analisis pemanfatan pasca operasi tpa

191
v ANALISIS PEMANFAATAN TPA SAMPAH PASCA OPERASI BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi) ROYADI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 200 6

Upload: safrizal-ibrahim

Post on 04-Jul-2015

6.658 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

v

ANALISIS PEMANFAATAN TPA SAMPAH PASCA

OPERASI BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi)

ROYADI

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

TAHUN 2006

Page 2: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis

Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat

(Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi) adalah karya saya

sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka

Acuan dibahagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2006

Royadi

Nrp.99522708

Page 3: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

iii

ABSTRAK ROYADI. Analisis Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis

Masyarakat (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi). Dibimbing oleh M. Sri Saeni, Lala M. Kolopaking dan Hartrisari Hardjomidjojo.

TPA Bantar Gebang yang beroperasi sejak tahun 1989 selesai kontrak pakainya oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tanggal 31 Desember 2003. Untuk mengatasi permasalahan TPA Sampah Pascaoperasi, perlu dilakukan kajian dan analisis untuk melihat kemungkinan yang terjadi dimasa depan didasarkan pada keadaan saat ini seperti sumberdaya dan lingkungan alam, sosial ekonomi, fisik kimia, mikrobiologi, dan keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat. Tujuan dan manfaat dari penelitian ini antara lain adalah: 1). Melakukan evaluasi terhadap kualitas air sumur, air sungai, air lindi dan mikrobiologi; 2). Memilih alternatif yang sesuai untuk pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah analisis fisik kimia, analisis sosial ekonomi dan prospektif analisis serta Analitic Hierarki Proces (AHP). Kesimpulan dari penelitian ini antara lain adalah: 1). Kualitas fisik kimia dan biologi air sumur, air sungai dan air lindi masih dibawah ambang batas yang diperbolehkan, kecuali untuk kekeruhan air sungai, kandungan nitrat, nitrit, BOD5, COD air lindi. 2). Alternatif pemanfaatan adalah sebagai TPA Terpadu, dengan kegiatan setiap zone sebagai berikut: Zone I dan II sebagai hutan kota/penghijauan, zone III, IV dan zone V sebagai TPA Sampah. Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu menjadi sinergis antara pengelolaan sampah dengan hutan kota/penghijauan, daur ulang dan kompos. Faktor yang dominan dalam penentuan strategi bagi pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat antara lain adalah: luas lahan, IPAS, Peraturan Perundangan, Pendanaan, Keterlibatan Swasta, Teknologi dan donor agency; 3). Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu akan menimbulkan multiplyer effect baik bagi lingkungan, masyarakat sekitar lokasi TPA dan pemerintah sebagai berikut: a). Bagi masyarakat sekitar lokasi TPA, terciptanya lapangan kerja mulai dari perencanaan, kontruksi dan pada saat operasi serta keterlibatan dalam pemilahan sampah, pembuatan kompos dan pembuatan bahan-bahan bangunan. b). Bagi lingkungan pupuk kompos yang dihasilkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan tingkat kesuburan lingkungan melalui kegiatan penghijauan, pemulihan atau memperbaiki ekosistem yang rusak, serta dapat menghemat penggunaan lahan TPA; c). Bagi peningkatan pertanian, pupuk kompos yang dihasilkan dapat mengurangi tingkat keasaman tanah lahan pertanian akibat penggunaan pupuk kimia secara terus menerus, disamping itu pupuk kompos dapat meningkatkan produktivitas lahan; d). Pengembangan ekonomi lokal, dengan terkonsentrasinya tenaga kerja dalam jumlah besar dapat membuka peluang usaha baru bagi kegiatan lainnya berupa kegiatan usaha warungan, usaha-usaha jasa keuangan, jasa cetring untuk makan para perkerja serta usaha rumah/kost/pengontrakan rumah; dan e). Bagi Pemerintah Daerah, terserapnya tenaga kerja unskill dalam kegiatan ini dapat mengurangi kerawanan sosial yang ditimbulkan karena ketiadaan lapangan kerja. Kegiatan hasil produk dari kegiatan ini dapat menjadi sumber PAD bagi pemerintah dan sumber penerimaan pajak bagi negara.

Page 4: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

iv

ABSTRACT

ROYADI. Analysis Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat (Case Study at TPA Bantar Gebang, Bekasi). Under the direction of M. Sri Saeni, Lala M. Kolopaking dan Hartrisari Hardjomidjojo.

TPA Bantar Gebang operating since 1989 finishing contract wear him by Local Government of DKI Jakarta on 31 December 2003, was so that needed effort to see possibility that happened future able to solve problem TPA after operation for based by situation of natural environment and resources, socio -economic, chemical-physical, microbiological, so that the exploiting of being based on the society. The goal of this research area: 1) evaluate to quality well water, river water and microbiological component; 2) Alternative which exploiting TPA garbage after operation being based on society.

Analysis which used in this research is chemical-physical analysis, socio -economic analysis of society, prospective analysis and AHP analysis. Conclusion of this research is: 1) Physical, chemical, biological quality in the up and down wells and waters around TPA by BOD5 and of COD, nitrate, nitrit have been exceed of ESQ (environmental standard quality); 2) Alternatives for re-use of TPA Areais Interated TPA, base on zonation, such as: a). Zones I and II, for city forest/greenery; b). Zone III, IV and V, for TPA itself. The exploited of this TPA as an integrated TPA being sinergy among garbage management with city forest/greenery, re-cyeling and making artificial fertilize (kompos). Dominant factor in determining strategy for exploiting of TPA garbage after operation base on society is volume land, IPAS, regulation, financing, involvement of private sector, technology and donor agency; 3). Exploited TPA as an integrated TPA will drive given multiplyer effect, such as: a). For community around the TPA, open vacancy for employee since the planning, construction and operation the TPA. b). For Environment, production of artificial fertilize (kompos) will be raising (increasing) the land fertilization, revitalization of envoronment, and effectivewly of TPA land use. c). For Agriculture, kompos can dropped land zcid from using chemical fertilize, besides increase land productivity; d). For Development economic locally, increasing of the employee the bussines will be developt such as shop, home rental, finance, and food services. e). For local government, dropping social crisis by employing the unskill employee finally will increasing the PAD.

Page 5: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

vi

JUDUL DISERTASI : ANALISIS PEMANFAATAN TPA SAMPAH PASCA OPERASI

BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus TPA Bantar Gebang

Bekasi)

Nama Mahasiswa : R o y a d i

Nomor Pokok : 99522708

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni, MS

Ketua

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS

Anggota

Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dr. Ir. H. Surjono Hadi Sutjahjo, MS

Tanggal Ujian: 8 Mei 2006

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc

Dekan

Tanggal Lulus:

Page 6: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

vii

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala karunia-Nya, sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang

dilakukan dengan judul Analisis Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis

Masyarakat (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi) dilaksanakan mulai dari

bulan Juli 2004 sampai dengan Nopember 2004. Lokasi Penelitian ini adalah pada

TPA sampah Bantar Gebang, Bekasi, Provinsi Jawa Barat.

Dalam melaksanakan penelitian dan penulisan ini penulis telah banyak

mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan

ini panulis ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr.Ir. M. Sri Saeni, MS, selaku Ketua komisi pembimbing, Dr. Lala M.

Kolopaking, MS dan Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA, selaku anggota komisi

pembimbing atas segala waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan

serta saran yang diberikan kepada penulis.

2. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo,MS., selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor, yang selalu memacu agar cepat selesai dalam studi.

3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang selalu mendukung

penulis sebagai mahasiswa di Sekolah Pascasarjana IPB.

4. Pimpinan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Departemen Dalam

Negeri atas dukungan dan memberikan izin kepada penulis untuk dapat

mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

5. Prof.Dr.Ir. Bunasor Sanim, M.Sc dan Prof.Dr. Tjahya Supriatna, SU selaku

penguji luar komisi.

6. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas pemberian izin penelitian di TPA Sampah

Bantar Gebang, Bekasi kepada penulis.

7. Semua pihak yang telah membantu penulis tidak dapat disebut satu persatu

namanya, baik secara moral maupun material.

Penulis mengharapkan semoga karya ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah

DKI Jakarta dan Pemda Kota Bekasi serta dunia ilmu pengetahuan dan pihak lain

yang membutuhkannya.

Bogor, 8 Mei 2006

ROYADI

Page 7: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1962 di Jakarta, sebagai putra ke-

empat dari tujuh bersudara dari ayah Mukdi (almarhum) dan Ibu Sareah

(almarhumah). Pada tahun 1976, penulis lulus dari SDN Gempol Pagi I Jakarta,

lulus dari SMP Negeri 79 Jakarta tahun 1980 dan lulus dari SMA YMIK Jakarta

jurusan Ilmu Pasti Alam tahun 1983 kemudian masuk CATAR AKABRI pada tahun

1983 di Magelang dan menyelesaikan Sarjana S1 pada Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Jakarta pada tahun 1992. Pada tahun 1994 mengikuti pendidikan

Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) di LPEM-UI kemudian tugas belajar di

University of New South Wales, Sdney Australia, dan tahun 1996 mengikuti

pendidikan Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Sumberdaya Manusia, Program

Pascasarjana Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesai, Jakarta lulus tahun

1998. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan studi pada Program Doktor di program

studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Program Pascasarjana

IPB Bogor.

Penulis bekerja di Departemen Dalam Negeri, pernah menjabat sebagai

Kepala Seksi Perencanaan Kabupaten Kota, Direktorat Perencanaan Daerah,

Kepala Seksi Bencana Alam pada Subdit Pengendalian Dampak dan Bencana

Alam, Direktorat Fasilitasi Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang dan pada saat ini

menjabat sebagai Kepala Seksi Penataan Wilayah Khusus , Direktorat Fasilitasi

Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan

Daerah.

Page 8: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

ix

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................... i DAFTAR TABEL .................................................................................................. ... ii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... iii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ iv

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ........................................................................................... 1

1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 2

A. Tujuan Penelitian...................................................................................... 2

B. Manfaat Penelitian.................................................................................... 3

1.3. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 3

1.4. Perumusan Masalah ................................................................................... 5

1.5. Ruang Lingkup............................................................................................. 5

A. Lingkup Wilayah Penelitian.................................................................... 5

B. Lingkup Materi Penelitian....................................................................... 6

1.6. Hipotesis....................................................................................................... 6

1.7. Novelty (Kebaruan)...................................................................................... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemberdayaan Masyarakat .......................................................................... 7

2.2. Partisipasi Masyarakat................................................................................. 13

2.3. Pencemaran Lingkungan ............................................................................. 24

2.4. Pengertian-pengertian ................................................................................ 26

A. Pengertian Sampah ............................................................................... 26

B. Sumber dan Jenis Sampah..................................................................... 27

C. Pengelolaan Sampah ............................................................................. 29

D. Tempat Pembuangan Akhir (TPA)........................................................ 34

E. Lindi ...................................................................................................... 35

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 37

3.2. Metode Pengumpulan Data..................................................................... 37

A. Data Primer ....................................................................................... 37

Page 9: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

x

a. Fisik dan Kimia............................................................................. 37

b. Mikrobiologi Lingkungan............................................................. 41

c. Sosial Ekonomi Masyarakat......................................................... 43

B. Data Sekunder.................................................................................. 44

3.3. Tahapan Kegiatan Penelitian .................................................................. 45

3.4. Metode dan Analisis Data....................................................................... 45

A. Data Fisik Kimia................................................................................ 46

a. Analisis Kualitas Air Sumur......................................................... 46

b. Analisis Kualitas Air Sungai....................................................... 47

c. Analisis Kualitas Air Lindi........................................................... 47

B. Data Mikrobiologi.............................................................................. 47

C. Sosial Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat...................................... 47

D. Umur Pemanfaatan TPA.................................................................... 48

E. Analitik Hierarki Proses (AHP)......................................................... 48

F. Teknik Prospektif.............................................................................. 50

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi…………………………………………………... 54

A. Letak Geografi ........................................................................................ 54

a. Letak dan Luas Wilayah.................................................................... 54

b. Iklim................................................................................................... 56

c. Penduduk .......................................................................................... 56

B. Karakteristik Sampah Perkotaan dan TPA.............................................. 58

a. Karakteristik Sampah......................................................................... 58

b. Komposisi Sampah............................................................................ 59

c. Densitas atau Kepadatan Sampah...................................................... 60

C. Umur Teknis TPA Bantar Gebang.......................................................... 61

D. Kualitas Lingkungan............................................................................... 61

E. TPA Liar dan Pemulung......................................................................... 62

a. TPA Liar........................................................................................... 62

b. Pemulung.......................................................................................... 62

F. Dampak Pengelolaan TPA pada Lingkungan......................................... 64

Page 10: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

xi

G. Peranserta Masyarakat, Swasta dan Pengelola TPA.............................. 67

a. Peranserta Masyarakat...................................................................... 67

b. Peranserta Swasta............................................................................. 67

c. Pengelola TPA.................................................................................. 68

4.2. Evaluasi Fisik Kimia..................................................................................... 70

A. Perkembangan Kualitas Air Sumur......................................................... 70

a. Kekeruhan........................................................................................ 70

b. Suhu.................................................................................................. 73

c. Kemasaman (pH).............................................................................. 74

d. Total Disolved Solid (TDS).............................................................. 75

e. Chimical Oxigen Demand (COD)..................................................... 76

f. Kesadahan.......................................................................................... 76

g. Nitrat (NO3?)...................................................................................... 77

h. Besi (Fe)............................................................................................. 79

i. Sulfida (S²¯ )...................................................................................... 79

j. Nitrit (NO2)......................................................................................... 80

k. Orto Fosfat.......................................................................................... 81

l. Ammonia (N-NH3)............................................................................. 82

m. Koliform Total (MPN)....................................................................... 83

n. Escherichia Coli.................................................................................. 84

B. Perkembangan Kualitas Air Sungai......... ................................................ 85

C. Perkembangan Kualitas Air Lindi............................................................. 92

4.3. Komponen Mikrobiologi ............................................................................... 97

4.4. Komponen Sosial Ekonomi............................................................................ 99

A. Karakteristik Responden ......................................................................... 99

B. Sosial Ekonomi Responden...................................................................... 100

C. Tanggapan Responden terhadap TPA Bantar Gebang.............................. 101

D. Kesehatan Masyarakat............................................................................... 103

E. Umur Teknis TPA..................................................................................... 107

F. Kompos dan Daur Ulang.......................................................................... 107

Page 11: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

xii

a. Komposting.......................................................................................... 107

b. Daur Ulang........................................................................................... 109

4.5. Hasil Sintesis AHP........................................................................................ 110

A. Hasil Sintesis AHP pada zone I............................................................... 112

B. Hasil Sintesis AHP pada zone II.............................................................. 113

C. Hasil Sintesis AHP pada zone III............................................................ 114

D. Hasil Sintesis AHP pada zone IV............................................................ 115

E. Hasil Sintesis AHP pada zone V............................................................. 116

F. Prioritas Pemanfaatan TPA setiap zone.................................................. 117

4.6. Implikasi Kebijakan Skenario Prospektif Masa Depan................................ 118

A. Existing codition...................................................................................... 119

B. Need Analysis......................................................................................... 120

C. Gabungan antara Existing Condition dan Need Analysis....................... 122

a. Luas Lahan........................................................................................... 123

b. Instalasi Pengelolaan Air Sampah (IPAS)........................................... 123

c. Peraturan Perundangan........................................................................ 124

d. Pendanaan............................................................................................ 125

e. Teknologi............................................................................................. 126

f. Keterlibatan Swasta.............................................................................. 127

g. Donor Agency...................................................................................... 128

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan ...................................................................................................... 131

5.2. Saran ............................................................................................................ 133

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 135

LAMPIRAN ........................................................................................................ 142

Page 12: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 :

2 :

3 :

4 :

5 :

6 :

7 :

8 :

9 :

10:

11:

12:

13:

14:

15:

16:

17:

18:

19:

20:

21:

22:

23:

24:

25:

26:

27:

28:

29:

Evaluasi Partisipatif..............................................................................

Sumber dan Jenis Sampah………........................................................

Hasil Analisis Lindi Sistem Sanitary Landfill (ppm)………… ..….....

Kualitas air sumur di TPA Bantar Gebang……………………….......

Kualitas Air Sungai Ciketing………….…………………………......

Kualitas Air Lindi………………………………………………….....

Penyakit Bawaan Sampah…………………………………………....

Beberapa Jenis Penyakit Bawaan Air…………………………….......

Nilai dan definisi pendapat kualitatif…………………………….......

Pedoman Penilaian Analisis Prospektif................................................

Jumlah dan perkembangan penduduk di tiga Kelurahan…………….

Jumlah sampah yang dibawa ke TPA Bantar Gebang Tahun 2004.....

Komposisi bahan organik dan anorganik di TPA Bantar Gebang…...

Perkiraan Jenis Dampak Penting di TPA Bantar Gebang……………

Kualitas Air Sumur di Atas dari TPA 2004.........................................

Kualitas Air Sumur Bawah dari TPA 2004..........................................

Analisis Kualitas Air Sungai Sebelum TPA (inlet) 2004.....................

Analisis Kualitas Air Sungai Sesudah TPA (outlet) 2004...................

Distribusi lalat di kawasan TPA Bantar Gebang dan sekitarnya…….

Jenis pekerjaan responden....................................................................

Tingkat pendapatan responden.............................................................

Wujud gangguan terhadap air tanah.....................................................

Penyebab gangguan terhadap air tanah…………………………… ....

Penyebab gangguan bau……………………………………………...

Jenis penyakit di Kota Bekasi dalam 7 tahun terakhir…………….....

Persepsi responden terhadap gangguan kesehatan tahun 2001 s/d 2004...

Umur Teknis TPA Bantar Gebang…………...……………………....

Faktor-faktor penentu atau kunci hasil gabungan faktor existing condition dan need analysis.................................................................

Analisis tingkat kepentingan antar faktor............................................

20

28

30

38

39

40

41

42

48

52

58

60

61

65

71

72

86

87

99

101

101

102

102

103

104

106

107

122

129

Page 13: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1:

2:

3:

4:

5:

6:

7:

8:

9:

10:

11:

12:

13:

14:

15:

16:

17:

18:

19:

20:

21:

22:

23:

24:

25:

26:

Kerangka Pikir pemanfaatan TPA Pascaoperasi Berbasis Masyarakat..

Diagram kerangka dasar pemikiran pengelolaan sampah.………..........

Tahapan Kegiatan Penelitian...................................................................

Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem….......

Peta Kota Bekasi……………………………………….……………....

Peta TPA Bantar Gebang……………………………………………....

Kegiatan pemulung di TPA Bantar Gebang …..............…………........

Pengelolaan air lindi di TPA Bantar Gebang.……………………….....

Struktur Organisasi Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta.…………

Lokasi Sumur bawah dari TPA...............................................................

Perkembangan parameter pH air sumur..................................................

Sungai Ciketing (outlet)……………...…………………………….......

Perkembangan parameter Nitrat air lindi ……………….......................

Perkembangan Nitrat di IPAS Periode Oktober-Nopember 2004..........

Perkembangan Nitrit di IPAS Periode Oktober-Nopember 2004...........

Perkembangan BOD5 di IPAS Periode Oktober-Nopember 2004…….

COD di IPAS Periode Oktober-Nopember 2004....................................

pH di IPAS periode Oktober-November 2004........................................

Lokasi TPA Bantar Gebang zone IV.......................................................

Struktur Hirarki ......................................................................................

Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone I.........................................

Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone II........................................

Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone III.......................................

Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone IV......................................

Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone V........................................

Tingkat Kepentingan faktor- faktor existing condition yang berpengaruh pada pemanfaatan TPA Terpadu........................................

4

31

45

51

55

57

63

66

69

70

74

86

92

94

95

96

96

97

110

111

112

113

114

115

116

120

Page 14: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

xv

27:

28:

29:

Tingkat kepentingan faktor- faktor need analysis yang berpengaruh pada sistem pemanfaatan TPA Terpadu.................................................. Tingkat kepentingan faktor- faktor gabungan antara existing condition dan need analysis yang berpengaruh pada sistem pemanfaatan TPA Terpadu....................................................................................................

Model Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat..

121 122

130

Page 15: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1:

Lampiran 2:

Lampiran 3:

Lampiran 4:

Lampiran 5:

Lampiran 6:

Lampiran 7:

Lampiran 8:

Lampiran 9:

Lampiran 10:

Lampiran 11:

Lampiran 12:

Lamp iran 13:

Lampiran 14:

Lampiran 15:

Lampiran 16:

Lampiran 17:

Lampiran 18:

Lampiran 19:

Lampiran 20:

Lampiran 21:

Lampiran 22:

Lampiran 23:

Lampiran 24:

Pertanyaan Analisis Prospektif.....…….……..........………………..

Curah hujan bulanan di Bekasi (mm) tahun 1979-1988 Sta 841-Bekasi.....

Jumlah curah hujan bulanan, tahun 1979-1988 Sta 841-Bekasi..............

Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS I (Inlet), 2004.....

Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 2 (Inlet) 2004.....

Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 3 (Inlet), 2004....

Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 4 (Inlet) 2004.....

Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS I (Outlet), 2004...

Analisis Kualitas Air Lindi sesudah dio lah IPAS 2 (Outlet) 2004...

Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 3 (Outlet), 2004..

Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 4 (Outlet) 2004...

Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2003......................

Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2002......................

Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2001......................

Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2000......................

Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Ta hun 2003.....

Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2002.....

Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2001.....

Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2000.....

Kualitas Air Sungai Ciketing pada titik Inlet dan Outlet..................

Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) LPA Bantar Gebang.…..

Analisis Regresi Persepsi..................................................................

Daftar pertanyaan masa lah TPA Bantar Gebang ………………….

Perjanjian Kerjasama No.96 Tahun 1999/168 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi........................

141

145

146

147

148

149

150

151

152

153

154

155

156

157

158

159

160

161

162

163

164

166

169

178

Page 16: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

xvii

Lampiran 25:

Lampiran 26:

Perjanjian Tambahan (ADDENDUM) No. 127 tahun 2000 dan 227/2000 tentang Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Sampah dan TPA Sampah di Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi........................

Perjanjian Tambahan (ADDENDUM) Kedua No.22 Tahun 2002 dan 41 Tahun 2002 tentang Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi..........................................

186

190

Page 17: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

1

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Salah satu masalah lingkungan hidup pada saat ini adalah masalah sampah.

Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya, memberi kontribusi signifikan

pada peningkatan sampah. Menurut Widyatmoko (2001), di kota-kota besar Indonesia

setiap orang menghasilkan sampah 2 - 2,5 liter per hari, dengan mengasumsikan bahwa

sampah yang dihasilkan mempunyai kepadatan yang sama dengan kepadatan sampah

dalam truk yaitu 0,3 – 0,35 ton per m³, maka dalam satu tahun setiap orang menghasilkan

sampah 2,5 liter x 365 = 900 liter = 0,9 m³ atau 0,9 m³ x 0,35 kg/ m³ = 0,315 ton = 315

kg per tahun.

Jakarta dengan luas 655 km², jumlah penduduk 10.000.000 jiwa menghasilkan

sampah 25.000 m³ per hari dengan bobot 25.000 m³ x 0,35 ton = 8,750 ton per hari. Dari

jumlah tersebut, sampah yang tidak terangkut setiap harinya 7.500 m³ atau 365 hari x

7.500 m³ = 2.737.500 m³ per tahun. Sampah ini ditimbulkan dari berbagai lokasi kegiatan

masyarakat yaitu daerah perumahan 58%, pasar 10 %, daerah komersial 15 %, daerah

industri 15 %, serta jalan, taman dan sungai 2 %. Sampah-sampah ini dapat dibagi dalam

dua jenis sampah, yaitu sampah organik 65 % dan sampah non-organik 35 %. Sampah

yang terkumpul dan diangkut kurang lebih 70 % ke TPA Bantar Gebang, 16,5 % ke

lokasi- lokasi informal, dan 13 % tidak terkelola, tercecer di dalam kota, jalan atau

dibuang ke sembarang tempat misalnya ke sungai dan sepanjang pinggir jalan (Dinas

Kebersihan DKI Jakarta, 2002). Persoalan sampah merupakan permasalahan lingkungan

yang menyebar tidak mengenal batas-batas wilayah administratif, namun sistem

pengelolaannya dibatasi oleh wilayah administratif. Oleh karena itu untuk menangani

masalah persampahan dibutuhkan kerjasama antar wilayah administratif, misalnya untuk

lokasi TPA sampah.

TPA Bantar Gebang secara administratif terletak di Kota Bekasi, dengan luas 108

ha dan dapat menampung sampah 14.000 m³ per hari, saat ini meningkat menjadi 20.000

m³ per hari dengan sistem sanitary landfill. Kondisi TPA saat ini tidak mampu lagi

menampung sampah, lahan yang efektif digunakan dan mulai diisi pada setiap zone

berbeda tahunnya. Zone I total lahan 25 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 16,8 ha,

Page 18: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

2

saat ini ketinggian sampah 8,2 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1989 sampai dengan

1991; zone II total lahan 23 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 11,3 ha saat ini

ketinggian sampah 6,1 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1992 sampai dengan 1994; zone

III total lahan 30,2 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 20,2 ha saat ini ketinggian

sampah 8,6 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1995 sampai dengan 1998; zone IV total

lahan 14,3 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 11,3 ha saat ini ketinggian sampah

4,7 meter, lahan ini mulai diisi sejak 1999 sampai dengan 2001; dan zone V total lahan

15,5 ha, dengan lahan efektif yang digunakan 12,3 ha saat ini ketinggian sampah 6,1,

meter, lahan ini mulai diisi sejak 2002 sampai dengan 2003.

Pada zone yang tidak aktif terjadi proses suksesi vegetasi, timbunan sampah

besar, pembentukan gas metana, proses akumulasi, degradasi, limpasan dan peresapan

serta pembentukan air lindi yang berlangsung dan aliran air lindi ke dalam pengolahan

terus berjalan, pencemaran sumur, sungai, gas dan konflik, perlu pengelolaan yang baik.

Sedangkan pada zone yang aktif, dampak biologi khususnya keberadaan lalat tinggi 36,7

ekor per grill melebihi baku mutu Departemen Kesehatan RI Nomor 281-11/PD.03.04.11

tanggal 30 Oktober 1989 yaitu 30 per grill. Oleh karena itu pengelolaan sampah pada

zone yang masih aktif perlu memperhatikan standar sanitary landfill dengan menimbun

dan menutup sampah dengan tanah agar tidak menimbulkan bau menyengat hasil

pembusukan bahan organik yang akan merangsang keberadaan lalat.

Dengan demikian, untuk mengatasi permasalahaan TPA sampah pascaoperasi,

perlu dilakukan kajian dan analisis untuk melihat kemungkinan yang terjadi di masa

depan didasarkan pada keadaan saat ini seperti sumberdaya dan lingkungan alam, sosial

ekonomi, fisik kimia, mikrobiologi, dan keterlibatan masyarakat, dala m pemanfaatan

TPA sampah pascaoperasi berbasiskan masyarakat. 1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian. A. Tujuan Penelitian

a. Melakukan evaluasi terhadap TPA saat ini dan melakukan analisis kualitas air

sumur, air sungai, air lindi, komponen mikrobiologi serta sosial ekonomi dan

kesehatan masyarakat;

b. Memilih alternatif yang sesuai untuk pemanfaatan TPA Pascaoperasi berbasis

masyarakat.

Page 19: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

3

B. Manfaat Penelitian

a. Memberi masukan kepada Pemda DKI Jakarta maupun Pemda Kota Bekasi

alternatif memanfaatkan TPA pascaoperasi berbasis masyarakat yang sesuai

dengan kondisi lingkungan sekitar.

b. Memberi masukan untuk penanggulangan dan pengendalian pencemaran di TPA

Bantar Gebang, Bekasi Pascaoperasi.

c. Pengembangan model partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan

hidup khususnya pemanfaatan TPA Pascaoperasi.

d. Dapat digunakan kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dan Kota Bekasi untuk

pemanfaatan TPA Bantar Gebang Pascaoperasi.

e. Meningkatkan pendalaman di bidang ilmu lingkungan yang berkaitan dengan

peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan khus usnya pemanfaatan

TPA Pascaoperasi. 1.3. Kerangka Pemikiran

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang adalah suatu tempat

penampungan sampah Kota Jakarta yang lokasinya berada di Kota Bekasi. Sehubungan

telah berakhirnya pengelolaan TPA menurut Kesepakatan Kerjasama antara Pemerintah

DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi tahun 2003, maka pemanfaatan TPA Pasca

operasi berbasis masyarakat perlu mendapat perhatian yang sangat serius.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka kerangka pikir dalam penelitian ini

dengan menggunakan berbagai skenario yang optimal dalam memprediksi semua

kemungkinan keadaan yang akan terjadi di masa yang akan datang digunakan analisis

Prospektif (Hartrisari 2002). Permasalahan yang terjadi mulai kondisi TPA saat ini

hingga pada pemanfaatan TPA pascaoperasi dapat dilihat secara menyeluruh (holistik)

dengan melibatkan semua stakeholders yang ada di dalamnya.

Dalam rangka memanfaatkan lahan bekas TPA, maka perlu dirumuskan kebijakan

dan formulasi strategi, maka untuk menentukan alternatif pemanfaatannya digunakan

AHP, dari berbagai alternatif pemanfaatan yang diperoleh dari analisis AHP, kemudian

untuk menentukan skenario yang optimal dalam memprediksi semua kemungkinan

keadaan yang akan terjadi di masa yang akan datang digunakan analisis Prospektif .

Secara skematis kerangka pemikiran dalam merumuskan masalah penelitian ini secara

ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 20: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

4

TPA SAMPAH BANTAR GEBANG

E. coli, coliform danpopulasi lalat

Persepsi danpartisipasimasyarakat

Kualitas Air Sumur, Sungai dan air lindi

Gambar 1: Kerangka Pikir Pemanfaatan TPA Pascaoperasi Berbasis Masyarakat.

Pemilihan alternatifPemanfaatan

Model Pemanfaatan TPA Pascaoperasi Berbasis

Masyarakat

Luas 108, 5 zone,

sanitary landfill

Pembentukan air lindi, gas metan,

proses akumulasi, degradasi danlimpasan serta

peresapan

Pemulung, penyakit menular,

keracunan gas, mencemari sumur, sungai, dan konflik.

Kontrol Pemerintah

kurang

TPA SAAT INI

Analisis

FISIK KIMIA MIKROBIOLOGI SOSEKMAS

Page 21: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

5

1.4. Perumusan Masalah

Berdasarkan informasi dari uraian sebelumnya, maka pokok permasalahannya

dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. TPA Bantar Gebang memiliki potensi timbunan sampah cukup besar, lahannya luas,

terdiri 5 zone, dengan ketinggian sampah yang masih dibawah standar sanitary landfill

rekomendasi JAICA, memiliki 4 IPAS yang masih beropersi dengan baik, dapat

dimanfaatkan beberapa alternatif kegiatan;

b. Penumpukan sampah di TPA akan menghasilkan lindi yang dapat merembes ke dalam

air tanah dan sungai, menurunkan kualitas air permukaan, sungai dan sumur

penduduk.

c. TPA menyebabkan tumbuh dan berkembangnya media pembawa penyakit seperti

lalat, kecoa, tikus, nyamuk dan cacing;

d. Bagaimana konsep pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat.

Dalam penelitian ini aspek-aspek yang mempengaruhi pemanfaatan TPA

pascaoperasi diuraikan menjadi aspek lingkungan fisik kimia, biologi, ekonomi, sosial

budaya dan kesehatan. Analisis aspek-aspek tersebut diharapkan menghasilkan

rekomendasi dan menentukan alternatif skenario unggulan yang menjadi masukan untuk

merumuskan kebijakan pemanfaatan TPA Sampah Bantar Gebang pascaoperasi berbasis

masyarakat.

Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dilakukan penelitian mengenai

pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat. Upaya pemecahan masalah

pemanfaatan TPA pascaoperasi dilakukan dengan mengetahui kondisi TPA saat ini

maupun kondisi sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat sekitar TPA kemudian

masukan dan pendapat para pakar yang kemudian dianalisis untuk mengetahui

pemanfaatan kedepan yang sesuai dengan kondisi yang ada.

1.5. Ruang Lingkup. A. Lingkup Wilayah Penelitian

Lingkup wilayah atau lokasi penelitian adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

Sampah Bantar Gebang adalah suatu tempat penampungan sampah Kota Jakarta yang

lokasinya berada di Kota Bekasi yang meliputi tiga kelurahan pada Kecamatan Bantar

Page 22: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

6

Gebang dalam Kota Bekasi, Jawa Barat. Secara administrasi tiga kelurahan tersebut

adalah sebagai berikut: a). Kelurahan Ciketing Udik; b). Kelurahan Cikiwul; dan c).

Kelurahan Sumurbatu. B. Lingkup Materi Penelitian

Sehubungan telah berakhirnya pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

Sampah Bantargebang menurut Kesepakatan Kerjasama antara Pemerintah DKI Jakarta

dan Pemerintah Kota Bekasi tahun 2003, maka ruang lingkup materi penelitian dibatasi

dengan pengembangan model pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis

masyarakat.

1.6. Hipotesis .

Berdasarkan latarbelakang dan perumusan masalah yang dikemukakan serta

sesuai dengan kerangka pemikiran dan tujuan penelitian, maka hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini adalah sebabagi berikut:

a. Sumur penduduk baik yang diatas maupun di bawah dari TPA dan air Sungai Ciketing

telah tercemar;

b. Alternatif terbaik pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi adalah digunakan sebagai

TPA Terpadu;

c. Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu menimbulkan multiplier effect bagi lingkungan,

masyarakat sekitar TPA dan pemerintah;

1.7. Novelty (Kebaruan)

Berkaitan dengan novelty tersebut, kebaruan penelitian yang dilakukan adalah

penyusunan model pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi menjadi TPA Terpadu

dengan analisis integratif pada aspek fisik kimia, mikrobiologi serta sosial dan kesehatan

dan pendapat pakar yang berbasis masyarakat.

Page 23: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemberdayaan Masyarakat

Kemandirian dan keberdayaan masyarakat merupakan prasyarat untuk

menumbuhkan kemampuan masyarakat sebagai pelaku dalam pengelolaan lingkungan

hidup bersama dengan pemerintah dan pelaku pembangunan lainnya (Undang-undang

Nomor 23 Tahun 1997). Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat

selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan.

Menurut McArdle (1989), pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh

orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan, orang-orang yang telah

mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan

keharusan untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi

pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka

tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Namun, bukan hanya untuk

mencapai tujuannya yang penting, akan tetapi lebih pada makna pentingnya proses dalam

pengambilan keputusan. Friedmann (1992), menyatakan bahwa proses pemberdayaan

adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradap menjadi semakin

efektif secara struktural baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional,

internasional maupun bidang politik, ekonomi dan lain- lain. Proses pemberdayaan

mengandung dua kecenderungan:

a. Menekankan pada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan

atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya;

b. Kemampuan individu untuk mengendalikan lingkungannya, adalah suatu proses

pemahaman situasi yang sedang terjadi sehubungan dengan politik, ekonomi dan

sosial yang tidak dapat dipaksakan dari luar.

Pemberdayaan masyarakat dipengaruhi pula oleh faktor sosial, politik dan

psikologi. Konsep pemberdayaan masyarakat ini mencerminkan paradigma baru

pembangunan. Upaya untuk memberdayakan masyarakat adalah meningkatkan harkat

dan martabat lapisan masyarakat yang kondisinya sekarang tidak mampu untuk

melepaskan diri dari perangkap ketidak mampuan dan keterbelakangan.

Page 24: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

8

Menurut Hikmat (2001), pemberdayaan masyarakat merupakan strategi

pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mempunyai

arah pada kemandirian masyarakat. Oleh karena itu dalam pemberdayaan masyarakat

pada dasarnya masyarakat perlu mengembangkan kesadaran atas potensi, masalah dan

kebutuhannya sehingga akan terwujud rasa tanggungjawab dan kesadaran untuk memiliki

dan memelihara program pengembangan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat adalah pengalaman dan pengetahuan masyarakat

tentang keberdayaannya yang sangat luas dan berguna serta kemauan masyarakat untuk

menjadi lebih baik. Proses ini bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat agar dapat

meningkatkan taraf hidupnya, menggunakan dan mengakses sumberdaya setempat sebaik

mungkin, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Konsep pemberdayaan

dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri,

partisipasi, jaringan kerja dan keadilan Hikmat (2001). Pemberdayaan dan partisipasi

merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial

dan transformasi budaya, proses ini akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih

berpusat pada rakyat.

Melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam

kegiatan pembangunan dan pemberdayaan sangat penting, menurut Uphoff (Sumardjo

dan Saharudin, 2003) ada tiga alasan utama yaitu (1) sebagai langkah awal

mempersiapkan masyarakat untuk berpartisipasi dan merupakan suatu cara untuk

menumbuhkan rasa memiliki dan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap program

pembangunan yang dilaksanakan (2) sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai

kebutuhan potensi dan sikap masyarakat setempat (3) masyarakat mempunyai hak untuk

memberikan pemikir annya dalam menentukan program-program yang akan dilaksanakan

di wilayah mereka. Sedangkan menurut Oppenheum (Sumardjo dan Saharudin, 2003) ada

dua hal yang mendukung terjadinya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan

dan pembangunan, yaitu: (1) adanya unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu

pada diri seseorang dan (2) iklim dan lingkungan yang memungkinkan terjadinya pelaku

tersebut.

Menurut Syaukani (1999), pemberdayaan tidak hanya terpusat pada individu-

individu masyarakat, tetapi juga pendukungnya misalnya peraturan, nilai-nilai modern,

Page 25: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

9

kerja keras, hemat, keterbukaan, rasa tanggung jawab dan lain sebagainya. Pemberdayaan

masyarakat adalah kemampuan setiap individu untuk terlibat dan berperan dalam

pembangunan, dengan demikian masyarakat berhak dan wajib menyumbangkan

potensinya dalam pembangunan, sekecil dan selemah apapun kualitas sumberdaya

seseorang bisa diberdayakan dalam pembangunan di daerahnya.

Menurut Departemen Dalam Negeri (1996), Pembangunan Masyarakat Desa

adalah seluruh kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di desa dan kelurahan dan

mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan ini dilaksanakan secara terpadu

dengan mengembangkan prakarsa dan swadaya gotong royong. Dalam memperdayakan

masyarakat, pemerintah mengarahkan program-program yang diperuntukkan dan

langsung akan dinikmati masyarakat, rencana dan pelaksanaannya dilakukan oleh

masyarakat dan lembaga kemasyarakatan yang pelaksanaannya dilakukan oleh LKMD.

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan kemampuan dan kualitas

sumberdaya manusia dan masyarakat agar mampu secara mandiri melaksanakan kegiatan

pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraannya, dengan tujuan dan sasarannya,

meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat; pencapaian tujuan pembangunan

masyarakat; semangat membangun pada seluruh masyarakat; dan menempatkan manusia

sebagai subyek pembangunan. Sasarannya adalah pimpinan lembaga kemasyarakatan;

tokoh masyarakat dan warga masyarakat dengan tidak membedakan jenis kelamin.

Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang bertujuan membekali

keterampilan dan pengetahuan kepada masyarakat agar mampu memberikan kontribusi

dan dukungan terhadap proses pembangunan yang terjadi di lingkungannya. Masyarakat

akan ikut menangani limbah domestik apabila mereka memiliki "keberdayaan", sehingga

pemberdayaan masyarakat menjadi penting dan mendesak (Ditjen Bina Bangda, 2002).

Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, menempatkan otonomi daerah secara utuh

pada daerah Kabupaten dan Daerah Kota dengan tujuan untuk memberdayakan

masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peranserta

masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD). Atas dasar ini, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mempunyai kewenangan

dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan

aspirasi masyarakat (Elfian, 2001).

Page 26: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

10

Prinsip dasar otonomi daerah adalah memberdayakan daerah dan pemberdayaan

masyarakat. Agar Pemerintah Daerah mampu mengelola sumberdaya secara optimal,

keputusan publik harus mampu menjawab permasalahan dengan memanfaatkan

sumberdaya secara optimal di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Pemberdayaan masyarakat mempunyai makna sejauh mana masyarakat terlibat dalam

pengambilan keputusan, melaksanakannya dan mengawasi keputusan tersebut, termasuk

peningkatan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan menuju kemandirian, sehingga

berperan sebagai penjinak bencana bukan menjadi korban bencana (Jurnal Otonomi

Daerah, 2001).

Selanjutnya menurut Bangda (2002), strategi pemberdayaan masyarakat antara

lain adalah:

a. Keterbukaan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan limbah domestik, yang segala

sesuatunya dibicarakan dengan masyarakat, sehingga masyarakat menjadi faham dan

mengerti.

b. Responsif dan aspiratif, menampung dan menindaklanjuti keinginan masyarakat dan

tidak membiarkan masalah menjadi berlarut-larut.

c. Jemput bola, tidak menunggu timbul masalah baru bekerja, tetapi aktif untuk

membantu masyarakat dalam keadaan apapun.

d. Dengan membentuk kelompok (1 kelompok = 10 orang) untuk mengelola dan

menangani limbah domestik, kelompok ini menjadi ujung tombaknya.

e. Mengembangkan semangat “perang terhadap limbah domestik” dalam diri

masyarakat melalui media elektronik, cetak, spanduk dan brosur.

f. Mengembangkan budaya bersih dan sehat dalam lingkungan RT, RW dan Desa atau

Kelurahan.

Pelaksanaannya dapat berbentuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan

masyarakat antara lain: kursus, pelatihan, orientasi, lokakarya, seminar, studi banding,

diseminasi dan sosialisasi. Setelah masyarakat memiliki pengetahuan dan keterampilan

diharapkan mampu dan ikut serta dalam pengelolaan limbah domestik. Menurut Stewart

(1994) pemberdayaan merupakan pelimpahan proses pengambilan keputusan dan

tanggung jawab secara penuh. Pemberdayaan bukan berarti melepaskan pengendalian,

tapi menyerahkan pengendalian. Dengan demikian pemberdayaan bukanlah masalah

Page 27: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

11

hilangnya pengendalian atau hilangnya hal-hal lain, yang paling penting pemberdayaan

memungkinkan pemanfaatan kecakapan dan pengetahuan masyarakat seoptimal mungkin

untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.

Pemberdayaan menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat

yang belum berkembang sebagai pihak yang harus diberdayakan, dan pihak yang

menaruh kepedulian sebagai pihak memberdayakan, Sumodiningrat (1997). Dalam kaitan

dengan upaya memberdayakan masyarakat guna mencapai kehidupan yang lebih baik.

Payne (1997) suatu proses pemberdayaan bertujuan membantu masyarakat memperoleh

daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang dilakukan melalui

peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki

masyarakat, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. MAcArdle (1989)

mengemukakan bahwa hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam

setiap proses pengambilan keputusan.

Menurut Hikmat (2001), proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan;

Pertama, proses pemberdayaan dengan kecenderungan primer menekankan pada proses

memberikan keleluasaa n, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu

yang bersangkutan menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya

membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui

organisasi. Kedua, proses pemberdayaan dengan kecenderungan sekunder menekankan

atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk

menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Seringkali

kecendrungan primer terwujud melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.

Selanjutnya disebutkan bahwa proses pemecahan masalah berbasiskan pemberdayaan

masyarakat yang berdasarkan prinsif bekerja bersama masyarakat mempunyai hak-hak

yang harus dihargai, sehingga masyarakat lebih mampu mengenali kebutuhannya dan

dilatih untuk dapat merumuskan rencana serta melaksanakan pembangunan secara

memadai dan swadaya. Dalam hal ini, praktisi pembangunan berperan dalam

memfasilitasi proses dialog, diskusi, curah pendapat dan mensosialisasikan temuan

masyarakat.

Menurut Moebyarto (1995), pemberdayaan masyarakat mengacu kepada

kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses dan kontrol atas

Page 28: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

12

sumber hidup yang penting. Proses pemberdayaan merupakan wujud perubahan sosial

yang menyangkut relasi antara lapisan sosial sehingga kemampuan individu "senasib"

untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk

pemberdayaan yang paling efektif. Dalam rangka mewujudkan kesamaan derajat yang

lebih besar antara perempuan dan laki- laki, pemberdayaan perempuan merupakan proses

kesadaran pembentukan kapasitas terhadap partisipasi perempuan yang lebih besar dan

tindakaan transformasi. Dalam rangka peningkatan partisipasi aktif laki- laki dan

perempuan, maka perempuan harus terlibat secara proporsional, sehingga dapat

menciptakan kemitraan yang adil, IRC, UNICEF dan Yayasan Dian Desa (1999).

Strategi pemberdayaan perempuan sebagai mitra sejajar laki- laki menggunakan

pendekatan dua arah, yaitu saling menghormati, saling mendengar dan menghargai

keinginan serta pendapat orang lain. Dalam proses pemberdayaan ini, terjadi pembagian

kekuasaan secara demokratis atas dasar kebersamaan, keutamaan dan tenggang rasa.

Pemberdayaan perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki adalah kondisi dimana laki- laki

dan perempuan memiliki kesamaan hak dan kewajiban yang terwujud dalam kesempatan,

kedudukan, peranan yang dilandasi sikap dan perilaku yang saling membantu dan

mengisi disemua bidang kehidupan (Priyono, 1996).

Praktek proyek pembangunan menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif tidak

secara otomatis diterapkan dengan cara yang sensitif gender. Bila tidak ada kaitan

tertentu yang dilakukan untuk melibatkan semua segmen dalam komunitas dalam aksi

partisipatif dari proyek, yang biasanya terjadi adalah laki-laki yang berpendidikan dan elit

yang terlibat seperti yang ada dalam struktur kekuasaan dimana suara perempuan anggota

masyarakat yang tidak beruntung dan miskin tidak didengar, Hemelrijk, et al (2001).

Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses

pemberdayaan (Craig dan Mayo, 1995). Partisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan

keputusan merupakan hal penting dalam pemberdayaan. Faktor- faktor determinin yang

mempengaruhi proses pemberdayaan, antara lain, perubahan sistem sosial yang

diperlukan sebelum pembangunan yang sebenarnya dimungkinkan terjadi. Karena itu

perubahan struktur sosial masyarakat dalam sistem sosial menjadi faktor terpenting dalam

melaksanakan pemberdayaan masyarakat, termasuk di dalamnya sistem ekonomi dan

politik (Rojek, 1986).

Page 29: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

13

Di dalam kerangka pemberdayaan dan kemandirian masyarakat, maka haruslah

terjadi pergeseran fungsi birokrasi sebagai fasilitator. Selayaknya birokrasi harus kembali

ke hakikat fungsi yang sebenarnya ialah sebaga i pelayan masyarakat, bukan

mencampuradukan dengan pembangunan maupun pemberdayaan. Rakyat memegang hak

dan wewenang yang tinggi untuk menentukan kebutuhan pembangunan, ikut terlibat

secara aktif dalam pembangunan dan mengontrolnya serta memperoleh fasilitas dari

pemerintah (Santoso, 2002).

Jadi pemberdayaan masyarakat adalah memberi daya atau kekuatan dan

kemampuan serta meningkatkan harkat dan martabat untuk dapat berdiri sendiri diatas

kakinya sendiri melalui penyuluhan dan pendampingan pada suatu kegiatan yang

bertujuan membekali keterampilan dan pengetahuan kepada masyarakat agar mampu

memberikan kontribusi dan dukungan terhadap pembangunan di lingkungannya.

2.2. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi berasal dari bahasa Inggris "participation" yang berarti ambil bagian

atau melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain. Sedangkan dalam kamus

Webster, arti partisipasi "mengambil bagian atau ikut menanggung bersama orang lain"

Natsir (1986). Apabila dihubungkan dengan masalah sosial, maka arti partisipasi adalah

suatu keadaan dimana seseorang ikut merasakan sesuatu bersama -sama dengan orang lain

sebagai akibat adanya interaksi sosial, Fairchild (1977). Secara harfiah, partisipasi berarti

"turut berperanserta dalam suatu kegiatan", "keikutsertaan atau peran serta dalam suatu

kegiatan", "peran serta aktif atau proaktif dalam suatu kegiatan". Partisipasi dapat

didefinisikan secara luas sebagai "bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat

secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari da lam dirinya maupun dari luar

dirinya dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan" (Moeliono, 2004).

Dari sudut terminologi partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara

melakukan interaksi antara dua kelompok, yaitu kelompok yang selama ini tidak

diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan kelompok yang melakukan

pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat merupakan insentif moral untuk

mempengaruhi lingkup-makro yang lebih tinggi, tempat dibuatnya suatu keputusan-

keputusan yang sangat menentukan kesejahteraan mereka.

Page 30: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

14

Tjokroamidjojo (1990), menyatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah

keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah, strategi dalam kebijaksanaan kegiatan,

memikul beban dan pelaksanaan kegiatan, memetik hasil dan manfaat kegiatan secara

adil. Partisipasi berarti memberi sumbangan dan turut serta menentukan arah atau tujuan

pembangunan, yang ditekankan adalah hak dan kewajiban setiap orang. Koentjaraningrat

(1974) berpendapat bahwa partisipasi berarti memberi sumbangan dan turut menentukan

arah atau tujuan pembangunan, dimana ditekankan bahwa partisipasi itu adalah hak dan

kewajiban bagi setiap masyarakat.

Jadi partisipasi dapat diartikan sebagai sesuatu keterlibatan seseorang atau

masyarakat untuk berperanserta secara aktif dalam suatu kegiatan, dalam hal ini kegiatan

pembangunan untuk menciptakan, melaksanakan serta memelihara lingkungan yang

bersih dan sehat. Peranserta masyarakat berarti masyarakat ikut serta, yaitu mengikuti dan

menyertai pemerintah dalam memberikan bantuan guna meningkatkan, memperlancar,

mempercepat dan menjamin keberhasilan usaha pembangunan Santoso dan Iskandar

(1974). Masyarakat diharapkan ikut serta, karena hasil pembangunan yang dilaksanakan

pemerintah bersama-sama dengan masyarakat adalah untuk kesejahteraan masyarakat

sendiri, dalam hal ini pemerintah memberi bantuan dan masyarakat mempunyai

tanggapan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan tersebut. Agar

masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan diperlukan tiga syarat sebagai

berikut: 1). adanya kesempatan untuk membangun; 2). adanya kemauan untuk

memanfaatkan kesempatan; dan 3). adanya kemauan untuk berpartisipasi dalam

pembangunan.

Secara teoritis, partisipasi merupakan alat dan sekaligus tujuan pembangunan

masyarakat. Sebagai alat pembangunan, partisipasi berperan sebagai penggerak dan

pengarah proses perubahan sosial yang dikehendaki, demokratisasi kehidupan sosial

ekonomi serta yang berasaskan kepada pemerataan dan keadilan sosial, pemerataan hasil

pembangunan yang bertumpu pada kepercayaan kemampuan masyarakat sendiri,

selanjutnya sebagai tujuan pembangunan, partisipasi merupakan bentuk nyata kehidupan

masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur, Cary (1970). untuk menjamin

kesinambungan pembangunan, maka partisipasi masyarakat harus tetap diperhatikan dan

dikembangkan. Menurut Cary (1970), agar partisipasi dalam pembangunan dapat terus

Page 31: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

15

berkembang perlu diperhatikan prasyarat sebagai berikut: 1). aspek partisipasi yang

mendasar adalah luasnya pengetahuan dan latar belakang kemampuan untuk

mengidentifikasi dan menentukan prioritas pemecahan masalah; 2). adanya kemampuan

untuk belajar terhadap berbagai masalah sosial dan cara mengambil keputusan

pemecahannya; dan 3). kemampuan untuk mengambil tindakan secara cepat dan tepat.

Menurut Cressey (1987), partisipasi menjadi fokus utama dalam usaha

peningkatan tarap hidup masyarakat, dan tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan-

pertanyaan tentang kewenangan, otoritas, legitimasi serta pengendalian dan tampak

terkait dengan aspek-aspek politik. Dalam prakteknya, partisipasi tidak dapat

didefinisikan secara terbatas, tergantung pada aktor yang terlibat. Terdapat beberapa

model partisipasi pada saat ini yang didasarkan pada pemikiran dan pendekatan terhadap

persoalan, beberapa tipe partisipasi itu ialah:

a. Partisipasi dilihat sebagai kesatuan organik dari kepentingan perusahaan (organic

unity of interest) partisipasi mengambil tempat melalui kerja kelompok dan struktur

untuk mengusahakan aspek-aspek peningkatan dan pengembangan sesuai dengan

sasaran dan tujuan perusahaan.

b. Partisipasi berdasarkan lembaga yang ada (statutory), biasanya dijumpai pada

masyarakat yang memiliki konsensus politik yang stabil, umumnya bersifat formal,

biasanya dimulai dari legalitas, berkembang ke lembaga-lembaga seperti perwakilan

atau pengaturan tripartit.

c. Partisipasi sukarela (voluntary), tidak diprogram, muncul berdasarkan kebutuhan

kelompok dan kebutuhan perusahaan dan bersifat positif kadang-kadang kepada

pengambil keputusan bersama perusahaan.

d. Partisipasi manajeman sendiri (self management) yang mengembangkan demokrasi

dan formalitas kontitusi seperti diskusi investasi dan pengembangan.

Menurut Hassan (1973), partisipasi dalam pembangunan berarti masyarakat ikut

ambil bagian dalam suatu kegiatan, ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan hanya dapat

diharapkan bila yang bersangkutan merasa dirinya berkepentingan dan diberi kesempatan

untuk ambil bagian. Dengan kata lain, partisipasi tidak mungkin optimal jika diharapkan

dari mereka yang merasa tidak berkepentingan terhadap suatu kegiatan, dan juga tidak

optimal jika mereka yang berkepentingan tidak diberi keleluasaan untuk ambil bagian.

Page 32: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

16

Sedangkan Poerwadarminta (1986), berpendapat bahwa masyarakat adalah pergaulan

hidup manusia (sehimpunan orang yang hidup bersama disuatu tempat dengan ikatan-

ikatan aturan yang tertentu). Selanjutnya Soekanto (1986) berpendapat bahwa masyarakat

adalah kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja secara cukup lama sehingga

mereka dapat mengatur diri sendiri dan menganggap diri mereka suatu kesatuan sosial

dengan batas-batas yang telah dirumuskan dengan jelas. Masyarakat adalah sekelompok

orang yang mempunyai identitas sendiri, yang membedakan dengan kelompok lain dan

hidup diam dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini, baik

sempit maupun luas mempunyai peranan akan adanya persatuan di antara anggota

kelompok dan menganggap dirinya berbeda dengan kelompok lain. Mereka memiliki

norma-norma, ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang dipatuhi bersama

sebagai suatu ikatan. Perangkat dan pranata tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi

kebutuhan kelompok dalam arti seluas- luasnya (Widjaja, 1986).

Jenssen (1992) berpendapat, berbagai kelompok pada hakekatnya terlibat dalam

pembangunan di daerah seperti administratur pembangunan, politisi, spesialis, teknisi,

kelompok tani, pedagang, pelaku bisnis, manajer perorangan, guru, anggota lembaga

keuangan dan organisasi-organisasi lainnya. Untuk itu, kontribusi mereka dalam

mempersiapkan perencanaan yang direfleksikan dalam kepentingan gagasan, usulan dan

harapan merupakan hal yang sangat diperlukan. Selanjutnya Departemen Dalam Negeri

(1982), menyatakan bahwa partisipasi dilakukan dalam berbagai refleksi di antaranya

dalam pengambilan keputusan, baik secara individu maupun secara institusional misalnya

melalui kegiatan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Lembaga

Masyarakat Desa (LMD). Upaya meningkatkan peranserta masyarakat dibutuhkan dalam

pembangunan agar dapat memberikan hasil yang optimal. Partisipasi masyarakat dalam

perencanaan secara teknis berlangsung berdasarkan pertimbangan sasaran dan tujuan.

Sasaran yang dimaksud meliputi pembenahan administratif dan kepentingan umum.

Selanjutnya Cressey (1987), menyatakan bahwa partisipasi dipengaruhi oleh konteks

sosial ekonomi atau pemasaran, teknologi dan produktivitas, serta organisasi sosial dan

kelembagaan. Selanjutnya menurut Cressey (1987) dan FAO (1991), bahwa komponen

penting dalam partisipasi meliputi: waktu dan tahapan, isi kegiatan dan konstruksi proses

termasuk didalamnya aktor yang terlibat.

Page 33: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

17

Hamidjojo (1993) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat yang berintikan

gotong-royong yang diangkat dari tradisi khas bangsa Indonesia dengan diberi

persyaratan atau kualifikasi baru, yaitu rasionalitas, otoaktivitas (swadaya, individualitas

atau kepribadian yang otonom, masyarakat yang dewasa dan harus bisa menolong diri

sendiri. Keberhasilan partisipasi masyarakat haruslah didasari kewajaran, kesukarelaan,

sikap, dan prilaku aktif yang langgeng. Dalam partisipasi masyarakat terkandung dua

makna dwitunggal, yaitu bahwa swadaya dan gotong-royong, dan merupakan suatu

prinsif kerjasama dan bentuk kerja yang spontan, di antara warga desa dan antara warga

desa dan Kepala Desa beserta Pamong Desa, yang mengandung unsur: kekuatan atau

prakarsa sendiri, berupa pengarahan kemampuan pikiran, tenaga, sosial dan hartabenda

(daya), melaksanakan pekerjaan bagi kepentingan lingkungan tetangga, masyarakat dan

pemerintah (rumah tangga) desa, dengan menjunjung tinggi semangat kebersamaan dan

rasa keterikatan timbal balik dalam meraih dan menikmati hasil karya.

Partisipasi diartikan mengambil bagian atau ikut serta menanggung bersama orang

lain. Jika dihubungkan dengan masalah sosial, maka arti pe rtisipasi adalah suatu keadaan

yang seseorang ikut merasakan sesuatu bersama-sama dengan orang lain sebagai akibat

adanya interaksi sosial (Fairchild, 1977). Hasil studi Uphoff dalam Cernea (1988)

terhadap tiga proyek pembangunan pedesaan di Gana, Meksiko, dan Nepal

menyimpulkan bahwa kegagalan suatu proyek disebabkan oleh ketergantungan yang luar

biasa pada perencanaan yang tersentralisasi, tidak mendorong partisipasi. Bahkan

sekalipun perencanaan mulai memperhatikan partisipasi, analisis lebih lanjut

menunjukkan bahwa organisasi sosial dalam partisipasi tergolong lemah atau malahan

tidak ada. Selanjutnya Uphoff (1988) lebih lanjut mendefinisikan lima cara untuk

menjamin partisipasi pemanfaat dalam rancangan proyek dan pelaksanaan. Pertama, taraf

partisipas i yang dikehendaki meski diperjelas sejak semula dan dengan cara yang dapat

diterima untuk semua pihak. Kedua, harus ada tujuan yang realistis untuk partisipasi dan

kelonggaran meski diberikan untuk kenyataan bahwa beberapa tahap perencanaan relatif

berlarut, sedangkan fase lainnya akan lebih singkat. Ketiga, dikebanyakan bagian dunia

perlengkapan khusus untuk memperkenalkan dan mendukung partisipasi memang

diperlukan. Keempat, meski ada komitmen rencana untuk bersama-sama memikul

tanggung jawab di semua tahap siklus proyek. Pada akhirnya disimpulkan bahwa tidak

Page 34: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

18

semata dalam pembuatan keputusan proyek, tetapi juga menggali pengetahuan penduduk,

mencatat bidang keahlian lokal yang dapat memberikan kontribusi sesungguhnya bagi

rancangan proyek: mengumpulkan data sosial ekonomi, memantau dan mengevaluasi

proyek yang dikumpulkan oleh orang luar; memberikan pemahaman teknis; dan

memberikan kontribusi informasi ruang dan sejarah tentang proyek terdahulu yang

mungkin sejenis dan penyebab keberhasilan dan kegagalan.

Menurut Davis dalam Sastropoetro (1988), ada beberapa syarat agar terdapat

pertisipasi yang efektif, diantaranya adalah kemampuan. Seseorang dengan kemampuan

ekonomi yang tinggi mampu berpartisipasi dalam berbagai bentuk, misalnya tenaga,

uang, ide atau pemikiran dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa tingkat partisipasinya

juga lebih tinggi dibanding seseorang yang kemampuan ekonominya lebih rendah. Di

samping itu partisipasinya juga lebih bersifat "murni" tanpa pamrih, tanpa motif ekonomi.

Sebaliknya, seseorang yang kemampuan ekonominya rendah akan berpartisipasi atas

dasar pamrih, yakni untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Kebutuhan ini bisa

terpenuhi dengan berpartisipasi sebagai tenaga kerja, untuk memperoleh upah. Sedangkan

menurut Arianta (1995) dalam penelitiannya mengenai partisipasi anggota lembaga

perkeriditan desa menemukan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu faktor

penyebab utama partisipasi dari anggota lembaga tersebut. Anggota masyarakat

terdorong untuk berpartisipasi terhadap lembaga tersebut karena faktor ekonomi berupa

keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Menurut GTZ (1997), pendekatan partisipatif diperlukan untuk melibatkan semua

pihak sejak langkah awal, mulai tahapan analisis masalah, penetapan rencana kerja

sampai pelaksanaan dan evaluasinya. Kegiatan partisipatif dapat dikelompokkan pada

dua kelompok sasaran yaitu: partisipasi para pengambil keputusan, dan partisipasi

kelompok setempat yang terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup,

apabila berjalan sesuai dengan peraturan yang ada dan setiap masyarakat menjalankannya

secara obyektif tidak hanya mengutamakan kepentingan dirinya atau kelompoknya saja,

maka kerugian yang akan timbul tidak akan berarti dibandingkan manfaatnya (Suratmo,

1977). Selanjutnya menurut Suratmo (1999), manfaat partisipasi adalah:

Page 35: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

19

a. Masyarakat dapat mengetahui rencana pembangunan di daerahnya, dan mengetahui

dampak yang akan terjadi, serta dapat menanggulangi.

b. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai masalah lingkungan.

c. Masyarakat dapat menyampaikan informasi dan pendapatnya atau persepsinya kepada

pemerintah.

d. Pemerintah mendapatkan informasi dari masyarakat yang tidak ada dalam Amdal.

e. Dapat dihindarinya kesalah pahaman dan terjadinya konflik.

f. Masyarakat akan dapat menyiapkan diri untuk menerima manfaat proyek.

g. Meningkatnya perhatian dari pemerintah dan pemrakarsa proyek pada masyarakat.

Kerugian partisipasi masyarakat yang sering terjadi berdasarkan pengalaman di Amerika

Serikat menurut Canter (1977), adalah:

a. Informasi yang masuk dari masyarakat bermacam-macam bentuknya, mempersulit

untuk mengambil keputusan.

b. Informasi dan pendapat dari masyarakat yang tidak banyak tahu atau tidak memahami

mengenai proyek pembangunan, dampak dan pengelolaan lingkungan.

c. Masyarakat terkadang tidak berminat lagi dalam dengar pendapat, karena penjelasan

yang diberikan pada masyarakat sering terlalu teknis.

d. Penyimpulan pendapat masyarakat tidak selalu berpegang pada pendapat terbanyak

(mayoritas), tetapi berdasarkan pendapat-pendapat dan informasi yang logis dan dapat

diterima secara ilmiah oleh pemerintah.

e. Kalau ada perbedaan pendapat diantara kelompok masyarakat, maka rumusan atau

keputusan yang akan diambil menyebabkan selalu ada kelompok yang tidak puas.

f. Dimanipulasikan untuk kepentingan pribadi atau suatu kelompok yang tidak baik.

Partisipasi ini dikatagorikan sebagai partisipasi langsung. Sebaliknya ada

partisipasi tidak langsung, yaitu apabila warga dikerahkan karena adanya gagasan dari

atas dimana warga dimobilisasi, dikerahkan secara paksa untuk aktif dalam kegiatan

lingkungan (Huntington and Nilson (1977). Menurut Adimihardja (2001), proses

partisipasi sesungguhnya adalah keterlibatan masyarakat secara menyeluruh mulai dari

tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, antara lain adalah:

a. Tahap perencanaan, dilakukan jika praktek pembangunan tidak berjalan sebagai

perencana untuk masyarakat, tetapi sebagai pendapat dalam proses perencanaan yang

Page 36: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

20

dilakukan oleh masyarakat, dengan melakukan diskusi kelompok terarah untuk

membahas persoalan-persoalan yang terjadi diantara kelompok-kelompok atas

organisasi sosial masyarakat dan mempraktekan analisa pola keputuasan yang

dilakukan masyarakat dalam proses perencanaan.

b. Tahap pelaksanaan perencanaan partisipatif merupakan konsekwensi logis dari

implementasi pemberdayaan masyarakat, masyarakat mempunyai peran utama,

sebagai pengelola perencanaan mulai identifikasi potensi dan pendayagunaan sumber-

sumber lokal sehingga penyusunan usulan rencana serta evaluasi mekanisme

perencanaan. Tahap pengawasan dan evaluasi kegiatan pengawasan dan evaluasi

partisipatif, teknik dan prosedur, instrumentasi, pengumpulan, pengelolaan dan

analisis data, serta pelaporan harus diberikan kewenangan kepada masyarakat untuk

melakukan kegiatan pengawasan dan evaluasi internal, seperti Tabel 1.

Tabel 1. Evaluasi Partisipatif

Aspek Evaluasi Partisipatif

Siapa

Apa

Bagaimana

Kapan

Mengapa

Anggota masyarakat, staf proyek, fasilitator masyarakat mengidentifikasi sendiri indikator keberhasilan termasuk hasil produk yang akan dicapai.

Evaluasi sendiri, produk sederhana yang diadaptasi dengan budaya lokal, ada diskusi hasil dengan melibatkan partisipan dalam proses evaluasi.

Evaluasi sendiri, metode sederhana yang diadaptasi dengan budaya lokal, ada diskusi hasil yang melibatkan persyaratan dalam proses evaluasi.

Tergantung atas proses perkembangan masyarakat dan intensitas relatif sering.

Pemberdayaan masyarakat lokal untuk intensitas, mengontrol, melakukan tindakan koreksi.

Sumber: Narayama (1993).

Sedangkan Angell dalam Murray and Lappin (1967), menyatakan bahwa faktor-

faktor yang mempengaruhi partisipasi seseorang dalam mengikuti kegiatan di

lingkungannya, antara lain: umur, pekerjaan, penghasilan, pendidikan dan lama tinggal.

Individu yang berusia menengah keatas cendrung untuk aktif berpartisipasi dalam

kegiatan yang ada dilingkungannya. Individu yang mempunyai pekerjaan tetap cenderung

untuk berpartisipasi. Begitupula dengan penghasilan, makin tinggi penghasilan makin

banyak partisipasi yang dib erikan, sebab jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan

dirinya dan keluarganya cenderung untuk tidak berpartisipasi.

Page 37: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

21

Inkeles (1969) menyatakan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi partisipasi

seseorang dalam mengikuti kegiatan di lingkungannya, antara lain: umur, penghasilan,

pekerjaan, pendidikan dan lama tinggal. Individu yang mempunyai tingkat pendidikan

dan penghasilan yang tinggi cenderung untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan yang

ada di lingkungannya. Ia juga mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan

individu, semakin luas pengetahuannya dan kesadarannya terhadap lingkungan yang

akhirnya akan diikuti dengan keterlibatannya pada masalah-masalah kemasyarakatan.

Faktor lama tinggal juga merupakan salah satu faktor yang tidak kecil perannya dalam

mempengaruhi partisipasi seseorang dalam kegiatan yang ada di lingkungannya. Semakin

lama tinggal di suatu tempat, semakin besar rasa memiliki dan perasaan dirinya sebagai

bagian dari lingkungannya, sehingga timbul keinginan untuk selalu menjaga dan

memelihara lingkungan dimana dia menetap. Partisipasi dapat bersifat individual atau

kolektif, terorganisasi atau tidak terorganisasi yaitu secara spontan dan sukarela.

Pada hakekatnya, strategi dan pendekatan pembangunan manusia adalah

menumbuhkan otonomi perilaku pribadi dan sosial yang terintegrasi. Interaksi tersebut

merupakan kristalisasi dan faktor- faktor situasional dan beserta kognisi, keinginan, sikap,

motivasi dan responnya. Latar belakang sosial kultural, status sosial dan tingkat

kehidupan menentukan kesempatan dan kemampuan untuk turut berproses dalam

pembangunan. Faktor internal manusia dan lingkungan sosial, terutama lembaga sosial

untuk menumbuhkan self sustain capacity masyarakat, bekerjasama dengan lembaga

pemerintahan mempunyai makna penting dalam pembangunan sumberdaya manusia yang

berkelanjutan (Supriatna, 1997). Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan

terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi faktor-faktor yang

mendukungnya, yaitu: (1) adanya kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi

lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi,

(2) adanya kemauan; adanya sesuatu yang mendorong/menumbuhkan minat dan sikap

mereka untuk termotivasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas

partisipasinya tersebut, (3) adanya kemauan, yaitu adanya kesadaran atau keyakinan pada

dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, baik pikiran, tenaga,

waktu atau sarana dan material lainnya (Slamet, 1994).

Page 38: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

22

Ketiga faktor tersebut akan dipengaruhi oleh berbagai faktor di seputar kehidupan,

manusia yang paling berinteraksi atau dengan lainnya, seperti psikologis individu (needs,

harapan, motif, reward) pendidikan, adanya informasi, keterampilan, teknologi,

kelembagaan yang mendukung, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal serta

peraturan dan pelayanan pemerintah. Sedangkan menurut Oppenheim (1973) dalam

Sumardjo dan Saharudin (2003), ada unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu

pada diri seseorang dan terdapat iklim atau lingkungan yang memungkinkan terjadinya

perilaku tertentu.

Menurut Sahidu (1998) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemauan

masyarakat untuk berpartisipasi adalah motif harapan, dan penguatan informasi. Faktor

yang memberikan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi adalah pengaturan dan

pelayanan, kelembagaan, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal, kepemimpinan,

sarana dan prasarana. Faktor yang mendorong adalah pendidikan, modal dan pengalaman

yang dimiliki. Terdapat tiga prinsip dasar dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat

desa agar ikut serta dalam pembangunan, yaitu: (1) Learning process (learning by doing) :

Proses kegiatan dengan melakukan aktivitas kegiatan pelaksanaan program dan sekaligus

mengamati, menganalisa kebutuhan dan keinginan masyarakat; (2). Institusional

development. Melakukan kegiatan melalui pengembangan pranata sosial yang sudah ada

dalam masyarakat. Karena institusi atau pranata sosial masyarakat merupakan daya

tampung dan daya dukung sosial; (3) Participatory. merupakan suatu pendekatan yang

umum dilakukan untuk dapat menggali need yang ada dalam masyarakat (Marzali, 2003).

Menurut Hikmat (2001), pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang

sangat potensial dalam rangka peningkatan ekonomi, sosial dan transformasi budaya,

proses ini pada akhirnya dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada

rakyat. Secara sederhana partisipasi mengandung makna peran serta seseorang untuk

sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu

secara sadar diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut. Bila menyangkut

partisipasi dalam pembangunan masyarakat, maka menyangkut keterlibatan secara aktif

dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati hasilnya atas suatu

usaha perubahan masyarakat yang direncanakan untuk mencapai tujuan-tujuan

masyarakat (Sumardjo dan Saharudin (2003). Sedangkan menurut Bumberger dan Shams

Page 39: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

23

(1989), terdapat dua pendekatan mengenai partisipasi masyarakat. Pertama, partisipasi

merupakan proses sadar tentang pengembangan kelembagaan dan pemberdayaan dari

masyarakat yang kurang beruntung berdasarkan sumberdaya dan kapasitas yang

dimilikinya. Dalam proses ini tidak ada campur tangan dan prakarsa pemerintah. Kedua,

partisipasi harus mempertimbangkan adanya investasi dari pemerintah dan LSM, di

samping peran serta masyarakat. Hal ini sangat penting untuk implementasi proyek yang

lebih efisien, mengingat kualitas sumber daya dan kapasitas masyarakat tidak memadai,

jadi, masyarakat miskin tidak leluasa sebebas-bebasnya bergerak sendiri berpartisipasi

dalam pengembangan kelembagaan dan pemberdayaan.

Partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya

dapat dibedakan menjadi yang bersifat konsultatif dan bersifat kemitraan. Dalam

partisipasi masyarakat dengan pola hubungan konsultatif antara pihak pejabat pengambil

keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan, anggota-anggota

masyarakatnya mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberi tahu,

dimana keputusan terakhir tetap berada ditangan pejabat pembuat keputusan tersebut.

Dalam konteks partisipasi masyarakat yang bersifat kemitraan, pejabat pembuat

keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar

kedudukkannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif

pemecahan masalah dan membahas keputusan. Kenyataan menunjukan bahwa masih

banyak yang memandang partisipasi masyarakat semata-mata hanya sebagai

penyampaian informasi, penyuluhan bahkan sekedar alat public relation agar proyek

tersebut dapat berjalan tanpa hambatan. Karena nya partisipasi masyarakat tidak saja

digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi juga digunakan sebagai tujuan.

Partisipasi dalam pemanfaatan TPA berarti masyarakat ikut ambil bagian dalam

suatu kegiatan, hanya dapat dirasakan bila masyarakat berkepentingan dan diberi

kesempatan untuk ambil bagian. Partisipasi tidak mungkin optimal jika masyarakat yang

berkepentingan tidak diberi keleluasaan untuk ambil bagian. Pendekatan partisipatif

diperlukan untuk melibatkan semua pihak sejak langkah awal, mulai analisis masalah,

penetapan rencana kerja sampai pelaksanaan dan evaluasinya. Lebih lanjut disebutkan

bahwa seseorang akan berpartisipasi apabila terpenuhi prasyarat untuk berpartisipasi,

yaitu adanya: 1). kesempatan, suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang

Page 40: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

24

tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi, 2). kemauan, sesuatu yang

mendorong atau menumbuhkan minat dan resiko, mereka untuk termotivasi

berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut,

dan 3). kemampuan, adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa dia

mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran, tenaga, waktu atau

sarana dan material lainnya.

Dengan demikian partisipasi masyarakat adalah keterlibatan dan keikutsertaan

seseorang atau masyarakat untuk berperanserta melakukan kegiatan bersama-sama

dengan orang lain secara aktif dan sukarela dalam menentukan arah, strategi dan tujuan

pembangunan. 2.3. Pencemaran Lingkungan

Menurut Saeni (1989), pencemaran adalah peristiwa adanya penambahan

bermacam-macam bahan sebagai hasil dari aktivitas manusia ke dalam lingkungan yang

biasanya memberikan pengaruh berbahaya terhadap lingkungan itu. Zat pencemar adalah

zat yang mempunyai pengaruh menurunkan kualitas lingkungan, atau menurunkan nilai

lingkungan itu. Kontaminan adalah zat yang menyebabkan perubahan dari susunan

normal dari suatu lingkungan. Kontaminan tidak digolongkan sebagi zat pencemar bila

tidak menimbulkan penurunan kualitas lingkungan. Selanjutnya menurut Saeni (1997),

salah satu jenis bahan pencemar yang dapat membahayakan kesehatan manusia adalah

logam berat. Zat yang bersifat racun dan yang sering mencemari lingkungan misalnya

merkuri (Hg), timbal (Pb), kadmium (Cd), dan tembaga (Cu). Perusakan lingkungan

hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung

terhadap sifat fisik dan hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi

lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (UU No.23 Tahun 1997).

Menurut pasal 1 ayat 11 UU No. 23 Tahun 1997, baku mutu lingkungan hidup

adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau

harus ada zat pencemar yang ditanggung keberadaannya dalam suatu sumber daya

tertentu. Pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa setiap usaha kegiatan dilarang melanggar

baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Pencemaran lingkungan merupakan bermacam-macam mahluk hidup, bahan, zat-

zat pada suatu lingkungan, yang menyebabkan timbulnya pengaruh yang berbahaya

Page 41: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

25

terhadap lingkungan, karena adanya perubahan yang bersifat fisik, kimiawi, maupun

biologis (Supardi, 1994). Pencemaran lingkungan mempunyai derajat pencemaran atau

tahap pencemaran yang berbeda, didasarkan pada konsentrasi zat pencemar, waktu

tercemarnya, lamanya kontak antara bahan pencemaran dengan lingkungan.

Menurut Tchobanoglous, et.al (1977), perolehan gas nitrogen (N2), karbon

dioksida (CO2) dan metana (CH4), pada landfill tergantung banyaknya komponen

organik pada landfill, hara yang tersedia, kadar air pada sampah, tingkat kepadatan

sampah pada kondisi awal, waktu penimbunan dan lain- lain. Secara umum perolehan gas

N2, CO2, CH4 pada landfill dapat dihitung dengan melakukan perkalian antara volume

sampah pada landfill dengan nilai persen masing-masing gas, menurut jangka waktu

penimbunan sampah.

Sampah merupakan sumber beberapa jenis penyakit menular, keracunan dan lain-

lain (Slamet, 1994). Bahan beracun, bakteri, virus, jamur dan lain- lain yang ada dalam

timbunan sampah, dapat berpindah tempat ke tempat lain melalui proses lindi. Apabila

cairan dari sampah yang mengandung bibit penyakit masuk kedalam air permukaan,

maka air permukaan tersebut akan berperan sebagai penyebar mikroba patogen atau

penyakit menular di dalam air.

Ada empat hal penyebab pencemaran air tanah yaitu:

a. Bila jarak antara sumur dan jamban kurang dari 10 m untuk tanah biasa dan paling

dekat 15 m untuk tanah porus atau gembur.

b. Lokasi sumur tersebut sebelumnya merupakan lokasi sumber limbah rumahtangga

atau dekat industri atau bekas lokasi sampah (TPA).

c. Merembesnya air permukaan yang telah tercemar, WC dan air cucian ke dalam sumur.

d. Masuknya debu yang sudah tercemar ke dalam sumur terbuka.

Dari keempat sumber pencemaran air tanah yang berasal dari TPA merupakan

rembesan dari timbunan limbah di TPA sampah, dan merupakan sumber kontaminan

potensial bagi air permukaan, air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Selanjutnya

Eugene (1987) mengemukakan bahwa lindi akan mencemari tanah, air tanah dan sungai.

Jadi tingkat pencemaran air yang disebabkan oleh lindi tergantung dari sifat lindi, jarak

aliran dengan air tanah dan sifat-sifat tanah yang dilaluinya. Oleh sebab itu untuk

Page 42: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

26

menghindari pencemaran oleh lindi, sumber air sumur dangkal yang umumnya masih

digunakan oleh penduduk sebagai air minum harus terletak jauh dari sanitary landfill.

Pencemaran air dapat mengganggu tujuan penggunaan air dan akan menyebabkan

bahaya bagi manus ia melalui keracunan atau sumber dan penyebab penyakit. Daerah

perkotaan dengan tingkat aktivitas masyarakat dan industri yang demikian tinggi secara

bersamaan akan menghasilkan sampah sehingga membutuhkan tempat pembungan akhir

sampah kota yang perlu dikelola dengan baik agar dampak pencemarannya tidak

mempengaruhi masyarakat sekitarnya. Nitrat dalam hal ini merupakan pencemar utama

yang dapat mencapai air tanah dangkal maupun air tanah dalam yang diakibatkan oleh

aktivitas manusia termasuk dari penempatan sampah, Vasu at.al. (1998). Di samping itu

pergerakan air sangat mudah dipengaruhi oleh pengambilan air atau pemompaan air tanah

dangkal melalui sumur-sumur bor yang umumnya disiapkan oleh masyarakat untuk

memenuhi kebutuhannya.

Secara umum sumber pencemaran air tanah berasal dari tempat-tempat

pembuangan sampah, mudah meresap ke dalam tanah, sehingga sampah organik

merupakan sumber primer pencemaran bakteriologik (Bitton, 1984 dalam Wuryadi,

1990). Menurut Bouwer (1987) menambahkan, jarak aman dari bidang resapan adalah

30 meter untuk daerah di atas muka air tanah, dan 60 meter di bawah muka air tanah.

Bakteri patogen yang biasanya disebarkan melalui air adalah bakteri amuba

disentri, kolera dan tipus. Jumlah bakteri patogen dalam air umumnya sedikit

dibandingkan dengan bakteri coli (coliform), sehingga bakteri ini dipakai sebagai bakteri

indikator terhadap kualitas perairan karena jumlahnya banyak dan mudah diukur (Diana,

1992). Jenis bakteri coliform sebagai indikator adalah Escherichia coli dan Aerobacter

coli. Dari kedua jenis tersebut, yang lebih umum dan lebih banyak terdapat di perairan

atau tanah adalah jenis E. coli, yaitu sebagai indikator pencemar fecal (tinja), dihitung

berdasarkan MPN (most probabel number) (Saeni, 1991).

2.4. Pengertian-pengertian

A. Pengertian Sampah

Pengertian sampah dapat lebih jelas diketahui dengan mempelajari beberapa

pengertian. Sampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan

limbah padat. Sedangkan limbah itu sendiri pada dasarnya adalah suatu bahan yang

Page 43: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

27

terbuang atau dibuang dari suatu hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan

tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi

yang negatif. Sampah mempunyai nilai negatif karena penanganan untuk membuang atau

membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar, disamping juga dapat mencemari

lingkungan (Sa’id, 1998).

Sampah (solid waste) adalah semua jenis bahan padat yang dibuang sebagai bahan

buangan, tidak bermanfaat atau barang-barang yang dibuang karena kelebihan

(Tchobanoglous et al., 1977). Pavoni menyatakan bahwa, sampah adalah semua bahan

buangan yang umumnya dalam bentuk padat, berasal dari manusia dan binatang yang

dibuang sebagai barang yang tidak berguna atau tidak dibutuhkan lagi. Sampah

merupakan segala bentuk buangan padat yang sebagian besar berasal dari aktivitas

manusia (domestik). menurut Hadiwijoto (1983), sampah domestik lebih banyak

didominasi oleh bahan organik, meskipun tipe dan komponennya berpartisipasi dari satu

kota ke kota lainnya, bahkan dari hari-kehari.

B. Sumber dan Jenis Sampah

Menurut Sa’id (1987) penggolongan atau pembagian sampah dapat dilakukan

berbagai cara, tergantung kebijakan negara setempat, dua cara pembagian yang sering

digunakan, berdasarkan teknis dan berdasarkan sumbernya sebagai berikut:

a. Berdasarkan teknis, sampah dibagi atas:

1). Sampah bersifat semi basah, golongan bahan organik, misalnya sampah dapur,

sampah restoran berupa sisa buangan sayuran dan buah-buahan, mudah terurai,

karena mempunyai rantai ikatan kimiawi yang rendah.

2). Sampah anorganik sukar terurai karena mempunyai rantai ikatan kimiawi yang

panjang, misalnya kaca, plastik dan selulosa.

3). Sampah berupa abu hasil pembakaran, secara kuantitatif sampah jenis ini sedikit,

tetapi pengaruhnya bagi kesehatan cukup besar.

4). Sampah berupa jasad hewan mati, misalnya bangkai tikus, anjing, ayam, ikan dan

burung.

5). Sampah jalanan, semua sampah yang dikumpulkan di jalan-jalan, misalnya daun-

daunan, kantong plastik, kertas dan lain- lain.

Page 44: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

28

6). Sampah industri, dari kegiatan produksi, secara kuantitatif limbah ini banyak,

tetapi ragamnya tergantung jenis industri tersebut.

b. Berdasarkan sumbernya, sampah digolongkan dalam:

1). Sampah domestik (domestic waste).

Berasal dari lingkungan perumahan, baik di perkotaan maupun pedesaan, ragam

sampah perkotaan lebih banyak, serta jenis sampah organiknya secara kuantitatif

dan kualitatif lebih kompleks. Sampah di pedesaan umumnya bahan-bahan organik

sisa produk pertanian, sedangkan sampah anorganiknya lebih sedikit.

2). Sampah komersial (commercial waste)

Tidak berarti sampah tersebut mempunyai nilai ekonomi, tetapi lebih merujuk

kepada jenis kegiatan yang menghasilkannya. Sampah komersial dari kegiatan

perdagangan, seperti toko, warung, restoran dan pasar atau toko swalayan.

Tabel 2: Sumber dan Jenis Sampah Sumber Jenis, Fasilitas, Aktivitas, Lokasi

Timbulnya Sampah Jenis Sampah

Perumahan Komersial Fasilitas kesehatan Perkotaan Industri Lapangan terbuka Industri pengolahan Pertanian

Rumah tinggal, apartemen atau rumah susun. Toko, restoran, pasar, bangunan kantor, hotel, percetakan, toko onderdil, perusahaan. Rumah sakit, puskesmas, poliklinik, apotik. Rumah sakit, puskesmas, poliklenik, apotik. Bangunan, pabrik, penyulingan, instalasi, kimia, pertambangan, pembangkit tenaga. Jalan, taman, tanah kosong, lapangan bermain, pantai, jalan tol, tempat rekriasi. PDAM, IPAL, proses pengolahan industri. Hasil semua atau ladang, kebun, peternakan.

Sisa makan, rubbish, abu, sampah khusus. Sisa makan, rubbish, abu, sisa bangunan, sampah khusus. Sisa makan, rubbish, sampah khusus. Sisa makan, rubbish, sampah khusus. Sisa makanan, rubbish , sisa atau bekas buangan, sampah khusus, sampah berbahaya. Sampah khusus rubbish. Sampah dan instalasi lumpur residu. Sisa makanan membusuk, sampah perkotaan, rubbish , sampah berbahaya.

Sumber: Tehobauoglous (1997).

Pengertian sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan adalah benda yang

dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau harus dibuang, sehingga

tidak mengganggu kelangsungan hidup (Azwar, 1983). Sampah digolongkan dalam ilmu

kesehatan lingkungan adalah:

Page 45: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

29

a. Garbage, sisa pengolahan makanan yang mudah membusuk, misalnya koto ran dapur

rumah tangga, restoran, hotel dan lain- lain.

b. Rubbish, bahan atau sisa pengelolaan yang tidak mudah membusuk (mudah terbakar:

kayu, kertas, dan yang tidak mudah terbakar: kaleng dan kaca).

c. Ashes, ialah segala jenis abu hasil pembakaran kayu, batubara.

d. Segala jenis bangkai yang besar seperti kuda, sapi, kucing, tikus.

Street sweeping, ialah segala benda padat sisa sampah hasil industri, misal industri

kaleng dengan potongan-potongan sisa kaleng.

Menurut Sumirat (1994), jenis sampah dibagi atas dasar sifat-sifat biologi dan

kimianya, yaitu:

a. Sampah yang membusuk (garbage), yang mudah membusuk karena aktivitas

mikroorganisme.

b. Sampah yang tidak membusuk (refure), jenis ini terdiri dari kertas-kertas, logam,

karet, plastik dan lainnya yang tidak dapat membusuk.

c. Sampah yang berbentuk debu atau abu hasil dari pembakaran, baik pembakaran bahan

bakar, sampah jenis ini tidak membusuk, tetapi dapat dimanfaatkan untuk

mendapatkan tanah atau penimbunan.

d. Sampah berbahaya, adalah sampah karena jumlah, konsentrasi atau sifat kimiawi,

fisika dan mikrobiologinya dapat menimbulkan bahaya.

Jadi pada dasarnya sumber sampah dapat diklarifikasi beberapa kategori yang

berhubungan dengan tata guna tanah: permukiman penduduk, tempat-tempat umum,

tempat pardagangan, sarana pelayanan masyarakat milik pemerintah maupun swasta,

daerah industri, pertanian dan rumah sakit.

C. Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah bertujuan mengubah sampah menjadi bentuk yang tidak

mengganggu dan menekan volume, sehingga mudah diatur. Cara pengelolaan sampah

yang dianggap terbaik saat ini adalah penimbunan dan pemadatan secara berlapis- lapis

(sanitary landfills), sampah tidak terbuka selama 24 jam karena apabila air hujan yang

terserap ke lapisan tanah dan melalui lapisan sampah akan membentuk cairan lindi, yang

mengandung padatan terlarut dan zat- zat lain hasil perombakan bahan organik oleh

mikroba. Lindi tersebut dapat mengalir bersama air hujan atau air permukaan dan

Page 46: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

30

meresap kedalam lapisan- lapisan tanah dan masuk ke dalam air tanah (Clark, 1977).

Hasil analisis lindi oleh Department of Public Health, USA (1972) terdapat pada Tabel 3.

Pada Tabel 3 dijelaskan semakin lama umur lindi, konsentrasi zat pencemar

semakin berkurang, karena zat-zat tersebut telah mengalami penguraian oleh tanah. Ion

klorida (Cl̄ ) sebagai ion anorganik sulit teruraikan, baik melalui pertukaran ion, adsorbsi,

filtrasi, dan biodegradasi. Dalam hal ini ion Cl̄ dapat dipakai sebagai indikator terhadap

aliran lindi, secara tidak langsung dapat menimbulkan pencemaran terhadap air tanah,

khususnya air sumur gali (Slamet, 1994).

Tabel 3. Hasil Analisis Lindi Sistem Sanitary Landfill (ppm) Umur Lindi Parameter Satuan 2 Tahun 6 Tahun 17 Tahun

BOD5 COD Jumlah Padatan Klorida (C1¯) Natrium (Na?) Besi (Fe) Sulfat (SO4²¯) Kesadahan Logam-logam berat

mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l

39 68.0 54 610.0 9 144.0 1 697.0

900.0 5 500.0

680.0 7830.0

15.8

8 000.0 14 080.0 6 795.0 1 330.0

810.0 6.3 2.0

2 200.0 1.5

40.0 225.0

1 198.0 135.0 74.0 0.6 2.0

540.0 5.4

Sumber: Department of Public Health USA (1972).

Tinggi rendahnya curah hujan, jarak aliran dengan air tanah, dan sifat-sifat tanah

yang dilalui akan mempengaruhi sifat lindi, dan sifat lindi akan mempengaruhi tingkat

pencemaran yang ditimbulkannya, sedangkan komposisi lindi dipengaruhi oleh asal dan

umurnya. Dengan demikian, untuk menghindari kontaminasi terhadap lingkungan, lindi

yang terjadi harus aman dari pencemaran sebelum disalurkan ke saluran pembuangan.

Menurut Suratmo (2002), pengelolaan sampah di TPA terdiri dari open dumping,

landfill, insinerator, pembuatan kompos dan teknologi baru (reduce, recycle dan reuse).

Sedangkan partisipasi masyarakat dalam hal pengelolaan sampah harus diperhatikan

ketersediaan tempat sampah di rumah, ketersediaan TPS, ketaatan membayar iuran dan

ketaatan membuang sampah di tempat yang telah ditentukan.

Page 47: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

31

Gambar 2: Diagram Kerangka Dasar Pemikiran Pengelolaan Sampah

Menurut Sa’id (1988), pengelolaan sampah adalah perlakuan atau tindakan yang

dilakukan terhadap sampah yang meliputi pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan

dan pengolahan serta pemusnahan. Sedangkan menurut Soewedo (1983), pengelolaan

sampah adalah perlakuan terhadap sampah guna menghilangkan masalah yang berkaitan

dengan lingkungan.

Pengelolaan sampah didefinisikan sebagai suatu bidang yang berhubungan

dengan pengaturan terhadap penimbunan, penyimpanan, pengumpulan, pemindahan dan

pengangkutan, pemrosesan dan pembuangan sampah dengan cara yang sesuai dengan

prinsip-prinsip terbaik dari kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik, perlindungan alam,

keindahan dan pertimbangan lingkungan lainnya dan juga mempertimbangkan sikap

masyarakat. Pengelolaan sampah adalah suatu proses mulai dari sumber sampai dengan

di buang ke tempat pembuangan akhir (TPA) dengan tidak menimbulkan kerusakan

lingkungan, mengganggu kelestarian dan sumberdaya alam.

Secara umum syarat pokok pengelolaan sampah, yaitu: penyimpanan atau

pewadahan, pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan dan pembuangan akhir. Dari

beberapa syarat pokok tersebut, yang perlu mendapat perhatian adalah pengelolaan dan

pembuangan akhir sampah. Pengolahan sampah merupakan proses antara sebelum

dilakukan pembuangan sampah di TPA yang bersifat optimal. Teknik dan cara

pengolahan sampah dapat dilakukan dengan metode daur ulang, biologis (pembuatan

kompos), pemadatan dan insinerator.

UU & PERDA

Penyuluhan

Dinas Kebersihan (Petugas Kebersihan)

Sarana & Prasarana Angkutan

Penghasil Sampah (masyarakat)

Pengumpul Sampah

Sampah Terkumpul

Disiplin

Pengetahuan

Kesadaran

Prilaku atau Kebiasaan

Membuang Sampah

Sampah Terangkut

Lingkungan Bersih Sehat dan Nyaman

Page 48: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

32

Azwar (1983) menyatakan bahwa dalam pengelolaan sampah terdapat tiga

aktivitas meliputi:

a. Penyimpanan atau pengumpulan

Cara ini dimaksudkan untuk menjaga agar hasil pengumpulan sampah tidak terjadi

perubahan yang dikehendaki, seperti pembusukan, atau kadar air yang meningkat.

Penyimpanan ini dilakukan pada tempat pengumpulan sementara sebelum sampah

diangkut, dibuang, dimanfaatkan serta dimusnahkan. Tempat-tempat ini sering

dijumpai di toko-toko, warung, hotel, restoran, kantor dan rumah.

b. Pengangkutan

Pengangkutan sampah dari pemukiman penduduk yang terletak di pinggir jalan raya

diangkut dengan gerobak. Dari hasil pengumpulan dari rumah ke rumah dipindahkan

ke tempat pembuangan sementara (TPS), selanjutnya diangkut dengan truk ke tempat

pembuangan akhir (TPA) sampah.

c. Pemusnahan.

Menurut Partoatmodjo (1993), menyatakan pemusnahan dan pemanfaatan tersebut

sebagai berikut:

1) Sanitary landfill, membuang dalam lembah dan ditutup dengan selapis tanah,

yang dilakukan lapis demi lapis, sehingga sampah tidak berada di alam secara

terbuka.

2) Landfill, sampah dibuang dalam lembah tanpa ditimbun oleh lapisan tanah.

3) Open Dumping, membuang sampah di atas permukaan tanah.

4) Dumping in water, membuang sampah di perairan misalnya di sungai atau di laut.

5) Insinerasi, pembakaran sampah secara besar-besaran dan tertutup dengan

menggunakan insenerator.

6) Individual insenerator, pembakaran sampah dengan insenerator yang dilakukan

oleh perorangan dalam rumahtangga.

7) Hog feeding, sampah sayuran dijadikan untuk pakan babi.

8) Composting, pengelolaan sampah organik menjadi pupuk, yang bermanfaat

untuk menyuburkan tanah.

9) Discharge to sewers, sampah dihaluskan kemudian dibuang ke dalam saluran

air.

Page 49: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

33

10) Pendaur ulangan sampah dengan cara memanfaatkan kembali barang- barang

yang masih bisa dipakai.

11) Reduksi, menghancurkan sampah menjadi bagian kecil-kecil dan hasilnya

dimanfaatkan.

Pembuangan akhir sampah adalah upaya untuk memusnahkan sampah di tempat

tertentu yang disebut tempat pembuangan akhir sampah (TPA), dan dalam pembuangan

akhir ada beberapa metode yaitu:

a. Open Dumping

Metode open dumping adalah cara pembuangan akhir dengan hanya menumpuk

sampah begitu saja tanpa ada perlakuan khusus, sehingga dapat menimbulkan

gangguan terhadap lingkungan.

b. Controlled Landfill

Adalah sistem open dumping yang diperbaiki atau ditingkatkan, merupakan peralihan

antara teknik open dumping dan sanitary landfill. Pada cara ini penutupan sampah

dengan lapisan tanah dilakukan setelah TPA penuh dengan timbunan sampah yang

dipadatkan setelah mencapai tahap tertentu.

c. Sanitary Landfill

Pada sistem ini sampah ditimbun dalam tanah yang luas kemudian dipadatkan dan

ditutup dengan tanah penutup harian pada setiap hari dan akhir operasi (Suryanto,

1988).

Menurut Sumitro et al., (1991) dalam usaha penanggulangan masalah sampah

melalui pemanfaatan sampah tersebut, perlu diperhatikan kandungan zat kimia, seperti

keberadaan karbon dan kobalt yang dapat menimbulkan gangguan pada tanaman. Hal ini

dapat berkembang menjadi masalah yang serius, karena selain dapat merusak hasil

tanaman, misalnya meracuni tanaman tomat, unsur-unsur tersebut juga berbahaya bagi

manusia yang mengkonsumsi produk pertanian tersebut. Resiko yang tidak dapat

dihindarkan dari pembuangan sampah di landfill adalah terbentuknya gas dan lindi yang

dipengaruhi oleh dekomposisi dari mikroba dan iklim, sifat dari sampah dan iklim

pengoperasian sampah di landfill. Perpindahan gas dan lindi dari lendfill ke lingkungan

sekitarnya menyebabkan dampak yang serius pada lingkungan, selain berdampak buruk

terhadap kesehatan juga menyebabkan kebakaran dan peledakan, kerusakan pada

Page 50: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

34

tanaman, bau yang tidak sedap, masalah setelah penutupan landfill, pencemaran air tanah,

udara dan pencemaran global, El-fadil (1997).

Menurut El- fadil et al., (1997), dan Samom et al., (2002) hendaknya TPA

dioperasikan dengan sistem sanitary landfill yang dilengkapi dengan pemasangan

instalasi recovery gas, sistem pengolahan dan pengumpulan gas yang mencegah

pemindahan gas dari TPA atau emisi gas melalui permukaan landfill, penghalang hid rolik

seperti ekstraksi dan sumur pantauan, sumur relief dan parit perlindungan dan sistim

pengumpulan untuk masalah pengontrolan lindi. Selain itu untuk meminimisasi dampak

lingkungan jika mungkin diusulkan kepada pemerintah untuk mengadopsi sistem

pengubahan sampah menjadi energi karena tidak mungkin hanya dengan sanitary landfill

dapat menghilangkan semua pengaruh negatif sampah dan lingkungan.

D. Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

Pada era saat ini tempat pembuangan sampah akhir yang umum dipergunakan di

beberapa negara adalah dengan tanah urugan atau dikenal dengan landfill yang berfungsi

sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). Menurut Tchobanoglous 1999, TPA adalah

suatu fasilitas fisik yang digunakan untuk pembuangan sisa limbah padat atau sampah

diatas permukaan tanah dari bumi. Akan tetapi saat ini istilah TPA mengacu pada

rekayasa fasilitas untuk pemusnahan limbah padat kota yang dirancang dan dioperasikan

untuk meminimumkan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang dikenal dengan sanitary landfill adalah

sistem pembuangan sampah dengan cara dipadatkan dan ditutupi serta dilapisi tanah

setiap hari. Di dalam sistem TPA akan terjadi proses dekomposisi sampah secara kimia,

biologi, dan fisik yang menghasilkan gas-gas dan bahan organik lainnya. Air hujan yang

jatuh pada lokasi TPA akan berinfiltrasi ke dalam sistem sampah dan melarutkan hasil

dekomposisi ini berupa cairan yang disebut air lindi, komposisi air lindi bervariasi antara

satu lokasi dengan lokasi lainnya, Widyatmoko dan Sintorini (2002).

Menurut Novotny dan Olem (1994) saat ini Tempat Pembuangan Akhir termasuk

sumber pencemaran air tanah utama di dunia setelah tanki septik dengan perhitungan saat

itu di Amerika Serikat hanya 6 % dari seluruh sanitary landfill yang tidak menyebabkan

masalah lingkungan dan beroperasi secara baik. Hal ini didukung oleh Freeze and Cherry

(1979) yang menyatakan bahwa kontaminasi air tanah oleh bahan organik yang dapat

Page 51: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

35

bergerak akan menjadi masalah yang sangat serius. TPA Bantar Gebang, pada prinsipnya

merupakana suatu landfill yang dirancang dan dikonstruksikan secara modern,

pengumpulan lindi dan pengolahannya pada 4 kolam aerasi. E. Lindi

Masalah yang timbul dalam pengurugan atau penimbunan sampah ke dalam tanah

adalah kemungkinan pencemaran sumber air oleh lindi. Tchobanoglous (1977)

menyatakan lindi merupakan limbah cair atau cairan yang melalui timbunan sampah yang

mengekstrak bahan yang terlarut atau tersuspensi di dalamnya. Cairan tersebut berasal

dari dekomposisi sampah dan dapat juga berasal dari sumber luar, seperti aliran air

permukaan, air hujan, air tanah dan air yang berasal dari mata air bawah tanah.

Pengertian lain lindi adalah limbah cair yang timbul akibat masuknya air eksternal ke

dalam timbunan sampah, melarutkan dan membilas zat-zat terlarut, termasuk juga zat

organik hasil proses dekomposisi biologis (Damanhuri, 1995). Jadi dapat disimpulkan

bahwa lindi adalah cairan yang timbul akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan

sampah, melarutkan dan membilas zat- zat terlarut. Cairan tersebut mengandung bahan

organik yang tinggi sebagai hasil dekomposisi sampah dan juga berasal dari proses

infiltrasi dari air limpasan.

Air lindi merupakan bahan cair yang timbul pada bagian bawah sanitary landfill,

yang jumlahnya tergantung pada berbagai faktor seperti: curah hujan, kemiringan dan

jenis lapisan tanah penutup, kepadatan sampah, kelembaban sampah dan kondisi

lingkungan sanitary landfill. Debit air lindi berhubungan positif dengan besarnya curah

hujan, air lindi yang akan timbul diperkirakan sebesar 50 persen, pada proses

penimbunan dan 20 persen setelah penimbunan. Fasilitas air lindi diharapkan dapat

menampung jumlah air lindi pada bulan-bulan basah, yakni bulan Januari dan Februari

(Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2002). Menurut Chen (1975), komposisi lindi bervariasi

karena proses pembentukan lindi dipengaruhi oleh macam buangan (zat organik atau

anorganik), mudah tidaknya peruraian (larut atau tidak larut), kondisi landfill (suhu, pH,

potensial redoks, kelembaban, umur); karakteristik sumber air (kuantitas dan kualitas);

komposisi tanah penutup.

Page 52: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

36

Pengaruh sanitary landfill adalah pencemaran air tanah dan air permukaan, terjadi

bila sanitary landfill berdampingan dengan badan air, jika air hujan jatuh di atas

permukaan landfill, meresap dan turun melalui lapisan kedap air ke badan air yang lebih

rendah. Pembentukan lindi akibat air hujan tidak dapat dihindari pada awal pengisian

sampah. Setelah lindi melalui tanah pada kedalaman beberapa meter kontaminasi

bakteriologis tidak ditemui lagi. Suspensi yang terdapat di dalam lindi dapat terbawa

sampai ke dalam tanah yang lebih jauh, sehingga menyebabkan pencemaran air tanah

(Thank, 1985).

Air lindi akibat proses degradasi sampah dari TPA merupakan sumber utama yang

mempengaruhi perubahan sifat fisik air, suhu air, rasa, bau dan kekeruhan. Suhu limbah

yang berasal dari lindi umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan air penerima. Hal ini

dapat mempercepat reaksi kimia dalam air, mengurangi kelarutan gas dalam air,

mempercepat pengaruh rasa dan bau (Husin dan Kustaman, 1992). Sedangkan Menurut

Schmeider (1970), untuk menghindari pencemaran oleh lindi, maka tempat pembuangan

akhir sampah, harus terletak jauh dari kantong air dan memiliki lapisan kedap air,

sekurang-kurangnya 3 meter di atas permukaan air tanah tertinggi. Selanjutnya

Environmental Protection Agency (1977), menyarankan lokasi pengelolaan sampah harus

menjauhi jaringan drainase, terletak di garis pantai terluar (batas pasang 10 tahun) dan

jauh dari badan air, minimal 300 meter dari air permukaan.

Permasalahan TPA yang memerlukan penanganan khusus dari operasi sistem

TPA ini adalah mengusahakan agar air lindi tidak meresap ke dalam sistem air tanah

dangkal supaya tidak mencemari lingkungan. Pada prinsipnya pada TPA telah disiapkan

unit pengolah air lindi yang dikumpulkan sebelum dibuang ke sistem air permukaan.

Pada kondisi normal air lindi ditemukan pada dasar TPA dan bergerak melewati lapisan

dasar yang juga tergantung pada sifat-sifat bahan sekitarnya. Pengelolaan lindi dapat

dilakukan dalam beberapa metode secara umum yaitu: pengurangan secara alami oleh

tanah, menghambat pembentukan lindi, pengumpulan dan pengolahan, perlakuan

pendahuluan untuk mengurangi volume dan kelarutan, dan detoksifikasi limbah

berbahaya sebelum dibuang ke saluran.

Page 53: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

37

III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian.

Penelitian dilaksanakan di lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah,

Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Luas lahan TPA 108 ha, terdiri

dari lima zone, terletak di tiga Kelurahan yaitu: sebelah Selatan; Kelurahan Ciketing

Udik; sebelah Utara dan Barat: Kelurahan Cikiwul; sebelah Utara dan Timur: Kelurahan

Sumur Batu. Lokasi TPA terletak + 13 km sebelah selatan Kota Bekasi, + 2 km dari jalan

Raya Bekasi-Bogor. Penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium Kimia Fisik dan

Lingkungan, FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Persiapan penelitian dan gambaran umum

obyek yang diteliti dilaksanakan dalam bulan Pebruari sampai dengan Nopember 2004.

3.2. Metode Pengumpulan Data

Dalam pene litian ini dikumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer

melalui survai dan wawancara langsung di lokasi TPA dengan responden di Kelurahan

Sumur Batu, Ciketing Udik, Cikiwul, Aparat Kecamatan Bantar Gebang, para pakar dan

stakeholder yang terkait dengan TPA. Dalam satu kelurahan dilakukan kegiatan lapangan

meliputi: kegiatan wawancara pada aspek karakteristik responden, sosial ekonomi dan

tanggapan responden terhadap keberadaan TPA. Pertanyaan prospektif di peruntukkan

sebagai kemungkinan pemanfaatan TPA di masa mendatang, faktor dan kreteria yang

mempengaruhi dan variabel skor dari pertanyaan tersebut, sedangkan data sekunder

dikumpulkan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada. A. Data Primer

a. Fisik dan Kimia

Pengambilan sampel air dilakukan di Kelurahan Cikiwul, Ciketing Udik dan

Sumur Batu yaitu pada sumur gali penduduk yang bermukim di sekitar TPA. Cara

pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan botol plastik berukuran 1,5 liter,

sampel tersebut dimasukkan ke dalam cooler box untuk diawetkan. Contoh air dan lindi

dianalisis di laboratorium FMIFA, Institut Pertanian Bogor. Data sekunder berupa

Page 54: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

38

gambaran umum serta data pelengkap lain, diperoleh melalui Dinas Kebersihan DKI

Jakarta dan Pemda Kota Bekasi.

Alat yang digunakan pH meter, turbidimeter, untuk pengukuran parameter kimia

digunakan alat spektrofotometer kecuali zat organik (KMnO4 ) menggunakan metode

titrasi.

1). Air sumur

Untuk mengetahui kualitas air sumur penduduk, maka pengelolaan dan

pengukuran sampel dilakukan pada saat musim hujan dan musim kemarau, parameter

sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990 seperti

Tabel 4.

Tabel 4. Kualitas Air Sumur di TPA Bantar Gebang

Parameter Satuan Peralatan Metode Analisis

Fisika : Suhu Bau Rasa Kekeruhan Kimia: Zat padat terlarut pH DO

BOD5 COD Amonia N-NH3 Nitrat-N Nitrit-N Kesadahan (CaCO3) Klorida Sulfida Fosfat Besi (Fe) Timbal (Pb) Mikrobiologi: Coliform E. coli

ºC - -

FTU

mg/l -

mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l

MPN/100ml MPN/100ml

Termometer

-

Turbidimeter

Timbangan analitik

pH-Meter DO-Meter

Buret Buret

Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer

Buret Buret Buret

Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer

Tabel MPN Tabel MPN

Pemuaian air raksa

Turbidimetrik

Gravimetrik Potensiometrik Potensiometrik

Titrimetrik Titrimetrik

Spektrofotometrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik

Titrimetrik Titrimetrik Titrimetrik

Spektrofotometrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik

MPN MPN

Sumber: Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990 Keterangan: ( - ): Tidak ada satuan

Page 55: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

39

Titik pengambilan sampel berdasarkan aliran air tanah, diambil dari pompa

atau sumur-sumur penduduk di Kelurahan Cikiwul, Ciketing Udik dan Sumur Batu,

radius 200 m dari lokasi TPA, pada empat penjuru lokasi yaitu timur, barat, utara dan

selatan dari TPA. Untuk masing-masing lokasi sampel diambil satu titik sehingga

akan didapatkan empat sampel air sumur.

2). Air Permukaan (sungai)

Untuk mengetahui kualitas air sungai, maka sungai yang dijadikan sampel

adalah sungai Ciketing, lebar sekitar 2 m, debit air 0.409 m³ /detik. Pengambilan

sampel didasarkan pada sistem aliran air dari hulu sungai menuju hilir sungai atau

dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang rendah. Sampel diambil pada aliran

sungai sebelum memasuki wilayah TPA dianggap sebagai hulu sungai dan aliran

sungai sesudah melewati wilayah TPA dianggap sebagai hilir sungai, sehingga akan

didapatkan dua sampel air sungai.

Parameter kualitas air sesuai dengan Baku Mutu Keputusan Gubernur Jawa

Barat No.8 tanggal 12 Juni 1991 (Tabel 5).

Tabel 5. Kualitas Air Sungai Ciketing Parameter Satuan Metode Analisis

Fisika Padatan terlarut Warna Kekeruhan Kimia pH Besi (Fe) Mangan terlarut (Mn) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Krom heksava len Kadmium (Cd) Air Raksa (Hg) Nikel (Ni) Timbal (Pb) Sulfida Nitrat-N Nitrit-N

BOD5 COD

mg/l PtCo FTU

-

mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l

Gravimetrik

Turbidimetrik

pH meter

Potensiometrik SNI-M-63-1990-03 SNI-M-73-1990-03 SNI-M-73-1990-03

AAS SNI-M-35-1990-03

AAS SNI-M-86-1990-03 Spektrofotometrik

Titrimetrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik

Titrimetrik Titrimetrik

Baku Mutu: Keputusan Gubernur Jawa Barat No.38 tgl 12 Juni tahun 1991.

Page 56: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

40

3). Air Lindi

Untuk mengetahui kualitas air lindi dan infiltrasi air hujan yang masuk ke

dalam timbunan sampah dan terkontaminasi (bercampur dengan senyawa-senyawa di

dalam sampah) membentuk lindi, untuk itu perlu dilakukan pengujian kualitas air

lindi. Sampel diambil dari setiap zone karena pemanfaatannya berbeda waktu dan dari

kolam-kolam (bak) pada unit IPAS, meliputi sampel pada inlet dan outlet , satu titik

diambil satu sampel, sehingga didapatkan delapan sampel air lindi. Titik inlet adalah

air lindi yang masuk ke dalam IPAS dari landfill, sedangkan outlet air lindi yang telah

mengalami pengolahan dari IPAS. Parameternya sesuai dengan Peraturan Pemerintah

RI No.20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Baku Mutu golongan B untuk

Bahan Baku Air Minum, Baku Mutu golongan C Penggunaan air untuk Perikanan dan

Pertanian (Tabel 6). Air lindi disetarakan dengan air limbah cair yang baku mutunya

diatur oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-

51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan Industri.

Tabel 6. Kualitas Air Lindi

Parameter Satuan Metode Analisis

Fisika Padatan terlarut Warna Kekeruhan Kimia pH Besi (Fe) Mangan terlarut (Mn) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Krom heksavalen (Cr6+) Kadmium (Cd) Air Raksa (Hg) Timbal (Pb) Sulfida Nitrat-N Nitrit-N

BOD5 COD

mg/l PtCo FTU

-

mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l

Gravimetrik

Turbidimetrik

pH meter

Potensiometrik SNI-M-63-1990-03 SNI-M-73-1990-03 SNI-M-73-1990-03

AAS SNI-M-35-1990-03

AAS Spektrofotometrik

Titrimetrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik

Titrimetrik Titrimetrik

Baku Mutu: PP RI No. 20 tahun 1990.Pengendalian Pencemaran Baku Mutu gol. B untuk Bahan Baku Air Minum, gol. C Penggunaan Air untuk Perikanan dan Pertanian.

Page 57: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

41

b. Mikrobiologi Lingkungan

Jenis mikroorga nisme yang terdapat dalam lingkungan adalah: bakteri, virus,

protozoa, jamur, fungi, ganggang, cacing dan lain- lain. Jenis-jenis mikroorganisme yang

dapat berkembang baik dengan cepat dalam sampah adalah: bakteri, jamur, cacing.

Sampah merupakan sumber beberapa jenis penyakit menular, keracunan, dan lain- lain.

Beberapa jenis penyakit bawaan sampah dapat diperlihatkan pada Tabel 7.

Bahan beracun, bahan kimia, bakteri, virus, jamur dan lain- lain yang ada dalam

timbunan sampah, dapat berpindah tempat ke tempat lain melalui proses lindi. Apabila

cairan dari sampah yang mengandung bibit penyakit masuk ke dalam air permukaan,

maka air permukaan tersebut akan berperan sebagai penyebar mikroba patogen atau

penyakit menular di dalam air.

Tabel 7. Penyakit Bawaan Sampah

Nama Penyakit Penyebab

1. Penyakit bawaaan lalat: Dysentriae basilaris (disentri) Dysentriae amoebica (disentri) Thypus abdominalis (tifus) Kolera Ascariasis (cacingan) Ancylostomiasis (cacingan)

2. Penyakit bawaan tikus: Pest Leptospirosis icterohaemonhagica Rat bite fever

3. Keracunan: Metana Carbon monoxide, Dioxida Hidrogen sulfide

Logam berat

Shigella shigae Entamoeba histolytica Salmonella thypii Vibrio cholerae Ascariasis lumbricoides Ascariasis duodenale

Pasteurella pestis Leptospira icterohaemonhagica Stretobacillus monilliformis

Sumber: Juli (1994).

Penyakit menular yang disebabkan oleh air sering disebut penyakit bawaan air

Tabel 8. Jenis mikroba yang dapat menyebar lewat air antara lain adalah: bakteri, virus,

protozoa, dan lain- lain.

Page 58: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

42

Data biologi khususnya penyebaran lalat diambil dari data primer, keberadaan

dan banyaknya lalat dapat dianggap sebagai cerminan keadaan sanitasi lingkungan.

Semakin banyak lalat, semakin menurun kondisi sanitasi lingkungannya, begitu juga

sebaliknya. Dengan kondisi ini, lalat dianggap sebagai indikator penyebaran vektor

beberapa penyakit yang berbahaya. Lalat diambil dengan metode grill net per satuan

waktu umpan lokasi ke arah Kelurahan Taman Sari 5 titik, Kelurahan Ciketing Udik 3

titik, Kelurahan Sumur Batu 5 titik dan Kelurahan Cikiwul 6 titik. Jarak pengambilan

sampel adalah 100 m sampai dengan jarak 600 m dari TPA, masing-masing diukur dalam

waktu 30 detik di lokasi yang berbeda di Kelurahan sekitar TPA, daerah permukiman,

pemulung yang sekaligus juga dipergunakan untuk tempat mencuci plastik bekas.

Tabel 8. Beberapa Jenis Penyakit Bawaan Air

Nama Penyakit Penyebab

Diare pada anak Hepatitis A Polio (myelitis anterior acuta)

Cholera Diare atau dysentrie Typhus abdominalis Paratyphus Dysenterie

Dysenterie amoeba Baiantidiasis Giardiasis Ascariasis Clonorchiasis Diphylobothriasis Taeniasis

Schistosomiasis

Virus: Rotavirus V. Hepatitis A V. poliomyelitis Bakteri: Vibrio cholerae Escherichia coli enteropatogenik Salmonella typhi Salmonella paratyphi Shigella dysenteriae Protozoa: Entamoeba histolytica Balantida coli Giardia lamblia Metazoa: Ascaris lumbricoides Clonorchis sinensis Diphyllobothrium latum Taenia saginata Schistosoma

Sumber: Juli (1994).

Page 59: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

43

Pengukuran dan pengamatan distribusi lalat dilakukan pada jam 09.30 – 15.00

WIB, dengan asumsi pada jam tersebut lalat melakukan aktivitasnya. Keberadaan lalat

dipengaruhi oleh kondisi iklim, seperti musim dan curah hujan. Menurut Yulianto (2000),

aktivitas lalat akan tinggi pada waktu pukul 08.00 – 10.00 pagi sebagai kegiatan mencari

makan setelah beristirahat cukup lama pada malam hari. Menurut Keputusan Dirjen

P2MPLP Departemen Kesehatan RI Nomor 281-II/PD.03.04.LP tanggal 30 Oktober 1989

baku mutu jumlah keberadaan lalat adalah 30 ekor per grill.

c. Sosial Ekonomi Masyarakat

Keadaan sosial ekonomi, adalah pengaruh dari kegiatan pengelolaan sampah pada

warga atau masyarakat maupun pemerintah, di sekitar lokasi pengelolaan sampah seperti

Kelurahan Cikiwul, Ciketing Udik dan Sumur Batu. Pada umumnya keberadaan

pengelolaan sampah, menimbulkan dampak positif dan negatif secara langsung maupun

tidak langsung. Dampak positif secara langsung, ada tenaga kerja yang dapat tertampung,

dampak negatif secara langsung keberadaan pengelolaan sampah timbul masalah sosial.

Keberadaan pengelolaan sampah juga menimbulkan perubahan tingkat

perekonomian bagi pengelola, pemerintah, maupun warga di sekitar TPA. Perubahan

tingkat perekonomian karena adanya kegiatan pembangunan, pemeliharaan unit

pengelolaan sampah, yang memerlukan tenaga kerja atau sumber daya manusia yang

tersedia di sekitar TPA. Selain itu, bila penambangan TPA untuk pembuatan kompos dan

gas metana, maka pendapatan asli daerah (PAD) melalui retribusi dan pajak akan dapat

ditingkatkan.

Responden yang dipilih dilakukan secara acak sebanyak 50 orang, dilakukan pada

kelompok masyarakat sekitar TPA (non pemulung, pemulung), Aparat Kecamatan,

Lurah, tokoh masyarakat (formal dan informal) untuk mengetahui permasalahan terhadap

keberadaan dan pengelolaan TPA dan yang terkait di lapangan.

Variabel yang akan ditanyakan karakteristik, sosial ekonomi dan tanggapan

responden terhadap keberadaan TPA seperti:

1). Karakteristik responden

Pemilihan responden dengan melakukan kegiatan wawancara dengan

menggunakan daftar kuisioner yang dilakukan terhadap 50 orang responden, terdiri

Page 60: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

44

dari 30 responden masyarakat yang terlibat dalam pemanfaatan di TPA dan 20

responden lembaga pemerintah, tokoh masyarakat di Kelurahan Cikiwul, Ciketing

Udik dan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang.

Masyarakat yang dijadikan responden adalah masyarakat yang tinggal di

sekitar TPA yang jaraknya antara 0 – 1 km dan 1 – 10 km dari TPA, dengan

mengetahui tingkat pendidikan responden, status dan tanggungan, usia, alamat, profil

tempat tinggal, jarak rumah dengan TPA, jumlah penghuni, lama tinggal atau

menetap, status kependudukan (untuk kelompok pemulung).

2). Sosial ekonomi responden

Data sosial ekonomi akan dikumpulkan melalui pengumpulan data sekunder

dan data primer berupa pekerjaan responden dan jenis pekerjaannya, pendapatan dan

pengeluaran kebutuhan hidup sehari-hari, biaya pendidikan, keadaan kesejahteraan

masyarakat dan kesehatannya.

Populasi dalam penelitian sosial ekonomi adalah kelompok masyarakat,

pemulung, pengelola dan masyarakat yang berada di Kelurahan sekitar TPA Bantar

Gebang meliputi Kelurahan Ciketing Udik, Cikiwul dan Sumur Batu, Kecamatan

Bantar Gebang. Data primer diambil melalui metode wawancara dengan responden,

sedangkan data sekunder dari data potensi Kelurahan, Kecamatan dan instansi

terkait.

3). Tanggapan responden terhadap TPA

Diantaranya adalah persepsi responden tentang kesehatan dan keberadaan

TPA serta keuntungan dan kerugian terhadap keberadaan TPA di sekitar tempat

tinggal responden.

B. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka yang dapat

melengkapi penelitian antara lain: jumlah sampah kumulatif, luas lahan TPA yang

terpakai, lama waktu atau umur TPA, dan dari berbagai sumber seperti laporan, dokumen

dan hasil penelitian dari berbagai instansi yang berhubungan penelitian antara lain dari

Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Data iklim rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir

(suhu, curah hujan, kelembaban nisbi, kecepatan angin, lama penyinaran matahari) dari

Page 61: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

45

KIMIA1.Kualitas air lindi2.Kualitas air sungai3.Kualitas air sumurMIKROBIOLOGI4. E. coli5. Coliform6. LalatSOSIAL EKONOMI7.Persepsi masyarakat

TPA Terpadu

1. Luas lahan 108 ha2. Volume sampah3. Tinggitumpukan sampah4. IPAS5. Kualitas air lindi6. Kualitas air sungai7. Kualitas air sumur8. Gas metana9. Kualitas udara10. Kebisingan11. Lalat12. E. coli13. Coliform14. Tingkat pendidikan15. Pendapatan masyarakat16. Persepsi masyarakat17. Pemulung18. Pengelola19. Kesehatan

5 zone

KONDISI SAAT INI ANALISIS

AHP

HASIL PEMANFAATAN

KondisiLingkungan

Biofisik

PotensiTPA Bantar Gebang

KondisiSosialEkonomi

Hutan Kota/Penghijauan

Pariwisata

TPA Terpadu

Lapangan golf

PpenambanganGas, listrik

Lahan budidaya

Perumahan

Industri

Prospektif

TUJUAN

Badan Meteorologi dan Geofisika Jakarta. Data sosial ekonomi penduduk dicatat dari

Biro Statistik, Kota Bekasi, Jawa Barat, sedangkan data kesehatan masyarakat dari

Puskesmas di Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi.

3.3. Tahapan Kegiatan Penelitian

Tahapan pelaksanaan kegiatan penelitian dan metode analisis untuk menjawab

tujuan selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.

3.4. Metode dan Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) analisis fisik

kimia, (2) mikrobiologi lingkungan (distribusi lala t), (3) sosial ekonomi, (4) pengaruh

Gambar 3: Tahapan Kegiatan Penelitian.

Page 62: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

46

TPA terhadap kualitas air dan masyarakat, (5) umur pemanfaatan TPA. Teknik Prospektif

untuk mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi, menetapkan faktor dominan

dan merancang skenario yang mungkin terjadi di masa datang, sedangkan Proses Hierarki

Analitik (AHP) digunakan untuk pengambil keputusan.

A. Data Fisik Kimia

Analisis fisik-kimia dilaksanakan pada musim hujan dan musim kemarau, dengan

melakukan kegiatan analisis kualitas air sumur, air sungai dan air lindi. Pengujian yang

dipakai ialah pengukuran Biochemical Oxygen Demand (BOD) contoh dalam keadaan

aerobik pada suhu 20° C selama lima hari. Pengujian lain untuk melihat kandungan zat

organik dapat melalui Chemical Oxygen Demand (COD), jumlah karbon organik dan

oksigen terlarut (D.O). Parameter anorganik di dalam air dapat digambarkan dalam

bentuk salinitas, kesadahan, pH, keasaman, alkalinitas dan kandungan besi (Fe), mangan

(Mn), klorida (Cl?), sulfat (SO4²? ), sulfida ( S²¯ ), logam berat ( Hg, Pb, Cr, Cu, Zn ),

organik ammonia (N-NH3), nitrit (N-NO2), nitrat (N-NO3) dan orto fosfat (Suratmo,

1991):

a. Analisis Kualitas Air sumur

Data yang terkait dan diukur adalah suhu, pH air sumur, nitrat, nitrit, kadmium

(Cd), mangan (Mn), besi (Fe), bahan organik total dan kekeruhan (turbiditas).

Pengukuran suhu, pH dan turbiditas dilakukan di lapangan (in situ). Pada penelitian ini

metode yang dipakai disesuaikan dengan parameter yang diteliti. Data tersebut digunakan

untuk melakukan kajian potensi pencemaran air yang diakibatkan oleh keberadaan TPA

sampah.

Untuk menetapkan kelayakan air sumur sebagai bahan baku air minum,

ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup

Nomor Kep-02/MENKLH/I/1988, tentang Baku Mutu Air golongan B, dan Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/MENKES/IX/1990, tentang

persyaratan kualitas air minum.

Page 63: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

47

b. Analisis Kualitas Air sungai

Data yang terkait dengan pengaruh TPA terhadap kualitas air sungai diperoleh

dari pengujian laboratorium seperti pengukuran suhu, pH, kekeruhan (turbiditas),

Konduktivitas (DHL), BOD, COD, ammonia, nitrit dan nitrat, padatan tersuspensi (TSS)

dan kecepatan arus. Pengukuran suhu, pH, DHL, turbiditas dan kecepatan arus dilakukan

di lapangan (in situ). Data tersebut untuk melakukan kajian potensi pencemaran air

sungai yang diakibatkan oleh kegiatan TPA sampah.

c. Analisis Kualitas air lindi

Data yang terkait dengan kualitas air lindi diperoleh dari pengujian laboratorium

seperti nitrat, nitrit, pH, BOD dan COD, sulfida, klorida, seng dan besi. Gambaran

kualitas air lindi terbagi dalam dua kategori, yaitu air lindi pada titik inlet IPAS dan outlet

IPAS. Titik inlet adalah air lindi yang masuk ke dalam IPAS dari landfill, sedangkan

outlet adalah air lindi yang telah mengalami pengolahan di IPAS. Air lindi yang

dianalisis antara lain dari zone I sampai dengan zone V untuk mengetahui perbedaan

kondisi fisik kimia, oleh karena setiap zone digunakan untuk penimbunan sampah dengan

waktu yang berbeda. Data tersebut selanjutnya digunakan untuk melakukan kajian

potensi pencemaran air yang diakibatkan oleh pencemaran air lindi.

B. Data Mikrobiologi

Analisis data mikrobiologi, khususnya E. coli, coliform dan penyebaran lalat

diambil dari data primer, metode grill net persatu waktu umpan, parameter Departemen

Kesehatan RI Nomor 281-II/PD.03.04.LP tanggal 30 Oktober 1989, jumlah keberadaan

lalat 30 per grill.

C. Sosial Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat

Analisis sosial ekonomi masyarakat didasarkan atas kuisioner, data dikumpulkan

dan disederhanakan pencatatannya baik dengan coding maupun tabulasi, maka data

tersebut dianalisis. Analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif meliputi

analisis persentase dan tabulasi silang. Analisis persentase adalah frekuensi distribusi

relatif, data dibagi dalam beberapa kelompok dan dinyatakan dalam persentase, tabulasi

silang untuk melihat hubungan antara beberapa variabel. Data sosial ekonomi yang

diamati merupakan data kualitatif, sehingga dinilai berdasarkan scoring. Data yang

Page 64: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

48

discoring tersebut merupakan data yang diskontinyu (1,2,3 …n), karena itu metode

analisis yang digunakan analisis statistik non-parametrik.

Tujuan analisis adalah untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan antar peubah

sosial ekonomi, maka digunakan model analisis korelasi, dengan pertimbangan hubungan

peubah sosial ekonomi tersebut bukanlah hubungan sebab akibat, melainkan hubungan

setaraf. Oleh karena itu dipilih metode Korelasi Rank Spearman (Siegel, 1990).

D. Umur Pemanfaatan TPA

Untuk menentukan umur TPA, dilakukan studi literatur tinggi tumpukan sampah,

luas pada seluruh zone serta laju penyusutan sampah. Data yang terkait dengan tinggi

tumpukan sampah dilakukan melalui studi literatur pada komponen luas dan ketinggian

sampah pada seluruh zone yang kemudian dibandingkan antara ketinggian rencana

dengan ketinggian aktual. Sedangkan penyusutan sampah dan untuk mempridiksi

penurunan ketinggian sampah sesuai dengan dimensi umurnya serta untuk menghitung

umur pemanfaatan TPA digunakan studi literature.

E. Analitik Hierarki Proses (AHP)

Dengan AHP, proses keputusan kompleks dapat diurai menjadi keputusan lebih

kecil yang dapat ditangani dengan mudah antara lain: a). Penyusunan hierarki yaitu,

persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi kreteria dan alternatif, kemudian

disusun menjadi struktur hirarki; b). Penilaian kriteria dan alternatif dinilai melalui

perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1983) dalam Marimin 2004, untuk berbagai

persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengespresikan pendapat. Nilai

dan definisi pendapat kualitatif dari skala seperti Tabel 9.

Tabel 9: Nilai dan Definisi Pendapat Kualitatif

Nilai Keterangan 1.

3. 5. 7. 9.

Kriteria atau alternatif A sama penting dengan kriteria atau alternatif B. A sedikit penting dari B A jelas lebih penting dari B A sangat jelas lebih penting dari B Mutlak lebih penting dari B

2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan

Page 65: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

49

Nilai perbandingan A dengan B adalah 1 dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A.

c). Penentuan prioritas, untuk setiap kriteria dan alternatif perlu dilakukan perbandingan

berpasangan. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan

peringkat relatif dari seluruh alternatif. Kriteria kualitatif maupun kuantitatif dapat

dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot

dan prioritas, bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui

penyelesaian persamaan matematik. d). Konsistensi logis, semua bagian dikelompokkan

secara logis dan diperingkatkan sesuai dengan suatu kriteria yang logis.

Untuk melihat prinsip kerja AHP perlu dilakukan antara lain:

a. Perumusan masalah, untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka perlu dilakukan tiga

langkah berikut: 1). Penentuan sasaran yang ingin dicapai, 2). Penentuan kriteria

pemilihan, dan 3). Penentuan alternatif pilihan. Informasi mengenai sasaran, kriteria

dan alternatif tersebut kemudian disusun dalam bentuk diagram, pembobotan kriteria,

penyelesaian dengan menipulasi matriks, yang disusun dalam bentuk diagram.

b. Pembobotan kriteria, dari ketiga kriteria perlu ditentukan tingkat kepentingannya,

dengan cara: 1). Menentukan bobot secara sembarang, 2). Membuat skala interval

untuk menentukan ranking setiap kriteria, dan 3). Menggunakan prinsip kerja AHP,

yaitu perbandingan berpasangan, tingkat kepentingan suatu kriteria relatif terhadap

kriteria lain dapat dinyatakan dengan jelas.

c. Penyelesaian dengan manipulasi matriks, matrik diolah untuk menentukan bobot dari

kriteria dengan menentukan nilai eigen (eigenvector), untuk mendapatkan nilai eigen

adalah: 1). Kuadratkan matriks tersebut, 2). Hitung jumlah nilai dari setiap baris

kemudian lakukan normalisasi, 3). Hentikan proses ini, bila perbedaan antara jumlah

dari dua perhitungan berturut-turut lebih kecil dari nilai batas tertentu. Penyelesaian

misalnya dengan syarat 4 angka di belakang koma.

d. Pembobotan alternatif, susunlah matriks berpasangan untuk alternatif-alternatif bagi

setiap kriteria.

Page 66: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

50

F. Teknik Prospektif

Setelah diketahui kondisi lingkungan di sekitar TPA berdasarkan pengujian

laboratorium untuk kualitas air sumur, sungai, lindi, biologi dan sosial ekonomi serta

kesehatan, maka untuk menentukan skenario pemanfaatan TPA masa mendatang

dilakukan modeling, dengan metode analisis prospektif yang akan menentukan partisipasi

masyarakat serta kelembagaannya dan kemungkinan pemanfaatan TPA masa depan.

Analisis prospektif dalam penelitian ini akan digunakan untuk mengidentifikasi faktor-

faktor yang mempengaruhi sistem, serta menetapkan faktor dominan dan skenario dalam

pemanfaatan TPA pascaoperasi berbasis masyarakat.

Menurut Hardjomidjojo (2002), Analisis Prospektif merupakan suatu jenis

analisis yang digunakan untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di waktu

yang akan datang. Analisis ini digunakan dengan tujuan (1) mempersiapkan tindakan

strategis, (2) melihat apakah perubahan dibutuhkan di masa depan. Di dalam melakukan

analisis berdasarkan jawaban responden, dengan langkah-langkah berupa:

a. Mengidentifikasi faktor penentu di masa depan, dengan cara:

1) Mencatat seluruh elemen penting;

2) Mengidentifikasi keterkaitan;

3) Membuat tabel untuk menggambarkan keterkaitan;

4) Memilih elemen kunci untuk masa depan.

b. Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama;

c. Mendefinisikan dan menggambarkan evolusi kemungkinan masa depan, dengan

tahapan sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan

keadaan pada setiap faktor;

2) Memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan;

3) Menggambarkan skenario dengan memasangkan perubahan yang akan terjadi

dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya.

Untuk melihat pengaruh langsung antar faktor dalam sistem, yang dilakukan pada

tahap pertama analisis prospektif digunakan matriks seperti pada Lampiran 1. Sedangkan

menentukan faktor dominan digunakan softwer analisis prospektif yang memperlihatkan

Page 67: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

51

tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor di dalam sistem, dengan tampilan

seperti Gambar 4.

Gambar 4: Tingkat pengaruh dan Ketergantungan antar faktor dalam sistem.

Analisis prospektif merupakan eksplorasi tentang kemungkinan di masa yang

akan datang. Analisis ini digunakan sebagai salah satu alat (tool) dalam penelitian. Dari

analisis prospektif didapatkan informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategis apa

saja yang berperan dalam peruntukan ruang sebagai kebutuhan para pelaku (stakeholders)

yang terlibat di dalam pemanfaatan masa depan. Selanjutnya faktor kunci dan tujuan

strategis (kebutuhan) tersebut akan digunakan untuk mendefinisikan dan

mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi pemanfaatan TPA. Penentuan

faktor kunci dan tujuan strategis tersebut adalah sangat penting, dan sepenuhnya

merupakan pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli mengenai

pemanfaatan di masa mendatang. Pendapat para pelaku tersebut didapatkan melalui

bantuan kuesioner.

Oleh karena analisis prospektif dapat digunakan untuk mempersiapkan tindakan

strategis, melihat apakah perubahan dibutuhkan di masa depan, maka tahap yang

dilakukan adalah:

a. Berdasarkan tujuan studi, responden dimohon untuk memberikan faktor, kreteria dan

variabel yang mempengeruhi pencapaian tujuan studi.

b. Dari hasil indentifikasi kriteria, diperoleh beberapa faktor yang akan dilihat

hubungannya secara timbal balik (mutual), berdasar tabel matriks analisis pengaruh

antar faktor yang akan diisikan dengan skor antara 0-3. Pedoman penilaian dapat

dilihat pada Tabel 10.

Faktor Penghubung STAKES

Faktor Terikat OUTPUT

Faktor Penentu INPUT

Faktor Bebas UNUSED

P e n g a r u h

Ketergantungan

Page 68: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

52

Tabel 10. Pedoman Penilaian Analisis Prospektif

Skor Keterangan

0 Tidak ada pengaruh 1 Berpengaruh kecil 2 Berpengaruh sedang 3 Berpengaruh sangat kuat

c. Jika faktor yang diberikan oleh responden lebih dari 1, sebanyak N; dilakukan

analisis matriks gabungan dengan cara:

1) Apabila pengaruh antar satu faktor dengan faktor lainnya (sel) mempunyai nilai

0 dengan jumlah >½ N, maka nilai sel tersebut 0. Jika nilai 1,2 dan 3 bersama-

sama berjumlah >½ N, maka nilai sel tersebut ditentukan berdasarkan yang

paling banyak dipilih antara nilai 1,2,3.

2) Jika jumlah faktor (N) adalah genap dan diperoleh dalam satu sel jumlah nilai 0

sama banyak dengan jumlah nilai 1,2 dan 3, maka dilakukan diskusi lebih lanjut

kepada stakeholder, untuk menentukan nilai sel tersebut.

d. Nilai-nilai sel yang telah disepakati oleh responden dimasukkan kembali dalam

program seleksi faktor dalam bentuk: 1). Pengaruh langsung global; 2).

Ketergantungan global 3). Kekuatan global 4). Kekuatan global tertimbang 5).

Gambar hubungan antar faktor berdasarkan total pengaruh dan ketergantungan.

e. Seleksi 5 sampai 7 merupakan fakktor untuk diskusi tahap selanjutnya membangun

skenario berdasarkan keadaan kriteria (tahap 3). Seleksi dilakukan berdasarkan

kekuatan global ter timbang dan posisi faktor dalam gambar hubungan antar faktor,

yaitu pada kuadran kiri atas.

f. Nilai-nilai sel telah disepakati oleh para responden, dimasukan dalam program

seleksi faktor yang telah tersedia. Selanjutnya hasil analisis tersebut dalam bentuk

pengaruh langsung, tidak langsung dan total antar faktor dalam bentuk:

1) Pengaruh langsung global

2) Ketergantungan global

3) Kekuatan global

4) Kekuatan global tertimbang

5) Gambar hubungan antar faktor berdasarkan total pengaruh dan ketergantungan.

Page 69: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

53

g. Seleksi 6 sampai 7 adalah faktor untuk diskusi selanjutnya membangun skenario

berdasarkan keadaan, kriteria (tahap 3), seleksi dilakukan berdasarkan kekuataan

global tertimbang dan posisi faktor dalam gambar hubungan antar faktor, yaitu pada

kuadran kiri atas.

h. Selanjutnya membuat keadaan suatu faktor berdasarkan pemanfaatan yang telah

menjadi prioritas di TPA. Untuk setiap faktor dapat dibuat satu atau lebih keadaan

dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Keadaan harus memiliki peluang sangat besar untuk terjadi (bukan hayalan)

dalam satu waktu di masa yang akan datang.

2) Keadaan bukan merupakan tingkatan atau ukuran suatu faktor (seperti besar,

sedang, kecil atau baik, buruk, tetapi merupakan deskripsi tentang situasi dari

sebuah faktor.

i. Keadaan yang ada diidentifikasi dari keadaan yang paling optimis sampai paling

pesimis.

j. Dari keadaan yang ada, dari kombinasi beberapa faktor dibuat skenario-skenario

yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dan dipilih skenario yang mungkin

terjadi berdasarkan hasil identifikasi dari responden.

Page 70: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi

A. Letak Geografi

a. Letak dan luas wilayah

Letak Kota Bekasi relatif strategis, wilayahnya berbatasan dengan Provinsi DKI

Jakarta dan Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, Kota Bekasi berada pada posis i 106°

55’ Bujur Timur dan 6° 7’– 6° 15’ Lintang Selatan, dengan ketinggian 19 m di atas

permukaan laut dan luas wilayah 21.049 ha.

Kota Bekasi terbagi menjadi 10 wilayah kecamatan yang masing-masing terdiri

beberapa kelurahan. Masing-masing wilayah Kecamatan tersebut adalah Bekasi Utara,

Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Barat, Medan Satria, Rawa Lumbu, Bantar

Gebang, Jati Asih, Jati Sempurna dan Pondok Gede (Gambar 5).

Kecamatan Bantar Gebang meliputi delapan kelurahan yaitu: Kelurahan Bantar

Gebang, Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Padurenan, Kelurahan Cimuning, Kelurahan

Sumur Batu, Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Mustika Jaya dan Kelurahan Mustika

Sari. Luas dari ketiga kelurahan yang merupakan lokasi TPA adalah Kelurahan

Ciketing Udik 343,34 ha (di selatan dari TPA), Kelurahan Cikiwul 434,70 ha (di barat

dan utara TPA) dan Kelurahan Sumur Batu 568,95 ha (di timur dan utara TPA).

Batas Kecamatan Bantar Gebang dengan daerah sekitarnya adalah sebagai

berikut:

Sebelah Utara

Sebelah Selatan

Sebelah Barat

Sebelah Timur

:

:

:

:

Bekasi Timur dan Bekasi Barat

Kabupaten Bogor

DKI Jakarta

Setu Kabupaten Bekasi

Lokasi TPA dibatasi tiga kelurahan yaitu Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan

Cikiwul dan Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, Provinsi

Jawa Barat. Luas lahan TPA Bantar Gebang seluruhnya adalah 108 ha yang terdiri dari

lima wilayah atau zone. Luas efektif TPA yaitu luas yang digunakan untuk

menimbun sampah adalah 80 % dari seluruh luas lahan, 20 % digunakan untuk

prasarana TPA seperti pintu masuk, jalan, kantor dan instansi pengolahan lindi.

Page 71: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

55

DKI

6. Kec. Rawa Lumbu 7. Kec. Bekasi Selatan 8. Kec. Bekasi Barat 9. Kec. Medan Satria 10. Kec. Bekasi Utara

• Kec. Pondok Gede • Kec. Jati Sampurna • Kec. Jati Asih • Kec. Bantar Gebang • Kec. Bekasi Timur

GAMBAR 5: Peta Kota Bekasi

Kabupaten Bogor

SKALA 1:50.000 U

Lokasi TPA

1

2

3

4

6

5

7

8

9

10

Page 72: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

56

TPA Bantar Gebang dimiliki oleh Pemda DKI Jakarta yang ditujukan untuk

penyelenggaraan sistem pengolahan sampah dengan memperhatikan segi lingkungan,

dioperasikan tahun 1989 direncanakan mampu menampung sampah dari Jakarta dan

Kota Bekasi hingga tahun 2005 (Gambar 6).

b. Iklim

Keadaan iklim Kota Bekasi panas, tahun 2001 jumlah curah hujan yang relatif

tinggi hanya terjadi pada bulan Januari, Februari dan Maret yaitu masing-masing

tercatat 1.539 mm³, 1.094 mm³ dan 1.049 mm³. Jumlah curah hujan tertinggi tercatat di

Kecamatan Bekasi Utara pada bulan Januari yaitu 608 mm³ dengan jumlah hari hujan

selama 19 hari. Sedangkan jumlah curah hujan pada bulan lainnya di musim hujan rata-

rata kurang dari 400 mm³.

Kecamatan Bantar Gebang terletak di daerah tropis yang mengalami musim

hujan dan kemarau, dengan jumlah curah hujan bervariasi setiap tahunnya. Curah hujan

rata-rata tergolong tinggi yaitu sebesar 2.230 mm³ pertahun, dengan variasi hujan antara

79 – 300 mm. Suhu udara rata-rata berkisar 24 – 33° C sepanjang tahun. Kelembaban

udara bervariasi antara 60 – 99 persen, kecepatan angin berkisar antara 0,5 – 1,5 m per

detik.

c. Penduduk

Jumlah penduduk Kota Bekasi 1.700.678 jiwa dengan luas wilayah 21.049 ha,

memiliki laju pertumbuhan penduduk alami 1,50 persen per tahun dengan laju

pertumbuhan penduduk migran 3,69 persen (Statistik Kota Bekasi dalam Angka, 1999).

Jumlah penduduk di Kecamatan Bantar Gebang berjumlah 99.766 jiwa yang terdiri dari

66.454 jiwa laki- laki dan 33.312 jiwa perempuan dalam 6.704 kepala keluarga,

kepadatan penduduk sebesar 22,36 jiwa per km². Jumlah dan perkembangan

penduduk di Kelurahan Sumur Batu, Cikiwul dan Ciketing Udik pada tahun 2001 setiap

bulannya bertambah, disebabkan banyaknya penduduk yang datang dari luar Bekasi,

seperti: dari Jakarta, Cirebon, Madura dan lain- lain (Tabel 11).

Page 73: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

57

Gambar : 6 Peta TPA Bantar Gebang

Page 74: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

58

Tabel 11. Jumlah dan Perkembangan Penduduk di tiga Kelurahan.

Kelurahan

No Bulan Sumur Batu (Jiwa) Ciketing Udik (Jiwa) Cikiwul (Jiwa)

1. Januari 7.227 6.308 7.121

2. Pebruari 7.246 10.126 16.813

3. Maret 7.248 10.146 16.813

4. April 7.274 10.168 16.815

5. Mei 7.286 10.189 16.816

6. Juni 7.292 10.193 16.824

7. Juli 7.309 10.229 16.839

8. Agustus 7.324 10.244 16.855

9. September 7.474 10.270 16.903

10. Oktober 7.474 10.282 16.909

11. Nopember 7.477 10.289 16.952

12. Desember 7.469 10.303 16.954

Jumlah 88.100 109.504 192.614

Sumber: Kantor Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi 2001.

B. Karakteristik Sampah Perkotaan dan TPA

a. Karakteristik sampah

Sampah mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu kota dengan kota

lainnya, tergantung dari sumber, tingkat sosial ekonomi penduduk dan iklim (Suryanto,

1988). Karakteristik untuk berbagai jenis sampah seperti nilai kalor dan kadar air

sampah dan kadar abu (Laboratorium Balai Pelatihan Air Bersih dan Penyehatan

Lingkungan, Departemen Kimpraswil, 2005), nilai kadar air sampah permukiman

45,93 %, pasar modern 36,59 %, sekolahan 31,31 %, dan industri 23,73 %. Nilai

kadar air tertinggi berasal dari sumber sampah pasar tradisional 56,58 %, hal ini

disebabkan adanya banyak komponen sampah yang memiliki kandungan air yang

cukup tinggi seperti kulit buah, sisa sayuran, dan buah yang sudah membusuk,

sedangkan kadar air terendah didapatkan dari sumber sampah yang bersumber dari

perkantoran 23,17 %, jenis sampah yang banyak ditemui umumnya kandungan air yang

rendah seperti karet, plastik, kertas dan logam.

Page 75: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

59

Sedangkan kadar abu sampah dipengaruhi oleh banyak sedikitnya kandungan

bahan yang mudah terbakar yang terdapat di dalam sampah, kadar abu yang terdapat

dari sumber sampah pasar modern 17,13 %, permukiman 16,24 %, sekolahan 13,92 %

dan industri 11,93 %. Kadar abu tertinggi adalah sampah yang berasal dari sampah

perkantoran 17,60 %, sedangkan kadar abu terendah berasal dari sampah pasar

tradisional 10,26 % .

Nilai kalor merupakan salah satu karakteristik sampah yang dapat

mempengaruhi proses incenerator, nilai kalor dari sumber sampah sekolahan 3248

kal/kg, perkantoran 2434 kal/kg, pasar modern 2102 kal/kg dan permukiman 2072

kal/kg. Nilai kalor sampah tertinggi berasal dari sampah indus tri nilai kalor 3553 kal/kg

sedangkan terendah didapatkan yang berasal dari sampah pasar tradisional nilai kalor

1778 kal/kg. Sampah yang berasal dari industri mempunyai nilai yang relatif tinggi,

karena adanya komponen tertentu yang dapat menghasilkan nilai kalor yang tinggi dan

dilihat dari jenis komponen yang ada maka prosentase yang tertinggi pada jenis

komponen tekstil atau kain, kertas dan plastik, sedangkan sampah yang berasal dari

pasar merupakan sampah yang menghasilkan nilai kalor yang terendah karena dilihat

dari komposisinya maka keadaannya berlawanan dengan sampah yang berasal dari

sampah industri, dimana komposisi sampah pasar terbesar adalah organik.

b. Komposisi sampah

1). Komposisi fisik sampah DKI Jakarta adalah besarnya komponen pembentukan

sampah yang dihasilkan rata-rata terdiri dari sampah organik 65,05 %, kertas 10,11

%, kayu 3,12 %, kain dan tekstil 2,45 %, karet, kulit dan yang sejenis 0,55 %,

logam 1,90 %, kaca, gelas 1,63 %, baterai 0,28 %, plastik 11,08 %, tulang, kulit

telur 1,09 % dan lain- lain 2,74 % ( Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 1999). Data

Dinas Kebersihan 2004, jumlah sampah yang terangkut ke TPA Bantargebang

sebanyak 6.446.886 m³ Tabel 12.

Page 76: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

60

Tabel 12. Jumlah sampah yang dibawa ke TPA Bantar Gebang Tahun 2004

No Sumber sampah Sampah per tahun (m³)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Dinas Kebersihan

Sudin Jakarta Pusat

Sudin Jakarta Utara

Sudin Jakarta Barat

Sudin Jakarta Selatan

Sudin Jakarat Timur

SPA Sunter

SPA Cakung

PD Pasar Jaya

Swastanisasi Kebersihan

Swasta Umum

Kendaraan sewa

79.524

154.448

101.915

82.510

441.319

313.285

1.032.328

935.486

275.801

1.989.910

13.536

1.026.824

Jumlah 6.446.886

Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005).

2). Komposisi kimia, adalah besarnya kandungan zat kimia yang terdapat dalam

sampah. Komposisi kimia berhubungan dengan alterna tif pemrosesan atau

pengolahan dan pilihan pemulihan (Suryanto, 1988).

Pada sistem sanitary landfill dan open dumping, komposisi kimia dapat

dimanfaatkan untuk mengetahui tingkat pencemaran yang ditimbulkan oleh lindi

terhadap air tanah. Umumnya komposisi kimia sampah terdiri dari zat karbon,

hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur dan fospor (C,H,O,N,S,P), serta unsur lainnya

yang terdapat dalam protein, karbohidrat dan lemak (Suryanto, 1988).

c. Densitas atau Kepadatan Sampah

Kepadatan sampah menyatakan bobot sampah per satuan volume. Pada sistem

sanitary landfill, kepadatan sampah diperlukan untuk menentukan ketebalan lapisan

sampah yang akan dibuang pada sistem tersebut.

Tempat Pemusnahan Akhir (TPA) Bantar Gebang, menampung sampah dari

DKI Jakarta dan Kota Bekasi. Menurut Butler (2002), sampah yang berasal dari Kota

Jakarta dengan volume 19.500 sampai dengan 23.000 m³ perhari atau, sekitar 6.000 ton

Page 77: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

61

perhari, komposisi bahan organiknya serupa dengan kota-kota lain di Indonesia, antara

80 hingga 90 % dari total sampah organik dan anorganik (Tabel 13).

Tabel 13. Komposisi bahan organik dan anorganik di TPA Bantar Gebang

No Material Presentase 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Kayu Kertas Tekstil Organik (yang dapat membusuk) Total Zat Organik Plastik Kaca Logam Lainnya

5,70 10,71 4,05 65,96 86,4 8,24 2,14 1,49 1,71

Sumber: Butler (2002).

C. Umur Teknis TPA Bantar Gebang

Umur pemanfaatan TPA menyangkut faktor teknis dan sosial. Faktor teknis

dipengaruhi oleh dinamika faktor- faktor teknis, yakni luas zone, tinggi sampah, laju

penyusutan dan laju penimbunan sampah. Sedangkan faktor sosial menyangkut

toleransi masyarakat di sekitar TPA dengan kualitas lingkungan terutama dampak

lingkungan.

D. Kualitas Lingkungan

Kualitas lingkungan adalah keadaan lingkungan yang diindikasikan oleh tinggi

rendahnya batas kadar parameter pencemaran lingkungan, sehingga zat pencemar

berada dalam batas-batas toleransi dalam lingkungan.

Tinggi rendahnya batas kadar zat pencemar lindi dipengaruhi oleh tinggi

rendahnya atau fluktuasi debit air sungai sebagai media penerimanya. Fluktuasi debit

air sungai yang relatif stabil lebih diharapkan terjadi dan lebih baik dibandingkan

dengan debit yang sangat fluktuatif. Fluktuasi debit air ekstrim terjadi pada musim

hujan dan debit air sungai minimal musim kemarau. Fluktuasi debit air sungai yang

tajam tidak diharapkan, karena menimbulkan risiko banjir dan mempengaruhi

amplitudo konsentrasi zat pencemar dalam badan air sungai (Dinas Kebersihan DKI

2002).

Page 78: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

62

Zat pencemar yang dianalisis adalah zat pencemar yang berada dalam perairan,

karena air merupakan komponen lingkungan yang sangat esensial untuk kehidupan.

Status zat pencemar relatif dapat menggambarkan karakteristik kegiatan manusia dalam

pengelolaan sumberdaya alam, khususnya di TPA dan wilayah yang diteliti, disamping

itu juga dapat menggambarkan keadaan alamiah dari lingkungan tersebut (Dinas

Kebersihan DKI, 2002). Standar yang digunakan untuk memahami karakteristik bahan

organik terhadap media air adalah BOD, COD, logam berat, dan mikroba.

E. TPA Liar dan Pemulung a. TPA Liar.

TPA liar dibuat oleh masyarakat secara ilegal di sekitar TPA utama, dengan

sistem open dumping. TPA liar ditujukan untuk menguasai sampah secara pribadi untuk

diambil bahan yang laku di pasar, antara lain potongan besi, botol plastik, kayu, botol

kaleng, karton, dan sebagainya. Sisa sampah umumnya dimusnahkan dengan cara

dibakar. Sistem open dumping menimbulkan dampak yang cukup besar terutama air

lindi masuk ke dalam air tanah, asap, lalat dan bau.

TPA liar dipengaruhi oleh faktor yang kompleks, antara lain kerjasama

pemulung dan supir truk sampah, kebutuhan pasar, tuntutan pemulung dan sebagainya.

Untuk itu pengendalian TPA liar tidak semata-mata menyangkut faktor teknis, juga

menyangkut aspek sosial ekonomi.

b. Pemulung

Kegiatan pemulung, merupakan refleksi dari ketimpangan sosial ekonomi pada

masyarakat secara luas (Gambar 7). Dipandang dari sudut sosial ekonomi, pengentasan

dan pemberdayaan pemulung di kawasan TPA merupakan “bagian yang tidak

terpisahkan” dari perbaikan lingkungan hidup, peningkatan kinerja pengelolaan sampah

perkotaan, dan pemanfaatan sampah perkotaan secara komersial dalam skala besar.

Pengabaian dalam mengusahakan kehidupan yang lebih baik dari pemulung, akan

menimbulkan dampak ke arah hulu maupun hilir dalam konteks sosial ekonomi secara

luas ( Ken, 2002). Keberadaan pemulung di TPA Bantar Gebang yang setiap hari

bekerja mengambil sebagian sampah yang masih bernilai ekonomi untuk didaur ulang

atau digunakan kembali seperti plastik, kertas, kayu, botol dan sebaginya. Keberadaan

Page 79: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

63

pemulung tersebut sangat mengganggu kelancaran pengoperasian alat-alat berat dan

dapat menimbulkan kecelakaan bagi para pemulung.

Gambar 7. Kegiatan pemulung di TPA Bantar Gebang

Menurut Samom et al., (2002) cara terbaik untuk pemisahan sampah pada

sumbernya yaitu dengan diberikan insentif keuangan, peraturan dan penciptaan

kesadaran lingkungan. Di Bangkok 90 % dari sampah padat dibuang dengan sistem

buangan terbuka, di sekitar TPA ada sejumlah toko-toko kecil (SSR) yang menjual

barang-barang bekas dari tempat sampah, barang-barang ini dikumpulkan dan dijual

oleh pegawai pengumpul dan pemulung. Jumlah barang yang diantarkan ke setiap SSR

ini sekitar 1-6 ton/hari. Total ton harian dari barang-barang yang dikumpulkan oleh para

pemulung diperkirakan sekitar 5 % dari jumlah sampah kota.

Secara informal pemulung mengambil barang (sampah) yang mempunyai

potensi untuk didaur ulang (kertas, karton, logam dan lain- lain) sehingga bernilai

ekonomis. Pemisahan ini dilakukan secara manual karena pemisahan barang-barang

yang dapat didaur ulang secara otomatis sukar dilakukan, Ridlo (1998). Masyarakat

banyak berpandangan tentang rendahnya pekerjaan pemulung, tetapi tidak disadari

manfaat yang dapat dikerjakan oleh pemulung sampah. Pekerja itu bukanlah menjadi

hambatan bagi mereka yang melihatnya dari aspek pemanfaatan dan dapat dipahami

sebagai mata pencaharian atau dipandang sebagai aspek ekonomi yang dapat

menunjang kehidupan keluarga. Jalur ekonomi itu mempunyai landasan dalam sistem

pemulungan, kondisi ini diakibatkan oleh kehendak atau kebutuhan hidup yang

ditunjang adanya permintaan terhadap berbagai jenis barang yang dikumpulkan dari

sampah tersebut.

Page 80: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

64

Keterlibatan pemulung dalam pengelolaan sampah, dapat berperan ganda, secara

langsung dapat mensejahterakan pemulung melalui penjualan sampah yang dipungut

dari TPA. Secara tidak langsung mereka telah melakukan daur ulang terhadap sampah

anorganik yang sulit diuraikan oleh mikroba, misalnya plastik, logam, besi, alumunium,

kaleng dan lain sebagainya Garna et al., (1982). Pengumpulan sampah oleh pemulung

akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, yaitu menimbulkan efek

estetika, dan sering menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat sekitar lokasi TPA

sampah.

F. Dampak Pengelolaan TPA pada Lingkungan

Menurut Usman (2003), dalam kajian dampak sosial paling tidak ada tiga alasan

mengapa aspek sosial diperlukan bagi para pengambil kebijakan. Pertama, keberadaan

suatu usaha atau kegiatan mempunyai dampak positif sekaligus negatif terhadap

kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kedua, penilaian atau respon masyarakat terhadap

keberadaan suatu usaha atau kegiatan berubah-ubah. Sesuatu yang dianggap bermanfaat

oleh lapisan atau sekelompok lainnya, dan sesuatu yang dianggap baik pada kurun

waktu tertentu tidak dianggap baik pada kurun waktu tertentu tidak selamanya dianggap

baik pada kurun waktu selanjutnya. Ketiga, dalam kurun waktu yang sama, kehidupan

masyarakat boleh jadi bersentuhan dengan beberapa usaha atau kegiatan sekaligus.

Hasil yang diharapkan dari aspek sosial dalam kegiatan dampak lingkungan

adalah pengetahuan komprehensif tentang dampak suatu usaha atau kegiatan terhadap

kehidupan masyarakat di sekitarnya, dimanfaatkan untuk: (1). proses pengambilan

keputusan (khususnya dalam memperhitungkan resiko yang dihadapi. sedangkan (2).

memperbaiki kebijaksanaan (terutama menghilangkan hal-hal yang sudah terbukti

merugikan. Paling tidak terdapat 4 variabel kunci yang perlu dikaji sehubungan dengan

introduksi suatu usaha atau kegiatan, yaitu: keresahan sosial, konflik sosial (benturan)

dan integrasi sosial dari kelestarian nilai-nilai sosial. Keresahan sosial antara lain

ditandai oleh protes yang dilakukan oleh penduduk lokal (baik tertulis maupun lisan),

demonstrasi dan gerakan-gerakan politik lain yang dilandasi oleh ketidak puasan.

Apabila komentarnya itu terjadi, itu berarti dampaknya adalah negatif.

Page 81: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

65

Konflik (benturan) sosial dalam kontek kajian dampak lingkungan meliputi

hubungan diantara penduduk lokal antara lokal dan pendatang serta antara pendatang.

Apabila kontek ini sering terjadi, dampak suatu usaha atau kegiatan adalah negatif.

Sebaliknya, apabila jarang terjadi (bahkan hampir tidak pernah terjadi) dampaknya

adalah nol, sedangkan kele starian nilai-nilai kultural antara lain dapat diidentifikasi dari

keberadaan upacara keagamaan, upacara adat dan upacara siklus kehidupan (kelahiran,

perkawinan dan kematian). Apabila upacara-upacara semacam ini terganggu atau

semakin terabaikan, dampaknya adalah negatif dan sebaliknya.

Kegiatan TPA menurut dokumen AMDAL diperkirakan akan menimbulkan

dampak lingkungan tergolong penting meliputi komponen fisik-kimia, biologi, sosial

ekonomi, dan kesehatan masyarakat (Tabel 14). Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat

bahwa kehadiran TPA di satu sisi menimbulkan dampak negatif dan pada sisi lain

menimbulkan dampak positif, berupa peluang usaha dan kesempatan kerja. Prakiraan

dampak penting tersebut menjadi dasar dalam Rencana Pengelolaan dan Rencana

Pemantauan Lingkungan, yang mengikat secara hukum. Rencana Pengelolaan

Lingkungan merupakan wujud nyata dalam meminimkan dampak lingkungan dari TPA

(Dinas Kebersihan DKI 1997).

Tabel 14. Perkiraan Jenis Dampak Penting di TPA Bantar Gebang

No

Jenis Dampak Penting

1. Penurunan kualitas udara 2. Peningkatan kebisingan 3. Penurunan kualitas air permukaan (sungai Ciketing dan sungai sumur batu) 4. Penurunan kualitas air tanah 5. Komponen biologi. Meliputi jumlah taka, jumlah individu, serta

keanekaragaman plankton. 6. Peluang usaha dan kesempatan kerja 7. Penurunan kesehatan masyarakat di sekitar lokasi TPA 8. Peningkatan kepadatan lalu lintas dan kemacetan, pengangkutan sampah ke

TPA 9. Timbulnya keresahan dan konflik sosial terutama masyarakat dengan

pemulung 10. Peningkatan peluang terjadinya kecelakaan kerja akibat aktivitas pemulung

di TPA. 11. Berkurangnya nilai estetika akibat adanya aktivitas pemulung sampah yang

membangun gubuk-gubuk dan menumpuk sampah di sekitar tempat pemukiman mereka dan di sepanjang jalan masuk ke TPA

Sumber: Rencana Pengelolaan Lingkungan LPA Bantar Gebang ( 1997).

Page 82: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

66

Sampah perkotaan dapat mengandung bakteri patogen, virus, protozoa dan

parasitic helminthes yang berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia,

hewan, maupun tumbuhan. Menurut Ken, (2002), bakteri yang membahayakan adalah

bakteri yang dapat membentuk spora, yang dikenal mengakibatkan penyakit Anthrax,

Botulisme, gangrene, dan sebagainya. Kandungan logam berat, juga potensial dalam

sampah perkotaan. Sebagian logam berat ini ada yang secara alamiah dibutuhkan oleh

tumbuhan dalam jumlah tertentu. Sebagian lagi tidak diperlukan secara esensial oleh

tanaman, tetapi karena keterkaitannya dengan mata rantai makanan yang potensial bisa

membahayakan bagi kesehatan manusia dan hewan, bila dikonsumsi dalam jangka

waktu yang panjang. Air lindi juga dihasilkan oleh sistem sanitary landfill, apabila

tidak dikelola dengan baik merupakan ancaman bagi penyedia air bersih, baik air

permukaan maupun air tanah. Air lindi yang dikelola dengan baik dibutuhkan sebagai

komponen penting bagi kompos, guna menghasilkan pupuk organik berkualitas

(Gambar 8).

Gambar 8: Pengelolaan air lindi di TPA Bantar Gebang

Berdasarkan surat perjanjian antara Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah

Kota Bekasi Nomor 96 Tahun 1999/168 tentang Pengelolaan Sampah dan Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi,

pengelolaannya merupakan tanggung jawab bersama dan memiliki tujuan antara lain:

a. Mengembangkan dan meningkatkan pengelolaan sampah dan pengelolaan TPA

berdasarkan azas manfaat dan kebersamaan serta saling menguntungkan.

Page 83: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

67

b. Untuk memadu-serasikan pengelolaan sampah dan pengelolaan TPA, sehingga

aman dan memenuhi persyaratan kesehatan masyarakat serta tidak menimbulkan

pencemaran lingkungan.

Pengelolaan sampah di TPA merupakan suatu proyek yang akan berpengaruh

terhadap aspek sosial lainnya baik secara langsung maupun tak langsung, setidaknya

ada tiga dampak positif yang akan timbul sebagai akibat kesejahteraan penduduk, yaitu:

1). semakin terbukanya informasi daerah sekitar TPA terhadap daerah lainnya, 2).

terjadinya peningkatan interaksi sosial masyarakat di sekitar TPA dengan masyarakat

lainnya. dan 3). terjadinya peningkatan perbedaan status sosial, sejalan dengan

kesenjangan pendapatan di kalangan masyarakat, Tonny (1990).

G. Peranserta Masyarakat, Swasta dan Pengelola TPA Peranserta masyarakat, swasta dan pengelola sampah pada saat ini menurut

Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2005, telah melakukan antara lain adalah:

a. Peranserta masyarakat

Pada saat ini peranserta masyarakat dalam pengumpulan sampah di

koordinasikan oleh RT/RW, dengan pengadaan petugas gerobak sampah swadaya

masyarakat dan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan oleh sistem

pengumpulan serta pengangkutan sampah yang diselenggarakan oleh Dinas Kebersihan.

Proses pengumpulan sampah sudah cukup besar, namun masih perlu ditingkatkan

terutama untuk proses pemilihan sampah organik dan anorganik, serta upaya

pengumpulan sampah di sumbernya.

b. Peranserta Swasta

Pada saat ini sektor swasta telah ikut berperan dalam pengelolaan sampah baik

dalam proses pengangkutan sampah, pengoperasian SPA dan TPA Bantar Gebang

berdasarkan sistem kontrak kerja. Peran sektor swasta ini masih perlu ditingkatkan

kearah investasi untuk pembangunan fasilitas pengelolaan sampah (SPA, TPA,

incinerator) termasuk pengoperasiannya agar mengurangi beban biaya pemerintah.

Peran swasta dalam pengembangan sistem pengelolaan sampah secara bertahap akan

diterapkan peran Dinas Kebersihan sebagai Regulator dimana secara bertahap pula

diharapkan peran swasta dan masyarakat setempat menjalankan operasionalisasi peran

operator per bidang yang diminati.

Page 84: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

68

Peranserta sektor swasta yang selama ini telah berjalan dalam kegiataan-

kegiatan penyapuan jalan, pengangkutan sampah, pengoperasian SPA Cakung dan

pengoperasian TPA Bantar Gebang perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan dalam

rangka pembinaan sektor swasta sebagai operator. Langkah selanjutnya adalah

mendorong sektor swasta untuk investasi dalam pembangunan dan pengoperasian

fasilitas pengolahan sampah termasuk prasarana dan sarana penunjangnya seperti ITF

(Intermediate Treatment Facility) suatu teknologi yang merubah bentuk, komposisi dan

atau mereduksi jumlah sampah atau residu yang harus dibuang ke TPA, Stasiun

Peralihan Antara (SPA) dan truk sampah (truk compector, truk Kapsul dan dump

truck). Akan tetapi, peningkatan peran sektor swasta ini jangan bersifat monopolistik

dan kapitalistik, namun harus partisipatif dan bersifat pemerataan (memberi peran

berarti pada perusahaan kecil dan menengah termasuk para pemulung).

c. Pengelola TPA

Berdasarkan SK. Gubernur Nomor 15 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta, Struktur Organisasi Dinas Kebersihan

saat ini seperti pada Gambar 9, dengan kegiatan sebagai berikut:

a. Dinas Kebersihan terdiri dari 6 Sub Dinas, 1 Bagian, 18 Seksi, 5 Sub-Bagian, dan 1

Unit Pelaksana Teknis;

b. Sub Dinas Kebersihan masing-masing terdiri dari 6 Seksi dan 1 Sub-Bagian;

c. Ditiap Kecamatan terdapat 1 Seksi, dan tiap Kelurahan terdapat 1 Sub-Seksi;

d. Jumlah petugas Dinas Kebersihan terdiri dari 3.633 orang pegawai dan 2950 orang

pegawai harian lepas. Terdapat 6.656 orang petugas gerobak swadaya masyarakat

(Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta, 2005).

Sedangkan TPA Bantar Gebang telah melaksanakan hal penting dalam

pengelolaan lingkungan antara lain:

a. Pelapisan tumpukan sampah oleh tanah merah (soil cover) telah dilakukan hampir di

seluruh zone, kecuali pada zone yang aktif (adanya kegiatan pengumpulan sampah).

b. IPAS konstruksinya telah direhabilitasi, namun proses pengolahannya sedang dalam

penyempurnaan. Proses pengolahan sudah terlihat adanya keterpaduan antara

perlakuan fisik, kimia, dan biologi.

c. Penertiban TPA liar dan diupayakan bekas TPA tersebut dilapisi oleh tanah merah.

Page 85: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

69

Gambar 9: Struktur Organisasi Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta

Page 86: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

70

4.2. Evaluasi Fisik-Kimia

A. Perkembangan Kualitas Air Sumur

a. Kekeruhan

Kekeruhan dapat menggambarkan tingkat penetrasi cahaya ke dalam perairan,

Pescod (1973). Tingkat kekeruhan dipengaruhi oleh padatan tersuspensi dan koloid

yang terkandung di dalam perairan. Secara tidak langsung kekeruhan dapat

mempengaruhi produktivitas perairan. Nilai kekeruhan yang tinggi akan mengurangi

penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan, sehingga proses fotosintesis akan

berlangsung pada lapisan air yang lebih tipis, dengan demikian produktivitas perairan

akan semakin menurun. Kekeruhan juga dapat mempengaruhi kehidupan ikan dan

organisme air lainnya, derajat kekeruhan yang tinggi akan mengganggu organ-organ

pernapasan atau alat penyaring makanan dari organisme air, sehingga dapat

mengakibatkan kematian.

Menurut Saeni 1988, kekeruhan terjadi karena adanya bahan tersuspensi yang

bervariasi dari ukuran koloidal sampai dengan dispensi kasar, tergantung pada derajat

turbilansinya. Bahan tersuspensi tersebut terdiri dari bahan organik dan anorganik yang

berasal dari limbah domestik, limbah industri dan juga dari erosi. Pengukuran

kekeruhan biasa dipakai JTU (Jeckson Turbidity Unit) dan NTU (Nephelometric

Turbidity Unit) Gambar 10.

Gambar 10. Lokasi Sumur bawah dari TPA

Kekeruhan merupakan suatu ukuran banyaknya bahan-bahan tersuspensi yang

terdapat di dalam air, seperti senyawa organik. Air yang keruh akan memberi

Page 87: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

71

perlindungan pada kuman. Pada air yang mengandung zat organik dan anorganik,

mikroorganisme dapat berkembang dan hidup baik. Oleh karena itu bakteri terdapat

pada semua sistem air yang dapat merugikan atau tidaknya tergantung pada kondisi

optimum yang menunjang pertumbuhannya. Penyimpangan terhadap standar kualitas

yang telah ditetapkan yaitu 25 NTU (Nephelometric Turbidity Units) akan

menyebabkan gangguan estetika dan mengurangi efektivitas desinfeksi air. Temuan

hasil penelitian terhadap kualitas air sumur penduduk yang berada di Kelurahan

Ciketing Udik yang terletak di atas dari TPA dengan parameter kimia-fisika dan biologi

dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 . Kualitas Air Sumur Atas dari TPA 2004 Air Sumur Atas TPA Parameter Satuan Standard

2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 Kisaran Rata-

rata Suhu ºC 27,7 26,8 23,8 23,8-27,7 26,1 Kekeruhan NTU 5 1 2 2 1 – 2 1,7 pH 6.9-8.5 6,73 6,81 6,69 6,69-6,81 6,74 TDS mg/l 1.300 288 279 189 189-288 252

BOD5 mg/l 6 2,70 3,06 3,44 2,70-3,44 3,06

COD mg/l 10 5,44 6,45 11,6 5,44-11,6 7,83 Ammonia(N-NH3) ppm 0 0,376 0,404 0,299 0,299-0,404 0,359 Kesadahan mg/l 500 66,4 70,3 598,3 66,4-598,3 245 Nitrat (N-NO3) mg/l 10 2,804 2,245 2,780 2,245-2,804 2,609 Nitrit (N-NO2) mg/l 1 0,017 0,015 0,022 0,015-0,022 0,018 Klorida mg/l 600 102,5 90,5 98,3 90,5-102,5 97,1 DO mg/l 3,08 3,11 3,11 3,08-3,11 3,1 Besi (Fe) mg/l 1.0 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 Timbal (Pb) mg/l 0.05 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 Sulfida mg/l 0.05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 Ortho-Phosfat mg/l 0.5 2,76 2,34 2,89 2,34-2,89 2,66 Seng (Zn) mg/l 15 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 Coliform MPN/100ml 50 6,3x10¯¹ 8,0x10¯¹ 7,0x10¯¹ 63-80 71 E. coli MPN/100ml 3 6,3x10¯¹ 5,2x10¯¹ 5,2x10¯¹ 52-63 55,66 Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004 Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990 Keterangan Lokasi : Sumur pantek milik penduduk di Kelurahan Ciketing Udik.

Kekeruhan yang terjadi di sumur atas dan sumur bawah berfluktuasi cukup tajam,

kekeruhan air sumur bawah dari TPA dan yang di atas wilayah TPA pada tanggal 2

Oktober 2004 masing-masing adalah 1 NTU dan 15 NTU (Tabel 15 dan 16). Air sumur

yang dibawah dari TPA jauh lebih keruh daripada air sumur yang di atas wilayah TPA.

Bila dihubungkan dengan DO, maka kekeruhan ini konsisten dengan konsentrasi DO

Page 88: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

72

yaitu air sumur yang di bawah dari wilayah TPA mempunyai DO lebih kecil dari pada

air sumur yang di atas dari wilayah TPA.

Kekeruhan air sumur pada tanggal 23 Oktober 2004 menunjukkan peningkatan

tingkat kekeruhan baik air sumur yang dibawah TPA maupun yang di atas dari wilayah

TPA, yaitu masing-masing 18 NTU dan 2 NTU. Hal ini menunjukkan bahwa

penyinaran sumur di bawah lebih banyak terpencar daripada sumur diatas pada tanggal

23 Oktober 2004, Tingkat kekeruhannya di atas BMAPSA – KEPMENLH yang

diperbolehkan, tetapi untuk sumur yang di atas dari wilayah TPA, dibawah yang

dianjurkan. Tingkat kekeruhan air sumur bawah pada tanggal 27 Nopember 2004

mengalami penurunan dibandingkan dengan kekeruhan pada tanggal 23 Oktober 2004,

yaitu masing-masing adalah 14 NTU dan 18 NTU (Tabel 16).

Tabel 16. Kualitas Air Sumur Bawah dari TPA 2004 Air Sumur Bawah TPA Parameter Satuan Standard

2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 Kisaran Rata-

rata Suhu ºC 26,6 27,0 22,8 22,8-27,0 25,46 Kekeruhan NTU 5 15 18 14 14-18 15,66 pH 6.9-8.5 6,70 6,88 6,55 6,55-6,88 6,71 TDS mg/l 1.300 135 156 176 135-176 155,66

BOD5 mg/l 6 3,56 3,80 4,09 3,56-4,09 3,81 COD mg/l 10 8,99 9,12 11,05 8,99-11,05 9,72 Ammonia (N-NH3) ppm 0 0,557 0,486 0,442 0,442-0,557 1,485 Kesadahan mg/l 500 38,7 45,6 44,3 38,7-45,6 42,6 Nitrat (N-NO3) mg/l 10 1,879 1,690 1,663 1,663-1,879 1,744 Nitrit (N-NO2) mg/l 1 0,052 0,047 0,044 0,044-0,052 0,047 Klorida mg/l 600 65,0 59,8 59,9 59,8-65,0 61,56 DO mg/l 3,04 3,02 3,11 3,02-3,11 3,05 Besi (Fe) mg/l 1.0 0,414 0,504 0,288 0,288-0,504 0,402 Timbal (Pb) mg/l 0.05 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 Sulfida mg/l 0.05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 Orto-Phosfat mg/l 0.5 4,80 3,56 3,87 3,56-4,80 4,07 Seng (Zn) mg/l 15 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 Coliform MPN/100ml 50 0,01x10¯² 0,03x10¯¹ 0,03x10¹ 0,3 -1,0 0,53 E. coli MPN/100ml 3 0,01x10¹ 0,2x10¯² 0,5x10¯² 0,1-50 23,36 Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004 Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990 Keterangan Lokasi : Sumur pantek milik penduduk di Kelurahan Sumur Batu.

Kisaran kekeruhan air sumur di atas wilayah TPA secara keseluruhan selama

priode tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 minimum adalah 1

NTU dan maksimum 2 NTU dan rata-ratanya adalah 1,7 NTU. Hal ini masih dibawah

BMPSA yang dianjurkan. Sedangkan kisaran kekeruhan air sumur yang dibawah dari

Page 89: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

73

wilayah TPA pada periode yang sama adalah 14 – 18 NTU dengan rata-rata 15,66 NTU

yang berarti diatas BMPSA yang dianjurkan.

b. Suhu

Suhu air merupakan salah satu faktor ekologis yang berperan di lingkungan

perairan. Sifat-sifat kimia seperti kelarutan oksigen (DO) dan gas-gas lainnya,

kecepatan reaksi kimia dan daya racun bahan pencemar dipenga ruhi oleh suhu air.

Selain itu suhu air dapat mempengaruhi proses-proses fisiologis, susunan jenis dan

penyebaran organisme perairan. Berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi suhu

air. Komposisi substrat, kecerahan, kekeruhan, pertukaran panas air dengan panas udara

akibat respirasi, musim, cuaca, kedalaman perairan, kegiatan manusia di sekitar

perairan maupun kegiatan dalam badan perairan itu sendiri dapat mempengaruhi suhu

perairan.

Ikan dan organisme air lainnya mempunyai daya adaptasi yang berbeda-beda

terhadap suhu air. NTAC (1968) mengemukakan bahwa ikan yang hidup di perairan

yang suhu airnya tidak pernah lebih dari 21,1 ºC dan langsung dipindahkan ke dalam

perairan bersuhu 32,2 ºC akan mengalami tekanan fisiologis yang dapat menyebabkan

kematian, jenis-jenis makanan ikan pada suhu tersebut merupakan titik mati karena

dalam tubuhnya yang mengatur metabolisme terdiri dari enzim yang rusak pada suhu

tinggi. Sedangkan menurut Pescod (1973) untuk menjamin kehidupan ikan dan

organisme air lainnya dengan baik, maka dianjurkan agar perubahan suhu air pada

perairan mengalir yang disebabkan oleh limbah bersuhu tinggi tidak lebih dari 2,8 ºC,

sedangkan untuk perairan tergenang tidak lebih dari 1,7 ºC.

Suhu merupakan parameter kualitas air yang berpengaruh dalam reaksi kimia dan

kelarutan gas dalam air. Suhu dipengaruhi oleh lingkungan, tanah dan udara serta

komponen-komponen fisik dalam air. Suhu merupakan parameter yang terpenting,

karena erat hubungannya dengan kehidupan dalam air. Suhu berpengaruh terhadap

kelarutan oksigen, kekeruhan, kecepatan reaksi kimia dan kehidupan organisme di

dalamnya. Hasil pengukuran suhu air sumur di atas dan bawah dari TPA seperti pada

Tabel 15 dan 16, menunjukan bahwa berada di atas kadar maksimum yang

diperbolehkan, yaitu + 3° C menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416

Tahun 1990 tentang syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air.

Page 90: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

74

Kisaran air sumur atas dari wilayah TPA periode tanggal 2 Oktober sampai dengan

tanggal 27 Nopember 2004 minimum adalah 23,8 °C dan maksimum 27,7 °C dan rata-

ratanya adalah 26,1 °C, diatas baku mutu yang dianjurkan. Sedangkan kisaran suhu air

sumur yang berada dibawah dari TPA pada periode yang sama adalah 22,8 – 27,0 °C

dengan rata-rata 25,46 °C yang berarti masih diatas baku mutu.

c. Kemasaman (pH)

Kualitas air sumur juga ditentukan oleh kemasaman (pH), nilai pH dapat

mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam air, oleh sebab itu menjadi penting untuk

mengetahui parameter pH air sumur di lokasi penelitian, khususnya perkembangan

dalam 5 tahun terakhir, seperti pada Gambar 11.

0

2

4

6

8

10

12

2000 2001 2002 2003 2004

Tahun

pH

Sumur Bawah

Sumur Atas

Gambar 11. Perkembangan Parameter pH Air Sumur

Kemasaman (pH) suatu perairan mencirikan keseimbangan antara kandungan asam

dan basa dalam air serta merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam

larutan. Kemasaman dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan

perairan, mempengaruhi tersedianya hara serta toksisitas dari unsur renik. Derajat

kemasaman (pH) berperan penting dalam menentukan nilai guna perairan untuk

kehidupan organisme, keperluan rumahtangga dan keperluan lainnya. Berubahnya nilai

pH dapat menimbulkan perubahan terhadap keseimbangan kandungan karbon dioksida,

bikarbonat dan karbonat di dalam air. Menurut Pescod (1973), batas toleransi

organisme perairan terhadap pH bervariasi, tergantung pada suhu, oksigen terlarut,

adanya berbagai anion dan kation. Ikan dan organisme akuatik lainnya masih dapat

Page 91: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

75

mentolerir lingkungan perairan yang mempunyai kisaran pH antara 4,0 - 11,0, namun

suatu perairan yang produktif dan ideal bagi kehidupan akuatik adalah perairan yang pH

airnya berkisar antara 6,5 -8,5 NTAC (1968).

Perkembangan pH air sumur di lokasi penelitian tidak terlalu berbeda jauh dari

tahun 2001-2004, kecuali air sumur bawah pada tahun 2001 yang mengalami

peningkatan pH menjadi 10 setelah sebelumnya bernilai 6,60 (Gambar 11). pH air

sumur bawah ini mendekati sangat basa, dan tidak aman untuk dikonsumsi sebagai air

minum oleh masyarakat. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.

416/Menkes/Per/X/1990, tanggal 3 September 1990, pH air sumur bawah dan atas di

tahun 2002-2004 masih berada di bawah ambang batas yang diperbolehkan 6-9.

Secara keseluruhan kisaran pH sumur dalam periode tanggal 2 Oktober sampai

dengan tanggal 27 Nopember 2004 untuk sumur di atas TPA adalah 6,69 – 6,81 dengan

rata-rata 6,74, sedangkan sumur di bawah TPA adalah 6,55-6,88 dengan rata-rata 6,71.

Secara keseluruhan pH sumur di atas maupun di bawah TPA masih dalam batas-batas

normal BMAPS-MENKLH.

d. Total Disolved Solid (TDS)

Padatan Terlarut Total merupakan bahan yang masih tetap tinggal dalam air,

sebagai sisa dari lapukan selama penguapan dan pemanasan. Sanropie et al., (1989)

mengemukakan apabila dalam air terdapat zat Padat Terlarut Total dalam jumlah besar

melebihi kader maksimum (1.500 mg/l), maka akan menimbulkan antara lain: a).

memberi rasa yang tidak enak; b). rasa mual terutama apabila zat padat terlarut tersebut

berasal dari senyawa natrium sulfat dan magnesium sulfat, dan c). terjadinya cardiae

disease serta toxemia pada wanita hamil. Hasil pengukuran Padatan Terlarut Total pada

air sumur di atas dan bawah dari TPA seperti pada Tabel 15 dan 16.

Nilai pengukuran TDS (Total Disolved Solid) pada sumur di atas dan bawah dari

TPA masih berada dibawah ambang batas yang diperbolehkan (baku mutu air bersih

1.300 mg/l berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416 Tahun 1990

tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air.

Kisaran TDS air sumur atas dari wilayah TPA periode tanggal 2 Oktober sampai

dengan 27 Nopember 2004 adalah 189-288 mg/l dengan rata-rata 252 mg/l, sedangkan

sumur di bawah wilayah dari TPA adalah 135-176 mg/l dengan rata-rata 155,66 mg/l.

Page 92: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

76

Secara keseluruhan TDS sumur atas maupun di bawah dari TPA masih berada dibawah

ambang batas yang di perbolehkan.

e. Chemical Oxigen Demand (COD)

COD (Chemical Oxigen Demand) jumlah oksigen dibutuhkan untuk mengoksidasi

bahan-bahan kimia di dalam sistem air. Untuk mengetahui jumlah kandungan bahan

organik di dalam air dapat dilakukan dengan uji yang berdasarkan reaksi kimia dari

suatu bahan oksidan, yaitu merupakan uji yang dapat menentukan jumlah oksigen yang

dibutuhkan oleh bahan oksidan, misalnya kalium dikromat untuk mengosidasi bahan-

bahan organik yang terdapat di dalam air. Jika nilai COD melebihi kadar batas

maksimum yang diperbolehkan (10 mg/l) maka akan mengakibatkan sakit perut. COD

adalah kebutuhan oksigen yang ekivalen untuk mengoksidasi senyawa-senyawa kimia

yang dapat dibiodegradabel, Radojevic dan Bashkin, (1999). Nilai COD dapat

digunakan memperkirakan jumlah berbagai senyawa ano rganik dalam limbah cair. Juga

dapat digunakan menentukan nilai BOD pada proses karbonatasi, yaitu dapat

mengoksidasi berbagai senyawa anorganik dengan menggunakan senyawa permenganat

atau dikromat atau dikromat sebagai oksidator. Hasil pengukuran COD pada air sumur

di bawah dan atas dari TPA seperti pada Tabel 15 dan 16.

Kisaran COD air sumur atas dari wilayah TPA periode tanggal 2 Oktober sampai

dengan 27 Nopember 2004 adalah 5,44-11,6 mg/l dengan rata-rata 7,83 mg/l,

sedangkan sumur di bawah wilayah dari TPA adalah 8,99-11,05 mg/l dengan rata-rata

9,72 mg/l. Secara keseluruhan COD rata-rata sumur atas maupun sumur bawah dari

TPA masih berada dibawah ambang batas yang di perbolehkan.

Berdasarkan Tabel 15 dan 16, maka nilai kandungan COD di sumur atas dan

bawah dari TPA berada masih di bawah ambang batas yang diperbolehkan (10 mg/l,

menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor

Kep.02/MENKLH/I/1998 tentang Baku Mutu Air pada Sumber Air menurut Golongan

Air).

f. Kesadahan

Kesadahan air disebabkan oleh adanya mineral dari kation logam bervalensi dua

dalam jumlah yang berlebihan. Biasanya yang menimbulkan kesadahan adalah kation

Ca dan Mg. Air yang mempunyai kesadahan tinggi melebihi kadar maksimum yang

diperbolehkan yaitu 500 mg/l menimbulkan efek: a). mengurangi efektivitas sabun; b).

Page 93: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

77

menyebabkan lapisan karak pada alat-alat dapur yang terbuat dari logam; c). merupakan

masalah pada ketel pemanas yang akan menyebabkan karat sehingga menyumbat pipa

dan berdampak mengurangi efesiensi pemanasan; d). kemungkinan terjadinya ledakan

pada boiler; dan e). sayuran menjadi keras apabila dicuci dengan air yang sadah. Dari

hasil pengukuran kesadahan air sumur di bawah dan atas dari TPA seperti pada Tabel

15 dan 16.

Kesadahan air sumur di bawah wilayah TPA pada tanggal 2 Oktober 2004 adalah

38,7 mg/l dan yang diatas dari wilayah TPA adalah 66,4 mg/l atau lebih tinggi 27,7

mg/l. Perbedaaan konsentrasi kesadahan ini diduga karena perbedaan dari konsentrasi

ion Ca²? pada sumur-sumur tersebut. Konsentrasi ion Ca²? dan ion Mg²? pada sumur

yang diatas dari wilayah TPA lebih tinggi daripada sumur yang dibawah dari TPA.

Kesadahan air sumur pada tanggal 23 Oktober 2004 masing-masing untuk sumur

dibawah wilayah TPA dan yang diatas wilayah TPA adalah 45,6 mg/l dan 70,3 mg/l.

Kesadahan air sumur di bawah dari TPA dan atas dari TPA masing-masing pada

tanggal 27 Nopember 2004 adalah 44,3 mg/l dan 598,3 mg/l jauh lebih tinggi daripada

kesadahan tanggal 23 Oktober 2004. Kesadahan pada tanggal 27 Nopember 2004 ini

merupakan yang tertinggi untuk sumur yang di atas TPA (Tabel 15 dan 16). Secara

keseluruhan kisaran kesadahan sumur yang di bawah TPA adalah 38,7 mg/l dan 45,6

mg/l dengan rata-rata adalah 42,6 mg/l. Kisaran kesadahan sumur yang di atas TPA

adalah 66,4 mg/l dan 598,3 mg/l dengan rata-rata 245 mg/l. Kualitas air sumur juga

ditentukan oleh nitrat, oleh sebab itu menjadi penting untuk mengetahui parameter

nitrat air sumur di lokasi penelitian.

g. Nitrat (NO3¯)

Nitrat (NO3¯ ) merupakan salah satu senyawa nitrogen yang paling stabil

dibandingkan dengan nitrit dan ammonia. Sanropie at.al. (1989) mengemukakan bahwa

kandungan nitrat dalam jumlah besar di dalam usus cendrung untuk berubah menjadi

nitrit yang dapat bereaksi langsung dengan haemoglobine dalam darah sehingga dapat

menghalangi perjalanan oksigen di dalam tubuh. Nitrogen merupakan komponen utama

protein yang penting bagi pertumbuhan organisme. Di perairan nitrogen terdapat dalam

bentuk gas (N2), nitrit, nitrat, ammonia dan ammonium. Nitrogen dalam bentuk

senyawa nitrat mudah diserap oleh organisme nabati. Senyawaan ini terdapat dalam

Page 94: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

78

perairan alami sebagai garam-garam yang terlarut, tersuspensi atau dalam bentuk

endapan, Saeni (1989). Setiap organisme (alga dan fitoplangton) membutuhkan kadar

nitrat yang berbeda. Namun nilai nitrat optimum yang dibutuhkan bagi pertumbuhan

alga dan fitoplangton umumnya berkisar antara 0,3-1,7 ppm, sedangkan nilai nitrat

yang dapat memberikan faktor pembatas bagi pertumbuhan alagae dan fitoplangton

berkisar antara 0,1 ppm sampai kurang libih 45 ppm.

Perkembangan nitrat air sumur di lokasi penelitian mengalami penurunan tajam

pada tahun 2001 dan 2003 (Lampiran 16 dan 18). Setelah terjadi peningkatan kadar

nitrat pada air sumur bawah dari sebelumnya 6,34 mg/l tahun 2000 menjadi 9,48 mg/l

tahun 2001, dan penurunan kadar nitrat dari 9,20 mg/l menjadi 7,64 mg/l, maka secara

drastis terjadi penurunan kadar nitrat di tahun 2003 menjadi 1,68 mg/l untuk sumur

bawah dan 2,42 mg/l untuk sumur atas. Kadar nitrat mengalami sedikit peningkatan

pada tahun 2004, namun masih di bawah ambang batas yang diperbolehkan

berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 416/Menkes/Per/X/1990, tanggal 3

September 1990.

Nitrat sumur bawah TPA konsentrasi pada tangga l 2 Oktober sampai dengan

tanggal 27 Nopember 2004 kisaran 1,663 – 1,879 mg/l, nilai rata-rata 1,744 mg/l,

sedangkan sumur di atas TPA kisaran 2,245-2,804 mg/l dengan nilai rata-ratanya 2,609

mg/l, ini berarti pada sumur tersebut yang diatas maupun di bawah TPA sudah tercemar

NH3?. Keberadaan nitrat dalam air sumur baik di atas dan dibawah dari TPA terjadi

akibat proses nitrifikasi yaitu pemberian oksigen pada ammonia menjadi nitrat dan nitrit

oleh bakteri dalam suasana aerob (Sugiarto, 1987). Untuk air minum N-NH3

konsentrasinya harus 0. Untuk itu air sumur disekitar TPA sebaiknya tidak untuk

dikonsumsi.

h. Besi (Fe)

Besi (Fe) dalam jumlah kecil dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan sel-sel

darah merah. Saeni (1989) mengemukakan bahwa melebihi 0,31 mg/l dapat

Page 95: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

79

menimbulkan bekas karat, merusak keindahan pakaian, menimbulkan rasa yang tidak

enak pada air minum, pengendapan pada pipa dan kekeruhan.

Temuan hasil penelitian terhadap kualitas air sumur penduduk yang berada di

Kelurahan Ciketing Udik yang terletak di atas dari TPA dapat dilihat pada Tabel 15.

Besi (Fe) yang terjadi di sumur atas dan sumur bawah berada dibawah ambang batas

yang diperbolehkan, besi air sumur bawah dari TPA dan yang di atas wilayah TPA pada

tanggal 2 Oktober 2004 masing-masing adalah 0,414 mg/l dan sumur atas lebih kecil

dari 0,05 mg/l (Tabel 15 dan 16). Besi (Fe) air sumur pada tanggal 23 Oktober 2004

menunjukkan peningkatan pada air sumur yang dibawah TPA menjadi 0,504 mg/l dan

yang di atas dari wilayah TPA tetap tidak mengalami peningkatan maupun penurunan,

yaitu masing-masing sumur atas 0,504 mg/l dan sumur bawah lebih kecil dari 0,05

mg/l. Tingkat besi di bawah ambang batas yang diperbolehkan (1,0 mg/l). Tingkat besi

air sumur bawah pada tanggal 27 Nopember 2004 menga lami penurunan dibandingkan

dengan besi pada tanggal 2 Oktober 2004, yaitu masing-masing adalah 0,414 mg/l dan

0,288 mg/l (Tabel 16).

Kisaran besi air sumur di atas wilayah TPA secara keseluruhan selama priode

tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 minimum adalah lebih kecil

dari 0,05 mg/l dan maksimum lebih kecil dari 0,05 mg/l dan rata-ratanya adalah lebih

kecil dari 0,05 mg/l. Hal ini masih dibawah ambang batas yang diperbolehkan.

Sedangkan kisaran besi air sumur yang dibawah dari wilayah TPA pada periode yang

sama adalah 0,288 – 0,504 mg/l dengan rata-rata 0,402 mg/l yang berarti masih

dibawah ambang batas yang dianjurkan.

i. Sulfida (S² )̄

Senyawa sulfida sangat beracun dan berbau busuk, oleh karena itu zat ini tidak

boleh terdapat pada air minum. Dalam jumlah besar yaitu melebihi 0,1 mg/l dapat

menimbulkan kemasaman air, sehingga menyebabkan korosifitas pada pipa-pipa logam

dan iritasi. Keracunan akibat kandungan sulfida jarang terjadi, akan tetapi bila sulfida

ini berbentuk gas, zat ini cepat menjalar sehingga orang tidak sempat melarikan diri,

akhirnya terjadi keracunan akut yang mematikan dalam waktu singkat. Jika kandungan

sulfida dalam air lebih besar dari kadar maksimum yang diperbolehkan (0,1 mg/l) maka

akan menimbulkan: a). Rasa bau yang tidak enak; b). Merubah air menjadi berwarna

Page 96: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

80

dan bersifat korosif; dan c). menimbulkan rasa. Untuk mengurangi kelebihan kadar

sulfida dengan cara pengudaraan, pemberian chlor dan penyaringan.

Temuan hasil penelitian terhadap kualitas air sumur penduduk yang berada di

Kelurahan Ciketing Udik, Cikiwul dan Sumur Batu yang terletak di atas dan bawah dari

TPA dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16. Sulfida yang terjadi di sumur atas dan sumur

di bawah dari TPA berada dibawah kadar maksimum yang diperbolehkan yaitu 0,05

mg/l untuk baku mutu air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416

Tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air. Kisaran Sulfida air

sumur di atas dan sumur bawah wilayah TPA secara keseluruhan selama priode tangga l

2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 menunjukan angka yang sama yaitu

minimum adalah lebih kecil dari 0,05 mg/l dan maksimum lebih kecil dari 0,05 mg/l

dan rata-ratanya adalah lebih kecil dari 0,05 mg/l, hal ini dibawah ambang batas yang

diperbolehkan.

j. Nitrit (NO2̄ )

Nitrit (NO2̄ ) merupakan salah satu ion nitrogen anorganik dalam air. Ion ini dapat

terjadi dari adanya reduksi nitrat ataupun oksidasi ammonia. Ion nitrit lebih berbahaya

daripada ion nitrat (Sanropie et al. 1989), karena dapat merusak kehidupan akuatik.

Pada tanah-tanah yang padat dan kurang gembur, nitrit dapat merembes kedalam

sumur.

Kandungan nitrit dalam air sebesar 1,0 mg/l dapat menyebabkan terbentuknya

methemoglobin yang dapat menghambat perjalanan oksigen dalam tubuh terutama pada

bayi (blue babies) dan menyebabkan diare. Selain itu nitrit adalah zat yang bersifat

racun, sehingga standar persyaratan baku mutu kualitas air bersih tidak membolehkan

kehadiran bahan nitrit lebih dari 1 mg/l.

Nitrit (NO2̄ ) di sumur bawah dari TPA relatif rendah yang berkisar mulai dari

0,044 mg/l sampai dengan yang tertinggi 0,052 mg/l yang terjadi pada tanggal 2

Oktober 2004 (Tabel 16). Rata-rata konsentrasi nitrit pada periode tanggal 2 Oktober

sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah 0,047 mg/l. Secara keseluruhan nitrit

di sumur bawah TPA masih dalam batas baku mutu air golongan A berdasarkan SK

KEP.02/MENKLH/1988 dan SK Gub. KDH-DKI No.1608/1988. Nitrit sumur atas TPA

berkisar 0,015 sampai dengan yang tertinggi yaitu 0,022 mg/l yang terjadi pada tanggal

Page 97: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

81

27 Nopember 2004. Rata-rata keseluruhan nitrit di sumur atas dari TPA adalah 0,018

mg/l, masih dalam batas baku mutu air golongan A.

k. Orto fosfat

Djabu et al. (1991) mengemukakan jika kandungan fosfat rata-rata dalam waktu 24

jam lebih besar dari 2 mg/l akan menyebabkan gangguan pada tulang. Sumber fosfat

akibat dari pencemaran industri, limbah domistik, hanyutan pupuk, dan bahan mineral

fosfat. Kadar fosfat berbahaya terhadap kesehatan. Jika kandungan fosfat me lebihi batas

kadar maksimum (0,5 mg/l) dapat mengganggu pencernaan.

Temuan hasil penelitian terhadap kualitas air sumur penduduk yang berada di

Kelurahan Ciketing Udik yang terletak di atas dari TPA dengan parameter kimia-fisika

dan biologi dapat dilihat pada Tabel 15.

Fosfat yang terjadi di sumur atas dan sumur bawah berfluktuasi cukup tajam,

fosfat air sumur bawah dari TPA dan yang di atas wilayah TPA pada tanggal 2 Oktober

2004 masing-masing adalah 2.76 mg/l dan 4,80 mg/l (Tabel 15 dan 16). Fosfat air

sumur pada tanggal 23 Oktober 2004 menunjukkan penurunan tingkat fosfat baik air

sumur yang dibawah TPA maupun yang di atas dari wilayah TPA, yaitu masing-masing

2,34 mg/l dan 3,56 mg/l. Tingkat fosfat di atas ambang batas yang diperbolehkan (0,5

mg/l) untuk baku mutu air bersih berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala

Daerah DKI Jakarta Nomor 1608 tentang Baku Mutu Air Sungai di DKI Jakarta dan

Baku Mutu Air Golongan A: Air Baku Air Minum. Tingkat fosfat air sumur bawah

pada tanggal 27 Nopember 2004 menga lami penurunan dibandingkan dengan fosfat

pada tanggal 2 Oktober 2004, yaitu masing-masing adalah 4,80 mg/l dan 3,87 mg/l

(Tabel 16).

Kisaran fosfat air sumur di atas wilayah TPA secara keseluruhan selama priode

tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 minimum adalah 2,34 mg/l

dan maksimum 2,89 mg/l dan rata-ratanya adalah 2,66 mg/l. Hal ini diatas ambang

batas yang diperbolehkan. Sedangkan kisaran fosfat air sumur yang dibawah dari

wilayah TPA pada periode yang sama adalah 3,56 – 4,80 mg/l dengan rata-rata 4,07

mg/l yang berarti diatas yang dianjurkan.

l. Ammonia (N-NH3)

Page 98: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

82

Ammonia (N-NH3) air sumur atas berfluktuasi mulai dari 0,2999 sampai dengan

0,404. Nilai tertinggi pada tanggal 23 Oktober 2004. Berdasarkan BMPAS Menteri

Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup KEP.02/MENKLH-1988 maksimum

yang dianjurkan dan yang diperbolehkan untuk air minum harus nihil atau 0 ppm dan

untuk air golongan B maksimum yang dianjurkan 0,01 ppm dan maksimum yang

diperbolehkan 0,5 ppm. Mengacu pada peraturan ini, maka konsentrasi N-NH3 untuk

baku mutu air golongan B konsentrasi pada tanggal 2 Oktober 2004 di sumur bawah

menunjukkan nilai yang semakin besar daripada di atas. Selama periode tanggal 2

Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 adalah nilai sumur bawah 0,442–0,557 ppm

dengan rata-ratanya 1,485 ppm. Nilai konsentrasi N-NH3 tertinggi di sumur bawah

adalah 0,557 ppm dengan rata-ratanya 1,485 ppm. Nilai ini diatas BMPAS air

golongan B.

Namun, tahun 2004 kandungan N-NH3 air sumur bawah berada diatas ambang

batas yang diperbolehkan, Rata-rata N-NH3 selama periode 2 Oktober sampai dengan

27 Nopember 2004 adalah 1,485 mg/l. Sedangkan kandungan N-NH3 pada air sumur

atas pada tanggal 2 Oktober 2004 sebesar 0,376 mg/l diatas baku mutu yang

diperbolehkan, tanggal 23 Oktober 2004 sebesar 0,404 mg/l. Rata-rata N-NH3 selama

periode 2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 ini adalah 0,359 mg/l.

Menurut Alaert et al, 1983, Ammonia merupakan senyawa nitrogen yang

menjadi NH4? pada pH rendah yang disebut ammonium. Ammonia dalam air

permukaan berasal dari air seni dan tinja serta dari oksidasi zat organik secara

mikrobiologi yang berasal dari industri dan penduduk. Ammonia berada dimana-mana

dalam jumlah yang kecil beberapa mg per liter sampai dengan 30 mg/l pada air

buangan. Kadar ammonia yang tinggi pada air sungai menunjukkan adanya

pencemaran. Pada air minum kadar ammonia harus nol dan pada air sungai harus

dibawah 0,5 mg/l. Menurut Morne dan Goldman (1994) dalam (http://.

Ag.iastate.edu/centers/wrg/Lavene/webpages/NH A.htm, 2002) Ammonia berada dalam

sistem perairan terutama sebagai disosiasi ion NH4? yang cepat diambil oleh

fitoplankton dan tanaman perairan lainnya untuk pertumbuhan, apabila ammonia

Page 99: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

83

kontak dengan air, ammonia terpisah menjadi ion NH4? dan ion CH¯ (ammonium

hidroksida). Pada pH netral dengan nilai 7 ammonia tidak mempunyai masalah, tetapi

apabila pH lebih besar dari 7, maka ammonia hidroksida akan menjadi toksik baik bagi

tumbuh-tumbuhan ataupun hewan.

m. Koliform Total (MPN)

Koliform Total (MPN) merupakan parameter yang ditekankan terhadap

keberadaan bermacam-macam bakteri di dalam perairan. Fardiaz (1992)

mengemukakan bahwa air dapat menjadi medium pembawa mikroorganisme petogenik

yang berbahaya bagi kesehatan. Organisme patogen yang sering ditemukan dalam air

adalah bakteri-bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan seperti vibrio cholera, yang

menyebabkan penyakit kolera.

Temuan hasil penelitian terhadap kualitas air sumur penduduk yang berada di

Kelurahan Ciketing Udik yang terletak di atas dari TPA dapat dilihat pada Tabel 15.

Koliform yang terjadi di sumur atas berada diatas kadar maksimum yang diperbolehkan

dan sumur yang dibawah dari TPA berada masih dibawah yang diperbolehkan (50 sel

dalam 100 ml menurut baku mutu air bersih Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

416 Tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air) Peningkatan hasil

jumlah perkiraan terbesar (Most Probability Number) pada sumur di atas lokasi TPA

tersebut, disebabkan antara lain: a). Lokasi tanki septic jarak dari sumber air bersih

kurang dari syarat minimal; b). Struktur tanah yang dominan pasir; c). Perilaku

masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan. Sugiarto (1987)

mengemukakan bahwa jarak penyebaran pencemaran bakteri dari tempat penampungan

tinja harus sesuai dengan arah aliran air tanah yaitu mencapai 9 m, sedangkan

penyebaran vertikal pada lapisan tanah yang jauh dari muka air tanah adalah 3 m

dengan lebar sekitar 1 m, untuk itu syarat jarak lokasi tanki septic dari sumber air bersih

minimal 10 m.

Kisaran Koliform air sumur di atas wilayah TPA secara keseluruhan selama

priode tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 minimum adalah 63

MPN/100 ml dan maksimum 80 MPN/100 ml dan rata-ratanya adalah 71 MPN/100 ml.

Hal ini diatas ambang batas yang diperbolehkan. Sedangkan kisaran Koliform air sumur

yang dibawah dari wilayah TPA pada periode yang sama adalah 0,3 – 1,0 MPN/100 ml

Page 100: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

84

dengan rata-rata 0,53 MPN/100 ml yang berarti masih dibawah ambang batas yang

dianjurkan.

n. Escherichia coli

Bakteri ini disebut Escherichia coli sesuai dengan sumber keberadaannya yang

berasal dari tinja manusia. Air yang mengandung Escherichia coli berarti disimpulkan

air tersebut telah tercemar tinja. Tinja potensial dalam menularkan penyakit yang

berhubungan dengan air. Dalam keadaan normal bateri ini tidak menimbulkan penyakit,

tetapi bila jumlahnya berlebih yaitu 3 sel dalam 100 ml dapat bersifat patogen. Karena

keterkaitannya yang kuat dengan tinja manusia atau hewan, bakteri ini diangkat sebagai

indikator pencemar lingkungan oleh tinja. Keadaan ini memberikan indikasi bahwa air

sumur diatas dan di bawah dari TPA telah terkontaminasi oleh tinja dengan resiko

adanya patogen yang dapat menimbulkan penyakit seperti muntaber dan penyakit

disentri.

Hasil pengukuran Escherichia coli pada air sumur di atas dan bawah dari TPA

dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16. Temuan hasil penelitian terhadap kualitas air sumur

penduduk yang berada di Kelurahan Ciketing Udik yang terletak di atas dari TPA dapat

dilihat pada Tabel 15. Escherichia coli yang terjadi di sumur atas dan sumur di bawah

dari TPA berada diatas kadar maksimum yang diperbolehkan yaitu 3 sel dalam 100 ml

untuk baku mutu air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416 Tahun

1990 tentang Syarat-syarat dan Pengewasan Kualitas Air. Peningkatan jumlah sel pada

sumur-sumur tersebut, disebabkan antara lain: a). Sumur-sumur tersebut jaraknya dari

tanki septic kurang 10 m; b). Tingkat kemiringan tanah; c). struktur tanah berpasir; dan

d).Perilaku masyarakat yang sering meletakan tali timba di lantai.

Kisaran Escherichia coli air sumur di atas wilayah TPA secara keseluruhan

selama priode tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 minimum

adalah 52 MPN/100 ml dan maksimum 63 MPN/100 ml dan rata-ratanya adalah 55,66

MPN/100 ml. Hal ini diatas ambang batas yang diperbolehkan. Sedangkan kisaran

Escherichia coli air sumur yang dibawah dari wilayah TPA pada periode yang sama

adalah 0,1 – 50 MPN/100 ml dengan rata-rata 23,36 MPN/100 ml yang berarti diatas

ambang batas yang dianjurkan.

Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan

sebagai berikut: air sumur di atas dan sumur bawah dari TPA di Kelurahan Ciketing

Page 101: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

85

Udik, Cikiwul dan Sumurbatu telah melampaui ambang baku mutu untuk air bersih

untuk parameter kekeruhan, fosfat, COD, koliform total dan Escherichia coli. Untuk

sumur atas dari TPA parameter yang telah melampaui ambang baku mutu untuk air

bersih yaitu: COD, koliform total dan Escherichia coli. Untuk sumur atas dari TPA

parameter yang telah melampaui ambang baku mutu untuk air bersih yaitu: COD,

koliform total dan Escherichia coli. Air sumur di atas dan bawah dari TPA yang berada

di Kelurahan Ciketing Udik, Cikiwul dan Sumurbatu tidak layak sebagai sumber air

minum berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 416 Tahun 1990 tentang

Syarat-syarat dan pengawasan Kualitas Air. Keputusan Menteri Negara Kependudukan

dan Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang Baku Mutu Air pada Sumber Air

Menurut Golongan A). Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Nomor 1608 Tahun 1988 tanggal 26 September 1988 tentang Baku Mutu Air Sungai di

DKI Jakarta dan Baku Mutu Air Golongan A; Air Baku Air Minum.

B. Perkembangan Kualitas Air Sungai

Suhu air Sungai Ciketing pada inlet kecendrungan naik pada musim kemarau,

tanggal 2 Oktober 2004 sebesar 31,6 ºC dan tanggal 23 Oktober 2004 sebesar 31,8 ºC,

selanjutnya suhu mengalami penurunan pada awal musim hujan pada tanggal 27

Nopember 2004 menjadi 28,5 ºC, secara keseluruhan suhu air Sungai Ciketing pada

inlet berkisar 28,5–31,8 ºC dan nilai rata-ratanya 30,6 ºC. (Tabel 17).

Suhu ini sudah melampaui Baku Mutu air sungai di DKI Jakarta. Menurut

Fardiaz 1992, kenaikkan suhu diatas normal akan mengakibatkan antara lain sebagai

berikut: 1). Jumlah oksigen terlarut akan menurun; 2). Kecepatan reaksi kimia akan

meningkat; 3). Kehidupan ikan dan hewan lainnya akan terganggu; dan 4). Jika batas

suhu yang mematikan terlampaui, maka ikan dan hewan kekurangan oksigen.

Page 102: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

86

Tabel 17. Analisis Kualitas Air Sungai sebelum TPA (Inlet), 2004. Air Sungai Sebelum TPA Parameter Satuan BM

2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 Kisaran Rata-

rata Suhu ºC 31,6 31,8 28,5 28,5-31,8 30,6

Kekeruhan NTU 69 77 76 69-77 74

pH 6.5–9 8,93 8,7 8,00 8,00-8,93 8,54

Warna PtCo 271 306 244 244-306 273,66

TDS mg/l 936 944 879 879-944 919,22

BOD5 mg/l 24,5 30,1 31,9 24,5-31,9 28,83

COD mg/l 83 91,2 92,3 83-92,3 88,83

Nitrat (N-NO3¯ ) mg/l 10 8,34 7,56 7,54 7,54-8,34 7,8

Nitrit (N-NO2¯) mg/l 1 5,40 3,87 5,54 3,87-5,40 4,96

Besi (Fe) mg/l 1 12,48 11,66 10,33 10,33-12,48 11,49

Mangan (Mn) mg/l 0.5 1,465 1,399 1,338 1,338-1,465 1,400

Kadmium (Cd) mg/l 0.01 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03

Air raksa (Hg) mg/l 0.001 0,0024 0,0019 0,0060 0,0019-0,0024 0,0034

Timbal (Pb) mg/l <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06

Tembaga (Cu) mg/l 1 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05

Nikel (Ni) mg/l <0,04 <0,04 <0,04 <0,04 <0,04

Seng (Zn) mg/l 15 0,238 0,197 0,187 0,187-0,238 0,207

Krom Val.6 mg/l 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07

Sulfida mg/l 0.1 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01

Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004 Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990

Suhu Sungai Ciketing pada outlet tanggal 2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004

mempunyai kecenderungan yang tinggi, dan ada sedikit penurunan yaitu pada saat

memasuki musim hujan (Tabel 18). Secara keseluruhan suhu air Sungai Ciketing pada

outlet berkisar antara 29,3 – 32,8 ºC dan nilai rata-ratanya 31,56 ºC.

Gambar 12. Sungai Ciketing (outlet)

Page 103: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

87

Kenaikan suhu air Sungai Ciketing ini terjadi, karena pada musim kemarau

airnya dangkal dan alirannya lambat, sehingga penetrasi sinar matahari sangat mudah

mencapai dasar sungai yang mengakibatkan suhunya naik cukup tinggi.

Tabel 18. Analisis Kualitas Air Sungai sesudah TPA (Outlet), 2004.

Air Sumur sesudah TPA Parameter Satuan BM 2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04

Kisaran Rata-rata

Suhu ºC 32,8 32,6 29,3 29,3-32,8 31,56

Kekeruhan NTU 840 905 738 738-905 827,6

PH 6.5–9 8,42 8,33 8,05 8,05-8,42 8,26

Warna PtCo 3225 3178 3165 3165-3225 3169

TDS mg/l 5460 5540 4999 4999-5540 5333

BOD5 mg/l 445 513 456 445-456 471

COD mg/l 1344 1515 1188 1188-1515 1349

Nitrat (N-NO3¯) mg/l 10 2,55 2,66 2,97 2,55-2,97 2,72

Nitrit (N-NO2¯) mg/l 1 1,15 1,42 1,05 1,05-1,42 1,21

Besi (Fe) mg/l 1 3,17 4,30 4,02 3,17-4,30 3,83

Mangan (Mn) mg/l 0.5 0,433 0,320 0,276 0,276-04,33 0,343

Kadmium (Cd) mg/l 0.01 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03

Air raksa (Hg) mg/l 0.001 0,0008 0,0008 0,0008 0,0008 0,0008

Timbal (Pb) mg/l <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06

Tembaga (Cu) mg/l 1 <0,05 <0,05 <0,04 <0,04-<0,05 <0,046

Nikel (Ni) mg/l 0,213 0,325 0,167 0,167-0,325 0,235

Seng (Zn) mg/l 15 0,114 0,203 0,220 0,114-0,220 0,179

Krom Val.6 mg/l 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07

Sulfida mg/l 0.1 <0,01 0,395 0,265 <0,01-0,395 0,253

Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004

Kekeruhan air Sungai Ciketing pada tanggal 2 Oktober di inlet adalah 69 NTU.

Angka ini masih dibawah yang diperbolehkan (150 NTU) berdasarkan surat Keputusan

Gubernur KDH Ibukota Jakarta No. 1608 tahun 1988. Tingkat kekeruhan air Sungai

Ciketing semakin besar setelah keluar dari wilayah TPA (outlet) yaitu menjadi 840

NTU. Angka ini sudah diatas BMAS di DKI yang diperbolehkan. Ini berarti tingkat

kekeruhan air Sungai Ciketing setelah keluar dari wilayah TPA ada peningkatan 771

NTU. Konsentasi yang semakin tinggi ini akan mengurangi penetrasi sinar yang masuk

Page 104: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

88

kedalam air dan hal ini akan mempengaruhi proses fotosintesis dalam air oleh

fitoplangton dan tumbuhan lainnya, sehingga akan mengurangi konsentrasi oksigen

terlarut.

Pada tanggal 23 Oktober 2004 Sungai Ciketing di inlet kekeruhannya sebesar 77

NTU dan setelah masuk dalam wilayah TPA (otlet) kekeruhannya naik menjadi 905

NTU. Kondisi ini menunjukkan bahwa pencemaran semakin meningkat, karena air

sungai setelah keluar wilayah TPA telah bercampur dengan lindi. Tingkat kekeruhan ini

di atas BMAS-DKI yang tidak diperbolehkan. Sedangkan pada tanggal 27 Nopember

2004 kekeruhan air Sungai Ciketing di inlet adalah 76 NTU atau menurun 1 NTU

dibandingkan pada kondisi tanggal 23 Oktober 2004. Setelah keluar dari wilayah TPA

(outlet) kekeruhannya semakin meningkat menjadi 738 NTU, karena sudah bercampur

dengan buangan lindi. Namun demikian kekeruhan pada tanggal 27 Nopember 2004

masih diatas BMAS-DKI.

Secara keseluruhan kisaran konsentrasi air Sungai Ciketing pada inlet periode

tanggal 2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 adalah minimum 69 NTU dan

maksimum 77 NTU dengan nilai rata-rata 74 NTU. Nilai rata-rata ini menunjukkan

masih dibawah BMAS. Sedangkan kisaran kekeruhan air Sungai Ciketing pada outlet

periode yang sama, kisaran kekeruhan minimum 738 NTU dan maksimum 905 NTU,

dengan nilai rata-rata 827,6 NTU. Fluktuasi air Sungai Ciketing selama periode tanggal

2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 di outlet diatas BMAS-DKI.

Menurut Saeni, 1986, nilai pH suatu perairan mencerminkan keseimbangan antara

asam dan basa yang diidentifikasikan melalui pengukuran konsentrasi ion hydrogen

dalam suatu larutan. Nilai pH air normal adalah netral yaitu antara pH 6–8. Apabila pH

air diatas atau dibawah angka kisaran tersebut, tergolong tidak normal. Perairan bersifat

asam apabila pH nya lebih kecil dari 7 dan bersifat basa apabila pHnya lebih besar atau

sama dengan 7. Pada industri makanan pada umumnya pHnya rendah, karena banyak

mengandung asam-asam organik. Namun pada air buangan industri pH nya juga

rendah, karena mengandung asam mineral yang tinggi. Namun adanya karbonat,

hidroksida dan bikarbonat menaikkan kebasaan air. Hal ini dapat terjadi di TPA

sampah, karena sampah yang dibuang banyak mengandung padatan terlarut dan

tersuspensi dan disamping mineral-mineral bebas.

Page 105: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

89

Perkembangan pH air Sungai Ciketing di lokasi penelitian tidak terlalu berbeda

jauh dari tahun 2000-2004. Namun, pada tahun 2003 pH air sungai di inlet sedikit di

atas pH air sungai di outlet, sedangkan pada tahun sebelumnya, pH air sungai di inlet di

bawah dari outlet. Dari tahun 2000-2002, terjadi peningkatan aktivitas manusia untuk

beragam keperluan seperti membuang air buangan hasil pencucian peralatan dapur di

tengah aliran Sungai Ciketing, sehingga terjadi peningkatan pH. Sedangkan

peningkatan pH air Sungai Ciketing di inlet pada tahun 2003 lebih disebabkan adanya

peningkatan aktivitas di daerah inlet.

Secara keseluruhan kisaran pH Sungai Ciketing di inlet berada pada 8,00 – 8,93

dengan rata-rata 8,54. Nilai ini menunjukkan bahwa fluktuasi pH air Sungai Ciketing

selama periode tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan 27 Nopember 2004 masih

normal. Sedangkan kisaran pH di outlet adalah 8,05 – 8,42 dengan rata-ratanya adalah

8,26. Dari ke dua kisaran pH dan rata-rata kisaran pH Sungai Ciketing bersifat basa

kisaran pH 8,00-8,54 masih sesuai BMAS Baku Mutu Air Sungai Golongan A dan

Golongan B Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.1608 tahun 1988 dan Keputusan

Menteri Negara Kependudukkan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1988.

Tingkat warna air Sungai Ciketing pada tanggal 2 Oktober 2004 di inlet adalah

271 unit PtCo dan di outlet adalah 3225 unit PtCo. Angka ini sudah jauh diatas BML air

sungai di wilayah DKI yaitu 100 unit PtCo (yang diperbolehkan). Dengan adanya

kenaikkan dari 271 unit PtCo ke 3225 unit PtCo menunjukkan adanya peningkatan

pencemaran di wilayah TPA yang merupakan kemungkinan besar kontribusi dari

kebocoran di TPA tersebut. Disamping itu peningkatan pencemaran rembesan dari sisi

zone TPA pada waktu hujan.

Pada tanggal 23 Oktober 2004 air Sungai Ciketing di inlet adalah 306 unit PtCo,

dan di outlet pada tanggal yang sama adalah 3178 unit PtCo, lebih tinggi daripada di

inlet. Tanggal 27 Nopember 2004 warna air Sungai Ciketing pada inlet 244 unit PtCo

dan di outlet menjadi 3165 unit PtCo, berarti ada peningkatan pencemaran. Hal ini

dapat dimaklumi, karena telah bercampur dengan buangan lindi, sehingga

pencemarannya semakin meningkat. Tingkat warna air sungai tersebut semuanya diatas

BMAPSA (Baku Mutu Air pada Sumber Air) berdasarkan Keputusan Menteri

Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.02/MENKLH/1988 dan BMAS (Baku Mutu

Air Sungai) DKI Surat Keputusan Gubernur KDH Jakarta No. 1608 tahun 1988.

Page 106: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

90

Secara keseluruhan kisaran warna sebagai salah satu indikator kualitas air Sungai

Ciketing di inlet adalah antara 244 unit – 306 unit PtCo dengan rata-rata dari tanggal 2

Oktober 2004 sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah 273,66 unit PtCo.

Kisaran warna kualitas air Sungai Ciketing di outlet adalah 3165 – 3225 unit PtCo dan

nilai warna rata-ratanya adalah 3169 unit PtCo. Nilai ini lebih tinggi daripada nilai

warna rata-rata di inlet.

Salah satu parameter untuk mengetahui kualitas air sungai adalah BOD5. Oksigen

terlarut merupakan senyawa yang sangat penting dalam kehidupan perairan pada tingkat

konsentrasi tertentu dan berguna untuk penghancuran bahan organik atau zat pencemar

dalam air (Saeni, 1988). Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) adalah pengukuran jumlah

oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme selama penghancuran bahan organik

dalam waktu tertentu dan suhu 20 ºC (Saeni, 1988; Wardhana, 1995; Fardiaz, 1993;

Jenie, 1992; Alaert et al., 1984). Selama jangka waktu 5 tahun terakhir, nilai BOD

tertinggi terjadi pada tahun 2000 dengan titik outlet memberikan sumbangan BOD

sebesar 228,50 mg/l dan titik inlet sebesar 43,50 mg/l. Nilai BOD ini terus mengalami

penurunan, sehingga pada tahun 2004 di titik inlet hanya sebesar 31,90 mg/l dan di titik

outlet sebesar 45,60 mg/l.

Secara keseluruhan kisaran BOD sebagai salah satu indikator kualitas air Sungai

Ciketing di inlet adalah antara 24,5 – 31,9 mg/l dengan rata-rata dari tanggal 2 Oktober

2004 sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah 28,83 mg/l. Kisaran BOD air

Sungai Ciketing di outlet adalah 445 – 456 mg/l dan nilai rata-ratanya adalah 471 mg/1.

Nilai ini lebih tinggi daripada nilai warna rata-rata di inlet. Selain BOD, parameter lain

yang harus diperhatikan dalam melihat kualitas air Sungai Ciketing adalah COD.

Adapun perkembangan COD dalam 5 tahun terakhir dapat dilihat pada (Lampiran 20).

Nilai COD di inlet dan outlet Sungai Ciketing memiliki perkembangan seperti nilai

BOD. Nilai COD yang ditemukan di Sungai Ciketing tahun 2000 sangat tinggi,

terutama di outlet yang mencapai nilai sebesar 2864,08 mg/l. Nilai COD ini terus

mengalami penurunan sehingga pada tahun 2004, kandungannya hanya sekitar 118,80

mg/l, namun nilai COD di inlet nilainya mengalami fluktuasi setelah mengalami

peningkatan di tahun 2002 dan 2003, pada tahun 2004 nilainya mengalami penurunan.

Secara keseluruhan kisaran COD sebagai salah satu indikator kualitas air Sungai

Ciketing di inlet 83-92,3 mg/l, kecendrungan ada kenaikan nilai COD, dan dengan nilai

Page 107: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

91

rata-rata dari tanggal 2 Oktober 2004 sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah

88,83 mg/l. Kisaran COD air Sungai Ciketing di outlet adalah 1188-1515 mg/l dan nilai

rata-ratanya adalah 1349 mg/l. Nilai ini lebih tinggi daripada nilai rata-rata di inlet.

Selain BOD dan COD, kandungan nitrat dan nitrit juga harus diperhatikan dalam

pengamatan kualitas air sungai. Nitrat juga terdapat di dalam tanah dan air dengan cara

biologis melalui bantuan mikroorganisme. Akar tumbuhan polongan atau kacang-

kacangan terdapat bakteri yang mempunyai kemampuan mengikat nitrogen di udara dan

selanjutnya melalui proses kimiawi dengan katalis bakteri akan terbentuk nitrat. Di

dalam air nitrogen diikat oleh bakteri dan ganggang (Saeni, 1988; Sastrawijaya, 1991).

Nitrat Sungai Ciketing di inlet berfluktuasi (Tabel 17) mulai dari 8,34 sampai

dengan 7,54 mg/l. Nilai tertinggi pada tanggal 2 Oktober 2004. Berdasarkan BMPAS

Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup KEP.02/MENKLH-1988

maksimum yang dianjurkan dan yang diperbolehkan untuk air minum harus nihil atau 0

mg/l dan untuk air golongan B maksimum yang dianjurkan 0,01 mg/l dan maksimum

yang diperbolehkan 0,5 mg/l. Mengacu pada peraturan ini, maka konsentrasi N-NO3 untuk baku mutu air golongan B konsentrasi pada tanggal 2 Oktober sampai dengan 27

Nopember 2004 baik di inlet dan di outlet menunjukkan nilai yang semakin besar

daripada di inlet. Secara keseluruhan kisaran N-NO3̄ , di inlet Sungai Ciketing selama

periode tanggal 2 Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 adalah 7,54 – 8,34 mg/l

dengan rata-ratanya 7,8 mg/l. Nilai konsentrasi N-NO3 tertinggi di outle adalah 2,55

– 2,97 mg/l dengan rata-ratanya 2,72 mg/l. Nilai ini sudah diatas BMPAS air golongan

B. Berarti pencemaran air Sungai Ciketing di outlet semakin bertambah.

Nitrit (NO2̄ ) di inlet Sungai Ciketing (Tabel 17) secara keseluruhan menunjukkan

konsentrasi yang tinggi berkisar antara 3,87 – 5,40 mg/l. Konsentrasi tertinggi terjadi

pada tanggal 27 Nopember 2004 yaitu 5,54 mg/l. Konsentrasi nitrit tertinggi dicapai

pada tanggal 27 Nopember 2004. Rata-rata konsentrasi nitrit selama periode tanggal 2

Oktober sampai dengan 27 Nopember 2004 adalah 4,96 mg/l. Nilai ini sudah diatas

BMAPS air golongan A berdasarkan S.K. MENEG KLH No. KEP.02/MENKLH.

Nitrit di outlet Sungai Ciketing secara keseluruhan selama periode tanggal 2

Oktober sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 dilihat dari rata-rata lebih besar

Page 108: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

92

(Tabel 18). Konsentrasi nitrit terendah dicapai pada tanggal 27 Nopember 2004 yaitu

1,05 mg/l dan nitrit tertinggi dicapai pada tanggal 23 Oktober 2004 yaitu 1,42 mg/l.

Nilai rata-rata keseluruhannya adalah 1,21 mg/l. Secara keseluruhan nilai nitrit rata-rata

di atas baku mutu air golongan B berdasarkan S.K. MENEG KLH No.

KEP.02/MENKLH dan baku mutu air golongan A berdasarkan S.K. Gub. KDH DKI

No. 1608/1988.

Nitrit NO2̄ adalah nitrogen yang teroksidasi dengan tingkat oksidasi +3 dan

merupakan keadaan sementara proses oksidasi antara ammonia dan nitrat yang dapat

terjadi pada pengolahan air buangan, dalam air sungai dan sistem drainase dan

merupakan pencemar berbahaya dalam konsentrasi yang tinggi (Alaert et al., 1983).

Nitrit dalam tubuh manusia sangat membahayakan, karena dapat bereaksi dengan

hemoglobin dalam darah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen. Keadaan ini

akan mengakibatkan keracunan pada bayi yang disebut blue baby (Manahan, 1977.

Saeni, 1988). Disamping itu nitrit juga dapat menimbulkan nitrosamin pada air buangan

tertentu yang dapat menyebabkan kanker (Alaert et al., 1983).

C. Perkembangan Kualitas Air Lindi

Untuk mengetahui kualitas air lindi, maka perlu diperhatikan kualitas IPAS dengan

menilai parameter nitrat, nitrit, BOD5, COD dan pH. Nilai nitrat tertinggi, baik pada

inlet maupun outlet terjadi pada tahun 2000 dan 2001, terutama pada IPAS 2. Sampai

tahun 2003, kandungan nitrat yang ditemukan pada IPAS 1 dan IPAS 2 Gambar 13

masih di atas ambang batas yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan No. 416/Menkes/Per/X/1990, tanggal 3 September 1990 untuk nitrat yaitu

sebesar 20 mg/l.

Gambar 13. Perkembangan Parameter Nitrat Air Lindi

0

50

100

150

200

250

300

IPAS 1 IPAS 2 IPAS 1 IPAS 2 IPAS 1 IPAS 2 IPAS 1 IPAS 2 IPAS 1 IPAS 2

2000 2001 2002 2003 2004

Tahun

mg/

l inlet

outlet

Page 109: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

93

Namun, untuk tahun 2004 kandungan nitrat air lindi pada IPAS 1 (Inlet) sudah

berada dibawah ambang batas yang diperbolehkan, kecuali pada tanggal 27 Nopember

2004 yang merupakan N-NO3 terendah dalam perode 2 Oktober sampai dengan tanggal

27 Nopember 2004, N-NO3 pada tanggal 27 Nopember 2004 ini adalah 3,23 mg/l, N-

NO3 yang tertinggi terjadi pada tanggal 23 Oktober 2004 dengan konsentrasi sebesar

4,09 mg/l. Rata-rata N-NO3 selama periode 2 Oktober sampai dengan tanggal 27

Nopember 2004 ini adalah 3,71 mg/l (Lampiran 4). Sedangkan kandungan nitrat

tertinggi di IPAS 1 (outlet) pada tanggal 2 Oktober 2004 sebesar 20,95 mg/l diatas

baku mutu yang diperbolehkan, kecuali pada tanggal 23 Oktober 2004 sebesar 3,03.

Rata-rata N-NO3 selama periode 2 Oktober sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004

ini adalah 14,65 mg/l.

N-NO3 pada IPAS 2 (inlet) periode tanggal 2 Oktober sampai dengan tanggal

27 Nopember 2004 berada dibawah ambang batas yang diperbolehkan, dengan kisaran

2,99 –3,89 mg/l, dan raa-rata sebesar 3,43 mg/l (Lampiran 5). Sedangkan kandungan

nitrat di IPAS 2 (outlet) periode tanggal 2 Oktober sampai dengan tanggal 27

Nopember 2004 sebesar kisaran 7,08 – 8,01 mg/l dibawah baku mutu yang

diperbolehkan, dengan rata-rata N-NO3 selama periode 2 Oktober sampai dengan

tanggal 27 Nopember 2004 ini adalah 7,39 mg/l.

Periode tanggal 2 Oktober sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 N-NO3

pada IPAS 3 (inlet) dengan kisaran 2,02 – 2,69 mg/l, dan rata-rata sebesar 2,35 mg/l

(Lampiran 6), dan pada IPAS 4 (inlet) kisaran 4,98 – 6,46 mg/l, dan rata-rata sebesar

5,77 mg/l (Lampiran 7) berada dibawah ambang batas yang diperbolehkan, Sedangkan

nitrat di IPAS 3 (outlet) periode tanggal 2 Oktober sampai dengan tanggal 27

Nopember 2004 sebesar kisaran 3,55 – 3,92 mg/l, dengan rata-rata 3,78 mg/l,

sedangkan pada IPAS 4 kisaran 3,44 – 3,88 mg/l, dengan rata-rata 3,69 mg/l

(Lampiran 11) dibawah baku mutu yang diperbolehkan.

Nilai nitrat yang tinggi lebih banyak dijumpai pada outlet, kecuali pada IPAS 1

bulan Oktober, dan IPAS 4 pada bulan Oktober dan November. Konsentrasi nitrat

Page 110: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

94

tertinggi terjadi pada IPAS 1 di bulan November di outlet dengan nilai mencapai 19,97

mg/l dan terendah pada IPAS 3 di bulan Oktober di inlet yang mencapai nilai 2,02 mg/l.

Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan nilai nitrat di IPAS periode Oktober-

November 2004 dapat dilihat pada Gambar 14.

Nilai nitrit air lindi di IPAS 1 (inlet) berkisar mulai dari 28,6 yang terendah

sampai dengan 43,1 yang tertinggi. Angka terendah dicapai pada tanggal 27 Nopember

2004 dan tertinggi dicapai pada tanggal 23 Oktober 2004. Nilai rata-rata selama

periode 2 Oktober sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 adalah 36,2 mg/l. Secara

keseluruhan nitrit rata-rata menunjukkan sudah jauh diatas baku mutu air limbah

golongan II, dan IPAS 2, khususnya pada outlet berada di atas baku mutu yang

0

5

10

15

20

25

Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.

1 2 3 4

IPAS

mg/l inlet

outlet

Gambar 14. Perkembangan Nitrat di IPAS Periode Oktober- November 2004

diperbolehkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

416/Menkes/Per/X/1990 tanggal 3 September 1990 karena memiliki nilai di atas 1 mg/l,

kecuali pada tahun 2001. Sedangkan kandungan nitrit air lindi pada inlet masih berada

di bawah baku mutu yang diperbolehkan, kecuali pada tahun 2000 dan di IPAS 1 pada

tahun 2004. Sedangakan pada IPAS 2 dan 3 (Inlet) berada dibawah baku mutu, hanya

pada IPAS 2 tanggal 27 Nopember 2004 dengan nilai 1,044 mg/l. Pada IPAS 4 (inlet)

nilai nitrit menunjukkan angka yang sangat tinggi, periode tanggal 2 Oktober sampai

dengan tanggal 27 Nopember 2004 kisaran 116,7 – 1552,5 dengan rata-rata 1037

(Lampiran 7), melebihi baku mutu yang diperbolehkan.

Nilai nitrit yang tinggi lebih banyak dijumpai pada titik outlet, kecuali pada

IPAS 4. Konsentrasi nitrit tertinggi terjadi pada IPAS 4 di bulan Oktober di inlet

dengan nilai mencapai 1444 mg/l dan terendah pada IPAS 2 di bulan Oktober. Untuk

Page 111: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

95

lebih jelasnya mengenai perkembangan konsentrasi nitrit di IPAS periode Oktober-

November 2004 dapat dilihat pada Gambar 15.

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.

1 2 3 4

IPAS

mg/l inlet

outlet

Gambar 15. Perkembangan Nitrit di IPAS Periode Oktober-November 2004

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 416/Menkes/Per/X/1990 tanggal

3 September 1990 yang menetapkan bahwa batas BOD5 yang diperbolehkan adalah 50

mg/l, maka keberadaan BOD air lindi telah sangat mengkhawatirkan. Nilai BOD5, baik

di IPAS 1 maupun IPAS 2 sangat tinggi dan hanya ketika tahun 2002 di IPAS 1,

nilainya berada di bawah baku mutu yang diperbolehkan. Bahkan pada tahun 2004,

nilai BOD5 di IPAS 2 pada inlet mencapai 1008 mg/l.

Nilai BOD lebih banyak ditemukan pada inlet, kecuali pada IPAS 2 di tahun

2000 dan 2001 (Lampiran 15 dan 16). Hal ini disebabkan sesudah inlet air lindi

terkontaminasi oleh beragam zat atau unsur lain, sehingga kandungan BOD sedikit

berkurang. Nilai BOD5 tertinggi terjadi pada IPAS 4 di bulan Oktober 2004 di inlet

dengan nilai mencapai 1267 mg/l dan terendah pada IPAS 2 di bulan Oktober 2004 di

outlet yang mencapai nilai 144 mg/l. Secara umum, nilai BOD di inlet lebih tinggi

daripada di outlet. Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan nilai BOD di IPAS

periode Oktober-November 2004 dapat dilihat pada Gambar 16.

Page 112: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

96

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.

1 2 3 4

IPAS

mg/l inlet

outlet

Gambar 16. Perkembangan BOD5 di IPAS Periode Oktober-November 2004

Nilai COD lebih banyak ditemukan pada titik inlet, kecuali pada IPAS 2 di

tahun 2001 dan IPAS 4 tahun 2000. Nilai COD yang tinggi ditemukan pada IPAS 3

tahun 2001 (Lampiran 14 dan 15). Untuk nilai COD air lindi yang ditemukan, nilainya

juga berada di atas baku mutu yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan No. 416/Menkes/Per/X/1990 tanggal 3 September 1990 yang menetapkan

bahwa batas COD yang diperbolehkan adalah 100 mg/l. Bahkan pada tahun 2004,

kandungan COD di IPAS 2 pada titik inlet mencapai 3188 mg/l.

Nilai COD dengan BOD tidak terlalu berbeda perkembangannya. Nilai COD

tertinggi terjadi pada IPAS 4 di bulan Oktober di titik inlet dengan nilai 3455 mg/l dan

terendah pada IPAS 2 di bulan Nopember di titik outlet mencapai nilai 380 mg/l.

Secara umum, nilai COD di titik inlet lebih tinggi daripada di titik outlet. Untuk lebih

jelasnya mengenai perkembangan nilai COD di IPAS periode Oktober-November 2004

dapat dilihat pada Gambar 17.

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.

1 2 3 4

IPAS

mg/l inlet

outlet

Gambar 17. COD di IPAS Periode Oktober-November 2004

Page 113: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

97

Nilai pH air lindi di IPAS menentukan keseimbangan antara asam dan basa

yang diidentifikasikan melalui pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam suatu

larutan. Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral yaitu kisaran pH 6-8. Apabila pH

air diatas atau dibawah angka kisaran tersebut tergolong tidak normal. Air bersifat asam

apabila pH nya lebih kecil dari 7 dan bersifat basa apabila pH nya lebih besar atau sama

dengan 7.

Untuk nilai pH air lindi yang ditemukan, nilainya masih berada dalam baku

mutu yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.

416/Menkes/Per/X/1990 tanggal 3 September 1990 yang menetapkan bahwa pH yang

diperbolehkan adalah 6-9.

Pada Gambar 18 terlihat bahwa pH di IPAS yang tinggi lebih banyak dijumpai

pada bulan Oktober dengan nilai tertinggi berada pada IPAS 3. Nilai pH juga lebih

tinggi pada inlet, kecuali pada IPAS 1 di bulan November dan IPAS 4 bulan Oktober,

Secara keseluruhan pH air lindi pada IPAS periode bulan Oktober sampai dengan bulan

Nopember 2004 berada lebih besar atau sama dengan 7 bersifat basa .

6.6

6.87

7.2

7.47.6

7.88

8.2

8.48.6

pH

Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov. Okt Nov.

1 2 3 4

IPAS

inlet

outlet

Gambar 18. pH di IPAS Periode Oktober-November 2004 4.3. Komponen Mikrobiologi

Kualitas air secara biologis, khususnya secara mikrobiologis, ditentukan oleh

banyak parameter. Parameter tersebut adalah E. coli dan coliform, fitoplankton dan

bentos. Kehadiran mikroba berupa bakteri pencemaran tinja di dalam air yang

digunakan untuk kepentingan hidup manusia (rumah tangga) sangat tidak diharapkan.

Untuk keperluan di luar untuk air minum, seperti air kolam renang, dalam 100 ml air

Page 114: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

98

kandungan bakteri coli tidak boleh lebih dari 200, sementara untuk air rekriasi tidak

boleh mengandung lebih dari 1000 bakteri coli.

Banyak jenis bakteri patogen (penyebab penyakit) berkembang dan menyebar

melalui badan air, misalnya penyebab penyakit tipus (Salmonella), disentri (Shigella),

kolera (Vibrio), dan dipteri (Coryne bacterium). Selain itu banyak bakteri patogen

berkembang dan menyebar melalui air, baik yang hidup secara anaerobik maupun yang

hidup secara aerobik. Kontak makanan dengan air yang mengandung bakteri tersebut

akan dinyatakan berbahaya kalau kemudian termakan.

Kandungan E. coli sumur atas dari TPA konsentrasi pada tanggal 2 Oktober

sampai dengan tanggal 27 Nopember 2004 kisarannya 52 – 63 MPN/100 ml dengan

nilai rata-ratanya 55,66 MPN/100 ml (Tabel 15), sedangkan pada sumur bawah dari

TPA kisarannya 0,1 – 50 MPN/100 ml dengan nilai rata-ratanya 23,36 MPN/100 ml

(Tabel 16), ini berarti pada sumur-sumur tersebut baik yang diatas maupun yang

dibawah dari TPA sudah tercemar E. coli akan tetapi masih di bawah ambang batas

BMPSA dan BMAS. Kondisi ini dan buruknya air sumur tersebut, lebih banyak

disebabkan oleh buruknya kondisi lingkungan setempat dan pencemaran di sumur atas

dan sumur bawah tidak hanya dipengaruhi oleh pencemar dari TPA, tetapi juga akibat

adanya pencemaran di sekitar sumur seperti WC dan tumpukan sampah yang

dikumpulkan oleh pemulung di sekitarnya.

Kandungan koliform sumur jauh lebih tinggi daripada kandungan E. coli pada

periode yang sama. Kandungan tertinggi dicapai pada tanggal 27 Nopember 2004 dan

terendah pada tanggal 2 Oktober 2004. Kandungan rata-rata 71 MPN/100 ml. Angka ini

masih dibawah BMPSA dan BMAS.

Dari beberapa komponen mikrobiologi pada kawasan TPA, salah satu diantara

yang terpenting adalah faktor keberadaan dan distribusi lalat. Keberaaan dan banyaknya

lalat juga dapat dianggap sebabagai cerminan keadaan sanitasi lingkungan. Semakin

banyak lalat, semakin menurun kondisi sanitasi lingkungannya, begitu juga sebaliknya.

Dengan kondisi ini, lalat dianggap sebagai indikator penyebaran vektor beberapa

penyakit yang berbahaya.

Pengukuran komponen lalat dilaksanakan pada tanggal 4 Nopember 2004 antara

pukul 9.30 sampai dengan 15.00 WIB. Jumlah keberadaan lalat menurut lokasinya di

TPA Bantar Gebang dan sekitarnya seperti pada Tabel 19.

Page 115: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

99

Tabel 19. Distribusi Lalat di Kawasan TPA Bantar Gebang dan Sekitarnya

No Lokasi

Jumlah

Baku Mutu

Keterangan

1. Ke Arah Kelurahan Sumur Batu ♦ Titik 1 zone IIIC ♦ Titik 2 ♦ Titik 3 ♦ Titik 4 Kelurahan Sumur Batu ♦ Ttitik 5 Batas Kel. S. Batu

8,9 7,4 5,2 3,6 1,5

30 30 30 30 30

Landfill Berangin Sampah kering Landfill Permukiman

2. Ke Arah Kelurahan Taman Sari ♦ Titik 6 zone IIIC ♦ Titik 7 jalan pembatas zona

IIIC ♦ Titik 8 tenggara zone IIIC ♦ Titik 9 Kelurahan Taman Sari ♦ Titik 10 tempat cucian plastik

12,3 10,4 9,1 3,5 36,8

30 30 30 30 30

Landfill Banyak grobak sampah Landfill Permukiman Tempat cucian plastik

3. Ke Arah Kel. Ciketing Udik ♦ Titik 11 Kel. Ciketing Udik ♦ Titik 12 jalan pembatas TPA ♦ Titik 13 empang cuci plastik

2,9 7,4 6,8

30 30 30

Permukiman Leachate, berangin Tempat cucian plastik

4. Ke Arah Kelurahan Cikiwul ♦ Titik 14 Kel. Cikiwul ♦ Titik 15 zone IIIA ♦ Titik 16 zone IIB ♦ Titik 17 zone IC ♦ Titik 18 zone IA ♦ Titik 19 zone VB

1,9 3,4 0,9 7,8 0,7 0,5

30 30 30 30 30 30

Permukiman Berangin, landfill lama Berangin, landfill lama Sampah baru, berangin Berangin, rumput & landfill Berangin, landfill

* Baku Mutu Kep. Dirjen P2M PLP Depkes No.28-1 II/PD 03.04 LP tanggal 30 Oktober 1989

Pada Tabel 19 tersebut bahwa jumlah populasi lalat di lokasi arah desa Taman

Sari yaitu pada titik 10 tempat pencucian pelastik terdapat jumlah lalat 36,8 melebihi

baku mutu Kep. Dirjen P2MPLP Depkes No.28-1 11/PD.03.04LP tanggal 30 Oktober

1989 hal ini terjadi karena dilokasi pencucian pelastik yang dilakukan para pemulung

menimbulkan bau busuk mengundang lalat.

4.4. Komponen Sosial-Ekonomi

A. Karakteristik Responden

Masyarakat yang dijadikan responden adalah masyarakat yang tinggal di sekitar

TPA Bantar Gebang, 49,5 % dari mereka tinggal yang jarak rumahnya antara 0-1 km

Page 116: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

100

dari lokasi TPA Bantar Gebang dan 3,4 % responden tinggal antara 1-10 km dari TPA

Bantar Gebang. Tingkat pendidikan responden mayoritas tamatan SD sebanyak 41,9 %

dan 92,7 % dari mereka telah menikah. Sebagian besar memiliki tanggungan antara 1-4

orang.

B. Sosial Ekonomi Responden

Menurut Haeruman (1979) perubahan atau pengaruh pembangunan tidak hanya

dalam bentuk fisik, tetapi juga sosial atau ekonomi yang seringkali menimbulkan

keresahan sosial yang gawat, yang terjadi karena kurangnya pendekatan yang serasi

terhadap masyarakat di sekitar lokasi pembangunan. Mengenai pengaruh ekonomi,

Suratmo (1988) mengemukakan bahwa perubahan dalam basis ekonomi akan

mempengaruhi perubahan dalam kegiatan bukan berbasis ekonomi. Pengaruh ekonomi

tersebut bersifat sekunder yang harus diperhitungkan. Kegiatan ekonomi bukan basis

mencakup berbagai usaha ekonomi yang terkait secara tidak langsung dengan ekonomi

di sektor basis, sebagai contoh jika balai industri berkembang, akan berkembang pula

usaha jasa transportasi pedesaan, usaha warung, serta jasa-jasa perdagangan lainnya di

desa setempat.

Guna mengetahui sejauhmana pengaruh suatu program pembangunan, maka

dilaksanakan pemantauan dan evaluasi secara terus-menerus. Hal tersebut diperlukan

untuk bisa segera memahami sejauhmana pengaruh dari suatu program pembangunan

pada keseimbangan sistem sosial-ekosistem dan keseimbangan tersebut diharapkan agar

senantiasa lestari. Apabila kelestarian belum tercapai, maka program pembangunan

tersebut perlu mendapatkan masukan untuk menghilangkan faktor- faktor penyebab dan

mengurangi tekanannya terhadap lingkungan sosial tersebut, sehingga kelestarian tetap

tercapai.

Pekerjaan responden mayoritas adalah bergerak di bidang wiraswasta atau

berdagang 33,4 %, sedangkan yang berprofesi sebagai karyawan swasta hanya 18,3 %

seperti Tabel 20.

Page 117: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

101

Tabel 20. Jenis Pekerjaan Responden

No

Jenis Pekerjaan Peresentase (%)

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Pegawai Negeri atau TNI Swasta Wiraswasta Buruh atau petani Mengojek Lainnya

7,2 18,3 33,4 27 6,6 2

Total 100

Ditinjau dari segi pendapatan 27,4 % mempunyai pendapatan rata-rata antara

Rp.500.000,00 – Rp.1.000.000,00, sedangkan yang punya pendapatan lebih dari satu

juta sebanyak 15,1 % seperti pada Tabel 21. Pengeluaran terbesar dari penduduk adalah

untuk kebutuhan hidup sehari-hari atau 53,4 % sedangkan untuk biaya pendidikan

sebanyak 34,2 %.

Tabel 21. Tingkat Pendapatan Responden

No

Tingkat Penghasilan

Peresentase (%)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

500.000 500.000 – 1.000.000 1.000.000 – 1.500.000 1.500.000 – 2.000.000 2.000.000 – 2.500.000 > 3.000.000 Tidak menjawab

26 27,4 15,1 13,7

0 1,4 16,4

Total 100

C. Tanggapan Responden terhadap TPA Bantar Gebang

Pada umumya 54,7 % penduduk menganggap bahwa aktivitas TPA tidak

mengganggu dan berpengaruh terhadap kehidupan mereka, 27,2 % mengganggap

kegiatan TPA mengganggu yang menyatakan mendukung atas kehadiran TPA sebanyak

17,6 %.

Sumber air yang digunakan oleh warga pada umumnya berasal dari air tanah

atau sumur, bahkan masih ada yang membeli air dari tukang air keliling sebanyak 5,6

%. Jawaban responden tentang gangguan terhadap air tanah adalah 29,8 % menganggap

masih ada gangguan terhadap kualitas air tanah mereka. Namun jika dibandingkan

dengan tahun 2001, maka ada penurunan. Pada tahun 2001 jumlah responden yang

menyatakan ada gangguan sebesar 43,3 %. Wujud gangguan terhadap air tanah menurut

responden pada tahun 2004 adalah 19,2 % masalah kebauan, namun jika dibandingkan

dengan tahun 2002 terjadi penurunan karena pada tahun 2002 jawaban responden

sebesar 23,3 % seperti Tabel 22.

Page 118: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

102

Tabel 22. Wujud Gangguan Terhadap Air Tanah Presentase ( % ) No Wujud Gangguan

2001 2002 2003 2004 Kisaran Rata-

rata 1. 2. 3.

Berbau Keruh Berminyak

25 15 3,3

23,3 6,8 0

21,4 5,8 0

19,2 5,3 0

Total 43,3 30,1 27,2 24,5

19,2 - 25 5,3 – 6,8 0 – 3,3

22,22 8,22 0,8

Selanjutnya apa yang menjadi penyebab gangguan air tanah menurut responden

19,2 % dikarenakan aktivitas TPA Bantar Gebang (pada tahun 2001 jumlah tersebut

adalah 20 %). Penyebab gangguan terhadap air tanah periode tahun 2001 sampai

dengan 2004 persentase tertinggi pada tahun 2001 sebesar 20 % dan terendah pada

tahun 2004 sebesar 18,7 % yang menyatakan penyebabnya adalah TPA Bantar Gebang.

Terdapat penurunan tingkat gangguan dengan nilai kisaran 18,7 – 20 % dan nilai rata-

rata 19,22 %. Sedangkan yang menyatakan penyebab gangguan dari lain- lain adalah

kisaran 11,1 – 18 % dengan nilai rata-rata 5,45 %. Penyebab gangguan air tanah secara

rinci diuraikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Penyebab Gangguan Terhadap Air Tanah Presentase ( % ) No PenyebabGangguan

2001 2002 2003 2004 Kisaran Rata-

rata 1. 2.

TPA Bantar Gebang Lain- lain

20 18

19,2 1,4

19,0 1,3

18,7 1,1

Total 38 20,6 20,3 19,8

18,7-20 1,1-18

19,22 5,45

Dari Tabel 23 tersebut dapat disimpulkan bahwa, menurut masyarakat gangguan

terhadap air tanah karena aktivitas TPA Bantar Gebang berkurang, sedangkan karena

adanya aktivitas lainnya menurun.

Menurut responden gangguan bau di wilayah TPA Bantar Gebang berasal dari

aktivitas TPA Bantar Gebang baik tahun 2001 maupun 2002, 2003 dan 2004 dan secara

rinci dapat dilihat pada Tabel 24. Bau merupakan parameter penting dalam kualitas air

minum, parameter tersebut merupakan sifat fisik air yang secara langsung berpengaruh

terhadap konsumen (Peany et al, 1986).

Page 119: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

103

Tabel 24. Penyebab Gangguan Bau Presentase ( % ) No Intensitas Gangguan

Asap 2001 2002 2003 2004 Kisaran Rata-

rata 1.

2.

3.

Aktivitas TPA Bantar Gebang Aktivitas TPS di Luar Bantar Gebang Aktivitas TPA Liar di Sekitar TPA

83,3

1,7

14,7

82,9

1,4

15,7

82,9

1,4

15,7

81,0

6,3

12,7

Total 100 100 100 100

81,0-83,3

1,5-6,3

12,7-15,7

82,22

3,47

14,22

Berdasarkan hasil analisis kualitas udara, yang menjadi sumber bau adalah NH3

(amonia) dan H2S, namun demikian nilai kedua parameter tersebut masih dibawah baku

mutu lingkungan.

D. Kesehatan Masyarakat

Pengaruh sampah terhadap kesehatan lingkungan dapat terjadi melalui pengaruh

langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung terjadi akibat kontak langsung

dengan sampah, dimana sampah tersebut ada yang bersifat racun, korosif terhadap

tubuh, karsionogenik, teratogenik dan ada juga yang mengandung kuman patogen yang

langsung dapat menularkan penyakit Slamet, (1994). Pengaruh tidak langsung dapat

dirasakan oleh manusia terutama akibat pembusukan, pembakaran dan pembuangan

sampah. Dekomposisi sampah biasanya terjadi secara aerobik, dilanjutkan secara

fakultatif, bahkan terjadi secara anaerobik jika kehabisan oksigen. Dekomposisi secara

aerobik menghasilkan lindi dan gas.

Pengaruh tidak langsung juga terjadi melalui vektor yang dibawa hewan inang

yang hidup dan berkembang biak di sampah, misalnya tikus adalah inang pinjal sebagai

vektor penyakit pes, dan lalat merupakan vektor utama terhadap penyakit disentri

Slamet, (1994). Pengelolaan sampah yang kurang baik, selain menimbulkan penyakit,

juga dapat menimbulkan efek terhadap kualitas sosial lingkungan, terutama penurunan

estetika yang ditunjukan adanya kesan jorok, jijik, bau dan sebagainya Saruji, (986)

Perkembangan kesehatan masyarakat di sekitar kawasan TPA didekati dengan

analisis data sekunder khususnya persentase penyakit di Kecamatan Bantar Gebang,

terhadap 5 penyakit besar, seperti disajikan dalam Tabel 25. Tabel tersebut

memperlihatkan jenis penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat Kota Bekasi,

yakni ISPA, penyakit gigi, gastritis, infeksi kulit dan diare.

Page 120: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

104

Berdasarkan Tabel 25 dapat dilihat bahwa perkembangan pola penyakit di

wilayah Kota Bekasi dan Kecamatan Bantar Gebang dalam 7 tahun terakhir, terutama

dari tahun 1998-2004 menunjukkan pola yang relatif sama. Misalnya penyakit ISPA

untuk wilayah Bantar Gebang antara 32,9 – 44,3 %, sedangkan wilayah Kota Bekasi

juga sebesar antara 37,4 – 44,3 %. Berdasarkan Uji T menunjukkan bahwa jenis

penyakit ISPA di wilayah Kota Bekasi dan Kecamatan Bantar Gebang tersebut adalah

relatif sama atau tidak berbeda secara nyata.

Tabel 25. Jenis Penyakit di Kota Bekasi dalam 7 tahun terakhir

Wilayah No

Tahun

Jenis Penyakit Kota Bekasi ( % ) Bantar Gebang ( % )

1. 1998 44,3 34,1 1999 40,9 44,3 2000 37,4 40,0 2001 38,8 32,9 2002 36,7 30,4 2003 34,9 29,5 2004

ISPA

31,8 28,6 2. 1998 14,9 12,2 1999 - 14,9 2000 2,2 24,1 2001 15,4 11,2 2002 12,3 10,6 2003 11,7 10,4 2004

Penyakit Gigi

10,8 9,7 3. 1998 14,5 17,5 1999 10,5 14,5 2000 3,7 11,1 2001 7,4 9,2 2002 6,2 8,7 2003 5,8 7,3 2004

Gastritis

5,2 6,4 4. 1998 10,2 11,7 1999 17,0 10,2 2000 5,5 8,4 2001 10,2 3,4 2002 8,4 3,0 2003 7,2 2,6 2004

Infeksi Kulit

6,5 2,4 5. 1998 7,6 4,9 1999 22,8 7,6 2000 9,5 8,1 2001 6,0 8,4 2002 5,8 7,9 2003 4,9 6,2 2004

Diare

4,3 5,7

Perkembangan penyakit gigi di wilayah Kecamatan Bantar Gebang sebesar

11,2-24 %, sedangkan wilayah Kota Bekasi sebesar 2,2-15,4 %. Begitu juga untuk

Page 121: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

105

penyakit Gastritis untuk wilayah Bantar Gebang lebih besar yakni 9,2-17,5 % dan

wilayah Kota Bekasi sebesar 3,7-14,5 %. Perbedaan tersebut berdasarkan persentasenya

terlihat berbeda, namun berdasarkan uji T, menunjukkan relatif tidak berbeda nyata.

Namun demikian karena menyangkut penyakit pada manusia, maka perkembangan

penyakit tersebut perlu mendapat perhatian yang serius.

Kedua perkembangan penyakit lainnya yaitu penyakit kulit dan diare

menunjukkan distribusi yang sama antara wilayah Kota Bekasi dan wilayah Bantar

Gebang. Hal ini menunjukkan bahwa pola penyebaran penyakit tersebut adalah sama

untuk seluruh wilayah Kecamatan di Kota Bekasi, tidak ada gejolak yang berbeda

dengan wilayah Kota Bekasi. Status kesehatan masyarakat di sekitar lokasi TPA Bantar

Gebang hingga medio tahun 2004 data Puskesmas Bantar Gebang, menunjukkan bahwa

penyakit yang paling banyak diderita adalah ISPA, penyakit gigi, penyakit kulit,

gastritis dan diare.

Perkembangan pola penyakit di wilayah Bantar Gebang relatif memiliki

karakteristik sama dengan wilayah Kota Bekasi. Namun demikian perhatian pada

masyarakat sekitar tetap perlu mendapat perhatian yang serius sehubungan dengan

upaya pemberian kompensasi berupa pengobatan cuma-cuma bagi masyarakat dan

penderita beberapa penyakit pada masyarakat di sekitar lokasi TPA yang sangat erat

hubungannya dengan saluran pernapasan. TPA Bantar Gebang memberikan kontribusi

terhadap pencetusan atau intensitas rasa sakit penyakit batuk, sesak napas, ISPA,

pusing dan sakit perut.

Pada tahun 2004 persepsi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lokasi

TPA Bantar Gebang terhadap gangguan kesehatan mulai bergeser ke arah yang lebih

baik. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 26.

Pada tahun 2004 sebanyak 9,4 % responden (Tahun 2001 sebanyak 35,0 %)

menyatakan tidak pernah, sedangkan sisanya kadang-kadang merasakan sakit. Kisaran

terhadap gangguan kesehatan, intensitas sakit dalam beberapa tahun terakhir yang

menyatakan tidak pernah 9,4-35,0 % dengan nilai rata-rata 16,47 %. Sedangkan yang

menyatakan kadang-kadang dengan kisaran 20-50,2 % dengan nilai rata-rata 38,02 %.

Nilai ini menunjukkan peningkatan dari 43,6 %. Jenis penyakit yang sering responden

alami adalah flu dan batuk pilek tahun 2003 menjadi 50,2 % tahun 2004 (Tabel 26).

Jenis penyakit yang sering responden alami adalah flu dan batuk pilek yaitu sebesar

Page 122: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

106

58,7 % (tahun 2004), gangguan pernapasan sebanyak 24,3 %, diare dan muntaber

sebanyak 3,6 % (tahun 2004), dan sisanya oleh berbagai jenis penyebab.

Tabel 26. Persepsi Responden terhadap Gangguan Kesehatan tahun 2001-2004

Presen (%) No

Karakteristik Uraian

2001 2002 2003 2004 Kisaran Rata-

rata Sering 33,3 11,0 10,8 8,6 8,6-33,3 15,92 Kadang-kadang 20,0 38,3 43,6 50,2 28,0-50,2 38,02 Jarang 11,7 39,7 40,2 43,7 11,7-43,7 33,82 Tidak Pernah 35,0 11,0 10,5 9,4 9,4-35,0 16,47

1 Intensitas sakit dalam Beberapa tahun terakhir

Flu, Batuk, Pilek, 38,5 56,9 58,3 58,7 38,5-58,7 53,1 Pernapasan 30,5 23,1 20,1 24,3 20,1-30,5 24,5 Diare, Muntaber 331 4,6 4,2 3,6 3,6-33,1 85,85 Lainnya 17,9 15,4 14,7 12,0 12-7,9 15

2. Sakit yang sering Dialami

Aktivitas TPA 59 30,8 26,9 19,7 19,7-59 34,1 Aktivitas TPA liar 16,9 14,2 10,3 10,3-16,9 10,35 Lingkungan kurang sehat

15,4 27,7 29,4 33,6 15,4-33,6 26,52

Sebab-sebab lain 25,6 24,6 23,6 22,0 22-25,6 23,95

3 Penyebab sakit

Beli obat sendiri 15,0 24,6 30,4 36,3 15-36,3 26,57 Ke Dokter 41,7 30,8 42,5 44,2 30,8-44,2 39,8 Ke Puskesmas 43,3 44,6 47,2 48,0 43,3-48 45,77 Dukun atau tabib 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

4 Bila sakit, cara berobat

Pemrov DKI 27,8 35,6 30,2 22,4 22,4-35,6 29 Pemerintah Kota/Bekasi

50,0 8,2 7,9 5,7 5,7-50 17,95

Instansi pemerintah lain 16,7 6,9 5,8 4,8 4,8-16,7 8,55 Institusi swasta 5,6 5,5 5,4 4,9 4,9-5,6 5,35

5 Institusi pengelola Pengobatan gratis

Tidak jawab 43,8 36,7 29,8 29,8-43,8 27,57

Responden berobat ke Puskesmas sebesar 48,0 % (tahun 2001 sebanyak 43,3

%), dan pergi ke dokter sebanyak 44,2 % (tahun 2001 sebanyak 41,7 %), membeli obat

sendiri sebanyak 36,3 % (tahun 2001 sebanyak 15,0 %). Pada tahun 2004 responden

yang berpendapat bahwa instansi yang melakukan pengobatan sebagai kompensasi

dampak negatif adalah Pemerintah DKI Jakarta sebanyak 22,4 % (tahun 2001 sebanyak

27,8 %), sebanyak 5,7 % responden menyatakan bahwa instansi pengelola pengobatan

gratis adalah Pemerintah Kota Bekasi (tahun 2001 sebanyak 50,0 %).

Sehubungan dengan upaya untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat

yang berada di sekitar lokasi TPA Bantar Gebang, salah satu upaya yang dilakukan

adalah dengan meningkatkan pelayanan kesehatan termasuk diantaranya adalah

penyediaan fasilitas kesehatan di sekitar lokasi TPA Bantar Gebang. Adanya

kesepakatan antara pihak Pemda DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi dalam

Page 123: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

107

bentuk penyediaan dana kompensasi termasuk di dalamnya adalah penyediaan fasilitas

kesehatan berupa Puskesmas pembantu dengan segala kelengkapannya.

Keberadaan fasilitas kesehatan seperti Puskesmas pembantu tersebut, sangat

dibutuhkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi TPA Bantar Gebang.

Diharapkan dengan adanya fasilitas kesehatan tersebut angka kesakitan masyarakat di

sekitar lokasi TPA Bantar Gebang dapat ditekan seminimal mungkin.

E. Umur Teknis TPA

Perkiraan umur teknis TPA ditetapkan beberapa skenario antara lain

menetapkan bahwa ketinggian sampah adalah sebesar 17 m dari dasar konstruksi atau

12 m dari permukaan tanah. Berdasarkan ketinggian tumpukan sampah tersebut,

dengan luas total 76,06 ha, maka umur teknis TPA adalah selama 332 hari atau 1 tahun

seperti pada Tabel 27 (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2002).

Berdasarkan skenario ini, ketinggian 12-15 m secara teknis memerlukan

persyaratan tertentu berupa pemadatan, harus sempurna sehingga dapat digunakan

sebagai dasar bagi penumpukkan sampah berikutnya, dan untuk beroperasinya alat

berat, serta meningkatkan kemampuan IPAS, karena beban air lindi akan semakin

besar, hal ini berimplikasi pada peningkatan kemampuan pengelolaan air lindi.

Tabel 27. Umur Teknis TPA Bantar Gebang

Zone Luas (m²) Tinggi Teknis

(m)

Tinggi Aktual

Selisih (m) (3-4)

Tinggi Harian

Susut Harian

Selisih (6-7)

Umur (hari)

I 183.000 12 8,2 3,8 0.061 0.002 0.059 64.9 II 167.000 12 6,1 5,9 0.066 0.002 0.064 91.6 III 250.600 12 8,6 3,4 0.044 0.002 0.042 80.6 IV 64.900 12 4,7 7,3 0.171 0.002 0.169 43.2 V 95.000 12 6,1 5,9 0.117 0.002 0.115 51.4

Jumlah 760.700 331.7 Sumber: Evaluasi Pemantauan TPA Bantar Gebang, 2002.

F. Kompos dan Daur Ulang

a. Komposting

Program komposting belum dapat sebagai faktor utama dalam reduksi sampah,

paling tidak untuk jangka waktu 5 tahun kedepan. Walaupun demikian upaya-upaya

tersebut perlu terus diperbaiki dan dikembangkan. Sampah domestik merupakan potensi

yang sangat besar untuk produksi kompos. Namun upaya yang diperlukan untuk

Page 124: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

108

merubah perilaku dan kelembagaan pemilahan sampah pada sumbernya, khususnya

sampah domestik, akan sangat banyak, tidak termasuk introduksi minset untuk

memandang kompos sebagai produk bermanfaat.

Karena itu, bagi Jakarta, komposting tidak dapat dijadikan prioritas mendesak,

terutama dalam waktu dekat. Asumsi bahwa sumber kompos yang paling mudah dan

praktis adalah sampah pasar, yang dapat dikumpulkan secara terpisah. Rencana

perkomposan perlu disusun tersendiri, meliputi identifikasi pemanfaatan kompos,

komposisinya, kebutuhan lahan, serta pengelolaannya secara menyeluruh. Program

komposting sampah domestik perlu dikembangkan melalui proyek-proyek percontohan.

Komposting sampah domestik sekala besar dapat dilaksanakan melalui kemitraan

dengan sektor swasta. Kompos skala kecil dapat berhasil karena secara pembiayaan

modal dapat kembali karena pasar juga belum terbentuk secara baik. Pembeli hanya

dari kalangan pengguna tanaman hias. Pada produksi skala sedang, yang menjadi

kendala pertama adalah modal investasi, akan sulit pengembalian dan pinjaman karena

pasar tidak membeli produk sebanyak itu. Hal lain adalah faktor ongkos angkut, bahan

bakar sampah organik terpilih kelokasi instalasi kompos. Jelas harga kompos yang saat

ini berlaku tidak akan cocok (berarti akan lebih mahal).

Program kompos secara umum perlu digerakan dari lapisan masyarakat bawah.

Selama ini melalui pilot proyek semua stakholder diundang, namun didalam

pelaksanaan dilapangan hanya mereka yang benar-benar ingin memperoleh manfaat

dari proyek tersebut. Dengan demikian, jika dana proyek tidak dikucurkan lagi, maka

kegiatan kompos berhenti dan masyarakat tidak melangsungkan pemilahan sampahnya

lagi. Dengan demikian, kondisi dan permasalahan pengkomposan terdiri dari beberapa

aspek antara lain adalah:

a. Aspek Teknis: (1). Kompos melalui proses windrow pada program UDPK (Unit Daur

Ulang dan Produksi Kompos). (2). Sebetulnya ada proses produksi kompos lain yang

disebut Vermics, adalah kotoran cacing tanah yang bercampur dengan hasil

pembusukan sampah organik. Kualitasnya sedikit lebih unggul dari proses windrow.

Ketekunan pengelola dan pemeliharaan cacing serta pasar kompos vermics ini sangat

menentukan berhasil tidaknya metodologi ini. (3). Produksi kompos skala kecil

menunjukkan bahwa proses windrow dapat ditingkatkan kapasitasnya, melalui

rekayasa mesin kompos Aerob maupun Anaerob. Dari segi waktu proses aerob lebih

Page 125: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

109

lama, yaitu membutuhkan waktu di atas 35 hari, sedangkan proses anaerob sudah

dapat diperoleh produksi kompos setelah 18-20 hari. dan (4). Permasalahan

pengkomposan ini terletak di pasar petani yang membutuhkan pupuk, kadang-kadang

belum tertarik pada produk kompos ini.

b. Aspek Kelembagaan: Produk kompos hanya mempunyai pasar pada masyarakat yang

gemar tanaman hias atau taman pekarangan saja. Karena itu produksi kompos secara

informal dan skala kecil cukup berhasil.

c. Aspek Pembiayaan: Pada umumnya kegiatan produksi skala kecil yang dibina oleh

pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah termasuk pembiayaanya pada program 3R,

zero waste atau UDPK. Kelompok swasta yang berkiprah di bidang kompos skala

kecil umumnya membiayai usahanya yang umumnya mereka mempunyai langganan

pembeli. Pasar kompos belum terbentuk secara baik dan banyak usahawan lama-lama

yang menon-aktifkan produksinya.

d. Aspek Hukum: SK Gubernur Nomor 1281/1988 tanggal 21 Juli 1988 tentang Pola

Penanggulangan Kebersihan Lingkungan di DKI Jakarta. Program kompos dapat

dikatagorikan program sampah tidak dapat didaur ulang, namun diproses menjadi

material yang bermanfaat dan bernilai ekonomis.

Proses konversi biologis sampah memiliki peran utama dalam menejemen

persampahan dan dapat diterapkan pada beberapa bagian dalam aliran limbah. Aplikasi

dari proses biologi seperti misalnya pengomposan limbah atau produksi gas bio, dapat

mengkonversi limbah dalam aliran limbah. Proses biologi dapat juga digunakan setelah

proses pengumpulan sampah sebagai berikut: mengurangi volume sampah pada TPA

(lebih dari 50%); pemulihan energi yang terdapat pada sampah (sebagai biogas) dan

menghasilkan suatu produk yang lebih stabil dan bermanfaat (seperti pupuk kompos).

b. Daur ulang

Diasumsikan bahwa 20 % sampah per tahun akan dikembangkan termasuk

tambahan 2 % untuk daur ulang di Bantar Gebang. Model pembuangan sampah di tiap

daerah pelayanan memperkirakan 20 % daur ulang dan 4 % di komposkan. Perbedaan

penting adalah bahwa daur ulang sedang berlangsung serta harus dibatasi di dalam kota

dan dimodifikasi di Bantar Gebang, sedangkan komposting dapat dikatakan bahwa ada

dan harus dibina sepanjang waktu. Salah satu program 3R adalah daur ulang, dapat

dikatakan bahwa sejumlah sampah yang akan diolah di TPA dapat diolah dengan proses

Page 126: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

110

daur ulang. Pemilahan sampah pada sumbernya merupakan aktivitas penting dalam

sistem manajemen persampahan terpadu. Pendekatan yang dapat dilakukan dalam

kegiatan daur ulang, mencakup: 1) identifikasi material untuk diubah atau diproses; 2)

identifikasi kesempatan pakai ulang dan proses daur ulang, dan 3) spesifikasi dari

pembeli terhadap materi yang akan dipulihkan.

Kondisi daur ulang di Bantar Gebang merupakan hal yang agak berbeda dan

memerlukan upaya-upaya drastis untuk memperbaiki kondisi sekarang yang sangat

disesalkan. Sangat memperhatikan, bahwa TPA Bantar Gebang yang dimaksudkan

untuk dioperasikan secara sanitari landfill secara sempurna tidak jadi masalah berapa

lama TPA tersebut akan digunakan, membiarkan para pemulung yang hidup dalam

kondisi menyedihkan dan bahkan bekerja dalam kondisi yang lebih menyedihkan lagi.

4.5. Hasil Sintesis AHP

Setelah proses pembentukan pohon hirarki keputusan, penentuan urutan

prioritas penentuan formula pembobotan, maka dapat diambil sintesisnya untuk

dianalisis lebih lanjut. Untuk menentukan pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi

diperlukan alternatif pemilihan yang akan ditentukan kemudian, kriteria untuk membuat

keputusan antara lain seperti Gambar 20. Setelah proses pembentukan pohon hirarki

keputusan, penentuan urutan prioritas parameter penilai pemanfaatan TPA pasca

operasi dan penentuan formula pembobotan parameter, maka dapat diambil sintesisnya

untuk dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan AHP.

Penyusunan struktur hirarki pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis

masyarakat berdasarkan keterkaitan yang menjadi bagian dari lingkup permasalahan

tersebut. Struktur hirarki disusun dari empat level, yaitu fokus, aktor, kriteria dan

alternatif kebijakan.

Gambar 19: Lokasi TPA Bantar Gebang zone IV

Level I

Level I menggambarkan tujuan utama penggunaan AHP sebagai metode analisis

keputusan yaitu memilih kebijakan pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis

Masyarakat.

Page 127: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

111

Level II

Level II menampilkan aktor-aktor yang harus diperhitungkan dalam rangka

pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat, aktor-aktor tersebut

meliputi: masyarakat, swasta dan pemerintah.

Level III

Level III menyajikan kriteria yang diperhitungkan dalam pemanfaatannya.

Kriteria yang dijadikan bahan pertimbangan adalah: fisik-kimia, mikrobiologi dan

sosial ekonomi serta kesehatan yang merupakan arahan bagi perencanaan ke depan

dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi.

Level IV

Level IV menampilkan penilaian untuk masing-masing kriteria yang mengacu

pada kondisi exsisting dan perencanaan terhadap alternatif keputusan yang ditawarkan.

Ditetapkan lima tingkat penilaian yaitu sangat baik, baik, sedang, buruk, dan sangat

buruk. Penilaian terhadap kriteria diberikan oleh pengambil keputusan berdasarkan

pada data yang diperoleh di lapangan. Untuk lebih jelasnya tiap level dalam

memberikan arahan pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi pada Gambar 20.

Gambar 20: Struktur Hirarki

Kriteria

Aktor

Fisik Kimia

Mikrobiologi

Sosial Ekonomi dan Kesehatan

1. Hutan Kota/Penghijauan 2. Pariwisata 3. Lapangan Golf 4. TPA Terpadu 5. Perumahan 6. Penambangan Gas dan Energi Listrik 7. Lahan Budidaya 8. Industri

Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi Berbasis Masyarakat

Swasta

Fokus

Pemerintah Masyarakat

Alternatif

Page 128: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

112

Dari ketiga kriteria tersebut: fisik-kimia, mikrobiologi serta sosial ekonomi dan

kesehatan, perlu ditentukan tingkat kepentingannya dengan menentukan bobot secara

sembarang atau dengan membuat skala interval untuk menentukan ranking setiap

kriteria atau perbandingan berpasangan, tingkat kepentingan suatu kriteria relatif

terhadap kriteria lain dapat dinyatakan dengan jelas. Untuk menentukan bobot dari

kriteria dengan jelas menentukan nilai eigen dengan menguadratkan matriks,

menghitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian melakukan normalisasi.

Berdasarkan nilai eigen maka diketahui bahwa kriteria yang paling penting adalah fisik-

kimia, sosial ekonomi dan kesehatan serta mikrobiologi.

Untuk menentukan alternatif yang akan dipilih dari delapan alternatif yang ada,

dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat, kemudian

dilakukan analisis setiap zone dengan menggunakan AHP (Gambar 21). Hal ini sangat

baik dilakukan mengingat kondisi TPA sampah saat ini dan untuk menentukan

pemanfaatannya kedepan, serta mengharapkan keterlibatan masyarakat sekitar TPA,

dengan tetap menjaga kua litas lingkungan. Kajian pembahasan AHP meliputi: data

keluaran dan hasil. Data sintesis ditampilkan untuk level I dan masing-masing kriteria

di level II. AHP dalam masing-masing model penilaian pemanfaatan dapat diuraikan

sebagai berikut:

A. Hasil Sintesis AHP pada zone I

Hasil sintesis untuk AHP dalam penilaian zone I adalah sebagai berikut:

Gambar: 21 Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone I

Gambar 21 menunjukkan bahwa urutan peringkat alternatif tiga teratas pada

zone I pemanfaatannya adalah: Hutan Kota/Penghijauan dengan nilai 0,381, TPA

Terpadu dengan nilai 0,297, dan Penambangan gas dan energi listrik dengan nilai

Page 129: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

113

0,179. Artinya ketiga alternatif pemanfaatan tersebut secara fisik-kimia, mikrobiologi

dan sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat pada zone I mempunyai daya dukung

lebih baik dibanding alternatif sisanya.

Dari alternatif yang dipilih pada zone I dalam pemanfaatan TPA Pascaoperasi

Berbasis Masyarakat maka prioritas utama adalah Hutan Kota/Penghijauan,

berdasarkan analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan AHP dengan skor berturut-

turut: 0,381; 0,297; 0,179; 0,073; 0,030; 0,021; 0,014 dan 0,005. Selain dapat

membandingkan peringkat antara zone untuk pemanfaatan lahan, maka dapat

dibandingkan perbedaan skor dan alternatif ketiga teratas. Misalnya antara Hutan

Kota/Penghijauan dengan TPA Terpadu terdapat perbedaan skor 0,87 dan TPA Terpadu

dengan penambangan gas energi listrik perbedaannya 0,118, sedangkan antara

penambangan gas dan energi listrik dengan lahan budidaya memiliki perbedaan skor

0,124. Secara teoritis perbedaan kesesuaian lahan untuk Hutan Kota/Penghijauan

dengan TPA Terpadu sangat kecil.

B. Hasil Sintesis AHP pada zone II

Hasil sintesis untuk AHP dalam penilaian zone II adalah sebagai berikut:

Gambar: 22 Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone II

Gambar 22 menunjukkan bahwa urutan peringkat alternatif tiga teratas pada

zone II pemanfaatannya adalah: Hutan Kota/Penghijauan dengan nilai 0,361, TPA

Terpadu dengan nilai 0,292, dan penambangan gas dan energi listrik dengan nilai 0,154.

Artinya ketiga alternatif pemanfaatan tersebut secara fisik-kimia, mikrobiologi dan

sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat pada zone II mempunyai daya dukung lebih

baik dibanding alternatif sisanya.

Dari alternatif yang dipilih pada zone II dalam pemanfaatan TPA Pascaoperasi

Berbasis Masyarakat maka prioritas utama adalah Hutan Kota/Penghijauan,

Page 130: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

114

berdasarkan analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan AHP dengan skor berturut-

turut: 0,361; 0,292; 0,154; 0,095; 0,042; 0,032; dan 0,024. Selain dapat

membandingkan peringkat antara zone untuk pemanfaatan lahan, maka dapat

dibandingkan perbedaan skor dan alternatif ketiga teratas. Misalnya antara Hutan

Kota/Penghijauan dengan TPA Terpadu terdapat perbedaan skor 0,069 dan TPA

Terpadu dengan penambangan gas dan energi listrik perbedaannya 0,138, sedangkan

antara penambangan gas dan energi listrik dengan lahan budidaya memiliki perbedaan

skor 0,059. Secara teoritis perbedaan kesesuaian lahan untuk Hutan Kota/Penghijauan

dengan TPA Terpadu sangat kecil.

C. Hasil Sintesis AHP pada zone III

Hasil sintesis untuk AHP dalam penilaian zone III adalah sebagai berikut:

Gambar: 23 Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone III

Gambar 23 menunjukkan bahwa urutan peringkat alternatif tiga teratas pada

zone III pemanfaatannya adalah: TPA Terpadu dengan nilai 0,336, Hutan

Kota/Penghijauan dengan nilai 0,294, dan penambangan gas dan energi listrik dengan

nilai 0,137. Artinya ketiga alternatif pemanfaatan tersebut secara fisik-kimia,

mikrobiologi dan sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat pada zone III mempunyai

daya dukung lebih baik dibanding alternatif sisanya.

Dari alternatif yang dipilih pada zone III dalam pemanfaatan TPA Pascaoperasi

Berbasis Masyarakat, maka prioritas utama adalah TPA Terpadu, berdasarkan ana lisis

kesesuaian lahan dengan menggunakan AHP dengan skor berturut-turut: 0,336; 0,294;

0,137; 0,112; 0,080; 0,022; 0,016 dan 0,003. Selain dapat membandingkan peringkat

antara zone untuk pemanfaatan lahan, maka dapat dibandingkan perbedaan skor dan

alternatif ketiga teratas. Misalnya antara TPA Terpadu dengan Hutan Kota/Penghijauan

dengan terdapat perbedaan skor 0,042 dan Hutan Kota/Penghijauan dengan

Page 131: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

115

penambangan gas dan energi listrik perbedaannya 0,157, sedangkan antara

penambangan gas dan energi listrik dengan lahan budidaya memiliki perbedaan skor

0,025. Secara teoritis perbedaan kesesuaian lahan untuk TPA Terpadu dengan Hutan

Kota/Penghijauan sangat kecil.

D. Hasil Sintesis AHP pada zone IV

Hasil sintesis untuk AHP dalam penilaian zone IV adalah sebaga i berikut:

Gambar: 24 Hasil sintesis AHP untuk penggunaan pada zone IV

Gambar 24 menunjukkan bahwa urutan peringkat alternatif tiga teratas pada

zone IV pemanfaatannya adalah: TPA Terpadu dengan nilai 0,335, Hutan

Kota/Penghijauan dengan nilai 0,243, dan Penambangan gan dan energi listrik dengan

nilai 0,145. Artinya ketiga alternatif pemanfaatan tersebut secara fisik-kimia,

mikrobiologi dan sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat pada zone IV

mempunyai daya dukung lebih baik dibanding alternatif sisanya.

Dari alternatif yang dipilih pada zone IV dalam pemanfaatan TPA Pascaoperasi

Berbasis Masyarakat maka prioritas utama adalah TPA Terpadu, berdasarkan analisis

kesesuaian lahan dengan menggunakan AHP dengan skor berturut-turut: 0,335; 0,243;

0,145; 0,109; 0,081; 0,052; 0,027 dan 0,008. Selain dapat membandingkan peringkat

antara zone untuk pemanfaatan lahan, maka dapat dibandingkan perbedaan skor dan

alternatif ketiga teratas. Misalnya antara TPA Terpadu dengan Hutan Kota/Penghijauan

terdapat perbedaan skor 0,092 dan Hutan Kota/Penghijauan dengan penambangan gas

dan energi listrik perbedaannya 0,098, sedangkan antara penambangan gas dan energi

listrik dengan lahan budidaya memiliki perbedaan skor 0,036. Secara teoritis perbedaan

kesesuaian lahan untuk TPA Terpadu dengan Hutan Kota/Penghijauan sangat kecil.

Page 132: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

116

E. Hasil Sintesis AHP pada zone V

Hasil sintesis untuk AHP dalam penilaian zone V adalah sebagai berikut:

Gambar: 25 Hasil sintesis AHP untuk penggunaan zone V

Gambar 25 menunjukkan bahwa urutan peringkat alternatif tiga teratas pada

zone V pemanfaatannya adalah: TPA Terpadu dengan nilai 0,387, Hutan

Kota/Penghijauan dengan nilai skor 0,342, dan penambangan gas dan energi listirk

dengan nilai skor 0,147. Artinya ketiga alternatif tersebut secara fisik-kimia,

mikrobiologi dan sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat pada zone V mempunyai

daya dukung lebih baik dibanding alternatif sisanya.

Dari alternatif yang dipilih pada zone V dalam pemanfaatan TPA Pascaoperasi

Berbasis Masyarakat, maka prioritas utama adalah TPA Terpadu, berdasarkan analisis

kesesuaian lahan dengan menggunakan AHP dengan skor berturut-turut: 0,387; 0,342;

0,147; 0,070; 0,044; dan 0,010. Selain dapat membandingkan peringkat antara zone

untuk pemanfaatan lahan, maka dapat dibandingkan perbedaan skor dan alternatif

ketiga teratas. Misalnya antara TPA Terpadu dengan Hutan Kota/Penghijauan terdapat

perbedaan nilai skor 0,045 dan Hutan Kota/Penghijauan dengan penambangan gas dan

energi listrik perbedaan skor 0,195, sedangkan antara penambangan gas dan energi

listrik dengan lahan budidaya memiliki perbedaan skor 0,077. Secara teoritis perbedaan

kesesuaian lahan untuk TPA Terpadu dengan Hutan Kota/Penghijauan sangat kecil.

F. Prioritas pemanfaatan TPA setiap zone

Terlihat bahwa hasil AHP menunjukkan untuk pemanfaatan TPA Bantar

Gebang pascaoperasi pada zone I dan zone II alternatif terbaik adalah untuk hutan

kota/penghijauan, sedangkan pada zone III sampai dengan zone V terbaik untuk TPA

Terpadu. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan TPA pascaoperasi dapat

Page 133: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

117

digunakan sebagai TPA Terpadu, hal ini sangat baik dilakukan mengingat TPA sampah

pada kondisi saat ini masih dapat digunakan, pengelolaannya cukup baik, keterlibatan

masyarakat sekitar sudah ada dalam pengelolaan, memiliki potensi untuk kompos

cukup besar, kawasan ini strategis dan terjadi keterpaduan dalam pemanfaatan lahan

setiap zone, untuk zone I dan zone II dijadikan untuk hutan kota/penghijauan,

sedangkan pada zone III sampai dengan zone V dijadikan TPA yang dapat menampung

sampah dari DKI Jakarta dan Kota Bekasi, pengelolaan TPA dilaksanakan oleh pihak

swasta yang melibatkan masyarakat sekitar TPA sebagai operator dan pemulung untuk

mengambil sampah yang dapat di jadikan daur ulang, dan akan mengurangi beban TPA

terhadap sampah non organik dan akan mempengaruhi usia dari TPA itu sendiri dengan

tetap menjaga keselamatan pekerja dan kelestarian lingkungan sekaligus proses

pembuatan kompos karena pada TPA tersebut memiliki potensi cukup besar.

Dengan memanfaatkan lahan TPA setiap zone secara proporsional, maka TPA

Terpadu akan mendapat suplai sampah organik untuk proses pembentukan kompos

sekaligus melakukan penanaman pohon penghijauan. Pilihan pemanfaatan lainnya yang

dapat dikembangkan adalah hutan kota/penghijauan, penambangan gas dan energi

listrik, lahan budidaya, dan TPA Bantar Gebang dijadikan pusat kajian pengelolaan

sampah negara Asia. Untuk pemanfaatan perumahan dan industri tidak

direkomendasikan, karena sangat banyak faktor pembatasnya, sehingga memerlukan

masukan tinggi untuk meningkatkan kualitas kawasan setiap zonenya. Bagi pengambil

kebijakan, pilihan pemanfaatan TPA Terpadu dapat dilihat dari tingkat kesesuaiannya,

tetapi untuk suatu kawasan zone, maka harus mempertimbangkan: (1) Luas lahan setiap

zone, (2) mulai digunakan setiap zone, (3) ketinggian sampah, (4) lahan yang efektif

digunakan, dan (5) Instalasi Pengelolaan Air Sampah.

Dari alternatif yang dipilih dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi

berbasis masyarakat adalah TPA Terpadu, maka pengambilan kebijakan dapat memilih

3 alternatif yang peringkat kesesuaian lahannya berada di atas, sehingga dapat dijadikan

acuan dalam rencana pemanfaatan TPA pascaoperasi. Untuk meningkatkan tingkat

kesesuaian lahan untuk alternatif pemanfaatan, maka faktor pembatas di tiap-tiap zone

harus diminimalkan dan apabila memungkinkan dihapuskan. Faktor pembatas masing-

masing pemanfaatan lahan yaitu: TPA Terpadu, hutan kota/penghijauan, penambangan

gas dan energi listrik, lahan budidaya, pariwisata, lapangan golf, perumahan, dan

Page 134: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

118

industri, dari tiga alternatif pemanfaatan peringkat teratas, urutan prioritas dan kendala

pengembangannya dilakukan agar pengambil kebijakan, pelaksana lapangan serta

investor dapat memperhitungkan kendala serta biaya investasinya apabila akan

dikembangkan.

4.6. Implikasi Kebijakan Skenario Prospektif Masa Depan

Implikasi kebijakan ini dirancang berdasarkan analisis prospektif yang

merupakan suatu kajian tentang kemungkinan di masa yang akan datang. Dalam

analisis ini digunakan suatu alat bantu (software) Prospektif Analysis untuk

mengkalkulasi pengaruh langsung dan tidak langsung antar faktor. Analisis prospektif

mengeksploitasi kemungkinan di masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang

sudah ditetapkan. Tahapan analisis yang telah dilakukan sebelumnya (fisik kimia,

mikrobiologi, sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat) dan AHP memberikan

gambaran tentang keadaan (existing condition) fisik-kimia, mikrobiologi serta sosial

ekonomi dan kesehatan masyarakat di wilayah studi pada saat ini. Analisis prospektif

bertujuan untuk mempersiapkan tindakan strategis di masa depan dengan cara

menentukan faktor kunci yang berperan penting terhadap kemungkinan yang akan

terjadi di masa depan. Kemungkinan keadaan di masa depan tersebut diformulasikan

dalam bentuk skenario strategi pemanfaatan TPA pascaoperasi. Tiga tahap analisis

yang perlu dilakukan dalam analisis prospektif, yaitu: 1). mengidentifikasi faktor kunci

atau penentu di masa depan; 2). menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku

utama; dan 3). mendefinisikan dan mendiskripsikan evolusi kemungkinan masa depan

sekaligus menentukan strategi prioritas sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki oleh

para pelaku utama dan implikasinya bagi sistem yang dikaji.

Untuk menentukan faktor kunci atau penentu dalam pemanfaatan TPA sampah

pascaoperasi berbasis masyarakat sebagai TPA Terpadu di masa yang akan datang,

dilakukan tiga tahap, yaitu: pertama, faktor kunci atau penentu yang berasal dari atribut-

atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks TPA saat ini (existing condition) pada

setiap dimensi dan kedua, faktor kunci atau penentu yang diperoleh dari analisis

kebutuhan (need analysis) dari semua pihak yang berkepentingan terhadap sistem yang

dikaji melalui diskusi para pakar dengan bantuan kuesioner.

A. Existing Condition

Page 135: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

119

Berdasarkan hasil analisis pemanfaatan TPA pascaoperasi sebagai TPA Terpadu

pada existing condition, berupa fisik-kimia, biologi dan sosial ekonomi serta kesehatan

masyarakat berupa 19 atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks yaitu:

Fisik:

1. Luas lahan 108 ha

2. Volume sampah

3. Tinggi tumpukan sampah

4. IPAS

Kimia:

5. Kualitas air lindi

6. Kualitas air sungai

7. Kualitas air sumur

8. Gas metana

9. Kualitas udara

10. Kebisingan

Biologi:

11. Lalat

12. E. coli

13. Coliform

Sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat

14. Tingkat pendidikan masyarakat

15. Pendapatan masyarakat sekitar TPA

16. Persepsi masyarakat keberadaan TPA

17. Pemulung

18. Pengelola TPA

19. Kesehatan Masyarakat

Page 136: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

120

Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji

Pendapatan masyarakat sekitar TPAPindidikan masyarakat

Coliform

E. coli

LalatKebisingan

Kualitas udara

Kualitas air sumur

Kualitas air sungai

Gas metana

Luas lahan 108 ha

IPAS

Kualitas air lindi

Volume SampahTinggi Tumpukan Sampah

Persepsi masyarakat pada keberadaan TPA

Pemulung

Pengelola TPA

Kesehatan masyarakat

-

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

- 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50

Ketergantungan

Pen

gar

uh

Gambar 26. Tingkat kepentingan faktor-faktor existing condition yang berpengaruh pada pemanfaatan TPA Terpadu.

Berdasarkan nilai pengaruh langsung antar faktor seperti yang disajikan pada

Gambar 26, dari 19 faktor tersebut didapatkan sebanyak enam faktor yang mempunyai

pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor yang tinggi

pula, yaitu: 1). Tinggi Tumpukan Sampah; 2). Volume Sampah; 3). IPAS; 4).

Pengelola TPA; 5). Luas lahan 108 ha; 6). Kualitas air lindi serta satu faktor yang

mempunyai pengaruh yang tinggi dengan ketergantungan antar faktor yang rendah,

yaitu: 1). Kesehatan masyarakat.

B. Need Analysis

Hasil identifikasi faktor kunci atau penentu berdasarkan hasil need analysis dari

para pelaku utama (responden) diperoleh sebanyak 19 faktor kunci atau penentu untuk

mewujudkan pemanfaatan. Faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1) Pendanaan

2) Dukungan PEMDA

3) Dukungan DPRD

4) Dukungan Masyarakat

5) Teknologi

6) Sumberdaya Manusia

Page 137: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

121

Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji

Kualitas lingkungan

Partisipasi Masyarakat

Proses Akumulasi dan degradasi

Konflik

Dukungan DPRD

Dukungan PEMDA

Teknologi

Dukungan Masyarakat

Pendanaan

Sumberdaya Manusia

Peraturan Perundangan

Kelembagaan

Tata Ruang Kebijakan Pemerintah

Kerjasama Lintas Sektor

Keterlibatan Pusat

Donor Agency

Keterlibatan Swasta

Keamanan

-

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

- 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50

Ketergantungan

Pen

garu

h7) Peraturan Perundangan

8) Kelembagaan

9) Tata Ruang

10) Kebijakan Pemerintah

11) Kerjasama lintas Sektor

12) Keterlibatan Pusat

13) Donor Agency

14) Keterlibatan swasta

15) Keamanan

16) Konflik

17) Proses akumulasi dan degradasi

18) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan

19) Kualitas lingkungan sekitar TPA

Berdasarkan penilaian pengaruh langsung antar faktor, dari 19 faktor yang

teridentifikasi didapatkan sebanyak lima faktor yang mempunyai pengaruh tinggi

terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor yang juga tinggi yaitu: 1).

Dukungan DPRD; 2). Dukungan Pemda; 3). Pendanaan; 4). Dukungan Masyarakat; 5).

Kelembagaan serta empat faktor yang mempunyai pengaruh yang tinggi walaupun

ketergantungan antar faktor yang rendah, yaitu: 1). Keterlibatan swasta: 2). Peraturan

perundangan; 3). Donor agency; 4). Teknologi (Gambar 27).

Gambar 27. Tingkat Kepentingan faktor-faktor need analysis yang berpengaruh pada sistem pemanfaatan TPA Terpadu.

Page 138: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

122

C. Gabungan Antara Existing Condition dan Need Analysis

Berdasarkan hasil analysis tingkat kepentingan antar faktor pada tahap pertama

dan kedua (Gambar 26 dan 27) maka diperoleh sebanyak 11 faktor kunci atau

penentu (6 faktor dari existing condition dan 5 faktor dari need analysis) dan 5 faktor

yang mempunyai pengaruh yang tinggi walaupun ketergantungan antar faktor yang

rendah (1 faktor dari existing condition dan 4 faktor dari need analysis). Selanjutnya di

antara 16 faktor tersebut yang memiliki kesamaan dapat digabungkan, sehingga faktor

kunci atau penentu gabungan menjadi 15 faktor (Tabel 28).

Tabel 28. Faktor-faktor penentu atau kunci hasil gabungan faktor existing condition dan need analysis.

No Existing Condition Need Analysis 1 Volume sampah 2 Tinggi tumpukan sampah 3 IPAS 4 Luas lahan 108 ha 5 Kualitas air lindi 6 Pengelola TPA Kelembagaan 7 Kesehatan masyarakat 8 Dukungan DPRD 9 Dukungan PEMDA 10 Pendanaan 11 Dukungan Masyarakat 12 Keterlibatan Swasta 13 Peraturan Perundangan 14 Donor Agency 15 Teknologi

Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji

Teknologi

Donor Agency

Peraturan PerundanganKeterlibatan Swasta

Dukungan masyarakat

Pendanaan

Dukungan PEMDA

Dukungan DPRD

Kesehatan Masyarakat Kelembagaan

Volume sampah

Luas lahan

Kualitas air lindiTinggi tumpukan sampah

IPAS

-

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

1.60

1.80

2.00

- 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00

Ketergantungan

Pen

gar

uh

Gambar 28. Tingkat kepentingan faktor-faktor gabungan antara existing condition dan need analysis yang berpengaruh pada sistem TPA Terpadu.

Page 139: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

123

Analisis tingkat kepentingan antar faktor sebagaimana disajikan pada gambar 28

menunjukkan bahwa terdapat empat faktor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap

kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor yang tinggi pula, yaitu: 1) luas lahan; 2)

IPAS; 3) Peraturan Perundangan; dan 4) Pendanaan; serta tiga faktor yang mempunyai

pengaruh yang tinggi walaupun ketergantungan antar faktor yang rendah, yaitu: 1)

teknologi; 2) keterlibatan swasta; dan 3) donor agency. Dengan demikian ketujuh faktor

tersebut perlu dikelola dengan baik dan dibuat dengan berbagai keadaan (state) yang

mungkin terjadi di masa depan agar terwujud sistem TPA Terpadu di TPA Bantar

Gebang pascaoperasi berbasis masyarakat. Deskripsi masing-masing faktor kunci hasil

analisis pengaruh langsung antar faktor sebagaimana Gambar 28 adalah sebagai berikut:

a. Luas Lahan

Pemanfaatan lahan TPA Bantar Gebang pada zone I, II, III, IV dan zone V,

perlu dilengkapi dengan rencana tindak sebagai arah dan acuan Propinsi DKI Jakarta,

Pemda Kota Bekasi, swasta dan masyarakat. TPA Bantar Gebang mempunyai luas 108

ha, yang efektif digunakan 69 ha, dibagi 5 zone, luas zone I sebesar 168.000 m², zone II

sebesar 113.000 m², zone III sebesar 202.800 m², zone IV sebesar, 106.600 m² dan zone

V luas 95.000 m². Setiap zone dikelilingi dengan jalan yang kondisinya cukup baik

(beraspal). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.16 tahun 2005 tentang

Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Pasal 21 Ayat (2), TPA wajib

dilengkapi dengan zone penyangga yang berfungsi untuk mengurangi akibat dari

gangguan bau, kebisingan dan estetika.

b. Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS)

IPAS bebannya perlu dijaga dengan menambahkan bangunan interciptor agar

air hujan tidak masuk, pengelolaannya perlu ditingkatkan dengan pengurangan BOD,

COD sampai batas yang dipersyaratkan baku mutu lingkungan. Perbaikan sarana dan

prasarana TPA harus dilakukan seperti 4 buah IPAS yang ada, sepanjang deposit

sampah belum di exploitasi. Mensyaratkan perbaikan IPAS ke kapasitas beban

penutupan permukaan sampah dengan soil cover dan meratakan (compaction) sesuai

standar dan melengkapi dengan aerator, dan aerator ditingkatkan kapasitasnya sampai

130 persennya, dengan menghilangkan unsur toxic melalui pengolahan kimia-fisik

sebelum memasuki proses biologi.

Page 140: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

124

c. Peraturan Perundangan

Kemauan politik dari pengelola persampahan dan kesadaran masyarakat akan

bahaya yang ditimbulkan dari pengelolaan sampah yang kurang tepat sangat diharapkan

ketimbang harus terus menerus berkonflik dengan pihak-pihak pengelola sampah.

Upaya untuk memebrikan landasan hukum yang kuat dalam pengelolaan sampah yang

komprehensif, terpadu, lintas sektor, konsisten, efektif dan responsif terhadap

kebutuhan masyarakat perlu adanya Undang-undang pengelolaan sampah sebagai

kepastian hukum, perlindungan hukum bagi stakeholders serta sebagai landasan untuk

kebijakan, perencanaan, program dan kegiatan pada pengelolaan sampah. Kebijakan

jangka panjang "harus ditegakan", meliputi aspek hukum, pendidikan sosial,

pengelolaan sumberdaya manusia dan pengembangan riset dan teknologi. Aspek hukum

harus dikembangkan untuk: Pembagian tanggung jawab dalam pengelolaan sampah;

Pengawasan terhadap pengumpulan sampah yang dilaksanakan pihak swasta;

Pengawasan lokasi- lokasi TPA kecil; dan Peraturan hukuman terhadap pembuangan

sampah ilegal.

Penegakan hukum tentang kebersihan (termasuk sampah) masih lemah, untuk

mendukung sistem pengelolaan sampah yang baru, diperlukan penataan kembali

peraturan yang telah ada, serta penerbitan peraturan yang baru baik berupa Perda, SK

Gubernur dan Instruksi Gubernur sesuai kebutuhan, baik menyangkut aspek institusi

maupun teknis operasional. Dengan perubahan paradigma pengelolaan kebersihan

mengikuti hasil kajian ini, maka perlu diuraikan lebih lanjut aspek kelembagaan dan

dasar hukumnya. Hal-hal mendasar yang menyebabkan perubahan paradigma adalah:

Struktur pengelolaan kebersihan lebih terarahkan pada bentuk korporasi dan bukan lagi

sepenuhnya di Pemerintah Daerah; Perubahan fungsi pelaku pelayanan antar regulator

(Dinas Kebersihan) dan operator (Dinas Kebersihan dengan swasta atau swasta penuh);

dan Perubahan cakupan daerah pelayanan.

Selain itu perumusan dasar hukum mencakup ketentuan fungsi operator yakni:

menerima limpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan sampah dari

Pemerintah Daerah, Dinas Kebersihan yang akan melaksanakan tugas operasional

antara lain meliputi: penyapuan jalan-jalan utama, pengangkutan sampah dari TPS ke

SPA/TPA atau dari SPA ke TPA; dan berbagai paket pekerjaan yang terbuka

peluanganya dalam kebijakan pengelolaan kebersihan sampah padat misalnya

Page 141: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

125

menerima konsesi pelayanan suatu daerah atau kawasan tertentu, menyelenggarakan

investasi pemusnahan sampah. Dengan perubahan dasar hukum ini selanjutnya diatur

pelaksanaan perubahan tata laksananya secara bertahap seperti halnya keadaan yang

selama ini sudah berlangsung sesudah terjadinya kebijakan swastanisasi persampahan

sejak tahun 1990an; , atau dengan kata lain Dinas Kebersihan secara berangsur melepas

perannya sebagai operator terutama bagi pelayanan terhadap daerah cukup mampu.

d. Pendanaan

Terbatasnya dukungan dana untuk operasional dan ivestasi pengelolaan TPA,

harus diperhitungkan dalam menentukan teknologi sampah, pertimbangan investasi

yang murah salah satu kriteria. Biaya pendampingan investasi oleh swasta hendaknya

dibatasi pada dana conterpart seperti prasarana dan sarana pendukung yang strategis

(antara lain penyediaan lahan, jalan lingkungan prasarana dan sarana ke PU-an).

Sampah merupakan komoditi ekonomi, bila sampah diolah menjadi barang yang

bernilai ekonomi, akan menarik investasi, sehingga berkemungkinan menghasilkan

PAD. Sepanjang ada kegiatan pembuangan sampah ke TPA, Pemda DKI Jakarta

menganggarkan dana setiap tahunnya, dalam rangka merealisasi addendum SKB.

Perubahan kebijakan pengelolaan sampah DKI Jakarta dimasa akan datang

menyangkut waktu dan investasi yang signifikan, maka untuk pelaksanaan

pembangunan prasarana dan sarana diperlukan dana besar, hal ini memungkinkan

Pemerintah DKI Jakarta untuk memperoleh pinjaman jangka panjang dari Pemerintah

Pusat, Pemerintah Daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank

dan masyarakat, mengacu Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Alternatif sumber dana

pinjaman jangka panjang yang saat ini dapat diajukan oleh Pemerintah DKI Jakarta

adalah pinjaman dari Pemerintah Pusat yang dananya dari luar negeri, pinjaman rupiah

murni dari Pemerintah Pusat serta Bank Pemerintah dan Bank Komersial.

Dalam perjanjian kerja sama antara Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah

Kota Bekasi disebutkan bahwa pengoperasian TPA Bantar Gebang akan dilaksanakan

oleh Badan Usaha yang harus terbentuk paling lambat tahun 2006, menunggu

terbentuknya Badan Usaha tersebut, saat ini TPA Bantar Gebang dioperasikan oleh PT.

Patriot Bangkit Bekasi, yang juga akan berakhir pada tahun 2006.

Page 142: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

126

e. Teknologi

Intermediate Treatment Facility (ITF) adalah teknologi yang merubah bentuk,

komposisi dan volume sampah padat dengan tujuan mereduksi jumlah sampah atau

residu yang harus dibuang ke TPA. Sebagai fasilitas tunggal, sebuah ITF dapat

menggunakan satu atau lebih teknologi, tergantung dari faktor, biaya, kebutuhan lahan,

kendala, efisiensi dan efektifitas. Fasilitas ITF yang menggunakan beberapa jenis

teknologi secara terpadu pada satu lokasi, pada dasarnya sama dengan TPST (Tempat

Pengelolaan Sampah Terpadu). Sebagai satu sistem, tiap daerah pelayanan harus

dipandang sebagai TPST. Jadi, sejumlah teknologi tersebut dapat digunakan, sebagai

tambahan proses daur ulang. Secara khusus, sistem ini diharapkan mencakup

komposting sampah pasar, dan minimal daur ulang sampah yang tidak dapat dibakar.

Teknologi pengelolaan atau pemusnahan sampah yang diyakini dapat

mengurangi polusi udara dan yang dilaksanakan sebaiknya sanitary landfill (sampah

ditumpuk dikubur pada daerah yang cekung atau lokasi yang sudah digali lalu

dipadatkan dan dilapisi tanah penutup). Pengembangan teknologi harus memperhatikan

kriteria dan standar minimal penentuan lokasi penampungan akhir sampah, penetapan

lokasi pengelolaan akhir sampah, luas minimal lahan untuk lokasi pengolahan akhir

sampah dan penetapan lahan penyangga (buffer zone). Metode pengelolaan sampah

dengan sistem pemilahan juga dapat menimbulkan multiplier effect baik bagi

lingkungan, masyarakat sekitar dan pemerintah.

Pemilihan teknologi yang dapat memadukan beberapa metode pemusnahan

sampah yang sudah ada, antara lain pemilahan upaya mengurangi (reduce), memakai

kembali (re-use), mendaur ulang (recyeling) sampah dan mengganti (replace) secara

terpadu, bagi sampah yang terkumpul di TPA, sampah dapat diurai sesuai dengan bahan

dan jenisnya untuk memindahkan proses pengelolaan selanjutnya. Manfaatnya adalah

untuk menggali potensi dari bagian-bagian sampah tersebut serta kompos yang

dihasilkan untuk memperbaiki lingkungan serta dapat menghemat penggunaan lahan

TPA, bagi lingkungan dan potensi ekonomi dapat digali dari tumpukan sampah di TPA

dengan proses pemilahan sebagai berikut: 1). Sampah organik yang tertimbun diolah

menjadi kompos untuk meningkatkan kesuburan tanah di sekitar lokasi TPA, hutan

kota/penghijauan dan lingkungan permukiman; 2). Sampah non organik yang bernilai

ekonomi: plastik, botol, besi/logam, kayu, kertas, kardus, kaca dan lain- lain untuk

Page 143: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

127

bahan baku daur ulang; dan 3). Sampah non organik tidak bernilai ekonomi, bagian-

bagian sampah yang sudah hancur kemudian dibakar, abunya dijadikan bahan

pembuatan batako, conblok, internit dan lain sebagainya.

f. Keterlibatan Swasta

Swasta telah berperanserta dalam pengelolaan sampah seperti pengoperasian

SPA Cakung dan TPA Bantar Gebang. Perlu ditingkatkan, terutama dalam investasi,

untuk membangun pasilitas pengolahan sampah (SPA, TPA, insinerator) termasuk

pengoperasiannya. Banyak swasta yang berminat untuk investasi dalam pembangunan

dan pengoperasian prasarana pengelolaan sampah, dalam kenyataannya sumber dana

mereka juga sangat tergantung dari bank. Pada umumnya swasta akan berusaha

sebagian besar dana investasinya pinjaman bank jangka panjang, dalam hal ini investor

swasta mungkin harus membayar bunga yang lebih tinggi, yaitu sekitar 15 % per tahun,

daripada tingkat bunga yang dikenakan, disamping itu, jangka waktu pengembalian

pinjaman juga lebih pendek daripada jangka waktu yang diberikan. Oleh karena itu,

keterlibatan investasi swasta dalam pembangunan dan pengoperasian prasarana

persampahan akan mengakibatkan peningkatan faktor biaya modal.

Kerjasama dengan mitra swasta untuk kontrak jangka pendek dibawah lima

tahun cukup menjadi kewenangan Gubernur, kontrak jangka panjang atau kerjasama

dengan mitra internasional diatur dalam peraturan daerah. Kerjasama dengan pihak

swasta saat ini masih cost center, swasta bergerak karena ada pembiayaan dari APBD.

Lebih jauh swasta dapat diberdayakan menjadi mandiri dengan status operator, dimana

Dinas Kebersihan akan lebih memfokuskan sebagai regulator setatusnya sebagai

pembina, pengatur dan pengawas. Kerjasama dengan swasta dapat berwujud Built

Operate and Own (BOO), jika kerjasama dalam jangka panjang dimana permodalan

dan resiko investasi sepenuhnya pada mitra swasta, atau Built Operate and Transfer

(BOT), jika kerjasama dalam jangka panjang, dimana setelah habis masa kontrak,

seluruh asset ditransfer kepada Pemerintah DKI Jakarta.

Kemitraan dengan swasta dalam penyediaan pelayanan dan investasi prasarana

dan sarana persampahan dengan meningkatkan iklim yang kondusif bagi kemitraan

Pemerintah, swasta dan masyarakat. Diperlukan swasta dalam rangka penanganan

pembangunan akhir sampah yang melibatkan semua pihak terkait, dengan pembagian

tugas dan tanggung jawab secara proporsional. Masyarakat dan swasta diberi peran

Page 144: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

128

lebih dalam pengelolaan persampahan, perlu dirangsang untuk mau lebih berperan aktif

dalam pengelolaan persampahan dengan pendekatan win-win solution.

Dalam perjanjian kerjasama antara Pemda DKI Jakarta dengan Pemda Kota

Bekasi disebutkan bahwa pengoperasian TPA dilaksanakan oleh Badan Usaha yang

harus terbentuk paling lambat tahun 2006. Sampai bulan Pebruari 2006 Badan Usaha

tersebut belum terbentuk, saat ini pengoperasian TPA oleh PT. Patriot Bangkit Bekasi.

Pengoperasian TPA diatur berdasarkan Perjanjian Kerja antara Pemerintah Propinsi

DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi tentang Pemanfaatan lahan TPA

Bantargebang Kota Bekasi sebagai Tempat Pembuangan dan Tempat Pengolahan

Sampah Terpadu (TPST) yang ditandatangani tanggal 2 Juli tahun 2004.

g. Donor Agency

Investasi mencakup perbaikan pengumpulan sampah, pembangunan Stasiun

Peralihan Antara dan pengembangan TPA, peralatan penyapuan jalan dan bengkel, hal

ini tidak mencakup investasi untuk pengumpulan sampah pasar, sungai dan kanal, yang

akan tetap dibawah pengawasan instansi pemerintah yang bertanggung jawab pada saat

itu, akan tetapi, Dinas Kebersihan akan memusnahkan sampah pasar dan akan

bertanggung jawab untuk pengangkutan dan pemusnahan sampah sungai dan kanal.

Tahapan investasi tersebut adalah, pertama, mengutamakan perbaikan pengembangan

lokasi TPA Bantar Gebang, dan kedua perluasan areal TPA.

Sumber dana untuk investasi adalah anggaran tahunan (APBD) dan pinjaman

luar negeri dan dalam negeri. Rasional usulan rencana finansial harus didukung dengan

pertimbangan sebagai berikut: Pertama: Kontribusi APBD per tahun; Kedua: Pinjaman

luar negeri setara dengan 60% dari kebutuhan investasi dari rencana investasi proyek;

dan Ketiga: pinjaman dalam negeri untuk memenuhi keseimbangan kebutuhan

finansial. Sumber pinjaman luar maupun dalam negeri dalam bentuk subsidiary loan

agreements (SLA). Pinjaman dalam negeri dimaksudkan untuk didanai melalui

Departemen Keuangan via saluran rup iah murni Rekening Pembangunan Daerah.

Diperkirakan kondisi dasar pinjaman adalah sebagai berikut: 1). Pinjaman luar

negeri, jangka waktu 25 tahun, termasuk 7 tahun periode bebas bunga (contoh 18 tahun

periode pembayaran kembali) dengan suku bunga 4% per tahun. 2). Pinjaman dalam

negeri, jangka waktu 20 tahun, termasuk 5 tahun periode bebas bunga (contoh 15 tahun

periode pembayaran kembali), dengan suku bunga 4% per tahun. Analisis tingkat

Page 145: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

129

kepentingan antar faktor hasil prospektif pada existing condition, need analysis dan

gabungan seperti Tabel 29.

Tabel 29. Analisis tingkat kepentingan antar faktor

Hasil Prospektif Kuadran I Kuadran II Keterangan

Existing condition Kesehatan masyarakat

1. Kualitas air lindi 2. Luas lahan 108 ha 3. Pengelola TPA 4. Volume sampah 5. Tinggi tumpukan

sampah 6. IPAS

Bau Tercemar air sumur dengan e. coli dan coliform

Need Analysis 1. Keterlibatan swasta 2. Peraturan

Perundangan 3. Donor agency 4. Teknologi

1. Dukungan DPRD 2. Dukungan Pemda 3. Pendanaan 4. Dukungan

masyarakat 5. Kelembagaan

Perlu: Peraturan Keterlibatan swasta Donor Agency Teknologi

Gabungan 1. Keterlibatan swasta 2. Teknologi 3. Donor agency

1. Luas lahan 2. IPAS 3. Peraturan

Periundangan 4. Kelembagaan

Keterlibatan swasta Donor agency dan teknologi.

Secara skematis model pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis

masyarakat melibatkan pihak swasta untuk mendisiminasikan faktor teknologi,

sedangkan keterlibatan pihak asing (donor agency) perlu dikoordinasikan terlebih

dahulu dengan pihak pemerintah seperti pada gambar 29.

Page 146: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

130

Donor Agency Pemerintah

Swasta

TPA Terpadu

Masyarakat Sekitar TPA

Teknologi

Gambar 29: Model Pemanfaatan TPA Sampah Pascaoperasi berbasis masyarakat

Page 147: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

131

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

a. Pencemaran fisik-kimia dan biologi di sumur bawah dan atas dari TPA seperti: pH,

BOD5, COD, nitrat, nitrit, padatan terlarut, E. coli dan coliform, dan sumur yang

di atas dari TPA telah melampaui baku mutu lingkungan Keputusan Menteri

Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 1988 dan

Keputusan Gubernur KDH Ibukota Jakarta Nomor 1608. Kualitas rata-rata air

Sungai Ciketing secara keseluruhan telah terjadi peningkatan pencemaran.

b. Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu menyatukan pemanfaatan nilai ekonomi sampah

baru dan sampah lama menjadi kompos dan sampah non organik bahan daur ulang,

dimana pemanfaatan setiap zone sebagai berikut: 1). Zone I dan II digunakan

sebagai hutan kota dan penghijauan; 2). Zone III sampai dengan Zone V sebagai

TPA Sampah. Jadi pemanfaatan TPA pascaoperasi terjadi keterpaduan antara

hutan kota/penghijauan dan TPA sampah. Untuk itu TPA Terpadu mempunyai

kesesuaian terbaik dan sinergis antara pengelolaan sampah dengan hutan

kota/penghijauan, komposting serta daur ulang. Keterpaduan pengelolaan sampah

DKI Jakarta dan Kota Bekasi dengan penghijauan, dan kawasan TPA menjadi

strategis, potensial untuk pembuatan kompos dan proses daur ulang. Artinya

dengan memanfaatkan menjadi TPA Terpadu secara propesional TPA menjadi

kegiatan mengolah sampah dan kegiatan ekonomi dengan keterlibatan swasta

sebagai pengelola, masyarakat sekitar lokasi sebagai tenaga kerja dan pemulung

sebagai pemilah dan pengumpul sampah untuk di daur ulang serta lokasi tersebut

dapat menjadi pusat kajian atau penelitian model pengolahan sampah Asia.

c. Dengan memanfaatkan sebagai TPA Terpadu akan menimbulkan multiplier effect

bagi lingkungan, masyarakat sekitar TPA dan pemerintah sebagai berikut:

1). Bagi masyarakat sekitar TPA, terciptanya lapangan kerja dengan pelibatan

secara langsung dalam pemanfaatan TPA pascaoperasi pada saat perencanaan,

kontruksi maupun operasi, karena operasional TPA dapat menciptakan

lapangan kerja yang melibatkan tenaga kerja unskill dalam proses pemilahan

sampah, pembuatan kompos, pembuatan bahan bangunan dan lainnya;

Page 148: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

132

2). Bagi lingkungan, kompos yang dihasilkan bermanfaat untuk meningkatkan

kesuburan lingkungan melalui kegiatan penghijauan, pemulihan ekosistem

yang rusak, dan menghemat penggunaan lahan TPA.

3). Bagi pertanian, kompos yang dihasikan dapat mengurangi tingkat keasaman

tanah lahan pertanian akibat penggunaan pupuk kimia secara terus menerus,

disamping itu kompos dapat meningkatkan produktivitas lahan serta membantu

perairan dalam menga tasi kelengkapan fisik.

4). Pengembangan ekonomi lokal, dengan terkonsentrasinya tenaga kerja dalam

jumlah besar, membuka peluang usaha baru bagi kegiatan lainnya berupa

kegiatan warung, jasa keuangan, ketring serta usaha rumah/kost/pengontrakan

rumah.

5). Bagi Pemerintah Daerah, terserapnya tenaga kerja unskill dapat mengurangi

kerawanan sosial yang ditimbulkan karena ketiadaan lapangan kerja, hasil

produk kegiatan ini, menjadi sumber PAD dan penerimaan pajak bagi negara.

d. Berhasil tidaknya TPA Terpadu, tergantung dari dukungan masyarakat dan empat

faktor yang mempunyai pengaruh tinggi dan ketergantungan yang tinggi yaitu:

1). Luas Lahan; pemanfaatan lahan TPA pada zone I sampai dengan zone V perlu

dilengkapi dengan rencana tindak sebagai arahan dan acuan Pemerintah DKI

Jakarta, Pemda Kota Bekasi, swasta dan masyarakat. 2). Instalasi Pengelolaan Air

Sampah (IPAS), perlu ditingkatkan dengan pengurangan BOD, COD sampai

batas baku mutu lingkungan, melengkapi dengan aerator dan kapasitasnya

ditingkatkan sampai dengan 130 persen dan menghilangkan unsur toxic. 3).

Peraturan Perundangan; Pusat sudah saatnya merumuskan sampah regional dan

menerbitkan Undang-undang tentang pembentukan organisiasi untuk

pemusnahan sampah gabungan, segera dibuat standar pengumpulan, pengolahan

dan pemusnahan sampah. Dasar hukum tentang fungsi operator seperti menerima

limpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan sampah dari Pemerintah

Daerah, perlu segera dirumuskan. 4). Pendanaan; Biaya pendampingan investasi

oleh swasta dibatasi pada dana conterpart seperti prasarana dan sarana pendukung

yang strategis seperti penyediaan lahan, jalan lingkungan, prasarana dan sarana

ke PU-an. Dana pinjamman jangka panjang Pemda DKI Jakarta mengacu

Page 149: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

133

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Serta tiga faktor yang mempunyai pengaruh tinggi walauapun

ketergantungan antara faktor yang rendah: 1). Teknologi; Pemilihan teknologi

agar dapat memadukan beberapa metode pemusnahan sampah upaya mengurangi

(reduce), memakai kembali (re-use), mendaur ulang (recyeling) sampah dan

mengganti (replace) secara lebih terpadu. 2). Keterlibatan swasta; Perlu

ditingkatkan dan dikembangkan untuk berinvestasi membangun fasilitas

pengelolaan sampah termasuk pengoperasiannya. Pengembangan kemitraan

dengan swasta dalam penyediaan pelayanan dan investasi prasarana dan sarana

persampahan dengan meningkatkan iklim yang kondusif. dan 3). Donor Agency;

investasi ini mengutamakan perbaikan pengembangan lokasi TPA. Sumberdana

untuk investasi adalah anggaran tahunan (APBD) dan pinjaman luar negeri dan

dalam negeri dalam bentuk Subsidiary Loan Agreement (SLA).

Faktor dominan dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis

masyarakat, hasil gabungan antara existing condition dengan need analysis antara

lain adalah keterlibatan swasta, donor agency dan teknologi.

e. Model pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat melibatkan

pihak swasta untuk mendisiminasikan faktor teknologi, sedangkan keterlibatan

pihak asing (donor agency) perlu dikoordinasikan dengan pihak pemerintah.

5.2. SARAN

a. Pengelolaan air lindi pada IPAS 1 sampai dengan IPAS 4 sebaiknya masih

tanggung jawab Pemerintah DKI Jakarta, perlu ditingkatkan dengan pengurangan

BOD dan COD sampai dengan batas yang dipersyaratkan baku mutu lingkungan

agar tidak mencemari sungai dan sumur-sumur penduduk sekitar TPA, beban

IPAS perlu dijaga dengan menambahkan bangunan interciptor agar air hujan tidak

masuk dan melengkapi IPAS dengan aerator, dan kapasitasnya ditingkatkan

sampai 130 %, menghilangkan unsur toxic melalui pengolahan kimia-fisik

sebelum memasuki proses biologi.

b. Agar TPA Terpadu dapat efektif dan optimal, sampah yang ke TPA terlebih

dahulu dilakukan pemisahan sampah organik dan an organik dan memperhatikan

Page 150: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

134

luas lahan yang efektif digunakan dan melengkapi rencana tindak sebagai acuan

DKI Jakarta, Pemda Kota Bekasi, swasta dan masyarakat yang dilengkapi zone

penyangga yang berfungsi untuk mengurangi gangguan bau, kebisingan dan

estetika.

c. Keterbatasan dana operasional dan ivestasi, pembangunan dan pengelolaan TPA,

harus memperhitungkan dalam menentukan teknologi, investasi yang murah salah

satu kriteria. Pendampingan investasi swasta dibatasi pada dana conterpart

prasarana dan sarana pendukung yang strategis seperti penyediaan lahan, jalan

lingkungan prasarana dan sarana. Pemerintah Daerah DKI Jakarta memungkinkan

perolehan pinjaman jangka panjang dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah

lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan dana luar negeri,

mengacu Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

d. Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu sebaiknya digunakan bersama oleh Pemerintah

DKI Jakarta dan Kota Bekasi yang secara geografis letaknya berdekatan, operator

pelaksana dibentuk perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas, yang kepemilikan

sahamnya dimiliki oleh pemerintah, pemerintah daerah dan swasta serta

masyarakat. Keterlibatan masyarakat sekitar TPA dalam memanfaatkan TPA

sampah pascaoperasi perlu diperhatikan oleh pengambil keputusan baik pihak

pemerintah maupun swasta.

e. Model pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi perlu dilengkapi dengan analisis

dinamis agar dapat dipridiksi perubahan dari waktu kewaktu, hal ini dapat

dijadikan dasar operasional bagi pengambil keputusan.

Page 151: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

135

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, K. dan H, Hikmat. 2001. Participatory Research Appraisal: Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press. Bandung.

Alaer, G.S. dan Sumesti. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. Arianta, I.M. 1995. Aspek Sosial Lembaga Perkeriditan Desa: Paktor Penyebab

Partisipasi dan Status Sosial Anggota (Kasus Perbedaan LPD Berhasil dan Kurang Berhasil di Kabupaten Badung, Bali) (Tesis). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Azwar, A. 1983. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Penerbit Mutiara. Jakarta. Bernadette, W. 1998. Panduan Pemberitaan Lingkungan Hidup (Acuan untuk Wartawan),

Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Bouwer, H. 1978. Groundwater Hydrology. Mc.Grow-Hill Kogakusha, Ltd.Tokyo. Bumberger, M dan K. Shams. 1989. Community Participation in Project Management.

Asian and Pacific Development Centre. Kuala Lumpur. Butler, K. 2002. Landfill Resource Recovery (LRR) on LPA Bantar Gebang.

International Centre for Application of Solar Energy. Cary, L. J. 1970. Community Development as a Perocess. University of Missouri.

Columbia. Center, L.W. 1977. Environmental Impac Assessment. Mc.Graw Hill. N.Y. 331 pp. Chen, K.Y.and F.R. Bowerman. 1975. Mechanisms of leachate Formation in Sanitary

Landfill, Rececling and Disposal of Solid Waste, Industrial, Agriculter, Domestic. F.F. Yen (ed). Ann Arbor Science. Michigan.

Clark, J.R. 1977. Costal Ecosystem Management. Jhon Wiley & Sons. New York. Craig, G. dan M. Mayo (ed). 1995. Community Enpowerment: A Reader in Participation

and Development. Zed Books. London. Cressey, R.P. 1987. Participation Review. University Glasgow Europeans Foundation.

Glasgow. Departemen PU RI. 1999. Tata Cara Pere ncanaan Tempat Pembuangan Akhir.

Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.

Page 152: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

136

Depdagri RI. 1996. Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa. Departemen Dalam Negeri. Jakarta.

Depkes RI. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002

tentang Syarat-syarat Pengawasan Kualitas Air Minum. Departemen Kesehatan. Jakarta.

Diana, E. 1992. Pemantauan Dampak Lokasi Pembuangan Akhir Sampah secara Sanitary

Landfill Bantar Gebang terhadap Kualitas Air Permukaan, Air Tanah dan Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitarnya. (Tesis) Program Pascasarjana. IPB Bogor.

Dinas Kebersihan DKI Jakarta. 2002. Evaluasi Pemantauan TPA Sampah Bantar Gebang

Bekasi. Dinas Kebersihan DKI Jakarta. 2005. Laporan Akhir Western Java Environmental

Management Project, Solid Waste Management for Jakarta. El-Fadel, M., A.N. Findikakis, and O.J. Leckie, 1997. Environmental Impacts of Solid

Waste Landfilling, J. Environ Mgort. 50-1-25. Elfian, E. 2001. Jangan Menunggu Kapal Pecah. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta. Emilsalim. 2004. Bumi Makin Panas, Banjir Makin Luas, Banyak Tragedi Kehancuran

Hutan. Yayasan Nuansa Cendekia. Environmental Protection Agency. 1977. Water quality criteria: A. Report of the

Committee on water quality criteria. Environmental Agency. Washington D.C. Fairchild, H. P. 1977. Dictionary of Social Science and Related Science and Related

Science. Littlefield, Adams & Co. New Jersy. Foundation Environmental Management Couses from AusAID’s PCI Project. 1999.

Water Quality Management Course. Friedmann, J. 1992. Empowerment the politics of alternative development. Cambrigl.

Black Will. Garna, J., H. Versnel, dan A. Enka. 1982. Sistim Mulung di Sukabumi, Informala Sector

Project Cooverative Action Research Program, Bandung. Godet, M. 1999. Scenarios and Strategies, A. Toolbox For Scenario Planning Librairie

des Arts et Matiers. Paris. France. GTZ dan Meneg LH RI. 1997. Pedoman Pendekatan Partisipatif Prencanaan Program

Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.

Page 153: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

137

Hadiwiyoto, S, 1993. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idaya. Jakarta. Haeruman, H. 1979. Perencanaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sekolah

Pascasarjana. Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor.

Hamidjojo, S. 1993. Strategi Pengembangan dan Peningkatan Pembangunan Masyarakat

dalam Pembangunan Desa: Suatu Evaluasi dan Tinjauan Perspektif Masa Depan. BKKBN, Jakarta.

Hardjomidjojo. 2002. Panduan Analisis Prospektif. Bahan Kuliah Analisis System dan

Permodelan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan. Program Pascasarjana IPB Bogor.

Hassan. 1973. Peranan Pemuka-Pemuka Agama Dalam Peningkatan Partisipasi Agama

Dalam Pembangunan. YTKI Departemen Agama, FES. Jakarta. Hikmat, H. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press. Bandung. Huntington, Samuel P. and Joan M. Nilson, 1977. No. Eary Choice: Political

Participation In Developing Countries Harvard University Press, Cambrige, Massachusets.

Husin, Y.A. dan E. Kustaman. 1992. Metoda dan Teknik Analisis Kualitas Air. PPLH-

Lembaga Penelitian IPB. Bogor. (IRC) International Resource Centre (UNICEF) United Nations Children's Fund,

Yayasan Dian Desa, 1999. Pengelolaan yang Berkesinambungan dalam Program Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi, Jakarta.

Jensen, B. 1992. Spring Research Series Planning as a Dialogue. Juli, S.S. 1994. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Konsultan Independen. 2003. Final Report Evaluasi Pemanfaatan TPA Bantargebang

Kerjasama Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta, Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia dan Pusat Studi Pengembangan Lingkungan Universitas Islam ”45” Bekasi.

Kota Bekasi. 1999. Kota Bekasi Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Bekasi. MacArdle, J. 1989. Community Development Tools of Trade. Community Quartely

Journal. Vol. 16.

Page 154: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

138

Marimin. 1999. Penyelesaian persoalan AHP (Analytical Hierarchy Process) dengan Criterium Decision Plus. Group Pengembangan Teknologi Manajemen dan Sistem Informasi Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.

Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Marzali, A. 2003. Teknik Identifikasi Kebutuhan dalam Program Community

Development dalam Akses Peranserta Masyarakat: Lebih Jauh Memahami Community Development. Diedit oleh Bambang Rudito, Adi Prasetijo, dan Kusairi. Penerbit ICSD. Jakarta.

Meneg LH RI dan Japan International Cooperation Agency (JICA). 2003. The Study for

Development of Regulatory System of Solid Waste Management. Jakarta. Meneg LH RI. 1999. Kebijaksanaan, Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Lingkungan

Hidup. 2000-2025. Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Meneg LH RI. 2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pengelolaan

Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah, Jakarta: Koperasi Bapedal Lestari.

Moeliono, I. 2004. Partisipasi Manipulatif: Catatan Reflekktif tentang Pendekatan PRA

dalam Pembangunan Masyarakat. http://www.balaidesa.or.id/prapar.htm. Mubyarto. 1985. Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan BPEE. Yogyakarta. NTAC. 1968. Water Quality Criteria. Federal Water Pollution Control Administration.

Washington. Oppenheim, A.N. 1973. Questionnare Design and Attitude Measurement. Heinemanm,

London. Partoatmodjo, S. 1993. Pengelolaan Sampah Pola Padang. Bahan Kuliah masalah

Pembangunan dan Lingkungan. Pascasarjana IPB Bogor. Payne, M. 1997. Modern Social Work Theory. Macmillan Press Ltd. London. Pemda DKI Jakarta, 1997. Analisis Dampak Lingkungan Pembangunan dan Pengelolaan

TPA Bantar Gebang Bekasi. Pescod, M.B. 1973. Investigation of Rational Effluen and Stream Standa rd for Tropical

Countries. AIT. Bangkok.

Page 155: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

139

Poerwadarminto. 1986. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka. Jakarta.

Prijono dan Pranarka. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. CSIS.

Jakarta. Rojek and Chris. 1986. The Subject in Social Work. British Journal of Social Work 16(1)

65-79. Rozaki A. 2004. Promosi Otonomi Desa, Penerbit IRE Press Yogyakarta. Saeni, M.S. 1989. Bahan Pengejaran Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Institut Pertanian Bogor. Saeni, M.S. 1991. Dampak pada kualitas air. Kursus Dasar Penyusun AMDAL PPLH Lembaga Penelitian IPB-Bogor. Saeni, M.S. 1997. Penentuan Tingkat Pencemaran Logam Berat dengan Analisis Rambut. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Kimia Lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Sa’id, G. 1987. Sampah Masalah Kita Bersama. Madiyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Saaty, T.L. 1983. Decision Making for Leaders: The Analytical Hierarchy Process for

Decision in Complex World RWS Publication, Pittsburgh. Sahidu, A. 1998. Partisipasi Masyarakat TaniPengguna Lahan Sawah dalam

Pembangunan Pertanian di Daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat. (Disertasi) Program Pascasarjana, IPB. Bogor.

Samom, M., C.L. Sales, and S. Phunsiri. 2002. Solid Waste Racycling Disposal and

Management in Bangkok. J. Environ Res 28:106-112. Santoso, P. 2002. Merubah Watak Negara. LAPPERA. Pustaka Utama. Yogyakarta. Saruji, D. 1986. Sampah Ditinjau dari Segi Kesehatan Lingkungan. Dalam Seminar

Pengelolaan Sampah di Kotamadya Surabaya. Sastropoetro, R. A. dan Santoso, 1988. Partisipasi Komunikasi, Persuasi dan Disiplin

dalam Pembangunan. Penerbit, Alumni. Bandung. Schmeider, W. 1970. Hydrologic Imlication of Solid Waste Disposal.U.S. Geological

Survey. Washington D.C. Siegel, S. 1990. Statistik Nonparametrik, untuk Ilmu- ilmu Sosial. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta.

Page 156: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

140

Silalahi, T.S. 1980. Studi Kualitas Fisik -Kimia Air Kali Cakung Sehubungan dengan Daerah Industri Pulo Gadung di DKI Jakarta. (Tesis) Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor.

Slamet, J.S. 1994. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Soekanto. 1986. Sosiolog: Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soemirat, J. 1994. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada Press. Jakarta. Soeratmo, F.G. 1998. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Soeratmo, F.G. 2001. Panduan Penelitian Multidisiplin. IPB Press. Soeratmo, F.G. 2002. Penanganan Sampah di Daerah, bahan rapat teknis alternatif solusi penangan sampah di daerah. Soewedo, H. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Indayu. Jakarta. Syaukani, H.R. 1999. Pokok-pokok Pemikiran Pemberdayaan Masyarakat. Gerbang

Dayaku. Suryanto. 1988. Persampahan. Jakarta. Surat Perjanjian antara Pemda DKI Jakarta dengan Kota Bekasi. 1999. Nomor 96 Tahun

1999/168 tentang Pengelolaan Sampah dan tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Kecamatan Bantar Gebang. Bekasi.

Sumodiningrat, G. 1997. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat PT. Bina

Rena Pariwara, Jakarta. Sumardjo dan Saharudin. 2003. Metode-Metode Partisipatif Dalam Pengembangan

Masyarakat. Sumitro, B.S. 1991. Studi Pendahuluan tentang Komposisi Kimia Energi Pembakaran

dan Mikroorganisme Dominan pada Sampah di Kotamadya Malang. Jurnal Universitas Brawijaya, Malang 3:9 -15.

Supriatna, T. 1997. Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Humaniora

Utama Press. Bandung. Suyoto, B. 2001. Progress Report I Proyek Community Development Dalam Pengelolaan

Sampah Secara Partisipatif di Desa Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi. Proyek Kerjasama antara Komite Pemantauan Sampah oleh YPKM dengan dukungan dana UNDP.

Page 157: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

141

Suyoto, B. 2004. Malapetaka Sampah, Kasus TPA Bantar Gebang, Kasus TPA dan IPLT

Sumur Batu serta Kasus TPST Bojong. Adi Kencana Aji. Jakarta. Stewart, Aileen Mitchell. 1994. Empowering People. Pitmen Publishing. London. Supardi, I. 1994. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Penerbit Alumni. Bandung. Tchobanolous.1977. Solid Waste Engeneering Principles and Management Issues. Mc.

Graw Hill Book Company. New York. Tchobanolous. 2002. Introduction In George Tchobanolous dan Frank Kreith,

Handbook of Solid Maste Management. McGrow-Hill Companies, Inc., New York.

Thank. 1985. Waste disposal and resource recovery. In Proceeding of Seminar on Solid

Management Asian Institut of Tehchnological. Bangkok. Tjokroamidjojo, H. Bintoro dan A.R, Mustopadidjaja. 1980. Teori Strategi Pembangunan

Nasional. Gunung Agung. Jakarta. Tonny, F. 1990. Metoda dan Teknik Sosial Ekonomi. Kursus Penyusunan AMDAL IPB

Bogor. Untung, O. 1995. Menjernihkan Air Kotor. Puspa Swara. Jakarta. Uphoff. 1988. Menyesuaikan Proyek pada Manusia. Dalam Mengutamakan Manusia di

dalam Pembangunan: Variabel-variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan. UI-Press. Jakarta.

Usman, S. 2003. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka Pelajar.

Yogyakarta. Widarto L. 1996. Membuat Alat Penjernih Air. Kanisius. Yogyakarta. Widjaja, A.W. 1986. Peranan Motivasi dalam Kepemimpinan. Akademika Pressindo.

Jakarta. Widyatmoko. 2001. Menghindari, Mengolah dan Menyingkirkan Sampah. Abdi Tandur.

Jakarta. Wuryadi. 1990. Telaah Kelangsungan Hidup Escherichia coli dalam Air Sumur Gali dan

Kaitannya sebagai Indikator Pencemaran Tinja dalam System Air Tanah. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.

Page 158: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

142

Lampiran 1: Pertanyaan Analisis Prospektif

PEMANFAATAN TPA SAMPAH PASCA OPERASI BERBASIS MASYARAKAT ( Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi )

Identitas Responden Nama : ........................................................................... Alamat : ........................................................................... Assalamualaikum Wr.Wb. Nama saya Royadi, pekerjaan Staf Ditjen Bina Bangda, Departemen Dalam Negeri. Sementara ini saya sedang mengikuti Sekolah Pascasarjana S3 IPB, Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, dibawah Bimbingan Prof.Dr.Ir.M. Sri Saeni, MS, Dr.Ir. Hartrisari H, DEA dan Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, MS. Sehubungan dengan penyusunan disertasi yang berjudul ”Pemanfaatan TPA Sampah Pascaperasi Berbasis Masyarakat, studi Kasus TPA Bantar Gebang Bekasi”. TPA Bantar Gebang luas 108 Ha terdiri 5 zona, secara administrative berada di Kota Bekasi. Kondisi TPA saat ini sudah penuh, keadaan yang terjadi dalam TPA proses akumulasi, pembentukan air lindi, gas, degradasi dan perasapan air lindi. Oleh karena itu dampak lingkungan pascas operasi tergantung dari pemanfaatannya. Besar harapan saya Bapak/Ibu dapat berpartisipasi dalam penelitian ini dengan cara: !). Menuliskan jawaban apa yang menjadi faktor kunci/penting/strategis, 2).Membandingkan pengaruh langsung antar faktor (pada butir a) dalam pemanfaatan TPA sampah pasca operasi berbasis partisipasi masyarakat. Atas kesediaan Bapak/Ibu saya haturkan terima kasih.

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

TAHUN 2005

Page 159: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

143

1. Faktor - faktor kunci (penting dan strategis) dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat (Need Analysis): A. Pendanaan B. Dukungan Pemda C. Teknologi D. Kelembagaan E. Peraturan Perundangan F. RTRWK G. SDM H. Kerjasama Lintas Sektor I. Persepsi masyarakat J. Partisipasi masyarakat ikut dalam perencanaan K. Proses akumulasi dan degradasi L. Limpasan dan penyerapan air lindi M. Pencemaran sumur N. Pencemaran sungai O. Konflik P. Keterlibatan Pemerintah Pusat Q. Donor Agency R. Dukungan legislatif DPRD/DPR-RI S. Keterlibatan Swasta

1. Pengaruh langsung antar faktor dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis

masyar akat di TPA Bantar Gebang Bekasi. Pedoman penilaian:

Skor: O

Keterangan: Tidak ada pengaruh; 1. Berpengaruh kecil; 2. Berpengaruh sedang; 3. Berpengaruh kuat.

Pedoman pengisian: § Dilihat dulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika ya beri nilai O. § Jika ada pengaruh, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya beri nilai 3. § Jika ada pengaruh, baru dilihat jika pengaruhnya kecil=1, atau berpengaruh sedang=2.

Tabel 1: Pengaruh langsung antar faktor dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat (need analysis).

Dari Terhadap A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S

A 3 3 2 2 3 2 2 2 1 2 2 1 1 2 3 3 3 3 B 3 2 3 3 2 3 3 2 3 1 2 2 2 3 3 2 3 3 C 3 3 2 2 2 3 2 2 3 1 2 2 2 1 2 2 3 3 D 2 2 2 2 2 3 2 2 1 1 1 2 1 2 2 2 2 2 E 2 3 2 3 2 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 F 1 2 1 2 2 1 1 1 2 1 1 1 1 2 2 1 2 2 G 2 2 3 2 2 1 2 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 H 2 2 2 1 2 1 1 1 1 0 0 0 0 1 2 1 3 1 I 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 2 1 3 1 0 1 0 J 1 2 1 1 1 1 2 1 3 1 0 0 1 2 0 2 1 2 K 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 2 2 2 2 0 0 1 0 L 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 2 3 3 2 1 0 1 0 M 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 3 1 3 3 1 0 1 0 N 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 2 1 2 2 0 0 2 1 O 1 2 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 0 P 2 3 2 2 3 2 1 3 1 2 1 1 1 1 1 1 2 2 Q 3 3 2 3 3 1 3 2 1 1 0 0 0 0 0 1 3 3 R 3 3 2 3 3 2 1 2 2 2 1 2 2 1 2 2 1 2 S 3 3 3 1 3 2 1 3 1 2 1 1 2 1 1 2 2 2

Sumber: godet, 1999. Keterangan: A-Z = Faktor penting

Page 160: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

144

2. Faktor-faktor kunci (penting/strategis) dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat (existing condition): A. Luas lahan B. Volume sampah C. Tinggi tumpukan sampah D. Pembentukan air lindi E. Gas metan F. Pencemaran sumur G. Pencemaran sungai H. E. Coli I. Distribusi Lalat J. IPAS K. Pendapatan Masyarakat L. Partisipasi masyarakat M. Frekwensi konflik N. Pengaruh daerah sekitar O. Pemulung P. Pengelola Q. Kebijakan Pemerintah R. Pencemaran udara S. Kebisingan

2. Pengaruh langsung antar faktor dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis

masyarakat di TPA Bantar Gebang Bekasi. Pedoman penilaian: Skor:

O Keterangan: Tidak ada pengaruh; 1. Berpengaruh kecil; 2. Berpengaruh sedang; 3. Berpengaruh kuat.

Pedoman pengisian: § Dilihat dulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika ya beri nilai O. § Jika ada pengaruh, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya beri nilai 3. § Jika ada pengaruh, baru dilihat jika pengaruhnya kecil=1, atau berpengaruh sedang=2.

Tabel 2: Pengaruh langsung antar faktor dalam pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi berbasis masyarakat (existing condition).

Dari Terhadap A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S

A 3 2 2 1 1 2 1 1 2 2 1 1 2 2 2 3 2 2 B 3 3 1 3 3 3 2 3 2 2 1 3 3 3 3 2 2 1 C 3 3 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 3 2 2 3 2 D 1 1 1 2 2 2 2 1 2 1 1 2 1 1 2 1 1 1 E 2 2 3 1 0 0 0 0 0 1 2 1 2 0 2 2 3 0 F 3 2 2 2 0 3 2 1 1 1 1 2 1 1 1 2 0 0 G 2 2 2 2 0 2 1 0 2 0 0 2 1 1 2 2 1 0 H 1 2 2 1 1 2 2 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 0 I 1 3 1 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 2 1 1 0

J 3 2 2 2 2 2 2 1 0 0 1 2 2 1 2 2 1 0 K 1 2 1 0 2 0 0 0 0 0 1 0 1 2 1 1 0 1 L 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 2 1 0 0 M 1 1 2 1 2 1 2 1 1 1 0 1 1 1 2 1 0 0 N 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 O 3 3 2 1 2 1 2 2 3 1 2 1 2 2 2 2 1 2 P 2 2 2 1 2 2 2 1 2 1 1 1 1 2 2 2 2 1 Q 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 R 1 2 2 1 1 0 0 1 1 0 0 0 3 2 1 3 3 1 S 2 2 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 2 1 2 1 1

Sumber: godet, 1999. Keterangan: A-Z = Faktor penting

Page 161: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

145

Tabel 3: Faktor-faktor Penentu Hasil Gabungan (existing condition dan need anayis).

Dari Terhadap

A B C D E F G H I J

A 3 3 3 3 1 0 2 3 0 B 3 3 3 2 0 0 1 2 0 C 3 2 3 3 1 0 2 3 0 D 3 3 3 2 2 0 2 2 0 E 2 1 3 2 1 0 1 3 0 F 0 0 2 1 1 0 3 2 0 G 0 0 0 0 0 0 2 3 1 H 1 0 2 1 0 1 2 3 1 I 3 2 3 2 1 1 3 2 0 J 1 1 0 0 0 0 1 2 0

Sumber: godet, 1999. Keterangan: A-Z = Faktor penting

Page 162: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

146

Lampiran: 2. Curah Hujan Bulanan di Bekasi (mm), tahun 1979-1988, Sta 841 Bekasi

No Tahun Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 141 1988 339 - - - - - - - - - -

2 1987 382 - - - - - - - - - -

3 1986 190 136 222 282 112 194 141 172 241 255 295 198

4 1985 - - - 241 - 109 184 - 182 198 47

5 1984 - 271 205 - 206 - 43 26 - - -

6 1983 372 170 105 315 403 - - - - - -

7 1982 333 187 360 265 54 121 6 - - - -

8 1981 464 121 270 327 26 159 153 136 50 199 244 464

9 1980 454 162 318 72 109 36 88 170 87 250 394 304

10 1979 391 132 159 205 147 5 27 113 195 286 533 293

Rata-rata 3666 168 234 244 151 104 92 123 151 238 31 157,30

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Keterangan: - : Tidak terdeteksi.

Page 163: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

147

Lampiran: 3. Jumlah Curah Hujan Bulanan di Bekasi (mm), tahun 1979-1988, Sta 841 Bekasi

No Tahun Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 1988 21 - - - - - - - - - -

2 1987 25 - - - - - - - - - -

3 1986 18 16 14 14 6 10 9,5 9 10 12 20

4 1985 - - - - - 5 11 0 11 12 6

5 1984 - 15 9 9 7 - 3 5 - - -

6 1983 14 7 7 7 7 - - - - - -

7 1982 15 6 13 13 3 3 1 - - - -

8 1981 13 6 13 13 3 5 10 7 4 7 7

9 1980 17 11 12 72 6 4 6 7 4 9 14

10 1979 18 19 13 12 4 2 2 7 13 8 19

Rata-rata 18 11 12 11 129 9 6 7 8 10 13

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Keterangan: - : Tidak terdeteksi.

Page 164: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

148

Lampiran 4: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 1 (Inlet), 2004.

Air Lindi IPAS I (Inlet) Parameter Satuan BM 2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04

Kisaran Rata-rata

Suhu ºC 35,4 34,7 31,2 31,2-35,4 33,7

Kekeruhan NTU 1550 1523 1235 1235-1550 1436

pH - 6 – 9 8,16 8,22 7,87 7,87-8,22 8,03

Warna PtCo 5700 5334 5690 5334-5700 5574

TDS Mg/liter 8050 9032 7957 7957-9032 8346

BOD5 Mg/liter 50 650 598 548 548-650 596

COD Mg/liter 100 1974 1879 1449 1449-1974 1767

Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 3,81 4,09 3,23 3,23-4,09 3,71

Nitrit(N-NO2) Mg/liter 1 37,0 43,1 28,6 28,6-43,1 36,2

Besi (Fe) Mg/liter 5 4,956 5,003 4,498 4,498-5,003 4,819

Mangan (Mn) Mg/liter 2 0,621 0,498 0,559 0,498-0,621 0,555

Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03

Air raksa (Hg) Mg/liter 0,0013 0,0008 0,0008 0,0008-0,0013 0,0009

Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06

Tembaga (cu) Mg/liter 22 0,05 0,03 0,04 0,03-0,05 0,04

Nikel (Ni) Mg/liter 0,243 0,199 0,176 0,176-0,243 0,206

Seng (Zn) Mg/liter 5 0,100 0,123 0,205 0,100-0,205 0,142

Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07

Sulfida Mg/liter 0.05 0,35 0,55 0,26 0,26-0,55 0,38

Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004

Page 165: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

149

Lampiran 5: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 2 (Inlet), 2004.

Air Lindi IPAS 2 (Inlet) Parameter Satuan BM 2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04

Kisaran Rata-rata

Suhu ºC 34,1 34,3 31,1 31,1-34,3 33,1

Kekeruhan NTU 1440 1428 1238 1238-1440 1368

pH - 6 – 9 8,53 8,44 8,08 8,08-8,53 8,35

Warna PtCo 5475 5721 5177 5177-5721 5457

TDS Mg/liter 8830 9005 7590 7590-9005 8475

BOD5 Mg/liter 50 1020 1012 1008 1008-1020 1013

COD Mg/liter 100 3046 3154 3188 3046-3188 3129

Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 3,89 2,99 3,41 2,99-3,89 3,43

Nitrit(N-NO2) Mg/liter 1 0,375 0,503 1,044 0,375-1,044 0,640

Besi (Fe) Mg/liter 5 1,157 1,157 1,065 1,065-1,157 1,126

Mangan (Mn) Mg/liter 2 1,437 1,338 1,256 1,256-1,437 1343

Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03

Air raksa (Hg) Mg/liter <0,0008 <0,0008 <0,0008 <0,0008 <0,0008

Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06

Tembaga (cu) Mg/liter 22 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05

Nikel (Ni) Mg/liter 0,226 0,226 0,202 0,202-0,226 0,218

Seng (Zn) Mg/liter 5 0,175 0,175 0,133 0,133-0,175 0,161

Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07

Sulfida Mg/liter 0.05 28,0 29,0 22,9 22,9-29,0 26,6

Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004

Page 166: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

150

Lampiran 6: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 3 (Inlet), 2004.

Air Lindi IPAS 3 (Inlet ) Parameter Satuan BM 2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04

Kisaran Rata-rata

Suhu ºC 33,5 34,2 30,2 30,234,2 32,6

Kekeruhan NTU 975 1003 854 854-1003 944

pH - 6 – 9 8,62 8,58 8,12 8,12-8,62 8,44

Warna PtCo 4125 4365 399 399-4365 2963

TDS Mg/liter 7890 8003 6590 6590-8003 7454

BOD5 Mg/liter 50 740 809 650 650-809 733

COD Mg/liter 100 2230 1987 1987 1987-2230 2068

Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 2,69 2,02 2,34 2,02-2,69 2,35

Nitrit(N-NO2) Mg/liter 1 0,401 0,399 0,379 0,379-0,401 0,393

Besi (Fe) Mg/liter 5 1,197 1,204 1,498 1,197-1,498 1,259

Mangan (Mn) Mg/liter 2 1,350 1,344 1,176 1,176-1350 1,290

Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03

Air raksa (Hg) Mg/liter <0,0008 <0,0008 <0,0008 <0,0008 <0,0008

Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06

Tembaga (cu) Mg/liter 22 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05

Nikel (Ni) Mg/liter 0,224 0,243 0,188 0,188-0,243 0,218

Seng (Zn) Mg/liter 5 0,076 0,069 0,099 0,069-0,099 0,081

Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07

Sulfida Mg/liter 0.05 6,325 4,885 5,348 4,885-6,325 5,519

Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004

Page 167: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

151

Lampiran 7: Analisis Kualitas Air Lindi sebelum diolah IPAS 4 (Inlet ), 2004.

Air Lindi IPAS 4 (Inlet) Parameter Satuan BM 2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04

Kisaran Rata-rata

Suhu ºC 30,7 31,2 28,8 28,8-31,2 30,2

Kekeruhan NTU 2075 1880 1980 1880-2075 1978

pH - 6 – 9 7,82 7,79 7,55 7,55-7,82 7,72

Warna PtCo 8500 8225 7890 7890-8500 8205

TDS Mg/liter 8050 8266 8219 8050-8266 8178

BOD5 Mg/liter 50 1084 1267 986 986-1267 1112

COD Mg/liter 100 3276 3455 2975 2975-3455 3235

Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 6,46 5,87 4,98 4,98-6,46 5,77

Nitrit(N-NO2) Mg/liter 1 1552,5 1444 116,7 116,7-1552,5 1037

Besi (Fe) Mg/liter 5 5,884 5,663 4,022 4,022-5,884 5,189,6

Mangan (Mn) Mg/liter 2 0,316 0,287 0,255 0,255-0,316 0,286

Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03

Air raksa (Hg) Mg/liter 0,0038 0,0044 0,0007 0,0007-0,0044 0,0029

Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06

Tembaga (cu) Mg/liter 22 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05

Nikel (Ni) Mg/liter 0,349 0,412 0,278 0,278-0,412 0,346

Seng (Zn) Mg/liter 5 0,445 0,365 0,377 0,365-0,445 0,395

Kromium (cr) Mg/liter 0.05 0,094 0,088 0,094 0,088 0,092

Sulfida Mg/liter 0.05 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01

Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004

Page 168: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

152

Lampiran 8: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 1 (Outlet), 2004.

Air Lindi IPAS I (Outlet) Parameter Satuan BM 2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04

Kisaran Rata-rata

Suhu ºC 33,1 33,6 30,0 30,0-33,6 32,2

Kekeruhan NTU 145 165 156 145-165 155

pH - 6 – 9 8,00 8,04 7,87 7,87-8,04 7,97

Warna PtCo 620 743 547 547-743 636

TDS Mg/liter 4450 5033 5640 4450-5640 5041

BOD5 Mg/liter 50 200 211 234 200-234 215

COD Mg/liter 100 604 742 623 604-742 656

Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 20,95 3,03 19,97 3,03-20,95 14,65

Nitrit (N-NO2) Mg/liter 1 209,5 232,4 198,9 198,9-232,4 213,6

Besi (Fe) Mg/liter 5 0,329 0,287 0,287 0,287-0,329 0,301

Mangan (Mn) Mg/liter 2 1,034 1,101 1,009 1,009-1,101 1,048

Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03

Air raksa (Hg) Mg/liter 0,0008 0,0008 0,0008 0,0008 0,0008

Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06

Tembaga (cu) Mg/liter 2 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05

Nikel (Ni) Mg/liter 0,079 0,066 0,068 0,066-0,079 0,071

Seng (Zn) Mg/liter 5 0,03 0,02 0,032 0,020-0,032 0,027

Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07

Sulfida Mg/liter 0.05 0,02 0,01 0,04 0,01-0,04 0,02

Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004

Page 169: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

153

Lampiran 9: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 2 (Outlet), 2004.

Air Lindi IPAS 2 (Outlet) Parameter Satuan BM 2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04

Kisaran Rata-rata

Suhu ºC 33,1 33,3 31,7 31,7-33,3 32,7

Kekeruhan NTU 90 101 89 89-101 93

pH - 6 – 9 7,89 7,99 7,57 7,57-7,99 7,81

Warna PtCo 445 399 399 399-445 414

TDS Mg/liter 5310 5288 4989 4989-5310 519

BOD5 Mg/liter 50 138 144 122 122-144 134,6

COD Mg/liter 100 423 395 380 380-423 399

Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 7,08 7,08 8,01 7,08-8,01 7,39

Nitrit (N-NO2) Mg/liter 1 9,10 7,89 7,90 7,89-9,10 8,29

Besi (Fe) Mg/liter 5 0,409 0,389 0,330 0,330-0,409 0,376

Mangan (Mn) Mg/liter 2 1,240 1,223 1,276 1,223-1,276 1,246

Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03

Air raksa (Hg) Mg/liter <0,0008 <0,0008 <0,0008 <0,0008 <0,0008

Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06

Tembaga (cu) Mg/liter 2 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05

Nikel (Ni) Mg/liter 0,04 0,301 0,04 0,04-0,301 0,127

Seng (Zn) Mg/liter 5 1,112 1,202 1,336 1,112-1,336 1,216,6

Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07

Sulfida Mg/liter 0.05 0,01 0,02 0,04 0,01-0,05 0,02

Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004

Page 170: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

154

Lampiran 10: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 3 (Outlet), 2004.

Air Lindi IPAS 3 (Outlet ) Parameter Satuan BM 2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 Kisaran Rata-rata

Suhu ºC 30,9 31,3 29,7 29,7-31,3 30,6

Kekeruhan NTU 260 348 288 260-348 298

pH - 6 – 9 8,15 8,22 7,87 7,87-8,22 8,08

Warna PtCo 1113 1256 1005 1005-1256 1124

TDS Mg/liter 6170 5990 5490 5490-6170 5883

BOD5 Mg/liter 50 388 406 356 356-406 383

COD Mg/liter 100 1177 1222 989 989-1222 1129

Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 3,92 3,88 3,55 3,55-3,92 3,78

Nitrit (N-NO2) Mg/liter 1 522,5 425,3 388,9 388,9-522,5 445,5

Besi (Fe) Mg/liter 5 0,635 0,644 0,457 0,457-0,644 0,578

Mangan (Mn) Mg/liter 2 0,673 0,754 0,545 0,545-0,754 0,657

Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03

Air raksa (Hg) Mg/liter 0,0047 0,0043 0,0008 0,0008 0,0008

Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06

Tembaga (cu) Mg/liter 2 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05

Nikel (Ni) Mg/liter 0,046 0,039 0,033 0,033-0,046 0,039

Seng (Zn) Mg/liter 5 0,183 0,199 0,137 0,137-0,199 0,173

Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07

Sulfida Mg/liter 0.05 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01

Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004

Page 171: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

155

Lampiran 11: Analisis Kualitas Air Lindi sesudah diolah IPAS 4 (Outlet ), 2004.

Air Lindi IPAS 4 (Outlet) Parameter Satuan BM 2 Okt 04 23 Okt 04 27 Nop 04 Kisaran Rata-rata

Suhu ºC 30,5 31,0 27,9 27,9-31,0 29,8

Kekeruhan NTU 165 202 128 128-202 165

pH - 6 – 9 7,99 7,87 7,34 7,34-7,99 7,73

Warna PtCo 860 880 876 860-880 872

TDS Mg/liter 7900 8340 8024 7900-8340 8088

BOD5 Mg/liter 50 376,8 388,9 323,8 323,8-388,9 363

COD Mg/liter 100 1133 1240 996,7 996,7-1240 1123

Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 3,75 3,88 3,44 3,44-3,88 3,69

Nitrit (N-NO2) Mg/liter 1 527,5 643 641 527,5-643 603,8

Besi (Fe) Mg/liter 5 0,221 0,330 0,188 0,188-0,330 0,246

Mangan (Mn) Mg/liter 2 0,533 0,499 0,448 0,448-0,533 0,493

Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03

Air raksa (Hg) Mg/liter 0,0032 0,0032 0,0027 0,0027 0,0030

Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06

Tembaga (cu) Mg/liter 2 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05

Nikel (Ni) Mg/liter 0,062 0,070 0,044 0,044-0,070 0,058

Seng (Zn) Mg/liter 5 0,375 0,402 0,254 0,254-0,402 0,343

Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07

Sulfida Mg/liter 0.05 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01

Sumber: Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan, IPB 2004

Page 172: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

156

Lampiran 12: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2003

IPAS 1 IPAS 2 IPAS 3 Parameter Satuan BM Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet

Suhu oC 25 25 25 25 25 25 Kekeruhan NTU 1468 126 1592 420 982 246 pH - 6 – 9 7,65 8,05 7,96 6,36 8,07 8,67 Warna PtCo 6847 870 8246 218 6743 720 TDS Mg/liter 14301 7057 14395 8036 10546 8031 BOD5 Mg/liter 50 1812 549 1728 118 591 441 COD Mg/liter 100 4796 1443 4409 314 1544 1423 Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 26,77 23,93 26,59 3098 1939 930 Nitrit(N-NO2) Mg/liter 1 <0.05 3,17 1,39 17,10 5,56 56,72 Besi (Fe) Mg/liter 5 7,80 2,52 6,51 <0,01 3,91 1,97 Mangan (Mn) Mg/liter 2 1,94 0,56 0,28 0,80 1,96 0,25 Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 Air raksa (Hg) Mg/liter 0,004 0,002 0,003 0,003 0,004 0,002 Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 Tembaga (cu) Mg/liter 2 0,13 <0,02 0,14 <0,02 0,02 <0,02 Nikel (Ni) Mg/liter <0,01 <0,01 0,37 <0,01 0,24 <0,01 Seng (Zn) Mg/liter 5 0,62 0,15 0,33 0,52 0,33 0,23 Kromium (cr) Mg/liter 0.05 0,29 0,12 0,20 <0,05 0,12 0,05 Sulfida Mg/liter 0.05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 <0,05

Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta 17 Nopember 2003.

Lampiran 13: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2002

IPAS 1 IPAS 2 IPAS 3 Parameter Satuan BM

Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet Suhu oC 25 25 25 25 25 25

Page 173: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

157

Kekeruhan NTU 1350 1102 4668 2498 9036 3044 pH - 6 – 9 7,34 7,95 7,70 7,12 7,69 6,49 Warna PtCo 5600 620 5495 445 4128 1113 TDS Mg/liter 8045 4460 8870 5320 7870 6140 BOD5 Mg/liter 50 59,10 36,10 197 164 387 106 COD Mg/liter 100 139 92,35 468 386 922 250 Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 47,64 43,17 2,08 35,26 2,24 34,47

Nitrit(N-NO2) Mg/liter 1 0,31 3,535 <0,03 <0,03 <0,03 1,68 Besi (Fe) Mg/liter 5 3,74 0,11 8,27 2,57 8,00 0,90 Mangan (Mn) Mg/liter 2 0,46 0,27 1,47 0,48 1,73 3,13 Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 Air raksa (Hg) Mg/liter <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005

Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 Tembaga (cu) Mg/liter 2 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 Nikel (Ni) Mg/liter <0,04 <0,04 0,14 0,09 0,27 0,19 Seng (Zn) Mg/liter 5 0,06 <0,04 0,06 <0,04 0,06 0,11 Kromium (cr) Mg/liter 0.05 <0,006 <0,006 <0,006 <0,006 <0,006 <0,006 Sulfida Mg/liter 0.05 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01

Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2002. Lampiran 14: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2001

IPAS 1 IPAS 2 IPAS 3 Parameter Satuan BM

Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet

Suhu oC 35,8 33,6 35,4 34,2 34,8 30,9 Kekeruhan NTU 1483 1207 4289 2936 8725 4024 pH - 6 – 9 8,6 8,40 7,20 7,90 7,12 7,10 Warna PtCo 5824 640 5467 464 4210 1128 TDS Mg/liter 6075 1,355 4,580 4,900 5865 6,100 BOD5 Mg/liter 50 620 144 145 651,40 986,40 732 COD Mg/liter 100 1980 321,48 321,48 1,428,80 8,789,20 4,643,60Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 124,16 114,20 281,50 256,40 297,30 2,78

Nitrit(N-NO2) Mg/liter 1 0,46 0,27 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 Besi (Fe) Mg/liter 5 2,98 1,36 3,46 2,81 1,02 1,21 Mangan (Mn) Mg/liter 2 0,27 0,31 0,42 0,32 1,47 3,04 Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 Air raksa (Hg) Mg/liter <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005

Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 Tembaga (cu) Mg/liter 2 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 Nikel (Ni) Mg/liter 0,48 0,32 0,39 0,32 0,24 0,15

Page 174: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

158

Seng (Zn) Mg/liter 5 0,05 0,03 0,07 0,06 0,04 0,25 Kromium (cr) Mg/liter 0.05 - - - - - - Sulfida Mg/liter 0.05 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01

Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Nopember 2001.

Lampiran 15: Kualitas Air Lindi Titik Inlet dan Outlet Tahun 2000

IPAS 1 IPAS 2 IPAS 3 Parameter Satuan BM Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet Outlet

Suhu oC 34,6 32,4 33,92 30,86 32,64 31,82 Kekeruhan NTU 1,847 1,355 4,900 4,580 7,940 6,100 pH - 6 – 9 8,70 8,40 7,90 7,20 8,42 7,10 Warna PtCo 6847 826 5896 852 7432 425 TDS Mg/liter 8264 7942 12641 9264 10,718 8392 BOD5 Mg/liter 50 420 144,00 145,00 651,40 942,40 732,00 COD Mg/liter 100 441,82 321,48 1,428,80 321,48 682,36 643,60 Nitrat (N-NO3) Mg/liter 20 102,47 114,20 256,40 281,50 1,22 278,10 Nitrit(N-NO2) Mg/liter 1 Ø,16 3,26 4,15 2,47 2,86 1,08 Besi (Fe) Mg/liter 5 1,44 1,36 3,61 2,46 1,36 1,21 Mangan (Mn) Mg/liter 2 0,36 0,31 0,32 0,42 0,40 3,04 Kadmium (cd) Mg/liter 0.05 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 Air raksa (Hg) Mg/liter <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005 <0,00005

Timbal (Pb) Mg/liter 0.02 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 <0,07 Tembaga (cu) Mg/liter 2 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 <0,03 Nikel (Ni) Mg/liter 0,08 0,03 0,06 0,07 0,36 0,25 Seng (Zn) Mg/liter 5 0,05 0,03 0,06 0,04 0,05 0,02 Kromium (cr) Mg/liter 0.05 - - - - - - Sulfida Mg/liter 0.05 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01

Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2000.

Page 175: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

159

Lampiran 16: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2003 Nama/Kode Lokasi

Pengambilan Sampel Air Sumur Parameter Satuan Standard S. Batu

(1) Cikiwul

(2) Ciketing

(3) Ciketing

(4) Suhu oC 25,4 26,7 26,4 25,3 Kekeruhan NTU 5 16 2 3 2 pH 6.9-8.5 6,75 6,84 6,76 6,63 TDS 164 402 198 283

BOD5 3,89 4,07 3,40 3,09

COD 8,24 9,83 8,27 6,32 Ammonia (N-NH3) 0,327 0,502 0,319 0,412 Kesadahan mg/liter 500 40,5 157,4 46,8 68,9 Nitrat (N-NO3) mg/liter 1,684 0,425 1,466 2,423

Nitrit (N-NO2) mg/liter 1 0,038 0,002 0,002 0,016 Klorida mg/liter 600 58,6 34,9 56,4 92,3 DO mg/liter 3,04 3,06 3,08 3,14 Besi (Fe) mg/liter 1.0 0,512 0,398 <0,05 <0,05 Timbal (Pb) mg/liter 0.05 <0,06 <0,06 <0,06 <0,06 Sulfida mg/liter <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 Ortho-Phosfat mg/liter 3,47 4,25 2,46 2,54 Seng (Zn) mg/liter 15 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 Coliform MPN/ml 0,03x10¹ 0,04x10¹ 6,1x10¯¹ 6,4x10¯¹ E. coli MPN/ml 0,3x10¯² 0,7x10¯² 5,2x10¯¹ 6,4x10¯¹

Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2003

Page 176: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

160

Lampiran 17: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2002

Nama/Kode Lokasi Pengambilan Sampel Air Sumur Parameter Satuan Standard

S. Batu (1)

Cikiwul (2)

Ciketing (3)

Ciketing (4)

Suhu oC 22,8 23,5 22,1 23,8 Kekeruhan NTU 5 3,20 5 3,40 1,30 pH 6.9-8.5 6 5,50 6,20 6,70 TDS 176 40,8 169 189

BOD5 4,09 4,12 3,05 3,44

COD 11,05 10,4 10,2 11,6 Ammonia (N-NH3) 0,64 0,26 0,38 0,27 Kesadahan mg/liter 500 44,3 138,9 47,7 598,3 Nitrat (N-NO3) mg/liter - 0,06 - -

Nitrit (N-NO2) mg/liter 1 0,01 0,04 0,02 0,01 Klorida mg/liter 600 28,07 37,43 60,83 67,85 DO mg/liter 3,06 3,02 3,05 3,09 Besi (Fe) mg/liter 1.0 - 0,44 0,22 0,93 Timbal (Pb) mg/liter 0.05 - - - - Sulfida mg/liter <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 Ortho-Phosfat mg/liter 4,26 3,72 1,58 1,69 Seng (Zn) mg/liter 15 - 8,98 0,96 8,47 Coliform MPN/ml <2 300.10³ 900.10 300.10² E. Coli MPN/ml <2 300.10³ 300.10 300.10²

Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2002. Keterangan: - : Tidak terdeteksi

Page 177: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

161

Lampiran 18: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2001

Nama/Kode Lokasi Pengambilan Sampel Air Sumur Parameter Satuan Standard

S. Batu (1)

Cikiwul (2)

Ciketing (3)

Ciketing (4)

Suhu ºC Kekeruhan NTU 5 5,50 3,20 5,20 4,40 pH 6.9-8.5 10,00 7,20 6,60 6,80 TDS mg/liter 215,00 317,00 198,20 230,00

BOD5 mg/liter 4,72 4,83 3,68 3,59

COD mg/liter 9,04 8,62 7,92 8,26 Ammonia (N-NH3) 0,11 - 0,05 0,12 Kesadahan mg/liter 500 457 142,6 492 479,8 Nitrat (N-NO3) mg/liter 9,48 10,00 8,32 7,64

Nitrit (N-NO2) mg/liter 1 0,01 0,01 0,04 0,15 Klorida mg/liter 600 2,34 51,47 11,70 88,90 DO mg/liter 3,07 3,09 3,02 3,06 Besi (Fe) mg/liter 1.0 <0,05 <0,05 0,16 0,14 Timbal (Pb) mg/liter 0.05 - - - - Sulfida mg/liter <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 Ortho-Phosfat mg/liter 4,09 4,01 3,02 1,05 Seng (Zn) mg/liter 15 0,02 0,01 0,02 - Coliform MPN/ml 8 23 16000 5000 E. coli MPN/ml 8 23 1600 5000

Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2001 Keterangan: - : Tidak terdeteksi

Page 178: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

162

Lampiran 19: Kualitas Air Sumur di Sekitar TPA Bantar Gebang Tahun 2000

Nama/Kode Lokasi Pengambilan Sampel Air Sumur Parameter Satuan Standard

S. Batu (1)

Cikiwul (2)

Ciketing (3)

Ciketing (4)

Suhu ºC 25,1 26,0 25,8 25,0 Kekeruhan NTU 5 10,0 16,5 8,35 9,7 pH 6.9-8.5 6,60 6,20 6,13 6,40 TDS mg/liter 246 328 205 240

BOD5 mg/liter 5,86 4,64 3,82 3,46

COD mg/liter 9,61 7,84 8,26 7,38 Ammonia (N-NH3) mg/liter 1,5 0,02 - 0,05 0,04 Kesadahan mg/liter 500 170,20 69,70 80,10 80,30 Nitrat (N-NO3) mg/liter 5,0 6,34 10,21 8,45 9,20

Nitrit (N-NO2) mg/liter - - - - - Klorida mg/liter 600 8,50 40,00 10,00 9,60 DO mg/liter 3,05 3,08 3,01 3,4 Besi (Fe) mg/liter 1.0 - - 0,12 0,15 Timbal (Pb) mg/liter 0.05 - - - - Sulfida mg/liter <0,05 <0,05 <0,05 <0,05 Ortho-Phosfat mg/liter 3,05 4,07 2,08 1,06 Seng (Zn) mg/liter 15 0,02 0,01 0,01 0,02 Coliform MPN/100ml 8 23 16000 5000 E. coli MPN/100ml 8 23 1600 5000 Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2000 Keterangan: - : Tidak terdeteksi

Lampiran 20: Kualitas Air Sungai Ciketing pada titik Inlet dan Outlet

2000

2001 2002 Parameter Satuan

BM

Inlet Outlet Inlet Outlet Inlet OutletSuhu oC 22,5 20,7 24,5 22,6 28,02 30,92Kekeruhan NTU 68,00 188,00 23,00 68,00 49,45 118,26pH 6.5–9 7,20 7,50 7,00 7,60 6,23 7,366

Page 179: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

163

Warna PtCo 250,00 400,0 160 556 TDS mg/liter 255 2,650 88,30 742,00 962 653 BOD mg/liter 43,50 228,50 7,00 112,75 15,356 21,708COD mg/liter 06,37 2864,08 14,65 257,32 345,19 825,74Nitrat (N-NO3) mg/liter 10 0,26 7,39 - - 3,7797 4,310

Nitrit (N-NO2) mg/liter 1 0,02 - 0,03 0,04 0,0638 0,0567

Besi (Fe) mg/liter 1 1,72 1,68 1,57 1,49 0,1072 0,3577Mangan (Mn) mg/liter 0.5 8,49 5,58 0,85 0,62 0,038 0,166Kadmium (cd) mg/liter 0.01 - - - - 0,00027 0,0004Air raksa (Hg) mg/liter 0.001 - - - - 0,00002 Ttd Timbal (Pb) mg/liter - - - - 0,013 0,014Tembaga (Cu) mg/liter 1 - - - - - - Nikel (Ni) mg/liter - - - - - - Seng (Zn) mg/liter 15 - 0,07 0,01 0,02 0,08 0,06 Kromium Val.6 mg/liter 0.05 0,00004 0,00008Sulfida mg/liter 0.1 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 0,368 0,136Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta tahun 2000 s/d 2003 yang diolah. Keterangan: - : Tidak terdeteksi

Page 180: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

164

Lampiran: 2. Curah Hujan Bulanan di Bekasi (mm), tahun 1979-1988, Sta 841 Bekasi

No Tahun Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 141 1988 339 - - - - - - - - - -

2 1987 382 - - - - - - - - - -

3 1986 190 136 222 282 112 194 141 172 241 255 295 198

4 1985 - - - 241 - 109 184 - 182 198 47

Page 181: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

165

5 1984 - 271 205 - 206 - 43 26 - - -

6 1983 372 170 105 315 403 - - - - - -

7 1982 333 187 360 265 54 121 6 - - - -

8 1981 464 121 270 327 26 159 153 136 50 199 244 464

9 1980 454 162 318 72 109 36 88 170 87 250 394 304

10 1979 391 132 159 205 147 5 27 113 195 286 533 293

Rata-rata 3666 168 234 244 151 104 92 123 151 238 31 157,30

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Keterangan: - : Tidak terdeteksi.

Lampiran: 3. Jumlah Curah Hujan Bulanan di Bekasi (mm), tahun 1979-1988, Sta 841 Bekasi

No Tahun Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 1988 21 - - - - - - - - - -

2 1987 25 - - - - - - - - - -

3 1986 18 16 14 14 6 10 9,5 9 10 12 20

4 1985 - - - - - 5 11 0 11 12 6

5 1984 - 15 9 9 7 - 3 5 - - -

6 1983 14 7 7 7 7 - - - - - -

7 1982 15 6 13 13 3 3 1 - - - -

8 1981 13 6 13 13 3 5 10 7 4 7 7

9 1980 17 11 12 72 6 4 6 7 4 9 14

10 1979 18 19 13 12 4 2 2 7 13 8 19

Rata-rata 18 11 12 11 129 9 6 7 8 10 13

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Keterangan: - : Tidak terdeteksi.

Page 182: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

166

Lampiran 23: Daftar Pertanyaan Masalah TPA Bantar Gebang

I. KONDISI MASYARAKAT: A. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat:

1. Berapa usia Bapak/Ibu/Sdr saat ini: a 21 s/d 30 tahun b 31 s/d 40 tahun c 41 s/d 50 tahun d Kurang dari 21 tahun. e Lebih dari 50 tahun.

2. Matapencaharian utama Bapak/Ibu/Sdr sebelum ada TPA:

a Petani b Pedagang c Buruh d Karyawan e Lain-lain (sebutkan………………………………)

3. Setelah adanya TPA Bantar Gebang:

a Petani b Pedagang c Buruh d Karyawan e Lain-lain (sebutkan………………………………)

4. Berapa pendapatan/penghasilan Bapak/Ibu/Sdr/bulan sebelum ada TPA: a Lebih kecil dari Rp.150.000,- b Rp.150.000,- s/d Rp.200.000, - c Rp.250.000,- s/d Rp.350.000, - d Rp.400.000,- s/d Rp.500.000, - e Rp.550.000,- s/d Rp.700.000, - f Rp.750.000,- s/d Rp.900.000, - g Lebih dari Rp.900.000,-

5. Pendapatan/penghasilan Bapak/Ibu/Sdr/bulan setelah adanya TPA:

a Lebih kecil dari Rp.150.000,- b Rp.150.000,- s/d Rp.200.000,- c Rp.250.000,- s/d Rp.350.000,- d Rp.400.000,- s/d Rp.500.000,- e Rp.550.000,- s/d Rp.700.000,- f Rp.750.000,- s/d Rp.900.000,- g Lebih dari Rp.900.000,-

6. Berapa besar biaya yang Bapak/Ibu/Sdr keluarkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari:

a Rp.3.000,- s/d Rp.5.000,- b Rp.>5.000,- s/d Rp.7.000,- c Rp.>7.000,- s/d Rp.9.000,- d Rp.>9.000,- s/d Rp.10.000,- e Rp.>10.000,- s/d Rp.15.000,- f Rp.>15.000,- s/d Rp.20.000,- g Lebih dari Rp.20.000,-

Page 183: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

167

B. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat: 1. Tingkat pendidikan Bapak/Ibu/Sdr adalah:

a Buta huruf b Tidak tamat SD c Tamat SD d Tidak tamat SLTP e Tamat SLTP f Tidak tamat SLTA g Tamat SLTA h Tamat Akademi i Tamat Universitas

2. Apa tanggapan Bapak/Ibu/Sdr. Dengan kehadiran para pemulung dari luar daerah:

a Menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar b Ada konflik antara pemulung pendatang dengan masyarakat sekitar TPA.

3. Apakah ada konflik antara petugas TPA dengan masyarakat sekitar:

a Tidak ada konflik antara petugas TPA dengan masyarakat sekitar b Ada konflik antara petugas TPA dengan masyarakat sekitar.

4. Apakah ada kerjasama antara petugas TPA dengan masyarakat sekitar:

a Ada kerjasama contohnya apa ? ………… b Tidak ada kerjasama antara petugas TPA dengan masyarakat sekitar.

5. Apakah ada kerjasama antara pemulung, pendatang dengan masyarakat sekitar:

a Ada kerjasama contohnya:………………. b Tidak ada kerjasama

6. Berapakah jumlah tanggungan keluarga Bapak/Ibu/Sdr:

a. 1 (satu) orang (belum berkeluarga) b. 2 (dua) orang c. 3 (tiga) orang d. 4 (empat) orang e. 5 (lima) orang f. lebih dari 5 (lima) orang

7. Apakah fasilitas pendidikan/sekolah yang digunakan:

a Bersekolah di sekitar lokasi TPA. b Sekolah di kampung (daerah asal). c Lain-lain.

C. Persepsi masyarakat atas keberadaan TPA Bantar Gebang:

1. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu/Sdr mengenai keberadaan TPA: a. Setuju adanya TPA, dengan alasan: 1). Menambah lapangan kerja 2). Meningkatkan penghasilan 3). Menambah peluang usaha 4). Menambah fasilitas umum (misal: jalan, MCK, dll). b. Tidak setuju dengan keberadaan TPA, dengan alasan: 1). Menimbulkan kemacetan 2). Menimbulkan kesan kumuh, kotor dan bau. 3). Menambah jumlah penduduk pendatang. 4). Menambah kerawanan di sekitar lokasi.

Page 184: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

168

2. Bagaimana tanggapan/persepsi masyarakat mengenai pengelolaan sampah di TPA:

a Baik b Cukup c Buruk

3. Bagaimana persepsi masyarakat menganai keamanan dan ketertiban masyarakat di sekitar TPA:

a Aman b Rawan

4. Apa pengaruh keberadaan TPA terhadap pendapatan masyarakat:

a Meningkatkan pendapatan dan tarap hidup b Tidak merubah pendapatan.

5. Harapan Bapak/Ibu/Sdr dengan adanya TPA:

a. Agar TPA segera ditutup b. Agar pengelola TPA lebih baik c. Sumber air bersih maasyarakat sekitar TPA diperhatikan d. Agar dijaga suasana di sekitar TPA tetap aman e. Agar sampah-sampah liar ditertibkan.

II. KONDISI PEMULUNG:

A. Kondisi sosial ekonomi pemulung: 1. Berapa usia Bapak/Ibu/Sdr saat ini:

a Kurang dari 15 tahun b 15 s/d 20 tahun c 21 s/d 30 tahun d 31 s/d 40 tahun e 41 s/d 50 tahun f lebih dari 50 tahun

2. Apakah mata pencaharian Bapak/Ibu/Sdr sebelum jadi pemulung:

a Petani b Buruh c Pedagang d Lainnya (sebutkan:………………………….)

3. Berapa penghasilan Bapak/ibu/Sdr/bulan sebelum jadi pemulung:

a Kurang dari Rp.150.000,- b Rp.150.000,- s/d Rp.200.000,- c Rp.250.000,- s/d Rp.350.000,- d Rp.400.000,- s/d Rp.500.000,- e Rp.550.000,- s/d Rp.700.000,- f Lebih dari Rp.700.000,-

4. Sejak kapan Bapak/Ibu/Sdr bekerja sebagai pemulung: a Sebelum ada TPA b Sejak TPA beroperasi hingga sekarang c Kurang dari 1 tahun d 1 s/d 2 tahun e 3 s/d 4 tahun f 5 s/d 7 tahun g lebih dari 7 tahun

Page 185: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

169

5. Cara pengangkutan barang pulungan ketangan pembeli:

a Diangkut sendiri oleh pembeli b Menyewa truk sampah c Lainnya

6. Berapakah pendapatan/penghasilan Bapak/Ibu/Sdr dari hasil penjulan barang pulungan:

a Kurang dari Rp.150.000,- b Rp.150.000,- s/d Rp.200.000,- c Rp.250.000,- s/d Rp.350.000,- d Rp.400.000,- s/d Rp.500.000,- e Rp.550.000,- s/d Rp.700.000,- f Rp.750.000,- s/d Rp.900.000,- g Lebih besar dari Rp.900.000,-

7. Apakah pekerjaan sebagai pemulung merupakan pekerjaan utama:

a Ya b Tidak

8. Apakah ada perubahan penghasilan setelah menjadi pemulung:

a Penghasilan meningkat b Tidak ada perubahan c Lainnya.

9. Dimana lokasi pulungan sampah:

a Di dalam lokasi TPA b Di luar lokasi TPA:

1). Dilahan sendiri 2). Dilahan orang lain.

B. Kondisi Sosial Budaya Pemulung:

1. Daerah asal Bapak/Ibu/Sdr: ………………………………….. 2. Dimana tempat tinggal Bapak/Ibu/Sdr:

a. Tinggal menetap di luar lokasi TPA b. Tinggal menetap di dalam lokasi TPA

3. Tingkat pendidikan Bapak/Ibu/Sdr adalah:

a. Buta huruf b. Tidak tamat SD c. Tamat SD d. Tidak tamat SLTP e. Tamat SLTP f. Tidak tamat SLTA g. Tamat SLTA h. Tamat Akademi i. Tamat Universitas

4. Berapa lama untuk pulang ke daerah asal Bapak/Ibu/Sdr:

a Satu bulan sekali b Tiga bulan sekali c Empat bulan sekali d Satu tahun sekali e Tidak tentu

Page 186: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

170

5. Status tempat tinggal Bapak/Ibu yang tinggal menetap di luar TPA:

a Kontrak tanah, bangunan buat sendiri b Kontrak tanah berikut bangunan/rumah. c Membeli tanah berikut bangunan rumah. d Rumah dan tanah warisan.

6. Berapakah tanggungan keluarga Bapak/Ibu/Sdr:

a 1 (satu) orang b 2 (dua) orang c 3 (tiga) orang d 4 (empat) orang e 5 (lima) orang f lebih dari 5 orang

7. Dimanakah tempat sekolah anak Bapak/Ibu/Sdr:

a Sekolah di sekitar TPA b Sekolah di kampung/daerah c Lainnya.

8. Bagaimana system kerja Bapak/Ibu/Sdr sebagai pemulung di TPA:

a Bekerja secara sendiri-sendiri b Bekerja secara berkelompok berdasarkan suku (daerah asal) c Bekerja secara bersama-sama (tidak atas suku/kelompok)

9. Apakah Bapak/Ibu/Sdr sebagai pemulung ada yang mengkoordinir:

a Tidak ada yang mengkoordinir b Ada yang mengkoordinir (siapa: …………………………)

10. Apakah ada pembinaan yang dilakukan oleh organisasi pemulung/pihak lain:

a Tidak ada b Ada pembinaan (Siapa: …………………………..)

11. Apakah Bapak/Ibu setuju sebagai pemulung ada yang mengkoordinir:

a Setuju b Tidak setuju

12. Siapa sebaiknya yang mengkoordinir:

a Para pemulung itu sendiri b Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM c Pemerintah d Lembaga lainnya e Bos lapak

13. Apakah ada konflik sesama pemulung di lokasi TPA:

a Tidak ada konflik b Ada konflik

14. Apakah ada konflik antara pemulung dengan masyarakat sekitar TPA: a Tidak ada konflik b Ada konflik

15. Apakah ada konflik antara pemulung dengan petugas TPA:

a Tidak ada konflik b Ada konflik

Page 187: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

171

16. Apakah ada kerjasama antara pemulung di lokasi TPA:

a Tidak ada b Ada (misalnya:……………………………….)

C. Persepsi pemulung dengan keberadaan TPA:

1. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu/Sdr dengan keberadaan TPA:

a. Setuju dengan alasan: 1). Menambah lapangan kerja 2). Meningkatkan pendapatan/penghasilan 3). Menambah peluang usaha 4). Menambah fasilitas umum (mis: jalan, MCK, dll) b. Tidak setuju.

2. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu/Sdr tentang pengelolaan TPA:

a. Baik b. Cukup c. Buruk/jelek.

3. Bagaimana situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di sekitar TPA:

a. Aman b. Rawan

4. Pengaruh TPA dari pendapatan/penghasilan:

a. Meningkatkan tarap hidup b. Tidak berpengaruh apa-apa c. Tidak tahu

5. Harapan-harapan apa dengan adanya kegiatan TPA:

a. Kegiatan TPA terus berlanjut b. Para pemulung diperhatikan c. Fasilitas kesehatan diperhatikan seperti pengobatan gratis. d. Agar suasana di TPA tetap aman.

III. KONDISI PENGELOLA:

A. Kondisi sosial ekonomi pengelola: 1. Berapa usia Bapak/Ibu/Sdr saat ini:

a 20 s/d 30 tahun b 31 s/d 40 tahun c 41 s/d 50 tahun d lebih dari 50 tahun

2. Sejak kapan Bapak/Ibu/Sdr bekerja sebagai pengelola TPA:

a Kurang dari 1 tahun b 1 s/d 2 tahun c 3 s/d 4 tahun d 5 s/d 7 tahun e lebih dari 7 tahun

Page 188: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

172

3. Berapakah pendapatan/penghasilan Bapak/Ibu/Sdr/bulan: a Kurang dari Rp.150.000,- b Rp.150.000,- s/d Rp.200.000,- c Rp.250.000,- s/d Rp.350.000,- d Rp.400.000,- s/d Rp.500.000,- e Rp.550.000,- s/d Rp.700.000,- f Rp.750.000,- s/d Rp.900.000,- g Lebih besar dari Rp.900.000,-

4. Apakah pekerjaan sebagai pengeloa TPA merupakan pekerjaan utama:

a Ya b Tidak

5. Apakah ada perubahan penghasilan setelah menjadi pengelola TPA:

a Penghasilan meningkat b Tidak ada perubahan c Lainnya.

B. Kondisi Sosial Budaya Pengelola:

1. Daerah asal Bapak/Ibu/Sdr: ………………………………….. 2. Dimana tempat tinggal Bapak/Ibu/Sdr:

a. Tinggal menetap di luar lokasi TPA b. Tinggal menetap di dalam lokasi TPA

3. Tingkat pendidikan Bapak/Ibu/Sdr adalah: a. Buta huruf b. Tidak tamat SD c. Tamat SD d. Tidak tamat SLTP e. Tamat SLTP f. Tidak tamat SLTA g. Tamat SLTA h. Tamat Akademi i. Tamat Universitas

4. Status tempat tinggal Bapak/Ibu yang tinggal menetap di luar TPA:

a Kontrak tanah, bangunan buat sendiri b Kontrak tanah berikut bangunan/rumah. c Membeli tanah berikut bangunan rumah. d Rumah dan tanah warisan.

5. Berapakah tanggungan keluarga Bapak/Ibu/Sdr:

a 1 (satu) orang b 2 (dua) orang c 3 (tiga) orang d 4 (empat) orang e 5 (lima) orang f lebih dari 5 orang

6. Dimanakah tempat sekolah anak Bapak/Ibu/Sdr: a Sekolah di sekitar TPA b Sekolah di kampung/daerah c Lainnya.

Page 189: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

173

7. Bagaimana system kerja Bapak/Ibu/Sdr sebagai pengelola TPA: a Bekerja secara sendiri-sendiri b Bekerja secara berkelompok berdasarkan jadwal kerja c Bekerja secara bersama-sama

8. Apakah Bapak/Ibu/Sdr sebagai pengelola ada yang membina:

a Tidak ada yang membina b Ada yang membina (siapa: …………………………)

9. Apakah ada pembinaan yang dilakukan oleh organisasi pemerintah/pihak lain:

a Tidak ada b Ada pembinaan (Siapa: …………………………..)

10. Apakah Bapak/Ibu/Sdr setuju sebagai pengelola ada yang membina:

a Setuju b Tidak setuju

11. Siapa sebaiknya yang membina:

a Para pengelola itu sendiri b Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM c Pemerintah d Lembaga lainnya

12. Apakah ada konflik sesama pengelola di lokasi TPA:

a Tidak ada konflik b Ada konflik

13. Apakah ada konflik antara pengelola dengan masyarakat sekitar TPA:

a Tidak ada konflik b Ada konflik

14. Apakah ada konflik antara pengelola dengan pemulung: a Tidak ada konflik b Ada konflik

15. Apakah ada kerjasama antara pengelola di lokasi TPA: a Tidak ada b Ada (misalnya:……………………………….)

C. Persepsi pengelola dengan keberadaan TPA: 1. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu/Sdr dengan keberadaan TPA:

a. Setuju dengan alasan: 1). Menambah lapangan kerja 2). Meningkatkan pendapatan/penghasilan 3). Menambah peluang usaha 4). Menambah fasilitas umum (mis: jalan, MCK, dll) b. Tidak setuju.

2. Bagaimana tanggapan Bapak/Ibu/Sdr tentang pengelolaan TPA: a. Baik b. Cukup c. Buruk/jelek.

Page 190: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

174

3. Bagaimana situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di sekitar TPA: a. Aman b. Rawan

4. Pengaruh TPA dari pendapatan/penghasilan:

a. Meningkatkan tarap hidup b. Tidak berpengaruh apa-apa c. Tidak tahu

5. Harapan-harapan apa bagi pengelola dengan adanya kegiatan TPA:

a. Kegiatan TPA terus berlanjut b. Para pemulung diperhatikan c. Fasilitas kesehatan diperhatikan seperti pengobatan gratis. d. Agar suasana di TPA tetap aman.

Page 191: Analisis Pemanfatan Pasca Operasi TPA

175

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Analisis Kebijakan Pemberdayaan masyarakat di TPA berbasis masyarakat dengan pendekatan AHP diintegrasikan kedalam Prospektif. Tujuan Integrasi untuk meningkatkan basis informasi kuantitatif dari proses-proses perencanaan strategis. Integrasi AHP kedalam Prospektif menghasilkan prioritas-prioritas yang ditentukan secara analitik berdasarkan faktor- faktor yang mencakup dalam AHP dan membuat mereka sepadan. AHP memberikan kerangka dasar untuk pembentukan suatu analisis keputusan , sementara Prospektif membantu dalam membuat AHP lebih analitik dan melakukan analisis sehingga strategi-strategi alternatif keputusan dapat diprioritaskan. AHP adalah salah satu alat analisis dalam pengambilan keputusan untuk menentuklan kebijakan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang paling baik ketika aspek Kualitatif dan Kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan. Penentuan prioritas strategi dilakukan dengan dua tahap yakni pembuatan hirarki prioritas dan survei penentuan bobot. Sedangkan untuk menentukan bobot dari strategi digunakan metode survai. Wawancara dilakukan terhadap responden yang berkompeten dengan pemanfaatan TPA. Responden diharapkan memberikan nilai dalam angka terbatas untuk memberi tingkat urutan (skala) pentingnya strategis-strategis tersebut. Dalam AHP digunakan skala angka Saaty. mulai dari 1 yang menggambarkan antara satu atribut terhadap atribut lainnya sama penting dan untuk atribut yang sama selalu bernilai satu, sampai dengan 9 yang menggambarkan satu atribut ekstrim penting terhadap atribut lainnya.