· web viewcontoh, di amerika serikat terdapat beberapa kelompok suku indian yang berasal dari...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. HASIL PRAKONGRES KEBUDAYAAN V
Prakongres Kebudayaan V dengan tema “Konsep, Kebijakan, dan Strategi
Kebudayaan” dilaksanakan pada tanggal 28 – 30 April 2003 di Ruang Wiswa Sabha, Komplek
Kantor Gubernur Bali, diikuti 148 orang peserta dari seluruh Indonesia yang terdiri atas:
pemakalah sebanyak 45 orang, wakil-wakil dari propinsi, kabupaten/kota dan peserta umum
lainnya dari berbagai kalangan Perguruan Tinggi, Asosiasi Keilmuan, Lembaga Swadaya
Masyarakat, pemuka, tokoh/pemangku adat. Setelah mendengarkan sambutan Gubernur
Provinsi Bali, Bapak Dewa Beratha dan sambutan pembukaan oleh Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata R.I., Bapak I Gede Ardika, dan setelah mendengarkan presentasi dan diskusi sidang-
sidang pleno dan sidang-sidang kelompok, dirumuskan sebagai berikut:
Hasil diskusi sidang pleno dan sidang kelompok menghasilkan rumusan 3 (tiga) sub tema
sebagai berikut:
Sub tema:
A. Lokalitas, Nasionalitas dan Globalitas
Integrasi dan Disintegrasi
1. Pengalaman dalam proses mengindonesia diwarnai dinamika integrasi dan
disintegrasi bangsa. Dominasi pada strategi politik dan ekonomi menghasilkan
pemerintahan yang otoriter dan sentralistik telah menimbulkan konflik yang
disintegratif.
2. Perlu pengindonesiaan secara terus menerus dengan sebuah “strategi baru” yang
menekankan nasion (bukan nasionalisme) dan berwawasan kebudayaan yang
tercerahkan.
3. Solidaritas sosiologis yang muncul pada budaya populer adalah wacana potensi
multikultural dalam ruang-ruang keluarga Indonesia. Pada sisi lain, potensi
multikultur itu berada pada berbagai konflik etnik, yang menuntut adanya
transformasi. Baik melalui pengelolaan konflik dan institusionalisasi konflik
secara demokratis. Upaya ini dapat mengurangi menjalarnya kekerasan maupun
etnosentrisme.
B. Identitas dan Krisis Budaya
1. Transisi Identitas
a. Kearifan lokal hendaknya menjadi perhatian pemerintah pusat dan
Pemerintah daerah, serta menjadi landasan moral berbangsa. Untuk PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 1
membangun kembali karakter bangsa, perlu dilakukan tindakan bersama,
menyeluruh dan berkesinambungan. (Kasus-kasus perlakuan
diskriminatif terhadap suku Dayak, Papua dan Aceh misalnya, dalam
penguasaan penggarapan hutan, dan pengelolaan sumber daya
hendaknya memperhatikan hak-hak dasar masyarakat tempatan).
b. Masyarakat majemuk akan berhadapan dengan feodalisme dan
konformisme kebudayaan dominan, pelanggaran moral, merosotnya
kewibawaan hukum, hancurnya otoritas dan legitimasi kepemimpinan
c. Transisi perubahan kebudayaan melahirkan krisis identitas dan situasi
heteronomi. Aspek konservatif dan progresif dalam kebudayaan akan
mencari keseimbangannya, untuk menjadi acuan bersama. Pengelolaan
krisis pada masa transisi dapat dilakukan melalui pendekatan integratif.
d. Agama dan nilai gotong royong, pada pengalaman bermasyarakat, tidak
terbukti digunakan sebagai dasar pembentukan masyarakat budaya
plural. Perpecahan dalam agama sering terjadi dan gotong royong hanya
efektif dalam budaya agraris, namun tidak tahan berhadapan dengan
kebutuhan ekonomi
2. Konflik dan Kekerasan
a. Suku-suku bangsa tertentu memiliki keterikatan yang sangat kuat kepada
tanah dan hutan, religi dan adat serta kebersamaan, namun tersingkir dan
terpinggirkan.
b. Potensi konflik budaya dapat dicairkan lewat pendekatan interaktif dan
transformatif.
C. Perubahan dan Pemberdayaan
1. Hukum dan Produktivitas
a. Pengakuan atas hak intelektual menghindari eksploitasi ekonomi dan
moral bagi pemegang hak.
b. Mengkaji dan mempertahankan perangkat hukum yang terkait dengan
kepentingan umum dalam bidang kebudayaan dan pengetahuan lokal
(indigenous knowledge). Undang-undang yang terkait dengan HaKI,
tanah, adat dan lingkungan hendaknya mengakomodasi perkembangan
dan kepentingan kolektif.
c. Kebijakan dalam pelestarian dan perlindungan bentang-pandang budaya
(cultural landscape) dikembangkan dalam prinsip: masyarakat sebagai
pusat pengelolaan, terciptanya mekanisme kelembagaan yang mampu PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 2
menyerap apresiasi dan aksi bersama, adanya dukungan legal, serta
bersifat berkelanjutan.
d. Diperlukan dukungan hukum terhadap politik pengembangan kesenian
dan industri budaya.
2. Pendidikan
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa berarti membuat bangsa siap hidup
dalam budaya modern dan wahana yang perlu disiapkan adalah satu
sistem pendidikan nasional yang berwawasan budaya
b. Pendidikan di sekolah perlu, karena tidak semua dapat diajarkan di
rumah, maka sekolah pun perlu diperbaiki sehingga benar-benar
membuat siswa dapat mengalami ‘the joy of discovery’ dan tidak lagi
menjadi tempat korupsi (tawar-menawar) rundingan tentang nilai
c. Terabaikannya kewajiban membaca buku dan bimbingan mengarang di
dunia pendidikan kita selama 60 tahun berakibat lulusan kita tetap
‘rabun membaca dan pincang mengarang.
d. Kongres Kebudayaan hendaknya menghasilkan suatu rencana aksi yang
antara lain berkenaan dengan sistem persekolahan dan pembelajaran
sosial.
Butir-butir tersebut di atas yang menyangkut sub tema: A. Konsep, Lokalitas, Nasionalitas dan
Globalitas, B. Identitas dan Krisis Budaya, C. Perubahan dan Pemberdayaan telah terangkum
dan disimpulkan sebagai berikut:
Perihal Konsep Kebudayaan:
Konsep kebudayaan Indonesia sebagai budaya nasional masih dipertanyakan, bahkan
puncak-puncak kebudayaan daerah dalam kaitan dengan budaya nasional perlu diberi relevansi
baru. Reformasi memberi harapan terjadinya demokratisasi budaya tetapi yang lebih sering
terjadi adalah konflik antara kelompok budaya bukan dalam identitas budaya utuh masing-
masing, tetapi dalam variasi unsur-unsur yang terbuka, baik secara lintas budaya maupun lintas
generasi.
Perihal Kebijakan Kebudayaan:
Membangun masyarakat multikultur merupakan keniscayaan – namun tak bisa begitu
saja diterima dan tidak dilaksanakan secara otoriter. Kebijakan tersebut diupayakan secara
sistematis, programatis, terpadu dan berkesinambungan. Tindakan ini dapat melalui pendidikan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 3
multikultur, lewat lembaga-lembaga mediasi interkultural dan kebijakan-kebijakan progresif
yang berpihak (affirmative action).
Perihal Strategi Kebudayaan:
Demokratisasi budaya diupayakan terwujud melalui dekonstruksi budaya dominan,
seperti feodalisme, otoritarianisme dan konformisme. Adalah suatu ironi bahwa di satu pihak
dirasakan kerinduan terhadap integritas budaya etik, tetapi di lain pihak dirasakan pula
keterpasungan lewat adat dan tradisi, sehingga diperlukan reinterpretasi dan reposisi.
Rekomendasi:Dalam penyelenggaraan Prakongres Kebudayaan V di Denpasar belum
tercakup beberapa wilayah dan tema-tema yang cukup penting dan perlu diikutsertakan
mengingat relevansinya dalam kebudayaan. Rangkaian tema tersebut adalah: ekonomi rakyat,
industri budaya (perbukuan, seni populer dll.), religi dan spiritualitas, kesetaraan gender, ilmu
pengetahuan dan teknologi, bahasa dan simbol serta lingkungan hidup.
http://kongres.budpar.go.id/agenda/precongress/hasil.htm
2. SOAL POSISI KEBUDAYAAN DALAM ORGANISASI PEMERINTAHAN
KETIKA sektor kebudayaan yang telah 55 tahun damai bersatu dengan sektor
pendidikan dipindahkan guna bergabung dengan pariwisata menjadi Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata (2000), salah satu rujukannya adalah susunan kabinet di Malaysia. Di sana
keduanya disatukan dalam Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Pelancongan.
RUJUKAN itu sekarang berubah. Dalam susunan kabinet Malaysia yang baru
(27/3/04), kebudayaan dan kesenian dipisahkan dari pelancongan atau pariwisata menjadi
Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan dipimpin oleh Datuk Rais Yatim, sementara
Kementerian Pelancongan diterajui oleh Datuk Leo Michel Toyad.
Pemisahan itu disebut sebagai era baru kebudayaan dan pelancongan serta disambut
gembira oleh kalangan budayawan dan seniman Malaysia. Mereka berpendapat, kebudayaan
mempunyai agenda yang sama sekali tidak selari (selaras?) dengan pelancongan yang menjual
produk untuk tujuan komersial. "Apabila kebudayaan dan pelancongan yang kontradiksi ini
berada dalam satu kementerian, yang kita lihat adalah pelancongan," demikian mereka
menyimpulkan. Dengan pemisahan itu, menurut mereka, "pertindihan kebudayaan dan
pelancongan telah berakhir".
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 4
Posisi kebudayaan
Dalam lima tahun terakhir, posisi kebudayaan dalam tata organisasi pemerintahan
mengalami masa gonjang-ganjing. Dalam tempo sesingkat itu, di samping harus pindah rumah,
juga mengalami empat kali "bongkar-pasang" organisasi. Ketidakstabilan itu mulai muncul
sejak tahun 1998. Ketika itu, dibentuk Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya
(Deparsenibud), sementara nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih tetap ada. Ini
berarti ada dua lembaga pemerintah yang menangani bidang yang sama. Agar misinya tidak
tumpang tindih, disepakati Direktorat Jenderal Kebudayaan menangani hal-hal yang berkaitan
dengan pembinaan, pengembangan, perlindungan, dan pemanfaatan kebudayaan (bagian hulu),
sedangkan Deparsenibud menangani hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan kebudayaan
untuk pariwisata (bagian hilir). Meskipun demikian, tumpang tindih pengelolaan kebudayaan
tidak terelakkan.
Belum ada satu tahun organisasi baru itu berjalan, terjadi perubahan lagi. Nama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan berubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas). Tugas pokoknya mengalami perubahan pula. Kata "kebudayaan" tidak tercantum
lagi dalam uraian tugas pokok Depdiknas. Usaha mempertahankan agar posisi kebudayaan
tetap bersatu dengan pendidikan berhasil. Presiden menyetujui dalam tugas pokok Depdiknas
ditambahkan kata "termasuk kebudayaan" menjadi: "melaksanakan sebagian tugas
pemerintahan dan pembangunan di bidang pendidikan, termasuk kebudayaan". Hanya berjalan
beberapa bulan saja, upaya mempertahankan posisi itu akhirnya pupus. Bidang kebudayaan
resmi pindah dari Depdiknas bergabung dengan pariwisata menjadi Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata (Depbudpar).
Belum mencapai usia satu tahun, status Depbudpar berubah lagi menjadi Kementerian
Negara Kebudayaan dan Pariwisata (Menneg Budpar). Perubahan status itu membawa
konsekuensi tugas pokoknya menjadi terbatas pada penyusunan kebijakan saja. Lalu, siapa
yang akan menangani pelaksanaan kebijakan di bidang kebudayaan? Untuk mengatasi hal itu
dibentuklah Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (BP Budpar). Nasib lembaga
ini pun tidak terlalu baik. Karena adanya mosi tidak percaya dan sejumlah Asosiasi Industri
Pariwisata terhadap kinerja BP Budpar, lembaga yang baru berusia 1,5 tahun itu pun
dibubarkan. Pokok permasalahan kericuhan terletak pada pariwisata. Tetapi, sebagai
konsekuensinya bidang kebudayaan harus ikut menanggung. Suatu realitas yang sangat tidak
menguntungkan kinerja bidang kebudayaan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 5
Setelah penggabungan
Sejak awal masalah penggabungan, kebudayaan dan pariwisata telah banyak
mendapatkan reaksi. Di samping misi antara keduanya berbeda, alasan penggabungan dinilai
tidak transparan. Jika penggabungan itu didasarkan atas kemudahan dalam pemanfaatan
kebudayaan bagi pariwisata, bukanlah yang dijadikan daya tarik wisatawan tidak hanya
kebudayaan? Bukankah pusaka alam dan pusaka saujana (gabungan alam dan budaya dalam
kesatuan ruang dan waktu) Indonesia memiliki daya tarik yang luar biasa?
Reaksi itu semakin memuncak ketika BP Budpar dibubarkan lalu digabungkan ke
dalam Menneg Budpar. Langkah itu dinilai tidak menciptakan suasana kerja yang sejuk, tetapi
sebaliknya. Sebagai sebuah kementerian negara yang tugasnya terbatas pada "penyusunan
kebijakan", ternyata juga menampung tugas "pelaksanaan kebijakan". Di samping misinya
yang rancu, nomenklatur satuan-satuan organisasi bidang kebudayaan juga membingungkan.
Salah satu perubahan nomenklatur yang mendapat sorotan adalah perubahan satuan
organisasi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) menjadi Asisten Deputi
Arkeologi Nasional. Dalam rincian tugasnya yang baru tertulis "melaksanakan penyimpangan
dan penyusunan kebijakan, pemantauan, analisis, hubungan kerja, evaluasi serta penyusunan
laporan di bidang arkeologi nasional". Tidak tercantum tugas pelaksanaan kegiatan penelitian.
Tugas baru itu dinilai tidak mencerminkan misinya yang amat penting, yaitu melakukan
penelitian untuk mengungkap sejarah awal kehidupan manusia atau menyingkap misteri
sangkan paraning dumadi, seperti yang dikatakan oleh Prof Dr Daoed Joesoef pada "Seminar
Kebudayaan, Makna, dan Pengelolaannya", tanggal 15 Januari 2004. Di samping itu,
nomenklatur deputi pun menimbulkan pertanyaan karena di samping terdapat Deputi
Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan juga terdapat Deputi Sejarah dan Purbakala serta
Deputi Seni dan Film. Bukankah sejarah dan purbakala serta seni dan film merupakan unsur
dari kebudayaan?
Kondisi demikian itu menimbulkan keprihatinan sejumlah pemerhati kebudayaan.
Sebagai salah satu bentuk keprihatinan itu, peserta Kongres Kebudayaan 2003 yang terdiri atas
para budayawan, seniman, cendekiawan, pemangku adat, dan tokoh masyarakat kembali
menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah agar dalam kabinet yang akan datang dibentuk
kementerian kebudayaan tersendiri. Usul itu memang bukan hal baru. Sebuah keinginan yang
wajar dan tulus itu telah dilontarkan sejak 4,5 bulan setelah Indonesia merdeka. Dalam
Musyawarah Kebudayaan tanggal 31 Desember 1945 di Sukabumi, para peserta sepakat
menyampaikan desakan kepada pemerintah agar segera dibentuk kementerian kebudayaan.
Meskipun usul tersebut telah dibahas dan disampaikan lagi pada Kongres Kebudayaan 1948,
1951, 1954, 1991, dan Kongres Kesenian 1995, hingga kini belum mendapatkan tanggapan.PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 6
Bentuk keprihatinan yang lain juga disampaikan 16 ahli arkeologi dan kebudayaan serta
8 wakil organisasi profesi di bidang kebudayaan dengan menyampaikan petisi kepada presiden
pada pertengahan Desember 2003. Dalam petisi tersebut disampaikan dua permohonan.
Pertama, agar pemerintah kembali mengaktifkan unit-unit organisasi pemerintah yang sebelum
restrukturisasi telah menangani penelitian arkeologi pada khususnya dan kebudayaan pada
umumnya. Kedua, agar pemerintah tidak menggabungkan urusan pembinaan kebudayaan
dengan pengembangan pariwisata.
Kinilah saatnya
Secara diam-diam (tidak melalui kongres atau petisi) Malaysia telah mengambil
langkah strategis, memisahkan kebudayaan dan pelancongan. Langkah ini menambah jumlah
deretan "acungan jempol" bagi Negeri Jiran dalam keberanian dan kejelian membaca
perkembangan. Tujuan pemisahan itu sangat cantik, yaitu untuk memartabatkan kebudayaan
dengan memberi tanggung jawab kepada sebuah kementerian yang khusus memartabatkan
peradaban bangsa dalam memasuki pergaulan global.
Bagaimana halnya dengan Indonesia? Masalah kebudayaan di Indonesia memiliki
dimensi yang lebih kompleks dibandingkan dengan Malaysia. Indonesia yang terdiri atas
hampir 500 suku bangsa memiliki agama, bahasa, dan budaya yang berbeda. Oleh karena itu,
masalah yang dihadapi tidak hanya terkait dengan benda cagar budaya, kesenian, dan bahasa
saja, tetapi juga masalah jati diri bangsa, persatuan bangsa, peradaban Indonesia, serta
pengenalan kebudayaan di luar negeri sebagai salah satu upaya mengangkat derajat dan
martabat kita sebagai bangsa. Untuk kesemuanya itu diperlukan perhatian yang khusus.
Kinilah saatnya untuk menempatkan posisi dan misi kebudayaan dalam sistem
pemerintahan secara tepat. Meskipun dalam kampanye pemilu pertama tidak tampak calon
presiden atau wakil presiden yang secara lugas menawarkan platform pembangunan
kebudayaan, kinilah saatnya berani mengambil kebijakan membentuk organisasi kebudayaan
tersendiri. Adapun bentuknya bisa departemen, kementerian, atau LPND. Siapa pun yang akan
menjadi pemimpin bangsa.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 7
BAB II
Kebudayaan (Cultural)
Kata kebudayaan sering kali dikaitkan dengan suatu penghargaan atas benda-benda atau
hasil seni dan kreasi manusia yang bermutu tinggi dan mempunyai nilai artistik seperti
misalnya, lukisan, opera, sandiwara dan lain-lain. Akan tetapi dalam ilmu sosiologi kata
kebudayaan mempunyai arti lain yang tidak mempunyai kaitan dengan hal-hal seperti itu.
Sir Edward Burnet Taylor seorang antropolog bangsa Inggris adalah orang yang
pertama kali mendefinisikan kebudayaan (dalam bukunya Primitive Culture, 1871) sebagai:
“that complex whole that includes knowledge, belief, art, morals, law, custom and any other
capabilities and habits acquired by man as a member of society”. Secara sosiologis kebudayaan
dapat didefinisikan sebagai pengetahuan, sistem kepercayaan dan keseluruhan tingkah laku
yang menjadi ciri anggota suatu masyarakat tertentu yang dipelajari dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi lainnya. Kadang-kadang kata kebudayaan disamakan dengan istilah
“warisan sosial” atau “pola hidup”. Kebudayaan bersifat sosial dan sangat bergantung kepada
interaksi manusia. Kebudayaan juga harus dipelajari dan bukan merupakan warisan biologis.
Sebab itu hanya masyarakat manusia saja yang mempunyai kebudayaan.
1. Komunikasi Simbolik
Salah satu faktor penting yang membedakan manusia dari benatang adalah kemampuan
manusia dalam berkomunikasi secara sempurna. Kemampuan manusia dalam berkomunikasi
itulah yang menyebabkan mereka mampu menyebarluaskan kebudayaan dari suatu generasi ke
generasi berikutnya dan yang menyebabkan pula mereka mampu bertahan untuk hidup terus.
Manusia dapat berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol yang terdiri dari
dua macam. Yang pertama lazim disebut sebagai simbol referential (denotative) yakni simbol
yang menunjukkan referens tertentu seperti misalnya mesin tik, meja, kursi dan lain-lain. Yang
kedua adalah simbol yang memiliki sifat expressive (conotative) yang sering memiliki makna
yang jamak dan abstrak, seperti misalnya musik, bentuk tarian dan lain-lain.Tetapi pada
umumnya manusia berkomunikasi dengan menggunakan sekelompok simbol yang kita sebut
“bahasa”. Yakni dalam bentuk “bahasa percakapan” (spoken language) yang merupakan pola-
pola bunyi-bunyian yang mengandung arti tertentu. Disamping itu terdapat juga cara
berkomunikasi dengan menggunakan “bahasa tertulis” (written language) yakni pencatatan
dengan tulisan yang mendorong ke arah pelestarian kebudayaan tersebut. Dan yang tidak kalah
pentingnya adalah “bahasa isyarat” (body language) yaitu suatu ungkapan atau pernyataan
melalui isyarat atau gerakan-gerakan tubuh. Dengan percakapan manusia mampu mengajarkan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 8
dan menurunkan kebudayaan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan bahasa tulisan
manusia mampu melestarikan apa-apa yang dianggap penting, seperti misalnya resep-resep
obat-obatan, teknik bercocok tanam, cara membuat peralatan dan sebagainya.
Manusia berpikir atas dasar sekelompok simbol-simbol atau bahasa tetapi apa yang ia
pikirkan ditentukan oleh budayanya yakni melalui bahasa itu. Benyamin Whart, seorang ahli
bahasa, mengatakan bahwa bahasa menentukan realitas. Sebagai contoh didalam bahasa Inggris
ada “time tense” atau pemisah waktu yakni dengan menggunakan waktu lampau, waktu
sekarang dan waktu yang akan datang. Struktur bahasa Indian Hopi, kata Whart, lebih
menggambarkan kenyataan yang ada dan tidak memperhatikan masalah waktu. Sebagai contoh
untuk menunjukkan suatu tindakan, bahasa Indian Hopi selalu menyebut sifat dari pembuktian
untuk menunjukkan apakah tindakan itu suatu pengalaman langsung, suatu kepercayaan atau
suatu generalisasi. Dalam bahasa Inggris kita dapat berkata: “The boy ran down the hill”
(waktu lampau), sedangkan bahasa Indian Hopi menggunakan “wari” (suatu petunjuk bahwa
“lari-nya” itu telah terlihat secara langsung dan tidak menunjukkan bahwa “lari-nya” itu telah
terjadi (past tense) atau apakah “lari-nya” itu sedang terjadi (present tense). Nampaknya
perhatian selektif dalam suatu bahasa menggambarkan pengalaman dan masalah yang unik
dalam suatu masyarakat. Kata “snow” bagi orang Inggris hanya menggambarkan satu macam
obyek pengamatan, tidak perduli apakah salju itu berbentuk pasir, berbentuk kapas atau
berbentuk karang. Tetapi bagi kebudayaan Eskimo “salju” itu dapat digambarkan dengan kata
atau sifat yang berbeda-beda. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa bagi orang Eskimo
penjenisan apa yang disebut salju itu sangat penting dalam mempertahankan hidup mereka.
Sebab itu melalui bahasa setiap kebudayaan menghasilkan berbagai macam konsep-konsep
tentang realitas bagi para anggota masyarakatnya. Jadi tidak perlu heran bahwa beberapa kata
tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa lain.
2. Sikap dan Nilai Budaya
Sikap adalah suatu keadaan yang menyebabkan seseorang bereaksi atau berprilaku
tertentu apabila diberikan suatu rangsangan tertentu. Sedangkan nilai (Values) adalah
pertimbangan-pertimbangan atas suatu kehendak/keinginan atau pertimbangan-pertimbangan
tentang pentingnya sesuatu. Dalam hal ini sikap sangat tergantung pada sistem nilai. Apabila
kita menilai “hak milik” sebagai sesuatu yang penting, maka kita selalu akan berusaha untuk
memiliki sesuatu.
Baik sikap maupun sistem nilai, keduanya tidak bersifat konkrit, tetapi merupakan ide-
ide atau sistem kepercayaan yang ditentukan dengan jalan mengamati prilaku semua manusia.
Sikap dan nilai-nilai keduanya ditentukan oleh kebudayaan dan oleh sebab itu akan berbeda-PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 9
beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Di Amerika Serikat, dapat masuk satu
team football di suatu perguruan tinggi dinilai sangat tinggi. Akan tetapi di negara lain
permainan football yang mengutamakan adu kekuatan badan mungkin tidak disukai.
Sikap dan nilai diperoleh berdasarkan interaksi dengan sesama manusia. Akan tetapi
sering terjadi bahwa pengalaman interaksi dengan manusia lain sangat terbatas, sehingga
menimbulkan pandangan sempit yang dikenal dengan istilah “stereotypes” (penyamarataan).
Beberapa contoh, misalnya di Amerika Serikat, pegawai negeri di “stereotype” kan sebagai
pemalas, tidak memiliki kompentensi; mereka tidak dapat hidup terus kalau mereka bekerja
diluar pemerintah. Orang Indian juga sering di “stereotype”kan sebagai pemabuk, kotor; orang
Negro di “stereotype” kan sebagai hitam, malas, setengah buta huruf dan berbibir tebal.
Stereotypes mungkin sering tidak benar, tetapi dapat mengatur pola prilaku, sebab
stereotype memberi cara (alternatif) bagaimana mengantisipasi prilaku orang lain. Orang putih
di Amerika Serikat sangat mengharapkan agar orang Black mengikuti mereka dalam
berprilaku. Kadang-kadang ada orang yang baik tetapi di cap nakal, maka orang itu terpaksa
harus berprilaku sebagaimana cap (label) yang diberikan kepadanya.
3. Norma-Norma Kebudayaan
Norma adalah aturan-aturan tingkah laku yang menetapkan bagaimana manusia harus
berprilaku dalam suatu keadaan tertentu. Bagaimana siswa harus berprilaku di dalam kelas
tatkala guru sedang mengajar. Dengan kata lain norma kebudayaan adalah suatu standar
konkrit tentang apa yang diharapkan atau disetujui oleh kelompok manusia mengenai pikiran-
pikiran atau prilaku mereka. Norma berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat
lainnya. Apa yang dianggap norma dalam suatu masyarakat belum tentu merupakan norma di
masyarakat lainnya. Orang yang dibesarkan di Jepang diharapkan dapat makan dengan alat
yang disebut “chopstick”. Tetapi kalau dibesarkan di Amerika Serikat diharapkan dapat makan
dengan menggunakan sendok, garpu dan pisau. Bagaimana di Jawa Barat? Kira-kira anda
diharapkan dapat makan dengan tangan. Norma berfungsi sebagai prilaku standard yang akan
membawa keteraturan dan keserasian. Di Indonesia sudah terbiasa orang berjalan di sebelah
kiri, sebaliknya di Amerika Serikat orang sudah terbiasa berjalan di sebelah kanan jalan.
Kebiasaan berjalan di Indonesia sudah tentu jangan dipakai di Amerika Serikat. Bila anda
kebetulan jalan-jalan disalah satu jalan di kota New York dengan membawa kebiasaan jalan di
Indonesia akan dapat bertabrakan terus.
Norma juga sering mempunyai sifat komplementer, artinya saling mengisi antara yang
satu dengan yang lainnya. Keadaan seperti ini sering disebut normative (normative system).
Akan tetapi karena norma yang berbeda-beda sering berlaku dalam kelompok-kelompok yang PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 10
berbeda dalam satu masyarakat, maka sering terjadi konflik. Beberapa waktu yang lampau
(bahkan sekarangpun masih berlaku di beberapa pedesaan) wanita selalu membiarkan laki-laki
(suami) berada di depan bila sedang berjalan berkelompok. Tetapi dikalangan anak muda
jaman sekarang biasanya laki-laki akan membiarkan wanita berada di muka bila sedang
berjalan berkelompok.
Norma dalam beberapa hal adalah sama atau mirip dengan sikap dan nilai-nilai.
Keduanya bersikap abstrak dan tidak dapat dilihat kecuali bila kita mengamati prilaku manusia
dalam kondisi yang terpisah. Disamping itu norma juga mengurangi tugas pengambilan
keputusan para individu. Kita tidak perlu lagi menentukan apakah memakai baju atau tidak
kalau berpergian atau pergi tidur.
4. Variasi Norma-Norma
Seorang ahli ilmu sosiologi bangsa Amerika, William Graham Summer, didalam
bukunya Folkways (1907) membedakan tiga macam norma yang penting. Yang pertama ia
sebut “folkways” yakni adat istiadat atau kebiasaan berprilaku yang bersifat tradisionil.
Folkways adalah merupakan prilaku yang disenangi atau yang paling disarankan. Dalam
upacara adat perkawinan mempelai pria dan wanita selalu mengenakan pakaian yang sesuai
dengan daerahnya. Pelanggaran terhadap adat istiadat tidak menimbulkan hukuman, yang
mungkin ada adalah “cemoohan”. Adat istiadan atau folkways merupakan kejadian yang tidak
direncanakan, timbulnya kadang-kadang hanya secara kebetulan. Menghadiri upacara
perkawinan memakai baju batik sudah dapat diterima oleh sebagian anggota masyarakat di
pulau jawa. Yang kedua adalah “mores” yaitu kebiasaan-kebiasaan yang membawa implikasi
penting bagi kehidupan para anggota masyarakat. Mores memisahkan mana yang benar mana
yang salah. Membunuh sesama manusia adalah salah, meskipun jaman dahulu membunuh
musuh dibenarkan. Diwaktu perang membunuh masih dianggap perbuatan yang benar.
Pelanggaran terhadap meres dapat dijatuhi hukuman berat. Sebab itu manusia wajib mentaati
mores. Yang ketiga adalah “hukum” (laws) yakni mores yang telah dirumuskan menjadi
peraturan-peraturan oleh pihak yang mempunyai wewenang atau kekuasaan (pemerintah).
Hukum bersifat memaksa, artinya setiap warga masyarakat wajib mengetahui dan mentaatinya.
Kadang-kadang hukum tidak sejalan dengan mores. Berdiri telanjang dimuka umum mungkin
tidak dianggap melanggar hukum, tetapi jelas melanggar mores, karena melanggar kepantasan.
5. Perbedaan dan Persamaan Kebudayaan
Ada perbedaan dalam kebudayaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain,
masing-masing sejalan dengan sistem kepercayan, sistem nilai dan norma-norma yang berlaku. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 11
Sebagai contoh, didalam setiap masyarakat selalu tersedia sekumpulan norma yang mengatur
sistem perkawinan atau sistem pendidikan anak-anak. Dibeberapa masyarakat berlaku norma
perkawinan yang monogamus (seorang suami untuk seorang istri), dilain masyarakat berlaku
norma perkawinan yang poligamus (seorang suami untuk lebih dari satu orang istri).
Dibeberapa masyarakat terdapat kebebasan memilih calon pasangan hidup, sedangkan
dimasyarakat lain calon pasangan hidup telah ditetapkan oleh orang tanya masing-masing.
Disatu masyarakat kekuasaan keluarga berada dipihak laki-laki (Batak), dilain masyarakat
kekuasaan berada dipihak wanita (Minangkabau).
Banyak alasan yang menimbulkan perbedaan-perbedaan tersebut, antara lain adalah: (1)
adanya perbedaan tingkat perkembangan/pertumbuhan masyarakat, misalnya cepat atau
lambatnya suatu masyarakat yang tradisionil berubah menjadi masyarakat moderen; (2) adanya
perbedaan geografis, misalnya bagi orang Eskimo tidak memungkinkan membangun rumah
seperti di Indonesia; (3) adanya perbedaan dalam sejarah pertumbuhan suatu masyarakat
misalnya, setiap masyarakat memiliki cara-cara yang baik untuk memenuhi kebutuhan
biologisnya (misalnya pangan), akan tetapi cara-cara yang mana yang akan diambil dan
dibudayakan tergantung keadaan, bahkan sering terjadi secara kebetulan saja.
6. Organisasi Kebudayaan
Kebudayaan disusun melalui cara yang sistematis agar para anggota masyarakat dapat
saling berinteraksi secara efisien. Salah satu sifat kebudayaan yang biasa disebut “cultural
trait” yaitu yang merupakan unit terkecil dari suatu kebudayaan. Cultural trait dapat berbentuk
suatu benda, suatu isyarat atau kata-kata. Kuku adalah cultural trait, sebab ia tidak dapat
diuraikan lagi (mungkin dapat juga dipecah-pecah menjadi bentuk lain, tetapi apa namanya?).
Kumpulan dari pada cultural trait biasanya disebut sebagai suatu komplek kebudayaan
(cultural complex). Bersalaman mungkin dapat dianggap sebagai suatu cultural trait; tetapi bila
bersalaman dihubungkan dengan berbagai prilaku, misalnya bersalaman untuk “sungkem”
(bahasa jawa) bersalaman sebagai “selamat jalan” bagi yang mau pergi, maka bersalam-
salaman tersebut dapat dianggap komplek. Aspek dari pada komplek budaya tersebut menjadi
penting karena salah satu komplek tersebut saling berkaitan satu sama lain. Gabungan beberapa
komplek kebudayaan biasa dikenal dengan istilah “cultural pattern” atau pola kebudayaan.
Beberapa diantara ahli sosiologi menanamkan pola kebudayaan sebagai institution
(kelembagaan). Jadi lembaga adalah merupakan suatu sistem hubungan sosial yang memiliki
pola-pola tertentu untuk dijalankan oleh manusia sebagai anggota di dalamnya.
Kebanyakan ahli sosiologi mendefinisikan kelompok folkways, mores dan hukum
sejalan dengan kegiatan-kegiatan suatu kelembagaan (institution) dalam masyarakat. Ada lima
macam bentuk kelembagaan dalam ilmu sosiologi, yaitu: (1) Keluarga (family); (2) Agama PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 12
(relegion); (3) Pemerintah (goverment); (4) Pendidikan (education) dan (5) Sistem
perekonomian (the economic system). Pentingnya kelembagaan-kelembagaan itu meningkat
melalui berbagai tata cara dalam menjalankan ibadah keagamaan, upacara-upacara adat/tradisi
dan perayaan-perayaan yang kesemuanya itu berfungsi sebagai penunjang terhadap kumpulan-
kumpulan norma yang menjadi dasar kehidupan kelembagaan tersebut. Dalam kebudayaan
suatu masyarakat juga sering dikenal istilah “sub-culture” yakni kelompok kebudayaan kecil
yang menginduk kepada kebudayaan yang besar karena ia masih mengakui sejumlah norma
kebudayaan induknya. Namun sub-culture dianggap berbeda karena ia memiliki norma-norma
tersendiri. Contoh, dalam masyarakat Amerika Serikat golongan menengah adalah yang
terbanyak jumlahnya (mayoritas). Mereka menanamkan nilai-nilai tertentu yang dianggap amat
penting bagi kehidupan, seperti kerja keras, disiplin pribadi, time is money dan sebagainya.
Akan tetapi anggota-anggota sub-culture (orang-orang Black, misalnya) menolak sebagian dari
nilai-nilai tersebut. Para anggota sub-culture tidak selalu terisolir dari masyarakat yang lebih
besar karena dalam berbagai hal mereka masih saling berinteraksi.
Disamping sub-culture, dalam suatu masyarakat sering terdapat kelompok pendobrak
yang disebut “counter culture” yakni mereka yang menentang atau menolak norma-norma
kelompok masyarakat yang berkultur dominan. Namun demikian timbulnya sub-culture atau
counter-culture merupakan gejala yang kurang baik bagi kehidupan suatu masyarakat. Oleh
karena itu perlu dicari cara atau jalan yang dapat memperbaiki keadaan. Cultural integration
atau integrasi budaya merupakan cara-cara terpadu dan fungsionil yang berlaku bagi seluruh
sifat dan bentuk (trait dan complex) dalam suatu kebudayaan. Ciri-ciri dari cultural integrated
(kebudayaan terpadu) adalah adanya sifat yang saling berkaitan erat, sehingga perubahan dalam
satu sifat akan mengakibatkan perubahan pada sifat tertentu yang pada akhirnya akan merubah
kebudayaan secara menyeluruh. Contoh, di Amerika Serikat terdapat beberapa kelompok suku
Indian yang berasal dari Great Plain. Sebagai akibat kekalahan mereka melawan tentara
Amerika, mereka ditampung dalam kamp penampungan. Mereka terpaksa dipisah dari “bison”
(sejenis kerbau) yang merupakan sumber makanan tradisionil. Hal ini bukan saja mengacaukan
kebiasaan-kebiasaan mereka dalam memperoleh makanan, tetapi juga mengganggu sistem
kepercayaan dan sistem sistem nilai yang mereka agungkan. Berburu bison bagi mereka bukan
sekedar suatu cara mencari nafkah, tetapi merupakan unsur pendidikan, terutama bagi anak-
anaknya. Berburu berarti menguji kepribadian dan keberanian yang sudah menjadi tata cara
hidup mereka.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 13
7. Relativitas Kebudayaan
Karena banyaknya variasi kebudayaan antara masyarakat yang satu dengan yang
lainnya maka sering terjadi bahwa apa yang merupakan larangan di suatu masyarakat
merupakan perbuatan yang dibenarkan pada masyarakat lainnya. Contoh, dalam budaya orang
Eskimo ada suatu norma yang mengharuskan istrinya berhubungan sex dengan temannya
sebagai suatu penghormatan. Perbuatan seperti itu di Indonesia adalah suatu pelanggaran
norma dan dianggap sebagai zina. Adanya relativitas budaya tidak berarti bahwa unsur
moralitas diabaikan, sebab setiap masyarakat mempunyai konsep-konsep tentang apa yang
dianggap benar dan apa yang dianggap salah. Kekhususan didalam paugeran itulah yang
bersifat relatif. Sebab itu adalah salah bila kita menilai pada prilaku dan budaya suatu
masyarakat atas dasar standard moralitas masyarakat kita.
8. Ethnocentrism
Ethnocentrisme adalah tendensi atau kecenderungan yang membudaya yang sukar
dihindarkan dan bersifat universil yang menganggap kebudayaan suatu masyarakat lebih baik
dari pada kebudayaan masyarakat lain. Membudaya karena anggapan seperti itu dipelajari
secara formil melalui berbagai lembaga: keluarga, sekolah (kita umat Islam telah dididik bahwa
agama Islam adalah agama yang benar dan lurus. Orang India dididik bahwa agama Hindu
adalah agama yang benar, dsb); dan juga dipelajari secara informal, misalnya melalui homor-
humor: Orang Parahiyangan halus budi bahasanya, orang Batak kasar, dsb. Universal karena
masyarakat lain juga mempunyai anggapan yang sama terhadap masyarakat kita seperti halnya
anggapan kita terhadap masyarakat lain. Tidak dapat dihindari karena kita telah diexpose
terhadap budaya sejak kita lahir. Sistem kepercayaan, sistem nilai dan norma telah mendarah
daging disanubari tiap anggota masyarakat dan kita tidak pernah mempertanyakan hal itu.
Beberapa penelitian tentang ethnosentrisme memberikan banyak keterangan yang cukup
meyakinkan. Adorno dkk., dalam studinya “Authoritarian Personality” menemukan bahwa
ethnosentrisme cenderung “bias” terhadap semua tipe kelompok (Negro, Yahudi, orang asimg,
dll.). Altus dan Tabejian (Journal of Abnormal and Social Psychology, 48: 1953) menemukan
bahwa orang-orang tua yang berpendidikan rendah dan yang kurang mengikuti kejadian-
kejadian dalam masyarakat dan sangat taat kepada agama memiliki kecenderungan
ethnosetrisme yang tinggi.
Disamping aspek yang negatif, sudah tentu ada juga kebaikan atas pandangan yang
ethnosentris tersebut. Aspek yang baik dari ethnosentrisme antara lain adalah bahwa
ethnosentrisme menunjang “status quo”, sebab itu dapat mencegah perubahan-perubahan yang
mungkin kurang baik akibatnya bagi masyarakat. Disamping itu ethnosentrisme juga PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 14
meningkatkan loyalitas kesatuan dan moral yang tinggi dalam suatu masyarakat, sebab itu
dapat memperkokoh persatuan. Pengaruh negatif dari ethnosentrisme antara lain adalah
menghabat perubahan-perubahan yang mungkin sangat penting bagi perkembangan dan
pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Ethnosentrisme juga mencegah saling pengertian dan
kerja sama antar bangsa. Ethnosentrisme juga menghambat asimilasi dan akulturasi kelompok-
kelompok minoritas dalam masyarakat.
9. Goncangan Budaya (Culture Shock)
Bagi individu-individu yang memiliki sifat terbuka dalam menerima kebudayaan luar
tetapi hidup dalam masyarakat yang tidak menganut keyakinan dan kepercayaan yang sama,
maka keadaan seperti itu dapat dikatakan sebagai goncangan budaya. Meskipun sebagian besar
anggota masyarakat enggan untuk melepaskan adat istiadat yang tradisionil, sistem nilai dan
sistem kepercayaan yang ada namun perubahan-perubahan dalam suatu masyarakat tidak dapt
dihindarkan. Change is normal untuk setiap masyarakat, kata para ahli. Hanya cara dan kadar
perubahannya yang tidak sama. Tantangan-tantangan terhadap perubahan muncul manakala
terdapat penyimpangan-penyimpangan yang besar terhadap nilai-nilai dan adat istiadat
tradisionil yang hakiki.
Diantara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya antara
lain adalah: kemajuan teknologi, lingkungan fisik, perubahan penduduk dan kebutuhan
manusia. Teknologi merupakan penyebab paling penting. Perkembangan dan perubahan dalam
bidang teknologi umumnya terjadi di negara-negara maju dan juga negara yang sedang
berkembang. Semakin cepat perubahan teknologi terjadi maka perubahan-perubahan sosial
budaya harus disesuaikan. Bila tidak maka akan muncul ketimpangan yang akan merugikan
masyarakat itu sendiri. Perubahan lingkungan (fisik) secara tiba-tiba jarang terjadi (misalnya
gempa bumi). Akan tetapi perubahan sistem hidrologis di dunia ini yang berjalan secara
perlahan-lahan pada akhirnya akan membawa perubahan sosial budaya bagi masyarakat.
Peristiwa kelaparan yang terjadi di Etiopia akhir-akhir ini menunjukkan betapa musim kemarau
dapat merubah sistem sosial budaya suatu masyarakat. Perubahan jumlah penduduk juga
membawa perubahan terhadap kehidupan sosial budaya. Keluarga Berencana yang pada masa
almarhum Presiden Soekarno dilarang oleh pemerintah, kini sangat dianjurkan. Para tokoh
agama (ulama) yang sebelumnya menentang KB kini harus menentukan sikap lain demi
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kebutuhan manusia juga merupakan faktor yang dapat
merubah sosial budaya masyarakat. Kebutuhan anggota masyarakat terhadap energi (minyak)
merubah kebiasaan-kebiasaan memasak diantara anggota masyarakat. Sifat minyak yang
berbeda dengan kayu bakar menciptakan bentuk atau cara baru tentang bagaimana menyiapkan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 15
santapan bagi para anggota keluarga. Bentuk rumah yang dahulu dilengkapi dengan dapur
khusus kini berubah. Bahkan dengan semakin meningkatnya kebutuhan para anggota
masyarakat terhadap makanan yang dapat cepat disajikan, mungkin “dapur” dalam rumah akan
berubah fungsinya bukan tempat memasak tetapi sekedar tempat menghangatkan. Gejala
budaya “jajan di warung” sudah mulai meluas dikalangan ibu-ibu yang bekerja di kantor-
kantor atau pabrik-pabrik. Apakah perubahan tersebut baik atau buruk rasanya masih terlalu
pagi untuk mengatakannya.
10. Cultural Lag
Budaya manusia terdiri dari unsur materi dan non materi. Telah sering diperdebatkan
bahwa perubahan-perubahan hanya akan terjadi pada budaya materi saja. Masyarakat mungkin
akan menerima perubahan-perubahan dalam teknologi (sebagian dari budaya materi), tetapi
sedikit kemungkinan bahwa mereka mau merubah sistem kepercayaannya, sistem nilainya,
norma-normanya atau organisasi sosialnya. Hal tersebut menimbulkan celah perbedaan yang
disebut “cultural lag”, yakni manakala unsur-unsur non materi dari pada budaya mencoba
mengimbangi perubahan yang terjadi pada unsur materi.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 16
BAB III
HUBUNGAN ANTAR SUKU-BANGSA DAN GOLONGAN SERTA MASALAH
INTEGRASI NASIONAL
1. Umum
Sifat majemuk dari bangsa Indonesia, disamping merupakan kebanggaan hendaknya
pula dilihat bahwa suatu negara dengan keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan
mengandung potensi konflik. Oleh karenanya guna menuju suatu integrasi nasional Indonesia
yang kokoh, terdapat berbagai kendala yang harus diperhatikan.
Dalam rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang beranekawarna,
Koentjaraningrat (1982:345-346) melihat ada empat masalah pokok yang dihadapi, ialah (a)
mempersatukan aneka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c) hubungan
mayoritas-minoritas dan (d) integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia.
Diantara sekitar 210 juta orang penduduk Indonesia dewasa ini, sulit diketahui secara pasti
distribusi jumlah dari masing-masing suku-bangsa. Terakhir kalinya, Sensus Penduduk di
Indonesia yang memuat items suku-bangsa adalah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda; yang hasilnya dimuat dalam Volkstelling (1930).
Sensus Penduduk Indonesia yang dilakukan pada 1970 dan dalam dasawarsa
berikutnya, tidak mencantumkan items suku-bangsa. Mengingat hal tersebut, ada kesulitan
untuk mengetahui secara pasti laju pertumbuhan penduduk berdasarkan suku-bangsa dan
distribusi mereka. Sekalipun demikian, ada pula berbagai usaha untuk mengetahui hal di atas,
antara lain pernah dicoba oleh Pagkakaisa Research (1974), antara lain disebutkan bahwa suku-
bangsa bahwa Jawa mencapai 45,8 % dari total penduduk Indonesia pada 1974 (sekitar
120.000.000 orang). Berbagai distribusi penduduk Indonesia berdasarkan suku-bangsa ialah
Sunda (14,1 %), Madura (7,1 %), Minangkabau (3,3 %), Bugis (2,5 %), Batak (2,0 %), Bali
(1,8 %), 24 suku-bangsa lainnya (20,3 %) dan orang Cina (2,7 %). Sementara itu, di kalangan
para pakar masih terdapat perbedaan dalam mengklasifikasikan penduduk di Indonesia ke
dalam suatu konsep suku-bangsa. Koentjaraningrat (1982:346-347) menilai bahwa berapakah
sebenarnya jumlah suku-bangsa di Indonesia, sampai saat kini masih sukar ditentukan secara
pasti. Hal ini disebabkan ruang lingkup istilah konsep suku-bangsa dapat mengembang atau
menyempit, tergantung subyektivitas.
Sebagai contoh, paling sedikit di Pulau Flores terdapat empat suku-bangsa yang
berbeda bahasa dan adat-istiadatnya, ialah orang Manggarai, Ngada, Ende-Lio dan Sikka.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 17
Namun kalau mereka ada di luar Flores, mereka biasanya dipandang oleh suku-bangsa lainnya
atau mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai satu suku-bangsa, ialah Flores.
Hal ini juga terjadi dikalangan suku-bangsa Dayak di Pulau Kalimantan. Menurut
H.J.Malinckrodt, orang Dayak diklasifikasikan ke dalam enam rumpun atau stammen ras, ialah
Kenya-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Moeroet, Klemantan dan Poenan. Selanjutnnya jika
diamati lebih lanjut, di kalangan orang Dayak Kalimantan ada 405 suku-bangsa yang saling
berbeda satu dengan lainnya. Jika mereka berada di luar Pulau Kalimantan, orang lain
menyebut mereka dan mereka sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai suku-bangsa Dayak,
akan tetapi di Kalimantan sendiri antara satu dengan yang lain merasa memiliki perbedaan.
Demikian pula hanya di Irian Jaya, berdasarkan penelitian dari Summer Language Institute,
paling tidak terdapat 252 suku-bangsa yang masing-masing memakai bahasa yang berbeda.
Mengingat hal tersebut maka, Koentjaraningrat memandang perlu upaya pendifinisian konsep
suku-bangsa di Indonesia secara ilmiah, antara lain dengan mengambil beberapa unsur
kebudayaan sebagai indikator yang dapat berlaku bagi semua "suku-suku-bangsa" yang ada di
Indonesia.
Upaya untuk memahami keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di Indonesia
adalah sekaligus berpretensi pula mengungkapkan berbagai bentuk interaksi sosial yang terjadi
dikalangan suku-bangsa yang saling berbeda kebudayaannya. Dengan mempelajari proses
interaksi sosial yang terjadi, sekaligus diharapkan akan memberikan pengetahuan tentang
proses-proses sosial di kalangan mereka sehingga akan diketahui segi dinamis dari masyarakat
dan kebudayaan.
Berbagai perubahan dan perkembangan masyarakat yang merupakan segi dinamis
adalah akibat interaksi sosial yang terjadi diantara para warganya, baik orang perorangan,
orang dengan kelompok maupun antar kelompok manusia. Kerjasama (cooperation),
persaingan (competition), pertikaian (conflict), akomodasi (acomodation), asimilasi
(assimilation), akulturasi (acculturation) dan integrasi (integration) merupakan proses-proses
sosial yang perlu diperhatikan dalam rangka studi hubugan antar suku-bangsa, terutama untuk
mempercepat terwujudnya integrasi nasional Indonesia yang kokoh.
2. Prejudice dan Stereotype Ethnic
Dalam rangka upaya menuju integrasi nasional Indonesia yang kuat maka anekawarna
suku-bangsa di Indonesia itu saling berinteraksi, dan Sebagai konsekwensi dari suatu interaksi
sosial yang timbul maka seringkali muncul gambaran subyektif mengenai suku-bangsa lain.
Oleh karena itu, dalam kehidupan suatu suku-bangsa tertentu sehari-harinya dijumpai
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 18
gambaran subyektif mengenai suku-bangsa lain atau yang lazim disebut dengan stereotipe
etnik.
Sementara ini stereotipe etnik, tidak selalu berupa gambaran yang bersifat negatif (akan
tetapi biasanya ini yang sering muncul) melainkan ada kalanya pula gambaran yang bersifat
positif. Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi social
dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan dapat pula
menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Untuk memahami bagaimanakah
posisi dan hubungan seorang individu dalam konteks kelompoknya, Herbert M.Blalock
(1976:2) pernah mengusulkan dua model pendekatan, ialah secara mikro dan makro. Secara
mikro, individu dipakai sebagai pusat penelitian terutama yang berkaitan dengan berbagai hal
latar belakang timbulnya bentuk-bentuk prejudice (prasangka) maupun stereotipe etnik.
Selanjutnya dalam pendekatan secara makro, lebih dipusatkan terhadap studi mengenai
masalah diskriminasi dan kepemimpinan. Berbagai hal yang erat kaitannya dengan itu antara
lain mengenai bentuk-bentuk diskriminasi serta masalah status dan peranan ditempatkan
sebagai unit analisis yang penting.
Disadari sepenuhnya oleh Blalock (1976:16) bahwa sering terjadi ketidak-jelasan dalam
menafsirkan arti kata diskriminasi; apakah ditempatkan sebagai proses (discriminatory
behavior) ataukah sebagai hasil dari suatu proses. Oleh karenanya studi tentang diskriminasi,
unit analisisnya harus lebih dipusatkan kepada kelompok daripada perorangan. Hal ini antarala
disebabkan oleh kesukaran dalam mengukur 'derajad diskriminasi'; sama halnya dengan
mengukur favorable sebagai lawan unfavorable. Selanjutnya, dalam salah satu pembatasannya
tentang diskriminasi F.H.Hankins (1976:16) mengartikannya sebagai unequal treatment of
equals. Ada beberapa aspek yang terkandung dalam pengertian prejudice yang harus
diperhatikan (Blalock, 1976:2; Martin dan Franklin, 1973:144), antara lain rasa gelisah
(anxiety), rasa frustrasi, sifat otoriter, kekakuan (rigidity), rasa terasing (alienation), sifat kolot,
konvensional dan yang berkaitan dengan kedudukan. Berbagai aspek tersebut melekat dalam
struktur masyara-kat, karenanya untuk memahami perlu dikaitkan dengan berbagai hal yang
melatar belakanginya, misalnya pendidikan, pekerjaan, pekerjaan, kepercayaan, mobilita
vertikal dan horizontal seseorang. Selain itu, harus disadari pula bahwa ada kesulitan untuk
menentukan latar belakang yang manakah merupakan penentu utama bagi timbulnya suatu
prejudice.
Dalam tulisan Blalock (1976:3-10) dijelaskan bahwa dari hasil penelitian John D.
Photiadis dan Jeane Bigger dikalangan 300 orang dewasa di Dakota Selatan terbukti bahwa
authoritarianism berkorelasi tinggi dengan timbulnya prejudice. Akan tetapi jika hasil
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 19
penelitian tersebut dibandingkan dengan yang dilakukan oleh peneliti lainnya dengan indikator
yang berbeda maka korelasi authoritarianism yang tinggi itu, ternyata tidak selalu tepat.
Prejudice dan stereotype saling erat berkaitan, baik secara logika maupun psikologis
(Martin dan Franklin, 1973:152-153). Kedua hal itu ada pada semua ras, suku-bangsa,
kepercayaan, pekerjaan maupun kebangsaan. Pada hakekatnya prejudice dan stereotype
merupakan imaginasi mentalitas yang kaku; yaitu dalam wujud memberikan penilaian negative
yang ditujukan kepada out-group, sebaliknya kepada sesama in-group memberikan penilaian
yang positip. Stereotype terhadap out-group yang kaku akan menyebabkan timbulnya prejudice
yang kuat. Oleh karenanya prejudice dinilai pula sebagai perkembangan lebih lanjut dari
stereotype.
Timbulnya stereotype dalam diri seseorang adalah sebagai akibat pengaruh suatu
persepsi tertentu dan berfungsi untuk menyakinkan diri sendiri. Adanya fungsi seperti itu, juga
dibenarkan oleh Milton M.Gordon (1975:97), yang antara lain disebabkan oleh akibat
terjadinya hubungan di kalangan dua kelompok yang berbeda. Adanya berbagai perbedaan
rasial (fisik) diantara segmen penduduk yang porsinya tidak sama dalam suatu wilayah
geografis atau sosial, akan dapat menimbulkan kesulitan. Oleh karenanya diusahakan untuk
memunculkan sesuatu yang dapat merupakan kepentingan dan loyalitas bersama. Guna
menumbuhkan loyalitas nasional, Linton (1957:28) menilai bahwa adanya keragaman dan
perbedaan kepercayaan dan berbagai unsur-unsur kebudayaan yang lain, bukanlah merupakan
ancaman untuk menumbuhkan solidaritas nasional. Oleh karenanya dalam mengamati inti
permasalahan yang dapat menjelaskan berbagai kristalisasi prejudice, ada kalanya tidak cukup
dijelaskan melalui adanya kendala perbedaan fisik semata.
Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi social
dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan dapat pula
menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Studi mengenai etisitas sering
dikaitkan dengan derajat konformitas dari anggota suatu kolektiva (suku-bangsa) untuk
bersedia menerima norma-norma tertentu dalam suatu proses interaksi sosial. Oleh karenanya
para ahli antropologi seperti Mitchell (1956), Epstein (1958), Gluckman (1961) dan Barth
(1969); sering mengkaitkan studi mengenai etnisitas dengan perbedaan latar belakang
kebudayaan dari suatu kolektiva tertentu, terutama yang menunjuk pada aspek mendasar yang
bersifat primordial. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan seseorang untuk
mengidentifikasikan dirinya dengan etnik tertentu sementara itu pihak lain juga sering
mengidentifikasikan bahwa perilaku seseorang adalah terkait dengan latar belakang kesuku-
bangsannya.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 20
3. Suku-Bangsa dan Golongan di Indonesia
Istilah ethnic atau yang diterjemakan ke dalam istilah suku-bangsa, berasal dari kata
Yunani eOvikos yang artinya heathen, yaitu penyembah berhala atau sebutan bagi orang yang
tidak ber Tuhan. Sementara itu, istilah itu sendiri dalam bahasa Yunani berasal dari akar kata
eOvos ("ethnos") yang diterjemahkan sebagai nation atau bangsa, yaitu suatu istilah yang lazim
dipakai untuk menunjuk pada bangsa-bangsa yang bukan Israel. Dengan kata lain, menurut The
Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, ada dua pengertian yang
terkandung dalam istilah ethnic, ialah (a) menunjuk kepada bangsa-bangsa yang non Kristen
atau non Yahudi dan (b) menunjuk kepada bangsa yang masih menyembah berhala.
Dalam perkembangan berikutnya, istilah ethnic dikenal luas setelah dipakai secara
resmi oleh suatu Ethnological Society, yaitu suatu lembaga yang didirikan di London pada
1843. Lima tahun sebelumnya, di Paris juga terdapat lembaga serupa, ialah Societe
Ethnologique de Paris, dan di New York pada 1842 juga memiliki lembaga serupa tersebut di
atas American Ethnological Society. Lloyd Warner dalam tulisan Brian M.du Toit et al.
(1978:3) menjelaskan bahwa yang terkandung dalam pengertian ethnic menunjuk pada
individu-individu guna mempertimbangkan di manakah seseorang atau dirinya termasuk atau
dimasukkan sebagai anggotanya; yaitu yang di dasarkan atas latar belakang kebudayaan. Oleh
karena itu istilah ethnic cenderung lebih bersifat sosio-kultural dari pada yang berkaitan dengan
ras.
Salah satu batasan dari pengertian ethnic-group adalah dibuat oleh Schemerhorn
(1970:12) "........ as a collectivity within a larger society having real or putative common
acestrry, memories of a shared historical past, and a cultural focus on one or more symbolic
elements defined as the epitome of their peoplehood". Sebagai contoh dari berbagai unsur
simbolik tersebut meliputi "kinship patterns, physical contiguity (as in localism or sectioalist),
religious patterns, language aor dialiect form, tribal affiliation, nationality, phenotypical
feature, or any combination of these”. Selanjutnya, seringkali pemakaian istilah golongan
dalam konteks integrasi nasional, dikaitkan dengan kehadiran masyarakat Cina di Indonesia
yang diklasifikasi sebagai golongan minoritas. Secara sepintas, konotasi arti minoritas adalah
lebih dikaitkan dengan perbandingan jumlah mereka yang lebih kecil daripada beberapa suku-
bangsa yang ada di Indonesia, misalnya Jawa dan Sunda. Selain itu, jumlah mereka pada tahun
1971 adalah merupakan 2,7 % dari keseluruhan penduduk Indonesia; dan jumlah mereka pada
setiap ibukota kabupaten di Indonesia hanyalah berkisar lima sampai dengan sepuluh persen
dari keseluruhan penduduk suatu kota.
Jika dikaji lebih lanjut, istilah minoritas mengandung berbagai dimensi dan variabel.
Dalam suatu studi mengenai hubungan antar kelompok, Simson dan Yinger (1972:11) PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 21
menganjurkan agar para peneliti hendaknya berhati-hati, terutama jika dikaitkan dengan
konsep-konsep yang mendasar. Istilah minoritas memang sering dipakai tetapi tidak dalam
konteks sebagai istilah teknis. Semula istilah tadi sering dipakai untuk menunjukkan kategori
orang-orang dan bukannya bukan berdasarkan kelompok. Akan tetapi semakinlama, istilah itu
juga dipergunakan untuk menunjuk pada kategori orang atau sejumlah penduduk yang
merupakan sasaran suatu prejudice atau prasangka dan diskriminasi; misalnya dipergunakan
oleh Theodorson dan Theodorson (1970:258), "Any recognizable racial, religion, or ethnic
group in community that suffer some disadvantage due to prejudice or discrimination".
Apabila ditelaah lebih lanjut, pengertian yang dikandung dalam pembatasan di atas adalah
masih umumnya sifatnya. Berbeda halnya dengan pembatasan yang dibuat oleh Louis Wirth
(1943:347), “We may define a minority as a group of people who, because of their physical or
cultural characteristics are single out from the other society in which they live for differential
and unequal treatment, and who therefore regard themselves as objects of collective
discrimination. The existence of minority in a society implies the existence of a corresponding
dominant group with higher social status and greater priviledges. Minority status carries it the
exclusion from full participation in the life of the society".
Jelas tampak melalui pembatasan tersebut bahwa konotasi arti minoritas tidak selalu
harus dikaitkan dengan variabel ras. Oleh karenanya, apabila pembatasan itu diterapkan
terhadap orang Cina di Indonesia, adalah kurang tepat. Orang Cina maupun berbagai suku-
bangsa bumiputera di Indonesia, sebagian besar adalah termasuk ke dalam klasifikasi ras
Mongoloid. Perbedaan di kalangan mereka itu, lebih tampak pada wujud fisik dan lebih
menunjuk pada perbedaan kebudayaan dan kehidupan sehari-harinya.
Timbulnya perlakuan 'diskriminatif' dalam konteks Louis Wirth adalah lebih
disebabkan oleh kurangnya keterlibatan orang Cina dalam berbagai aktivitas kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Lebih lanjut Louis Wirth juga mengemukakan bahwa kehadiran
golongan minoritas, tidak terlepaskan dari adanya kelompok dominan yang mempunyai
kedudukan lebih tinggi dan memiliki hak-hak istimewa (privileges). Oleh karena itu, untuk
lebih memahami bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu masyarakat yang majemuk, kiranya
paradigma yang diusulkan Schermerhorn (1970:13) seperti orang Cina di Indonesia. tampak
pada bagan 1 di atas, dapat dipakai untuk menjelaskan posisi keturunan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 22
Paradigma Kelompok Dominan dan Subordinat
Kelompok Dominan
Jumlah Kekuasaan
Kelompok A + + Golongan mayoritas
Kelompok B - + Elite
Kelompok Subordinat
Jumlah Kekuasaan
Kelompok C + - Subyek massa
Kelompok D - - Golongan minoritas
Melalui bagan di atas tampak bahwa paradigma kelompok dominan dan subordinat,
didasarkan atas dua dimensi, ialah size (jumlah) dan power (kekuasaan). Berdasarkan
paradigma itu maka keturunan orang Cina di Indonesia yang lazim diklasifikasikan sebagai
golongan minoritas adalah lebih memiliki karakteristik sebagai kelompok B dan D; sebaliknya
berbagai suku-bangsa bumiputera yang sering dikategorikan sebagai golongan mayoritas
adalah lebih memiliki ciri-siri kelompok A dan C. Oleh karenanya apabila konotasi golongan
minoritas (kelompok D) menurut model paradigma tersebut diterapkan untuk orang Cina di
Indonesia, adalah tidak tepat. Dilihat dari perbandingan jumlah orang Cina dengan keseluruhan
penduduk, konotasi minoritas bagi orang Cina memang tepat. Akan tetapi ditinjau dari
kekuasaan yang dimilikinya, terutama dalam pengertian ekonomik, adalah tidak tepat jika
golongan Cina di Indonesia termasuk minoritas.
Secara ekonomik, orang Cina di Indonesia memiliki peranan yang cukup besar.
Paradigma yang dikemukakan oleh Schemerhorn adalah sebagai salah satu upaya untuk lebih
dapat memahami pengertian minoritas yang memiliki kompleksitas dimensi dan variabel.
Selanjutnya, berdasarkan dimensi dan variabel lain, pemakaian istilah golongan
minoritas bagi orang Cina dapat dibenarkan karena dalam rangka hubungan dengan penduduk
bumiputera, posisi mereka adalah sebagai subordinat; sebaliknya berbagai suku-bangsa
bumiputera tidak selalu berada pada kedudukan supraordinat atau kelompok dominant.
Pengklasifikasian apakah belum ditulis, misalnya adanya kecenderungan untuk melakukan
perkawinan dengan sesama golongannya seperti yang dikemukakan oleh Wagley dan Maris.
Pendapat Wagley dan Maris mengenai hal tersebut dikutip oleh Simpson dan Yinger (1972:12-
13); dikatakannya bahwa golongan minoritas memiliki lima karakteristik. Pertama, golongan
minoritas adalah merupakan segmen dari subordinat dalam suatu negara yang kompleks.
Kedua, golongan minoritas memiliki bentuk fisik yang berbeda dan unsur-unsur kebudayaan
yang dimilikinya dinilai lebih rendah oleh golongan mayoritas. Ketiga, bahwa golongan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 23
minoritas memiliki kesadaran akan dirinya merupakan suatu kesatuan dengan ciri-ciri tertentu.
Keempat, bahwa keanggotaan seseorang dalam golongan minoritas adalah diperoleh karena
keturunan atau karena ciri-ciri kebudayaan dan fisik yang melekat pada dirinya. Kelima,
perkawinan yang terjadi di kalangan golongan minoritas adalah cenderung dengan sesamanya.
4. Asimilasi dan Integrasi Nasional
Asimilasi sebagai salah bentuk proses-proses sosial adalah erat kaitannya dengan proses
dan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Oleh karenanya, istilah asimilasi dan akulturasi
dipergunakan dalam pengertian yang sama; dan sebagai akibatnya kedua pengertian yang
diberikan kepada kedua istilah tersebut bertumpang tindih. Ada sebagian pendapat yang
mengatakan bahwa istilah asimilasi lebih sering dipakai oleh para ahli sosiologi, sedangkan
istilah akulturasi lebih sering dipergunakan oleh ahli antropologi (Gordon, 1964:61).
Lebih lanjut M.J.Herskovits berpendapat bahwa akulturasi lebih spesifik istilah yang
lazim dipakai di Amerika. Lapangan studi mengenai akulturasi di kalangan sebagian
mahasiswa di Jerman, lebih dikenal dengan kajian mengenai perubahan kebudayaan,
sedangkan di Inggris lebih populer dengan studi perihal kontak kebudayaan. Mengingat hal
tersebut maka melalui The Social Research Council 1930, selain mengusahakan perumusan
yang lebih tepat mengenai akulturasi, juga disusun suatu pedoman metodologi yang berisikan
sejumlah permasalahan yang harus diperhatikan. Untuk pertama kalinya, pembatasan akulturasi
yang dibuat oleh tiga orang ahli antropologi (R.Redfield, R.Linton dan M.J.Herskovits) sebagai
hasil rumusan sub komite akulturasi dari kongres di atas, dimuat dalam "Memorandum for the
Study of Acculturation" dalam American Anthropologist Vol.38 No.1 (Januari-Maret
1936:149). Lebih lanjut, perumusan mengenai hal itu dikembangkan lebih lanjut dan dimuat
dalam Outline for the Study of Acculturation (Herskovits, 1958:131-136). Selanjutnya, pada
dasarnya pengertian yang terkandung dalam istilah asimilasi dan akulturasi; disamping
mengandung pengertian yang sama, tetapi juga menunjukkan ada dimensi yang berbeda.
Sebagai contoh pembatasan asimilasi yang dibuat oleh Robert E.Park dan Ernest W.Burgess
(1921:735), antara lain "......... a process of interpretation and fusion in which persons and
groups aquire the memories, sentiments, and attitude of other persons or groups, and, by
sharing their experience and history, are incorporated with them in a common cultural life".
Lebih lanjut, ketiga ahli antropologi di atas dalam memberikan pembatasan akulturasi
adalah "......... comprehends those phenomena which result when groups of individuals having
different culture comes into continous first hand contact, with subsequent changes in the
original cultural patterns of either or both groups".
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 24
Jika diamati, kedua pembatasan tersebut berisikan suatu pengertian mengenai terjadinya
pertemuan orang-orang atau perilaku budaya. Sebagai akibat pertemuan tersebut, kedua belah
pihak saling mempengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka saling berubah bentuk.
Sementara itu yang tampak membedakannya adalah tidak ditemukannya ciri-ciri struktural
dalam pembatasan akulturasi. Dalam pembatasan asimilasi, hubungan yang bersifat sosio-
struktural tercermin dari "sharing their experience" dan "incorporated with in in a common
cultural life". Lebih lanjut Herskovits (1958:10) juga berpendapat bahwa makna yang
terkandung dalam akulturasi adalah berbeda dengan perubahan kebudayaan (cultural change).
Akulturasi hanyalah merupakan salah satu aspek dari perubahan kebudayaan, sedangkan
akulturasi merupakan salah satu tahapan dari asimilasi. Lebih lanjut Arnold M.Rose (1957:557-
558) mengatakan bahwa “........the adoption by a person or group of the culture of another
social group" adalah akulturasi; sedangkan "leading to this adoption" adalah karakteristik dari
asimilasi.
Terwujudnya rumusan dari sub komite akulturasi tersebut di atas, tidak terlepaskan dari
perkembangan ruang lingkup dan obyek yang selalu mengalami perubahan, terutama sejak
awal abad XX. Sebagai akibat pengaruh Ero-Amerika, bangsa-bangsa 'primitif' mulai
menghilang; sementara itu sebagai akibat perkembangan yang terjadi di Amerika, konsepsi
asimilasi juga mengalami perubahan karena mulai dikaitkan dengan aspek politik.
Park dan Burgess (1921:736-737) mengatakan bahwa asimilasi merupakan produk
akhir yang sempurna dari suatu kontak sosial; dan pada bagian lain tulisannya, Park (1957:281)
memberikan istilah konsepnya sebagai 'asimilasi sosial', yaitu " .......... the process or processes
by which people of diverse racial origins and different cultural heritage, accupying a common
territory, achieve a cultural solidarity sufficient at least to sustain a national exixtence". Para
migran di Amerika dianggap telah berasimilasi apabila mereka itu secepatnya dapat
mempergunakan bahasa Inggris dan berperan serta dalam berbagai aktivitas sosial, ekonomi
dan politik tanpa menyebabkan timbulnya prasangka. Oleh karenanya dalam salah satu
tulisannya, Milton M.Gordon menunjuk adanya tujuh variabel yang harus dikaji dalam
asimilasi. Dalam hal itu asimilasi mengharuskan para migran untuk menyesuaikan dirinya pada
kelompok kebudayaan yang didatangi (host society). Ini berarti bahwa kebudayaan golongan
mayoritaslah yang dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan orang-perorangan atau suatu
kelompok dalam menyesuaikan dirinya. Konsepsi ini sesuai dengan pandangan Arnold
M.Rose, dalam asimilasi loyalitas mereka terhadap kebudayaan asal semakin kecil dan
akhirnya kelompok tersebut mengidentifikasikan dirinya ke dalam kebudayaan baru.
Guna mengupayakan terwujudnya asimilasi dalam rangka integrasi nasional, adalah
menarik mengkaitkannya dengan ungkapan dari Horace Kallen yang dikutip oleh Milton PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 25
M.Gordon (1964:145), yaitu "Men may change their clothes, their wive, their religion, their
philosophies, to a greater or lesser extent; their cannot change the grandfather". Timbulnya
ungkapan tersebut adalah erat kaitannya dengan penilaian dalam bentuk stereotipe terhadap
orang Yahudi, 'sekali Yahudi tetap Yahudi'. Meskipun orang Yahudi hidup tersebar di berbagai
Negara tetapi mengingat kuatnya ikatan perasaan mereka terhadap keluarga, maka akar
kebudayaan Yahudi sangat mewarnai sepak terjang kehidupannya (Epstein, 1978:139).
Selanjutnya, para perantau orang Cina di berbagai negara Asia Tenggara juga sering disamakan
dan memiliki cirri seperti orang Yahudi (Purcell, 1964; Skinner, 1967; Somers, 1964).
Selain mengandung pengertian kuatnya ikatan suatu golongan terhadap keluarganya,
atau dalam arti luas terhadap nenek-moyang mereka; berbagai ciri tersebut bukanlah
merupakan suatu yang tidak dapat diubah atau berubah. Berbagai studi mengenai proses
perubahan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok manusia adalah menunjuk pada
suatu gerak yang dinamis. Yang menjadi masalah adalah bagaimanakah aspek primordial
attachment dapat dieliminasi sehingga tujuan akhir untuk membangun watak bangsa dapat
diwujudkan. Dalam salah satu ntulisannya, C.Geertz (1965:105-107) menjelaskan berbagai hal
yang berkaitan dengan primordial attachment, yaitu rasa keterikatan terhadap golongan
tertentu, misalnya karena ras, hubungan darah, bahasa, adat-istiadat dan agama. Berbagai
bentuk keterikatan tersebut antara lain disebabkan oleh sub national cultural value. Sebagai
akibatnya, proses pengembangan kebudayaan (politik) nasional menjadi terganggu. Dengan
kata lain, suatu proses asimilasi dalam rangka integrasi nasional akan berjalan tersendat.
5. Paradigma Orientasi Sentripetal (Sp) dan Sentrifugal (Sf)
A B
Superordinat Sp Sf
Cenderung ke arah integrasi
Subordinat Sp Sf
Assimilation Incorporation Cultural Autonomy
C D
Superordinat Sf Sp
Cenderung ke arah konflik
Subordinat Sp Sf
Forced segregration with resistance Forced assimilation with resistance
SP: Sentripetal, SF: SentrifugalPIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 26
Dalam upaya mewujudkan integrasi nasional, terdapat dua aliran, ialah asimilasionis
dan pluralis, yaitu dua dari empat tipologi yang dipakai untuk meletakkan identitas golongan
minoritas, terutama yang berkaitan dengan penerapan suatu kebijaksanaan. Lebih lanjut Louis
Wirth (1945:347) mengatakan bahwa kebijakan asimilasionis merupakan upaya untuk
menggabungkan para anggota minoritas ke dalam masyarakat lebih luas dengan cara melarang
kebudayaan mereka dan mengharuskannya mengadopsi sistem nilai dan gaya hidup kelompok
dominan atau superordinat. Hal tersebut adalah berbeda dengan upaya yang dianut oleh kaum
pluralis.
Kelompok dominan bersikap toleran terhadap kebudayaan kelompok subordinat, atau
dengan kata lain golongan minoritas diperkenankan mempertahankan kebudayaan mereka. Jika
diperbandingkan maka kebijaksanaan asimilasi yang ditrapkan bagi orang Cina di Indonesia
dengan berbagai suku-bangsa yang ada di Indonesia, terdapat perbedaan. Untuk orang orang
Cina yang telah memiliki status kewarganegaraan Indonesia berlaku kebijaksanaan yang
bersifat asimilasionis; sedangkan untuk berbagai suku-bangsa di Indonesia cenderung berlaku
paham pluralis. Dalam konteks orang Cina diarahkan dan diharapkan menerima dan
menyatukan dirinya ke dalam salah satu kebudayaan kelompok superordinat, yaitu salah satu
kebudayaan yang dimiliki oleh suatu suku-bangsa bumiputera di Indonesia; sementara itu
hingga kini apakah itu kebudayaan nasional Indonesia, masih merupakan polemik yang
menarik.
Selanjutnya, jika kedua paham tersebut dikaji lebih lanjut, maka ada implikasi yang
mungkin dapat muncul dari kedua paham tadi, terutama jika dikaitkan dengan sejauh manakah
kelompok superordinat mampu melaksanakan dan memperkenankan kelompok subordinate
melaksanakan hal tersebut. Dalam hal ini, timbul pula suatu pertanyaan apakah kelompok
superordinat begitu saja percaya bahwa golongan minoritas akan berasimilasi ataukah akan
tetap mempertahankan kebudayaan mereka. Selain itu pula, apakah kelompok dominan dapat
menerima berbagai hal kontradiktip yang mungkin akan dilakukan oleh kelompok subordinat.
Oleh karenanya, jika berbagai hal tadi dapat diterima maka suatu integrasi akan berjalan
dengan baik, dan sebaliknya jika tidak maka akan timbul konflik, baik secara terbuka maupun
yang bersifat latent.
Selanjutnya, penting diperhatikan dalam mengidentifikasikan suatu integrasi, terutama
dalam menempatkan kelompok superordinat. Dalam hal ini ada dua konsep utama yang dapat
dipakai sebagai model bagi analisis, yaitu apakah cenderung bersifat sentripetal ataukan
sentrifugal. Suatu kecenderungan yang bersifat sentripetal, biasanya lebih menunjuk hal-hal
yang bersifat kultural, misalnya dalam bentuk diterimanya sistem nilai dan gaya hidup yang PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 27
lazim berlaku di masyarakat. Sementara itu dapat pula dalam bentuk semakin meningkatnya
partisipasi dalam berbagai kelompok perkumpulan dan kelembagaan. Untuk melihat adanya
perbedaaan dalam tingkat analisis, maka yang pertama disebut dengan asimilasi sedangkat
yang kedua adalah
inkorporasi.
Selanjutnya, yang disebut sebagai suatu kecenderungan sentrifugal terjadi dikalangan
subordinat apabila ada keinginan untuk memisahkan diri dari kelompok dominan atau dari
berbagai ikatan yang ada di masyarakat. Secara kultural, biasanya hal tersebut lazim terjadi
karena kelompok subordinat seringkalai masih tetap menjaga berbagai tradisi, sistem nilai,
bahasa, agama, pola-pola rekreasi mereka dan lain sebagainya. Guna melindungi berbagai hal
tersebut, diperlukan persyaratan struktural, antara lain tampat dari adanya kecenderungan untuk
melakukan endogami atau mendirikan perkumpulan yang terpisah, dan bahkan memusatkan
diri pada suatu lapangan pekerjaan tertentu yang eksklusif terhadap out-group.
Akhirnya, suatu integrasi adalah mengandung kendala psikologis, antara lain berkaitan
dengan tingkat kepuasan tertentu dari suatu suku-bangsa atau golongan. Oleh karenanya dalam
suatu upaya mewujudkan integrasi, muncul pandangan yang menilai apakah itu suatu
agreement (permufakatan) ataukah congruency (penyesuaian), terutama yang berkaitan apakah
sentripetal ataukah sentrifugal. Apabila terjadi disagreement atau discrepancy
(ketidaksesuaian) maka berarti kelompok superordinat menang atas kebijaksanaan yang
bersifat sentripetal; padahal kelompok subordinat lebih menghendaki yang bersifat sentrifugal.
Jika hal ini terjadi maka akan timbul konflik yang menyebar luas.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 28
BAB IV
Mencari Identitas Nasional?
Gus Dur: “Saat ini Indonesia sedang dalam proses mencari Identitas Nasional.
Namun harus diakui pemerintah menghadapi banyak sekali hambatan dan
masalah untuk mewujudkan hal tersebut, seperti ancaman separatisme,
militerisme dan konflik keagamaan. Bahkan, juga ada sekelompok kaum militan
yang merasa terancam”1[1].
Apa sebenarnya yang dimaksud Gus Dur dengan identitas nasional? Sebelum bicara
lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui apa arti dan makna kata tersebut. Identitas, kalau mau
lebih spesifik lagi, identitas kolektif, dapat dibagi menjadi lima kategorie: Identitas gender
(feminisme), identitas kedaerahan, identitas kelas-sosial, identitas etnis dan yang terakhir
identitas religius.2[2]
Identitas kolektif. Feminisme sebagai identitas kolektif, memang pernah nge-trend,
terutama di negara negara (industri) maju; Eropa, Amerika Serikat dll. Kolektivitas jenis ini,
kendati populer, namun kurang mengikat, karena dibatasi oleh benua, negara, etnis dan agama.
Demikian pula, identitas kolektif yang bersifat kedaerahan (lokalisme/ regionalisme). Keunikan
sebuah daerah, (keunikan saja!) tak bisa dijadikan alat untuk memobilisasi massa. Rupanya ini
lebih banyak urusan ideologi dibanding ekologi (natur). Kemudian masalah kelas sosial3[3]
(borjuis vs. kelas buruh) sebagai identitas kolektif, bukan saja kurang atraktif, akan tetapi
keberadaannyapun sangat meragukan. Identitas kelas (buruh sedunia?) sebagai identitas
kolektif tak pernah – benar-benar – eksis. Karena terbukti, kurang lem perekat emosional,
disamping itu juga, karena, tidak memiliki akar budaya yang kuat. Kalau dibanding identitas
lain – seperti identitas religius atau etnis, misalnya. Perlu diketahui, kelompok interes, dengan
basis ekonomi, bukanlah termasuk bentuk identitas kolektif yang stabil.
Identitas religius dan identitas etnis sering kali, mengikat dan merekayasa (basis) lebih
dari satu kelas-sosial. Identitas religius berbeda dengan kelas sosial, masing-masing berangkat
dari segi kebutuhan dan aktivitas manusia yang berbeda. Identitas kelas berangkat dari pola
produksi dan tukar menukar barang dan jasa. Sedangkan identitas religius tumbuh dan
berkembang sebagai akibat dari hasil komunikasi dan proses sosialisasi di masyarakat. Yang
bersumber dari elemen-elemen budaya seperti nilai-nilai, simbol, mitos, tradisi – yang sering
1 [1] Hal ini diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid dalam pertemuan dengan sejumlah investor Inggris di Hotel Kempinski, Jakarta, 29 Mei 2000. (Tempo interaktif 29/5)
2[2] Mengenai identitas kolektif Anda bisa lihat: „National Identity“. A. D. Smith 1991: terutama h. 4-8 3[3] Diskusi lebih luas mengenai masalah kelas sosial baca Marx dan Weber.PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 29
dikodifikasi menjadi adat-istiadat dan ritual, demikian menurut sosiolog Inggris Anthony D.
Smith.
Komunitas religius seringkali bersimbiose dengan identitas etnis. Tatkala
agama-‘agama dunia’ bersaing ketat, mencoba, berusaha mengaburkan atau bahkan
menghapuskan batas-batas ke-etnisan, yang terjadi malah sebaliknya. Kebanyakan komunitas
religius menyatu dengan kelompok-kelompok etnis. Hubungan ini malah bisa lebih erat lagi.
Ceritanya seperti ini: Komunitas religius yang semula kecil dan sederhana, dalam kurun waktu
tertentu, bisa saja berubah bentuk menjadi sebuah komunitas etnis yang eksklusif. Sampai saat
ini masih banyak minoritas etnis yang memiliki ikatan religius.4[4]
Definsi etnis dan nasion (bangsa) berubah-ubah dan selalu bermuatan politis dan penuh
rekayasa. Misalnya, identitas kolektif, bisa berarti identitas etnis dan bisa juga berarti identitas
nasional. Kenapa demikian?
Begini. Dari perbedaan kultural, etnisitas membentuk batas-batas kultural. Dari batas-
batas kultural, sebuah bangsa membentuk batas wilayah negara. Kedua batas ini bukan
terbentuk secara alami, melainkan resultat dari berbagai macam strategi serta struktur
organisasi sosial/politik dll. baik batas yang merupakan produk kesewenang wenangan
kolonialisme abad 19, ataupun rekayasa kolonialisme internal (penguasa bangsa sendiri) akhir
abad 20. Singkat, kini etnisitas berarti: pertama sebagai pengganti status minoritas (hampir
disegala bidang) dan kedua, munculnya situasi dikotomis: penguasa versus kelompok tertindas.
Perlu diingat hanya gerakan etnis yang memiliki karakter kelas sosial, bisa menjadi politis. Dan
kalau politik mandeg gerakan etnislah yang mengisi ruang politik itu.
Etnisitas bisa juga dilihat sebagai ekspresi seseorang (baca kelompok) yang mengacu
pada etnis tertentu. Perbedaan (etnis) muncul, sebagai akibat dari bentuk kultur yang berlainan.
Namun yang terpenting, bukan substansi perbedaan-perbedaan tersebut yang harus ditonjolkan,
melainkan; bagaimana sebuah kelompok menamakan diri mereka sendiri dan bagaimana
mereka dinamakan oleh kelompok lain (Barth, 1969). Hasil pemotretan pihak lain mestinya
bisa dipakai sebagai pengakuan terhadap eksistensi identitas diri sendiri. Jika cara ini tidak
klop, maka sudah pasti identitas yang dimiliki, tidak akan pernah stabil. (Elwert 1989:23).
Sebagai contoh mungkin sekarang orang Papua tak mau lagi kalau disebut sebagai orang Irian.
Dalam kondisi “normal” (tanpa krisis) soal identitas bukanlah masalah pokok. Namun dalam
suasana krisis multi dimensional, banyak orang bingung, yang kemudian lantas mencari tempat
untuk berlindung – rumah ibadah penuh. Acara-acara yang bernuansa religius dan kedaerahan
tambah marak. Wacana budaya lokal pun muncul. Masalah ini bisa dilihat sebagai akibat dari
kapitalisme yang makin meng-global, yang menyebabkan, fungsi negara-nasional, disatu pihak
4[4] Katholik/Protestan, Irlandia Utara. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 30
kurang optimal (lemah) dan dipihak lain munculnya sentimen budaya lokal, separatisme atau
nasionalisme etnis. Kenapa kita harus heran tatkala melihat bangkitnya nasionalisme etnis
dimana-mana?
Nasionalisme etnis dan nasionalisme teritorial. Dalam hal ini Smith (1981:14-20)
membedakan antara nasionalisme etnis, yakni gerakan yang berusaha keras memperjuangkan
kemandirian tradisi, kultur atau adat istiadat lokal. Sedangkan nasionalisme teritorial, pertama
tama bertujuan membentuk sebuah negara teritorial. Pembagian Smith terasa kurang pas.
Karena itu, perlu direvisi. Berbeda dengan Smith–dan yang lebih relevan – Jäggi, membedakan
antara periphere nasionalisme dan nasionalisme sentral. Alasannya seperti ini; gerakan
nasionalisme pinggiran, yang tercerabut dari akar kulturalnya, memiliki dinamika yang
berbeda dengan nasionalisme dominan. ‘Nasionalisme pinggiran’ bertujuan merubah struktur
kekuasaan, sedangkan ‘nasionalisme di pusat’ memperkuatnya (Jäggi 1993:23). Dengan kata
lain, setiap usaha pencarian identitas (nasional), selamanya akan memicu munculnya identitas-
identitas “nasional” tandingan. Karena (kalau menurut Fredrik Barth 1969): Identity makes
counter- identity. Dan identitas kolektif tak pernah nyelonong begitu saja jatuh dari langit.
Identitas memiliki asal usul yang ‘jelas’ dan selamanya merupakan produk sejarah – penuh
rekayasa politik dan sarat muatan ideologi dan manipulasi. Akhirnya identitas etnis, misalnya,
dianggap sebagai sesuatu yang (pernah dan terus) eksis – walau ratusan tahun sekalipun.
Aceh. Misalnya, peringatan 360 tahun wafatnya Sultan Iskandar Muda dirayakan secara
militer, 27 Desember tahun lalu, merupakan momentum bagi bangsa Aceh untuk
meningkatkan persatuan, katanya. Menurut Hasan Di Tiro, Aceh sedang berada di ambang
kemerdekaan – kembali ke masa pimpinan Sultan Iskandar Muda abad 16, yang terkenal ke
seluruh dunia. Kehidupan rakyatnya sangat makmur. Disebabkan pimpinan selalu bertindak
adil, bijaksana, dan selalu bersikap jujur sehingga terkenal di kawasan Asia, Eropa, dan tanah
Arab. Menurut dia, keadaan itulah yang hendak dikembalikan ketika Aceh Sumatera mencapai
kemerdekaannya nanti (lihat : Waspada 28 Desember 1999). Singkat, kasus Aceh boleh
dibilang sebagai kombinasi antara represi politik (DOM) dan penghisapan sumber daya alam,
yang kemudian menyebabkan identitas etnis yang sudah kuat menjadi makin kental.
Maluku. Sedangkan konflik (“Kristen/Islam”) Maluku, lain lagi. Penyelesaian
persoalan, tidak mudah, kata Presiden Adurrahman Wahid, baru baru ini, karena ini berakar
sejak zaman Belanda, di mana golongan Kristen ketika itu mendapat perlakuan istimewa dari
Belanda, misalnya untuk menjadi anggota militer. Ketika Soeharto (dan kemudian Habibie)
berkuasa, keadaan terbalik, di mana kaum Muslimin menduduki berbagai posisi penting,
namun ketika Kristen protes, mereka dihadapi dengan kekerasan. Karena itu, kekerasan yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 31
terjadi sekarang ini tidaklah mungkin dihadapi dengan kekerasan pula, ujar Abdurrahman
Wahid (Kompas 04/05/00).
Kasus bangsa Papua lebih “spesifik” lagi. Kongres Rakyat Papua, (4/6), menyatakan,
menolak penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Proses
penyatuan Papua yang dilakukan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia, selanjutnya
dikukuhkan PBB, dinilai cacat hukum. Sebab itu, kongres meminta dukungan internasional
untuk kemerdekaan Papua. Demikian resolusi KRP yang dibacakan oleh Thaha Al-Hamid di
hadapan ribuan warga Papua. Menurut resolusi yang dihasilkan oleh kongres itu, bangsa Papua
telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961 (Kompas 05/05/00).
Kasus Riau sederhana saja. Proklamator Riau Merdeka, Prof. Dr. Tabrani Rab menilai
kedatangan Gus Dur ke Pekanbaru Riau (29/4) , kecuali menghabiskan dana rakyat, juga tak
ada gunanya serta tak menyelesaikan akar persoalan. Tabrani menilai Gus Dur tak mampu
menyelesaikan persoalan Riau. Sebab, hingga saat ini, Gus Dur dianggapnya belum
memahami akar persoalan masyarakat Riau. "Ini jelas terlihat. Jangankan soal penyerahan
wewenang pengelolaan pendapatan daerah. Soal UU No 22 dan 25 saja, tak jelas
pelaksanaannya. Semua hanya omong kosong. Menurut Tabrani akar persoalan Riau sederhana
saja: perbaikan taraf hidup. Keinginan itulah yang mendorong munculnya Deklarasi Riau
Merdeka, 15 Maret 1999 lalu (Tempo Interaktif 29/04/00).
Tuntutan Lampung kelihatan masih lebih bersahaja. Sekitar enam ribu warga Bandar
Lampung, (21/3) yang umumnya petani dari delapan kabupaten di Lampung itu, berkumpul
untuk menuntut "kemerdekaan dari segala macam penindasan" terhadap rakyat dengan
menggunakan momentum peringatan hari jadi provinsi Lampung yang ke-36. (Waspada
22/03/00)
Perjuangan nationalisme-etnis, biasanya melalui empat tahap: fase keterpinggiran
(marginalisasi) yang cukup lama, fase penindasan yang brutal, fase perlawanan yang
menelan korban sangat banyak dan yang terakhir (kalau mujur) fase kemenangan. Korban
jiwa ataupun materi biasanya lebih banyak dihabiskan bukan untuk membidani lahirnya,
anak haram yang bernama separatisme melainkan usaha untuk membunuhnya.
Logika nasionalisme. Sebenarnya tak ada istilah perjuangan nasional ataupun
pembebasan nasional. Yang ada yalah perang yang gunanya memperkuat nasionalisme.
Menindas bangsa lain atau ditindas oleh bangsa lain – memiliki fungsi yang kira kira sama.
Nasionalisme pinggiran bakal mengatakan bahwa apa yang ‘mereka’ lakukan adalah
perang sebuah bangsa melawan negara sentral. Negara sentral akan mengaku, bahwa
mereka sedang memerangi teroris (GPK).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 32
Nasionalisme dan integrasi nasional. Integrasi bukan hanya tergantung dari seberapa
besar kontrol pemerintah pusat terhadap daerah dan (sebaliknya) bagaimana respon daerah
terhadap pusat. Integrasi berarti saling ketergantungen antar daerah serta partisipasi
regional – dalam urusan atau masalah nasional. Pembedaan ini dapat dibandingkan dengan
perbedaan atara integrasi nasional dan nasionalisme. Nasionalisme berkaitan erat dengan
patriotisme, emosi nasionalis (perasaan senasib seperjuangan sebagai satu bangsa).
Kehadiran perasaan nasionalis ini diperlukan untuk mengatasi jiwa kerdil (regionalisme,
tribalisme, partikularisme atau sekterianisme) sembari memperkuat hubungan vertikal –
pusat daerah. Sebaliknya integrasi nasional adalah sebuah konsep yang jauh lebih luas,
yang tidak hanya membahas kasus-kasus atau masalah-masalah daerah (pinggiran) akan
tetapi juga menyoroti hubungan antara pusat dan daerah. Misalnya seperti ini: faktor
interaksi masyarakat, faktor saling ketergantungan antara pusat dan daerah, antara daerah
yang satu dengan yang lain, bukan tergantung dari emosi nasional. Melainkan lebih banyak
tergantung dari arah (dari mana dan kemana) mengalirnya kapital, apakah uang mengalir
lebih banyak dari pusat kedaerah atau sebaliknya – dari daerah ke pusat?
Separatisme. Kasus yang terjadi di berbagai negara (multi etnik) di dunia bukanlah
separatisme, melainkan masalah yang lebih ‘ringan’ yakni emansipasi warga masyarakat
atau karsa bersama menuju masyarakat madani (civil society), menciptakan kemakmuran
bersama (keadilan ekonomis) dan atau mengatasi masalah kerusakan lingkungan dsb.nya.
Lahirnya separatisme boleh dianggap sebagai sebuah hukuman terhadap negara karena
pemerintahnya terlalu banyak (atau malah sebelumnya terlalu sedikit?) memberikan ruang
gerak bagi sentimen lokal. Separatisme bukan merupakan masalah besar di dunia, yang
menjadi masalah ialah karena mereka semua mengaku (dan minta diakui) sebagai bangsa.
Identitas nasional dan teritorium (wilayah). Nasion (bangsa) adalah sebuah kesatuan
yang terikat dengan teritorium dan mesti memiliki wilayah (tanah tumpah daerah mereka
sendiri), kesamaan sejarah, sistim hukum/perundang undangan, hak dan kewajiban serta
pembagian kerja berdasarkan profesi.
Tak ada satu pun bangsa di dunia ini yang tidak memanipulasi sejarahnya sendiri!
http://www.geocities.com/apii-berlin/aktual/identitas_0600.html
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 33
BAB V
KAJIAN BEBERAPA BUDAYA DAERAH
1. TATA KRAMA SUKU BANGSA MELAYU BETAWI
A. Berbicara dan Mendengarkan
Bahasa Betawi merupakan bahasa yang komunikatif bagi orang Betawi, yang
dipergunakan dalam lingkunga eluarga maupun dalam lingkungan masyarakat. Sebagaimana
bahasa Indonesia pada umumnya yang tidak mengenal tingkatan pemakaianya, baik bila
berbicara dengan yang sebaya, lebih tua maupunberbicaradengan yang lebih muda. Hanya
dalam penggunaan kata ganti orang pertama tungal, bila orang berbicara dengan yang lebih tua
usianya, maka biasanya akan mengatakan ‘saya’, tetapi bila dengan yang sebaya atau yang
lebih muda usia, maka yang dipakai adalah ‘gua’, kecuali apabila yang sudah akrab betul
dengan yang lebih tua pun akan mengatakan ‘gua’.
Di dalam kehidupan tentunya ada orang yang dihormati, yakni mereka yang memiliki
usia yang lebih tua, dan bagi orang Betawi tatakrama lebih menitikberatkan pada usia yang
dimiliki seseorang, sekalipun demikian sopan santun kekerabatan perlu mendapat perhatian
sesuai dengan hubungan yang berlaku.
Seorang anak apabila bericara dengan orang tua harus lebih lunak sekalipun yang
digunakan adalah sama bahasa Betawi, karena bahasa Betawi tidak ada bahasa yang halus
dankasar. Anak tidak boleh menyebut ‘lu’ kepada orang tua, khususnya kepada ibu bapaknya.
Akan tetapi sebaliknya, orang tua terhadap anak tidak ada aturan, kadang-kadang suami
terhadap istripun lebih banyak menggunakan kata yang dianggap kasar, namun bagi orang
Betawi sendiri dianggap biasa, jadi bukannya kasar atau tidak hormat, iniseagai tanda
keakraban antara satu dengan lainnya. Misalnya saja seoran anak berbicara dengan ayahnya:
“Bapa, ini hari saya kagak bakal…..”, kata bapa adalah sebutan bagi ayah, sedangkan oran tua
atau yang lebih tua kepada anak atau yang lebih muda akan mengatakan: “lu kagak pantes…..”
noh gua…….” Jadi dalam bahasa Betawi, sebagai pernyataan hormat akan ditandai dengan
pengucapan kata ganti orang. Bila seseorang bertemu di jalan,maka akan mengatakan
“assalamualaikum” terlebih dahulu diucapkan yang usianya lebih muda, demikian pula bila
anak bertemu orang tua di jalan akan menyapa “assalamualaikum” dan dibalas oleh orang
tuanya “waalaikum salam” yang lebih muda selalu yang lebihdulu menyapa diiringi dengan
sikap yang agak membungkukkan badan. Selanjutnya sapaan diucapkan tergatung dari
hubungan kekerabatan yang ada, seperti menyapa kepada ibu, nyak/mak, sebaliknya orang tua PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 34
menyebut anak perempuan dengan istilah noan, dan ntong untuk aak laki-laki. Sapaan kepada
anak tersebut sebagai pernyataan syang orang tua. Saudara yang muda kepada yang lebih tua,
menyebut mpok (perempuan) dan abang (laki-laki). Apabila memerintah atau menyuruh:
“Nyak lu, tolong ambilkan rokok gua”. Hal ini bila yang diperintah adalah istrinya. Cara
melaran melakukan sesuatu: “lebih baik jangan lu kerjainitu, kagak ada artinya”, apabila yang
dilarang adalah istri, anak, atau yang lebih muda. Cara menolak perintah: “segen” bila yang
memerintah sederajad, akan tetapi bila yang lebih tua: “saya nggak mau”. Cara menyangkal
perkataan: “ngomong jangan sembarangan, masa gua yang dikatain ……..”
B. Berpakaian dan Berdandan
Pada setiap orang Betawi tidaklah ada pakaian khusus yang harus dikenakan pada
waktu tertentu, mereka bebas mengenakan pakaian apapun pada waktu santai, tidur dan
melakukan kegiatan rumah tangga, kecuali waktu menghadiri pesta atau pergi mengaji. Untuk
wanita yang sudah berkeluarga biasanya menggunakan kain dengan kebaya panjang dilengkapi
dengan kerudung, sedangkan untuk laki-laki memakai celana panjang atau sarung dengan
kemeja yang longgar memakai krah kemeja berdiri (semacam kemeja Cina), yang disebut baju
koko, dan peci.
Bagi laki-laki yang sudah haji, biasanya ada tanda yang merupakan cirri khasnya, yaitu
mengenakan ikat pinggang besar warna hijau yang disebut amben,sedangkan perempuan
mengenakan stagen yang berwarna hijau pula. Untuk berpergian tentunya tidak sma dengan
pakaian yang dikenakan sehari-hari di rumah, biasanya bila berpergian pakaian yang dikenakan
lebih bagus dari pada pakaian sehari-hari. Orang tua tidak diperkenankan dan meanggalkan
pakaian di hadapan anak-anak yang sudah dewasa, demikian pula sebaliknya yang berlaku bagi
anak-anak yang sudah dewasa. Mereka biasanya pergi ke kamar, sehingga tidak diketahui oleh
anak-anak. Dalam sopan santun membetulkan pakaian di hadapan orang banyak tidak
diperkenankan. Bila suami sedang berhadapan dengan tamu misalnya, maka istri akan
memanggil suami masuk untuk memberitahukan pakaian yang dikenakan tidak betul, kemudia
suami sendirilah yang membetulkannya.
Bila menyusukan anak, tidak dilakukan di hadapan rang banyak, kecuali masih anggota
keluarganya. Apabila sedang ada tamu atau bepergian, maka si ibu akan encari tempat yang
tertutupuntuk menyusukan anak. Hal ini sesuai dengan sopan santun yang berlaku, lagi pula
tidak pantas mengeluarkan anggota tubuh di hadapa orang banyak,sekalipun anak sangat
membutuhkannya. Apabila bepergian, biasanya ibu membawa dot yang diisi susu, agar suatu
saat diperlukan dapat diberikan pada bayi.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 35
Berdandan dengan rapi merupakan salah satu keharusan bagi wanita, selain bagi daya
tarik, juga kerapian seseorang secara tidak langsung dapat merupakan gambaran pribadinya,
dalam hal ini berdandan tidak perlu menyolok. Berdandan dengan rapi namun sederhana
dilengkapi perhiasan yang sederhana
pula memberi ciri bahwa dia senang akan kehidupan yang sederhana.
C. Bersalam
Pada orang Betawi, tatakrama bersalam merupakan hal yang menonjol dalam
kehidupannya, ini merupakan cirri khas dari orang Betawi. Ucapan assalamualaikum yang
diucapkan ketika bertemu di jalan, diiringi dengan saling bersalaman tangan. Pada masyarakat
Betawi ada empat macam salam yang membedakan satu dengan lainnya yaitu :
a. Salam sebagai penghormatan, yakni salam dengan mencium tangan orang yang
dihormati.
b. Salam medok (salam akrab), yakni salam dengan menjabat tangan erat-erat, kadang-
kadang diikuti berpelukan dan menepuk bahu yangdisalami.
c. Salam curiga, yakni tangan kanan saling berjabatan, sementara tangan kiri emegang
lengan tangan kanan orang yang dicurigai.
d. Salam diendus (mengendus), yaitu salam sambil mencium tangan tetapi tidak sampai
kena, jadi hanya diendus. Salam inipun sebagai penghormatan, akan tetapi yang
dihormati bukan anggota keluarga atau kerabat.
Cara bersalaman seperti itu hanya berlaku bagi mereka yang sama jenis kelamin, kecuali
apabilamereka yang bersalaman tersebut masih sebagai kerabat.
Salam yang pertama bertujuan untuk menghormati orang yang lebih tua, terutama
ditujukan bagi orang tua, anak-anak yang akan pergi, berangkat sekolah atau kerja selalu
menyalami demikian, begitu pula sepulang dari kerja atau sekolah. Salam yang kedua
bertujuan untuk memelihara atau meningkatkan kekakraban diantara kedua belah pihak.
Berpelukan dan menepuk bahu biasanya sebagai pernyataan selamat atas keberhasilannya,
kerinduan atau akan terjadi perpsahan. Salam yang ketiga bertujuan untuk melindungi diri, agar
yang dicurigai tidak melakukan tinakan semena-mea. Salam yang keempat bertujuan untuk
menghormati orang yang patut dihormati, misalnya guru ngaji, tokoh-tokoh masyarakat, orang
lain yang lebih tua usianya.
Bersalam ketika menerima tamu, tergantung dari siapakah tamu tersebut, maka dapat
dilakukan salah satu dari keempat cara salam yang diuraikan di atas. Akan tetapi bila tamu
tersebut baru dikenalnya, maka dilakukan dengan kedua belah tangan dengan sikap agak
membungkuk. Sebenarnya salam dengan kedua belah tangan ini bukanlah merupakan salam PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 36
asli Betawi, namun orang-orang Betawi yang menyesuaikan dengan yang umum sering
dilakukan.
D. Duduk
Pada masyarakat Betawi, tidak ada susunan (tempat) duduk yang menjadi ukuran
tatakrama dalam keluarga batih, baik yang berlaku pada waktu santai, menerima tamu dan
membicarakan masalah keluarga yang penting, hanya pada waktu makan, walaupun tidak
mutlak harus dilakukan, tetapi masih ada keluarga yang masih memiliki kebiasaan mengatur
susunan duduk pada waktu makan.
Kesempatan duduk dapat dibedakan antara duduk di atas tikar dengan duduk di atas
kursi. Duduk di atas tikar pada masyarakat Betawi, mempunyai dua cara yang dianggap sopan,
yaitu duduk bersila untuk laki-laki, dan duduk timpuh untuk perempuan. Duduk bersila adalah
duduk dengan melipat kedua belah kaki, dengan sebelah kaki berada di bawah (dijepit) kaki
sebelahnya.
Cara duduk bersila iniberlaku untuk segala acara, misalnya pada waktu makan, pada
waktu santai, menerima tamu dan membicarakan masalah keluarga yang penting. Pada
kesempatan yang sama, maka wanita akan duduk bertimuh.
Kesempatan duduk di kursi, dianggap tidak sopan bila kaki diangkat, dan diinjakkan ke
kursi yang dipakai untuk duduk, sikap yang patut untuk dilaksanakan adalah kedua belah kaki
secara sejajar menginjak lantai, badan duduk tegak dan tangan berada di atas tangan kursi atau
di atas paha. Duduk di kursi, sementara yang sudah tua duduk di bawah/tikar, dinyatakan
sebagai orang yang tidak tahu sopan santun. Disamping itu ada beberapa cara duduk yang
dianggap tidak baik untuk dilakukan, karena tidak sesuai dengan sopan santun yang berlaku.
Cara duduk tersebut diantaranya :
a. Dekukul, yaitu kaki diangkat sebelah, dengan tangan saling tumpang di dengkul. Duduk
seperti ini seringkali dilakukan pada waktu santai sendiri, akan tetapi apabila
berhadapan dengan orang lain, terutama yang lebih tua, tamu, atau kerabat, dinyatakan
sebagai orang yang tidak tahu adat sopan santun, tidak menghargai orang yang ada di
sekelilingnya.
b. Berdeku, yaitu cara duduk dengan kedua belah kaki dilipat ke belakang, posisi kaki di
bawah pantat, kedua belah tangan diletakkan di atas paha. Cara duduk semacam ini,
biasanya dilakukan padakesempatan upacara.
c. Istiras, yaitu cara duduk dengan kedua belah kaki setengah dilipat, kedua belah tangan
saling berpegangan, yang seolah-olah tergantung di dengkul. Cara duduk semacam ini
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 37
biasanya dilakukan pada waktu istirahat bersama keluarga, dan tidak pantas apabila
berhadapan dengan tamu atau kerabat yang patut dihormati.
d. Loa-loa, yaitu duduk dengan mengangkat sebelah kaki, sementara jari-jari tangan saling
menjepit yang diletakkan di dengul, cara duduk seperti ini sangatlah tidak sopan apabila
dilakukan di hadapan orang lain yang pantas dihormati. Para orang tua akan marah,
apabila melihat anak-anak duduk seperti ini, kebiasaan duduk seperti ini akan membuat
orang jadi pemalas, dengan demikian rezekipun akan sulit didapat. Hal ini disebabkan
apabilaorang sudah terbiasa duduk demikian, akan lama bergerak dari tempat duduk,
karena duduk seperti ini mempunyai kenikmatan tersendiri.
E. Makan Minum
Pada orang Betawi, kegiatan makan dan minum dapat dilakukan di meja makan dan
gelar tikar, yakni duduk bersama-sama di lantai dengan beralaskan tikar. Makan di meja
biasanya dilakukan bila bersama-sama tamu atau kerabat yang sangat dihormati, kalau makan
biasanya cukup duduk di atas tikar.
Istri/ibu atau anak perempuan yang sudah dewasa yang mempersiapkan makan, pada
keluarga yang mempunyai anak gadis, dianjurkan agar dialah yang mempersiapkan segala
sesuatu untuk makan, baik alat makannya, maupun santapannya. Anak gadis dari kecil sudah
dididik segala sesuatu yang berhubungan dengan dengan pekerjaan rumah tangga, dari mulai
mempersiapkan hingga membereskannya. Dengan demikian dialah yang akan menggantikan
peran ibunya dalam rumah tangga, selagi ibunya tidak di rumah atau sebelum ia menikah.
Alat-alat makan yang dipersiapkan terdiri dari; piring, tesi (sendok), kobokan (tempat
yang berisi air untuk cuci tangan) dan gelas, setiap alat tersebut tidak ditempatkan menurut cara
atau aturan tertentu. Biasanya piring-piring dibiarkan ditumpuk, demikian pula sendoknya,
kadang-kadang diletakkan di atas tumpukan piring, kadang pula disamping piring. Kobokan
hanya disediakan satu atau dua buah saja, sehingga bila orang yang makan banyak, cuci tangan
dilakukan secara bergantian. Ikan dan nasi biasanya disajikan di tengah orang-orang yang
makan, sedangkansayur disajikan dengan menggunakan cawan atau piring sayur, peletakan
sayur tersebut tidak bersama lauk pauk yang lain, melainkan sudah disajikan di depan tempat
duduk masing-masing orang yang akan makan.
Cara duduk, suami berhadapan dengan istri, anak-anak berada di sebelah kanan atau
kiri orang tuanya. Istri biasanya duduk dekat nasi diletakkan, hal ini untuk memudahkan si istri
menyendok nasi, karena istrilah yang biasa mengambilkan nasi untuk suami dan anak-anak
yang masih kecil, sedangkan lauk pauknya anak (anak-anak) mengambilnya masing-masing.
Kecuali sayur istri biasanya mengambilkan langsung dari kuali yang masih disimpan di dapur. PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 38
Setiap orang yang makan akan mendapatkan sepiring sayur, kecuali anak-anak tergantung dari
kemauannya. Apabila ada yang ingin tambah sayur, maka istri jugalah yang mengambilkan di
dapur, jadi khusus sayur tidak disajikan di tempat makan.
Di saat makan sehari-hari dalam keluarga, tidak ada kata mempersilahkan makan, kalau
anak atau istri sudah selesai menyajikan makan, dengan sendirinya suami dan anak-anak sudah
berkumpul di tempat makan tersebut. Ada kalanya sebelum makan siap disajikan, orang-orang
sudah berkumpul di tempat makan. Kecuali makan bersama tamu atau kerabat, maka biasanya
istrilah yang mempersilakan makan. Istri mengambilkan nasi yang diperuntukkan bagi tamu
atau kerabat yang lebih tua.
Cara duduk bila makan bersama tamu, tergantung dengan siapa tamu tersebut, laki-laki
atau perempuan. Apabila tamu tersebut laki-laki, maka duduk bersebelahan dengan suami,
sebaliknya bila tamu tersebut perempuan duduknya dekat istri. Akan tetapi bila tamu itu terdiri
dari beberapa orang laki-laki, maka suamilah yang menemani makan, demikian pula halnya
bila tamu tersebut terdiri dari beberapa orang perempuan, maka istrilah yang menemani makan,
hal inmi dilakukan untuk menghindari supaya tamu tersebut dapat makan dengan leluasa an
tidak canggung.
Ketika berlangsung acara makan, anak-anak dilarang sambil berbicara, hal ini untuk
menghindari eselak, yaitu masuknya makanan tanpa dikunyah yang menimbulkan batuk-batuk,
tetapi bila makan bersama tamu, justru merupakan hal yang mengasikkan apabila makan
sampil bercakap-cakap, hingga kadang-kadang tidak terasa lagi sudah berkali-kali nasi
ditambah.
Anak-anak tidak selamanya harus makan bersama orang tuanya, kadang-kadang anak
dianjurkan makan lebih dulu, sebelum orang tua menyajikan makan, anak-anak tidak boleh
mengganggu orang tua yang sedang makan. Makan merupakan salah satu kegiatan untuk
menikmati karunia Tuhan, oleh karena itudi saat makan, suasananya betul-betul tenang,
sehingga makanan dapat dinikmati sepuas mungkin. Orang tua akan marah bila ditengah
makan, ada anaknya yang rewel, yang mengganggu apalagi makan bersama tamu, sedapat
mungkin anak yang rewek tersebut dibawa keluar oleh ibunya. Namun tentunya marah tersebut
tidak dilakukan di saat makan, karena marah pada waktu makan akan membuat suasana tegang,
sehingga makananpun tidak dapat dinikmati. Mengeluarkan bunyi alat-alat makan, misalnya
karena piring terantuk dengan piring, atau bunyi sendok yang beradu dengan piring, tidaklah
merupakan larangan, asalkan tidak disengaja seperti dianggap mainan. Justru dengan adanya
bunyi tersebut meandakan orang di rumah itu sedang makan, sehingga apabila ingin bertamu,
orang menjadi tahu diri, tidak mengganggu keluarga yang sedang makan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 39
Walaupun bukan merupakan larangan, namun bagi orang Betawi tidaklah pantas makan
sambil bersendawa. Setiap orang Betawi apabila akan menambah makanan (nasi) tidaklah
diperbolehkan menghabiskan nasi yang ada di piring makan, setidak-tidaknya masih ada tersisa
sesuap atau sesendok di piring makan, baru nasi ditambah. Kebiasaan ini disebut long-longan,
yang berarti tidak ada batasnya, tidakada kenyangnya. Kebiasaan itu berdasarkan anggapan
bahwa rezeki harus dicari tanpa henti-hentinya, setiap rezeki yang datang merupakan tambahan
rezeki sebelumnya. Dengan kata lain dalam hidup ini, rezeki yang didapat tidak ada habisnya,
bahkansebelum rezeki yang bakal datang, rezeki sebelumnya masih tersisa, tidak habis sama
sekali. Dengan keyakinan seperti itu, maka orang Betawi tidak mau menyalahi kebiasaan
mereka. Setiap orang yang menambah nasi, menggunakan tangan kiri, apabila makan pakai
tangan kanan, tetapi apabila makan dengan tesi (sendok), nasi harus diambil dengan tangan
kanan, dengan lebih dulu meletakkan sendok secara terbuka di atas piring makan.Cara
membukakan sendok di atas piring makan, menandakan masih akan tambah nasi. Dalam
kehidupan sehari-hari keluarga Betawi, jarang sekali menggunakan garpun sebagai alat makan,
menurut pandangan mereka makan dengan garpu merupakan pengaruh kebudayaan modern,
dan tidak pantas makan duduk di atas tikar menggunakan garpu. Makan dengan sendok dan
garpu hanya dilakukan pada pesta-pesta, sedangkan bagi orang Betawi, secara tradisional,
dalam pestapun jarang dilakukan perjamuan makan, hanya sekedar makanan ringan dan minum
teh, nasi dan lauk pauk sudah ditata dalam kotak (besek), yaitu tempat nasi yang dibuat dri
bamboo, khusus dipakai pada waktu selamatan atau pesta untuk dibawa pulang ke rumah
masing-masing.
Minuman biasanya disajikan oleh ibu/istri sebagai slah satu cara pelayanan seorang istri
terhadap suami, bahkan pada kesempatan itu pula istri ikut mendampingi suami sambil
membicarakan maslah keluarga. Pisin atau piring kecil sering dijadikan sebagai alat bantu
untuk menuangkan air dari gelas, apabila air yang akan diminum masih panas. Bila minum
menggunakan pisin, gelas dipegang di tangan kanan, pisin di tangan kiri, air (teh atau kopi)
dituang ke dalam pisin, lalu diminum dengan tangan kiri pula. Minuman yang dihirup dari
pisin biasanya menimbulkan bunyi, justru di sinilah nikmatnya minum dengan menggunakan
alat bantu pisin.
Dalam kesempatan minum ini ada kalanya disertai dengan makanan ringan, seperti
goring pisang, ubi atau singkong, terutama pada pagi hari, karena kebiasaan orang Betawi
makan pertama sekitar pukul 10.00 – 11.00, jadi makan dan minum pagi itu dianggap sebagai
sarapan pagi.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 40
Makan yang kedua kali sekitar pukul 12.00 – 13.00, bagi orang Betawi disebut makan
mindo, berarti makan yang kedua kalinya, makan malam dilakukan biasanya menjelang Magrib
atau sesudah shalat Magrib.
F. KESIMPULAN
Tatakrama adalah sesuatu yang harus dipelajari, baik oleh warga masyarakat
pemakainya, maupun oleh orang lain yang ingin memahami masyarakat yang bersangkutan.
Anaka warga masyarakat itu sejak sejak awal memperoleh pendidikan tatakarama, dimulai dari
lingkungan yang lebih kecil, yaitu keluarganya sampai ke lingkungan yang lebih luas, lebar dan
rumit. Anak itu dipersiapkan dalam rangka hubungan antar pribadi sebagai salah satu tahap
bagi si anak untuk diterima secara penuh sebagai warga masyarakatnya.
Tatakrama mencakup hampir seluruh segi kehidupan suatu masyarakat, antara lain
meliputi kehidupan dalam kelompok sekaum, sekelas, sejenis kelamin, seagama, sependirian,
dan seusia. Disamping itu tatakrama juga untuk mengatur perilaku masyarakat yang berkaitan
dengan pemuasan kebutuhan kebutuhan hidup, berhubungan dengan dunia gaib, dan lain-klain.
Tatakrama dibentuk dan diperkembangkan oleh masyarakat. Tatakrama terdiri dari
aturan-aturan yang kalau dipatuhi diharapkan akan terciptanya interaksi sosial yang tertibdan
efektif dalam masyarakat yang bersangkutan. Konsekwensinya tatakrama yang diturunkan dari
suatu generasi ke generasi akan disertai dengan suatu perubahan-perubahan, sejalan dengan
tuntutan keadaan lingkungan sosial di zamannya. Aturan-aturan bergaul yang efektif pada
periode waktu tertentu, belum tentu masih tetap efektif pada periode berikutnya.
Namun tatakrama yang diturunkan dari suatu generasi ke generasi, akan dapat tetap
dapat kita kenali. Hal ini dimungkinkan karena tatakrama mengandung berbagai segi. Ada segi
yang dapat berubah dengan cepat, dan ada segi yang berubahnya dengan lambat. Disamping itu
tatakrama tidak hanya terbuka bagi tuntutan-tuntutan zaman, melainkan juga dikekang oleh
pengendalian sosial seperti rasa takut, rasa malu, dan kesetiakawanan sosial.
Tatakrama yang dianut oleh sekelompok masyarakat, tidak selalu dipatuhi oleh semua
warganya, namun pelanggaran tatakrama sedikitnya akan menibulkan rasa tidak enak pada diri
si pelanggar.
Tatakrama suatu kelompok masyarakat dapat menyempit atau melebar, suatu kelompok
suku bangsa dapat saja hanya menganuttatakrama suku bangsanya sendiri, tetapi disamping itu
dapat juga menganut tatakrama masyarakat yang lebih luas tempat suku bangsanya merupakan
bagian dari masyarakat itu, misalnya bangsa, masyarakat regional, dan masyarakat ras. Apabila
suatu kelompak masyarakat menganut dua corak tatakrama semacam itu, dapat terjadi
sedikitnya tiga kemungkinan. Pertama, kedua corak tatakrama itu dapat berjalan serasi, dan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 41
saling melengkapi. Kedua, terjadi benturan-benturan diantara kedua corak tatakrama itu.
Ketiga, terjadi saling menyesuaikan diri. Misalnya tatakrama adat menyesuaikan diri dengan
tatakrama nasional, dan sebaliknya, tatakrama asional menyesuaikan diri pada tatakrama adat.
Tatakrama Suku Bangsa Melayu Betawi adalah bagian dari tatakrama nasional
Indonesia. Apalagi keberadaannya di wilayah ibu kota negara, yang menjadi tempat
berdomisili berbagai suku bangsa di Indonesia, menyebabkan orang-orang yang berasal dari
berbagai suku bangsa tersebut, mengikuti, mengadaptasi, tatakrama Betawi, disamping orang
Betawi sendiri juga mengikuti tatakrama dari etnis tertentu yang datang ke daerahnya.
2. SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT MELAYU RIAU
A. Sejarah Kebudayaan Melayu Riau
Sejarah Riau mencatat bahwa Penduduk yang pertama mendiami kawasan ini adalah
suku Weddoide. Suku pengembara ini seluruhnya hidup dari alam dan menganut kebudayaan
Mesolithicum (Kebudayaan Batu Tua). Sisa dari ras Weddoide ini masih terdapat di Riau
sekarang yaitu suku Sakai, suku kubu, orang utan dan orang akit yang disebut suku-sukun asli.
Sekitar tahun 2500-1500 SM, datang penghuni baru yang dikenal sebagai suku Proto –Melayu
(Melayu Tua). Mereka menganut kebudayaan batu Muda (Neolithicum) , dan sisa-sisa suku
bangsa ini di Riau yaitu orang talang mamak dan suku laut atau orang Laut
Sekitar tahun 300-150 SM, datang pula suku bangsa / Ras Deutro – Melayu (Melayu
Muda) yang berkebudayaan Megalithicum (zaman batu Besar) dan perunggu. Sisa-sisa
peninggalan kebidayaan suku ini antara lain berupa arca kecil dari perunggu, manik-manik dan
gelang perunggu yang ditemui di desa Kuwing, kecamatan Bangkinang, dilubuk Ambacang
(Indragiri Hulu) dan di daerah Rokan. Keturunan suku bangsa Deutro - Melayu inilah yang
kemudian berkembang di kawasan ini yang sekarang disebut Melayu Riau
Dalam perkembangan selanjutnya Riau yang terletak dijalur lalu lintas perdagangan
yang strategis di selat Malaka dimasuki pula oleh bangsa-bangsa lain, seperti Cina, India, Arab
dan Eropah dengan agamanya masing-masing seperti hindu, Budha dan islam, hal ini
menyebabkan terjadinya akultrasi adaptasi dan asimilasi.
Dari perjalanan sejarah tersebut diatas tidaklah dapat dielakan apabila kebudayaan
Melayu Riau kemudian mengalami perubahan dan perkembangan. Percampuran secara
histories dan cultural itu mewujudkan masyarakat Riau yang majemuk serta melahirkan sosok
dan warna budaya yang ragam. Meskipun peninggalan agama Hindu dalam bentuk fisik belum
ditemui, namun pada beberapa unsur kebudayaan Melayu Riau masih terasa pengaruhnya PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 42
sampai sekarang, setidaknya dapat dilihat dan terasa di dalam upacara-upacara tertentu.
Peninggalan agama budha yang terlengkap adalah kompleks candi Muara Takus di Kecamatan
XIII Koto Kampar (kabupaten Kampar), Prasasti Pasir Panjang di Karimun (Kabaupaten
Kepulauan Riau). Selain itu masih terdapat pula situs di Padang Candi (Kabupaten Indragiri
Hulu), situs di Sintung, Siarang-arang dan sedinginan ( Di Kabupaten Bengkalis ) dan lain
sebagainya, Rusdi Idar ( 1990).
Setelah islam masuk dan berkembang, maka hampir semua unsur kebudayaan yang
mentradisi sebelumnya (animisme, dinamisme, hindu dan budha) diislamkan sehingga pada
gilirannya nafas dan ajaran agama islam terasa lebih dominant didalam kebudayaan Melayu.
Unsur-unsur budaya yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama islam dihilangkan
meskipn tak sepenuhnya berhasil.Sisa-sisa budaya lama itu masih terasa melekat sampai
sekarang. Di dalam adat istiadat misalnya, dominasi islam itu dibakukan dengan motto “ adat
bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Ungkapan ini menyampaikan, bahwa adat
istiadat yang berlaku didalam masyarakat Melayu Riau adalah adat yang serasi dan tidak
bertentangan dengan ajaran agama islam. , Rusdi Idar ( 1990).
Setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya, di Riau muncul kerajaan-kerajaan Melayu seperti
kerajaan Bintan dan Tumasik, Kerajaan Indragiri,Kerajaan Siak, Kerajaan Pelalawan, Kerajaan
gunung Sahilan, Kerajaan Rambah, Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Tambusai, Kerajaan
Riau Lingga dan lain-lain. Setelah islam berkembang, maka kerajaan-kerajaan ini (yang masih
hidup) turut pula berperan dalam pengembangan agama islam, termasuk kebudayaan yang
bernafaskan islam. Karenanya islam semakin kokoh dan kemudian menyatu dengan
masyarakat Melayu Riau (dari situlah lahir istilah yang masuk islam disebut masuk melayu,
sebagai cerminan bersebatinya orang melayu dengan agama islam). Kemajemukan masyarakat
Melayu Riau tercermin dari keragaman penduduknya. Asda yang berdarah Arab, Bugis,
Banjar, Minangkabau,Tapanuli (terutama Tapanuli Selatan) Jawa dan sebagainya, yang telah
berbaur selama ratusan tahun. Perpaduan ini dari sisi lain menyebabkan terpadu pula berbagai
unsur kebudayaan suku bangsa itu yang menjelma dan memperkaya kebudayaan melayu Riau.
Istilah Melayu yang kita kenal dewasa ini bermula digunakan untuk menyebut
sekelompok penduduk yang mempunyai ciri-ciri fisik atau rasial yang berbeda dengan
kelompok penduduk yang memiliki ciri-ciri rasial Mongoloid yang berasal dan Asia Selatan.
Berdasarkan penelitian paleo-antropologi serta arkeologi, dapat diperkirakan bahwa sejak
2500 SM terjadi gelombang perpindahan penduduk dan daratan Asia ke arah kepulauan
Nusantara.
Selain ciri-ciri rasial yang menandai kedatangan orang-orang dan daratan Asia, juga
dibawa serta kompleks kebudayaan tertentu, karena itu mereka memang berhak menyandang PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 43
nama sebagai pendukung kompleks kebudayaan khusus. Namun karena luasnya persebaran dan
besarnya keanekaragaman kebudayaan yang mereka kembangkan, seorang sarjana Perancis
yang mempunyai perhatian besar pada asul-usul, perkembangan, dan persebaran kebudayaan di
Asia Selatan menamakan kelompok penduduk dan kebudayaan yang menyebar di kepulauan
Nusantara sebagai Indonesia untuk membedakan dengan penduduk dan kebudayaan di daratan
Asia Tenggara. Di antara sempalan penduduk yang kemudian menetap di sepanjang pantai
kepulauan Nusantara dan kemudian mengembangkan kebudayaan pantai yang bertumpu
pada kebudayaan perdagangan ialah mereka yang kemudian dikenal sebagai orang Melayu.
Harun Daud (1998).
Di Indonesia orang Melayu dikenal sebagai salah satu sukubangsa yang cukup besar
peranan dan sumbangan dalam pengembangan kebudayaan nasional. Ciri paling mendasar
bagi identitas kesukubangsaan Melayu pada masa sekarang adalah bahasanya yang mendasari
bahasa nasional Indonesia, memeluk agama Islam, dan kebudayaan yang cenderung terbuka
terhadap pembaharuan. Ciri yang lain nampaknya berangkat dan anggapan penduduk ash,
bahwa orang atau kelompok yang beralih memeluk agama Islam adalah menjadi orang Melayu
seperti yang terjadi di pulau Kalimantan dan Sumatera.
Menjadikan bahasa sebagai pegangan untuk mengidentifikasikan suku-suku bangsa
Melayu tidak dapat diterapkan sepenuhnya. Karena suku-suku bangsa yang bahasanya
termasuk rumpun bahasa Melayu belum tentu mengaku sebagai orang Melayu, sebaliknya
mereka lebih suka menggunakan identitas kesukubangsaannya sendiri, seperti orang
Minangkabau. Lampung, Banjar, dan sebagainya.
Sementara itu ada kelompok-kelompok sukubangsa yang dengan tegas menyebut
dirinya sebagai orang Melayu, yang dibedakan dari sukubangsa Melayu lain berdasarkan batas
geografis dan kesejahteraan. Dengan demikian dikenal adanya sukubangsa Melayu Langkat
atau Melayu Deli, Melayu Jambi, Melayu Riau, Melayu Bangka, Melayu Pontianak, dan
seterusnya.
http://www.riauposonline.com/site/index2.php?option=content&task=view&id=988
B. Kehidupan Sosial Masyarakat Melayu
Kebudayaan sebagai keseluruhan hasil cipta, rasa dan karya manusia amatlah erat
kaitannya dengan masyarakat pendukungnya.Kebudayaan Melayu Riau tidak dapat pula
dilepaskan dari latar belakangh sejarah penduduknya serta berbagai perkembangan yang terjadi
dalam proses yang amat lama dan panjang.
Orang Melayu di Riau amat sedikit yang bertanam padi di sawah, karena keadaan
alamnya tidak memungkinkan untuk itu, namun ada juga yang berladang. Pada masa lalu PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 44
mungkin mereka lebih mengandalkan mata pencaharian mengolah sagu, mengumpulkan hasil
hutan, menangkap ikan, berladang, dan berdagang. Dalam sistem perladangan tanaman yang
biasa dibudidayakan antara lain padi, ubi, sayuran, dan buah-buahan. Mereka juga menanam
jenis tanaman keras yang sangat tinggi harganya, yaitu karet.
Berdasarkan prinsip keturunan atau kekerabatan orang Melayu Riau menarik garis
keturunan yang cenderung bilateral. Setiap keluarga inti mendiami sendiri, kecuali pasangan
baru yang biasanya menumpang di rumah orang tua pihak istri sampai mereka memiliki anak.
Oleh sebab itu pola menetap orang Melayu Riau dapat dikatakan neolokal. Keluarga inti yang
disebut kelamin umumnya mendirikan rumah di lingkungan tempat tinggal pihak istri.
Dahulu orang Melayu Riau hidup mengelompok menurut asal keturunan yang disebut
suku yang sifatnya patrilineal. Akan tetapi mereka yang bermukim dekat wilayah kebudayaan
Minangkabau membentuk suku yang matrilineal, dan ada yang menyebutnya hinduk (induk
atau cikal bakal). Setiap suku dipimpin oleh seorang penghulu. Kalau suku itu bermukim di
sebuah kampung, maka penghulu akan langsung menjadi datuk penghulu kampung (kepala
kampung). Setiap penghulu dibantu oleh beberapa tokoh adat, seperti, batin, jernang, tua-tua,
dan monti. Sedangkan di bidang kcagamaan dipimpin oleh imam dan khotib.
Bentuk kesenian orang Melayu Riau kebanyakan bernafaskan budaya Islam. Di sini
berkembang seni sastra keagamaan yang dinyanyikan dengan iringan musik rebana, berdah,
kerompang, atau kompang, dan sebagainya. Di dalam masyarakat pernah terkenal bentuk-
bentuk teater rakyat, seperti makyong, dul muluk, mendu, dan lain-lain. Musik Melayu
dianggap sebagai dasar dan perkembangan musik dangdut yang populer sekarang. Anonim.
C. KEARIFAN MASYARAKAT TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP
Bagi orang melayu Riau, lingkungan hidup itu disebut hutan tanah, artinya bahwa
lingkungan itu bukan hanya tanahnya saja tetapi meliputi hutan dan seluruh sumber daya yang
harus dilestarikan. Hutan sangat berharga bagi masyarakat melayu karena kandungan sumber
daya alam di dalamnya. Pada masyarakat Melayu mengenal pembagian tanah yang terdiri dari
tiga bagian yakni tanah perladangan, rimba larangan, rimba simpanan (ulayat) dan rimba
kepungan sialang. Pembagian tersebut merupakan salah satu upaya menjaga kelestarian
alam(hutan). Konsep pelestarian alam bahkan telah dibakukan dalam tradisi lisan ungkapan.
Hutan sialang merupakan hutan yang terdiri dari pohon besar sebagai tempat bersarangnya
lebah, sedangkan rimba kepungan sialang adalah hutan yang menyelimuti kayu-kayu sialang
tersebut. Sumber daya hutan yang diambil dari hutan ini adalah madu lebah. Tidak semua
pohon di hutan dihinggapi oleh lebah karena itu dilarang menebas hutan atau memotong pohon
sialang yang tumbuh di hutan. Keberadaan hutan di jaga ketat oleh masyarakat. Tidak satupun PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 45
anggota masyarakat ayang diperbolehkan mengambil atau menebang pohon dari hutan sialang .
Karena itu pengelolaan hutan tersebut diatur oleh hukum adat. Pelanggaran terhadap peraturan
adat akan mendapatkan sangsi atau istilahnya dimakan adat atau dimakan undang. Pada masa
kesultanan selain sangsi dari adat ada juga sangsi dari Kesultanan Riau yang diatur dalam
undang –undang. Sangsi adat dari tua-tua adat sampai pada saat ini masih berlaku di Riau
daratan. Kegiatan pemungutan hasil hutan sialang, terlebih dahulu harus meminta ijin kepada
penguasa setempat yaitu kepala adat(kepala desa). Menurut ketentuan adat, barang siapa yang
akan mengambil madu dan lilin dari hutan sialang, harus memberikan 1/3 kepada pemanjat dan
1/3 kepada penjaga di bawah pohon.
Sesungguhnya dalam aktivitas meramu hasil hutan , mereka mengenal jenis kayu
seperti : Kelompok Kayu Matoa, terdiri atas kayu pometia (matoa), bintangur (canhopium),
merdondong (canarium), Gufasa (vilex cofasus), dan kayu besi. Kelompok kayu ketapang
(terminalia), pulai (alstrania), kedondong Hutan (spondias). Kayu yang dimanfaatkan buahnya
seperti kemiri dan pala hutan. Kelompok kayu bakau yang terdiri dari Rhizopora dan Bruguira
(tumbuhan endemik.) Hasil hutan non kayu yang berharga antara lain getah damar, kulit masoi,
sarang burung walet, kayu gaharu dan rotan. Anonim ( 2003)
a. Kearifan Masyarakat Melayu Riau
Sewajarnya, semakin maju peradaban manusia, semakin ariflah mereka dalam
mengelola sumber daya alamnya. Bagaimanapun meningginya tingkat keperluan manusia atas
alam, seharusnya juga diselaraskan dengan tingkat pemahaman manusia itu sendiri terhadap
alamnya. Tidak dapat kita pungkiri bahwa keperluan kita atas minyak, kayu, ikan, rotan atau
apapun namanya yang bersumber dari alam adalah sesuatu yang alamiah. Tapi bukankah
dengan bertambahnya kemajuan zaman, tingkat pengetahuan manusia dalam memahami alam
semakin bertambah.
Secara alamiah, sumber daya alam merupakan sumber daya yang mempunyai daya
dukung terbatas. Sekalipun kekayaan-kekayaan alam tertentu, seperti hutan akan mampu
memulihkan kondisi kembali, akan tetapi bila kekayaan ini terus menerima tekanan yang
bertubi melalui eksploitasi, daya pulih alamiahnya jelas akan melemah, atau bahkan mati.
Kiranya, tuntutan agar pengelolaan lingkungan dilakukan secara arif, adalah sesuatu yang
wajib dan akan mampu untuk menstabilkan antara daya dukung alam dengan tekanan
eksploitasi yang dilakukan oleh manusia. Kiranya ketidakarifan inilah yang terjadi dalam
pengelolaan kekayaan alam di Riau akhir-akhir ini.
Di Riau, rasanya kita tidaklah kekurangan pakar dalam bidang pengelolaan lingkungan.
Baik para pakar yang ditelurkan dari universitas luar negeri, maupun pakar-pakar lingkungan PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 46
yang dihasilkan dari universitas domestik yang juga tidak kalah pemahamannya terhadap
alamnya. Bilangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan
pun selalu ikut memperkaya untuk memberikan rambu-rambu pengelolan lingkungan.
Perangkat hukum ( baik software ataupun hardware ) yang diperuntukkan agar pengelolaan
alam dilakukan secara benar, pun sudah dipersiapkan dari awal. Namun mengapa alam Riau
tetap porak-poranda bagai ladang perburuan, untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-
banyaknya sehingga terkadang ada yang seharusnya mendapat bagian, tapi mereka tidak
menikmatinya? Mungkin satu jawaban yang pasti kita tidak lagi menemui kata "arif" dalam
kamus yang sekarang kita pakai.
Kalaulah kita mau bercermin, kita seharusnya bisa belajar dari kearifan masyarakat
lokal dalam mengelola sumber daya alamnya. Masyarakat, tak terkecuali masyarakat Melayu
Riau yang umumnya tinggal di kawasan pesisir. Umumnya, kearifan lokal yang berlaku dalam
keseharian mereka merupakan pesan-pesan budaya yang diwujudkan dan diekspresikan melalui
upacara tradisional, seloka-seloka, tabu-tabu dan tradisi lainnya.
Sebagai ilustrasi bagaimana masyarakat Melayu menjaga lautnya bisa dilihat dari posisi rumah
yang mereka tempati beranak-pinak selalu menghadap ke laut. Dalam artian, bagi mereka laut
sebenarnya bukanlah bagian belakang rumah mereka yang seringkali diartikan sebagai bagian
atau tempat pembuangan sampah. Laut bagi masyarakat Melayu Riau adalah masa depan dan
tantangan yang membuat mereka harus selalu berpikir untuk menaklukkannya.
Di sisi lain, pemahaman tentang kearifan dalam mengelola sumber daya alam bagi
masyarakat Melayu dipengaruhi oleh unsur budaya. Umumnya masyarakat Melayu Riau
dipengaruhi unsur-unsur kebudayaan Hindu, Budha serta Islam yang sangat dominan hingga
sekarang. Arus migrasi dari berbagai pelosok negeri dan "tangan terbuka" budaya Melayu
merupakan alasan mengapa perpaduan kebudayaan itu terjadi. Namun tetap saja budaya lokal
yaitu budaya Melayu serta agama Islam menjadi ciri utama masyarakat Melayu Riau ,oleh
sebab pengaruh agama di atas, kearifan yang mereka genggam seringkali berawal dari
kepercayaan terhadap kekuatan gaib ataupun ruh halus. Masyarakat Melayu begitu akrab
dengan berbagai pantang larang apabila berhubungan dengan alam. Masyarakat Melayu masih
meyakini adanya kekuatan gaib di luar diri mereka. Para ruh atau makhluk halus biasanya
menetap pada tempat tertentu, seperti pohon-pohon besar, puncak bukit, muara sungai, laut dan
tempat-tempat lain yang disebut penunggu atau puake dengan nama hantu, peri, jin, dan lain-
lain. Dengan kata lain apabila diusik/diganggu keberadaannya, maka dia akan marah dan yang
dapat membahayakan manusia.
Masyarakat Melayu di Senayang Lingga, misalnya. Mereka dalam berhabituasi dengan
alam mempunyai pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar. Pantang membuang PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 47
sampah di laut. Kalau membuang sampah di laut, alamat ribut akan turun. Ini bermaksud agar
laut tidak tercemar oleh sampah. Apabila berjumpa ular di laut, tidak boleh memberikan
komentar. Bila membunuh, alamat hari ribut. Ini bermaksud agar manusia jangan membunuh
ular laut, karena jenis ini termasuk binatang langka. Pantang menyumbat lubang ketam, alamat
susah buang air. Ini dimaksudkan agar ketam yang ada di dalam lubang tersebut jangan sampai
mati lemas.
b. Suku Akit
Sukubangsa Akit berdiam di pulau Rupat, sebuah pulau di wilayah propinsi Riau. Pada
masa lampau kegiatan hidup mereka lebih banyak dilakukan di perairan laut dan muara-muara
sungai. Mereka mendirikan rumah di atas rakit-rakit yang mudah di pindahkan dan satu tepian
ke tepian lain. Daerah mereka termasuk ke dalam kepenghuluan Hutan Panjang, kecamatan
Rupat, kabupaten Bengkalis. Jumlah populasinya sekitar 3.500 jiwa.
Menurut cerita orang tua-tua mereka, nenek moyang orang Akit berasal dan salah satu
anak suku Kit yang menghuni daratan Asia Belakang. Karena suatu alasan mereka
mengembara ke selatan, melewati Semenanjung Malaka. Keadaan telah memaksa mereka
mengenal gelombang dan asinnya air laut, tetapi juga kebebasan bergerak di atas rakit dan
sampan. Dengan demikian mereka telah mulai mengembangkan kehidupan adaptif di perairan
kepulauan Riau.
Orang Akit menggantungkan kehidupannya kepada kegiatan berburu, menangkap ikan
dan mengolah sagu. Mereka berburu babi hutan, kijang atau kancil dengan menggunakan
sumpit bertombak, panah, dan kadangkala pakai perangkap. Teman setia mereka untuk
perburuan macam itu adalah anjing.
Orang Akit memiliki adat kebiasaan bersunat yang sebenarnya sudah jauh sebelum
agama Islam masuk. Prinsip garis keturunan mereka cenderung patrilineal. Selesai upacara
perkawinan seorang isteri segera dibawa oleh suaminya ke rumah mereka yang baru, atau
menumpang sementara di rumah orang tua suami. Pemimpin otoriter boleh dikatakan tidak
kenal dalam masyarakat sederhana mi, tetapi karena pengaruh kesultanan Siak masa dulu
sukubangsa Akit mengenal juga pemimpin kelompok yang disebut batin. Orang Akit dikenal
pemberani dan berbahaya sekali dengan senjata sumpit beracunnya. Sehingga mereka diajak
bekerja sama memerangi Belanda yang pada zaman itu sering menangkapi orang Akit untuk
dijadikan budak. Mereka menyebut orang Melayu sebagai orang selam, maksudnya Islam.
Sistem kepercayaan aslinya berorientasi kepada pemujaan roh nenek moyang. Pada masa
sekarang sebagian orang Akit sudah memeluk agama Budha, terutama lewat perkawinan
perempuan mereka dengan laki-laki keturunan Tionghoa.PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 48
c. Suku Sakai
Mestinya kita juga harus belajar dari suku Sakai bagaimana mereka memperlakukan
alamnya. Komunitas masyarakat adat ini mendiami daerah hutan dan sepanjang aliran sungai.
Tepatnya di daerah Duri. Bagi masyarakat sakai, hutan dan sungai adalah rentak nadi yang
menyatu dalam kehidupan yang mereka hadapi. Oleh sebab rasa kebersatuannya dengan alam,
Sakai kaya dengan kearifan-kearifan dalam berhubungan dengan lingkungannya.Hal ini bisa
dilihat dari cara mereka mengelola hutan. Bagi masyarakat Sakai, hutan adalah sebuah detak
nadi kehidupan yang mengandung unsur magis dan penuh arti bagi kehidupan mereka.
Kebersatuan dengan alam adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Budaya inilah yang
sangat melekat erat dan sangat sulit untuk dipisahkan dari setiap unsur kehidupan mereka. Oleh
karena berartinya hutan bagi mereka, orang Sakai juga telah mengelola hutan sedemikian rupa,
agar rantai kehidupan yang mereka jalani tetap berlanjut. Oleh sebab itu masyarakat Sakai telah
membagi hutan tanah menjadi tiga bagian; tanah peladangan (tanah pekarangan dan rumah),
rimba kepungan sialang dan rimba simpanan. Ketiga bagian kawasan ini pemakaiannya
diawasi oleh Batin (Kepala Suku). Setiap suku mempunyai tanah ulayatnya masing-masing
berupa tanah peladangan dan rimba kepungan sialang. Sedangkan rimba simpanan dipunyai
secara bersama. Maka tiap warga memakai tanah peladangan secara hak pakai. Bila warga atau
keluarga tidak memakainya lagi, maka Batin dapat menyerahkannya kepada warga lain yang
memerlukannya.Sementara rimba kepungan Sialang merupakan gugus-gugus hutan yang
membatasi beberapa tanah peladangan. Rimba ini, di samping sebagai tempat lebah bersarang,
juga menjadi semacam penyekat antar tiap ladang sekaligus berfungsi sebagai penahan erosi
dan untuk penghutanan kembali ladang itu setelah ditinggalkan buat sementara. Sebab mereka
berladang dengan sistem tebang bakar sehingga akhirnya kembali lagi kepada ladang
pertama.Bukankah Sakai atau masyarakat lokal lainnya memerlukan alam dalam memenuhi
keperluannya. Tapi mengapa mereka lebih arif daripada masyarakat modern yang seringkali
mengaku mempunyai peradaban maju
3. KESIMPULAN
Di Indonesia orang Melayu dikenal sebagai salah satu sukubangsa yang cukup besar
peranan dan sumbangan dalam pengembangan kebudayaan nasional. Ciri paling mendasar
bagi identitas kesukubangsaan Melayu pada masa sekarang adalah:
1. Bahasanya yang mendasari bahasa nasional Indonesia,
2. Memeluk agama Islam, dan
3. Kebudayaan yang cenderung terbuka terhadap pembaharuan.PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 49
Setelah islam masuk dan berkembang, maka hampir semua unsur kebudayaan yang
mentradisi sebelumnya ( animisme, dinamisme, hindu dan budha ) diislamkan sehingga pada
gilirannya nafas dan ajaran agama islam terasa lebih dominant didalam kebudayaan Melayu.
Unsur-unsur budaya yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama islam dihilangkan
meskipn tak sepenuhnya berhasil. Sisa-sisa budaya lama itu masih terasa melekat sampai
sekarang. Di dalam adat istiadat misalnya, dominasi islam itu dibakukan dengan motto “ adat
bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Ungkapan ini menyampaikan, bahwa adat
istiadat yang berlaku didalam masyarakat Melayu Riau adalah adat yang serasi dan tidak
bertentangan dengan ajaran agama islam.
Bagi orang melayu Riau, lingkungan hidup itu disebut hutan tanah, artinya bahwa
lingkungan itu bukan hanya tanahnya saja tetapi meliputi hutan dan seluruh sumber daya yang
harus dilestarikan. Hutan sangat berharga bagi masyarakat melayu karena kandungan sumber
daya alam di dalamnya. Pada masyarakat Melayu mengenal pembagian tanah yang terdiri dari
tiga bagian yakni tanah perladangan, rimba larangan, rimba simpanan (ulayat) dan rimba
kepungan sialang. Pembagian tersebut merupakan salah satu upaya menjaga kelestarian
alam(hutan).
Kalaulah kita mau bercermin, kita seharusnya bisa belajar dari kearifan masyarakat
lokal dalam mengelola sumber daya alamnya. Masyarakat, tak terkecuali masyarakat Melayu
Riau yang umumnya tinggal di kawasan pesisir. Umumnya, kearifan lokal yang berlaku dalam
keseharian mereka merupakan pesan-pesan budaya yang diwujudkan dan diekspresikan melalui
upacara tradisional, seloka-seloka, tabu-tabu dan tradisi lainnya.
Sebagai ilustrasi bagaimana masyarakat Melayu menjaga lautnya bisa dilihat dari posisi
rumah yang mereka tempati beranak-pinak selalu menghadap ke laut. Dalam artian, bagi
mereka laut sebenarnya bukanlah bagian belakang rumah mereka yang seringkali diartikan
sebagai bagian atau tempat pembuangan sampah. Laut bagi masyarakat Melayu Riau adalah
masa depan dan tantangan yang membuat mereka harus selalu berpikir untuk menaklukkannya.
Mestinya kita juga harus belajar dari suku Sakai bagaimana mereka memperlakukan
alamnya. Bagi masyarakat sakai, hutan dan sungai adalah rentak nadi yang menyatu dalam
kehidupan yang mereka hadapi. Oleh sebab rasa kebersatuannya dengan alam, Sakai kaya
dengan kearifan-kearifan dalam berhubungan hutan. Bukankah Sakai atau masyarakat lokal
lainnya memerlukan alam dalam memenuhi keperluannya. Tapi mengapa mereka lebih arif
daripada masyarakat modern yang seringkali mengaku mempunyai peradaban maju.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 50
DAFTAR PUSTAKA
Allport, Gordon W., The Nature of Prejudice, Boston, Beacon Press, 1951.
Allport, Gordon W., "The Problem of Prejudice", Racial and Ethnic Relations - Selected
Readings, Bernard E.Segal (ed.), New York, Thomas Y.Crowell Company, 1954,
Hlm.5-53.
Arimbi HP (1997 ).Penghancuran Secara Sistematis Sistem-sistem Adat oleh Kelompok
dominant. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Friends of the Earth
(FoE) Indonesia
Anonim ( 2003) Matrik Sosial Budaya Masyarakat kampong Hutan terhadap Lingkungan
hidup Indonesia Media
Anonim (2001) .Visi Riau 2020, Pusat Kebudayaan Melayu . Dinas Pariwita Propinsi Riau.
Blalock, Hurbert M., Toward a Theory of Minority Group Relations, John Willey and Sons
Inc., New York, 1967.
Bierstedt, Robert; The Social Order, (3rd ed.) Mc Graw-Hill, New York 1968;
Broom, Leonard, and Phillip Selznick; Sociology : A text with Adapted Readings. (4th ed.)
Harper & Row. New York 1968;
Cohen, Abner (ed.), Urban Ethnicity, Tavistock Publications, London-New York, 1974.
Geertz, Clifford, "The Inrtegrative Revolution: Primordial Sentiment and Civil Politics in the
New States", Old Societies and New States, C.Geertz (ed.), New York, The Free
Press, 1965, Hlm.105-107.
Gordon, Milton M., Assimilation in American Life, Oxford University Press, New York, 1964.
Green, Arnold W.; Sosiology : An Analysis of Life in Modern Society. (5th ed). Mc Graw-
Hill. New York. 1968;
Harun Daud(1998).Sejarah Melayu: Satu Kajian Daripada Aspek Pensejarahan Budaya,
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.
Herkovits, Melville J., Acculturation: The Study of Culture Contact, New York, Peter Smith,
1958.
Koentjaraningrat (ed.), Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan,
LP3ES, Jakarta, 1982.
Linton, Ralp (ed.), The Science of Man in the World Crisis, New York, Columbia University
Press, 1945.
Martin, James G and Clyde W.Franklin, Minority Group Relations, Charles E. Merrill
Publishing Company, Ohio, 1973.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 51
Merrill, Francis E. : Society and Culture : An Introduction to Sociology. (4th ed.) PrenticeHaal.
Englewood Cliffs, New York. 1969;
Rusdi Idar ( 1990). Mengibarkan panji-panji budi, daya dan karsa.Dinas Pariwita Propinsi
Riau
Schermerhorn,R.A., Comparative Ethnic Relations: A Framework of Theory and Research,
Random House, New York, 1970.
Shibutani T., Kian M.Kwan, Ethnic Stratification: A Comparative Approach, The MacMillan
Company, London, 1969.
Toit, Brian M.du (ed.), Ethnicity in Modern Africa, Westview Press, Colorado, 1978.
Wirth, Louis, "The Problem of Minority Groups", The Science of Man in the World Crisis,
R.Linton (ed.), New York, Columbia University Press, 1945, Hlm.347-372.
http://www.riauposonline.com/site/index2.php?option=content&task=view&id=988
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 52