analisis kondisi atmosfer saat terjadinya banjir

7
ANALISIS KONDISI ATMOSFER SAAT TERJADINYA BANJIR BANDANG DI GARUT (Studi Kasus Tanggal 20 September 2016) Achmad Raflie Pahlevi 1) , Ayu Zulfiani 2) Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 1)2) Stasiun Meteorologi Maritim Klas IV Tanjung Karang Lampung 1) Stasiun Meteorologi Klas II Minangkabau Padang 2) [email protected] Abstrak Cuaca di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor regional; El Nino dan La Nina, IOD (Indian Ocean Dipole), dan MJO. La Nina lemah, negatif IOD dan MJO fase 5 pada 20 September 2016 menyebabkan hujan lebat yang terjadi di wilayah Garut. Hujan lebat yang terjadi menyebabkan banjir bandang yang mengakibatkan puluhan korban meninggal dan ratusan rumah rusak. Penggunaan model WRF-ARW dan satelit Himawari dapat menggambarkan kondisi atmosfer saat terjadinya banjir bandang tersebut. 1. Pendahuluan Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi berupa tetes-tetes air yang jatuh dari dasar awan. Diameter dan konsentrasi tetes sangat bervariasi tergantung intensitas presipitasi terutama jenis dan asalnya, yakni hujan kontiniu, hujan shower, dan lain- lain[1]. Curah hujan merupakan salah satu unsur cuaca dan iklim yang memiliki peranan sangat penting terhadap kehidupan di bumi [2], dalam hal ini disamping merupakan sumber daya alam yang dibutuhkan namun juga dapat menjadi sumber bencana [3]. Cuaca di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor regional; El Nino dan La Nina, IOD (Indian Ocean Dipole), dan MJO [4]. La Nina lemah, negatif IOD dan MJO fase 5 pada September 2016 menyebabkan hujan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Salah satu hujan lebat yang terjadi adalah hujan yang menyebabkan terjadinya banjir bandang di Garut pada 20 September 2016. Gambar 1. Kondisi Setelah Terjadinya Banjir Bandang (Sumber: http:///bnpb.go.id)

Upload: lylien

Post on 20-Jan-2017

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS KONDISI ATMOSFER SAAT TERJADINYA BANJIR

ANALISIS KONDISI ATMOSFER SAAT TERJADINYA

BANJIR BANDANG DI GARUT

(Studi Kasus Tanggal 20 September 2016)

Achmad Raflie Pahlevi1)

, Ayu Zulfiani2)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika1)2)

Stasiun Meteorologi Maritim Klas IV Tanjung Karang Lampung1)

Stasiun Meteorologi Klas II Minangkabau Padang2)

[email protected]

Abstrak

Cuaca di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor regional; El Nino dan La Nina, IOD (Indian

Ocean Dipole), dan MJO. La Nina lemah, negatif IOD dan MJO fase 5 pada 20 September 2016

menyebabkan hujan lebat yang terjadi di wilayah Garut. Hujan lebat yang terjadi menyebabkan

banjir bandang yang mengakibatkan puluhan korban meninggal dan ratusan rumah rusak.

Penggunaan model WRF-ARW dan satelit Himawari dapat menggambarkan kondisi atmosfer saat

terjadinya banjir bandang tersebut.

1. Pendahuluan

Hujan merupakan salah satu bentuk

presipitasi berupa tetes-tetes air yang jatuh

dari dasar awan. Diameter dan konsentrasi

tetes sangat bervariasi tergantung intensitas

presipitasi terutama jenis dan asalnya, yakni

hujan kontiniu, hujan shower, dan lain-

lain[1]. Curah hujan merupakan salah satu

unsur cuaca dan iklim yang memiliki peranan

sangat penting terhadap kehidupan di bumi

[2], dalam hal ini disamping merupakan

sumber daya alam yang dibutuhkan namun

juga dapat menjadi sumber bencana [3].

Cuaca di Indonesia dipengaruhi oleh

berbagai faktor regional; El Nino dan La

Nina, IOD (Indian Ocean Dipole), dan MJO

[4]. La Nina lemah, negatif IOD dan MJO

fase 5 pada September 2016 menyebabkan

hujan yang terjadi di berbagai wilayah

Indonesia. Salah satu hujan lebat yang terjadi

adalah hujan yang menyebabkan terjadinya

banjir bandang di Garut pada 20 September

2016.

Gambar 1. Kondisi Setelah Terjadinya Banjir

Bandang

(Sumber: http:///bnpb.go.id)

Page 2: ANALISIS KONDISI ATMOSFER SAAT TERJADINYA BANJIR

Banjir bandang terjadi dimulai

dengan hujan lebat yang terjadi dimulai pada

pukul 19.00 WIB. Curah hujan yang tinggi

menyebabkan debit Sungai Cimanuk dan

Sungai Cikamuri naik secara cepat. Pukul

20.00 WIB banjir setinggi lutut kemudian

sekitar jam 23.00 WIB banjir setinggi 1,5 - 2

meter [5]. Banjir tersebut menyebakan 34

orang meninggal, 19 orang luka-luka, 1326

orang mengungsi, dan kerusakan hingga 206

unit [6].

Pada kajian ini akan menganalisis

kondisi atmosfer pada saat terjadinya banjir

bandang di Garut pada tanggal 20 September

2016 dengan menggunakan WRF-ARW dan

satelit.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif yang bersifat deskriptif analitik

karena menekankan pada analisis dari suatu

kejadian yang terjadi di lapangan sebagai

bahan kajian lebih lanjut untuk menjawab

mengapa dan bagaimana suatu fenomena

terjadi. Model penelitian yang dilakukan

adalah studi kasus.

Lokasi penelitian pada tulisan ini

meliputi wilayah Garut dan sekitarnya yang

terletak pada 7.10 LS – 7.3

0 LS dan 107.8

0 BT

– 1080 BT. Waktu penelitian yang dilakukan

yaitu pada tanggal 20 September 2016.

Penelitian ini menggunakan data

satelit Himawari dan model WRF-ARW.

Data satelit Himawari yang digunakan adalah

satelit IR-1 dengan resolusi spasial 4 km dan

resolusi temporal 10 menit yang didapatkan

dari BMKG. Data model WRF-ARW dengan

menggunakan data final analysis (FNL)

dengan resolusi 10 x 1

0 yang didapatkan dari

website http://rda.ucar.edu [7]. Model WRF-

ARW dijalankan dengan 4 domain, sehingga

resolusi akhir 500 m.

3. Hasil dan Pembahasan

Analisis yang dilakukan pada kajian

ini dimulai dari analisis regional, analisis

satelit dan analisis model WRF-ARW.

3.1. Analisis Regional

Indonesia merupakan wilayah

maritim yang dipengaruhi oleh berbagai

faktor regional, seperti ENSO di wilayah

Samudera Pasifik, IOD di wilayah Samudera

Hindia, dan MJO yang dapat mempengaruhi

cuaca dari wilayah Samudera Hindia hingga

Samudera Pasifik, serta anomali suhu muka

laut dan medan angin di sekitar wilayah

Indonesia.

Nilai SOI kurang dari -7.3

menandakan El Nino dan nilai SOI melebihi

+7.3 menandakan La Nina. Berdasarkan

gambar 2a), nilai SOI telah mencapai 13.3

yang menandakan La Nina aktif di wilayah

Pasifik. Hal ini menandakan adanya

pergerakan massa udara yang cukup

Page 3: ANALISIS KONDISI ATMOSFER SAAT TERJADINYA BANJIR

signifikan dari Samudera Pasifik Timur

menuju Samudera Pasifik Barat.

Berdasarkan gambar 2.b), nilai

indeks IOD telah mencapai nilai -1.17. Hal

ini menandakan massa udara bergerakan dari

wilayah Samudera Hindia Barat menuju

Samudera Hindia Timur. SOI positif dan IOD

negatif menyebabkan uap air dari Samudera

Pasifik dan Samudera Hindia terkumpul di

wilayah Indonesia.

Berdasarkan gambar 2.c), MJO

berada pada fase 5. MJO pada fase 5

menandakan MJO berada di wilayah kontinen

maritim Indonesia. Hal ini menunjukkan

banyaknya pembentukan awan di wilayah

Indonesia.

Pada gambar 2.d), terlihat adanya

wilayah tekanan rendah di wilayah Selatan

Sumatera. Selain itu, adanya konvergensi di

wilayah Jawa Bagian Barat. Hal ini

a b

c d

Gambar 2. Data pada tanggal 20 September 2016 a) Indeks osilasi selatan, b) Indeks IOD,

c) Indeks MJO, dan d) streamline

(Sumber: http:///bom.gov.au)

Page 4: ANALISIS KONDISI ATMOSFER SAAT TERJADINYA BANJIR

mendukung terjadinya pembentukan

pumpunan awan di wilayah Selatan Sumatera

dan Barat Jawa.

Berdasarkan gambar 3.a), data suhu

muka laut (SST) pada tanggal 20 September

2016, SST di Selatan Pulau Jawa mencapai

suhu 30 0C dan gambar 3.b) anomali suhu

muka laut yang cukup tinggi mencapai +3 0C.

Anomali SST positif menunjukkan suhu

muka laut yang lebih hangat dari normalnya

dan mendukung banyaknya penguapan di

wilayah Selatan Pulau Jawa.

3.2. Analisis Satelit

Berdasarkan gambar 4., dapat dilihat

bahwa pembentukan awan CB terbentuk di

luar wilayah Garut. Awan yang awalnya

terbentuk di Barat Garut pada jam 17.00 WIB

(Gambar 4.a), kemudian bergerak ke arah

Barat dan terjadinya peningkatan awan CB

yang ditunjukkan pada gambar 4.b. Awan CB

mencapai kondisi maksimalnya pada jam

19.00 WIB terlihat pada gambar 4.c. Hujan

lebat yang terjadi kemudian menyebabkan

awan CB meluruh di wilayah Garut (gambar

4.d).

Gambar 3. a) Nilai Suhu Muka Laut, dan b) Anomali Suhu Muka Laut

(Sumber: http:/// bmkg.go.id)

a

b

Page 5: ANALISIS KONDISI ATMOSFER SAAT TERJADINYA BANJIR

Pertumbuhan dan matinya awan yang

cepat ditunjukkan pada gambar 5. Awan yang

awalnya panas kemudian mendingin dengan

cepat hingga suhu puncak mencapai -70 0

C.

Suhu puncak awan yang rendah menandakan

terbentuknya awan CB. Suhu puncak awan

yang kemudian meningkat secara drastis

menandakan terjadinya peluruhan awan CB

oleh hujan. Gambar 5 Time Series Suhu Puncak Awan

0C

Gambar 4. IR-1 dari Satelit Himawari a) 17.00 WIB, b) 18.00 WIB,

c) 19.00 WIB, dan d) 22.00 WIB

a b

c d

Page 6: ANALISIS KONDISI ATMOSFER SAAT TERJADINYA BANJIR

3.3. Analisis Model WRF-ARW

Analisis yang dilakukan adalah

analisis terhadap hasil keluaran model WRF-

ARW. Hasil keluaran tersebut adalah

kelembapan, angin, dan kecepatan vertikal

dengan menggunakan diagram hovmoler

antara waktu dan ketinggian lapisan.

Berdasarkan data kelembapan pada

gambar 6.a), dapat dilihat terjadinya

peningkatan RH yang dimulai pada pukul 09

UTC (16.00 WIB). Peningkatan ini terjadi

bukan hanya di permukaan, tetapi hingga

mencapai 250 mb. Puncaknya pada jam 12

hingga 15 UTC nilai kelembapan antara 90-

100 dari lapisan permukaan hingga

ketinggian 600 mb. Kelembapan yang tinggi

di lapisan atas menandakan adanya awan

dengan konsentrasi uap air yang cukup tinggi,

sehingga menandakan bahwa akan terjadinya

hujan.

Pada kecepatan vertikal yang

ditunjukkan pada gambar 4.b), gerakan massa

a b

c

Gambar 6. Diagram Hovmoler Pada Tanggal 20 September di Garut: a) Kelembapan,

b) Kecepatan Vertikal, dan c) Angin Horizontal

Page 7: ANALISIS KONDISI ATMOSFER SAAT TERJADINYA BANJIR

udara umunya normal tidak terlihat

signifikan. Hanya terjadi gerakan menurun

pada lapisan 600 – 800 mb pada jam 15 UTC

dan gerakan naik pada lapisan 500 – 300 mb.

Angin pada lapisan permukaan

hingga lapisan 500 mb terlihat bergerak dari

utara, sedangkan angin di lapisan atas

bergerak dari timur. Hal ini menandakan

bahwa pembentukan awan CB tidak terjadi di

wilayah Garut. Angin yang awalnya bergerak

dari utara berubah menjadi turbulen (acak)

pada pukul 12 UTC hingga 15 UTC (19.00 –

22.00 WIB) menandakan bahwa terdapatnya

awan konvektif pada saat itu.

4. Kesimpulan

Adanya La Nina, IOD negatif, serta

MJO menyebabkan massa udara dari

Samudera Pasifik dan Samudera Hindia

berkumpul di wilayah Indonesia. Anomali

suhu muka laut yang tinggi di sekitar Jawa

menyebabkan banyaknya penguapan di

sekitar wilayah Jawa dan konvergensi yang

terjadi menyebabkan percepatan

pembentukan awan.

Pertumbuhan dan matinya awan CB

yang begitu cepat menyebabkan hujan yang

terjadi tergolong ke dalam hujan lebat. Hujan

lebat tersebut yang menyebabkan terjadinya

banjir bandang di wilayah Garut.

Kelembapan yang tinggi dari permukaan

hingga ketinggian 300 mb menandakan

banyaknya uap air yang terkondensasi

menjadi awan-awan konvektif.

5. Daftar Pustaka

[1] Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah,

M., 2009, Perspektif Operasional Cuaca

Tropis, BMKG, Jakarta.

[2] Tjasyono, B., 2004, Klimatologi, ITB ,

Bandung

[3] Basuki, Winarsih, I., dan Adhyani, N. L.,

2009, Analisis Periode Ulang Hujan

Maksimum dengan Berbagai Metode.

BMKG, Jakarta

[4] Yulihastin, E., Febrianti, N., dan

Trismidianto. Impact of El Nino and IOD

on the Indonesian Climate. Sumber:

http:///www2.ims.nus.edu.sg/.../files/Rep

ort_Swadhin%20Behera.pdf, diakses

pada 1 Oktober 2016

[5]http://www.bnpb.go.id/berita/3097/update-

banjir-bandang-garut-20-tewas-dan-14-

hilang, diakses pada 1 Oktober 2016

[6]http://bpbd.jabarprov.go.id/index.php/com

ponent/k2/item/58-update-banjir-bandang-

garut, diakses pada 1 Oktober 2016

[7] http://rda.ucar.edu, diakses tanggal 30

September 2016