440.64 0.36
7 1992 13,969,999.53 32,026,353.39 78,271,166.33 30,200,680.97 0.39
8 1993 14,821,710.71 33,978,909.16 83,043,136.96 33,978,909.16 0.41
9 1994 36,145,114.48 88,337,258.80 39,303,565.03 0.44
10 1995 39,013,952.64 95,348,588.06 46,586,032.91 0.49
11 1996 41,862,203.72 102,309,603.31 52,505,360.63 0.51
12 1997 43,129,838.90 105,407,654.55 60,296,426.87 0.57
13 1998 38,065,273.35 93,030,052.65 84,610,222.51 0.91
14 1999 39,394,513.74 96,278,664.64 101,509,193.76 1.05
15 2000 46,932,538.43 114,701,304.81 114,701,304.81 1.00
16 2001 118,816,400.29 133,227,558.11 1.12
17 2002 123,038,541.13 151,968,825.74 1.24
18 2003 129,166,462.45 171,881,877.04 1.33
19 2004 135,789,872.31 193,435,263.05 1.42
20 2005 145,051,213.88 234,435,323.30 1.62
21 2006 150,682,654.75 281,996,709.11 1.87
22 2007 151,362,625.34 312,428,807.09 2.06
23 2008 167,790,369.84 362,938,708.25 2.16
Lampiran 6
PEMBENTUKAN MODAL TETAP PROPINSI JAWA TENGAH
TAHUN 1986 - 2008
( Dalam Jutaan Rupiah )
NO TAHUN
BERDASARKAN BERDASARKAN HASIL
HARGA DASAR HARGA DEFLATOR
TAHUN 1983 TAHUN 1993 TAHUN 2000 BERLAKU
1 2 3 4 5 7 8
1 1986 1,803,313.73 2,287,717.03 10,550,682.52
2 1987 1,724,794.81 2,555,276.66 10,548,862.69
3 1988 1,983,300.68 3,177,939.16 11,549,122.23
4 1989 2,157,027.31 3,733,459.08 12,690,759.68
5 1990 2,418,138.98 4,478,539.18 14,037,879.59
6 1991 2,768,823.96 5,517,888.00 15,472,537.89
7 1992 3,068,466.85 6,491,537.19 16,824,130.15
8 1993 7,499,519.12 7,499,519.12 18,328,534.05
9 1994 8,646,098.98 9,151,738.67 20,569,113.94
10 1995 9,202,415.49 10,432,268.67 21,351,938.04
11 1996 10,008,798.84 11,960,812.49 23,306,305.61
12 1997 9,276,563.74 12,565,527.25 21,966,521.47
13 1998 7,795,292.13 18,221,031.66 20,034,264.00
14 1999 6,189,368.22 18,326,349.73 17,382,036.19
15 2000 19,443,890.34 19,443,890.34 19,443,890.34
16 2001 17,210,016.59 21,515,843.51 19,188,485.56
17 2002 17,846,043.00 24,392,021.63 19,748,515.80
18 2003 19,152,824.31 27,672,216.45 20,795,225.00
19 2004 21,731,823.21 32,603,177.99 22,887,147.39
20 2005 23,702,943.17 36,772,031.93 22,751,809.72
21 2006 26,759,732.63 48,525,638.48 25,929,281.42
22 2007 28,276,562.99 55,161,025.48 26,723,904.59
23 2008 30,169,301.77 67,171,292.57 31,053,992.77
Lampiran 7
DATA JUMLAH TENAGA KERJA PROPINSI JAWA TENGAH
TAHUN 1986 - 2008
NO TAHUN JUMLAH TENAGA KERJA
1 2 3 1 1986 12,837,119 2 1987 12,866,665 3 1988 12,504,593 4 1989 13,106,608 5 1990 13,424,784 6 1991 13,144,046 7 1992 14,022,669 8 1993 13,871,820 9 1994 13,850,929 10 1995 14,062,056 11 1996 13,841,255 12 1997 13,805,930 13 1998 14,117,828 14 1999 14,566,119 15 2000 14,491,222 16 2001 15,066,542 17 2002 15,154,856 18 2003 15,124,082 19 2004 14,930,097 20 2005 15,655,303 21 2006 15,210,931 22 2007 16,304,058 23 2008 15,463,658
Lampiran 8
DATA PENELITIAN
ANALISIS PENGARUH INVESTASI DAN TENAGA KERJA TERHADAP PDRB PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 1986-2008
NO TAHUN PDRB INVESTASI TENAGA
(Dalam Jutaan Rp) (Dalam Jutaan Rp) KERJA 1 2 3 4 5 1 1986 53,000,962.36 10,550,682.52 12,837,119
2 1987 56,118,601.35 10,548,862.69 12,866,665
3 1988 59,683,014.25 11,549,122.23 12,504,593
4 1989 63,538,288.18 12,690,759.68 13,106,608
5 1990 67,984,566.60 14,037,879.59 13,424,784
6 1991 72,850,944.47 15,472,537.89 13,144,046
7 1992 78,271,166.33 16,824,130.15 14,022,669
8 1993 83,043,136.96 18,328,534.05 13,871,820
9 1994 88,337,258.80 20,569,113.94 13,850,929
10 1995 95,348,588.06 21,351,938.04 14,062,056
11 1996 102,309,603.31 23,306,305.61 13,841,255
12 1997 105,407,654.55 21,966,521.47 13,805,930
13 1998 93,030,052.65 20,034,264.00 14,117,828
14 1999 96,278,664.64 17,382,036.19 14,566,119
15 2000 114,701,304.81 19,443,890.34 14,491,222
16 2001 118,816,400.29 19,188,485.56 15,066,542
17 2002 123,038,541.13 19,748,515.80 15,154,856
18 2003 129,166,462.45 20,795,225.00 15,124,082
19 2004 135,789,872.31 22,887,147.39 14,930,097
20 2005 145,051,213.88 22,751,809.72 15,655,303
21 2006 150,682,654.75 25,929,281.42 15,210,931
22 2007 151,362,625.34 26,723,904.59 16,304,058
23 2008 167,790,369.84 31,053,992.77 15,463,658
Lampiran 9 Data Regresi Linier Berganda ( Ln )
DATA PENELITIAN
ANALISIS PENGARUH INVESTASI DAN TENAGA KERJA TERHADAP PDRB PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 1986-2008
NO TAHUN Ln PDRB Ln INV Ln TK
1 2 3 4 5 1 1986 17.79 16.17 16.37
2 1987 17.84 16.17 16.37
3 1988 17.90 16.26 16.34
4 1989 17.97 16.36 16.39
5 1990 18.03 16.46 16.41
6 1991 18.10 16.55 16.39
7 1992 18.18 16.64 16.46
8 1993 18.23 16.72 16.45
9 1994 18.30 16.84 16.44
10 1995 18.37 16.88 16.46
11 1996 18.44 16.96 16.44
12 1997 18.47 16.91 16.44
13 1998 18.35 16.81 16.46
14 1999 18.38 16.67 16.49
15 2000 18.56 16.78 16.49
16 2001 18.59 16.77 16.53
17 2002 18.63 16.80 16.53
18 2003 18.68 16.85 16.53
19 2004 18.73 16.95 16.52
20 2005 18.79 16.94 16.57
21 2006 18.83 17.07 16.54
22 2007 18.84 17.10 16.61
23 2008 18.94 17.25 16.55
Lampiran 10 Data Uji Heteroskedastisitas
DATA PENELITIAN DATA UJI HETEROSKEDASTISITAS
NO TAHUN Ln e² Ln INV Ln TK
1 2 3 4 5 1 1986 29.3275 16.1717 16.3679
2 1987 30.8089 16.1715 16.3702
3 1988 32.6741 16.2621 16.3416
4 1989 28.5833 16.3564 16.3886
5 1990 30.3265 16.4573 16.4126
6 1991 29.2184 16.5546 16.3915
7 1992 32.7466 16.6383 16.4562
8 1993 32.1554 16.7240 16.4454
9 1994 32.3067 16.8393 16.4439
10 1995 32.1546 16.8767 16.4590
11 1996 30.4414 16.9642 16.4432
12 1997 30.1621 16.9050 16.4406
13 1998 32.0663 16.8130 16.4629
14 1999 31.4661 16.6709 16.4942
15 2000 31.5533 16.7830 16.4891
16 2001 27.7356 16.7698 16.5280
17 2002 29.0085 16.7986 16.5338
18 2003 31.1090 16.8502 16.5318
19 2004 32.2310 16.9461 16.5189
20 2005 31.1744 16.9402 16.5663
21 2006 32.3891 17.0709 16.5375
22 2007 32.5206 17.1011 16.6069
23 2008 31.8807 17.2512 16.5540