tembak pustaka
Post on 31-Oct-2014
98 Views
Preview:
TRANSCRIPT
A. Anatomi
Gambar 1. Abdominal contents, undisturbed, and layers of anterolateral abdominal Wall
Dinding abdomen dari luar ke dalam terdiri dari kulit, jaringan subkutis, fascia
superfisialis, otot-otot perut dan punggung, serta di sebelah dalam dibatasi oleh fascia
transversalis. Fascia superfisialis meliputi bagian depan otot dan ke arah bawah dapat
dibedakan dalam dua lapisan, yaitu fascia camperi dibagian luar dan fascia scarpei dibagian
dalam.
Otot perut dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok anterolateralis yang terdiri
dari musculi rectus abdominis, pyramidalis, obliqus externus et internus abdominis, dan
transversus abdominis, dan kelompok posterior yaitu musculi iliacus, quadratus lumborum,
dan psoas major et minor.[7]
Gambar .2. Anterior abdominal wall
Vaskularisasi Dinding Abdomen
Pembuluh Nadi (Arteri)
Dinding abdomen diperdarahi oleh :
1. Aa. Intercostales VII – XII
2. Aa. Lumbales
3. A. Epigastrica superior
4. A. Epigastrica inferior
5. Aa. Inguinales superficiales
6. A. Circumflexa ilium profunda
Aa. Intercostales dipercabangkan dari aorta thoracalis, lalu berjalan di dalam sulcus
costae. Setelah keluar dari sulcus costae maka ke-6 Aa. Intercostales terletak diantara m.
Transversus abdominis dan m. Obliqus internus abdominis. Aa. Intercostales
mempercabangkan :
a) Rr. Posterior aa. Intercostales untuk otot punggung
b) Rr. Laterales aa. Intercostales
c) Rr. Anterior aa. Intercostales, mengurus dan memasuki vagina m. Rectus abdominis
Pembuluh Balik Dinding Abdomen (Vena)
1. Vv. Superfcialies (pembuluh balik dangkal).
Membentuk anyaman pembuluh balik yang luas di jaringan subkutis lalu bermuara ke
dalam :
V. epigastrica superficialis, yang selanjutnya bermuara ke V. Femoralis
V. thoraco-epigastrica, bermuara ke dalam V. Axillaris
Vv. Profundi, biasanya mengikuti pembuluh nadinya
B. Definisi
Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Di artikan juga sebagai
gangguan sel yang disebabkan oleh pertukaran dengan energi lingkungan yang melampaui
ketahanan tubuh. Definisi ini memberikan gambaran superfisial dari respon fisik terhadap
cedera.[1,2]
Pada keadaan pasien datang dengan riwayat trauma maka kita harus melakukan penilaian
primary survey dengan menggunakan konsep ATLS (Advance Trauma Life Support) yaitu A
(Airways), B (Breathing), C (Circulation), dan D (Disability) sehingga kita dapat mengetahi
apa yang menjadi masalah dan apa yang harus ditanggulangi terlebih dahulu. Setelah itu
baru melakukan secondary survey dari kepala hingga kaki (head to toe), termasuk di
dalamnya penilaian kesadaran melalui skoring GCS (Glasgow Coma Scale).
Trauma abdomen adalah kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma
dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk atau kerusakan pada organ
abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan
metabolisme, kelainan imunologi dan gangguan faal berbagai organ. Trauma abdomen akan
ditemukan pada 25% penderita multi trauma sering kali terjadi bahwa diagnostik akan
adanya cedera intraabdomen terlambat karena :
a. Gejala dan tanda yang ditimbulkannya kadang-kadang terlambat
b. Adanya penurunan kesadaran karena ada cedera kepala yang bersamaan, sehingga
gejala nyeri abdomen tidak ada
c. Adanya cedera spinal, sehingga tidak adanya rasa nyeri
d. Pemakaian obat-obatan atau minuman keras.
Secara umum trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis, yaitu trauma tumpul
dan trauma tajam atau penetrasi. Organ di dalam abdomen juga secara umum dibagi menjadi
organ padat atau solid dan organ berrongga.
Organ padat, seperti lien dan hati adalah yang sering terkena pada trauma tumpul
abdomen. Terdapat lima mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen:[3]
1. Benturan langsung yang menghancurkan organ antara dinding perut anterior dan
posterior.
2. Cedera avulsi akibat deselerasi (perlambatan), seperti dalam kecelakaan lalu lintas
dengan kecepatan tinggi atau jatuh dari suatu ketinggian.
3. Pembentukan sementara dari lingkaran usus yang tertutup dengan tekanan intraluminal
yang tinggi dan ruptur dari rongga viskus.
4. Laserasi oleh fragmen tulang (misalnya, panggul, tulang iga bagian bawah).
5. Peningkatan tekanan intraabdomen secara tiba-tiba dan besar (biasanya sabuk
pengaman terlibat dalam kecelakaan dengan kecepatan tinggi) dapat menyebabkan
ruptur diafragma atau bahkan jantung.
Untuk tujuan deskriptif rongga abdomen biasanya dibagi menjadi empat kuadran. Dua
buah garis khayal bersilangan di pusar dan membagi abdomen menjadi kuadran kanan atas,
kuadran kanan bawah, kuadran kiri atas dan kuadran kiri bawah. Cara deskriptif lainnya
adalah dengan membagi abdomen menjadi sembilan daerah, yaitu epigastrium, umbilikus,
suprapubik, hipokondrium kanan dan kiri, lumbal kanan dan kiri, dan iiliaca kanan dan kiri.
Dua garis khayalan ditarik dengan memperpanjang garis midclavicula hingga pertengahan
ligamen inguinal. Dua garis sejajar ditarik tegak lurus dengan garis-garis ini: satu dari margo
kosta dan lainnya dari spina iliaca anterior superior.[4]
Gambar 3. Pembagian area abdomen
Abdomen sebagian tertutup oleh rongga dada bagian bawah; abdomen anterior
didefinisikan sebagai daerah antara garis transnipple superior, ligamentum inguinalis dan
simfisis pubis inferior, dan garis aksilaris anterior lateral.
Bagian sisi adalah daerah antara garis aksilaris anterior dan posterior dari ruang
interkostal ke-6 ke krista iliaka. Otot-otot dinding perut yang tebal di lokasi ini, lebih dari
aponeurotic sheaths yang lebih tipis dari abdomen anterior, bertindak sebagai penghalang
parsial untuk luka tembus, terutama luka tusuk.
Bagian belakang adalah kawasan yang terletak posterior ke garis aksilaris posterior dari
ujung skapula ke puncak iliaka. mirip dengan otot-otot dinding perut di panggul, punggung
tebal dan otot paraspinal bertindak sebagai penghalang parsial untuk luka tembus.
Rongga abdomen terdiri dari tiga area yang berbeda yaitu rongga peritoneum,
retroperitoneal, dan rongga panggul. Untuk lebih memudahkan, rongga peritoneal terbagi
menjadi dua, peritoneal atas dan bawah. Rongga peritoneal atas, yang tertutup oleh tulang
costa bagian bawah, termasuk diafragma, hepar, lien, lambung, dan kolon transversum. Area
ini disebut juga sebagai bagian thoracoabdominal. Fraktur pada kosta bagian bawah atau
luka penetrasi dibawah garis puting susu dapat mencederai organ dalam abdomen. Rongga
peritoneal bawah terdiri dari usus halus, kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, dan
pada wanita organ reproduksi.[5]
Gambar 4. Rongga peritoneal, retroperitoneal dan rongga pelvis
Luka tembus pada dinding abdomen harus dieksplorasi untuk mendapat kepastian apakah
luka tersebut menembus ruang peritoneum. Hal ini biasa dilakukan pada luka tikam atau
tusuk, karena pada luka tembakan, jalur luka dapat diketahui dengan mudah. Apabila
eksplorasi luka lokal memperlihatkan adanya luka tembus mengenai peritoneum anterior
atau peritoneum pinggul didekatnya, tetapi pasien tidak mengalami hipotensi atau
peritonitis, maka teknik diagnosis dengan bilas peritoneum, dilakukan untuk memperkirakan
adanya perdarahan intraperitoneum. Sebaliknya, untuk luka tembak yang pada pemeriksaan
fisik atau foto rontgen memperlihatkan jejas melintang peritoneum yang jelas, maka
diwajibkan untuk selalu melakukan laparotomi, karena semua luka tembak yang menembus
masuk ruang peritoneum menyebabkan cedera viscera atau vaskular yang berat.
Pasien dengan trauma tumpul abdomen, secara berturut-turut, paling sering mengenai
lien, ginjal, hati dan usus. Informasi tentang diri pasien dan terjadinya kecelakaan dapat
diperoleh dari pasien sendiri (bila sadar), saksi mata dan keluarga. Bila ditemukan nyeri
abdomen dan nyeri tekan, maka merupakan tanda yang dapat dipercaya. Kekakuan
abdomen, defans muskular, dan nyeri lepas (rebound tenderness) sangat mendukung adanya
cedera intraperitoneal.[6]
Tanda penting dari perdarahan intra abdomen yang terus-menerus adalah peningkatan
tekanan darah yang menjadi seperti tekanan darah normal selama beberapa menit, lalu
diikuti hipotensi walaupun dengan pemberian cairan perinfus 500-1000 mL larutan RL
(ringer laktat) yang tepat.
Respon metabolik pada trauma
Respon metabolik pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase.[1]
Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma. Pada fase ini akan
terjadi kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan hiperglikemia. Fase kedua
berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu, dimana bergantung pada beratnya
trauma, keadaan kesehatan sebelum trauma, dan tindakan pertolongan medisnya. Pada fase
ini terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang negatif, hiperglikemia,
dan produksi panas. Fase ketiga terjadi anabolisme, penumpukan kembali protein dan lemak
badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang dan
oksigenasi jaringan secara keseluruhan sudah teratasi.
Akibat trauma, aktivitas hipotalamus dipacu sehingga terjadi rangsangan neuroendokrin.
Sekresi neurohumoral yang meningkat menyebabkan lipolisis perifer yang menyebabkan
naiknya glukosa, asam amino, dan limbah metabolisme berupa asam laktat dalam plasma.
Hati bereaksi dengan menigkatkan produksi glukosa melalui glikogenolisis dan
glukoneogenesis yang dirangsang oleh kortisol dan glukagon. Produksi glukosa meningkat,
sementara itu penggunaannya oleh jaringan perifer menurun sehingga terjadi intoleransi
glukosa akibat trauma.
C. Epidemiologi
Trauma abdomen bisa disebabkan karena trauma tajam dan trauma tumpul. Trauma tajam
di Indonesia cukup sering terjadi umumnya disebabkan oleh luka tikam, luka bacok atau
luka tembak. Penderita umumnya pria dari kelompok usia produktif. Pada luka bacok
biasanya penderita mengalami luka-luka di tempat lain, misalnya dikepala, dileher, dada,
extremitas dan kadang-kadang menimbulkan syok hipovolemik.[ 2,7]
D. Penyebab
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Luka tusuk dan
luka tembak pada suatu rongga dapat dikelompokkan dalam kategori luka tembus. Cedera
pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan, perlambatan (deselerasi),
dan kompresi, baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat
kimia. Akibat dari luka ini dapat berupa memar, luka jaringan lunak, cedera
muskuloskeletal, dan kerusakan organ.
D. Patofisiologi
Dalam suatu kecelakaan lalu lintas, bila sabuk pengaman dipakai longgar dan jauh di atas
pelvis, maka besar kemungkinan cedera intraperitoneal yang serius. Bila epigastrium
pengemudi terpukul oleh gagang kemudi, maka dapat terjadi ruptur retroperitoneal atas
duodenum atau pankreatitis traumatika.
Pada korban pejalan kaki, maka urutan perangkat frekuensi cedera intraabdomen adalah
hati, limpa, usus halus dan usus besar.
Pada penyiksaan anak dan korban pemukulan, maka insiden cedera intraabdominal tinggi.
Dua perlukaan yang tersering pada kasus ini adalah ruptura duodenum dan robekan
mesentrium usus halus.
Bila terjatuh lazim terjadi cedera hati dan limpa, robekan usus halus ditempat perlekatan
mesentrium (ligamentum treitz dan hubungan ileosekalis) dan robekan mesentrium usus
halus.
Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada
trauma tumpul dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan
kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi sering menimbulkan
kerusakan orgsn multipel, seperti organ padat (hepar, lien, ginjal) dari pada organ-organ
berongga.
Trauma proyektil memiliki tipe kecepatan yaitu kecepatan rendah dan kecepatan tinggi.
Luka akibat peluru dengan kecepatan rendah terbatas pada jalan peluru, namun tidak
tertutup kemungkinan arahnya akan melenceng di dalam abdomen. Luka peluru dengan
kecepatan tinggi mempunyai lubang masuk yang kecil dan lubang keluar yang besar.
Kerusakan jaringan tergantung jarak tembak. Jarak tembak yang dekat menyebabkan
kerusakan jaringan yang luas, sedangkan jarak tembak yang jauh menyebabkan kerusakan
ringan kecuali langsung mengenai organ atau pembuluh darah.[13]
Yang mungkin terjadi pada trauma abdomen adalah:
Perforasi
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia atau
mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung, maka terjadi
perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma dan timbul gejala peritonitis hebat.
Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon, mula-mula timbul gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul
gejala-gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.
Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil akhirnya adalah faeces, maka jika kolon terluka
dan mengalami perforasi perlu segera dilakukan pembedahan. Jika tidak segera dilakukan
pembedahan, peritoneum akan terkontaminasi oleh bakteri dan faeces. Hal ini dapat
menimbulkan peritonitis yang berakibat lebih berat.
Perdarahan
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, trauma tajam, dan tembak) dapat menimbulkan
perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada trauma adalah alat-alat paenkim,
mesentrium dan ligamenta; sedangkan alat-alat traktus digestivus pada trauma tumpul
biasanya terhindar. Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit dibandingkan
dengan trauma tajam, lebih-lebih pada taraf permulaan. Penting sekali untuk menentukan
secepatnya, apakah ada perdarahan dan tindakan segera harus dilakukan untuk
menghentikan perdarahan tersebut.
Sebagai contoh adalah trauma yang emnimbulkan perdarahan limpa. Dalam taraf pertama
darah akan berkumpul dalam sakus lienalis, sehingga tanda-tanda umum perangsangan
peritoneal belum ada sama sekali. Dalam hal ini sebagai pedoman untuk menentukan limpa
robek (ruptur lienalis) adalah :
Adanya bekas (jejas) trauma pada daerah limpa.
Gerakan pernapasan di daerah epigastrium kiri berkurang
Nyeri tekan yang hebat di ruang interkostalis 9-10 garis aksiler depan kiri.
E. Gejala dan Tanda Trauma Abdomen
Pada Trauma tajam abdomen seharusnya kita mampu mendeteksi cedera yang potensial
pada organ-organ intraabdomen. Pemeriksaan colok dubur sangat penting pada trauma tajam
abdomen dan bila ditemukannya darah pada sarung tangan berarti cedera pada usus. Bila
pemeriksaan tidak ditemukan tanda dan gejala klinis positif kita harus hati-hati dan tetap
waspada atau harus melakukan resusitasi dan stabilisasi secepat mungkin.
Ada beberapa indikasi untuk melakukan pemeriksaan secara teliti pada kasus yang kita
curigai adanya trauma tumpul abdomen antara lain :
a. Perdarahan yang tidak diketahui
b. Riwayat syok
c. Adanya trauma pada dada mayor
d. Adanya trauma pelvis
e. Penderita dengan penurunan kesadaran
f. Adanya hematuri
g. Pada pemeriksaan fisik ditemukan jejas di abdomen ( luka lecet, kontusio dan perut
distensi)
h. Mekanisme trauma yang besar.
F. Diagnosa
Pemeriksaan Pada korban trauma harus cepat dan sistemik sehinggan tidak ada cedera
yang tidak terdeteksi sebelum dilakukan penanggulangan yang efisien dan terencana.
Diagnosa dapat ditegakkan dengan menganalisa data yang didapat dari riwayat trauma
dalam menanggulangi trauma harus diketahui riwayat terjadinya trauma karena dari riwayat
dapat diketahui atau diduga bagian tubuh yang cedera dan jenis kelainannya. Pada luka
tusuk dapat diperkirakan organ mana yang terkena dengan mengetahui arah tusukan, bentuk
pisau atau golok, dan cara memegang alat penusuk tadi. Seseorang yang jatuh kepala lebih
dulu, selain cedera kepala, besar kemungkinan juga menderita patah tulang leher, sedangkan
jatuh terduduk dapat mengakibatkan patah tulang punggung atau lumbal, begitu juga jatuh
berdiri dari ektinggian, tetapi cedera ini dapat patah tulang kompresi tulang kalkaneus.
Korban kecelakaan lalu lintas dapat diduga jenis cederanya dengan mengetahui apakah ia
pengemudi, penumpang disamping pengemudi, penumpang di belakang penemudi,
pengendara sepeda motor, pembonce, ata pejalan kaki. Sering penderita datang dalam
keadaan tidak sadar, dan tidak diperoleh keterangan mengenai riwayat trauma, lamgsung
lakukan pemeriksaan sistemik.
Pemeriksaan fisik diarahkan unruk mencari bagian tubuh yang terkena trauma, keudian
menetapkan derajat cedera berdasrkan hasil analisis riwayat trauma.
Prioritas yang selalu diingat ialah : apakah jalan napas bebas? Apakah penderita bernapas
dengan leluasa? Apakah nadi dapat diraba? Apakah jantung berdenyut? Apakah ada
perdarahan masif? Pada keadan yang langsung mengancan jiwa seperti luka tembus jantung,
luka diding dada yang mengisap udara, dan perdaraha berlebihan, segeralah bertindak
setelah pemeriksaan fisik yang sederhana.
Dalam menilai sirkulasi, sifat, dan kualitas nadi lebih peka dibandingkan dengan tekanan
darah karena tekanan darah sifatnya relatif. Tekanan darah yang rendah pada orang yang
biasa bertekanan darah rendah dapat dikira syok, sedangkan tekanan darah yang dikira
normal pada orang yang biasa hipertensi sebenarnya sudah menunjukan syok.
Manifestasi klinis dari gangguan stabilitas kardiovaskular adalah rasa haus dan
lemas.Rasa ini diikuti oleh tanda semacam hipotensi, takikardi, pucat, gelisah, dingin daerah
akral, menurunnya pengisian kapiler, sianosis dan menurunnya produksi urin.
Tindakan berikutnya adalah melakukan pemeriksaan fisik yaitu :
Inspeksi
Semua pakaian harus dilepas. Abdomen bagian depan dan belakang diteliti apakah
mengalami ekskoriasi atau memar, adakah laserasi, tusukan dan sebagainya.
Auskultasi
Lakukan untuk mendengar bising usus terdengar atau tidak
Perkusi
Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada timpani karena dilatasi lambung akut
kuadran kiri atas ataupun adanya perkusi redup bila ada hemoperitoneum. Perkusi
mengakibatkan pergerakan peritoneum dan mencetuskan tanda peritonitis. Shifting dullnes
(adanya darah dalam abdomen) terjadi kalau pasien dimiringkan.
Palpasi
Tujuan palpasi adalah untuk mendapatka adanya nyeri lepas yang kadang-kadang dalam.
Dicari tanda rangsangan peritoneum seperti nyeri tekan, nyeri lepas, nyeri ketok, dan defans
musculer dan diperhatikan ada masa atau cairan bebas.
Pemeriksaan laboratorium pada trauma, selain golongan darah, pemeriksaan kadar
hemoglobin dan hemotokrit serta pemeriksaan sedimen urin dapat membantu menentukan
adanya perdarahan atau cedera di saluran kemih.
Pencitraan rontgen berguna dalam menentukan adanya patah tulang , sedangkan
sonografi berguna, terutama untuk pemeriksaan jaringan padat, seperti hati, pankreas, limpa,
dan ginjal. CT-scan bila perlu, juga dilakukan karena penting untuk pemeriksaan otak dan
tengkorak, terutama trauma kepala. Perlu diingat bahwa semua pemeriksaan ini jangan
sampai menghambat tindakan resusitasi.
Pada penderita dengan hematuria yang keadaannya stabil harus dilakukan IVP. Pada
trauma pelvis dan abdomen bagian bawah dengan hematuria, dilakukan sistografi dan
uretrogram bila ada kecurigaan cedera uretra, terutama bila ada riwayat cedera pelana seperti
jatuh diatas setang sepeda. Bila terjadi perforasi usus, pada foto polos perut mungkin dilihat
udara bebas di bawah diafragma.
Cedera kepala, toraks, dan tulang belakang sering menyebabkan sukarnya pengenalan
kelainan di abdomen. Dalam keadaan ini sonografi berperan untuk melihat kerusakan di
daerah hati, limpa, dan pankreas, juga melihat adanaya cairan bebas di perut. Para sentesis
yaitu pungsi rongga perut untuk mengeluarka cairan, atau lavase peritom]neum dilakukan
bila terdapat kecurigaan akan adanya cedera organ intraabdomen dan terdapat gangguan
neurologik tau keadaa lain yang menghambat pemeriksaan fisik perut. Lavase peritoneum
dilakukan dengan mengosongkan dahulu buli-buli dan membuat insisi dengan anestesia
lokal dibawah pusar sampai fasia. Fasia ditembus trokar dan kateter ini dimasukkan 1000-
2000 ml cairan NaCl atau ringer laktat dan dikeluarkan lagi. Bila cairan yang keluar
tercampur darah atau mengandung sel darah merah lebih dari 500/mm2, dianggap ada organ
intraabdomen yang cedera. Laparoskopi dapat berguna untuk menegakkan diagnosis.
G. Cedera Organ Abdomen
Bentuk luka dapat bermacam-macam tergantung dari penyebabnya. Luka sayat atau
vulnus scissum disebabkan oleh benda tajam, luka robek atau laserasi atau vulnus laceratum
merupakan luka yang tepinya tidak rata disebabkan oleh benda yang permukaannya tidak
rata, dan luka lecet atau vulnus excoriatio akibat gesekan.
Luka tembak mempunyai ciri yang khas. Berat cedera tidak hanya tergantung dari organ
atau jaringan yang terkena, tetapi juga dari jenis senjata atau peluru yang dipakai.
Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh
tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi jaringan atau organ dibawahnya.
Pada cedera dapat terjadi penyulit berupa gangguan sirkulasi akibat perdarahan,
gangguan koagulasi, sepsis akibat infeksi, dan gagal organ.
Hemoperitoneum sendiri sering tidak memberikan tanda perangsangan peritoneal.
Dengan demikian, diagnosis klinis, terutama pada multitrauma, bisa sulit. USG trauma
(FAST/ Focused Abdominal Sonography in Trauma), dilakukan di departemen gawat
darurat dengan dokter bagian gawat darurat atau ahli bedah, cepat, dan biasanya handal, dan
merupakan metode yang non-invasif untuk mendeteksi perdarahan intraperitoneal. Ruang
hepatorenal, splenorenal, dan suprapubik adalah diperiksa untuk dicari adakah cairan bebas
selama pemeriksaan USG trauma. Bagaimanapun, USG tidak mengidentifikasi sumber
pendarahan dan tidak bisa mengevaluasi retroperitoneum, organ berongga, atau diafragma.
Sekarang ini DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) sebagian besar telah digantikan oleh
penggunaan USG. Namun, DPA (Diagnostic Peritoneal Aspirate) memiliki peran definitif
dalam mengevaluasi pasien yang tidak stabil ketika USG tidak dapat mendiagnostik atau
tidak tersedia. Hal ini dapat dilakukan dengan teknik terbuka atau teknik kawat pemandu
tertutup. Metode pemeriksaan dengan DPL ini invasif, cepat, murah, dan aman untuk
menilai cedera intraperitoneal trauma tumpul maupun trauma tembus abdomen. Namun
pemeriksaan ini memiliki kelemahan dalam menilai trauma diaphragma dan retroperitoneal.
[3,8]
Indikasi DPL yaitu pada pasien yang telah menderita trauma tumpul dan tidak memiliki
tanda-tanda yang jelas dari cedera perut akut atau perdarahan tetapi memerlukan evaluasi
untuk menyingkirkan perdarahan intraabdominal atau cedera viskus berongga.
Tindakan DPL memiliki kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi absolut
dilakukannnya tindakan DPL adalah kondisi klinis pasien yang memerlukan laparotomi
segera, sedangkan kontraindikasi relatif yaitu keadaan yang secara teknik sulit dilakukan
DPL, seperti pada pasien dengan obesitas atau kegemukan, tindakan pembedahan abdomen
sebelumnya, kehamilan, dan koagulopati.[9,11]
CT scan dapat dipertimbangkan pada pasien dengan keadaan hemodinamik yang stabil.
Dalam keadaan ini, merupakan pemeriksaan yang paling berharga. Karena dapat
mengidentifikasi sumber perdarahan dan memperlihatkan ruang peritoneum.
Gambar 5. Open diagnostic peritoneal lavage/ aspration technique. Sudah jarang dilakukan
Tabel . Indikasi dan Kontraindikasi DPLINDIKASI KONTRAINDIKASI
Pemeriksaan fisik yang meragukan Indikasi untuk laparotomi eksplorasi sudah jelasSyok atau hipotensi yang tidak dapat dijelaskan
Relatif Riwayat laparotomi eksplorasi
sebelumnya Kehamilan Obesitas
Penurunan kesadaran (cedera kepala tertutup, obat-obatan)Penderita dalam narkose umum untuk prosedur ekstra-abdominalCedera medulla spinalis
Lambung
Cedera tembus pada lambung sering terjadi, sementara ruptur tumpul jarang terjadi
kecuali terjadinya segera setelah pasien makan.
Diagnosis cedera lambung umumnya dibuat dari observasi adanya luka tembus atau
keluarnya cairan yang bercampur darah dari selang nasogastrik. Dalam ruang operasi,
kebanyakan perforasi lambung karena trauma tumpul, besar dan disertai dengan kontaminasi
luas dari abdomen bagian atas.
Usus Halus
Kerusakan pada organ ini dapat berupa robekan usus, perforasi, kontusio dengan atau
tanpa perforasi, terlepasnya usus dari mesenterium, atau cedera mesenterium.
Gejala yang menunjukkan adanya gangguan viseral adalah nyeri, defans muskular, ileus
paralitik, dan leukositosis. Untuk mengetahui adanya perforasi usus, dapat dibuat foto polos
abdomen dalam posisi tubuh tegak yang mungkin akan menunjukkan adanya udara bebas
dibawah diafragma.
Tatalaksana
Secara tradisional dilakukan eksplorasi perut pada setiap penderita dengan luka perut
yang menembus dinding. Sekarang dianjurkan observasi pada trauma tajam maupun tumpul,
jika ada keluhan dan tanda yang mengarah pada perdarahan atau perforasi, dengan atau
tanpa peritonitis. Observasi harus dilakukan terus menerus siang malam dengan teliti.
Pemeriksaan endoskopi diagnostik dapat berguna sekali.
Tindak bedah dikerjakan segera bila tanda perdarahan atau peritonitis menjadi jelas. Pada
tindak bedah usus digunakan berbagai jenis anastomosis yang mungkin berupa ujung ke
ujung, sisi ke sisi, ujung ke sisi, dan sisi ke ujung yang dapat disambung secara isoperistalsis
atau antiperistalsis.
Hepatobilier
Trauma saluran empedu ekstrahepatik sangat jarang ditemukan karena terlindung oleh
jaringan hati dan tulang iga. Namun, trauma jaringan hati akibat trauma tumpul atau tajam
sangat sering terjadi. Hati merupakan organ intraabdomen yang paling sering terkena trauma
setelah limpa. Perlukaan pada hati dapat bersifat superfisial dan ringan, tetapi dapat pula
bersifat laserasi dalam yang berat, yang menimbulkan kerusakan pada sistem saluran
empedu intrahepatik.
Berat ringan kerusakan akibat trauma pada sistem hepatobilier bergantung pada jenis
trauma, penyebab, kekuatan, dan arah datangnya trauma. Lebih dari 50% trauma berat
hepatobilier disertai organ intraabdomen lain. Mortalitas berbanding lurus dengan jumlah
organ lain yang terkena. Yang paling sering cedera bersama dengan hati adalah organ
intratoraks, yaitu jantung, paru, atau diafragma. Kemudian disusul berurutan oleh lambung,
usus halus, ginjal, usus besar, limpa, pankreas, dan pembuluh darah besar. Komplikasi yang
dapat terjadi akibat trauma hepatobilier adalah perdarahan, infeksi, kebocoran empedu, dan
hemobilia (perdarahan ke dalam saluran empedu).[1]
Gambaran klinis dan diagnosis
Meskipun dapat diduga sebelum operasi, trauma hepatobilier lebih sering baru diketahui
sewaktu laparotomi eksplorasi. Dapat juga diketahui melalui pemeriksaan CT scan.
Kecurigaan dibuat berdasarkan lokasi trauma dan terdapatnya fraktur iga kanan bawah,
pneumotoraks, kontusio paru, syok haemoragik, serta ditemukannya darah dan empedu pada
lavase peritoneal positif untuk darah dan empedu.
Cara diagnostik terbaik adalah berdasarkan penilaian klinis yang ditunjang dengan
pemeriksaan berulang. Apabila terjadi hemobilia, terdapat trias, yaitu tanda perdarahan
saluran cerna bagian atas, ikterus, dan nyeri perut kanan atas, yang ditemukan setelah
riwayat trauma abdomen atau setelah operasi. Tanda perdarahan berupa hematemesis atau
melena sering didahului nyeri.[1]
American Association for the Surgery of Trauma (AAST) membagi trauma hepar menjadi
lima, seperti yang terlihat pada Tabel 1.[10]
Derajat Trauma Hepar
Gambar 6 Trauma Hepar
Tatalaksana
Tatalaksananya meliputi tiga upaya dasar, yaitu mengatasi perdarahan, mencegah infeksi
dengan debrideman jaringan hati yang avaskuler dan penyaliran, serta rekonstruksi saluran
empedu.
Penghentian untuk sementara waktu dilakukan dengan cara penekanan manual langsung
daerah yang berdarah dengan tampon, atau dengan klem vaskuler atraumatik di daerah
foramen winslow. Penutupan ligamentum hepatoduodenale di dinding foramen winslow
dengan jari atau klem vaskuler, yang disebut perasat Pringle menyebabkan a. hepatika dan v.
porta tertutup sama sekali. Jaringan hati dapat menahan keadaan iskemia sampai 60 menit
apabila dilakukan oklusi itu.
Upaya kedua adalah mencegah atau mengatasi infeksi dengan memasang penyalir ekterna
karena penyebab infeksi adalah kebocoran empedu dan jaringan nekrotik. Kadang di pasang
penyalir T ke dalam duktus koledokus dengan tujuan dekompresi dan mencegah
pembuntuan akibat edema.
Upaya ketiga adalah rekonstruksi saluran empedu. Karena kerusakan empedu yang besar
tidak mungkin sembuh spontan maka tempat kebocoran harus dicari dan dilakukan
rekonstruksi.
Pankreas
Trauma tumpul pankreas terjadi akibat pankreas yang letaknya terfiksasi sehingga mudah
terjepit antara tulang vertebra di bagian belakang sebagai landasannya, dengan benturan
yang datang dari arah anterior. Cedera tumpul pankreas biasanya disertai dengan trauma
pada organ lain, seperti duodenum, limpa, dan saluran empedu.
Gambaran klinis
Gejala utamanya adalah nyeri, baik berupa nyeri yang menembus pinggang atau nyeri
tekan pada pemeriksaan fisik abdomen. Bila disertai dengan perdarahan intraabdomen, hal
ini merupakan indikasi laparotomi. Dengan ekplorasi, kerusakan pankreas lebih mudah
dipastikan.
Keluhan nyeri yang kontinu dengan rangsangan peritoneum, demam, serta ileus paralitik
merupakan petunjuk yang lebih tegas tentang kemungkinan trauma pankreas. Pemeriksaan
USG dan CT Scan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis kelainan pankreas. Akan
terlihat edema atau cairan di sekitar pankreas dan rusaknya kesinambungan jaringan
pankreas. Pemeriksaan lavase peritoneal diagnostik dapat membantu menegakkan diagnosis
bila ditemukan cairan atau sel darah merah berjumlah 100.000 sel/mm3 dengan kadar
amilase yang tinggi. Kadar amilase yang tinggi tidak spesifik untuk diagnosis trauma
pankreas, namun kadar tinggi yang berlangsung lama dapat membantu diagnosis pankreatitis
pascatrauma.[1]
Tatalaksana
Biasanya laparotomi eksplorasi dini dianjurkan, baik pada trauma tumpul maupun trauma
tajam. Cara eksplorasi adalah dengan membuka kavum omentale melalui ligamentum
gastrokolikum sehingga dapat dilihat keseluruhan jaringan korpus dan ekor pankreas.
Prinsip penanggulangan trauma pankreas bergantung pada dua faktor, yaitu ada atau
tidaknya trauma pada saluran pankreas mayor, dan lokasi anatomi pankreas yang mengalami
trauma. Seluruh pembuluh darah kecil yang terluka harus di ligasi dan di pasang penyalir.
Jaringan pankreas yang terluka dibersihkan dan dijahit. Bila bagian ekor pankreas rusak,
dilakukan pankreatektomi distal.
Lien
Pecahnya lien dapat terjadi akibat trauma tajam atau tumpul, sewaktu operasi, dan yang
jarang terjadi, ruptur spontan. Pada trauma tajam biasanya organ lain ikut terluka,
bergantung pada arah trauma. Yang sering cedera yaitu paru, lambung, yang lebih jarang
pankreas, ginjal kiri dan pembuluh darah mesenterium. Pada trauma tumpul penyebab
utamanya adalah cedera langsung atau tak langsung, seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh
dari tempat tinggi, dan pada olahraga kontak, seperti yudo, karate, dan silat. Ruptur lien
sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi abdomen bagian atas, umpamanya karena alat
penarik (retraktor) yang dapat menyebabkan lien terdorong atau ditarik terlalu jauh sehingga
hilus pembuluh darah sekitar hilus robek. Cedera iatrogen juga dapat terjadi akibat pungsi
lien (splenoportografi).[1]
Gambar 7 CT-Scan Trauma lien
American Association for the Surgery of Trauma (AAST) membagi trauma lien menjadi
lima, seperti yang terlihat pada Tabel 2.[10]
Derajat trauma lien
Tanda lokal
Penderita mengeluhkan nyeri perut bagian atas, tetapi sepertiga kasus mengeluh nyeri
perut kuadran kiri atas atau punggung kiri. Nyeri daerah puncak bahu disebut tanda Kehr,
terdapat kurang dari separuh kasus. Mungkin nyeri bahu kiri baru timbul pada posisi
Trendelenberg (kepala lebih rendah dari pelvis). Pada pemeriksaan fisik ditemukan massa di
kiri atas dan pada perkusi terdapat bunyi pekak akibat adanya hematom subkapsuler atau
omentum yang membungkus suatu hematoma ekstrakapsuler disebut tanda Balance. [1]
Pada pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan leukositosis. Pada foto abdomen
mungkin tampak patah tulang iga sebelah kiri, peninggian diafragma kiri, bayangan lien
yang membesar, dan adanya desakan terhadap lambung ke arah garis tengah. Pemeriksaan
dengan CT scan atau angiografi jarang berguna pada keadaan darurat.
Tatalaksana
Sekitar 70% cedera lien (Grade I-III) dapat diterapi tanpa operasi. Kriteria terapi non-
operatif yaitu hemodinamik stabil dan tidak ada indikasi lain untuk dilakukan laparotomi.
Pada cedera derajat IV dan V sering gagal dengan terapi non-operatif. Disarankan untuk
melakukan pemeriksaan CT scan secara periodik pada terapi non-operatif untuk melihat
apakah terdapat perbaikan pada cedera lien.[3]
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang fungsional dengan
teknik bedah. Tindakan ini dapat dilakukan pada trauma tumpul maupun tajam. Tindakan ini
terdiri atas membuang jaringan nonvital, mengikat pembuluh darah yang terbuka, dan
menjahit kapsul yang terluka. Jika penjahitan kurang memadai, dapat juga ditambahkan
dengan pemasangan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan omentum.
Indikasi dalam melakukan splenektomi harus dipertimbangkan dengan baik, mengingat
fungsi filtrasinya. Splenektomi parsial yang bisa terdiri atas eksisi satu segmen dilakukan
jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan bagian yang tidak cedera masih vital. Pengikatan a.
lienalis sebagai tindakan pertama sewaktu operasi sangat berguna. Pembuluh ini dapat
ditemukan dengan menelusuri bursa omentalis pada pinggir kranial pankreas. Bila lien
besar, sering dianjurkan pendekatan laparo-torakotomi yang sekaligus menyayat diafragma
sehingga daerah eksposisi menjadi luas. Hal ini dilakukan karena pada splenomegali
biasanya disertai dengan perlekatan pada diafragma.
Pada splenektomi total harus selalu diikuti dengan reimplantasi lien yang merupakan
suatu autotransplantasi. Caranya ialah dengan membungkus pecahan parenkim lien dengan
omentum dan meletakkannya di bekas tempat lien atau menanamnya di pinggang belakang
peritoneum dengan harapan lien dapat tumbuh dan berfungsi kembali.[1]
Splenektomi memiliki indikasi absolut dan relatif.
Indikasi mutlak:
Tumor primer
Kelainan hematologik dengan hiperslenisme jelas yang tak dapat diatasi dengan
pengobatan lain (anemia hemolitik kongenital)
Indikasi relatif:
Kelainan hematologik tanpa hipersplenisme jelas, tetapi splenektomi dapat
memulihkan kelainan hematologik
Ruptur lien
Hipersplenisme pada sirosis hati dengan varises esofagus
Splenomegali yang mengganggu karena besarnya lien
Disarankan untuk memberikan vaksin terhadap bakteri Neisseria meningitidis,
Haemophilus influenzae, dan Streptococcus pneumoniae terhadap pasien. Hal ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya sepsis postsplenektomi. Vaksin ini lebih efektif bila diberikan
beberapa hari sebelum tindakan splenektomi. Hal ini juga disarankan pada pasien yang
diterapi non-operative, namun hal ini jarang dilakukan.[3]
Ginjal
Trauma tumpul merupakan penyebab utama cedera saluran kemih. Trauma tumpul pada
ginjal dapat bersifat langsung dan tak langsung. Trauma tumpul langsung disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas, olahraga, kecelakaan kerja, atau perkelahian. Umumnya cedera ginjal
menyertai trauma berat yang terjadi bersamaan dengan cedera organ lain, tetapi tidak jarang
trauma ringan atau terjatuh menyebabkan cedera ginjal serius. Trauma tak langsung,
misalnya jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan pergerakan
ginjal secara tiba-tiba didalam rongga peritoneum. Keadaan ini dapat menyebabkan avulsi
pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis.[1]
Kerusakan ginjal secara spontan jarang terjadi, terjadi ginjal yang abnormal, seperti
hidronefrosis, tumor, atau ginjal polikistik, lebih rentan terhadap trauma.
Trauma tajam seperti tikaman atau tembakan, merupakan 10-20% penyebab trauma pada
ginjal. Baik luka tikam atau tusuk pada perut bagian atas atau pinggang maupun luka tembak
pada abdomen yang disertai hematuria merupakan tanda pasti cedera pada ginjal.[1]
Secara patologis, trauma pada ginjal dibagi atas kontusio, laserasi dan cedera pedikel.
Kontusio ginjal terdapat pada sekitar 80% trauma tumpul ginjal. Terdapat adanya
perdarahan di parenkim ginjal tanpa adanya kerusakan kapsul, kematian jaringan maupun
kerusakan kaliks. Laserasi ginjal terjadi karena adanya robekan parenkim, mulai dari kapsul
ginjal berlanjut sampai pelviokaliks. Cedera pedikel ginjal dapat berupa cedera pada arteri
maupun vena utama ginjal ataupun cebang segmentalnya.
Pada trauma tumpul dapat ditemukan jejas di daerah lumbal, sedangkan pada trauma
tajam dapat ditemukan luka.
Gejala klinis dan diagnosis
Riwayat trauma daerah kostovetebra dan disertai nyeri serta jejas daerah kostovetebra
merupakan gejala tersering yang membuat kita harus waspada. Pada palpasi didapat nyeri
tekan dan ketegangan otot pinggang, sedangkan massa jarang teraba. Massa yang cepat
meluas disertai tanda kehilangan darah yang banyak merupakan tanda cedera vaskuler.
Nyeri abdomen umumnya ditemukan pada pinggang atau perut bagian atas, dengan
intensitas nyeri yang bervariasi. Bila disertai cedera hepar atau limpa dapat ditemukan tanda
perdarahan didalam perut. Imbibisi darah ke intraperitoneal dapat menimbulkan gejala
rangsangan peritoneum.
Fraktur tulang iga terbawah sering menyertai cedera ginjal. Bila hal ini ditemukan
sebaiknya diperhatikan juga keadaan paru apakah terdapat hematotoraks atau pneumotoraks
dan kemungkinan ruptur limpa.
Pemeriksaan IVP (dengan dosis tinggi dan tomografi) merupakan pilihan pertama saat ini
karena ketersediaan yang relatif luas. Adanya trauma ginjal akan terlihat pada IVP berupa
ekskresi kontras yang berkurang, garis psoas atau kontur ginjal yang menghilang karena
tertutup oleh ekstravasasi urin atau hematoma, skoliosis yang menjauhi sisi yang terkena
trauma karena kontraksi otot psoas serta gambaran ekstravasasi kontras. Adanya bagian
ginjal yang sulit atau tidak terlihat menandakan adanya laserasi dalam, avulsi ataupun oklusi
pembuluh darah. Penentuan beratnya kerusakan ginjal yang lebih akurat memerlukan
pemeriksaan penunjang lain (CT scan atau arteriografi). Tidak adanya ekskresi kontras pada
IVP (nonvisualised) dapat disebabkan oleh avulsi pembuluh darah, robekan intima yang
disertai dengan trombosis dan kadang-kadang dapat pula karena spasme. Setengah dari
kasus nonvisualised ginjal disebabkan oleh cedera pada pedikel ginjal.
Grade Trauma ginjal
Tatalaksana
Hampir 90% trauma tumpul ginjal berupa cedera minor, seperti kontusio ginjal dan
laserasi parenkim ginjal superfisial yang tidak memerlukan tindakan bedah. Tindakan
konservatif berupa istirahat di tempat tidur, analgesik untuk menghilangkan nyeri, serta
observasi status ginjal dengan pemeriksaan kondisi lokal, kadar hemoglobin, hematokrit
serta endapan urin. Indikasi eksplorasi ginjal yaitu syok yang tidak teratasi atau berulang.
Pada laparotomi ditemukan hematoma yang meluas atau berdenyut, dan berdasarkan
penemuan pada IVP, CT scan, dan arteriografi. Pada IVP ditemukan ekstravasasi kontras
dan adanya bagian ginjal yang tidak tervisualisasi. Idealnya dilakukan CT scan. Bila kedua
fasilitas tidak tersedia, pada trauma tajam kecenderungannya lebih agresif, sedangkan pada
trauma tumpul lebih konservatif.[1]
BAB III
KESIMPULAN
Trauma abdomen adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera pada
abdomen sehingga terjadi gangguan sel yang disebabkan oleh pertukaran dengan energi
lingkungan yang melampaui ketahanan tubuh. Abdomen dapat dibagi menjadi empat
kuadran (kuadran kanan atas dan bawah, dan kuadran kiri atas dan bawah) atau sembilan
regio (epigastrium, umbilikus, suprapubik, hipokondrium kanan dan kiri, lumbal kanan dan
kiri, dan illiaca kanan dan kiri). Pembagian ini membantu memudahkan kita dalam
menganalisa kemungkinan organ yang terkena pada suatu kejadian trauma.
Trauma abdomen dapat berupa trauma tajam atau penetrasi dan trauma tumpul. Penyebab
trauma dapat bermacam-macam, seperti benda tajam, benda tumpul, ataupun peluru. Dapat
juga terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan atau pukulan, perlambatan (deselerasi),
dan kompresi.
Pada trauma tumpul cedera yang terjadi dapat berupa memar, luka jaringan lunak, cedera
muskuloskeletal, dan kerusakan organ abdomen. Kadang pada trauma tumpul bahkan tidak
memberikan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusio
atau laserasi jaringan atau organ dibawahnya. Organ padat seperti lien dan hati adalah yang
paling sering terkena pada trauma tumpul abdomen.
Informasi mengenai keluhan pasien, bagaimana dan kapan terjadinya, dan pemeriksaan
fisik serta penunjang yang tepat akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosa.
Sehingga dapat diberikan terapi ataupun tindakan yang sesuai dengan keadaan klinis pasien.
Pada cedera trauma tembus atau penetrasi maka harus dilakukan eksplorasi terhadap luka
untuk mengetahui kedalaman cedera.
top related