tugas teori hukum
Post on 30-Nov-2015
286 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
TEORI TUJUAN HUKUM DALAM KONSEP NEGARA HUKUM
Oleh : Sumaryono
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum tidak hanya berdasarkan pada
kekuasaan belaka, selain itu juga berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar
1945. Hal ini berarti Negara Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
menjamin segala warga negaranya bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa ada
kecualinya. Pernyataan bahwa Indonesia merupakan negara hukum juga mempunyai
konsekuensi, bahwa Negara Indonesia menerapkan hukum sebagai idiologi untuk
menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negara,
sehingga hukum itu bersifat mengikat bagi setiap tindakan yang dilakukan oleh
warganegaranya. Negara hukum harus memenuhi beberapa unsur antara lain
pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, harus berdasar hukum atau
peraturan perundang-undangan, adanya jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya
pembagian kekuasaan dalam Negara, adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.
Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan
panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun
ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk
menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut
pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang
1
yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.
Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu
sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan
menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang
tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang
rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law
enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang
paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum
dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula
sebuah Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai ‘the guardian’ dan sekaligus‘the
ultimate interpreter of the constitution’. Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain
terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan
konsep ‘nomocracy’yang berasal dari perkataan ‘nomos’dan ‘cratos’. Perkataan
nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam
demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang
dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma
atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan
hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law”
yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of
Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri,
2
bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide
nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani
Kuno.1
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum
dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan
kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.2
Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara yang
berediri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan
merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan
sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia
agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang
sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi
pergaulan hidup antar warga negaranya.3 Menurut Aristoteles yang memerintah dalam
negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan
penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan
yang akan menentukan baik tidaknya suatu peraturan undang-undang dan membuat
undang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara.
Oleh karena itu Menurut, bahwa yang pentinng adalah mendidik manusia menjadi
1 http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf2 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010, hal, 46.
3 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Sinar Bakti, 1988), hal.153.
3
warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan
hidup warga negaranya.4 Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham
negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum
(supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan
penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of
law). Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal
protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law). Perbedaan
perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus, misalnya, anak-anak yang
di bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang berbeda dengan anak-anak yang di atas
17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuan tidak
dibolehkan jika tanpa alasan yang logis, misalnya karena perbedaan warna kulit,
gender agama dan kepercayaan, sekte tertentu dalam agama, atau perbedaan status
seperti antara tuan tanah dan petani miskin. Meskipun demikian, perbedaan perlakuan
tanpa alasan yang logis seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai
negara, termasuk di negara yang hukumnya sudah maju sekalipun.5
Menurut Dicey, Bahwa berlakunya Konsep kesetaraan dihadapan hukum
(equality before the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak
seorang pun berada di atas hukum (above the law).6 Istilah due process of law
mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil. Konsep due
4 Ibid. hal,154.5 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) , (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal.
207.6 Ibid., hal.3.
4
process of law sebenarnya terdapat dalam konsep hak-hak fundamental (fundamental
rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasaan yang tertib (ordered liberty).7
Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep
hukum tentang “keadilan yang fundamental” (fundamental fairness). Perkembangan ,
due process of law yang prossedural merupakan suatu proses atau prosedur formal
yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh yang berwenang, misalnya
dengan kewajiban membawa surat perintah yang sah, memberikan pemberitahuan
yang pantas, kesempatan yang layak untuk membela diri termasuk memakai tenaga
ahli seperti pengacara bila diperlukan, menghadirkan saksi-saksi yang cukup,
memberikan ganti rugi yang layak dengan proses negosiasi atau musyawarah yang
pantas, yang harus dilakukan manakala berhadapan dengan hal-hal yang dapat
mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup,
hak untuk kemerdekaan atau kebebasan (liberty), hak atas kepemilikan benda, hak
mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak untuk bekerja dan mencari
penghidupan yang layak, hak pilih, hak untukberpergian kemana dia suka, hak atas
privasi, hak atas perlakuan yang sama (equal protection) dan hak-hak fundamental
lainnya.8 Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang substansif adalah
suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan hukum
tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan manusia secara
tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang.9
7 Ibid. hal,46.8 Ibid. hal.47.9 Ibid.
5
B. Pembahasan
Indonesia secara normatif adalah negara hukum, secara empiris questionable.
Konsepsi atau istilah "negara hukum" tidak ditemukan dalam naskah asli UUD 1945
yang menjadi hukum dasar pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, namun hanya ditemukan dalam
penjelasan UUD 1945, yaitu istilah rechtsstaat yang dilawankan dengan istilah
machtstaat. Setelah perubahan ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9
November 2001, dalam Pasal 1 (3) secara tegas disebutkan bahwa "Negara Indonesia
adalah negara hukum", rumusan seperti ini juga terdapat dalam Konstitusi RIS Tahun
1949 dan UUDS Tahun 1950.
Negara hukum adalah negara yang berlandaskan atas hukum dan yang
menjamin keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan
tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan
hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan
mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya10.
Istilah negara hukum11 dalam bahasa Belanda disebut rechtsstaat, Francis
mempergunakan istilah etat de droit, di Jerman digunakan istilah yang sama dengan
Belanda, yaitu rechtsstaat. Istilah-istilah etat de droit atau rechtsstaat yang digunakan
di Eropa Kontinetal adalah istilah-istilah yang tidak tepat dalam sistem hukum Inggris,
10 Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asaz-Asaz Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991), hal. 110.
11 Munculnya paham negara hukum adalah sebagai akibat sistem pemerintaha absolutisme pada negara-negara di Benua Eropa. Pemikiran yang reaktif inj lahir sebagai suatu sistem rasional yang menggantikan absolutisme yang tiranik. Paham rechtstaat lahir dari suatu perjuangan terhadap absolutisme sehingga perkembangannya bersifat revolusioner, yang bertumpu pada sistem hukui kontinental yang disebut civil law atau modern Romawi law.
6
meskipun ungkapan legal state atau state according to law atau the rule of law
mencoba mengungkapkan suatu ide yang pada dasarnya sama. Dalam terminologi
Inggris dikenal dengan ungkapan the state according to law atau according to the rule
of law.12 Istilah the rule of law dalam perkembangan hukum di Indonesia disebut juga
dengan negara hukum. Djokosoetono menyebutnya dengan istilah negara hukum yang
demokratis.13
Profesor Utrecht membedakan ntara Negara Hukum Formil atau Negara
Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiel atau Negara Hukum Modern14. Negara
Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu
dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu
Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di
dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing
Society’ membedakan antara ‘rule of law’dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized
public power’, dan ‘rule of law’dalam arti materiel yaitu ‘the rule of just law’.
Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum
itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena
pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian
hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika
hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan
semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit
12 Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, (Jakarta: UI-Press, 1995), hal. 2 & 30.
13 Ibid.14 Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1962), hal. 9.
7
dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping
istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just
law’untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’tercakup
pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan
perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the
rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam
istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang Negara
Hukum di zaman sekarang. Namun demikian, terlepas dari perkembangan pengertian
tersebut di atas, konsepsi tentang Negara Hukum di kalangan kebanyakan ahli hukum
masih sering terpaku kepada unsur-unsur pengertian sebagaimana dikembangkan pada
abad ke-19 dan abad ke-20. Sebagai contoh, tatkala merinci unsur-unsur pengertian
Negara Hukum (Rechtsstaat), para ahli selalu saja mengemukakan empat unsur
‘rechtsstaat’, dimana unsurnya yang keempat adalah adanya ‘administratieve
rechtspraak’ atau peradilan tata usaha Negara sebagai ciri pokok Negara Hukum.
Tidakada yang mengaitkan unsur pengertian Negara Hukum Modern itu dengan
keharusan adanya kelembagaan atau setidak-tidaknya fungsi Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga pengadilan tata Negara. Jawabannya ialah karena konsepsi Negara
Hukum (Rechtsstaat) sebagaimana banyak dibahas oleh para ahli sampai sekarang
adalah hasil inovasi intelektual hukum pada abad ke 19 ketika Pengadilan
Administrasi Negara itu sendiri pada mulanya dikembangkan; sedangkan Mahkamah
Konstitusi baru dikembangkan sebagai lembaga tersendiri di samping Mahkamah
Agung atas jasa Professor Hans Kelsen pada tahun 1919, dan baru dibentuk pertama
8
kali di Austria pada tahun 1920. Oleh karena itu, jika pengadilan tata usaha Negara
merupakan fenomena abad ke-19, maka pengadilan tata negara adalah fenomena abad
ke-20 yang belum dipertimbangkan menjadi salah satu ciri utama Negara Hukum
kontemporer. Oleh karena itu, patut kiranya dipertimbangkan kembali untuk
merumuskan secara baru konsepsi Negara Hukum modern itu sendiri untuk kebutuhan
praktek ketatanegaraan pada abad ke-21 sekarang ini. 15
Dicey mendefinisikan the rule of law dengan mengemukakan tiga hal, yaitu (1)
the absolute predominance of the law (keunggulan mutlak hukum); (2) equality before
the law (persamaan di hadapan hukum); dan (3) the concept according to which the
constitution is the result of the recognition of individual rights by judges (konsep
menurut makna konstitusi adalah hasil dari pengakuan hak-hak individual oleh para
hakim).16
Dicey menjelaskan bahwa supremasi absolut atau keunggulan regular law
untuk menentang pengaruh dari kekuasaan sewenang-wenang dan meniadakan adanya
kesewenang-wenangan prerogatif ataupun wewenang diskresi yang luas pada pihak
pemerintah. Equality before the law dimaksudkan Dicey adalah semua warga negara
sama kedudukannya di hadapan hukum, penundukan yang sama dari semua golongan
kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary, court. The rule of
law dalam pengertian ini bahwa para pejabat negara tidak bebas dari kewajiban untuk
menaati hukum yang mengatur warga negara biasa atau dari yurisdiksi peradilan biasa.
15 http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf.16 Ibid, hal.24.
9
Konsep negara hukum Dicey, sebagai pandangan murni dan sempit, oleh
karena dari ketiga pengertian dasar yang diketengahkannya tentang the rule of law,
intinya adalah common law sebagai dasar perlindungan kebebasan individu terhadap
kesewenang-wenangan penguasa. Perlindungan common law hanya dapat meluas
kepada kebebasan pribadi, seperti kebebasan berbicara, tetapi tidak dapat assure the
citizen's economic or social well being. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep
negara hukum (the rule of law) yang diungkapkan Dicey mengalami perluasan
pengertian dengan analisis yang lebih mendalam. Wade mengidentifikasi lima aspek
the rule of law berikut ini:
1. Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum.
2. Pemerintah harus berprilaku di dalam suatu bingkai yang diakui peraturan
perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi kekuasaan diskresi.
3. Sengketa mengenai keabsahan tindakan pemerintah akan diputuskan oleh
pengadilan yang murni independen dari eksekutif.
4. Harus seimbang antara pemerintah dan warga negara.
5. Tidak seorangpun dapat dihukum, kecuali atas kejahatan yang ditegaskan
menurut undang-undang.17
Sedangkan Wade memberikan pandangan berkaitan dengan the rule of law
adalah mencegah penyalahgunaan kekuasaan diskresi. Diskresi bukan sesuatu
kewenangan yang tanpa batas, namun tetap dalam bingkai hukum atau tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Pemerintah juga dilarang menggunakan
17 Loc.Cit.
10
privilege yang tidak perlu atau bebas dari aturan hukum biasa.18 Terhadap pandangan
yang diungkapkan Wade di atas, oleh Josep Raz dikemukakan lebih deskriptis lagi,
dengan mengajukan beberapa asas sebagai tambahan, yaitu seperti berikut ini.
1. Semua undang-undang harus prospektif, terbuka dan jelas.
2. Undang-undang harus relatif stabil.
3. Pembuatan undang-undang tertentu harus dipedomani oleh aturan-aturan
terbuka, stabil, jelas, dan umum.
4. Kemerdekaan peradilan harus dijamin.
5. Prinsip-prinsip keadilan alami harus dipatuhi
6. Pengadilan-pengadilan harus memiliki kekuasaan peninjauan (hak menguji)
terhadap implementasi prinsip-prinsip tersebut.
7. Pengadilan-pengadilan harus dengan mudah dapat dicapai.
8. Diskresi dari petugas-petugas pencegahan kejahatan janganlah diizinkan untuk
merintangi hukum.
Sedangkan menurut Friedrich Julius Stahl negara harus menjadi negara hukum,
itulah semboyan dan sebenarnya juga daya pendorong daripada perkembangan pada
zaman baru ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-
batas kegiatannya bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa dapat
ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlak dari segi
negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh daripada seharusnya menurut suasana
hukum. Inilah pengertian negara hukum, bukannya misalnya, bahwa negara itu hanya
mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi
18 Loc. Cit.
11
hak-hak dari perseorangan. Negara hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi
daripada negara, melainkan hanya cara dan untuk mewujudkannya19. Kemudian
Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur rechtstaats dalam arti klasik,
yaitu:20
1. Hak-hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-
negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica);
3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Sedangkan Paul Scholten, menyebut dua ciri daripada negara hukum, yang
kemudian diuraikan secara meluas dan kritis. Ciri yang utama daripada negara hukum
ialah : “er is recht tegenover den staat”, artinya kawula negara itu mempunyai hak
terhadap negara, individu mempunyai hak terhadap masyarakat. Asas ini sebenarnya
meliputi dua segi, yakni sebagai berikut :
1. Manusia itu mempunyai suasana tersendiri, yang pada asasnya terletak di luar
wewenang negara;
2. Pembatasan suasana manusia itu hanya dapat dilakukan dengan ketentuan
undang-undang, dengan peraturan umum.
Ciri yang kedua daripada negara hukum menurut Paul Scholten berbunyi ; “er
is scheiding van machten”, artinya dalam negara hukum ada pemisahan kekuasaan21.
19 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal. 57.20 Ibid, hal. 57-58.21 Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi
Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970), hal. 25.
12
Selanjutnya Von Munch misalnya berpendapat bahwa unsur negara berdasarkan atas
hukum ialah adanya:22
1. Hak-hak asasi manusia;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Keterikatan semua organ negara pada undang-undang dasar dan keterikatan
peradilan pada undang-undang dan hukum;
4. Aturan dasar tentang peroporsionalitas (Verhaltnismassingkeit);
5. Pengawasan peradilan terhadap keputusan-keputusan (penetapan-penetapan)
kekuasaan umum;
6. Jaminan peradilan dan hak-hak dasar dalam proses peradilan;
7. Pembatasan terhadap berlaku surutnya undang-undang.
Menurut Arief Sidharta23, Scheltema, merumuskan pandangannya tentang
unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal
sebagai berikut:
1. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar
dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity).
2. Berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan menjamin
bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk
mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika
22 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaran Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990, hal.312.
23 B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3Tahun II, November 2004, hal.124-125.
13
kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat ‘predictable’. Asas-asas yang
terkandung dalam atau terkait dengan asas kepastian hukum itu adalah:
a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
b. Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang cara
pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan;
c. Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-undang
harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak;
d. Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil dan
manusiawi;
e. Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undang-
undangnya tidak ada atau tidak jelas;
f. Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam
undang-undang atau UUD.
3. Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law)
Dalam Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau
kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang
tertentu. Di dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi
semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme
untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
4. Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama
untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan
14
pemerintahan. Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip,
yaitu:
a. Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara
berkala;
b. Pemerintah bertanggungjawab dan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh
badan perwakilan rakyat;
c. Semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol
pemerintah;
d. Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh
semua pihak;
e. Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat;
f. Kebebasan pers dan lalu lintas informasi;
g. Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan
partisipasi rakyat secara efektif.
5. Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara
yang bersangkutan. Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai berikut:
a. Asas-asas umum peerintahan yang layak;
15
b. Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat
manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan,
khususnya dalam konstitusi;
c. Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki tujuan
yang jelas dan berhasil guna (doelmatig). Artinya, pemerintahan itu harus
diselenggarakan secara efektif dan efisien.
Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya, dalam konsep negara hukum, baik konsep rechtstaat atau the rule of
law, terdapat hal-hal yang intinya sama, yang mengandung asas legalitas, asas
pemisahan (pembagian) kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Kesemuanya itu bertujuan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari
kemungkinan bertindak sewenang-wenang, tirani atau penyalahgunaan kekuasaan.
Untuk dapat menjamin hal ini, maka negara hukum yang dikembangkan
bukanlah absolute rechtsstaat, melainkan demokratische rechtsstaat (demokratic rule
of law).24 Suatu negara yang menganut sistem demokrasi, maka segala sesuatunya
harus dirumuskan secara demokrasi, yaitu dengan melihat kehendak dan aspirasi dari
masyarakat luas, sehingga produk yang dihasilkan itu sesuai dengan keinginan hati
nurani rakyat. Tetapi apabila sebaliknya, maka terlihat bahwa produk hukum yang
dikeluarkan tersebut dapat membuat masyarakat menjadi resah cenderung tidak
mematuhi ketentuan itu.25 Dalam konsepsi seperti itu, maka politik pembaharuan
hukum harus merupakan pelaksanaan cita-cita bangsa dan tujuan nasional. Indonesia
24 Andi Mattalatta, Politik Hukum Peraturan Perundang-undangan, www.djpp.depkumham.go.id.25 Firdaus, Politik Hukum Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Negara Hukum, Jurnal Hukum
Islam, Vol.12 Nomor 10 September 2005, hal.1.
16
sebagai negara hukum yang demokratis, pembaharuan hukum yang hendak dilakukan
menuntut adanya produk hukum yang berkarakter populis, progresif dan terbatas
interpretasi.26
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, dimana tujuan
sistem hukum mensyaratkan terpenuhinya 3 (tiga) unsur yang selalu menjadi tumpuan
hukum, yakni keadilan (gerechtigkeit), kepastian (rechtsicherheit) dan kemanfaatan
(zwechtmassigket). 27
Hukum dalam pengertiannya yang umum adalah keseluruhan kaidah dan asas
yang berfungsi sebagai alat atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah
kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.28
Asas dan kaidah menggambarkan bahwa hukum dianggap sebagai gejala normatif.29
Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang
seyogyanya atau seharusnya dilakukan. Bagaimana orang seyogyanya atau seharusnya
bertindak dan bertingkah laku. Kaidah hukum berisi kenyataan normatif: das Sollen
dan bukan berisi kenyataan alamiah atau peristiwa konkrit.30
Selanjutnya, hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas
26 Sedangkan dalam sistem politik non demokratik, produk hukumnya cenderung berkarakter elitis, konservatif dan terbuka interpretasi. Lihat: Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet.VI (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006), hal.6.
27 Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 1990), hal.15.
28 Muchtar Kusumaatmaja dalam Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia (Bandung: Alumni, 2000), hal.17.
29 Ibid, hal.17.30 Ibid, hal.17.
17
keadilan dari masyarakat itu31. Alasan mengapa keadilan menjadi penting dan dapat
dipaksakan adalah oleh karena kenyataan bahwa pelanggaran atas keadilan akan
menimbulkan kerugian dan kejahatan dalam masyarakat.32
Keadilan merupakan suatu hak yang harus diwujudkan dalam sikap dan
perilaku manusia di masyarakat agar kepentingan masyarakat terlindungi, dengan
adanya pengaturan hukum yang bersendikan keadilan tersebut.
Thomas Aquinas menyatakan bahwa esensi hukum adalah keadilan, oleh
karena itu hukum harus mengandung keadilan, hukum yang tidak adil bukanlah
hukum itu sendiri.33
Sejalan dengan ini, Adam Smith merumuskan tentang keadilan komutatif,
dimana prinsip utama keadilan komutatif adalah no harm atau prinsip tidak melukai
dan merugikan orang lain. Keadilan komutatif ini menyangkut jaminan dan
penghargaan atas hak-hak individu, khususnya hak-hak asasi. Menurut Smith,
keadilan komutatif tidak hanya menyangkut pemulihan kembali kerusakan yang
terjadi, melainkan juga menyangkut pencegahan terhadap terlanggarnya hak dan
kepentingan pihak lain.34 Dengan lain kata dapat dikatakan bahwa keadilan
komunitatif tidak terutama terletak dalam melakukan suatu tindakan positif untuk
orang lain, melainkan terletak dalam tidak melakukan tindakan yang merugikan orang
31 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 40 – 41.
32 A. Sonny Keraf, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal.120.
33 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1996), hal. 79.
34 Ibid, hal.112.
18
lain. Tujuan keadilan adalah melindungi orang dari kerugian yang diderita akibat
orang lain.35
Keadilan komutatif lalu tertuang dalam hukum yang tidak hanya menetapkan
pemulihan kerugian, melainkan juga hukum yang mengatur agar tidak terjadi
pelanggaran atas hak dan kepentingan pihak tertentu.36 Teori keadilan berdasar Smith
berkaitan dengan konsep resiprositas atau kesetaraan nilai dalam pemulihan kembali
kerugian maupun pertukaran ekonomi. Teori keadilan Smith ini dikembangkan
kemudian bahwa prinsip utama keadilan komunitatif tidak melukai dan merugikan
orang lain. Keadilan menurut Smith menyangkut adanya jaminan dan penghargaan
atas hak-hak individu.37
Adam Smith memandang manusia sebagai bagian yang tak terpisahkan dan
suatu sistem yang mekanismenya mengaitkan perilaku mereka yang spontan dan pada
umumnya naluriah dengan manfaat-manfaat yang tak kelihatan bagi mereka sendiri
dan bagi masyarakat secara keseluruhan. Seperti halnya para fungsionalis, Smith
menganggap masyarakat sebagai sebuah sistem terkait dengan hubungan kait-mengait
yang sedemikian kornpleks di antara bagian-bagiannya, sehingga setiap bagian
menyumbang terhadap yang lainnya atau terhadap sistem tersebut secara keseluruhan.
Masing-masing bagian terkait dan tergantung satu sama lain; dan terkait dan
tergangung pada keseluruhan.38
35 Ibid, hal.116.36 Ibid, hal.112.37 Sri Gambir Melati Hatta, Peranan Itikad Baik Dalam Hukum Kontrak dan Perkembangannya,
Serta Implikasinya Terhadap Hukum dan Keadilan, Pidato diucapkan pada Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 30 Agustus 2000, hal.16.
38 A. Sonny Keraf, Op.Cit, h.50-51
19
Berkaitan dengan kaidah hukum ini, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan
adalah aturan main minimal bagi kehidupan sosial manusia, dan prinsip keadilan
adalah aturan main yang sangat hakiki bagi hidup manusia dan karena itu berlaku pada
bidang kehidupan manapun. Apabila kita mengacu kepada ajaran dan pendapat Adam
Smith yang mendasarkan bahwa keadilan itu berhubungan dengan adanya hak
seseorang. Sehingga dapat digambarkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk
menghukum orang yang merugikannya. Oleh karena itu pelanggaran asas keadilan
merupakan hal yang tidak dapat diterima oleh siapapun.39
Dengan demikian, maka implementasi keadilan dalam negara hukum yang
demokratis termasuk Indonesia, harus mengedepankan keadilan dalam segala
kebijakan penyelenggaraan negara.
Selanjutnya, hukum juga harus memberikan suatu manfaat bagi seseorang,
dalam hal kemanfaatan hukum ini teori utilitas (utility) menganjurkan the greatest
happiness principle (prinsip kebahagiaan yang semaksimal mungkin). Tegasnya,
menurut teori ini, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang mencoba
memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan, atau masyarakat yang
mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya,
agar ketidakbahagiaan diusahakan sesedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada
umumnya. Kebahagiaan berarti kesenangan atau ketiadaan kesengsaraan,
ketidakbahagiaan berarti kesengsaraan dan ketiadaan kesenangan. Setiap orang
dianggap sama derajatnya oleh teori utilitas.
39 Ibid, h.22.
20
Aliran utilitas yang dipelopori oleh Jeremy Bentham, menganggap bahwa
tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang
sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Penekanannya
didasarkan pada filsafat sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan
dan hukum merupakan alatnya. Adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi
manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas masyarakat.
Manfaat adalah satu istilah abstrak. Istilah ini mengungkapkan sifat atau
kecenderungan sesuatu untuk mencegah kejahatan atau memperoleh kebaikan.
Kejahatan adalah penderitaan atau penyebab penderitaan. Kebaikan adalah
kesenangan atau penyebab kesenangan.40 Yang paling sesuai dengan manfaat atau
kepentingan seorang individu adalah yang cenderung memperbanyak jumlah
kebahagiaan itu. Yang paling sesuai dengan manfaat atau kepentingan masyarakat
adalah yang cenderung memperbesar jumlah kebahagiaan individu yang membentuk
masyarakat itu.41
Selanjutnya, hukum adalah suatu sistem yang terdiri atas sub-sub sistem. Lili
Rasjidi menyatakan bahwa membicarakan hukum sebagai suatu sistem selalu menarik
dan tidak pernah menemukan titik akhir karena sistem hukum (tertib hukum atau
stelsel hukum) memang tidak mengenal bentuk final. Munculnya pemikiran-
pemikiran baru - sekalipun di luar disiplin hukum - selalu dapat membawa pengaruh
kepada system hukum.42
40 Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), diterjemahkan oleh Nurhadi (Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006), hal.26.
41 Ibid.42 Dikutip dalam Darji Darmodihardjo, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum
Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT. Radjagrafindo Persada, 1996), hal. 149.
21
Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga unsur dalam sistem hukum, yaitu:43
Pertama-tama, sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus
berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan
setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang
yang berkesinambungan - aspek sistem yang berada di sini kemarin (atau bahkan pada
abad yang terakhir) akan berada di situ dalam jangka panjang. Inilah struktur sistem
hukum - kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang member
semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.
Aspek lain sistem hukum adalah substansinya, yaitu aturan, norma, dan pola
prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti “produk”
yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, keputusan yang
mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Penekannya di sini terletak pada
hukum hukum yang hidup (living law) , bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum
(law books).
Komponen ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum. Yaitu sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan
kekuatan social yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah
gunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan berdayaguna.
Friedman mengibaratkan sistem hukum itu seperti “struktur” hukum seperti mesin.
Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum
43 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 7 –9.
22
adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan
mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Struktur berhubungan
dengan institusi dan kelembagaan hukum, kalau berbicara mengenai substansinya
maka berbicara tentang bagaimana undang-undangnya, apakah sudah memenuhi rasa
keadilan, tidak diskriminatif, responsif atau tidak. Jadi menata kembali materi
peraturan perundang-undangannya. Dalam budaya hukum, pembicaraan difokuskan
pada upaya-upaya untuk membentuk kesadaran hukum masyarakat, membentuk
pemahaman masyarakat terhadap hukum, dan memberikan pelayanan hukum kepada
masyarakat.
C. Penutup
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan tersebut, dapat diambil kesimpulan
bahwa Negara Indonesia telah memenuhi syarat sebaga negara hukum. Bisa dilihat
pada unsur-unsur, karakteristik, dan ciri-ciri negara hukum secara umum sebagian
besar telah dimuat juga dalam konsep negara hukum Indonesia. Selain itu, konsep
negara hukum yang menerapkan prinsip menghargai Hak Asasi Manusi (HAM) itu
sama dengan prinsip yang diterapkan pada konsep negara hukum Indonesia. Secara
sederhana, yang dimaksud Negara hukum adalah Negara yang penyelenggaraan
pemerintahannya didasar atas hukum. Didalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga
lain dalam melaksanakan tindakan apapun juga harus dilandasi oleh
hukum,kekuasaan menjalankan pemerintahan juga harus berdasarkan kedaulatan
hukum. Negara yang berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang
23
tertinggi sehingga ada istilah supremasi hokum, supremasi hukum tidak boleh
mengabaikan tiga ide dasar hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asaz-Asaz Hukum Tata Negara, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1991.
24
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaran Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I –
Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990.
Andi Mattalatta, Politik Hukum Peraturan Perundang-undangan,
www.djpp.depkumham.go.id
A. Sonny Keraf, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah, Yogyakarta: Kanisius,
1996.
Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya,
Jakarta: UI-Press, 1995.
B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera
(Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK),
Jakarta, edisi 3Tahun II, November 2004.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.
Darji Darmodihardjo, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum
Indonesia, Jakarta: Penerbit PT. Radjagrafindo Persada, 1996.
Firdaus, Politik Hukum Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Negara Hukum, Jurnal
Hukum Islam, Vol.12 Nomor 10 September 2005.
Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum
Suatu Pengantar,Yogyakarta: Liberty, 1990.
Jimly Asshiddiqie. http://jimly.com/makalah
Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan: Prinsip-
prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), diterjemahkan oleh
Nurhadi, Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006
Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition (Hukum
Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Jakarta: Tatanusa,
2001.
25
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan
Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet.VI, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Sinar
Bakti, 1988.
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) , Bandung: Refika Aditama,
2009.
Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa
Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit
Kristen, 1970.
Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan
Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Bandung: Alumni, 2000.
Sri Gambir Melati Hatta, Peranan Itikad Baik Dalam Hukum Kontrak dan
Perkembangannya, Serta Implikasinya Terhadap Hukum dan Keadilan, Pidato
diucapkan pada Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 30 Agustus 2000.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
1996.
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar, 1962.
26
top related