analisis parasetamol dalam cairan hayati
TRANSCRIPT
ANALISIS PARASETAMOL DALAM CAIRAN HAYATI
A. TUJUAN
Memahami langkah-langkah analisa parasetamol dalam cairan hayati
B. LANDASAN TEORI
Parameter farmakokinetika obat dapat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran
kadar obat utuh dan/ atau metabolitnya di dalam cairan hayati (darah, urin, saliva atau
cairan tubuh lainnya). Oleh karena itu agar nilai-nilai parameter kinetik obat dapat
dipercaya, metode penetapan kadar harus memenuhi berbagai kriteria yaitu meliputi
perolehan kembali (recovery), presisi dan akurasi.
Persyaratan yang dituntut bagi suatu metode analisa adalah jika metode tersebut
dapat memberikan nilai perolehan kembali yang tinggi (75-90% atau lebih), kesalahan
acak dan sistematik kurang dari 10%. Kepekaan dan selektivitas merupakan kriteria
lain yang penting dan nilainya tergantung pula dari alat pengukur yang dipakai. Dalam
percobaan ini akan dilakukan langkah-langkah yang perlu dikerjakan untuk
optimalisasi analisis meliputi:
1. Penentuan jangka waktu larutan obat yang memberikan resapan tetap (khusus
untuk reaksi warna).
2. Penetapan panjang gelombang larutan obat yang memberikan resapan maksimum
(parasetamol).
3. Pembuatan kurva baku (parasetamol).
4. Perhitungan nilai perolehan kembali, kesalahan acak dan kesalahan sistematik.
Faktor-faktor penentu dalam proses farmakokinetika obat adalah
a. sistem kompartemen dalam cairan tubuh , seperti cairan intrasel, ekstrasel,
plasma darah, cairan intestinal, cairan serebrospinal), dan berbagai fasa lipofil
dalam tubuh.
b. protein plasma, protein jaringan dan berbagai senyawa boilogis yang mungkin
dapat mengikat obat
c. distribusi obat dalam berbagai sistem kompartemen biologis, terutama hubungan
waktu dan kadar obat dalam berbagai sistem tersebut, yang sangat menetukan
kinetika obat.
d. dosis sediaan obat, transport antar kompartemem seperti proses absorspi ,
bioaktivasi dan ekskresi yang menentukan lama obat dalam tubuh.
Karena konsentrasi obat adalah elemen penting utnuk menentukan
farmakokinetiak suatu individu maupun populasi konsentrasi obat diukur dalm sampel
biologis seperti air susu, saliva, plasma dan urin. Sensitivitas, akurasi, presisi dari
metode analisis harus ada untuk pengukuran secara langsung obat dalam matriks
biologis. Untuk itu metode penetapan kadar secara umum divalidasi sehingga
informasi akurat didapatkan untuk dimonitoring farmkokinteika dan klinik.
Untuk memberikan efek biologis, obat dalam bentuk aktifnya harus berinteraksi
dengan reseptor atau tempat aksi atau sel target, dengan kadar yang cukup tinggi.
Sebelum mencapai reseptor, obat terlebih dahulu harus melalui proses farmakokinetik.
Fasa farmakokinetik meliputi proses fasa II dan fasa III. Fasa II adalah proses absorpsi
molekul obat yang menghasilkan ketersediaan biologis obat, yaitu senyawa aktif dalam
cairan darah yang akan didistribusikan kejaringan atau organ tubuh. Fasa III adalah
fasa yang melibatkan proses distribusi, metabolisme dan ekskresi obat, yang
menentukan kadar senyawa aktif pada kompartemen tempat reseptor berada.
Faktor – faktor penentu dalam proses farmakokinetik adalah:
1. Sistem kompartemen dalam cairan tubuh, seperti : cairan intrasel, ekstrasel
(plasma darah, cairan interstitial, cairan cerebrospinal) dan berbagai fasa lipofil
dalam tubuh.
2. Protein plasma, protein jaringan dan berbagai senyawa biologis yang mungkin
dapat mengikatobat.
3. Distribusi obat dalam berbagai sistem kompartemen biologis, terutama
hubungan waktu dan kadar obat dalam berbagai sistem tersebut, yang sangat
menentukan kinetika obat.
4. Dosis sediaan obat, transport antar kompartemen seperti proses absorpsi,
bioaktivasi, biodegradasi dan ekskresi yang menentukan lama obat dalam tubuh.
Karena konsentrasi obat adalah elemen penting untuk menentukan
farmakokinetika suatu individu maupun populasi, konsentrasi obat diukur dalam
sample biologi seperti air susu, saliva, plasma dan urine. Sensitivitas, akurasi, dan
presisi dari metode analisis harus ada untuk pengukuran secara langsung obat dalam
matriks biologis. Untuk itu metode penetapan kadar secara umum perlu divalidasi
sehingga informasi yang akurat didapatkan untuk monitoring farmakokinetik dan
klinik (Shargel, 1999).
Pengukuran konsentrasi obat di darah, serum, atau plasma adalah pendekatan
secara langsung yang paling baik untuk menilai farmakokinetik obat di tubuh. Darah
mengandung elemen seluler mencakup sel darah merah, sel darah putih, keping darah,
dan protein seperti albumin dan globulin. Pada umumnya serum atau plasma digunakan
untuk pengukuran obat. Untuk mendapatkan serum, darah dibekukan dan serum
diambil dari supernatan setelah disentrifugasi. Plasma diperoleh dari supernatan darah
yang disentrifugasi dengan ditambahkan antikoagulan seperti heparin.
Oleh karena itu serum dan plasma tidak sama. Plasma mengalir keseluruh
jaringan tubuh termasuk semua elemen seluler dari darah. Dengan berasumsi bahwa
obat di plasma dalam kesetimbangan equilibrium dengan jaringan, perubahan
konsentrasi obat akan merefleksikan perubahan konsentrasi perubahan konsentrasi obat
di jaringan (Shergel, 1999). Dalam penetapan kadar obat dalam darah (cairan tubuh),
metode yang digunakan harus tepat, dan dalam pengerjaannya diperlukan suatu
ketelitian yang cukup tinggi agar diperoleh hasil yang akurat. Sehingga nantinya dapat
menghindari kesalahan yang fatal.
Dalam analisis ini, kesalahan hasil tidak boleh lebih dari 10% (tergantung pula
alat apa yang digunakan dalam analisis) (Ritschel, 1976). Cepat, simpel, dan sensitive
telah membuat spektrofotometer UV-VIS menjadi suatu metode analisis farmasetika
yang sangat popular untuk pengukuran secara kuantitatif obat dan metabolit dalam
sampel biologi. Salah satu alasan penting atas g/ml. kepopulerannya karena
sensitivitas dari metode ini 1-10 Identifikasi kualitatif dari obat atau metabolit
menggunakan spektrofotometri UV-VIS berdasarkan pada panjang gelombang
maksimum yang max). Perhitungan konsentrasi obat atau metabolit diabsorpsi (max.
Pada absorpsi yang maksimum,menggunakan hukum Beer pada sensitivitas optimum
akan didapat. Karena perubahan absorbansi minimal untuk sedikit perubahan panjang
gelombang, error diminimalkan. Hasilnya akurasi dan presisi yang baik didapatkan
(Smith,1981).
Parasetamol atau asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik yang
populer dan digunakan untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal dan sakit ringan,
dan demam. Digunakan dalam sebagian besar resep obat analgesik salesma dan flu. Ia
aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapati, overdosis obat baik sengaja
atau tidak sengaja sering terjadi.
Berbeda dengan obat analgesik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen,
parasetamol tak memiliki sifat antiradang. Jadi parasetamol tidak tergolong dalam obat
jenis NSAID. Dalam dosis normal, parasetamol tidak menyakiti permukaan dalam
perut atau mengganggu gumpalan darah, ginjal atau duktus arteriosus pada janin.
Farmakokinetika
Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi
tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3
jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat
protein plasma, dan dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen
80% dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam
sulfat. Selain itu dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat
menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui
ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk
terkonjugasi.
C. ALAT DAN BAHAN
Alat
1. Glass beker 50 ml
2. Tabung Dragendorf
3. Kuvet
4. Vortex
Bahan
1. Larutan NaCl fisiologis 0,9%
2. Etanol 10%
3. Parasetamol
4. Asam Trikloroasetat (TCA) 20%
5. Centrifuge (alat pemusing)
6. Pipet volume 0.5, 1 dan 5 ml
7. Labu takar 5 ml & 50 ml
8. Spektrofotometer
5. Plasma Darah
D. CARA KERJA
Prosedur Kerja I
1. Membuat 500 ml larutan NaCl fisiologis + etanol 10%. Dengan cara melarutkan
4,5 g NaCl ditambah 50 ml etanol kemudian ad aquadest hingga 500 ml
2. Membuat larutan parasetamol dengan konsentrasi 5000 ppm sebagai larutan induk.
Dengan cara melarutkan 25 mg paracetamol dalam 50 ml pelarut (NaCl fisiologis
+etanol)
3. Larutan tersebut kemudian diencerkan menjadi 4000 ppm → 3800 ppm → 3600
ppm→ 3400 ppm→ 3200 ppm
4. Tiap-tiap kadar diambil 0.5 ml,di masukkan kedalam tabung dragendoft lalu
ditambahkan plasma 0.5 ml,vortex selama 15 detik dan sentrifus selama 15
menit;8000 rpm)
5. Supernatant dari masing –masing tabung di keluarkan (1 ml) dan ditambahkan
TCA 1 ml,di vortex kembali selama 15 detik dan sentrifus selama 2 menit; 1200
rpm)
6. Masing- masing larutan dipindahkan kedalam tabung reaksi lalu ditambahkan NaCl
ad 5 ml
7. Intensitas warna di ukur menggunakan spektrofotometer
Prosedu kerja II
8. Membuat larutan parasetamol dengan konsentrasi 2000 ppm sebagai larutan induk.
Dengan cara melarutkan 10 mg paracetamol dalam 50 ml pelarut (NaCl fisiologis +
etanol)
9. Larutan tersebut kemudian diencerkan menjadi 400 ppm dibuat sebanyak 5 ml
10. Dibagi kedalam 6 tabung,masing-masing ½ ml untuk tiap-tiap kelompok.kemudian
ditambahkan TCA sebanyak 1 ml, vortex selama 15 detik dan sentrifus selama 15
menit;8000 rpm)
11. Supernatant dari masing –masing tabung di keluarkan (1 ml) dan ditambahkan
metanol 1 ml,di vortex kembali selama 15 detik dan sentrifus selama 2 menit; 1200
rpm)
12. Masing- masing larutan dipindahkan kedalam tabung reaksi lalu ditambahkan
metanol ad 5 ml
13. Intensitas warna di ukur menggunakan spektrofotometer
E. HASIL PENGAMATAN
Kurva Kalibrasi
No
.
Konsentrasi (ppm)
X
Absorbansi
Y
1. 200 0,023
2. 400 0,050
3. 600 0,082
150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 6500
0.010.020.030.040.050.060.070.080.09
f(x) = 0.0001475 x − 0.00733333333333333R² = 0.997611769201376
standart kalibrasi
Series2Linear (Series2)
konsentrasi
Abso
rban
si
a = - 7,333 x 10-3
b = 1,475 x 10-4
r = 0,998
Sehingga persamaannya menjadi :
Y = A + B X
Y = -7,333 x 10-3 + 1,475 x 10-4 X
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
400 0,002
400 0,076
400 0,057
400 0,110
400 0,038
400 0,032
Y = rata-rata absorbansi
¿0,002+0,076+0,057+0,11+0,038+0,0326
= 0,0525
Y = a ± bX
0,0525 = - 7,333x10-3 + 1,475x10-4 X
X = 405,64746ppm
Recovery
Perolehan kembali = kadar terukurkadar diketahui
x100%
= 405,423
400x 100 %=101,355 %
Akurasi = kadar sesunggu hnya – kadar yangdiperole h
kadar sesuggu hnyax 100 %
= 400 – 405,423
400x 100 %=5,423
400x100 %=1,3075 %
Nilai presisi:
Y = a+b X
0,002 = - 7,333x10-3 + 1,475x10-4 X
X = 63,27
Y = a+b X
0,076 = - 7,333x10-3 + 1,475x10-4 X
X = 564,97
Y = a+b X
0,057 = - 7,333x10-3 + 1,475x10-4 X
X = 436,15
Y = a+b X
0,110 = - 7,333x10-3 + 1,475x10-4 X
X = 795,48
Y = a+b X
0,038 = - 7,333x10-3 + 1,475x10-4 X
X = 307,34
Y = a+b X
0,032 = - 7,333x10-3 + 1,475x10-4 X
X = 266,66
F. PEMBAHASAN
Sebelum melakukan analisa preklinis suatu senyawa obat dalam cairan hayati
terlebih dahulu kita dituntut untuk mampu memahami langkah-langkah dari proses
analisa tersebut. Seperti yang telah dipaparakan sebelumnya bahwa agar nilai-nilai
parameter kinetik obat dapat dipercaya, metode penetapan kadar harus memenuhi
berbagai kriteria seperti yang dilakukan pada praktikum kali ini yakni memenuhi
persen recovery (perolehan kembali), presisi dan akurasi.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk optimasi analisis tersebut meliputi:
1. Penentuan jangka waktu larutan obat yang memberikab resapan tetap (khusus untuk
reaksi warna)
2. Penetapan panjang gelombang larutan obat yang memberikan resapan maksimum
3. Pembuatan kurva baku
4. Perhitungan nilai perolehan kembali, kesalahan sistematik/akurasi dan kesalahan
acak/presisi
Senyawa obat yang digunakan dalam pengujian disini adalah parasetamol.
Panjang gelombang larutan obat yang memberikan resapan maksimum dalam literatur
diketahui 243,5 nm, sehingga nilai absorbansi sampel dapat segera diukur pada
panjang gelombang tersebut dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Sampel
yang diukur dibuat dalam berbagai konsentrasi guna menghasilkan kurva kalibrasi
(kurva baku dari senyawa obat yang dianalis). Dalam praktikum ini pengukuran
dilakukan pada sampel dengan konsentrasi 4000, 3800, 3600, 3400 dan 3200 ppm.
Konsentrasi tersebut diperoleh dari hasil pengenceran dari larutan induk 5000ppm yang
dibuat dengan melarutkan 25mg paracetamol dalam 50ml pelarut. Pelarut yang
digunakan adalah NaCl fisiologis yang sifat larutannya diharapkan sama dengan
kondisi cairan fisiologis dalam tubuh. Setelah dilakukan proses ekstraksi barulah
sampel tersebut siap untuk diukur dengan spektrofotometer UV-Vis. Blanko yang
digunakan pada pengukuran ini adalah plasma.
Dari pengukuran sampel tersebut data yang dihasilkan ternyata tidak sesuai
dengan apa yang diperkirakan. Absorbansi yang diperoleh menghasilkan nilai minus
(-) dan tidak sesuai dengan nilai konsentrasi. Seperti yang terlihat pada kurva hasil
pengukuran dengan spektrofotometer UV-Vis, titik yang dihasilkan tidak dapat
terhubung dan tak terbaca. pada pecobaan yang dilakukan sebelumnya dengan
konsentrasi yang lebih rendah yakni hingga 1000ppm (oleh kelas A) diperoleh nilai
absorbansi yang cukup baik. Pada awalnya ditingkatkannya konsentrasi sampel pada
percobaan ini diharapkan mampu menghasilkan nilai absorbansi yang lebih jelas dan
lebih optimum namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Hal ini memang bisa
saja terjadi mengingat pada prosesnya pengambilan dan pemindahan sampel pada saat
pengenceran maupun ekstraksi dilakukan dalam skala mikro dan harus dilakukan
secara kuantitatif sehingga kesalahan sekecil apapun sangat berpenngaruh pada hasil
akhir yang diperoleh.
Oleh karenanya pembuatan kurva kalibrasi dilakukan dengan memplot data
yang diperoleh dari hasil pengukuran sampel pada konsentrasi 200, 600 dan 800ppm
yang dilakukan oleh kelas sebelumnya (kelas A). Dari data hasil pengukuran tersebut
dapat dibuat kurva kalibrasi sebagai berikut:
150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 6500
0.010.020.030.040.050.060.070.080.09
f(x) = 0.0001475 x − 0.00733333333333331R² = 0.997611769201376
standart kalibrasi
Series2Linear (Series2)
konsentrasi
Abso
rban
si
Dari data tersebut terlihat nilai absorbansi meningkat konstan seiring dengan
meningkatnya konsentrasi. Dan diperoleh persamaan Y = -7,333 x 10-3 + 1,475 x 10-4 X.
Selanjutnya dilakukan pengukuran nilai recovery (perolehan kembali), nilai
akurasi (kesalahan sistematik) dan nilai presisi (random analytical error).
Sebelum melakukan pengukuran nilai-nilai tersebut terlebih dahulu dibuat
sampel obat (paracetamol) dengan konsentrasi yang telah ditentukkan berdasarkan
pada pertimbangan hasil percobaan sebelumnya (yakni sampel dengan konsentrasi
400ppm).
Larutan sampel kemudian diadd dengan menggunakan plasma. Hal ini
dimaksudkan bahwa senyawa obat tersebut (paracetamol) dianggap terlarut dalam
cairan plasma dalam tubuh. Selanjutnya senyawa obat diisolasi dengan cara
mensentrifuge campuran tersebut dalam larutan TCA yang mampu mengendapkan
protein plasma. Sehingga diperoleh supernatan yang selanjutnya difortex dan
disentrifuge kembali dalam larutan metanol. Selanjutnya sampel hasil isolasi tersebut
diukur pada spektrofotometer UV-Vis dalam larutan metanol. Pengukuran dilakukan
setelah pengukuran blanko Plasma.
Nilai absorbansi rata-rata diperoleh 0,0525. Nilai tersebut kemudian dimasukkan
pada persamaan yang dihasilkan dari data yang diperoleh pada praktikum sebelumnya
yakni persamaan :
Y = -7,333 x 10-3 + 1,475 x 10-4 X.
Sehingga diperoleh nilai X ( konsentrasi) 405,64746ppm.
Selanjutnya diperoleh nilai Recovery (perolehan kembali) sebesar 101,355 %.
Nilai recovery ini merupakan tolak ukur effisiensi analisis yang dilakukan. Sedangkan
nilai akurasi yang merupakan tolak ukur dari inakurasi penetapan kadar itu sendiri
diperoleh sebesar 1,3075% (memenuhi nilai dari yang telah disyatratkan dimana nilai
akurasi harus kurang dari 10%). Untuk nilai presisi terlihat pada hasil perhitungan,
range nilai yang dihasilkan untuk setiap kadar sangat jauh berbeda sehingga dapat
disimpulakan bahwa analisis yang dilakukan cukup akurasi namun tidak presisi.
Terlepas dari masalah keterbatasan alat yang digunakan yang biasanya menjadi salah
satu faktor permasalahan dari ketidak akuratan suatu hasil analisa, ketelitian
praktikan/pelaku analisa ini sendiri juga sangat berpengaruh pada hasil akhir dari nilai
analisa yang diperoleh.
G. KESIMPULAN
Pada sampel dengan panjang gelombang larutan obat yang memberikan resapan
maksimum yang telah diketahui langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk
optimasi analisis tersebut meliputi: Pembuatan kurva baku serta Perhitungan nilai
perolehan kembali (recovery), kesalahan sistematik/akurasi dan kesalahan
acak/presisi
Dari kurva kalibrasi yang dibuat, diperoleh persamaan Y = -7,333 x 10-3 + 1,475 x
10-4 X.
Dari hasil pengukuran absorbansi pada sampel dengan konsentrai 400ppm
diperoleh konsentrasi 405,64746ppm.
Hal tersebut dapat terlihat pada hasil perhitungan yang menghasilkan:
- persen recovery 101,355 %.
- Nilai akurasi 1,3075 % dan
- Nilai Presisi:
Berdasarkan data yang diperoleh maka analisis yang dilakukan cukup akurasi namun
tidak presisi.
Ketelitian praktikan/pelaku analisa sangat berpengaruh pada nilai akhir yang
diperoleh.
Absorbansi (Y) Konsentrasi Presisi (X) dalam ppm
0,002 63,270,076 564,970,057 436,150,110 795,480,038 307,340,032 266,66
H. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, ed. IV, Dep. Kesehatan Republik Indonesia , Jakarta
Ritschel, W. A, 1976, Handbook of Basic Pharmacokinetics, 1st edition, hal 78, Drug
Inteligence Publication Inc. Hamillton, USA.
Siswandono, Bambang Soekardjo, 1998, Prinsip-Prinsip Rancangan
Obat, hal 85, Airlangga University Press, Surabaya
Shergel, L., Yu, B.C. Andrew., 1999, Applied Biopharmaceutics &
Pharmacokinetics, edisi 4, hal 30-32, Appleton & Lange, USA
Wenas, 1999, Kelainan Hati Akibat Obat, Buku Ajar Penyakit Dalam, jilid 1, edisi 3, 363-
369, Gaya Baru, Jakarta