tpa sampah elektronik dan tpa limbah kimia
TRANSCRIPT
TPA Sampah Elektronik dan TPA Limbah Kimia
Oleh :
Nurul Mahmuda (121810401008)
Lailatul Fitri Fauziah (121810401009)
Ahmad Mauludin Shohih (121810401024)
Muslimatin (121810401035)
1. Fakta
Setiap aktivitas manusia baik secara pribadi maupun kelompok, baik di
rumah, kantor, pasar dan dimana saja berada, pasti akan menghasilkan sisa yang
tidak berguna dan menjadi barang buangan. Sampah merupakan konsekuensi
adanya aktivitas manusia dan setiap manusia pasti menghasilkan buangan atau
yang dikenal dengan sebutan sampah (Hidayati, 2004:1).
Menurut Keputusan Dirjen Cipta Karya,nomor 07/KPTS/CK/1999: Juknis
Perencanaan, Pembangunan dan Pengelolaan Bidang Ke-PLP-an Perkotaan dan
Perdesaan, sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organik dan
zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak
membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan.
Sampah merupakan istilah umum untuk menyatakan limbah padat.
Limbah sendiri atau bahan buangan dapat terdiri atas limbah padat, limbah cair,
dan limbah gas. Dari ketiga bentuk limbah ini, limbah padat atau sampah lebih
sering dijumpai dimana-mana dan kini semakin menjadi topik yang hangat
(Said,1987).
Contoh limbah lain selain sampah yaitu limbah elektronik (electronic
waste/e-waste). Limbah elektronik merupakan barang elektronik yang dibuang
karena sudah tidak berfungsi atau sudah tidak dapat digunakan lagi. E-waste perlu
diwaspadai karena mengandung 1000 material. Sebagian besar dikategorikan
sebagai bahan beracun dan berbahaya, seperti logam berat (merkuri, timbal,
kromium, kadmium, arsenik, perak, kobalt, palladium, tembaga dan lainnya).
Peningkatan konsumsi alat elektronik akan mengakibatkan terjadinya lonjakan e-
waste di masa yang akan datang. Di Afrika Selatan dan China, diprediksi akan
terjadi lonjakan e-waste hingga 200 – 400 persen pada tahun 2020. Tak terkecuali
Indonesia, jika tanpa kendali dipastikan terdapat lonjakan e-waste. Meningkatnya
jumlah limbah elektronik di Indonesia dikarenakan beberapa faktor, antara lain:
(1) Minimnya informasi mengenai limbah e-waste kepada publik;
(2) Belum adanya kesadaran publik dalam mengelola e-waste untuk penggunaan
skala rumah tangga (home appliances);
(3) Pemahaman yang berbeda antar institusi termasuk Pemerintah Daerah tentang
e-waste dan tata cara pengelolaannya;
(4) Belum tersedianya data yang akurat jumlah penggunaan barang-barang
elektronik di Indonesia; serta
(5) Belum tersedianya ketentuan teknis lainnya, semisal umur barang yang dapat
diolah kembali.
Permasalahan sampah banyak memberikan pengaruh terhadap kehidupan
manusia dan lingkungan, terutama pada kesehatan, lingkungan, dan social
ekonomi (Suprihatin dkk.,1996).
TPA merupakan bentuk tertua perlakuan sampah yang hingga kini masih
diberlakukan terutama di negara-negara berkembang yang sistem daur ulangnya
masih belum optimal. Faktanya, TPA-TPA yang ada di Indonesia tidak
terorganisir dengan baik. Rata-rata TPA di Indonesia belum menerapkan sistem
pemilahan sampah. Antara sampah organik, anorganik, elektronik maupun limbah
kimia masih tercampur dalam satu TPA.
Proses penanganan sampah dimulai dari proses pengumpulan sampai
dengan tempat pembuangan akhir (TPA) secara umum memerlukan waktu yang
berbeda sehingga diperlukan ruang untuk menampung sampah pada masing-
masing proses tersebut. Guna memenuhi kebutuhan ruang tersebut maka
disediakan tempat sampah dimulai dari sumber pertama terbentuknya sampah
kemudian dikumpulkan di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) dan pada
akhirnya akan diangkut ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap terakhir
dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan, pemindahan,
(pengangkutan), pengolahan, dan pembuangan. TPA merupakan tempat dimana
sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap
lingkungan sekitarnya. Karenanya diperlukan penyediaan fasilitas dan perlakuan
yang benar agar keamanan tersebut dapat dicapai dengan baik. Faktanya, dalam
menetapkan lokasi TPA seringkali dijumpai masalah-masalah besar yang perlu
ditangani dengan seksama, seperti ketersediaan lahan, konflik kepentingan dan
penurunan mutu lingkungan (Basyarat,2006).
Berbagai kasus lokasi TPA sampah yang terindikasi bermasalah dalam
ketersediaan lahan, konflik kepentingan dan penurunan mutu lingkungan, antara
lain TPA Sampah kota Bandung di Leuwigajah, TPA DKI Jakarta di
Bantargebang, dan TPST DKI Jakarta di desa Bojong Kabupaten Bogor.
Permasalahan-permasalahan tersebut terjadi akibat penetapan lokasi TPA dan
TPST sampah pada awal perencanaannya tidak disesuaikan dengan criteria
pemilihan lokasinya dan dalam pelaksanaan pengelolaannya tidak sesuai standar
teknologi pengolahan yang berlaku. Longsornya TPA Leuwigajah disebabkan
karena sarana TPA tersebut belum dioperasikan sebagaimana layaknya.
Pengamatan dan penelitian yang dilakukan khususnya pada tahun 2003/2004,
menyimpulkan bahwa TPA Leuwigajah sudah berada pada kondisi yang sangat
tidak higienis dan rentan terhadap permasalahan lingkungan, terutama akibat
penimbunan secara open dumping yang antara lain dapat menyebabkan longsor
(Basyarat,2006).
Disamping itu, cara-cara yang selama ini digunakan, telah mengakibatkan
permasalahan lingkungan. Lindi (leachate) yang tidak dikendalikan telah
mencemari badan air di hilirnya. Kepulan asap, bau dan lalat merupakan kejadian
yang telah lama terpapar pada lingkungan di sekitar TPA. Penelitian kondisi
geoteknik dan hidrologi yang dilakukan pada tahun 1987 menyimpulkan bahwa
lokasi TPA Leuwigajah terletak di daerah perbukitan dengan kemiringan agak
terjal (lebih dari 30%), merupakan tanah residu dari batuan vulkanik dan terdiri
dari lanau elastis pasiran yang terletak di atas batuan andesit berkekar. Pada
musim kemarau curah hujan sedikit, lokasi ini akan merupakan daerah resapan,
namun pada musim hujan akan berubah menjadi daerah pengeluaran air yang
bersifat temporer, yang muncul dalam bentuk mata air musiman di dasar lembah
yang dapat berpindah dari elevasi satu ke elevasi lainnya. Selain dibutuhkan
sistem pelapis dasar TPA yang cukup kedap, maka drainase di bawah dasar
sangatlah dibutuhkan untuk mengalirkan air yang datang dari bawah agar tidak
masuk ke dalam timbunan sampah. Akibat terjadinya uplift akibat akumulasi air
yang terbentuk di timbunan sampah pada musim hujan maka sampah bergerak
dalam bentuk longsor (Basyarat,2006).
Konflik sampah perkotaan terjadi di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu
Bojong, Klapanunggal, Kabupaten Bogor (Kompas 25 November 2004). Konflik
persampahan di TPST Bojong, merupakan kasus kedua yang terjadi di lokasi
pengolahan akhir sampah DKI Jakarta. Kasus pertama terjadi di tempat
pembuangan akhir (TPA) sampah Bantargebang, Kota Bekasi, 10 Desember 2001
dan awal Januari 2004 yang berdampak terhadap penutupan TPA Bantargebang
(Basyarat,2006).
Catatan Reportase Konflik Persampahan Pemerintah DKI Jakarta dengan
Pemerintah Kota Bekasi dalam Menangani TPA Sampah Bantargebang
(Komunitas Jurnalis Bekasi, 2003), terlihat betapa berbagai sistem dan teknologi
pengolah sampah cukup ideal. Setidaknya terdapat tiga sistem, yakni dikubur
(balapres), dibakar (incenerated), dan sanitary landfill (menggunakan pelapis
geotekstil). Menurut konsepnya, semua sistem dan teknologi tersebut cukup aman
dari sudut lingkungan hidup. Karya teknologi modern tersebut mulai menjadi
bermasalah, begitu dikelola dengan manajemen yang kurang optimal dan tidak
profesional. Masalah utama yang dikeluhkan sebagian besar warga, justru bukan
di lokasi pembuangan atau pemusnahan sampah, melainkan ketika diangkut
menggunakan truk dari Jakarta ke TPA dan TPST. Pencemaran lingkungan terjadi
pada proses pengangkutan sampah ke TPA yang dilakukan tidak sesuai dengan
kriteria teknis yang berlaku. Sampah organik yang diangkut masih basah dan
mengandung banyak air lindi (leachate) dan tercecer sepanjang perjalanan
(Basyarat,2006).
Pencemaran ini menimbulkan aroma tak sedap yang dihirup warga dan
pengguna jalan. Kehadiran TPA dan TPST dapat menyebabkan kehadiran
pemulung. Kehadiran pemulung di TPST Bojong belum dirasakan warga sekitar,
namun dengan membandingkan pengalaman di TPA Bantargebang, maka
masyarakat menjadi khawatir dengan kehadiran pemulung nantinya. Pada
mulanya para pemulung mengais rezeki di dalam TPA, namun dalam
perkembangannya mereka menjadi tidak peduli terhadap dampak lingkungan.
Sampah yang belum dibuang ke TPA di turunkan pada saat proses pengangkutan.
Sampah-sampah yang bernilai ekonomis dimanfaatkan oleh pemulung, sedangkan
sisanya dbiarkan berceceran atau dibuang di tempat yang tidak layak, seperti
sawah, sungai dan kolam ikan, sehingga terjadi pencemaran terhadap lingkungan
sekitarnya (Basyarat,2006).
Fakta mengenai permasalahan sampah ini juga dibuktikan melalui sajian
data kuantitatif oleh beberapa peneliti maupun badan yang menangani
permasalahan sampah. Seperti yang dipaparkan oleh Badan Nasional Kelautan
dan Atmosfer AS (NOAA) dari Amerika Serikat pada bahwa setiap tahun, 10%
dari 200 milyar pon plastik diproduksi secara global dan berakhir di laut tengah
samudera pasifik utara (North Pacific Gyre) yang terletak kira-kira antara 135 °
sampai 155 ° W dan 35 ° ke 42 ° N . Dan sekarang, sekitar 46.000 potong sampah
plastik yang mengambang di setiap mil dari laut. Sekitar 1.700 mil massa sampah
plastik berada di tengah Pasifik Utara dan searah jarum jam bergerak perlahan
dari arus laut berbentuk spiral. Fakta tersebut menyebabkan 100.000 mamalia laut
setiap tahun seperti kura-kura laut, anjing laut dan burung menjadi korban
kematian terkait sampah plastik karena mereka mengkonsumsi atau terjebak
dalam limbah tersebut.
Tragedi kebocoran gas yang menimpa pabrik kimia milik Union Carbide,
3 Desember 1984, meninggalkan luka mendalam bagi warga Kota Bhopal, India.
Hingga kini, korban Tragedi Bhopal masih berjuang demi kelangsungan hidup
mereka. Akibat menghirup gas berbahaya itu, mereka kini menderita berbagai
macam penyakit. Bahkan, mereka tak memiliki uang lagi untuk berobat karena tak
sanggup bekerja akibat kondisi fisik lemah.
Bencana ini dipicu kebocoran 25 ton gas metil isocyanate dari tanki
penyimpanan milik Union Carbide. Gas berbahaya itu kemudian menyebar dan
dihirup ribuan warga miskin Bhopal. Akibatnya, sekitar 15 ribu orang tewas dan
setengah juta lainnya menderita aneka macam penyakit. Warga Bhopal yakin,
Union Carbide tidak membersihkan area penyimpanan gas pascapenutupan pabrik
kimia itu. Sehingga diduga, gas yang masih tertinggal meracuni pasokan air
minum milik warga.
Kondisi ini membuat sejumlah aktivis mendesak pemerintah India untuk
menyediakan pasokan air bersih bagi warga Bhopal. Tak hanya itu, pemerintah
diminta membersihkan lokasi kebocoran gas dan menuntut Union Carbide atau
Dow Chemicals--yang mengambil alih pabrik kimia Union Carbide--memberikan
lebih banyak kompensasi.
Pihak Amnesti Internasional juga telah menuntut Amerika Serikat agar
membawa Union Carbide dan Dow Chemicals ke meja hijau. Amnesti
Internasional turut mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa agar membuat
peraturan perlindungan hak asasi manusia yang nantinya harus diterapkan di
pabrik-pabrik (Ozi, 2004).
Data produsen elektronik mengungkapkan bahwa angka daur ulang
mereka sangat rendah. Para produsen perangkat keras computer (PC) hanya
melakukan 8,8 - 12,4 % daur ulang. Sedangkan tingkat daur ulang produsen
ponsel lebih rendah lagi, yakni hanya sekitar 2 – 3%.
Berdasarkan data UNEP (United Nations Environment Programme),
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Program Lingkungan, sampah
elektronik meningkat sebanyak 40 juta ton per tahun. Diantaranya adalah sampah
komputer bekas yang melonjak dari tahun 2007 hingga sekarang. UNEP
(Program Lingkungan Hidup PBB) memaparkan secara global sampah ponsel dan
komputer personal sebagai penyumbang terbesar diikuti limbah emas dan perak
3%, palladium 13% dan kobalt 15%, setiap tahunnya. Lonjakan e-waste yang
paling sensasional terjadi pada produk telepon seluler (ponsel). Saat ini hampir
setiap orang memiliki sebuah ponsel atau bahkan lebih, ini tentu akan
mempengaruhi jumlah e-waste yang dihasilkan. E-waste tertinggi berikutnya
adalah televisi yang kemudian diikuti oleh kulkas. Artinya bahwa meningkatnya
jumlah e-waste terkait erat dengan peningkatan penggunaan alat elektronik yang
saat ini sudah menjadi gaya hidup masyarakat dunia (UNEP, 2014).
UNEP juga mencatat bahwa Amerika Serikat adalah produsen limbah
elektronik terbanyak mencapai 3 juta ton. Sedangkan posisi kedua diduduki Cina
dengan jumlah 2,3 juta ton. Studi yang dipublikasikan Jurnal Lingkungan, Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi menyebutkan setiap tahunnya negara berkembang
membuang 200 - 300 juta sampah perangkat komputer . Angka ini diperkirakan
akan meningkat hingga mencapai angka 400 - 700 juta sampah komputer pada
tahun 2030 (UNEP, 2014).
Secara rerata, volume e-waste terus mengalami peningkatan 3 – 5 % per
tahun. Jumlah ini tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan limbah jenis lain. Saat
ini saja, 5% limbah padat yang dihasilkan dunia adalah e-waste. Jumlah ini hanya
bisa disaingi oleh jumlah limbah kantung plastik. E-waste bersifat toksik karena
kandungan timbal, berilium, merkuri, kadmium, BFRs (Brominated Flame
Retardants) yang merupakan ancaman bagi kesehatan dan lingkungan (UNEP,
2014).
Sedangkan fakta lain yang terjadi di Indonesia seperti yang disampaikan
Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Kementerian
Pekerjaan Umum, Djoko Mursito menyayangkan fungsi Tempat Pembuangan
Sampah Akhir (TPA) belum maksimal digunakan. Pasalnya dari 438 TPA, baru
10 % yang beroperasi maksimal. Kementerian Pekerjaan Umum menargetkan
dapat membangun 70 TPA lagi di tahun 2014 yang disebar di semua daerah.
Namun dengan target tersebut, Djoko mengungkapkan akan bertemu banyak
hambatan karena anggaran yang kurang. Dari data Kementerian Pekerjaan Umum,
perkiraan jumlah timbunan sampah perkotaan di Indonesia kini mencapai 38,5
juta ton per tahun (Tribunnews,2014).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah sampah yang
dihasilkan Indonesia sebesar 51,4 juta ton per tahun. Sampah tersebut merupakan
sampah di luar limbah industri yang terdiri dari sampah organik sebesar 65%,
kertas sebesar 13%, plastik sebesar 11%, kayu sebesar 3%, dan sampah lainnya
sebesar 1%. Jika dibandingkan antara jumlah sampah elektronik dengan total
keseluruhan sampah memang sampah elektronik terbilang kecil, namun
pertumbuhan sampah elektronik setiap tahunnya lebih cepat dibandingkan dengan
sampah lainnya yaitu tiga kali lebih cepat dibandingkan sampah domestik. Hal
inilah yang menjadi permasalahan di masa depan dalam menghadapi pertumbuhan
sampah elektronik. Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan
pertumbuhan sampah elektronik yang tinggi:
1. Informasi tentang sampah elektronik ke masyarakat masih sedikit.
2. Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan pengolahan kembali sampah
elektronik.
3. Tidak adanya keseragaman pemahaman dan tata cara pengelolaan sampah
elektronik.
4. Tidak adanya pusat informasi yang menyediakan data akurat tentang
jumlah penggunaan barang-barang elektronik yang dapat menjadi dasar
pengontrolan sampah elektronik.
5. Tingginya jumlah impor ilegal sampah elektronik, karena tidak adanya
kejelasan aturan tentang impor sampah elektronik ke Indonesia
(Row,2010).
Berdasarkan data BPS tahuin 2012, produksi elektronik dalam negeri
untuk 2 (dua) jenis saja yaitu televisi dan komputer, jumlahnya cukup
mencengangkan. Indonesia mampu memproduksi televisi sebanyak 12.500.000
kg/tahun. Jumlah televisi impor; 6.687.082 kg/tahun. Dari jumlah tersebut, televisi
berpotensi menghasilkan e-waste sebanyak 12.491.899.469 kg/tahun. Sementara
untuk komputer, Indonesia mampu memproduksi 12.491.899.469 kg/tahun,
dengan jumlah impor 35.344.733 kg/tahun. Dan potensi e-waste yang dihasilkan
mencapai 36.020.493.768 kg/tahun. Padahal komposisi dalam sebuah komputer
banyak mengandung silica/glass, palstik, ferrous metal dan lain-lain (Jehan,2012).
Sebagai salah satu contoh kasus yaitu di Ghana, India. Ghana menjadi
tempat pembuangan sampah elektronik terbesar di dunia yang sebagian besar
sampahnya dikirimkan dari negara-negara maju yang tidak bertanggung jawab
seperti Amerika, Jepang, Inggris dan banyak lainnya.
Menurut estimasi Badan Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP), setiap
tahun dihasilkan 20-50 juta ton limbah elektronik dari seluruh penjuru dunia.
Tingkat kemampuan daur ulangnya tak lebih dari 10 %. Sementara, peningkatan
volume limbah elektronik per tahunnya diperkirakan mencapai 3-5 persen, atau
tiga kali lebih cepat daripada limbah umum (UNEP,2014).
2. Permasalahan
Dengan adanya fakta-fakta diatas, maka kajian lebih lanjut dilakukan pada
tahap permasalahan. Adanya fakta yang mengungkapkan bahwa sampah elekronik
dan limbah kimia menjadi momok bagi masyarakat, maka muncul beberapa
permasalahan yang terjadi.
Salah satu permasalahan yang terjadi yaitu seiring dengan pesatnya
kemajuan industri teknologi informasi dan komunikasi selain berdampak positif
juga berdampak negatif dengan lahirnya sampah atau limbah jenis baru yang
dikenal dengan sampah elektronik atau electronic waste (e-waste). Sampah
elektronik muncul akibat perkembangan teknologi yang tidak dapat dikontrol.
Sampah elektronik di negara berkembang mengalami peningkatan yang
dipicu oleh penjualan produk elektronik yang sangat murah. Dalam setahunnya
tingkat kemampuan daur ulang sampah elektronik tergolong lambat di bandingkan
dengan tingkat penambahan sampah elektronik itu sendiri. Semakin lama sampah
elektronik semakin menumpuk, sehingga ruang pembuangan sampah elektronik
akan semakin besar dan akan banyak menimbulkan bahaya bagi kehidupan. (Row,
2010)
Hampir semua aktivitas masyarakat butuh barang elektronik. Hal ini
memicu peningkatan volume sampah elektronik yang berdampak buruk terhadap
lingkungan hidup. Dimana orang-orang selalu membeli produk-produk terbaru
dari elektronika yang kian lama fungsi dan komposisinya semakin canggih, tetapi
fasilitas untuk penanganan sampahnya kurang optimal.
Pengamatan terhadap perkembangan permasalahan beberapa lokasi TPA
sampah, terdapat masalah utama yang dihadapi adalah keterbatasan lahan dan
kondisi lingkungan yang tidak memenuhi kriteria serta tidak adanya partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan TPA sampah. Akibat dari persoalan utama
pengelolaan tersebut muncul masalah pencemaran lingkungan berupa bau, asap,
rembesan lindi dan kegiatan pemulung yang tidak terkendali. Sehingga dengan
pencemaran lingkungan yang dihadapi, persepsi masyarakat di sekitar lokasi TPA
terhadap TPA yang bersangkutan menjadi buruk dan konflik antara masyarakat
dengan pengelola TPA tidak terelakan.
Permasalahan yang lain yaitu kurangnnya kepekaan masyarakat terhadap
bahaya yang terkandung dalam limbah-limbah tersebut. Beberapa kandungan
limbah dengan paparan resikonya, antara lain; (Noor, 2012)
1. PCBs: banyak digunakan pada bahan plastik, perekat, trafo, kapasitor,
sistem hidrolis, ballast lampu, dan peralatan elektronik lainnya. Resiko di
lingkungan, mudah terakumulasi dalam jaringan lemak manusia dan hewan.
Mengganggu sistem pencernaan dan bersifat karsinogenik.
2. Arsenik: digunakan dalam industri elektronik, di antaranya pembuatan
transistor, semikonduktor, gelas, tekstil, keramik, lem hingga bahan peledak.
Dapat menimbulkan gangguan metabolisme di dalam tubuh manusia dan hewan,
mengakibatkan keracunan bahkan kematian.
3. Kadmium: digunakan untuk pelapisan logam, terutama baja, besi dan
tembaga. Juga dalam pembuatan baterai dan plastik. Jika terisap bersifat iritatif.
Dalam jangka waktu lama menimbulkan efek keracunan, gangguan pada sistem
organ dalam tubuh manusia dan hewan.
Negara-negara berkembang yang memiliki perekonomian rendah sangat
berpeluang bagi negara maju untuk membuang sampah elektronik mereka dengan
alih-alih penjualan barang dengan harga yang sangat murah. Sehingga barang-
barang elektronik dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat di negara
berkembang dan bahkan, bagi sebagian orang, barang tersebut merupakan
kebutuhan vital yang harus terpenuhi seperti layaknya sembako. Kebutuhan akan
layanan informasi dan pengolahan data telah menempatkan barang-barang
elektronik menjadi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, seperti layaknya barang-
barang lainnya, setelah masa tertentu, produk-produk elektronik itu tentu saja
menjadi benda yang tidak dipakai lagi karena sudah ada penggantinya dalam versi
terbaru atau karena rusak. Jika sudah demikian, barang-barang tersebut menjadi
rongsokan elektronik atau sampah yang biasanya menempati sudut-sudut ruang
kerja dan gudang di rumah atau kantor. Pembuangan sampah elektronik
mengalami kesulitan karena tidak semua tukang servis atau pemulung mau
menerima rongsokan yang sudah kadaluwarsa dan tidak ada lagi pasarnya.
Berdasarkan ketentuan dalam tentang Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan
pelaksanaan pengelolaan sampah elektronik di Indonesia pada dasarnya dapat
diberlakukan berdasarkan prinsip EPR. Meskipun belum ada peraturan
pelaksanaannya, pengelohaan sampah ehektronik berdasarkan prinsip EPR
seharusnya dapat diberlakukan. Pada kenyataannya banyak terjadi kasus sampah
elektronik yang melanggar ketentuan dalam Pasal 60 dan 69 Undang-Undang No.
32 lahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
peraturan pelaksanaannnya
Di negara-negara maju proses daur ulang sampah elektronik sudah
dilakukan dengan memisahkan bahan-bahan yang berbahaya dengan bahan-bahan
yang bisa didaur ulang seperti logam, gelas dan plastik.Namun kondisi
memperihatinkan masih terus berlangsung di negara berkembang, termasuk di
Indonesia. Fasilitas pengolahan sampah termasuk sampah elektronik masih jarang
ditemui. Masyarakat masih banyak membuang sampah elektronik di tempat
pembuangan sampah akhir (TPA).
Pemerintah sebagai suatu lembaga yang mengawasi dan dapat menseleksi
barang–barang yang masuk di Indonesia belum bertindak tegas untuk menanggapi
permasalahan ini.
Jika sampah organik hanya perlu dibuang dan ditimbun karena mudah lapuk
dan bisa diuraikan senyawanya oleh bakteri maka lain halnya dengan sampah non-
organik sampah tersebut ditangani mulai dari tempat penampungan sementara
hingga ke tempat pembuangan sampah non-organik berupa plastik, besi, kaca, dan
beberapa material didaur ulang oleh industri kecil. Sementara itu sampah
elektronik berupa trafo, bohlam, radio, TV, telepon, komponen pendukung
lainnya, belum ada yang menangani secara sistematis dari waktu ke waktu.
Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun bifenil yang bersifat
karsinogenik itu terus menumpuk, hingga berpotensi menggunung dan
membahayakan bagi kesehatan manusia.
Selain limbah elektronik yang mempengaruhi kehidupan manusia, terdapat
limbah lain yang juga mempengaruhi kehidupan manusia yaitu limbah kimia.
Salah satu penyebab limbah kimia sendiri berasal dari limbah industri rumah
tangga.
3. Dampak yang terjadi terhadap lingkungan dan makhluk hidup
1. Dampak langsung/tidak langsung, meliputi :
Pencemaran tanah, air, udara
Permasalahan sampah dan limbah di TPA yang paling nyata adalah
pencemaran, baik tanah, air maupun udara. Sampah yang tertampung
di TPA akan mengalami pencemaran. Pencemaran air dan tanah bisa
berasal dari sampah dan limbah yang mengandung banyak polutan
maupun zat-zat karsinogen yang mempengaruhi kesuburan dan
kandungan hara di dalam tanah. Pencemaran udara bisa berasal dari
asap pembakaran dengan gas-gas yang berbahaya (Mukono, 2006).
Cemoohan warga dan konflik di masyarakat
Permasalahan di TPA seperti halnya keterbatasan lahan dan
penyebaran penyakit serta bau sampah, akan menimbulkan konflik.
Masyarakat sekitar TPA merasa dirugikan akan dampak-dampak dari
permasalahan di TPA.
Perkembangbiakan vektor penyakit dan penularan infeksi
Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan
sampah yang tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi
beberapa organisme dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalat,
tikus dan kecoa yang dapat menjangkitkan penyakit. Begitupun
dengan mikroba yang menularkan infeksi penyakit (Dinas Kebersihan,
2009).
Menyebabkan penyakit (diare, kolera, tifus, demam berdarah, jamur,
kulit, sesak nafas, mata, cacingan)
Sampah mengandung mikroba dan virus yang akan bercampur dengan
air serta pengelolaan sampah tidak tepat akan menyebabkan
penyebaran penyakit (Dinas Kebersihan, 2009)
Keracunan yang akut
Keracunan akibat masuknya dosis tertentu kedalam tubuh misalnya
keracunan H2S, Co (akibat pembakaran) dapat menimbulkan lemas
dan kematian. Keracunan Fenal dapat menimbulkan sakit perut dan
sebagainya.
Menurunnya estetika
Nilai estetika akan berkurang ketika pemandangan kota tercemari oleh
tumpukan sampah yang kumuh (Chandra, 2007).
Berbau kurang sedap
Proses pembusukan sampah oleh mikroorganisme akan menghasilkan
gas-gas tertentu yang menimbulkan bau busuk. Sampah dengan bau
yang kurang sedap bisa dijumpai di setiap tempat sampah. Namun di
TPA inilah terkumpul ton-ton sampah yang tentunya berbau busuk,
apalagi ketika jadwal pengangkutan sampah mengalami keterlambatan
(Dinas Kebersihan, 2009).
Menurunnya turis domestik maupun mancanegara
Keindahan dan kebersihan kota yang menurun, akan berdampak pada
jumlah turis domestik maupun mancanegara untuk datang berkunjung
ke kota dengan keadaan TPA buruk tersebut. Keadaan lingkungan
yang kurang baik dan jorok, akan menurunkan minat turis untuk
datang berkunjung ke daerah tersebut (Mukono, 2006).
Kecelakaan
Sistem pemilahan sampah yang kurang benar, dapat menimbulkan
kecelakaan. Misalnya sampah kaca atau benda-benda tajam yang tidak
dipilah dapat membahayakan para petugas di TPA begitupun
masyarakat sekitar.
Bahaya banjir
Lokasi TPA yang tercemar, dengan tanah yang cenderung kering dan
tandus tidak memungkinkan pepohonan untuk tumbuh. Sementara air
hujan yang turun di sekitar lokasi TPA tidak mampu di serap oleh
tanaman dan sampah-sampah di bak penampungan TPA menghalangi
peresapan air ke tanah. Maka bahaya banjir bisa hadir sewaktu-waktu
(Chandra, 2007).
Longsor
Tumpukan sampah di TPA akan mengakumulasi panas dan
menimbulkan ledakan hebat sehingga TPA sampah longsor dan
menimbun rumah-rumah warga sekitar. Selain itu penguraian sampah
yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas-
gas organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam
konsentrasi tinggi dapat meledak. Ledakan ini juga dapat
menyebabkan longsor (Chandra, 2007).
2. Dampak jangka panjang, meliputi :
Menimbulkan korban jiwa
Penyakit akut yang ditimbulkan karena kesehatan yang tidak terjamin
dapat berakibat kematian.
Lenyapnya spesies
Cairan rembesan sampah akan masuk ke sistem drainase dan sungai
kemudian mencemari air. Pencemaran air akan menyebabkan ikan dan
biota air lainnya mati (Chandra, 2007).
Mengganggu keseimbangan lingkungan dan perubahan ekosistem
Ketidakseimbangan lingkungan menyebabkan perubahan ekosistem.
Lenyapnya spesies akibat habitatnya tercemari akan berdampak pada
pada seluruh komponen dari ekosistem lingkungan (Chandra, 2007).
Gangguan psikomatis, misalnya insomnia, stress
Senyawa –senyawa berat dari limbah B3 akan mengganggu sistem
metabolik di tubuh. Efeknya berupa insomnia dan stress (Mukono,
1995).
Penurunan pemasukan daerah (devisa)
Konflik yang berkepanjangan dan penyebaran penyakit serta sektor
pariwisata yang menurun akan berakibat pada turunnya pemasukan
daerah. Konflik masyarakat seringkali menyita waktu dan masyarakat
yang terserang penyakit akan meninggalkan pekerjaan mereka.
Produktivitas menurun dan biaya pengobatan akan semakin mahal.
Gangguan pada syaraf, cacat pada bayi, kerusakan sel-sel hati atau
ginjal
Penyebaran bahan kimia dan mikroorganisme yang terbawa air hujan
dan meresapnya bahan-bahan berbahaya sehingga mencemari sumur
dan sumber air. Bahan-bahan pencemar yang masuk kedalam air tanah
dapat muncul ke permukaan tanah melalui air sumur penduduk dan
mata air. Jika bahan pencemar itu berupa B3 (bahan berbahaya dan
beracun) mislnya air raksa (merkuri), chrom, timbale, cadmium, maka
akan berbahaya bagi manusia dan menyebabkan gangguan pada
syaraf, cacat pada bayi, kerusakan sel-sel hati atau ginjal (Mukono,
2006).
Menghambat proses oksidasi biologi dari sistem lingkungan
Buangan dapat menghambat proses oksidasi biologi dari sistem
lingkungan, bila bahan pencemar dialirkan keseungai, kolam atau
sawah dan sebagainya (Dinas Kebersihan, 2009).
Keracunan kronis
Masuknya zat-zat toksis kedalam tubuh dalam dosis yang kecil tetapi
terus menerus dan berakumulasi dalam tubuh, sehingga efeknya baru
terasa dalam jangka panjang misalnya keracunan timbal, arsen, raksa,
asbes dan sebagainya (Mukono, 2006).
Berdampak jangka panjang (antar generasi)
Dampak yang dialami oleh masyarakat tidak hanya berakibat pada
generasinya saja, melainkan juga berakibat oada generasi atau
keturunannya.
Penurunan mutu dan sumber daya alam
Dengan pencemaran parah yang terjadi baik pada tanah, air dan udara
akan berakibat secara meluas terhadap penurunan mutu dan SDA.
SDA akan turun kualitasnya karena nutrisi yang dibutuhkan oleh SDA
untuk tumbuh sudah tercemar (Chandra, 2007).
4. Solusi yang digunakan
Sampah agar tidak menimbulkan masalah perlu ada penanganan khusus
dengan sistem pembuangan yang tepat yang kelanjutannya dilakukan pengolahan.
secara umum solusi dari pengolahan sampah adalah dengan cara penimpunan
sampah dengan tanah (Sanitary Landfill), yang mana harus memenuhi beberapa
syarat seperti sampah yang boleh dilakukan cara ini adalah sampah organik, harus
tersedianya daerah yang cukup luas, ada tanah yang dapat dipakai sebagai
penimbun, tersedia alat – alat untuk menimbuni dan meratakan tanah urukan,
Selanjutnya secara umum pembuangan sampah digunakan untuk pupuk kompos,
sampah di hancurkan dengan menggunakan tungku bersuhu tinggi (Incenerator)
yang memiliki banyak keuntungan daripada kerugiannya (Sudarmadji, 2004).
Solusi secara umum untuk pengolahan sampah pada Tempat Pembuangan
Akhir tergantung jenis sampahnya, sampah elektronik secara umum diatasi
dengan di daur ulang yang bahannya akan digunakan lagi untuk bahan yang dapat
bermanfaat kembali, atau dihancurkan dengan alat seperti Insenerator. Sedangkan
pengolahan limbah kimia secara umum diolah dengan menggunakan metode dan
alat khusus untuk menetralkan kandungan limbah kimia dalam air, limbah kimia
disini ditekankan pada pengolahan limbah kimia cair (Subchan, 2010).
Pengolahan sampah secara umum berprinsip menjadikan sampah yang
tidak berguna, yang berbahaya, yang dapat menyebabkan pencemaran menjadi
bahan yang lebih berguna, dapat dimanfaatkan kembali, tidak berbahaya, dan
tidak menyebabkan pencemaran yang layak untuk dibuang ke alam karena sudah
ternetralisir, apabila bahan hasil pengolahan sudah tidak dapat dimanfaatkan
kembali. Sampah elektronik cenderung lebih dapat didaur ulang daripada
dihancurkan dan dinetralkan, namun tetap pengolahan sampah elektronik harus
melalui teknik yang benar, karena apabila tidak tepat dapat menyebabkan polusi
yang mencemari lingkungan ( Azhar, 1995 ).
Limbah kimia cair secara umum agar tidak mencemari lingkungan adalah
dengan menggunakan alat khusus yang salah satunya terdapat di Tempat
Pembuangan Akhir seperti kolam inner (Widjajanti.2009).Dasarnya untuk
mengatasi sampah adalah diperlukan kesadaran seluruh masyarakat, karena
sampah ada karena manusia (Subchan, 2010).
Solusi dari Pemerintah
Pemerintah juga memiliki peran penting untuk mengatasi permasalan
sampah, peranan pemerintah adalah dengan memberikan solusi – solusi yang tepat
diantaranya, Membuat, menetapkan, tentang undang – undang pengolahan sampah
untuk mengurangi, mengindari pencemaran lingkungan. Seperti UU nomor 4
tahun 1982 pasal 8 yang menyebutkan bahwa “pemerintahmenggariskan
kebijakan dan mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan
lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan “.
Yang berarti setiap ada pembangunan maka juga harus diukur apakah lingkungan
masih mampu dan bagaimna harus mampu dalam mengatasi dampak dari setiap
pembangunan ( Maghfiro, 2013).
Pemerintah sebagai reguator (alat pengatur) dalam mengatasi pencemaran
limbah, pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Badan Lingkungan Hidup untuk
membuat program untuk mendukung penanganan pencemaran limbah yang
diantaranya (a).program pengendalian perusakan lingkungan, (b). Menerapkan
prinsip daur ulang (c). Koordinasi penilaian kota sehat atau adipura, (c).
Koordinasi penilaian kota sehat atau adipura, (d). Pemantauan kualitas
lingkungan, (e). Pengawasan pelaksanaan kebijakan bidang lingkungan hidup
(Maghfiro, 2013).
Pemerintah memiliki peranan penting karena apabila pemerintah turut
serta mengatur maka masyarakat akan mengikuti, pemerintah merupakan orang
yang memerintah, orang yang mengatur, sehingga untuk menggerakkan dan
menyelesaikan permasalahan termasuk permasalahan sampah dan pengolahannya
ini akan berhasil, karena rakyat maupun badan – badan, lembaga, pelaksana akan
patuh pada pemerintah, namun apabila pemerintah tidak berusaha mengatur dan
kreatif maka akan sulit mengatasi berbagai permasalah.
Contoh konkret di kabupaten banyuwangi bupati Banyuwangi ( Bpk.
Abdullah Azwar Anas ) menerapkan program Banyuwangi Ijo Royo – Royo
(BIR), baik pada lingkungan seluruh banyuwangi seperti pada lingkup Sekolah,
baik SD, SMP, Maupun SMA yang mana diadakan perlombaan.Bagi yang dapat
menjaga dan memelihara lingkungannya, dan untuk dinilai oleh badan Khusus
Tim juri lingkungan hidup, yang menang akan mendapatkan hadiah. Hal ini
merupakan salah satu peran pemerintah, dimana pemerintah menerapkan program
tersebut dengan ide yang kreatif yang dapat ditaati dan dilaksanakan oleh
rakyatnya ( Kabarbanyuwangi, 2013).
Pemerintah berkonstribusi dalam penyediaan fasilitas seperti peralatan
yang mendukung untuk pengolahan sampah yang di TPA seperti buldoser,
Fasilitas Kolam Inner, dan lain sebagainya ( Subchan, 2010 ). Selain itu
pemerintah juga mengerahkan Tim AMDAL untuk membantu dalam penanganan
sampah dan lingkungan, serta membantu merancang TPA yang layak serta dapat
bermanfaat dengan optimal. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah Makassar
yang mengadakan pendirian TPA pada tahun 2007, untuk mengatasi Limbah
kimia cair, limbah gas dan lain – lain. Seperti air lindi yang mencemari sumur
warga, sehingga para warga mengajukan keluhannya kepada pemerintah. Air lindi
merupakan air dengan konsentrasi kandungan organik yang tinggi yang terbentuk
dalam landfill akibat adanya air hujan yang masuk ke dalam landfill. Air lindi
merupakan cairan yang sangat berbahaya karena selain kandungan organiknya
tinggi, juga dapat mengandung unsur logam (seperti Zn, Hg). Jika tidak ditangani
dengan baik, air lindi dapat menyerap dalam tanah sekitar landfill kemudian dapat
mencemari air tanah sekitar landfill (Hanafiah, 2003). Lindi adalah limbah cair
sebagai akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan limbah atau sampah
kemudian membilas dan melarutkan materi yang ada pada timbunan tersebut, sisa
dari air tersebut masuk (infiltrasi) ke dalam timbunan sampah. (Hanafiah, 2003)
Solusi dari LSM
Solusi dari Lembaga Sosial Masyarakat adalah dengan mengadakan
penyuluhan – penyuluhan pada masyarakat untuk memeberikan wawasan dan
pengetahuan tentang bahayanya sampah apabila tidak diatasi, untuk
membangunkan kesadaran masyarakat tentang membuang sampah pada
tempatnya, serta dengan adanya sosialisasi dari pihak Lembaga Sosial Masyarakat
akan membuat masyarakat mengerti TPA itu ada adalah untuk keseimbangan,
karena sistem pengolahan ada di TPA untuk tempat Akhirnya, karena masyarakat
yang tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran, maka akan menganggap TPA
adalah tempat yang justru mencemari. Namun apabila masyarakat mengetahuinya
maka masyarakat akan dapat membantu mendukung program dari TPA.
Permasalahan lain seperti TPA yang kurang memadai yang justru
mencemari ataupun merugikan warga, akan menyebabkan perseelisihan antara
masyarakat dengan pihak TPA, juga tak terkendalinya pemulung yang justru dapat
mempora porandakan sampah menjadi tidak teratur dan bercampur, karena
pemulung mengambil sampah yang masih memiliki nilai jual, jadi yang tidak
memiliki nilai jual akan berserakan. Hal ini akan dapat diatasi apabila ada peran
penting seperti penyuluhan dari LSM seperti penjelasan di atas.
LSM melakukan pemberdayaan masyarakat juga merupakan salah satu
solusi. Salah satunya adalah memberikan pengetahuan dari dasar, seperti
memisahkan sampah organik, dan anorganik, pada sampah elektronikpun
masarakat kurang faham penanganannya yang kebanyakan dibuang secara
sembarangan, namun juga ada pula yang menjualnya ke pengepul. LSM
mengadakan program dimana Masyarakat yang melakukan kerja pemulung
berkerja sama dengan Pihak TPA sehingga dapat terkendali aktivitas para
pemulung yang tidak menyebabkan berserakan secara sembarangan pada sampah
sampah yang sudah dipisahkan sehingga tidak tercampur kembali. Serta
memberikan keuntungan pada pemulung. LSM juga memberikan pengetahuan
kepada para masyarakat, memberikan keterampilan dan kemampuan untuk
mendaur ulang sampah yang dapat dimanfaatkan kembali
Solusi dari Perorangan
Pengolahan sampah Elektronik secara perorangan pada umumnya
dilakukan dengan peralatan yang sederhana, seperti digunakan untuk bisnis
pengolahan sampah elektronik menjadi emas. Emas terdapat pada RAM,
Processor Komputer, HP bekas, SIM card, dan lain – lain, yang kebanyakan
masyarakat tidak mengetahuinya. Alasan pada alat – alat elektronik digunakan
emas karena emas adalah isolator terbaik tanpa hambatan ( Bandungtv, 2014 ).
Selain dapat diambil emasnya, limbah elektronik dengan perorangan
digunakan bisnis kerajinan, seperti diolah menjadi gantungan kunci, cincin, dan
lain lain ( Bandungmagazine, 2014 ). TPA tidak melakukan hal tersebut, TPA
secara umum hanya dihancurkan limbah elektronik, namun yang menerapkan
metode ini adalah pihak perorangan. Pada TPA campuran apabila ada sampah
elektronik, sampah elektronik ini dipungut oleh para pemulung yang mengais
sampah yang memiliki nilai jual.
Cincin limbah elektronik Gantungan limbah elektronik
TPA mengolah limbah kimia dari yang bahan yang berbahaya, beracun
menjadi bahan yang tidak berbahaya, tidak beracun sehingga air yang tercemar
limbah menjadi ramah lingkungan yang siap untuk dikeluarkan kembali ke alam,
proses pemrosesan pada TPA
Solusi Menurut Pendapat Kelompok
Beberapa solusi berdasarkan pendapat kelompok diantaranya, Perlu
dilakukan penambahan pendidikan sejak dini pada generasi muda – mudi bangsa
sehingga diharapkan kesadaran tentang pentingnya membuang sampah dengan
baik dan benar. Selain pada generasi muda juga pada semua masyarakat
pendidikan atau penyuluhan perlu diberikan, hal ini seperti di jepang, dijepang
sejak kelas 3 SD sudah ditanamkan pendidikan tentang lingkungan, sehingga
apabila seorang membuang sampah sembarangan atau lingkungannya kotor di
jepang ini dianggap suatu yang memalukan, rasa malu inilah yang harus dimiliki
masyarakat kita,sehingga bila masyarakatnya sendiri peduli terhadap lingkungan
maka lingkungan akan terjaga.
Sampah elektronik dapat diatasi dengan didaur ulang atau dimanfaatkan
menjadi kerajinan. Contohnya adalah sampah elektronik yang berasal dari
komponen – komponen komputer sperti RAM, Motheboard yang diolah mennjadi
gantungan kunci, aksesoris, pernak – pernik dan lain – lain.
Sampah elektronik dirakit ulang dengan menyatukan bagian – bagian yang
masih dapat digunakan kembali, bagian – bagian ini diambil dari beberapa alat
elektronik lainnya. Misalnya ada sebuah komputer rusak, pada komputer tersebut
yang masih dapat digunakan adalah monitornya saja, maka agar dapat digunakan
kembali dengan cara mencari bagian – bagian lain yang masih dapat digunakan
dari limbah komputer lainnya, sehingga dapat digunakan kembali.
Pihak produsen yang mengeluarkan produk elektronik harus memiliki
tangung jawab menarik kembali barang elektronik yang telah diproduksi apabila
terjadi kegagalan produk atau sudah tidak digunakan kembali.Pihak produsen
seharusnya menciptakan produk elektronik maupun produk kimia yang bahannya
mudah untuk diuraikan dan dapat didaur ulang, bahannya tidak mengandung
bahan yang berbahaya, namun barang yang ramah lingkungan.
Pihak produsen barang elektronik yang diproduksinya seharusnya
memberikan multifungsi dari fungsi utama, sehingga apabila fungsi utama teah
rusak masih ada fungsi lain yang bermanfaat.Pihak produsen elektronik
seharusnya memberikan semacam fasilitas yang mana apabila barang elektronik
tersebut rusak apabila dijual ke produsennya masih memiliki nilai harga walau
murah, agar konsumen tidak membuang barang elektronik yang rusak
sembarangan. Pihak produsen juga harus mengolah sendiri barang produknya
yang berasal dari konsumen tersebut.
Perlu peran pentingnya dari pihak distribusi pengolahan sampah yang
dioptimalkan agar sampah dapat terangkut optimal ke TPA untuk dilakukan
pengolahan, karena apabila pihak jasa distribusi sampah yang mengangkut
sampah dari sumber sampah tidak optimal, maka sampah akan banyak dan masih
yang ada di sumber sampah.
Perlu partisipasi dan peran penting dari konsumen pengguna alat – alat
elektronik, yaitu dengan merawat alat – alat elektronik tersebut agar tidak mudah
rusak dan awet, karena apabila awet akan mengurangi tingkat pembuangan
sampah elektronik. Selain itu apabila barang elektronik tersebut rusak untuk tidak
membiasankan sikap langsung membuang begitu saja karena dianggap dapat
membeli yang baru, seharusnya alat – alat elektronik yang rusak apabila masih
dapat diperbaiki, dilakukan perbaikan, dengan demikian maka tingkaat
pembuangan sampah elektronik dapat teratasi.
Limbah kimia yang berasal dari rumah tangga masing – masing
masyarakat untuk tidak membunag limbahnya ke sungai, namun memiliki tempat
pembuangan sendiri atau sistem ada sistem saluran pembuangan limbah cair yang
mengarah ke tempat pembuangan akhir (TPA) secara optimal, karena selama ini
pembuangan limbah kimia yang harus melalui TPA tidak dilakukan oleh
masyarakat, karena mereka malas dan membuang limbah kimia cairnya, seperti
sabun, detergen, dan zat kimia lainnya ke tanah atau ke sungai. TPA sangat
penting karena TPA diibaratkan seperti jantung dan hati pada suatu organisme
yang berfungsi untuk membersihkan sampah – sampah dalam tubuh, menetralkan
racun yang berbahaya, menyerap kembali zat – zat yang masih diperlukan oleh
tubuh, hal ini seperti layaknya fungsi dari TPA juga demikian. maka dari itu
penting bagi semua pihak untuk mengutamakan masalah TPA secara optimal,
karena apabila TPA yang layaknya Ginjal rusak atau tidak bekerja secara optimal,
maka juga pencemaran akibat limbah sampah elektronik, kimia, bahkan limbah
lainnya tidak dapat bekerja secara optimal. Hal ini seperti TPA yang Blangbintang
di Aceh yang memiliki tempat yang luas, dan peralatan serta sistem
pengolahannya yang modern, dan canggih, akan mengurangi atau bahkan
mengatasi pencemaran lingkungan
Fungsi dari TPA harus dioptimalkan seperti pada pernyataan diatas, serta
tingkat TPA yang layaknya Ginjal dunia harus diperbanyak, jadi apabila jumlah
sampah dan tingkat konsumen tinggi, maka pembuatan dan pengoptimalkan TPA
juga harus tinggi dan perlu perhatian lebih.Selain itu TPA sendiri harus memenuhi
syarat agar wilayah sekitar TPA tidak tercemari, beberapa syarat dari TPA
diantaranya :
a. Lokasi TPA bukan daerah rawan geologi (daerah patahan, daerah
rawan longsor, rawan gempa, dan lain sebagainya )
b. Lokasi TPA juga bukanlah daerah yang rawan hidrogeologis yaitu,
daerah dengan kondosi kedalaman air tanah kurang dari 3 meter, jenis
tanah mudah meresap air, dekat dengan sumber air.
c. Lokasi TPA juga bukanlah daerah yang rawan topografis (kemiringan
lahan lebih dari 20 %)
d. Lokasi TPA bukanlah daerah / kawasan yang dilindungi.
Karena apabila TPA justru menjadi tempat pencemaran, hal ini justru tidak tepat,
dan otomatis juga akan menyebabkan ketidak seimbangan lingkungan karena
pencemaran.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, A. 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: PT. Mutiara
Sumber Widya
Bandungmagazine. 2014. Kundi Craft, Komrad, dan Limbah Elektronik .
http://www.bandungmagazine.com/movement/kundi-craft-komrad-dan-
limbah-elektronik. Diakses 28 Agustus 2014.
Bandungtv. 2014. Kerajinan Unik dari Limbah Elektronik .http://www.
Bandungtv.co.id/index.php/halo-bandung-item/300-kerajinan-unik-dari-
limbah-elektronik. Diakses 28 Agustus 2014.
Basyarat,Ade. 2006. Kajian Terhadap Penetapan Lokasi TPA Sampah
Leuwinaggung Kota Depok. undip.ac.id/15259/1/Agus_Basyarat.pdf.
Diakses tanggal 28 Agustus 2014.
Chandra, Dr. Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran. Hal. 124, dan 144-147.
Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2009. Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun
2009. Semarang : Dinas Kesehatan Kota Semarang.
Hanafiah, Kemas Ali dkk. 2003. Ekologi dan Mikrobiologi Tanah. Jakarta :
Rajawali Perss.
Jehan, Noor. 2012. Kandungan Berbahaya dalam E-waste. http://www.ylki.or.id/
Kandungan-berbahaya-dalam-e-waste.html. Diakses 28 Agustus 2014
Kabarbanyuwangi.2013.http://www.kabarbanyuwangi.info/rsah-dukung-
banyuwangi-lebih-hijau.html .Diakses 28 Agustus 2014.
Maghfiro, Ima.,M. Saleh Soeaidy &M.Rozikin. 2013. Analisis Peran Pemerintah
dalam Mengatasi Limbah Industri Pabrik Gula Tjoekir.http://www.
Administrasipublik.studenjournal.ub.ac.id/index.php.jap/article/downlo
ad/107/87. Diakses 28 Agustus 2014.
Mukono, J., 1995 Kualitas Udara Ruangan dan Infeksi Nosokomial di RSUD dr.
Soetomo Surabaya. Majalah Medika. No. 1/Thn XXI. Surabaya.
Mukono, 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University
Press. Surabaya.
Ozi. 2004. Tragedy Bhopal Menghantui Warga India. http://bews.liputan6.com/
Read/90959/tragedi-bhopal-menghantui-warga-india. Diakses tanggal
28 Agustus 2014.
Row. 2010. Sampah Elektronik Belum Diatur. http://nasional.kompas.com/read/
2010/08.16/03280913. Diakses 28 Agustus 2014.
Subchan, Wachju. 2010. Buku Ajar Ilmu Pengetahuan Lingkungan. Jember:
Jember University Press.
Tribun News. 2014. Hanya 10% dari 438 TPA yang beroprasi.
http://article.tribunnews.com/view/2014/02/19/. Diakses 28 Agustus 2014.
UNEP. 2014. United Nations Environment Programme. http://www.unep.org/.
Diakses 28 Agustus 2014.
Widjajanti, Endang. 2009. Penanganan Laboratorium Kimia. http://www.
academia.edu/4098800/PENANGANAN_LIMBAH_LABORATORIUM_KI
MIA_Endang_Widjajanti_Jurusan_Pendidikan_Kimia_FMIPA_UNY_
Pendahuluan. Diakses tanggal 27 Agustus 2014.