analisis pengaruh inflasi, bi rate , pertumbuhan...
TRANSCRIPT
ANALISIS PENGARUH INFLASI, BI RATE, PERTUMBUHAN PEMBIAYAAN, DAN UKURAN BANK TERHADAP
PEMBIAYAAN BERMASALAH SEKTOR UKM PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
(PERIODE TAHUN 2009-2012)
SKRIPSI
Disusun Oleh:
M Singgih Adi Pratomo
109081000074
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2013 M
ii�
�
�
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP (Curriculum Vitae)
Data Pribadi Nama Lengkap : M Singgih Adi Pratomo Panggilan : Singgih, Adi Tempat & Tanggal Lahir : Klaten 2 Juni 1991 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Alamat : Kp Duren Sawit No. 35 RT 004/03 Kelurahan Tajur. Kecamatan Ciledug. Tangerang. 15152 Telepon : 083870147636 Email : [email protected] Pendidikan Formal 2009-2013 : Program Sarjana (S-1) Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2006-2009 : SMA Negeri 25 Jakarta 2003-2006 : SMP Negeri 3 Tangerang 1997-2003 : SD Negeri Sudimara 8 Pendidikan Informal
• Seminar-seminar • Pelatihan Pasar Modal “Basic Training of Fundamental & Technical
Analysis” 2012 • Kursus Bahasa Inggris Spectraton College 2005
Pengalaman Organisasi
1. Wakil Ketua Karang Taruna Orbitas Wilayah Duren Sawit 2. Anggota Koperasi Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Anggota OSIS SMA N 25 Jakarta 4. Anggota OSIS SMP N 3 Tangerang 5. Anggota PRAMUKA SD N Sudimara 8
Pengalaman Bekerja
• Pengajar Privat/Bimbingan Belajar Pribadi tahun 2013 sampai saat ini • Magang/KKSBT Selama satu Bulan di unit Usaha Kecil dan Menengah
“Wahyu Motor” Keahlian Komputer : Microsoft Office, Internet Olahraga : Badminton Bahasa : Inggris
vi
ABSTRACT
This research is examine the effect of the variables inflation, BI rate, financing growth, and bank size against the non performing financing on small and medium enterprises sector. The data for assessing this research are acquired from the monthly data from January 2009 to Desember 2012. This research used Ordinary Least Square (OLS)
The result of the research shows that independent variables (Inflation, BI
rate, financing growth, and bank size) simultaneously have significant impact to non performing financing on small and medium enterprises. The inflation and BI rate partially do not have impact on NPF. While, financing growth and bank size have negative impact to NPF on small and medium enterprises sector.
Keywords: NPF of Small and medium enterprises, Inflation, BI rate, financing growth, Bank Size, Ordinary Least Square
vii
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh variabel inflasi, BI Rate, pertumbuhan pembiayaan dan ukuran bank terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan Syariah di Indonesia. Data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah data time series bulanan yaitu dari tahun 2009 sampai 2012 dengan menggunakan metode analisis linier regresi berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel
independen (inflasi, BI rate, pertumbuhan pembiayaan dan ukuran bank) signifikan berpengaruh terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM. Secara parsial inflasi dan BI Rate tidak berpengaruh signifikan. Sedangkan pertumbuhan pembiayaan dan ukuran bank berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM.
Kata Kunci: NPF Sektor UKM, Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan Pembiayaan, Ukuran Bank dan Analisis Regresi Linier Berganda
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan kasih sayang-Nya tiada terkira kepada
hamba-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada pembimbing
umat manusia baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan pada
sahabatnya. Atas rahmat Allah SWT yang sangat besar, sehingga penulis
dapat menunaikan amanah dan kewajiban untuk menyelesaikan skripsi ini
yang berjudul “Analisis Pengaruh Inflasi, BI rate, Pertumbuhan
Pembiayaan, dan Ukuran Bank terhadap Pembiayaan Bermasalah Sektor
UKM pada Perbankan Syariah di Indonesia”. Skripsi ini tersusun sebagai
syarat untuk menyelesaikan pendidikan program Strata Satu (SI) pada
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarih Hidayatullah
Jakarta.
Penyusunan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa bantuan
berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu dan Bapakku tercinta, terima kasih atas doa berbalut kesabaran dan
dukungan berbingkai kasih sayang yang selalu diberikan kepadaku untuk
mencapai keberhasilan dalam berbagai hal. Terima kasih telah
memberikan semangat dan bimbingan, berperan sebagai ‘universitas’
utama kehidupanku.
2. Seluruh keluargaku tercinta, adik-adikku tercinta dan tersayang yaitu,
Dwi, Vindi, dan Rama, semoga kalian tumbuh menjadi anak yang
sholeh-sholihah berbakti kepada orang tua dan berguna bagi agama dan
negara.
3. Bapak Dr. Ahmad Dumyathi B, MA selaku dosen pembimbing I dan
Bapak Arief Mufraini, Lc., M.Si selaku dosen pembimbing II, yang telah
ix
meluangkan waktunya memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh
kesabaran dan cinta dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku dekan FEB dan Bapak
Suhendra S.Ag., MM selaku ketua Jurusan Manajemen yang telah
memberikan saran dan wejangan dalam proses penyusunan skripsi ini.
5. Bapak DRS. Miftahul Munir MM selaku penasihat akademik, yang telah
membimbing dan mengarahkan kegiatan akademik dari awal perkuliahan
hingga selesai.
6. Seluruh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, terima kasih atas curahanan
ilmu yang disampaikan dengan penuh cinta kepada kami.
7. Seluruh jajaran staf dan karyawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, atas
kerja kerasnya melayani mahasiswa dengan baik dan meningkatkan citra
pelayanan Fakultas Ekonomi dan Bisnis khususnya Pak Heri, Bu Siska,
pak Azis dan Pak Sofyan.
8. Sahabat-sahabat seperjuanganku, yaitu Budi, Andikha, Yoga, Andrian,
Egi, Fajar, Adan, Reza, Shidiq, Fitrah, Afifi dan teman-teman lainnya
yang telah menyelesaikan skripsi ataupun yang belum. Lanjutkan
perjuanganan kalian teman, umat butuh pengabdian kalian.
9. Teman-temanku Manajemen B angkatan 2009, terima kasih atas
dukungan, maaf tidak disebutkan satu persatu, tetapi tidak mengurangi
rasa bangga dan cinta akan persahabatan yang terjalin diantara kita
semua. Semoga pertemanan yang dilandasi taqwa ini akan terus terjalin
sampai kapanpun.
10. Teman-teman Manajemen Perbankan 2009, semoga kita bisa menjadi
ahli perbankan yang handal dan tangguh, terlebih penting lagi semoga
ilmu kita bisa bermanfaat untuk diri dan orang lain.
11. Teman-teman angkatan 2009
12. Dan berbagai pihak yang telah membantu selama masa kuliah dan
penyelesaian skripsi ini.
Semoga segala amalan yang baik tersebut akan memperoleh ganjaran
rahmat dan karunia Allah SWT, Amin. Penulis menyadari sepenuhnya akan
keterbatasan kemampuan dan pengalaman yang ada pada penulis, sehingga
tidak menutup kemungkinan bila skripsi ini memiliki banyak kekurangan.
x
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi ‘jariyah’
bagi ilmu pengetahuan dan membuka jalanku untuk meraih cita-cita. Amin
Wassalamu alaykum Warahmatullahi Wabarakatuhu
Jakarta, Mei 2013
Penulis
M Singgih Adi Pratomo
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .................................................. i LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF .................... ii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ..................................... iii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ............. iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................... v ABSTRACT ............................................................................................ vi ABSTRAK .............................................................................................. vii KATA PENGANTAR ........................................................................... viii DAFTAR ISI .......................................................................................... xi DAFTAR TABEL ................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xv BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................... 13 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 14
1. Tujuan Penelitian .............................................................. 14 2. Manfaat Penelitian ........................................................... 15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Manajemen Risiko .................................................................. 16
1. Konsep Manajemen Risiko ............................................... 16 2. Jenis-Jenis Risiko Bank Syariah ........................................ 17
B. Manajemen Risiko Pembiayaan ............................................... 22 1. Konsep dan Definisi .......................................................... 22 2. Ruang Lingkup Manajemen Risiko Pembiayaan ............. 23 3. Tujuan Manajemen Risiko Pembiayaan ........................... 24 4. Kerangka Kerja Manajemen Risiko Pembiayaan ............ 26 5. Fungsi Manajemen Risiko ............................................... 27
C. Pembiayaan Bermasalah ......................................................... 28 1. Konsep Pembiayaan Bermasalah ...................................... 28 2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah .................................. 30 3. Dampak Pembiayaan Bermasalah .................................... 31
D. Inflasi ..................................................................................... 32 1. Pengertian Inflasi ............................................................ 32 2. Jenis-Jenis Inflasi ............................................................ 33 3. Efek Buruk Inflasi ........................................................... 34 4. Hubungan antara Inflasi dengan Pembiayaan Bermasalah
Sektor UKM .................................................................... 35 E. Tingkat Suku Bunga .............................................................. 36
1. Konsep Tingkat Suku Bunga ........................................... 36 2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat
Suku Bunga ... .................................................................. 38 3. Hubungan BI Rate terhadap Pembiayaan Bermasalah
Sektor UKM ..................................................................... 41
xii
F. Pertumbuhan Pembiayaan ...................................................... 42 1. Konsep Pembiayaan ......................................................... 42 2. Jenis-jenis Pembiayaan ..................................................... 44 3. Hubungan Pertumbuhan Pembiayaan terhadap
Pembiayaan Bermasalah sektor UKM .............................. 46 G. Ukuran Bank ........................................................................... 46
1. Konsep Ukuran Bank ........................................................ 46 2. Hubungan Ukuran Bank dengan Pembiayaan Bermasalah
Sektor UKM ....................................................................... 47 H. Usaha Kecil Menengah (UKM) ............................................... 48
1. Konsep UKM ..................................................................... 48 2. Kriteria UKM .................................................................... 49 3. Karakteristik UKM ............................................................ 51
I. Penelitian Terdahulu ................................................................ 54 J. Kerangka Pemikiran ................................................................ 56 K. Hipotesis ................................................................................... 60
BAB III. METODELOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................... 62 B. Metode Penentuan Sampel ....................................................... 62 C. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 63
1. Data Sekunder ................................................................... 63 2. Metode Studi Pustaka ....................................................... 63 3. Internet ............................................................................. 63
D. Metode Analisis Data ............................................................. 64 E. Pengujian Hipotesis ................................................................. 70
1. Uji Hipotesis Secara Simultan (Uji F) ................................ 70 2. Uji Hipotesis Secara Parsial (Uji t) .................................... 71 3. Koefisien Determinasi ........................................................ 73
F. Definisi Operasional Variabel ................................................... 73 BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ............................. 76 1. Sejarah dan Perkembangan Perbankan Syariah .................. 76 2. Perkembangan Kelembagaan dan Indikator
Keuangan ........................................................................... 78 B. Analisis dan Pembahasan ......................................................... 80
1. Analisis Deskriptif ............................................................. 80 2. Analisis Pengujian Statistik ............................................... 98 3. Pengujian Hipotesis ........................................................... 106
C. Intepretasi ................................................................................ 112 BAB V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan .............................................................................. 117 B. Implikasi .................................................................................. 118
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 120 LAMPIRAN ............................................................................................. 124
xiii
DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman 1.1 Posisi Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia ........................... 2 1.2 Posisi Aset dan Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2006-2012 (dalam miliar rupiah) ................................................... 3 1.3 Pembiayaan Perbankan Syariah berdasarkan golongan ............................. 8 1.4 Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah berdasarkan Golongan ........ 10 1.5 Perkembangan variabel-variabel penelitian ............................................... 12 2.1 Penelitian Terdahulu .................................................................................. 57 4.1 Perkembangan Inflasi Indonesia tahun 2009-2012 ................................... 85 4.2 Perkembangan BI Rate tahun 2009-2012 .................................................. 89 4.3 Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah tahun 2009-2012 ........... 93 4.4 Perkembangan Aset Perbankan Syariah periode tahun 2009-2012 ........... 97 4.5 NPF sektor UKM periode tahun 2009-2012 .............................................. 101 4.6 Uji Kolmogorov Smirnov ......................................................................... 105 4.7 Uji Multikolinieritas .................................................................................. 106 4.8 Uji DW ..................................................................................................... 107 4.9 Uji Park ..................................................................................................... 110 4.10 Uji F .......................................................................................................... 112 4.11 Uji t ........................................................................................................... 113 4.12 Uji Adj R Square ...................................................................................... 117
xiv
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman 1.1 Tren Perkembangan FDR Perbankan Syariah ......................................... 5 2.1 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 62 4.1 Perkembangan Inflasi di Indonesia periode 2009-2012 ......................... 86 4.2 Perkembangan BI Rate di Indonesia periode 2009-2012 ....................... 90 4.3 Perkembangan Pembiayaan yang disalurkan Tahun 2009-2012 ........... 95 4.4 Perkembangan Total Aset Perbankan Syariah Tahun 2009-2012............ 98 4.5 Perkembangan Pembiayaan Bermasalah UKM Tahun 2009-2012 ......... 102 4.6 Histogram ............................................................................................... 103 4.7 Grafik p plot .......................................................................................... 107 4.8 Uji Heterokedatisitas ............................................................................... 109
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data-data variabel penelitian dari tahun 2009-2012 ....................... 124 Lampiran 2 Tabel Model Regresi, Anova, dan Koefisien .................................. 126 Lampiran 3 Uji Normalitas ................................................................................ 127 Lampiran 4 Uji Multikolinieritas dan Autokorelasi ........................................... 129 Lampiran 5 Uji Heterokedatisitas ...................................................................... 130
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kredit atau pembiayaan bermasalah adalah masalah krusial yang paling
ditakuti oleh sebuah bank. Namun, bank tidak bisa menghindar dari kredit
macet. Risiko kredit berupa pembiayaan bermasalah berbahaya bagi eksistensi
suatu bank dalam menepati kewajibannya, mengurangi profitabilitas dan
membahayakan kelangsungan hidupnya (Rose, 2002:326). Kredit macet
merupakan risiko bisnis yang mau tidak mau harus ditanggung oleh perusahaan
yang bergerak dalam bidang perkreditan atau pembiayaan. Hal inilah yang juga
melanda sektor perbankan syariah di Indonesia sejak pertama kali
kemunculannya.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia terus mengalami
peningkatan sejak amandemen Undang-undang tentang perbankan dan dual
banking system mulai diberlakukan. Pasalnya dalam undang-undang tersebut
diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat
dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.
Respon positif diberikan oleh berbagai pihak, baik dari masyarakat
maupun pihak penyelenggara kegiatan Bank. Berbagai bank baik BUMN
maupun swasta seolah berlomba-lomba mengadakan kegiatan jasa perbankan
dengan sistem syariah. Masyarakat pun menunjukan minat yang besar terhadap
bank syariah sebagai implikasi dari bukti nyata ketahanan perbankan syariah
2
terhadap dampak langsung krisis keuangan global. Hal ini disebabkan selain
karena unsur spekulatif tidak ada pada produk-produknya, bank syariah juga
belum terlalu masuk dalam pasar keuangan global sehingga tidak menerima
dampak langsung dari krisis global. Indikasi peningkatan perkembangan bank
syariah di Indonesia juga ditunjukan oleh bertambahnya jumlah bank syariah,
baik unit usaha syariahnya maupun dengan membuat bank umum syariah.
Berikut ini merupakan tabel perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
Tabel 1.1. Posisi Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Jenis Bank 2009 2010 2011 2012 Bank Umum Syariah 6 11 11 11 Unit Usaha Syariah 25 23 24 24 BPRS 138 150 155 156
Sumber: Bank Indonesia
Dari tabel di atas, hingga Desember 2012 jumlah bank umum syariah
adalah 11 bank. Sementara itu, meskipun sempat mengalami penurunan jumlah
pada tahun 2012 hingga Desember 2012 bank konvensional yang memiliki unit
usaha syariah terus mengalami peningkatan yakni sebanyak 24 bank.
Sedangkan jumlah BPRS terus mengalami peningkatan yang signifikan, hingga
akhir triwulan II tahun 2012 jumlahnya sebanyak 156 bank.
Sejak awal 2000 hingga tahun 2012 aset perbankan syariah terus
mengalami peningkatan. Data dari Bank Indonesia menunjukan hingga
Desember 2012 nilai aset perbankan syariah adalah sebesar Rp
195.015.000.000.000 atau 4,0 % dari keseluruhan perbankan di Indonesia.
Bahkan perbankan syariah dijuluki sebagai ‘the fastest growing industry’
3
dengan pertumbuhan per tahun sebesar 40,2% selama lima tahun terakhir
(2007-2011).
Minat dan respon positif masyarakat Indonesia terhadap perbankan
syariah dipersonifikasikan dengan semakin besarnya dana pihak ketiga yang
terhimpun. Hingga Desember 2012, dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun
oleh perbankan syariah di Indonesia adalah sebesar Rp 147.512.000.000.
Menurut Antonio (2012:7) pesatnya pertumbuhan perbankan syariah yang
sistem manajemennya adalah bagi hasil berdasarkan ekonomi Islam ini
disebabkan karena kesesuaian dengan ajaran mayoritas penduduk Indonesia.
Sedangkan menurut Ghozali (2012:48) penyebab utama masyarakat memilih
bank syariah untuk menabung adalah pelayanan yang diberikan dan
kepercayaan terhadap bank syariah.
Tabel 1.2. Posisi Aset dan Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah di Indonesia Periode
2006-2012 (dalam miliar rupiah) Indikator 2009 2010 2011 2012 Aset 66,090 97,519 145,467 179,871 DPK 52,271 76,036 115,415 119,279
Sumber: Staitistik Perbankan Syariah Bank Indonesia (diolah dengan ms.Excel)
Dari tabel di atas digambarkan, dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun
oleh perbankan syariah di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun
2010 terjadi peningkatan sebesar 45,06% dari tahun sebelumnya. Dan pada
kuartal ketiga tahun 2011 dana pihak ketiga perbankan syariah yang berhasil
dihimpun meningkat sebesar 51,35%. Sedangkan memasuki pertengahan
kuartal kedua tahun 2012, dana pihak ketiga perbankan syariah yang berhasil
4
dikumpulkan telah mencapai Rp 116.871.000.000. Peningkatan pengumpulan
dana pihak ketiga pada rentang tahun tersebut disebabkan karena terdapat
penambahan jumlah unit Bank Umum Syariah dan Unit usaha Syariah. Hal
tersebut berkontribusi dalam pengumpulan dana pihak ketiga oleh perbankan
syariah di Indonesia.
Di lain pihak, tingginya dana pihak ketiga yang terkumpul menyebabkan
pihak perbankan syariah harus segera menyalurkan dananya sebagai sebuah
keniscayaan untuk memperoleh kesempatan mendapat keuntungan melalui
prinsip bagi hasil maupun jual beli. Atau bank akan menanggung biaya dana
yang cukup besar apabila dana yang terhimpun tidak disalurkan dan dibiarkan
mengendap. Konsekuensi logis tersebut menyebabkan bank-bank syariah di
Indonesia berupaya untuk menyalurkan dana pihak ketiga yang terkumpul
melalui skim-skim pembiayaan yang mereka tawarkan.
Fungsi intermediasi perbankan syariah selama tujuh tahun terakhir
berjalan dengan sangat baik. Indikasi membaiknya fungsi intermediasi tersebut
dicerminkan oleh tingginya presentase Loan to Deposite Ratio (LDR) atau
dalam terminologi perbankan syariah disebut Financing to Deposite Ratio
(FDR). Pada tahun 2006, rasio FDR perbankan syariah di Indonesia mencapai
98.90%. Bahkan pada tahun 2008 berhasil mencapai 103,64%, meskipun
sempat mengalami penurunan pada tahun berikutnya. Dan memasuki bulan
Juni 2012 FDR perbankan syariah di Indonesia telah mencapai 98,58%.
Berikut ini merupakan grafik tren perkembangan Financing to Deposite ratio
(FDR) dari tahun 2006 hingga pertengahan tahun 2012.
Tren Perkembangan FD
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia
Salah satu sektor bisnis yang menerima kucur
perbankan syariah adalah sektor UKM. UKM merupakan salah satu pioneer
penggerakan ekonomi riil yang berbasis pada ekonomi kerakyataan. Usaha
kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dalam
membangun perekonomian suatu
Indonesia.
Kredit atau pembiayaan UMKM adalah pembiayaan kepada debitur
usaha mikro, kecil dan menengah
mikro, kecil dan menengah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008
Tentang UKM. Berdasarkan UU tersebut, U
80,00%
85,00%
90,00%
95,00%
100,00%
105,00%
110,00%
Gambar 1.1. Tren Perkembangan FDR Perbankan Syariah di Indonesia
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia (diolah dengan ms.excel)
Salah satu sektor bisnis yang menerima kucuran pembiayaan dari
perbankan syariah adalah sektor UKM. UKM merupakan salah satu pioneer
penggerakan ekonomi riil yang berbasis pada ekonomi kerakyataan. Usaha
kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dalam
membangun perekonomian suatu negara ataupun daerah, termasuk di
Kredit atau pembiayaan UMKM adalah pembiayaan kepada debitur
usaha mikro, kecil dan menengah yang memenuhi definisi dan kriteria usaha
mikro, kecil dan menengah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008
KM. Berdasarkan UU tersebut, UKM adalah usaha produktif yang
80,00%
85,00%
90,00%
95,00%
100,00%
2006 20072008
20092010
20112012
98,90%99,75%
103,64%
89,69% 89,66%
105,01%
98,58%
5
R Perbankan Syariah di Indonesia
(diolah dengan ms.excel)
an pembiayaan dari
perbankan syariah adalah sektor UKM. UKM merupakan salah satu pioneer
penggerakan ekonomi riil yang berbasis pada ekonomi kerakyataan. Usaha
kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dalam
ataupun daerah, termasuk di
Kredit atau pembiayaan UMKM adalah pembiayaan kepada debitur
yang memenuhi definisi dan kriteria usaha
mikro, kecil dan menengah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008
KM adalah usaha produktif yang
2012
98,58%
6
memenuhi kriteria usaha dengan batasan tertentu kekayaan bersih dan hasil
penjualan tahunan.
Perkembangan potensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UKM) di
Indonesia tidak terlepas dari dukungan perbankan dalam penyaluran kredit atau
pembiayaan kepada UKM. Setiap tahun pembiayaan kepada UKM mengalami
pertumbuhan dan secara umum pertumbuhannya lebih tinggi dibanding total
pembiayaan perbankan.
Usaha mikro kecil menengah menjadi salah satu prioritas dalam agenda
pembangunan di Indonesia hal ini terbukti dari bertahannya sektor UKM saat
terjadi krisis hebat tahun 1998 dan tahun 2008 silam, bila dibandingkan dengan
sektor lain yang lebih besar justru tidak mampu bertahan dengan adanya krisis.
Kuncoro (2008:75) mengemukakan bahwa UKM terbukti tahan terhadap krisis
dan mampu survive karena, pertama, tidak memiliki utang luar negeri. Kedua,
tidak banyak utang ke perbankan karena mereka dianggap unbankable. Ketiga,
menggunakan input lokal. Keempat, berorientasi ekspor.
Di sinilah peran besar perbankan syariah dalam menjalankan fungsi
intermediasi sesungguhnya yang menyentuh sektor ekonomi akar rumput.
Dilihat dari berbagai skema pembiayaan yang dikembangkan, bank syariah
hanya menyalurkan pembiayaan pada sektor riil. Pembiayaan melalui akad
murabah, salam, dan ijarah hanya dapat disalurkan apabila ada barang atau
jasa (sektor riil) yang bisa dibiayai. Bahkan terbentuk korelasi sempurna antara
7
biaya modal dengan pengembalian atas modal pada pembiyaan dengan akad
musyarakah dan mudharabah.
Jika dibandingkan dengan perbankan konvesional akan tampak
perbedaan yang jelas. Penyaluran pembiayaan atau kredit dari dana pihak
ketiga banyak yang masuk pada sektor keuangan dengan transaksi yang penuh
dengan ketidakpastian dan aksi spekulasi. Sebagian besar dana yang disalurkan
oleh perbankan konvensional tidak memiliki dampak pada ekonomi riil, hal
tersebut merupakan dampak dari penyaluran dana pada sektor bebas resiko
seperti Sertifikat Bank Indonesia. Dan yang lebih memperparah kinerja
perbankan konvensional adalah besarnya dana yang disalurkan ke pasar uang
dengan dasar spekulasi. Mubyarto (2004:6), seorang tokoh ekonomi
kerakyatan, meragukan peranan perbankan sebagai agent of development
dalam pengentasan kemiskinan melalui senjata kredit. Beliau mengkritik
beberapa bank daerah yang lebih suka mengirim dana ke pusat untuk
diinvestasikan di surat hutang yang lebih aman seperti SBI. Padahal harapan
UKM terhadap terhadap peranan bank sangat tinggi, namun sayang mereka
tidak dianggap “bankable”. Fenomena itu terjadi pada level bank daerah, yang
memang fungsi utamanya memajukan ekonomi daerah.
Perbankan syariah bukanlah financial sector based banking sebagaimana
perbankan konvensional. Sebaliknya perbankan syariah merupakan real sector
based banking yang menjalankan pembiayaan pada sektor riil dan salah
satunya adalah sektor UKM. Perbankan syariah memiliki peran yang cukup
besar dalam mengembangkan ekonomi riil di Indonesia berpadu dengan
8
potensi ekonomi kerakyatan dan UKM. Produk-produk pembiyaan dengan
skim profit and lost sharing dengan paradigma kemitraan dinilai sangat tepat
untuk mengembangkan usaha mikro masyarakat. Dengan pendekatan
pembiayaan lembaga keuangan mikro sebagai kepanjangan tangan dari bank-
bank syariah diharapkan upaya untuk menjangkau UKM bisa dioptimalkan.
Perbankan syariah bisa lebih aktif menjalin kerjasama dengan UKM yang
berada ditengah-tengah masyarakat. UKM-UKM tersebut dapat dirangkul
sebagai mitra kerja potensial untuk membangkitkan kembali perekonomian
masyarakat. Stigma bahwa sektor UKM sangat beresiko merupakan
argumentasi yang tidak beralasan. Bertahannya Bank BRI yang bergerak di
sektor tersebut pada krisis tahun 1998 membuktikan bahwa risiko pada sektor
UKM lebih terdiversifikasi (Anthonio 2009:7).
Penyaluran pembiayaan perbankan syariah ke sektor UKM dari tahun
2009 hingga pertengahan tahun 2012 tergolong tinggi. Dan selalu mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Berikut ini tabel lengkap komposisi
pembiayaan perbankan syariah di Indonesia berdasarkan golongan
pembiayaan.
Tabel 1.3. Pembiayaan Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan
(Dalam Miliar Rupiah) Golongan 2009 2010 2011 2012
UKM 35799 52570 71810 90860
Non UKM 11087 15611 30845 56645
Total 46886 68181 102655 147505
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia
9
Pada tahun 2009 pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah
pada sektor UKM adalah sebesar Rp 25.799.000.000.000 Dan meningkat
sebesar 46,84% atau sebesar Rp 52.570.000.000.000 pada tahun berikutnya.
Pada akhir tahun 2012 dana yang disalurkan melalui pembiayaan ke sektor
UMKM oleh perbankan syariah di Indonesia telah mencapai Rp
90.860.000.000.000. Keputusan menyalurkan besarnya pembiayaan ke
berbagai sektor bisnis tidak selalu terjadi sesuai seperti yang diharapkan,
karena ada berbagai resiko yang harus ditanggung oleh perbankan. Salah
satunya adalah resiko kredit yang tercermin oleh rasio kredit bermasalah.
Besarnya pertumbuhan aset dan penyaluran pembiyaan perbankan
syariah di Indonesia dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2012 ternyata tidak
diikuti dengan kualitas pembiayaan yang baik. Terjaganya fungsi intermediasi
perbankan syariah ternyata juga dibarengi dengan memburuknya kualitas
pembiayaan. Hal tersebut ditunjukan dengan meningkatnya angka pembiayaan
bermasalah atau Non performing Loan yang dalam terminologi perbankan
syariah disebut Non Performing Finance (NPF ).
Menurut Nasution (dalam Ihsan, 2007:1) NPL setidaknya menimbulkan
permasalahan bagi pemilik bank dan pemilik deposito. Pertama bagi pemilik
bank, dengan semakin tinggi NPL mereka tidak menerima return pasar dari
modal mereka. Kedua untuk pemilik deposito tidak menerima return pasar dari
deposito atau tabungan mereka. Bank membagi kegagalan kredit atau
pembiayaan mereka kepada pemilik deposito dengan cara menekan tingkat
suku bunga atau tingkat bagi hasil. Dalam kasus yang lebih buruk, jika bank
10
mengalami kebangkrutan deposan akan kehilangan aset atau dihadapkan
dengan jaminan yang tidak seimbang. Bank juga membagi risiko kerugian
mereka kepada debitur lain dengan cara menetapkan suku bunga pinjaman,
margin, tingkat bagi hasil yang tinggi. Non performing loan akan
mengakibatkan jatuhnya sistem perbankan, mengkerutnya pasar saham dan
bahkan mengakibatkan kontraksi dalam perekonomian.
Tabel 1.4. Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah berdasarkan Golongan
Pembiayaan (Dalam Miliar Rupiah) Golongan 2009 2010 2011 2012
UKM 1611 1824 2140 2060
Non UKM 271 237 448 1209
Total 1882 2061 2588 3269
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia
Pada tahun 2009 NPF perbankan syariah adalah sebesar Rp
1.611.000.000.000. Dan meningkat sebesar 13% atau sebesar Rp
1.824.000.000.000 pada tahun berikutnya. Pada tahun 2012 yang merupakan
akhir periode pengamatan, jumlah NPF perbankan syariah di Indonesia
meningkat menjadi Rp 2.060.000.000.000.
UKM di Indonesia memberikan kontribusi yang besar terhadap
pertumbuhan Produk Domestik Bruto. Namun demikian hal tersebut tidak
mampu mencerminkan kelancaran debitur-debitur dalam melakukan
pembayaran atas pembiayaan yang diberikan.
Selain Produk Domestik Bruto, salah satu variabel yang memengaruhi
tingkat non performing financing adalah ekuivalen tingkat suku bunga. Tingkat
suku bunga merupakan hal yang diperhatikan oleh debitur dalam menerima
11
suatu pembiayaan. Meskipun perbankan syariah tidak mengenal sistem bunga,
kinerja pembiayaan sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Semakin
tinggi tingkat suku bunga yang diberikan bank sentral, maka dapat
mempengaruhi tingkat bagi hasil yang diminta oleh bank sehingga tingkat non
performing financing akan semakin meningkat.
Beberapa penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi NPL
dan NPF telah dilakukan antara lain.
Faktor penyebab non performing loan atau non performing financing
adalah inflasi. Jakubik (2007:63) melakukan penelitian di Ceko menemukan
jika inflasi berpengaruh terhadap resiko kredit. Hogart et al (2005:3), yang
melakukan penelitian di Inggris raya menemukan pengaruh yang signifikan
antara inflasi dengan pembiayaan bermasalah yang diproksikan dengan
peningkatan jumlah penghapusan pinjaman.
Faktor lain yang turut memengaruhi tingkat NPF adalah tingkat suku
bunga atau dalam perbankan syariah ditunjukan dengan tingkat bagi hasil dan
margin. Saba et al (2012:131) menemukan terdapat pengaruh negatif yang
signifikan tingkat suku bunga terhadap tingkat NPL.
Beberapa literatur menunjukan adanya pengaruh yang ditimbulkan dari
tingkat suku bunga terhadap perbankan syariah. Hakan et al (2011:13)
melakukan penelitian tentang pengaruh tingkat suku bunga terhadap perbankan
syariah Turki. Hasil penilitian menunjukan terdapat pengaruh yang signifikan
yang dihasilkan dari tingkat suku bunga terhadap kinerja perbankan syariah.
12
Di negara dengan dual banking system seperti Indonesia, tidak dapat
dipungkiri bahwa kinerja bank syariah selain dipengaruhi oleh faktor internal
manajemen bank syariah juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, seperti
Ekonomi Makro. Faktor eksternal dari makro ekonomi adalah tingkat suku
bunga, nilai tukar, jumlah uang beredar, dan inflasi (Hakan et al, 2011:3).
Menurut Karim (2004:254) pada teori bejana berhubungan,
mengungkapkan bahwa kebijakan moneter keonvensional akan mempunyai
pengaruh terhadap perbankan syariah seperti misalnya tingkat suku bunga.
Kebijkan monenter mempengaruhi variabel-variabel neraca bank konvensional
(suku bunga kredit, suku bunga deposito, dan sekuritas yang dimiliki). Pada
umumnya mekanisme tersebut ditransmisikan melalui suku bunga kredit. Di
pihak lain, perbankan syariah yang notabene tidak mengenal bunga dalam
praktek operasionalnya juga terpengaruh oleh kebijakan moneter tersebut.
Pengaruh tersebut terlihat pada kondisi neraca bank syariah. Yakni pada
tingkat nisbah bagi hasil deposito investasi mudharabah. Sementara pengaruh
suku bunga SBI terhadap nisbah pembiayaan bank syariah ditransmisikan
melalui suku bunga kredit.
Tabel 1.5. Perkembangan variabel-variabel yang mempengaruhi Non Performing
Financing
Tahun Inflasi (%)
BI Rate (%)
Total Pembiayaan (Miliar Rupiah)
Total Asset (Miliar Rupiah)
2009 2.78 6.50 1882 66090 2010 6.96 6.50 2061 97519 2011 3.79 6.00 2588 145467 2012 4.30 5.75 3384 195015
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia
13
Berdasarkan data fluktuasi non performing financing di lapangan dan gap
hasil-hasil penelitian, peneliti mencoba meneliti lebih lanjut penelitian di atas,
dengan judul “Analsis Pengaruh Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan Pembiayaan,
dan Ukuran Bank terhadap Pembiayaan Bermasalah sektor UKM Perbankan
Syariah Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Perbankan syariah juga memiliki fungsi utama sebagai lembaga perantara
keuangan. Dan tugas utamanya adalah menyalurkan pembiayaan kepada pihak
yang membutuhkannya. Pembiayaan yang diberikan bertujuan untuk
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan pembangunan nasional. Tentunya kegiatan ini selalu diikuti oleh
risiko tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Kegagalan dalam
pembayaran pembiayaan berpengaruh terhadap terhentinya perputaran uang.
Jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah ke sektor
UKM sangatlah besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya berdasarkan
ukuran usaha. Dan hal tersebut menyebabkan risiko kegagalan bayar yang
mengikuti penyaluran pembiayaan sektor UKM sangatlah tinggi dari tahun
2009 sampai 2012. Berdasarkan tabel 1.4 Dapat dilihat bahwa pembiayaan
bermasalah di sektor UKM tergolong tinggi. Pada tahun 2009 yang merupakan
awal periode penelitian, pembiayaan bermasalah mencapai Rp
1.611.000.000.000.000. Pada latar belakang masalah telah dijelaskan bahwa
kondisi ekonomi negara dan spesifikasi bank berpengaruh terhadap
kemungkinan terjadinya non performing financing pada perbankan.
14
Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang dikemukakan di atas, maka
pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan pembiayaan, dan Ukuran Bank
berpengaruh terhadap NPF sektor UKM secara simultan?
2. Apakah Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan pembiayaan, dan Ukuran Bank
berpengaruh terhadap NPF sektor UKM secara parsial?
3. Manakah diantara variabel bebas yang memiliki pengaruh yang dominan
terhadap variabel NPF?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh variabel-variabel secara bersamaan terhadap
pembiayaan bermasalah atau NPF pada sektor UKM perbankan syariah di
Indonesia.
2. Menganalisis ada tidaknya pengaruh secara parsial dari variabel-variabel
bebas seperti Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan Pembiayaan, dan Ukuran Bank
terhadap pembiayaan bermasalah pada sektor UKM Perbankan Syariah di
Indonesia.
3. Serta menganalisis variabel apa yang paling memiliki pengaruh terhadap
pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah di Indonesia.
15
2. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis dan pihak-pihak lain
yang berkepentingan, yaitu:
1. Menjadi masukan bagi praktisi perbankan syariah dalam mengambil
keputusan berkaitan risiko pembiayaan agar bisa meminimalisir potensi
kredit bermasalah.
2. Dapat memperkaya pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah
dipelajari dengan membandingkannya dalam praktik perbankan khususnya
berkenaan dengan tema perbankan syariah dan non performing financing
3. Penelitian ini diharapkan bisa berguna bagi penelitian lebih lanjut
berkenaan dengan topik penelitian ini.
4. Menambah referensi dalam menilai kondisi sebuah bank yang baik yang
tercermin dari potensi risiko kreditnya.
16
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Manejemen Risiko
1. Konsep Manajemen Risiko
Sebagai suatu entitas bisnis menghadapi sebuah risiko merupakan
suatu keniscayaan yang harus diterima, termasuk bank syariah. Seperti
yang diungkapkan oleh Tampubolon (2004:33) bahwa, “Kompleksitas
yang mengancam sebuah bank tergantung pada kompleksitas dan
intensitas kegiatan usaha bank tersebut.”
Tujuan dari manajemen lembaga keuangan adalah untuk
memaksimalkan nilai, sebagai penggambaran dari profitabilitas dan
tingkat risiko. Aspek kunci pada manajemen keuangan adalah
manajemen risiko yang meng-cover strategi dan perencanaan modal,
manajemen aset-liabilitas, manajemen bisnis bank dan risiko keuangan
(Greuning, 2008:64). Komponen pusat dari manajemen risiko adalah
identifikasi, quantifikasi, dan memonitor risiko.
Dalam menajalankan fungsinya dan seiring dengan situasi
lingkungan eksternal dan internal perbankan yang mengalami
perkembangan pesat, bank syariah akan selalu berhadapan dengan
berbagai jenis risiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan
melekat pada kegiatan usahanya. Risiko dalam suatu kegiatan perbankan
merupakan suatu kejadian potensial yang bisa diperkirakan maupun
17
tidak, memiliki dampak yang negatif terhadap pendapatan dan
permodalan bank. Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari melainkan
dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh sebab itu, sebagaimana perbankan
pada umumnya, perbankan syariah juga memerlukan serangkaian
prosedur untuk mengelola risiko yang ditimbulkan akibat kegiatan
usahanya.
Risiko dapat dibedakan menjadi dua jenis kelompok besar, yaitu
risiko sistematis dan risiko tidak sistematis (Arifin, 2009:262). Risiko
sistematis adalah risiko yang diakibatkan oleh adanya suatu kondisi
tertentu yang bersifat makro, seperti perubahan situasi politik, perubahan
kebijakan ekonomi pemerintah, perubahan situasi pasar, situasi krisis,
dan lain sebagainya yang berdampak pada kondisi ekonomi secara
umum. Sedangkan risiko tidak sistematis adalah risiko yang bersifat unik,
yang melekat pada suatu perusahaan atau bisnis tertentu saja. Dalam hal
ini perbankan syariah turut berpotensi menghadapi risiko-risiko tersebut.
2. Jenis-jenis Risiko Bank Syariah
a. Risiko Pembiayaan
Risiko pembiayaan muncul akibat adanya kegagalan counterpary
dalam memenuhi kewajibannya. Karim (2007: 260) membagi jenis-
jenis resiko pada bank syariah menjadi risiko terkait produk dan risiko
terkait korporasi. Risiko yang terkait dengan produk ditimbulkan oleh
jenis produk pada perbankan syariah yang mempunyai karakteristik
18
yang khas yakni pembiayaan Natural Certainty Contracts (seperti
akad murabahah, ijarah, salam, istishna) dan Natural Uncertainty
Contracts (mudharabah dan musyarakah).
Sementara itu pada risiko terkait pembiayaan korporasi muncul
sebagai akibat dari perubahan kondisi bisnis setelah pembiayaan,
komitmen modal yang terlalu berlebihan, dan lemahnya analisis bank.
b. Risiko Pasar
Risiko pasar adalah risiko kerugian yang terjadi pada portofolio
yang dimiliki oleh bank, penyebabnya adalah karena terjadi
pergerakan variabel pasar berupa suku bunga dan nilai tukar. Menurut
Karim (2007:272) risiko pasar terdiri dari empat hal, yaitu risiko
tingkat suku bunga, risiko pertukaran mata uang risiko harga dan
risiko likuiditas.
1) Risiko Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk)
Risiko tingkat suku bunga merupakan risiko yang harus
dihadapi bank dikarenakan terjadinya fluktuasi tingkat suku
bunga. Dalam hal ini, meskipun bank syariah tidak menetapkan
suku bunga pada sisi pendanaan dan pembiayaan, namun bank
syariah tidak akan dapat terlepas dari risiko tingkat suku bunga.
Hal ini disebabkan pangsa pasar yang disasar oleh bank
syariah tidak hanya nasabah-nasabah yang loyal penuh terhadap
sistem syariah.
2) Risiko Pertukaran Mata Uang (Foregin Exchange Rate)
19
Risiko ini merupakan suatu konsekuensi yang berkaitan
dengan adanya pergerakan nilai tukar terhadap rugi laba bank.
Meskipun aktivitas-aktivitas pendanaan bank syariah tidak
terpengaruhi fluktuasi kurs secara langsung karena tidak
dibolehkan melakukan transaksi yang bersifat spekulasi, namun
bank syariah tidak dapat terlepas dari adanya posisi dalam valuta
asing.
Mengingat bank syariah tidak berkenan berspekulasi, maka
transaksi seperti forward, margin trading, option, dan swap
tidak boleh dijalankan. Yang diperkenankan adalah untuk
kebutuhan transaksi atau berjaga-jaga dan transaksi tersebut
harus dilakukan secara tunai atau spot. Seperti pembayaran
dengan cek, pemindahbukuan, transfer, dan sarana pembayaran
tunai lainnya.
c. Risiko Likuiditas
Menurut Arifin (2009:245) risiko likuiditas adalah risiko yang
muncul manakala bank tidak mampu memenuhi kebetuhan dana (cash
flow) dengan segera, dan dengan biaya yang sesuai, baik untuk
memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi
kebutuhan dana yang mendesak. Menurutnya, besar-kecilnya risiko ini
ditentukan oleh:
20
1) Kecermatan perencanaan arus kas (cash flow) atau arus
dana (fund flow) berdasarkan prediksi pembiayaan dan
prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat
fluktuasi dana (volatility of funds).
2) Ketepatan dalam mengatur struktur dana, termasuk
kecukupan dana-dana non profit and loss sharing.
3) Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas.
4) Kemampuan menciptakan aset ke pasar antarbank atau
sumber dana lainnya, termasuk fasilitas lender of last
resort.
d. Risiko Operasional
Risiko operasional adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh
ketidakcukupan proses internal, humen error, kegagalan sistem atau
adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasi bank
(Greuning, 2008:174).
Menurut Greuning, terdapat beberapa hal yang dapat memicu
peningkatan risiko operasional pada bank Islam, diantaranya adalah:
1) Risiko pembatalan perjanjian pada pembiayaan yang tidak
mengikat seperti murabahah (partenership) dan istishna
(manufacturing).
2) Kegagalan sistem pengendali internal dalam mendeteksi
dan mengelola masalah potensial pada proses operasional.
21
3) Potensi menghadapi kesulitan dalam penguatan akad atau
kontrak pada lingkungan legal yang lebih lebih luas.
4) Kebutuhan untuk memelihara dan mengelola komoditas
yang diinventorisasikan pada pasar yang tidak likuid.
5) Kegagalan mematuhi persyaratan syariah.
Menurut Arifin (2008:271) terdapat empat risiko yang berkaitan
dengan risiko operasional diantaranya adalah:
1) Risiko Reputasi: adalah risiko yang disebabkan oleh adanya
publikasi negatif terkait dengan kegiatan bank.
2) Risiko Kepatuhan: adalah risiko yang muncul akibat dari
ketidakpatuhan ketentuan-ketentuan internal dan eksternal
seperti GWM, batas pemberian pembiayaan, ketentuan
dalam akad, fatwa Dewan Syariah Nasional dan lain
sebagainya.
3) Risiko Strategi: risiko yang antara lain disebabkan oleh
adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak
tepat, pengambilan keputusan yang salah, atau bank tidak
mematuhi perubahan perundang-undangan dan ketentulan
lain.
4) Risiko Hukum: risiko ini muncul sebagai akibat dari adanya
kelemahan aspek yuridis seperti adanya tuntutan hukum,
ketiadaan peraturan undang-undang yang mendukung suatu
kebijakan dan kegiatan pembiayaan.
22
B. Manajemen Risiko Pembiayaan
1. Konsep dan Definisi
Dalam menjalankan fungsinya yakni memberikan pembiayaan
kepada masyarakat oleh bank syariah selalu berdampingan dengan risiko.
Dijelaskan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan
bahwa:
“Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank”.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan
pengukuran terhadap risiko perbankan. Hal-hal seperti jumlah
pembiayaan yang diberikan, kuantitas dan kualitas risiko. Secara
keseluruhan risiko pembiayaan merupakan hal yang penting untuk
diperhatikan dibandingkan dengan risiko-risiko lainnya, karena
ketidakmampuan nasabah memenuhi kewajiban pembiayaannya dapat
mengakibatkan bank merugi dan mengikis permodalan bank yang
berujung pada kebangkrutan.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan sebuah upaya manajerial terhadap
risiko yang muncul akibat dari penyaluran pembiayaan. Hal ini
dimaksudkan agar kualitas pembiayaan senantiasa dalam keadaan lancar.
23
Senada dengan hal yang dinyatakan oleh Tampubolon (2004:35) dalam
bukunya dijelaskan bahwa:
“Manajemen risiko merupakan sejumlah kegiatan yang bersifat proaktif dan terarah yang ditujukan untuk mengakomodasi kemungkinan gagal pada salah satu atau sebagian dari sebuah transaksi atau instrumen. Karena itu manajemen risiko haruslah dinamis tidak statis, dan berubah sejalan dengan perubahan kebutuhan dan risiko usaha”.
Resiko kredit atau pembiayaan berbahaya bagi kelangsungan hidup
bank karena dapat menyebabkan bank gagal memenuhi kewajibannya
dan menggerus profitabilitas bank (Rose, 2002:326). Risiko kredit adalah
risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak lawan memenuhi
kewajibannya. Risiko ini dapat timbul karena kinerja satu atau lebih
debitur yang buruk. Kinerja debitur yang buruk ini dapat berupa
ketidakmampuan debitur untuk memenuhi sebagian atau seluruh isi
perjanjian kredit yang telah disepakati bersama sebelumnya.
Bank Indonesia mendefinisikan manajemen risiko sebagai
serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang
timbul dari kegiatan usaha bank.
2. Ruang Lingkup Manajemen Risiko Pembiayaan
Secara umum manajemen risiko merupakan serangkaian proses
yang diawali dengan proses identifikasi, pengukuran, monitoring dan
pengelolaan terhadap risiko-risiko portofolio. Dengan demikian
pengelola bank dapat selalu memantau agar risiko tidak mempengaruhi
tingkat likuiditas bank itu sendiri.
24
Dalam menjalankan perannya sebagai lembaga intermediasi, bank
selalu dihadapkan pada risiko – risiko bisnis. Risiko bisnis yang dihadapi
mencakup diantaranya risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko
operasional, risiko legal. Untuk menjaga dan mengurangi risiko kerugian,
bank wajib melaksanakan transaksi yang berpedoman pada kebijakan dan
penerapan manajemen risiko yang telah ditetapkan pemerintah yang
berlandaskan pada prinsip kehati – hatian. Bank Indonesia dalam
Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 mengidentifikasikan empat
aspek pokok yang sekurangnya tercakup dalam manajemen risiko, yaitu
diantaranya, pertama adalah pengawasan aktif dewan komisaris dan
direksi. Kedua adalah kebijakan, prosedur dan penetapan limit. Ketiga
adalah proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, sistem informasi
manajemen risiko kredit. Keempat adalah Pengendalian Risiko Kredit.
3. Tujuan Manajemen Risiko Pembiayaan
Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 pada tanggal 19 Mei
2003 tentang “Penerapan Manajemen Risiko Untuk Bank Umum”,
merupakan wujud keseriusan Bank Indonesia dalam masalah manajemen
risiko perbankan. Keseriusan tersebut dipertegas lagi dengan
dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia No. 7/25/PBI/2005 pada
Agustus tahun 2005 tentang “Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi
Pengurus Dan Pajabat Bank Umum”, yang mengharuskan seluruh pejabat
bank dari tingkat terendah hingga tertinggi untuk memiliki sertifikasi
manajemen risiko yang sesuai dengan tingkat jabatannya.
25
Tujuan dari manajemen risiko menurut Tampubolon (2004 :34)
adalah pengelolaan risiko yang mencakup atas prosedur dan metodologi
yang digunakan sehingga kegiatan usaha bank tetap dapat terkendali pada
batas / limit yang dapat diterima serta menguntungkan bank. Penerapan
manajemen risiko tersebut akan memberikan manfaat, baik kepada
perbankan maupun otoritas pengawasan bank. Bagi perbankan,
penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan shareholder value,
memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai kemungkinan
kerugian bank di masa datang, meningkatkan metode dan proses
pengambilan yang sistematis yang didasarkan atas ketersedian informasi,
digunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja
bank dan untuk menilai risiko yang melekat pada instrumen atau kegiatan
usaha bank yang relatif kompleks, serta menciptakan infrastruktur-
infrastruktur yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing bank.
Dalam proses penerapan manajemen risiko, bank dapat
menggunakan berbagai pendekatan pengukuran risiko, baik dengan
metode standar yang direkomendasikan oleh Basel Committee on
Banking Supervison. Kesepakatan Basel mencetuskan 2 kesepakatan
(Basel I dan Basel II). Dalam kesepakatan Basel I hanya mencakup risiko
kredit, modal yang disediakan hanya dikaitkan dengan risiko kredit, dan
dalam mengukur kecukupan modal menurut risiko kredit didasari oleh
beberapa kalkulasi yang terdiri dari bobot risiko aktiva dan bobot risiko,
penyetaraan dengan risiko kredit, target rasio modal dan kalkulasi
26
konsumsi modal yang memenuhi syarat, kecukupan hasil pada modal
yang memenuhi syarat struktur modal (El Tiby, 2011:102).
Dalam kesepakatan Basel II digunakan pendekatan baru dalam hal
pengawasan bank. Kerangka baru Basel II dirancang mencakup tiga
konsep yang dikenal sebagai tiga pilar. Ketiga pilar tersebut diantaranya
adalah pilar 1 yaitu Kewajiban penyediaan modal minimum. Pilar 2 yaitu
tinjauan berdasar regulasi dari kecukupan modal dari masing – masing
bank dan proses penilaian internal. Dan pilar 3 yaitu disiplin pasar yang
efektif sebagai pengungkit untuk memperkuat keterbukaan dan
mendorong agar bank lebih aman dalam prakteknya (El Tiby, 2011:107).
4. Kerangka Kerja Manajemen Risiko Pembiayaan
Agar efektif, dalam proses manajemen risiko perlu adanya
kerangka kerja, diantaranya. Memahami rantai risiko, dengan pehaman
ini satuan kerja manajemen risiko wajib terlebih dahulu melakukan
analisis lingkungan untuk menetapkan masalah atau peluang, cakupan
dan konteks serta isu yang berhubungan dengan risiko, seperti masalah
politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Menurut Tampubolon
(2004:41) kerangka kerja manajemen risiko pembiayaan atau kredit
adalah sebagai berikut:
a. Melakukan analisis terhadap stakeholder (deposan, debitur, pemilik
saham) untuk menetapkan atau mengkaji toleransi risiko, posisi dan
perilaku dari para stakeholder.
27
b. Memahami situasi atau peristiwa yang pernah diambil perusahaan
yang dapat mendatangkan kerugian.
c. Melakukan penilaian atas risiko dan pengendalian yang ada.
Menyusun tanggapan atas risiko yang ada.
d. Menetapkan aktivitas pengendalian berupa program mitigasi risiko.
e. Mengkomunikasikan risiko dan manajemen risiko. Melakukan
pemantauan terhadap risiko dan pengelolaanya.
5. Fungsi Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah sebuah pola pikir, oleh karena itu semua
pejabat bank bisa atau mampu mewaspadai risiko dan menerapkan
manajemen risiko dengan baik. Fungsi manajemen risiko tidak hanya
sekedar memelihara tingkat profitabilitas dan kesehatan bank, namun
juga untuk memelihara integritas dan stabilitas sistem keuangan yang
kritis terhadap kesehatan perekonomian nasional. Secara garis besar,
menurut Tampubolon (2004:45) manajemen risiko berfungsi untuk:
a. Menunjang ketepatan proses perencanaan dan pengambilan keputusan
b. Menunjang efektifitas perumusan kebijakan sistem manajemen dan
bisnis.
c. Menciptakan Early Warning System untuk meminimumkan risiko.
d. Menunjang kualitas pengelolaan dan pengendalian pemenuhan tingkat
kesehatan bank.
e. Menunjang penciptaan/pengembangan keunggulan kompetitif.
f. Memaksimalisasi kualitas portofolio perkreditan bank.
28
C. Pembiayaan Bermasalah (NPF)
1. Konsep Pembiayaan Bermasalah
Suatu kredit dinyatakan bermasalah jika bank benar-benar tidak
mampu mengahadapi risiko yang ditimbulkan oleh kredit tersebut. Risiko
kredit atau pembiayaan didefinisikan sebagai risiko yang muncul jika
bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan bunga dari
pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukannya
(Arifin, 2008:263).
Sebagai indikator yang menunjukkan kerugian akibat risiko kredit
adalah tercermin dari besarnya non performing loan (NPL), dalam
terminologi bank syariah disebut non perfoming financing (NPF).
Non Performing Financing (NPF) adalah rasio antara pembiayaan
yang bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan oleh bank
syariah. berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia
kategori yang termasuk dalam NPF adalah pembiayaan kurang lancar,
diragukan dan macet. Dalam peraturan bank indonesia Nomor
8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Bank
Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
pasal 9 ayat (2), bahwa kualitas aktiva produktif dalam bentuk
pembiayaan dibagi dalam 5 golongan yaitu lancar (L), dalam perhatian
khusus (DPK), kurang lancar (KL), diragukan (D), macet (M).
Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.31
tentang akuntansi perbankan butir 24 menyebutkan bahwa:
29
“Kredit non performing pada umumnya merupakan kredit yang pembayaran angsuran pokok dan/atau bunganya telah terlewat sembilan puluh hari atau lebih setelah jatuh tempo, atau kredit yang pembayarannya secara tepat waktu sangat diragukan. Kredit non performing terdiri atas kredit yang digolongkan sebagai kredit kurang lancar, diragukan, dan macet.”
Sedangkan Sutojo (2008:13) menyatakan jika “pengertian kredit
bermasalah adalah suatu keadaan di mana debitur mengingkari janji
mereka membayar bunga dan atau kredit induk yang telah jatuh tempo,
sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekali tidak ada
pembayaran.
Dari kelima kualitas pembiayaan yaitu lancar, dalam perhatian
khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet, yang tergolong dalam
pembiayaan bermasalah atau non performing financing adalah
pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet.
Berdasarkan surat Edaran Bank Indonesia Nomor7/56/DPbS
tanggal 9 Desember 2005, pedoman untuk perhitungan rasio non
performing finance (NPF) dihitung dengan cara sebagai berikut:
NPF= X 100%
Rasio ini menunjukan kualitas pembiayaan yang dilakukan oleh
perbankan. Semakin tinggi rasio NPF maka kualitas pembiayaan yang
diberikan oleh perbankan syariah semakin memburuk. Kelancaran
kegiatan usaha bank syariah dapat terganggu apabila rasio semakin
meningkat dan dapat berakibat pada tingkat kesehatan bank itu sendiri.
Pembiayaan yang bermasalah
Total Pembiayaan Disalurkan
30
Bank Indonesia sebagai regulator yang turut mengatur perbankan
syariah di Indonesia menetapkan bahwa batas maksimum tingkat
pembiayaan yang bermasalah sebesar 5% dari total pembiayaan yang
diberikan.
2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah
Pembiayaan bermasalah merupakan sumber permasalahan bank.
Adanya pembiayaan bermasalah ini dapat disebabkan oleh banyak faktor.
Sutojo (2008:18) menuturkan terjadinya kredit bermasalah disebabkan
oleh berbagai faktor diantaranya:
a. Faktor Internal:
1) Rendahnya kemampuan atau ketajaman bank melakukan
analisis kelayakan permintaan kredit yang diajukan oleh calon
debitur.
2) Lemahnya sistem administrasi kredit atau pembiayaan serta
sistem administrasi bank.
3) Campur tangan yang berlebihan dari para pemegang saham
4) Pengikatan jaminan kredit yang kurang sempurna
b. Faktor debitur
1) Salah urus atau missmanagement
2) Kurangnya pengalaman dan pengetahuan pemilik dalam
bidang usaha yang dijalani.
3) Penipuan
31
c. Faktor Eksternal
1) Perkembangan kondisi ekonomi atau bidang usaha yang
merugikan.
2) Bencana alam
3) Regulasi pemerintah
3. Dampak Pembiayaan Bermasalah
Adanya pembiayaan bermasalah ini akan memberikan dampak
negatif kepada beberapa pihak, Sutojo (2008:25) menjelaskan bahwa
terdapat beberapa dampak yang ditimbulkan dari pembiayaan bermasalah
diantaranya adalah:
a. Bank yang bersangkutan akan mengalami gangguan profitablitias
untuk menutupi cadangan pembiayaan bermasalah.
b. Jumlah modal bank akan terkikis dan menurunkan rasio kecukupan
modal bank.
c. Nasabah sendiri akan kehilangan kepercayaan pihak luar dan relasi
bisnis, serta citra dan nama baik yang rusak. Sementara nasabah
lainnya akan kesulitan mendapatkan pembiayaan dari bank yang
bersangkutan.
d. Perputaran dana bank di masyarakat akan terhenti.
e. Pengusaha di dalam negeri akan kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan pembiayaan untuk ekspansi usahanya.
32
D. Inflasi
1. Pengertian Inflasi
Inflasi dapat diartikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-
harga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses
menurunnya nilai mata uang secara kontinu (Manurung, 2008:359).
Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat
harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu
menunjukkan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga
berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi.
Manurung lebih lanjut menggambarkan inflasi sebagai salah satu
dari persoalan politik yang sering diangkat menjadi komoditas politik.
Sebuah pemerintahan dianggap gagal bila tidak bisa mengatasi masalah
inflasi. Setidaknya terdapat dua efek utama yang disebabkan oleh inflasi,
yaitu redistribusi dan distorsi. Inflasi mengakibatkan efek distribusi
pendapatan dan kemakmuran karena terjadinya perbedaan pada aset dan
utang yang dipegang masyarakat. Inflasi mengakibatkan efek distorsi
karena perekonomian mengalami masalah efisiensi dan masalah
penilaian total output. Masalah efisiensi ekonomi terjadi karena adanya
distorsi pada harga dan penggunaan uang, sedangkan masalah penilaian
total output terjadi karena adanya inflasi mendorong pelaku ekonomi
menyesuaikan penilaian terhadap harga-harga dan adanya penyesuaian
itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
33
2. Jenis-jenis Inflasi
Dalam teori ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis:
a. Penggolongan inflasi didasarkan sifatnya, inflasi dibagi menjadi tiga
kategori utama yaitu (Putong, 2002:260)
1) Inflasi Merayap (creeping Inflation)
Biasanya ditandai dengan laju inflasi yang rendah, yaitu
kurang dari 10% per tahun.
2) Inflasi Menengah (galloping inflation)
Ditandai dengan meningkatnya harga yang cukup besar dan
kondisi tersebut berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta
mempunyai sifat akselerasi, yang artinya harga pada
bulan/minggu berikutnya selalu lebih tinggi dari waktu
sebelumnya.
3) Inflasi Tinggi (hyper inflation)
Inflasi jenis ini sangat mengkhawatirkan, karena harga-harga
barang meningkat sampai dengan lima atau enam kali,
sehingga nilai uang turun secara tajam. Inflasi yang tinggi
biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang panas (over
heated), artinya permintaan atas produk melebihi kapasitas
penawaran produknya.
b. Penggolongan inflasi berdasarkan penyebabnya, dibedakan menjadi
dua, yaitu: (Sukirno, 2006:333).
34
1) Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan terlalu
kuatnya peningkatan agregat permintaan terhadap komoditi-
komoditi di pasar barang.
2) Cost low inflation, yaitu inflasi yang dissebabkan bergesernya
kurva agregat penawaran ke arah kiri atas. Penyebabnya adalah
meningkatnya harga-harga faktor produksi sehingga menaikan
harga komoditi di pasar.
3. Efek Buruk Inflasi
Ledakan inflasi telah membuat rumit perekonomian dan
meningkatkan angka kemiskinan. Inflasi dua digit yang dipicu oleh
melambungnya harga minyak dunia telah terbukti menjadi peristiwa yang
banyak mengacaukan perekonomian dunia selama beberapa dekade
terakhir sehingga banyak menimbulkan persoalan. Bahkan dampak
inflasi yang dirasakan oleh masyarakat miskin jauh lebih besar
dibandingkan dengan angka inflasi itu sendiri. Inflasi telah mendepresiasi
nilai kekayaan dan pendapatan riil masyarakat sehingga terjadi
penurunan daya beli. Dalam kondisi demikian perusahaan dililit oleh
biaya – biaya produksi dan pemasaran yang makin naik. Sehingga
pendapatan perusahaan makin menurun.
Manurung (2008:371) mengungkapkan setidaknya ada tiga biaya
sosial yang harus ditanggung dari tingginya angka inflasi. Dampak sosial
tersebut ialah menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat, memburuknya
distribusi pendapatan, dan terganggunnya stabilitas ekonomi.
35
Inflasi dapat menimbulkan beberapa efek buruk terhadap kegiatan
ekonomi dan kemakmuran individu dan masyarakat (Sukirno 2006:338).
a. Efek Buruk Inflasi terhadap Perkembangan Ekonomi
Biaya yang terus menerus naik menyebabkan kegiatan produktif
sangat tidak menguntungkan. Maka pemilik modal biasanya lebih
suka menggunakan uangnya untuk tujuan spekulasi. Kegiatan
ekonomi semacam ini dapat meningkatkan produktivitas dan berakibat
pada peningkatan pengangguran. Naiknya harga barang lokal
menyebabkan produk dalam negeri tidak bisa bersaing di luar negeri
sehingga ekspor akan menurun.
b. Efek Buruk Inflasi terhadap Kemakmuran Masyarakat
Inflasi dapat menurunkan pendapatan riil orang-orang yang
berpendapatan tetap. Selain itu inflasi dapat mengurangi nilai
kekayaan yang berbentuk uang. Sebaliknya harta-harta tetap seperti
rumah dan tanah akan terus mengalami kenaikan harga. Hal demikian
dapat menyebabkan tidak meratanya kekayaan di masyarakat.
4. Hubungan antara Inflasi dengan Pembiayaan Bermasalah Sektor
UKM
Dalam perekonomian, inflasi merupakan hal yang wajar.
Kehadirannya bisa menggairahkan perekonomian atau justru
menghancurkannya. Kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh inflasi
juga akan dirasakan oleh para pengusaha, terutama dalam memperoleh
bahan baku untuk usaha. Inflasi mendorong pelaku ekonomi
36
menyesuaikan penilaian terhadap harga-harga dan adanya penyesuaian
itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit (Manurung, 2008:260). Selain
itu inflasi juga mengharuskan pengusaha untuk menaikan gaji para
pegawainya. Kedua hal tersebut dapat berdampak pada kegiatan usaha
yang dilakukan. Selain dapat menurunkan keuntungan perusahaan, inflasi
juga dapat mengurangi kemampuan pengusaha untuk melunasi
pembiayaan yang telah diberikan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan
kenaikan tingkat pembiayaan bermasalah yang dihadapi oleh perbankan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hoggart et al. (2005:26)
peningkatan penghapusan pinjaman meningkat setelah terjadi kenaikan
inflasi harga eceran. Sementara Babouček dan Jančar (2005:9) mengukur
efek dari guncangan makroekonomi pada kualitas kredit dari sektor
perbankan Ceko untuk periode 1993-2006 menemukan bukti laporan
korelasi positif dari non-performing loan dengan Tingkat pengangguran
dan inflasi harga konsumen.
E. Tingkat Suku Bunga
1. Konsep Tingkat Suku Bunga
Sebagai lembaga perantara keuangan akan memperoleh keuntungan
dari selisih bunga yang diberikan kepada penyimpan dengan bunga yang
diterima dari peminjam. Keuntungan tersebut disebut dengan spread
based. Selain itu bank memperoleh dari jasa-jasa bank lainnya yang
disebut fee based. Kegiatan utama bank sebagai lembaga intermediasi
keuangan adalah menghimpun dan menyalurkan dana, maka menurut
37
Kasmir (2003: 134) bunga merupakan komponen biaya dan pendapatan
bagi bank.
Kasmir (2003: 133) menyatakan bunga bank merupakan balas jasa
yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada
nasabah yang membeli atau menjual produknya. Atau bisa diartikan
sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki
simpanan) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank
(nasabah yang memiliki pinjaman).
Adapun beberapa macam teori mengenai tingkat bunga yang
dikemukakan oleh para ahli, antara lain (Amalia, 2010:75)
a. Teori Keynes
Menurut keynes tingkat bunga merupakan hasil interaksi antara
tabungan dan investasi. Tingkat bunga menurut Keynes merupakan
suatu fenomena moneter artinya tingkat bunga ditentukan oleh
penawaran dan permintaan akan uang. Menurut Keynes uang
merupakan salah satu bentuk kekayaan yang dipunya seseorang
(portofolio) seperti halnya kekayaan dalam bentuk tabungan di bank,
saham atau surat berharga lainnya dengan memperoleh keuntungan.
Apabila suku bunga naik maka harga surat berharga akan turun,
sehingga menyebabkan orang tertarik untuk membeli surat berharga.
b. Teori Klasik
Pendapat kaum klasik mengenai harga, bahwa fluktuasi bunga
dapat mempengaruhi perilaku penabung maupun investor. Bunga
38
adalah ”harga” dari penggunaan (loanable funds) atau ”dana yang
tersedia untuk dipinjamkan”, sebab menurut teori klasik bunga adalah
”harga” yang terjadi di ”pasar” dana investasi.
Harapan tingkat suku bunga di masa yang akan datang
mempengaruhi seseorang untuk memanfaatkan uangnya. Namun
dalam jangka panjang pendapatanlah yang mempengaruhi kegiatan
seseorang dalam perekonomian.
Untuk menentukan besar kecilnya tingkat bunga simpanan dan
pinjaman sangat dipengaruhi oleh keduanya. Artinya baik bunga
simpanan maupun pinjaman saling mempengaruhi disamping
pengaruh faktor-faktor lainnya.
2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Suku Bunga
Menurut Kasmir dalam bukunya Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya, edisi keenam (2002 : 122) mengungkapkan beberapa faktor
yang mempengaruhi besar kecilnya tingkat suku bunga, antara lain :
a. Kebutuhan dana
Apabila bank kekurangan dana, sementara permohonan pinjaman
meningkat, maka yang dilakukan oleh bank agar dana tersebut cepat
tepenuhi dengan meningkatkan suku bunga simpanan. Peningkatan
suku bunga simpanan secara otomatis akan meningkatkan bunga
pinjaman.
39
b. Persaingan
Dalam memperebutkan dan simpanan, maka disamping faktor
promosi, yang paling utama pihak perbankan harus memperhatikan
pesaing. Dalam arti jika untuk bunga simpanan rata-rata 16%, maka
jika hendak membutuhkan dana dengan cepat sebaiknya bunga
simpanan dinaikkan diatas bunga pesaing misalnya 16%. Namun
sebaliknya untuk bunga pinjaman harus dibawah bunga pesaing.
c. Kebijakan Pemerintah
Dalam arti baik untuk bunga simpanan maupun bunga pinjaman
tidak boleh melebihi bunga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
d. Target Laba yang diinginkan
Sesuai dengan target laba yang diinginkan, jika laba yang
diinginkan besar maka bunga pinjaman ikut besar dan sebaliknya.
e. Jangka waktu
Semakin panjang jangka waktu pinjaman, maka akan semakin
tinggi bungannya, hal ini disebabkan besarnya kemungkinan resiko
dimasa mendatang. Demikian pula sebaliknya jika pinjaman berjangka
pendek, maka bunganya relatif rendah.
f. Kualitas jaminan
Semakin likuid jaminan yang diberikan, maka semakin rendah
bunga kredit yang dibebankan dan sebaliknya.
40
g. Reputasi perusahaan
Bonfiditas suatu perusahaan yang akan memperoleh kredit sangat
menentukan tingkat suku bunga yang akan dibebankan nantinya,
karena biasanya perusahaan yang bonafit kemungkinan risiko kredit
macet relatif kecil dan sebaliknya.
h. Produk yang kompetitif
Maksudnya adalah produk yang dibiayai tersebut laku dipasaran.
Untuk produk yang kompetitif, bunga kredit yang diberikan relatif
rendah jika dibandingkan dengan produk yang kurang kompetitif.
i. Hubungan baik
Biasanya bank menggolongkan nasabahnya antara nasabah utama
(primer) dan nasabah biasa (sekunder). Penggolongan ini didasarkan
kepada keaktifan serta loyalitas nasabah yang bersangkutan terhadap
bank.
j. Jaminan pihak ketiga
Dalam hal ini pihak yang membarikan jaminan kepada penerima
kredit. Biasanya pihak yang memberikan jaminan bonafit, baik dari
segi kemampuan membayar, nama baik maupun loyalitasnya tehadap
bank, maka bunga yang dibeban pun juga berbeda.
Sementara itu dalam situs resminya Bank Indonesia mendefinisikan
Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia sebagai suku bunga kebijakan yang
41
mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh
bank Indonesia dan diumumkan kepada publik.
BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap
Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi
moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas
(liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran
operasional kebijakan moneter.
Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada
perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB
O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh
perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga
kredit perbankan.
Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam
perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate
apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah
ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila
inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah
ditetapkan.
3. Hubungan BI Rate terhadap Pembiayaan Bermasalah
Dalam penelitiannya yang dilakukan oleh Haron dan Shanmugam
(1997:5) menemukan bahwa suku bunga berpengaruh bagi perbankan
syariah baik pada sisi pengumpulan dana maupun pembiayaan. Meskipun
Perbankan syariah tidak menetapkan tingkat bunga baik pada sisi
42
pembiayaan maupun pendanaan, tetapi dalam dual banking system, bank
syariah tidak bisa lepas dari risiko tingkat bunga. Pasar yang dijangkau
oleh perbankan syariah bukan hanya yang loyal terhadap syariah,
melainkan menjangkau pula pihak yang mengharap keuntungan dari
bank syariah. Karim (2007: 272) menjelaskan apabila terjadi bagi hasil
pendanaan syariah lebih kecil dari tingkat bunga maka nasabah akan
berpindah ke bank konvensional, sebaliknya pada sisi pembiayaan,
apabila margin yang dikenakan lebih besar dari tingkat bunga maka
nasabah akan beralih ke bank konvensional. Oleh sebab itu agar bank
syariah lebih kompetitif, maka suku bunga acuan atau BI Rate biasa
digunakan sebagai benchmark dalam penentuan tingkat pengembalian
dan yang utama adalah margin keuntungan murabahah. Apabila tingkat
pengembalian tinggi maka kemungkinan terjadi default juga akan
meningkat.
F. Pertumbuhan Pembiayaan
1. Konsep Pembiayaan
Sebagaimana bank pada umumnya, bank syariah juga mempunyai
fungsi utama menyalurkan dana yang dihimpunnya dalam bentuk
pemberian kredit atau dalam terminologi perbankan syariah disebut
pembiayaan, sebagaimana yang disebutkan dalam undang-undang
perbankan syariah no. 21 tahun 2008 pasal 19 ayat 1. Pembiayaan yang
dilakukan oleh Bank umum syariah harus berdasarkan akad (kontrak)
43
yang ditetapkan undang-undang atau akad-akad yang tidak bertentangan
dengan ajaran islam.
Pengertian pembiayaan menurut Kasmir (2001 : 92) adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau
tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan hasil bagi.
Akad menurut Antonio (2002:150) dibagi dalam 5 kelompok. Yaitu
(1) prinsip simpanan murni (al wadi’ah) (2) prinsip bagi hasil / profit loss
sharing (syirkah) (3)Prinsip Jual Beli (at-tijarah) (4) prinsip sewa (al-
ijarah) dan (5) prinsip fee/jasa (al ajr walumullah). Dalam melakukan
pembiayaan jenis yang paling banyak dipakai adalah bagi hasil, jual beli,
sewa, dan qardh.
Berdasarkan pengertian di atas, maka pembiayaan dengan prinsip
syariah merupakan bentuk penyaluran dana ke masyarakat berupa
transaksi bagi hasil, transaksi sewa, transaksi jual beli, transaksi pinjam
meminjam, dan transaksi multijasa dengan berlandaskan prinsip syariah
kepada pihak yang memerlukan dana dalam jangka waktu tertentu.
Dengan imbalan, tanpa imbalan, atau bagi hasil sebagai tugas utama
bank. Hal yang sama diungkapkan oleh Antonio (2002:160) bahwa
“pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian
fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang
merupakan deficit unit.”
44
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah
pembiayaan merupakan istilah yang biasa dipergunakan dalam perbankan
konvensional dengan sebutan kredit. Hal yang menjadi pembeda adalah
pada bentuk imbalan, pada pembiayaan adalah bagi hasil dan selisih
margin sedangkan dalam kredit bentuk imbalannya adalah bunga.
2. Jenis-jenis Pembiayaan
Siamat (2004:165) membagi pembiayaan atau kredit berdasarkan
jangka waktunya, yaitu:
a. Pembiayaan jangka pendek (short term-loan) dimana jangka waktu
pengembaliannya kurang dari satu tahun.
b. Pembiayaan jangka menengah (medium-term loan), pembiayaan yang
diberikan dengan jangka waktu pengembalian 1 s/d 3 tahun.
c. Pembiayaan jangka panjang (long-term loan) jenis pembiayaan yang
jangka waktu pengembaliannya melebihi 3 tahun.
Dalam konsep perbankan islam, pembiayaan yang diberikan oleh
perbankan syariah berdasarkan kebutuhan penggunanaan dana dan
menurut Karim (2004:230) dibagi menjadi beberapa jenis pembiayaan,
antara lain:
a. Pembiayaan Modal Kerja
Pembiayaan modal kerja adalah pembiayaan jangka pendek
yang diberikan kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal
kerja usahanya dengan jangka waktu maksimum satu tahun dan dapat
45
diperpanjang sesuai kebutuhan. Seperti untuk pembiayaan likuiditas,
piutang, persediaan, dan untuk pembiayaan modal kerja perdagangan.
b. Pembiayaan Investasi
Merupakan pembiayaan jangka menengah atau jangka panjang
untuk pembelian barang-barang modal yang diperlukan untuk
pendirian proyek baru, rehabilitasi, modernisasi, ekspansi, dan
relokasi proyek yang sudah ada.
c. Pembiayaan Konsumtif
Yang dimaksud dengan pembiayaan konsumtif adalah jenis
pembiayaan yang diberikan untuk tujuan di luar usaha dan umumnya
bersifat perorangan. Pembiayaan jenis ini digunakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dan akan habis pakai.
d. Pembiayaan Sindikasi
Pembiayaan sindikasi adalah pembiayaan yan diberikan oleh
lebih dari satu lembaga keuangan untuk satu proyek pembiayaan
tertentu.
e. Pembiayaan Berdasarkan Take Over
Pembiayaan berdasarkan take over adalah pembiayaan yang
timbul sebagai akibat dari take over terhadap transaksi non syariah
yang telah berjalan dan dilakukan oleh bank syariah atas permintaan
nasabah.
46
3. Hubungan Pertumbuhan Pembiayaan terhadap Pembiayaan
Bermasalah
Bank merupakan suatu unit usaha yang berlandaskan kepercayaan
dan dalam kegiatannya selalu diikuti oleh banyak risiko. Untuk mengejar
keuntungan yang besar maka bank selalu dihadapkan oleh risiko yang
besar pula. Dalam hal kaitannya dengan pembiayaan, semakin tinggi
tingkat pembiayaan yang disalurkan maka semakin tinggi pula tingkat
profitabilitas suatu bank. Namun konsekuensi logis dari hal tersebut
adalah risiko kegagalan pembayaran pembiayaan dari nasabah juga
semakin tinggi disamping juga bank akan menanggung pertambahan
risiko likuiditas yang akan meningkat pula. Hal ini lah yang
diindikasikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Saba et al. (2012:13),
di Amerika Serikat. Di mana peningkatan penyaluran pinjaman
menyebabkan peningkatan NPL.
G. Ukuran Bank
1. Konsep Ukuran Bank
Ukuran perusahaan adalah suatu skala, dimana dapat
diklasifikasikan besar kecilnya perusahaan menurut berbagai cara, antara
lain: total aktiva, log size, nilai pasar saham, dan lain-lain. Pada dasarnya
ukuran bank dapat terbagi menjadi 3 kategori yang didasarkan kepada
total assets bank yaitu bank besar (the largest bank) dengan aset sebesar
10 milyar dolar Amerika, bank menengah (the middle size bank) dengan
aset sebesar 100 juta hingga 10 milyar dolar Amerika, dan bank kecil
47
(smaller bank) dengan aset di bawah 100 juta dolar Amerika (Rose,
2002:172).
Ukuran bank (bank size) dalam penelitian ini dilihat dari besarnya
total assets yang dimiliki perusahaan. Pada neraca bank, aktiva
menunjukkan posisi penggunaan dana. Aktiva (asset) merupakan sumber
daya yang dikuasai oleh suatu perusahaan dengan tujuan menghasilkan
laba.
Aset merupakan aktiva yang digunakan untuk aktivitas operasional
perusahaan. Semakin besar aset yang dimiliki maka diharapkan akan
semakin besar hasil operasional perusahaan. Peningkatan aset yang
diikuti dengan peningkatan hasil operasi akan semakin meningkatkan
kepercayaan dari pihak eksternal terhadap perusahaan. Berdasarkan teori
skala efisiensi dapat disimpulkan bahwa perusahaan dengan aset yang
besar mampu menghasilkan keuntungan lebih besar apabila diikuti
dengan hasil dari aktivitas operasionalnya.
2. Hubungan Ukuran Bank dengan Pembiayaan Bermasalah
Dalam buku Commercial Bank Management, Rose menjelaskan
bahwa ukuran bank bisa memengaruhi performa suatu bank (2002:172).
Pada sisi penyaluran dananya khususnya bank dengan aset yang besar
bank sangat mungkin untuk mendiversivikasikan risiko pembiayaan
dibandingkan dengan bank dengan aset menengah dan bank kecil.
Semakin besar bank diasumsikan memiliki kemampuan yang lebih baik
untuk mendiversifikasikan risiko sehingga seharusnya memiliki
48
pendapatan yang lebih stabil untuk mengurangi risiko. Semakin baiknya
kemampuan mendiversifikasikan risiko maka disinyalir dapat menekan
tingkat pembiayaan bermasalah. Peluang diversifikasi bank juga terkait
dengan kualitas kredit yang menimbulkan hubungan negatif antara
diversifikasi dan NPL, karena diversifikasi menurunkan risiko kredit.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Salas dan Saurina
(2002:14) yang menemukan bahwa hubungan negatif antara ukuran bank
dan NPL.
H. UKM
1. Konsep UKM
Pengertian usaha kecil di Indonesia masih sangat beragam, sebelum
dikeluarkannya UU No 9/1995 setidaknya terdapat lima instansi yang
merumuskan usaha kecil dengan caranya masing-masing, kelima Instansi
tersebut adalah Biro pusat statistik (BPS), Departemen Perindustrian,
Bank Indonesia, Departemen Perdagangan dan Kamar dagang dan
Industri.
Departemen Perindustrian dan Bank Indonesia misalnya,
mendefinisikan usaha kecil berdasarkan nilai asetnya. Menurut kedua
instansi ini yang dimaksud dengan usaha kecil adalah usaha yang
assetnya (tidak termasuk tanah dan bangunan) bernilai kurang dari Rp
600 juta. Departemen perdagangan membatasi usaha kecil berdasarkan
modal kerjanya, yakni usaha (dagang) yang modal kerjanya bernilai
kurang dari Rp 25 juta.
49
Sedangkan KADIN terlebih dahulu membedakan usaha kecil
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah yang bergerak dalam
bidang perdagangan, pertanian dan industri. Kelompok kedua adalah
yang bergerak dalam bidang konstruksi. Menurut Kadin yang dimaskud
dengan usaha kecil untuk kelompok pertama adalah yang memiliki modal
kerja kurang dari Rp 150 juta dan memiliki nilai usaha kurang dari Rp
600 juta.
Adapun untuk kelompok kedua yang dimaksud dengan usaha kecil
adalah yang memiliki modal kerja kurang dari Rp 250 juta dan memiliki
nilai usaha kurang dari Rp 1 milyar. Berbeda dari keempat instansi
tersebut BPS mengemukakannya untuk usaha kecil sektor industri.
Menurut BPS yang dimaksud dengan industri kecil adalah usaha industri
yang melibatkan tenaga kerja antara lima sampai 19 orang. Sedangkan
yang dimaksud dengan industri rumah tangga adalah usaha industri yang
memperkerjakan kurang dari lima orang.
2. Kriteria UKM
Berdasarkan kelima batasan tersebut dapat kita katakan betapa
sangat beragamnya pengertian usaha kecil yang berlaku di Indonesia.
Tetapi diluar kelima pengertian tersebut pemerintah telah menetapkannya
dalam rumusan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2008 . Menurut UU ini yang dimaksud dengan usaha Mikro, Kecil dan
Menengah dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, diantaranya:
a. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:
50
1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; atau
2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
b. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:
1) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau
2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
c. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:
1) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau
2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari
Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai
dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
milyar rupiah).
51
3. Karakteristik UKM
Dari definisi-definisi tersebut dapat digambarkan bahwa UKM bisa
menjadi sebuah lokomotif penting dalam pertumbuhan ekonomi bangsa,
menurut (Tambunan, 2009:40) UKM sangat penting karena karakteristik-
karekteristik utama mereka yang berbeda dengan usaha besar,
diantaranya:
a. Jumlah perusahaan sangat banyak (jauh melebihi jumlah usaha besar)
terutama dari kategori usaha mikro dan usaha kecil. Dan hal ini juga
didasarkan pada karakter usaha mikro dan usaha kecil yang tersebar
diseluruh pelosok pedesaan termasuk diwilayah-wilayah yang relatif
terisolasi.
b. Karena sangat padat karya,berarti mempunyai suatu potensi
pertumbuhan kesempatan kerja yang sangat besar, pertumbuhan
UMKM dapat dimasukkan sebagai suatu elemen penting dari
kebijakan-kebijakn nasional untuk meningkatkan kesempatan kerja
dan menciptakan pendapatan, terutama bagi masyarakat miskin.
c. Kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok UMKM pada umumnya
dari berbasis pertanian. Oleh karena itu upaya-upaya pemerintah
mendukung UMKM sekaligus juga merupakan cara tak langsung,
tetapi efektif untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan
produksi disektor pertanian.
d. UMKM memakai teknologi-teknologi yang lebih “cocok” terhadap
proporsi-proporsi dari faktor-faktor produksi dan kondisi lokal yang
52
ada di negara sangat berkembang, yakni sumber daya alam (SDA) dan
tenaga kerja berpendidikan rendah yang berlimpah.
e. Banyak UMKM bisa tumbuh pesat. Bahkan, banyak UMKM bisa
bertahan pada saat ekonomi Indonesia dilanda suatu krisis besar pada
tahun 1997/1998.
f. Walaupun pada umumnya masyarakat pedesaan miskin, banyak bukti
yang menunjukkan bahwa orang-orang desa yang miskin bisa
menabung dan mereka mau mengambil risiko dengan melakukan
investasi. Dalam hal ini, UMKM bisa menjadi suatu titik permulaan
bagi mobilisasi tabungan/investasi di perdesaan dan disisi lain bisa
meningkatkan kemampuan berwirausaha dari orang-orang desa.
g. Kelompok usaha ini dapat memainkan suatu peran penting lainnya,
yaitu sebagai suatu alat untuk mengalokasikan tabungan-tabungan
perdesaan, yang kalau tidak akan digunakan untuk maksud-maksud
yang tidak produktif.
h. Walaupun banyak barang yang diproduksi oleh UMKM juga untuk
masyarakat kelas menegah dan atas, tetapi terbukti secara umum
bahwa pasar utama bagi UMKM adalah untuk barang-barang
konsumsi sederhana dengan harga relatif murah seperti pakaian
jadi,mebel dari kayu,alas kaki dan lainnya yang memenuhi kebutuhan
sehari-hari dari masyarakat miskin atau berpendapatan rendah.
53
i. Sebagai bagian dari dinamikanya, banyak juga UMKM yang mampu
meningkatakan produktivitasnya lewat investasi dan perubahan
teknologi
j. Seperti sering dikatakan dalam literature, satu keunggulan dari
UMKM adalah tingkat fleksibilitasnya yang tinggi, relatif terhadap
pesaingnya (usaha besar).
Kelompok usaha ini dilihat sangat penting di industri-industri yang
tidak stabil atau ekonomi-ekonomi yang menghadapi perubahan-
perubahan kondisi pasar yang cepat, seperti krisis ekonomi 1997/98 yang
dialami oleh beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu dengan menyadari betapa pentingnya UMKM secara
potensial seperti yang diuraikan diatas tersebut tidak heran kenapa
pemerintah-pemerintah dihampir semua negara berkembang termasuk
Indonesia sudah sejak lama mempunyai berbagai macam program,
dengan skim-skim kredit bersubsidi sebagai komponen terpenting untuk
mendukung perkembangan dan pertumbuhan UMKM (Tambunan,
2009:50).
Tidak hanya itu, lembaga-lembaga internasional pun seperti Bank
Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Organisasi Dunia untuk
industri dan pembangunan dan banyak negara donor lewat kerja sama-
kerja sama bilateral juga sangat aktif selama ini dalam upaya
pengembangan UMKM di negara sangat berkembang.
54
I. Penelitian Terdahulu
Beberapa studi dilakukan untuk meneliti variabel makro yang
memengaruhi tingkat pembiayaan bermasalah di suatu negara seperti GDP,
inflasi, tingkat suku bunga, dan pengangguran. Dan variabel spesifikasi bank
seperti Ukuran bank, kebijakan pembiayaan, total pinjaman, dan jangka waktu
kredit. Berikut ini merupakan penjelasan singkatnya:
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Peneliti, Tahun, Judul
Variabel Metode Analisis
Hasil Penelitian
1 Vighneswara Swamy (2012)) Impact of macroeconomic and endogenous factors on non performing bank assets (Jurnal Asing)
Variabel Independent Inflasi, pertumbuhan kredit, asset bank, dll dependen: NPL
Regresi Linear Berganda
Inflasi tidak berpengaruh terhadap NPL, Pertumbuhan kredit dan bank size berpengaruh negatif signifikan terhadap NPL
2 Irum Saba, Rehana Kouser, dan Muhammad Azeem (2012) “Determinants of Non Performing Loans: Case of US Banking Sector”(Jurnal Asing)
GDP, Total Loans, dan Interest Rate
Ordinary least square Regression
Terdapat pengaruh yang signifikan antara NPL sebagai variabel dependent dengan GDP, Total pinjaman, dan tingkat suku bunga sebagai variabel independen.
55
No Peneliti, Tahun, Judul
Variabel Metode Analisis
Hasil Penelitian
3 Etem Hakan, Ergec, dan Bengul Gulumser (2011) “ Impact of Interest Rates on Islamic and Conventional Banks: The Case of Turkey” (Jurnal Asing)
Variabel Independen: Interest Rate Variabel Dependen: Deposits and Loan in Islamic bankin
Vector Error Correction (VEC) methodology
Kinerja bank syariah di Turki di sisi pendanaan dan pembiayaan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga
4 Muhammad Imaduddin (2006) “Determinants of banking credit default in Indonesia: a comparative analiysis” (Jurnal Indonesia)
NPL, Bank Size, Total Loan, GDP, dan Indeks industrial
Ordinary least square Regression
Secara simultan berpengaruh signifikan positif terhadap NPF. Secara parsial Bank size berpengaruh signifikan positif, Total loan negatif signifikan, dan GDP berpengaruh positif.
5 Khemraj dan Pasha (2006), melakukan penelitian yang berjudul “The determinants of non-performing loans: an econometric case study of Guyana”. (Jurnal Asing)
Variabel independen: GDP, Interest Rate, dan pertumbuhan kredit. Variabel dependen: NPL
Panel data regresi
Secara parsial GDP berpengaruh negatif signifikan terhadap NPL, interest rate berpengaruh positif terhadap NPL, dan pertumbuhan kredit berpengaruh negatif.
6 Tarron Khemraj dan Sukrishnalall Pasha (2004) The determinants of non-performing loans: an econometric case study of Guyana. (Jurnal Asing)
Variabel Independen: Inflasi, Bank size, dan pertumbuhan kredit Variabel Independen: NPL
Regresi Linear Berganda
Inflasi tidak signifikan terhadap NPL, Pertumbuhan kredit berpengaruh signifikan negatif terhadap NPL, Bank size tidak berpengaruh terhadap NPL.
56
No Peneliti, Tahun, Judul
Variabel Metode Analisis
Hasil Penelitian
7 Rajiv Rajan and Sarat Chandra Dhal (2003) “Terms of credit, bank size, and macroeconomic shocks” (Jurnal Asing
NPL, Term of credit, Bank Size, Macroekonomic Shocks.
Panel Regression
Secara parsial terdapat pengaruh signifikan Term of Credit terhadap NPL, Bank Size berpengaruh signifikan negatif, Macroeconomic shocks berpengaruh positif signifikan. Secara bersamaan
J. Kerangka Pemikiran
Inflasi merupakan salah satu akibat dari terjadinya krisis ekonomi yang
berkepanjangan yang melanda suatu negara. Inflasi dapat diartikan sebagai
suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus atau
inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu
(Manurung, 2008:359).
Pada tahun 2009 yang merupakan awal periode penelitian ini Inflasi IHK
mencapai 2,78% (yoy), atau lebih rendah dibandingkan dengan sasaran inflasi
yang ditetapkan oleh Pemerintah sebesar 4,5%±1% (yoy). Penyebabnya adalah
penurunan harga komoditas global, terutama harga energi, telah membuka
peluang bagi Pemerintah untuk menurunkan harga BBM yang diikuti dengan
penurunan tarif angkutan masing-masing 14,1% dan 12,1%.
Inflasi dapat menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat sehingga
menyebabkan penurunan permintaan barang yang ditawarkan produsen. Inflasi
juga mengharuskan pengusaha untuk menyesuaikan gaji pegawainya karena
naiknya harga-harga bahan kebutuhan. Hal tersebut dapat mengakibatkan
57
menurunnnya keuntungan usaha, sehingga risiko pembiayaan bermasalah
menjadi meningkat.
Selain inflasi, variabel makro yang turut memengaruhi pembiayaan
bermasalah adalah tingkat suku bunga acuan atau BI Rate. Meskipun
perbankan syariah tidak menggunakan variabel tingkat suku bunga dalam
aktivitas pengumpulan dan pembiayaan. Namun secara tidak langsung, para
pelaku perbankan syariah menjadikan BI Rate sebagai benchmark dalam
menentukan ekuivalen tingkat bagi hasil maupun margin pada akad jual beli.
Digunakannya BI Rate sebagai acuan dalam penentuan ekuivalen nisbah
bagi hasil, menyebabkan perubahan tingkat suku bunga atau BI Rate turut
memengaruhi tingkat pembiayaan bermasalah. Tingginya ekuivalen bagi hasil
maupun margin pembiayaan dapat menyebabkan meningkatnya risiko gagal
bayar atau default pada pembiayaan.
Sementara itu pertumbuhan pembiayaan yang disalurkan merupakan
salah satu faktor yang memengaruhi pembiayaan bermasalah. Semakin besar
pembiayaan disalurkan ke pasar riil disinyalir dapat menyebabkan peningkatan
risko gagal bayar pada pembiayaan yang disalurkan. Pada perbankan syariah di
Indonesia pembiayaan yang disalurkan tergolong tinggi. Dibandingkan dengan
penyaluran kredit di bank konvensional, Financing to Deposite Ratio di
perbankan syariah selalu tinggi. Karakteristik perbankan syariah yang
melarang spekulasi dalam setiap transaksinya, menyebabkan dana yang
terkumpul lebih banyak disalurkan ke sektor riil termasuk UKM. Bahkan
58
beberapa tahun dalam periode penelitian tingkat FDR di perbankan syariah
melebihi angka 100%.
Ukuran bank juga merupakan variabel spesifikasi bank yang dapat
memengaruhi tingkat pembiayaan bermasalah. Sejak awal tahun periode
penelitian, aset perbankan syariah terus mengalami peningkatan, hingga akhir
tahun 2012, aset perbankan syariah di Indonesia telah mencapai Rp
179.871.000.000.000.
Bank dengan aset yang besar disinyalir dapat meminimalkan risiko
kegagalan bayar atau default terhadap pembiayaan yang disalurkan. Bank
dengan aset yang besar selain dapat mendiversifikasi risiko juga dapat
melakukan pencegahan terjadi pembiayaan bermasalah. Dengan aset yang
besar maka suatu bank dapat memanfaat sistem informasi dan administrasi
yang baik pula. Sehingga semakin besar aset suatu bank, maka pembiayaan
bermasalah menjadi berkurang.
Penelitian ini didasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya dengan
penambahan beberapa variabel dan metode penelitan yang berbeda. Setelah
peneliti mengumpulkan beberapa jurnal, tesis, dan skripsi, peneliti mengambil
beberapa variabel dari penelitian terdahulu kemudian membuat paradigma
penelitian yang berbeda dimana penelitaian ini menggunakan Ordinary least
square dan dengan menggunakan bantuan alat SPSS 16.
Berikut ini adalah gambaran mengenai kerangka berfikir yang peneliti
bentuk secara sederhana untuk menjelaskan proses penelitian ini.
59
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Perbankan Syariah Indonesia
Variabel Bank Variabel Makro Ekonomi
Pertumbuhan Pembiayaan
Inflasi Tingkat Suku Bunga
Bank Size
Non Performing Financing Sektor UMKM
Analisis
Uji F Uji Adjusted R2 Uji T
Uji statistik regresi berganda
Uji signifikasi model
Uji asumsi klasik regresi linear berganda
1. Normalitas 2. Multikolinearitas 3. Heterokedatisitas 4. Autokorelasi
Kesimpulan
60
K. Hipotesis
Berdasarkan kerangka teoritis yang telah disajikan, hipotesis yang
dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. H0 : Tidak terdapat pengaruh antara Inflasi, Tingkat Suku Bunga,
Pertumbuhan Pembiayaan, dan Ukuran Bank secara simultan terhadap
Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM.
H1 : Terdapat pengaruh antara Inflasi, Tingkat Suku Bunga, Pertumbuhan
Pembiayaan, dan Ukuran Bank secara simultan terhadap Pembiayaan
Bermasalah Sektor UKM.
2. H0 : Tidak terdapat pengaruh antara Inflasi terhadap Pembiayaan
Bermasalah Sektor UKM secara parsial.
H1 : Terdapat pengaruh antara Inflasi terhadap Pembiayaan Bermasalah
Sektor UKM secara parsial.
3. H0 : Tidak terdapat pengaruh antara Tingkat Suku Bunga terhadap
Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM secara parsial.
H1 : Terdapat pengaruh antara Tingkat Suku Bunga terhadap Pembiayaan
Bermasalah Sektor UKM secara parsial.
4. H0 : Tidak terdapat pengaruh antara Pertumbuhan Pembiayaan terhadap
Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM secara parsial.
H1 : Terdapat pengaruh antara Pertumbuhan Pembiayaan terhadap
Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM secara parsial.
5. H0 : Tidak terdapat pengaruh antara Ukuran Bank terhadap Pembiayaan
Bermasalah Sektor UKM secara parsial.
61
H1 : Terdapat pengaruh antara Ukuran Bank terhadap Pembiayaan
Bermasalah Sektor UKM secara parsial.
62
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Obyek penelitian adalah Perbankan Syariah di Indonesia yang terdiri dari
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dan dibatasi selama periode
tahun 2009-2012. Dengan menggunakan data time series yang diperoleh dari
Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Penelitian ini menggunakan variabel terikat (dependent variables) yaitu
pembiayaan bermasalah sektor UKM. Sedangkan variabel bebasnya
(independent variables) yaitu inflasi, BI Rate, pertumbuhan pembiayaan, dan
ukuran bank.
B. Metode penentuan sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek/subyek yang
mempunyai kualitas dan karaketristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2008:61).
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut (Sugiyono, 2008:62)
Objek dalam penelitian ini adalah Bank umum Syariah dan Unit usaha
syariah yang beroperasi di Indonesia yang telah memperoleh ijin resmi dari
Bank Indonesia pada periode Januari 2009 sampai Desember 2012. BUS dan
UUS dipilih karena sesuai dengan undang-undang.
63
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sample data dalam rentang
waktu 48 bulan. Penelitian ini menggunakan data dari tahun 2009-2012 karena
pada masa tersebut berada di dalam siklus yang tergolong lengkap, yakni
pertumbuhan ekonomi menjelang krisis dan pertumbuhan ekonomi masa
pemulihan setelah krisis ekonomi di dunia dan Indonesia. Di samping itu
kelengkapan data penelitian baru bisa didapatkan setelah tahun 2009.
C. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah :
1. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan oleh peneliti
melalui pihak kedua atau tangan kedua (Usman, 2006:20). Peneliti
menggunakan data sekunder berupa data runtun waktu (time series) dengan
skala bulanan yang dihimpun oleh Bank Indonesia pada laporan statistik
perbankan syariah dari bulan Januari 2009 sampai dengan Desember 2012
yang diperoleh dari www.bi.go.id. (diakses pada tanggal 15 Februari 2013
pukul 19:30)
2. Metode Studi Pustaka
Yaitu dengan melakukan telaah pustaka, eksplorasi, dan mengkaji
berbagai literatur pustaka seperti berbagai majalah, jurnal, dan sumber-
sumber yang berkaitan dengan penelitian.
3. Internet
Yaitu mengumpulkan data dengan cara mencatat dokumen yang
berhubungan dengan penelitian ini, yang terdapat dalam publikasi Bank
64
Indonesia, Badan Pusat Statistik, dan Bank syariah yang termasuk dalam
sampel dalam situs-situs internet masing-masing lembaga.
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, penelitian ini sangat
bergantung pada sumber-sumber berikut:
a. Laporan tahunan perbankan tahun 2009-2012 yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia (BI).
b. Beberapa laporan statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS).
D. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan metode analisi Regresi Linier Berganda Sederhana (Ordinary Least
Square). Dalam melakukan analisis regresi linier berganda, metode ini
mensyaratkan untuk melakukan uji asumsi klasik agar mendapatkan hasil
regresi yang baik (Ghozali, 2005:94 ).
1. Uji asumsi Klasik
Dalam menganalisis model regresi linear berganda agar menghasilkan
estimator yang baik, yaitu linier tidak bias dengan varian yang minimum
(bestlinier unbiased estimator = blue) adalah terpenuhinya asumsi asumsi
dasar regresi yaitu dengan melakkukan serangkaian uji asumsi klasik
sebagai berikut:
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
variable pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti
65
diketahui bahwa uji t dan F mengasumsikan bahwa nilai residual
mengikuti distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik
menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil. Ada dua cara untuk
mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak (Ghozali,
2005:147), yaitu:
1) Analisis Grafik
Uji normalitas dapat dideteksi dengan melihat histogram yang
membandingkan antara observasi dengan distribusi yang mendekati
normal yaitu simetris dan tidak menceng ke kanan atau ke kiri. Atau
dengan melihat grafik normal probability plot, jika data menyebar
disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal menunjukkan
pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi
normalitas. Bila data menyebar jauh dari garis diagonalnya dan atau
tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak
memenuhi asumsi normalitas.
2. Uji Statistik Normalitas
Untuk mendeteksi normalitas data dengan cara uji statistik
penelitian ini menggunakan analisis statistik non parametrik
Kolmogorov-Smirnov test (K-S) Uji K-S dilakukan dengan membuat
hipotesis:
Ho = data residual terdistribusi normal
Ha = data residual tidak terdistribusi normal
Dasar pengambilan keputusan dalam uji K-S adalah sebagai berikut:
66
a) Apabila probabilitas uji K-S signifikan secara statistik (p<0,05)
maka Ho ditolak, yang berarti data terdistribusi tidak normal
b) Apabila probabilitas uji KS tidak signifikan statistik(p>0.05) maka
Ho diterima, yang berarti data terdistribusi normal.
b. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi antara variabel independen. Model regresi yang
baik seharusnya tidak terjadi korelasi antara variabel independen. Untuk
mendeteksi ada dan tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi adalah
sebagai berikut (Gujarati 2007:205)
1) Nilai r2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris
sangat tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel independen
banyak yang tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen.
2) Menganalisis matrik korelasi variabel – variabel independen. Jika
antara variabel independen ada korelasi cukup tinggi (umumnya diatas
0,80) maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas.
3) Pengujian korelasi parsial
4) Regresi subsider atau tambahan. Mengingat multikolinieritas muncul
karena salah satu atau lebih variabel penjelas adalah kombinasi pasti
linear, salah satu cara untuk mengetahui variabel bebas mana yang
sangat kolinear dengan variabel bebas lainnya adalah dengan
67
meregresikan masing-masing variabel bebas terhadap variabel bebas
lainnya untuk mengetahui R2 terkait.
5) Multikolinieritas dapat juga dilihat dari (1) nilai tolerance dan (2)
variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap
variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen
lainnya. Tolerance mengukur variabel independen yang terpilih yang
tidak dapat dijelaskan oleh variabel independen lainnya, jadi nilai
tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi (karena VIF
= 1/tolerance). Nilai cut-off yang yang umum dipakai untuk
menunjukkan adanya multikolonieritas adalah nilai tolerance ≤ 0,10
atau sama dengan nilai VIF ≥ 10.
c. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah model regresi linier ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan
pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Uji autokorelasi bertujuan untuk
mengetahui apakah ada korelasi antara anggota serangkaian data observasi
yang diuraikan menurut waktu (time series) atau ruang (cross section). Salah
satu penyebab munculnya masalah autokorelasi adalah adanya kelembaman
(inertia) artinya kemungkinan besar akan mengandung saling ketergantungan
pada data data observasi sebelumnya dan periode sekarang.
Salah satu metode analisis untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi
adalah dengan melakukan pengujian nilai durbin watson (DW test) (Ghozali,
2005:100). Hipotesis yang akan diuji adalah:
68
H0 = tidak ada autokorelasi (r = 0)
Ha = ada autokorelasi (r ≠ 0)
Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi adalah sebagai
berikut:
Hipotesis nol Keputusan Jika Tidak ada autokorelasi positif
Tolak 0 < d < dl
Tidak ada autokorelasi positif
Tanpa keputusan dl ≤ d ≤ du
Tidak ada korelasi negatif Tolak 4 – dl < d < 4 Tidak ada korelasi negatif Tanpa keputusan 4 – du ≤ d ≤ 4 – dl Tidak ada autokorelasi positif atau negatif
Tidak ditolak du < d < 4 – du
(Ghozali, 2005:100)
d. Uji Heteroskedaskitas
Uji ini bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain.
Model regresi yang baik adalah homokedastisitas atau tidak terjadi
heterokedastisitas.
1) Analisis Grafik
Untuk mendeteksi ada tidaknya heterokedastisitas dalam
penelitian ini dilakukan dengan analisis grafik, yaitu melihat grafik
scartter plot antara nilai prediksi variabel dependen yaitu ZPRED
dengan residualnya SRESID, dimana sumbu y adalah y yang telah
diprediksi, dan sumbu x adalah residual (y prediksi – y sesungguhnya)
yang telah di-studentized. Deteksi ada tidaknya heterokedastisitas dapat
dilakukan sebagai berikut: (Ghozali, 2005: 126)
69
a) Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola
tertentu yang teratur, maka mengidentifikasikan telah terjadi
heterokedastisitas.
b) Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas dan
dibawah angka 0 pada sumbu y, maka tidak terjadi
heterokedastisitas.
2) Metode Park
Metode uji Park yaitu dilakukan dengan meregresikan nilai
residual (Lnei2) dengan masing-masing variabel dependen (LnX1, LnX2,
LnX3, dan LnX4). Apabila koefisien parameter beta dari persamaan
regresi tersebut signifikan secara statistik, hal ini menunjukan bahwa
dalam data model empiris yang diestimasi terdapat heterokedastisitas,
dan sebaliknya jika parameter beta tidak signifikan secara statistik,
maka asumsi homokedastisitas pada data model tersebut tidak dapat
ditolak (Ghozali, 2005:128)
Setelah melakukan serangkaian uji asumsi klasik diatas, maka
data yang sudah dikumpulkan tersebut dianalisis dengan menggunakan
metode regresi linier berganda. Persamaan regresi dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
NPF = α + b1Inflasi + b2BIRate + b3GFin + b4SIZE + �
70
Keterangan NPF : Non Performing Financing
Inflasi : Tingkat Inflasi
BIRate : Tingkat Suku Bunga Riil
GFIN : Pertumbuhan Total Pembiayaan
SIZE : Total Aset Perbankan Syariah
α : Konstanta Regresi
b1 b2 b3 b4 : Koefisien Regresi
� : Variabel pengganggu di luar
variabel yang tidak dimasukan di
atas
E. Pengujian Hipotesis
Untuk menguji bisa atau tidaknya model regresi tersebut digunakan dan
untuk menguji kebenaran hipotesis yang dilakukan, maka diperlukan pengujian
statistik, yaitu:
1. Uji Hipotesis Secara Simultan (Uji F)
Uji F untuk menguji asumsi mengenai tepatnya model regresi untuk
diterapkan terhadap data empiris atau hasil observasi. Uji statistik F pada
dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang
dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama atau
simultan terhadap variabel dependen (Ghozali, 2005:88).
Untuk pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai F
Statistik dengan F Tabel. F Hitung dapat diperoleh dengan rumus:
F Hitung = R2/(k-1)
1-R2/(n-k)
71
Keterangan R2 = Koefisien determinasi
k = Jumlah variabel independen
n = Jumlah sampel
Langkah langkah yang ditempuh dalam pengujian adalah:
a. Menyusun hipotesis nol H0 dan Hipotesis alternatif (Ha):
1) H0 : b1 = b2 = b3 = b4 = 0 : artinya secara bersama-sama variabel
indepeden tidak berpengaruh terhadap variabel independen
2) Ha : b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ 0, artinya secara bersama-sama variabel
independen berpengaruh terhadap variabel independen
b. Menetukan tingkat signifikansi yaitu sebesar 0,05 (α)
c. Membandingkan f-hitung dengan f-tabel
1) Bila fhitung < ftabel maka H0 diterima dan ditolak Ha, artinya bahwa
secara bersama-sama variabel independen tidak berpengaruh terhadap
variabel dependen
2) Bila fhitung > ftabel, maka H0 ditolak dan menerima Ha artinya bahwa
secara bersama-sama variabel independen berpengaruh terhadap
variabel dependen
d. Berdasarkan probabilitas
Ha akan diterima jika nilai probabilitas kurang dari 0,05 (α).
2. Uji Hipotesis Secara Parsial (Uji t)
Uji t merupakan pengujian terhadap variabel independen secara
parsial (individu) dilakukan untuk melihat signifikansi dari pengaruh
variabel independen secara individual terhadap variabel dependen.
72
Untuk pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai t
Statistik dengan t Tabel. t Hitung dapat diperoleh dengan rumus:
t =
Dimana b adalah nilai parameter dan Sb adalah standar error dari b.
Standar error dari masing-masing parameter dihitung dari akar varians
masing-masing.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengujian adalah (Ghozali,
2005:88):
a. Menyusun hipotesis nol dan hipotesis alternatif:
1) Ho : b1 = 0: artinya bahwa variabel independent tidak berpengaruh
terhadap variabel dependen
2) Ha : b1 ≠ 0 : artinya bahwa variabel independen berpengaruh
terhadap variabel dependen
b. Menentukan tingkat signifikansi α sebesar 0,05
c. Membandingkan t-hitung dengan t-tabel
1) Jika thitung < ttabel atau -thitung > -ttabel maka H0 diterima atau menolak
Ha, artinya bahwa variabel independent tidak berpengaruh terhadap
variabel dependen.
2) Jika thitung > ttabel atau -thitung < -ttabel maka H0 ditolak atau meneria
Ha, artinya bahwa variabel independent berpengaruh terhadap
variabel dependen.
b
Sb
73
d. Berdasarkan probabilitas
Ha akan diterima jika nilai probabilitasnya kurang dari 0,05 (α)
3. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien Determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai
koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti
kemampuan variabel - variabel independen dalam menjelaskan variasi
variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-
variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan
untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2005:87).
F. Definisi Operasional Variabel
Operasional variabel merupakan definisi dari serangkaian variabel
yang digunakan dalam penulisan (Hamid, 2010:20). Pengertian operasional
variabel adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat yang diamati. Dari
definisi operasional tersebut dapat ditentukan alat pengambilan data yang
cocok dipergunakan. Berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi
operasional variabel yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu:
1. Rasio Non Perfoming Financing
Variabel non performing financing (NPF) menggambarkan
pembiayaan bermasalah pada bank syariah yang meliputi pembiayaan
kurang lancar (KL), diragukan (D), dan macet (M). Rasio NPF diperoleh
dengan rumus berikut:
NPF= x 100 % Pembiayaan yang bermasalah
Total Pembiayaan Disalurkan
74
Dalam penelitian ini rasio NPF merupakan variabel dependen yaitu
variabel yang keberadaannya dapat dijelaskan oleh sejumlah variabel
independen. Variabel ini dinotasikan dengan notasi NPF.
2. Inflasi
Inflasi dapat diartikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-
harga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses
menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari
suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat
harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi
dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-
menerus dan saling mempengaruhi.
3. Tingkat Suku Bunga
Menurut Bank Indonesia, BI Rate adalah suku bunga kebijakan
yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan
oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. Sasaran operasional
kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar
Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga
PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga
deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan.
4. Pertumbuhan Total pembiayaan yang Disalurkan
Pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang diberikan suatu
pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah
direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain,
75
pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung
investasi yang direncanakan.
5. Bank Size
Ukuran perusahaan (SIZE) dalam penelitian ini dilihat dari
besarnya total assets yang dimiliki perusahaan. Pada neraca bank, aktiva
menunjukkan posisi penggunaan dana (Kuncoro dan Suhardjono, 2002:
75). Aktiva (asset) merupakan sumber daya yang dikuasai oleh suatu
perusahaan dengan tujuan menghasilkan laba.
76
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Sejarah dan Perkembangan Perbankan Syariah
Sistem perbankan syariah mulai dikenal luas di Indonesia pada tahun
1992 dengan momen dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1992 yang
memungkinkan bank-bank di Indonesia menjalankan kegiatan operasional
bisnisnya dengan sistem bagi hasil. Momen perkembangan terus berlanjut
pada saat era reformasi dengan disetujuinya UU No 10 Tahun 1998 yang
mengatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang
dioperasikan oleh bank syariah. Di samping itu, kehadiran undang-undang
ini juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka
cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri menjadi bank syariah.
Menurut Siregar (2002:2) Upaya pengembangan perbankan syariah di
Indonesia tidak semata hanya merupakan konsekuensi dari UU No. 10/1998
dan UU No. 23/1999 tetapi juga merupakan bagian dari upaya penyehatan
sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan perekonomian
nasional. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 membuktikan
bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah dapat bertahan di
tengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan
tersebut ditopang oleh karakteristik operasi bank syariah yang melarang
77
bunga (riba), transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar) dan
spekulatif (maysir). Dengan kenyataan tersebut, pengembangan perbankan
syariah diharapkan dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankan
nasional yang pada gilirannya juga diharapkan dapat meningkatkan
ketahanan ekonomi nasional di masa mendatang. Ketahanan ekonomi
nasional yang sedemikian rupa dapat menciptakan perekonomian yang
tangguh, yaitu perekonomian yang pertumbuhan sektor keuangannya sejalan
dengan pertumbuhan sektor riil.
Pada tahap awal, landasan hukum bagi pengembangan perbankan
syariah adalah UU No. 7 tahun 1992 yang mengizinkan bank untuk
memberikan pinjaman kepada nasabah dengan prinsip bagi hasil. Sejak
tahun 1992-1998 dapat dikatakan tidak banyak kemajuan dalam
perkembangan perbankan syariah di Indonesia terutama karena belum ada
landasan hukum yang jelas mengenai keberadaan bank syariah. Dengan
lahirnya UU No. 10 tahun 1998 dan UU No. 23 tahun 1999 keberadaan
bank syariah diakui secara eksplisit dan memberikan landasan hukum yang
lebih kuat bagi Bank Indonesia dalam pengembangan perbankan syariah.
Bank Muamalat Indonesia merupakan pioneer awal yang
membumikan syariah islam pada sektor perbankan di Indonesia. Berawal
dari amanat MUNAS IV MUI maka langkah mendirikan Bank Islam di
mulai. PT Bank Muamalat Indonesia Tbk didirikan pada 24 Rabius Tsani
1412 H atau 1 November 1991. Bank Muamalat baru memulai kegiatan
operasinya pada tanggal 1 Mei 1992.
78
2. Perkembangan Kelembagaan dan Indikator Keuangan
Tahun 1992 merupakan tahun yang menggembirakan dalam sejarah
perkembangan bank syariah di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya
bank syariah pertama yaitu PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk (BMI).
Namun, menurut Siregar (2002:4) dalam periode 1992-1998 tidak terdapat
hal berarti dalam perkembangan bank syariah yang disebabkan oleh
beberapa hal:
a. rendahnya pengetahuan dan kesalahpahaman masyarakat mengenai
bank syariah;
b. belum tersedianya ketentuan pelaksana terhadap operasional bank
syariah;
c. terbatasnya jaringan kantor perbankan syariah; dan
d. kurangnya sumber daya insani (SDI) yang memiliki keahlian
perbankan syariah.
Perkembangan bank syariah mulai terasa sejak dilakukan amandemen
terhadap UU No. 7/1992 menjadi UU No. 10/1998 yang memberikan
landasan operasi yang lebih jelas bagi bank syariah. Sebagai tindak lanjut
UU tersebut, Bank Indonesia mulai memberikan perhatian lebih serius
terhadap pengembangan perbankan syariah, yaitu pada bulan April 1999
membentuk satuan kerja khusus yang menangani penelitian dan
pengembangan bank syariah (Tim Penelitian dan Pengembangan Bank
Syariah dibawah Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) yang
menjadi cikal bakal Biro Perbankan Syariah yang dibentuk pada 31 Mei
79
2001. Sebagai hasil dari upaya pengembangan perbankan syariah yang
dilaksanakan secara intensif sejak dikeluarkannya UU No. 10 tahun 1998
maka pertumbuhan perbankan syariah relatif pesat sejak tahun 1999. Pada
awal tahun 1999 jumlah bank syariah baru terdapat 1 bank umum syariah
dengan 9 kantor cabang serta 76 BPRS.
Sementara itu pada tahun 2009 yang merupakan periode awal
penelitian ini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang
cukup pesat. Sepuluh tahun sejak amandemen UU No. 10/1998, jumlah
bank syariah di Indonesia meningkat menjadi 6 bank sedangkan jumlah unit
usaha syariah sebanyak 25 bank. Membaiknya perekonomian dunia pasca
krisis di tahun 2009 membuat optimisme menghampiri perkembangan
perbankan syariah di tanah air.
Pada kuartal ke-II tahun 2010 perkembangan perbankan syariah
sempat diwarnai dengan goncangan krisis Yunani, namun tidak terlalu
berdampak signifikan terhadap pertumbuhan bank syariah di Indonesia.
Tahun 2010 jumlah bank syariah kembali mengalami perkembangan yang
signifikan dengan jumlah bank umum syariah sebanyak 11 bank. Meskipun
jumlah unit usaha syariah mengalami penunrunan namun hal tersebut tidak
mempengaruhi total aset perbankan syariah di Indonesia. Hingga tahun
2010 total aset perbankan syariah di Indonesia adalah sebesar Rp
97.519.000.000.000 meningkat sebesar 47%. Pada akhir periode
pengamatan yakni tahun 2012, posisi aset perbankan syariah adalah sebesar
Rp 179.871.000.000.000
80
Seperti digambarkan pada bab 1, dijelaskan bahwa jumlah Bank
Umum Syariah adalah sebanyak 11 bank dan Unit Usaha Syariah sebanyak
24 unit. Meskipun dalam perkembangannya perbankan syariah selalu
“diintai” oleh siklus krisis ekonomi baik di dalam maupun luar negeri
namun perbankan syariah justru mengalami perkembangan yang baik,
bahkan industri perbankan syariah disebut-sebut sebagai ”the fastest
growing industry” yang sempat menyentuh angka pertumbuhan aset di atas
40% selama lima tahun berturut-turut.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia yang notabene masih
tergolong masa awal perkembangan cenderung belum memiliki tingkat
integrasi dengan sistem keuangan global dan eksposur valas yang dimiliki
oleh perbankan syariah di Indonesia pun masih belum signifikan. Hal
tersebut berdampak pada terhindarnya dari dampak langsung krisis global
yang terjadi.
Objek penelitian ini adalah bank umum syariah dan unit usaha syariah
yang memperoleh ijin operasional dari Bank Indonesia yaitu sebanyak 11
bank umum syariah dan 24 unit usaha syariah.
B. Anaslisis dan Pembahasan
1. Analisis Deskriptif
Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan bantuan pengolahan data SPSS 16 dan Microsoft Excel
2007. Variabel-variabel yang diteliti yaitu terdiri dari variabel
independent; Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan pembiayaan, dan Ukuran
81
perusahaan. Sedangkan variabel dependennya adalah tingkat Non
Performing Financing Sektor UKM. Penjelasan lebih lanjut sebagai
berikut:
a. Infasi
Inflasi merupakan indikator suatu perekonomian suatu negara.
Negara yang mampu mengendalikan tingkat inflasi maka akan mampu
mengendalikan masalah makro ekonomi lainnya seperti pengangguran
dan kemiskinan. Angka inflasi sebagai salah satu indikator stabilitas
ekonomi selalu menjadi pusat perhatian.Inflasi dapat dikaitkan dengan
gejolak ekonomi yang selalu mengitu perjalanan perekonomian suatu
negara yang dinamis.
Tekanan inflasi menjadi tinggi dengan adanya kebijakan
pemerintah untuk mengurangi berbagai subsidi guna mendorong
pembentukan harga berdasarkan mekanisme pasar. Inflasi merupakan
proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi rendahnya tingkat harga.
Artinya tingkat harga yang dianggap tinggi belum dianggap inflasi.
Di Indonesia tingkat inflasi selalu mengalami fluktuasi dari
tahun ke tahun. Penyebabnya beragam, mulai dari naiknya harga
minyak dunia dan kegagalan produksi panen petani dalam negeri.
Inflasi di Indonesia juga kerap timbul sebagai akibat dari krisis
ekonomi dunia. Penyebabnya adalah dalamnya integrasi sistem
keuangan dalam negeri dan luar negeri. Bahkan tak jarang dampak
yang ditimbulkan dari faktor luar negeri justru menghambat
82
perekonomian di Indonesia. Data dari bank Indonesia menggambarkan
betapa besar pengaruh luar negeri terhadap perekonomian di
Indonesia. Terutama ketika terjadi krisis ekonomi dunia, tingkat
inflasi di Indonesia cenderung mengalami peningkatan.
Data inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
perkembangan inflasi per bulan periode Januari 2009 hingga
Desember 2012. Data tersebut diperoleh dari situs www.bi.go.id.
(diakses pada tanggal 1 April 2013 pukul 20:45 wib)
Tabel 4.1. Perkembangan Tingkat Inflasi di Indonesia Periode 2009-2012
Bulan Inflasi (%) 2009 2010 2011 2012
Januari 0,07 0,84 0,89 0,76 Februari 0,21 0,30 0,13 0,05 Maret 0,22 -0,14 -0,32 0,07 April -0,31 0,15 -0,31 0,21 Mei 0,04 0,29 0,12 0,07 Juni 0,11 0,97 0,55 0,62 Juli 0,45 1,57 0,67 0,70 Agustus 0,56 0,76 0,93 0,95 September 1,05 0,44 0,27 0,01 Oktober 0,19 0,06 -0,12 0,16 November -0,03 0,60 0,34 0,07 Desember 0,33 0,92 0,57 0,54
Sumber: Bank Indonesia (data diolah)
Dari tabel 4.1 dapat dilihat perkembangan inflasi di Indonesia pada tahun
2009 hingga tahun 2012 mengalami fluktuatif. Sepanjang tahun pengamatan
tingkat inflasi tertinggi terjadi pada bulan September tahun 2010 yakni sebesar
1,57%, sedangkan yang terendah adalah pada November 2012 sebesar 0,01%.
Agar lebih mudah dipahami dan komunikatif data tersebut dapat dilihat dari
grafik berikut:
83
Gambar 4.1. Perkembangan Tingkat Inflasi di Indonesia periode 2009-2012
Sumber: Data diolah
Berdasarkan gambar 4.1. di atas, Inflasi IHK tahun 2009 mencapai
2,78% (yoy), atau lebih rendah dibandingkan dengan sasaran inflasi yang
ditetapkan oleh Pemerintah sebesar 4,5%±1% (yoy). Penurunan harga
komoditas global, terutama harga energi, telah membuka peluang bagi
Pemerintah untuk menurunkan harga BBM yang diikuti dengan
penurunan tarif angkutan masing-masing 14,1% dan 12,1%.
Pada tahun 2010, inflasi melesat dari nilai ekspektasi. Inflasi
tertinggi terjadi pada bulan September dengan tingkat inflasi sebesar
1,57%. Penyebab awalnya adalah faktor non fundamental seperti anomali
cuaca baik lokal maupun global yang menyebabkan harga pangan
melonjak. Komoditas bahan pokok seperti beras dan bumbu-bumbuan
memberi kontribusi kenaikan harga yang sangat besar pada inflasi
volatile food selama tahun 2010. Kebijakan Pemerintah untuk menaikkan
-0,5
0
0,5
1
1,5
2
Januari
Maret
Mei
Juli
September
November
Januari
Maret
Mei
Juli
September
November
Januari
Maret
Mei
Juli
September
November
Januari
Maret
Mei
Juli
September
November
84
harga barang atau jasa yang bersifat strategis seperti tarif dasar listrik
kelompok rumah tangga ikut memengaruhi tingkat inflasi.
Pada tahun 2011 inflasi mencapai angka tertinggi pada bulan
september yakni sebesar 0,93% dan inflasi terendah terjadi pada bulan
maret sebesar 0,32%. Dengan tingkat inflasi tahunan sebesar 3,79%.
Inflasi terutama dipicu oleh inflasi volatile food yang masih tinggi,
selain akibat dari kenaikan harga komoditas internasional dan rencana
kebijakan pemerintah di bidang komoditas strategis. Di tingkat daerah
peningkatan koordinasi melalui forum TPID juga cukup efektif dalam
membantu penurunan tekanan inflasi sebagaimana tercermin dari
penurunan inflasi di hampir semua daerah di Indonesia.
Pada tahun 2012 dengan tingkat inflasi tahunan sebesar 4,3%
sepanjang Januari sampai Desember didukung oleh faktor musim, harga
komoditas pangan global yang sedang turun, dan penundaan kenaikan
tarif listrik serta harga BBM bersubsidi. BPS mencatat inflasi tertinggi
terjadi pada bulan oktober yakni sebesar 0,95% dan inflasi terendah
terjadi pada bulan November sebesar 0,01 %.
(Laporan Perekonomian Indonesia Tahunan)
b. BI Rate
BI Rate merupakan suku bunga dengan tenor 1 bulan yang
diumumkan oleh bank Indonesia secara periodik yang berfungsi sebagai
sinyal kebijakan moneter. Secara sederhana, BI rate merupakan indikasi
85
dari suku bunga jangka pendek yang diinginkan Bank Indonesia dalam
upaya untuk mencapai target inflasi.
BI rate digunakan sebagai acuan dalam operasi moneter untuk
mengarahkkan agar suku bunga SBI 1 bulan hasil lelang operasi pasar
terbuka berada disekitar BI rate. Selanjutnya suku bunga BI rate
diharapkan mempengaruhi PUAB, suku bunga simpanan, dan suku
bunga lainnya dalam jangka panjang.Sasaran akhir suatu kebijakan
moneter dalam arti luas mencakup stabilitas harga, pertumbuhan
ekonomi, perluasan kesempatan kerja, keseimbangan neraca
pembayaran, stabilitas pasar uang, dan stabilitas pasar valuta asing.
Data dari perhitungan tingkat suku bunga bank Indonesia diambil
setiap akhir bulan mulai dari bulan Januari tahun 2009 sampai dengan
bulan Desember tahun 2012, data diperoleh dari laporan moneter Bank
Indonesia.
Tabel 4.2. Perkembangan BI Rate Periode 2009-2012
Bulan BI Rate (%) 2009 2010 2011 2012
Januari 8,25 6,5 6,75 5,75 Februari 7,75 6,5 6,75 5,75 Maret 7,5 6,5 6,75 5,75 April 7,25 6,5 6,75 5,75 Mei 7,00 6,5 6,75 5,75 Juni 6,75 6,5 6,75 5,75 Juli 6,5 6,5 6,75 5,75 Agustus 6,5 6,5 6,75 5,75 September 6,5 6,5 6,50 5,75 Oktober 6,5 6,5 6,00 5,75 November 6,5 6,5 6,00 5,75 Desember 6,5 6,5 6,00 5,75
Sumber: Bank Indonesia (data diolah)
86
Dari tabel 4.2 dapat dilihat perkembangan BI Rate di Indonesia pada
tahun 2009 hingga tahun 2012 mengalami fluktuatif. Sepanjang tahun
pengamatan tingkat suku bunga tertinggi terdapat pada bulan Januari 2009
yakni sebesar 8,25%, sedangkan yang terendah adalah terjadi sepanjang
2012 sebesar 5,75%. Agar lebih mudah dipahami dan komunikatif data
tersebut dapat dilihat dari grafik berikut:
Gambar 4.2. Perkembangan BI rate di Indonesia periode Tahun 2009-2012
Sumber: Data diolah
Perkembangan tingkat suku bunga di Indonesia sejak tahun 2009
hingga tahun 2012 cenderung mengalami penurunan. Penurunan suku
bunga salah satunya disebabkan optimisme pemerintah dan Bank sentral
dalam menghadapi gejolak ekonomi di masa yang akan datang.
Kondisi ekonomi di luar negeri pasca tahun 2009 yang menunjukan
tren positif menyebabkan pemerintah optimis untuk menentukan proyeksi
ekonomi Indonesia di masa yang akan datang. Hal tersebut berdampak
tertekannya angka BI Rate yang membuat perekonomian dalam negeri
kembali bergairah.
5
6
7
8
9
Ja…
M…
Mei
Juli
Se…
No…
Ja…
M…
Mei
Juli
Se…
No…
Ja…
M…
Mei
Juli
Se…
No…
Ja…
M…
Mei
Juli
Se…
No…
Tingkat Suku Bunga
87
Pada tahun 2009 Bank Indonesia menurunkan BI Rate dengan
besaran yang berbeda dalam tiga episode, dengan mempertimbangkan
secara menyeluruh berbagai kondisi terkini dan prospek perekonomian
ke depan. Pada episode pertama, yaitu Januari-Maret 2009 penurunan BI
Rate dilakukan cukup agresif sebesar 50 bps setiap bulan sehingga pada
Maret 2009 tercatat pada level 7,75%. Respon penurunan BI Rate yang
agresif itu ditempuh dengan mempertimbangkan tekanan pada sistem
keuangan yang masih tinggi dan tren perlambatan pertumbuhan ekonomi
yang masih berlanjut, sedangkan tekanan inflasi ke depan diperkirakan
masih belum kuat. Pada episode kedua, yaitu April-Agustus 2009
penurunan BI Rate ditetapkan lebih kecil menjadi 25 bps per bulan
hingga mencapai 6,50% pada Agustus 2009. Pada episode ketiga, yaitu
September-Desember 2009 BI Rate dipertahankan di level 6,50%.
Dengan perkembangan tersebut, BI Rate pada tahun 2009 telah menurun
sebesar 275 bps dibandingkan Desember 2008 sebesar 9,25%.
Sepanjang tahun 2010, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate
sebesar 6,5% yang lebih didasari oleh pertimbangan bahwa sumber
tekanan inflasi terutama pada sisi suplai perekonomian akibat
terganggunya pasokan dan permasalahan distribusi bahan pangan. Di sisi
permintaan domestik, berbagai indikator menunjukkan indikasi awal
pemulihan ekonomi dengan struktur yang lebih kuat dimana kenaikan
konsumsi diikuti oleh perbaikan investasi. Bank Indonesia memandang
pentingnya menjaga momentum pemulihan ekonomi yang terjadi.
88
Kebijakan moneter pada awal tahun 2011 ditandai dengan
dipertahankannya level BI Rate pada 6,5%. Kebijakan moneter tersebut
merupakan kelanjutan dari stance kebijakan moneter selama tahun 2010.
Level BI Rate sebesar 6,5% dipandang masih konsisten dengan
pencapaian sasaran inflasi ke depan dan tetap kondusif untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan serta mendorong intermediasi perbankan. Pada
bulan Februari 2011, BI Rate dinaikkan 25 bps menjadi 6,75% sebagai
langkah antisipatif untuk mengendalikan ekspektasi inflasi yang pada
saat itu terindikasi mulai meningkat.
Di tengah ketidakpastian perekonomian global, pada tahun 2012
langkah-langkah yang terukur dan terintegrasi diperlukan guna
memastikan penyesuaian defisit transaksi berjalan berlangsung secara
gradual menuju level yang sustainable. Langkah kebijakan tersebut
ditempuh sekaligus untuk memberikan ruang bagi kondisi sektor riil yang
tetap solid, didukung oleh inflasi yang tetap terkendali. Dengan arah
kebijakan tersebut, Bank Indonesia tetap mempertahankan BI Rate
sepanjang triwulan III-2012 pada level 5,75%. Bank Indonesia
memandang bahwa tingkat suku bunga tersebut masih konsisten dengan
tekanan inflasi yang rendah dan terkendali sesuai dengan sasaran inflasi
tahun 2012 dan 2013, yaitu 4,5% ± 1%. Untuk memperkuat sinyal
kebijakan moneter, Bank Indonesia memperkuat operasi moneter untuk
mendukung stabilitas nilai tukar rupiah dan pengendalian likuiditas.
Sejalan dengan itu, sementara suku bunga BI Rate dipertahankan tetap
89
pada tingkat 5,75%, koridor bawah operasi moneter dipersempit dengan
menaikkan suku bunga Deposit Facility.
(Laporan Perekonomian Indonesia Tahunan)
c. Pertumbuhan Pembiayaan
Menurut Undang-undang perbankan No 10 Tahun 1998
pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu
tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Menurut Arifin (2006:200) disebut pembiayaan karena bank
syariah menyediakan dana guna membiayai kebutuhan nasabah yang
memerlukan dan layak memperolehnya. Kegiatan pembiayaan
merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas
penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang
merupakan unit defisit.
Data pertumbuhan pembiayaan yang digunakan adalah
perkembangan pembiayaan per bulan periode Januari 2009 hingga
Desember 2012. Data tersebut diperoleh dari total pembiayaan
disalurkan oleh perbankan syariah yang dipublikasikan dalam situs
www.bi.go.id. (diakses pada tanggal 1 April 2013 pukul 20:45 wib).
Untuk memperoleh data pertumbuhan setiap bulan maka dilakukan
perhitungan sebagai berikut:
90
Tabel 4.3. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah di Indonesia
Periode 2009-2012 Bulan Pertumbuhan Pembiayaan (Miliyar Rupiah)
2009 2010 2011 2012 Januari 38.201 47.140 69.724 101.689 Februari 38.843 48.479 71.449 103.713 Maret 39.308. 50.206 74.253 109.116 April 39.726. 51.651 75.726 108.767 Mei 40.714 53.223 78.619 112.844 Juni 42.195 55.801 82.616 117.592 Juli 42.828 57.633 84.556 120.910 Agustus 43.890 60.275 90.540 124.946 September 44.523 60.970 92.839 130.357 Oktober 45.242 62.995 96.805 135.581 November 45.726 65.942 99.427 140.318 Desember 46.886 68.181 102.665 147.505
Sumber: Statistik Perbankan Syariah (data diolah)
Dari tabel 4.3. dapat dilihat bahwa pertumbuhan pembiayaan
perbankan syariah di Indonesia pada tahun 2009 hingga tahun 2012
mengalami fluktuasi dan cenderung terus meningkat. Hingga akhir tahun
2012 yang merupakan batas tahun pengamatan, jumlah pembiayaan
perbankan syariah yang telah disalurkan mencapai Rp
135.581.000.000.000. Berdasarkan data di atas rasio FDR perbankan
syariah di Indonesia dalam beberapa tahun selalu menembus angka lebih
dari 100%
Agar lebih mudah dipahami dan komunikatif data tersebut dapat
dilihat dari grafik berikut:
91
Gambar 4.3. Perkembangan Pembiayaan yang Disalurkan Perbankan Syariah
Periode Tahun 2009-2012 (dalam Miliyar Rupiah)
Sumber: Data diolah
Pada tahun 2009 dana yang telah disalurkan oleh perbankan
syariah kepada masyarakat berjumlah Rp 45.762.000.000.000 tumbuh
sebesar 0,41% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2010 kegiatan
penyaluran dana perbankan syariah dalam bentuk pembiayaan
meningkat signifikan menjadi Rp62.995.000.000 dengan laju
pertumbuhan 34,85% (yoy) lebih tinggi dari periode yang sama di tahun
2009 sebesar 18,16% (yoy). Peningkatan pembiayaan ini
mengindikasikan peningkatan kinerja sektor riil mengingat bahwa
pembiayaan perbankan syariah sebagian besar disalurkan ke sektor riil.
Membaiknya kinerja sektor riil terutama didukung oleh semakin
kondusifnya perekonomian nasional pasca krisis. Tahun 2011
pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah juga mengalami
Januari
Maret
Mei
Juli
September
November
Januari
Maret
Mei
Juli
September
November
Januari
Maret
Mei
Juli
September
November
Januari
Maret
Mei
Juli
September
November
160.000 140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000
0
92
pertumbuhan. Dana yang disalurkan masyarakat hingga akhir tahun
2011 mencapai Rp 102.665.000.000.000 atau tumbuh sebesar 46%
(yoy). Penambahan jumlah unit operasional bank dan penambahan
produk-produk pembiayaan merupakan salah satu sebab pesatnya
pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah di Indonesia.
Sementara itu pada tahun 2012 seperti pencapaian pada tahun
sebelumnya, perbankan syariah tetap berkomitmen untuk
menggerakkan sektor riil dan mengoptimalkan pencapaian tersebut.
Penyaluran dana yang disalurkan ke masyarakat juga terus meningkat.
Pembiayaan sebagai upaya lembaga finansial dalam menggerakkan
sektor riil telah mendapat perhatian tinggi dari perbankan syariah. Dana
sebesar RP 147.505.000.000.000 disalurkan ke berbagai sektor melalui
skim-skim pembiayaannya atau tumbuh sebesar ±40%.
(Outlook Perbankan Syariah Indonesia Tahunan )
d. Ukuran Bank
Variabel ukuran perusahaan (SIZE) diukur dengan logaritma
natural (Ln) dari total assets. Hal ini dikarenakan besarnya total assets
masing-masing perusahaan berbeda bahkan mempunyai selisih yang
besar, sehingga dapat menyebabkan nilai yang ekstrim. Untuk
menghindari adanya data yang tidak normal tersebut maka data total
assets perlu di Ln kan.
Data total aset perbankan syariah yang digunakan adalah total
aset per bulan periode Januari 2009 hingga Desember 2012.
93
Tabel 4.4. Perkembangan Aset Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2009-2012
Bulan Aset perbankan Syariah (Miliyar Rupiah)
2009 2010 2011 2012 Januari 51.814 67.436 95.473 143.888 Februari 52.152 67.963 95.987 145.624 Maret 51.678 68.543 191.189 151.862 April 52.212 70.146 100.568 144.275 Mei 53.194 71.125 104.333 147.543 Juni 55.238 75.205 109.750 155.412 Juli 55.610 78.140 112.864 155.666 Agustus 57.012 79.641 116.807 161.534 September 58.034 83.454 123.362 168.660 Oktober 59.679 85.881 127.150 174.094 November 61.359 90.387 132.462 179.871 Desember 66.090 97.519 145.467 195.015
Sumber: Statistik Perbankan Syariah (data diolah)
Dari tabel 4.4. dapat dilihat bahwa total aset yang merupakan
proksi dari ukuran bank perbankan syariah di Indonesia, pada tahun 2009
hingga tahun 2012 mengalami fluktuatif dan cenderung terus meningkat.
Hingga akhir tahun 2012 yang merupakan batas tahun pengamatan, total
aset perbankan syariah telah mencapai Rp179.871.000.000.000.
Sementara gejolak krisis Eropa yang sempat terjadi pada 2010 tidak
berpengaruh signifikan terhadap kondisi perbankan syariah nasional.
Relatif rendahnya tingkat integrasi antara perbankan syariah dengan
sistem keuangan global, serta minimnya eksposur valas perbankan
syariah, menjadi faktor yang menyebabkan terhindarnya perbankan
syariah dari pengaruh langsung gejolak perekonomian global.
Agar lebih mudah dipahami dan komunikatif data tersebut dapat
dilihat dari grafik berikut:
94
Gambar 4.4. Perkembangan Total Asset Perbankan Syariah Periode 2009-2012
Sumber: Statistik Perbankan Syariah (data diolah)
Berdasarkan gambar diatas pada tahun 2009 yang merupakan tahun
awal pengamatan total aset perbankan syariah adalah sebesar Rp
61.359.000.000.000. Angka tersebut telah berhasil mencakup 5% dari aset
perbankan nasional. Terbitnya peraturan perbankan tentang surat
berharga syariah negara (sukuk) merupakan salah satu penyebab
melesatnya perolehan total aset perbankan syariah di Indonesia pada
tahun 2009.
Menurut data Bank Indonesia (BI), Pada tahun 2010 total aset
perbankan syariah telah mencapai Rp 85,5 triliun atau tumbuh sebesar
46,67% (yoy) pada November 2010 atau meningkat dibandingkan
periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 16,72%. Secara rata-
rata, total aset perbankan syariah tumbuh di atas 33% per tahun. Tingkat
pertumbuhan yang tinggi tersebut diperkirakan akan terus berlanjut
Januari
Maret
Mei
Juli
September
November
Januari
Maret
Mei
Juli
September
November
Januari
Maret
Mei
Juli
September
November
Januari
Maret
Mei
Juli
September
November
250.000
200.000
150.000
100.000
50.000
0
95
hingga beberapa tahun ke depan seiring dengan semakin bertambahnya
jumlah bank syariah di Indonesia.
Pada tahun 2011 volume usaha perbankan syariah dalam kurun
waktu satu tahun terakhir, khususnya Bank Umum Syariah (BUS) dan
Unit Usaha Syariah (UUS), mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Total aset per Desember 2011 (yoy) telah mencapai Rp
132.462.000.000.000 atau meningkat tajam sebesar 48,10% yang
merupakan pertumbuhan tertinggi sepanjang 3 tahun terakhir.
Pertumbuhan aset yang tinggi tersebut terkait erat dengan ekspansi
perbankan syariah terutama pasca disahkannya Undang-undang No.21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Selain itu, upaya pengembangan
perbankan syariah yang dilakukan secara sinergis antara Bank Indonesia
dan pelaku industri yang tergabung dalam iB campaign baik untuk
funding maupun lending berpengaruh positif terhadap pertumbuhan aset
perbankan syariah.
Di tahun 2012 yang merupakan akhir periode pengamatan, total
aset perbankan syariah terus melonjak, meski sempat terkena dampak
dari pemindahan dana haji oleh pemeritah. Pertumbuhan aset
perbankan syariah tidak setinggi pertumbuhan pada periode yang sama
di tahun sebelumnya. Hingga bulan Desember 2012 pertumbuhan aset
perbankan syariah mencapai ± 37% (yoy) dan total asetnya menjadi ±
Rp179 triliun.
96
e. NPF UKM
Kredit tak lancar adalah kredit yang masih dilakukan
pembayarannya, tetapi lebih lambat dari jadwal yang seharusnya.
Kredit tak lancar dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu: kredit kurang
lancar, diragukan, dan macet.
Data NPF yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat
NPF bulanan pada sektor ukm perbankan syariah Indonesia periode
Januari 2009 hingga Desember 2012. NPF tersebut diperoleh dari total
pembiayaan non lancar sektor UKM dibagi dengan total pembiayaan
yang disalurkan yang tercatat dalam Statistik Perbankan Syariah yang
dipublikasi dalam situs www.bi.go.id.
Tabel 4.5 Non Performing Financing (NPF) sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia
Periode 2009-2012 Bulan Rasio Pembiayaan Bermasalah (%)
2009 2010 2011 2012 Januari 2.754 3.693 2.719 2.236 Februari 3.416 3.845 2.990 2.322 Maret 3.442 3.225 2.970 2.184 April 3.557 3.638 3.107 2.230 Mei 3.173 3.872 3.097 2.293 Juni 2.782 3.082 2.895 2.228 Juli 3.509 3.455 3.078 2.189 Agustus 3.559 3.477 2.935 2.119 September 3.735 3.346 3.039 1.894 Oktober 3.609 3.330 2.805 1.774 November 3.595 3.459 2.277 1.703 Desember 3.436 2.675 2.084 1.397
Sumber: Statistik Perbankan Syariah (data diolah)
Kredit atau pembiayaan yang disalurkan dikatakan bermasalah
menurut Manurung dan Rahardja (2004:196) jika pengembaliannya
terlambat dibanding jadwal yang direncanakan, bahkan tidak
97
dikembalikan sama sekali. Dalam konteks Indonesia, kredit atau
pembiayaan bermasalah dapat dikelompokan menjadi kredit tak lancar
dan macet.
Dari tabel 4.5. dapat dilihat bahwa rasio pembiayaan bermasalah
atau NPF pada tahun 2009 hingga tahun 2012 mengalami fluktuasi.
Hingga akhir tahun 2012 yang merupakan batas tahun pengamatan, Rasio
pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah Indonesia
cenderung stabil yakni dengan rata-rata NPF sebesar 2,06 % dengan
jumlah pembiayaan yang bermasalah sebesar Rp 2.060.000.000.000.
Agar lebih mudah dipahami dan komunikatif data tersebut dapat
dilihat dari grafik berikut:
Gambar 4.5. Perkembangan Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM periode
Tahun 2009-2012 (dalam %)
Sumber: Statistik Perbankan Syariah (data diolah)
Pada tahun 2010 terjadi peningkatan kinerja perbankan syariah
yang tercermin pada menurunnya pembiayaan bermasalah. Dengan
0,01
0,015
0,02
0,025
0,03
0,035
0,04
0,045
Januari
Maret
Mei
Juli
Septe…
Novem…
Januari
Maret
Mei
Juli
Septe…
Novem…
Januari
Maret
Mei
Juli
Septe…
Novem…
Januari
Maret
Mei
Juli
Septe…
Novem…
Rasio NPF UKM
98
mengacu perkembangan pada rasio non performing financing (NPF)
yang menurun menjadi sebesar 3,595%. Kondisi ini memperlihatkan
bahwa bank syariah semakin berhati-hati dalam menyalurkan
pembiayaannya dan kemampuan pengelolaan risiko perbankan syariah
semakin membaik.
Sementara itu pada tahun 2012 yang merupakan akhir periode
pengamatan, telah terjadi penurunan tingkat pembiayaan bermasalah
pada sektor UKM. Pada bulan Desember tahun 2012, tingkat pembiayaan
bermasalah pada sektor UKM adalah sebesar 1,7 % atau sebesar RP
2.060.000.000.000.
2. Analisis Pengujian Statistik
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah variabel bebas
dan variabel terikat mempunyai distribusi normal. Maksud dari
distribusi normal adalah data akan mengikuti garis diagonal dan
menyebar disekitar garis diagonal. Uji normalitas dimaksudkan untuk
menguji apakah nilai residual yang telah distandarisasi pada model
regresi berdistribusi normal atau tidak. Nilai residual dikatakan
berdistribusi normal jika nilai residual terstandarisasi tersebut
sebagian besar mendekati nilai rata-ratanya. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan uji normalitas dengan analisis grafik dan uji
Kolmogorov-Smirnov.
99
1) Analisis Grafik Histogram
Gambar 4.6. Histogram
Sumber: Data diolah
Berdasarkan grafik histogram pada gambar 4.6. tampak
bahwa residual terdistribusi secara normal dan berbentuk simetri
tidak menceng ke kanan atau ke kiri atau dapat dikatakan
histogramnya menunjukan pola distribusi normal.
2) Analisis Grafik dengan Normal Probability Plot
Gambar 4.7. Grafik P-Plot
100
Hasil uji normalitas data di atas, menunjukan bahwa data
menyebar dan mengikuti arah garis diagonal. Maka, dapat
disimpulkan bahwa model yang digunakan dalam analisis ini telah
memenuhi asumsi normalitas data.
3) Uji Kolmogorv-Smirnov
Tabel 4.6. Uji Kolmogorov-Smirnov
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 48
Normal Parametersa Mean .0000000
Std. Deviation .00299264
Most Extreme
Differences
Absolute .073
Positive .073
Negative -.055
Kolmogorov-Smirnov Z .503
Asymp. Sig. (2-tailed) .962
a. Test distribution is Normal.
Berdasarkan tabel 4.6 di atas, maka dapat disimpulkan data
dalam penelitian ini berdistribusi normal dilihat dari nilai Sig > α
atau 0,962 > 0,05.
b. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas diperlukan untuk mengetahui ada atau
tidaknya variabel independen yang memiliki kemiripan dengan
variabel independen lain dalam suatu model. Kemiripan antar variabel
101
independen dalam suatu model menyebabkan terjadinya korelasi yang
sangat kuat antara satu variabel independen dengan satu variabel yang
lain. Selain itu, deteksi terhadap uji multikolieneritas juga bertujuan
untuk menghindari kebiasan dalam proses pengambilan kesimpulan
mengenai pengaruh pada uji parsial masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen.
Mengukur multikolinieritas dapat dilihat dari nilai Tolerance dan
Variance InflationFactor (VIF). Tolerance mengukur variabilitas
variabel independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama
dengan nilai VIF tinggi karena VIF=1/tolerance. Nilai cut off yang
umum dipakai untuk menunjukan adanya multikolinieritas adalah nilai
tolerance<0,010 atau sama dengan VIF< 10. Berikut ini adalah hasil
dari uji Multikolinieritas:
Tabel 4.7. Uji Multikolineritas dengan Nilai Tolerance dan VIF
(Variance Inflation Factor)
102
Berdasarkan tabel 4.7 di atas, nilai Tolerance variabel bebas
inflasi = 0,964, BI Rate = 0,322, pertumbuhan pembiayaan = 0,721,
dan ukuran bank = 0,395. Sedangkan nilai VIF variabel bebas Inflasi
= 1,037, BI rate = 3,108, pertumbuhan pembiayaan = 1,387, dan
ukuran bank = 2,535. Dapat disimpulkan bahwa model regresi
dinyatakan bebas dari multikolineritas karena nilai tolerance > 0,01
dan nilai VIF < 10.
c. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada
korelasi antara anggota serangkaian data observasi yang diuraikan
menurut waktu (time series) atau ruang (cross section). Salah satu
penyebab munculnya masalah otokorelasi adalah adanya kelembaman
(inertia) yang artinya kemungkinan besar akan mengandung saling
ketergantungan (interdependence) pada data observasi periode
sebelumnya dan periode sekarang.Salah satu ukuran dalam
menentukan ada tidaknya masalah otokorelasi adalah dengan menguji
Durbin-Watson (DW). Berikut ini adalah hasil uji aotokorelasi dengan
metode Durbin-Watson (DW) pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.8. Uji Durbin-Watson (DW)
Model Durbin-Watson
1 1,864
103
Berdasarkan pada tabel 4.8. di atas, nilai Durbin-Watson (DW)
sebesar 1,864. Maka dapat disimpulkan pada model regresi ini tidak
terdapat gejala autokorelasi karena nilai DW diantara du < d <4-du
atau 1,7323 < 1,864 < 2,136.
d. Uji Heterokedastisitas
Heterokedastisitas yaitu kondisi di mana semua residual atau
error mempunyai varian yang berubah-ubah atau tidak konstan. Untuk
mengetahui apakah suatu data bersifat heterokedastisitas atau tidak,
maka perlu pengujian. Pengujian heterokedastisitas dalam pada
penelitian ini menggunakan metode analisis grafik scatterplot dan
metode park. Berikut hasil dari metode yang dilakukan:
1) Grafik Scatterplot
Ada atau tidaknya heterokedatisitas pada suatu model dapat
dilihat dari pola gambar scatterplot model tersebut. Analisis pada
gambar scatterplot yang menyatakan model regresi linear berganda
tidak terdapat heterokedatisitas jika:
a) Titik-titik menyebar di atas dan di bawah atau di sekitar
angka 0.
b) Titik-titik data tidak mengumpul hanya di atas atau di bawah
saja.
104
c) Penyebaran titik-titik data tidak boleh membentuk pola
bergelombang melebar kemudian menyempit dan melebar
kembali.
d) Penyebaran titik-titik data sebaiknya tidak berpola
Gambar 4.8 Hasil Uji Heterokedatisitas
Gambar 4.8. menunjukan bahwa titik-titik data menyebar di
atas, di bawah, dan disekitar angka nol. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa model regresi berganda ini terbebas dari
asumsi klasik heterokedatisitas dan layak digunakan dalam
penelitian.
2) Uji Park
Metode uji Park yaitu dilakukan dengan meregresikan nilai
residual (Lnei2) dengan masing-masing variabel dependen (LnX1,
LnX2, LnX3, dan LnX4). Kriteria pengujian dengan menggunakan
metode park adalah sebagai berikut:
105
Ho : tidak ada gejala heteroskedastisitas
Ha : ada gejala heteroskedastisitas
Ho diterima bila –t tabel < t hitung < t tabel berarti tidak
terdapat heteroskedastisitas dan Ho ditolak bila t hitung > t tabel
atau -t hitung < -t tabel yang berarti terdapat heteroskedastisitas.
Berikut ini adalah hasil uji heterokedatisitas dengan menggunakan
metode park:
Tabel 4. 9
Tabel Uji Park
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) -32.294 20.221 -1.597 .119
LNX1 .122 .295 .068 .413 .682
LNX2 8.696 7.105 .360 1.224 .229
LNX3 -.455 .583 -.146 -.782 .440
LNX4 .425 1.470 .087 .289 .774
a. Dependent Variable: LNRES_2
Berdasarkan tabel 4.9 di atas, dapat dilihat bahwa nilai t
hitung Inflasi (LNX1) = 0,431, BI Rate (LNX2) = 1,224,
pertumbuhan pembiayaan (LNX3) = -0,782, dan bank size
(LNX4) = 0,289. Sedangkan nilai t tabel dapat dicari pada tabel t
dengan df = n-2 atau 48-2 = 46 dengan signifikansi 0,05 maka di
dapat nilai t tabel sebesar 2,012. Karena nilai t hitung masing-
106
masing variabel bebas berada pada –t tabel < t hitung < t tabel,
maka Ho diterima artinya pengujian dengan menggunakan metode
park disimpulkan tidak ada gejala heteroskedastisitas. Dengan ini
dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukannya masalah
heteroskedastisitas pada model regresi ini.
3. Pengujian Hipotesis
a. Uji F
Uji Fhitung digunakan untuk menguji pengaruh secara simultan
variabel bebas terhadap variabel terikatnya untuk menguji ketepatan
model (goddes of fit). Jika variabel bebas memiliki pengaruh secara
simultan (bersama-sama) terhadap variabel terikat maka model
persamaan regresi masuk dalam kriteria cocok atau fit. Sebaliknya,
jika tidak terdapat pengaruh secara simultan maka model masuk
dalam kategori tidak cocok atau not fit.
Adapun cara untuk melakukan pengujian uji F ini, dengan
menggunakan tabel ANOVA (Analysis of Variance) dengan melihat
nilai signifikasi (Sig < 0,05 atau 5%). Jika nilai signifikasi >0,05 maka
H1 ditolak, sebalikya jika nilai signifikasi <0,05 maka H1 diterima.
Berikut adalah tabel ANOVA pada tabel 4.10 di bawah ini:
107
Tabel 4.10. Uji F
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 14.354 4 3.589 31.330 .000a
Residual 4.925 43 .115
Total 19.279 47
a. Predictors: (Constant), UKURAN BANK, INFLASI, G FIN, BI RATE
b. Dependent Variable: NPF UKM
Berdasarkan tabel 4.10. di atas nilai Fhitung diperoleh 31,330 α 5%.
Numerator adalah (jumlah variabel bebas – 1) atau 4-1 = 3 dan
Denumerator adalah (jumlah kasus – jumlah variabel bebas) atau 48-4 =
44 maka Ftabel adalah 2,59. Sementara nilai sig sebesar <0,05 (0,000<
0,05) maka Ho ditolak, sehingga hipotesis yang menyatakan Tidak ada
pengaruh antara Inflasi, BI Rate, Pertumbuhan Pembiayaan, dan Bank
Size terhadap NPF Sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia ditolak.
Dengan demikian terbukti bahwa terdapat pengaruh antara Inflasi, BI
Rate, Pertumbuhan Pembiayaan, dan Bank Size terhadap NPF Sektor
UKM Perbankan Syariah Indonesia.
b. Uji t
Setelah melakukan uji koefiensi regresi secara keseluruhan, maka
langkah selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara
individu atau uji t. Uji t digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh masing-masing variabel independen secara parsial terhadap
108
variabel dependen yang diuji pada tingkat signifikasi 0,05 maka
variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen.
Tabel 4.11. Hasil Uji t
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 6.029 1.744 3.456 .001
INFLASI .065 .124 .041 .526 .601
BI RATE .269 .158 .231 1.703 .096
G FIN -3.174 1.015 -.284 -3.128 .003
Bank Size -1.041 .185 -.689 -5.616 .000
a. Dependent Variable: NPF UKM
Berdasarkan tabel di atas, besarnya pengaruh masing-masing
variabel independen secara individual (parsial) terhadap variabel
dependen dapat dijelaskan sebagai berikut: Inflasi, dari pengujian
hipotesis menunjukan bahwa t hitung < t tabel (0,526 < 2,024) dan
tingkat signifikasinya sebesar 0,601 lebih besar dari taraf signifikasi α
5% (0,05) (sig> α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H0
diterima dan H1 ditolak. Artinya, Inflasi tidak mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap rasio pembiayaan bermasalah. Dan koefisien
regresi sebesar 0,065 menunjukan hubungan yang positif.
Pada tabel 4.11. di atas diketahui bahwa BI Rate menunjukan
bahwa t hitung < t tabel (1,703 < 2,024) dan tingkat signifikasinya
109
sebesar 0,096 lebih besar dari taraf signifikasi α 5% (0,05) (sig> α).
Dengan demikian, secara parsial hipotesis H0 diterima dan H1 ditolak.
Artinya, BI Rate tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM. Dan koefisien regresi
sebesar 0,269 menunjukan hubungan yang positif.
Variabel pertumbuhan pembiayaan menunjukan bahwa t hitung
> t tabel (-3,128 > 2,024) dan tingkat signifikasinya sebesar 0,003
lebih kecil dari taraf signifikasi α 5% (0,05) (sig< α). Dengan
demikian, secara parsial hipotesis H0 ditolak dan H1 diterima.
Artinya, Pertumbuhan pembiayaan mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM. Dan
koefisien regresi sebesar -3,174 menunjukan hubungan yang negatif.
Artinya jika terjadi kenaikan pertumbuhan pembiayaan sebesar 1%
maka rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM akan mengalami
penurunan sebesar 3,174%.
Sementara itu pada tabel 4.11. di atas menjelaskan bahwa
variabel bank size menunjukan t hitung > t tabel (-5,616 > 2,024) dan
tingkat signifikasinya sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf signifikasi α
5% (0,05) (sig< α). Dengan demikian, secara parsial hipotesis H0
ditolak dan H1 diterima. Artinya, ukuran bank mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM.
Dan koefisien regresi sebesar -1,041 menunjukan hubungan yang
negatif. Artinya jika terjadi kenaikan aset bank sebesar 1 triliun
110
rupiah, maka rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM akan
mengalami penurunan sebesar 1,041%.
Konstanta sebesar 6,029 menyatakan bahwa jika variabel
independen yaitu: inflasi, BI Rate, pertumbuhan pembiayaan, dan
bank size bernilai tetap atau konstan, maka nilai variabel dependen
yaitu rasio pembiayaan bermasalah sektor UKM adalah sebesar 6,029
%.
c. Uji Adjusted R Square (R2 adj)
Koefisien determinasi atau R Square (R2) merupakan besarnya
kontribusi variabel bebas terhadap terikatnya. Semakin tinggi
koefisien determinasi, semakin tinggi kemampuan variabel bebas
dalam menjelaskan variasi perubahan pada variabel terikatnya.
Koefisien determinasi memiliki kelemahan, yaitu bias terhadap jumlah
variabel bebas yang dimasukkan dalam model regresi di mana setiap
penambahan satu variabel bebas dan jumlah pengamatan dalam model
akan meningkatkan nilai R2 meskipun variabel yang dimasukkan
tersebut tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel
terikatnya. Untuk mengurangi kelemahaan tersebut maka digunakan
koefisien determinasi yang telah disesuaikan, Adjusted R Square
(R2adj).
Koefisien determinasi yang telah disesuaikan berarti bahwa
koefisien tersebut telah dikoreksi dengan memasukkan jumlah
111
variabel dan ukuran sampel yang digunakan. Dengan menggunakan
koefisien determinasi yang disesuaikan maka nilai koefisien
determinasi yang disesuaikan itu dapat naik atau turun oleh adanya
penambahan variabel baru dalam model. Selengkapnya mengenai
hasil uji Adj R2 dapat dilihat pada tabel 4.12 di bawah ini.
Tabel 4.12 Uji Adjusted R Square (R2
adj)
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 .863a .745 .721 .338435
a. Predictors: (Constant), LNX4, INFLASI, G FIN, BI RATE
Besarnya angka Adjusted R Square adalah 0,721 atau sebesar
72,1%. Dapat disimpulkan bahwa pengaruh inflasi, BI Rate,
pertumbuhan pembiayaan dan bank size terhadap pembiayaan
bermasalah sektor UKM perbankan syariah Indonesia adalah 72,1% ,
sedangkan sisanya sebesar 27,9% dipengaruhi oleh variabel-variabel
lain yang tidak dimasukan ke dalam penelitian ini. Adapun angka
koefisien korelasi (R) menunjukan nilai sebesar 0,836 yang
menandakan bahwa hubungan antara variabel bebas dan variabel
terikat adalah kuat karena memiliki nilai lebih dari 0,5 (R>0,5) atau
0,863 > 0,5.
112
C. Interpretasi
Berdasarkan tabel 4.11. di atas, maka dapat disusun persamaan regresi
untuk penelitan ini adalah sebagai berikut.
Dimana:
Y = Rasio Pembiayaan Bermasalah sektor UKM (dalam persentase)
X3 = Pertumbuhan Pembiayaan (dalam persentase)
X4 = Ukuran Bank (dalam miliar rupiah)
Dari hasil pengujian hipotesis, maka dapat diinterpretasikan bahwa dari 4
variabel yang digunakan, ada 2 variabel yang memeliki pengaruh signifikan
terhadap variabel dependen (pembiayaan bermasalah sektor UKM), yaitu
pertumbuhan pembiayaan dan ukuran bank. Sementara variabel inflasi dan BI
Rate tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen
(pembiayaan bermasalah sektor UKM).
Adapun interpretasi penulis terhadap hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Y = 6,029 – 3,174 X3 – 1,041X4
113
1. Pengaruh Inflasi terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM
Berdasarkan pada tabel 4.11. di atas, variabel inflasi mempunyai nilai
signifikasi 0,526 > 0,05. Hal ini berarti menerima H0 sehingga dapat
disimpulkan bahwa inflasi tidak berpengaruh terhadap pembiayaan
bermasalah sektor UKM.
Penulis menduga terdapat beberapa faktor yang menyebabkan inflasi
tidak berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM
salah satunya adalah respon lambat dari pihak perbankan syariah terhadap
perubahan kebijakan bank sentral. Respon lambat perbankan syariah
disebabkan oleh kondisi perekonomian yang masih belum pasti pasca krisis
global pada tahun 2008 dan krisis Yunani di 2010 sehingga pihak perbankan
harus menjaga kehati-hatian dalam memberikan pembiayaan. Hal lain yang
menjadi penyebab inflasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
pembiayaan bermasalah sektor UKM adalah kuatnya pangsa pasar
konsumen di Indonesia. Jadi, meskipun terjadi kenaikan harga bahan baku
produksi dan naiknya gaji pegawai perusahaan, masih bisa ditopang dengan
lancarnya kegiatan usaha pengusaha UKM. Hal tersebut berdampak
lancarnya pembayaran hutang pengusaha UKM pada bank.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh
Hogart et al (2005:26), Khemraj dan Pasha (2006:22), Cahyo (2011:102)
dan Swamy (2012:27) yang menyimpulkan bahwa pembiayaan bermasalah
sektor UKM tidak bergantung pada tingkat inflasi.
114
2. Pengaruh BI Rate terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM
Berdasarkan pada tabel 4.11. di atas, variabel BI Rate mempunyai
nilai signifikasi 0,096 > 0,05. Hal ini berarti menerima H0 sehingga dapat
disimpulkan bahwa BI Rate tidak berpengaruh terhadap pembiayaan
bermasalah sektor UKM.
Penulis menduga terdapat beberapa hal yang menyebabkan perubahan
suku bunga (BI Rate) tidak berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan
bermasalah sektor UKM perbankan syariah diantaranya adalah debitur pada
sektor UKM dapat menikmati keuntungan memilih bank syariah sebagai
instrumen pembiayaan mereka, karena angsuran yang harus dibayar tidak
terpengaruh tingkat suku bunga di pasar. Artinya dana angsuran yang harus
dibayarkan setiap bulannya adalah tetap sesuai dengan perjanjian
pembiayaan di awal akad. Maka perubahan tingkat suku bunga tidak lantas
menyebabkan perubahan tingkat pembiayaan bermasalah sektor UKM pada
perbankan syariah, dibandingkan dengan apabila melakukan pinjaman di
perbankan konvensional.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh
Imaduddin (2006:17) dan Saba et al (2012:131) menyimpulkan bahwa
pembiayaan bermasalah sektor UKM tidak bergantung pada Interest Rate
atau BI Rate.
115
3. Pengaruh pertumbuhan pembiayaan terhadap pembiayaan bermasalah
sektor UKM
Berdasarkan pada tabel 4.11. di atas, variabel pertumbuhan
pembiayaan mempunyai nilai signifikasi 0,003<0,05. Hal ini berarti
menerima H1 sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan pembiayaan
berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM.
Hubungan antara pertumbuhan pembiayaan dan pembiayaan permasalah
sektor UKM bersifat negatif. Hasil penelitian ini mendukung hasil
penelitian yang dilakukan oleh Imaduddin (2006:17), Khemraj (2004:26)
dan Swamy (2012:27) menyimpulkan bahwa pertumbuhan pembiayaan
mempunyai pengaruh negatif terhadap pembiayaan bermasalah sektor
UKM.
Sikap kehati-hatian pihak perbankan syariah pasca krisis global tahun
2008 menyebabkan meningkatnya kualitas pembiayaan yang diberikan pada
sektor UKM. Meskipun pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan
syariah untuk sektor UKM meningkat, namun tingkat pembiayaan
bermasalah justru mengalami penurunan yang signifikan. Jenis-jenis
pembiayaan pada perbankan syariah yang bersifat kemitraan menyebabkan
debitur menjadi loyal dan berusaha sekuat tenaga untuk menyukseskan
usahanya dan membayar angsuran pinjaman atau pembiayaan yang
diberikan sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan. Di samping itu,
risiko pembiayaan yang diberikan pada sektor UKM dinilai lebih
116
terdiversifikasi, hal tersebut dibuktikan dengan bertahannya Bank BRI yang
bergerak disektor UKM pada krisis tahun 1998.
4. Pengaruh ukuran bank terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM
Berdasarkan pada tabel 4.11. di atas, variabel ukuran bank mempunyai
nilai signifikasi 0,000<0,05. Hal ini berarti menerima H1 sehingga dapat
disimpulkan bahwa ukuran bank berpengaruh signifikan terhadap
pembiayaan bermasalah sektor UKM. Hubungan antara ukuran bank dan
pembiayaan bermasalah sektor UKM bersifat negatif. Hasil penelitian ini
mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Rajan dan Dhal (2003:37)
dan Swamy (2012:17).
Variabel ukuran bank berpengaruh signifikan negatif terhadap
pembiayaan bermasalah sektor UKM. Hal tersebut mengindikasikan bahwa,
semakin besar ukuran suatu bank, maka akan memiliki prosedur manajemen
risiko yang semakin baik ditunjang dengan teknologi informasi yang
dimiliki (Swamy, 2012:18). Sehingga dapat menekan tingkat pembiayaan
bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah di Indonesia.
117
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab
sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil Uji F, variabel inflasi, BI Rate, pertumbuhan pembiayaan dan bank
size secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan
bermasalah sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia periode tahun
2009-2012.
2. Hasil Uji t, variabel pertumbuhan pembiayaan dan bank size secara
parsial berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor
UKM Perbankan Syariah Indonesia periode tahun 2009-2012.
Kemudian terdapat hubungan yang negatif variabel pertumbuhan
pembiayaan dan ukuran bank terhadap pembiayaan bermasalah sektor
UKM.
3. Nilai Adjusted R Square dalam penelitian ini adalah sebesar 0,721, yang
berarti 72,1% variasi pembiayaan bermasalah sektor UKM dijelaskan
oleh variabel bebas (independen) dan sisanya 27,9% dijelaskan oleh
variabel di luar model penelitian.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis mencoba
mengemukakan implikasi yang mungkin bermanfaat di antarnya:
118
1. Perbankan Syariah
Dengan adanya temuan bahwa pertumbuhan pembiayaan dan
ukuran bank berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan
bermasalah sektor UKM. Sementara itu, variabel makro yakni inflasi
dan BI rate tidak berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan
bermasalah sektor UKM dengan tingkat kontribusi yang berbeda-beda.
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk evaluasi perkembangan
pembiayaan pada sistem Perbankan Syariah. Ukuran aset bank dapat
digunakan untuk meningkatkan pengawasan terhadap rasio NPF dengan
manajemen risiko yang efisien. Sehingga semakin besar suatu bank
dapat memanfaatkan aset yang dimilikinya untuk mengontrol dan
mengawasi pembiayaan yang disalurkannya. Disarankan agar pihak
perbankan syariah terus meningkatkan fungsi manajemen
pembiayaannya dengan bijak. Baik sebelum maupun sesudah
pembiayaan disalurkan pada sektor UKM dengan memanfaatkan sistem
informasi yang memadai. Di samping itu dalam menjalankan
manajemen risikonya, pihak perbankan syariah juga disarankan untuk
turut serta memperhatikan kondisi pasar dengan merespon kebijakan
yang dikeluarkan oleh bank sentral agar bank-bank syariah dapat terus
bersaing di tengah konsumen yang heterogen.
2. Bagi Nasabah Debitur
Implikasi bagi debitur sektor UKM pada khususnya adalah debitur
sektor UKM harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi
119
kelancaran bisnis dalam rangka memenuhi kewajibannya untuk
membayarkan angsuran dari pembiayaan yang telah disalurkan. Dan
disarankan agar menjauhi perilaku moral hazard yang berpotensi
merugikan pihak perbankan syariah selaku pemberi pembiayaan.
Disarankan pula bagi pihak debitur agar memilih skim pembiayaan yang
tepat dan sesuai dengan karateristik bisnis dan kapasitas kemampuannya
mengelola sumber dana agar tidak terjadi default atau pembiayaan yang
tergolong bermasalah.
3. Bagi Akademisi
Penelitian ini akan menambah kepustakaan di bidang manajemen
khususnya perbankan dan dapat dijadikan bahan bacaan untuk
menambah wawasan dan pengetahuan, khususnya tentang manajemen
risiko dan manajemen pembiayaan pada perbankan syariah. Untuk
peneliti selanjutnya sebaiknya memperbanyak jumlah variabel moneter,
misalnya: kurs, harga minyak dunia, PDB dan lainnya. Selain itu bisa
dengan menambah variabel spesifikasi bank seperti struktur
kepemilikan, kebijakan jenis pembiayaan, indikasi moral hazard dan
lainnya.
120
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul. “Dasar Dasar Manajemen Bank Syariah”, Azkia Publisher,
Jakarta, 2009.
Cahyo, Duwi Mario. “Analisis Pengaruh Inflasi, Suku Bunga Kredit, dan Nilai
Tukar terhadap Kredit Bermasalah Sektor Industri pada Perbankan Indonesia”,
Skripsi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
El Tiby, Amr Mohammed. “Islamic Banking: How to Manage Risk and Improve
profitability” , Willey Finance, New Jersey, 2011.
Ghozali, Imam, “Aplikasi Analysis Multivariate dengan program IBM SPSS 19”,
Edisi ke 5, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011.
Greuning, Hennie Van, dan Zamir Iqbal. “Risk Analysis for Islamic Banks”, The
World Bank, Washington DC, 2008.
Gujarati, Damodar. “Ekonometrika Dasar”, Erlangga, Jakarta, 2006.
Hakan, Etem, Ergec, dan Bangil Gulumser. “Impact of Interest Rate on Islamic
and Conventional Banks: The Case of Turkey”, MPRA Paper No. 29848, Turkey,
2012.
Hogart, Glenn. Steffen Sorensen, dan Lea Zicchino. “Stress tests of UK banks
using a VAR approach”, Working Paper no. 282, ISSN 1368-5562, England,
2005.
Imaduddin, Muhammad. “Determinants of Banking Credit Default in Indonesia: a
Comparative Analysis”, Journal of Markfield Institute of Higher Education
(Loughborough University) United Kingdom, 2006.
Jakubik, Petr. “Macroeconomic Environment and Credit Risk”, Jurnal. Czech
National Bank, and the Institute of Economic Studies of Charles University,
Prague, 2007.
121
Karim, Adiwarman A. “Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan”, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Kasmir. “ Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya”, Rajawali Press, Jakarta, 2008.
Khemraj, Tarron dan Sukrishnalall Pasha. “The determinants of non-performing
loans: an econometric case study of Guyana”, Jurnal. Guyana, 2006.
Maski, Ghozali. “Analisis Keputusan Nasabah Menabung: Pendekatan
Komponen dan Model Logistik Studi pada Bank Syariah di Malang”, Jurnal.
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2012.
Minnan, Ahmad Abdul Jalil “Pengaruh Makro Ekonomi terhadap Kinerja
Keuangan PT Bank Muamalat Indonesia”. Tesis (Magister) program Pasca
Sarjana Timur Tengah dan Islam FE UII, 2008.
Putong, Iskandar. “Ekonomi Mikro dan Makro “, Edisi kedua. Penerbit Ghala
Indonesia, Jakarta, 2002.
Rahardja, Pratama dan Mandala Manurung. “Pengantar Ilmu Ekonomi”,
LPFEUI, Jakarta, 2008.
Rajan, Rajiv dan Sarat Chandra Dhal. “Non Performing Loans and Terms of
Credit Public Sector Banks in India: an Empirical Assesment”, Reserve Bank of
India Occasional Papers Vol. 24, No. 3, India, 2003.
Rose, Peter S. “Commercial Bank Management”, Mc Graw Hill, New York ,
2002.
Saba, Irum, Rehana Kouser, dan Muhammad Azeem, “Determinants of Non
Performing Loans: Case of US Banking Sector”, The Romanian Economic
Journal. Year XV no. 44. Rumania. 2012.
Siamat, Dahlan. “Manajemen Lembaga Keuangan”, Edisi ke 5, Lembaga Penerbit
FEUI, Jakarta, 2005.
122
Siregar, Mulya. “Agenda Pengembangan Perbankan Syariah Untuk Mendukung
Sistem Ekonomi yang Sehat di Indonesia: Evaluasi, Prospek, dan Arah
Kebijakan”, IQTISAD Journal of Islamic Economics Vol. 3, No. 1, Jakarta,
2002.
Sugiyono, “Statistika untuk penelitian”, CV Alfabeta, Bandung, 2008
Sukirno, Sadono. “Pengantar Teori Ekonomi Makro”, Rajawali Press, Jakarta
2004.
Supriyatna, Iqbal. “Analisis pengaruh Modal,NPF, dan Inflasi terhadap
Pembiayaan yang disalurkan serta implikasinya terhadap Return on Aset (ROA)
pada perbankan syariah (Studi Kasus pada Bank Muamalat)” Skripsi, Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Sutojo, Siswanto. “Menangani Kredit Bermaslah Konsep dan Kasus”, PT Damar
Mulia Pustaka, Jakarta, 2008.
Swamy, Vighneswara. “Impact of macroeconomic and endogenous factors on non
performing bank assets”, International Journal of Banking and Finance Volume 9
Issue 1, India, 2012.
Tampubolon, Robert. “Manajemen Risiko Pendekatan Kualitatif untuk Bank
Komersial”, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2004.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady. “Pengantar Statistika”, Bumi Aksara,
Jakarta, 2006.
----------, “Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2009”. Bank Indonesia,
Jakarta, 2009.
----------, “Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2010”. Bank Indonesia,
Jakarta, 2010.
----------, “Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2011”. Bank Indonesia,
Jakarta, 2011.
123
----------, “Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2012”. Bank Indonesia,
Jakarta, 2012.
http//: www.bi.go.id/statistikkuangan
http//: www.bps.go.id
124
Lampiran 1: Data-data variabel penelitian dari tahun 2009-2012 No Waktu NPF
UKM Inflasi BI Rate G Fin Asset Bank
Y (%) X1 (%) X2 (%) X3 (%) X4 (Rp) 1 Jan-09 2.754 0.07 8.25 0.412 51.814.000.000.000 2 Feb-09 3.416 0.21 7.75 0.017 52.152.000.000.000 3 Mar-09 3.442 0.22 7.5 0.012 51.678.000.000.000 4 Apr-09 3.557 -0.31 7.25 0.011 52.212.000.000.000 5 Mei-09 3.173 0.04 7.00 0.025 53.194.000.000.000 6 Jun-09 2.782 0.11 6.75 0.036 55.238.000.000.000 7 Jul-09 3.509 0.45 6.5 0.015 55.610.000.000.000 8 Agt-09 3.559 0.56 6.5 0.025 57.012.000.000.000 9 Sept-09 3.735 1.05 6.5 0.014 58.034.000.000.000 10 Okt-09 3.609 0.19 6.5 0.016 59.679.000.000.000 11 Nov-09 3.595 -0.03 6.5 0.011 61.359.000.000.000 12 Des-09 3.436 0.33 6.5 0.025 66.090.000.000.000 13 Jan-10 3.693 0.84 6.5 0.005 67.436.000.000.000 14 Feb-10 3.845 0.30 6.5 0.028 67.963.000.000.000 15 Mar-10 3.225 -0.14 6.5 0.036 68.543.000.000.000 16 Apr-10 3.638 0.15 6.5 0.029 70.146.000.000.000 17 Mei-10 3.872 0.29 6.5 0.030 71.125.000.000.000 18 Jun-10 3.082 0.97 6.5 0.048 75.205.000.000.000 19 Jul-10 3.455 1.57 6.5 0.033 78.140.000.000.000 20 Agt-10 3.477 0.76 6.5 0.046 79.641.000.000.000 21 Sept-10 3.346 0.44 6.5 0.012 83.454.000.000.000 22 Okt-10 3.330 0.06 6.5 0.033 85.881.000.000.000 23 Nov-10 3.459 0.60 6.5 0.047 90.387.000.000.000 24 Des-10 2.675 0.92 6.5 0.034 97.519.000.000.000 25 Jan-11 2.719 0.89 6.75 0.023 95.473.000.000.000 26 Feb-11 2.990 0.13 6.75 0.025 95.987.000.000.000 27 Mar-11 2.970 -0.32 6.75 0.039 191.189.000.000.000 28 Apr-11 3.107 -0.31 6.75 0.020 100.568.000.000.000 29 Mei-11 3.097 0.12 6.75 0.038 104.333.000.000.000 30 Jun-11 2.895 0.55 6.75 0.051 109.750.000.000.000 31 Jul-11 3.078 0.67 6.75 0.023 112.864.000.000.000 32 Agt-11 2.935 0.93 6.75 0.071 116.807.000.000.000 33 Sept-11 3.039 0.27 6.50 0.025 123.362.000.000.000 34 Okt-11 2.805 -0.12 6.00 0.043 127.150.000.000.000 35 Nov-11 2.277 0.34 6.00 0.027 132.462.000.000.000 36 Des-11 2.084 0.57 6.00 0.033 145.467.000.000.000 37 Jan-12 2.236 0.76 5.75 -0.010 143.888.000.000.000 38 Feb-12 2.322 0.05 5.75 0.020 145.624.000.000.000 39 Mar-12 2.184 0.07 5.75 0.052 151.862.000.000.000 40 Apr-12 2.230 0.21 5.75 -0.003 144.275.000.000.000 41 Mei-12 2.293 0.07 5.75 0.037 147.543.000.000.000
125
No Waktu NPF UKM
Inflasi BI Rate G Fin Asset
Y (%) X1 (%) X2 (%) X3 (%) X4 (Rp) 42 Jun-12 2.228 0.62 5.75 0.042 155.412.000.000.000 43 Jul-12 2.189 0.70 5.75 0.028 155.666.000.000.000 44 Agt-12 2.119 0.95 5.75 0.033 161.534.000.000.000 45 Sept-12 1.894 0.01 5.75 0.043 168.660.000.000.000 46 Okt-12 1.774 0.16 5.75 0.040 174.094.000.000.000 47 Nov-12 1.703 0.07 5.75 0.035 179.871.000.000.000 48 Des-12 1.397 0.54 5.75 0.051 195.015.000.000.000
126
Lampiran 2: Tabel Model Regresi, Anova, dan Koefisien
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate
1 .863a .745 .721 .338435
a. Predictors: (Constant), LNX4, INFLASI, G FIN, BI RATE
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 14.354 4 3.589 31.330 .000a
Residual 4.925 43 .115
Total 19.279 47
a. Predictors: (Constant), LNX4, INFLASI, G FIN, BI RATE
b. Dependent Variable: NPF UKM
127
Lampiran 3: Uji Normalitas
128
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 48
Normal Parametersa Mean .0000000
Std. Deviation .00299264
Most Extreme Differences
Absolute .073
Positive .073
Negative -.055
Kolmogorov-Smirnov Z .503
Asymp. Sig. (2-tailed) .962
a. Test distribution is Normal.
129
Lampiran 4: Uji Multikolinieritas dan Autokorelasi
Uji Tolerance & VIF
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) 6.029 1.744 3.456 .001
INFLASI .065 .124 .041 .526 .601 .964 1.037
BI RATE .269 .158 .231 1.703 .096 .322 3.108
G FIN -3.174 1.015 -.284 -3.128 .003 .721 1.387
Ukuran
Bank -1.041 .185 -.689 -5.616 .000 .395 2.535
a. Dependent Variable: NPF UKM
Uji DW
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 .826a .682 .635 .08876 1.864
a. Predictors: (Constant), LNX4B, LNX1B, LNX3B, LNX2B
b. Dependent Variable: LNYB
130
Lampiran 5: Uji Heterokedatisitas
Uji Park
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) -32.294 20.221 -1.597 .119
LNX1 .122 .295 .068 .413 .682
LNX2 8.696 7.105 .360 1.224 .229
LNX3 -.455 .583 -.146 -.782 .440
LNX4 .425 1.470 .087 .289 .774
a. Dependent Variable: LNRES_2