kegagalan pemerintah mengelola potret kekalahan suatu ... filegaris pantai negara kesatuan republik...

1
”S EGALA perairan di sekeliling dan di antara pulau- pulau di Indo- nesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaula- tan Indonesia.” Demikian inti dari Deklarasi Djuanda yang dicanangkan pada 13 Desember 1957. Ini me- rupakan terobosan besar dari Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Ir Djuanda Kar- tawidjaja dalam upaya meng- integrasikan seluruh wilayah kepulauan dan laut yang men- jadi wilayah teritorial Indone- sia. Wilayah perbatasan dan garis pantai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi jelas di mata hukum internasional dan makin ber- tambah luas. Secara geopolitis dan ekono- mis seharusnya pencapaian yang dirintis oleh para pen- dahulu kita melalui Deklarasi Djuanda dapat dirawat dan dikembangkan demi kemajuan bangsa. Problemnya, saat Republik ini memasuki usia ke-65 tahun, kondisi wilayah perbatasan laut dan darat tidak sebagus yang dibayangkan saat De- klarasi Djuanda itu diikrarkan dan menjadi hukum positif bagi kepentingan NKRI dan dunia internasional. Kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan, sengketa perairan Ambalat, hilangnya pulau- pulau di selat Malaka akibat pengerukan pasir yang dijual ke Singapura, diterabasnya patok perbatasan RI-Malaysia, dan masalah penduduk pulau terluar yang lebih memilih mencari hidup dari pihak luar merupakan potret kegagalan pemerintah RI mengelola per- batasan. Padahal, bicara per- batasan negara adalah bicara soal kedaulatan bangsa. Saat Orde Baru berkuasa, pendekatan soal perbatasan masih terbatas soal pertahanan dan diplomasi tentang tapal batas antarnegara. Ketika mulai muncul fenomena pencaplokan pulau, illegal fishing, ketergan- tungan ekonomi pada negara tetangga, sumber daya yang minim, setiap instansi peme- rintah mulai melirik daerah perbatasan. Sayangnya, setiap instansi seperti berjalan sendiri- sendiri. Hingga akhirnya, pe- merintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mener- bitkan Peraturan Presiden No 12/2010 pada 28 Januari 2010 tentang Badan Nasional Penge- lola Perbatasan (BNPP). Tugas BNPP ini membuat kebijakan program pembangunan per- batasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengoor- dinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelo- laan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. BNPP ini dipimpin Men- teri Dalam Negeri dan men- goordinasi 14 instansi lainnya termasuk gubernur seluruh provinsi di Indonesia. Apakah lembaga ini sudah mampu membuat desain pembangunan perbatasan NKRI yang me- nyejahterakan rakyat? Simak pemaparan berikut ini. Bagi pengamat pemerin- tahan Sadu Wasistiono, hilang- nya pulau-pulau RI di daerah perbatasan menunjukkan pe- merintah Indonesia lebih meng- andalkan catatan sejarah masa lalu sebagai kelanjutan sejarah Hindia Belanda, sedangkan Malaysia lebih konkret dengan melakukan okupasi di kedua wilayah tersebut. Sejalan dengan pengalaman tersebut, menurut dosen IPDN itu, telah dilakukan perubahan pendekatan terhadap wilayah perbatasan dengan mengu- bah paradigma. Wilayah per- batasan semula dipandang se- bagai daerah belakang negara sehingga kurang diperhatikan dalam segala segi. Sedangkan paradigma baru menempatkan 46 | SENIN, 16 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Fokus M ASYARAKAT di pulau-pulau terdepan Indonesia rata-rata sudah sadar menggunakan teknologi komunikasi dan informasi. Bagi mereka, telepon seluler (ponsel) bukanlah barang aneh. Hanya saja sinyalnya harus dikejar dulu, barulah ponsel itu bisa jadi barang berguna. “Bahkan, kadang harus menyeberang 2 hingga 5 jam ke pulau lain untuk mendapatkan sinyal itu,” ujar salah satu anggota tim ekspedisi Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung (Wanadri), Prasidi Widya Sarjana, saat ditemui Media Indonesia di Jakarta, pekan lalu. Di beberapa pulau, lanjutnya, warung telekomunikasi (wartel) telepon satelit sebetulnya sudah tersedia. “Tapi, itu tidak cukup,” timpalnya. Sejatinya, jaringan telekomunikasi menjadi salah satu ukuran tumbuh kembangnya kondisi ekonomi maupun sosial di sebuah negara. Jika terjadi ancaman dan gangguan keamanan serta pertahanan negara, komunikasi akan menjadi sangat mudah dengan adanya sinyal yang kuat. Coba bayangkan jika terjadi sebuah bencana yang melanda pulau- pulau itu. Bagaimana bala bantuan datang dengan cepat, kalau minim informasi. Kebutuhan itu benar-benar dirasakan oleh Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Indonesia-Timor Leste (STPPIT) Markas Besar Letnan Kolonel Arman Dahlan. Saat ini ia mengawasi 38 pos pengamanan di sepanjang hampir 300 kilometer garis perbatasan kedua negara. Dia memberi ilustrasi, jika sedang melakukan peninjauan lapangan di satu pos pengamanan, ponselnya akan menangkap sinyal dari Timor Telecom, perusahaan telekomunikasi Timor Leste yang sebagian besar pengelolaannya dioperasikan Australia. “Tarifnya luar biasa mahal. Terima dan kirim SMS (pesan singkat) saja bisa Rp10.000 sekali kirim untuk pesan maksimal 160 karakter. Kalau menelepon atau menerima, bisa Rp60.000 semenit, sementara tunjangan kami sangat terbatas,” katanya di Kupang, Nusa Tenggara Timur, belum lama ini. Hal itu, katanya, sangat membebani operasionalisasi pengamanan satuan tugas yang kini dia pimpin. Anak buahnya sering harus menahan hasrat berkomunikasi dengan sejawat dan keluarga karena terbentur biaya yang sangat tinggi itu. Menurut dia, keadaan topografis pos-pos pengamanan banyak yang terpencil dan jauh dari permukiman penduduk. “Jangankan menara sinyal telekomunikasi, aliran listrik dan air bersih saja sulit didapat di bagian-bagian itu.” Untuk menyiasati keadaan yang tidak menguntungkan itu, para prajurit di sana akhirnya mempunyai tambahan tugas baru, yakni mencari titik-titik yang bisa menangkap sinyal telekomunikasi hingga ke bukit. “Jadi anggota yang ingin berkomunikasi bisa meminta izin komandan pos untuk mendatangi ‘bukit sinyal’ itu dan berbicara sesuai keperluannya. Itu juga tidak boleh lama-lama dan harus bergantian sehingga tugas patroli bisa tetap berjalan baik,” tuturnya. Tanpa penjaga Di sisi lain, ketua tim ekspedisi Wanadri, Irwanto Iskandar, yang mengunjungi 92 pulau terdepan beberapa waktu lalu, mengemukakan bahwa tidak setiap pulau dijaga. Temuan tim ekspedisi Wanadri, dari 92 pulau hanya 31 saja yang berpenghuni. Sisanya, sebanyak 61 pulau, kosong tanpa ada yang menjaga. Salah satu wilayah yang mendapat penjagaan cukup ketat adalah Nunukan, Kalimantan Timur, yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Di tempat itu, TNI Angkatan Laut (AL) memiliki sekitar 90 pasukan, yang penempatannya disebar di pos-pos Sebatik dan Nunukan. Menurut Letkol Rachmat Jayadi, Komandan Pangkalan Angkatan Laut Pulau Nunukan, pascaperselisihan Indonesia dengan Malaysia di area Ambalat, Panglima TNI meminta agar area perairan di Karang Wenarang tidak boleh kosong. “Kota Nunukan sebenarnya sudah bagus, lampunya banyak. Tapi kalau malam, tetap gelap gulita seperti kuburan karena listrik tidak merata. Sekitar 60% saja yang dapat, 40% nya, terutama bagian jalan raya, tetap saja gelap.” Wanadri mengusulkan agar pemerintah mengembangkan energi alternatif seperti energi air, surya, atau angin. Terluar bukan berarti harus terlupakan, dong? (*/Ant/P-4) Mengejar Sinyal Sampai ke Bukit Kegagalan pemerintah mengelola daerah perbatasan adalah potret kekalahan suatu bangsa mempertahankan kedaulatannya. Maria Jeanindya SENJA TAPAL NUSAN FOKUS NUSANTARA BACA RABU! Tema: Potensi Sebangau yang terus Digerogoti KEINDAHAN PULAU TERLUAR: Sejumlah perahu motor berjajar di Dermaga Binalawan Mantikas, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan Kaltim, beberapa wak

Upload: vantu

Post on 10-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kegagalan pemerintah mengelola potret kekalahan suatu ... filegaris pantai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi jelas di mata hukum internasional dan makin ber- ... menggunakan

”SEGALA perairan di sekeliling dan di antara pulau-pulau di Indo-

nesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaula-tan Indonesia.”

Demikian inti dari Deklarasi Djuanda yang dicanangkan pada 13 Desember 1957. Ini me-rupakan terobosan besar dari Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Ir Djuanda Kar-tawidjaja dalam upaya meng-integrasikan seluruh wilayah kepulauan dan laut yang men-jadi wilayah teritorial Indone-sia. Wilayah perbatasan dan garis pantai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi jelas di mata hukum internasional dan makin ber-tambah luas.

Secara geopolitis dan ekono-mis seharusnya pencapaian yang dirintis oleh para pen-dahulu kita melalui Deklarasi Djuanda dapat dirawat dan dikembangkan demi kemajuan bangsa.

Problemnya, saat Republik ini memasuki usia ke-65 tahun, kondisi wilayah perbatasan laut dan darat tidak sebagus yang dibayangkan saat De-klarasi Djuanda itu diikrarkan dan menjadi hukum positif bagi kepentingan NKRI dan dunia internasional.

Kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan, sengketa perairan Ambalat, hilangnya pulau-pulau di selat Malaka akibat pengerukan pasir yang dijual ke Singapura, diterabasnya patok perbatasan RI-Malaysia, dan masalah penduduk pulau terluar yang lebih memilih mencari hidup dari pihak luar merupakan potret kegagalan pemerintah RI mengelola per-batasan. Padahal, bicara per-batasan negara adalah bicara soal kedaulatan bangsa.

Saat Orde Baru berkuasa, pendekatan soal perbatasan

masih terbatas soal pertahanan dan diplomasi tentang tapal batas antarnegara. Ketika mulai muncul fenomena pencaplokan pulau, illegal fishing, ketergan-tungan ekonomi pada negara tetangga, sumber daya yang minim, setiap instansi peme-rintah mulai melirik daerah perbatasan. Sayangnya, setiap instansi seperti berjalan sendiri-sendiri.

Hingga akhirnya, pe-merintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mener-bitkan Peraturan Presiden No 12/2010 pada 28 Januari 2010 tentang Badan Nasional Penge-lola Perbatasan (BNPP). Tugas BNPP ini membuat kebijakan program pembangunan per-batasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengoor-dinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelo-laan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan.

BNPP ini dipimpin Men-teri Dalam Negeri dan men-goordinasi 14 instansi lainnya termasuk gubernur seluruh provinsi di Indonesia. Apakah lembaga ini sudah mampu membuat desain pembangunan perbatasan NKRI yang me-nyejahterakan rakyat? Simak pemaparan berikut ini.

Bagi pengamat pemerin-tahan Sadu Wasistiono, hilang-nya pulau-pulau RI di daerah perbatasan menunjukkan pe-merintah Indonesia lebih meng-andalkan catatan sejarah masa lalu sebagai kelanjutan sejarah Hindia Belanda, sedangkan Malaysia lebih konkret dengan melakukan okupasi di kedua wilayah tersebut.

Sejalan dengan pengalaman tersebut, menurut dosen IPDN itu, telah dilakukan perubahan pendekatan terhadap wilayah perbatasan dengan mengu-bah paradigma. Wilayah per-batasan semula dipandang se-bagai daerah belakang negara sehingga kurang diperhatikan dalam segala segi. Sedangkan paradigma baru menempatkan

46 | SENIN, 16 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Fokus Politik & HAM

MASYARAKAT di pulau-pulau terdepan Indonesia

rata-rata sudah sadar menggunakan teknologi komunikasi dan informasi. Bagi mereka, telepon seluler (ponsel) bukanlah barang aneh. Hanya saja sinyalnya harus dikejar dulu, barulah ponsel itu bisa jadi barang berguna.

“Bahkan, kadang harus menyeberang 2 hingga 5 jam ke pulau lain untuk mendapatkan sinyal itu,” ujar salah satu anggota tim ekspedisi Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung (Wanadri), Prasidi Widya Sarjana, saat

ditemui Media Indonesia di Jakarta, pekan lalu.

Di beberapa pulau, lanjutnya, warung telekomunikasi (wartel) telepon satelit sebetulnya sudah tersedia. “Tapi, itu tidak cukup,” timpalnya.

Sejatinya, jaringan telekomunikasi menjadi salah satu ukuran tumbuh kembangnya kondisi ekonomi maupun sosial di sebuah negara.

Jika terjadi ancaman dan gangguan keamanan serta pertahanan negara, komunikasi akan menjadi sangat mudah dengan adanya sinyal yang kuat. Coba bayangkan jika terjadi sebuah

bencana yang melanda pulau-pulau itu. Bagaimana bala bantuan datang dengan cepat, kalau minim informasi.

Kebutuhan itu benar-benar dirasakan oleh Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Indonesia-Timor Leste (STPPIT) Markas Besar Letnan Kolonel Arman Dahlan. Saat ini ia mengawasi 38 pos pengamanan di sepanjang hampir 300 kilometer garis perbatasan kedua negara.

Dia memberi ilustrasi, jika sedang melakukan peninjauan lapangan di satu pos pengamanan, ponselnya akan menangkap sinyal dari Timor Telecom, perusahaan telekomunikasi Timor Leste yang sebagian besar pengelolaannya dioperasikan Australia.

“Tarifnya luar biasa mahal. Terima dan kirim SMS (pesan singkat) saja bisa Rp10.000 sekali kirim untuk pesan maksimal 160 karakter. Kalau menelepon atau menerima, bisa Rp60.000 semenit, sementara tunjangan kami sangat terbatas,” katanya di Kupang, Nusa Tenggara Timur, belum lama ini.

Hal itu, katanya, sangat membebani operasionalisasi pengamanan satuan tugas yang kini dia pimpin. Anak buahnya sering harus menahan hasrat berkomunikasi dengan sejawat dan keluarga karena terbentur biaya yang sangat tinggi itu.

Menurut dia, keadaan topografis pos-pos

pengamanan banyak yang terpencil dan jauh dari permukiman penduduk. “Jangankan menara sinyal telekomunikasi, aliran listrik dan air bersih saja sulit didapat di bagian-bagian itu.”

Untuk menyiasati keadaan yang tidak menguntungkan itu, para prajurit di sana akhirnya mempunyai tambahan tugas baru, yakni mencari titik-titik yang bisa menangkap sinyal telekomunikasi hingga ke bukit.

“Jadi anggota yang ingin berkomunikasi bisa meminta izin komandan pos untuk mendatangi ‘bukit sinyal’ itu dan berbicara sesuai keperluannya. Itu juga tidak boleh lama-lama dan harus bergantian sehingga tugas patroli bisa tetap berjalan baik,” tuturnya.

Tanpa penjagaDi sisi lain, ketua tim

ekspedisi Wanadri, Irwanto Iskandar, yang mengunjungi 92 pulau terdepan beberapa waktu lalu, mengemukakan bahwa tidak setiap pulau dijaga. Temuan tim ekspedisi Wanadri, dari 92 pulau hanya 31 saja yang berpenghuni. Sisanya, sebanyak 61 pulau, kosong tanpa ada yang menjaga.

Salah satu wilayah yang mendapat penjagaan cukup ketat adalah Nunukan, Kalimantan Timur, yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Di tempat itu, TNI Angkatan Laut (AL) memiliki sekitar 90 pasukan,

yang penempatannya disebar di pos-pos Sebatik dan Nunukan.

Menurut Letkol Rachmat Jayadi, Komandan Pangkalan Angkatan Laut Pulau Nunukan, pascaperselisihan Indonesia dengan Malaysia di area Ambalat, Panglima TNI

meminta agar area perairan di Karang Wenarang tidak boleh kosong.

“Kota Nunukan sebenarnya sudah bagus, lampunya banyak. Tapi kalau malam, tetap gelap gulita seperti kuburan karena listrik tidak merata. Sekitar 60% saja yang

dapat, 40% nya, terutama bagian jalan raya, tetap saja gelap.”

Wanadri mengusulkan agar pemerintah mengembangkan energi alternatif seperti energi air, surya, atau angin. Terluar bukan berarti harus terlupakan, dong? (*/Ant/P-4)

Mengejar Sinyal Sampai ke Bukit

Kegagalan pemerintah mengelola daerah perbatasan adalah potret kekalahan suatu bangsa mempertahankan kedaulatannya.

Maria JeanindyaSenja Kala

Tapal BaTaS nuSanTara

FOKUSNUSANTARA

BACA RABU!Tema:

Potensi Sebangauyang terus Digerogoti

KEINDAHAN PULAU TERLUAR: Sejumlah perahu motor berjajar di Dermaga Binalawan Mantikas, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan Kaltim, beberapa waktu lalu. Pulau Sebatik, Ambalat, yang merupakan pulau terluar Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia, mempunyai pemandangan laut yang indah.

grAfIS: freDy