analisis cerpen air akar karya benny arnas
DESCRIPTION
analisis cerpen Air akar karya Benny ArnasTRANSCRIPT
MAKALAH
“ANALISIS CERPEN”
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Teori Sastra
Oleh:
1.
2.
3.
4.
5.
Agung Subandi
Dwi Silviya Indah O.
Nailul Mukfiyah
Novita Widianingsih
Rohmat Andy Arif M.
(100210402031)
(130210402065)
(130210402045)
(130210402078)
(130210402017)
Kelas A Kelompok 7
UNIVERSITAS JEMBER
Jl. Kalimantan 37 Kampus Bumi Tegal Boto
Telp./Fax (0331) 339029
JEMBER
2013
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya serta kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan tugas
Teori Sastra dalam hal menganalisis cerpen.
Tugas ini kami kerjakan secara berkelompok atas perintah bapak
Siswanto. Tak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Siswanto atas waktu dan bimbingan yang di kasih kepada kami
tentang materi teori sastra.
2. Ibu Endang atas bimbingannya tentang materi teori sastra
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pihak manapun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami ucapkan selamat membaca. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jember, 26 November 2013
Tim Penulis
2
Daftar Isi
Judul .................................................................................................................................................. 1
Kata Pengantar ............................................................................................................................. 2
Daftar Isi .......................................................................................................................................... 3
1. BAB I Pendahuluan..............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang....................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................4
1.3 Tujuan.....................................................................................................................5
2. BAB II Pembahasan............................................................................................................6
2.1 Cerpen “Air Akar”................................................................................................6
2.2 Kode Bahasa.......................................................................................................15
2.3 Kode Sastra.........................................................................................................24
2.4 Kode Budaya.......................................................................................................26
3. BAB III Penutup .................................................................................................................28
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................28
Daftar Pustaka.............................................................................................................................29
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali
duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. Sebuah cerpen
merupakan prosa fiksi dengan jumlah kata berkisar antara 750-10.000
kata. (Edgar Allan Poe, Jassin (1961:72)
Cerpen merupakan suatu cerita yang dikarang oleh pengarang
untuk berbagai tujuan. Diantaranya sebagai hiburan dan rekreasi
pembaca. Pada kesempatan kali ini kami mendapat tugas tentang
menganalisis cerpen yang bertujuan untuk mempermudah pembaca
dalam memahami dan mengerti apa yang dimaksud atau isi yang
terkandung dalam cerpen tersebut. Dalam analis ini kami mencoba
mencari makna dengan memecahkan kode bahasa, kode sastra, dan kode
budaya.
Alasan kami memilih cerpen “Air Akar” ini karena cerpen ini sangat
menarik, dengan menggunakan bahasa sastra yang indah. Dari judulnya
saja dapat terbayangkan oleh kita, betapa karya ini memiliki makna yang
terpendam. Oleh karenanya kami akan menggali makna cerpen tersebut
di dalam makalah kami ini.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami merumuskan masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa makna dari cerpen “Air Akar” jika dilihat dari kode Bahasa?
2. Apa makna dari cerpen “Air Akar” jika dilihat dari kode Sastra?
3. Apa makna dari cerpen “Air Akar” jika dilihat dari kode Budaya?
4
1.3Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui makna cerpen “Air Akar” melalui kode bahasa.
2. Untuk mengetahui makna cerpen “Air Akar” melalui kode sastra.
3. Untuk mengetahui makna cerpen “Air Akar” melalui kode budaya.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Cerpen “Air Akar”
Air Akar
LANGIT menggelegar, terus menggelegar, seolah seorang raksasa
tengah muntab karena sarapan tak kunjung tiba. Rupanya, raksasa itu
sudah lapar benar, hingga tak cukup baginya hanya meraung. Ususnya
sudah melilit, perutnya sakit tak kepalang. Ia akhirnya menangis,
menangis sejadi-jadinya. Jarum-jarum bening bagai berebutan
menciumi pucuk-pucuk karet, seolah tahu benar betapa pohon-pohon
tua itu meranggas karena kemarau yang memamah beberapa purnama.
Daun-daun kering yang menyelimuti hamparan tanah di bawah
payungan kanopi karet, kini lindap, basah, lembab, lalu mempersilakan
cacing, kalajengking, dan pacat menggeliat, mencari makan ke sana-ke
mari. Tak lama, raksasa itu lelah juga. Wajah langit kembali merona
biru laut. Di salah satu lembah, dekat Sungai Lubukumbuk, bianglala
melengkungkan cahaya tujuh warna. Memang, sebagaimana di kampung
lain, penduduk Kampung Nulang yang sebagian besar menyadap karet itu
juga percaya bahwa beberapa bidadari kerap singgah di kampung
mereka, di lembah yang sejuk oleh semak bambu, perdu, dan pohon-
pohon besar tak bernama. Namun, mereka tak pernah tahu bahwa Tuhan
telah menurunkan seorang bidadari di tengah-tengah mereka.
Bunga Raya, demikian guru dua puluh enam tahun itu diberinama
oleh kedua orang tua yang sudah bertamasya ke angkasa ketika usianya
masih dapat dihitung dengan sejumlah jari di sebelah tangan. Namun
begitu, tak banyak yang tahu perihal namanya yang indah itu. Penduduk
Kampung Nulang memanggilnya Bunda Guru dapat diendus bahwa
6
murid-muridnyalah yang memberi gelar itu, murid-murid yang merasa
tenang, damai, dan bahagia bila diajarnya.
Lain lagi halnya dengan penduduk Kampung Nulang. Bunga Raya
memang masih dipanggil Bunda Guru, tapi bukan guru seperti di
tempatnya mengajar, melainkan guru orang-orang yang sakit. Ya, bagi
mereka, Bunda Guru adalah mantri yang hebat. Mantri? Seorang guru jadi
mantri? Bagaimana bisa?
ADALAH satu tahun yang lalu, ketika Bunga Raya menjejakkan kaki
di sebuah SD di kampung yang berjarak lebih dari dua puluh kilometer
dari Lubuklinggau. Saat memperkenalkan diri di hadapan murid-murid
kelas lima, salah seorang murid tiba-tiba mengerang kesakitan sambil
memegang perutnya. Kelas gaduh. Bunga Raya meminta beberapa anak
laki-laki yang badannya bongsor untuk membopongnya ke ruang guru.
Dibaringkanlah ia di atas kedua meja yang didempetkan. Bunga Raya
bertanya apa yang dimakan murid itu pagi tadi. Tak ada kata-kata yang
keluar dari mulutnya kecuali erang kesakitan. Untunglah salah seorang
temannya memberitahu bahwa pagi tadi murid itu sebenarnya tidak
diperkenankan berangkat ke sekolah oleh orangtuanya karena sejak
malam tadi hampir setiap satu jam sekali ia hilir-mudik ke Sungai
Lubukumbuk untuk buang hajat. Kala itu Bunga Raya melengkungkan
kedua ujung bibirnya ke atas. Ia dapat mengira-ngira apa yang tengah
mendera muridnya itu. Ia menyuruh salah seorang seorang murid yang
rumahnya dekat dengan sekolah untuk membuat segelas oralit dan
membawanya ke sekolah.
“Oralit?”
Ah, ingat sekali Bunga Raya bagaimana ekspresi beberapa muridnya
ketika membunyikan kata itu dalam intonasi bertanya. Bahkan anak
muridnya yang tengah menderita sakit perut itu pun menghentikan
7
erangannya seketika demi memastikan apa yang baru saja ia dengar.
Sore harinya, kedua orangtua Nalin, demikian nama anak yang terserang
diare itu, mendatangi kediaman Bunga Raya di belakang sekolah. Sempat
berdesir bulu kuduk Bunga Raya mendapati kedatangan mereka. Ia
sudah khatam bagaimana tabiat penduduk Kampung Nulang yang
berdarah panas, mudah naik pitam, dan gampang main tangan. O, apa
yang terjadi dengan Nalin? Butir demi butir keringat tumbuh dari kening
Bunga Raya. Namun semua kekhawatirannya menguap serta-merta
ketika mengetahui maksud kedatangan mereka. Ternyata Nalin sudah
sembuh. Mereka berterimakasih sembari membungkukkan badan. Ah,
singkuh nian Bunga Raya. Beberapa hari setelahnya, Bunga Raya dikirimi
beras, sayur-mayur, ikan-ikan sungai, bahkan tempoyak, sejenis asam
durian khas Sumatera. Pada hari yang lain (mungkin ayah Nalin mengira
Bunga Raya juga akan menyadap karet seperti perempuan Kampung
Nulang pada umumnya), ia dikirimi sebotol cuka para, semacam air keras
berwarna gelap yang sering digunakan untuk mencetak karet sebelum
siap dijual. Bunga Raya tetap menerimanya (ia berencana akan
memberikannya kepada penyadap karet sekitar yang membutuhkan).
Barulah Bunga Raya paham dengan siapa ia berhadapan. Orangtua
Nalin adalah dua orang terpandang. Ayahnya adalah juragan karet yang
juga petinggi puak. Ibunya adalah seorang tabib (Ah, syukurlah ia tidak
seperti tabib kebanyakan yang pongah. Ia mengakui betapa tak ada apa-
apanya ia dibanding Bunga Raya yang berhasil menyembuhkan sakit perut
anaknya). Benarlah kata orang, mulut adalah tali terpanjang untuk
menyambung kabar dalam lingkaran. Ya, sejak saat itu, saban hari, ada-
ada saja orang yang datang ke kediaman Bunga Raya untuk berobat.
Sudah habis liur membasahi lidah, sudah lelah mulut menganyam kata,
demi menyangkal keyakinan penduduk tentang karomah yang kata
mereka diturunkan kepadanya, namun orang-orang kampung pandai
nian membuatnya tak kuasa menolak menjalani peran baru itu. Ada-ada
8
saja sanggahan dan desakan mereka. Beginilah orang kampung, bila
keyakinan sudah bersarang, tak ada guna menghindar dari permintaan!
Mati nian, Bunga Raya!
Seiring matahari yang tak lelah menggelinding di cakrawala, Bunga
Raya harus berdamai dengan kenyataan yang tak pernah diduga-duga.
Dengan mengendarai sepeda motor kreditan, ia rajin ke kota setelah jam
mengajar berakhir untuk membeli sejumlah obat di apotek.
Namun … ternyata tak mudah meyakinkan penduduk untuk
mengonsumsi obat-obatan moderen. Mereka masih mengira, oralit yang
diberikan kepada Nalin tempo hari adalah ramuan rahasia. Walau sudah
Bunga Raya ceritakan tentang mudahnya membuat oralit, tapi mereka
masih bergeming selama itu bukan dari Bunga Raya sendiri. Maka,
setelah berulang kali bolak-balik ke kota, setelah berulangkali
berkonsultasi dengan beberapa dokter, ahli herbal, dan teman-temannya
yang peduli, Bunga Raya akhirnya dapat membuat Air Akar. Demikianlah
sari umbi-umbian dan akar-akaran itu diberinama. Air Akar diyakini
dapat menyembuhkan sejumlah penyakit dan keluhan. Ramuan cokelat
pekat itu biasanya dimasukkan ke dalam botol dan dapat digunakan
untuk waktu berbulan-bulan. Memang rasanya pahit tak kepalang.
Namun, ini bukan tentang rasa yang kerap diributkan orang-orang kota.
Ini tentang tampilan yang harus berkarib dengan alam dan kampung
yang sederhana. Untuk itu semua, Bunga Raya merelakan sebagian
gajinya terpakai. Ya, Bunga Raya sadar benar, tak cukup hanya dengan
bismilah untuk mengurusi nyawa orang!
Ternyata Tuhan memang Mahaadil. Setiap tabiat mulia yang ditanam,
tentulah akan tiba masa panen buahnya. Dan buah itu, bukan hanya
dipetik Bunga Raya, tapi juga dinikmati para penduduk yang telah
menahbiskannya sebagai guru serbabisa. Sejumlah keluhan yang lazim di
9
derita penduduk, seperti kepala pusing, masuk angin, dan lesu yang
berkepanjangan, dapat diatasi dengan Air Akar. O, Bunga Raya, ini bukan
hanya tentang kemujaraban akar dan umbi-umbian. Ini juga tentang
karomah Tuhan, zat yang takkan mendiamkan hamba yang sudah
lintang-pukang mengikhtiarkan kebaikan ….
Bunga Raya sadar benar. Bagaimanapun, negara menempatkannya di
Kampung Nulang untuk mengabdi sebagai guru, bukan sebagai mantri.
Maka, demi menjalankan kewajibannya tanpa mengabaikan orang-orang
yang datang berobat, ia meminta Bu Mindu, seorang janda yang berjualan
rempah di pasar kalangan saban Selasa, untuk membantunya di rumah.
Ah, siapalah yang kuasa menolak permintaan Bunda Guru yang
termasyhur nama, ilmu, kepandaian, dan kebaikan hatinya. Dan seolah
berjodoh, tak membutuhkan waktu lama, Bu Mindu sudah cakap
melayani keluhan ringan penduduk yang datang ketika Bunga Raya
tengah mengajar di SD. Singkat cerita, Bunga Raya benar-benar terbantu
karenanya. Ya, Bunga Raya dapat menjalankan dua perannya dengan hati
yang bungah.
Namun, tentulah bukan kehidupan namanya, bila kebaikan bisa
berlayar tanpa diusik gelombang. Beberapa guru menjulukinya mantri
abal-abal, mantri yang memanfaatkan kebodohan para penduduk untuk
menangguk rupiah. Mereka seolah-olah mengkambinghitamkan
persediaan beras, sayur-mayur, lauk-pauk, atau bahkan kain lasem yang
Bunga Raya miliki sebagai dasar gunjingan. Terakhir, Bunga Raya
mendapati mereka menggunjingkan dedikasinya terhadap anak-anak
didiknya
“Terlampau sibuk cari uang dengan menjual ramuan, bisa-bisa PNS baru
tu menelantarkan anak-anak di sekolah.”
10
Awalnya, Bunga Raya terbakar oleh sindiran itu, namun setelah
dipikirnya masak-masak, tak guna melayani orang-orang yang tak dapat
membuktikan ucapannya, tak guna menanggapi orang-orang yang
diragukan pengabdiannya. Ya, lucu rasanya bila guru-guru yang kerap
terlambat, justru sibuk menggunjingkan guru yang rajin. Lagipula, apa
hubungannya dengan statusnya sebagai PNS baru. Apalah guna masa
kerja yang lama bila tak paham jua tentang tugas dan kewajiban. Ya, dua
jam pelajaran pertama di SD itu hampir selalu ditangani Bunga Raya
seorang. Kadang ia meminta Bu Mindu dan Wak Samin, penjaga sekolah
yang sudah pikun itu, untuk memastikan bahwa anak-anak didiknya
tidak membuat kegaduhan di kelas-kelas yang lain. Sungguh, bila
diperturutkan, betapa jengkel ia kepada kepala sekolah dan dewan guru
yang kerap datang terlambat dan alpa mengajar.
“Jangan samakan mereka denganmu yang tinggal di kampung ini, Bunda
Guru,” ujar kepala sekolah ketika Bunga Raya mengeluhkan kedisiplinan
yang tidak tegak lagi di SD Nulang. “Apalagi sekarang ’kan pengujung
tahun, maklumilah bila mereka berhalangan datang karena hujan lebat.”
Bunga Raya diam, mencerna kata-kata dari pimpinannya itu.
“Dan … rekan-rekanmu itu tak bisa tinggal di Nulang sepertimu karena
mereka punya rumah dan keluarga di Lubuklinggau….”
Bunga Raya menunduk. Matanya hangat. O, Ayah, Ibu, di mana…?
“Bukan maksud Bapak menyinggung perasaanmu…”
Sejak itu, Bunga Raya belajar tahu diri. Ya, di antara sepuluh orang
guru (termasuk kepala sekolah), hanya ia seorang yang memilih tinggal
di Kampung Nulang setelah SK pengangkatan pegawai diterima. Ia pun
memahami betapa jarak Nulang-Lubuklinggau sejatinya tidak
11
dihubungkan oleh jalan yang lurus. Bahkan, tak lebih seperempatnya
yang beraspal. Selebihnya adalah jalan-jalan koral, tanah liat yang
bergelombang, kelokan yang melengkung, dan tanjakan serta turunan
yang di salah satu sisinya jurang menganga bersembunyi di balik rimbun
pakis haji dan rumput kanji. Belum lagi, beberapa jembatan yang harus
dilalui adalah bilah-bilah papan merbau yang tua, rapuh, basah, dan
berlubang di beberapa bagian. Dan di pengujung tahun seperti saat ini,
tentulah hujan menjadi penyempurna yang indah untuk semua keadaan
yang mengenaskan itu. Bunga Raya kibaskan lamunannya. Ia binar-
binarkan wajahnya. Ia lapang-lapangkan dadanya. Begitulah. Begitulah
yang kerap dilakukannya bila sedih yang merundung kian
menggelisahkan.
AHAD itu, Bunga Raya mengajak Bu Mindu ke Lubuklinggau. Sebelum
men-starter sepeda motor, ia menitipkan kunci kepada Wak Samin. Ia
juga berpesan; kalau ada yang datang berobat, silakan kembali bakda
ashar.
Selain membeli bahan makanan dan barang keperluan rumah tangga
lainnya, kepergian Bunga Raya ke kota juga untuk menemui beberapa
orang yang selama ini mengajarinya membuat Air Akar. Ia memang sudah
meminta Bu Mindu untuk membawa ramuan yang isinya tinggal
seperempat botol itu. Sejak empat hari yang lalu, Bunga Raya tidak
nyaman dengan bau yang menguap dari ramuan itu. Benarlah, semua
orang kompeten yang ia temui menyatakan Air Akar sudah waktunya
diganti.
Setelah menunaikan shalat zuhur di masjid dekat simpang pasar, dan
memastikan bahwa semua barang sudah dibeli dan keperluan sudah
ditunaikan, mereka menyusun barang-barang di sepeda motor agar tidak
jatuh selama perjalanan. Baru setengah perjalanan ditempuh, langit
12
perlahan-lahan kelam. Jarum-jarum bening bagai berebutan menusuk
pakaian Bunga Raya dan Bu Mindu. Mereka berteduh di bawah pohon
kelengkeng di tepi jalan. Mereka gegas mengenakan mantel yang sudah
disiapkan di dalam boks sepeda motor. Namun, tangis raksasa itu
terlampau hebat hingga hujan menghalangi pandangan Bunga Raya
meskipun lampu sorot jauh telah dinyalakan. Beberapa kali mereka
menepi untuk menunaikan ashar atau sekadar berteduh di bawah kanopi
pohon rimbun. Tepat ketika azan magrib ditangkap gendang telinga,
mereka telah tiba di rumah berpagar rerimbun kembang sepatu.
Pintu rumah tampak terbuka. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Ah,
Wak Samin memang cekatan, pikir Bunga Raya. Bunga Raya mengucap
salam. Suara Wak Samin menjawab salam terdengar dari dapur. Bunga
Raya masuk, duduk di kursi beberapa saat setelah membuka mantel. Bu
Mindu langsung ke belakang untuk mengambil wuduk. Tak lama, Wak
Samin muncul dari bilik praktik.
“Bunda Guru, tadi ada anak tujuh tahunan dari kampung seberang yang
mau berobat.”
“O ya? Saya mohon maaf, Wak. Kami telat datang ….”
“Ya. Saya suruh tunggu, tapi karena orangtuanya ada pekerjaan
mendesak, jadi anaknya dititipkan di sini untuk diobati. Paling sebentar
lagi mereka datang untuk menjemput.”
“Anaknya mana, Wak?”
“Sudah saya obati.”
“Maksud Wak?”
13
“Tadi Bunda Guru lama sekali pulangnya. Saya lihat anak itu pun sudah
sesak napasnya. Saya ambil Air Akar di dapur. Saya tuangkan ke gelas.
Saya suruh dia minum.”
“Air Akar?” Bunga Raya memeriksa tasnya. Sebotol Air Akar ada di sana.
Perasaannya tak enak. Gegas ia bangkit dan menuju ke dapur. “Air Akar
yang mana, Wak?” Nada suaranya mulai cemas.
“Anak itu memang mengerang kesakitan ketika menenggaknya. Tapi saya
teringat kata-kata Bunda Guru, kalau minum obat itu memang rasanya
tidak enak.” Wak Samin menyusul Bunga Raya sambil nyerocos penuh
percaya diri seakan ia benar-benar berjasa telah membantu Bunda Guru
dalam melakukan pengobatan.
“Bunda Guruuu!” Teriakan Bu Mindu dari ruang praktik mengejutkan
Bunga Raya dan Wak Samin.
Bunga Raya beristighfar serta-merta. Di pembaringan, di lihatnya
seorang anak kecil dengan tubuh biru-kaku terbujur dengan bibir yang
terbakar. Bu Mindu menangis. Bunga Raya mengalihkan pandangan ke
arah Wak Samin. Jantungnya berdegup terburu-buru. Wak Samin gegas
ke belakang. Ia mengambil sebuah botol sirup yang berisi cairan cokelat
pekat.
“Saya sering melihat Bunda Guru memberikan Air Akar ini kepada orang-
orang yang sakit,” ujar Wak Samin sembari menunjukkan botol di
tangannya. “Sepertinya ini obat semua penyakit. Apalagi anak itu cuma
mengerang sebentar. Setelah itu langsung tenang, bahkan langsung tidur.”
Bunga Raya menyambar botol itu dari tangan Wak Samin. Bu Mindu
terperangah. Tenggorokannya tercekat. Bibir Bunga Raya menggigil.
Bahunya turun naik menahan buncah. Kepalanya bagai bergasing.
14
Bunga Raya dan Bu Mindu bersitatap. Ada marah dan ketakutan yang
menyala di mata-mata itu. Tangannya bergetar. Botol di tangannya jatuh.
Pecah. Beling-beling berserakan. Isinya muncrat di kaki kanan Wak
Samin. Laki-laki berumur itu mengerang kesakitan. Jari-jari sebelah
kakinya terbakar seketika. Wak Samin berguling-guling menahan sakit,
menahan sakitnya kulit yang terbakar, menahan sakitnya jari-jari kaki
yang terbakar, terbakar oleh cuka para!
2.2 Kode Bahasa
Kode bahasa, dimana pembaca dituntut untuk menguasai makna
yang terkandung dalam karya sastra tersebut, dengan menaklukkan
tanda baca, dan sebagainya menggunakan kajian denotatif/konotatif
maupun kajian teori rifatter.
Dalam makalah ini kami menggunakan kajian denotatif/ konotatif,
yang diuraikan di bawah ini.
Air Akar
Konotatif : ramuan obat serbaguna warisan leluhur.
Dedukatif : air dan akar yang di campurkan menjadi satu bentuk.
1. Menggelegar
Konotatif : langit mengeluarkan suara yaitu tanda akan turun hujan.
Denotatif : suara seperti halilintar.
2. Raksasa
Konotatif : akan turun hujan (badai yang hendak datang).
Denotatif : sosok seperti manusia yang berbadan sangat besar melebih
pohon.
3. Tengah
Konotatif : proses terjadinya hujan.
15
Denotatif : posisi yang bukan berada di antara depan dan belakang.
4. Muntab
Konotatif : hujan telah mulai turun.
Denotatif : mengeluarakan.
5. Jarum-jarum
Konotatif : air hujan.
Denotatif : banyak jarum.
6. Bening
Konotatif : jernih.
Denotatif : tidak tercampur debu bersih dan berkilau.
7. Berebutan
Konotatif : butiran air hucarjan yang jatuh secara bersamaan.
Denotatif : ada beberapa orang atau yang lain yang saling mengambil
suatu hal yang bisa dilakukan dengan cara di perlombakan.
8. Menciumi
Konotatif : samapai
Denotatif : orang yang memberi kasih sayang dengan bentuk suatu
ciuman.
9. Pucuk-pucuk
Konotatif : berada di ujung daun rumput.
Denotatif : ujung yang berada yang paling atas dan paling runcing.
10. Karet
Konotatif : ujung dari rumput yang paling ujung.
Denotatif : tumbuhan besar yang getahnya diambil dan dimanfaatkan
untuk bahan membuat ban dan peralatan lainnya.
11. Meranggas
Konotatif : basah terkenak air hujan.
Denotatif : memberi selimut.
12. Purnama
Konotatif : tumbuhan-tumbuhan kecil.
16
Denotatif : nama dari bulan .
13. Menyelimuti
Konotatif : melindungi
Denotatif : kain yang di selimutkan kepada seseorang agar tidak
kedinginan.
14. Mempersilakan
Konotatif : menyuruh.
Denotatif : mengetujuinya.
15. Raksasa
Konotatif : akan turun hujan.
Denotatif : sosok seperti manusia yang berbadan sangat besar melebih
pohon.
16. lelah
Konotatif : hujannya telah berhenti.
Denotatif : capek.
17. Kembali
Konotatif : hujan sudah tidak turun.
Denotatif : datang.
18. Merona
Konotatif : terang.
Denotatif : cahaya.
19. Bianglala
Konotatif : pelangi.
Denotatif : pelangi.
20. hilir-mudik
Konotatif : mondar mandir.
Denotatif : pulang kampung.
21. Erangannya
Konotatif : menahan rasa sakit.
Denotatif : keluhan karena sakit.
17
22. Berdesir
Konotatif : berdiri.
Denotatif : bersuara.
23. Butir
Konotatif : satu air keringat.
Denotatif : barang yang kecil-kecil.
24. Menguap
Konotatif : mengetahui.
Denotatif : rasa ngatuk dan bisa juga uap dari asam.
25. Nian
Konotatif : malu.
Denotatif : benar atau sungguh.
26. Tali
Konotatif : ikatan.
Denotatif : utas panjang yang di pakai untuk mengikat.
27. Terpanjang
Konotatif : paling erat.
Denotatif : jarang paling jauh antara ujung ke ujung.
28. Lingkaran
Konotatif : keluarga.
Denotatif : benda yang bulat.
29. Liur
Konotatif : ludah.
Denotatif : air yang gental yang keluar dari mulut.
30. Menganyam
Konotatif : merangkai atau berbicara.
Denotatif : suatu kesenian yang menggunakan bahan bambu.
31. Berkarib
Konotatif : berbaur.
Denotatif : berkawan dekat.
18
32. Mengkambinghitamkan
Konotatif : membicarakan keburukan yang belum tentu benar adanya.
Denotatif : membicarakan keburukan yang belum tentu benar adanya.
33. Terbakar
Konotatif : marah
Denotatif : habis dilalap api.
34. Kelam
Konotatif : mendung.
Denotatif : masa lalu yang buruk.
35. Jarum-jarum
Konotatif : tetesan air hujan.
Denotatif : rumput jarum.
36. Menusuk
Konotatif : masuk.
Denotatif : memasukkan barang runcing.
37. Ditangkap
Konotatif : mendengar.
Denotatif : di ambil atau di pegang.
38. Tercekat
Konotatif : sakit.
Denotatif : cerdik dan tangkas.
39. Bersitatap
Konotatif : berhadap hadaapan.
Denotatif : melirik.
40. Bergasing
Konotatif : pikirannya tidak karuan atau kacau.
Denotatif : alat permainan terbuat dari kayu bundar dan bagian bawah
agak lancip cara memainkannya diputar menggunakan tali.
19
Jika cerpen ini dibahasakan kembali, maka isi dari cerpen ini akan
terurai seperti di bawah ini,
Air akar
Langit yang mendung di sertai dengan suara seperti halilintar, seakan
datang hujan yang sangat deras setelah beberapa menit kemudian rupanya
hujan pun telah turun dengan deras, air hujan tersebut telah membasahi
seluruh permukaan bumi ini. Air hujan tersebut samapai membasahi seluruh
rumput yang ujungnya tajam seperti kawat ikut basah sampai pada
permukaan tanah dan berkilauan air hujan, seakan perpohonan tua tersebut
memberi selimut pada beberapa tumbuhan di bawahnya tersebut. Daun-daun
kering yang berada di bawah tanah ikut lindap, lembab, basah tetapi
bermanfaat bagi para bintang untuk mencari makanan bagi mereka. Dan
tidak lama kemudian hujan pun mulai redah dan langit terlihat cerah dan
terang kembali dan mengeluarkan warna langitnya kembali. Di salah satu
sungai yaitu sungai Lubukumbuk pelangi mengeluarakan keindahnya dengan
tujuh warna yang indah sekali. Dan penduduk Kampung Nulang pun percaya
bahwa setelah muncul pelangi pasti ada bidadari yang ikut turun tersebut,
tetapi penduduk Kampung Nulang tidak percaya bahwa Allah S.W.T telah
menurunkan bidadari kepada kampungnya untuk mengubah Kampung
Nulang lebih baik lagi.
Bunga raya adalah seorang guru yang beusia enam puluh tahun, orang
tua bunga raya memberi nama setelah orang tuanya rekreasi ke angkasa. Dan
akan tetapi penduduk Kampug Nulang tidak memanggilnya bunga raya tapi
memanggilnya Bunda guru dan lagi pula anak-anak didiknya senang bersama
beliau di karenakan murid-muridnya merasa tenang, damai, dan bahagia bila
di didik oleh Bunda Guru.
Lain lagi dengan Pendudung Kampung Nulang memanggil Bunga Raya
dengan sebutan Bunda Guru bukan karena Bunda Raya itu mendidik anak-
20
anak mereka tetapi di karenakan bunda raya di anggap sebagai orang-orang
sakti yang dapat menyembuhkan penyakit orang-orang.
Pada satu tahun yang lalu. Bunda Guru baru mengajar di salah satu SD
yang berada di Kampung Nulang, suatu ketika salah satu anak didik Bunda
Guru pingsan dan Bunda Guru memintak tolong kepada salah satu muridnya
yang berbadan berbadan besar untuk menggendong teman ke ruang guru.
Bunda Guru bertanya ke pada si anak yang pingsan tersebut tapi anak
tersebut tidak menjawab, lalu temannya menjawab pertanyaan Bunda Guru
tersebut, lalu temannya menceritakan bahwa si anak ini sudah sakit dari
rumah si anak ini sakit perut dan dengan orang tuanya ini si anak tidak boleh
masuk sekolah dengan orang tuanya di karenakan sakit tetapi anak ini tetap
nekat buat masuk sekolah. Lalu Bunda Guru menyuruh salah satu muridnya
untuk membuatkan oralit. Semua murid didiknya tersebut terkejut saat
Bunda Guru menyebutkan kata-kata oralit. Dan sore harinya kedua orang tua
Nalin murid yang menderita sakit perut tersebut mendatangi rumah Bunga
Raya yang terletak dibelakang sekolah. Bulu kuduk bunga raya berdiri karena
mengetahui orang tua didiknya kerumah bunga raya. Bunga raya mengetahui
bahwa orang tua muridnya bersifat cepat marah dan lain sebagainya. Jadi
bunga raaya takut terjadi apa-apa dengan anak didiknya yng di obati di
sekolah tadi. Air keringat yang mulai bermunculan satu demi satu di dahi dan
di badan bunga raya. Manun kekhawatiran tersebut mulai sirna ketika bunga
raya mengetahui ke datangan orang tua Nalin, ternyata Nalin sudah sembuh
dan orang tua Nalin setiap harinya memberi beras, sayur, dan lain-lainnya
kepada bunga raya.
Bunga raya paham atas semua itu, bunya raya mengerti siapa kedua
orang tua dari Nalin. Ayah Nalin adalah juragan karet dan petinggi puak,
seadangkan ibunya adalah seorang tabib. Bilang Bunga raya percaya atas
pepata bilang yaitu mulut adalah seutas panjang yang di pakai untuk berjalan
paling jauh antara ujung ke ujung.dan sejak saat itu banyak orang yang
berdatangan ke rumah Bunga raya untuk berobat. Bunga raya sudah kata
21
untuk bilang ke pada semua Penduduk Kampung Nalin bahwa dy bukan
seorang dukun atau yang lainnya, tetapi semua penduduk tidak
mendengarkan omongan bunga raya. Beginilah orang Kampung jika udah
percaya atas suatu kepercayaan maka sulit untuk mengubah kepercayaan
tersebut.
Seiring berjalannya waktu, bunga raya tidak pernah bosan setiap
pulang dari kerjanya sebagai seorang guru bunga raya pasti membeli obat di
apotek.
Namun sulit sekali untuk penduduk Kampung Nalin untuk
mengosumsi obat-oobatan yang sekarang telah modern. Penduduk masih
tidak percaya dengan obat tersebut mereka masih percaya dengan oralit
yang dibuat oleh bunga raya, walaupun bunga rasa s udah memberi tau
bagaimana cara membuat oralit tetap saja pennduduk itu lebih percaya
kepada oralit yang di buat bunga raya. Sejak itu bunga raya bolak-balik dari
desa ke kota, maka sejak itu bunga raya sering berkonsultasi dengan
beberapa dokter dan teman-teman dekatnya maka munculah ramuan Air
Akar tersebut. Ramuan coklat tersebut di taruk kedalam botol yang akan
bertahan biasanya selama berbulan-bulan. Rasanya yang sangat pahit tetap
saja di cari oleh banyak masyarakat dan inilah tampilan yang harus
bersahabat dengan alam dan kampung yang sederhana dan bunga raya rela
sampai menyisihkan gaajiannya bagi kesehatan masyarakat Kampung Nulang
dann dengan baca bismillah insya Allha akan lancar dalam segala hal. Bunga
raya menanam suatu ramoan untuk membuat air akar dan air akar itu di
guunakan untuk kepentingan masyarakat Kampung Nulang.
Bunga raya meminta seorang janda yang bernama Bu Mindu untuk
membantunya dalam menganangi masyarakat yang berobat ke padanya dan
ibu Mindu pun menerima tawaran bunga raya siapa sih yang mau menolak
permintaan dari bunga raya.
22
Namun ada juga yang iri kepada bunga raya dengan menjulikinya
sebagai mantri yang memanfaatkan kebodohan yang sedang berlangsung di
kampung Nulang. Teman-teman kerjannya yang iri tersebut membicarakan
keburukan yang belum tentu keburukan tersebut benar adanya. Dan
omongan-omongan yang tidak baik tersebut samapai terdengar oleh bunga
raya.
Pada awalnya bunga raya marah seperti amarnya habis di lalap api,
namun setelah di pikir-pikir buat apa kita marah-marah seperti itu tidak ada
gunanya buat bunga raya. Dan bunga raya pun lucu melihat para karyawan
kerjanya yang males-malesan dan bunga raya pun menghadap ke kepala
sekolah untuk mengeluhkan kedisiplinan yang tidak berjalan dengan baik.
Tetapi yang kepala sekolah itu mala memarhi bunga raya dan bunga raya
hanya lah keluar dari ruang kepala sekolah dengan wajah kusam. Sejak itu lah
bunga raya belajar tahu diri. Jalan yang berada Nulang-Lubuklinggau yang
jalannya tidak di perbaiki dan satu sisi jurang menganga bersembunyi di
balik rumput-rumput yang berada di pinggir-pinggir jalan.
Ahad itu, bunga raya mengajak bu mindu ke Lubuklinggau untuk
membeli sebuah bahan makanan dan lain-lainnya dan juga bunga raya
membawa seperempat botol air akar dan semua orang berhak mengambil
keputusan yaitu pendapat mereka tentang air akar itu sudah waktunya di
ganti. Setelah semua sudah selesai di beli setelah sholat zuhur mereka
memeriksa semua bahan-bahan yang di belinya. Setelah setengah perjalanan
langit pun mulai mendung dan air hujan pun mulai berjatuhan dan masuk
kedalam baju bunga raya dan ibu mindu dan mereka pun mulai berteduh dan
mereka pun mulai menggunakan jas hujan yang berada di sepeda motor.
Setelah itu tepat ketika azan magrib terdengar oleh telinga, mereka telah
sampai rumah. Setelah di rumah pintu rumah telah terbuka dan lampu-
lampu telah menyala. Pikir bunga raya pak samin adalah orang yang cekatan.
Tapi pikiran itu salah setelah pak samin berkata bahwa ada tamu yang datang
yaitu ada seorang orang tua dan seorang anak yang datang kerumahnya
23
untuk menyembuhkan penyakitnya dan orang tua itu menitipkan anaknya
kepada pak samin dan pak samin memberi obat yang biasanya bunga raya
kasih kepada pasiennya. Ternyata ramoan yang di kasik oleh pak samin itu
bukan ramoan yang biasanya bunga raya kasik ke para pasiennya. Dan bunga
raya dan bu mindu segera kebelakang ke anak itu dan bunga raya kaget
melihat anak itu tubuhnya mulai membiru dan bibir yang mulai terbakar dan
bu mindu malai menangis. Bunga raya ketakuatan meliahat kondisi si anak
takut tterjadi apa-apa dengan anak itu. pak samin menunjukkan botol cairan
yang di kasik kan ke si anak itu dan bunga raya langsung menyambar botol
tersebut dari tangan wak samin. Dan bunga raya diam untuk menahan rasa
kacau dan keruh pada hati bunga raya. Dan kepala bunga raya bagaikan alat
mainan yang terbuat dari kayu bundar dan bagian bawahnya agak lancip cara
memainkannya di putar menggunakan tali karena ketakuatan yang bukan
kepalang. Bunga raya dan bu mindu saling melihat. Dan botol yang di pegang
oleh bunga raya jatuh dan cairan itu muncrat ke kaki wak samin. Wak samin
itu merasa kesakitan dengan cairan itu dan kulit wak samin terbakar dan wak
samin menahan kesakitan jari-jari kakinya yang terbakar, terbakar oleh
cairan keras.
2.3Kode Sastra
Menurut Teew (1991: 14) kode sastra adalah kode yang berkenaan
dengan hakikat, fungsi sastra, karakteristik sastra, kebenaran imajinatif
dalam sastra sebagai sistem semiotik, sastra sebagai dokumen sosial, dan
sebagainya.
Unsur-Unsur Intrinsik dan ekstrinsik
1. Unsur – Unsur Intrinsik
a. Tema : pengabdian seseorang di sebuah desa, untuk mengenalkan
tentang pengobatan yang berasal dari alam.
24
b. Plot atau alur, yaitu rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin
dengan seksama sehingga menggerakkan jalan cerita melalui
perkenalan klimaks dan penyelesaian.plot n alur cerpen di atas
menggunakan alur maju mundur, alur mundur terlihat saat bunga
raya mengingat masa lalunnya bersama kedua orang tuannya.
c. Penokohan dan perwatakan yaitu cerita pengarang menggambarkan
dan mengembangkan watak para pelaku yang terdapat di dalam
karyanya. Tokoh pada cerpen di atas yaitu
1. Bunga raya adalah seorang guru sekali gus seorang mantri yang
dapat membantu orang ketika sakit wataknya baik, sabar patang
menyerah dan suka menolong.
2. Nalin seorang siswa yang sedang sakit berwatak penurut.
3. Orang tua nalin, bapaknya juragan karet dan ibunya seorang
tabib. berwatak baik, tau cara membalas budi orang lain yang
telah membantu anaknya, seorang terpandang dalam masyarakat
dan seorang kaya raya.
4. Penduduk desa berwatak iri kepada Bunga Raya dan
berprasangka buruk, dan tidak peduli dengan usaha yang
dilakukan oleh bunga raya.
5. Bu mindu seorang janda yang berjualan rempah di pasar
kalangan saban Selasa, yang memiliki watak baik, percaya
kepada bunga raya dan membantu pekerjaan bunga raya
dirumahnya.
6. Wak samin penjaga sekolah yang sudah pikun, berwatak baik,
suka membantu bunga raya ketika bunga raya sedang tidak ada
di kelas.
7. Setting atau latar yaitu tempat dan waktu terjadinya cerita. Latar
ini berguna untuk memperkuat tema, menuntun watak tokoh,
dan membangun suasana cerita. Latar terdiri atas latar tempat,
waktu dan sosial. Setting atau latar pada cerpen di atas yaitu.
kampung nulang tempat kelahirannya bunga raya.
25
SD Nulang tempat bunga raya mengajar.
Rumah Bunga Raya
Seiring matahari yang tak lelah menggelinding di cakrawala
menunjukan waktu siang hari di apotek.
e. Sudut pandang yaitu posisi pengarang dalam membawakan
cerita.sudut pandang di atas yaitu memakai sudut pandang ke 2,
karena cerpen di atad di ceritakan oleh orang lain atau orang ke 2.
f. Amanat, Seseorang yang memiliki semangat tinggi untuk melakukan
sebuah perubahan untuk membantu masyarakat dalam mengobati
penyakit yang diderita masyarakat.
2. Unsur – Unsur Ekstrinsik
Cerpen juga memiliki unsur ekstrinsik yaitu unsur-unsur luar yang
berpengaruh terhadap penciptaan suatu bentuk karya sastra. unsur
ekstrinsik itu antara lain
a. Kondisi social
Masyarakatnya masih memiliki kepercayaan yang di anut oleh
nenek moyangnya. Pengobatan yang memakai ramuan yang
tradisonal dan alami, tidak percaya dengan pengobatan Modern.
b. Penggunaan Bahasa
Bahasa yang digunakan masih ada unsur ke daerahannya, seperti
pada kata “Wak” adalah sebutan untuk orang laki laki yang sudah
tua di daerah Sumatera.
1.3Kode Budaya
Menurut Chapman (1980:26) Kode budaya adalah pemahaman
terhadap latar belakang, konteks, dan sistem sosial budaya.
Benny Arnaslahir dan tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan.
Bersama sang istri, ia mengelola BENNYINSTITUTE, lembaga sosial-
kebudayaan di kampung halamannya. Cerpen “Air Akar” ialah peraih
26
penghargaan Cerpen Terbaik 2012 dari Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif.
Jika dilihat dari biografi singkat pengarang, puisi ini diciptakan
untuk mengangkat salah satu budaya di kampung halamnnya yakni,
Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Dengan puisi ini pengarang dapat
memplubikasikan wilayah tersebut kemuka umum dengan tujuan
peningkatan dibidang pariwisata serta mempublikasikan bahwasannya
wilayah tersebut memiliki sesuatu yang unik dan bermanfaat bagi semua
halayak.
Air Akar adalah ramuan obat sebarguna warisan leluhur. Dahulu,
orang-orang tua di Lubuklinggau kerap membuat dan menggunakannya
untuk pengobatan. Air Akar tidak hanya terbuat dari jenis akar dan umbi-
umbian (seperti bangle, kunyit, jahe, bawang putih, dll.), tapi juga dari
bunga dan daun-daunan seperti kumiskucing, sisiknaga, altowali, greges,
meniran, dan kejibeling.
Dalam cerpen ini bukan hanya masalah obat tradisional saja yang
dibahas, melainkan budaya iri dengki yang telah melekat didalam diri
masyarakat. Hal ini tergambar pada rasa iri para guru di SD desa tersebut
pada Bunga Raya. Selain itu, ada budaya mencari muka yang ditunjukkan
oleh Wak Samin terhadap Bunga Raya yang akhirnya membawa petaka.
Pengarang ingin mengkritik budaya iri dengki, sok berkuasa, dan
unjuk muka ini, agar budaya ini dapat dihilangkan dari diri masyarakat
luas. Selain itu pengarang ingin menyampaikan bahwasannya budaya
kolot yang terkesan miliknya penduduk primitif, dimana sangat sulit
menerima perubahan (modernisasi) tidaklah baik. Disini terlihat dari
susahnya menyakinkan para penduduk mengenai obat-obatan modern.
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali
duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. Sebuah cerpen
merupakan prosa fiksi dengan jumlah kata berkisar antara 750-10.000
kata. (Edgar Allan Poe, Jassin (1961:72)
Dalam menganalisis cerpen ini dengan menaklukkan kode bahasa,
didapat makna sesungguhnya dari suratan bahasa yang digunakan
pengarang. Dari kode bahasa , sangatlah jelas bahwa pengarang ingin
menyampaikan bahwasannya ada seorang guru yang berhati mulia,
berjiwa penolong, dan tidak mudah menyerah.
Dari kode sastra didapat, dalam penokohannya tokoh utama
berprofesi sebagai guru dan sebagai seorang tabib yang bersemangat
tinggi dalam membantu masyarakat. Gaya bahasa yang digunakan dalam
cerpen tersebut tedapat unsur kedaerahan dan alur yang digunakan
adalah alur maju-mundur. Sudut pandang yang tercermin dalam cerpen
ini adalah sudut pandang orang ke-dua.
Dari kode budaya didapat, makna yang sangat mendalam mengenai
tradisi dan moderenisasi. Dimana pengarang ingin menyampaikan bahwa
obat-obatan tradisional yang telah ditinggalkan oleh sebagian besar
masyarakat sangat berguna dan tidak kalah berkasiat dengan obat-
obatan modern. Pengarang juga ingin menyampaikan bahwasanya
budaya iri, sok berkuasa, dan unjuk muka tidaklah baik. Budaya seperti
ini yang telah melekat di diri masyarakat kita dapat menciptakan mala
petaka yang tiada kiranya.
28
Daftar Pustaka
http://lakonhidup.wordpress.com/
http://google.com
29