analisis alokasi apba
TRANSCRIPT
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH(BAPPEDA) ACEH TAHUN 2015
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
(BAPPEDA) ACEH TAHUN 2015
ANALISIS ALOKASI APBA ANALISIS ALOKASI APBA
UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI
ANALISIS ALOKASI APBA ANALISIS ALOKASI APBA
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan
laporan hasil penelitian dengan judul “Analisis Alokasi APBA Untuk Pemberdayaan dan
Pengembangan Ekonomi” dapat diselesaikan dengan tepat pada waktunya. Tujuan utama
kajian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme pengusulan dan penyaluran
bantuan sosial (Bansos); mengkaji bagaimana program bantuan sosial telah mampu
menciptakan kemandirian ekonomi, meningkatan pendapatan penerima bansos, dan
mengetahui kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan tantangan dalam penerimaan
dana bantuan sosial.
Selesainya penelitian ini telah melibatkan semua pihak baik dalam penyediaan
analisis data maupun penulisan laporan akhir. Oleh karena itu kami menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penyusun yang telah mencurahkan
pikiran, waktu, dan tenaganya semaksimal mungkin dalam menyelesaikan laporan
hasil kajian ini.
Akhirnya, kami berharap agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai
sumber data dan informasi yang berguna bagi stakeholders dalam pengambilan
kebijakan untuk percepatan pembangunan Aceh. Semoga Allah Yang Maha Kuasa
senantiasa mengiringi setiap derap langkah kita dalam memberikan kontribusi nyata
untuk kemajuan Aceh ke depan.
BANDA ACEH, NOVEMBER 2015
KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Drs. ZULKIFLI Hs, MM
Executive Summary
Bantuan sosial merupakan salah satu kegiatan pemerintah yang
diperuntukkan untuk membantu masyarakat yang memiliki tingkat kerentanan
sosial yang tinggi. Berdasarkan peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, bantuan sosial merupakan
bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bantuan sosial diberikan tidak
secara terus menerus/tidak berulang setiap tahun anggaran, selektif dan memiliki
kejelasan peruntukan penggunaannya.
Pemerintah Aceh juga telah menyalurkan bantuan sosial dalam jumlah yang
tidak kecil. Dana bantuan hibah dan bansos dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Aceh (APBA) 2014 dianggarkan sebesar Rp. 1,2 Trilyun yang diperuntukkan
bagi lima kelompok, masing-masing kepada pemerintah atau lembaga pemerintah,
kemudian kepada pemerintah daerah, BUMD, kelompok masyarakat, dan yang
terakhir kepada ormas. Namun, manfaat dari dana bansos tersebut belum mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Ditambah
lagi ditemukannya fenomena pemberian bansos yang tidak tepat sasaran sehingga
memicu perhatian publik dan masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengkaji dan mengungkapkan sejauh
mana program pemberian dana hibah/bantuan sosial berdampak kepada kemajuan
perekomian dan kesejahteraan masyarakat Aceh. Penelitian ini dilakukan dengan
metode kualitatif deskriptif dan penggunaan instrument survei terhadap penerima
dana bansos. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder yang diperoleh
melalui survei, wawancara mendalam dan data dari dinas terkait. Penelitian ini
dilaksanakan di 12 kabupaten/kota di Aceh terdiri dari dalam beberapa sektor
(6 bidang) diantaranya adalah sektor pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan, perdagangan, dan jenis bantuan lainya. Untuk setiap sektor di pilih
secara random dengan menentukan lokasi dan jumlah dana bansos yang
dialokasikan pada tahun 2013. Untuk setiap Kabupaten/kota dipilih 6 bidang pada
SKPA terkait secara random yang mengalokasikan dana bansos. Pada masing –
masing bidang diambil 6 sampel jenis batuan dipilih juga secara acak.
Hasil penelitian menemukan bahwa sistem penyaluran dan seleksi penerima
dana bansos masih memiliki banyak kelemahan. Dari 102 responden penerima dana
bansos yang menjadi objek penelitian, hanya terdapat 52 responden (50,9%) yang
dapat teridentifikasi dan ditemukan alamatnya. Artinya, hanya 64 kelompok yang
berhasil ditemukan dan dikunjungi, sedangkan 38 kelompok tidak didapat
ditemukan walaupun sudah melibatkan Keuchik dan kepala desa setempat. Hal ini
mengisyaratkan bahwa mekanisme penyaluran dan pertanggungjawaban Bansos
belum optimal dan akuntable.
Lebih lanjut, mekanisme penyaluran dan pertanggungjawaban dana Bansos
masih bervariasi dan belum optimal menyeleksi kelompok yang layak diberikan
Bansos. Sinergitas dan koordinasi antar lembaga sangat lemah sehingga banyak
aparatur desa serta dinas terkait tidak mengetahui siapa saja yang mendapatkan
dana Bansos. Pada akhirnya, proses seleksi, pengawasan dan pembinaan menjadi
tidak optimal.
Kajian ini juga menemukan bahwa dana bansos telah memberikan pengaruh
yang baik bagi peningkatan pendapatan, keberlanjutan usaha dan kemandirian
ekonomi kelompok penerima. Terutama kelompok usaha yang memiliki
pengalaman berusaha, adanya pendampingan dan modal yang mencukupi.
Faktor internal kelompok usaha sudah relatif memiliki lebih banyak kekuatan
berbanding kelemahan.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa mekanisme
penyaluran Bansos perlu diperbaiki secara seksama untuk menutupi celah
penyalahgunaan atau ketidakefektifan penggunaan Bansos. Beberapa cara yang
dapat ditempuh seperti memperkuat seleksi kelompok penerima bansos dengan
melibatkan lebih banyak aparatur desa, memprioritaskan kelompok usaha yang
sudah berjalan dan meningkatkan keterlibatan dinas ditingkat kabupaten agar
koordinasi dan pengawasan lebih mudah dilakukan.
Disamping itu, kemandirian kelompok perlu ditingkatkan dengan program
pendampingan kelompok, kerjasama yang intensif dengan aparatur desa dan
pelatihan yang terkait dengan usaha kelompok. Dengan beberapa saran ini
diharapkan dana bansos dapat mencapai tujuannya sehingga berkontribusi
terhadap kesejahteraan dan pembangunan Aceh di masa depan.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................................................ 1 2.1. Maksud dan Tujuan Penelitian. ........................................................................... 5
2.1.1. Maksud Penelitian ..................................................................................... 5 2.1.1. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 5
2.1.3. Output yang Diharapkan ......................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................................... 7 2.1. Pengertian Bantuan Sosial ..................................................................................... 7 2.2. Permendagri Nomor 32 Tahun 2011. ............................................................... 8
2.3. Pembedayaan Masyarakat dan Ekonomi ........................................................ 13
2.4. Konsep Pemberdayaan Ekonomi ........................................................................ 14
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................................ 17 3.1. Ruang Lingkup, Populasi dan Sampel Penelitian ......................................... 17 3.2. Metode Pengumpulan Data ................................................................................... 17
3.3. Desain Penelitian, Metode Analisa dan Pembahasan ................................. 17
BAB IV GAMBARAN UMUM BANTUAN SOSIAL ACEH ........................................................ 18
4.1. Gambaran Umum Kondisi Aceh ........................................................................... 18 4.1.1. Potensi Pengembangan Wilayah ......................................................... 19 4.1.2. Wilayah Rawan Bencana ......................................................................... 20 4.1.3. Demografi ...................................................................................................... 21
4.2. Aspek Kesejahteraan Masyarakat....................................................................... 22 4.2.1. Pertumbuhan PDRB .................................................................................. 22 4.2.2. Laju Inflasi..................................................................................................... 26 4.2.3. Persentase Penduduk di atas garis kemiskinan ............................ 27 4.2.4. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan ............................................. 29
4.2.5. Produktivitas Tenaga Kerja dan Status Menurut pekerjaan Utama .............................................................................................................. 29
4.2.6. Pengangguran .............................................................................................. 31 4.2.7. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Perkapita ....................... 32 4.3. Fokus Sumber Daya Manusia ............................................................................... 35 4.3.1. Kualitas Tenaga Kerja (Persentase Lulusan S1/S2/S3)............. 35 4.3.2. Tingkat Ketegantungan (Rasio Ketergantungan) ......................... 35 4.4. Aksebilitas Daerah .................................................................................................... 36
BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 39 5.1. Analisa Mekanisme Penyaluran Bansos di Provinsi Aceh ........................ 39
5.1.1. Mekanisme Penyaluran Bansos Berdasarkan Dasar Hukumnya ..................................................................................................... 39
ii
5.1.2. Realitas Mekanisme Penyaluran dan Pertanggung jawaban Bansos ............................................................................................................. 41
5.1.3. Analisis Mekanisme Penyaluran Bansos .......................................... 44 5.2. Analisis Manfaat Bantuan Dana Sosial .............................................................. 47 5.2.1. Pandangan Penerima Manfaat .............................................................. 47 1. Aspek Pendapatan ............................................................................... 47 2. Aspek Keberlanjutan Usaha ............................................................. 49 3. Aspek Kelembagaan ............................................................................ 52 4. Aspek Kemandirian ............................................................................. 57 5. Peran Pemerintah ................................................................................ 58 5.2.2. Pandangan Pemimpin Formal .............................................................. 61 1. Peningkatan Kesejahteraan ............................................................. 61 2. Kelembagaan ......................................................................................... 62 3. Kemandirian Masyarakat ................................................................. 64 4. Peran Pemerintah ................................................................................ 65 5.3. Analisis SWOT ............................................................................................................. 66 5.3.1 Faktor Internal (Kekuatan dan Kelemahan) ................................... 65 5.3.2 Faktor Ekstenal (Kesempatan dan Tantangan) ............................. 67 5.3.3 Pemetaan Hasil Analisis SWOT ............................................................ 69 1. Strategi S-O (Kekuatan – Peluang)................................................ 71 2. Strategi S-T (Kekuatan – Tantangan) .......................................... 73 3. Strategi W - O (Kelemahan – Peluang) ........................................ 75 4. Strategi W - T ( Kelemahan – Tantangan) .................................. 76
BAB VI PENUTUP .................................................................................................................................. 78
1. Kesimpulan .................................................................................................................. 78 2. Saran ............................................................................................................................... 78
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota 2009–2013 ................ 21
Tabel 4.2 Perkembangan Nilai dan Kontribusi Sektor-sektor Terhadap PDRB Aceh Tahun 2010-2014 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 .................................................................................................................................. 23
Tabel 4.3 Perkembangan Nilai dan Kontribusi Sektor-sektor Terhadap
PDRB Aceh Tahun 2010-2014 Atas Dasar Harga Berlaku ................ 24
Tabel 4.4 Perkembangan Kontribusi Sektor-sektor Terhadap PDRB Aceh Dengan Migas Selama Tahun 2010 S.d 2014 Atas Dasar Harga Berlaku (HB) dan Harga Konstan (HK) .................................................................................................................. 25
Tabel 4.5 IHK dan Tingkat Inflasi Kota Banda Aceh Desember 2013, Tahun Kalender 2013, dan Year on Year menurut Kelompok Pengeluaran (2007=100) ..................................................................................................................... 27
Tabel 4.6 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009–2013 ....................................................... 28
Tabel 4.7 Persentase Penduduk Berdasarkan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan ....................................................................................................... 29
Tabel 4.8 Produktivitas Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Usaha ................. 30
Tabel 4.9 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama 2009 – 2010 .................................................................. 31
Tabel 4.10 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas, Bekerja dan Pengangguran 2009 – 2010 (Juta) ......................................................................................... 31
Tabel 4.11 Perkembangan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
Tahun 2008 – 2012........................................................................................ 34
Tabel 4.12 Rasio Ketergantungan di Aceh Tahun 2009-2013 ............................ 36
Tabel 4.13 Status Jalan Nasional dan Jalan Provinsi di Aceh Tahun 2006 s.d. 2012 ............................................................................................................. 36
Tabel 5.1 Proporsi Penerima Bantuan Sosial tahun 2013 ................................. 41
Tabel 5.2 Variasi tahapan penyaluran dan pertanggungjawaban Bansos ... 42
Tabel 5.3. Perbandingan penyaluran dan pertanggungjawaban penerima
Bansos ................................................................................................................ 43
Tabel 5.4 Persepsi Responden Penerima Bansos Mengenai Pendapatan
Usaha ................................................................................................................... 48
Tabel 5.5 Keadaan Pendapatan Kelompok Menurut Fungsi Modal Bansos 49
Tabel 5.6 Persepsi Responden Penerima Bansos Mengenai Keberlanjutan
Usaha ................................................................................................................... 49
Tabel 5.7 Persepsi Responden Penerima Bansos Mengenai Keberlanjutan
Usaha ................................................................................................................... 51
iv
Tabel 5.8 Persepsi Responden Mengenai Kemampuan Membangun
Kelembagaan Usaha ...................................................................................... 52
Tabel 5.9 Keadaan Kelompok Dalam Membangun Kelembagaan ................... 54
Tabel 5.10 Persepsi Penerima Bansos Tentang Kemandirian ............................ 57
Tabel 5.11 Persentase Kecukupan Modal, Penggunaan Tenaga Kerja dan
Kebutuhan Pendampingan Pada Kelompok Usaha yang Masih
Aktif ..................................................................................................................... 58
Tabel 5.12 Persepsi Penerima Bansos Mengenai Peran Pemerintah Dalam
Keberhasilan Program.................................................................................. 59
Tabel 5.13 Peran Pemerintah Dalam Membangun Kelompok Usaha............... 60
Tabel 5.14 Faktor Internal (Kekuatan dan Kelemahan) ........................................ 66
Tabel 5.15 FAKTOR EKSTERNAL (PELUANG DAN TANTANGAN) .................... 67
Tabel 5.16 Pemetaan Hasil Analisis SWOT ................................................................. 69
Tabel 5.17 Strategi S – O (Kekuatan – Kesempatan) BANSOS............................. 71
Tabel 5.18 Strategi S – T (Kekuatan – Tantangan) BANSOS ................................ 73
Tabel 5.19 Strategi W – O (Kelemahan – Peluang) BANSOS ................................ 75
Tabel 5.20 Strategi W – T (Kelemahan – Tantangan) ............................................. 76
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Perkembangan Inflasi Banda Aceh, Lhokseumawe, Provinsi
Aceh dan Nasional 2012-Desember 2013 ............................................ 26
Gambar 4.2 Distribusi dan Laju Pertumbuhan PDRB Menurut Penggunaan
Tahun 2012-2013 ......................................................................................... 33
Gambar 4.3 Laju Pertumbuhan PDRB Menurut Penggunaan Tahun 2012-
2013 ..................................................................................................................... 33
Gambar 5.1. Mekanisme Bantuan Sosial – Permendagri No.39 (2012) ............ 40
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah Negara di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan
berada diantara Benua Asia dan Australia serta Samudra Pasifik dan Samudra
Hindia. Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar didunia yang terdiri dari
13.466 pulau. Dengan populasi lebih dari 237 juta jiwa, Indonesia adalah Negara
berpenduduk terbesar keempat didunia setelah China, India dan Amerika Serikat.
Indonesia merupakan Negara dengan kekayaan alam yang melimpah ruah.
Sumber daya alam Indonesia berupa minyak bumi, timah, gas alam, nikel, kayu,
bauksit, tanah subur, batur bara, emas dan perak dengan pembagian alam terdiri
dari tanah pertanian sebesar 10%, perkebunan sebesar 7%, hutan dan daerah
berhutan sebesar 62% dan lainnya sebesar 14% dengan lahan irigasi seluas
45.970 km.
Dengan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, masih menempatkan
Indonesia pada posisi ke 68 termiskin didunia (wordpress.com). Kemiskinan ini
menyebabkan masyarakat sulit mendapatkan kesehatan yang layak dan mutu
pendidikan yang baik sehingga membuat masyarakat Indonesia semakin tertinggal
dibandingkan dengan Negara-negara yang sedang berkembang lain, serta dapat
menghambat kemajuan suatu Negara. Dengan kondisi seperti inilah akirnya
pemerintah memberikan bantuan sosial dari segala bidang dengan tujuan untuk
mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak
sehingga masyarakat Indonesia dapat maju, berkembang dan mandiri.
Bantuan sosial merupakan salah satu kegiatan pemerintah yang
diperuntukkan bagi masyarakat yang memiliki kerentanan sosial yang merupakan
keadaan tidak stabil yang terjadi sebagai dampak dari krisis sosial, ekonomi,
politik, bencana, dan fenomena alam. Pengelolaan belanja bantuan sosial tidak
terlepas dari salah satu rangkaian kegiatan pengendalian dari Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah (SPIP) untuk memberikan keyakninan bahwa belanja bantuan
sosial dikelola dengan baik, tepat sasaran, dan memenuhi tujuan-tujuan dari
bantuan sosial itu sendiri. Belanja bantuan sosial di pemerintah daerah merupakan
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 2
jenis belanja yang masuk dalam kwadran Belanja Tidak Langsung untuk jenis
belanja bantuan sosial dalam bentuk uang dan Belanja Langsung untuk belanja
bantuan sosial dalam bentuk barang dan jasa.
Berdasarkan peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, bantuan sosial merupakan bantuan
dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bantuan sosial diberikan tidak secara
terus menerus/tidak berulang setiap tahun anggaran, selektif gan memiliki
kejelasan peruntukan penggunaannya.
Pembangunan di bidang kesejahteraan sosial dilaksanakan sebagaimana
tercermin dari tujuan nasional yang termaktub dalam pembukaan Undang-undang
Dasar dan dalam pasa 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Tiap-tiap warga
Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Sedangkan dalam pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa: “Fakir miskin dan anak-
anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Berdasarkan amanat konstitusional UUD
1945 tersebut maka pembangunan di bidang lainnya ditujukan untuk mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan sosial dalam kehidupan
bermasyarakat.
Menurut Permendagri Nomor 32 Tahun 2011, bantuan sosial (bansos)
adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada
individu, keluaraga, kelompok, dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara
terus menerus dan bersifat selektif, yang bertujuan untuk melindungi dari
kemungkinan terjadinya resiko sosial. Pemberian bansos ini dari keuangan daerah
(APBD) diperbolehkan berdasarkan PP 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah dan Pemendagri 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah, yang telah diubah beberapa kali terakir dengan Pemendagri 21
tahun 2011.
Dalam hal ini, resiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat
menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu,
keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis
ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam yang jika tidak diberikan
bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi yang
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 3
wajar (Menurut Permendagri Nomor 32, 2011). Oleh karena itu, program dan
kegiatan Bantuan Sosial dilaksanakan oleh beberapa kementerian/Lembaga (K/L)
sesuai tugas dan fungsinya dengan tujuan akhir mendukung pencapaian target-
target pembangunan nasional. Selanjutnya, selain dialokasikan melalui
kementerian/Lembaga, Bantuan Sosial juga dialokasikan melalui Bagian Anggaran
Bendahara Umum Negara (BA BUN), yaitu dana cadangan penanggulangan
bencana.
Pemanfaatan alokasi Bantuan Sosial dalam APBN tahun 2014 sebesar
Rp91,8 triliun tersebut diarahkan untuk mendukung tercapainya sasaran
pembangunan nasional, antara lain melalui:
1. Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa sebesar Rp9,0
triliun (a.l untuk pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan) di Kementerian
Dalam Negeri.
2. Program Penyediaan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Pertanian
sebesar Rp1,3 triliun (a.l untuk Perluasan Areal dan Pengelolaan Lahan
Pertanian) di Kementerian Pertanian.
3. Program Pendidikan Dasar sebesar Rp11,3 triliun (a.l untuk BSM siswa SD,
SMP, dan TPG guru swasta) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
4. Kegiatan Pembinaan, Pengembangan Pembiayaan dan Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan sebesar Rp19,9 triliun (terutama untuk penyelenggaraan PBI
Jaminan Kesehatan) di Kementerian Kesehatan.
5. Program Pendidikan Islam sebesar Rp11,9 triliun (a.l untuk BOS dan BSM
siswa MI, MTs, MA serta TPG guru swasta) di Kementerian Agama.
6. Kegiatan Jaminan Kesejahteraan Sosial (Bantuan Tunai Bersyarat/Program
Keluarga Harapan) bagi Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) sebesar Rp4,5
triliun di Kementerian Sosial.
7. Program Pembinaan dan Pengembangan Infrastruktur Permukiman sebesar
Rp3,7 triliun (a.l untuk pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan) di
Kementerian Pekerjaan Umum.
8. Kegiatan Tanggap Darurat Penanganan Bencana Alam sebesar Rp 3,0 triliun
untuk penanganan kejadian bencana alam selama tahun 2014 melalui BA
BUN.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 4
Selanjutnya, sampai dengan 25 Maret 2014, realisasi Bantuan Sosial
mencapai Rp10,2 triliun atau 11,2 persen dari pagunya dalam APBN tahun 2014
sebesar Rp91,8 triliun, terutama untuk:
1. Pelaksanaan pembayaran program BOS, BSM, dan TPG guru swasta melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama.
2. Pelaksanaan pembayaran iuran jaminan kesehatan bagi peserta PBI melalui
Kementerian Kesehatan, dan
3. Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT)
melalui Kementerian Pertanian.
Di Aceh sendiri, pemerintah juga sudah mengalokasikan dana untuk
berbagai program hibah/bantuan sosial guna menunjang peningkatan kualitas
masyarakat Aceh baik dari segi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Dana
bantuan hibah dan bansos dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA)
2014 dianggarkan sebesar Rp. 1,2 T atau sedikit menurun dari tahun 2013 lalu
yang mencapai Rp. 1,6 Triliun. Dana hibah bansos diperuntukkan bagi lima
kelompok, masing-masing kepada pemerintah atau lembaga pemerintah,
kemudian kepada pemerintah daerah, BUMD, kelompok masyarakat, dan yang
terakhir kepada ormas.
Pada kenyataannya, pertumbuhan dana hibah/bantuan sosial yang
disalurkan pemerintah Aceh kepada masyarakat ternyata tidak mampu
mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Besarnya dana hibah yang disalurkan
pemerintah selama ini, yang diharapkan menjadi salah satu instrument stimulus
fiskal, ternyata tidak berpengaruh terhadap ekonomi Aceh itu sendiri. Bahkan
angka kemiskinan di Aceh tahun 2014 meningkat 1,33 persen dari tahun 2013.
Hipotesis yang muncul adalah akibat tidak tepatnya sasaran bantuan yang
diberikan oleh pemerintah Aceh merupakan salah satu penyebab semakin
meningkatnya kemiskinan di Aceh pada tahun 2014 dan adanya indikasi
penyelewangan dana yang dilakukan beberapa pihak dalam penyaluran dana
hibah/bantuan sosial. Hal ini berdampak tidak baik terhadap kemajuan
perkembangan program pemberian dana hibah/bantuan sosial. Diharapkan
Pemerintah Aceh lebih bijak dalam mengelola keuangan daerah.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 5
Menurut Delli (2014), permasalahan dalam bantuan sosial pada pemerintah
daerah disebabkan oleh lemahnya Sistem Pengendalian Intern (SPI) mulai dari
proses penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Sebelum adanya
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 tahun 2011 tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD, permasalahan
yang terjadi di pemerintah daerah berkaitan dengan pengelolaan bantuan sosial
adalah:
1. Ketidakjelasan tentang definisi bantuan sosial yang akirnya berakibat pada
kesalahan dalam penganggaran,
2. Adanya unsur politik dalam penganggaran sehingga jumlah bantuan sosial
meningkat menjelang pilkada,
3. Bentuk pertanggungjawaban yang terlalu sederhana dari penerima bantuan
sosial.
Peran dan fungsi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dalam
pengelolaan bantuan sosial mutlak diperlukan untuk mengurangi dan pada
akirnya menghilangkan kesalan dan penyalahgunaan bantual sosial. Diharapkan
pemerintah daerah dapat mengasimilasi Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 32
tahun 2011 sehingga pengelolaan bantuan sosial dapat terlaksana dengan tepat
sasaran, transparan dan akuntabilitas dalam upaya meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat Aceh.
2.1 Maksud dan Tujuan Penelitian
2.1.1 Maksud Penelitian
Adapun maksud dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan
mengungkapkan sejauh mana program pemberian dana hibah/bantuan sosial
berdampak kepada kemajuan perekomian dan kesejahteraan masyarakat Aceh.
2.1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas maka penelitian
ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui bagaimana mekanisme pengusulan dan penyaluran bantuan
sosial.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 6
b. Mengkaji bagaimana program bantuan sosial telah mampu menciptakan
kemandirian ekonomi, meningkatan pendapatan penerima bansos.
c. Mengetahui kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan tantangan dalam
penerimaan dana bantuan sosial.
2.1.3 Output yang Diharapkan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar kebijakan dalam
memperbaiki mekanisme pengusulan dan penyaluran bantuan sosial sehingga
dampak dan manfaat yang diharapkan dapat diwujudkan.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Bantuan Sosial
Berbagai literatur telah banyak mendefinisikan tentang hibah dan bantuan
sosial. Pengertian hibah dan bantuan sosial memiliki persamaan dan juga
perbedaan. Disatu sisi, hibah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32
Tahun 2011 adalah pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah
kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah,
masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan
peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus
menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah
daerah. Sedangkan, bantuan sosial menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 32 Tahun 2011 adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari
pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat
yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk
melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bantuan sosial
dapat berupa uang atau barang yang diberikan kepada individu, keluarga,
kelompok yang bertujuan untuk melindungi kemungkinan terjadi resiko sosial
yaitu potensi terjadinya kerentanan sosial sebagai dampak dari krisis sosial, krisis
ekonomi, krisis politik dan fenomena. Bantuan sosial dapat langsung diberikan
kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan termasuk
didalamnya bantuan untuk lembaga nonpemerintah bidang pendidikan dan
keagamaan. Pengeluaran ini dalam bentuk uang/ barang atau jasa kepada
masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, bersifat
tidak terus menerus dan selektif. Sementara itu, definisi bantuan sosial menurut
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 adalah transfer uang atau barang yang
diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya
resiko sosial.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 8
2.2 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011
Resiko sosial dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri 32 Tahun 2011
didefinisikan sebagai kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi
terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok
dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik,
bencana, atau fenomena alam ,yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial
akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.
Berdasarkan pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun
2011 tentang pedoman pemberian hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari
APBD, yang diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun
2012, maka hibah hanya dapat diberikan secara limitatif atau penerima hibah telah
diatur secara limitatif artinya tidak dapat ditambah dan tidak dapat dikurangi dari
yang sudah ditentukan kepada: (a) pemerintah; (b) pemerintah daerah lainnya; (c)
perusahaan daerah; (d) masyarakat; dan (e) organisasi kemasyarakatan.
Selanjutnya dalam pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32
Tahun 2011 dijelaskan bahwa (a) hibah kepada Pemerintah diberikan kepada
satuan kerja dari kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang wilayah
kerjanya berada dalam daerah yang bersangkutan; (b) hibah kepada pemerintah
daerah lainnya diberikan kepada daerah otonom baru hasil pemekaran daerah
sebagaimana diamanatkan peraturan perundang-undangan; (c) hibah kepada
perusahaan daerah diberikan kepada badan usaha milik daerah dalam rangka
penerusan hibah yang diterima pemerintah daerah dari Pemerintah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; (d) hibah kepada masyarakat
diberikan kepada kelompok orang yang memiliki kegiatan tertentu dalam bidang
perekonomian, pendidikan, kesehatan, keagamaan, kesenian, adat istiadat, dan
keolahragaan nonprofesional; serta (e) hibah kepada organisasi kemasyarakatan
diberikan kepada organisasi kemasyarakatan yang dibentuk berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pasal 7 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun
2011 menjelaskan bahwa (1) hibah kepada masyarakat diberikan dengan
persyaratan paling sedikit: (a) memiliki kepengurusan yang jelas; dan (b)
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 9
berkedudukan dalam wilayah administrasi pemerintah daerah yang bersangkutan;
dan (2) hibah kepada organisasi kemasyarakatan diberikan dengan persyaratan
paling sedikit: (a) telah terdaftar pada pemerintah daerah setempat sekurang-
kurangnya 3 (tiga) tahun, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan; (b) berkedudukan dalam wilayah administrasi pemerintah daerah yang
bersangkutan; dan (c) memiliki sekretariat tetap.
Berdasarkan pasal 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun
2011 tentang pedoman pemberian hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari
APBD, yang diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun
2012, maka (1) pemerintah, pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah,
masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan dapat menyampaikan usulan hibah
secara tertulis kepada kepala daerah; (2) kepala daerah menunjuk SKPD terkait
untuk melakukan evaluasi usulan; (3) kepala SKPD terkait menyampaikan hasil
evaluasi berupa rekomendasi kepada kepala daerah melalui TAPD; dan (4) TAPD
memberikan pertimbangan atas rekomendasi sesuai dengan prioritas dan
kemampuan keuangan daerah.
Sesuai pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011,
maka (1) rekomendasi kepala SKPD dan pertimbangan TAPD menjadi dasar
pencantuman alokasi anggaran hibah dalam rancangan KUA dan PPAS; dan (2)
pencantuman alokasi anggaran meliputi anggaran hibah berupa uang, barang,
dan/atau jasa.
Berdasarkan pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun
2011, maka (1) hibah berupa uang dicantumkan dalam RKA-PPKD; (2) hibah
berupa barang atau jasa dicantumkan dalam RKA-SKPD; dan (3) RKA-PPKD dan
RKA-SKPD menjadi dasar penganggaran hibah dalam APBD sesuai peraturan
perundang-undangan.
Sesuai pasal 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012,
maka (1) hibah berupa uang dianggarkan dalam kelompok belanja tidak langsung,
jenis belanja hibah, obyek belanja hibah, dan rincian obyek belanja hibah pada
PPKD; (2) obyek belanja hibah dan rincian obyek belanja hibah meliputi: (a)
pemerintah; (b) pemerintah daerah lainnya; (c) perusahaan daerah; (d)
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 10
masyarakat; dan (e) organisasi kemasyarakatan; serta (3) hibah berupa barang
atau jasa dianggarkan dalam kelompok belanja langsung yang diformulasikan ke
dalam program dan kegiatan, yang diuraikan ke dalam jenis belanja barang dan
jasa, obyek belanja hibah barang atau jasa dan rincian obyek belanja hibah barang
atau jasa yang diserahkan kepada pihak ketiga/masyarakat pada SKPD.
Berdasarkan pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun
2011 sebagai berikut: (1) Pelaksanaan anggaran hibah berupa uang berdasarkan
atas DPA-PPKD; (2) Pelaksanaan anggaran hibah berupa barang atau jasa
berdasarkan atas DPA-SKPD. Sedangkan, sesuai pasal 13 Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 32 Tahun 2011, (1) Setiap pemberian hibah dituangkan dalam
NPHD yang ditandatangani bersama oleh kepala daerah dan penerima hibah; (2)
NPHD paling sedikit memuat ketentuan mengenai: (a) pemberi dan penerima
hibah; (b) tujuan pemberian hibah; (c) besaran/rincian penggunaan hibah yang
akan diterima; (d) hak dan kewajiban; (e) tata cara penyaluran/penyerahan hibah;
dan (f) tata cara pelaporan hibah; serta (3) kepala daerah dapat menunjuk pejabat
yang diberi wewenang untuk menandatangani NPHD.
Berdasarkan pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32
Tahun 2011, kepala daerah menetapkan daftar penerima hibah beserta besaran
uang atau jenis barang atau jasa yang akan dihibahkan dengan keputusan kepala
daerah berdasarkan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran APBD; dan (2) daftar penerima hibah menjadi dasar
penyaluran/penyerahan hibah. Yang perlu menjadi perhatian adalah untuk
besaran uang atau jenis barang atau jasa dan penerima harus sesuai dengan daftar
penerima dan besaran uang yang tercantum dalam peraturan daerah tentang
APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.
Untuk persyaratan penerima bantuan sosial telah diatur dalam pasal 22
ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011, pemerintah
daerah dapat memberikan bantuan sosial kepada anggota/kelompok masyarakat
sesuai kemampuan keuangan daerah. Selanjutnya, pasal 23 menjelaskan bahwa
anggota/kelompok masyarakat, meliputi: (a) individu, keluarga dan/atau
masyarakat yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari krisis
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 11
sosial, ekonomi, politik, bencana, atau fenomena alam agar dapat memenuhi
kebutuhan hidup minimum; dan (b) lembaga nonpemerintahan bidang
pendidikan, keagamaan, dan bidang lain yang berperan untuk melindungi individu,
kelompok, dan/atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Pasal 25 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 telah
memberi batasan atas tujuan penggunaan bantuan sosial sebagaimana diatur
dalam pasal 24 ayat 6, sebagai berikut: (1) rehabilitasi sosial ditujukan untuk
memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami
disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar; (2)
perlindungan sosial ditujukan untuk mencegah dan menangani resiko dari
guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok masyarakat agar
kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal;
(3) pemberdayaan sosial ditujukan untuk menjadikan seseorang atau kelompok
masyarakat yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu
memenuhi kebutuhan dasarnya; (4) jaminan sosial merupakan skema yang
melembaga untuk menjamin penerima bantuan agar dapat memenuhi kebutuhan
dasar hidupnya yang layak; (5) penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan,
program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok
masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian
dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan; dan (6)
penanggulangan bencana merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk
rehabilitasi.
Dalam pasal 26 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011
ayat (1) bantuan sosial dapat berupa uang atau barang yang diterima langsung
oleh penerima bantuan sosial; (2) bantuan sosial berupa uang adalah uang yang
diberikan secara langsung kepada penerima seperti beasiswa bagi anak miskin,
yayasan pengelola yatim piatu, nelayan miskin, masyarakat lanjut usia, terlantar,
cacat berat dan tunjangan kesehatan putra-putri pahlawan yang tidak mampu; dan
(3) bantuan sosial berupa barang adalah barang yang diberikan secara langsung
kepada penerima seperti bantuan kendaraan operasional untuk sekolah luar biasa
swasta dan masyarakat tidak mampu, bantuan perahu untuk nelayan miskin,
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 12
bantuan makanan/pakaian kepada yatim piatu/tuna sosial, ternak bagi kelompok
masyarakat kurang mampu.
Berdasarkan pasal 27 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun
2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari
APBD, yang diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun
2012, maka (1) anggota/kelompok masyarakat menyampaikan usulan tertulis
kepada kepala daerah; (2) kepala daerah menunjuk SKPD terkait untuk melakukan
evaluasi usulan tertulis; (3) kepala SKPD terkait menyampaikan hasil evaluasi
berupa rekomendasi kepada kepala daerah melalui TAPD; dan (4) TAPD
memberikan pertimbangan atas rekomendasi sesuai dengan prioritas dan
kemampuan keuangan daerah.
Sesuai pasal 28 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011,
maka: (1) rekomendasi kepala SKPD dan pertimbangan TAPD menjadi dasar
pencantuman alokasi anggaran bantuan sosial dalam rancangan KUA dan PPAS;
(2) pencantuman alokasi anggaran meliputi anggaran bantuan sosial berupa uang
dan/atau barang. Sedangkan, sesuai pasal 29 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 32 Tahun 2011 dijelaskan: (1) bantuan sosial berupa uang dicantumkan
dalam RKA-PPKD; (2) bantuan sosial berupa barang dicantumkan dalam RKA-
SKPD; dan (3) RKA-PPKD dan RKA-SKPD menjadi dasar penganggaran bantuan
sosial dalam APBD sesuai peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pasal 30 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun
2012, maka: (1) bantuan sosial berupa uang dianggarkan dalam kelompok belanja
tidak langsung, jenis belanja bantuan sosial, obyek belanja bantuan sosial, dan
rincian obyek belanja bantuan sosial pada PPKD; (2) objek belanja bantuan sosial
dan rincian objek belanja bantuan sosial meliputi: (a) individu dan/atau keluarga;
(b) masyarakat; dan (c) lembaga nonpemerintahan; serta (3) bantuan sosial
berupa barang dianggarkan dalam kelompok belanja langsung yang
diformulasikan ke dalam program dan kegiatan, yang diuraikan ke dalam jenis
belanja barang dan jasa, obyek belanja bantuan sosial barang dan rincian obyek
belanja bantuan sosial barang yang diserahkan kepada pihak ketiga/masyarakat
pada SKPD.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 13
Berdasarkan pasal 30A Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun
2012, Kepala Daerah mencantumkan daftar nama penerima, alamat penerima dan
besaran bantuan sosial dalam Lampiran IV Peraturan Kepala Daerah tentang
Penjabaran APBD, tidak termasuk bantuan sosial kepada individu dan/atau
keluarga yang tidak dapat direncanakan sebelumnya.
2.3 Pemberdayaan Masyarakat dan Ekonomi
Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment, sedangkan
memberdayakan adalah terjemahan dari empower. Menurut Merriam Webster dan
Oxford English Dictionary, kata empower mengandung dua pengertian, yaitu: (1) to
give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau
mendelegasikan otoritas ke pihak lain; (2) to give ability to atau enable atau usaha
untuk memberi kemampuan atau keperdayaan.”
Chambers (1995) menyatakan bahwa: ”Pemberdayaan masyarakat adalah
sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep
ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "people-
centered, participatory, empowering and sustainable".
Menurut Payne (1997) pemberdayaan masyarakat merupakan strategi
pembangunan. Dalam perspektif pembangunan ini, disadari betapa penting
kapasitas manusia dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal
atas sumber daya materi dan nonmaterial. Sebagai suatu strategi pembangunan,
pemberdayaan dapat diartikan sebagai kegiatan membantu klien untuk
memperoleh daya guna mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang
akan dilakukan, terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan
pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan melalui peningkatan kemampuan
dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki dengan mentransfer
daya dari lingkungannya.
Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses
pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas
dan kebebasan bertindak. Sedangkan, Ife (1995) mengemukakan bahwa
pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment” yang berarti memberi daya,
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 14
memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya, dan
Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah
atau tidak beruntung
Menurut Kartasasmita (1996) yang mengacu pada pendapat chambers,
pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang
menerangkan nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma basis
pembangunan yang bersifat people centered, participatory, empowering dan
sustainable. Selanjutnya, pemberdayaan ekonomi rakyat adalah “upaya yang
merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi
rakyat untuk meningkatkan produktivitas rakyat sehingga, baik sumber daya
manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat, dapat
ditingkatkan produktivitasnya”.
Swift dan Levin (1987) mengatakan bahwa pemberdayaan menunjuk pada
usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial.
Parsons, et al (1994) mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses
dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi
pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-
lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa
orang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi
perhatiannya.
2.4 Konsep Pemberdayaan Ekonomi
Program hibah dan bansos (bantuan sosial) merupakan salah satu konsep
pemberdayaan ekono14mi masyarakat baik di era tradisional maupun modern.
Menurut Sumodiningrat (1999) konsep pemberdayaan ekonomi secara ringkas
dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Perekonomian rakyat adalah perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat.
Perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat adalah bahwa perekonomian
nasional yang berakar pada potensi dan kekuatan masyarakat secara luas
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 15
untuk menjalankan roda perekonomian mereka sendiri. Pengertian rakyat
adalah semua warga negara.
2. Pemberdayaan ekonomi rakyat adalah usaha untuk menjadikan ekonomi yang
kuat, besar, modern, dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang
benar. Karena kendala pengembangan ekonomi rakyat adalah kendala
struktural, maka pemberdayaan ekonomi rakyat harus dilakukan melalui
perubahan struktural.
3. Perubahan struktural yang dimaksud adalah perubahan dari ekonomi
tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat, dari
ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, dari ketergantungan ke kemandirian.
Langkah-langkah proses perubahan struktur, meliputi: (1) pengalokasian
sumber pemberdayaan sumber daya; (2) penguatan kelembagaan; (3)
penguasaan teknologi; dan (4) pemberdayaan sumberdaya manusia.
4. Pemberdayaan ekonomi rakyat, tidak cukup hanya dengan peningkatan
produktivitas, memberikan kesempatan berusaha yang sama dan hanya
memberikan suntikan modal sebagai stimulan, tetapi harus dijamin adanya
kerjasama dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dengan yang masih
lemah dan belum berkembang.
5. Kebijakannya dalam pemberdayaan ekonomi rakyat adalah: (1) pemberian
peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi (khususnya modal);
(2) memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat, agar
pelaku ekonomi rakyat bukan sekadar price taker; (3) pelayanan pendidikan
dan kesehatan; (4) penguatan industri kecil; (5) mendorong munculnya
wirausaha baru; dan (6) pemerataan spasial.
6. Kegiatan pemberdayaan masyarakat mencakup: (1) peningkatan akses
bantuan modal usaha; (2) peningkatan akses pengembangan SDM; dan (3)
peningkatan akses ke sarana dan prasarana yang mendukung langsung sosial
ekonomi masyarakat lokal.
Karl Marx dalam Mardi (2000), menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat
adalah proses perjuangan kaum powerless untuk memperolah surplus value
sebagai hak normatifnya. Perjuangan memperoleh surplus value dilakukan melalui
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 16
distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Dan perjuangan untuk
mendistribusikan penguasaan faktor-faktor produksi harus dilakukan melalui
perjuangan politik.
Demikian juga menurut Sutrisno dalam Pujiana (2015) yang menyatakan
bahwa dalam perspektif pemberdayaan, masyarakat diberi wewenang untuk
mengelola sendiri dana pembangunan baik yang berasal dari pemerintah maupun
dari pihak lain, disamping mereka harus aktif berpartisipasi dalam proses
pemilihan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Perbedaannya dengan
pembangunan partisipatif adalah keterlibatan kelompok masyarakat sebatas pada
pemilihan, perencanaan dan pelaksanaan program, sedangkan dana tetap dikuasai
oleh pemerintah.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 17
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup, Populasi dan Sampel Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di 12 kabupaten/kota di Aceh terdiri dari dalam
beberapa sektor (6 bidang) diantaranya adalah sektor pertanian, perkebunan,
pertenakan, perikanan, perdangangan, dan jenis bantuan lainya. Untuk setiap
sektor di pilih secara random dengan menentukan lokasi dan jumlah dana bansos
yang dialokasikan pada tahun 2013. Untuk setiap Kabupaten/kota dipilih secara
random 6 SKPA yang terkait dengan alokasi dana bansos diatas Rp.20.000.000
pada 6 sektor dan pada setiap bidang dipilih 2 sampel secara random.
3.2. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui wawancara kepada sampel dengan menggunakan kuesioner
dan wawancara mendalam dengan para informan. Sedangkan data sekunder
diperoleh melalui studi pustaka yang terdiri dari jurnal, laporan-laporan ilmiah,
laporan resmi pemerintah, dan bahan-bahan lain yang relevan
3.3. Desain Penelitian, Metode Analisa dan Pembahasan
Analisis data pada penelitian ini hanya mengunakan metode deskriptif
kualitatif, yaitu berupa data – data yang diperoleh memberikan gambaran secara
statistik dengan tabulasi dalam bentuk tabel, grafik, dan peta. Selanjutnya
kuisoener akan dilakukan pengujian data dengan menggunakan peralatan statistik
deskriptif,. Untuk analisis penelitian ini digunakan program SPSS seri 20.
Analisis SWOT disajikan dalam bentuk tabel untuk memetakan faktor
kekuatan, kelemahan, kesempatan dan tantangan. Berdasarkan tabel tersebut
disusun strategi kebijakan yang mungkin dilaksanakan untuk mendapatkan hasil
program bantuan sosial yang lebih baik. Hasil akhir untuk mendapatkan analisis
kajian yang mendalam maka dilaksanakan Focus Group Discassion (FGD) yang
pesertanya terdiri atas SKPA dan SKPK serta camat yang terkait dengan
penyaluran dana bantuan sosial untuk pemberdayaan ekonomi rakyat.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 18
BAB IV
GAMBARAN UMUM BANTUAN SOSIAL ACEH
4.1. Gambaran Umum Kondisi Aceh
Wilayah Aceh terletak di ujung utara Pulau Sumatera dan sekaligus
merupakan wilayah paling barat di Indonesia. Berdasarkan Peta Rupa Bumi
Indonesia skala 1:50.000, wilayah daratan Aceh secara geografis terletak pada
02000’00” – 06000’00” LU dan 95000’ 00” – 98030’00” BT. Dengan batas-batas
wilayah adalah:
- sebelah utara : Selat Malaka dan Laut Andaman/Teluk Benggala;
- sebelah timur : Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara;
- sebelah selatan : Provinsi Sumatera Utara dan Samudera Hindia;
- sebelah barat : Samudera Hindia.
Luas wilayah daratan Aceh adalah 56.758,8482 Km2 atau 5.675.840,82 Ha,
yang meliputi daratan utama di Pulau Sumatera, pulau-pulau besar dan pulau-
pulau kecil.Secara administratif, Aceh terdiri terdiri dari 18 kabupaten dan 5 kota,
284 kecamatan, 755 mukim dan 6.451 gampong/desa (Surat Gubernur Aceh Nomor
: 413.4/24658/2011 Tanggal 13 Oktober 2011).
Dari luas daratan yang terdapat di Aceh, pola pemanfaatan penggunaan
lahan/hutan di Aceh disesuaikan dengan fungsi lahan/hutan itu sendiri sehingga
dapat menjamin kelestarian produksi dan keseimbangan lingkungan hidup. Pola
sebaran permukiman penduduk berkaitan erat dengan kondisi topografi, yaitu
berada di kawasan yang datar di sepanjang pantai utara-timur, sebagian wilayah
pantai barat-selatan dan lembah-lembah sungai.
Kondisi topografi di wilayah Aceh terhitung beragam yang tergolong ke
dalam wilayah datar hingga bergunung. Wilayah dengan topografi daerah datar dan
landai sekitar 32 persen dari luas wilayah, sedangkan berbukit hingga bergunung
mencapai sekitar 68 persen dari luas wilayah. Daerah dengan topografi bergunung
terdapat dibagian tengah Aceh yang merupakan gugusan pegunungan bukit barisan
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 19
dan daerah dengan topografi berbukit dan landai terdapat dibagian utara dan timur
Propinsi Aceh.
Sebanyak 408 Daerah Aliran Sungai (DAS) besar sampai kecil ditemukan di
Aceh, dimana sebanyak 73 sungai besar dan 80 sungai kecil dan ditetapkan pula 10
Wilayah Sungai (WS) sebagai sumber daya air.Potensi sumber daya air sungai
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) wilayah yaitu; (1) Wilayah Krueng Aceh hingga
Krueng Tiro, yang termasuk wilayah kering dengan curah hujan kurang dari 1.500
mm/tahun dengan debit andalan 4 liter/detik, (2) Wilayah Krueng Meureudu dan
sepanjang pantai Timur termasuk wilayah sedang dengan curah hujan 1.500 –
3.000 mm/tahun dengan debit andalan 7 – 8 liter/detik, dan (3) Wilayah pantai
Barat, yang termasuk wilayah basah dengan curah hujan 3.000 – 4.000 mm/tahun
dan dengan debit andalan 17 – 18 liter/detik.
Sedangkan rata-rata curah hujan selama 10 tahun terakhir berkisar dari
80,10 mm/bulan pada bulan Februari hingga 159,40 mm/bulan pada bulan
Oktober. Rata-rata temperatur udara di Aceh pada tiga wilayah yaitu Banda Aceh,
Aceh Utara dan Nagan Raya berkisar dari 26,35 hingga 26,92 oC dengan
temperatur terendah 24,55 oC dan tertinggi 27,80 oC dengan rata-rata kelembaban
udara berkisar dari 80,73 persen hingga 80,73 persen.
4.1.1. Potensi Pengembangan Wilayah
Penetapan kawasan strategis Aceh didasarkan pada pengaruh yang sangat penting
terhadap pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan secara bersinergi.
Rencana Tata Ruang Aceh Tahun 2013-2033 telah menetapkan 4 kawasan sebagai
bagian dari rencana pengembangan kawasan strategis Aceh yang meliputi:
a. Kawasan pusat perdagangan dan distribusi Aceh atau ATDC (Aceh Trade and
Distribution Center) tersebar di 6 (enam) zona, meliputi;
1. Zona Pusat : Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar dan
Pidie dengan lokasi pusat agro industry di Kabupaten
Aceh Besar.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 20
2. Zona Utara : Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, Kota
Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten
Bener Meriah dengan lokasi pusat agro industry di
Kabupaten Bireuen
3. Zona Timur : Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, Aceh
Tamiang dengan lokasi pusat agro industry di Kabupaten
Aceh Tamiang
4. Zona Tenggara : Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara, Kota Subulussalam,
Kabupaten Singkil, Pulau Banyak dengan lokasi pusat
agro industry di Kabupaten Aceh Tenggara
5. Zona Selatan : Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Simeulue
dengan lokasi pusat agro industry di Kabupaten Aceh
Selatan
6. Zona Barat : Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya dengan
lokasi pusat agro industry di Kabupaten Aceh Barat
b. Kawasan agrowisata yang tersebar di 17 (tujuh belas) kabupaten yang tidak
termasuk ke dalam lokasi pusat agro industri;
c. Kawasan situs sejarah terkait lahirnya MoU Helsinki antara Pemerintah
Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka; dan
d. Kawasan khusus.
4.1.2 Wilayah Rawan Bencana
Aceh merupakan wilayah dengan kondisi alam yang kompleks sehingga
menjadikannya sebagai salah satu daerah berpotensi tinggi terhadap ancaman
bencana, khususnya bencana alam. Tingkat resiko bencana Aceh diperoleh dengan
menggabungkan indeks probabilitas, indeks dampak, indeks kapasitas dan indeks
kerugian daerah akibat suatu potensi bencana. Hal ini disebabkan karena Aceh
berada tepat di jalur pertemuan lempeng Asia dan Australia, serta berada di bagian
ujung patahan besar Sumatera yang membelah pulau Sumatera dari Aceh sampai
Selat Sunda. Berdasarkan catatan sejarah, Aceh pernah mengalami bencana gempa
dan tsunami yang cukup besar pada tahun 1797, 1891, 1907 dan 2004. Selain
bencana-bencana berskala besar yang pernah tercatat dalam sejarah, Aceh juga
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 21
tidak lepas dari bencana yang terjadi hampir setiap tahun yang menimbulkan
kerugian tidak sedikit.
Permasalahan utama dalam penanggulangan bencana di Aceh antara lain:
belum sistematis dalam penanganan penanggulangan bencana, sehingga seringkali
terjadi tumpang tindih dalam penanganannya, masih lemahnya kapasitas
kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam pengurangan resiko bencana, masih
lemahnya koordinasi dalam penanggulangan bencana (fase tanggap darurat),
terbatasnya sarana dan prasarana penunjang kebencanaan serta masih lemahnya
kemitraan dan keterpaduan dalam penggunaan dana rehabilitasi dan rekonstruksi.
4.1.3. Demografi
Jumlah penduduk Provinsi Aceh dari tahun 2009–2013 mengalami peningkatan
dari 4.363.477 jiwa menjadi 4.791.924 jiwa atau rata-rata laju pertumbuhan
sebesar 2,37% per tahun. Dilihat dari distribusinya jumlah penduduk kondisi
sebarannya tidak merata antarkabupaten/kota, dimana jumlah penduduk
terbanyak pada tahun 2013 berada di Kabupaten Aceh Utara sebesar 556.556 jiwa
dan yang paling sedikit berada di Kota Sabang sebesar 32.191 jiwa, dengan
kepadatan penduduk masing-masing 207 jiwa/km2 dan 264 jiwa/km2 seperti yang
terlihat pada tabel 4.1 dan 4.2. Sedangkan kepadatan penduduk tertinggi terdapat
di Kota Banda Aceh sebesar 4.451 jiwa/km2 dan terendah di Kabupaten Aceh Jaya
dengan kepadatan penduduk sebesar 22 jiwa/km2.
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota 2009–2013
No. Kabupaten/Kota Tahun
2009 2010 2011 2012 2013
1. Simeulue 82.344 80.674 82.521 82.762 83.173
2. Aceh Singkil 102.505 102.509 104.856 107.781 110.706
3. Aceh Selatan 215.315 202.251 206.881 208.002 210.071
4. Aceh Tenggara 177.024 179.010 183.108 184.150 186.083
5. Aceh Timur 340.728 360.475 368.728 380.876 393.135
6. Aceh Tengah 189.298 175.527 179.546 182.680 185.733
7. Aceh Barat 158.499 173.558 177.532 182.495 187.459
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 22
No. Kabupaten/Kota Tahun
2009 2010 2011 2012 2013
8. Aceh Besar 312.762 351.418 359.464 371.412 383.477
9. Pidie 386.053 379.108 387.787 393.225 398.446
10. Bireuen 359.032 389.288 398.201 406.083 413.817
11. Aceh Utara 532.537 529.751 541.878 549.370 556.556
12. Aceh Barat Daya 124.813 126.036 128.922 131.087 133.191
13. Gayo Lues 75.165 79.560 81.382 82.962 84.511
14. Aceh Tamiang 241734 251.914 257.681 261.125 264.420
15. Nagan Raya 125.425 139.663 142.861 146.243 149.596
16. Aceh Jaya 82.904 76.782 78.540 82.172 85.908
17. Bener Meriah 114.464 122.277 125.076 128.538 131.999
18. Pidie Jaya 135.345 132.956 136.000 138.415 140.769
19. Banda Aceh 212.241 223.446 228.562 238.784 249.282
20. Sabang 29.184 30.653 31.355 31.782 32.191
21. Langsa 140.415 148.945 152.355 154.722 157.011
22. Lhokseumawe 159.239 171.163 175.082 178.561 181.976
23. Subulussalam 66.451 67.446 68.990 70.707 72.414
Jumlah 4.363.477 4.494.410 4.597.308 4.693.934 4.791.924
Sumber: Badan Pusat Statistik Aceh, 2014
4.2. Aspek Kesejahteraan Masyarakat
4.2.1 Pertumbuhan PDRB
Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Migas dan PDRB Tanpa
Migas Aceh yang dihitung atas dasar harga konstan selama lima tahun terakhir
(2010-2014) mengalami penurunan. Laju pertumbuhan masing PDRB yang
dihitung berdasarkan harga konstan terlihat bahwa, PDRB dengan migas
mengalami penurunan dari 4,62 persen (2011) menjadi 2,12 persen (2014),
demikian juga PDRB yang dihitung dengan tanpa migas mengalami penurunan dari
5,38 persen tahun 2011 menjadi 4,17 persen pada tahun 2014. Penurunan laju
pertumbuhan PDRB yang dihitung dengan migas disebabkan oleh menurunnya
produksi minyak dan gas alam Aceh sedangkan penurunan laju pertumbuhan
PDRB tanpa migas disebabkan disebabkan oleh sektor Pertanian yang menjual
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 23
hasil produksinya dalam bentuk bahan mentah. Perkembangan nilai dan
kontribusi sektor-sektor terhadap PDRB Aceh atas dasar harga konstan selama
kurun waktu 2010-2014 secara lebih rinci disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Perkembangan Nilai dan Kontribusi Sektor-sektor Terhadap PDRB Aceh
Tahun 2010-2014 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000
Sektor 2010 2011 2012 2013 2014
Rp % Rp % Rp % Rp % Rp %
Pertanian 8.837.089,19 26,70 9.317.163,33 26,85 9.775.056,94 26,95 10.130.608,53 26,98 10.338.549,07 26,95
Pertambangan &
Penggalian 2.612.121,25 7,89 2.613.506,05 7,53 2.566.852,01 7,08 2.477.138 6,60 2.233.639,26 5,82
Industri Pengolahan 3.491.324,15 10,55 3.549.828,10 10,23 3.594.346,34 9,91 3.483.060 9,28 3.228.138,52 8,41
Listrik, Gas & Air Bersih 121.754,53 0,37 130.925,95 0,38 142.669,55 0,39 147.702 0,39 158.084,22 0,41
Konstruksi 2.346.678,78 7,09 2.500.730,09 7,21 2.654.924,54 7,32 2.824.566 7,52 2.980.505,17 7,77
Perdagangan, Hotel & Restoran
6.609.054,88 19,97 7.069.083,44 20,37 7.524.993,48 20,75 7.965.436 21,21 8.271.238,99 21,56
Pengangkutan &
Komunikasi 2.430.513,05 7,34 2.579.871,49 7,43 2.724.735,93 7,51 2.850.814 7,59 2.955.494,99 7,70
Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan
620.704,11 1,88 660.992,92 1,90 707.566,02 1,95 757.666 2,02 812.933,74 2,12
Jasa-jasa 6.033.842,89 18,23 6.282.716,55 18,10 6.574.486,35 18,13 6.909.942 18,40 7.383.304,38 19,25
PDRB (Migas) 33.103.082,84 100 34.704.817,93 100 36.265.631,18 100 37.546.931,32 100 38.361.888,34 100
Laju pertumbuhan PDRB
(Migas) (%) 4,62
4,30
3,41
2,12
PDRB (Tanpa Migas) 29.072.034,53
30.726.190,35
32.369.913,67
33.918.165,69
35.394.150,13
Laju pertumbuhan PDRB (Tanpa Migas) (%)
5,38
5,08
4,56
4,17
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Migas dan PDRB Tanpa
Migas Aceh yang dihitung atas dasar harga berlaku selama lima tahun terakhir
(2011-2014) juga mengalami penurunan, laju pertumbuhan selama periode
(2011-2014) untuk PDRB Migas sebesar 9,20 persen tahun 2011 menurun menjadi
7,17 persen tahun 2014 demikian juga laju pertumbuhan PDRB Tanpa Migas dari
10,15 persen tahun 2011 turun menjadi 9,88 persen pada tahun 2014. Hal ini
disebabkan oleh menurunnya produksi minyak dan gas alam Aceh demikian juga
laju pertumbuhan PDRB tanpa migas menurun karena sektor Pertanian,
Perdagangan, Hotel & Restoran dan Jasa-jasa sebagai 3 (tiga) sektor penyumbang
terbesar terhadap PDRB Tanpa Migas Aceh selama periode 2010-2014 mengalami
pertumbuhan yang melamban masing-masing sebesar 3,84 persen, 5,45 persen
dan 0,26 persen. Perkembangan nilai dan kontribusi sektor-sektor terhadap PDRB
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 24
Aceh atas dasar harga berlaku selama kurun waktu 2010-2014 secara lebih rinci
disajikan pada Tabel 4.3.
Dilihat dari sisi kontribusi sektor-sektor yang membentuk struktur PDRB
Aceh, selama tahun 2010-2014 sektor pertanian masih menjadi leading sektor
yang diikuti oleh perdagangan, hotel dan restoran. Atas dasar harga konstan, pada
tahun 2010 kontribusi pertanian adalah sebesar 27,94 persen meningkat menjadi
28,29 persen di tahun 2014. Peningkatan tersebut adalah akibat menurunnya
kontribusi Pertambangan & penggalian dari 11,06 persen tahun 2010 turun
menjadi 8,17 persen Tahun 2014. Sektor pertanian walaupun sebagai penyumbang
nilai PDRB terbesar, namun kontribusinya belum sebanding dengan keterlibatan
masyarakat Aceh yang sekitar 60 persen masih menggantungkan harapan kepada
sektor pertanian.
Tabel 4.3 Perkembangan Nilai dan Kontribusi Sektor-Sektor Terhadap PDRB Aceh
Tahun 2010-2014 Atas Dasar Harga Berlaku
Sektor 2010 2011 2012 2013 2014
Rp % Rp % Rp % Rp % Rp %
Pertanian 22.111.928,24 27,94 24.030.610,90 27,45 25.874.400,45 27,47 27.995.359,29 27,68 30.831.290,27 28,29
Pertambangan & Penggalian
8.752.687,67 11,06 9.811.657,32 11,21 9.922.385,74 10,53 9.650.416,01 9,54 8.899.730,26 8,17
Industri
Pengolahan 7.627.130,95 9,64 7.872.804,98 8,99 8.280.951,72 8,79 8.221.012,12 8,13 7.768.700,08 7,13
Listrik, Gas & Air
Bersih 336.833,23 0,43 417.183,13 0,48 492.425,56 0,52 542.403,69 0,54 652.471,04 0,60
Konstruksi 8.076.299,11 10,20 9.556.898,07 10,92 10.621.697,75 11,28 11.694.047,21 11,56 13.172.907,45 12,09
Perdagangan,
Hotel & Restoran 12.479.967,58 15,77 14.442.635,29 16,50 15.951.480,54 16,93 17.342.036,24 17,14 18.886.715,92 17,33
Pengangkutan &
Komunikasi 8.255.417,03 10,43 9.204.439,50 10,52 10.063.122,39 10,68 11.163.310,10 11,04 12.256.666,50 11,25
Keuangan, Persewaan & Jasa
Perusahaan
2.048.051,76 2,59 2.348.075,89 2,68 2.735.485,18 2,90 3.147.822,81 3,11 3.573.347,93 3,28
Jasa-jasa 9.456.963,55 11,95 9.846.112,67 11,25 10.260.099,39 10,89 11.393.554,34 11,26 12.922.393,08 11,86
PDRB Migas 79.145.279,11 100,00 87.530.417,75 100,00 94.202.048,72 100,00 101.149.961,81 100,00 101.149.961,81 100,00
Laju Pertumbuhan PDRB Migas
9,58
7,08
6,87
7,17
PDRB Tanpa Migas 66.005.798,41
73.462.650,53
79.939.006,22
87.510.328,68
97.100.615,21
Laju Pertumbuhan PDRB Tanpa Migas
10,15
8,10
8,65
9,88
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Penurunan ini sangat dipengaruhi akibat semakin berkurangnya produksi
pengolahan gas alam cair di kawasan industri strategis Lhokseumawe.
Sedangkan tanpa migas, kontribusinya hampir tidak mengalami peningkatan
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 25
yaitu sekitar 5,47 persen (2007) menjadi 5,63 persen (2011). Hal ini
menunjukkan bahwa industri pengolahan bahan baku utama yang dihasilkan di
Aceh yaitu bersumber dari pertanian (agroindustri) belum berkembang dengan
baik. Ekspor produk pertanian dari Aceh masih cenderung dalam bentuk bahan
baku mentah (row material) dan hal ini yang menyebabkan masih rendahnya
nilai tambah yang diperoleh daerah (Tabel 4.4).
Masih rendahnya kontribusi sektor industri pengolahan di Aceh
diantaranya akibat masih rendahnya peran swasta termasuk pengusaha lokal
untuk mengolah sumberdaya alam yang tersedia di daerah sendiri, terutama
produk-produk bahan baku pertanian. Sedangkan kelompok industri kecil dan
rumah tangga produktivitasnya juga masih sangat rendah dan belum kompetitif
terhadap produk-produk yang berasal dari luar daerah.
Tabel 4.4 Perkembangan Kontribusi Sektor-sektor
Terhadap PDRB Aceh Dengan Migas Selama Tahun 2010 S.d 2014 Atas Dasar Harga Berlaku (HB) dan Harga Konstan (HK)
Sektor 2010 (%) 2011 (%) 2012 (%) 2013 (%) 2014 (%)
HB HK HB HK HB HK HB HK HB HK
Pertanian 26,70 27,94 26,85 27,45 26,95 27,47 26,98 27,68 26,95 27,68
Pertambangan & Penggalian 7,89 11,06 7,53 11,21 7,08 10,53 6,60 9,54 5,82 9,54
Industri Pengolahan 10,55 9,64 10,23 8,99 9,91 8,79 9,28 8,13 8,41 8,13
Listrik, Gas & Air Bersih 0,37 0,43 0,38 0,48 0,39 0,52 0,39 0,54 0,41 0,54
Konstruksi 7,09 10,20 7,21 10,92 7,32 11,28 7,52 11,56 7,77 11,56
Perdagangan, Hotel & Restoran 19,97 15,77 20,37 16,50 20,75 16,93 21,21 17,14 21,56 17,14
Pengangkutan & Komunikasi 7,34 10,43 7,43 10,52 7,51 10,68 7,59 11,04 7,70 11,04
Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan
1,88 2,59 1,90 2,68 1,95 2,90 2,02 3,11 2,12 3,11
Jasa-jasa 18,23 11,95 18,10 11,25 18,13 10,89 18,40 11,26 19,25 11,26
PDRB 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Jika diamati perkembangan kontribusi sektor-sektor yang membentuk
struktur PDRB selama periode 2010-2014, bahwa ekonomi Aceh telah mengalami
pergeseran struktur (economic structural transformation) selama lima tahun
terakhir. Kontribusi sektor primer (pertanian serta pertambangan dan penggalian)
telah mengalami penurunan dari 39,00 persen (2010) turun menjadi 37,22 persen
(2014), dan demikian pula halnya dengan sektor sekunder (industri pengolahan,
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 26
listrik, gas dan air bersih, serta konstruksi) dari 20,27 persen (2010) turun
menjadi 20,23 persen (2014).
Penurunan kedua sektor ini telah digantikan oleh sektor tertier
(perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan,
persewaan, dan jasa perusahaan, serta jasa-jasa) yang setiap tahunnya terus
mengalami pertumbuhan secara signifikan sehingga kontribusinya meningkat
tajam dari 40,74 persen (2010) naik menjadi 42,55 persen (2014). Sektor tertier
cenderung mengalami pertumbuhan signifikan di kawasan perkotaan yang selama
beberapa tahun terakhir kian berkembang pesat di hampir seluruh wilayah Aceh.
Tumbuh dan semakin berkembangnya perkotaan di Aceh lebih cepat dengan
pedesaan, telah menstimulir terjadinya konsentrasi tersedianya sumber daya
manusia yang berkualitas di wilayah perkotaan. Kondisi tersebut diduga
mendorong terjadinya pergeseran struktur ekonomi Aceh dari sektor primer dan
sekunder ke sektor tertier.
4.2.2 Laju Inflasi
Pada bulan Desember 2013 di Kota Banda Aceh terjadi inflasi sebesar 0,71
persen dan diKota Lhokseumawe deflasi sebesar 0,12 persen sehingga secara
agregat di Provinsi Acehterjadi inflasi sebesar 0,30 persen, seperti pada gambar
4.1 di bawah ini.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Gambar 4.1 Perkembangan Inflasi Banda Aceh, Lhokseumawe, Provinsi Aceh dan Nasional
2012-Desember 2013
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 27
Inflasi yang terjadi di Kota Banda Aceh secara umum disebabkan oleh
kenaikan harga padaKelompok Bahan makanan dengan inflasi sebesar 1,66
persen, diikuti oleh Kelompok Kesehatan inflasi sebesar 1,01 persen, Kelompok
Makanan Jadi, Minuman, Rokok danTembakau inflasi sebesar 0,71 persen,
Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas dan BahanBakar mengalami inflasi sebesar
0,25 persen, Kelompok Pendidikan, Rekreasi dan OlahRaga inflasi sebesar
0,21 persen, Kelompok Transpor, Komunikasi dan Jasa Keuanganinflasi sebesar
0,05 persen, dan Kelompok Sandang mengalami inflasi sebesar 0,01 persen.
Laju inflasi sampai dengan bulan Desember 2013 untuk Kota Banda Aceh
adalah sebesar 6,39 persen, Kota Lhokseumawe 8,27 persen dan Aceh 7,31 persen.
Sedangkan Inflasi “year on year” (Desember 2013 terhadap Desember 2012) untuk
Kota Banda Aceh adalah sebesar 6,39 persen, Kota Lhokseumawe 8,27 persen dan
Aceh 7,31 persen. Ini dapat dilihat pada Tabel 4.5 di bawah ini.
Tabel 4.5 IHK dan Tingkat Inflasi Kota Banda Aceh Desember 2013, Tahun Kalender 2013,
dan Year on Year menurut Kelompok Pengeluaran (2007=100)
IHK Des
2013
Inflasi
Bulan Des
2013
Laju
Inflasi
Tahun
Kalender
2013
Inflasi
Year on
Year
IHK Des
2013
Inflasi
Bulan Des
2013
Laju
Inflasi
Tahun
Kalender
2013
Inflasi
Year on
Year
UMUM 135,32 0,71 6,39 6,39 144,56 -0,12 8,27 8,27
1. Bahan Makanan 152,42 1,66 11,82 11,82 172,04 -0,50 18,39 18,39
2. Makanan jadi, Minuan, Rokok dan Tembakau 138,65 0,71 5,05 5,05 139,23 0,01 2,75 2,75
3. Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar 123,60 0,25 2,86 2,86 135,58 0,13 2,60 2,60
4. Sandang 166,34 0,01 -0,82 -0,82 142,82 0,13 0,25 0,25
5. Kesehatan 151,62 1,01 2,90 2,90 120,51 0,04 2,26 2,26
6. Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga 123,29 0,21 4,33 4,33 137,15 0,41 4,64 4,64
7. Transpor, Komunikasi dan Jasa Keuangan 109,21 0,05 10,85 10,85 109,33 0,00 10,81 10,81
Kota Banda Aceh Kota Lhokseumawe
Kelompok
1). Persentase perubahan IHK Des 2013 terhadap IHK bulan sebelumnya 2). Persentase perubahan IHK Des 2013 terhadap IHK Desember 2012 3). Persentase perubahan IHK Des 2013 terhadap IHK Des 2012
* Sumber : BPS Aceh, 2013
4.2.3 Persentase Penduduk di atas garis kemiskinan
Aspek kesejahteraan masyarakat Provinsi Aceh tecermin dari jumlah dan
persentase penduduk miskin. Perkembangan kemiskinan di Provinsi Aceh dalam
kurun waktu 2009–2013 secara absolut terjadi penurunan sebesar 35,97 ribu jiwa,
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 28
dimana pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin sebanyak 876.554 jiwa,
sementara pada tahun 2013 jumlah penduduk miskin sebanyak 856.885 jiwa.
Penyebaran penduduk miskin terbesar dalam kurun waktu 2009–
2013berada pada tahun 2011 yakni sebesar 900,20 ribu jiwa dan yang tertinggi
terdapat di Kabupaten Aceh Utara dengan jumlah penduduk miskin sebanyak
126,59 ribu jiwa dan Kabupaten Pidie sebanyak 93,80 ribujiwa, dan terendah di
Kota Sabang sebesar 6,54 ribu jiwa. Namun secara rata-rata hampir di semua
kabupaten/kota mengalami penurunan jumlah penduduk miskin, kecuali di
Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Barat, Aceh Barat Daya dan Gayo Lues yang
mengalami fluktuasi.
Sementara rata-rata persentase penyebaran tingkat kemiskinan tertinggi
tahun 2009–2013, terdapat di Kabupaten Pidie jaya sebesar 25,31% dan tingkat
kemiskinan terendah di Kota Banda Aceh sebesar 8,72%. Selanjutnya tingkat
kemiskinan untuk masing-masing kabupaten/kota secara rinci ditampilkan pada
Tabel 4.6 di bawah ini
Tabel 4.6 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin MenurutKabupaten/Kota
Tahun 2009–2013
No. Kabupaten/
Kota Jumlah (ribu jiwa) Persentase (%)
2009 2010 2011 2012 2013 2009 2010 2011 2012 2013
1 Simeulue 19,11 18,90 19,00 18,50 17,80 24,72 23,63 22,96 21,88 20,57 2 Aceh Singkil 20,29 19,90 19,90 19,40 20,72 21,06 19,39 18,93 17,92 18,73 3 Aceh Selatan 35,41 32,20 32,30 31,50 29,30 17,50 15,93 15,52 14,81 13,44 4 Aceh Tenggara 27,87 30,00 30,20 29,40 27,78 16,77 16,79 16,39 15,64 14,39 5 Aceh Timur 68,30 66,50 66,70 64,90 64,44 21,33 18,43 18,01 17,19 16,59 6 Aceh Tengah 38,17 35,30 35,40 34,50 33,61 21,43 20,10 19,58 18,78 17,76 7 Aceh Barat 40,39 42,40 42,50 41,40 44,32 27,09 24,43 23,81 22,76 23,70 8 Aceh Besar 58,97 66,20 66,30 64,60 63,89 20,09 18,80 18,36 17,50 16,88 9 Pidie 93,80 90,20 90,40 88,00 85,80 25,87 23,80 23,19 22,12 21,12
10 Bireuen 72,94 76,10 76,30 74,30 73,94 21,65 19,51 19,06 18,21 17,65 11 Aceh Utara 126,59 124,40 124,70 121,40 115,36 25,29 23,43 22,89 21,89 20,34 12 Aceh Barat Daya 25,00 25,20 25,30 24,60 25,74 21,33 19,94 19,49 18,51 18,92 13 Gayo Lues 17,09 19,00 19,10 18,60 19,00 24,22 23,91 23,38 22,31 22,33 14 Aceh Tamiang 45,29 45,20 45,30 44,10 40,82 19,96 17,99 17,49 16,70 15,13 15 Nagan Raya 30,86 33,40 33,60 32,70 32,66 26,22 24,07 23,38 22,27 21,75 16 Aceh Jaya 17,13 15,60 15,60 15,20 14,60 21,86 20,18 19,80 18,30 17,53 17 Bener Meriah 28,58 32,10 32,20 31,40 30,93 26,58 26,23 25,50 24,50 23,47 18 Pidie Jaya 35,60 34,70 34,80 33,90 32,59 27,97 26,08 25,43 24,35 22,70 19 Banda Aceh 17,27 20,80 20,80 20,30 19,43 8,64 9,19 9,08 8,650 8,03 20 Sabang 6,54 6,60 6,70 6,50 5,92 23,89 21,69 21,31 20,51 18,31 21 Langsa 21,34 22,40 22,40 21,80 20,27 16,20 15,01 14,66 13,93 12,62 22 Lhokseumawe 22,53 24,00 24,20 23,60 22,98 15,08 14,07 13,73 13,06 12,47 23 Subulussalam 16,75 16,40 16,50 16,10 15,00 26,80 24,36 23,85 22,64 20,69
Aceh 892,86 861,85 900,20 876,60 856,89 21,80 20,98 19,48 18,58 17,72
Sumber: BPS Aceh Tahun 2014
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 29
4.2.4. Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan
Berdasarkan data Badan Pusat Statisik Aceh, persentase penduduk Provinsi
Aceh yang berpendidikan SMP hingga yang tidak tamat SD relatif
mengalamipenurunan di tahun 2012-2013. Sedangkan yang berpendidikan SMA
terus mengalamipeningkatan dari 23,80% di tahun 2011 menjadi 25,34% di tahun
2013 dan jenjang pendidikan D-I sampai dengan S-3 mengalami fluktuasi.
Tabel 4.7
Persentase Penduduk Berdasarkan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Pendidikan Tahun/Persentase
2011 2012 2013 Belum/ Tidak Tamat SD 20,31 19,88 19,55 SD 27,55 27,46 27,73 SMP 21,32 20,98 20,10 SMA 23,80 24,36 25,34 D-I/D-II/D-III 3,08 2,83 2,90 D-IV/S-1 3,74 4,22 4,14 S-2/S-3 0,20 0,26 0,24 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014
Melihat kondisi pendidikan tertinggi yang ditamatkan dari tahun 2011-
2013 masih didominasi dengan jenjang tingkat pendidikan SMA kebawah yaitu
sebesar 92,98%, 92,68% dan 92,72%. Selanjutnya persentase sekolah yang
ditamatkan dapat dilihat pada tebel 4.7.
4.2.5 Produktivitas Tenaga Kerja dan Status Menurut Pekerjaan Utama
Penyerapan tenaga kerja per sektor ekonomi masih didominasi oleh sektor
pertanian. Namun, dari konteks produktivitas tenaga kerja, sektor pertanian di
tahun 2014 memiliki persentase produktivitas terendah dibanding sektor lain.
Rendahnya produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Dari sisi tenaga kerja, dipengaruhi oleh rendahnya tingkat
pendidikan dan kualitas manajemen usaha tani. Rendahnya tingkat inovasi dan
penerapan teknologi telah mengakibatkan produktivitas sangat terbatas
peningkatannya atau bahkan cenderung turun pada beberapa komoditas.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 30
Kurangnya dukungan terhadap pemberdayaan petani dirasakan turut
mempengaruhi tingkat produktivitas petani. Padahal, apabila produktivitas tenaga
kerja pertanian tersebut dapat ditingkatkan maka kontribusi terhadap PDRB juga
dapat meningkat. Berdasarkan PDRB dengan migas, produktivitas tenaga kerja
untuk sektor pertanian adalah 2,84% (Rp. 12.038.656,-) di tahun 2013 dan
meningkat menjadi 3,31% (Rp. 12.139.214,-) pada tahun 2014 (Tabel 4.8).
Tabel 4.8
Produktivitas Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Usaha
No.
Sektor Tenaga Kerja PDRB ADHK (Acuan 2010) Migas
per Sektor Produktivitas Tenaga Kerja per Sektor
Nilai
Tambah
2013 2014 2013 2014 2013 2014
Orang Orang Juta
Rupiah %
Juta
Rupiah % Rupiah % Rupiah %
1. Pertanian 848.932 851.785 10,22 26,87 10,34 26,96 12.038.656 2,84 12.139.214 3,31 100.558
2. Pertambangan &
Penggalian 13.678 16.132 2,53 6,65 2,23 5,81 184.968.563 43,61 138.234.565 37,68
-
46.733.998
3. Industri
Pengolahan 73.877 91.132 3,47 9,12 3,23 8,42 46.969.964 11,07 35.443.094 9,66
-
11.526.870
4. Listrik, Gas &
Air Bersih 4.822 3.658 0,15 0,39 0,16 0,42 31.107.424 7,33 43.739.748 11,92 12.632.324
5. Konstruksi 106.602 126.062 2,87 7,55 2,98 7,77 26.922.572 6,35 23.639.162 6,44 -3.283.410
6. Perdagangan,
Hotel & Restoran 311.346 334.125 8,11 21,33 8,27 21,56 26.048.191 6,14 24.751.216 6,75 -1.296.975
7. Pengangkutan &
Komunikasi 64.190 72.671 2,85 7,49 2,96 7,72 44.399.439 10,47 40.731.516 11,10 -3.667.923
8.
Keuangan,
Persewaan &
Jasa Perusahaan
23.062 26.881 0,76 2,00 0,81 2,11 32.954.644 7,77 30.132.808 8,21 -2.821.836
9. Jasa-jasa 378.077 409.377 7,07 18,59 7,38 19,24 18.699.894 4,41 18.027.393 4,91 -672.502
Sumber: Badan Pusat Statistik Aceh 2014 (diolah), 2014
Pada tahun 2013, total jumlah orang yang bekerja sebanyak 1.777.679,
orang, dengan status pekerjaan utama tertinggi adalah Buruh / Karyawan Pegawai
sebesar 35,53 persen. Selanjutnya berusaha sendiri sebesar 22,06 persen,
berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar sebesar 16,87 persen, pekerja
keluarga tak dibayar sebesar 16,77 persen, berusaha dibantu buruh tetap sebesar
5,24 persen dan pekerja bebas di sektor pertanian hanya sebesar 3,52 persen.
Sebagai gambaran, berikut disajikan pada tabel 4.9, penduduk usia 15 tahun ke
atas yang bekerja menurut status pekerjaan utama.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 31
Tabel 4.9
Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama 2009 – 2010
Kegiatan Utama Tahun
2009 2010 2011 2012 2013
(1) (2) (3 4 5 6
Berusaha Sendiri 355.868 348.359 357.943 353.679 392.201
Berusaha dibantu buruh
tidak tetap/Buruh Tidak
Dibayar
331.612 357. 309 324.722 297.716 299.941
Berusaha dibantu buruh
tetap 71.555 90.517 89.781 87.994 93.228
Buruh /
Karyawan/Pegawai 544.760 546.676 620.242 635.448 631598
Pekerja Bebas di
Pertanian 45.393 58.043 40.716 75.483 62.625
Pekerja Keluarga/Tak
Dibayar 331.612 332.377 343.086 293.870 298.086
Jumlah 1.732.561 1.375.972 1.776.490 1.744.190 1.777.679
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014
4.2.6 Pengangguran
Jumlah angkatan kerja di Provinsi Aceh pada Agustus 2010 sebesar
1,939 juta orang. Sedangkan penduduk yang bekerja pada Agustus 2010 sebesar
1,776 juta orang.Jumlah penduduk yang tidak bekerja atau belum terserap pada
lapangan pekerjaan atau tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Aceh
sebesar 8,37 persen. Tingkat pengangguran pada Agustus 2010 mengalami
penurunan dibanding dengan keadaan Februari 2010. Berikut disajikan penduduk
usia 15 tahun ke ata, bekerja dan pengangguran,seperti pada tabel 4.10.
Tabel 4.10 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas, Bekerja dan Pengangguran
2009 – 2010
Kegiatan Utama 2009 2010
Agustus Februari Agustus
1 Penduduk 15 Tahun Ke atas 3,037 3,077 3,069
2 Angkatan Kerja 1,898 1,933 1,939
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 32
Kegiatan Utama 2009 2010
Agustus Februari Agustus
- Bekerja 1,733 1,767 1,776
- Penganggur 0,165 0,166 0,162
3 Bukan Angkatan Kerja 1,139 1,144 1,130
4 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) 62,5 62,83 63,17
5 Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 8,71 8,60 8,37
Sumber : BPS, Prov. NAD
4.2.7 Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Perkapita
Distribusipengeluaran konsumsi rumah tangga perkapita terhadap PDRB
Aceh tahun 2012-2013 terus mengalami peningkatan dari 40,31% pada tahun
2012 menjadi 40,62% pada tahun 2013. Peningkatan ini disebabkan oleh
meningkatnya jumlah pengeluaran rumah tangga pada kurun waktu tersebut
terutama pengeluaran untuk konsumsi makanan, Ini menggambarkan bahwa
adanya perbaikan pendapatan masyararakat yang berpengaruh pada jumlah
pengeluarannya. Meningkatnya pengeluaran rumah tangga menunjukkan
meningkatnya pendapatannya. Tingginya komposisi pengeluaran konsumsi rumah
tangga terhadap PDRB menunjukkan ekonomi Aceh saat ini ditopang oleh
konsumsi rumah tangga.
Gambar 4.2 dibawah ini menunjukkan distribusi pengeluaran konsumsi
rumah tangga tahun 2013 masih didominasi oleh komponen konsumsi rumah
tangga yaitu sebesar 40,62 persen terhadap total PDRB. Urutan kedua dan ketiga
terbesar setelah komponen konsumsi rumah tangga adalah komponen konsumsi
pemerintah dan komponen ekspor barang dan jasa yaitu masing-masing sebesar
24,98 persen dan 21,30 persen. Kemudian diikuti dengan komponen PMTB dan
impor jasa dan barang dengan kontribusi masing-masing sebesar 19,26 persen dan
7,59 persen.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 33
Sumber : BPS, Prov. NAD
Gambar 4.2 Distribusi dan Laju Pertumbuhan PDRB Menurut Penggunaan
Tahun 2012-2013 (Sumber : BPS, 2013)
Sedangkan gambar 4.3 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun
2012-2013, hampir semua komponen pengeluaran mengalami pertumbuhan yang
rendah. Sedangkan perubahan stok masih besar, meski mengalami penurunan
sebesar 146,26 persen.
Gambar 4.3 Laju Pertumbuhan PDRB Menurut Penggunaan
Tahun 2012-2013 (Sumber : BPS, 2013)
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 34
Hal ini bisa terjadi karena pertumbuhan negatif komponen ekspor dan
sektor-sektor lainnya. Dampak yang terjadi dari perubahan stok tersebut
menyebabkan peranan investasi akan terus berkurang.
Laju pertumbuhan komponen konsumsi makanan pada tahun 2008-2012
mengalami pertumbuhan positif dan selalu berada diatas empat persen. Pada
tahun 2012 nilai sub komponen ini mencapai 8,84 triliun rupiah dengan laju
pertumbuhan konsumsi makanan sebesar 4,59 persen mengalami pertumbuhan
yang lambat dibandingkan pada tahun 2011 sebesar 5,71 persen. Laju
pertumbuhan konsumsi makanan yang berfluktuasi dari tahun ke tahun
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor kesehatan dan faktor
pendapatan.
Selain itu, laju pertumbuhan komponen konsumsi non makanan juga
mengalami pertumbuhan yang positif dan berada diatas empat persen. Pada tahun
2012 nilai sub komponen non makanan mencapai 5,26 tilyun rupiah dengan laju
pertumbuhan sebesar 5,90 persen lebih besar jika dibandingkan dengan tahun
2011 yang hanya mencapai sebesar 5,69 persen. Pada tahun 2013 kondisinya
relatif lebih baik, dimana penegluaran konsumsi rumah tangga untuk makanan
menurun yaitu menjadi 54,77 persen, sedangkan untuk non makanan sebesar
45,23 persen atau meningkat sebesar 4,84 persen. Hal ini salah satunya
disebabkan adanya peningkatan jumlah pembelian kendaraan.
Tabel 4.11 Perkembangan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
Tahun 2008 – 2012
JENIS PENGELUARAN TAHUN
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Makanan (%) 61,53 61,52 61,15 59,52 59,61 54,77
Non Makanan (%) 38,47 38,48 38,85 40,48 40,39 45,23
Sumber: BPS, data diolah
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 35
4.3 Fokus Sumber Daya Manusia
4.3.1 Jumlah Pencari Kerja
Jumlah pencari kerja yang terdaftar menurut pendidikan dan jenis kelamin
kualitas tenaga kerja tahun 2012-2013 masing-masing yang berpendidikan sarjana
laki-laki 7.368 dan 7.709 jiwa sedangkan perempuan 9.102 dan 10.369 jiwa.
Selanjutnya jumlah pencari kerja yang ditempatkan tahun 2012 laki-laki 72 jiwa
dan perempuan 81 jiwa, sedangkan pada tahun 2013 laki-laki 55 jiwa perempuan
69 jiwa. Jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan tahun 2012 6.476 jiwa
untuk laki-laki dan 8247 jiwa untuk perempuan, sedangkan pada tahun 2013
mengalami peningkatan yaitu sebesar 7258 jiwa laki-laki dan 9.858 jiwa
perempuan. Suatu daerah dapat dievaluasi dari persentase penduduk yang
menamatkan pendidikan tinggi dengan total penduduk. persentase penduduk yang
menamatkan pendidikan di perguruan tinggi (DIV/S1) terus mengalami
peningkatan dari 3,74 persen (2011) menjadi 4,22 persen di tahun 2012. Demikian
pula dengan persentase penduduk yang menyelesaikan pendidikan S2/S3
meningkat dari 0,20 persen di tahun 2011 menjadi 0,26 persen di tahun 2012 dan
terjadi penurunan tahun 2013 menjadi 0,24 persen.
4.3.2 Tingkat Ketergantungan (Rasio Ketergantungan)
Pada tahun 2009 angka rasio ketergantungan hidup mencapai 49,16% terus
mengalami peningkatan hingga tahun 2012 yaitu sebesar 55,79% dan pada tahun
2013 relatif menurun menjadi 55,48% atau sebesar 0,31%. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa rasio ketergantungan sebesar 55,48% persen. Artinya
setiap 100 orang yang berusia kerja produktif mempunyai tanggungan sebanyak
55,48% orang yang tidak produktif.
Rasio ketergantungan ini dapat mengukur dampak keberhasilan
pembangunan kependudukan dengan melihat perubahan komposisi penduduk
menurut umur yang tercermin dengan semakin rendahnya proporsi penduduk
usia tidak produktif (kelompok umur 0–14 tahun dan kelompok umur ≥ 65 tahun).
Semakin kecil angka rasio ketergantungan hidup akan memberikan kesempatan
bagi penduduk usia produktif untuk meningkatkan produktifitasnya.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 36
Tabel 4.12 Rasio Ketergantungan di Aceh Tahun 2009-2013
Uraian Tahun
2009 2010 2011 2012 2013
Penduduk usia <15 + >64 tahun 1.438.100 1.609.100 1.645.900 1.680.900 1.709.800
Penduduk usia 15–64 tahun 2.925.400 2.885.300 2.951.400 3.013.000 3.082.100
Rasio Ketergantungan (%) 49,16 55,77 55,77 55,79 55,48
Sumber: RPJM 2015
4.4. Aksesibilitas Daerah
Aksesibilitas daerah juga dapat ditinjau dari ketersediaan fasilitas
perhubungan yang meliputi darat, laut dan udara. Perhubungan darat di Aceh
dibagi atas beberapa bagian jaringan transportasi seperti jaringan angkutan jalan
raya, jaringan jalur kereta api, jaringan angkutan sungai dan danau, dan jaringan
angkutan penyeberangan.
Keberhasilan meningkatkan aksesibilitas antar wilayah akan lebih
meningkatkan jumlah arus penumpang dan barang. Berdasarkan data yang
bersumber dari Dinas Bina Marga Aceh kondisi dan jumlah jalan baik jalan
nasional maupun jalan provinsi terus mengalami peningkatan baik dari status
kondisi jalan maupun panjang jalan yang ada (Tabel 4.13).
Tabel 4.13 Status Jalan Nasional dan Jalan Provinsi di Aceh
Tahun 2006 s.d. 2012
Sumber : Dinas Bina Marga Aceh, Tahun 2013
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
KONDISI MANTAP 713,028 891,390 1.061,133 1.298,270 1.507,585 1.598,323 1.663,385 1.737,824 1.763,243
Baik 713,028 891,390 911,538 1.107,800 1.191,505 760,549 1.339,005 1.218,691 1.538,133
Sedang - - 149,595 190,470 316,080 837,774 324,380 519,133 225,110
TIDAK MANTAP 1.038,751 860,390 721,647 484,510 250,500 205,060 94,700 63,939 40,100
Rusak Ringan 646,281 555,782 500,150 299,380 144,100 97,080 53,500 25,069 21,640
Rusak Berat 392,470 304,608 221,497 185,130 106,400 107,980 41,200 38,870 18,460
TOTAL 1.751,779 1.751,780 1.782,780 1.782,780 1.758,085 1.803,383 1.758,085 1.801,763 1.803,343
Baik 391,430 442,470 510,510 818,860 847,280 954,010 1.107,570 1.213,570 1.313,570
Rusak Ringan 606,160 621,080 576,330 569,380 542,010 518,560 555,870 474,870 399,870
Rusak Berat 684,230 618,270 594,980 389,670 388,620 310,340 124,470 101,470 78,470
Belum Tembus 166,090 166,090 166,090 70,000 70,000 65,000 60,000 58,000 56,000
TOTAL 1.847,910 1.847,910 1.847,910 1.847,910 1.847,910 1.847,910 1.847,910 1.847,910 1.847,910
INDIKATOR KINERJA
J A L A N N A S I O N A L
J A L A N P R O V I N S I
CAPAIAN (Km) TARGET (Km)
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 37
Kondisi jalan ini ditargetkan untuk terus bertambah sehubungan dengan
rencana Pemerintah Aceh untuk membuka keterisoliran dan menghubungkan
antara kawasan – kawasan baik itu kawasan Timur, tengah maupun Barat.
Dalam hal ketersediaan transportasi laut aceh mengembangkan sesuai
dengan peran sebagai berikut : (1). Pelabuhan Sabang (Kota Sabang) sebagai
Pelabuhan Bebas (Free Port) dan Pelabuhan Utama yang melayani angkutan laut,
alih muat angkutan laut (transhipment) serta berperan sebagai international hub
dan pintu gerbang utama Pulau Sumatera dengan jenis layanan utama kontainer
dan general cargo; (2). Pelabuhan Krueng Geukueh (Kabupaten Aceh Utara),
Pelabuhan Singkil (Kabupaten Aceh Singkil), Pengembangan Pelabuhan Susoh di
Teluk Surin (Kabupaten Aceh Barat Daya), Pelabuhan Meulaboh (Kabupaten Aceh
Barat) dan Pelabuhan Malahayati (Kabupaten Aceh Besar) sebagai pelabuhan
utama yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dengan jenis pelayanan utama
kontainer, kargo umum, curah cair dan curah kering lingkup nasional dan
internasional; (3). Pelabuhan Kuala Langsa (Kota Langsa) sebagai pelabuhan
pengumpul yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dengan jenis pelayanan
utama general cargo, curah cair, curah kering lingkup nasional dan internasional
serta penyeberangan luar negeri; (4). Pelabuhan Calang (Kabupaten Aceh Jaya)
sebagai pelabuhan pengumpan regional yang terbuka bagi perdagangan luar
negeri di wilayah Barat dengan pelayanan utama general cargo lingkup nasional
dan internasional serta penyeberangan dalam negeri; (5). Pelabuhan Sinabang
(Kabupaten Simeulue), Pelabuhan Tapaktuan (Kabupaten Aceh Selatan), dan
Pelabuhan Idi (Kabupaten Aceh Timur) sebagai pelabuhan pengumpan regional
dengan jenis pelayanan utama general cargo dan curah cair lingkup nasional; (6).
Pelabuhan penyeberangan Ulee Lheue (Kota Banda Aceh), Balohan (Kota Sabang),
dan Krueng Geukueh (Kabupaten Aceh Utara) sebagai pelabuhan laut yang
melayani penyeberangan dalam dan luar negeri; dan (7). Pelabuhan
penyeberangan Meulaboh (Kabupaten Aceh Barat), Sinabang (Kabupaten
Simeulue), Singkil dan Pulau Banyak (Kabupaten Aceh Singkil), Lamteng
(Kabupaten Aceh Besar), Labuhan Haji (Kabupaten Aceh Selatan), dan Sibigo
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 38
(Kabupaten Simeulue) sebagai pelabuhan laut yang melayani angkutan
penyeberangan dalam negeri.
Di sisi jaringan transportasi udara berdasarkan penggunaannya terdiri atas
bandar udara internasional (Bandar Udara Sultan Iskandar Muda – AcehBesar,
Maimun Saleh -Sabang dan Malikussaleh - Aceh Utara), bandar udara domestik
(Bandar Udara Cut Nyak Dhien-Nagan Raya; Bandar Udara Rembele-Bener Meriah;
Bandar Udara Kuala Batee-Blang Pidie; Bandar Udara Lasikin-Sinabang; Bandar
Udara T. Cut Ali-Tapaktuan; Bandar Udara Hamzah Fanshuri-Singkil; Bandar Udara
Alas Leuser-Kutacane; Bandar Udara Penggalangan - Blangkeujeuren;Bandar
Udara di Batee Glungkue Bireuen; danAirstrip Bangkaru - Pulau Banyak).
Berdasarkan kebutuhan pelayanan, jumlah Bandar udara sampai dengan
sekarang telah mencukupi. Terdapat 13 bandar udara yang telah beroperasi dan 3
buah Bandar udara yang masih dalam tahap pembangunan yaitu Bandar udara di
Kabupaten Gayo Lues, di Pulo Banyak-Kabupaten Singkil dan di Batee Gelungkue
(Kabupaten Bireuen). Bandar udara Sultan Iskandar Muda memiliki panjang
landasan 3.000 x 45 m sudah dapat melayani pesawat berbadan lebar jenis 747-
400 dan telah dapat melayani penerbangan jemaah haji embarkasi Aceh dan
sebagai bandara transit untuk penerbangan jemaah haji wilayah timur Indonesia
serta penerbangan ke luar negeri lainnya. Sementara itu, bandara lain pada
umumnya hanya mampu melayani pesawat udara jenis Cassa-212.
Jaringan jalan kereta api Aceh juga merupakan bagian dari rencana
pembangunan kereta api Sumatera lintas Timur (Sumatera Railways) yang juga
telah dituangkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA), dengan
menghubungkan Banda Aceh sampai dengan Lampung. Untuk Aceh jaringan
kereta api menghubungkan Banda Aceh sampai batas Sumatera Utara yang
direncanakan sepanjang 486 km. Sampai dengan tahun 2011 pembangunan
jaringan kereta api Aceh baru mencapai 14,7 km atau tiga persen dari total yang
direncanakan yaitu jalur Krueng Mane – Bungkah - Krueng Geukuh. Dari tahun
2009 hingga 2011 pembangunan difokuskan kepada prasarana dan fasilitas-
fasilitas pendukung lainnya seperti stasiun, kantor administrasi, gudang serta jalan
akses agar operasional kereta api dapat berjalan lancar.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 39
BAB V
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisa Mekanisme Penyaluran Bansos di Provinsi Aceh
5.1.1 Mekanisme Penyaluran Bansos Berdasarkan Dasar Hukumnya
Mekanisme penyaluran Bansos diatur dalam Permendagri No.39 tahun
2012 mengenai perubahan atas peraturan menteri dalam negeri No.32 tahun 2011
tentang pedoman pemberian hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah. Menurut peraturan tersebut, penerima
bantuan sosial harus memiliki identitas yang jelas dan berdomisili dalam wilayah
Provinsi Aceh (Pasal 26, Pergub No.32 tahun 2011). Dalam pasal 25 juga
disebutkan bahwa Bantuan sosial berupa uang kepada individu dan/atau
keluargadialokasikan kepada individu dan/atau keluarga yang sudah jelas nama,
alamat penerima dan besarannya pada saat penyesuaian APBA.
Selanjutnya, pasal 29 menjabarkan mengenai penganggaran Bansos yang
dimulai dari:
(1) Anggota/kelompok masyarakat menyampaikan usulan tertulis kepada
Gubernur.
(2) Gubernur menunjuk SKPA terkait untuk melakukan evaluasi terhadap usulan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kepala SKPA Teknis membentuk Tim verifikasi atas usulan bantuan sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan menyampaikan hasil evaluasi
berupa rekomendasi kepada Gubernur melalui TAPA.
(4) TAPA memberikan pertimbangan atas rekomendasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) sesuai dengan prioritas dan kemampuan keuangan Aceh.
Setelah mendapatkan Bansos, para penerima wajib membuat pelaporan dan
pertanggungjwaban berupa laporan penggunaan bantuan sosial kepada Gubernur
melalui PPKA dengan tembusan Kepala SKPA terkait (Pasal 38 ayat 1 dan 2).
Pertanggungjawaban tersebut meliputi (Pasal 1 ayat 2) :
a. Laporan penggunaan bantuan sosial oleh penerima bantuan sosial;
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 40
b. Surat pernyataan tanggungjawab yang menyatakan bahwa bantuan sosial yang
diterima telah digunakan sesuai dengan usulan; dan
c. Bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan sah sesuai peraturan perundang-
undangan bagi penerima bantuan sosial berupa uang atau salinan bukti serah
terima.
Gambar 5.1. Mekanisme Bantuan Sosial – Permendagri No.39 (2012)
Pada tahapan terakhir, SKPA terkait diwajibkan melakukan monitoring dan
evaluasi atas pemberian Bansos dan disampaikan kepada Gubernur dengan
tembusan kepada SKPA tersebut (Pasal 44). Mekanisme in40i diatur supaya
pemberian Bansos menjadi tepat sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 41
5.1.2 Realitas Mekanisme Penyaluran dan Pertanggungjawaban Bansos
Kajian ini dilakukan untuk mengevaluasi mekanisme penyaluran dan
pertanggungjawaban Bansos dengan mengunjungi langsung sebanyak 102
kelompok usaha penerima Bansos tahun anggaran 2013 yang tersebar di
kabupaten/kota di provinsi Aceh. Dari jumlah sampel 102 kelompok usaha
penerima Bansos, hanya 64 kelompok yang berhasil ditemukan dan dikunjungi,
sedangkan 38 kelompok tidak didapat ditemukan walaupun sudah melibatkan
Keuchik dan kepala desa setempat (kategori D/tidak teridentifikasi). Peneliti juga
sudah mengecek ke pusat pusat perdagangan dan usaha namun kelompok yang
tidak teridentifikasi tersebut tidak dikenal oleh masyarakat sekitar baik pemilik
maupun nama usahanya.
Tabel 5.1 Proporsi Penerima Bantuan Sosial tahun 2013
Kategori Keterangan Jumlah
Penerima Persentase Keberlanjutan
A Teridentifikasi dan menerima uang 100%
29 28,43 24 (83%)
B Teridentifikasi dan menerima uang kurang dari 100%
23 22,55 18 (78%)
C Teridentifikasi tapi tidak menerima uang
10 9,80 n.a
D Tidak teridentifikasi 38 37,25 n.a
E Lain Lain 2 1,96 n.a
Total 102 100
Dari tabel 5.1 dapat dilihat bahwa hanya 29 kelompok atau 28,43%
penerima bantuan yang mendapatkan Bansos sesuai dengan yang disetujui
(Kategori A). Terdapat juga 23 kelompok atau 22,55% yang menerima dana
Bansos kurang dari nilai yang disetujui pemerintah/dinas terkait (Kategori B). 10
kelompok lainnya (9,8%) telah mengusulkan proposal Bansos dan telah disetujui
namun sampai sekarang tidak menerima dana Bansos tersebut (Kategori C).
Selanjutnya, lebih dari sepertiga penerima bantuan atau 38 kelompok tidak
teridentifikasi baik nama usahanya maupun anggota kelompoknya (Kategori D).
Hal ini mengisyaratkan bahwa mekanisme penyaluran dan pertanggungjawaban
Bansos belum optimal dan tepat sasaran.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 42
Secara umum, mekanisme penyaluran dan pertanggungjawaban Bansos
yang dilaksanakan oleh para penerima bervariasi dalam beberapa tahapan antara
lain sebagai berikut:
1. Kelompok usaha sudah ada sebelum mendapat bantuan
2. Menyusun sendiri proposal
3. Mendapatkan rekomendasi kechik
4. Adanya verifikasi dari lembaga terkait
5. Menerima uang secara penuh
6. Memberitahukan kechik
7. Membuat laporan pertanggungjawaban
8. Pembinaan dari instansi terkait
Dari hasil survei terkumpul 52 data observasi yang dapat mewakili
keseluruhan sampel penelitian. Terdapat 42 kelompok usaha yang sampai
sekarang masih berjalan dan 10 kelompok usaha yang tidak lagi berjalan. Lebih
lanjut, variasi mekanisme penyaluran dan pertanggungjawaban tersebut dapat
analisa sebagai berikut:
Tabel 5.2 Variasi tahapan penyaluran dan pertanggungjawaban Bansos
No Tahapan Jumlah Persentase
1
Kelompok usaha sudah ada sebelum mendapat bantuan
27 51,92
2 Menyusun sendiri proposal 44 84,62
3 Mendapatkan rekomendasi kechik 50 96,15
4 Adanya verifikasi dari lembaga terkait 31 59,62
5 Menerima uang secara penuh 29 55,77
6 Memberitahukan kechik 33 63,46
7 Membuat laporan pertanggungjawaban 26 50,00
8 Pembinaan dari instansi terkait 24 46,15
Total Data 52 100
Berdasarkan tabel 5,2 variasi dalam tahapan penyalurandan
pertanggungjawaban Bansos oleh penerima dapat dilihat. Tahapan yang paling
banyak dilalui adalah tahapan mendapatkan rekomendasi dari keuchik
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 43
(96,15%) dan menyusun sendiri proposal (84,62%) sedangkan yang paling
banyak tidak terealiasi adalah pembinaan dari instansi terkait pasca (46,5%)
mendapatkan dana Bansos dan membuat laporan pertanggungjawaban (50%).
Lebih lanjut, data penerima bantuan yang berhasil menlanjutkan usahanya sampai
sekarang dan yang tidak berhasil dipisah untuk mendapatkan analisis yang lebih
dalam (tabel 5.3). Tabel 5.3 menggambarkan tahapan yang dilalui oleh penerima
bansos yang berhasil mempertahankan usahanya sampai sekarang (Kelompok A)
serta kelompok usaha yang tidak lagi menjalankan usahanya (Kelompok B).
Tabel 5.3. Perbandingan penyaluran dan pertanggungjawaban
penerima Bansos
No Tahapan Kelompok A Kelompok B
Perbedaan Jumlah Persentase Jumlah Persentase
1 Kelompok usaha sudah ada sebelum mendapat bantuan
24 57,14 3 30,00 27,14
2 Menyusun sendiri proposal 36 85,71 7 70,00 15,17
3 Mendapatkan rekomendasi kechik
40 95,24 10 100,00 -4,76
4 Adanya verifikasi dari lembaga terkait
24 57,14 7 70,00 -12,86
5 Menerima uang secara penuh
24 57,14 4 40,00 17,14
6 Memberitahukan kechik 27 64,29 6 60,00 4,29
7 Membuat laporan pertanggungjawaban
21 50,00 5 50,00 0
8 Pembinaan dari instansi terkait
21 50,00 3 30,00 20
Total Data 42 100 10 100
Tabel 5.3 memperlihatkan bahwa terdapat kesamaan antara kelompok A
dan kelompok B dalam hal pelaksanaan mekanisme penyaluran dan
pertanggungjawaban dana Bansos. Pada kelompok A, tahapan yang paling banyak
dilaksanakan adalah mendapatkan rekomendasi keuchik dan menyusun sendiri
proposal, sedangkan yang pelaksanaannya paling rendah adalah membuat
laporan pertanggungjawaban dan pembinaan dari instansi
terkait.Selanjutnya, tahapan yang paling banyak dilaksanakan pada kelompok B
adalah mendapatkan tekomendasi keuchik, sedangkan yang pelaksanaannya
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 44
paling rendah adalah kelompok usaha sudah ada sebelum mendapat bantuan
dan pembinaan dari instansi terkait.
Dengan menggunakan analisis perbedaan dapat disimpulkan bahwa
kelompok A dan kelompok B memiliki perbedaan yang kontras pada pelaksanaan
tahapan kelompok usaha sudah ada sebelum mendapat bantuan (usaha lama) dan
pembinaan dari instansi terkait. Kelompok A (kelompok usaha yang masih
berlanjut sampai sekarang) rata-rata adalah kelompok usaha yang sudah ada
sebelum menerima bantuan (57,14%), sedangkan rata-rata kelompok B
(kelompok usaha yang tidak beroperasi lagi) merupakan kelompok usaha yang
baru saja terbentuk sesaat sebelum pengajuan proposal Bansos. Selanjutnya,
kelompok usaha yang berhasil bertahan (kelompok A) rata-rata mendapatkan
pembinaan atau pendampingan dari dinas terkait sedangkan kelompok yang tidak
berhasil bertahan (kelompok B) umumnya tidak mendapatkan pembinaan dari
instansi terkait. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa kedua tahapan
tersebut memiliki kontribusi dalam keberhasilan penyaluran Bansos.
Sebaliknya, tahapan lainnya terutama frekuensi kelompok usaha
yangmendapatkan rekomendasi dari Keuchikdan memberitahukan keuchik
setelah mendapatkan bantuanantara kelompok A dan kelompok B relatif tidak
jauh berbeda. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tahapan-tahapan tersebut
tidak relevan dengan keberhasilan kelompok usaha yang menerima Bansos atau
tidak efektif memilih kelompok usaha yang benar benar layak untuk diberikan
Bansos. Penjelasan terkait hal ini didapatkan dari wawancara mendalam dengan
para Keuchik dan penerima Bansos yang akan disajikan pada bagian berikutnya.
5.1.3 Analisis Mekanisme Penyaluran Bansos
Hasil survei yang dilakukan terkait mekanisme penyaluran Bansos
menunjukkan bahwa tahapan penyaluran dan pertanggungjawaban Bansos tidak
seragam dan belum efektif memisahkan serta meningkatkan keberhasilan
penggunaan dana Bansos. Interview mendalam dengan para penerima Bansos
selama pengumpulan data telah mengungkan alasan dan penyebab tidak
optimalnya mekanisme tersebut.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 45
Pertama, tahapan mendapatkan rekomendasi keuchik sebagai syarat
mengajukan proposal Bansos merupakan formalitas saja. Di satu sisi, proses
memberikan rekomendasi oleh keuchik tidak bersifat sistematis dan mengikuti
prosedur pemeriksaan yang mendalam mengenai kelayakan kelompok usaha
pengusul. Di sisi lain, keuchik yang dipilih langsung oleh warga memiliki
kepentingan politik sehingga enggan untuk tidak memberikan rekomendasi
kepada pengusul dana Bansos. Dengan demikian diperlukan perbaikan dalam
proses mendapatkan rekomendasi ini dengan membentuk tim independen
kabupaten yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan pengusul dana Bansos.
Di samping itu, keterlibatan tokoh desa lainnya seperti Imam Gampong sebagai
panutan yang umumnya mengenal usaha dan profil dari ketua dan anggota
kelompok pengusul atau penerima sehingga perbaikan mekanisme rekomendasi
berdasarkan penilaian objektif dapat dicapai.
Kedua, kelompok yang memiliki usaha sejenis sebelum menerima bantuan
cenderung berhasil mempertahankan usahanya. Hal ini disebabkan kelompok
tersebut sudah paham mengenai permasalahan dan karakter bisnisnya masing
masing sehingga usahanya dapat dikembangkan secara optimal. Sebaliknya,
kelompok usaha yang baru saja terbentuk tidak memiliki pengalaman mengelola
usaha sehingga lebih rentan untuk gagal. Persyaratan ini juga dapat menyeleksi
antara usaha fiktif atau yang semata mata ingin mendapatkan dana Bansos dan
kelompok usaha yang membutuhkan dana untuk pengembangan usahanya.
Ketiga, pembinaan dari instansi terkait yang masih lemah dan tidak
terstruktur. Keterlibatan dinas terkait sudah sepatutnya diperluas terutama dinas
di level kabupaten. Fungsi dari pembinaan dan pendampingan ini tidak hanya
membantu penerima Bansos untuk mengembangkan usahanya juga sebagai katalis
bagi mereka untuk komitmen terhadap penggunaan dana Bansos.
Keempat, membuat sendiri proposal atau tidak dibuatkan oleh orang di
luar kelompok merupakan persyaratan penting dalam penyaluran dana Bansos.
Proposal yang baik, masuk akal, sesuai kebutuhan, spesifik dan layak dibiayai
hanya dapat dibuat oleh orang yang terlibat langsung dalam usaha tersebut. Disisi
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 46
lain, membuat proposal sendiri akan menurunkan biaya administrasi persiapan
proposal dan mencegah diberikannya dana yang terlalu sedikit atau terlalu besar.
Kelima, verifikasi setelah mendapatkan dana belum optimal dan tidak
sistematis. Banyak penerima Bansos tidak dikunjungi atau diverifikasi sebelum
menerima bantuan Bansos sehingga persentase usaha yang tidak teridentifkasi
sangat besar. Verifikasi tersebut diperlukan tidak hanya untuk memastikan bahwa
kelompok usaha yang mengajukan proposal benar-benar ada dan layak diberi
bantuan, tapi juga untuk mendapatkan informasi lengkap mengenai alamat dan
profil para anggota kelompok usaha penerima Bansos.
Keenam, sumber informasi/sosialisasi dana bansos pada banyak kasus
diperolehdari perorangan seperti dana aspirasi anggota dewan. Informasi yang
terbatas ini mengakibatkan terjadinya akses yang terbatas dan bagi golongan
tertentu saja. Padahal, ada kelompok usaha yang membutuhkan dana Bansos dan
layak tapi tidak memasukkan proposal karena ketidakadaan informasi.
Ketujuh, pada sebagian besar kelompok usaha yang mendapatkan Bansos,
peran ketua kelompok sangat dominan dan anggota hanya sebagai pelengkap
persyaratan. Kondisi ini akan berdampak pada keberlangsungan usaha, dimana
keuntungan paling besar hanya ketua kelompok.
Kedelapan, pemberian dana Bansos berbentuk uang kas lebih rentan untuk
diselewengkan. Alternatif untuk memberikan Bansos dalam bentuk barang yang
dibutuhkan dalam operasional perlu untuk dikaji secara mendalam. Disamping itu,
pengawasannya akan lebih mudah dan terukur.
Kesembilan, dalam proses seleksi dan pengawasan perlu melibatkan dinas
terkait. Pada banyak kasus, dinas terkait di kabupaten/kota tidak mengetahui
mengenai adanya penerima Bansos sehingga tidak dapat dimonitoring dan
evaluasi (monev) secara seksama.
Kesepuluh, diperlukan sistem reward and punishment untuk memotivasi
para penerima bantuan untuk menggunakan dana Bansos secara tepat guna.
Seringkali ada anggapan bahwa dana Bansos adalah dana tanpa ada pengembalian
sehingga digunakan secara tidak tepat guna. Kinerja penerima Bansos sebaiknya
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 47
dapat dimonitoring dan dievaluasi. Jika berhasil, mereka dapat menjadi nominasi
untuk program bantuan sejenis lainnya (membuat track record)
5.2. Analisis Manfaat Batuan Dana Sosial
5.2.1 Pandangan Penerima Manfaat
Bantuan sosial merupakan salah satu pendekatan yang dilakukan
pemerintah kepada kelompok atau individu yang dipandang rentan, guna
melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial ini diberikan
secara selektif dan sifatnya tidak terus menerus. Karenanya sangat diharapkan
bahwa bantuan ini dapat memberikan efek kepada penerima, terutama untuk
pengurangan kemiskinan.
Ada beberapa indikator yang menjadi fokus perhatian penelitian ini, dalam
kaitannya dengan pengurangan kemiskinan, terutama dilihat dari sisi pandangan
penerima manfaat, yaitu :
1. Aspek Pendapatan
Hasil kuesioner yang di isi oleh 52 responden penerima bantuan sosial
terkait dengan pendapatan, ditampilkan pada Tabel 1. Rata-rata responden
mengakui bahwa, program bantuan sosial telah cukup baik ( skala rata-rata 3,9)
memberikan kesempatan kepada mereka untuk membuka usaha sehingga
menjadi sumber mata pencaharian dan penghasilan keluarganya. Jenis usaha yang
digeluti penerima adalah bertani, beternak sapi atau kerbau, budidaya ikan
kerapu, atau bandeng , rumpon, kerajinan kasap dan menjahit serta berdagang
atau berjualan. Namun demikian rata-rata responden mengakui bahwa efek
bansos terhadap peningkatan kesejahteraan masih kurang baik.
Program bantuan sosial sedikit banyak telah berdampak pada
terbentuknya kelompok usaha, ataupun dapat mempertahankan usaha yang telah
ada. Diakui responden penerima bansos bahwa program tersebut telah
memberikan pengaruh yang baik (Tabel 5.4) pada peningkatan pendapatan, dan
mengurangi kesenjangan pendapatan, serta meningkatkan daya beli mereka.
Meskipun demikian, data hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa peningkatan
pendapatan tidak merata pada seluruh kelompok.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 48
Tabel 5.4 Persepsi Responden Penerima Bansos Mengenai
Pendapatan Usaha
N0 Uraian Skala Keterangan
1. Kemampuan Program Bansos dalam meningkatkan pendapatan penerima/ masyarakat
3,9 baik
2. Kemampuan Program Bansos dalam mengurangi kesenjangan pendapatan penerima /masayarakat
3,8 Baik
3. Kemampuan Program Bansos dalam membuka kesempatan berusaha bagi penerima / masyarakat
3,9 Baik
4. Kemampuan Program Bansos dalam mendorong pengembangan sumber mata pencaharian penerima / masyarakat
3,9 Baik
5. Kemampuan Program Bansosdalam memberikan dampak daya beli keluarga penerima/ masyarakat
3,8 baik
6. Program bansos ini telah mampu meningkatkan
kesejahteraan saya/anggota kelompok 3,3 Kurang Baik
Rata-rata 3,76 Baik
Secara rata-rata pendapatan kelompok sebelum bansos meningkan dari
1,85 juta rupiah, menjadi rata-rata 2,38 juta rupiah. Ketidak merataan peningkatan
pendapatan dapat dilihat dari data 52 kelompok penerima yang teridentifikasi,
hanya 13 kelompok usaha (25%) yang mengakui ada peningkatan pendapatan,
sementara 17 kelompok usaha (32,7%) belum ada peningkatan pendapatan.
Sedangkan yang belum memiliki pendapatan atau belum ada hasil terjadi pada 22
kelompok usaha (42,3%). Secara rinci, peningkatan pendapatan menurut fungsi
bansos yaitu untuk modal awal pembentukan usaha dan untuk modal
pengembangan usaha, dapat dilihat pada tabel 5.5.
Tabel 5.5 memperlihatkan bahwa bansos memberikan efek yang lebih baik
terhadap peningkatan pendapatan pada kelompok yang telah berjalan sebelum
bansos diberikan karena mareka memiliki keahlian dan pengalaman pada usaha
yang dijalankan. Hal ini juga dapat dilihat bahwa terdapat 30,7 persen kelompok
usaha baru gagal bertahan dibandingkan 7,6 % usaha yang tidak aktif pada
kelompok yang telah terlebih dulu ada.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 49
Tabel 5.5
Keadaan Pendapatan Kelompok Menurut Fungsi Modal Bansos
Katagori Pengembangan Usaha lama
(26 Kelompok) Pembentukan
Usaha Baru (26 Kelompok)
Status Usaha unit % Unit %
Aktif 24 92,3 19 69,2
Tidak Aktif 2 11,5 8 30,7
Pendapatan unit % Unit %
Meningkat 8 30,8 5 19,2
Tetap 10 38,4 7 26,9
Belum ada pendapatan 8 30,8 14 53,9
2. Aspek Keberjanjutan Usaha
Dari 52 penerima bansos yang teridentifikasi, 41 kelompok usaha atau 78,8%
usaha masih berjalan sampai kini. Persepsi responden penerima bansos dalam
membuat usaha mereka tetap berjalan sampai kini masih kurang baik (skala rata-
rata 3,3), dan juga masih kurang baik dalam membangkitan keuntungan atau
pengahasilan yang terus menerus. Namun, mereka juga mengakui bahwa
keberlanjutan usaha mereka karena anggota memiliki ketrampilan yang sesuai
dengan usaha yang digeluti. Selain itu bansos juga memberikan pengaruh baik
dalam memberikan semangat beraktivitas, seperti pada pada Tabel 5.6
Tabel 5.6 Persepsi Responden Penerima Bansos Mengenai
Keberlanjutan Usaha
No Uaraian Skala rata2
Keterangan
1. Program bansos telah mampu membuat usaha
kelompok penerima berjalan sampai saat ini.
3,3 Kurang Baik
2. Usaha kelompok penerima bansos berlanjut karena
anggota memiliki keterampilan yang sesuai
3,8 Baik
3. Program bansos mampu memberikan/meningkatkan
keuntungan secara terus menerus kepada penerima
3,4 Kurang Baik
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 50
Pada tabel 5.7 memperlihatkan bahwa 30,7 persen kelompok yang baru dibangun
berpeluang untuk gagal atau tidak mampu bertahan. Sementara pada kelompok
yang telah berpengalaman peluang gagal sekitar 7,6%.
Faktor pendampingan atau asistensi kepada kelompok usaha, baik yang
baru terbentuk maupun yang telah berdiri lebih awal, diyakini sebagai salah satu
faktor yang dapat menunjang keberlanjutan usaha. Tabel 5.7, memperlihatkan
bahwa peluang usaha berlanjut/ masih aktif sebesar 52,4 % pada kelompok yang
di dampingi dan sudah mempunyai pengalaman. Sedangkan peluang aktif pada
kelompok yang tidak didampingi sebesar 41,9%. Sedangkan peluang kelompok
gagal atau tidak dapat berlanjut lebih besar pada kelompok yang baru berdiri atau
tidak berpengalaman dan tidak ada pendampingan yaitu 19,4%. Meskipun
mendapat pendampingan kelompok baru masih berpeluang gagal 9,5%.
Selain pengalaman dan pendampingan, faktor yang perlu mendapat
perhatian untuk keberlanjutan kelompok adalah kecukupan modal usaha. Bansos,
dalam hal ini telah menjadi program yang diharapkan dapat memberikan harapan
baru untuk kebutuhan modal kelompok usaha, bagi masyarakat yang rentan
terhadap resiko sosial. Pengajuan proposal usaha oleh kelompok usaha tentu
mendapat penilaian dan evaluasi , sehingga usulan modal tidak seluruhnya
disetujui tanpa koreksi. Tabel 5.7, menunjukkan bahwa 30 kelompok usaha atau
(57,7%) yang menerima bansos sesuai usulan, dan 63,4% masih aktih pada usaha
lama dan 23,3% pada kelompok baru. Kelompok yang menerima bantuan 75%
atau lebih dari usulan sebanyak 9 kelompok dan dikurangi 50% sebanyak 13
kelompok. Secara keseluruhan Tabel 5.7, memperlihatkan bahwa semakin besar
pengurangan modal dari usulan semakin besar pula peluang atau persentase gagal,
terutama untuk kelompok baru terbentuk.
Kegagalan dalam membuat usaha tetap berlanjut, terlihat lebih besar pada
kelompok yang belum berpengalaman, tidak ada pendampingan dan modal yang
4. Program bansos ini telah berdampak pada
peningkatan semangat beraktivitas bagi saya/anggota
kelompok
3,5 baik
Rata-rata 3,5 baik
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 51
kurang mencukupi. Hal ini mengindikasikan bahwa, peluang untuk keberlanjutan
usaha sedikit banyak ditentukan oleh :
1. Pengalaman dalam menjalankan usaha bersama. Ini tentu terkait dengan
kesiapan kelompok dalam membangun usaha, seperti struktur organisasi, dan
kesesuaian ketrampilan anggota kelompok dengan usaha yang dibangun, dan
kemampuan anggota kelompok dalam membangun iklim usaha bersama.
2. Pendampingan atau asistensi yang diberikan kepada kelompok usaha.
Kelompok usaha baru lebih memerlukan pendampingan sampai kelompok
berjalan dengan stabil. Pendampingan setidaknya meliputi, asistensi
kemampuan produksi, administrasi, pemasaran dan manajemen kelompok.
3. Modal untuk pengembangan usaha. Pada kelompok yang telah berjalan, modal
tambahan diperlukan untuk pengembangan (ekspansi) usaha, atau untuk
membantu menstabilkan usaha yang mengalami masalah modal. Sedangkan
untuk kelompok baru, modal awal diperlukan justru untuk membangun usaha
itu sendiri, membeli barang modal dan juga untuk memenuhi kebutuhan
modal tidak tetap atau modal untuk produksi. Jika kebutuhan modal awal ini
kurang mencukupi, maka kemungkinan usaha gagal lebih besar.
Tabel 5. 7
Keadaan Keberlanjutan Usaha dan Pendampingan
Katagori Usaha Lama
(26 Kelompok) Usaha Baru
(26 Kelompok)
Pengalaman Usaha
Memiliki Pengalaman unit % Unit % Berhasil 24 92,3 0 0 Gagal 2 7,6 0 0 Tidak Memiliki Pengalaman unit % Unit % Berhasil 0 0 18 69,2 Gagal 0 0 8 30,7
Pendampingan Ada Pendampingan (21 kel) unit % Unit % Berhasil 11 52,4 8 38,1 Gagal 0 0 2 9,5 Tidak Ada Pendampingan (31kel) unit % Unit % Berhasil 13 41,9 10 32,2 Gagal 2 6,5 6 19,4
Modal Usaha
Bantuan Modal sesuai proposal (30 kel) unit % Unit %
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 52
Berhasil 19 63,4 7 23,3 Gagal 1 3,3 3 10,0 Dikurangi ≤ 25% (9 kel) unit % Unit % Berhasil 2 22,2 4 44,4 Gagal 1 11,1 2 22,4 Dikurangi 25 - 50% (13 kel) unit % Unit % Berhasil 3 23,1 7 53,8 Gagal 0 0,0 3 23,1
3. Aspek Kelembagaan
Membangun sebuah kelompok usaha, tentu memerlukan perencanaan yang
baik, menyusun struktur kelembagaan usaha, perencanaan keuangan, bahan baku
usaha, pemperhatikan ketrampilan anggota dan pembagian tugas kepada masing-
masing anggota, sehingga kelompok usaha dapat berkelanjutan dan berkembang.
Persepsi penerima bansos mengenai peningkatan kemampuan mereka dalam
hal kelembagaan tapat dilihat pada Tabel 5.8. perencanaan usaha berdasarkan
potensi lokal khususnya dalam penyusunan proposal cukup baik. Dalam
pelaksanaan usaha, serta pengawasan mereka merasa masih kurang baik. Mereka
juga merasa telah berartisipasi baik dalam pembangunan, khususnya
pembangunan ekonomi.
Tabel 5.8
Persepsi Responden Mengenai Kemampuan Membangun
Kelembagaan Usaha
No Uraian Skala rata2
Keterangan
1.
Program bansos telah mampu meningkatkan
kemampuan penerima /kelompok dalam
penyusunan perencanaan usaha sesuai dengan
potensi lokal (penyusunan proposal usaha)
3,7 Baik
2. Program bansos telah mampu meningkatkan
peran penerima / kelompok dalam
pelaksanaan usaha
3,3 Kurang Baik
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 53
No Uraian Skala rata2
Keterangan
3. Program bansos telah mampu meningkatkan
peran penerima/kelompok untuk
berpartisipasi dalam pengawasan usaha
3,3 Kurang Baik
4.
Program bansos telah mampu meningkatkan
peran penerima / kelompok untuk
berpartisipasi dalam pembangunan
masyarakat
3,7 Baik
Rata-rata 3.5 baik
Dalam proses mendapatkan bantuan, masyarakat perlu mengajukan
proposal usaha, baik secara individual maupun kelompok. Tabel 5.9 menunjukkan
bahwa secara keseluruhan dari 52 responden, terdapat 35 responden (67,3%)
mengakui menyusun proposal secara bersama-sama anggota kelompok, artinya
anggota kelompok ikut terlibat dalam perencanaan dan pembangunan
kelembagaan usaha. Persentase kelompok yang menyusun proposal secara
bersama-sama lebih besar pada kelompok usaha yang telah lama dari pada usaha
baru yaitu 57,1% dan 42,9%. Persentase atau peluang usaha berhasil lebih besar
dibandingkan peluang usaha yang gagal. Jumlah kelompok yang proposalnya
dibuat orang lain sebanyak 7 kelompok atau 13,5%, dan yang dibuat sendiri oleh
ketua kelompok sebanyak 8 kelompok atau 15,4%. Namun pada kedua katagori
tersebut, persentase berhasil lebih kecil dibandingkan kelompok yang membuat
bersama-sama proposalnya.
Kemampuan perencanaan dalam menentukan kebutuhan modal, secara
umum atau 55,8% kelompok usaha menentukannya berdasarkan hasil rapat
anggota, dan keberhasilan usaha lebih tinggi dibandingkan katagori lainnya,
kondisi ini hampir tidak berbeda antara kelompok lama dengan kelompok baru.
Pada kelompok baru persentase berhasil terlihat sedikit lebih besar, dan pada
kelompok baru persentase gagal lebih besar dari kelompok lama. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan teknis mereka untuk menentukan besarnya
modal yang diperlukan masih rendah, sehingga besarnya kebutuhan modal
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 54
menjadi kurang akurat. Sedangkan pada kelompok lama, pengalaman dan
pengetahuan mereka telah jauh lebih baik, sehingga menjadi lebih akurat dan
persentase gagal kecil.
Dalam menentukan besarnya modal, proses yang dilakukan oleh kelompok
usaha dengan mengadakan rapat anggota. Hasil analisis ini memperlihatkan
bahwa kemampuan mereka dalam perencanaan relatif baik. Persentase kelompok
yang kebutuhan modal ditentukan sebanyak 16 kelompok atau sebesar 30,8%,
dan keberhasilannya sama antara kelompok lama dan baru yaitu sebesar 43,7%,
namun kelompok baru kegagalannya lebih besar atau 12,5%. Perlakuan seperti ini
sebenarnya kurang baik untuk pembinaan kelembagaan kelompok, terutama
untuk kelompok baru.
Tabel 5.9
Keadaan Kelompok Dalam Membangun Kelembagaan
Katagori Usaha Lama
(26 Kelompok) Usaha Baru
(26 Kelompok) Perencanaan
Proposal disusun bersama (35 kelompok)
unit % Unit %
Berhasil 18 51,4 10 28,6 Gagal 1 5,7 5 14,3 Dibuat Orang dan Tidak Terlibat (7 kelompok)
unit % Unit %
Berhasil 1 14,3 4 57,1 Gagal 1 14,3 1 14,3 Ketua Menyusun Sendiri Tanpa Melibatkan Anggota (8 kelompok)
unit % Unit %
Berhasil 3 37,5 4 50,0 Gagal 0 0,0 1 12,5 Lain-lain (2 kelompok) 1 - 1 -
Penentuan Kebutuhan Modal Hasil rapat anggota (29 kelompok)
unit % Unit %
Berhasil 13 44,8 10 34,5 Gagal 1 3,4 5 17,3 Jumlah sudah ditentukan (16 kelompok)
unit % Unit %
Berhasil 7 43,7 7 43,7 Gagal 0 0,0 2 12,5 Lain-lain (7 kelompok) 5 - 2 -
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 55
Katagori Usaha Lama
(26 Kelompok) Usaha Baru
(26 Kelompok) Tanggung Jawab Kerja
1. Masing-masing anggota menjalankan usaha sendiri (18 kelompok)
unit % Unit %
Berhasil 9 50,0 4 22,2 Gagal 0 0,0 5 27,8 Pembagian tugas jelas (23 kelompok)
unit % Unit %
Berhasil 11 47,8 11 47,8 Gagal 2 8,7 0 0,0 Ketua bekerja sendiri, tanggung jawab anggota tidak jelas (10 kelompok)
unit % Unit %
Berhasil 4 40,0 3 30,0 Gagal 0 0,0 3 30,0
Pembagian Hasil Pembagian hasil usaha anggota untuk anggota yg bersangkutan (13 kelompok)
unit % Unit %
Berhasil 3 23,1 9 69,1 Gagal 0 0,0 1 7,7 1. Pembagian sama rata
(21 kelompok) unit % Unit %
Berhasil 8 38,1 7 33,3 Gagal 2 9,5 4 19,1 Pembagian sesuai tanggung jawab (16 kelompok)
unit % Unit %
Berhasil 11 68,8 3 18,8 Gagal 1 6,2 1 6,2 2. Anggota mendapat honor
(2 kelompok) unit % Unit %
Berhasil 2 100,0 0 0,0
Gagal 0 0,0 0 0,0
Membangun kelompok usaha sesungguhnya bukanlah hal yang mudah.
Harus ada perngaturan yang jelas setidaknya mengenai tanggungjawab pekerjaan,
dan pembagian penghasilan secara adil serta disepakati bersama. Tabel 5.9,
menunjukkan bahwa, terdapat 18 atau 34,6% kelompok mengakui bahwa setiap
anggota menjalankan usaha masing-masing namun mereka tergabung dalam
kelompok untuk pemasaran hasil, kebutuhan bahan baku, tata cara kerja yang baik
(penyuluhan), dan permasalahan-permasalahan yang ada di tanggulangi bersama
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 56
dan ada iuran kelompok. Strategi ini terlihat lebih berhasil pada usaha yang telah
berpengalaman atau usaha yang telah lama, sedangkan pada usaha bru peluang
gagal relatif besar.
Katagori kedua, yaitu kelompok yang bekerja pada suatu usaha bersama
dengan pembagian tugas dan tanggungjawab yang adil dan jelas serta di koordinir
oleh ketua kelompok sebanyak 23 kelompok atau 44,2% Secara umum kelompok
yang pada katagori kedua lebih berhasil terutama pada kelompok baru. Katagori
ke tiga, bahwa hanya ketua saja yang bekerja sedangkan tanggungjawab anggota
tidak jelas sebanyak 10 kelompok, persentase gagal untuk katagori ini relatif besar
terutama untuk kelompok baru. Kondisi ini secara keseluruhan memperlihatkan
bahwa kemampuan kelompok usaha dalam menjalankan usaha secara
berkelompok masih relatif kurang baik.
Pengawasan terhadap usaha khususnya terhadap hasil usaha, merupakan
suatu hal yang sangat penting dalam membangun kelembagaan usaha yang sehat.
Pembagian hasil usaha dilakukan dengan sistem yang berbeda antar kelompok
usaha. Temuan penelitian ini, memperlihatkan bahwa 13 (25%) kelompok
mengakui bahwa hasil usaha masing-masing anggota yang diusahakan sendiri
tidak dibagikan kepada anggota lain, tetapi memang merupakan hasil usaha
anggota tersebut, 21 (40,4%) kelompok mengakui bahwa hasil yang diperoleh
kelompok dibagi sama rata kepada anggota, pembagian hasil model ini
kelihatannya kurang berhasil pada kelompok baru, persentase gagal lebih besar.
Pembagian sama rata mungkin tidak mencerminkan keadilan, sehingga kelompok
usaha mengalami kesulitan untuk berlanjut. Tetapi terdapat 16 (30,8%) responden
mengakui bahwa hasil yang diperoleh kelompok dibagi sesuai dengan
tanggungjawab kerja. Kelihatannya model seperti ini lebih disukai, sehingga
kegagalan usaha rendah, dan persentase berhasil lebih tinggi.
Hasil analisis mengindikasikan bahwa dalam membangun kelembagaan
kelompok usaha, bansos telah memberikan efek yang baik pada penguatan
kelembagaan kelompok, terutama dalam perencanaan usaha, yaitu :
1. Perencanaan usaha secara umum melibatkan anggota kelompok, dan cukup
baik pada kelompok lama .
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 57
2. Pelaksanaan dan pengawasan usaha, telah direncanakan dengan baik oleh
kelompok usaha. Pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi yang
mengedepankan aspek keadilan, akan lebih memberikan pengaruh baik pada
penguatan kelembagaan kelompok.
4. Aspek Kemandirian
Penelitian ini menemukan bahwa rata-rata responden penerima bansos
mempunyai persepsi bahwa program bansos relatif baik dalam mendorong
meningkatkan kemandirian dirinya dan kelompoknya. Namun demikian, mereka
merasa masih kurang baik dalam membangun semangat kerjasama antar anggota
bahkan antar kelompok. Hasil ini tentu saja berdasarkan jawaban 52 responden
yang berhasil teridentifikasi, secara jelas dapat dilihat pada tabel 5.10.
Tabel 5.10
Persepsi Penerima Bansos Tentang Kemandirian
No Uraian Skala
rata-rata Ket
1. Program bansos mampu meningkatkan kemandirian
kelompok 3,5 baik
2. Program bansos mampu meningkatkan semangat kerja
sama antar anggota dalam kelompok 3,4
Kurang
baik
Rata-rata 3,45 Kurang
baik
Kemandirian kelompok usaha setidaknya dapat dilihat dari kecukupan
modal untuk membangun dan mengembangkan usaha. Dari 42 kelompok yang
masih aktif, dapat dianalisa tingkat kemandirian mereka, dari berbagai sisi :
a. Kecukupan atau kebutuhan modal. Secara keseluruhan (53,7%) kelompok
usaha menyatakan bahwa mereka merasa modal diperlukan telah terpenuhi.
Tabel 11 juga memperlihatkan, bahwa kecukupan modal lebih banyak
terpenuhi pada kelompok usaha yang telah lama, yaitu 15 kelompok atau
65,2%, sedangkan kelompok baru hanya 7 (38,9%) yang merasa sudah
mencukupi. Hal ini tentu terkait pada besarnya bansos yang diberikan, dimana
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 58
persentase kelompok baru yang mengalami pengurangan relatif lebih besar
dibandingkan kelompok lama, (dapat dilihat pada Tabel 5.7).
b. Kemampuan kelompok usaha dalam mempekerjakan tenaga kerja diluar
kelompok. menunjukkan bahwa ada 23 (56,1%) kelompok mempekerjakan
tenaga kerja lain (Tabel 5.11), kondisi ini lebih banyak pada kelompok yang
telah lama, dibandingkan kelompok baru.
c. Kebutuhan akan pendampingan atau bantuan asistensi. Ternyata hanya 14
(34,1%) kelompok yang menyatakan tidak lagi memerlukan pendampingan.
Persentase kelompok yang memerlukan pendampingan lebih rendah pada
kelompok lama dibandingkan kelompok baru, yaitu 26,1% berbanding dengan
44,4%, (Tabel 5.11). Artinya kelompok usaha merasa belum sepenuhnya
dapat mandiri, meskipun mereka dapat bertahan untuk tetap eksis. Telah di
perlihatkan sebelumnya bahwa faktor pendampingan menjadi faktor penting
untuk keberlanjutan usaha, dan kelompok usaha baru lebih memerlukan
pendampingan untuk keberhasilannya. (dapat dilihat pada Tabel 5.7)
Tabel 5.11. Persentase Kecukupan Modal, Penggunaan Tenaga Kerja dan
Kebutuhan Pendampingan Pada Kelompok Usaha yang Masih Aktif
Uraian
Kelompok Lama yang
Aktif 24 Kelompok
%
Kelompok Baru yang Aktif
18 Kelompok %
Modal Sudah Mencukupi Modal mencukupi kebutuhan 16 66,7 7 38,9 Modal tidak mencukupi 8 33,3 11 61,1
Menggunakan Tenaga Kerja
Menggunakan tenaga kerja lain 15 62,5 9 50 Tidak menggunakan tenaga kerja lain
9 37,5 9 50
Kebutuhan Untuk Pendampingan
Masih butuh pendampingan 18 75,0 10 55,6 Tidak memerlukan pendampingan 6 25,0 8 44,4
5. Peran pemerintah
Rata-rata responden penerima bansos menyatakan bahwa peran
pemerintah dalam program bansos kurang baik. Tabel 5.12 memperlihatkan
bahwa persepsi penerima terhadap dinas, kecamatan dan desa mengenai
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 59
sosialisasi dan peninjauan kepada kelompok usaha, sebelum bansos diluncurkan,
adalah kurang baik. Pembinaan dan partisipasi yang dilakukan oleh dinas terkait
setelah bansos diterima kelompok usaha masih kurang baik. Kapasitas dan
kemampuan dinas, kecamatan dan desa dalam membantu kelompok usaha juga
masih relatif kurang baik.
Tabel 5.12. Persepsi Penerima Bansos Mengenai Peran Pemerintah Dalam
Keberhasilan Program
No Uraian Skala
rata-rata Keterangan
1.
Dengan adanya program bansos, pihak
dinas/kecamatan telah melakukan peninjauan dan
sosialisasi terlebih dahulu kepada kelompok usaha
3,2 Kurang baik
2. Dengan adanya program bansos, pihak
dinas/kecamatan telah menigkatkan
partisipasi/pembinaan kepada kelompok usaha
3,2 Kurang baik
3. Dengan adanya program bansos, pihak
dinas/kecamatan telah menigkatkan
kapasitas/kemampuan pemerintah dalam membantu
kelompok
3,3 Kurang baik
Rata-rata 3,23 Kurang baik
Peran pemerintah dalam keberhasilan kelompok usaha sangat menentukan.
Melalui program bansos pemerintah ingin mengurangi kemiskinan, terutama pada
kelompok rentan atau berpotensi mengalami resiko sosial. Program bansos
merupakan program yang ditunggu, sangat diharapkan oleh sebagian masyarakat
atau kelompok masyarakat. Tabel 5.13 memperlihatkan bahwa, sebagian besar
(73,1%) kelompok usaha atau masyarakat mencari informasi mengenai program
ini justru dari kerabat, teman, atau keluarga. Hal ini memperlihatkan bahwa akses
untuk memperoleh informasi mengenai bansos relatif terbatas. Hampir tidak ada
sosialisasi dari dinas atau pihak kecamatan dan desa.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 60
Tabel 5.13 Peran Pemerintah Dalam Membangun Kelompok Usaha
Uraian Kelompok
Lama %
Kelompok Baru
%
Informasi adanya bansos
Aparatur Desa 1 3,8 2 7,7 Pengumuman 2 7,7 3 11,5
Dari Teman 20
-2 tidak aktif 76,9
18 -7 tidak aktif
69,2
Lain- lain 3
3. 11,5
3 -1 tidak aktif
11,5
Ketepatan Waktu Penyaluran
Sangat tepat 16 -1 tidak aktif
61,5 9 -2 tidak aktif
34,6
Kurang tepat 7 -2 tidak aktif
26,7 10 -2 tidak aktif
38,4
Terlalu lama dari kebutuhan 3 11,5 7
-4 tidak aktif 26,9
Kunjungan Pendamping Dua- tiga bulan sekali 5 19,2 2 7,7 Sebulan sekali 3 11,5 2 7,7
Hanya sekali 3 11,5 6
-2 tidak aktif 23,1
Tidak ada pendampingan 15
-3 tidak aktif 57,7 16
-6 tidak aktif 61,5
Aspek Pendampingan Tehnik produksi 23 88,5 8
2 tidak aktif 80,0
Membangun kelompok dan administrasi
3 11,5 2 20,0
Bantuan Pelatihan yang diterima Mendapatkan pelatihan 9
-1 tidak aktif 34,6 2 7,7
Tidak mendapat pelatihan 17 -3 tidak aktif
65,4 24 -8 tidak aktif
92,3
Ketepatan waktu penyaluran bansos menjadi salah satu peran pemerintah,
untuk memastikan bantuan modal diterima pada waktu yang diperlukan. Data
pada Tabel 5.13 menunjukkan bahwa 65,3 % bansos untuk kelompok baru tidak
diterima tepat waktu dan 38,2% pada kelompok lama. Kelompok usaha yang telah
lama pada pada umumnya menerima bansos tepat waktu. Sedangkan kelompok
baru lebih sedikit yang menerima tepat waktu. Hal ini kemungkinan disebabkan
adanya persyaratan yang terlambat dipenuhi oleh kelompok baru, sehingga
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 61
terlambat menerima. Kenyataan menunjukkan bahwa jumlah kelompok yang gagal
atau tidak aktif lagi lebih besar pada kelompok yang terlambat menerima.
Kunjungan pendamping pada kelompok yang mendapatkan pendampingan
pada umumnya (23,1%) hanya sekali, sedangkan pada kelompok baru
kebanyakan 2 – 3 bulan sekali. Pada umumnya yang dibicarakan (> 80%) adalah
tehnik produksi, selebihnya mengenai membangun kelompok usaha dan masalah
pembukuan, sedangkan strategi pemasaran belum menjadi perhatian. dari
pendampingan mengenai pemasaran merupakan salah satu faktor yang
menentukan berhasil tidaknya suatu usaha.
Peran pemerintah yang paling penting dalam meningkatkan kemampuan
kelompok usaha adalah peningkatan kapasitas mereka dalam hal produksi ,
administrasi, pemasaran dan kemampuan kerjasama. Peningkatan kapasitas ketua
dan anggota kelompok usaha umumnya dilaksanakan melalui pelatihan.
Kenyataannya, 78,8% kelompok usaha tidak mendapatkan pelatihan. Kelompok
usaha baru lebih banyak tanpa pelatihan yaitu 92,3 %, dan seluruh kelompok yang
gagal bertahan atau bubar seluruhnya tidak pernahmendapatkan pelatihan. Hal ini
mengindikasikan, bahwa membangun kapasitas kelompok melalui berbagai
pelatihan teknis sesuai kebutuhan kelompok usaha.
5.2.2 Pandangan Pemimpin Formal
Hasil penelurusan lapangan kepada 57 pemimpin desa (responden),
menemukan berbagai kondisi, yaitu :
a. Tidak mengetahui kelompok mana yang telah menerima bantuan dan yang
belum menerima. Karena tidak ada laporan untuk gechik. Sehingga tidak
dapat memberikan pandangannya mengenai kemandirian ekonomi
masyarakat, hal ini dikemukakan oleh 12,3 % kepala desa.
b. Dana belum diterima oleh kelompok, ini dikemukakan oleh 7,01 % gechik.
c. Tidak dapat mengidentifikasi kelompok usaha yang menjadi sampel penelitian,
alamat yang tertera sudah benar tetapi kelompok tidak dapat ditemukan atau
dikemukakan 7,01%
Pemimpin formal yang di luar katagori di atas, memberikan pandangannya
atau pendapat yang relatif beragam terhadap bansos yang diterima masyasrakat di
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 62
desanya. Pendapat tersebut dapat dijelaskan dalam berbagai aspek yang menjadi
fokus kajian ini :
1. Peningkatan Kesejahteraan
Terhadap adanya peningkatan kesejahteraan masyasrakat karena adanya
bantuan sosial, pemimpin gampong mempunyai berbagai pendapat, yaitu :
a. Program bansos dipandang tidak mampu meningkatkan kesejahteraan
penerima, apalagi meningkatkan masyarakat disekitarnya. Ini
dikemukakan oleh 13,3% pemimpin gampong.
b. Namun sebagian besar (60,38%) mengemukakan pendapatnya bahwa
program bansos akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
tetapi dengan berbagai catatan atau persyaratan yang disampaikan.
Beberapa catatan yang dikemukakan tokoh masyarakat adalah :
a). Tepat sasaran. Sebagian pemimpin masyarakat mengemukakan bahwa
pemberian bansos banyak yang tidak tepat sasaran. Bahkan ada
pemimpin gampong yang tidak mengetahui alamat kelompok usaha yang
secara administrasi tercatat ada di desanya. Agar program ini bermanfaat
secara optimal, maka pemberian dana bansos perlu diperhatikan sasaran
dari penerimanya, apakah kelompok benar-benar memerlukannya atau
tidak. Hal ini memerlukan penilaian yang baik sebelum ditetapkan
penerimanya. Diperlukan kriteria dan persyaratan yang jelas untuk
penerimanya.
b). Jenis bantuan yang diberikan perlu disesuaikan dengan skill yang dimiliki
oleh penerima, bantuan sebaiknya tidak berupa uang tunai.
c). Program harus dijalankan secara benar dan serius. Hal ini berarti
mekanisme pemberian bansos harus dirumuskan secara jelas dan
diimplementasikan dengan baik.
2. Kelembagaan
Menurut pemimpin gampong yang dapat mengidentifikasi keberadaan
kelompok usaha, dan mengetahui kelompok penerima, memberikan beberapa
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 63
pandangannya, mengenai pengaruh program bansos dalam meningkatkan
kapasitas masyarakat atau kelompok dalam bidang kelembagaan, yaitu :
a. Program bansos mampu meningkatkan kapasitas kelompok usaha dalam
membangun kelembagaan usaha , namun belum optimal (33,3%).
Kelompok usaha sedikitnya banyak yang telah dapat bekerjasama dengan
sesama anggota kelompoknya. Hal ini dapat terjadi, menurut pemimpin
gampong karena ketrampilan anggota kelompok lebih merata dan sesuai
dengan kebutuhan usahanya.
b. Sedangkan sebagian lainnya (40,38%) mengemukakan bahwa bansos
belum dapat membangun kelembagaan kelompok usaha.
Kegagalan dan belum optimalnya kelembagaan, menurut pandangan pemimpin
gampong disebabkan oleh:
a) Tidak terlibatnya aparatur gampong dalam pembinaan dan pengawasan
kelompok usaha, termasuk kelompok penerima bansos.
Tidak ada laporan kepada aparatur gampong, mengenai adanya penyaluran
bansos kepada masyarakat . Akibatnya masyarakat atau kelompok usaha yang
menerima bansos, juga kurang merespon jika pemimpin gampong berusaha
mendata dan mengumpulkan informasi. Hal ini tentu menyulitkan
membangun kelembagaan.
b) Partisipasi masyarakat sangat kurang, sehingga kelembagaan kelompok
usaha juga tidak optimal.
c) Sebagian kelompok usaha sesungguhnya tidak bekerja secara berkelompok.
Mereka membagi bansos kepada anggota, dan masing-masing anggota
membangun usahanya sendiri atau tidak membangun usaha, semuanya
tergantung pada anggota yang bersangkutan, sehingga tidak lagi bekerja
bersama secara berkelompok.
d) Kondisi kelompok usaha dimana peran ketua yang lebih dominan,
menyebabkan kelembagaan kelompok tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan.
e) Anggota kelompok usaha tidak memiliki ketrampilan yang sesuai dengan
usaha yang dibangun.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 64
f) Tidak ada pelatihan yang diberikan kepada kelompok. Dalam hal ini
diperlukan pelatihan mengenai manajemen usaha, organisasi, dan
kepemimpinan.
g) Tidak ada pendampingan. Menurut pemimpin gampong pendampingan
sangat diperlukan bagi kelangsungan kelompok usaha. Para pendamping
dapat memberikan arahan dan masukan dalam membangun kelembagaan
usaha.
3. Kemandirian masyarakat
Pandangan pimpinan gampong, mengenai kemampuan bansos dalam
meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat, relatif beragam
sebagaimana dikemukakan di bawah ini :
a. Bansos belum dapat meningkatkan kemandirian ekonomi penerima
maupun masyarakat, hal ini dikemukakan oleh 26,3% pemimpin gampong.
Menurut mereka berbagai penyebab hal ini dapat terjadi, yaitu:
a) Tidak ada pengawasan dari perangkat desa, dan bansos tidak tepat
sasaran. Sehingga tidak terjalin komunikasi yang baik antara penerima
dengan masyarakat, bahkan antar anggota kelompok.
b) Usaha yang dibantu memang usaha yang masih kecil dan sulit
beerkembang, modal yang diberikan relatif kecil. Bahkan s.ebagian
penerima menganggap bansos sebagai hadiah bagi mereka, dan selalu
berharap dapat bantuan.
c) Kemampuan atau ketrampilan anggota dan ketua masih kurang,
sehingga usaha gagal atau bahkan gagal panen.
b. Sebagian pimpinan gampong (8,77%) berpendapat bahwa bansos mungkin
dapat meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat, asalkan tepat
sasaran yang dibarengi dengan pengawasan dan arahan pemerintah dan
bansos dimanfaatkan dengan baik.
c. Sebagian lainnya dan relatif lebih besar (22,81%) berpendapat bahwa
bansos dapat meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat, namun
belum optimal. Menurut responden hal ini disebabkan karena :
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 65
a) Hanya penerima saja yang meningkat ekonominya
b) Kesulitan dalam memasarkan produk yang dihasilkan
c) Belum ada pendampingan, padahal sangat diperlukan
d. Sebanyak 17,54% pemimpin gampong mempunyai pandangan bahwa
bansos telah berhasil meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat.
Menurut mereka hal ini dikarenakan :
a) Sudah ada kegiatan usaha dari awal, sebelum menerima bansos
b) Bansos betul-betul digunakan untuk usaha, daya beli dan pendapatan
meningkat
c) Bansos berupa peralatan yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat, seperti traktor tangan.
4. Peran pemerintah
Pada aspek peran pemerintah kabupaten/kota terhadap desa, pemimpin
desa mempunyai pandangan yang beragam, sebagian pemimpin atau sebesar
49,12% menyatakan partisipasi pemerintah masih sangat kurang, para kepala
desa menyatakan bahwa :
a. Kunjungan ke gampong tidak pernah dilakukan, kalaupun ada hanya sekali
dan tidak berkelanjutan.
b. Tidak ada informasi mengenai adanya bantuan sosial ini, sangat tertutup,
seakan enggan bekerja sama dengan aparatur gampong.
c. Sosialisasi kepada masyarakat gampong tidak ada atau sangat kurang,
sehingga penerimaan dan pemahaman masyarakat sangat kurang.
d. Pengawasan juga sangat kurang, sehingga kondisi bansos tidak sesuai
harapan. Jika bansos diberikan dalam bentuk barang, biasanya kualitasnya
jelek, kalau diberikan dalam bentuk uang masyarakat ribut.
e. Tidak ada pendampingan kepada kelompok ataupun pemimpin gampong.
Sebagian pemimpin desa (26,31%) berpendapat bahwa bansos telah
menimbulkan partisipasi pemerintah terhadap desa, namun belum optimal,
menurut mereka ini ditunjukkan melalui :
a) Pembinaan dan pengawasan kepada kelompok UKM, dan saling mendukung
dengan pemerintah gampong. Namun partisipasi dalam pengawasan jangan
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 66
sampai di salah gunakan, yang dapat merugikan kelompok usaha dan
masyarakat secara umum.
b) Adanya perubahan yang baik yang diperlihatkan masyarakat.
5.3 Analisis SWOT
5.3.1 Faktor Internal (Kekuatan dan Kelemahan)
Analisis faktor internal adalah kajian kekuatan (strength) dan kelemahan
(weakness) yang dimiliki oleh kelompok usaha dalam mengembangkan atau
membudidayakan produk yang akan dihasilkan. Banyak aspek yang dapat
dianalisis terhadap faktor internal baik kekuatan maupun kelemahan dalam
alokasi dana pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam bentuk bantuan sosial.
Berdasarkan hasil kajian di lapangan menurut pandangan responden, maka dapat
digambarkan sebagaimana pada tabel 5.14 berikut :
Tabel 5.14
Faktor Internal (Kekuatan dan Kelemahan)
No Pertanyaan Mean Kesimpulan
1. Fasilitas yang tersedia dan dimiliki untuk mendukung
kegiatan usaha 3,75 Kekuatan
2. Kemudahan memperoleh informasi tentang Program
Bansos 3,35 Kelemahan
3. Kemudahan ikut berpartisipaso dalam menyusun
program kelompok usaha 4,53 Kekuatan
4. Tehnologi modern yang dimiliki kelompok usaha
untuk mendukung kegiatan 3,06 Kelemahan
5. Kemampuan/pengusahaan ilmu pengetahuan untuk
percepatan perkembangan kegiatan kelompok 3,59 Kekuatan
6. Kemampuan/penguasaan teknologi bidang usaha oleh
anggota kelompok 3,33 Kelemahan
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 67
Berdasarkan tabel di atas, dari 15 indikator faktor internal, terdapat 7
indikator merupakan kelemahan di wilayah kajian ini. Sisanya terdapat 8 indikator
yang menjadi kekuatan, sehingga secara rerata diperoleh nilai sebesar 3,54 yang
mengarah atau mendekati 4. Hal ini bermakna secara keseluruhan dari faktor
internal kelompok usaha sudah relative memiliki lebih banyak kekuatan
berbanding kelemahan.
5.3.2 Faktor Eksternal (Kesempatan dan Tantangan)
Faktor eksternal (kesempatan dan tantangan) merupakan kajian faktor
yang berada di luar yang tidak mampu dipengaruhi oleh stakeholder di daerah
kajian, namun faktor ini memberikan dampak terhadap perkembangan kelompok
usaha.
7. Kecukupan modal usaha yang disediakan oleh
Program Bansos 3,35 Kelemahan
8. Penyajian buku laporan keuangan usaha 3,12 Kelemahan
9. Ketrampilan manajemen keuangan usaha 3,29 Kelemahan
10. Ketrampilan manajemen pemasaran komoditas 3,51 Kekuatan
11. Kondisi koperasi/badan usaha 3,22 Kelemahan
12. Setiap anggota kelompok memiliki akses terhadap
segala informasi dan proses pengambilan keputusan 3,73 Kekuatan
13
Anggota kelompok berperan secara aktif dalam proses
atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai
dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan
pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan
tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materil
4,23 Kekuatan
14 Pengelolaan keuangan dapat dipertanggungjawabkan
setiap anggota kelompok usaha secara baik 3,57 Kekuatan
15
Keuangan usaha dikelola secara tepat waktu dan tepat
guna yang didukung dengan bukti-bukti administrasi
yang dapat dipertanggungjawabkan
3,53 Kekuatan
Rerata 3,54 Kekuatan
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 68
Berdasarkan hasil kajian untuk menggali pandangan responden terhadap
indikator faktor eksternal ini akan disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 5.15
FAKTOR EKSTERNAL (PELUANG DAN TANTANGAN)
Sumber: Hasil Penelitian, 2015 (diolah)
Berdasarkan gambaran hasil sebagaiman tabel di atas, dapat dilihat banyaknya
peluang atau kesempatan yang sudah dimiliki di wilayah penelitian . Responden
berpendapat bahwa kemudahan memperoleh layanan program BANSOS dari
pemerintah kecamatan/kabupaten masih merupakan tantangan dan peraturan
No Pertanyaan Mean Kesimpulan
1. Kemudahan memperoleh layanan program BANSOS
dari pemerintah kecamatan/kabupaten 3,14 Tantangan
2. Peraturan perundangan untuk program BANSOS 3,20 Tantangan
3. Pembinaan oleh lembanga pemerintah 3,92 Peluang
4. Pembinaan oleh lembanga non pemerintah 2,73 Tantangan
5. Peluang atau adanya potensi yang memadai untuk
pengembangan kelompok usaha 3,63 Peluang
6 Segala keputusan yang diambil dalam musyawarah
desa berpihak kepada masyarakat miskin 3,55 Peluang
7 Setiap pengambilan keputusan atau tindakan
pemerintahan desa, mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan pemeliharaan kegiatan
telah mempertimbangkan sistem pelestariannya
3,53 Peluang
8 Peran lembaga pendampingan yang membantu
kelancaran anggota/kelompok usaha. 2,98 Tantangan
9 Akses Transportasi 3,59 Peluang
10 Akses Komunikasi 4,57 Peluang
11 Kondisi keamanan lingkungan 3,90 Peluang
12 Keadaan bencana 3,47 Tantangan
Rerata 3,52 Peluang
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 69
perundangan untuk program ini juga masih dikategorikan tantangan. Selain itu
tidak adanya pembinaan oleh lembanga non pemerintah, dan masih rendahnya
peran lembaga pendampingan program yang dapat membantu kelancaran
kelompok usaha serta keadaan bencana yang masih menghambat pengembangan
usaha juga merupakan tantangan yang masih harus diselesaikan terlebih dahulu.
Namun, sudah baiknya pembinaan oleh lembaga pemerintah, terdapatnya
potensi pengambangan usaha yang memadai, berpihaknya keputusan musyawarah
desa kepada masyarakat miskin, dan sudah mulai baiknya tahapan pengambilan
keputusan pada tingkat pemerintahan desa merupakan peluang/kesempatan bagi
pemberdayaan kelompok usaha. Lebih lanjut, akses transportasi, komunikasi, dan
kondisi keamanan lingkungan yang semakin kondusif merupakan peluang yang
dapat mendukung kegiatan usaha baik secara individu maupun kelompok.
Secara menyeluruh, nilai rerata faktor ekstenal adalah 3,52 yang
menunjukkan peluang pengembangan usaha relative sudah baik ditinjau dari
indikator faktor pendukung dari luar kelompok usaha tersebut.
5.3.3 Pemetaan Hasil Analisis SWOT
Berdasarkan hasil analisis kekuatan, kelemahan, kesempatan dan tantangan
di atas, maka dapat dilakukan pemetaan terhadap hasil SWOT yang dapat
digambarkan sebagai berikut:
Tabel 5.16 Pemetaan Hasil Analisis SWOT
No. Kekuatan Kelemahan Peluang Tantangan
1. Fasilitas yang
tersedia dan dimiliki
untuk mendukung
kegiatan usaha.
Kemudahan
memperoleh
informasi tentang
Program Bansos
Pembinaan oleh
lembanga
pemerintah.
Kemudahan
memperoleh
layanan program
BANSOS dari
pemerintah.
2. Kemudahan ikut
berpartisipaso dalam
menyusun program
kelompok usaha.
Tehnologi modern
yang dimiliki
kelompok usaha
untuk mendukung
kegiatan.
Peluang atau adanya potensi yang memadai untuk pengembangan kelompok usaha.
Peraturan
perundangan
untuk program
BANSOS.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 70
3. Kemampuan/pengus
ahaan ilmu
pengetahuan untuk
percepatan
perkembangan
kegiatan kelompok.
Kemampuan/peng
uasaan teknologi
bidang usaha oleh
anggota kelompok
Segala
keputusan yang
diambil dalam
musyawarah
desa berpihak
kepada
masyarakat
miskin
Pembinaan oleh
lembanga non
pemerintah.
4. Ketrampilan
manajemen
pemasaran
komoditas.
Kecukupan modal
usaha yang
disediakan oleh
Program Bansos
Setiap
pengambilan
keputusan atau
tindakan
pemerintahan
desa, mulai dari
tahap
perencanaan,
pelaksanaan,
pengendalian
dan
pemeliharaan
kegiatan telah
mempertimbang
kan sistem
pelestariannya
Peran lembaga
pendampingan
yang membantu
kelancaran
anggota/kelomp
ok usaha.
5. Setiap anggota
kelompok memiliki
akses terhadap segala
informasi dan proses
pengambilan
keputusan.
Penyajian buku
laporan keuangan
usaha
Akses
Transportasi
Keadaan
bencana.
6. Anggota kelompok berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam
bentuk materil.
Ketrampilan manajemen keuangan usaha
Akses
Komunikasi
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 71
Sumber: Hasil Penelitian, 2015 (diolah)
Berdasarkan hasil pemetaan analisis SWOT di atas, maka dapat dijelaskan
bahwa terdapat delapan elemen yang merupakan kekuatan dan tujuh elemen
kelemahan. Kekuatan dan kelemahan tersebut merupakan tinjauan analisis dari
sisi internal. Selanjutnya dari sisi ekternal, yang merupakan peluang berjumlah
tujuh elemen dan terdapat lima komponen sebagai tantangan.
Mengacu kepada pemetaan faktor internal dan eksternal di atas, maka dapat
disusun suatu strategi sebagai berikut:
1. Strategi S-O (Kekuatan – Peluang)
Strategi ini menggambarkan dengan kekuatan yang ada di internal agar
dapat dipergunakan untuk memanfaatkan peluang dari sisi ekternal. Secara lebih
terperinci dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 5.17 Strategi S – O (Kekuatan – Kesempatan) BANSOS
7. Pengelolaan
keuangan dapat
dipertanggungjawabk
an setiap anggota
kelompok usaha
secara baik.
Kondisi
koperasi/badan
usaha.
Kondisi
keamanan
lingkungan.
8. Keuangan usaha
dikelola secara tepat
waktu dan tepat guna
yang didukung
dengan bukti-bukti
administrasi yang
dapat dipertanggung
jawabkan.
No. Kekuatan
(S)
Peluang
(O)
1. Fasilitas yang tersedia dan dimiliki untuk
mendukung kegiatan usaha.
Pembinaan oleh lembanga
pemerintah.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 72
Sumber: Hasil Penelitian, 2015 (diolah)
Berdasarkan pemetaan pada tabel di atas, maka Pemerintah Aceh dapat
melakukan strategi sebagai berikut:
Mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas yang tersedia dan dimiliki untuk
mendukung kegiatan usaha, kemudahan ikut berpartisipasi dalam menyusun
program kelompok usaha, memanfaatkan kemampuan/pengusahaan ilmu
2. Kemudahan ikut berpartisipaso dalam
menyusun program kelompok usaha.
Peluang atau adanya potensi yang
memadai untuk pengembangan
kelompok usaha.
3.
Kemampuan/pengusahaan ilmu
pengetahuan untuk percepatan
perkembangan kegiatan kelompok.
Segala keputusan yang diambil
dalam musyawarah desa berpihak
kepada masyarakat miskin
4. Ketrampilan manajemen pemasaran
komoditas.
Setiap pengambilan keputusan atau
tindakan pemerintahan desa, mulai
dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan
pemeliharaan kegiatan telah
mempertimbangkan sistem
pelestariannya
5. Setiap anggota kelompok memiliki akses
terhadap segala informasi dan proses
pengambilan keputusan.
Akses Transportasi
6. Anggota kelompok berperan secara aktif
dalam proses atau alur tahapan program
dan pengawasannya, mulai dari tahap
sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan
pelestarian kegiatan dengan memberikan
sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam
bentuk materil.
Akses Komunikasi
7. Pengelolaan keuangan dapat
dipertanggungjawabkan setiap anggota
kelompok usaha secara baik.
Kondisi keamanan lingkungan.
8. Keuangan usaha dikelola secara tepat
waktu dan tepat guna yang didukung
dengan bukti-bukti administrasi yang
dapat dipertanggungjawabkan.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 73
pengetahuan untuk percepatan perkembangan kegiatan kelompok, memanfaatkan
ketrampilan manajemen pemasaran komoditas, setiap anggota kelompok memiliki
akses terhadap segala informasi dan proses pengambilan keputusan. Selanjutnya,
memanfaatkan anggota kelompok berperan secara aktif dalam proses atau alur
tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan,
pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga,
pikiran, atau dalam bentuk materil. Memanfaatkan kekuatan pengelolaan
keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan setiap anggota kelompok usaha
secara baik. Memanfaatkan kemampuan manajemen keuangan usaha yang mampu
dikelola secara tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti-bukti
administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini didorong oleh adanya
peluang Pembinaan oleh lembanga pemerintah sudah membaik, adanya potensi
yang memadai untuk pengembangan kelompok usaha, segala keputusan yang
diambil dalam musyawarah desa berpihak kepada masyarakat miskin, setiap
pengambilan keputusan atau tindakan pemerintahan desa, mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemeliharaan kegiatan telah
mempertimbangkan sistem pelestariannya, baiknya akses transportasi,
komunikasi, dan kondisi keamanan lingkungan.
2. Strategi S - T (Kekuatan – Tantangan)
Strategi ini menggambarkan dengan kekuatan yang ada di internal agar
dapat dipergunakan untuk menghadapi tantangan dari sisi ekternal. Secara lebih
terperinci dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 5.18 Strategi S – T (Kekuatan – Tantangan) BANSOS
No. Kekuatan
(S)
Tantangan
(T)
1. Fasilitas yang tersedia dan dimiliki untuk
mendukung kegiatan usaha.
Kemudahan memperoleh layanan
program BANSOS dari pemerintah.
2. Kemudahan ikut berpartisipaso dalam
menyusun program kelompok usaha.
Peraturan perundangan untuk program
BANSOS.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 74
Sumber: Hasil Penelitian, 2015 (diolah)
Berdasarkan pemetaan pada tabel di atas, maka Pemerintah Aceh dapat
melakukan strategi sebagai berikut:
pemanfaatan fasilitas yang tersedia dan dimiliki untuk mendukung kegiatan usaha,
kemudahan ikut berpartisipasi dalam menyusun program kelompok usaha,
memanfaatkan kemampuan/pengusahaan ilmu pengetahuan untuk percepatan
perkembangan kegiatan kelompok, memanfaatkan ketrampilan manajemen
pemasaran komoditas, setiap anggota kelompok memiliki akses terhadap segala
informasi dan proses pengambilan keputusan. Selanjutnya, memanfaatkan anggota
kelompok berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan
pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan
pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam
bentuk materil. Memanfaatkan kekuatan pengelolaan keuangan yang dapat
3. Kemampuan/pengusahaan ilmu pengetahuan
untuk percepatan perkembangan kegiatan
kelompok.
Pembinaan oleh lembanga non
pemerintah.
4. Ketrampilan manajemen pemasaran
komoditas.
Peran lembaga pendampingan yang
membantu kelancaran
anggota/kelompok usaha.
5. Setiap anggota kelompok memiliki akses
terhadap segala informasi dan proses
pengambilan keputusan.
Keadaan bencana.
6.
Anggota kelompok berperan secara aktif
dalam proses atau alur tahapan program dan
pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi,
perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian
kegiatan dengan memberikan sumbangan
tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materil.
7.
Pengelolaan keuangan dapat
dipertanggungjawabkan setiap anggota
kelompok usaha secara baik.
8.
Keuangan usaha dikelola secara tepat waktu
dan tepat guna yang didukung dengan bukti-
bukti administrasi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 75
dipertanggungjawabkan setiap anggota kelompok usaha secara baik.
Memanfaatkan kemampuan manajemen keuangan usaha yang mampu dikelola
secara tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti-bukti administrasi
yang dapat dipertanggungjawabkan. untuk menghadapi masih sulitnya
memperoleh layanan program BANSOS dari pemerintah, belum kuatnya peraturan
perundangan untuk program BANSOS, masih kurangnya pembinaan oleh
lembanga non pemerintah, masih kurangnya peran lembaga pendampingan yang
membantu kelancaran anggota/kelompok usaha, dan seringnya terjadi bencana. .
3. Strategi W - O (Kelemahan – Peluang)
Strategi ini merekomendasikan dengan menghilangkan kelemahan yang ada
di internal agar dapat manfaatkan peluang dari sisi ekternal. Secara lebih
terperinci dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 5.19. Strategi W – O (Kelemahan – Peluang) BANSOS
No. Kelemahan
(W)
Peluang
(O)
1. Kemudahan memperoleh informasi
tentang Program Bansos Pembinaan oleh lembanga
pemerintah.
2. Tehnologi modern yang dimiliki
kelompok usaha untuk mendukung
kegiatan.
Peluang atau adanya potensi yang
memadai untuk pengembangan
kelompok usaha.
3. Kemampuan/penguasaan teknologi
bidang usaha oleh anggota kelompok
Segala keputusan yang diambil
dalam musyawarah desa berpihak
kepada masyarakat miskin
4. Kecukupan modal usaha yang disediakan
oleh Program Bansos
Setiap pengambilan keputusan atau
tindakan pemerintahan desa, mulai
dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan
pemeliharaan kegiatan telah
mempertimbangkan sistem
pelestariannya
5. Penyajian buku laporan keuangan usaha Akses Transportasi
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 76
Sumber: Hasil Penelitian, 2015 (diolah)
Berdasarkan pemetaan pada tabel di atas, maka Pemerintah Kabupaten
Aceh dapat melakukan strategi sebagai berikut:
Menghilangkan kelemahan seperti kurangnya kemudahan memperoleh informasi
tentang Program Bansos, lemahnya tehnologi modern yang dimiliki kelompok
usaha untuk mendukung kegiatan, lemahnya kemampuan/penguasaan teknologi
bidang usaha oleh anggota kelompok, kurangnya modal usaha yang disediakan
oleh Program Bansos, lemahnya penyajian buku laporan keuangan usaha,
rendahnya ketrampilan manajemen keuangan usaha, kelemahan koperasi/badan
usaha.untuk memanfaatkan peluang membaiknya pembinaan oleh lembanga
pemerintah sudah membaik, adanya potensi yang memadai untuk pengembangan
kelompok usaha, segala keputusan yang diambil dalam musyawarah desa berpihak
kepada masyarakat miskin, setiap pengambilan keputusan atau tindakan
pemerintahan desa, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan
pemeliharaan kegiatan telah mempertimbangkan sistem pelestariannya, baiknya
akses transportasi, komunikasi, dan kondisi keamanan lingkungan.
4. Strategi W - T ( Kelemahan – Tantangan)
Strategi ini menggambarkan dengan menghilangkan kelemahan yang ada di
internal agar dapat dipergunakan untuk menghadapi tantangan dari sisi ekternal.
Secara lebih terperinci dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 5.20 Strategi W – T (Kelemahan – Tantangan)
6. Ketrampilan manajemen keuangan
usaha Akses Komunikasi
7. Kondisi koperasi/badan usaha. Kondisi keamanan lingkungan.
No. Kelemahan (W)
Tantangan (T)
1. Kemudahan memperoleh informasi tentang
Program Bansos
Kemudahan memperoleh layanan
program BANSOS dari pemerintah.
2. Tehnologi modern yang dimiliki kelompok
usaha untuk mendukung kegiatan.
Peraturan perundangan untuk
program BANSOS.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 77
Sumber: Hasil Penelitian, 2015 (diolah)
Berdasarkan pemetaan pada tabel di atas, maka Pemerintah Aceh dapat
melakukan strategi sebagai berikut:
Menghilangkan kelemahan seperti kurangnya kemudahan memperoleh informasi
tentang Program Bansos, lemahnya tehnologi modern yang dimiliki kelompok
usaha untuk mendukung kegiatan, lemahnya kemampuan/penguasaan teknologi
bidang usaha oleh anggota kelompok, kurangnya modal usaha yang disediakan
oleh Program Bansos, lemahnya penyajian buku laporan keuangan usaha,
rendahnya ketrampilan manajemen keuangan usaha, kelemahan koperasi/badan
usaha untuk menghadapi serangan atau tantangan mempermudah memperoleh
layanan program BANSOS dari pemerintah, menghasilkan peraturan perundangan
untuk mendukung program BANSOS, mengajak pihak non pemerintah dalam
pembinaan, peningkatan peran lembaga pendampingan yang membantu
kelancaran anggota/kelompok usaha, dan menghadapi keadaan bencana.
3. Kemampuan/penguasaan teknologi bidang
usaha oleh anggota kelompok
Pembinaan oleh lembanga non
pemerintah.
4. Kecukupan modal usaha yang disediakan
oleh Program Bansos
Peran lembaga pendampingan
yang membantu kelancaran
anggota/kelompok usaha.
5. Penyajian buku laporan keuangan usaha Keadaan bencana.
6. Ketrampilan manajemen keuangan usaha
7. Kondisi koperasi/badan usaha.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 78
BAB VI
PENUTUP
1. Kesimpulan
Jumlah responden dari 102 penerima dana bansos yang diteliti, hanya
terdapat 52 responden (50,9%) dapat teridentifikasi dan memberi informasi
kepada penelitian ini. Berdasarkan hasil dan analis dari 50,9% responden tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Mekanisme penyaluran dan pertanggungjawaban dana Bansos masih
bervariasi dan belum optimal menyeleksi kelompok yang layak diberikan
Bansos. Sinergitas dan koordinasi antar lembaga sangat lemah sehingga
banyak aparatur desa serta dinas terkait tidak mengetahui siapa saja yang
mendapatkan dana Bansos. Pada akhirnya, proses seleksi, pengawasan dan
pembinaan menjadi tidak optimal
2. Bansos telah memberikan pengaruh yang baik dalam peningkatan pendapatan,
keberlanjutan usaha dan kemandirian ekonomi kelompok penerima terutama
pada kelompok usaha yang memiliki pengalaman berusaha, adanya
pendampingan dan modal yang mencukupi
3. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa faktor internal kelompok usaha
sudah relative memiliki lebih banyak kekuatan berbanding kelemahan.
Peluang pengembangan usaha relative sudah baik ditinjau dari indikator
faktor pendukung dari luar kelompok usaha tersebut.
2. Saran
1. Mekanisme penyaluran Bansos perlu diperbaiki secara seksama untuk
menutupi celah penyalahgunaan atau ketidakefektivan penggunaan Bansos
dengan cara:
a. Memperkuat seleksi usaha yang akan mendapatkan bansos dengan
melibatkan lebih banyak aparatur desa, tidak hanya keucik saja yang
memiliki kepentingan politik.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 79
b. Diutamakan diberikan kepada usaha yang sudah berjalan (ada SITU)
dan diperlukan adanya wawancara untuk menguji kelayakan kelompok
usaha pengusul proposal dana Bansos.
c. Proposal diajukan ke dinas ditingkat kabupaten agar koordinasi dan
pengawasan lebih mudah dilakukan.
d. Sosialiasi dana Bansos harus dibuka untuk umum sehingga proses
seleksi dapat dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan
2. Untuk membangun kemandirian kelompok diperlukan usaha seperti:
a. Penyediaan asistensi atau pendampingan kepada kelompok, terutama
kelompok baru.
b. Adanya Kerjasama dengan aparatur desa sehingga usaha yang
didukung oleh seluruh masysrakat desa, seperti penggunaan dan
pemasaran produk yang dihasilkan.
c. Mekanisme penyaluran bansos yang dapat memastikan penerima tepat
sasaran.
d. Usaha yang dibangun sesuai dengan ketrampilan kelompok
e. Bantuan sebaiknya berupa peralatan usaha.
f. Adanya kegiatan pelatihan kepada calon penerima dana bansos,
terutama pelatihan yang bertujuan untuk penguatan kelembagaan dan
keterampilan tehnis usaha.
3. Strategi kebijakan yang perlu dilakukan dalam pembinaan kelompok
usaha adalah memanfaatkan anggota kelompok berperan secara aktif
dalam proses pengambilan keputusan kelompok mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemeliharaan kegiatan.
Peran pemerintah dapat ditingkatkan melalui :
a. Sosialisasi program bansos kepada masyarakat penerima perlu
ditingkatkan. hal ini dapat dilaksanakan dengan bekerjasama dengan
pemerintahan gampong, kecamatan, dinas kabupaten dan dinas terkait
di provinsi.
KAJIAN ALOKASI APBA UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI TAHUN 2015 80
b. Pelaksanaan dan pengawasan program juga perlu ditingkatkan dengan
melibatkan pimpinan gampong, dan juga menyediakan pendampingan
dan arahan yang jelas.
c. Pendampingan perlu di arahkan kepada sektor pemasaran produk,
selain teknis produksi dan administrasi.
DAFTAR PUSTAKA:
Chambers, R. 1995. Rural development : putting the last first. London ; New
York:Longman.
Delli, Herman. 2014. Peranan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (Spip)
dalam Mengelola Belanja Bantuan Sosial (Studi Kasus pada Pemerintah Daerah
Kabupaten Aceh Tengah), Tesis-UGM, 2014
http://nasional.tempo.co/read/news/2011/07/14/173346495/penduduk
Indonesia-masuk-peringkat-4-dunia.
https://andinurhasanah.wordpress.com/2012/11/08/kemiskinan-dan-
kesenjangan/
Ife, Jim. 1995. Community development: Creating community alternativesvision, analysis and practice, Australia, Longman Pty Ltd.
Kartasasmita Ginanjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat. Pustaka Gramedia Jakarta.
Mardi Yatmo Hutomo. 2000, Pemberdayaan Masyarkat dalam Bidang Ekonomi: Tinjauan Teoritik dan Implementasi, Naskah No.20 Juni-Juli
Parson, Ruth J., James D. Jorgensen, Santos H. Hernandez. 1994. The Integration of
Social Work Practice, California: Wadsworth, Inc
Payne. 1997. Modern Social Work Theory.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial
Pujiana, Y. Tria. 2015. Studi tentang program nasional pemberdayaan masyarakat
mandiri pedesaan di kantor unit pengelolaan kegiatan di kecamatan teluk
pandan kabupaten kutai timur, eJournal Administrasi Negara, 3 (1) 2015:
393-403
Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Robinson. 1994. The Ethnography Of Empowerment: The Transformative Power
Of Classroom interaction, Taylor. Francis.
Swift, C dan G. Levin. 1987. An Emerging Mental Health Technology, Journal of
Primary Prevention, USA
Sumodiningrat Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Gramedia. Jakarta.