analisis kebijakan jkn by rahmat alyakin dachi

61
TUGAS MATA KULIAH ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN ANALISIS KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DISUSUN OLEH: RAHMAT ALYAKIN DAKHI NIM. 148111002 PROGRAM DOKTOR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014

Upload: nugroho-sulistyanto

Post on 02-Sep-2015

61 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

Analisa jaminan kesehatan nasional

TRANSCRIPT

  • TUGAS MATA KULIAH ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN

    ANALISIS KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

    (JKN)

    DISUSUN OLEH:

    RAHMAT ALYAKIN DAKHI NIM. 148111002

    PROGRAM DOKTOR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

    2014

  • DAFTAR ISI

    BAB I : PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang 1.2. Pilar Pendekatan Kesejahteraan Penduduk 1.3. Tujuan Analisis Kebijakan

    BAB II : ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN

    2.1. Kebijakan Kesehatan 2.2. Bentuk dan Proses Kebijakan 2.3. Teori Analisis Easton

    BAB III : PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

    1.1. Input 1.2. Proses 1.3. Output 1.4. Feed Back

    BAB IV : KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

    4.1. Legalitas dan Landasan Filosofi 4.2. Prinsip dan Esensi 4.3. Pilar

    BAB V : ANALISIS TEORITIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) BAB VI : JAMINAN SOSIAL DI BERBAGAI NEGARA

    6.1. Pengantar 6.2. Konsep Badan Penyelnggara 6.3. Sistem Jaminan Sosial di Delapan Negara

    BAB VII : P E N U T U P

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.5. Latar Belakang

    Kesehatan adalah salah satu hak azasi manusia sehingga kesehatan

    merupakan kewajiban pemerintah kepada warga negaranya terutama terhadap

    warga negara yang kurang memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang

    bermutu karena pengaruh ketidakmampuan secara ekonomi. Pada tahun 2000,

    untuk pertama kalinya kata-kata kesehatan tercantum dalam UUD 1945 pada

    pasal 28H yang merupakan hasil amandemen tahun 2000 setiap penduduk

    berhak atas pelayanan kesehatan. Hal ini tentu saja merupakan jaminan hak-hak

    kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan deklarasi Hak Asasi

    Manusia oleh PBB pada tahun 1947.

    Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan selama ini telah

    mengalami kemajuan yang cukup berarti bagi peningkatan derajat kesehatan

    masyarakat Indonesia. Walaupun demikian, jika dibandingkan dengan status

    kesehatan penduduk negara-negara tetangga misalnya maka status kesehatan

    penduduk Indonesia masih jauh tertinggal yang ditunjukkan dengan masih

    tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI)

    dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Laporan World Health

    Organization (WHO) tahun 2000 menunjukkan bahwa angka kematian bayi di

    Indonesia pada tahun 1998 masih 48 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian

    bayi tersebut jauh lebih tinggi dari angka kematian bayi di Muangtai (29), Filipina

    (36), Srilanka (18) dan Malaysia (11). Berbagai studi, termasuk yang dilaporkan

    dalam World Health Report 2000, menunjukkan bahwa rendahnya angka

    kematian bayi dan kinerja sistem kesehatan lainnya mempunyai korelasi yang

    kuat dengan pembiayaan kesehatan. Laporan WHO tersebut menempatkan

    kinerja sistem kesehatan Indonesia pada urutan ke-92, yang jauh lebih rendah

    dari kinerja sistem kesehatan negara tetangga seperti Malaysia (urutan ke 49),

    Muangtai (urutan ke 47) dan Filipina (urutan ke 60). Secara rata-rata, laporan

    tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan Indonesia menurut nilai

    tukar yang berlaku pada tahun 1997 adalah US$ 18 per kapita per tahun.

  • Sementara negara-negara tetangga seperti Filipina, Malaysia dan Muangtai sudah

    menghabiskan berturut-turut sebesar US$ 40, US$ 110, dan US$ 133.

    Pengeluaran kesehatan perkapita Indonesia tidak sampai separuh dari yang

    dikeluarkan masyarakat Filipina tahun 1997, sedangkan pendapatan per kapita

    Filipina tahun 2001 sebesar US$ 1.069 tidak lebih dari dua kali lipat dari PDB per

    kapita Indonesia yaitu US$ 670 (WHO, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

    investasi Indonesia memang jauh lebih rendah dari tingkat investasi negara

    tetangga tersebut, sehingga dapat dimaklumi jika tingkat kesehatan Indonesia

    juga jauh di bawah. Pengeluaran kesehatan Indonesia yang rendah tersebut, baik

    yang bersumber dari masyarakat maupun yang bersumber dari pemerintah,

    diduga tidak mengalami kenaikan berarti selama ini. Banyak laporan

    menyampaikan bahwa pemerintah mempunyai kontribusi sebesar 20-30% dari

    pembiayaan kesehatan secara keseluruhan. Sementara pembiayaan kesehatan

    oleh sektor swasta, yang pada umumnya merupakan pengeluaran yang

    dibayarkan langsung dari kantong sebdiri (out of pocket) kepada pemberi

    pelayanan kesehatan (PPK) mencapai 60%-70% (Depkes, 2002). Tingginya

    pengeluaran out of pocket ini bersifat regresif, yakni semakin berat dirasakan oleh

    mereka yang berpendapatan rendah dibandingkan dengan mereka yang

    berpendapatan tinggi. Sistem pembiayaan yang regresif ini dikenal sebagai sistem

    pembiayaan yang tidak adil (unfair) dalam konsep equity egalitarian karena justru

    memberatkan penduduk golongan bawah. Penelitian yang dilakukan Thabrany

    dan Pujiyanto (2000) menunjukkan bahwa penduduk 10% terkaya mempunyai

    akses rawat inap di rumah sakit yang 12 kali lebih besar dari penduduk 10%

    termiskin. Keadaan ini sudah berlangsung lebih dari satu dekade dan tanpa upaya

    yang sistematik dan serius, kesenjangan tersebut akan terus berlangsung. Untuk

    melihat tingkat keadilan pembiayaan ini, WHO mengembangkan indeks keadilan

    pembiayaan kesehatan (fairness in health care financing). Dalam indeks inilah

    Indonesia berada jauh di bawah negara-negara tetangga yang memang telah

    memiliki infrastruktur pembiayaan kesehatan yang jauh lebih baik. Berbagai

    Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan (inequity) dapat diperkecil

    dengan memperbesar porsi pembiayaan publik atau asuransi kesehatan publik.

    Sayangnya, cakupan asuransi kesehatan yang sustainable di Indonesia masih

    rendah yaitu berkisar pada 16% penduduk (Thabrany, 2002).

  • Kebutuhan biaya pelayanan kesehatan cenderung terus mengalami kenaikan

    sehingga kemampuan daya beli kesehatan masyarakat cenderung menurun. Hal

    ini menyebabkan jika jatuh sakit penghasilannya akan habis untuk biaya

    kesehatan dan terampas kesejahteraan minimum. Untuk itulah, diperlukan sistem

    yang menjamin kesehatan masyarakat miskin pada khususnya dan seluruh

    masyarakat pada ummnya. Melalui jaminan kesehatan masyarakat keterbatasan

    khususnya akses dan kemampuan membayar akan dapat berkurang sehingga

    status kesehatan akan meningkat (Mukti, 2009).

    Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan,

    sejak tahun 1998 pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan

    kesehatan penduduk miskin. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998,

    menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang sangat mahal. Hal ini menyebabkan

    warga miskin mengalami kesulitan untuk mengakses kesehatan. Program Jaring

    Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) merupakan program terobosan

    dari pemerintah untuk menolong rakyat miskin dari kesakitan. Pada tahun 2005

    pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin diselenggarakan dalam mekanisme

    asuransi kesehatan yang dikenal dengan Program Asuransi Kesehatan bagi

    Masyarakat Miskin (Askeskin). Atas pertimbangan pengendalian biaya kesehatan,

    peningkatan mutu, transparansi dan akuntabilitas dilakukan perubahan

    mekanisme pada tahun 2008 yang dikenal dengan Jaminan Kesehatan

    Masyarakat (Jamkesmas).

    Selanjutnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan

    Sosial Nasional merupakan kebijakan baru di bidang jaminan sosial di Indonesia

    yang bertujuan untuk menggantikan program-program jaminan sosial yang ada

    sebelumnya seperti ASKES, JAMSOSTEK, TASPEN, DAN ASABRI dan

    mencakup seluruh penduduk. Sebagai program baru tentu saja diperlukan analisis

    yang baik agar pada tataran impelementasinya tujuan yang diharapkan dapat

    tercapai secara optimal yang pada gilirannya akan meningkatnya kesejahteraan

    penduduk termasuk di bidang kesehatan melalu Jaminan Kesehatan Nasional

    (JKN).

  • 1.6. Pilar Pendekatan Kesejahteraan Penduduk

    Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk sehubungan dengan

    JKN, sedikitnya terdapat tiga-pilar pendekatan yang saling melengkapi namun

    berbeda pola penyelenggaraannya, yaitu :

    1) Menggunakan mekanisme bantuan sosial (social assistance) kepada

    penduduk yang kurang mampu untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang

    dibutuhkan. Pembiayaan dapat bersumber dari Anggaran Negara dan / atau

    dari Masyarakat. Mekanisme bantuan sosial ini biasanya diberikan kepada

    keluarga miskin dan tidak mampu yaitu masyarakat yang benar-benar

    membutuhkan pelayanan kesehatan namun secara finansial tidak memiliki

    kemampuan untuk itu. Di lain pihak, Pemerintah berkewajiban mendorong

    meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan

    guna memenuhi kesejahteraannya dengan menumbuhkan iklim yang baik dan

    berkembang, antara lain dengan memberi insentif untuk dapat diintegrasikan

    dalam sistem jaminan sosial nasional.

    2) Menggunakan mekanisme jaminan/asuransi sosial yang bersifat wajib atau

    compulsory insurance, yang dibiayai dari kontribusi atau iuran yang dibayarkan

    oleh peserta. Dengan kewajiban menjadi peserta, sistem ini dapat

    terselenggara secara luas bagi seluruh rakyat dan terjamin kesinambungannya

    dan profesionalisme penyelenggaraannya. Dalam hal peserta adalah tenaga

    kerja di sektor formal, iuran dibayarkan oleh setiap tenaga kerja atau pemberi

    kerja atau secara bersama-sama sebesar prosentase tertentu dari upah.

    Mekanisme jaminan/asuransi sosial merupakan tulang punggung pendanaan

    jaminan sosial di hampir semua negara. Mekanisme ini merupakan upaya

    negara untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal penduduk dengan

    mengikut-sertakan mereka secara aktif melalui pembayaran iuran. Besar iuran

    dikaitkan dengan tingkat pendapatan atau upah masyarakat (biasanya

    prosentase tertentu yang tidak memberatkan peserta) untuk menjamin bahwa

    semua peserta mampu mengiur. Kepesertaan wajib merupakan solusi dari

    ketidak-mampuan penduduk melihat risiko masa depan dan ketidak-disiplinan

    penduduk menabung untuk masa depan. Dengan demikian sistem jaminan

    sosial juga mendidik masyarakat untuk merencanakan masa depan. Karena

    sifat kepesertaan yang wajib, pengelolaan dana jaminan sosial dilakukan

  • sebesar-besarnya untuk meningkatkan perlindungan sosial ekonomi bagi

    peserta. Karena sifatnya yang wajib, maka jaminan sosial ini harus diatur oleh

    UU tersendiri. Di berbagai negara yang telah menerapkan sistem jaminan

    sosial dengan baik, perluasan cakupan peserta dilakukan secara bertahap

    sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat dan pemerintah serta

    kesiapan penyelenggaraannya. Tahapan biasanya dimulai dari tenaga kerja di

    sektor formal (tenaga kerja yang mengikatkan diri dalam hubungan kerja),

    selanjutnya diperluas kepada tenaga kerja di sektor informal, untuk kemudian

    mencapai tahapan cakupan seluruh penduduk. Upaya penyelenggaraan

    jaminan sosial sekaligus kepada seluruh penduduk akan berakhir pada

    kegagalan karena kemampuan pendanaan dan manajemen memerlukan

    akumulasi kemampuan dan pengalaman. Kelompok penduduk yang selama ini

    hanya menerima bantuan sosial, umumnya penduduk miskin, dapat menjadi

    peserta program jaminan sosial, dimana sebagian atau seluruh iuran bagi

    dirinya dibayarkan oleh pemerintah. Secara bertahap bantuan ini dikurangi

    untuk menurunkan ketergantungan kepada bantuan pemerintah. Untuk itu

    pemerintah perlu memperhatikan perluasan kesempatan kerja dalam rangka

    mengurangi bantuan pemerintah membiayai iuran bagi penduduk yang tidak

    mampu.

    3) Menggunakan mekanisme asuransi sukarela (voluntary insurance) atau

    mekanisme tabungan sukarela yang iurannya atau preminya dibayar oleh

    peserta (atau bersama pemberi kerja) sesuai dengan tingkat risikonya dan

    keinginannya. Pilar ketiga ini adalah jenis asuransi yang sifatnya komersial,

    dan sebagai tambahan setelah yang bersangkutan menjadi peserta asuransi

    sosial. Penyelenggaraan asuransi sukarela dikelola secara komersial dan

    diatur dengan UU Asuransi.

    Kebijakan JKN sesuai Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem

    Jaminan Sosial Nasional mengintegrasikan ketiga pilar tersebut di atas dimana

    mekanisme bantuan sosial (social assistance) oleh negara diberlakukan bagi

    penduduk yang kurang mampu, seluruh penduduk pada saatnya nanti akan

    menjadi peserta JKN karena kepesertaan JKN adalah wajib bagi seluruh

    penduduk Indonesia (compulsory insurance) yang dilakukan secara bertahap dan

    JKN juga menggunakan mekanisme asuransi sukarela (voluntary insurance)

  • dalam hal besarnya iuran atau premi yang dibayar oleh peserta (atau bersama

    pemberi kerja) sesuai dengan tingkat risikonya dan keinginannya.

    1.7. Tujuan Analisis Kebijakan

    Analisis kebijakan JKN ini bertujuan untuk:

    a. Mendapatkan pemahaman proses kebijakan JKN yang dikembangkan dan

    diimplementasikan.

    b. Mengetahui tujuan dan motivasi di balik adanya kebijakan JKN.

    c. Memahami area-area yang potensial untuk diintervensi dalam proses

    kebijakan JKN. Dalam hal ini untuk mendapatkan efek pemantapan dalam

    pengembangan kebijakan dan proses implementasi JKN.

  • BAB II

    ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN

    2.1. Kebijakan Kesehatan

    Kebijakan secara sederhana dapat didefenisikan sebagai suatu proses atau

    serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan

    oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu

    demi kepentingan seluruh rakyat. Menurut UU No. 36, tahun 2009 tentang

    Kesehatan disebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,

    mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup

    produktif secara sosial dan ekonomis. Oleh sebab itu Kebijakan Kesehatan dapat

    didefenisikan sebagai proses tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau

    tidak dilaksanakan pemerintah yang mempunyai tujuan tercapainya keadaan

    sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan

    seluruh rakyat untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

    Kebijakan JKN merupakan suatu kebijakan yang ditetapkan dan

    dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tercapainya keadaan sehat

    sebagaimana defenisi kesehatan di atas dengan aspek intervensi pada

    pembiayaan pelayanan kesehatan khususnya jaminan pelayanan kesehatan. Oleh

    sebab itu JKN merupakan salah satu bentuk Kebijakan Kesehatan.

    Sebagai suatu kebijakan kesehatan, kebijakan JKN memiliki karakteristik

    sebagai berikut:

    1. Bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui

    penyediaan jaminan pelayanan kesehatan

    2. Merupakan kebijakan yang berisi tindakan atau pola tindakan pemerintah di

    bidang kesehatan

    3. Merupakan kebijakan yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah bersama

    aparaturnya terutama organisasi pelayanan kesehatan.

    4. Bersifat posistif dalam arti bahwa JKN dilakukan semata-mata untuk memberi

    manfaat bagi seluruh penduduk untuk memperoleh hak yang sama dalam

    pelayanan kesehatan.

    5. Kebijakan JKN didasarkan pada peraturan atau perundang-undangan yang

    bersifat mengikat.

  • 2.2. Bentuk dan Proses Kebijakan

    Ada banyak bentuk kebijakan publik yang pernah dikemukakan oleh para

    ahli, namun secara umum bentuk kebijakan publik dapat dibedakan atas:

    1) BENTUK KEBIJAKAN PUBLIK yang TERKODIFIKASI, yaitu kebijakan dalam

    bentuk tertulis seperti: Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti

    Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan

    Pemerintah

    2) BENTUK KEBIJAKAN PUBLIK yang tidak TERKODIFIKASI berupa

    pernyataan-pernyataan lisan pejabat publik dengan mengatasnamakan

    lembaga yang dipimpinnya.

    Dalam hal ini, kebijakan JKN termasuk dalam kategori bentuk kebijakan publik

    yang terkodifikasi karena kebijakan tersebut tertuang dalam Undang Nomor 40

    Tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditindaklanjuti

    dengan ditetapkannya Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun

    2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Peraturan Pemerintah

    Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran

    Jaminan Kesehatan, Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang

    Jaminan Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 71 Tahun 2013

    tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.

    Secara sederhana, proses kebijakan dimulai dari adanya isu kebijakan yang

    kemudian dilanjutkan dengan penyusunan kebijakan untuk kemudian

    diimplementasikan sebagaimana pada gambar berikut:

  • Proses tersebut dapat lebih diperinci sebagaimana pada gambar berikut:

    Selain itu, menurut Smith proses kebijakan dapat juga digambarkan sebagai

    berikut:

  • Berdasarkan hal tersebut di atas, secara umum ada beberapa langkah dalam

    proses kebijakan JKN sebagai berikut:

    1) Agenda setting / agenda kebijakan, yaitu proses agar masalah

    ketidakmampuan ekonomi penduduk memperoleh pelayanan kesehatan dan

    keadilan dalam hal memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu telah

    mendapat perhatian pemerintah, terbangunnya persepsi yang sama di

    kalangan stakeholders, tersusunnya batasan masalah, memoblisasi dukungan

    agar masalah tadi masuk pada agenda pemerintah.

    2) Policy formulation / perumusan kebijakan, yaitu proses perumusan pilihan-

    pilihan kebijakan oleh pemerintah dalam penyelesaian masalah

    ketidakmampuan ekonomi penduduk memperoleh pelayanan kesehatan dan

    keadilan dalam hal memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu .

    3) Decision making / penetapan kebijakan, yaitu proses memilih alternatif terbaik

    sehubungan dengan kriteria yang harus dipenuhi guna menyelesaikan

    masalah ketidakmampuan ekonomi penduduk memperoleh pelayanan

    kesehatan dan keadilan dalam hal memperoleh pelayanan kesehatan yang

    bermutu

  • 4) Policy implementation / pelaksanaan kebijakan, yaitu proses pelaksanaan JKN,

    siapa yang melaksanakan program JKN, strategi JKN, dan isi kebijakan JKN

    yang ditetapkan.

    5) Policy evaluation / evaluasi kebijakan, yaitu proses memonitor dan menilai

    hasil atau kinerja kebijakan JKN apakah sesuai dengan output, outcome dan

    impact yang diharapkan.

    Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut::

    Analisis terhadap kebijakan JKN dapat juga dilakukan dengan menggunakan

    pendekatan sistem yang terdiri dari input, proses, output dan feedback. Dalam hal

    implementasinya, beberapa faktor yang perlu dianalisis adalah sebagaimana yang

    digambarkan oleh William Dunn sebagai berikut:

  • 2.3. Teori Analisis Easton

    Secara konteks keilmuan, Easton menghendaki adanya suatu teori umum

    yang mampu mengakomodasi bervariasinya lembaga, fungsi, dan karakteristik

    sistem politik untuk kemudian merangkum keseluruhannya dalam satu penjelasan

    umum. Proses kerja sistem politik dari awal, proses, akhir, dan kembali lagi ke

    awal harus mampu dijelaskan oleh satu kamera yang mampu merekam seluruh

    proses tersebut. Layaknya pandangan fungsionalis atas sistem, Easton

    menghendaki analisis yang dilakukan atas suatu struktur tidak dilepaskan dari

    fungsi yang dijalankan struktur lain. Easton menghendaki kajian sistem politik

    bersifat menyeluruh, bukan parsial.

    Easton juga memandang sistem politik tidak dapat lepas dari konteksnya.

    Sebab itu pengamatan atas suatu sistem politik harus mempertimbangkan

    pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan ini disistematisasi ke dalam dua jenis

    data, psikologis dan situasional. Kendati masih abstrak, Easton sudah

    mengantisipasi pentingnya data di level individu. Namun, level ini lebih

    dimaksudkan pada tingkatan unit-unit sosial dalam masyarakat ketimbang perilaku

    warganegara sebagaimana dalam pendekatan behavioralisme. Easton

    menekankan pada motif politik saat suatu entitas masyarakat melakukan kegiatan

    di dalam sistem politik. Menarik pula dari Easton ini yaitu antisipasinya atas

    pengaruh lingkungan anorganik seperti lokasi geografis ataupun topografi wilayah

    yang ia anggap punya pengaruh tersendiri atas sistem politik, selain tentunya

    lingkungan sistem sosial (masyarakat) yang terdapat di dalam ataupun di luar

  • sistem politik. Easton juga menghendaki dilihatnya penempatan nilai dalam

    kondisi disequilibriun (tidak seimbang). Ketidakseimbangan inilah yang merupakan

    bahan bakar sehingga sistem politik dapat selalu bekerja.

    Dengan keempat asumsi di atas, Easton paling tidak ingin membangun suatu

    penjelasan atas sistem politik yang jelas tahapan-tahapannya. Konsep-konsep

    apa saja yang harus dikaji dalam upaya menjelaskan fenomena sistem politik,

    lembaga-lembaga apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk

    pengalokasian nilai di tengah masyarakat, merupakan pertanyaan-pertanyaan

    dasar dari kerangka pikir ini.

    Easton mengidentifikasi empat atribut yang perlu diperhatikan dalam setiap

    kajian sistem politik, yang terdiri atas:

    1. Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik

    Sama dengan dengan paradigma fungsionalisme, dalam kerangka kerja

    sistem politik pun terdapat unit-unit yang satu sama lain saling berkaitan dan

    saling bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja sistem politik. Unit-unit ini

    adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem

    politik seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat

    sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam batasan sistem politik,

    misalnya dalam cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan

    sejenisnya.

    2. Input-output

    Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input

    yang masuk dari masyarakat ke dalam sistem politik dapat berupa tuntutan

    dan dukungan. Tuntutan secara sederhana dapat disebut seperangkat

    kepentingan yang alokasinya belum merata atas ejumlah unit masyarakat

    dalam sistem politik. Dukungan secara sederhana adalah upaya masyarakat

    untuk mendukung keberadaan sistem politik agar terus berjalan. Output

    adalah hasil kerja sistem politik yang berasal baik dari tuntutan maupun

    dukungan masyarakat. Output terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan yang

    biasanya dilakukan oleh pemerintah. Keputusan adalah pemilihan satu atau

    beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan atau dukungan yang masuk.

    Sementara itu, tindakan adalah implementasi konkrit pemerintah atas

    keputusan yang dibuat.

  • 3. Diferensiasi dalam sistem

    Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi (pembedaan dan pemisahan)

    kerja. Di masyarakat modern yang rumit tidak mungkin satu lembaga dapat

    menyelesaikan seluruh masalah.

    4. Integrasi dalam sistem

    Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai

    tujuan bersama.

    Hasil pemikiran tahap pertama Easton adalah sebagai berikut:

    Skema Kerja Sistem Politik Easton

    Pada gambar di atas, Easton memisahkan sistem politik dengan masyarakat

    secara keseluruhan oleh sebab bagi Easton sistem politik adalah suatu sistem

    yang berupaya mengalokasikan nilai-nilai di tengah masyarakat secara otoritatif.

    Alokasi nilai hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan

    yang legitimate (otoritatif) di mata warganegara dan konstitusi. Suatu sistem politik

    bekerja untuk menghasilkan suatu keputusan (decision) dan tindakan (action)

    yang disebut kebijakan (policy) guna mengalokasikan nilai.

    Unit-unit dalam sistem politik menurut Easton adalah tindakan politik (political

    actions) yaitu kondisi seperti pembuatan UU, pengawasan DPR terhadap

    Presiden, tuntutan elemen masyarakat terhadap pemerintah, dan sejenisnya.

  • Dalam awal kerjanya, sistem politik memperoleh masukan dari unit input.

    Input adalah pemberi makan sistem politik. Input terdiri atas dua jenis: tuntutan

    dan dukungan. Tuntutan dapat muncul baik dalam sistem politik maupun dari

    lingkungan intrasocietal maupun extrasocietal. Tuntutan ini dapat berkenaan

    dengan barang dan pelayanan (misalnya pelayanan kesehatan), berkenaan

    dengan regulasi, ataupun berkenaan dengan partisipasi dalam sistem politik.

    Tuntutan yang sudah terstimulasi kemudian menjadi garapan aktor-aktor di

    dalam sistem politik yang bersiap untuk menentukan masalah yang penting untuk

    didiskusikan melalui saluran-saluran yang ada di dalam sistem politik. Di sisi lain,

    dukungan (support) merupakan tindakan atau orientasi untuk melestarikan

    ataupun menolak sistem politik. Jadi, secara sederhana dapat disebutkan bahwa

    dukungan memiliki dua corak yaitu positif (forwarding) dan negatif (rejecting)

    kinerja sebuah sistem politik.

    Setelah tuntutan dan dukungan diproses di dalam sistem politik, keluarannya

    disebut sebagai output, yang menurut Easton berkisar pada dua entitas yaitu

    keputusan (decision) dan tindakan (action). Output ini pada kondisi lebih lanjut

    akan memunculkan feedback (umpan balik) baik dari kalangan dalam sistem

    politik maupun lingkungan. Reaksi ini akan diterjemahkan kembali ke dalam

    format tuntutan dan dukungan, dan secara lebih lanjut meneruskan kinerja sistem

    politik. Demikian proses kerja ini berlangsung dalam pola siklis.

  • BAB III

    PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

    Berikut ini adalah proses perumusan kebijakan JKN dengan pendekatan

    menurut teori Easton, yang meliputi input, proses, output, dan feed back.

    3.1. INPUT

    Analisis terhadap input meliputi: demand, resources, dan support

    3.1.1. Demands

    Sistem Kesehatan Indonesia harus memihak rakyat. Saat ini sistem

    pembayaran jasa per pelayanan (fee for service) yang diterapkan

    Indonesia, meskipun pelayanan tersebut disediakan di RS publik. Rakyat

    yang membayar lebih banyak mendapat pelayanan yang lebih banyak atau

    lebih baik mutunya, you get what you pay for. Padahal, di seluruh dunia,

    prinsip keadilan yang merata (setara) atau equity yang digunakan adalah

    equity egalitarian, yang pada prinsipnya menjamin bahwa setiap penduduk

    mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya (you get what

    you need), dan bukan sesuai kemampuannya membayar.

    3.1.2. Resources

    Sumber daya adalah asset yang dimiliki oleh Pemerintah untuk memenuhi

    demand yang telah diajukan. Dalam hal ini sumber daya tersebut adalah

    1) Adanya badan usaha milik negara yang sudah menyelenggarakan

    jaminan sosial terbatas seperti PT Jamsostek, PT. ASABRI, PT.

    ASKES, PT. Taspen sebagai modal infrastruktur awal.

    2) Kemampuan negara dalam hal keuangan dan sumber daya manusia.

    3.1.3. Support

    1) Sistem politik yang kondusif.

    2) Dukungan masyarakat, akademisi, kelompok profesi, partai politik dan

    kelompok kepentingan lain

    3) Institusi pengembangan SDM kesehatan, mencakup pendidikan,

    pelatihan, dan penelitian.

  • 4) Insitusi Pemberi Layanan Kesehatan mulai dari layanan dasar sampai

    rujukan.

    3.2. PROSES

    Proses pembuatan JKN adalah sebagai berikut

    3.2.1. Proses Legislasi dan Litigasi

    Proses legislasi dan litigasi terdiri dari:

    1. Riset

    2. Membangun Argumentasi

    3. Membuat Konsep Tanding

    Proses ini akan menghasilkan isi kebijakan (Content of Law)

    1. Riset

    a. Status kesehatan penduduk Indonesia, dan perbandingannya dengan

    negara lain. Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2005

    menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Indonesia masih 46 per

    1.000 kelahiran hidup, sementara di Muangtai 29, Filipina 36, Srilanka

    18, dan Malaysia 11 per 1.000 kelahiran hidup.

    b. Korelasi status kesehatan dengan kinerja sistem kesehatan, khususnya

    pendanaan kesehatan. Anggaran kesehatan seharusnya minimal 5

    persen dari APBN.

    c. Sekitar 10% rumah tangga termiskin harus menghabiskan 230%

    penghasilannya sebulan untuk membiayai sekali rawat inap anggota

    keluarganya. Sementara keluarga 10% terkaya hanya menghabiskan

    120% penghasilan keluarga sebulan untuk membiayai satu kali rawat

    inap anggota keluarganya. Akibatnya akses terhadap pelayanan rumah

    sakit menjadi sangat tidak adil, karena penduduk miskin tidak mampu

    membiayai perawatan.

    d. Sekitar 83% rumah tangga mengalami pembayaran katastropik ketika

    satu anggota rumah tangga membutuhkan rawat inap. Artinya, sebuah

    rumah tangga akan jatuh miskin (sadikin, sakit sedikit jadi miskin),

    karena harus berhutang atau menjual harta benda untuk biaya berobat

    di RS, bahkan di rumah sakit publik.

  • 2. Membangun Argumentasi

    a. Aspek hukum dan hak asasi manusia, yaitu Deklarasi PBB tentang HAM

    Tahun 1948 dan Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952. Di Indonesia,

    jaminan sosial diamanatkan dalam UUD Tahun 1945 dan perubahannya

    Tahun 2002, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan

    ayat (3), serta pasal 34 ayat (1) dan ayat (2).

    b. Kondisi sistem kesehatan Indonesia yang sangat tidak memihak kepada

    rakyat. Hal ini tercermin dari sistem pembayaran jasa per pelayanan

    (fee for service) yang diterapkan Indonesia, meskipun pelayanan

    tersebut di sediakan di RS publik. Sehingga rakyat Indonesia

    menghadapi ketidak-pastian (uncertainty) dalam memperoleh pelayanan

    kesehatan. Di rumah sakit publik sekalipun, rakyat tidak tahu berapa

    biaya yang harus dibayarnya jika ia atau seorang keluarganya dirawat,

    sampai ia keluar dari rumah sakit. Tidak jarang jika kemudian akhirnya

    rakyat mencari pengobatan tradisional atau tidak berobat karena

    ketiadaan uang, yang berakhir dengan tingginya angka kematian dan

    rendahnya usia harapan hidup.

    c. Sistem kesehatan di Indonesia jauh dari cita-cita keadilan sosial bagi

    seluruh rakyat. Rakyat kecil sangat terbebani dengan sistem kesehatan

    yang diperdagangkan. Rakyat yang membayar lebih banyak mendapat

    pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik mutunya, you get what you

    pay for. Padahal, di seluruh dunia, prinsip keadilan yang merata (setara)

    atau equity yang digunakan adalah equity egalitarian, yang pada

    prinsipnya menjamin bahwa setiap penduduk mendapat pelayanan

    sesuai dengan kebutuhan medisnya (you get what you need), dan

    bukan sesuai kemampuannya membayar.

    d. Berbagai Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan

    (inequity, ketidakadilan / ketidaksetaraan) hanya dapat diperkecil

    dengan memperbesar porsi pendanaan publik, baik melalui APBN (tax

    funded) maupun melalui sistem asuransi kesehatan sosial. Sayangnya,

    pendanaan kesehatan bersumber pemerintah sangat kecil dan cakupan

    asuransi kesehatan yang sustainable di Indonesia masih sangat rendah.

  • e. Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang

    diselenggarakan negara guna menjamin warga negaranya untuk

    memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, sebagaimana dalam

    Deklarasi PBB tentang HAM Tahun 1948 dan Konvensi ILO No. 102

    Tahun 1952. Di Indonesia, jaminan sosial diamanatkan dalam UUD

    Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20,

    Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta pasal 34 ayat (1) dan

    ayat (2).

    3. Membuat Konsep Tanding

    a. Tahun 1990-an, muncul konsep JPKM.

    b. Tahun 2000-an, dikembangkan program Jamkesmas dan Jampersal

    c. Membuat usulan Strategi Pendanaan Jaminan Kesehatan Indonesia

    dalam bentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.

    3.2.2. Proses Politik dan Birokrasi

    Proses politik dan birokrasi terdiri dari:

    a) Lobby, mediasi, kolaborasi, dan hearing

    b) Membangun opini (melalui media massa dan kampanye)

    Proses ini menghasilkan tata laksana hukum (Structure of Law)

    Lobby, mediasi, kolaborasi, dan hearing dilakukan dengan DPR sebagai

    lembaga legislatif. Proses ini berlanjut dengan :

    a. Keluarnya TAP MPR RI No. X/MPR/2001 menugaskan kepada Presiden

    RI untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.

    b. Tap MPR ini direalisasikan dengan dibentuknya Kelompok Kerja Sistem

    Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN) Tahun 2001 oleh Wakil Presiden

    RI (Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001), dengan tugas

    utama menyiapkan Naskah Akademik (NA) SJSN dan konsep

    Rancangan Undang-Undang (RUU) SJSN. Kepseswapres tersebut

    diperbaharui dengan Keppres No. 20 Tahun 2002, tanggal 10 April

    2002, tentang pembentukan Tim SJSN dengan bentuk penugasan yang

    sama.

  • c. Studi banding, lokakarya, pembahasan informal dengan DPR RI,

    sosialisasi, dan masukan dari masyarakat lainnya. Penyusunan NA

    SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan RUU SJSN.

    d. Naskah Akademik SJSN mengalami perubahan dan penyempurnaan

    hingga 8 (delapan) kali dan naskah terakhir dihasilkan tertanggal 26

    Januari 2004.NA SJSN secara lengkap diterbitkan terpisah dan

    selanjutnya dituangkan dalam konsep RUU SJSN. Perkembangan

    pembahasan sejak konsep awal RUU SJSN, 9 Februari 2003, terdiri

    dari 11 (sebelas) bab dan 42 (empat puluh dua) pasal, hingga konsep

    terakhir, 14 Januari 2004, terdiri dari 12 (dua belas) bab dan 74 (tujuh

    puluh empat) pasal, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada

    Pemerintah, setelah mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan

    penyempurnaan.

    e. Kemudian Pemerintah menyerahkan RUU SJSN yang terdiri dari 12

    (dua belas) bab dan 80 (delapan puluh) pasal kepada DPR RI pada

    tanggal 26 Januari 2004.

    f. Selama pembahasan Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI,

    RUU SJSN hingga diterbitkannya UU SJSN telah mengalami 3 (tiga)

    kali perubahan. Sehingga dalam perjalanannya, konsep RUU SJSN

    hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan

    penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut

    secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN

    pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004, terdiri dari 9 bab dan 53 (lima

    puluh tiga) pasal.

    3.2.3. Proses Sosialisasi, Konsultasi dan Mobilisasi

    Proses sosialisasi, konsultasi dan mobilisasi terdiri dari:

    a) Pendidikan politik (kritis) masyarakat

    b) Pengorganisasian yaitu membangun kesepakatan dan mekanisme

    c) Perubahan perilaku

    Proses ini akan menghasilkan budaya hukum (Culture of Law)

    Proses tersebut adalah sebagai berikut:

  • a. Sosialisasi dan pembelajaran politik kepada masyarakat melalui media

    massa

    b. Konsolidasi dengan akademisi, kelompok profesi, pelaku pembiayaan

    kesehatan, dan lain-lain, melalui seminar, lobby dan forum akademis.

    Melalui proses ini diharapkan ada perubahan perilaku dan kesiapan

    masyarakat dan seluruh stakeholder untuk menerima dan

    melaksanakan UU SJSN.

    3.3. OUTPUT

    Setelah melalui proses panjang, akhirnya UU SJSN (Nomor 40/2004)

    diundangkan Presiden Megawati pada hari terakhir beliau berada di Istana.

    3.4. FEED BACK

    Sebagai feed back terhadap kebijakan SJSN dapat diuraikan sebagai

    berikut:

    3.4.1. Uji Materi UU SJSN dan Keputusan Mahkamah Konstitusi RI

    Dalam kurun waktu kurang lebih 4 bulan sejak disahkan, tepatnya 21

    Februari 2005, UU SJSN telah diajukan untuk dilakukan uji materi yang

    keputusannya dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31

    Agustus 2005. Uji materi diajukan oleh beberapa wakil Pemerintah Daerah

    (DPRD Propinsi Jawa Timur, Pengurus Bapel JPKM Propinsi Jawa Timur,

    Pengurus Satpel JPKM Kabupaten Rembang dan Pengurus Perbapel

    JPKM DKI Jakarta) yang berpendapat bahwa hak dan kewenangan

    konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU SJSN.

    Penggugat menyatakan bahwa UU SJSN bertentangan dengan Undang-

    Undang Dasar Negara R.I tahun 1945 dan UU Nomor 32 tahun 2004

    tentang Pemerintahan Daerah serta menyatakan bahwa Pemerintah Pusat

    (Departemen Kesehatan) telah menafsirkan UU SJSN secara sepihak

    melalui penerbitan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1241 tahun 2005

    tentang Penugasan PT ASKES sebagai Pengelola Program Jaminan

    Kesehatan Masyarakat Miskin.

  • Permasalahan tersebut diajukan ke Mahakamah Konstitusi, dan pada

    tanggal 31 Agustus 2005 Mahkamah Konstitusi dalam sidang pleno terbuka

    untuk umum telah mengucapkan putusan terhadap perkara nomor

    007/PUU-III/2005 yaitu perkara pengujian Undang- Undang Nomor 40

    Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional khususnya Pasal 5

    ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) serta pasal 52 terhadap Undang-Undang

    Dasar Negara RI Tahun 1945.

    Amar Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut selengkapnya sebagai

    berikut:

    1. Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang

    Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2004

    Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4456)

    bertentangan dengan UUD Negara RI 1945;

    2. Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang

    Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara RI Tahun 2004

    Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4456) tidak

    mempunyai kekuatan hukum mengikat;

    3. Menolak permohonan Pemohon terhadap Pasal 5 ayat (1) dan pasal 52;

    4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara

    sebagaimana mestinya;

    5. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan menurut

    Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004, wajib dimuat

    dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kerja sejak putusan

    diucapkan.

    Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian:

    1. Permohonan pengujian terhadap Pasal 5 ayat (3) dikabulkan dengan

    pertimbangan hukum bahwa apabila keberadaan Pasal 5 ayat (3)

    tersebut dipertahankan akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian

    hukum, karena materinya sudah tertampung dalam Pasal 52.

    2. Pasal 5 ayat (2) walaupun tidak dimohonkan dalam petitum namun ayat

    ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari ayat (3)

    sehingga jika dipertahankan juga akan menimbulkan multitafsir dan

    ketidakpastian hukum sebagaimana Pasal 5 ayat (3). Pasal 5 ayat (2)

  • dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 sangat berpeluang

    menimbulkan multi interpretasi, karena terdapat rumusan yang saling

    bertentangan dengan ayat lain yang bermuara pada ketidakpastian

    hukum, karena itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-

    Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

    3. Permohonan pengujian terhadap Pasal 5 ayat (4) dikabulkan dengan

    pertimbangan hukum bahwa Pasal 5 ayat (4) menutup peluang bagi

    Pemerintah Daerah untuk membentuk dan mengembangkan badan

    penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah dalam kerangka sistem

    jaminan sosial nasional.

    Menolak permohonan pemohon untuk sebagian, yaitu menolak

    permohonan pengujian terhadap Pasal 5 ayat (1) dengan pertimbangan

    bahwa pasal tersebut cukup memenuhi kebutuhan pembentukan badan

    penyelenggara Jaminan Sosial Nasional di tingkat pusat dan tidak

    bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

    Pengujian terhadap pasal 52 juga ditolak dengan alasan untuk mengisi

    kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum.

    Pengaruh Mahkamah Konstitusi terhadap pelaksanaan UU SJSN adalah

    tidak signifikan. UU SJSN telah memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD

    RI 1945 karena sistem yang dipilih mencakup seluruh rakyat dengan

    maksud untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan

    tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Lebih lanjut

    ditegaskan bahwa dengan sendirinya UU SJSN merupakan penegasan

    kewajiban Negara atas Jaminan Sosial sebagai bagian dari hak asasi

    manusia, sebagaimana dimaksud Pasal 28 H ayat (3) UUD Negara RI

    1945.

    3.4.2. Potensi Kelemahan UU SJSN

    Selain hal tersebut di atas, ada beberapa potensi kelemahan UU SJSN

    sebagai berikut:

    a. Undang-Undang SJSN mengharuskan adanya undang-undang lain

    mengenai Badan Pelaksana Jaminan Sosial, yang sampai saat ini

    belum juga disahkan. Padahal ketentuan peralihan pada undang-

  • undang ini memberi waktu hanya lima tahun sejak ditetapkan tanggal 19

    Oktober 2004, yang berarti sudah melewati batas yang ditentukan sejak

    Oktober 2009.

    b. Kurangnya political will Pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah

    karena Undang- Undang SJSN disahkan oleh Ibu Megawati di hari-hari

    akhir periode kepresidenan. Undang-Undang (UU) semacam ini sering

    disebut sebagai Midnight Laws. Dapat dipahami bahwa periode

    kepresidenen berikutnya kurang merasa memiliki (ownership) UU SJSN.

    c. Undang-Undang SJSN tidak bicara banyak mengenai tradisi di sektor

    kesehatan, termasuk peran para dokter. Masalah apakah para dokter

    akan kekurangan income apabila menjalankan UU SJSN tidak dibahas.

    Kenyataannya memang sudah terjadi. Model UU SJSN seperti

    Jamkesmas memberikan insentif rendah dibanding dengan pembayaran

    out of pocket. Undang-Undang SJSN tidak bicara banyak mengenai

    bagaimana meratakan pelayanan kesehatan ke berbagai tempat, juga

    mengenai tradisi masyarakat Indonesia yang tidak kenal risiko dan lain-

    lain.

    d. Undang-Undang SJSN mencakup kesehatan dan berbagai aspek

    kesejahteraan dalam hubungan pengusaha dengan buruh. Aspek ini

    sangat politis. Berbagai kepentingan dan ideologi yang saling

    bertentangan dapat terjadi.

    e. Dari isi Undang-Undang SJSN, pada segi kepesertaan ada beberapa

    hal yang kurang jelas, karena semua yang akan diikutkan dalam

    program ini harus membayar iuran. Iuran ditanggung oleh pemberi

    kerja. Bagaimanakah dengan buruh kontrakan, petani, nelayan dan self

    employee lainnya?

    f. Batasan untuk fakir miskin yang kurang jelas, dikhawatirkan ini akan

    menjadi masalah dikarenakan tidak ada parameter yang baku.

    Kemudian untuk fakir miskin yang iurannya ditanggung oleh pemerintah

    hanya menanggung sampai anggota keluarga kelima, selebihnya kepala

    keluarga harus menambah sendiri iurannya.

    g. Jika melihat produknya, SJSN ini banyak kemiripan dengan sistem

    asuransi multiguna dimana ada bagian proteksi dan bagian

  • investasinya. Bagian proteksi sudah dibahas sebelumnya. Bagian

    investasi disini jika berhasil dilakukan akan bisa digunakan untuk

    pembayaran dana pensiun anggota jika mereka sudah tidak bekerja.

    Masalah investasi merupakan daerah yang berbahaya. Kalau tidak hati

    hati dapat menimbulkan kecurigaan terjadinya tindakan korupsi, kalau

    memang mau dilaksanakan harus dengan akuntabilitas yang baik dan

    transparansi laporan, setiap bulan anggota harus mendapatkan laporan

    pengembangan hasil investasinya.

  • BAB IV

    KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

    4.1. Legalitas dan Landasan Filosofi

    Kebijakan JKN merupakan program negara yang bertujuan memberikan

    kepastian perlindungan dan kesehatan bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan

    tujuan tersebut dibentuklah badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum

    berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian,

    akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil

    pengelolaan dana jaminan kesehatan seluruhnya untuk pengembangan program

    kesehatan dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

    Program JKN merupakan salah satu program dalam Sistem Jaminan Sosial

    Nasional yaitu sebuah sistem Jaminan Sosial yang diberlakukan di Indonesia.

    Jaminan sosial ini adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang

    diselenggarakan oleh negara Republik Indonesia guna menjamin warga

    negaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak. Sebagaimana

    dalam deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan konvensi ILO No.102 tahun

    1952. Legalitas dan Landasan Filosofi SJSN sebagaimana pada gambar berikut:

  • UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN menggantikan program-program

    jaminan sosial yang ada sebelumnya (Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri)

    yang dinilai kurang berhasil memberikan manfaat yang berarti kepada

    penggunanya, karena jumlah pesertanya belum mencakup seluruh penduduk,

    jumlah nilai manfaat program kurang memadai, dan kurang baiknya tata kelola

    manajemen program tersebut.

    Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional

    (SJSN) telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang- Undang Republik

    Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,

    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang

    Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Peraturan Presiden RI Nomor 12

    Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan RI

  • Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan

    Nasional.

    Program jaminan sosial selama ini hanya mencakup sekitar 72% penduduk

    Indonesia yang dapat dilihat pada gambar berikut ini:

    Oleh sebab itu program JKN diharapkan dapat mencakup seluruh rakyat

    Indonesia dan ditujukan untuk memberikan manfaat pelayanan kesehatan yang

    cukup komprehensif, mulai dari pelayanan preventif seperti imunisasi dan

    Keluarga Berencana (KB) hingga pelayanan penyakit katastropik seperti penyakit

    jantung dan gagal ginjal. Baik institusi pelayanan kesehatan pemerintah maupun

    swasta dapat memberikan pelayanan untuk program tersebut selama mereka

    menandatangani sebuah kontrak kerja sama dengan pemerintah.

    4.2. Prinsip dan Esensi

    Dalam pelaksanaannya, ada 9 (sembilan) prinsip JKN yang dapat diuraikan

    sebagai berikut:

    1. Kegotongroyongan adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam

    menanggung beban biaya jaminan sosial yang diwujudkan dengan kewajiban

    setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingakat gaji, upah atau tingkat

    penghasilannya.

  • 2. Nirlaba adalah prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan

    hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya dari

    seluruh peserta.

    3. Keterbukaan adalah prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap,

    benar, dan jelas bagi setiap peserta.

    4. Kehati-hatian adalah prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan

    tertib.

    5. Akuntabilitas adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan

    yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

    6. Portabilitas adalah prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun

    peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara

    Kesatuan Republik Indonesia.

    7. Kepersertaan bersifat Wajib adalah prinsip mengharuskan seluruh penduduk

    menjadi peserta jaminan sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.

    8. Dana Amanat adalah bahwa iuran dan hasil pengembangannya merupakan

    dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan

    peserta jaminan sosial.

    9. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk

    pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta

    adalah hasil berupa deviden dan pemegang saham yang dikembalikan untuk

    kepentingan peserta jaminan sosial.

    Fungsi pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah adalah

    sebagai regulator dan fasilitator sehingga penyelenggaraan JKN menjadi

    kewenangan BPJS, yang mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan

    sistem jaminan sosial yang didanai sendiri oleh masyarakat bukan merupakan

    kewenangan pemerintah pusat dan tidak juga menjadi kewenangan pemerintah

    daerah. Oleh karena kewenangan BPJS begitu menentukan dalam memberikan

    kepastian jaminan sebagaimana mengacu pada amanat pasal 28-h dan pasal 34

    UUD 1945, maka penyelenggaraannya secara teori di luar kapasitas BUMN

    Persero yang tunduk dengan UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas dalam

    artian tanggung jawab pemerintah sebagai pemegang saham menjadi terbatas.

    Kemudian penyelenggaraan sistem jaminan sosial terikat dengan kaidah yang

    berlaku universal, yaitu pemusatan resiko (pooling of risk) untuk penyebaran

  • resiko melalui subsidi silang dalam program, antar kepesertaan dan antar

    generasi yang terbesar di berbagai daerah. Managing social security is based on

    pooling of risk. For what? For the redistribution of income and that is why social

    security shall becentrally managed by quasi independent body. Selanjutnya prinsip

    jaminan sosial yang hakiki adalah gotong royong, maka dalam pembayaran

    manfaat berlaku model anggaran (pay-as-you-go). Karena itu diperlukan

    pendanaan bersama antara perusahaan, tenaga kerja dan pemerintah.

    Pemerintah perlu menyiapkan anggaran jaminan sosial untuk mengantisipasi

    timbulnya krisis ekonomi seperti peristiwa PHK sebelum usia pensiun dan wabah

    penyakit.

    Oleh sebab itu terdapat 5 (lima) esensi dari JKN, yaitu :

    a) Konsep JKN merupakan upaya membuat platform yang sama bagi pegawai

    negeri, pegawai swasta, dan pekerja di sektor informal dalam menghadapi

    risiko social ekonomi di masa depan. Undang-undang SJSN mengatur agar

    setiap penduduk memiliki jaminan hari tua atau pensiun, termasuk sewaktu

  • menderita disability ataupun jaminan bagi ahli waris jika seseorang pencari

    nafkah meninggal dunia

    b) Dalam konsep JKN mengubah status badan hukum Badan Penyelenggara

    yang ada sekarang, PT. Taspen, PT. Asabri, PT. Askes, dan PT. Jamsostek,

    menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak bertujuan

    mencari laba untuk kas Negara.

    c) JKN memastikan bahwa dana yang terkumpul dari iuran dan hasil

    pengembangannya dikelola hanya untuk kepentingan peserta. Iuran,

    akumulasi iuran, dan hasil pengembangannya adalah dana titipan peserta dan

    bukan penerimaan atau asset badan penyelenggara.

    d) JKN memastikan agar pihak contributor atau pengiur atau tripartite (yaitu

    tenaga kerja, majikan, dan pemerintah) memiliki kendali kebijakan tertinggi

    yang diwujudkan dalam bentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang

    diwakili 2 orang serikat pekerja, 2 orang serikat pemberi pekerja, 5 orang wakil

    pemerintah, dan 6 orang wakil tokoh masyarakat/ahli. Organ DJSN ini akan

    memastikan agar pengelolaan program jaminan social steril dari pengaruh

    politik pemerintah.

    e) Program jaminan harus berskala nasional untuk menjamin portabilitas dan

    seluruh penduduk Indonesia. Jaminan harus portable, hal ini berarti tidak boleh

    hilang ketika berada di luar kota tempat tinggalnya.

    Manfaat program Jaminan sosial tersebut cukup komprehensif, yaitu meliputi

    jaminan hari tua, asuransi kesehatan nasional, jaminan kecelakaan kerja, dan

    jaminan kematian. Program ini akan mencakup seluruh warga negara Indonesia,

    tidak peduli apakah mereka termasuk pekerja sektor formal, sektor informal, atau

    wiraswastawan.

    4.3. Pilar

    Sistem Jaminan Sosial Nasional dibuat sesuai dengan "Paradigma tiga pilar"

    yang direkomendasikan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Pilar-

    pilar itu adalah:

    1. Program bantuan sosial untuk anggota masyarakat yang tidak mempunyai

    sumber keuangan atau akses terhadap pelayanan yang dapat memenuhi

    kebutuhan pokok mereka. Bantuan ini diberikan kepada anggota masyarakat

  • yang terbukti mempunyai kebutuhan mendesak, pada saat terjadi bencana

    alam, konflik sosial, menderita penyakit, atau kehilangan pekerjaan. Dana

    bantuan ini diambil dari APBN dan dari dana masyarakat setempat.

    2. Program asuransi sosial yang bersifat wajib, dibiayai oleh iuran yang ditarik

    dari perusahaan dan pekerja. Iuran yang harus dibayar oleh peserta ditetapkan

    berdasarkan tingkat pendapatan/gaji, dan berdasarkan suatu standar hidup

    minimum yang berlaku di masyarakat.

    3. Asuransi yang ditawarkan oleh sektor swasta secara sukarela, yang dapat

    dibeli oleh peserta apabila mereka ingin mendapat perlindungan sosial lebih

    tinggi daripada jaminan sosial yang mereka peroleh dari iuran program

    asuransi sosial wajib. Iuran untuk program asuransi swasta ini berbeda

    menurut analisis resiko dari setiap peserta.

    Prinsip kepesertaan jaminan sosial bersifat wajib, agar seluruh rakyat

    menjadi peserta sehingga dapat terlindungi (UU No. 40 Tahun 2004 pasal 4 huruf

    g dan penjelasan pasal 4 huruf g).

    Kepesertaan dan iuran antara lain diatur sebagai berikut:

    1. Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya

    sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sesuai

    dengan program jaminan sosial yang diikuti.

    2. Pemerintah secara bertahap mendaftarkan Penerima Bantuan Iuran (PBI)

    sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

    3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) wajib memberikan nomor

    identitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya wajib

    memberikan informasi tentang hak dan kewajiban kepada peserta untuk

    mengikuti ketentuan yang berlaku.

    4. Setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi tentang

    pelaksanaan program jaminan sosial yang diikuti.

    5. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan

    persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.

    6. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, yang menjadi

    kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara

    Jaminan Sosial (BPJS) secara berkala.

  • 7. Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu

    dibayar oleh Pemerintah. Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud

    pada ayat 4 dibayar oleh pemerintah untuk program jaminan kesehatan.

    Besar iuran dan bentuk iuran menurut jenis peserta, dapat dilihat pada tabel

    berikut:

  • BAB V

    ANALISIS TEORITIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

    Setelah kebijakan JKN ditetapkan, komponen yang perlu dianalisis

    berikutnya adalah implementasi JKN itu sendiri. Mazmanian dan Sabatier cit.

    Wahab (2002), menggambarkan hubungan antara variabel implementasi

    sebagaimana gambar berikut ini:

    Berdasarkan gambar di atas, maka analisis terhadap kebijakan JKN dapat

    dilakukan dengan pendekatan penelitian korelasional antara variabel bebas dan

    variabel terikat.

    Variabel bebasnya adalah:

  • 1) Mudah tidaknya masalah JKN dikendalikan, dengan sub variabel:

    a. Kesukaran-kesukaran teknis dalam implementasi JKN baik pada tahap

    perencanaan, pelaksanaan maupun pada tahap pemantauan dan

    pengendalian.

    b. Keragaman perilaku masyarakat terutama kelompok masyarakat miskin

    dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan sehubungan ketersediaan

    jaminan kesehatan. Di Kabupaten Nias Selatan sebagai contoh, sejak

    diberlakukannya Jaminan Kesehatan daerah (Jamkesda) maka euforia

    pelayanan kesehatan gratis menyebabkan tingginya angka kunjungan

    Puskesmas dan rujukan ke berbagai Rumah Sakit walaupun secara indikasi

    medis tidak memerlukan rujukan ke Rumah Sakit di luar Pulau Nias

    misalnya.

    c. Prosentase kelompok sasaran terutama masyarakat miskin dibandingkan

    dengan jumlah penduduk secara keseluruhan apakah signifikan atau hanya

    sekedar program populis atau program pro rakyat

    d. Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan. Pengalaman

    penerapan Jamkesmas di Kabupaten Nias Selatan justru perubahan

    perilaku yang terjadi bertentangan dengan nilai-nilai kesehatan karena

    jaminan kesehatan yang tersedia memberikan disinsentif program preventif

    karena masyarakat tidak lagi berusaha untuk tidak menjadi sakit sebab

    telah tersedia biaya untuk memperoleh pelayanan kesehatan dari

    pemerintah. Perubahan perilaku yang lain adalah adanya kecenderungan

    masyarakat untuk dimanjakan dan melahirkan disinsentif kemandirian

    masyarakat termasuk dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

    2) Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, dengan

    sub variabel:

    a. Kejelasan dan konsistensi tujuan JKN

    b. Digunakannya teori kausal yang memadai yang dapat dipertanggung

    jawabkan secara ilmiah.

    c. Ketepatan alokasi sumber dana JKN baik yang bersumber APBN maupun

    APBD atau sumber-sumber lainnya

    d. Keterpaduan hierarkhi dalam dan di antara lembaga pelaksana JKN

    terutama antara Pemerintah, BPJS dan organisasi pelayanan kesehatan

  • e. Aturan-aturan keputusan dari BPJS termasuk dalam hal penetapan tarif

    dengan pendekatan DRGs yang sampai saat ini masih banyak ditentang

    oleh Rumah Sakit swasta terutama para tenaga medis. Demikian juga

    mekanisme dan jenis penyakit yang dibiayai melalui JKN secara struktural

    dan kultural masih mengalami kesimpangsiuran.

    f. Rekruitmen pejabat pelaksana

    g. Akses formal pihak luar terutama akademisi, LSM, mass media, dan pihak-

    pihak lain yang memiliki concern terhadap program JKN

    3) Variabel di luar impelementasi yang mempengaruhi proses implementasi,

    dengan sub variabel:

    a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan teknologi yang digunakan

    b. Dukungan publik

    c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok-kelompok

    d. Dukungan dari pejabat atasan

    e. Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana

    Variabel terikat / tergantung dalam teori analisis impelementasi ini adalah

    tahap-tahap dalam proses implementasi, yaitu:

    1) Output kebijakan badan-badan pelaksana, seperti BPJS, Departemen

    Kesehatan dan Pemerintah Daerah

    2) Kesediaan masyarakat mematuhi kebijakan JKN

    3) Dampak nyata output kebijakan JKN

    4) Dampak output kebijakan JKN sebagai dipersepsi

    5) Perbaikan mendasar dalam peraturan perundang-undangan bidang jaminan

    sosial.

    Selain itu, Grenn dan Thorogood (1998) mengemukakan bahwa keberhasilan

    implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh 2 (dua) variabel besar, yakni isi

    kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of

    implementation).

    Variabel isi kebijakan mencakup, antara lain:

    a. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups diakomodir

    dalam konten kebijakan; individu atau kelompok yang bersentuhan dalam

    implementasi kebijakan mungkin merasa diuntungkan tetapi dapat pula

  • sebaliknya merasa dirugikan. Dengan demikian, yang merasa dirugikan akan

    melakukan perlawanan.

    b. Apa saja jenis manfaat yang diterima oleh target groups; Manfaat yang

    diperoleh bisa secara kolektif maupun masing-masing. Kebijakan yang

    bermanfaat secara kolektif biasanya lebih mudah untuk diimplementasikan.

    c. Sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; Derajat

    perubahan menyangkut perubahan perilaku dari pihak yang memperoleh

    manfaat. Tingkat perubahan perilaku dipengaruhi oleh manfaat kebijakan

    maupun waktu untuk mencapai tujuan kebijakan.

    d. Apakah letak sebuah program sudah tepat; Kedudukan pengambil keputusan

    terkait dengan jabatan organisasi secara struktual.

    e. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan pelaksana implementasinya

    dengan rinci; Keahlian, keaktifan dan tanggung jawab pelaksana program

    menentukan keberhasilan implementasi kebijakan.

    f. Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

    Variabel lingkungan kebijakan mencakup, antara lain:

    a. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para

    pelaku yang terlibat dalam implementasi kebijakan, yaitu implementasi

    kebijakan melibatkan berbagai pelaku dalam suatu proses administrasi

    pengambilan keputusan. Masing-masing pelaku mempunyai posisi dan

    kepentingan khusus yang dapat menyebabkan konflik kepentingan melalui

    strategi yang digunakan.

    b. Bagaimana karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa, yaitu

    interaksi dalam persaingan pelaku memperebutkan sumber daya, tanggapan

    dari pejabat pelaksana dan elit politik dipengaruhi oleh karakteristik dari

    lembaga dan penguasa yang terkait.

    c. Responsivitas (daya tanggap) kelompok sasaran, yaitu bentuk partisipasi

    masyarakat yang berupa sikap mengerti dan mendukung terhadap program

    yang diimplementasikan.

    Dari berbagai variabel di atas, secara empiris ada beberapa permasalahan

    teknis yang muncul dalam hal kebijakan JKN dalam arti bahwa implementasi JKN

    belum sesuai dengan yang diharapkan, antara lain :

    a. Data peserta masih belum akurat

  • b. Sosialisasi yang belum optimal

    c. Masih adanya peserta yang tidak menggunakan kartu ketika berobat

    d. Masih ada peserta JKN yang mengeluarkan biaya

    e. Masih rendahnya mutu pelayanan

  • BAB VI

    JAMINAN SOSIAL DI BERBAGAI NEGARA

    6.1. Pengantar

    Penyelenggaraan Jaminan Sosial merupakan suatu mekanisme universal di

    dalam memelihara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat suatu negara.

    Meskipun prinsip-prinsip universalitasnya sama, yaitu pada umumnya berbasis

    pada mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial, namun dalam

    penyelenggaraanya terdapat variasi yang luas. Variasi program, tingkat manfaat,

    dan tingkat iuran serta badan penyelenggara di berbagai negara tidak dapat

    dihindari karena beragamnya tingkat sosial ekonomi dan budaya penduduk di

    negara tersebut.

    Badan penyelenggara yang bervariasi dari yang langsung dikelola oleh

    pemerintah sampai yang liberal diserahkan kepada swasta. Variasi tersebut tidak

    lepas dari sejarah berkembangnya sebuah sistem jaminan sosial di negara

    tersebut. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kelemahan, oleh

    karenanya berbagai contoh tersebut perlu disajikan disini sebagai rujukan bagi

    penyusunan SJSN.

    Dalam bab ini disajikan secara garis besar badan penyelenggara jaminan

    sosial di beberapa negara dan sistem jaminan sosial di 8 (delapan) negara

    tetangga dan negara maju sebagai perbandingan kebijakan JKN dalam sistem

    SJSN di Indonesia.

    6.2. Konsep Badan Penyelnggara

    Bervariasinya badan penyelenggara jaminan sosial di beberapa negara baik

    yang dikelola langsung oleh pemerintah sampai yang liberal yang diserahkan

    kepada swasta, dapat dilihat pada tiga alternatif konsep jaminan kesehatan di

    bawah ini. Konsep jaminan kesehatan disajikan karena menyangkut kerja sama

    dengan fasilitas kesehatan (health care provider) yang lebih kompleks. Sedangkan

    untuk program jaminan sosial lain yang kurang kompleks dapat digunakan model

    badan penyelenggara yang sama dengan lebih mudah dengan membuang

    komponen fasilitas kesehatan. Ketiga alternatif badan penyelenggara adalah

    sebagai berikut:

  • 2. Konsep alternatif ke dua

  • 3. Konsep alternatif ke tiga

    6.3. Sistem Jaminan Sosial di Delapan Negara

    Di bawah ini disajikan beberapa model sistem jaminan sosial di delapan

    negara terpilih. Model-model di negara tersebut di bawah ini diasumsikan

    merupakan representatif model-model yang sama yang diselenggarakan di

    banyak negara lain. Penyajian model di delapan negara merupakan ringkasan

    bagi pilihan model yang dapat menjadi perbandingan dengan Kebijakan SJSN di

    Indonesia.

    6.3.1. Negara Malaysia

    Sebagai negara persemakmuran, sistem jaminan sosial di Malaysia

    berkembang lebih awal dan lebih pesat dibandingkan dengan perkembangan

    sistem jaminan sosial di negara lain di Asia Tenggara. Pada tahun 1951 Malaysia

    sudah memulai program tabungan wajib pegawai untuk menjamin hari tua

    (employee provident fund, EPF) melalui Ordonansi EPF. Seluruh pegawai swasta

    dan pegawai negeri yang tidak berhak atas pensiun wajib mengikuti program EPF.

  • Ordonansi EPF kemudian diperbaharui menjadi UU EPF pada tahun 1991.

    Pegawai pemerintah mendapatkan pensiun yang merupakan tunjangan karyawan

    pemerintah. Selain itu, Malaysia juga memiliki sistem jaminan kecelakaan kerja

    dan pensiun cacat yang dikelola oleh Social Security Organization (SOCSO). Oleh

    karena pemerintah federal Malaysia bertanggung jawab atas pembiayaan dan

    penyediaan langsung pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk yang relatif

    gratis, maka pelayanan kesehatan tidak masuk dalam program yang dicakup

    sistem jaminan sosial di Malaysia. Dengan sistem pendanaan kesehatan oleh

    negara, tidak ada risiko biaya kesehatan yang berarti bagi semua penduduk

    Malaysia yang sakit ringan maupun berat.

    Sektor informal merupakan sektor yang lebih sulit dimobilisasi. Namun

    demikian, dalam sistem jaminan sosial di Malaysia, sektor informal dapat menjadi

    peserta EPF atau SOCSO secara sukarela. Termasuk sektor informal adalah

    mereka yang bekerja secara mandiri dan pembantu rumah tangga. Karyawan

    asing dan pegawai pemerintah yang sudah punya hak pensiun juga dapat ikut

    program EPF secara sukarela.

    Di dalam penyelenggaraannya, masing-masing program dan kelompok

    penduduk yang dilayani mempunyai satu badan penyelenggara. Program EPF

    dikelola oleh Central Provident Fund (CPF), sebuah badan hukum di bawah

    naungan Kementrian Keuangan. Lembaga ini merupakan lembaga tripartit yang

    terdiri atas wakil pekerja, pemberi kerja, pemerintah, dan profesional. Untuk tugas-

    tugas khusus, seperti investasi, lembaga ini membentuk Panel Investasi.

    Penyelenggaraan pensiun bagi pegawai pemerintah dikelola langsung oleh

    kementrian keuangan karena program tersebut merupakan program tunjangan

    pegawai (employment benefit) dimana pegawai tidak berkontribusi. Program

    jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat dikelola oleh SOCSO yang dalam

    bahasa Malaysia disebut Pertubuhan Keselamatan Sosial (PERKESO).

    Manfaat (benefits) yang menjadi hak peserta terdiri atas: (1) Peserta dapat

    menarik jaminan hari tua berupa dana yang dapat diambil seluruhnya (lump-sum)

    untuk modal usaha, menarik sebagian lump-sum dan sebagian dalam bentuk

    anuitas (sebagai pensiun bulanan), dan menarik hasil pengembangannya saja tiap

    tahun sementara pokok tabungan tetap dikelola CPF. (2) Peserta dapat menarik

    tabungannya ketika mengalami cacat tetap, meninggal dunia (oleh ahli warisnya),

  • atau meninggalkan Malaysia untuk selamanya. (3) Peserta juga dapat menarik

    dananya untuk membeli rumah, ketika mencapai usia 50 tahun, atau memerlukan

    biaya perawatan di luar fasilitas publik yang ditanggung pemerintah. (4) Ahli waris

    peserta berhak mendapatkan uang duka sebesar RM 1.000-30.000, tergantung

    tingkat penghasilan, apabila seorang peserta meninggal dunia.

    Tingkat iuran untuk program EPF, dalam prosentase upah, bertambah dari

    tahun ke tahun seperti disajikan dalam tabel berikut. Jumlah iuran tersebut

    ditingkatkan secara bertahap untuk menyesuaikan dengan tingkat upah dan

    tingkat kemampuan penduduk menabung. Dalam program EPF di Malaysia, sekali

    seseorang mengikuti program tersebut, maka ia harus terus menjadi peserta

    sampai ia memasuki usia pensiun yang kini masih 55 tahun (Kertonegoro, 1998).

    6.3.2. Negara Filipina

    Filipina memulai pengembangan program Jaminan Sosial (JS) sejak tahun

    1948 akan tetapi UU Jaminan Sosialnya (Republic Act 1161) baru disahkan pada

    tahun 1954. Dibutuhkan enam tahun sejak ide awal pengembangan jaminan sosial

    dicetuskan oleh Presiden Manuel A. Roxas di tahun 1948. Namun demikian, UU

    tersebut ditolak oleh kalangan bisnis Filipina sehingga dilakukan amendemen UU

    tersebut dan diundangkan kembali pada tahun 1957. Barulah UU JS tersebut

    mulai diterapkan untuk pegawai swasta. Pada tahun 1980 beberapa kelompok

  • pekerja sektor informal atau pekerja mandiri mulai diwajibkan mengikuti program

    JS. Kemudian pada tahun 1992 semua pekerja informal yang menerima

    penghasilan lebih dari P1.000 (sekitar Rp 200.000) wajib ikut. Selanjutnya di tahun

    1993 pembantu rumah tangga yang menerima upah lebih dari P1.000 sebulan

    kemudian juga diwajibkan untuk mengikuti program JS. Program JS tersebut

    dikenal dengan Social Security System (SSS). Pada saat ini, SSS mempunyai

    anggota sebanyak 23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50% dari angkatan kerja,

    termasuk diantaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal (Purwanto dan

    Wibisana, 2002). Khusu pegawai negeri, pemerintah Filipina menyelenggarakan

    program tersendiri yang disebut sebagai Government Service Insurance System

    (GSIS) yang dimulai lebih awal yaitu di tahun 1936 dan kini memiliki anggota

    sebanyak 1,4 juta pegawai negeri. Angkatan Bersenjata dan Polisi memiliki sistem

    jaminan sosial tersendiri yang dibiayai dari anggaran pemerintah. Kedua program

    jaminan sosial pegawai pemerintah, termasuk tentara, lebih tepat dikatakan

    sebagai program tunjangan pegawai (employment benefit) dibandingkan sebagai

    program jaminan sosial menurut defisini universal.

    Pada awalnya program jaminan sosial tersebut menyelenggarakan program

    jaminan hari tua (old-age) kematian, cacat, maternitas, kecelakaan kerja dan

    kesehatan. GSIS memberikan berbagai pelayanan ekstra, selain pelayanan

    tersebut, seperti program pemberdayaan ekonomi dan asuransi umum (Purwanto

    & Wibisana, 2002). Namun demikian, di tahun 1995 Pemerintah Filipina

    mengeluarkan Undang-Undang Asuransi Kesehatan National (RA7875) yang

    memisahkan program asuransi kesehatan dari kedua lembaga (SSS dan GSIS)

    menjadi satu dibawah pengelolaan the Philippine Health Insurance Corporation

    (PhilHealth), suatu badan publik yang bersifat nirlaba (SSS, 2001). PhilHealth

    bukanlah suatu badan usaha yang di Indonesia kita kenal sebagai BUMN.

    Manfaat yang diberikan kepada peserta SSS dan GSIS adalah (1) uang tunai

    selama peserta menderita sakit dan tidak bisa bekerja paling sedikit 4 (empat)

    hari, baik dirawat di rumah sakit dan di rumah sendiri. (2) Untuk peserta wanita

    yang hamil, keguguran, atau melahirkan diberikan uang tunai sebesar antara

    P24.000-P31.200 (antara Rp 4,4 juta- Rp 6,2 juta). Manfaat lain (3) yang menjadi

    hak peserta adalah uang tunai yang dibayarkan secara lump-sum atau bulanan

    bagi peserta yang menderita cacat tetap, baik parsial maupun total yang bukan

  • disebabkan oleh kecelakaan kerja. Manfaat selanjutnya (4) adalah jaminan hari

    tua (baik lump-sum maupun pensiun bulanan) ketika memasuki masa pensiun (60

    tahun). Peserta juga berhak mendapatkan jaminan kematian (5) berupa uang

    tunai atau bulanan yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal

    dunia. Dan yang terakhir (6) adalah jaminan kecelakaan kerja yang dibayarkan

    apabila terjadi kecelakaan kerja. Manfaat jaminan kecelakaan kerja ini dapat

    diterima bersamaan dengan manfaat program yang lain. Untuk setiap manfaat

    yang berhak diterima, peserta harus memenuhi persyaratan kepesertaan tertentu

    (qualifying conditions). Selain manfaat definitif, peserta juga dapat diberikan

    fasilitas kredit (loan) untuk menutupi kebutuhan uang tunai yang mendesak

    dengan bunga 6% setahun untuk pinjaman di bawah P15.000 dan 8% setahun

    untuk pinjaman lebih dari P15.000.

    Iuran jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah 8,4% sebulan (tidak

    termasuk iuran untuk asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja) yang dibayar

    bersama antara majikan (5,04%) dan pegawai (3,36%). Batas maksimum upah

    untuk perhitungan iuran adalah P12.000 (Rp 2,4 juta) sebulan. Iuran untuk

    jaminan kecelakaan kerja adalah 1% dengan maksium iuran sebesar P1.000 per

    karyawan yang hanya dibayar oleh pemberi kerja. Sedangkan besarnya iuran

    untuk tenaga kerja informal diperhitungkan berdasarkan besarnya pendapatan

    yang dinyatakan oleh calon peserta pada waktu pendaftaran dengan batas

    minimum sebesar P1.000. Untuk pekerja Filipina di luar negeri, yang

    dikelompokan sebagai pekerja membayar sendiritidak melalui pemberi kerja,

    batas minimum penghasilan adalah P3.000 sebulan. Untuk memudahkan

    perhitungan iuran, SSS mengembangkan 24 kelompok upah dan besarnya iuran

    untuk masing-masing kelompok upah. Iuran untuk asuransi kesehatan adalah

    2,5% upah sebulan untuk menjamin biaya rawat inap saja (rawat jalan tidak

    dijamin). Dengan demikian total iuran menjadi 10,9% (tanpa kecelakaan kerja) dan

    11,9% (dengan kecelakaan kerja). Sedangkan pada GSIS, tingkat iuran lebih

    tinggi yaitu 12% dari pemberi kerja (pemerintah) dan 9% dari pekerja (Purwanto &

    Wibisana, 2002).

    Phil-Health merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional yang kini

    memiliki keanggotaan lebih dari 39 juta jiwa (lebih dari 50% penduduk Filipina).

    Anggota Phil-Health terdiri atas 55% pegawai swasta, 24% pegawai pemerintah,

  • 9% penduduk tidak mampu, 11% peserta sukrela (informal), dan 2% adalah

    peserta khusus yang tidak membayar iuran. Manfaat yang menjadi hak peserta

    adalah jaminan rawat inap di rumah sakit pemerintah maupun swasta dengan

    standar pembayaran yang sama. Pembayaran ke rumah sakit didasarkan pada

    sistem biaya jasa per pelayanan (fee for service) mengingat cara inilah yang kini

    diterima oleh rumah sakit. Pelayanan rawat jalan sementara ini belum dijamin,

    karena diasumsikan penduduk mampu membayar sendiri biaya rawat jalan yang

    tidak menjadi beban berat rumah tangga. Besarnya iuran adalah maksimum 3%

    dari gaji yang diperhitungkan maksimum P10.000 (sekitar Rp 2 juta). Namun

    demikian, iuran yang kini dikumpulkan adalah sebesar 2,5% yang ditanggung

    bersama antara pemberi kerja dan tenaga kerja, bagi sektor formal. Sedangkan

    bagi sektor informal, iuran ditanggung sepenuhnya oleh peserta dan bagi

    penduduk miskin, iuran ditanggung pemerintah pusat dan daerah (Purwanto &

    Wibisana, 2002). Pada tahun 2003 ini, PhilHealth menerima banyak sekali

    permintaan dari pemberi kerja untuk memperluas jaminan dengan mencakup

    jaminan rawat jalan. Para pemberi kerja akan menambahkan iuran guna

    memperluas jaminan tersebut (Dueckue, 2003). Iuran jaminan sosial di Filipina

    cukup beragam sebagaimana ditampilkan oleh tabel berikut.

  • 6.3.3. Negara Thailand (Muangtai)

    Program Jaminan Sosial di Thailand terdiri atas program jaminan bagi

    pegawai pemerintah, pegawai swasta, dan program kesehatan. Program yang

    diatur oleh UU Jaminan Sosial di Thailand dimulai pada tahun 1990 Pemerintah

    Thailand mengeluarkan UU Jaminan Sosial, namun demikian implementasinya

    baru dimulai enam bulan kemudian, yaitu pada bulan Maret 1991. Dana yang

    terkumpul dikelola oleh suatu badan tripartit, Dewan Jaminan Sosial, yang terdiri

    dari 15 orang yang mewakili pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja masing-

    masing 5 (lima) orang. Kantor Jaminan Sosial (Social Security Office, SSO)

    berada di bawah Departemen Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Mula-mula

    program tersebut wajib bagi pemberi kerja dengan 20 karyawan atau lebih, yang

    kemudian secara bertahap diwajibkan kepada pemberi kerja yang lebih kecil.

    Sejak 31 Mei 2002, seluruh tenaga kerja dengan satu atau lebih karyawan wajib

    menjadi peserta. Kini jumlah peserta SSO adalah 6,59 juta tenaga kerja di

    Thailand, seluruh tenaga kerja formal telah menjadi peserta. Pegawai pemerintah

    mendapat jaminan yang dibiayai oleh anggaran belanja negara tanpa ada iuran

    sama sekali dari pekerja. Jaminan yang ditanggung meliputi jaminan kesehatan,

    pensiun dan dana lump-sum pada waktu memasuki masa pensiun. Untuk pekerja

    sektor informal dan kelompok penduduk lain yang belum termasuk peserta SSO

    atau CSMBS, Pemerintah Thailand mengembangkan program National Health

    Security yang dikenal dengan kebijakan 30 Baht. Dalam program ini, seluruh

    penduduk sektor informal dan anggota keluarga tenaga kerja swasta diwajibkan

    mendaftar ke salah satu rumah sakit dimana mereka akan berobat jika mereka

    sakit. Atas dasar penduduk yang terdaftar itu, pemerintah kemudian membayar

    rumah sakit secara kapitasi sebesar 1.204 Baht per kepala per tahun. Penduduk

    yang terdaftar akan membayar sebesar 30 Baht (kira-kira Rp 6.000) sekali berobat

    atau sekali perawatan di rumah sakit. Biaya yang dibayar itu sudah termasuk

    segala pemeriksaan, obat, pembedahan, dan perawatan intensif jika diperlukan.

    Manfaat program jaminan sosial pekerja swasta dan pekerja informal meliputi

    jaminan kesehatan, bantuan biaya persalinan, jaminan uang selama menderita

    cacad, santunan kematian, dana untuk anak-anak, kecelakaan kerja, dan jaminan

    hari tua. Jaminan kesehatan hanya diberikan kepada tenaga kerjanya, sedangkan

  • anggota keluarga tenaga kerja dijamin melalui program 30 Baht. Manfaat

    program jaminan sosial pegawai swastapun dimulai dengan menjamin pelayanan

    kesehatan, baru secara bertahap pelayanan lain seperti jaminan uang waktu

    cacad dan jaminan hari tua diberikan kemudian. Sementara pegawai pemerintah

    memang menikmati manfaat yang lebih baik, karena mereka sudah mendapat

    jaminan hari tua terlebih dahulu dan jaminan kesehatan komprehensif. Untuk

    jaminan kesehatan, dikenal dengan program CSMBS, yang dijamin bukan saja

    pegawai, pasangan dan anaknya, orang tua pegawaipun dijamin. Jaminan yang

    diberikan komprehensif sehingga peserta tidak perlu lagi membayar apabila

    mereka memanfaatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan yang sudah

    ditentukan. Tentu saja, jika mereka mencari pelayanan dari fasilitas kesehatan

    dan di kelas perawatan di luar ketentuan, masyarakat harus membayar sendiri.

    Besarnya iuran untuk prgram jaminan sosial pegawai swasta ditanggung

    bersama antara pekerja, pemberi kerja dan pemerintah. Disinilah keunikan sistem

    jaminan sosial Thailand, karena pemerintahpun ikut membayar iuran bagi pekerja

    swasta dan sektor informal. Besarnya iuran dipisahkan untuk masing-masing

    program yang total berjumlah 18,5% yang terdiri atas iuran pekerja dan pemberi

    kerja masing-masing sebesar 7,5% dan iuran pemerintah sebesar 3,5%. Selain

    itu, pemberi kerja masih memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan

    kecelakaan kerja yang besarnya bervariasi dari 0,2% - 1%; tergantung dari tingkat

    risiko masing-masing usaha (SSO, 2003). Besarnya upah yang diperhitungkan

    untuk jaminan sosial ini ditetapkan sampai jumlah maksimum Pegawai pemerintah

    dan pegawai sektor informal tidak membayar iuran, seluruh biaya ditanggung

    anggaran belanja pemerintah. Yang menarik dari pembayaran iuran jaminan

    sosial di Thailand adalah bahwa besarnya iuran untuk kesehatan dan persalinan

    diturunkan dari tadinya 4,5% (masing-masing 1,5%) menjadi 3% (masing-masing

    pihak mengiur 1%) karena telah terjadi akumulasi dana yang besar karena

    penyelenggaraan yang bersifat nirlaba dan setiap dana yang tidak digunakan

    diakumulasi. Gambaran lengkap iuran terlihat pada tabel berikut:

  • 6.3.4. Negara Korea Selatan

    Seperti yang dilakukan Jepang, Jerman, dan banyak negara lain di dunia,

    Korea Selatan memulai jaminan sosialnya dengan mengembangkan asuransi

    kesehatan wajib di tahun 1976 setelah selama 13 tahun gagal mengembangkan

    asuransi kesehatan sukarela. Asuransi kesehatan wajib dimulai dari pemberi kerja

    yang memiliki jumlah pekerja banyak terus diturunkan. Pada tahun 1989 seluruh

    penduduk sudah memiliki asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh lebih

    dari 300 lembaga nirlaba. Kini seluruh badan penyelenggara dijadikan satu badan

    penyelenggara yaitu National Health Insurance Corporation (NHIC) suatu lembaga

    semipemerintah yang independen dengan cakupan praktis seluruh penduduk

    (Park, 2002). Sedangkan jaminan pensiun atau hari tua baru dilaksanakan 1988

    dengan wewajibkan pemberi kerja dengan 10 karyawan atau lebih mengiur untuk

    jaminan pensiun. Baru pada tahun 2003 ini, seluruh pemberi kerja dengan satu

    atau lebih pegawai diwajibkan ikut program pensiun yang dikelola oleh National

    Pension Corporation (NPC). Kedua lembaga NHIC dan NPC berada di bawah

    pengawasan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan dan bukan badan usaha

    yang di Indonesia kita kenal sebagai BUMN. Berbeda dengan NHIC yang

    mengelola seluruh penduduk, kecuali militer aktif dan penduduk miskin yang

  • hanya berjumlah 3% dari seluruh penduduk, NPC hanya mengelola pensiun bagi

    pegawai swasta dan sektor informal. Pensiun untuk pegawai pemerintah, tentara,

    guru sekolah, pekerja tambang, dan petani dikelola terpisah dari NPC (Ha-Young

    and Hun-Sang, 2003).

    Manfaat yang diberikan oleh NHIC adalah jaminan kesehatan komprehensif

    mencakup pelayanan kesehatan, medical check up, penggantian uang tunai pada

    kondisi tertentu seperti dalam keadaan darurat, santunan penguburan, dan

    penggantian biaya protese. Setiap peserta harus membayar copayment yang

    besarnya bervariasi antara jenis pelayanan, fasilitas kesehatan, dan kelompok

    peserta. Rata-rata besarnya co-payment bisa mencapai 40-50% dari biaya

    berobat, kecuali penduduk tertentu (tua, tidak mampu, atau di daerah terpencil).

    Pelayanan kesehatan diberikan melalui fasilitas kesehatan pemerintah maupun

    swasta (lebih dari 90%) dengan sistem klaim. Klaim harus diperiksa oleh suatu

    lembaga independen lain, HIRA Health Insurance Review Agency, sebelum NHIC

    membayar fasilitas kesehatan. Manfaat program pensiun bervariasi sesuai dengan

    lamanya mengiur yang diatur dengan formula tertentu (defined benefits) dengan

    maksimum pensiun sebesar 60% dari upah terkahir untuk yang sudah mengiur

    selama 40 tahun. Selain pensiun karena mancapai usia pensiun, NPC juga

    membayarkan pensiun cacad, pensiun ahli waris, dan pembayaran lump-sum bagi

    peserta yang belum memilki masa kualifikasi pensiun (10 tahun).

    Iuran untuk program kesehatan bagi tenaga kerja di sektor formal ditetapkan

    sebesar 3,63% yang ditanggung bersama antara pekerja dan pemberi kerja.

    Sedangkan untuk sektor informal, UU mengatur tingkattingkat penghasilan untuk

    masing-masing kelompok dan besarnya iuran ditetapkan tersendiri untuk tiap-tiap

    kelompok penghasilan. Sedangkan iuran untuk program pensiun kini sebesar 9%

    dari upah yang dibayar bersama-sama antara pemberi kerja dan pekerja masing-

    masing sebesar 4,5%. Pada tahap awal iuran besarnya hanya 3%, kemudian

    secara bertahap ditingkatkan sehingga kini mencapai 9%. Selain pekerja, NPC

    juga melayani penduduk yang secara sukarela, secara perorangan atau pekerja

    sektor informal, mendaftar diri dengan iuran saat ini sebesar 7%, akan tetapi juga

    akan ditingkatkan sehingga tahun 2005 akan mengiur sebesar 9%.

  • 6.3.5. Negara Perancis

    Jaminan sosial di Perancis telah diselenggarakan lebih dari satu abad

    dengan diawali dengan jaminan kesehatan. Jaminan sosial pertama dilaksanakan

    pada tahun 1898 tatkala Perancis masih didominasi oleh ekonomi pertanian. Pada

    saat ini sistem jaminan sosial di Perancis masih diselenggarakan oleh berbagai

    badan penyelenggara yang berbagai kelompok peserta seperti pegawai negeri,

    pekerja swasta, petani, pekerja sektor informal dan tentara. Program jaminan

    sosial mencakup program jaminan kesehatan (CNAM), jaminan pensiun atau hari

    tua (CNAV), jaminan pembiyaaan keluarga (CNAF), dan jaminan perlindungan

    PHK (ARE). Program tersebut merupakan program jaminan dasar. Pengumpulan

    iuran dilakukan secara terpadu dan terpusat oleh semacam Badan Administrasi

    yang disebut ACOSS. Selain program jaminan dasar, masih ada program jaminan

    tambahan yang juga bersifat wajib untuk berbagai sektor. Berbeda dengan

    program jaminan sosial di banyak negara lain, di Perancis pembiyaan jaminan

    sosial lebih banyak bersumber dari pemberi kerja. Untuk program kesehatan,

    kecelakaan, dan cacad; pekerja hanya mengiur sebesar 2,45% dari upah

    sedangkan pemberi kerja mengiur sebesar 18,2%. Sementara untuk program

    pensiun, pekerja mengiur 6,55% sedangkan pemberi kerja mengiur sebesar 8,2%.

    Secara keseluruhan, pekerja mengiur sebesar 9% dan pemberi kerja mengiur

    sebesar 26,4% sehingga seluruh iuran menjadi 35,4% dari upah sebulan.

    6.3.6. Negara Jerman

    Jerman dikenal sebagai pelopor dalam bidang asuransi sosial yang

    merupakan tulang punggung dari sebuah jaminan sosial modern. Asuransi sosial

    pertama yang diselenggarakan di Jerman pada tahun 1883 menanggung

    penghasilan yang hilang apabila seorang pekerja menderita sakit. Sehingga

    dengan demikian, asuransi sosial kesehatan menjadi pintu gerbang

    penyelenggaraan jaminan sosial. Undang-undang mengatur tata cara

    penyelenggaraan asuransi kesehatan sedangkan penyelenggaraan asuransi

    kesehatan diserahkan kepada masyarakat, yang awalnya terkait dengan tempat

    kerja. Jumlah badan penyelenggara yang disebut sickness funds tidak dibatasi

    sehingga pada awalnya mencapai ribuan, yang semuanya bersifat nirlaba. Namun

    demikian, karena rumitnya masalah asuransi kesehatan dan perlunya angka besar

  • untuk menjamin kecukupan dana, maka terjadi merjer atau perpindahan peserta

    karena badan penyelenggara bangkrut. Kini jumlahnya tinggal 355 saja.

    Sistem yang digunakan Jerman adalah dengan mewajibkan penduduk yang

    memiliki upah di bawah 45.900 Euro per tahun untuk mengikuti program asuransi

    sosial wajib. Sedangkan mereka yang berpenghasilan diatas itu, boleh membeli

    asuransi kesehatan dari perusahaan swasta, akan tetapi sekali pilihan itu diambil,

    ia harus seterusny