analisis kekalahan petahana (studi kekalahan basuki...
TRANSCRIPT
ANALISIS KEKALAHAN PETAHANA
(Studi Kekalahan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat
Pada Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017)
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan M emperoleh
Gelar Sarjana S osial (S.Sos)
Oleh:
JuwansahWiandi
1113112000037
iv
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang faktor kekalahan pasangan petahana Basuki
Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat atau yang sering disapa dengan Ahok-Djarot
pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Hal ini menarik untuk dikaji mengingat
pasangan Ahok-Djarot merupakan petahana yang memiliki popularitas tinggi hanya
mampu meraih suara terbanyak di putaran pertama dan gagal memperoleh suara
terbanyak di putaran kedua. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui
anilisis deskriptif. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui
wawancara, penelusuran dokumen dan studi pustaka. Selain itu kerang kateoritis
pada penelitian ini menggunakan teori kampanye dan perilaku politik.
Dalam penelitian ini penulis menemukan beberapa faktor yang
mempengaruhi kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 seperti;
kegagalan Tim Sukses menaikkan citra Ahok-Djarot, gaya komunikasi Ahok dan
yang paling dominan adalah Turunnya Citra Ahok-Djarot. Adapun turunnya citra
Ahok-Djarot berdasarkan Indikator pendekatan psikologis disebabkan oleh isu
SARA disusul dengan beragam reaksi dari masyarakat seperti aksi massa besar-
besaran, adanya spanduk-spanduk anti Ahok dan penolakan warga saat Ahok-Djarot
berkampanye. Selain itu faktor tambahan lainnya adalah kegagalan Tim Sukses
dibuktikan dengan kurangnya efektifitas kampanye yang dilakukan Tim Sukses
ditambah blunder politik dimasa tenang Pilkada mengakibatkan semakin
berkurangnya kepercayaan warga terhadap pasangan Ahok-Djarot.
Kata Kunci: Kekalahan, Petahana, Citra Pilkada, SARA
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya yang memberikan kemudahan dan jalan kepada hambanya sehingga
penelitian ini berhasil diselesaikan. Shalawat beriringkan salam semoga senantiasa
selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW.
Dalam proses penyelesaian penelitian ini tentu melibatkan banyak pihak
yang telah member dukungan dan motivasi serta membantu menyusun penelitian ini
sehingga dapat terselesaikan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan
bantuan yang mereka lakukan kepada penulis. Oleh karenanya penulis mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A, Sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
2. Dr. Ali Munhanif, M.A, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Dzuriyatun Thoyibah, M.Si, Dr. Bakir Ihsan, M.Si, dan Dr. Agus
Nugraha, M.A, sebagai Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Iding Rosyidin sebagai Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus
dosen pembimbing dalam menyelesaikan skripsi ini.
vi
5. Suryani, M.Si, sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kepada seluruh dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa disebutkan satu pers satu.
Terima kasih banyak atas ilmu yang diberikan selama masa perkuliahan,
semoga mereka selalu diberikan kesehatan oleh Allah SWT.
7. Kepada Orangtuaku, Wargo dan Kuswati, dua orang paling berharga dalam
hidup penulis, terima kasih atas doa dan segala yang diberikan kepada
penulis dalam setiap langkah hidup yang penulis jalani. Semoga Allah
SWT membukakan pintu rahmat seluas-seluasnya, selalu diberikan
kesehatan dan semoga diberikan keselamatan dunia dan akhirat. Amin.
8. Kepada keluarga besarku, terima kasih atas segala doa dan dukungan
kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
9. Kepada kawan-kawan seperjuangan yang tetap selalu bersama-sama hingga
hari ini, Aldo Serena, Dendi Budiman, Hendri Satrio, Luthfi Hasanal
Bolqiah, M. Andrean Saefuddin, Riyan Hidayat, Travelio Rian Agusta.
Semoga mereka diberikan kesuksesan dunia maupun akhirat.
10. Annisa Qurota Ayun`i, teman diskusi sekaligus sosok yang mengingatkan
dan menyemangati penulis selama proses penelitian ini hingga selesai.
11. Kepada para senior di Ciputat, Sopian Hadi Permana, Alfrad Rusyd,
Ahmad Fathoni, Gery Novandika Age, dan senior-senior lainya yang telah
banyak membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
vii
12. Kawan-kawan organisasi, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), GRPI,
Kuliah Kerja Nyata (KKN) SEPATU, Dewan Eksekutif Mahasiswa
Universitas (DEMA U) masa bakti 2017, Himpunan Mahasiswa Ilmu
Politik (HIMAPOL) masa bakti 2014, Perkumpulan Gerakan Kebangsaan
(PGK), Keluarga Mahasiswa Minang (KMM).
13. Kepada kawan-kawan Ilmu Politik A, terima kasih atas masukan yang
diberikan. Semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka semua.
14. Kepada Rian Ernest, Veri Muhlis Ariefuzzaman, dan beberapa warga yang
telah bersedia menjadi narasumber dalam pelitian ini.
Sekali lagi terima kasih banyak atas doa, dukungan dan bantuan ini sehingga
skripsi ini bisa diselesaikan. Penulis juga sadar bahwa masih banyak kekurangan
yang ada pada skripsi ini, oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun sehingga menjadi lebih baik ke depan terutama dalam ranah
akademik.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 8 Februari 2019
JuwansahWiandi
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………. iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………... v
DAFTAR ISI…………………………………………………………….. viii
DAFTAR TABEL……………………………………………………...... x
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….. xi
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………….... xii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………… 1
A. Pernyataan Masalah……………………………………. 1
B. Pertanyaan Penelitian………………………………….. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………… 8
D. Tinjauan Pustaka……………………………………….. 9
E. Metode Penelitian……………………………………… 12
F. Sistematika Penulisan………………………………….. 17
BAB II LANDASAN TEORI……………………………………... 19
A. Kampanye Politik……………………………………… 19
B. Perilaku Politik………………………………………… 21
1. Pendekatan Psikologis……………………………... 24
2. Pendekatan Sosiologis……………………………... 25
3. Pendekatan Pilihan Rasional……………………..... 26
ix
C. PemilihanKepala Daerah……………………………… 28
BAB III BIOGRAFI BASUKI TJAHAJA PURNAMA DAN DJAROT
SAIFUL HIDAYAT………………………………………. 32
A. Profil Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful
Hidayat…………………………………………………. 32
1. Basuki Tjahaja Purnama…………………………… 32
2. Djarot Saiful Hidayat………………………………. 40
B. Partai Pengusung dan Tim Pemenangan Ahok-Djarot… 43
C. Visi dan Misi Ahok-Djarot…………………………….. 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA………... 48
A. Faktor Kekalahan Ahok-Djarot………………………… 48
1. Timses Gagal Mengkampanyekan Ahok-Djarot…… 50
2. Turunnya Citra Ahok……………………………….. 56
3. Faktor Gaya Komunikasi Ahok…………………….. 66
B. Pembahasan…………………………………………….. 68
BAB V PENUTUP…………………………………………………. 71
A. Kesimpulan…………………………………………….. 71
B. Saran…………………………………………………… 72
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... 73
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel I.A.1 Perolehan suara putaran pertama Pilkada DKI Jakarta tahun
2017…………………………………………………… 4
Tabel I.A.2 Perolehan suara putaran kedua Pilkada DKI Jakarta tahun
2017…………………………………………………… 6
Tabel I.E.3 Selisih suara Ahok-Djarot di Pilkada DKI dari Putaran Pertama
sampai Putaran Kedua………………………………... 14
Tabel I.E.4 Selisih suara Ahok-Djarot dari Putaran Pertama sampai Putaran
Kedua di Kabupaten/Kota Jakarta Timur……………... 15
Tabel III.A.5 Data Pribadi Basuki Tjahaja Purnama……………….... 34
Tabel III.A.6 Data Pribadi Djarot Saiful Hidayat……………………. 40
Tabel III.B.7 Struktur Tim Pemenangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot
Saiful Hidayat…………………………………………. 43
Tabel IV.A.8 Data Jumlah Daftar Pemilih Tetap di Putaran Pertama.. 49
Tabel IV.A.9 Data Jumlah Daftar Pemilih Tetap di Putaran Kedua… 49
Tabel IV.A.10 Survei Elektabilitas Pasangan Ahok-Djarot…………... 57
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar VI.A.1 Ribuan Massa Aksi Bela Islam I…………………... 60
xii
DAFTAR SINGKATAN
PILKADA Pemilihan Kepala Daerah
SARA Suku, Agama, Ras dan Antargolongan
KPU Komisi Pemilihan Umum
PDIP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
NASDEM Nasional Demokrat
HANURA Hati Nurani Rakyat
GOLKAR Golongan Karya
KTP Kartu Tanda Penduduk
LSI Lembaga Survei Indonesia
SMRC Saiful Mujani Research and Consulting
GERINDRA Gerakan Indonesia Raya
PKS Partai Keadlian Sejahtera
PPIB Partai Perhimpunan Indonesia Baru
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
KKN Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
SPPD Surat Perintah Perjalanan Dinas
DPT Daftar Pemilih Tetap
BAWASLU Badan Pengawas Pemilu
DPC Dewan Pengurus Cabang
FPI Front Pembela Islam
FUI Front Umat Islam
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Menurut A. S. S. Tambunan pemilu adalah sarana atas pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang pada dasarnya merupakan pengakuan dan perwujudan
dari pada hak-hak politik rakyat dan merupakan pendelegasian hak-hak tersebut
oleh rakyat kepada wakil-wakilnya yang terpilih untuk menjalankan roda
pemerintahan.1
Indonesia sebagai salah satu negara yang demokratis, artinya pemilu
merupakan hajatan yang harus dilaksanakan oleh Indonesia, masyarakat
mempergunakan haknya untuk memilih wakil rakyat maupun presiden dan wakil
presiden. Diselenggarakannya pemilihan umum akan berguna bagi aspirasi rakyat
dan menjalankan roda pemerintahan yang bertujuan untuk mensejahterakan
rakyat. Begitu pula halnya pemilihan kepala daerah (PILKADA) secara langsung
yang dilakukan di masing-masing daerah di Indonesia baik di tingkat Propinsi
maupun Kabupaten/Kota. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan
salah satu agenda penting penyelenggaraan pemerintahan sejak diselenggarakan
pertama kali tahun 2005 setelah adanya sistem otonomi daerah di Indonesia.2
Pada Tahun 2017, Indonesia mengadakan pilkada serentak kedua setelah
pilkada serentak pertama Tahun 2015 di mana Komisi Pemilihan Umum (KPU)
1Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 331. 2Tjahjo Kumolo, Politik Hukum Pilkada Serentak, (Jakarta: Expose, 2015), hlm.76.
2
menetapkan pelaksanaan Pilkada serentak pada 15 Februari 2017 yang diikuti
oleh 101 daerah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Pilkada tersebut terdiri
atas 7 Provinsi, 76 Kabupaten, dan 18 Kota. Ketujuh Provinsi tersebut yaitu Aceh,
Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua
Barat.3Dari daerah-daerah tersebut, yang menarik adalah Pilkada di DKI Jakarta
dengan menyorot Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang berpasangan dengan
Djarot Syaiful Hidayat sebagai pasangan petahana, namun kalah dalam kontestasi.
Pilkada DKI Jakarta menghadirkan atmosfer yang berbeda dibanding
pemilihan kepala daerah di daerah-daerah lainnya. Nyatanya Pilkada DKI Jakarta
mampu menarik perhatian dalam lingkup nasional, bahkan internasional karena
tidak sedikit pula media asing yang ikut memberitakan Pilkada DKI Jakarta.
Dengan majunya pasangan petahana Ahok-Djarot, disusul kemudian pasangan
Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-
Sylviana Murni menjadi kontestasi yang menarik.
Beberapa kelompok masyarakat di Jakarta menginginkan calon yang
sudah terlihat kinerjanya dan sudah dikenal lama oleh masyarakat jakarta. Namun,
sebagian lain menginginkan suasana baru dan mendambakan sosok gubernur
dengan harapan lebih santun dan pro terhadap rakyat kecil. Dinamika yang
tercipta diikuti dengan keterlibatan beragam media membuat situasi dalam
Pilkada menjadi semakin menarik. Hal ini dikarenakan calon yang terpilih
3Liputan6, “Ini 101 Daerah yang gelar Pilkada Serentak 2017”, pilkada.liputan6.com, 18
Oktober 2017.
3
selanjutnya menjadi penentu nasib mereka dan kebijakan yang dikeluarkan akan
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat jakarta.4
Dari peta kekuatan masing-masing pasangan, pasangan Ahok-Djarot
diusung oleh empat parpol, yaitu PDIP (28 kursi DPRD DKI), Nasdem (5 kursi),
Hanura (10 kursi), Golkar (9 kursi). Total kekuatan kursi Ahok-Djarot di DPRD
DKI Jakarta yaitu 52 kursi.5Selain diusung empat parpol tersebut, Ahok-Djarot
juga didukung oleh Relawan Teman Ahok yang mengklaim telah berhasil
mengumpukan satu juta KTP dukungan untuk Ahok.6
Berdasarkan survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI)
menjelang pencoblosan putaran pertama dan hasil survei diumumkan 5 hari
sebelum pencoblosan dengan mengukur eletabilitas para calon, pasangan Ahok-
Djarot yang diterpa banyak isu, elektabilitasnya mencapai 30,7 %, di bawah
pasangan Agus-Sylvi dengan 30,9 % dan berada di atas Anies-Sandi dengan 29,9
%.7 Sedangkan elektabilitas Ahok-Djarot berdasarkan survei yang dilakukan pada
Tanggal 3-9 Februari 2017 oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC),
unggul di atas pasangan lainnya dengan memperoleh angka 39,1 %, disusul
pasangan Anies-Sandi 33,5 %, dan terakhir pasangan Agus-Sylvi dengan 19,9 %.8
4Muhammad Fathan, “Dinamika Pilkada DKI”, www.republika.co.id, 18 Oktober 2017.
5Nila Chrisna Yulika, “Koalisi Non-Ahok Pecah, Berapa Kekuatan Penantang Ahok-
Djarot?”, pilkada.liputan6.com, 19 Oktober 2017 6Ahmad Toriq, “Peta Kekuatan Ahok, Agus dan Anies”, news.detik.com, 19 Oktober
2017. 7Jessi Carina, “Survei LSI Denny JA: Dukungan Untuk Ahok-Djarot 42.7 Persen Anies-
Sandi 51.4 Persen”, megapolitan.kompas.com, 19 Oktober 2017 8Alsadad Rudi, “Survei SMRC: Elektabilitas Ahok-Djarot 39.1%, Anies-Sandi 33.5%,
Agus-Sylvi 19.9%”, megapolitan.kompas.com, 19 Oktober 2017.
4
Dengan banyaknya dukungan dari berbagai partai dan elektabilitas
pasangan Ahok-Djarot yang tidak begitu mengecewakan meskipun diterpa
banyak isu, pasangan petahana ini berhasil meraih suara terbanyak pada Pilkada
putaran pertama, seperti yang terlihat pada tabel berikut:
Tabel I.A.1
Perolehan suara Putaran Pertama Pilkada DKI Jakarta tahun 2017
No Nama Pasangan Calon Perolehan Suara
1 Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni 937.955 (17,05 %)
2 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat 2.364.577 (42,99 %)
3 Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno 2.197.333 (39,95 %)
Sumber: Arsip KPUD DKI Jakarta
Sebagai pasangan petahana sekaligus yang diunggulkan, Ahok-Djarot
membuktikan diri dengan memperoleh suara terbanyak diantara pasangan lain.
Walaupun memperoleh suara terbanyak, selisih suara dengan pasangan lain
khususnya pasangan Anies-Sandi terbilang tidak terlalu jauh. Ini mengejutkan jika
dilihat dari peta kekuatan politik anies-sandi yang hanya didukung oleh dua partai,
yaitu Gerindra dan PKS.
Pada Pilkada putaran pertama memang memunculkan peroleh suara
terbanyak dari ketiga pasangan calon yaitu pasangan Ahok-Djarot, meskipun
mendapat suara terbanyak Ahok-Djarot belum bisa dinyatakan menang dalam
pertarungan, karena peroleh suara Ahok-Djarot belum mencapai 50 persen dari
syarat menjadi gubernur dan wakil gubernur. Berdasarkan aturan Undang-undang
No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia serta PKPU No. 6/2016 tentang Pemilihan
5
Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil
Walikota di Wilayah Aceh, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pada
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua dan Papua Barat yang menyatakan bahwa
Cagub dan Cawagub DKI harus memperoleh suara lebih dari 50 persen untuk
menjadi pemenang.9
Menjelang dilakukannya putaran kedua, suasana pilkada semakin panas
dengan berbagai macam model kampanye yang dilakukan, ditambah saling
serangnya di media antara kedua pasang calon yang akan bertarung di putaran
kedua. Banyaknya pemberitaan media tentang figur calon, khususnya pasangan
Ahok-Djarot, dengan menampilkan isu-isu seperti isu SARA ditambah Ahok
ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama atas pernyataannya terkait
Surat Al-Maidah ayat 51. Berikut ucapan Ahok yang dianggap telah merendahkan
dan menghina ayat suci Al-Qur`an.
"Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu
nggak bisa pilih saya ya kan? Dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-
macam itu. Itu hak Bapak-Ibu ya. Jadi kalau Bapak-Ibu perasaan nggak bisa
kepilih nih, karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu ya, nggak
apa-apa,"10
Hal ini menjadi bumerang tersendiri bagi kubu Ahok-Djarot. Sontak
pernyataan tersebut menimbulkan tanggapan dan sentimen negatif dari banyak
pihak, terutama kalangan umat Muslim di Indonesia. Puncak dari isu panas ini
adalah banyaknya demonstrasi-demonstrasi di ibukota yang dilakukan oleh umat
Muslim dari berbagai daerah seperti aksi pada Tanggal 4 November atau yang
9Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “KPU Launching Pilkada DKI Putaran
Kedua”, kpujakarta.co.id, 20 Oktober 2017. 10
Rina Atriana, “Hakim: Ahok Merendahkan Surat Al-Maidah 51”, news.detik.com, 20
Oktober 2017.
6
dikenal dengan aksi 411 dan aksi pada Tanggal 2 Desember atau yang dikenal
aksi 212. Demonstrasi ini menuntut agar Ahok di pidanakan karena telah
dianggap menghina umat Islam terutama.
Berdasarkan survei yang dilakukan pada 12-14 April 2017 oleh lembaga
Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa eletabilitas pasangan Ahok-
Djarot yang banyak diterpa isu ditambah ditetapkannya Ahok sebagai tersangka
kalah tipis dengan berada pada angka 47,4 %, dibanding pasangan Anies-Sandi
dengan angka 48,2 %.11
Dengan demikian, artinya ada perubahan perilaku warga
Jakarta dalam menilai pasangan Ahok-Djarot meskipun elektabilitas ini
mengalami peningkatan. Pertarungan kedua pasangan ini mengahsilkan kekalahan
yang harus diterima oleh pasangan Ahok-Djarot. Berikut hasil perolehan suara
pada pilkada putaran kedua.
Tabel I.A.2
Perolehan suara Putaran Kedua Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017
No Nama Pasangan Calon Perolehan Suara
1 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat 2.350.366 (42,04 %)
2 Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno 3.240.987 (57,96 %)
Sumber: Arsip KPUD DKI Jakarta
Kekalahan Ahok-Djarot dengan selisih suara sebesar 15,92 % menandakan
bahwa pertarungan Pilkada di DKI Jakarta bukan ditentukan oleh partai
pendukung, namun diyakini figurcalon menjadi faktor penentu calon gubernur
serta kinerja seorang Ahok-Djarot sebagai petahana sangat diperhitungkan. Selain
itu isu-isu tentang pasangan ini juga mempengaruhi perilaku memilih warga
11
Bartanius Dony, “Survei Indikator: Elektabilitas Anies-Sandi 48.2%, Ahok-Djarot
47.4%”, news.detik.com, 20 Oktober 2017.
7
jakarta. Kekalahan Ahok juga tidak terlepas dari sosoknya yang dinilai publik
memiliki gaya komunikasi yang tidak ramah dan kurang santun, seperti survei
yang dilakukan Lembaga Indikator Politik Indonesia, yangmenghasilkan bahwa
Ahok sangat rendah dalam citra ramah dan santun.12
Berdasarkan penjelasan di atas dinamika politik Pilkada Jakarta
menghadirkan atmosfer yang beragam, salah satunya kekalahan Ahok-Djarot
yang notabene sebagai pasangan petahana dan diunggulkan ditambahdengan
banyaknya dukungan dari partai-partai namun kenyataannya justru Ahok-Djarot
mengalami kekalahan dalam kontestasi di Pilkada. Atas dasar inilah penulis ingin
meneliti kasus kekalahan Ahok-Djarat dalam penelitian yang diberi judul:
"Analisis Kekalahan Petahana (Studi Kekalahan Ahok-Djarot Pada Pilkada DKI
Jakarta Tahun 2017).
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan fenomena yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta dengan melihat
kekalahan Ahok-Djarot maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
mengapa Ahok-Djarot kalah dalam Pilkada DKI Jakarta 2017?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab
kekalahan Ahok-Djarot pada pemilihan kepala daerah DKI Jakarta Tahun 2017.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
12
Putera Negara, “Survei Indikator Politik: Ahok dinilai sosok yang kurang santun”,
news.okezone.com, 20 Oktober 2017.
8
1. Secara teoritis, memberikan kontribusi terhadap ilmu politik khususnya kajian
tentang politik lokal, sekaligus menjadi tambahan literatur penelitian Program
Studi Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Secara praktis, dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor yang
membuat Ahok-Djarot kalah dalam Pilkada DKI Jakarta serta penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan masukan bagi kandidat petahana pada umumnya
agar menjadi bahan evaluasi terhadap pencalonan kepala daerah.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, penulis menghadirkan beberapa literatur-literatur
yang bisa dijadikan bahan perbandingan ataupun memberikan keragaman
persepktif dalam melakukan penelitian tentang kekalahan Ahok-Djarot ini,
diantaranya:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Bakti Saputra.13
Penelitian ini
menjelaskan bahwa dukungan dari berbagai kalangan dan punya posisi strategis
nyatanya belum mampu membuat pasangan Tobroni Harun-Komarudin menang
dalam pilkada di Lampung dengan kekalahan presentase yang sangat jauh, hanya
mendapat suara sebesar 11,34% dibanding lawannya yaitu pasangan Herman HN-
Yusuf Kohar yang unggul sangat jauh dengan perolehan suara sebesar 86,66%.
Berdasarkan pendekatan perilaku pemilih, ditemukan beberapa faktor
yang membuat Tobroni Harun-Komarunizar kalah. Tobroni Harun-Komarunizar
13
Bakti Saputra, “Kekalahan Tobroni Harun-Komarunizar Dalam Pemilihan Kepala
Daerah Kota Bandar Lampung 2015”, (Program Sarjana, Universitas Lampung, 2016).
9
belum mampu dianggap sebagai figur yang ditokohkan oleh pemilih di Bandar
Lampung dan ditemukan fakta bahwa informasi mengenai visi misi dan sosok
Tobroni Harun informasinya belum sampai ke masyarakat. Faktor lain yang
ditemukan adalah adanya konflik internal Partai Amanat Nasional sebagai
pengusung mempengaruhi dukungan dan huga kinerja tim sukses kepada
pasangan Tobroni Harun-Komarunizar. Penelitian tersebut dilakukan dengan
menggunakan metode kualitatif deskriptif yaitu menggambarkan secara
sistematis dan mendalam.
Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian tersebut diantaranya
subjek penelitian yang berbeda dan objek penelitian yang berbeda pula yaitu
Tobroni Harun dan Komarunizar dan kekalahannya di Kota Bandar Lampung.
Adapun kesamaan dari penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya yaitu
sama-sama meneliti sosok calon dari petahana.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Reza Muhammad.14
Penelitian ini
menggambarkan bahwa figur dan kinerja calon dari petahana sangat
mempengaruhi perilaku seorang pemilih. Hal ini terlihat dari kekalahan Arifin
Junaidi dalam pilkada di Luwu Utara yang dikalahkan oleh mantan wakilnya di
pemerintahan sebelumnya. Kekalahan Arifin Junaidi juga tidak terlepas dari sikap
kepemimpinannya yang cenderung otoriter dan berorientasi politik dinasti.
Ditambah juga kepercayaan masyarakat Luwu Utara terhadap mantan wakilnya
14
Reza Muhammad, “Kekalahan Petahana Dalam Pilkada 2015 Di kabupaten Luwu
Utara”, (Program Sarjana, Universitas Hasanuddin Makassar, 2017).
10
yang dinilai lebih baik darinya. Penelitian tersebut dilakukan dengan
menggunakan metode kualitatif secara deskriptif.
Perbedaan yang ditemukan dari penelitian penulis dengan penelitian
tersebut diantaranya subjek penelitian yang berbeda dan objek penelitian yang
berbeda pula yaitu sosok Arifin Junaidi dan kekalahannya di Kabupaten Luwu
Utara. Adapun kesamaan dari penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya
yaitu sama-sama meneliti sosok calon dari petahana.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Monicha Angraini.15
Penelitian ini
menggambarkan kekalahan petahana dalam pemilukada di Kabupaten Lampung
Utara. Berdasarkan penelitian tersebut, dengan pendekatan perilaku pemilih
rasional, pemilih menjatuhkan suara penghukuman (punishment vote) sebagai
bentuk kekecewaan terhadap pasangan Zainal Abidin dan Anshori Djausal atas
kinerjanya sebelumnya. Pemilih memilih pasangan calon lain dengan harapan
adanya perubahan dari seorang pemimpin baru. Penelitian tersebut menunjukkan
bahwa pemilih semakin rasional. Penelitian tersebut dilakukan dengan
menggunakan metode kualitatif secara deskriptif.
Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian tersebut diantaranya
subjek penelitian yang berbeda dan objek penelitian yang berbeda pula yaitu
Zainal Abidin dan Anshori Djausal dan kekalahannya di Kabupaten Lampung
Utara. Adapun kesamaan dari penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya
yaitu sama-sama meneliti sosok calon dari petahana.
15
Monicha Angraini, “Faktor Penyebab Kekalahan Pasangan Zainal Abidin (Incumbent)
Dan Anshori Djausal Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara Tahun 2013”,
(Program Sarjana, Universitas Lampung Bandar Lampung, 2015).
11
Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Muhamad Khafidhin.16
Penelitian ini menggambarkan pemberitaan Media Kompas dalam framing
dugaan kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok. Pada penilitian tersebut
menunjukkan bahwa Media Kompas lebih menonjolkan sesuatu yang mendukung
Ahok. Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
objek penelitiannya adalah framing pemberitaan dan subjek penelitian adalah
harian kompas.
Walaupun terdapat persamaan antara penelitian penulis dengan penelitian
sebelumnya yaitu subjek yang sama, namun terdapat pula perbedaan penelitian
yang penulis buat dengan penelitian tersebut yaitu sudut pandang yang berbeda di
mana penelitian sebelumnya membahas tentang framing terhadap Ahok,
sedangkan penelitian penulis membahas kekalahan Ahok pada pilkada DKI
Jakarta. Dari beberapa literatur yang diperoleh tentang tentang Ahok dan Djarot,
penulis belum menemukan studi kasus atau penelitian yang sama dengan penulis.
Dengan demikian penelitian tentang “faktor penyebab kekalahan Ahok-Djarot
dalam pilkada DKI Jakarta” akan menjadi tambahan khazanah keilmuan,
sekaligus menjadi pembeda dengan jurnal, riset, skripsi yang lainnya.
E. Metode Penelitian
a. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif karena data yang digunakan untuk menjelaskan dan
16
Muhamad Khafidhin, “Framing Kasus Ahok Tentang Penistaan Agama (Analisis
Terhadap Berita Kompas Edisi 5-17 November 2016)”, (Program Sarjana, Uin Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2017).
12
menggambarkan fenomena sosial yang diteliti adalah data-data yang bersifat
kualitatif yang berbentuk kata dan perilaku, kalimat dan skema. Menurut John
W. Creswell, pendekatan kualitatif sebagai pendekatan atau penulusuran untuk
mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral. Untuk mengetahuinya,
peneliti mewancarai peserta penelitian atau partisipan dengan mengajukan
pertanyaan yang umum dan luas.17
Sementara itu, tipe pendekatan kualitatif pada penelitian ini dengan
cara deskriptif. Menurut Nazir penelitian deskriptif merupakan metode dalam
meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem
pemikiran, suatu kelas peristiwa pada masa sekarang dengan tujuan membuat
deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang
diselidiki.18
b. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh
penulis mencakup wawancara dan dokumentasi. Wawancara adalah
pertemuan periset dan responden di mana jawaban responden akan menjadi
data mentah. Secara khusus, wawancara adalah alat yang baik untuk
menghidupkan topik riset.19
Dalam wawancara, pengumpulan datanya diambil
dari responden yang penulis anggap mampu menjawab fenomena kekalahan
17
J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif (Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya),
(Jakarta: GRASINDO, 2010), hal. 7 18
Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal. 63. 19
Lisa Harrison, Metode Penelitian Politik, (Jakarta: KENCANA, 2009), hal. 104.
13
Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta. Sedangkan dokumentasi, menurut
Hamidi ialah informasi yang berasal dari catatan penting baik dari lembaga
atau organisasi maupun dari perorangan.Sumber datanya baik dari media cetak
maupun elektronik, seperti jurnal, buku, artikel, skripsi, tesis, disertasi dan
sumber-sumber media elektronik lainnya.20
c. Sumber dan Jenis Data
Adapun sumber data diperoleh peneliti dari hasil observasi dan
wawancara yang dialakukan oleh peneliti serta dari dokumen-dokumen yang
peneliti peroleh. Selanjutnya, sebelum masuk pada proses analisis, terlebih
dahulu data dikelompokan sesuai jenis dan karakteristiknya. Dalam hal ini,
penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data
sekunder:
1. Data Primer
Adalah data yang berupa teks hasil wawancara dan diperoleh
melalui wawancara dengan informan yang sedang dijadikan sampel dalam
penelitiannya. Peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mendapatkan
data yang riil dalam berbagai bentuk.21
Adapun data primer diambil dari
beberapa kalangan seperti: Tim Sukses Ahok-Djarot (Rian Ernest),
Pengamat Politik (Veri Muhlis Ariefuzzaman) serta beberapa warga.
Adapun warga yang dijadikan sampel wawancara diambil berdasarkan
20
Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan proposan dan
Laporan penelitian, (Malang: UMM Press, 2004), hal. 72. 21
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2006, hal. 209.
14
pertimbangan penulis yang melihat turunnya suara Ahok-Djarot di putaran
kedua setelah di putaran pertama mampu menang. Dalam hal ini penulis
melihat selisih suara Ahok-Djarot dari putaran pertama hingga putaran
kedua yang mengalami penurunan suara paling drastis, seperti pada tabel
berikut:
Tabel I.E.3
Selisih Suara Ahok-Djarot di Pilkada DKI dari Putaran Pertama sampai
Putaran Kedua
Kabupaten/Kota Putaran 1 Putaran 2 Selisih
Jakarta Pusat 244.727 243.416 -1.311
Jakarta Utara 416.720 418.068 1.348
Kepulauan Seribu 5.532 5.391 -141
Jakarta Timur 618.880 612.093 -6.787
Jakarta Selatan 465.524 459.639 -5.885
Jakarta Barat 613.194 611.759 -1.435
Total 2.364.577 2.350.366 -14.211
Sumber: kpujakarta.go.id
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa daerah yang mengalami
penurunan suara paling drastis terjadi di Kabupaten/Kota Jakarta timur
dengan total suara yang turun dari putaran pertama sampai putaran kedua
mencapai 6.787 suara atau menyumbang 47% suara yang turun dari
putaran pertama sampai putaran kedua. Oleh karena itu penulis memilih
daerah Jakarta Timur sebagai tujuan pengambilan sampel warga yang akan
diwawancara. Lebih dalam lagi penulis menggali kembali daerah Jakarta
Timur yang mengalami penurunan suara paling banyak, seperti yang
tercantum pada tabel berikut:
15
Tabel I.E.4
Selisih suara Ahok-Djarot dari Putaran Pertama sampai Putaran Kedua di
Kabupaten/Kota Jakarta Timur
Kecamatan Putaran 1 Putaran 2 Selisih
Cakung 91.925 93.873 1.948
Cipayung 54.384 52.694 -1.690
Ciracas 66.192 63.952 -2.240
Duren Sawit 89.433 88.659 -774
Jatinegara 64.291 63.774 -517
Kramat jati 56.896 55.584 -1.312
Makasar 46.921 46.219 -702
Matraman 37.868 37.654 -214
Pasar Rebo 43.848 43.685 -163
Pulo Gadung 67.122 66.536 -586
Jumlah 618.880 612.630 -6.250
Sumber: kpujakarta.go.id
Pada tabel diatas menunjukkan penurunan suara Ahok-Djarot di
Kabupaten/Kota Jakarta Timur mencapai 6.250 suara dengan tiga
kecamatan sebagai penyumbang terbesar suara Ahok-Djarot turun di
Jakarta Timur yaitu Ciracas (2.240 suara), Cipayung (1.690suara) dan
Kramat Jati (1.312 suara). Penulis mewawancarai dua orang warga dari
setiap daerah tersebut dengan berdasarkan perbedaan gender, satu orang
laki-laki dan satu orang perempuan.
2. Data Sekunder
Adalah data-data yang sudah tersedia dan diperoleh dari sumber
data yang sudah ada, diantaranya informasi yang diambil secara langsung
dari dokumen, data, statistik yang dalam hal ini adalah hasil penelitian
16
sebelumnya, serta buku-buku yang menunjang penelitian.22
Data sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah data yang benar
dan valid yang bersumber dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait
hasil Pilkada DKI Jakarta 2017 yang didukung dengan buku-buku terkait,
jurnal, artikel dan beberapa sumber pustaka, dokumentasi dan lainnya
yang berkaitan dengan kajian penelitian.
d. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan bagian paling penting dalam penelitian.
Dengan menganalisa data maka penulis akan mendapat jawaban atas
fenomena yang sedang diteliti. Dalam proses analsis data, peneliti
menggunakan model Miles dan Huberman yang terbagi menjadi tiga tahap,
yaitu:
1. Reduksi data (data reduction)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema polanya.23
Proses
analisis data dengan menelaah data dari berbagai sumber yang telah di
dapat dari pengamatan seperti wawancara dan dokumen.
2. Penyajian data (data display)
Setelah data di reduksi, maka langkah selanjutnya adalah
mendisplaykan data. Pada tahap ini juga dilakukan proses pengelompokan
data berdasarkan dari informan, sehingga akan diketahui informasi yang
22
Lisa Horison, Metode Penelitian Politik, Jakarta: Kencana, 2007, hal. 125. 23
Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,(Bandung: Alfabeta,
2012), hlm. 277.
17
sesuai dengan pokok masalah. Penyajian bisa dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, dan hubungan antar kategori. Penggunaan gambar,
bagan dan tabel bisa memperkuat data deskriptif dan mempermudah
pembaca dalam memahami isi penelitian.24
3. Verifikasi data (conclusion drawing)
Kesimpulan yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan
berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan mendukung pada
pengumpulan data berikutnya.25
Pada tahap ini dilakukan proses
pengulangan dan peninjauan kembali data yang sudah disajikan dengan
tujuan untuk memantapkan data agar dapat diperoleh benang merah dari
fenomena yang sedang diteliti.
F. Sistematika Penulisan
Agar skripsi ini menjadi lebih sistematis, dalam penulisan skripsi ini
penulis membagi lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I, penulis memaparkan permasalahan yang melatar belakangi
pembahasan dan perumusan masalah serta manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini.
BAB II, penulis menjelaskan lebih dalam teori-teori yang digunakan
dalam penelitian ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan
kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta.
24
Ibid, hal 71. 25
Ibid, hal 28.
18
BAB III, penulis memaparkan profil dari pasangan Basuki Tjahaja
Purnama dan Djarot Syaiful Hidayat seperti perjalanan politik kedua pasangan ini
sehingga sampai ikut berkontestasi di pemilukada DKI Jakarta tahun 2017.
BAB IV, pada bab ini penulis menganalisa hasil temuan-temuan pokok
penelitian yang menjelaskan tentang faktor kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada
DKI Jakarta Tahun2017 kendati menang diputaran pertama.
BAB V, pada bab ini penulis memaparkan garis besar dari inti penelitian
yang penulis teliti tentang faktor kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI
Jakarta Tahun 2017.
19
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini peneliti akan menjelaskan mengenai kajian teori yang
digunakan untuk melihat faktor kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta
dengan menggunakan teori perilaku politik sebagai teori utama dalam penelitian
ini. Disamping teori utama, akan dijelaskan juga teori pendukung penelitian ini
yaitu pemilihan umum kepala daerah.
A. Kampanye Politik
Hasil pemilu tanpa didahului oleh kampanye akan berefek pada menang
dan kalah, karena kampanye politik sangat menentukan apakah calon pemimpin
akan menang atau justru kalah. Kampanye politik adalah suatu usaha yang
terkelola, terorganisir utnuk mengikhtiarkan orang dicalonkan, dipilih, atau dipilih
kembali dalam suatu jabatan resmi. Sedangkan kampanye politik modern menurut
Arnold Steinberg adalah cara yang digunakan warga negara dalam demokrasi
untuk menentukan siapa yang akan memerintah mereka.
Setiap kampanye politik adalah suatu usaha hubungan masyarakat. Tugas
itu pada abad 19 pada hakikatnya sama yakni membujuk sejumlah pemberi suara
yang sudah terdaftar untuk mendukung calon. Kampanye yang berorientasi pada
hubungan masyarakat, berusaha merangsang perhatian orang kepada sang calon.1
Apapun ragam dan tujuannya, upaya perubahan yang dilakukan kampanye selalu
1Toni Andrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah, Mengenal Teori-teori Politik: Dari
Sistem Politik sampai Korupsi, (Bandung: Nuansa Cendikia, 2013), hal. 186.
20
terkait dengan aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan perilaku
(behavioral).
Terdapat jenis kampanye menurut Charles U. Larson yang dibagi dalam
tiga kategori:2
1. Product-Oriented Campaign (Commercial Campaign atau Corporate
Campaign), yaitu kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi
dilingkungan bisnis. Motivasi yang mendasarinya adalah memperoleh
keuntungan financial. Cara yang ditempuh adalah dengan memperkenalkan
produk dan melipatgandakan penjualan sehingga diperoleh keuntungan yang
diharapakan.
2. Candidat-Oriented Campaign atau yang disebut juga kampanye politik, yaitu
kampanye yang berorientasi pada kandidat umumnya dimotivasi oleh hasrat
untuk meraih kekuasaan politik. Tujuannya antara lain adalah untuk
memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang
diajukan partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang
diperebutkan lewat proses pemilihan umum.
3. Ideologically or Cause Oriented Campaign, yaitu jenis kampanye yang
berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi
perubahan sosial.
Sementara itu, terdapat dua jenis kampanye yang bersifat menyerang
(attacking campaign), yaitu kampanye negatif dan kampanye hitam (black
campaign). Kampanye negatif adalah kampanye yang menyerang pihak lain
2Toni, Mengenal Teori-teori Politik, hal. 187.
21
melalui sejumlah data atau fakta yang bisa diverifikasi dan diperdebatkan.
Sedangkan kampanye negatif (black campaign) adalah kampanye yang berisi
buruk atau jahat dengan cara menjatuhkan lawan politik untuk mendapat
keuntungan.3 Salah satu bentuk kampanye negative adalah menggelari orang
dengan nama-nama julukan (name calling) yang jelek, hal ini membuat citra diri
aslinya sirna dan digantikan citra baru negatif yang diberikan orang lain.4
Faktor-faktor Penghambat dalam kampanye Menurut Kotler dan Roberto
(1989), ketidakberhasilan sebagian besar kampanye biasanya disebabkan oleh:5
1. Program-program kampanye tersebut tidak menetapkan khalayak sasarannya
secara tepat. Mereka mengalamatkan kampanye kepada semua orang, hasilnya
kampanye menjadi tidak fokus dan tidak efektif.
2. Pesan-pesan yang disampaikan dalam kampanye juga tidak mampu
memotivasi khalayak untuk menerima dan menerangkan gagasan yang
diterima.
3. Pesan-pesan tersebut juga memberikan petunjuk bagaimana khalayak harus
mengambil tindakan yang diperlukan.
4. Pelaku kampanye terlalu mengandalkan media massa tanpa
menindaklanjutinya dengan komunikasi antar pribadi.
3Denis McQuali, Teori Komunikasi Masa: Suatu Pengantar. Diterjemahkan Aminuddin
Ram (Jakarta: Erlangga, 1983), hal. 242. 4Hafied Canggara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi,(Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), hal. 366. 5Antar Venus, Manajemen Kampanye: Panduan Teoretis dan Praktis dalam
Mengefektifkan Kampanye Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009), hal.131.
22
5. Anggaran untuk membiayai program kampanye tersebut tidak memadai,
sehingga pelaku kampanye tidak berbuat secara total.
B. Perilaku Politik
Sebagai sebuah pendekatan dalam menganilisis perilaku seseorang dalam
politik, perilaku politik (political behavioural)memperoleh posisi penting dalam
ilmu sosial tahun 1950-an dan 1960-an. Asal-usul filosofisnya adalah dalam
tulisan Auguste Comte di abad ke-19, dan berdasarkan positivisme logis `Vienna
Circle` tahun 1920-an.6 Perilaku politik dapat dianggap berkembang melalui tiga
tahap. Pertama, yang mendahului pecahnya Perang Dunia II, terdapat
peningkatan pemanfaatan metode-metode empiris dan kuantitatif.7
Interaksi antara pemerintah dan masyarakat atau adanya hak untuk
memilih dan menentukan pilihannya adalah bentuk dari perilaku politik (political
behavioral). Adapun perilaku politik sendiri juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti faktor internal dan faktor eksternal. Berbagai studi memperlihatkan
bahwa kelas sosial mempengaruhi perilaku politik orang. Studi yang dilakukan
Erbe (1964), Hansen (1975), Kim, Petrocik, dan Enokson (1975) menyimpulkan
bahwa semakin tinggi kelas sosial maka semakin cenderung sang individu
mendaftarkan diri sebagai pemilih, memberikan suara, tertarik pada politik,
membahas soal-soal politik, menjadi anggota organisasi yang mempunyai arti
6David Marsh dan Gerry Stoker, Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik,(Bandung: Nusa
Media, 2010), hal. 54. 7S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 88.
23
penting, secara politis, dan berusaha mempengaruhi pandangan politik orang
lain.8
Menurut Soedjatmoko perilaku politik adalah sebuah tindakan manusia
dalam menghadapi situasi politik tertentu. Situasi politik yang dimaksud adalah
seperti pemilihan presiden ataupun pemilihan kepala daerah.9 Sedangkan menurut
Ramlan Surbakti perilaku politik dikemukakannya sebagai sebuah kegiatan yang
berkaitan dengan proses dalam pembuatan dan pelaksanaan atas keputusan
politik. Keputusan politik yang dimaksud Ramlan adalah kebijakan-kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah selaku aktor politik dan bermanfaat bagi masyarakat
sebagai pelaksana kebijakan. Tetapi kegiatan ini bukan hanya dilakukan oleh satu
pihak, hubungan pemerintah dan masyarakat harus saling terjalin demi
berjalannya pemerintahan yang baik dan tahu akan fungsi masing-masing, yakni
fungsi-fungsi pemerintahan dipegang oleh pemerintah dan fungsi-fungsi politik
dipegang oleh masyarakat.10
Oleh karena itu, perilaku politik pada dasarnya kegiatan yang dilakukan
pemerintah dan masyarakat yang bertujuan demi kepentingan bersama. Dalam
kegiatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat akan ada yang namanya
perilaku pemilih (voter behavior)yang ditujukan kepada perilaku seseorang dalam
proses pemilihan umum. Menurut Surbakti perilaku pemilih adalah akivitas
pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan
8J. Dwi Darwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan, (Jakarta:
PrenadaMedia Group, 2004), hal. 190. 9Soedjatmoko, Dimensi Manusia Dalam Pembangunan,(Jakarta: LP3ES, 1995), hal 57.
10Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Poliik, (Jakarta: Gramedia Widya Sarana, 2010),
hal.167.
24
keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote) didalam
suatu pemilihan umum. Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote) maka
voters akan memilih/mendukung kandidat tertentu.11
Di Indonesia sendiri perilaku politik sekurang-kurangnya terdapat dua
aspek. Pertama, berkaitan dengan berpartisipasi dalam pemilu atau pemilihan
presiden (voter turnout). Kedua, berkaitan dengan pilihan warga terhadap partai
politik atau calon anggota DPR/DPRD, DPD atau calon Presiden.12
Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum merupakan
serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak
memilih dalam pemilihan umum? Kalau memutuskan memilih, apakah memilih
partai atau kandidat X ataukah partai Y atau kandidat Y? Lalu kemudian muncul
berbagai pertanyaan, mengapa pemilih memilih kontestan tertentu dan bukan
kontestan lain?13
Oleh karena itu, dalam memahami perilaku politik, ada beberapa
pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan unuk mengkaji perilaku politik
atas faktor kekalahan Ahok-Djarot pada pemilukada DKI Jakarta, diantaranya:
11
Suryana Aminudin, Jurnal Aspirasi, “Perilaku Politik di Indonesia”,
Vol.1/No.2/Februari 2011, FISIP UNWIR Indramayu, hal. 5. Di unduh dari
http://ejournal.unwir.ac.id/ pada17 november 2017. 12
Saiful Mujani, William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis
Tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta:
Mizan Publika, 2011), hal. 20. 13
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 185-186.
25
1. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan Sosiologis (Mazhab Columbia) cenderung menempatkan
kegiatan dalam kaitan dengan konteks sosial.14
Pendekatan sosiologis
menjelaskan perilaku pemilih bahwa masyarakat dalam menentukan
pilihannya saat pemilu Legislatif banyak dipengaruhi oleh faktor prinsip-
prinsip kesamaan karakter sosiologis.
Faktor kesamaan sosiologis mazhab columbia yang digagas oleh Paul
F. Lezarsfeild dan Bernard Berelson menyebutkan ada beberapa hal, yang
pertama yaitu berkaitan dengan latar belakang sosiologis seperti agama, jenis
kelamin, umur, dan yang kedua adalah berdasarkan pengelompokkan sosial
seperti ikatan profesi, kelompok pertemanan, sedangkan yang ketiga adalah
berkaitan dengan predisposisi sosial ekonomi yaitu kecendrungan lingkungan
sosial ekonomi pemilih dan keluarga yang ada disekitarnya dan yang terakhir
yaitu dipengaruhi oleh kelas sosial yaitu tingkat pendidikan, tingkat
pekerjaan.15
2. Pendekatan Psikologis
Model pendekatan Psikologis muncul sebagai bentuk respon terhadap
pendekatan sosiologis yang dikembangkan oleh The Survey Research Center,
University Of Michigan atau dikenal dengan “Mazhab Michigan”. Menurut
14
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 186. 15
Radityo Rizki Hutomo, Jurnal Politik Muda, “Perilaku Memilih Warga Surabaya
Dalam Pemilu Legislatif 2014 (Hubungan Kesesuaian Program Kandidat, Kampanye, Identifikasi
Partai dan Pemberian Imbalan Uang dalam Menentukan Pilihan Partai Politik dalam Pemilu
Legislatif 2014)”, Vol.4/No.1/Januari-Maret 2015, Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 53. Di
unduh dari http://journal.unair.ac.id/ pada 18 November 2017.
26
Saiful Mujani, seorang warga berpartisipasi dalam pemilu atau pilpres bukan
saja karena kondisinya lebih baik secara sosial-ekonomi, atau karena berada
dalam jaringan sosial, akan tetapi, karena ia tertarik dengan politik, punya
perasaan dekat dengan partai tertentu (identifikasi partai), punya informasi
yang cukup untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta percaya
bahwa pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan (political efficacy).16
Pendekatan psikologis menjelaskan keputusan suara individu
didasarkan dalam suatu sikap, yaitu Partisanship (keberpihakan), pendapat
terhadap isu, dan citra kandidat. Keyakinan inilah yang paling dekat pada
keputusan suara dan karena itu memiliki dampak langsung dan sangat kuat
terhadap perilaku memilih.17
Menurut Campbel, psikologi dapat menjelaskan mengapa seseorang
memiliki pilihan tertentu yang dapat dijelaskan oleh tiga fungsi sikap. Fungsi
sikap pertama adalah fungsi kepentingan, dimana tiap pilihan yang dipilih
oleh setiap orang didasarkan untuk pemenuhan kepentingannya secara pribadi.
Fungsi sikap kedua adalah fungsi adaptasi, bahwa dalam setiap pilihan yang ia
ambil adalah bentuk dorongan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitarnya misalnya seseorang terpaksa untuk memilih calon tertentu karena
berada dibawah tekanan preman atau yangselainnya maka mau tidak mau ia
harus memilih orang tersebut. Fungsi sikap ketiga adalah fungsi
16
Saiful Mujani, Kuasa Rakyat, hal.22. 17
Haryanto, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, “Kebangkitan Party ID: Analisis
Perilaku Memilih Dalam Politik Lokal Di Indonesia”, Vol. 17/No. 3/Maret 2014, Universitas
Gajah Mada Yogyakarta, hal. 293-294. Di unduh dari https://jurnal.ugm.ac.id/ pada 18 November
2017.
27
mempertahankan diri dan externalisasi diri dimana setiap pilihan yang akan ia
pilih terlebih dahuli ia proyeksikan kedepan terlebih dahulu apakah
memeberikan ancaman atau tidak terhadap pribadinya.18
3. Pendekatan Pilihan Rasional
Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice Approach) atau nama
lainnya seperti Public Choice danCollective Choice19
yang dibawa oleh
penganut mazhab Virginia, merupakan sebuah pendekatan perilaku politik
yang hadir sebagai kritik atas dua model pendekatan yang sudah ada
sebelumnya. Pilihan rasional muncul sebagai bagian revolusi behavioural
dalam ilmu politik Amerika tahun 1950-an dan 1960-an yang sebenarnya
berusaha meneliti bagaimana individu berperilaku dengan menggunakan
metode empiris.20
Meskipun pada masa perkembangannya menemui
pertentangan termasuk dari para penganut structural-functionalism karena
dianggap tidak memperhatikan kenyataan bahwa manusia dalam perilaku
politiknya sering tidak rasional, tetapi bagaimanapun juga pendekatan
Rational Choice sangat berjasa untuk mendorong usaha kuantifikasi dalam
ilmu politik dan mengembangkan sifat empiris yang dapat dibuktikan
kebenarannya. Ia merupakan studi empiris, ketimbang abstrak dan
spekulatif.21
18
Hutomo,“Perilaku Memilih Warga Surabaya Dalam Pemilu Legislatif 2014”, Vol.4/No.1/Januari-Maret 2015, hal. 53-54.
19Miriam budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008), hal. 92. 20
David Marsh dan Gerry Stoker, Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik, hal. 76. 21
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 94-95.
28
Anthony Down adalah pelopor dalam penerapan teori pilihan rasional
bagi perilaku pemilihan umum dan persaingan partai, dan karyanya
merevolusi studi pemilihan umum. Pendekatan pilihan rasional menunjukkan
bahwa individu yang mempunyai kepentingan pribadi tidak akan selalu ambil
bagian dalam tindakan kolektif untuk memperjuangkan tujuan bersama.22
Latar belakang teoritis untuk menjelaskan pendekatan ini berangkat
dari teori ekonomi. Model ini merupakan upaya untuk menjelaskan perilaku
pemilih yang berhubungan dengan parameter ekonomi-politik. Pendekatan
rasional ini didasarkan bahwa semua keputusan yang telah dibuat oleh pemilih
bersifat rasional, yakni berdasarkan kepentingan pribadi dan diberlakukan
sesuai dengan prinsip memaksimalisasi manfaat. Pilihan politik pemilih yang
rasional senantiasa berorientasi kepada hasil yang dicapai oleh partai atau
kandidat tertentu dalam politik. Perilaku rasional terhadap kandidat dapat
diorientasikan berdasarkan pada kedudukan informasi, pencapaian pribadi,
dan popularitas seorang kandidat di mata masyarakat.23
Ketiga pendekatan diatas merupakan tolak ukur perilaku politik
seseorang dalam menentukan pilihannya ataupun kenapa seseorang
berpartisipasi dalam pemilu sedangkan orang lain tidak, ketiga model diatas
selalu hadir untuk menjelaskan perilaku seseorang dalam menentukan
pilihannya.
22
David Marsh dan Gerry Stoker, Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik, hal. 77. 23
Hariyanto, “Kebangkitan Party ID: Analisis Perilaku Memilih Dalam Politik Lokal Di
Indonesia”, Vol. 17/No. 3/Maret 2014, hal. 294.
29
C. Pemilihan Kepala Daerah
Menurut Matori Abdul Djalil, pemilihan umum adalah memberikan
kepastian terhadap alih kepemimpinan dan kekuasaan (transfer of leader and
power) secara konstitusional untuk melahirkan pemimpin yang legitimatif.
Pemilihan umum adalah wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat (sovereignty)
secara mendasar di negara demokrasi dan pemilihan umum juga dimaksudkan
sebagai wahana formal untuk membentuk tatanan negara dan masyarakat (state
and social formation) menuju tatanan yang lebih baik.
Pentingnya dilaksanakan pemilihan umum pada dasarnya adalah untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat, memilih wakil-wakil rakyat, meyakinkan atau
setidaknya memperbaharui kesepakatan pihak warga negara, mempengaruhi
perilaku warga negara, dan mendidik penguasa untuk semakin mengandalkan
kesepakatan (consent).24
Sementara itu pilkada, sebagai instrumen atas terselenggaranya demokrasi
di daerah, diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD Tahun 1945. Dalam sejarahnya,
pelaksanaan pilkada di Indonesia telah mengalami pergeseran sebelum dan
sesudah reformasi. Di masa Orde Baru, calon-calon kepala daerah, tingkat satu
dan dua, dipilih oleh anggota DPR kemudian diajukan untuk mendapatkan restu
dari presiden. Sedangkan di masa reformasi, proses pemilihan yang sentralistik
24
Marulak Pardede, Jurnal Rechts Vinding BPHN, “Implikasi Sistem Pemilihan Umum
Indonesia”, Vol. 3/No. 1/April 2014, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum
Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, hal. 86. Di unduh dari
http://rechtsvinding.bphn.go.id/ pada 18 November 2017
30
kemudian bergeser kepada pilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD).25
Pilkada langsung di Indonesia sendiri dilaksanakan sejak Juni 2005.
Pelaksanaan pilkada langsung tersebut sebelumnya didahului keberhasilan
pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2004.
Penyelenggaraan pilkada langsung diintrodusir di dalam UndangUndang (UU)
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan UU hasil revisi
atas UU No. 22 Tahun 1999 mengenai substansi yang sama.26
Pilkada secara langsung sebenarnya dimulai setelah keluarnya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan dapat dikatakan sebagai bagian dari rezim
pemilu. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum, Pasal 1 angka 4 yang menentukan bahwa “Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilihan Umum untuk memilih
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
Namun, setelah adanya UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2014, Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih oleh DPR. Setelah terjadi
perdebatan politik hingga muncul penolakan publik, maka pemerintah akhirnya
25
Pheni Khalid, dkk, ed., Pilkada Langsung:Demokratisasi Daerah dan Mitos Good
Governance, (Jakarta: PT Mardi Mulyo, 2005), hal. 1. 26
Ridho Imawan Hanafi, Jurnal Penilitan Politik, “Pemilihan langsung Kepala Daerah Di
Indonesia: Beberapa Catatan Kritis Untuk Partai Politk”, Vol. 11/No. 2/Desember 2014, FISIP
Universitas Indonesia, hal. 2. Di unduh dari http://ejournal.politik.lipi.go.id pada 20 November
2017.
31
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, maka
Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.27
Lalu lahirlah UU No. 1 Tahun 2015 peraturan yang berasal dari Perppu No
1/2014 yang bertujuan menjamin penyelenggaraan pilkada langsung oleh rakyat.
UU No. 1 Tahun 2015 ini memuat tujuh substansi baru: (1) pencalonan tunggal,
(2) pencegahan politik dinasti, (3) uji publik, (4) pembatasan dana kampanye, (5)
pemungutan dan penghitungan suara elektronik; (6) penyelesaian sengketa hasil
pemilihan ke MA, dan (7) pilkada serentak.28
Pemilihan kepala daerah yang dikenal saat ini yaitu pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan
kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
27
Cucu Sutrisno, Jurnal Pancasila Dan Kewarganegaraan, “Partisipasi Warga Negara
Dalam Pilkada”, Vol. 2/No. 2/Juli 2017, Universitas Muhammadiyah Ponorogo, hal. 38. Di unduh
dari http://journal.umpo.ac.id pada 20 Desember 2017. 28
Tim Revisi Undang-Undang Pilkada, Menuju Pilkada Serentak Nasional 2021:
Substansi dan Strategi Perubahan UU No 1/2015, (Jakarta: Yayasan Perludem, 2015), hal. 1.
32
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan
demokratis.29
Seperti yang telah dikemukakan bahwa tiap-tiap provinsi dibagi atas
kabupaten dan kota. Provinsi dan kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah
tersendiri. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Rebuplik Indonesia Tahun 1945.30
29
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Dan Walikota 30
Pasal 1 ayat (22) UU nomor 8 tahun 2015
33
BAB III
BIOGRAFI BASUKI TJAHAJA PURNAMA DAN DJAROT SAIFUL
HIDAYAT
DKI Jakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia merupakan kota terbesar
di Indonesia. Hal ini menjadikan jakarta juga sebagai pusat perekonomian
Indonesia, maka tak sedikit pula yang berhijrah dari luar berbagai daerah pergi ke
jakarta. Sebagai pusat pemerintahan, persaingan politik di Ibukota juga turut
mengundang perhatian dari masyarakat dari berbagai daerah dan para tokoh-
tokoh yang ingin maju sebagai gubernur DKI Jakarta, seperti halnya Basuki
Tjhaja purnama dan Djarot Saiful Hidayat yang sudah pernah memimpin di DKI
Jakarta namun tergiur untuk memimpin kembali DKI Jakarta. Perjalanan politik
kedua tokoh ini juga akan dibahas pada bab ini.
Pada bab ini, diawal peneliti memaparkan tentang biografi kedua
pasangan petahana yang maju pada Pilkada DKI Jakarta yaitu Basuki Tjahaja
Purnama dan Djarot Saiful Hidayat disertai dengan pemamparan tentang
perjalanan politik kedua tokoh ini sampai akhirnya kembali mencalonkan diri
sebagai calon gubernur dan wakil gunernur DKI Jakarta.
34
A. Profil Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat
1. Basuki Tjahaja Purnama
Tabel III.A.41
Data PribadiBasuki Tjahaja Purnama
NamaLengkap Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM
Tempat/TanggalLahir Manggar, 29 Juni 1966
AlamatTempatTinggal
Pantai Mutiara Blok J No. 39, RT/RW. 006/016,
Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta
Utara
Agama Kristen
Moto Hidup Mati adalah keuntungan dan hidup untuk
wujudkan keadilan social
Riwayat Pendidikan
SDN No. 03, Gantung, Belitung Timur (1971-
1977)
SMP Negeri 1, Gantung, Belitung Timur (1978-
1981)
SMA Swasta III PSKD, Jakarta (1981-1984)
Universitas Trisakti, Teknik Geologi, Jakarta
(1990)
Sekolah Tinggi Prasetiya Mulya, Magister
Manajamen, Jakarta (1994)
Riwayat Pekerjaan
Direktur Eksekutif Center Of Democracy and
Transparency (CDT 3.1) (2007-2009)
Direktur PT. NurindraEkapersada (1992-2005)
Staf Direksi Bidang Analisa Biaya dan Keuangan
PT. Simaxsindo Primadaya (1994-1995)
Anggota DPRD Kab. Belitung Timur Partai
Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) (2004-2005)
Bupati Kabupaten Belitung Timur (2005-2006)
Anggota DPR RI Partai GolonganKarya (Golkar)
(2009-2012)
Wakil Gubenur Provinsi DKI Jakarta (2012-19
Nov 2014)
Gubernur Provinsi DKI Jakarta (19 Nov 2014-
2017)
Riwayat Organisasi Sekretaris Jenderal Partai Perhimpunan Indonesia
Baru (2007)
Sumber: Arsip KPUD DKI Jakarta
1Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “Profil Cagub dan Cawagub”, Diunduh
melalui https://kpujakarta.go.id/file_lampiran/BB2%20BASUKI%20-%20DJAROT.pdf, 05
Januari 2018.
35
Basuki lahir di Manggar, Belitung Timur pada 29 Juni 1966 sebagai
keturunan Tionghoa-Indonesia dari suku Hakka. Beliau tercatat sebagai putra
pertama Alm. Indra Tjahaja Purnama (Tjoeng Kiem Nam) dan Buniarti
Ningsih (Boen Nen Tjauw). Anak kedua yaitu Basuri lahir pada tahun
berikutnya, diikuti oleh kelahiran Fifi, Harry, dan Frans yang meninggal
karena kecelakaan saat remaja. Ketika lahir nama Ahok sesungguhnya hanya
Basuki saja dan bahkan yang tercantum di rapor SMA-nya pun hanya Basuki.
Pria yang menikah dengan Veronica Tan ini lantas dikenal luas dengan nama
panggilan “Ahok”.2
Masa kecil lebih banyak dihabiskan di sekitar Manggar, tepatnya di
Desa Gantung. Sayangnya, komitmen Ahok untuk berbisnis diciderai oleh
sistem pemerintahan Belitung Timur yang korup dan feodal. Tahun 1995,
pabriknya ditutup karena Ahok melawan kesewenang-wenangan pejabat
setempat yang membuatnya sampai berkeinginan untuk hijrah ke Kanada,
namun keinginan itu ditolak oleh Ayahnya. Sang Ayah pernah mengatakan
bahwa suatu hari nanti rakyat akan memilih Ahok untuk memperjuangkan
nasib mereka.
Bermodalkan keyakinan bahwa orang miskin jangan melawan orang
kaya dan orang kaya jangan melawan pejabat, berlandaskan keinginan untuk
membantu rakyat kecil di kampungnya, dan didorong oleh rasa frustasi
terhadap kesemena-menaan pejabat yang dialaminya sendiri, Ahok
memutuskan untuk masuk ke politik pada tahun 2003. Ahok bergabung
2Meicky Shoreamanis Panggabean, AHOK, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2016), hal. 3.
36
dengan Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) yang saat itu dipimpin
oleh Dr. Sjahrir. Pada pemilu 2004 Ahok mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif. Dengan keungan sangat terbatas dan dengan model kampanye yang
lain dari yang lain, yaitu menolak memberikan uang kepada rakyat, Ahok
terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur periode 2004-
2009.3Selama di DPRD ia berhasil menunjukan integritasnya dengan menolak
ikut dalam praktik KKN, menolak mengambil uang SPPD fiktif, dan menjadi
dikenal masyarakat karena ia satu-satunya anggota DPRD yang berani secara
langsung dan sering bertemu dengan masyarakat untuk mendengar keluhan
mereka sementara anggota DPRD lain lebih sering “mangkir”.4
Ahok dalam mengarungi debut politiknya di tanah air sering kali
digoda dan diperhadapkan pada perilaku-perilaku tidak terpuji, seperti
diminta untuk membayar sejumlah uang untuk sebuah jabatan, memberi jatah
proyek kepada para tim sukses, dan banyak lagi. Tapi semua itu ditolaknya
dengan alasan tidak sesuai dengan kebenaran yang dipegang dan diyakininya.
Bagi Ahok apalah artinya memperoleh kehormatan, kekuasaan dan kekayaan
di dunia ini tapi kehilangan kemuliaan di depan penciptanya.5
Setelah tujuh bulan menjadi anggota DPRD, muncul banyak
dukungan dari rakyat kepada Ahok untuk menjadi bupati. Maju sebagai calon
Bupati Belitung Timur pada 2005, Ahok secara mengejutkan berhasil
3Panggabean, AHOK, hal. 4.
4Ginanjar, “Siapa Ahok”, ahok.org, 06 Januari 2018 pukul 14.02.
5Piter Randan Bua, The Ahok Way, (Bandung: PT. Visi Anugerah Indonesia, 2014), hal.
31.
37
mengantongi suara 37,13 persen dan menjadi Bupati Belitung Timur periode
2005-2010. Padahal Belitung Timur dikenal sebagai basis Masyumi, yang
juga adalah kampung dari Yusril Ihza Mahendra.
Bermodalkan pengalamannya sebagai pengusaha dan juga anggota
DPRD yang mengerti betul sistem keuangan dan budaya birokrasi yang ada
dalam waktu singkat sebagai bupati, Ahok mampu melaksanakan pelayanan
kesehatan gratis, sekolah gratis sampai tingkat SMA, pengaspalan jalan
sampai ke pelosok-pelosok daerah, dan perbaikan pelayanan publik lainnya.
Prinsipnya sederhana: Jika kepala lurus, bawahannya tidak berani tidak lurus.
Selama menjadi bupati, Ahok dikenal sebagai sosok yang anti sogokan baik
di kalangan lawan politik, pengusaha, maupun rakyat kecil. Ahok memotong
semua biaya pembangunan yang melibatkan kontraktor sampai 20 persen.
Dengan demikian, Ahok memiliki banyak kelebihan anggaran untuk
memperbaiki kesejahteraan rakyat.6
Cerita menarik lainnya sewaktu kampanye pemilu, Ahok harus
memilih melakukan pendidikan politik atau melakukan azas saling
membutuhkan dengan rakyat pemilih. Dengan segala yang telah diberikan,
dan jika diteruskan dengan melakukan “bantuan uang”, tentulah akan menuai
banyak suara. Tetapi, Ahok berkeyakinan, jika menjadi anggota DPRD
terpilih dan konstituen yang memilih disebabkan karena memperoleh sesuatu,
pastilah kelak konstituen itu akan terus meminta atau mereka akan
mengatakan bahwa mereka akan dilupakan pasca pemilu. Bahkan, lebih
6Panggabean, AHOK, hal. 5.
38
buruk lagi mereka bias merasa tidak ada harapan, memilih siapapun sama
saja.
Setelah melihat fenomena tersebut, Ahok mengambil satu keputusan
yaitu dalam berpolitik harus berdasarkan prophetical voice, bukan political
voice. Artinya, melakukan fungsi “kenabian” yang menyuarakan kebenaran
dan keadilan, sekalipun dengan resiko ditolak dan dicampakkan. Sedangkan
political voice artinya tidak peduli halal atau haram, yang menang dalam
pemilu, karena hanya ada prinsip menang dan kalah, tidak istilah halal dan
haram.7
Di Belitung, apa yang dilakukan Ahok termasuk langka. Oleh karena
itulah sepak terjang Ahok sampai terdengar ke seluruh Bangka Belitung.
Kemudian, mulailah muncul suara-suara utnuk mendorong Ahok maju
sebagai Gubernur pada 2007. Kesuksesannya di Belitung Timur tercermin
dalam pemilihan Gubernur Babel ketika 63 persen pemilih di Belitung Timur
memilih Ahok. Sayang, karena banyaknya manipulasi dalam proses
pemungutan dan penghitungan suara, dia gagal menjadi Gubernur Babel.
Dalam pemilu legislatif 2009 dia maju sebagai caleg dari Golkar,
meski awalnya ditempatkan pada nomor urut keempat dalam daftar caleg, dia
berhasil mendapatkan suara terbanyak dan memperoleh kursi DPR berkat
perubahan sistem pembagian kursi dari nomor urut menjadi suara terbanyak.
Selama di DPR, dia duduk di komisi II. Dia dikenal oleh kawan dan lawan
7Jani Ginting, dkk, ed,.Merubah Indonesia: The story Of Basuki Tjahaja Purnama,
(Jakarta: Center For Democracy and transparency, 2008), hal. 28.
39
sebagai figure yang apa adanya, vokal, dan mudah diakses oleh masyarakat
banyak. Lewat kiprahnya di DPR, dia menciptakan standar baru yaitu,
anggota-anggota DPR semestinyalah bersikap bersih, transparan, dan
professional (BTP). Dia bisa dikatakan sebagai pionir dalam pelaporan
aktivitas kerja DPR dan semua laporan bisa diakses melalui website-nya.
Sementara itu, staf ahlinya bukan hanya sekedar bekerja menyediakan materi
undang-undang, tetapi juga secara aktif mengumpulkan informasi dan
mengadvokasi kebutuhan masyarakat.
Pada tahun 2006, Ahok dinobatkan oleh Majalah Tempo sebagai salah
satu dari 10 tokoh yang mengubah Indonesia. Pada tahun 2007 dia
donobatkan sebagai tokoh Anti-Korupsi dari penyelenggara Negara oleh
Gerakan Tiga Pilar Kemitraan yang terdiri dari KADIN, kementerian
Penyalahgunaan Aparatur Negara, dan masyarakat Transparansi Indonesia.
Nama Ahok kian mencuat pada tahun 2012 karena dipilih Joko
Widodo (Jokowi) sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta dari PDIP dan
Gerindra. Setelah melalui dua tahap pemilihan, akhirnya Jokowi-Ahok
ditetapkan sebagai pemenang dan dilantik sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 pada 15 Oktober 2012. Namun
karena Jokowi mencalonkan diri menjadi Presiden dan menang, Ahok pun
secara otomatis naik menjadi gubernur.8
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah Gubernur pertama dari
komunitas Tionghoa yang siap untuk mengambil alih kepemimpinan ibukota.
8Panggabean, AHOK, hal. 7.
40
Sekalipun mendapat tantangan, terutama dari Partai Gerindra dan Front
Pembela Islam (FPI), DPRD DKI Jakarta dalam sidang paripurna pada
tanggal 04 November 2015 memutuskan menetapkan Ahok sebagai
gubernur.9
Pada saat menjadi gubernur, Ahok dikenal tegas10
dan juga dikenal
ceplas-ceplos. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Ahok selama
memimpin DKI Jakarta juga mendapat respon yang positif dan negatif.
Sehingga gaya kepemimpinan Ahok menuai pro dan kontra dikalangan
masyarakat, di mana posisi kontra masyarakat ada pada gaya komunikasinya
yang sering mengeluarkan kata-kata kasar. Terakhir, dengan dilaksanakannya
pilkada serentak tahun 2017, Ahok kembali mencalonkan diri lagi menjadi
cagub dengan status sebagai petahana bersama wakilnya di pemerintahan
sebelumnya yaitu Djarot Saiful Hidayat.
2. Djarot Saiful Hidayat
Tabel III.A.711
Data Pribadi Djarot Saiful Hidayat
Nama Lengkap Drs. Djarot Saiful Hidayat
Tempat/Tanggal Lahir Magelang, 06 Juli 1962
Alamat Tempat
Tinggal
Jl. Mega Kuningan Barat III / Blok E 35 No. 11,
RT/RW. 004/005, Kelurahan Kuningan Timur,
9M. Husein Maruapey, Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, “Penegakan Hukum dan
Perlindungan Negara (Analisis Kritis Terhadap Kasus Penistaan Agama Oleh Petahana Gubernur
DKI Jakarta), Vol. VII/No. 1/Juni 2017, Administrasi Publik S3 Unpad, hal. 22. Di unduh dari
http://jipsi.fisip.unikom.ac.id pada 06 Januari 2018 10
M. Husein Maruapey, “Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara”, Vol. VII/No.
1/Juni 2017, hal. 26. 11
Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “Profil Cagub dan Cawagub”, Diunduh
melalui https://kpujakarta.go.id/file_lampiran/BB2%20BASUKI%20-%20DJAROT.pdf, 07
Januari 2018.
41
Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan
Agama Islam
Moto Hidup Isi Hidupmu Dengan Mengabdi Kepada Semua,
Bangsa dan Negara
Riwayat Pendidikan
SDN Raden Saleh Surabaya (1971-1977)
SMPN Surabaya (1978-1981)
SMA TNH-Mojokerto (1981-1984)
S-1 Universitas Brawijaya (1986)
S-2 Universitas Gajah Mada (1991)
Riwayat Pekerjaan
Dosen Universitas 17 Agutsus 1945 Surabaya
(1986)
Pembantu Dekan 1 Universitas 17 Agutsus 1945
Surabaya (1989-1991)
Dekan FIA Universitas 17 Agutsus 1945
Surabaya (1991-1997)
Pembantu Rektor 1 Universitas 17 Agutsus 1945
Surabaya (1997-1999)
Ketua Komisi DPRD Provinsi Jawa Timur
(1999-2000)
Walikota Blitar (2000-2010)
Anggota DPR RI (01 Okt 2014-12 Des 2014)
Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta (17 Des
2014-2017)
Riwayat Organisasi
Ketua DPC GMNI Brawijaya (1981-1986)
Ketua PA GMNI Jawa Timur (2010-2015)
Ketua Apeksi (2005-2010)
Sumber: Arsip KPUD DKI Jakarta
Djarot Saiful Hidayat, pria kelahiran Magelang 06 Juli 1962 ini adalah
anak keempat dari keluarga M. Toyib, seorang pendiunan militer dari
detasemen perhubungan. Djarot menikah dengan Happy Farida, dan dikaruniai
tiga orang anak, yaitu Farida Prameswari, Karunia Dwi Haspa Paramasari, dan
Meisa Rizki. Pemilik nama lengkap Djarot Saiful Hidayat ini biasa dipanggil
Djarot, dan nama panggilan tersebut sebetulnya bukan nama aslinya, saat lahir
ia diberi nama Saiful Hidayat. Nama Djarot sendiri berawal dari panggilan
seorang tukang tempe langganan sang ibu, dan kebetulan ketika kecil dirinya
sering diasuh oleh penjual tempe langganan ibunya. Saat diasuh tukang tempe
42
langganan ibunya, dia suka dipanggil Djarot kemudian nama itu melekat pada
dirinya.
Sejak saat itu, orang tuanya menambahkan nama Djarot sehingga
namanya sekarang menjadi Djarot Saiful Hidayat. Karena ada pengubahan
nama tersebut, Djarot pun harus mengurus akta kelahiran ke kelurahan
lantaran akta sebelumnya tercantum nama Saiful Hidayat. Djarot memberikan
alasan kepada kelurahan karena ketika kecil dia sering sakit-sakitan, maka
perlu ditambah nama Djarot.
Pada awal reformasi tahun 1998, Djarot mencoba karir barunya di
dunia politik. Pada tahun 1999 dia bergabung dengan PDIP utnuk maju
sebagai calon legislatif daerah dan dia terpilih sebagai anggota DPRD Jawa
Timur periode 1999-2004. Baru setahun menjadi anggota legislatif, Djarot
pilih haluan untuk berkarir ke dunia eksekutif. Pada tahun 2000, dia bertarung
maju untuk menjadi Walikota Blitar, dan dalam kontestasinya tersebut, Djarot
terpilih sebagai walikota periode 2000-2005. Pada pilkada berikutnya, Djarot
sukses kembali menjadi Walikota Blitar untuk yang kedua kalinya.
Setelah menjabat sebagai Walikota Blitar selama dua periode, Djarot
kembali aktif di PDIP tingkat provinsi Jawa Timur hingga kemudian
mencalonkan diri sebagai caleg DPR pusat, di mana dia terpilih untuk periode
2014-2019. Lagi-lagi, belum lama menjalankan tugas dewan, dia diajukan
PDIP pusat untuk menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta yang kosong. Dia
menggantikan posisi Ahok yang naik menjadi Gubernur menggantikan Jokowi
43
yang terpilih menjadi Presiden. Ia pun resmi mendampingi Ahok untuk
periode 2014-2017. Jelang masa baktinya berakhir, Djarot kembali diminta
PDIP berpasangan dengan Ahok untuk bertarung di pilkada DKI Jakarta
2017.12
B. Partai Pengusung dan Tim Pemenangan Ahok-Djarot
Dalam proses pemenangannya sebagai calon Gubernur dan wakil
Gubernur DKI Jakarta, terdapat tim pemenangan dalam mengawal pasangan
Ahok-Djarot yang terdiri dari orang-orang yang berada dalam barisan koalisi
partai pengusung Ahok-Djarot. Adapun struktur tim pemenangan Ahok-Djarot
sebagai berikut:
Tabel III.B.1013
Struktur Tim Pemenangan
Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat
No Jabatan Nama Pekerjaan
1
Dewan Pengarah
Ahmad Basarah Anggota DPR RI
2 Eriko Sotarduga Anggota DPR RI
3 Jefri Darmadi Karyawan Swasta
4 Effendy Choirie (Gus
Choy)
Anggota DPR RI
5 Dadang Rusdiana Anggota DPR RI
6 Agun Gunanjar Sudarsa Anggota DPR RI
7 Fayakhun Andriadi Anggota DPR RI
8 Gatot Sudariyanto Wiraswasta
9 Ketua Prasetyo Edi Marsudi Ketua DPRD
12
Herianto, “Siapa Djarot Saiful Hidayat”, www.viva.co.id, 07 Januari 2018. 13
Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “Struktur Tim Kampanye ahok-
Djarot”, diunduh dari
https://kpujakarta.go.id/file_data/16112510134725112016%20tim%20kampanye%20ahok%20djar
ot%20lengkap.pdf, 28 Februari 2018.
44
10
Wakil Ketua
Mohammad Sangaji
Anggota DPRD Prov.
DKI Jakarta
11 Basri Baco Wiraswasta
12 Wibi Andrino Pengacara
13
Yovita Octaviani
Staf Kepala BNP2TKI
(non PNS)
14
Sekretaris
TB Ace Hasan Syadzily
Wakil Sekjen DPP
Partai Golkar
15
Wakil Sekretaris
Yuke Yurike Anggota DPRD
16
Abdul Canter
Wakil Ketua DPD
Hanura DKI Jakarta
17 Virgie Baker Swasta
18 Andre J.O Sumual Wiraswasta
19 Bendahara Charles Honoris Anggota DPR RI
20
Wakil Bendahara
Nadya Pratiwi Purba Swasta
21 Baskara Sukarya Wiraswasta
22
Anies Hasan
Bendahara PDP Hanura
DKI Jakarta
23 Joice Triatman Wiraswasta
24
Manuhara Siahaan
Anggota Fraksi PDI
Perjuangan DPRD DKI
Jakarta
25 Bidang Sumber
Daya dan Kreatif
Aria Bima
Anggota DPR RI
26 Bidang Data dan
Informasi
Eva Sundari
Anggota DPRD Prov.
DKI Jakarta
27 Bidang
Perlengkapan dan
Rumah Tangga
Mahmudin Muslim
Senior Peneliti
28 Bidang Kampanye
dan Sosialisasi
Merry Hotma
Anggota DPRD Prov.
DKI Jakarta
29 Bidang
Penggalangan Massa
Arif Wibowo
Anggota DPR RI
30 Bidang Media Martin Manurung Wiraswasta
31 Bidang Saksi Faiz Dwi Hazrian Karyawan Swasta
32 Bidang Hukum dan
Advokasi
Pantas Nainggolan
Pengacara
33 Bidang Khusus Masinton Pasaribu Anggota DPR RI
34 Juru Bicara Ahmad Basarah Anggota DPR RI
35 Bidang Keamanan Audi Tambunan Swasta
45
36 Bidang Koorda
Jakarta Timur
Taufik Azhar
Anggota DPRD
37 Bidang Koorda
Jakarta Pusat
Farida Listuti
Wakil Ketua DPD DKI
Jakarta Partai Hanura
38 Bidang Koorda
Jakarta Barat
Darmadi Durianto
Anggota DPR RI
39 Bidang Koorda
Jakarta Utara dan
Kep. Seribu
Jonny Simanjuntak
Anggota DPRD Prov.
DKI Jakarta
40
Bidang Koorda
Jakarta Selatan
Gembong Warsono
Anggota DPRD Prov.
DKI Jakarta
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa struktur tim pemenangan Ahok-
Djarot diisi oleh orang-orang yang berada di partai pengusung. Pada pilkada DKI
Jakarta 2017 lalu, pasangan Ahok-Djarot sendiri dalam proses pencalonannya
sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur diusung oleh koalisi dari berbagai
partai, yaitu koalisi partai PDI Perjuangan, partai Nasdem, dan partai Hanura.
Sementara itu pasangan Ahok-Djarot turut mendapat dukungan dari partai
pendukung non-parlemen seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dipimpin
Dzan Faridz serta Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dipimpin oleh Grace
Natali yang juga masuk dalam struktur pemenangan Ahok-Djarot.
Selain dari pada tim pemenangan yang ada dalam barisan pencalonan
Ahok-Djarot sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur, terdapat juga tim
relawan yang mengalawan pencalonannya. Sebut saja salah satunya Teman Ahok
yang menarik banyak perhatian dengan gerakannya mengumpulkan KTP warga
Jakarta sebanyak 1 juta KTP sebagai syarat dan upaya pencalonan Ahok melalui
jalur independen, meskipun pada akhirnya Ahok berbelok arah dengan maju
46
melalui jalur partai politik. Selain Teman Ahok, masih banyak relawan lainnya
yang ikut serta aktif dalam mengawal pencalonan Ahok-Djarot di pilkada DKI
Jakarta 2017 di mana tercatat di KPU berjumlah 95 organ relawan.
C. Visi dan Misi Ahok-Djarot
Adapun dalam pencalonannya sebagai calon Gubernur dan Wakil
Gubernur DKI Jakarta, kedua pasangan ini mempunyai visi sebagai berikut:14
“Jakarta sebagai etalase kota Indonesia yang modern, tertata rapi,
manusiawi dan fokus pada pembangunan manusia seutuhnya dengan
kepemimpinan yang bersih, transparan, dan professional”
Adapun misi yang akan dijalankan oleh pasangan Ahok-Djarot sebagai
berikut:
1. Mewujudkan pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),
terbuka, dan melayani warga.
2. Menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warga, jaminan kesehatan, jaminan
pendidikan, hunian yang layak, bahan pangan yang terjangkau, transportasi
public yang ekonomis, dan lapangan pekerjaan serta usaha agar seluruh warga
berkesempatan memperoleh kehidupan yang lebih baik sehingga indeks
kebahagiaan kota Jakarta menjadi salah satu yang tertinggi diantara kota-kota
di dunia.
14
Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “Visi dan Misi Ahok-Djarot”,
kpujakarta.go.id, 15 Maret 2018.
47
3. Menciptakan menciptakan sumber daya manusia yang tangguh, lahir dan
batin, kompeten, dan berdaya saing global dengan indeks pembangunan
manusiayang setara dengan kota-kota maju di dunia.
4. Menata kota sesuai perubahan zaman untuk mendukung kemajuan ekonomi,
keberlangsungan lingkungan, dan kehidupan social budaya warga.
5. Membangun kehidupan kota yang berbasis teknologi dan berinfrastruktur
kelas dunia dengan warga yang berketuhanan, berbudaya, bergotong royong,
berwawasan, toleran, partisipatif, dan inovatif.
48
BAB IV
ANALISA KEKLAHAN PETAHANA (STUDI KEKALAHAN AHOK-
DJAROT PADA PILKADA DKI JAKARTA 2017
Fenomena kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017
memunculkan pertanyaan-pertanyaan dari berbagai kalangan, apalagi pasangan
Ahok-Djarot yang notabene adalah pasangan petahana yang sudah lama dikenal
oleh masyarakat dan sudah terbukti kinerjanya namun justru kalah dalam
kontestasinya di Pilkada DKI Jakarta. Pada bab ini, penulis akan menganalisis
faktor apa yang menyebabkan Ahok-Djarot kalah pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
A. Faktor Kekalahan Ahok-Djarot
Situasi politik yang begitu panas di Pilkada DKI Jakarta 2017
menghadirkan animo masyarakat yang begitu banyak untuk turut serta
berpartisipasi aktif dalam agenda politik di ibukota. Tingkat partisipasi warga
dalam menggunakan hak pilihnya di kontestasi politik merupakan intisari dari
perilaku politik.1 Dari data yang dihimpun berdasarkan hasil real count KPU DKI
Jakarta melalui Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU RI, tingkat
partisipasi pemilih mencapai 77.1 persen pada putaran pertama dan diputaran
kedua mencapai 78 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT).2
1Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rumpai, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1998), hal. 8. 2Nursita Sari, “Tingkat Partisipasi Pemilih pada Putaran Kedua Pilkada DKI 78 Persen”,
megapolitan.kompas.com, 20 November 2018.
49
Tabel IV.A.12
Data Jumlah Daftar Pemilih Tetap di Putaran Pertama
No.
Kabupaten/Kota
Jumlah
TPS
Jumlah Pemilih
L P Total
1 Jakarta Barat 2.934 834.448 817.603 1.652.051
2 Jakarta Pusat 1.237 374.307 372.845 747.152
3 Jakarta Selatan 2.973 796.540 797.160 1.593.700
4 Jakarta Timur 3.690 999.941 1.006.456 2.006.397
5 Jakarta Utara 2.150 547.668 544.206 1.091.874
6 Kepulauan Seribu 39 8.786 8.629 17.415
Total 13.023 7.108.589
Sumber: Arsip KPUD DKI Jakarta
Tabel IV.A.13
Data Jumlah Daftar Pemilih Tetap di Putaran Kedua
No.
Kota
Jumlah
TPS
Jumlah Pemilih
L P Total
1 DKI Jakarta 13.034 3.610.079 3.608.201 7.218.280
Sumber: Arsip KPUD DKI Jakarta
Kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017
memunculkan beragam faktor yang menyebabkan pasangan petahana ini
mengalami kekalahan. Sebagai pasangan petahana, Ahok-Djarot tentu
diunggulkan layaknya seperti calon kandidat lain dengan status petahana.
Bermodalkan kinerja yang sudah terbukti hasilnya dan sosoknya yang sudah
banyak dikenal masyarakat, Ahok-Djarot nyatanya gagal dalam mempertahankan
kekuasaannya di ibukota meskipun mendapat dukungan dari beberapa partai
besar.
Pada prakteknya, pasangan petahana memiliki keistimewaan tersendiri
dibanding kandidat lain karena petahana bisa memanfaatkan posisinya dengan
melakukan kampanye lebih lama bahkan saat masih menjabat dengan membuat
kebijakan-kebijakan yang berdampak pada citra positifnya dihadapan masyarakat
50
atau berkomunikasi dengan masyarakat langsung saat sosialisasi program
kerjanya.
Pada kasus kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI, pasangan ini tidak
mampu memanfaatkan posisinya sebagai calon dari petahana. Ahok-Djarot hanya
mampu meraih kemenangan pada putaran pertama saja, diputaran kedua justru
mengalami kekalahan akibat dari beberapa faktor yang menyebabkan citranya
yang semakin buruk menjelang masa pencoblosan. Dalam hal ini, penulis telah
menemukan faktor-faktor yang menyebabkan pasangan petahana mengalami
kekalahan pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, diantaranya:
1. Timses Gagal Mengkampanyekan Ahok-Djarot
Dalam sebuah kontestasi politik, menang atau kalahnya seorang
kandidat juga dipengaruhi oleh kemampuan timses dalam mengkampanyekan
kandidatnya. Timses dalam hal ini harus mampu membuat strategi kampanye
yang efektif agar kandidatnya mendapat tempat di hati masyarakat.
Kesuksesan seorang kandidat dapat dilihat dari efektifitas kampanye yang
dilakukan timses seperti yang dikatakan oleh pengamat politik Veri Muhlis
Ariefuzzaman, “Dalam pemilu, kampanye yang sukses itu kampanye yang
mampu memenangkan kandidatnya. Semahal apapun kampanye kalau
kandidatnya kalah ya timses gagal mengkampanyekan kandidatnya.”3
Kegiatan kampanye merupakan momentum yang harus dijalankan
sebaik mungkin agar dapat menarik suara pemilih sebanyak-banyaknya.
3Wawancara penulis dengan pengamat politik Veri Muhlis Ariefuzzaman, di kantor
KONSEP Indonesia, BSD Tangerang 14 Agustus 2018
51
Dalam prosesnya, timses harus punya strategi yang matang sehingga mampu
mengajak warga untuk memilih kandidat yang diusungnya, bukan malah
membuat citra kandidatnya menjadi buruk dihadapan pemilihnya. Meskipun
Ahok-Djarot menang di putaran pertama namun pada putaran berikutnya
mereka gagal, hal ini seperti yang sampaikan Rian Ernest selaku timses Ahok-
Djarot, “kemenangan diputaran pertama karena masyarakat mampu menerima
pesan yang kita sampaikan. Pola yang kita gunakan selama kampanye terbukti
efektif meskipun keinginan kita untuk menang satu putaran tidak tercapai.”4
Selain itu, perolehan suara Ahok-Djarot di putaran pertama tidak sesuai
dengan ekspektasi timses sedari awal, meski unggul atas Anies-Sandi.
Oleh karena itu, penulis bahkan berpandangan timses Ahok bukan
hanya gagal di putaran kedua tetapi juga telah gagal pada putaran pertama
karena hanya unggul tipis dari pesaing terdekatnya yaitu pasangan Anies-
Sandi. Hasil perolehan suara di putaran pertama menunjukkan pasangan
Ahok-Djarot memperoleh suara sebesar 42.99 persen, unggul atas Agus Sylvi
yang memperoleh suara sebesar 17.05 persen dan Anies Sandi dengan
perolehan suara sebesar 39.95 persen. Dengan hasil ini pasangan Ahok-Djarot
belum resmi memenangkan pilkada karena berdasarkan UU No 29 Tahun
2007 pasal 11 bahwa keterpilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta
harus menghasilkan perolehan suara setidaknya lebih dari 50 persen. Jika
4Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi, Rian Ernest Di Kantor
Dewan Pimpinan Pusat Partai PSI, Jakarta, 27 Juli 2018.
52
tidak ada maka akan dilanjutkan dengan putaran kedua yang diikuti oleh
pasangan calon dengan suara terbanyak pertama dan kedua.5
Melihat kandidat yang maju adalah petahana, hal ini menjadi tantangan
tersendiri karena bagaimanapun timses harus mampu mempertahankan suara
pendukung Ahok-Djarot bukan justru meremehkan bahwa pendukung Ahok-
Djarot tidak akan pindah ke lain hati, apalagi Ahok sendiri adalah seorang
minoritas yang akan merebut suara mayoritas dan sudah barang tentu Ahok
menjadi pusat perhatian masyarakat khususnya pemilih muslim. Maka timses
semestinya punya persiapan dan strategi khusus karena sudah tahu apa yang
akan dihadapi ketika memasang Ahok di Pilkada DKI Jakarta.
Dalam urusan strategi kampanye, timses Ahok-Djarot memiliki
strategi tersendiri untuk menarik perhatian pemilih. Salah satu strategi yang
digunakan selama kampanye adalah kampanye rakyat.Hal ini juga dijelaskan
oleh Rian Ernest,
“Kampanye rakyat yang kami galakkan ini merupakan program
penggalangan dana kampanye yang berbasis partisipasi rakyat. Jadi
kami ingin menunjukkan kepada publik sistem pendanaan kampanye
kita terbuka dan transparan. Selama ini kampanye itu sarat akan politik
uangmakanya kami menggunakan metode ini. Penggalangan dana ini
juga bisa dilakukan secara online dengan mengunjungi website kami.”6
Rian Ernest juga menambahkan soal strategi lainnya yang digunakan
selama kampanye berlangsung ia mengatakan, yakni “strategi door to
5Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “KPU Provinsi DKI Selesaikan
Rekapitulasi Perhitungan Suara hari ini,”, kpujakarta.go.id, 21 Oktober 2018. 6Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi, Rian Ernest Di Kantor
Dewan Pimpinan Pusat Partai PSI, Jakarta, 27 Juli 2018.
53
doorataumasuk ke rumah-rumah warga mensosialisaikan program, dan tidak
lupa menyampaikan prestasi-presatsi apa saja yang sudah dicapai oleh pak
Ahok-Djarot. Selain itu kita juga fokus ke daerah-daerah yang punya problem
sosial yang tinggi, dan ini merupakan inisiatif dari pak Ahok sendiri.”7
Dari keterangan timses menunjukkan bahwa fokus kampanye Ahok-
Djarot yaitu lebih banyak menyampaikan perihal kinerjanya saat memimpin
Jakarta pada pemerintahan sebelumnya sekaligus menyampaikan program
kerjanya di mana hal ini hal ini relevan dengan status Ahok-Djarot sebagai
petahana, namun faktanya hal itu tidaklah cukup mengingat munculnya kasus
penistaan agama yang dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu. Konsekuensinya,
isu ini secara cepat berkembang di masyarakat membuat kepercayaan publik
semakin berkurang terutama dikarenakan timses tidak mampu memberikan
pembuktian atau meyakinkan kepada masyarakat secara masif bahwa Ahok
tidak bersalah, padahal isu penistaan agama tersebut semakin panas diputaran
kedua. Hal ini juga diakui oleh Rian Ernest yang mengatakan,
“Dalam setiap kegiatan kampanye baik diputaran pertama maupun
kedua kami menghidari kampanye yang berbau SARA, kami fokus
soal kinerja, prestasi dan program kerja. Soal adanya isu SARA, kami
kampanyekan Ahok-Djarot sebagai pasangan yang pro-Islam melalui
beberapa kegiatan seperti tablig akbar dan pengajian.”8
Selain itu, efektifitas kampanye yang dilakukan timses juga tidak
maksimal di media sosial seperti yang diungkapkan oleh Veri Muhlis:
7Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi, Rian Ernest Di Kantor
Dewan Pimpinan Pusat Partai PSI, Jakarta, 27 Juli 2018. 8Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi, Rian Ernest Di Kantor
Dewan Pimpinan Pusat Partai PSI, Jakarta, 27 Juli 2018.
54
“Jadi apakah kampanye Ahok-Djarot itu efektif menurut saya tidak
efektif karena semuanya jadi jenderal, disosial media itu jadi jenderal
semua mengklaim jadi panglima akhirnya isunya tidak terkomando
karena semua orang ingin terlibat dan banyak sekali orang yang
mengeluarkan dana pribadi hanya untuk memenuhi keterpanggilan
jiwanya hanya karena kesamaannya sebagai minoritas.”9
Dalam kampanye ada faktor yang menghambat keberhasilan
kampanye yang disebabkan oleh pesan-pesan yang disampaikan dalam
kampanye juga tidak mampu memotivasi khalayak untuk menerima dan
menerangkan gagasan yang diterima.10
Kekalahan Ahok-Djarot telah
membuktikan bahwa tujuan kampanye tidak berhasil dicapai karena kandidat
politik mengalami kekalahan meskipun menang diputaran pertama namun
pembuktian sesungguhnya ada diputaran kedua. Timses tidak mampu
meyakinkan masyarakat bahwa Ahok tidak bersalah dan ini dibuktikan dengan
hasil survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indoneisa (LSI) Denny JA
di mana 89% responden mengetahui kasus penistaan agama oleh Ahok. Dari
angka tersebut, 73.20% responden menyatakan setuju bahwa Ahok melakukan
penistaan agama.11
Ketika Ahok sudah sulit diterima oleh masyarakat muslim dan di saat
masyarakat butuh kepercayaan, justru muncul isu timses melakukan blunder
politik di masa tenang Pilkada yaitu pada 16-18 April 2017 Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta menemukan paket sembako beserta spanduk
9Wawancara penulis dengan pengamat politik Veri Muhlis Ariefuzzaman, di kantor
KONSEP Indonesia, BSD Tangerang 29 Agustus 2018. 10
Antar Venus, Manajemen Kampanye, hal.131. 11
Yusuf Efendi, “73% Warga Yakin Ahok Menistakan Agama”, metro.sindonews.com,
22 Oktober 2018.
55
relawan Badja yang ditemukan dibeberapa wilayah seperti Tanah Abang,
Ciracas, Cakung Timur, Klender, Tanjung Priuk, Kalibata dan Kalideres. Di
Kepulauan Seribu Bawaslu juga menemukan paket sembako disertai 23 ekor
Sapi yang diketahui milik DPC PDIP Kepulauan Seribu.12
Adanya isu bagi-bagi sembako ini jelas merusak citra Ahok-Djarot
sendiri, namun isu ini dibantah oleh Rian Ernest yang mengatakan, “itu tidak
benar ya, itu jelas fitnah bagi kami, bahkan pak ahok sendiri itu paling tidak
suka dengan cara-cara tidak sehat seperti ini, pak ahok bisa saja melakukan
hal seperti itu atau semacamnya, tapi pak ahok lebih memilih cara-cara yang
sehat.”13
Meskipun kasus bagi-bagi sembako tersebut mendapat bantahan dari
timses, namun isu bagi-bagi sembako yang dilakukan oleh timses Ahok-Djarot
tersebut diduga mempengaruhi pilihan politik warga. Cara kampanye seperti
ini jelas membuat warga semakin kecewa karena dianggap merusak demokrasi
dan juga tidak sesuai dengan apa yang selalu di galakkan oleh pasangan Ahok-
Djarot yaitu bersih dan transparan. Sebagai mana yang diungkapkan salah satu
warga ciracas Hendi Sunardi, “Terus juga ada berita yang saya lihat di TV
kalo timses Ahok itu bagi-bagi sembako itu kan gak boleh sebenarnya,
12
Cici Marlina Rahayu, “Ini Lokasi Penemuan Sembako hingga Sapi Diduga Politik
Uang, news.detik.com, 22 Oktober 2018. 13
Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi, Rian Ernest Di Kantor
Dewan Pimpinan Pusat Partai PSI, Jakarta, 27 Juli 2018.
56
menurut saya itu kan politik kotor ya, gak bagus cara-cara seperti itu buat
dicontoh.”14
Dalam hal ini kegagalan timses terlihat jelas, alih-alih meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap pasangan Ahok-Djarot justru malah
meruntuhkan kepercayaan masyarakat dengan munculnya isu bagi-bagi
sembako di masa tenang Pilkada. Indikator pendekatan psikologis pada
kekalahan Ahok-Djarot turut mempengaruhi warga dalam pilihan politiknya
yang disebabkan oleh isu. Faktor kegagalan lainnya timses juga tidak mampu
melakukan pembuktian dan meyakinan masyarakat bahwa Ahok tidak
bersalah.
2. Turunnya Citra Ahok
Dalam kontestasi politik citra seorang kandidat sangat mempengaruhi
pilihan politik seorang warga karena berkaitan dengan suka atau tidaknya
warga terhadap kandidat yang akan dipilih. Kandidat yang memiliki citra
positif dari pada negatif akan lebih disukai oleh warga. Citra positif dianggap
sebagai bagian terpenting dalam menciptakan preferensi-preferensi calon
pemilih terhadap kandidat.15
Pada kasus kekalahan Ahok-Djarot di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017,
citra pasangan petahana ini mengalami penurunan yang sangat drastis, selain
sebagai satu-satunya kandidat dari minoritas, Ahok juga dikenal ceplas-ceplos,
14
Wawancara dengan warga Kecamatan Ciracas Hendi Sunardi di Ciracas Jakarta Timur,
05 Agustus 2018. 15
Pawito, Komunikasi Politik, Media Massa dan Kampanye Pemilihan, (Yogyakarta &
Bandung: Jalasutra, 2009), hal. 263.
57
ditambah kasus yang menimpa dirinya yaitu kasus penistaan agama. Efeknya
terutama pada umat muslim menyebabkan penurunan elektabilitas pasangan
Ahok-Djarot, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga survei
Polmark Research Center. Lihat tabel berikut:
Tabel IV.A.14
Survei Elektabilitas Pasangan Ahok-Djarot
Source: Polmark Research Centre
16
Tabel IV.A.3menunjukan naik turunnya elektabilitas Ahok-Djarot,
pada bulan Februari 2016 tingkat elektabilitas pasangan Ahok-Djarot
memperoleh angka 37.80%, namun terhitung dari bulan Juli 2016 sampai
bulan Januari 2017 elektabilitas pasangan Ahok-Djarot mengalami penurunan
yang sangat drastis (40.50%, 31.50% dan 20.40%). Penurunan tingkat
elektabilitas ini tidak terlepas dari pengaruh isu penistaan agama yang
dilakukan oleh Ahok di Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016.
16
Pertanyaan elektabilitas pada survei Februari dan Juli 2016 ditujukan untuk bakal calon
secara perseorangan, bukan sebagai pasangan. Sementara data survei Oktober 2016, Januari 2017,
Februari 2017 dan Maret 2017 ditujukan untuk pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur.
37.8% 40.5%
31.9
20.4%
27.1%
43.0% 41.1%
FEBRUARI 2016 JULI 2016 OKTOBER 2016 JANUARI 2017 FEBRUARI 2017 15 FEBRUARI 2017 MARET 2017
Elektabilitas Ahok-Djarot
Series 1
58
Sedangkan pada bulan Januari hingga Februari 2017 elektabilitas
Ahok-Djarot kembali mengalami penaikan yang disebabkan karena masifnya
sosialisasi tentang prestasi Ahok-Djarot selama menjadi gubernur.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Rian Ernest, “selama kampanye
kamisangat fokus pada program kerja dan mensosialisasikan prestasi pak
Ahok-Djarot secara masif.”17
Disisi lain penyebab naiknya elektabilitas Ahok
karena gaya komunikasinya yang berubah tidak sekasar dulu dan permintaan
maafnya atas kasus penistaan agama mendapat simpati dari masyarakat.18
Setelah elektabilitasnya naik, bulan Maret 2017 elektabilitas Ahok-
Djarot kembali turun dengan memeperoleh angka 41.10% yang disebabkan
karena menguatnya isu SARA menjelang putaran kedua.19
Menurut Rian
Ernest penurunan itu disebabkan,“karena isu SARA tadi ya, isunya semakin
panas baik itu di media sosial ataupun beberapa tempat yang memang banyak
bertebaran spanduk-spanduk anti Ahok dan itu memang menyulitkan bagi
kami sebagai timses, isunya semakin sulit untuk kami bendung.”20
Dari data tersebut diketahui bahwa dukungan terhadap pasangan
Ahok-Djarot menunjukkan perolehan polling yang relatif tidak stabil bahkan
memperlihatkan situasi yang sulit menjelang pelaksanaan Pilkada putaran
kedua. Memanasnya isu SARA menjelang putaran kedua berdampak pada
17
Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi Rian Ernest via
Telepon, 27 Juli 2018 18
Avit Hidayat, “Elektabilitas Ahok Merangkak Naik, Ini Penyebabnya”,
pilkada.tempo.co, 26 Oktober 2018. 19
Hasan Fadillah “Timses Akui Elektabilitas Ahok-Djarot Turun Karena Isu”,
mmetrotvnews.com, 26 Oktober 2018. 20
Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi Rian Ernest via
Telepon, 27 Juli 2018
59
melemahnya kepercayaan masyarakat DKI Jakarta terhadap Ahok-Djarot dan
berimbas pada bertambahnya dukungan publik kepada kubu lawan. Hal ini
juga berdampak pada berubahnya pilihan warga terhadap Ahok-Djarot seperti
yang diungkapkan oleh warga bernama Suhatmo, “Saya sempet kemaren itu
milih Ahok dan belum terlalu yakin ahok menistakan agama, tapi nyatanya
Ahok gak bisa buktikan kalo dia gak salah berarti kan Ahok bener dong
menistakan agama. Ya udah akhirnya saya ga jadi milih dia lagi.”21
Dalam periode putaran pertama terdapat banyak aksi besar-besaran
atau yang disebut dengan “Aksi Bela Islam” ini digelar menuntut hukuman
atas pelanggaran yang dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu. Aksi pertama
digelar pada tanggal 14 Oktober 2016 yang berlangsung di depan balai kota
DKI Jakarta, dikomandoi oleh Front Pembela Islam (FPI) aksi ini menuntut
segera dilakukannya penyelidikan atas kasus penistaan agama oleh Ahok.
Sebelum aksi ini dibubarkan, Habib Rizieq Shihab selaku pimpinan FPI
mengecam akan melakukan aksi lanjutan yang lebih besar jika dalam tempo
tiga minggu tidak ada perkembangan penyelidikan atas kasus yang dilakukan
oleh Ahok.22
21
Wawancara dengan warga Kecamatan Cipayung Suhatmo di Cipayung Jakarta Timur,
05 Agustus 2018 22
Siswanto, Demo Ormas Islam Bubar, Sebelum Pergi, Rizieq Keluarkan Ancaman”,
www.suara.com, 26 Oktober 2018.
60
Gambar IV.A.1
Ribuan Massa Aksi Bela Islam I
Karena dianggap lamban dalam proses penyelidikan kasus penistaan
agama, pada tanggal 4 November 2016 akhirnya digelar kembali aksi lanjutan
yang dihadiri massa dari luar daerah guna menuntut segera di tentukannya
status hukum Ahok. Aksi yang dikenal juga dengan aksi damai 411 ini
berpusat di depan Istana Negara dan disertai kericuhan. Buntut dari aksi ini
mendapat respon dari pemerintah dan Ahok resmi ditetapkan sebagai
tersangka kasus penistaan agama pada tanggal 16 November 2016.
Setelah hadirnya dua aksi bela Islam, mendekati masa pencoblosan
hadir pula aksi lanjutan yang berlangsung pada tanggal 2 Desember dan 11
Februari 2016. Aksi ini berlangsung damai yang disertai dengan zikir dan do`a
bersama. Terhitung diputaran pertama telah terjadi empat aksi belas Islam
yang membuat elektabilitas Ahok-Djarot semakin turun sangat jauh.
Menjelang putaran kedua yang berlangsung pada tanggal 19 April
2017, situasi politik ibukota semakin memanas. Penyebabnya masih sama
yaitu karena isu penistaan agama yang terus bergejolak sampai digelarnya aksi
61
besar-besaran yang terjadi pada tanggal 21 Februari 2017 atau disebut juga
dengan Aksi Bela Islam 212 sebagai aksi lanjutan atas beberapa aksi yang
terjadi diputaran pertama. Aksi tersebut berlangsung di depan gedung Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan dihadiri oleh ribuan massa yang terdiri dari
simpatisan Forum Umat Islam (FUI) dan Mahasiswa yang menuntut agar
Ahok dipenjarakan. Bersamaan dengan aksi tersebut, Ahok menjalani sidang
ke-11 kasus dugaan penistaan agama di auditorium gedung Kementrian
Pertanian, Jakarta Selatan.23
Mendekati masa pencoblosan diputaran kedua, kembali lagi digelar
aksi lanjutan yang berlangsung pada tanggal 31 Maret 2017. Aksi ini
bertujuan meminta Presiden Joko Widodo untuk segera memberhentikan
Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Awalnya aksi ini akan
berpusat di Istana Merdeka namun tidak di izinkan dan hanya boleh
melakukan long march sampai dengan Kawasan patung kuda.24
Selain hadirnya beberapa aksi besar-besaran demi menuntut Ahok
diadili, dampak kasus penistaan agama ternyata sangat dirasakan oleh
pasangan Ahok-Djarot selama kampanye yang berujung pada aksi penolakan
yang dilakukan sekelompok warga untuk mencegah Ahok-Djarot
berkampanye. Aksi penolakan kampanye ini terjadi di beberapa daerah seperti
di Jatipadang, Cilincing, Rawa Belong, Ciracas dan Pasar Minggu.
23
Angga Yudha Pratomo, “21 Februari, FUI gelar aksi bela Islamdi DPR tuntut Ahok
dicopot”, www.merdeka.com, 29 Oktober 2018. 24
Nanda Perdana Putra, “Massa Aksi 31 Maret Longmarch dari Istiqlal ke Istana
Merdeka”, www.liputan6.com, 29 Oktober 2018.
62
Meskipun sudah diatur dalam pasal 187 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang pelarangan bagi setiap orang untuk mengacaukan,
menghalangi, atau menggganggu jalannya kampanye dan akan terancam
hukuman pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda maksimal Rp 6 juta,
tetapi tak menyurutkan aksi penolakan ini. Pada akhirnya Ahok-Djarot pun
memilih untuk menghindar karena ditakutkan agenda sosialiasi ke warga akan
berjalan tidak kondusif.25
Hal ini yang kemudian menyebabkan tidak
efektifnya sosialisasi program yang dilakukan oleh pasangan Ahok-Djarot
kepada warga akibat aksi ini.
Adanya aksi besar-besaran ini mempengaruhi citra Ahok di mata
masyarakat khususnya umat muslim. Hal ini merupakan faktor yang sangat
berpengaruh terhadap kekalahan yang dialami oleh pasangan Ahok-Djarot
diputaran kedua seperti yang disampaikan oleh Rian Ernest, ia mengatakan:26
“Putaran kedua sudah kami prediksi isunya akan semakin panas, seperti yang
saya jelaskan sebelumnya. Adanya aksi dan spanduk anti Ahok membuat
kami harus bekerja keras membendung isu penistaan agama ini baik di media
sosial maupun bertatap muka langsung dengan warga melalui kampanye
senyap yang kami lakukan di putaran kedua dan memang faktor ini sangat
mempengaruhi kekalahan Pak Ahok diputaran kedua.”
Imbas dari kasus penistaan agama membuat warga enggan memilih
Ahok seperti yang diungkapkan oleh seorang warga perempuan bernama Siti
Mahfuzoh seperti yang disampaikannya, “ya kan orang udah terbukti jadi
tersangka ngelakuin penistaan agama kok mau dipilih, enggak lah. Warga
25
Kurnia Sari Aziza, “Kapanye Ahok yang Bergejolak di Penghujung dan Awal Tahun”,
megapolitan.kompas.com, 26 Oktober 2018. 26
Wawancara dengan Tim Sukses Ahok-Djarot Bidang Advokasi Rian Ernest via
Telepon, 27 Juli 2018
63
muslim mana yang ga marah kalo Ayat suci Al-Qur`an di lecehin apalagi
sama orang non-muslim. Makanya mending pilih calon lain aja yang lebih
santun.”27
Hal senada juga diungkapkan oleh seorang warga bernama Imam
Santoso yang lebih memilih pemimpin lain dibanding Ahok seperti yang ia
sampaikan, ia mengatakan,“saya kemaren itu gak milih Ahok karena memang
kurang suka ya, terutama dia orang yang udah menistakan agama, jadi
siapapun pemimpinnya asal jangan Ahok aja pokoknya”28
Menariknya, meskipun berubah pilihan, Imam punya penilaian lain
terhadap pasangan Ahok-Djarot. Bahkan Imam juga setuju dan mengapresiasi
kinerja Ahok selama memimpin Jakarta salah satunya soal penggusuran
wilayah kalijodo, seperti yang disampaikannya,“Sebenarnya Ahok itu
kerjanya bagus ya, saya senang juga waktu yang kalijodo di gusur, itu kan
tempat prostitusi, jadi saya setuju kalo tempat kaya gitu digusur..”29
Dari penuturan para warga DKI Jakarta yang tidak memilih Ahok-
Djarot, hal ini juga didukung dari hasil survei yang dilakukan oleh Lingkaran
Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang digelar pada tanggal 5-11 januari 2017
dalam melihat penyebab warga tidak memilih Ahok-Djarot. Menurut peneliti
LSI Denny JA Ardian Sofa menyatakan hasil survei yang menunjukkan bahwa
27
Wawancara dengan warga Kecamatan Ciracas Siti Mahfuzoh di Ciracas Jakarta Timur,
05 Agustus 2018. 28
Wawancara dengan warga Kecamatan Kramat Jati Imam Santoso di Kramat Jati Jakarta
Timur, 05 Agustus 2018. 29
Wawancara dengan warga Kecamatan Kramat Jati Imam Santoso di Kramat Jati Jakarta
Timur, 05 Agustus 2018.
64
ucapan Ahok terkait surat Al-Maidah ayat 51 yang dianggap menistakan
agama, merupakan faktor utama penyebab warga tidak memilih Ahok di mana
tingkat ketidaksukaan warga mencapai 47,2 persen.30
Selain karena kasus penistaan agama, pertimbangan lain pemilih dalam
menentukan pilihannya alasan lainnya adalah murni karena faktor latar
belakang agama yang dianut oleh kandidat. Ahok mencalonkan diri kembali
menjadi calon gubernur dengan status minoritas yang artinya tantangannya
harus mampu meraup suara dari kalangan mayoritas yaitu pemilih dari warga
muslim. Pada studi perilaku politik, keinginan warga dalam memilih kandidat
karena faktor agama termasuk dalam pendekatan sosiologis.
Pendekatan sosiologis dapat dilihat melalui beberapa indikator,
diantaranya umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, suku dan gender.31
Dalam
fenomena kekalahan Ahok-Djarot masyarakat lebih menyoroti sosok Ahok
ketimbang Djarot. Ahok dinilai selain kepribadian dan kinerjannya juga dinilai
dari latar belakang keagamaannya yang non-muslim, seperti yang
disampaikan oleh salah satu warga bernama Mariah yang mengatakan, “saya
kurang suka pasangan ini ya, apalagi ahok itu kan non-muslim, kalo saya
pribadi mending milih yang seagama aja.”32
Hal senada juga disampaikan oleh perempuan 40 tahun, Karsini, “saya
sih kalo bisa seagama lah kalo buat pemimpin, kalo bukan seagama jangan
30
Ardian Siregar, “Ini Penyebab Warga Ogah Pilih Ahok Versi Survei LSI”,
pilkada.jpnn.com, 16 November 2018. 31
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 186. 32
Wawancara dengan warga Kecamatan Cipayung Mariah di Cipayung Jakarta Timur, 05
Agustus 2018.
65
deh. Itu aja sih kalo saya.” Yang menarik adalah setelah Karsini tidak memilih
Ahok-Djarot, dia justru menentukan kandidat antara Anis-Sandi dan Agus-
Silvy berdasarkan debat kandidat. Dalam hal ini penulis melihat bahwa
indikator pendekatan sosiologis menjadi sangat kuat di masyarakat seperti
yang disampaikan Karsini, ia mengatakan,“ya setelah tau Ahok maju lagi dia
kan non-muslim ya saya ga akan milih dia. Terus kan ada dua calon lagi yang
seagamalah gitu, jadi saya lihat dua calon yang lain, saya juga sempat lihat pas
debat kandidat kan ada berapa tahap tuh, ya mungkin saya mulai menentukan
pilihannya dari situ.”33
Dengan demikian, maka terlihat dengan jelas bahwa indikator yang
ada pada pendekatan sosiologis khususnya mengenai sentimen agama juga
mempengaruhi perilaku pemilih warga DKI Jakarta dan terlebih sosok Ahok
yang nampaknya menjadi bahan pertimbangan bagi para warga dalam
memilih pasangan ini. Ahok masih menjadi magnet perhatian terbesar warga
karena sosoknya yang nyentrik dan minoritas sedangkan Djarot mendapat
mendapat perhatian sedikit dari warga.Hal ini juga diungkapkan oleh Veri
Muhlis yang mengatakan, “Jadi kenapa elektabilitas pasangan Ahok-Djarot
turun ya karena faktor Ahoklah yang menurunkan elektabilitas pasangan ini
dan kenapa petahana ini bisa kalah juga karena Ahok, Ahok lebih banyak
masalahnya sehingga warga lebih banyak melihat sosok Ahok dibanding
Djarot”.
33
Wawancara dengan warga Kecamatan Kramat Jati Karsini di Kramat Jati Jakarta
Timur, 05 Agustus 2018.
66
Pada tahap ini menunjukkan bahwa pasangan Ahok-Djarot tak mampu
mendapat kepercayaan dari masyarakat terbukti dengan menurunnya kembali
elektabilitas Ahok-Djarot menjelang putaran kedua seperti pada tabel Tabel
IV.A.3 dandisisi lain elektabilitas Anies-Sandi masih berada diatas Ahok-
Djarot. Isu penistaan agama membuat dilema bagi warga muslim yang ingin
mendukung Ahok karena warga menjadi terintimidasi oleh banyaknya
spanduk-spanduk anti Ahok dan adanya mobilisasi massa besar-besaran oleh
umat muslim menuntut Ahok di hukum juga telah mengubah pilihan warga
untuk tidak memilih Ahok.
3. Gaya Komunikasi Ahok
Sebagai seorang petahana, Ahok dinilai memiliki karakter yang tegas
dan gaya komunikasinya yang kasar bahkan sampai memaki-maki. Hal ini
terlihat dari gaya kepemimpinannya pada saat dirinya masih menjabat sebagai
gubernur. Ketidaksukaan warga dengan gaya kepemimpinannya ini menjadi
salah satu faktor kekalahannya ditambah isu penistaan agama yang memanas
menjelang masa pemilihan hingga mempengaruhi perilaku warga dalam
memilih kandidat. Dalam studi perilaku politik, pertimbangan warga untuk
memilih kandidat atas hal tersebut termasuk pada pendekatan psikologis.
Pendekatan psikologis menekankan perilaku politik warga pada tataran
identifikasi partai, artinya kedekatan pemilih dengan partai dapat
mempengaruhi pilihan politik seorang pemilih. Dalam hal ini pemilih
melewati proses sosialisasi yang panjang, seperti adanya pengaruh orang tua
67
ataupun lingkungan keluarga hingga memiliki ikatan emosional dengan partai.
Namun bagi pemilih yang tidak mempunyai ikatan emosional dengan partai,
maka figur calon menentukkan perilaku politik seorang pemilih.34
Dalam fenomena kekalahan Ahok-Djarot pengamat politik Veri
Muhlis melihat faktor kepribadian atau figur calon sebagai penyebab dari
ketidaksukaan warga pada pasangan calon. Dalam hal ini kepribadian Ahok
dinilai tidak dapat diterima oleh kultur masyarakat, seperti yang dia
sampaikan:35
“Kalo ditanya penyebab kekalahan ahok itu banyak sebabnya, tapi dari sudut
pandang perilaku politik di Indonesia ini faktor kepribadian seorang kandidat
itu diperhatikan oleh pemilih. Siapapun orang kalo dia mau dipilih oleh
rakyat, apalagi kulturnya masih kultur tradisional modern tapi nusantara
begini, maka dia harus punya sikap yang baik, dia harus mampu menjaga
perkataannya dengan baik. Kalo kita bandingkan dari sisi para pemimpin
bangsa, seperti soekarno itu punya daya pikat yang luar biasa karena dia
selalu tampil di depan publik dalam keadaan berwibawa, lihat cara dia
berpakaian, lihat cara dia berbicara, nyaris tidak ada celah. Nah tokoh-tokoh
yang tidak bisa menjaga lisan, yang tidak bisa menjaga perilakunya atau
kredibilitasnya buruk itu akan mendapatkan akibatnya yaitu warga menjadi
tidak suka. Suka dan tidak suka itu kan sesuatu yang dinamis, tingkat
kesukaannya bisa naik turun makanya di ukur lewat survei kan tingkat
kesukaan, nah kondisi inilah yang terjadi pada pasangan ahok-djarot dimana
tingkat kesukaan warga Jakarta yang relatif naik turun.”
Pendapat ini juga didukung dari hasil survei yang diselenggarakan oleh
Litbang Kompas pada 7-15 Desember 2017 yang menunjukkan tingkat
kesukaan warga DKI Jakarta terhadap pasangan Ahok-Djarot memiliki
presentase paling rendah dibanding dua pasangan lainnya. Survei
membuktikan kesukaan warga terhadap Ahok mencapai 70,6 persen
34
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, hal. 187. 35
Wawancara penulis dengan pengamat politik Veri Muhlis Ariefuzzaman, di kantor
KONSEP Indonesia, BSD Tangerang 29 Agustus 2018
68
responden, sedangkan kesukaan terhadap Djarot mencapai 73,3 persen
responden. Kemudian hasil survei juga memperlihatkan 51,5 persen responden
mengaku tidak akan memilih pasangan Ahok-Djarot disebabkan karena faktor
gaya komunikasi Ahok.36
B. Pembahasan
Kekalahan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat pada
Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi salah satu yang menunjukkan bahwa calon
petahana tidak menjamin kemenangan dalam kontestasi, meski demikian
potensinya masih besar. Sebagai seorang petahana, Ahok-Djarot semestinya
diunggulkan untuk bisa meraih kembali tampuk kekuasaan di ibukota, seperti
halnya petahana-petahana lainnya yang mempunyai modal khusus sehingga
bisa memenangkan pertarungan.
Proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini
diwarnai dengan kasus penistaan agama yang menimpa Ahok. Sebagai calon
Gubernur hal ini sangat menyulitkan bagi kubu Ahok dalam mendulang suara
khususnya warga muslim bahkan menghadirkan aksi massa yang menuntut
dirinya di penjara. Kasus ini juga berdampak pada turunnya elektabilitas
pasangan Ahok-Djarot meskipun di putaran pertama Ahok-Djarot menang
tetapi diputaran kedua isu penistaan agama semakin menguat ditambah timses
melakukan blunder politik di masa tenang Pilkada sehingga kepercayaan
36
Nursita Sari, “Survei Litbang Kompas: Meski Popularitas Paling Tingggi, Tingkat
Kesukaan Terhadap Ahok-Djarot Paling Rendah, megapolitan.kompas.com, 10 November 2018.
69
masyarakat menurun dan berakibat pada kekalahan Ahok-Djarot di Pilkada
DKI Jakarta.
Kekalahan Ahok-Djarot di Pilkada DKI Jakarta 2017 jelas menjadi
pukulan telak bagi pasangan petahana. Kekalahan itu tidak lain bermula dari
blunder petahana sendiri dimana Ahok sebagai seorang minoritas dengan
berani menyentuh persoalan yang sangat sensitif bagi kultur masyarakat di
Indonesia sehingga mengundang reaksi yang beragam yang berujung pada
penurunan elektabilitas yang drastis. Faktor lain seperti yang telah disinggung
diatas justru karena ketidakberhasilan timses dalam merespon isu-isu yang
menerpa petahana bahkan bukan membalikkan citra menjadi positif justru
adanya pembagian sembako semakin menunjukan ketidakmampuan timses
dalam memenangkan pasangan Ahok-Djarot. Oleh karena itu tanpa menafikan
adanya usaha-usaha yang dilakukan timses Anies-Sandi dengan efektif,
penulis justru mencari sudut pandang berbeda yakni melihat faktor utama
kekalahan Ahok-Djarot justru berasal dari internal timnya bahkan kandidat
petahana sendiri.
70
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan analisis penilitian pada bab sebelumnya, pada bab ini penulis
akan menguraikan secara singkat hasil penelitian yang penulis peroleh tentang
faktor kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Selain berisi
uraian singkat dari hasil penelitian, pada bab ini penulis juga memberikan saran-
saran berupa masukan yang sifatnya membangun.
A. Kesimpulan
Dari hasil penilitian yang penulis peroleh, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan pasangan Ahok-Djarot kalah dalam pertarungan di Pilkada DKI
Jakarta tahun 2017, diantaranya sebagai berikut:
1. Timses gagal dalam meyakinkan warga untuk memilih Ahok-Djarot di mana
strategi timses meng counter isu tidak berjalan maksimal, hanya memberikan
informasi tentang kinerja dan prestasi pada pemerintahan sebelumnya tanpa
melakukan pembuktian secara masif. Efektifitas kampanye yang dilakukan
timses di media sosial juga tidak maksimal karena semua mengklaim sebagai
jenderal sehingga isunya tidak terkomando. Disisi lain adanya isu pembagian
sembako menjadi blunder fatal yang dilakukan timses di masa tenang Pilkada
sehingga meruntuhkan kepercayaan masyarakat.
2. Pada pendekatan sosiologis dalam melihat perilaku politik warga untuk
memilih kandidat yang dipilihnya berdasarkan sentimen Agama. Indikator
pendekatan sosiologis sebagai faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi
71
warga untuk tidak memilih Ahok-Djarot sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur DKI Jakarta.
3. Pada pendekatan psikologis dalam melihat perilaku politik warga untuk
memilih kandidat yang dipilihnya selain berdasarkan kedekatan dengan partai
politik juga berdasarkan isu dan figur kandidat. Indikator pendekatan
psikologis menjadi salah satu yang menyebabkan Ahok-Djarot kalah
berdasarkan penilaian warga atas gaya komunikasi Ahok yang kasar yang
membuat warga menjadi tidak suka. Selain itu isu bagi-bagi sembako turut
mempengaruhi pilihan warga untuk tidak memilih Ahok-Djarot.
B. Saran
Adapun penulis memberikan saran-saran yang relevan dengan hasil
penelitian diantaranya sebagai berikut:
1. Sebaiknya dalam mengahadapi kontestasi politik setelah mengetahui calon
yang diusung adalah seorang minoritas, hendaknya dipersiapkan strategi
khusus untuk mengkampanyekan kandidatnya sekaligus strategi dalam meng
counter isu yang bersifat SARA.
2. Sebagai seorang kandidat dari minoritas, baiknya menghindari kampanye
yang berbau SARA. Hal ini juga berlaku bagi kandidat dari kalangan mana
saja sebab persoalan SARA sangat riskan untuk dikampanyekan karena dapat
mengundang ketidaksukaan dari suatu golongan.
3. Dari sudut pandang perilaku politik pemilih di Indonesia, faktor kepribadian
seorang kandidat sangat diperhatikan oleh pemilih. Melihat kultur di
72
Indonesia, siapapun kandidatnya baiknya ia harus mampu menjaga lisannya
dan berprilaku sopan santun dihadapan masyarakat.
73
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Bua, Piter Randan. The Ahok Way, Bandung: PT. Visi Anugerah Indonesia, 2014.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008.
Budiardjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rumpai, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Canggara, Hafied. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta:
Rajawali Pers, 2009.
David Marsh dan Gerry Stoker. Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik, Bandung:
Nusa Media, 2010.
Ginting, Jani. dkk, ed,.Merubah Indonesia: The story Of Basuki Tjahaja
Purnama, Jakarta: Center For Democracy and transparency, 2008.
Hamidi. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan proposan dan
Laporan penelitian, Malang: UMM Press, 2004.
Harrison, Lisa. Metode Penelitian Politik, Jakarta: KENCANA, 2009.
J. Dwi Darwoko dan Bagong Suyanto. Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan,
Jakarta: Prenada Media Group, 2004.
Kumolo, Thahjo. Politik Hukum Pilkada Serentak, Jakarta: PT Mizan Republika,
2015.
McQuali, Denis. Teori Komunikasi Masa: Suatu Pengantar. Diterjemahkan
Aminuddin Ram, Jakarta: Erlangga, 1983.
Mujani, Saiful. Kuasa Rakyat: Analisis Tentang Perilaku Memilih dalam
Pemilihan Legislatif dan Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta: Mizan
Publika, 2011.
74
Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Panggabean, Meicky Shoreamanis. AHOK, Jakarta: PT Mizan Publika, 2016.
Pawito. Komunikasi Politik, Media Massa dan Kampanye Pemilihan, Yogyakarta
& Bandung: Jalasutra, 2009.
Raco, J. R. Metode Penelitian Kualitatif (Jenis, Karakteristik, dan
Keunggulannya), Jakarta: GRASINDO, 2010.
Ramlan Subakti. Memahami Ilmu Poliik, Jakarta: Gramedia Widya Sarana, 2010.
Sarwono. Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif, Yogyakarta: Graha Ilmu,
2006.
Sitepu, P. Antonius. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.
Soedjatmoko. Dimensi Manusia Dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES, 1995.
Sugiyono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif , kualitatif dan R&D,
Bandung: Alfabeta, 2012.
Toni Andrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah. Mengenal Teori-teori Politik:
Dari Sistem Politik sampai Korupsi, Bandung: Nuansa Cendikia, 2013.
Triwulan, Titik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Varma, S.P. Teori Politik Modern, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
PENELITIAN
Angraini, Monicha. “Faktor Penyebab Kekalahan Pasangan Zainal Abidin
(Incumbent) Dan Anshori Djausal Dalam Pemilihan Kepala Daerah
Kabupaten Lampung Utara Tahun 2013”, Program Sarjana, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung Bandar Lampung, 2015.
Khafidhin, Muhamad. “Framing Kasus Ahok Tentang Penistaan Agama (Analisis
Terhadap Berita Kompas Edisi 5-17 November 2016)”, Program Sarjana,
75
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2017.
Muhammad, Reza. “Kekalahan Petahana Dalam Pilkada 2015 Di kabupaten Luwu
Utara”, Program Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Hasanuddin Makassar, 2017.
Saputra, Bakti. “Kekalahan Tobroni Harun-Komarunizar Dalam Pemilihan
Kepala Daerah Kota Bandar Lampung 2015”, Program Sarjana, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung, 2016.
JURNAL
Aminudin, Suryana, “Perilaku Politik di Indonesia”,Jurnal Aspirasi, Vol.1/No.2.
(Februari 2011).
Hanafi, Ridho Imawan. “Pemilihan langsung Kepala Daerah Di Indonesia:
Beberapa Catatan Kritis Untuk Partai Politk”, Jurnal Penilitan Politik,
Vol. 11/No. 2. (Desember 2014).
Hutomo, Radityo Rizki. “Perilaku Memilih Warga Surabaya Dalam Pemilu
Legislatif 2014 (Hubungan Kesesuaian Program Kandidat, Kampanye,
Identifikasi Partai dan Pemberian Imbalan Uang dalam Menentukan
Pilihan Partai Politik dalam Pemilu Legislatif 2014)”, Jurnal Politik
Muda, Vol.4/No.1. (Januari-Maret 2015).
Maruapey, M. Husein.“Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara (Analisis
Kritis Terhadap Kasus Penistaan Agama Oleh Petahana Gubernur DKI
Jakarta), Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, Vol. VII/No. 1. (Juni 2017).
Sutrisno, Cucu.“Partisipasi Warga Negara Dalam Pilkada”, Jurnal Pancasila Dan
Kewarganegaraan, Vol. 2/No. 2. (Juli 2017).
INTERNET
Atriana, Rina. “Hakim: Ahok Merendahkan Surat Al-Maidah 51”,
news.detik.com, 20 Oktober 2017.
76
Aziza, Kurnia S. “Kapanye Ahok yang Bergejolak di Penghujung dan Awal
Tahun”, megapolitan.kompas.com, 26 Oktober 2018.
Carina, Jessi. “Survei LSI Denny JA: Dukungan Untuk Ahok-Djarot 42.7 Persen
Anies-Sandi 51.4 Persen”, megapolitan.kompas.com, 19 Oktober 2017
Dony, Bartanius. “Survei Indikator: Elektabilitas Anies-Sandi 48.2%, Ahok-
Djarot 47.4%”, news.detik.com, 20 Oktober 2017.
Efendi, Yusuf. “73% Warga Yakin Ahok Menistakan Agama”,
metro.sindonews.com, 22 Oktober 2018.
Fadillah, Hasan. “Timses Akui Elektabilitas Ahok-Djarot Turun Karena Isu”,
mmetrotvnews.com, 26 Oktober 2018.
Fathan, Muhammad “Dinamika Pilkada DKI”, www.republika.co.id, 18 Oktober
2017.
Ginanjar, “Siapa Ahok”, ahok.org, 06 Januari 2018.
Hidayat, Avit. “Elektabilitas Ahok Merangkak Naik, Ini Penyebabnya”,
pilkada.tempo.co, 26 Oktober 2018.
Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “KPU Launching Pilkada DKI
Putaran Kedua”, kpujakarta.co.id, 20 Oktober 2017.
Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “KPU Provinsi DKI Selesaikan
Rekapitulasi Perhitungan Suara hari ini,”, kpujakarta.go.id, 21 Oktober
2018.
77
Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “Profil Cagub dan Cawagub”,
kpujakarta.go.id, 07 Januari 2018.
Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “Struktur Tim Kampanye ahok-
Djarot”, kpujakarta.go.id, 28 Februari 2018.
Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, “Visi dan Misi Ahok-Djarot”,
kpujakarta.go.id, 15 Maret 2018.
Negara, Putera. “Survei Indikator Politik: Ahok dinilai sosok yang kurang
santun”, news.okezone.com, 20 Oktober 2017.
Pratomo, Angga Y. “21 Februari, FUI gelar aksi bela Islamdi DPR tuntut Ahok
dicopot”, www.merdeka.com, 29 Oktober 2018.
Putra, Nanda P. “Massa Aksi 31 Maret Longmarch dari Istiqlal ke Istana
Merdeka”, www.liputan6.com, 29 Oktober 2018.
Rahayu, Cici M. “Ini Lokasi Penemuan Sembako hingga Sapi Diduga Politik
Uang, news.detik.com, 22 Oktober 2018.
Rudi, Alsadad. “Survei SMRC: Elektabilitas Ahok-Djarot 39.1%, Anies-Sandi
33.5%, Agus-Sylvi 19.9%”, megapolitan.kompas.com, 19 Oktober 2017.
Sari, Nursita, “Survei Litbang Kompas: Meski Popularitas Paling Tingggi,
Tingkat Kesukaan Terhadap Ahok-Djarot Paling Rendah,
megapolitan.kompas.com, 10 November 2018.
Siregar, Ardian. “Ini Penyebab Warga Ogah Pilih Ahok Versi Survei LSI”,
pilkada.jpnn.com, 16 November 2018.
78
Siswanto, Demo Ormas Islam Bubar, Sebelum Pergi, Rizieq Keluarkan
Ancaman”, www.suara.com, 26 Oktober 2018.
Toriq, Ahmad. “Peta Kekuatan Ahok, Agus dan Anies”, news.detik.com, 19
Oktober 2017.
Yulika, Nila C. “Koalisi Non-Ahok Pecah, Berapa Kekuatan Penantang Ahok-
Djarot?”, pilkada.liputan6.com, 19 Oktober 2017.
PERUNDANGAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota