analisis kesulitan anak berkebutuhan khusus dalam …eprints.ums.ac.id/78780/11/amalia_naskah...
TRANSCRIPT
ANALISIS KESULITAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM
BELAJAR MATEMATIKA DI KELAS INKLUSI
(penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 23 Surakarta)
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I
pada Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Oleh:
AMALIA ASIH KHAERANI
A410150092
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
i
ii
1
ANALISIS KESULITAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM BELAJAR
MATEMATIKA DI KELAS INKLUSI
(penelitian dilaksanakan di SMP N 23 Surakarta)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesulitan anak berkebutuhan khusus dalam
belajar matematika di kelas inklusi. Penelitian ini bersifat kualitatif. Penelitian ini dilakukan
pada siswa berkebutuhan khusus kelas VIII SMP Negeri 23 Surakarta tahun ajaran
2018/2019. Data dikumpulkan dengan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Teknik analisis dengan metode alur yakni,reduksi data, penyajian data, evaluasi/verifikasi
dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa setiap anak berkebutuhan
khusus mengalami kesulitan dalam belajar matematika di kelas inklusi, kesulitan anak
berkebutuhan khusus bervariasi sesuai kebutuhannya, bagi anak berkebutuhan khusus slow
learner kesulitan dalam memahami materi yang diberikan oleh guru, kesulitan dalam
menghitung dan penerapan dalam soal matematika, bagi anak berkebutuhan khusus tuna
rungu mengalami kesulitan dalam mendengar selama pelajaran. Kurangnya guru pendamping
khusus menjadi hambatan dalam proses pembelajaran. Guru juga tidak memberikan
perlakukan khusus kepada anak berkebutuhan khusus.
Kata kunci: berkebutuhan khusus, kesulitan belajar, inklusi
1. PENDAHULUAN
Matematika memegang peranan yang cukup penting dalam ilmu pengetahuan dan
kehidupan sehari-hari. Matematika tidak lepas dari perkembangan ilmu
pengetahuan. Matematika membantu ilmu-ilmu lain untuk menganalisis berbagai
pengamatan yang ada, menemukan hubungan-hubungan yang logis, menarik
kesimpulan dan akhirnya mengembangkan ilmu pengetahuan itu sendiri sehingga
semua jenjang pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi
mempelajari matematika. Matematika merupakan salah satu komponen dari
serangkaian mata pelajaran yang mempunyai peranan penting dalam pendidikan
(Sundayana, 2013: 2). Namun sampai saat ini masih banyak siswa yang
menganggap matematika mata pelajaran yang sulit, tidak menyenangkan dan
menjadi momok dalam pembelajaran.
Anak berkebutuhan khusus (dulu disebut sebagai anak luar biasa)
didefinisikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus
2
untuk mengembangkan potensi kemanusiaan mereka secara sempurna, Hallahan
dan Kauffman, 1986 (dalam hadis, 2006: 5). Anak berkebutuhan khusus untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya membutuhkan bantuan layanan bimbingan dan
konseling, layanan sosial, layanan pendidikan dan berbagai jenis layanan lainnya
yang bersifat khusus. Layanan tersebut diberikan secara khusus oleh pihak yang
berkompeten pada setiap jenis layanan itu. Hal ini pun berdampak pada kenyataan
dimana anak-anak berkebutuhan khusus belum dapat mengenyam pendidikan yang
layak pada tingkatan wajib belajar yang dirancangkan pemerintah. Anak
berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama seperti anak reguler yang lain pada
umumnya dalam mengenyam pendidikan. Oleh karena itu sudah banyak sekolah
inklusi yang dibina oleh pemerintah sebagai sarana pemerataan pendidikan bagi
anak-anak berkebutuhan khusus.
Kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu (1)
kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental
learning disabilities) dan (2) kesulitan belajar akademik (academic learning
disabilities). Sari (2017) menyatakan bahwa siswa kesulitan memahami konsep
matematika, dapat mengetahui suatu rumus dan bagaimana menggunakannya
namun tidak tahu mengapa digunakan. Kebiasaan belajar bukan dengan
pemahaman konsep melainkan dari contoh soal yang diberikan guru atau dari buku
paket. Kurangnya motivasi dalam diri untuk mempelajari suatu materi dalam
pelajaran tertentu, baik matematika maupun ilmu lainnya. Diperlukan cara belajar
tentang pemahaman konsep dan prinsip yang lebih mendalam dengan kemampuan
koneksi matematika. Karena, tingkat kemampuan rata-rata koneksi matematika
secara keseluruhan masih rendah.
Menurut Tias dan Dhoriva (2015) dari hasil penelitiannya tentang analisis
kesulitan siswa dapat disimpulkan bahwa letak kesulitan matematika siswa SMA
Negeri di kota Yogyakarta yang mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah
matematika, yaitu pada kesulitan menganalisis fakta, kesulitan memahami konsep,
3
kesulitan menerapkan konsep, dan kesulitan menerapkan prosedur. Saran untuk
siswa agar lebih memahami lagi konsep dan penerapan prosedurnya.
Pendidikan inklusi merupakan ideologi atau keinginan yang hendak diraih
sebagaimana cita-cita pendidikan secara umum, pendidikan inklusi harus menjadi
tujuan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Oleh
karena itu, pendidikan inklusi tidak diartikan sebagai bentuk pendidikan atau
pendekatan pendidikan yang sekedar memasukkan anak berkebutuhan khusus ke
sekolah reguler semata. Pendidikan inklusi bertujuan untuk memberikan
kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus dan mewujudkan pelaksaan
pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif kepada semua
peserta didik yang mempunyai kelainan fisik, mental, emosional, dan sosial atau
memiliki potensi bakat dan kecerdasan yang istimewa untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Inti dari
pendidikan inklusi adalah system pemberian layanan pendidikan dalam
keberagaman, dan falsafahnya yaitu menghargai perbedaan semua anak.
Berdasarkan pemaparan di atas tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan
pembelajaran pada kelas inklusi di SMP Negeri 23 Surakarta, mendeskripsikan
kesulitan yang dialami anak berkebutuhan khusus pada aspek bahasa, aspek
konsep, dan aspek operasi dalam belajar matematika.
2. METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data dikumpulkan berupa dokumen,
hasil wawancara, observasi dan hasil observasi. Penelitian ini dilakukan pada anak
berkebutuhan khusus pada mata pelajaran matematika di SMP Negeri 23 Surakarta
tahun ajaran 2018/2019.
Subjek dalam penelitian ini yaitu anak berkebutuhan khusus kelas VIII terdiri dari
3 siswa. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
wawancara untuk mengetahui kesulitan anak berkebutuhan khusus dalam belajar
matematika, wawancara dengan guru guna mengetahui cara pembelajaran yang
4
diterapkan di kelas inklusi, observasi untuk mengetahui proses pembelajaran
dikelas inklusi, dokumentasi untuk memperoleh data anak berkebutuhan khusus.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Proses pembelajaran pada kelas inklusi
Proses pembelajaran pada kelas inklusi dilakukan melalui 3 kegiatan yaitu
kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan penutup diuraikan singkat dibawah ini :
Proses kegiatan awal pembelajaran pada kelas inklusi guru mengawali
dengan salam, melakukan kegiatan apersepsi yang disesuaikan dengan mata
pelajaran matematika yang akan disampaikan. Guru melihat kesiapan siswa baik
psikis maupun fisik dalam mengikuti proses pembelajaran. Sebelum pelajaran
dimulai guru menyiapkan sumber belajar, namun tidak ada media khusus untuk
anak berkebutuhan khusus, RPP dan kurikulumnya juga sama seperti anak reguler
lainnya tetapi KKM yang diterapkan berbeda. Menurut Mangungsong (2009)
penyelengaraan sekolah inklusi menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian
baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem
pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu.
Kegiatan inti dalam pembelajaran pada inklusi bersifat kooperatif, guru
biasanya sering membuat kelompok belajar di kelas tanpa membedakan siswa
reguler dan anak berkebutuhan khusus. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Muharam (2014) bahwa pendidikan yang inklusif membuat
siswa berkebutuhan khusus dapat berbaur langsung di masyarakat bersama teman-
teman yang tidak berkebutuhan khusus, yang mana hal ini dapat meningkatkan
kemampuan sosial sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri. Sedangkan, konsep
inklusi berdasarkan atas gagasan bahwa sekolah reguler harus menyediakan
lingkungan belajar bagi seluruh peserta didik sesuai dengan kebutuhannya, apapun
tingkat kemampuan ataupun kelainannya. Sekolah inklusi menyelenggarakan
berbagai keterampilan berkaitan dengan budaya, sosial, kelompok etnik, dan latar
belakang sosial.
5
Kegiatan akhir pembelajaran pada kelas inklusi adalah melakukan pemantapan
materi, evaluasi materi, melakukan penilaian akhir dan melaksanakan tindak lanjut
pembelajaran melalui kegiatan pemberian tugas yang harus dikerjakan di rumah.
Adapun jenis-jenis penilaian pada kelas inklusi yaitu penilaian tertulis, unjuk kerja,
produk dan penilaian portofolio (Tarmansyah : 2007).
b. Kesulitan pada aspek bahasa
Kesulitan pada aspek bahasa yaitu kesulitan yang di alami anak berkebutuhan
khusus karena tidak bisa memahami maksud soal, baik yang sudah diketahui
informasinya maupun yang sedang ditanyakan dalam soal. Hal tersebut
menyebabkan anak berkebutuhan khusus tidak mampu mengerjakan langkah
dengan benar karena siswa tidak mengetahui alur atau arah yang sesuai untuk
mengerjakan soal yang diminta. Kesulitan memahami soal tersebut dapat terjadi
karena soal yang kurang spesifik dan kurangnya konsentrasi atau kurangnya
pemahaman anak berkebutuhan khusus mengenai soal yang diberikan, sehingga
siswa merasa bingung untuk mengerjakan dan melanjutkan langkah dalam
menyelesaikan soal. Letak kesulitan tersebut terjadi pada subjek A.Kesulitan
memahami soal yang di alami subjek A pada soal tersebut disebabkan karena
subjek A yang mengalami slow learner dalam pembelajaran dan mengerjakan soal
harus di dampingi guru pendamping khusus (GPK) jadi subjek A tidak bisa
mengerjakan tanpa di dampingi.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Novriani dan
Surya (2017) yang menyimpulkan bahwa kesulitan dalam memecahkan masalah
diakibatkan oleh 1) siswa mengalami kesulitan menyelesaikan matematika
masalah dalam membaca teks atau pertanyaan, 2) siswa selalu salah tafsir masalah,
3) jika siswa tidak memahami masalah maka mereka akan menebak jawaban dari
masalah, 4) siswa tidak mau mencari keluar solusi dari masalah yang diberikan, 5)
siswa mengalami kesulitan dalam memahami masalah sehingga tidak bisa
menafsirkannya menjadi bentuk simbol. Sedangkan menurut Wardani (2011 :
6.31) cara memenuhi kebutuhan pendidikan untuk anak slow learner meliputi (1)
6
persamaan hak dengan anak normal bahwa anak slow learner membutuhkan
persyaratan layanan pendidikan umum yang sama dengan anak normal, (2)
perbedaan individual bahwa dalam memenuhi kebutuhan pendidikan harus
didasarkan pada karakteristik dan kebutuhan anak itu secara khusus, (3) didasarkan
pada keterampilan praktis bahwa pendidikan bagi anak slow learner lebih
diarahkan pada keterampilan praktis mengingat keterbatasan kecerdasan
intelektualnya, (4) didasarkan pada sikap rasional dan wajar bahwa dalam
memberi layanan, anak slow learner khususnya tidak boleh dimanjakan atau
sebaliknya dibiarkan.
Berdasarkan pemaparan hasil di atas menunjukan bahwa subjek A kurang
pemahaman pada soal dan kurangnya konsentrasi pada saat mengerjakan soal,
sehingga siswa merasa bingung untuk mengerjakan dan melanjutkan langkah
dalam menyelesaikan soal. Hal ini disebabkan karena kurangnya guru pendamping
khusus (GPK) untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus dalam belajar
maupun mengerjakan soal.
c. Kesulitan pada aspek konsep
Kesulitan dalam memahami atau menerapkan konsep pada soal ditunjukan
oleh pekerjaan anak berkebutuhan khusus yang salah dalam menerapkan konsep
sehingga tidak sesuai dengan konsep yang sebenarnya. Kesulitan konsep yang di
alami anak berkebutuhan khusus terdiri dari kesulitan memahami soal dan belum
mengerti bagaimana cara mengerjakannya.Kesulitan dalam memahami atau
menerapkan konsep dialami oleh semua siswa yang diteliti. Letak kesulitan
tersebut sering terjadi pada soal nomor 2. Kesulitan pada nomor 2 banyak
dilakukan siswa karena siswa kurang mengerti bagaimana mengerjakannya. Siswa
hanya menjumlahkan hasilnya saja sedangkan yang dimaksud soal bukan seperti
itu.
Faktor yang mempengaruhi kesulitan siswa dalam memahami konsep terjadi
karena siswa kurang memahami materi atau siswa belum mampu
mengidentifikasikan jenis soal sehingga siswa merasa bingung dengan cara yang
7
sesuai dengan soal yang ditanyakan. Kesulitan yang dialami subjek A penyandang
slow learner disebabkan oleh kurangnya bimbingan khusus dan pendamping pada
saat mengerjakan soal. Hal ini disebabkan subjek A belum mampu memahami soal
dengan baik sehingga subjek A sangat membutuhkan orang lain untuk
menterjemahkan maksud soal.Sedangkan kesulitan memahami atau menerapkan
konsep yang dialami oleh subjek B penyandang tuna rungu pada soal nomor 1
terjadi karena belum mengerti cara mengerjakannya. Subjek B hanya menuliskan
kembali soal tersebut dikarenakan siswa bingung dengan pertanyaan pada soal.
Kesulitan belajar yang dialami subjek B tersebut karena tidak mampu menangkap
penjelasan materi dengan baik, jika mengerjakan tugas guru atau teman kelasnya
sulit menjelaskan karena bahasa atau cara bicaranya juga kurang jelas sehingga
subjek B sulit beradaptasi dengan proses belajar disekolah.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Efendi (2006) menyatakan
bahwa pada umumnya intelligensi anak tunarungu secara potensial sama dengan
anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat
kemampuan berbahasanya, keterbatasan informasi, dan daya abstraksi
anak.perkembangan kognitif anak tunarungu sangat dipengaruhi oleh
perkembangan bahasa, sehingga hambatan pada bahasa akan menghambat
perkembangan inteligensi anak tunarungu. Sedangkan menurut Wardani (2011 :
5.48) strategi pembelajaran bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan
strategi pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran bagi anak normal,
tetapi dalam pelaksanaannya, harus bersifat visual, artinya lebih banyak
memanfaatkan indra penglihatan siswa tunarungu.
Berdasarkan pemaparan hasil di atas menunjukan bahwa anak berkebutuhan
khusus yang salah dalam memahami atau menerapkan konsep pada soal, banyak
anak berkebutuhan khusus kurang mengerti bagaimana mengerjakannya. Faktor
yang mempengaruhi kesulitan tersebut karena anak berkebutuhan khusus belum
mampu mengidentifikasikan jenis soal sehingga merasa bingung dengan cara
yang sesuai dengan soal yang ditanyakan. Kurangnya bimbingan guru
8
pendamping khusus (GPK) juga menjadi faktor kesulitan anak berkebutuhan
khusus dalam belajar dan mengerjakan soal.
d. Kesulitan pada aspek operasi
Kesulitan pada aspek operasi merupakan kesulitan yang sering terjadi pada
anak berkebutuhan khusus. Kesulitan pada proses perhitungan dialami oleh semua
siswa pada nomor 2, serta pada subjek B pada soal nomor 6 dan nomor 7.
Kesulitan yang dialami oleh subjek A dan subjek C dengan penyandang slow
learner pada soal nomor 2 siswa belum mengerti bagaimana menyelesaikannya
dan belum mampu menghitung dengan benar. Sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rakhmawati (2017) yang mengemukakan bahwa kesulitan belajar
karena kelemahan pada perhitungan matematika dan pemecahan masalah pada
soal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar siswa slow learner
adalah faktor internal meliputi: kemampuan penalaran siswa yang rendah, sikap
belajar, motivasi belajar yang rendah. Sedangkan faktor eksternal meliputi:
kurangnya media pembelajaran, kurikulum yang kurang relevan dengan
kebutuhan belajar, pembelajaran kurang bervariasi, evaluasi pembelajaran yang
kurang tepat. Adapun kesulitan yang dialami oleh subjek B dengan penyandang
tuna rungu pada soal nomor 6 siswa belum mampu mengingat dengan baik tanda
pertidaksamaan linear. Kesulitan subjek B pada soal nomor 7 siswa kurang teliti
dalam menghitung. Faktor yang mempengaruhi anak berkebutuhan khusus dalam
proses perhitungan terjadi karena siswa malas menghitung angka yang besar dan
rumit, sehingga siswa menjadi kurang teliti dalam menghitungkan jawaban.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Idris dkk (2015) bahwa
kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal salah satunya adalah rendahnya skill
berhitung. Hal serupa juga diungkapkan oleh Darjiani (2015) bahwa siswa masih
mengalami kesulitan dalam berhitung dan kesulitan dalam melakukan pemecahan
masalah. Kevkler (2014) menyatakan bahwa kesulitan siswa dalam
menyelesaikan soal matematika adalah karena kemampuan aritmatika siswa yang
9
masih rendah. Cruz (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa faktor yang
menyebabkan siswa mengalami kesulitan proses berhitung pada penyelesaian
masalah diakibatkan oleh kesalahan dalam mengintepretasikan simbol. Faktor
yang sering menjadi penyebab kesulitan itu muncul adalah siswa jarang berlatih
soal sehingga siswa masih kebingungan dalam penggunaan data. Hal ini juga
mengakibatkan siswa tidak lancar dalam mengerjakan soal dan melemahkan daya
ingat siswa.
Berdasarkan pemaparan hasil di atas menunjukan kesulitan pada aspek operasi
dialami anak berkebutuhan khusus karena belum mengerti bagaimana
menyelesaikan soal dan belum mampu menghitung dengan benar. Faktor yang
mempengaruhi anak berkebutuhan khusus dalam proses perhitungan terjadi
karena siswa malas menghitung angka yang besar dan rumit, sehingga siswa
menjadi kurang teliti dalam menghitung. Faktor yang sering menjadi penyebab
adalah siswa jarang berlatih soal sehingga mengakibatkan siswa tidak lancar
dalam mengerjakan soal.
4. PENUTUP
Tidak adanya bimbingan, perlakuan, dan kurangnya guru pendamping khusus
(GPK) membuat anak berkebutuhan khusus harus menerjemahkan sendiri materi-
materi yang diberikan oleh guru. Tidak ada jam pelajaran tambahan untuk
membantu anak berkebutuhan khusus belajar lebih intensif, dan jarangnya
penggunaan strategi pembelajaran aktif membuat anak berkebutuhan khusus
merasa kurang diperhatikan dan tidak berani untuk bertanya kepada guru.
Kesulitan anak berkebutuhan khusus pada aspek bahasa yaitu kurang pemahaman
pada soal dan kurangnya konsentrasi pada saat mengerjakan soal, sehingga siswa
merasa bingung untuk mengerjakan dan melanjutkan langkah dalam
menyelesaikan soal. Hal ini disebabkan karena kurangnya guru pendamping
khusus (GPK) untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus dalam belajar
maupun mengerjakan soal.
10
Kesulitan pada aspek konsep yaitu anak berkebutuhan khusus yang salah
dalam memahami atau menerapkan konsep pada soal, banyak anak berkebutuhan
khusus kurang mengerti bagaimana mengerjakannya. Faktor yang mempengaruhi
kesulitan tersebut karena anak berkebutuhan khusus belum mampu
mengidentifikasikan jenis soal sehingga merasa bingung dengan cara yang sesuai
dengan soal yang ditanyakan. Kurangnya bimbingan guru pendamping khusus
(GPK) juga menjadi faktor kesulitan anak berkebutuhan khusus dalam belajar dan
mengerjakan soal. Kemudian, kesulitan pada aspek operasi dialami anak
berkebutuhan khusus karena belum mengerti bagaimana menyelesaikan soal dan
belum mampu menghitung dengan benar. Faktor yang mempengaruhi anak
berkebutuhan khusus dalam proses perhitungan terjadi karena siswa malas
menghitung angka yang besar dan rumit, sehingga siswa menjadi kurang teliti
dalam menghitung. Faktor yang sering menjadi penyebab adalah siswa jarang
berlatih soal sehingga mengakibatkan siswa tidak lancar dalam mengerjakan soal.
DAFTAR PUSTAKA
Cruz, Jes K. B. Dela, dkk. 2014. “Student Difficulties in Translating Worded Problem
in to Mathematical Symbols. DLSU Rresearch Congress 1(1).
Diakses pada tanggal 12 Agustus 2019 (www.sldu.ph).
Darjiani, Ni Nym. Yuni, I Gede Meter dan I Gusti A. O. Negara. 2015. “Analisis
Kesulitan-Kesulitan Belajar Matematika Siswa Kelas V dalam Implementasi
Kurikulum 2013 di SD Piloging Se-Kabupaten Gianyar Tahun Pelajaran
2014/2015”. e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Gianyar 3(1). Diakses
pada tanggal 12 Agustus 2019 (http://ejournal.undiksha.ac.id).
Efendi, Mohammad. (2006). Pengantar Psikopedogogik Anak Berkelainan. Jakarta :
PT.Bumi Aksara
Hadis, A. 2006. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistis. Bandung:
Alfabeta.
Idris, Fadli Hi, Ikhram Hamid dan Ardiana. 2015. “Analisis Kesulitan Siswa dalam
Menyelesaikan Soal-soal Penerapan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel”.
11
Delta-Pi Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika 4(1). Diakses pada
tanggal 12 agustus 2019 (http://ejournal.unkhair.ac.id).
Kavkler, Marija, dkk. 2014.”Key Factors for Succesful Solving of Mathematical
Word Problem in Fiffth-Grade Learners. Health Psykology Report 2(1).
Diakses pada 15 Agustus 2019 (http://pefprints.pef.uni-Ij.si).
Muharam, D. P. (2014). Anak Berkebutuhan Khusus tak Harus Belajar di SLB.
http://www.kartunet.com/anak-berkebutuhan-khusus-tak-harus-belajar-di-slb-
8019/.
Novriani, M. R , dan Surya, E. (2015). “An Analysis Of Difficulties Of Children
With Stuttering Enrolled In Inclutsive Classes Who Enconter In
Academic And Social Activies : From Their Perspective”. Internet.
Diakses pada tanggal 18 maret 2019.
Rakmawati, Nika. (2017). “Kesulitan Matematika Siswa Slow Learner Kelas IV Di
SD Negeri Batur 1 Semarang. Diakses pada 3 september 2019 dari
http://journal.student.uny.ac.id/ojs/ojs/index.php/plb/article/download/9758/9
412/.
Sari, A.W. (2017).”Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika Siswa Ditinjau dari
Kemampuan Koneksi Matematika Siswa”. Universitas Muhammadiyah
Tarmansyah. 2007. Inklusi (Pendidikan Untuk Semua). Jakarta : Depdiknas.
Tias, Ayu Aji Wedaring dan Dhoriva Urwatul Wutsqa. 2015.”Analisis Kesulitan
Siswa SMA dalam Pemecahan Masalah Matematika Kelas XII IPA di Kota
Yogyakarta”. Jurnal Riset Pendidikan Matematika, Vol. 2 No. Diakses pada
tanggal 20 maret 2019 dari
(https://scholar.google.co.id/scholar?q=Analisis+Kesulitan+%09Siswa+SMA
+dalam+Pemecahan+Masalah+Matematika+Kelas+XII+IPA+di+Kota+%09
Yogyakarta&hl=en&as_sdt=0&as_vis=1&oi=scholart).
Wardani. I.G.A.K.2011.Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta. Universitas
Terbuka.