analisis hukum islam terhadap putusan majelis hakim...
TRANSCRIPT
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN
MAJELIS HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA
PUSAT TENTANG PERKARA PIDANA
PENGHINAAN OLEH PERS
(PUTUSAN NO. 1426/PID.B/2003/PN.Jkt.Pst.)
Oleh :
NURHIKMAH
NIM : 103045128157
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
2
بسم اهللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang, puja dan puji syukur terucap hanya kepada Illahi Rabbi yang telah
memberikan kekuatan lahir batin, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Rasulullah SAW sebagai
Uswatun Hasanah yang telah menuntun umatnya ke jalan kebenaran.
Skripsi ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar
Sarjana Hukum Islam (SHI), sebagai salah satu tugas akademis di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Tanpa bantuan dan uluran tangan maka tentunya skripsi ini tidak akan dapat
terselesaikan seperti sekarang ini. Ucapan terima kasih ini secara khusus penulis
sampaikan kepada :
1. Prof. Dr. H. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah mencurahkan baktinya kepada kami, selaku Mahasiswa dan
Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum ;
2. Bapak Asmawi, M. Ag dan Ibu Sri Hidayati, M. Ag, selaku Ketua dan
Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan
i
3
ramah serta kekeluargaan membimbing dan mengarahkan kami, selaku
mahasiswa dan mahasiswi Program Studi Jinayah Siyasah ;
3. Bapak Drs. H. Odjo Kusnara N, M.Ag, selaku pembimbing I dan Bapak
Kamarusdiana S. Ag, MH, selaku pembimbing II yang telah memberikan
waktu, arahan dan perhatian serta motivasi kepada penulis dari awal hingga
akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan ;
4. Seluruh Dosen yang telah memberi ilmu kepada penulis, selama penulis
belajar di Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta ;
5. Pimpinan dan Pegawai Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu
penulis dalam proses pencarian data yang berkaitan dengan pembahasan.
6. Pimpinan dan Pegawai Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu penulis dalam proses pencarian
data yang berkaitan dengan pembahasan.
7. Pimpinan dan Pegawai Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah
mengizinkan dan memberi penulis untuk mencari data-data yang dibutuhkan
dalam skripsi ini ;
8. Kepada Ayahanda H.Nasan dan Ibunda Sopiah, satu dari sekian harapan
kalian telah ananda penuhi, semoga harapan-harapan kalian yang lain dapat
pula ananda wujudkan. Tiada kata yang pantas ananda ucapkan selain
ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas segala pengorban, kasih
ii
4
sayang, dukungan dan bimbingan kalian, hanya Allah lah yang dapat
membalas kebaikan kalian selama ini.
9. Teruntuk suamiku tercinta, Ahmad Shobari yang selalu memberikan semangat
dan motivasi bagi penulis agar selalu berjuang terus pantang menyerah, dan
telah memberikan spirit baik lahir maupun batin, serta do’a yang diberikan
kepada penulis dan senantiasa mendampingi baik dalam suka maupun duka.
10. Kepada Putra Kecilku, M. Fatich Abd. Rohim yang selalu memberikan
keteduhan, keceriaan. Kehadiran dan senyumannya yang selalu meringankan
segala beban kehidupan.
11. Kepada Teman-teman Konsentrasi Pidana Islam Angkatan 2003, yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatunya, segala kenangan indah maupun duka
yang kita hadapi bersama merupakan sebuah kenangan yang tidak akan
terlupakan.
12. Kepada kakanda Syahrul dan Neneng hulia terima kasih atas dorongan dan
kritiknya .
Hanya dengan bermunajat kepada Allah SWT, penulis memohon dan
berdo’a semoga amal baik serta jasa-jasa mereka diberi balasan pahala yang
berlipat ganda oleh Allah SWT. Amin Ya Rabbal ’Alamin.
Jakarta, 8 September 2008 M 8 Ramadhan 1429 H
Penulis
iii
5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………... i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. iv
BAB 1 : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................ 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka........................................................................... 7
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan..................................... 9
F. Sistematika Penulisan.................................................................. 11
BAB II : TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
A. Pengertian Tindak Pidana............................................................ 13
B. Unsur-Unsur Tindak Pidana…………………………………… 15
C. Jenis-Jenis Tindak Pidana……………………………………… 19
D. Pertanggungjawaban Pidana…………………………………… 25
BAB III : TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENGHINAAN DAN PERS
A. Pengertian Penghinaan................................................................. 32
B. Bentuk-bentuk Penghinaan.......................................................... 34
C. Kode Etik Jurnalistik.................................................................... 40
D. Kebebasan Pers........................................................................... 45
iv
6
BAB IV : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN MAJELIS
HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT
TENTANG PERKARA PIDANA PENGHINAAN OLEH PERS
A. Gambaran Kasus pada Perkara Penghinaan Oleh
Pers........................................................................................... 54
B. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada
Perkara Penghinaan Oleh Pers.................................................. 59
C. Analisis Hukum Islam pada Perkara
No.1426/Pid.B/2003/PN.Jkt.Pst. Tentang Penghinaan Oleh
Pers........................................................................................... 61
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................ 74
B. Saran.......................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 77
LAMPIRAN.............................................................................................................. 80
v
7
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sekarang ini, masyarakat dunia hampir tidak bisa
melepaskan diri dari keterikatan dan ketergantungan terhadap kebutuhan dunia
pers. Keterikatan dan ketergantungan akan dunia pers juga menimpa masyarakat
Indonesia. Kebutuhan dunia pers tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat akan
informasi. Pada zaman sekarang ini kebutuhan informasi telah menjadi seperti
kebutuhan pokok yang tak beda dengan kebutuhan terhadap sandang, pangan
dan papan.
Adapun pers adalah wahana sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk
tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam
bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala
jenis saluran yang tersedia.1
Pers menjelma menjadi salah satu struktur masyarakat yang menonjol dan
mempunyai ruang lingkup cakupan yang sangat luas dalam masyarakat di abad
ke- 21 ini. Dalam Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Pers
nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan 1 Sudirman Tebba, Hukum Media Massa Nasional, (Ciputat: Pustaka Irvan, 2007) , h. 153.
1
8
kontrol sosial. Dengan segala fungsi tersebut yang dimiliki pers, pers membawa
fungsi yang sangat luas terhadap pola tingkah laku manusia, karena pers dengan
keberadaaannnya dapat menjangkau seluruh kalangan masyarakat siapa pun,
kapan pun dan dimana pun serta memberikan efek yang mempengaruhi
masyarakat.
Efek dari pers yang mempengaruhi masyarakat dapat timbul akibat dari
pengaruh yang besar dalam masyarakat. Efek pengaruh yang dihasilkan oleh
pers tersebut harus disikapi secara serius terutama dampak negatif yang dapat
dihasilkan dari pers yang begitu besar dalam masyarakat dapat menjadi tidak
terkontrol dan dapat merugikan baik untuk pers itu sendiri maupun masyarakat
luas yang dapat menimbulkan dampak negatif. Tetapi muncul Sekalipun pers
memilliki aturan-aturan yang jelas yang mengatur pers, ternyata pers tidak
bebas dari perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum, baik hal tersebut
dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja, dalam arti singkat adalah pers
tetap dapat melakukan tindak pidana walaupun sudah memilliki aturan-aturan
hukum yang mengatur tentang pers.
Adapun pers yang mempunyai dan melaksanakan peranan sebagai berikut:
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; 2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan; 3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat
dan benar; 4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum;
9
5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.2
Adapun istilah tindak pidana penghinaan sebagaimana tercantum dalam
pasal 310 KUHP, dapat dikatakan sebagai suatu istilah yang umum dalam
mengambarkan tindak pidana terhadap kehormatan. Tetapi bila dicermati
dengan teliti dan dipandang dari sisi sasaran atau object delicti maka
berdasarkan maksud dan tujuan dari pasal tersebut, yakni melindungi
“kehormatan”, istilah tindak pidana terhadap kehoramatan jauh lebih tepat.
Pada dasarnya penghinaan adalah menyerang nama baik dan kehormatan
seseorang, yang bukan dalam artian seksual, sehingga orang tersebut merasa
dirugikan.3
Tindak pidana kehormatan ini, menurut hukum pidana terdiri dari empat
bentuk, yakni 4:
1. Menista ( secara lisan );
2. menista secara tertulis;
3. fitnah;
4. penghinaan ringan;
2 Frans Hendra Winata, “Kebebasan Pers Dalam RUU KUHP,” artikel diakses pada 25
Agustus 2007 dari http://www.duniaesai.com/hukum/hukum2.htm 3 Wina Armada, Wajah Hukum Pidana Pers, (Jakarta: Pustaka Kartini,1989) , h. 52. 4 Leden Marpaung, Tindak Pidana Kehormatan, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada,1997) ,
h. 9.
10
Tetapi di dalam KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ) dimuat
juga tindak pidana lain terhadap kehormatan, yang erat terkait dengan
kehormatan dan nama baik, yakni :
1. Pemberitahuan palsu;
2. Persangkaan palsu;
3. Penistaan terhadap yang meninggal;
Penghinaan merupakan pelanggaran yang menyangkut harkat dan
martabat manusia, yang berupa penghinaan biasa / fitnah tuduhan melakukan
suatu perbuatan tertentu. Berita penghinaan sangat besar pengaruhnya dan
sangat jauh akibatnya, karena dapat mencemarkan nama baik seseorang,
karirnya, juga dapat mengoncangkan masyarakat5. Di dalam Al-Qur’an surat
Al-Hujurat/49: 11, Allah berfirman :
⌦
☺
☺
5 Djoko Prakoso, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia, ( Yogyakarta: Liberty, 1988 ),
Cet. Ke-1, h.120.
11
)11 :49/ تارجحلأ (
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil- memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat , maka mereka itulah orang-orang yang zhalim”.
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa mengolok-olok, mengejek,
menghina dan merendahkan orang lain merupakan kesombongan yang
tersembunyi dan harus dihindari dalam pergaulan hidup manusia. Ayat tersebut
menjadi peringatan bagi orang-orang yang beriman agar tidak merasa bahwa
dirinya serba lengkap, serba tinggi dan serba cukup. Padahal setiap manusia
terdapat segala macam kekurangan, kealpaan dan kesalahan.
Penyampaian berita atau sering disebut dengan pemberitaan kepada
masyarakat, merupakan salah satu kegiatan utama dari pers seperti yang
tercantum dalam pasal 1 Undang-Undang No. 40 tahun 1999. Sedangkan yang
menjadi masalah dalam pemberitaan pers adalah jika pemberitaan pers
digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi
atau tidak mempunyai nilai pidana berita ( news ), dan atau di dalam
12
pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet ) dan unsur kesalahan
(schuld ) yang memenuhi unsur tindak pidana.6
Peradilan terhadap pers selalu diartikan sebagai ancaman terhadap
kebebasan pers ( freedom of the press ). Mereka menghendaki kebebasan yang
sebesar-besarnya dalam melakukan tugas jurnalistik dengan tameng kebebasan
pers amat penting dalam kehidupan demokrasi. Mereka menilai jika wartawan
atau pers salah dalam membuat berita itu adalah sesuatu yang wajar, sehingga
tidak layak wartawan atau pers yang menulisnya diseret ke Pengadilan.
Atas dasar pemikiran yang diuraikan di atas maka penulis tertarik untuk
mengkaji, meneliti dan menganalisa masalah ini dalam skripsi yag berjudul :
“ Analisis Hukum Islam terhadap Putusan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Tentang Perkara Pidana Penghinaan oleh Pers ”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan lebih fokus dan tidak terlalu meluas, serta analisa
masalahnya dapat dilakukan secara lebih mendalam, maka dalam penulisan
skripsi ini penulis mencoba membatasi masalah hanya pada tindak pidana
penghinaan yang dilakukan oleh pers khususnya media cetak yang terjadi di
wilayah yuridiksi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Penulis memfokuskan pada
perkara No.1426/Pid.B/2OO3/PN.Jkt.Pst.
6 Winata,” Kebebasan Pers Dalam RUU KUHP.” h.2
13
Adapun pembatasan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud tindak pidana penghinaan ?
2. Bagaimanakah Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
tentang sanksi hukuman yang dijatuhkan kepada pers ?
3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam mengenai perkara pidana penghinaan
yang dilakukan oleh pers?
C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini, yaitu :
1. Untuk menjelaskan tentang maksud dari penghinaan, khususnya penghinaan
yang dilakukan oleh pers.
2. Untuk menjelaskan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
tentang perkara pidana penghinaan oleh pers serta sanksi hukuman yang
dijatuhkan kepada pers.
3. Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam tentang masalah tindak pidana
penghinaan oleh pers.
Sedangkan kegunaan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Memberikan kontribusi keilmuan dalam hukum pidana Islam, mengenai
tindak pidana penghinaan khususnya yang dilakukan oleh pers (media cetak).
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin canggih.
2. Diharapkan dapat memberikan wawasan kepada insan pers, yaitu bahwa
dalam hukum Islam pun diatur mengenai tindak pidana penghinaan ini beserta
sanksinya sesuai dengan sifat hukum Islam yang menyeluruh..
14
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang tindak pidana penghinaan yang akhir-akhir ini menjadi
pembahasan yang aktual telah dikaji dan diteliti oleh berbagai pihak dengan
tingkat akademis yang berbeda. Antara lain skripsi yang ditulis oleh M. Handrio
Akbarullah, dengan judul ”Pencemaran nama baik oleh media massa ( pers )
kajian hukum pidana dan perdata”. Dalam skripsinya ia menjelaskan bahwa
pencemaran nama baik bisa diperkarakan pidana maupun perdata, Dalam
pemberitaan pers sudah ada aturan mainnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana ( KUHP ), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ) dan
ditambah UU No. 40 Tahun 1990. Maksud dari ketentuan ini agar tidak terjadi
pelanggaran pencemaran nama dan kebebasan pers yang kebablasan di sengaja
itu, terdapat ketentuan hukuman pidana yang oleh kebanyakan wartawan ditolak
dengan alasan bisa memasung kebebasan pers itu menjadi rambu-rambu agar pers
lebih arif dan seimbang dalam merumuskan sebuah berita.
Sedangkan literatur yang lain yang membahas mengenai masalah ini yaitu
sebuah buku yang ditulis oleh Leden Marpaung dengan judul Tindak Pidana
Kehormatan di dalam bukunya ia menjelaskan tentang tindak pidana kehormatan
dan bentuk-bentuknya, tindak pidana khusus yaitu tentang penghinaan terhadap
presiden dan menjelaskan penanganan perkara tindak pidana terhadap
kehormatan.
15
Buku lainnya yang membahasa masalah ini yaitu karya Bambang Sadono
yang berjudul Penyelesaian Delik Pers Secara Politis. Di dalamnya ia membahas
tentang banyak kasus yang memenuhi kualifikasi delik pers, namun diselesaikan
di luar sistem pidana dan menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana ternyata
bukan satu-satunya cara yang dipilih pemerintah untuk penyelesaian delik pers.
Dalam penelitiannya ia membuktikan bahwa walaupun kebijakan pemerintah
untuk menyelesaikan delik pers secara politis dapat dimengerti, dari segi
konsistensi yuridis mengandung kelemahan.Sementara ada juga keinginan
tertentu tetap memanfaatkan sistem peradilan pidana untuk menyelesaikan delik
pers.
Adapun karya yang lain ditulis oleh Oemar Seno Adji yang berjudul
Perkembangan Delik Pers Di Indonesia yang menjelaskan tentang kwalifikasi
delik pers, penyelesaiannya dan bahwa pertanggungjawaban ( pidana) atas suatu
tulisan, dalam kehidupan pers, dikenal dua sistem berturut-turut. Dimana dalam
sistem hukum pidana pertanggungjawaban pidana didasarkan atas ajaran
penyertaan dan ajaran kesalahan.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Adapun metode penelitian skripsi ini,adalah :
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum
normatif yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
16
norma-norma dalam hukum positif.7 Dan pembahasannya bersifat
deskriptif-analitis, yaitu dengan menganalisa gejala-gejala yang ada,
sehingga dapat membantu dalam memperkuat teori-teori lama, atau di
dalam kerangka menyusun teori baru.
2. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini dibagi ke dalam tiga kategori
yang berbeda, yaitu :
a. Sumber Data primer yaitu peraturan perundang-undangan yang
dijadikan acuan seperti KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana), Undang-Undang No. 40 Tentang Pers dan Undang-Undang
No.21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas UU. No. 11 Tahun 1966
Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.
b. Sumber data sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai sumber data primer seperti buku-buku, majalah, artikel-
artikel baik dari media cetak maupun elektronik , hasil-hasil penelitian
dan pendapat para pakar hukum yang berkaitan dengan masalah ini.
7 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003 ), Cet. Ke-6, h. 186.
17
c. Sumber data tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap sumber data primer dan sekunder seperti kamus (
hukum ) dan ensiklopedia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi dokumenter yaitu proses pengumpulan data yang dilakukan melalui
penggunaan bahan dokumen yang diperlukan dalam hal ini Putusan
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang perkara pidana
penghinaan oleh pers, dan Undang-Undang No.40 Tahun 1999 Tentang
Pers yang menjadi rujukan utama dan buku-buku atau literatur-literatur
lain yang berkaitan dengan skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode Qualitative Content Analysis yaitu pengolahan data sesuai
dengan menganalisa materi yang sesuai dengan pembahasan.
Sedangkan Teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman dan
merujuk pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
F. Sistematika penulisan
Untuk memudahkan pemahaman mengenai penulisan terhadap penelitian
ini secara menyeluruh, maka perlu disajikan sistematika penulisan agar dapat
18
memberikan gambaran umum pada bab per bab yang akan dibahas, adapun
sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :
Bab 1 : Pendahuluan, Dalan bab ini berisi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah,tujuan dan kegunaan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan teknik
penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II : Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dalam bab ini
berisi uraian tentang pengertian tindak pidana, unsur-unsur
tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana.
Bab III : Yaitu menjelaskan tentang hubungan antara penghinaan dan
pers, yang meliputi pengertian tentang penghinaan, bentuk-
bentuk penghinaan, kode etik jurnalistik dan kebebasan pers.
Bab IV : Bab ini merupakan bab yang menjadi pembahasan pokok. Pada
bab ini menjelaskan tentang gambaran kasus pada perkara
penghinaan oleh pers, Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat pada perkara penghinaan oleh pers dan Analisis
hukum Islam pada Perkara No.1426/Pid.B/2003/pn.Jkt.Pst.)
Tentang Penghinaan oleh pers.
Bab V : Penutup, Bab ini berisi kesimpulan dan saran
19
BAB II
TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
A. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah istilah yang secara resmi digunakan dalam
peraturan peerundang-undangan. Dalam tulisan para pakar hukum, adakalanya
digunakan istilah delik untuk pengertian tindak pidana. Istilah delik berasal dari
kata delict dalam bahasa Belanda. Sementara itu ada pula yang menggunakan
istilah perbuatan pidana untuk tindak pidana. Istilah perbuatan pidana diambil
dari frasa Criminal Act dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Belanda selain
digunakan istilah delict juga straafbaar feit. Sementara itu, istilah yang
digunakan dalam bahasa Inggris adalah Criminal Act.1
Straafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straaf, baar dan feit. Secara
literlijk kata ”straaf artinya pidana, ”baar” artinya dapat atau boleh dan ”feit”
adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah straafbaar feit secara utuh,
ternyata straaf diterjemahkan juga dengan kata hukum, padahal sudah lazim
hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straaf sama
dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya.2
1 Sutan Remi Sjahdeni, Pertanggungjawaban Pidana Koorporasi, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Pers, 2006), h.25
2 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), h.69.
13
20
Untuk kata ”baar” ada dua istilah yang digunakan yakni boleh dan dapat.
Sedangkan kata ”feit” digunakan empat istilah yakni tindak, peristiwa,
pelanggaran dan perbuatan.
Adapun mengenai istilah straafbaar feit ini, para sarjana hukum telah
merumuskan suatu teori yang berbeda, antara lain :
1. Menurut Simons, seorang ahli hukum pidana Belanda, tindak pidana (delict)
adalah kelakuan, perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana,
bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan, dilakukan
oleh orang yang bertanggungjawab.
2. Menurut Profesor Pompe, staraafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan
sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang
sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpelihara tertib umum dan kepentingan hukum.3
3. Menurut R. Soesilo mendefinisikan bahwa tindak pidana sebagai suatu
perbuatan yang dilarang atau diwajibkan Undang-Undang yang apabila
dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau yang
mengabaikan itu diancam dengan pidana
4. Menurut Bambang Poernomo, bahwa istilah straafbaar feit dibedakan
pengertiannya menjadi dua, yaitu :
3 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT.Citra Aditya
Bakti, 1997), h. 182.
21
a. Pengertian menurut teori, bahwa yang dimaksud dengan straafbaar feit
yaitu suatu pelanggaran terhadap norma atau aturan yang dilakukan
karena kesalahan si pelanggar, diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
b. Pengertian menurut hukum positif, bahwa yang dimaksud dengan
straafbaar feit yaitu suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan perundang-
undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan
merupakan tindak pidana yang merupakan perilaku melanggar ketentuan
pidana, yang berlaku ketika perilaku itu dilakukan, baik perilaku tersebut berupa
melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun
tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.
B. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari
dua sudut pandang, yakni : (1) sudut pandang teoritis; dan (2) sudut pandang
Undang-Undang.4 Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang
tercermin pada bunyi rumusannya. Sementara itu, sudut undang-undang adalah
bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana
tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.
1. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi :
4 Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, h. 78.
22
a. Menurut Moeljanto, unsur tindak pidana adalah :
1) Perbuatan;
2) Yang dilarang;
3) Ancaman pidana ( bagi yang melanggar larangan ).
b. Menurut R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur, yakni :
1) Perbuatan atau rangkaian perbuatan;
2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3) Diadakan tindakan penghukuman;5
c. Menurut Jonkers (penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-unsur
tindak pidana, yaitu :
1) Perbuatan (yang);
2) Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
3) Kesalahan ( yang dilakukan oleh orang yang dapat );
4) Dipertanggungjawabkan.
Walaupun rincian dari rumusan di atas tampak berbeda, namun pada
hakekatnya ada persamaannya, ialah tidak memisahkan antara unsur-unsurnya
mengenai perbuatan dengan unsur yang mengenai diri orangnya.
2. Unsur Rumusan Tindak Pidana dalam Undang-Undang
Adapun rumusan tindak pidana dalam Undang-Undang , yaitu :
a. Unsur tingkah laku;
b. Unsur melawan hukum;
5 Ibid., h.79.
23
c. Unsur akibat konstitutif;
d. Unsur keadaan yang menyertai;
e. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya di tuntut pidana;
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.
Dari delapan unsur itu, diantaranya dua unsur, yakni kesalahan dan
melawan hukum adalah termasuk unsur subyektif. Sedangkan selebihya adalah
beberapa unsur obyektif.
Adapun unsur yang bersifat obyektif adalah semua unsur yang berada di
luar keadaan batin manusia atau si pembuat, yakni semua unsur mengenai
perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat
(sekitar) pada perbuatan dan obyek tindak pidana. Misalnya melawan
hukumnya perbuatan mengambil pada pencurian (pasal 362) adalah terletak
bahwa dalam mengambil itu diluar persetujuan atau kehendak pemilik.
Sedangkan unsur subyektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau
melekat pada keadaan batin orangnya. Misalnya dalam pasal 362 KUHP, disini
dirumuskan sebagai pencurian, pengambilan barang orang lain dengan maksud
untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum, sifat melawan
hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi digantungkan
pada niat orang yang diambil barang tadi, kalau niatnya baik, misalnya barang
diambil untuk diberikan kepada pemiliknya, maka perbuatan itu tidak dilarang,
karena pencurian. Sebaliknya kalau niat hatinya itu jelek, yakni barang akan
dimiliki sendiri dengan tidak mengacuhkan pemiliknya menurut hukum, maka
24
hal itu dilarang dan termasuk rumusan pencurian.6 Begitu juga unsur memiliki
dalam penggelapan pasal 372 KUHP, bahwa terdapatnya kesadaran bahwa
memiliki benda orang lain yang ada dalam kekuasaannya itu adalah merupakan
celaan masyarakat.7
Kemudian yang dijadikan sebagai titik utama dari unsur obyektif adalah
tindakannya. Sedangkan unsur subyektif adalah pelakunya, baik seseorang
ataupun beberapa orang. Dari kedua unsur tersebut dapat diketahui apabila
seseorang telah memenuhi syarat melakukan tindak pidana atau belum. Adapun
syarat-syarat tindak pidana adalah :
1. Harus ada perbuatan;
2. Perbuatan tersebut sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam ketentuan
umum;
3. Adanya bukti tentang kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan;
4. Harus tersedianya ancaman hukuman.
Menurut Apeldoorn, elemen atau unsur delik itu terdiri dari elemen
objektif yang berupa adanya suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum
(onrechttinating/wedrrechttelijk) dan elemen subyektif yang berupa adanya
seseorang pembuat ( dader ) yang mampu bertanggungjawab atau dipersalahkan
6 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Rineka Cipta), h.62.
7 Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, h.82.
25
( toerekeningsyat baarheid ) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan
hukum.8
Jadi, unsur-unsur tindak pidana dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu
dari sudut Undang-Undang dan dari sudut para teoritisi yang mempunyai unsur
yang berbeda-beda. Sedangkan menurut undang-undang yaitu terdiri dari
delapan unsur.dan dari delapan unsur tersebut terbagi ke dalam unsur subyektif
yang mengenai pelakunya atau keadaan batin seseorang. Sedangkan unsur
obyektif yaitu unsur mengenai tindakannya yang bertentangan dengan hukum
C. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP ( Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana ) terbagi atas kejahatan ( misdrijven) dan pelanggaran
(overtredingen). Penggolonggan ini pertama-tama terlihat dalam kitab undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri dari tiga buku. Buku I memuat
ketentuan-ketentuan umum (algcemen teerstukken). Buku II memuat
penyebutan tindak-tindak pidana yang masuk golongan ”Kejahatan” atau
”Misdrijven”. Buku II memuat penyebutan tindak-tindak pidana yang masuk
golongan ”Pelanggaran” atau ”Overtredingen”.9
8 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradya Paramita, 1978), Cet.Ke-
1., h. 338-339.
9 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana, (Bandung: PT.Eresco, 1989), Cet.Ke-8, h.30.
26
Misdriif atau kejahatan berarti tidak lain daripada ”perbuatan melanggar
hukum ”. Overtredingen atau pelanggaran berarti suatu perbuatan yang
melanggar sesuatu, dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain daripada
”perbuatan melanggar hukum”.10
Sedangkan Pipin Syarifin mengemukakan bahwa kejahatan adalah
perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-Undang
sebagai perbuatan pidana, tetapi dapat dirasakan sebagai suatu yang
bertentangan dengan tata hukum yang dapat diketahui setelah adanya Wet yang
menentukan dilarangnya suatu perbuatan.11
Namun ada pula yang berpendapat bahwa perbedaan antara kejahatan dan
pelanggaran terletak pada berat atau ringannya suatu tindak pidana seperti
tindak kejahatan, misalnya pemerasan ( pasal 368 KUHP ) dan tindak
pelanggaran seperti kenakalan ( pasal 489 KUHP ) dan mengganggu
kesejahteraan di malam hari ( pasal 503 KUHP ). Hal tersebut secara spesifik
dapat di lihat dari aturan pidana yang terdapat dalam KUHP sebagai berikut :
1. Pidana penjara hanya diancamkan pada tindak pidana kejahatan saja; 2. Mengenai bentuk kesalahan ( beberapa kesengajaan atau kealpaan ), tindak
kejahatan harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan pelanggaran tidak harus dibuktikan;
3. Percobaan dan pembantuan pada pelanggaran tidak dapat dipidana; 4. Masa daluwarsa pada pelanggaran lebih pendek daripada masa daluwarsa
pada kejahatan;
10 Ibid., h.31.
11 Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h.93.
27
5. Perbarengan atau concursus pemidanaan pada pelanggaran lebih mudah daripada kejahatan.12
Perbuatan-perbuatan pidana selain daripada dibedakan dalam kejahatan
dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain :
1. Delik Dolus dan Delik Culpa
Tindak pidana sengaja ( doleus delicten )adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur
kesengajaan.13 Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan; misalnya
pasal 338 KUHP; dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain”.
Sedangkan tindak pidana culpa ( culpose delicten ) adalah tindak pidana
yang dalam rumusannya mengandung unsur culpa, dan unsur kesalahannya
adalah berupa kelalaian, karena kurang hati-hati, dan tidak karena
kesengajaan. Misalnya menurut pasal 359 KUHP ”dapat dipidanannya
orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaannya”.
2. Delik Commissionis dan Delikta Ommissionis
Tindak pidana aktif ( delicta commissionis ) adalah tindak pidana yang
perbuatannya berupa perbuatan aktif ( positif ). Perbuatan aktif (disebut juga
perbuatan materiil) adalah perbuatan yang untuk mewujudkan disyaratkan
adanya gerakan anggota tubuh orang yang berbuat, dan perbuatannya
tersebut yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (pasal
12 Ibid., h.95.
13 Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, h.124.
28
362 KUHP), menggelapkan (pasal 372 KUHP), dan menipu (pasal 378
KUHP).
Tindak pidana pasif (delicta ommissionis) adalah delik yang terdiri dari
tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat. Misalnya
delik dirumuskan dalam pasal 164; mengetahui sesuatu pemufakatan jahat
(samenspanning)untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal itu.
Pada saat masih ada waktu untuk mencegah kejahatan, tidak segera
melaporkan kepada instansi yang berwajib atau orang yang terkena.14
3. Delik biasa dan Delik yang dikualifisir
Delik yang belakangan adalah delik biasa ditambah dengan unsur-unsur lain
yang memberatkan ancaman pidananya. Adakalanya unsur-unsur lain yaitu
mengenai cara yang khas dalam melakukan delik biasa, adakalanya obyek
yang khas, adakalanya pula mengenai akibat yang khas dari perbuatan yang
merupakan delik biasa tadi. Contoh pasal 362 KUHP adalah pencurian
biasa, dan pasal 363 adalah pencurian yang dikualifisir, yaitu karena cara
melakukannya di waktu ada kebakaran atau dengan beberapa orang, maupun
karena obyeknya adalah hewan. Pasal 351 adalah penganiayaan yang
dikualifisir, karena mungkin caranya, obyeknya maupun akibatnya adalah
lebih khusus daripada dalam penganiayaan biasa.15
14 Ibid., h.126.
15 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Rineka Cipta), h. 76-77.
29
4. Delik seketika dan Delik yang berlangsung terus menerus
Delik seketika adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa,
sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau
waktu singkat saja. Misalnya pencurian (362), jika perbuatan mengambilnya
selesai, maka tindak pidana itu selesai secara sempurna.16
Delik yang berlangsung terus menerus adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu
berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu
masih berlangsung terus. Tindak pidana ini disebut sebagai tindak pidana
yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang. Seperti pasal 333
perampasan kemerdekaan itu berlangsung lama, bahkan sangat lama, dan
akan terhenti setelah korban dibebaskan.
5. Delik Formal dan Delik materiil
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dimaksudkan dirumuskan
sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh
perbuatan itu. Jadi, semata-mata hanya pada perbuatannya. Misalnya pada
pencurian (362) untuk selesainya pencurian digantungkan pada selesainya
perbuatan mengambil.
Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang dimaksudkan dalam suatu
ketentuan pidana dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu
akibat tertentu. Tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu. Misalnya
16 Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, h.127.
30
pembunuhan yang dalam pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai perbuatan
yang mengakibatkan matinya oranglain, tanpa disebutkan wujud dari
perbuatan itu.
6. Delik biasa dan Delik Aduan
Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya
penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya
pengaduan dari yang berhak.
Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan
penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu adanya pengaduan,
yakni korban atau wakilnya. Tindak pidana aduan ada dua macam, yaitu (1)
tindak pidana aduan mutlak yaitu tindak pidana aduan yang setiap kejadian
syarat pengaduan itu harus ada. Misalnya pencemaran nama pasal (310) dan
fitnah (311).dan (2) tindak pidana aduan relatif adalah sebaliknya, hanya
dalam keadaan tertentu atau jika memenuhi syarat atau unsur-unsur tertentu
saja tindak pidana itu menjadi aduan, misalnya pencurian dalam keluarga
pasal (376 ayat 2 jo 362-365) atau penggelapan dalam keluarga pasal (376
jo 367).
7. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar
kodifikasi tersebut. Misalnya tindak pidana korupsi (UU No.31 Thn. 1999),
tindak pidana psikotropika (UU No.5 Thn. 1997) dan tindak pidana
narkotika (UU No.22 Thn. 1997).
31
D. Pertanggungjawaban Pidana
Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana tersebut sebagai
Toerekenbaarheid, Criminal responsibility, Criminal Liability.
Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang
tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana atau
Crime yang terjadi atau tidak.17
Menurut Van Hamel, sebagaimana yang dikutip oleh Martiman,
pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal dan kematangan
psikis yang membawa tentang macam kemampuan untuk dipahami arti dan
akibat perbuatannya sendiri. Menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan
atau dilarang oleh masyarakat menentukan kemampuan terhadap perbuatan-
perbuatan itu.18
Sedangkan menurut Satochid Kartanegara, pertanggungjawaban pidana
adalah merupakan kelanjutan dari perbuatan pidana yang merupakan suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Ia juga
berpendapat bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya atas
perbuatannya jika :
17 E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan
Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem Pathaem, 1996), h. 245.
18 Martiman Prodjohamodjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), Cet.Ke-1, h. 32.
32
1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti
atau tahu akan nilai dari perbuatannya itu, juga akan mengerti akan
akibatnya.
2. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat menekan
kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan.
3. Orang itu harus sadar dan insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan
merupakan perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum,
masyarakat maupun tata susila.19
Dari tiga hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa untuk menentukan
seseorang mampu bertanggungjawab atau tidak pada dua faktor. Pertama, faktor
akal, yaitu seseorang dengan akalnya dapat membedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kedua, faktor kehendak, yaitu
seseorang dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan, mana yang
diperbolehkan dan mana yang tidak.
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya
seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno mengatakan, “Orang tidak
mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan
perbuatan pidana”.20 Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama
tergantung dilakukannya tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya akan
19 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah I, h. 224
20 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara), h. 155
33
terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana.
Sebaliknya eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada
orang-orang yang pada kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut.
Terdapat sejumlah perbuatan yang tetap menjadi tindak pidana sekalipun tidak
ada orang yang dipertanggungjawabkan karena telah melakukannya. Dengan
demikian, tidak mungkin seorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana,
jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Hanya dengan
melakukan tindak pidana seorang dapat dimintai pertanggungjawaban.21
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak. Jika
telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah
ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan
yang terlarang (diharuskan), seseorang dapat dipertanggung-jawab-pidanakan
atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan-tindakan tersebut bersifat
melawan hukum (dan tiadak ada sifat peniadaan melawan hukum atau
rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut
kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang ”mampu
bertanggungjawab” yang dapat dipertanggungjawab (pidana) kan. Dikatakan
seseorang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvaatbaar), bilamana pada
umumnya :
1. Keadaan jiwanya :
21 Chairul Huda, Dari : ”Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan” : Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet.Ke-1, h.19
34
a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair);
b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya); c. Tidak terganggu karena terkejut, seperti hypnotisme, amarah yang
meluap, pengaruh bawah sadar, menindur, menggigau karena demam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
2. Kemampuan jiwanya : a. Dapat menginsyafi hakikat dari tindakannya; b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan
dilaksanakan atau tidak; c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.22
Dalam hukum pidana untuk dapat dimintakannya pertanggungjawaban
pidana atas tindakan yang dilakukannya, harus disandarkan pada kemampuan
bertanggungjawab. Karena pada dasarnya hanya seseorang yang mampu
bertanggungjawab sajalah yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya.
Doktrin hukum pidana mengajarkan bahwa dalam pertanggungjawaban pidana
ini kemampuan tidak didasarkan pada keadaan dan kemampuan berfikir
seseorang, melainkan didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa orang
tersebut.
Penentuan kemampuan bertanggungjawab pidana ini lebih ditujukan pada
subyek tindak pidana yang harus sesuai dengan ketentuan undang-undang
sebagai salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemidanaan terhadap
pelaku selain memperhatikan adanya unsur kesalahan pada pelaku tindakan
pelaku tersebut bersifat melawan hukum (baik secara formil maupun materiil)
22 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya, h.224.
35
dan dilakukan sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan lain yang ditentukan
dalam undang-undang.
Pasal 44 KUHP mengatur bahwa seseorang yang tidak dapat
mempertanggungjawabkan tindakannya karena keadaan jiwanya yang cacat
dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit tidak dipidana.23
Sementara Ruslan Saleh mengemukakan bahwa orang yang mampu
bertanggungjawab harus memenuhi tiga unsur, yaitu :
1. Dapat menginsyafi makna dari perbuatannya;
2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut
dalam pergaulan masyarakat;
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan
perbuatan.
Seseorang yang dianggap memiliki keadaan jiwa yang cacat
pertumbuhannya apabila orang tersebut meski sudah dewasa namun masih
berkelakuan seperti anak-anak. Hal ini diakibatkan oleh lambatnya
pertumbuhan jiwa orang tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan keadaan
jiwa yang terganggu karena penyakit adalah kondisi jiwa seseorang yang
semula sehat atau baik-baik saja namun kemudian dihinggapi penyakit kejiwaan
tertentu. Kondisi lazim ini disebut ”gila” (pathologische ziektetoestand).
Dalam KUHP sebenarnya tidak diberikan batasan-batasan yang jelas,
namun dalam pasal 44 KUHP digambarkan bahwa keadaan pelaku atau
23 Moeljatno, KUHP, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet.Ke-1, h.19.
36
seseorang yang tidak mampu bertanggungjawab itu disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut :
1. Kurang sempurna akalnya
Kurang sempurna akal ini dapat dijelaskan sebagai jiwa yang
pertumbuhannya terlambat atau terbelakang atau dapat pula kurang
sempurna kecerdasan otaknya. Orang semacam ini bila dilihat keadaan
fisiknya sebenarnya tidak sakit, tetapi keadaan jiwa masih seperti anak-
anak. Hal itu disebabkan oleh pikirannya yang tidak dapat berkembang maju
sehingga tidak mempunyai pikiran yang normal untuk dapat membedakan
baik dan buruknya suatu perbuatan. Biasanya orang demikian dalam
keadaan sehari-hari disebut idiot. Keadaan seperti ini juga terkadang
keadaan yang sejak lahir :
a. Pembelaan diri;
b. Menjalankan ketentuan undang-undang;
c. Menjalankan perintah jabatan;
d. Pengajaran dan pengobatan.
2. Sakit berubah akal atau ingatan
Yaitu orang yang jiwanya sakit atau terganggu oleh suatu penyakit,
sehingga ia tidak dapat berfikir secara normal. Orang yang menderita sakit
ingatan ini pada waktu lahir mungkin keadaannya baik-baik saja dan
pikirannya dapat berkembang maju. Namun karena suatu hal yang
menganggu pikirannya sehingga menjadi berubah akal.
37
Adapun dalam teori hukum pidana, terdapat alasan-alasan yang
menghapuskan hukuman, yaitu :
1. Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan hukuman, sehingga apa
yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar.
Alasan pembenar disebut juga ”fait D’justificatif” yang bertalian dengan
perbuatan itu sendiri karena adanya suatu sifat pada perbuatannya, sehingga
perbuatan itu tidak dilarang.
2. Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi
tetap merupakan perbuatan pidana karena tidak ada kesalahan. Alasan
pembenar disebut juga ”fait D’execuse” atau hal yang dimaafkan karena si
pelaku oleh undang-undang hukum pidana :
a. Belum dewasa;
b. Daya paksa;
c. Kurang sempurna akal.
38
BAB III
PENGHINAAN DAN KEBEBASAN PERS
A. Pengertian Penghinaan
Pada dasarnya penghinaan adalah menyerang nama baik dan kehormatan
seseorang, yang bukan dalam arti seksual, sehingga orang itu merasa dirugikan.
Kejahatan yang berkaitan dengan bidang seksual tidak termasuk dalam bidang
penghinaan disini, melainkan termasuk dalam ruang lingkup kejahatan
kesusilaan atau kejahatan terhadap kesopanan yang telah diatur dalam pasal-
pasal yaitu pasal 281 sampai 303 KUHP.1
Penghinaan berasal dari kata benda dengan perubahan kata kerja penghina
yaitu menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, penghinaan asal kata
dari kata hina yang berarti rendah kedudukannya (pangkat martabat) keji,
tercela, tidak baik (perbuatan atau kelakuan).2
Penghinaan merupakan sebuah proses, perbuatan atau cara menghina atau
menista baik dilakukan secara lisan maupun tulisan. Sedangkan, menghina
adalah (1) merendahkan, memandang rendah, (2) memburukkan nama
seseorang, menyinggung perasaan orang lain (seperti) mencaci maki.
1 Wina Armada S.A, Wajah Hukum Pidana Pers, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1989), h. 53.
2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 322.
32
39
Menurut R. Soesilo bahwa tindak kejahatan menghina adalah menyerang
seseorang dan nama baik seseorang. Akibatnya, yang diserang merasa malu.
kehormatan yang diserang hanya mengenai kehormatan tentang ”nama baik”,
bukan kehormatan dalam lingkup seksual atau kehormatan yang dicemarkan
karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi
kelamin.3
Salah satu kunci penghinaan adalah mencemarkan nama baik.
Mencemarkan mempunyai arti merusak, menodai, membuat kotor dan buruk
pada suatu nama baik (reputation) seseorang atau kelompok orang dengan cara-
cara yang tidak baik seperti menyebarluaskan pernyataan yang tidak
berdasarkan fakta.
Definisi lain menegnai perbuatan penghinaan adalah pencemaran nama
baik. Diberikan oleh The Reports Committee On Freedom Of The Press :
”Penghinaan terjadi apabila suatu pernyataan tidak didasarkan fakta dan
bernada nista mengenai seseorang yang teridentifikasi dipublikasikan kepada
pihak ketiga, sehingga menimbulkan kerugian terhadap reputasinya.
Di Amerika dan Inggris dikenal dengan istilah ”Defarmation” (dari kata
kerja to defame = menghina, menista). To Defame bisa diartikan (merusak atau
menodai reputasi seseorang atau sekelompok orang dengan cara-cara yang tidak
3 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya,
(Bogor: Politeia, 1990), h. 225.
40
fair seperti pernyataan yang tidak berdasarkan fakta (dalam perbuatan
defarmation, suatu pernyataan dimasalahkan karena pernyataan itu telah
mengakibatkan tercemarnya atau ternodanya nama baik seseorang.4
Dengan demikian, penghinaan adalah suatu perbuatan yang menyerang
kehormatan seseorang yang mengakibatkan rusaknya nama baik atau reputasi
seseorang, yang penghinaan tersebut tidak berdasarkan fakta disebarkan kepada
khalayak ramai dan telah menimbulkan kerugian bagi pihak yang dihina. Dan
kehormatan yang diserang hanya mengenai kehormatan tentang ”nama baik”
bukan dalam arti seksual.
B. Bentuk-Bentuk Penghinaan
Pada sasat awal KUHP disusun, istilah pencemaran nama atau
mencemarkan nama baik belum dikenal. Istilah pencemaran nama atau
menyerang kehormatan orang lain baru muncul sekitar pertengahan tahun 70-
an. Delik penghinaan secara khusus diatur dalam bab XVI KUHP yang terdiri
atas 12 pasal, yakni pasal 310 sampai pasal 321, penghinaan adalah menyerang
nama baik dan kehormatan seseorang, yang bukan dalam arti seksual sehingga
orang itu merasa dirugikan.
Dalam hal obyek atau sasaran penghinaan yaitu :
1. Penghinaan terhadap pribadi seseorang Contohnya si A menuduh si B telah mencuri uang dari tas si A.
4 Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik Dan Kebebasan Pers Antara Indonesia Dan
Amerika, (Jakarta: Erwin-Rika Press, 2005), h.27.
41
2. Penghinaan terhadap institusi atau lembaga Misalnya disebuah koran menulis dalam artikelnya : ”Semua pembesar polisi-polisi di Indonesia ini koruptor”.
3. Penghinaan suatu agama Misalnya menghina suatu benda yang dipergunakan untuk mengerjakan ibadah (kebaktian) yang mana benda tersebut betul-betul sedang digunakan ibadah ditempat ibadah.
4. Penghinaan para pejabat, meliputi pegawai negeri pada waktu menjalankan pekerjaannya yang sah. Misalnya agen polisi sedang meronda, jaga dan sebagainya.
5. Penghinaan kekuasaan yang ada di Indonesia Misalnya pembesar-pembesar di Indonesia ini korup seperti orang yang tidak beragama.
6. Penghinaan terhadap orang yang meninggal.5
Adapun cara melakukan penghinaan, terdapat beberapa pembagian, yaitu :
1. Menurut Ilmu Pengetahuan a. Secara formil yaitu penghinaan yang dilakukan dengan tegas dan
langsung pada sasaran. b. Secara materiil yaitu penghinaan yang dilakukan tidak secara terang-
terangan, samar-samar dan tidak begitu kentara namun ”nyelekit” 2. Pembagian menurut KUHP
a. Secara lisan yaitu penghinaan yang diucapkan atau dilakukan dengan oral.
b. Secara tertulis yaitu penghinaan yang dilakukan melalui tulisan (barang cetakan).6
Tidak semua pembagian penghinaan sebagaimana diuraikan itu
berhubungan dengan pers. Memang terhadap objek atau sasaran penghinaan,
pers dapat melakukan kepada semuanya. Begitu pula dalam cara penghinaan,
jika memakai pembagian dari sudut ilmu pengetahuan, kedua cara penghinaan
dapat dilakukan pers. Namun sebaliknya, andaikata dilihat dari sudut
5 Oemar Seno Adji, Aspek-Aspek Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1997), Cet.Ke-3, h.297.
6 Armada, Wajah Hukum Pidana Pers, h.52.
42
pembagian KUHP, pers hanya berkaitan dengan cara tertulis, dan tentang
bentuk penghinaan yang terdapat dalam KUHP juga tidak seluruhnya
berhubungan dengan pers. Cuma tiga bentuk yang berkaitan dengan pers, yaitu
pencemaran tertulis, penghinaan ringan dan fitnah.
Mengenai pembagian tindak pidana terhadap kehormatan dan nama baik,
Leden Marpaung membagi ke dalam 7 (tujuh) bagian, yaitu :
1. Menista; 2. Menista secara tertulis; 3. Fitnah; 4. Penghinaan ringan; 5. Pemberitahuan fitnah; 6. Persangkaan palsu; 7. Penistaan terhadap orang yang meninggal.7
Sedangkan R. Soesilo membagi kejahatan penghinaan kedalam enam
kategori, yaitu :
1. Menista (pasal 310) :
a. Barangsiapa dengan sengaja merusak kehormatan atau nama baik
seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan
dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena
menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-
2. Menista dengan tulisan (pasal 310) :
7 Leden Marpaung, Tindak Pidana Kehormatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),
h.10.
43
a. Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,
dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu
dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara
selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp. 4500,-
b. Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata
bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum lantaran
terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri (KUHPH 134s,
142s, 207, 311s, 319s, 483, 448).
3. Memfitnah (pasal 311) :
a. Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan,
dalam hal ini diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada
dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang
diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak tersebut pasal 35 No. 1-3
(KUHP 312s, 316s, 319, 488)
4. Penghinaan ringan (pasal 315) :
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tiada bersifat menista atau
menista dengan tulisan, yang dilakukan kepada seseorang baik ditempat
umum dengan lisan, atau dengan tulisan, maupun dihadapan orang itu
sendiri dengan lisan atau dengan perbuatan, begitupun dengan tulisan yang
44
dikirim atau diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan,
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.500,- (KUHP 134s, 142s, 312, 316, 319,
488).
5. Mengadu dengan memfitnah
a. Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan
surat pengaduan atas pemberitaan yang palsu kepada pembesar Negeri
tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi
tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah,
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal
35, No. 1-3 (KUHP 72, 220, 310, 488)
6. Menyuruh dengan memfitnah (pasal 318) :
a. Barangsiapa denagn sengaja melakukan sesuatu perbuatan,
menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan sesuatu
perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan
memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamnya empat tahun.
b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut pada pasal 35
No. 1-3 (KUHP 319, 488).8
8 Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya, h.226-
227.
45
Adapun KUHP tidak menentukan perbuatan apa yang bisa dikualifisir
”fitnah” atau ”nista”. Menurut R. Soesilo, perbuatan yang dituduhkan, tidak
harus perbuatan yang bisa dihukum seperti mencuri, menggelapkan uang,
berzinah, dan sebagainya. Akan tetapi cukup perbuatan biasa yang dianggap
memalukan misalnya, menuduh seseorang berkunjung ke tempat prostitusi,
berkunjung ke tempat pelacuran, sebetulnya, bukanlah perbuatan yang dapat
dihukum, akan tetapi cukup memalukan bagi seseorang bila diumumkan kepada
publik. Tuduhan di atas harus dilakukan dengan lisan. Apabila dilakukan secara
tertulis atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan ”menista dengan surat” dan
dikenakan pasal 310 ayat (2).
Pasal 310 ayat (2) mengatur tentang ketentuan delik penghinaan dengan
pers (press libel). Istilah ”disiarkan” dalam konteks reformasi, jelas termasuk
juga publikasi yang dilakukan oleh media massa, terutama surat kabar, radio,
dan televisi. Namun, ketentuan dalam ayat (3) menyatakan perbuatan
sebagaimana diatur di dalam ayat (1) dan (2) tidak termsuk dalam tindak pidana
menghina, apabila tuduhan itu dilakukan untuk ”membela kepentingan umum”
atau terpaksa untuk ”membela diri”.
KUHP membedakan antara kejahatan menista (pasal 310) dan memfitnah
(pasal 311). Persamaannya kedua tindak kejahatan itu sama-sama berakibat
rusaknya kehormatan atau nama baik orang lain. Perbedaannya, dalam hal
memfitnah, pelaku sudah mengetahui bahwa tuduhannya tidak benar, tetapi ia
tetap melakukannya. Jadi, terdapat kesengajaan.
46
Sedangkan dalam delik menista, unsur kesengajaan tidak ada atau tidak
perlu dibuktikan. Oleh sebab itu, sanksi hukum atas perbuatan memfitnah jauh
lebih berat. Tindak kejahatan memfitnah dikenakan sanksi hukuman setinggi-
tingginya empat tahun, sedang sanksi hukum atas kejahatan menista maksimal
hanya penjara sembilan bulan. Dengan demikian, bobot kesalahan perbuatan
menghina jauh lebih besar daripada menista.
C. Kode Etik Jurnalistik
Di Indonesia pada dasarnya terdapat suatu badan yang berfungsi
melakukan kontrol kualitas terhadap pemberitaan media massa selain Undang-
undang Pokok Pers. Badan ini adalah kode etik jurnalistik. Yang dimaksud
denagn kode etik sendiri adalah daftar kewajiban dalam menjalankan suatu
profesi yang disusun oleh para anggota profesi itu sendiri dan melekatnya
dalam mempraktekannya. Dengan kata lain, kode etik merupakan tuntunan,
bimbingan, atau pedoman moral atau kesusilaan untuk suatu profesi yang
disusun oleh para anggota profesi itu sendiri dan melekatnya dalam
mempraktekannya.
Kode etik adalah satu bentuk pertanggungjawaban pers kepada
masyarakat. Kode etik salah satu ihtiar untuk menjaga kepercayaan masyarakat
47
sekaligus memelihara harkat dan martabat pers. Dapat dikatakan, kepatuhan
terhadap kode etik menjadi salah satu ukuran kedewasaan seorang jurnalis.9
Pemberitaan pers berarti berbicara jurnalistik, guna memahami kegiatan
jurnalistik lebih jauh, sebaiknya dipahami lebih dahulu dasar-dasar itu. Kata
jurnalistik dalam bahasa Indonesia dikenal pada-nya ”kewartawanan” demikian
juga dalam Undang-Undang Pokok Pers Indonesia. Dikenal dengan istilah
kewartawanan.
Kewartawanan adalah kegiatan usaha yang sah yang berhubungan dengan
pengumpulan, pengolahan, dan penyiaran berita dalam bentuk berita, pendapat
ulasan, gambar dan sebagainya dalam bidang komunikasi massa. Sedangkan
wartawan maksudnya adalah orang yang melakukan pekerjaan kewartawanan.
Pemberitaan pers terkadang kehilangan idelismenya, kondisi ini
disebabkan oleh krisis manajemen pers dan profit oriented pers yang membuat
pers menomor duakan misi edukatifnya.
Bisnis pers berorientasi ekonomi itu, mendorong media massa untuk lebih
memprioritaskan kepentingan non pers, di atas kepentingan pers yang
sesungguhnya. Akibatnya, idelisme pers yang dikehendaki publik media,
menjadi semakin ”jauh asap dari media”. Ini antara lain disebabkan oleh
solidnya berbagai kepentingan politik pemerintah atas kepentingan ekonomi
9 Setjipto, “Wartawan, Pebisnis Pers, Standar Profesi”, Suara Merdeka, 09 Februari
2006, h.1.
48
pemilik modal serta pengelola media massa, mudah sekali mengorbankan
obyektifitas sajian pers.10
Dalam kasus berita ”Ada Tomy Di Tenabang ?” penggugat Tomy Winata
mengaku bahwa akibat pemberitaan di Koran Tempo, ia merasa ketakutan,
khawatir akan menjadi sasaran amarah para pedagang pasar Tanah Abang.
Artinya, berita itu, menurut Tomy, dapat menimbulkan kebencian dikalangan
pedagang yang menjadi korban kebakaran karena adanya persepsi yang
ditimbulkan oleh pemberitaan Koran Tempo bahwa lahan dagang mereka telah
”dibakar” oleh orang-orang Tomy. Tomy juga mengaku menderita kerugian
bisnis yang tidak kecil nilainya, sebab gara-gara berita tersebut, banyak mitra
bisnisnya dari Taiwan yang mengurungkan niatnya untuk menjalin kerjasama
dengan pihaknya. Dalam kasus Akbar Tanjung melawan rakyat merdeka, Akbar
merasa terhina oleh karikatur yang dibuat dan dipubllikasikan oleh Rakyat
Merdeka. Dalam kasus Rini Soewandi melawan Rakyat Merdeka, Rini merasa
martabatnya sebagai pejabat pemerintah tercoreng karena dituding menonton
pertunjukan tari telanjang di Moskow, suatu perbuatan yang secara moral bisa
diartikan buruk oleh orang banyak.
Dengan dalih kebebasan pers wartawan dengan sendirinya tidak mungkin
dibiarkan oleh hukum dan undang-undang seenaknya atau menyiarkan
tulisannya yang bersifat menghina dan fitnah atau pun mencemarkan nama baik
10 Nopel Ali, Pers Objektif: Media Pemberdayaan Masyarakat Yang Efektif, (Bandung:
PT. Remaja Rosada Karya, 1998), h.17.
49
seseorang. Sekalipun demikian wartawan Indonesia bukan berarti hanya
menulis atau menyiarkan tulisan-tulisan yang bersifat asal bapak senang (ABS).
Oleh sebab itu maka kode etik jurnalistik disusun untuk ditaati dan dilaksanakan
oleh wartawan Indonesia.
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia
yang dilindungi pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana
masyarakat untuk memperoleh informasi dan komunikasi, guna memenuhi
kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam
mewujudkan kemerdekaan pers, wartawan Indonesia juga menyadari adanya
kepentingan bangsa, bertanggungjawab sosial, keberagaman masyarakat, dan
norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan perannya, pers
menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan
terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers
dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan
Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman
opersional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta
profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati
Kode Etik Jurnalistik, yaitu :
1. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk;
50
2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik;
3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah;
4. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul; 5. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan;
6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap;
7. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai embargo, informasi latar belakang, dan ”off the record” sesuai dengan kesepakatan;
8. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani;
9. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik;
10. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar atau pemirsa.
11. Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara profesional.11
Dengan demikian kode etik jurnalistik merupakan suatu pedoman bagi
pers dalam mencari, memperoleh, dan menyampaikan informasi baik dalam
bentuk lisan maupun tulisan. Adapun kode etik merupakan salah satu bentuk
pertanggungjawaban pers kepada masyarakat dan dapat menjaga kepercayaan
masyarakat. Kode etik jurnalistik disusun untuk mencegah disalahgunakan pers
sebagai media penghinaan, fitnah dan penghasutan.
11 Undang-Undang Pers Dan Kode Etik Jurnalistik, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,
2006), Cet.Ke-1 h.29.
51
D. Kebebasan Pers
Sejak berdiri Negara Proklamasi Republik Indonesia yang berkonstitusi
dan berpancasila, maka Negara hukum Indonesia sejak semula telah mengenal
dan mengakui adanya kemerdekaan (ini adalah istilah yang dipakai dalam UUD
1945 pasal 26) untuk menyatakan pikiran dengan lisan dan tulisan yang tidak
lain dan tidak bukan adalah kemerdekaan pers.12
Dalam beberapa literatur hukum Indonesia, diakui dua padanan kata yang
mempunyai arti yang sama, yaitu istilah kemerdekaan pers dan kebebasan pers.
Demikian halnya dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Oemar Seno Adji dalam buku karangannya yang berjudul ”Pers Aspek-
Aspek Hukum dan Media Massa dan Hukum” sebagian besar menggunakan
istilah ”Kemerdekaan Pers”. Sedangkan J.C.T. Simorangkir dalam bukunya
”Hukum dan Kebebasan Pers” cenderung menggunakan istilah ”Kebebasan
Pers”.13
Adapun istilah bebas atau merdeka, kebebasan atau kemerdekaan maka
berikut bahan kutipan dari Kamus Umum Bahasa Indonesia sususnan W.J.S.
Poerwadarminta, yaitu :
1. Bebas adalah lepas sama sekali (tidak terhalang, tergantung dan sebagainya sehingga boleh bergerak, bercakap, berbuat dan sebagainya. Dengan leluasa); misalnya, tiap-tiap anggota bebas untuk melahirkan pendapatnya.
12 J.C.T. Simorangkir, Hukum dan Kebebasan Pers, (Bandung: Angkasa, 1980), Cet.Ke-
1, h.51. 13 Ibid., h.8.
52
2. Lepas dari (kewajiban, tuntutan, ketakutan dan sebagainya); tidak dikenakan (pajak, hukuman dan sebagainya); tidak terikat atau terbatas; misalnya :bebas dari bea; bebas dari perasaan takut dan khawatir; bebas dari kewajiban membayar ganti rugi; penjualan bebas, penjualan yang tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan dan sebagainya (semua orang boleh membeli) pasar bebas, pasar umum (dalam arti jual beli yang tidak terbatas atau terikat).
3. Merdeka (tidak diperintah atau sangat mempengaruhi Negara lain); misalnya : sehabis perang dunia kedua banyak negeri-negeri yang bebas; politik bebas, politik luar negeri yang tidak terpengaruhi oleh kekuasaan asing.
4. Merdeka diartikan bebas (dari hambatan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri (tidak terikat, tidak tergantung pada suatu yang lain); lepas (dari bantuan); Bangsa (Negara dan sebagainya) merdeka tidak dijajah, orang merdeka, bukan hamba tebusan, majalah merdeka, dengan leluasa merdeka, merdeka sama sekali (boleh berbuat sekehendak hatinya).14
Memperhatikan kutipan arti kedua istilah kebebasan tampaknya lebih
sesuai untuk digunakan sebagai istilah dalam kehidupan pers. Karena istilah
kemerdekaan lebih sesuai dipakai dalam kehidupan ketatanegaraan.
Kebebasan pers dalam Convention On Freedom Of Information selalu
dikatakan bahwa ia membawa kewajiban dan tanggung jawab (Carries With
Duties And Responsibilities). Hal demikian diakui oleh TAP MPRS
No.XXXII/MPRS/1966 tentang pembinaan pers yang dalam konsideransnya
diakui, bahwa mengeluarkan pendapat dan pikiran melalui media massa pers
adalah hak asasi tiap-tiap warga Negara.15
14 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1976), h.103.
15 Oemar Seno Adji, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1990), h.13.
53
Kebebasan pers merupakan salah satu dimensi hak asasi manusia, yaitu
hak manusia untuk membentuk pendapatnya secara bebas. Istilah kebebasan
pers sebenarnya nama generik untuk seluruh hak bersifat asasi warga
masyarakat. Berupa hak untuk memproleh informasi (Right to Know) yang
diperlukan dalam membentuk dan membangun secara bebas pemikiran dan
pendapatnya disatu pihak. Dan hak untuk menyatakan pikiran dan pendapat
dipihak lain (Right to Speech). Makna ini berkaitan dengan tersedianya
informasi secara bebas, baik informasi sosial maupun estetis di tengah
masyarakat.16
Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir
di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yang diatur dalam pasal 28 UUD
1945. pasal ini menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliputi media cetak,
media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Oleh karena itu Negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan
pendapat dan kebebasan berfikir adalah merupakan bagian dari perwujudan
Negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.
Hukum dan kebebasan pers tidak bisa dilepaskan dari masyarakat. Dimana
hukum dan pers itu berada karena pers adalah bagian dari sistem sosial dimana
16 Ashadi Siregar, “Metode dan Analisis Terhadap Pemberitaan”, Artikel diaksesPada
Tanggal28Desember2006darihttp://www.dewanpers.org/dpers.php?x=opini&y=det&z+f15e45cd496bf804b8b7e, h.1.
54
pers itu berbeda. Oleh karena itu mengenai kebebasan pers tergantung kepada
sistem pers yang digunakan. Untuk menentukan sistem pers yang digunakan
terdapat suatu cara yaitu dengan melihat hubungan antara pers dan pemerintah.
Berdasarkan hal itu keputusan dewan pers No. 79/XIV/1974 intinya
mengemukakan bahwa kebebasan pers Indonesia berlandaskan :
1. Segi Idiil : Pancasila 2. Konstitusional : UUD 1945 dan TAP MPR 3. Strategi : Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 4. Yuridis : Undang-Undang Pers 5. Kemasyarakatan : Tata nilai sosial yang berlaku pada masyarakat Indonesia. 6. Etis : Kode Etik Profesional17
Kebebasan pers di Indonesia adalah kebebasan yang bertanggungjawab
yang berdasarkan pada nilai-nilai pancasila. Contohnya setiap pemberitaan tidak
boleh menyinggung suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang pada
akhirnya akan menimbulkan keresahan masyarakat dan memecah persatuan dan
kesatuan bangsa.
Secara universal, pers diakui memainkan peranan penting dalam proses
demokrasi. Dalam kancah politik, pers kerap berfungsi sebagai filter
komunikasi politik antar elit politik dan rakyat atau sebaliknya. Sebab jarang
sekali pemimpin Negara berbicara langsung kepada rakyat. Pers menjadi
17 Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu Pengantar,
(Bandung: Simbiosa Bekatama Media, 2004), h.159.
55
wahana penting untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah.18
Kebebasan pers perlu diwujudkan agar pers bisa menjalankan fungsinya secara
optimal. Dengan terjamin kebebasan pers, roda lambang demokrasi yang selama
ini kurang berfungsi akan digerakkan kembali.
Dalam menjalankan fungsinya, pers harus menghormati hak asasi setiap
orang. Karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka. Dikontrol oleh
masyarakat , Roeslan Abdul Gani menyatakan bahwa ”Dalam mengemukakan
kritik, titik pangkalnya ialah bukan kritik untuk mengkritik”, melainkan kritik
tersebut harus dapat memberikan alternatif dan menunjukkan jalan keluar.19
Pernyataan yang mengandung kritik tidak boleh dituangkan dalam bentuk,
sehingga ia merupakan Formele Beledeging yaitu suatu penghinaan dimana
yang ditonjolkan bukan apa (isi-nya, pernyataan demikian mungkin merupakan
penghinaan materiil), melainkan bagaimana pernyataan itu dikemukakan. Oleh
karena itu bentuk atau cara pernyataan itu dikemukakan adalah sangat
menentukan untuk mengkualifisir suatu pernyataan sebagai penghinaan.20
Untuk mencegah disalahgunakannya pers sebagai media penghinaan,
fitnah dan penghasutan diperlukan perangkat hukum lain, yang sebenarnya
18 Lesmana, Pencemaran Nama baik dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan
Amerika, h.100. 19 Oemar Seno Adji, Mass Media Dan Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1977), Cet.Ke-2, h.81.
20 Ibid., h.83.
56
bertujuan bukan untuk mengekang kebebasan pers namun membuat pers
Indonesia menjadi lebih profesional dan bertanggungjawab serta menghormati
hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan peranan pers nasional.
Sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU Pers, yaitu :
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; 2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan; 3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat,
dan benar; 4. Melakukan pengawasan kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum; 5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.21
Agar pers berfungsi sebagaimana mestinya dibutuhkan syarat-syarat
tertentu. Salah satu syarat penting itu ialah dalam menjalankan tugasnya pers
mutlak membutuhkan kebebasan, seperti diutarakan oleh Mochtar Lubis
”Kemerdekaan pers merupakan satu unsur di dalam peradaban manusia yang
maju dan bermanfaat tinggi yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Dan
jika kemerdekaan pers tidak ada, maka martabat manusia jadi hilang”.
Kebebasan pers yang demikian besar, bahkan cenderung ”kebablasan”
telah menimbulkan berbagai akses yang merugikan masyarakat maupun pers,
antara lain beberapa :
1. Pelarangan atas prinsip Check And Balanced sehingga berita yang dihasilkan tidak obyektif, bahkan cenderung amatiran;
2. Pelanggaran atas prinsip praduga tak bersalah
21 Adreas Harsono, “Kebebasan Pers”, Artikel diakses Pada Tanggal 28 Juni 2006 dari
http://anggara.org/2006/06/28/kebebasan-pers-dalam-perspektif pidana-ditinjau-dari-ruu-KUHP/
57
Seorang purnawirawan petinggi kepolisian RI dan seorang letnan jendral TNI AD. Misalnya diberitakan terlibat dalam kasus bom Bali karena berada di Bali pada saat tragedi itu terjadi.
3. Pencemaran nama baik Karena kurang teliti atau tidak melakukan penelitian yang seksama, wartawan adakalanya terperosok dalam perangkap pencemaran nama baik, misalnya Koran Tempo dan majalah Tempo diadili karena diadukan oleh Tomy Winata.
4. Di pengaruhi pola pikir yang negatif Pola pikir yang negatif ini mungkin timbul akibat pengalaman buruk pers dengan pemerintah di masa silam. Contoh : menjelang diterapkannya status darurat militer di Aceh pada Mei 2003, Koran Tempo (21-4-2003) menurunkan sebuah headline di halaman pertama dengan judul yang amat profokatif : ”TNI siapkan ladang pembantaian GAM”. Berita seperti ini dikhawatirkan dapat meprovokasi masyarakat untuk menentang kebijakan darurat militer di Aceh, sekaligus membangkitkan kebencian mereka pada TNI.
5. Memelintir informasi yang sebenarnya Wujudnya dengan mengiring seseorang seolah-olah menguatkan apa yang sebenarnya menjadi pendapat wartawan sendiri.
6. Salah kutip Banyak wartawan yang berpendapat bahwa jika mereka mengutip pernyataan seseorang apalagi sumbernya sangat Credible dan kemudian pernyataan itu ternyata salah, maka wartawan itu tidak dapat disalahkan apalagi dijerat hukum, pandangan itu tentu keliru. Jika isi kutipan terbukti menghina pihak ketiga, pers dapat dituntut ke Pengadilan dan di hukum membayar ganti rugi pada pihak yang merasa tercemar nama baiknya.22
Kebebasan tanpa batas tidak mungkin ada di dunia ini, pasti ada yang
membatasinya. Kebebasan pers Indonesia tersumber dari konstitusi Negara
yaitu Undang-Undang Dasar 1945, yang memberikan jaminan kemerdekaan
yang tercantum dalam pasal 28 ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul
22 Lesmana, Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan
Amerika, h. 191.
58
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
undang-undang.23
Ketentuan mengenai kebebasan pers di Indonesia telah digariskan dalam
beberapa ketentuan dan perundang-undangan, antara lain :
1. UUD 1945 dalam pasal 28 disebutkan : ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967 yang terdapat pada pasal 23 ayat 2 butir c ”memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers yang bertanggungjawab”.
3. Undang-Undang Pers No. 11 Tahun 1966 pasal 5 ayat 1 dan 2 serta Undang-Undang No. 21 Tahun 1982, yaitu : Ayat 1 : “Kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga Negara dijamin”. Ayat 2 : ”Kebebasan pers didasarkan atas tanggungjawab nasional dan
pelaksanaan pasal 2 dan 3 Undang-undang ini”. 4. Ketetapan MPR No. IV Tahun 1978 dan Ketetapan MPR No. 11 Tahun
1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang mengenai penerangan dan media pers butir D menyebutkan : ”Pers yang bebas dan bertanggugjawab yaitu pers yang dapat menjalankan fungsinya, sebagai penyebar informasi yang obyektif”.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan di atas, bahwa seluruh warga
Negara khususnya insan pers berhak mengeluarkan pikirannya dengan lisan
mapun tulisan. Dan kebebasan pers adalah sebuah bagian dari hak asasi manusia
dijamin oleh Negara. Akan tetapi kebebasan itu bukan tanpa batas. Melainkan
sudah ada ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Ketentuan
perundang-undangan tersebut diciptakan adalah untuk mencegah
disalahgunakannya pers sebagai media penghinaan, fitnah dan penghasutan.
23 Yanuar Abdullah, Dasar-Dasar Kewartawanan Teori Dan Praktek, (Padang: Angkasa Raya), 1992), Cet.Ke-2, h.131.
59
Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang
berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam
suatu Negara. Oleh karena itu sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi
dan juga sering menjadi media koreksi dijamin kebebasannya dalam menjalankan
profesi kewartawanannya.54 Dan negara telah mengakui bahwa kebebasan
mengemukakan pendapat dan kebebasan berfikir adalah merupakan bagian dari
perwujudan Negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.
54 Harsono,”Kebebasan pers”, h.2.
60
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN MAJELIS HAKIM
PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT TENTANG PERKARA PIDANA
PENGHINAAN OLEH PERS
A. Gambaran Kasus Perkara Pidana Penghinaan Oleh Pers
Putusan tentang perkara pidana penghinaan oleh pers di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dengan terdakwa :
Bambang Harymurti, yang beralamat Kantor Jl. Proklamasi No. 72 Kec.
Menteng Jakarta Pusat, dan alamat rumah Jl. Merpati No. 32 Rt. 010 Rw. 015
Kel. Menteng Dalam Kecamatan Tebet Jakarta Selatan, Agama Islam,
Pekerjaan beliau adalah Wartawan / Pemimpin Redaksi Majalah Mingguan
Tempo.
Peristiwa di mulai pada hari Rabu tanggal 26 Februari 2003 sekitar jam
11.00 s/d 13.00 Wib dilaksanakan rapat ceking pada kantor Tempo Jl.
Proklamasi No. 72 Menteng Jakarta Pusat yang dihadiri oleh seluruh redaksi
berpangkat Redaktur Muda ke atas kecuali yang sedang berhalangan antaranya
Wakil Pemred, Thoriq Hadad, Redaktur Senior Putu Setia, Redaktur Eksekutif
Leila S. Chudori, Staf redaksi Agus S.R, Karin, Endah dan Wens diusulkan
untuk menulis artikel tentang kelanjutan peristiwa terbakarnya Pasar Tanah
Abang, pada tanggal 19 Februari 2003, karena menurut wartawan majalah
Tempo, dikalangan Tanah Abang beredar isu bahwa Pasar Tanah Abang
dibakar oleh kalangan yang ingin menangguk keuntungan dari proyek renovasi
54
61
Pasar Tanah Abang, selanjutnya dibuat lembar penugasan disampaikan kepada
beberapa reporter antara lain, saksi Ahmad Taufik bin Abu Bakar, Cahyo
Junaedi, Yuliantoro, Indra Darmawan, Bernarda Rurit dan saksi Bagja Hidayat
untuk melakukan pengecekan dan penggalian bahan.
Dari penugasan tersebut, saksi Ahmad Taufik, selaku Wartawan Majalah
Tempo, seolah-olah telah melakukan pengecekan dan penggalian bahan di
lapangan telah membuat penulisan naskah dengan kalimat ”Ada Tomy di
Tanah Abang ?”
Selanjutnya naskah atau tulisan saksi Ahmad Taufik diserahkan kepada
saksi T. Iskandar Ali selaku editor untuk diedit. Kemudian saksi T. Iskandar
Ali, mengedit dengan melakukan perubahan dari judul ” ADA TOMY DI
TANAH ABANG ” menjadi ” ADA TOMY DI TENABANG ” dan selanjutnya
dalam paragraf ke dua menambah ungkapan dengan kata ” PEMULUNG
BESAR ” selanjutnya diikuti dengan kata Tomy Winata nantinya,........dst.
kemudian setelah itu, melalui komputer dikirim ke Redaktur Bahasa untuk
diperiksa dan ditata bahasanya, dan tanpa mengecek sejauh mana kebenaran itu,
terdakwa Bambang Harymurti selaku Pemimpin Redaksi menyetujui untuk
dimuat, dicetak dan dimuat dalam majalah Mingguan Tempo edisi 3-9 Maret
2003, dengan judul berita ” Ada Tomy di Tenabang ”
Konon Tomy Winata mendapat proyek renovasi Pasar Tanah Abang
senilai Rp. 53 Milyar, proposalnya sudah diajukan sebelum kebakaran.
62
Suwarti, 47 tahun tampak mengais-ngais sisa kain dari reruntuhan
balok-balok yang menghitam di blok A, Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Pemulung asal Jawa Tengah itu mencoba mengorek rezeki dari puing-puing
5700 kios di Pasar terbesar di Asia Tenggara itu.
Dari musibah kebakaran itu, Rabu dua pekan lalu, Suwarti dan rekan-
rekannya mungkin menangguk lebih banyak penghasilan ketimbang sebelumya.
Tapi juga ” Pemulung Besar ” Tomy Winata, nantinya, pengusaha dari Artha
Graha ini, kata seorang arsitektur kepada Tempo, sejak tiga bulan lalu sudah
menyetor proposal proyek renovasi Sentra Bisnis Primer Tanah Abang senilai
Rp. 53 milyar ke pemerintah DKI Jakarta.
Proyek itu, menurut Walikota Jakarta Pusat Khosea Petra Lumbun, akan
memakai lahan sekitar 100 hektar. Sentra Bisnis Primer nantinya bukan Cuma
akan memanfaatkan berada bekas kebakaran, tetapi juga membingkar kawasan
pemukiman hiburan, kantor ekspedisi, dan kain modern. Lalu di manna
pedagang kaki lima ?
Rencananya, pasar dihubungkan dengan jembatan penyeberangan tiga
tingkat yang dilengkapi toko-toko. Ada pula jembatan khusus orang yang
sekaligus menjadi tempat pedagang kaki lima berjualan, selain di halaman
parkir seluas 1000 meter ditengah pasar. Tetapi mereka hanya boleh berjualan
dari pukul 6 sore sampai tengah malam. Mereka dilarang berjualan sore hari,
”kata Khosea. Disitu, kios-kios bikinan Tomy Winata rencananya akan dijual
63
Rp. 175 juta permeter dan baru akan diserahkan ke Perusahaan Daerah (PD)
Pasar Jaya 20 tahun.
Tetapi direktur Utama Pasar Jaya, Syahrial Tanjung membantah
renovasi akan dilakukan Tomy. ”memang banyak tawaran, tetapi PD Pasar Jaya
juga memiliki dana cadangan. Gubernur Sutiyoso menyerahkan sepenuhnya
pada PD Pasar Jaya. Katanya dananya berasal dari pinjaman dari Bank dan
Dana Investasi. Tomy Winata, 45 tahun juga menyangkal dengan rencana
renovasi Pasar Tanah Abang. ”Ia merasa belum pernah berbicara tentang hal
itu” Anda orang ke enam yang telepon. Saya belum pernah berbicara tentang
Tanah Abang. Sampai sekarang, saya belum pernah berbicara dengan pihak
siapapun juga, baik, sipil, swasta maupun pemerintah,” kata Tomy geram ”Saya
ini nggak makan nangkanya dikasih getahnya. Kalau (mereka) berani ketemu
muka saya tabokin dia. Kalau ada saksi, bukti atau data-data yang mengatakan
saya deal duluan saya kasih harta saya separuh.”
Dugaan bahwa Pasar Grosir itu dibakar dibantah Kepala Pasar Tanah
Abang Buhar Tambunan ataupun Gubernur DKI Sutiyoso, tapi Perusahaan
Listrik Negara juga menyangkal gardu listrik dalam pasar sebagai penyebab
kebakaran. ”sumber kabakaran dari korsleting listrik masih abu-abu, belum
jelas,” kata Margo Santoso General Manager PLN Distribusi Jakarta Raya dan
Tangerang, Margo Santoso.
Namun sulitnya untuk mengajak ratusan pedagang menyetujui rencana
renovasi pasar membuat dugaan kesengajaan pembakaran ”masuk akal”
64
bukankah kebakaran disengaja atau tidak akan lebih memudahkan pelaksanaan
rencana itu ? dan Tomy pun kena getahnya.
” Tenabang ” sebutan ringkas orang betawi untuk Tanah Abang, sudah
menggiurkan sejak, pengusaha Belanda, Justinus Vinck membangunnya pada
1735. Beberapa tahun lalu, warga timor-timor pimpinan Hercules menguasai
remang-remang Bongkaran, bentrok dengan kelompok Betawi dan Madura.
Untung bisa didamaikan. ”Kami semua ingin hidup harmonis membangun
Tenabang, ini tempat cari duit yang halal,” ujar Muhammad Yusuf Muhi alias
(”Ucu”), Ketua Ikatan Keluarga Besar Tanah Abang. Yang sulit ”didamaikan”
adalah hilangnya sumber pencarian 1,3 juta orang dan ludesnya hampir Rp. 1
triliun dagangan.
Setelah Tenabang menjadi abu, renovasi tampaknya akan lebih mulus
sekaligus bisa memercikkan ”api” baru. Soalnya proyek itu melibatkan banyak
kepentingan : pedagang, pengelola, investor, dan penangguk air di butek.
Karena itu, menurut Dani Anwar, anggota DPRD DKI dari partai keadilan,
pihaknya akan memantau rencana renovasi agar kios-kiosnya tidak jatuh ke
pihak-pihak yang tidak berhak. ”kalau jatuh ke pihak yang hanya mencari
untung pastinya akan menyulitkan para pedagang,” ujarnya.
Dan dengan adanya berita yang dimuat dan disirkan oleh Majalah
Mingguan Tempo, telah membakar emosi dan membuat kegemparan serta
menyebarkan keresahan dikalangan masyarakat terutama masyarakat korban
kebakaran Pasar Tanah Abang, mereka berkumpul dan sepakat untuk
65
mendatangi kantor dan rumah Tomy Winata yang disebut-sebut sebagai orang
yang berada dibelakang layar terbakarnya Pasar Tanah Abang. Sementara disisi
lain, atas kabar berita tersebut ia menerima kecaman, ancaman dari berbagai
pihak melalui telepon. Dan disamping itu juga karena berita itu, telah memicu
terjadinya aksi demo oleh karyawan Artha Graha Group ke Kantor majalah
Mingguan Tempo.
B. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Pada Perkara
Penghinaan Oleh Pers
Sebelum menjatuhkan pidana kepada terdakwa, hakim mempunyai
pertimbangan-pertimbangan, diantaranya hal-hal yang memberatkan adalah
perbuatan terdakwa merupakan penyimpangan kemerdekaan pers dan menyebar
luaskan gagasan dan informasi di samping terdakwa selalu menggunakan hak-
hak kebebasan pers sebagai pembenaran dan melindungi kesalahan atau
perbuatan terdakwa dan perbuatan terdakwa telah menimbulkan keresahan
khususnya korban kebakaran Pasar Tanah Abang.
Sedangkan hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa belum pernah
dihukum, terdakwa sopan selama persidangan, dan terdakwa mempunyai
tanggungan keluarga.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat memutuskan
66
Terdakwa Bambang Harymurti telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana menyiarkan suatu berita atau pemberitahuan
bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat secara
bersama-sama dan tindak pidana pemfitnahan bersama-sama.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Bambang Harymurti tersebut
dengan pidana penjara selama satu tahun.
Menetapkan barang bukti berupa :
a. Satu buah Majalah Tempo edisi 03-09 Maret 2003;...... b. Dua lembar tulisan yang diketik, halaman pertama paling atas pojok ditulis
Tempo New Room dan di tengah tulisan diberi judul Pasar Tanah Abang Masa Depan dan pada halaman kedua ditulis Juli Hantoro;.......
c. Satu eksemplar surat kabar harian Koran Tempo edisi kamis 20 Februari 2003;.....
d. Satu lembar tulisan yang pada baris pertama bertuliskan ”wawancara dengan Walikotamadya Jakarta Pusat Tentang Tanah Abang (u/majalah), Friday 28/Feb/2003 14:46:02 By : Indradar dan yang paling bawah bertulis Indra Darmawan-Tempo New Room;.......
e. Tiga lembar artikel yang diketik dengan judul Nasional Kebakaran Ada Tomy di Tanah Abang dan yang paling akhir terdapat tulisan Ahmad Taufik, Bernarda Rurit dan Cahyo Junaedy tanpa tanggal dan tanda tangan;.......
f. Tindasan surat No. 16/1.751 tanggal 8 Maret 2003 perihal tanggapan berita dan mohon ralat dari Kepala Bagian Humas dan Protokol Kotamadya Jakarta Pusat yang ditujukkan Kepada yth. Pemimpin Redaksi Majalah Tempo;......
g. Tindasan surat No. 21/1.751 tanggal 19 Maret 2003 perihal bantahan berita dari Kepala Bagian Humas dan Protokol Kotamadya Jakarta Pusat yang ditujukkan Kepada yth. Pemimpin Redaksi Majalah Tempo;.......
h. Tulisan sebanyak 4 (empat) lembar yang paling atas tulisan tersebut terdapat judul ”Wawancara dengan Tomy Winata melalui telepon pada hari kamis tanggal 27 Februari 2003”. Pewawancara Bernarda Rurit dan akhir tulisan tersebut tertulis ”Bernarda Rurit” dalam kurung tanpa tanda tangan;......
i. Satu buah kaset merek maxell yang dikaset tersebut tertulis TW.1;...... Masing-masing tetap dilampirkan dalam berkas perkara;......
j. Asli surat dari Gubernur tetap dilampirkan dalam berkas perkara 643/078.1 tanggal 13 Maret 2003 dikembalikan kepada saksi Tomy Winata;.....
67
Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
5000,- (Lima Ribu Rupiah)
Putusan hakim tersebut telah diputus dalam permusyawaratan Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari Senin, tanggal 6 September 2004,
dan putusan tersebut dibacakan pada hari Kamis, tanggal 16 September 2004
pada persidangan yang terbuka untuk umum. Adapun hakim yang memutus
perkara tersebut adalah Suripto, SH selaku Ketua Majelis, Ridwan Mansyur,
SH.MH dan Kusriyanto, SH masing-masing sebagai Hakim Anggota.
C. Analisis Hukum Islam Dalam Perkara No.1426/Pid.B/2003/PN.Jkt.Pst
Tentang Penghinaan Oleh Pers
Penghinaan merupakan pelanggaran yang menyangkut harkat dan
martabat manusia, yang berupa penghinaan biasa, fitnah atau tuduhan
melakukan suatu perbuatan tertentu. Dalam menetapkan larangan ini hukum
Islam berpedoman pada dua sumber pokok yang disepakati oleh para ulama
yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Berdasarkan putusan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, bahwa bagi pelaku yang telah melakukan penghinaan,
fitnah dan menyiarkan berita bohong pada kasus Bambang Harymurti telah
dijatuhi hukuman dengan satu tahun penjara. Padahal menurut pasal 310 ayat
(1) orang yang sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan
68
jalan menuduh seseorang dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan dan denda Rp. 4.500,-.
Sedangkan dalam pasal 311 ayat (1) barangsiapa yang melakukan
kejahatan memfitnah dengan tulisan, dan tidak dapat membuktikan tuduhan
dalam tulisan tersebut, maka akan dijatuhi hukuman selama-lamanya empat
tahun. Namun, dalam kasus terdakwa Bambang Harymurti dikenakan hukuman
selama satu tahun penjara. Lebih ringan hukumannya daripada hukuman yang
ditetapkan di dalam KUHP, dikarenakan terdakwa belum pernah di hukum,
sopan dalam persidangan dan terdakwa mempunyai tanggungan keluarga.
Dalam memutuskan hukuman, hakim mempunyai pertimbangan-
pertimbangan tersendiri. Akan tetapi hakim tidak boleh memutuskan hukuman
bagi pelaku berdasarkan ijtihadnya sendiri, melainkan hakim sudah mempunyai
landasan hukuman dalam penjatuhan hukuman tersebut. Penjatuhan pidana
hendaknya juga berorientasi kepada aspek dan dimensi rehabilitasi atau
pemulihan dan kegunaan bagi diri pelaku tindak pidana dan masyarakat.
Tindak pidana penghinaan dalam syariat Islam merupakan tindak pidana
ringan yang dihukum dengan ta’zir karena tidak termasuk tindak pidana hadd
maupun qishash. Perbuatan penghinaan terhadap orang lain hanya
menyinggung perasaan bukanlah melukai anggota badan, karena penghinaan
hanyalah melukai perasaan dari hati yang dihina.
69
Menurut hukum Islam, perbuatan yang melanggar hukum disebut
sebagai jarimah. Dan jarimah terbagi menjadi lima macam, yaitu :1
1. Dilihat dari segi berat dan ringannya hukuman, jarimah dibagi menjadi tiga yaitu jarimah huduud, jarimah qishash-diyat dan jarimah ta’zir.
2. Dilihat dari segi niat si pembuat dibagi dua, yaitu jarimah sengaja dan jarimah tidak sengaja.
3. Dilihat dari cara mengerjakannya, jarimah dibagi menjadi jarimah positif dan jarimah negatif.
4. Dilihat dari segi orang yang menjadi korban (yang terkena) akibat perbuatan, jarimah dibagi menjadi jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat.
5. Dilihat dari tabiatnya yang khusus, jarimah dibagi menjadi jarimah biasa dan jarimah politik.
Dengan demikian penghinaan masuk dalam jarimah ta’zir, yang
termasuk golongan ini adalah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan satu
atau beberapa hukuman ta’zir.
Dari segi atau perbuatan yang dikenakan hukuman ta’zir, maka ta’zir
dikelompokkan menjadi :2
1. Ta’zir atas maksiat
2. Ta’zir atas kemaslahatan umum
3. Ta’zir atas pelanggaran
Adapun ta’zir atas maksiat hukumannya diancam karena perbuatan yang
dilarang oleh syara’ dan yang melakukannya dianggap dosa.
1 Abd. Aziz Amir, Al-Ta’zir Fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah, (t.t., : Dar al-Fikr Al-Arabi,
1969), h. 71. 2 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990),
Cet.Ke-4, h.83.
70
Ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan umum berdasarkan pada
tindakan Rasulullah SAW, beliau pernah menahan terhadap seseorang yang
dituduh mencuri unta, setelah jelas bahwa orang tersebut tidak mencuri unta,
Rasulullah kemudian melepaskan orang itu.3 Adapun petunjuk yang menjadi
dalil dari contoh tersebut adalah bahwa penahanan (al-habsu) merupakan salah
satu bentuk hukuman ta’zir. Sedangkan hukumannya hanya dikenakan terhadap
tindak pidana yang telah dapat dibuktikaan.
Ta’zir atas pelanggaran dikhususkan pada orang yang telah melakukan
perbuatan pelanggaran terhadap orang lain sehingga orang itu merasa dirugikan.
Dalam perbuatan penghinaan, perbuatan itu dapat dikatakan pada ta’zir
atas pelanggaran. Hal ini karena perbuatan yang dilarang dan menyangkut
kehormatan serta nama baik seseorang sehingga dapat menjatuhkan martabat
orang itu.
Syara’ tidak menentukan hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi
hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya
sampai kepada yang seberat-beratnya. Dalam hal ini, hakim diberi kebebasan
untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah
ta’zir serta keadaan si pembuatnya juga. Jadi hukuman-hukuman jarimah ta’zir
tidak mempunyai batas tertentu.
Maksud pemberian hak penentuan jarimah ta’zir kepada para penguasa
ialah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-
3 Ibnul Hammam, Syarah Fathul Qadir, Jilid IV, h.117.
71
kepentingannya, serta bisa menghadapi sebaik-baiknya terhadap keadaan yang
mendadak.
Perbedaan antara jarimah ta’zir yang ditetapkan oleh syara dengan
jarimah ta’zir yang ditetapkan oleh penguasa adalah kalau jarimah ta’zir yang
ditetapkan oleh syara’ adalah tetap dilarang selama-lamanya dan tidak mungkin
akan menjadi perbuatan yang tidak dilarang pada waktu apapun juga. Akan
tetapi jarimah ta’zir yang ditetapkan oleh penguasa yaitu bisa menjadi
perbuatan yang dilarang manakala kepentingan masyarakat menghendaki
demikian. Mengenai hal ini para ulama membagi ta’zir kepada dua bagian,
yaitu :4
1. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah;
Adalah semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan
kemaslahatan umum. Misalnya membuat kerusakan di muka bumi,
penyelundupan, penimbunan bahan-bahan pokok, dan sebagainya.
2. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak perorangan;
Adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang
tertentu. Misalnya, penghinaan, penipuan, pemukulan, dan lain sebagainya.
Dalam hal ini tindak pidana penghinaan termasuk kepada perbuatan
melanggar hukum yang melanggar hak perorangan. Dalam kasus Tomy Winata
ini, ia termasuk orang yang sangat dirugikan karena berita yang diterbitkan oleh
4 H.A. Djazuli, Fiqh Jinayat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h.162.
72
majalah Tempo, karena berita itu pula ia telah menerima kecaman dan ancaman
dari berbagai pihak yang merasa dirugikan.
Adapun mengenai hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Bambang Harymurti yaitu hukuman
penjara. Dalam hukum pidana Islam hukuman yang tidak diatur di dalam nash,
dikategorikan ke dalam jarimah ta’zir dan diserahkan kepada ulil amri untuk
menetapkannya. Dan pidana penjara sendiri termasuk ke dalam hukuman untuk
jarimah ta’zir.
Menurut Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziah yang dimaksud dengan
pidana penjara menurut syara’ bukanlah menahan pelaku ditempat yang sempit,
melainkan menahan seseorang dan mencegahnya agar ia tidak melakukan
perbuatan hukum, baik penahanan tersebut didalam rumah, masjid, maupun di
tempat lainnya.
Sedangkan hukuman penjara dalam syariat Islam, terbagi menjadi dua
bagian, yaitu :
1. Hukuman penjara terbatas
Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya
dibatsi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jarimah
penghinaan, penjual khamar, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan
73
suci Ramadhan dengan berbuka puasa pada siang hari tanpa udzur, dan lain
sebagainya.5
Menurut Imam Al-Mawardi, hukuman penjara dalam ta’zir berbeda-
beda, tergantung kepada pelaku dan jenis jarimahnya. Di antara pelaku ada
yang dipenjara selama satu hari dan ada pula yang lebih lama. Sedangkan
menurut Imam Az-Zaila’i sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Aziz Amir,
berpendapat bahwa lamanya penjara bisa dua bulan atau tiga bulan atau
kurang atau lebih.
Adapun batas tertinggi untuk hukuman penjara terbatas ini juga tidak
ada kesepakatan di kalangan fuqaha. Menurut Syafi’iyah batas tertinggi
untuk hukuman penjara terbatas ini adalah satu tahun. Sedangkan Imam Ibn
Al-Majasyun dari ulama Malikiyah menetapkan lamanya hukuman bisa
setengah bulan, atau empat bulan tergantung kepada kadar harta yang
ditahannya.
Adapun batas terendah dari hukuman penjara sebagai ta’zir juga tidak
ada kesepakatan di kalangan ulama. Menurut sebagian ulama, seperti Imam
Al-Mawardi , batas terendah hukuman penjara adalah satu hari. Akan tetapi
menurut Ibnu Qudamah tidak ada ketentuan yang pasti, melainkan
diserahkan kepada ijtihad imam (ulil amri).
2. Hukuman penjara tidak terbatas
5 Abd. Aziz Amir, Al-Ta’zir Fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah, (t.t.,: Dar Al-Fikr Al-
Arabi,1969), h.362.
74
Yaitu hukuman penjara yang tidak dibatasi waktunya, melainkan
berlangsung terus-menerus sampai orang yang terhukum mati, atau sampai
ia bertaubat. Dalam istilah lain bisa disebut hukuman penjara seumur hidup.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terhadap tindak pidana
penghinaan hukuman yang diberikan sesuai dengan hukum pidana islam, yaitu
dikenakan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara. Yang batas tertinggi dan
terendahnya diserahkan kepada ulil amri dalam menentukannya. Sedangkan
terhadap tindak pidana penghinaan menurut uraian tersebut di atas yaitu
termasuk kepada kategori penjara terbatas, karena dibatasi jangka waktunya.
Dengan adanya dasar hukum bagi tindak kejahatan penghinaan itu, maka
kehidupan seseorang perlu mendapat perhatian dari para penegak hukum, demi
menjaga kelestarian nama baik dan martabat seseorang, sehingga nama baik
seseorang tidak perlu khawatir lagi untuk memikirkan nama baiknya akan
tercemar.
Dalam Islam banyak kata dalam al-Qur’an dan Al- hadits yang
mempunyai konotasi yang sama dengan istilah menghina, seperti kata fitnah,
hasad, ghibah, dan namimah yang semua kata lain mempunyai arti kata
menghina, mencaci, menjelekkan nama orang lain dengan tanpa bukti.
Mengejek berarti menghina, melecehkan atau memandang rendah orang lain
dan menunjukkan keburukan dan kekurangan mereka. Ejekan dan hinaan dapat
diungkapkan dengan perkataan dan perbuatan juga dengan isyarat dan sikap
tubuh. Berita penghinaan sangat besar pengaruhnya dan sangat jauh akibatnya,
75
karena dapat mencemarkan nama baik seseorang, karirnya juga dapat
menggoncangkan masyarakat.
Sudah menjadi kesepakatan ulama, bahwa ghibah diharamkan. Menurut
pendapat Al-Qurthubi bahwa ghibah termasuk dosa besar (al-kabaair),
mengingat dalam perbuatan itu diiringi ancaman yang sangat berat.
Adapun dalil-dalil yang menjelaskan tentang penghinaan yaitu :
1. Di dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat/49:11, Allah berfirman :
⌦
☺
☺
49/ تارجحلأ (
:11( “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil- memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat , maka mereka itulah orang-orang yang zhalim”.
76
2. Hadis
؟ةب اتدرون ماالغي:عن ابي هريرة ان رسول اهللا صلي اهللا عليه صلم قال
قيل افرايت ان آان في - ذآرك اخاك بما يكره: اهللا ورسوله اعلم قال:قالوا
ل فقداغتبته وان لم يكن فيه فقد بهته ان آان فيه ما تقو: قال؟اخي ما اقول
6) رواه مسلم(Dari Abi Hurairah, bahwasanya Nabi SAW telah bersabda: ”Tahukah kalian apakah ghibah itu ?” mereka (para sahabat) berkata: ”Allah dan Rasulnya lebih mengetahui. Beliau bersabda: Ghibah itu ialah engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan perkara yang tidak ia sukai”. Ada seorang berkata: ”Bagaimana kalau pada saudaraku itu memang sebagaimana yang saya katakan?”, beliau bersabda pula: ”Kalau padanya memang ada sebagaimana yang engkau katakan, sungguh engkau telah mengumpat dia, dan kalau padanya tidak seperti engkau katakan, sungguh engkau telah berdusta atasnya”. (H.R Muslim). Hadits yang ditafsirkan oleh Muhammad Ar-Razy Fakhrudin yang
menjelaskan :
7الل وال يلتفتان ينظر االنسان الي اخيه بعين اخهي فا لسخرية
“As-Sukhriyah adalah manusia memandang saudaranya itu dengan hormat
dan tidak berpaling atau memperdulikannya serta menjatuhkan derajatnya”.
Itulah sebagian dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang menjadi
sumber larangan tindak pidana penghinaan. Nash-nash tersebut menjadi
6 Muslim, Shohih Muslim, (Singapura: Sulaiman Murai, t.t.,), jilid 6, h.449. 7 Muhammad Ar-Razy Fakhrudin, Tafsir Al-Fakhrurrazy, (Beirut: Dar Al-Fiqh, 1985),
Cet.Ke-3, h.131.
77
pedoman untuk menerapkan sanksi hukuman bagi pelaku, sedangkan mengenai
bentuk hukuman sepenuhnya menjadi wewenang hakim.
Dan dari ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa mengolok-ngolok,
mengejek, menghina dan merendahkan orang lain merupakan kesombongan
yang tersembunyi dan harus dihindari dalam pergaulan hidup manusia. Ayat
dan hadis di atas tersebut menjadi peringatan bagi orang-orang yang beriman
agar tidak merasa bahwa dirinya serba lengkap, serba tinggi, dan serba cukup.
Padahal setiap manusia terdapat segala macam kekurangan, kealpaan dan
kesalahan.
Segala sesuatu yang merugikan martabat manusia terdapat hukum yang
mengaturnya. Hukum yang dimaksudkan untuk memelihara dan menciptakan
kemaslahatan umat manusia. Menurut konteks Maqashid Al-Syaria’ah, Al-
Syathibi mengatakan bahwa sesungguhnya syari’at itu bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.8 Dalam
ungkapan lain, Al-Syathibi mengatakan bahwa hukum disyari’atkan untuk
kemaslahatan hamba secara mutlak.
Kemaslahatan yang dimaksud dalam tujuan syari’at mencakup lima hal,
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam hal ini,
terdakwa Bambang Harymurti di hukum karena telah mencemarkan nama baik
Tomy Winata. Tujuannya yaitu untuk melindungi hidup (Hifzh al-nafs), yaitu
8 Al-Syathibi, Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syari’ah , (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah,
t.t.,), Juz II, h.7.
78
hak atas hidup merupakan hak asasi bagi setiap manusia. Karena hak untuk
hidup tidak akan terwujud dan sempurna tanpa penghormatan dan perlindungan
terhadap hak atas keselamatan tersebut.
Dalam undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pada bab II
pasal 33 yang mengatakan bahwa ”Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”.
Karena itu penulis berpendapat bahwa Putusan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sesuai dengan hukum Islam. Karena jarimah
menurut hukum Islam itu terbagi menjadi lima macam yaitu Dilihat dari segi
berat dan ringannya hukuman, jarimah dibagi menjadi tiga yaitu jarimah
huduud, jarimah qishash-diyat dan jarimah ta’zir; Dilihat dari segi niat si
pembuat dibagi dua, yaitu jarimah sengaja dan jarimah tidak sengaja; Dilihat
dari cara mengerjakannya, jarimah dibagi menjadi jarimah positif dan jarimah
negatif; Dilihat dari segi orang yang menjadi korban (yang terkena) akibat
perbuatan, jarimah dibagi menjadi jarimah perseorangan dan jarimah
masyarakat; Dilihat dari tabiatnya yang khusus, jarimah dibagi menjadi jarimah
biasa dan jarimah politik. Dan tindak pidana penghinaan oleh pers tidak
termasuk dalam jarimah huduud dan qishash seperti yang termaktub dalam Al-
Qur’an dan Al-Hadits. Akan tetapi termasuk ke dalam jarimah ta’zir, yang
hukumannya diserahkan kepada ulil amri untuk menetapkannya.
79
Perihal beratnya hukuman yang dijatuhkan yaitu selama satu tahun
penjara, dalam hukum Islam ada dua kategori mengenai hukuman penjara.
Yaitu penjara terbatas dan tidak terbatas. Dan mengenai batasan pidana penjara
ini, terdapat ikhtilaf dikalangan ulama, yaitu diantaranya Menurut Imam Al-
Mawardi, hukuman penjara dalam ta’zir berbeda-beda, tergantung kepada
pelaku dan jenis jarimahnya. Diantara pelaku ada yang dipenjara selama satu
hari dan ada pula yang lebih lama. Dan menurut Syafi’iyah batas tertinggi untuk
hukuman penjara terbatas ini adalah satu tahun.
Dalam perkara pidana penghinaan oleh pers dengan terdakwa Bambang
Harymurti yang telah melakukan pencemaran nama baik terhadap Tomy
Winata, hakim telah menjatuhkan hukuman penjara selama satu tahun.
Hukuman yang dijatuhkan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pembalasan,
tetapi juga berfungsi sebagai pencegahan serta perbaikan. Dalam kenyataannya
sangat melindungi maasyarakat dari tindakan jahat serta pelanggaran hukum.
Dan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh media massa (pers) merupakan
tindak pidana yang merendahkan derajat martabat orang lain sehingga akibatnya
dapat merugikan orang yang dicemarkan nama baiknya, dan dapat dihukum
berdasarkan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), UU. No. 40 Tahun
1999 dan peraturan perundang-undangan lainnya
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tindak pidana penghinaan merupakan sebuah proses, perbuatan atau cara
menghina atau menista baik dilakukan lisan maupun tulisan. Yang menyerang
kehormatan seseorang yang mengakibatkan rusaknya nama baik atau reputasi
seseorang, dengan menyebarkan berita yang tidak berdasarkan fakta dan
disebarkan kepada khalayak ramai dan telah menimbulkan kerugian bagi
pihak yang dihina.
2. Berdasarkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan
terdakwa Bambang Harymurti telah dijatuhi hukuman penjara selama satu
tahun. Karena perbuatan terdakwa merupakan penyimpangan dari kebebasan
pers dalam menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dan majelis hakim
memutuskan hukuman yaitu menimbang pasal-pasal yang mengatur tentang
pers yaitu pasal XIV dan pasal XV Undang-Undang No.1946, pasal 310, pasal
311 KUHP, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers serta peraturan-
perundang-undangan lainnya.
81
3. Hukum Islam memandang bahwa tindak pidana penghinaan ini adalah
perbuatan yang diharamkan, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa
penghinaan atau ghibah termasuk dosa besar. Sedangkan menurut hukum
pidana Islam penghinaan digolongkan ke dalam jarimah ta’zir. Mengingat
tindak pidana penghinaan oleh pers ini baik jenis maupun hukumannya tidak
ditentukan dalam nash syara’. Berdasarkan kepada penggolongan jarimah
ta’zir tersebut, bagi pelaku tindak pidana penghinaan akan dikenakan
hukuman ta’zir yaitu berupa pidana penjara. Adapun mengenai lamanya
pidana penjara tersebut para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Al-
Mawardi, hukuman penjara dalam ta’zir berbeda-beda, tergantung kepada
pelaku dan jenis jarimahnya. Sedangkan menurut Imam Az-Zaila’i
berpendapat bahwa lamanya penjara bisa dua bulan atau tiga bulan atau
kurang atau lebih. Dengan demikian, hukuman ta’zir diserahkan kepada ulil
amri yang mempunyai otoritas untuk menetapkannya.
B. Saran-Saran
1. Bagi hakim, yaitu dalam menetapkan dan menjatuhkan putusan hendaklah
diteliti dan dipertimbangkan dengan sebenar-benarnya. Karena pasal-pasal
yang berlaku dalam tindak pidana penghinaan ini begitu banyak. Jadi,
jangan sampai para hakim salah menerapkan pasal dalam menjatuhkan
hukuman.
74
74
74
82
2. Bagi para insan pers, agar dalam mencari, memperoleh, mengolah dan
menyebarkan suatu berita, alangkah baiknya apabila suatu berita tersebut
sebelum disebarkan berita kepada khalayak ramai, dipastikan dahulu
kebenaran dari berita tersebut untuk menghindari pers sebagai media
penghinaan.
3. Untuk pemerintah, agar selalu meninjau terbitnya media-media, apakah
sudah layak diketahui oleh umum atau belum. Karena media massa
merupakan sarana informasi dan sebagai media pendidikan ynag bisa
membangun wawasan berfikir yang baik.
4. Untuk masyarakat, berpeganglah pada tali hukum seerat mungkin, kenali
berbagai macam fenomena yang terjadi yang sekarang begitu merebak di
seluruh media informasi, baik media cetak maupun elektronik. Jangan
percaya begitu saja kepada suatu berita.
83
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul al-Karim
Abdullah, Yanuar. Dasar-Dasar Kewartawanan Teori Dan Praktek. Padang: Angkasa Raya, 1992, Cet.Ke-2.
Adji, Oemar Seno. Aspek-Aspek Hukum. Jakarta: Erlangga, 1997, Cet.Ke-3
Ali, Nopel. Pers Objektif : Media Pemberdayan Masyarakat Yang Efektif, Bandung: PT.Remaja Rosada Karya, 1998
Amir, Abd Al-Aziz. Al-Ta’zir Fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah, tt;Dar Al-Fikr Al-Arabi,
1969 Apeldoorn, L.J. Van. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradya Paramita, 1978
Ardianto, Elvinaro Dan Lukiati Komala Erdinaya. Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung: Simbiosa Bekatama Media, 2004
Armada, Wina. Wajah Hukum Pidana Pers, Jakarta: Pustaka Kartini, 1989
Ar-Razy Fakhrudin, Muhammad, Tafsir Al-Fakhrurrazy, Beirut: Dar Al-Fiqh, 1985
‘Audah, Abd Al-Qodir. At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamiy, Beirut: Dar As-suras, tanpa tahun
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana bagian 1, Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2002 Djazuli, H.A. Fiqh Jinayat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996 Huda, Chairul. Dari “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada
Pertangungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan” : Tinjauan Kritis Terhadap
84
Teori Pemisahan Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban, Jakarta: Prenada Media, 2006, Cet.Ke-1
Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, Cet.ke-1
Harsono, Andreas. ”Kebebasan Pers”, Artikel diakses pada Tanggal 28 Juni 2006 Darihttp://anggara.org/2006/06/28/Kebebasan-Pers-dalam-perspektif-pidana-ditinjau-dari-ruu-kuhp/
Jauziyah, (Al) Ibn Al-Qayyim. Al-Thuruq al-Hukmiyah fi Al-Siyasah Al-Syar’iyyah,
Kairo: Mathba’ah As-Sunnah Al-Muhammadiyah, 1953 Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah1
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT.Citra Aditya Bakti, 1997
Lesmana , Tjipta. Pencemaran Nama Baik Dan Kebebasan Pers Antara Indonesia
Dan Amerika, Jakarta: Erwin-Rika Press, 2005 Marpaung, Leden. Tindak Pidana Kehormatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2002
Muslim, Shohih Muslim, Singapura: Sulaiaman Murai, t.t..,
Perwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976
Prakoso, Djoko. Perkembangan Delik Pers Di Indonesia, Yogyakata: Liberty, 1998, Cet.Ke-1
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung:
PT.Eresco, 1989, Cet.Ke-8. Prodjohamidjojo, Martiman. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1997, Cet.Ke-1 Siantusi, S.R. dan E.Y. Kanter. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan
Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem Pathaem, 1996 Simorangkir, J.C.T. Hukum dan Kebebasan Pers, Bandung: Angkasa, 1980. Cet.Ke-
1.
77
85
Siregar, Ashadi. “Metode dan Analisis Terhadap Pemberitaan”, Artikel diaksesPada Tanggal28Desember2006darihttp://www.dewanpers.org/dpers.php?x=opini&y=det&z+f15e45cd496bf804b8b7e
Sjahdeni, Sutan Remi. Pertanggungjawaban Pidana Koorporasi, Jakarta: PT.Grafiti
Pers, 2006. Soesilo, R. Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya,
Bogor: Politeia, 1990 Soetjipto, ”Wartawan, Pebisnis Pers, Standar Profesi,” Suara Merdeka, 09 Februari,
2006. Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003, Cet.Ke-6. Syarifin, Pipin. Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Syathibi, (Al). Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syari’ah, Kairo: Mustahafa Muhammad, Tanpa Tahun, Juz II
Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2006,
Cet.Ke-1. Zuhri, Muhammad. Panduan Ke Jalan Kebenaran, Semarang: As-Syifa’, 1992.
86
LAMPIRAN