syok interna rst
Post on 05-Aug-2015
135 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
SYOK HIPOVOLEMIK
Syok hipovolemik dapat terjadi akibat : (1) perdarahan, di mana terjadi kehilangan
komponen darah pada intravaskular , dan (2) kehilangan volume plasma, di mana terjadi
sekuestrasi cairan ekstravaskular atau kehilangan cairan melalui traktus gastrointestinal,
urinarius, atau insensible loss6.
Syok hipovolemik mulai terjadi bila tubuh kehilangan lebih dari 15% volume
intravaskular. Frekuensi denyut jantung dan SVR meningkat sebagai akibat pelepasan
katekolamin. Kompensasi ini akan meningkatkan curah jantung dan tekanan perfusi
jaringan3.
Mekanisme kompensasi lain yang terjadi adalah masuknya cairan interstisial ke
intravaskular akibat berkurangnya tekanan hidrostatik kapiler. Hati dan lien juga melepaskan
cadangan eritrosit. Di ginjal, terjadi aktivasi sistem RAA sehingga terjadi retensi air dan
natrium yang diperkuat oleh ADH yang dilepaskan oleh hipofisis posterior.
Derajat syok dinilai dari manifestasi klinis syok yang berhubungan dengan persentase
kehilangan volume 6
Tabel 2. : Klasifikasi Syok Hipovolemik
Parameter Derajat I Derajat II Derajat III Derajat IV
Kehilangan volume (mL)
<750 750-1500 1500-2000 >2000
Kehilangan volume(%) >15 15-30 30-40 >40Frekuensi Nadi <100 >100 >120 >140Tekanan Darah Normal Normal Menurun MenurunTekanan Nadi (mm Hg) Normal Menurun Menurun MenurunFrekunesi Pernafasan 14-20 20-30 30-40 >35Produksi Urin (ml/jam) >30 20-30 5-15 Tidak berartiKesadaran Sedikit gelisah Lebih
gelisahGelisah,
disorientasiLetargi
⋅ Estimasi berdasarkan pasien dengan BB 70 kg⋅ Diadaptasi dari American College of Surgeons. Shock. Dalam : Advanced Trauma Life
Support Manual. Chicago: American College of Surgeons, 1997: 87 – 107
Pada umumnya, syok hipovolemik derajat I dan II masih terkompensasi dengan
respon adrenergik untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Pada derajat II, di
mana perdarahan masih terus berlangsung, MAP dapat menurun dengan cepat akibat
penurunan tonus simpatis yang berlebihan; dikenal dengan nama refleks Bezold-Jarisch atau
empty-ventricle effect. Refleks Bezold-Jarisch timbul ketika volume darah yang hilang
kurang lebih 20%9.
Ketidakmampuan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 90 mmHg
setelah hipovolemia akibat trauma berhubungan dengan peningkatan mortalitas di atas 50% 6.
Syok menjadi ireversibel pada fase IV9.
Penting untuk membedakan syok hipovolemik dan syok kardiogenik karena
penatalaksaan kedua jenis syok ini sangat berbeda. Adanya distensi vena jugularis, ronki, dan
gallop S3 dapat sebagai penanda syok kardiogenik. Bila diagnosis sulit ditegakkan atau secara
klinis keduanya memiliki kemungkinan terjadi bersamaan, maka pemasangan kateter arteri
pulmonalis sebagai monitor, dapat membantu penatalaksanaan selanjutnya4,6.
Gambar 3. : Patofisiologi Syok Hipovolemik
Baldwin, K. Morris, S. Shock, Multiple Organ Dysfunction Syndrome, and Burns in Adults. Dalam McCance, K. Huether, S. Pathophysiology, The Biologic Basis for Disease in Adults & Children 4th ed. Missouri, USA : Mosby. 2002. hal : 1487
Tujuan dari tatalaksana syok hipovolemik adalah mengembalikan volume yang hilang
dan menghentikan kehilangan volume yang masih terjadi 5,6,7. Sebagai resusitasi awal dapat
diberikan cairan kristaloid sebanyak 500-1000 mL dalam 15-20 mnt. Bila setelah pemberian
sebanyak 3L tidak dapat memperbaiki hemodinamik, harus segera diberikan produk darah1.
Jumlah cairan kristaloid yang dibutuhkan untuk menggantikan volume yang hilang
pada syok hipovolemik akibat perdarahan, minimal tiga kali volume perkiraan darah yang
hilang. Bila tekanan darah tidak mengalami perbaikan setelah pemberian 2 L kristaloid, maka
hal ini mengindikasikan jumlah darah yang hilang lebih dari 1500 mL dan perdarahan masih
berlangsung. Pada kondisi ini diberikan transfusi darah. Alternatif lain yang dapat diberikan
adalah salin hipertonik, koloid, dan produk darah6.
Salin Hipertonik
Penggunaan salin hipertonik atau salin hipertonik dengan dekstran pada awal resustasi
dapat meningkatkan MAP dan volume plasma. Dasar penggunaan cairan hipertonik sebagai
cairan resusitasi adalah bahwa cairan ini menarik cairan interstisial dan intrasel ke
intravaskular,8. Dari berbagai studi yang membandingkan efek salin hipertonik, salin
hipertonik-dekstran, dan kristaloid; ditemukan bahwa tidak ada perbedaan angka mortalitas
dan komplikasi. Pada studi multicentre lainnya, ditemukan bahwa penambahan dekstran pada
salin hipertonik tidak memberikan keuntungan yang signifikan. Namun pada sebuah meta-
analisis terhadap pasien syok hipovolemik dengan trauma kepala berat, pemberian salin
hipertonik dengan dekstran dapat menaikkan angka harapan hidup sebanyak 2 kali lipat.
Sebagai simpulan, salin hipertonik memberikan sedikit keuntungan sebagai cairan resusitasi;
terutama pada keadaan di mana persediaan cairan terbatas, sedangkan dibutuhkan waktu
evakuasi yang panjang6.
Koloid
Banyak kontroversi mengenai penggunaan koloid sebagai cairan resusitasi
dibandingkan dengan kristaloid. Schierhout dan Roberts melaporkan dari pengamatan
sistematik terhadap 26 randomized controlled trials tentang perbandingan kristaloid dan
koloid; bahwa tidak ada bukti yang mendukung penggunaan koloid lebih superior daripada
kristaloid7. Pada sebuah meta analisis lain yang membandingkan efek albumin, fraksi protein
plasma, dan kristaloid terhadap lebih dari 500 pasien dalam 20 penelitian; ditemukan bahwa
tidak ada satu studi pun yang menunjukkan keunggulan signifikan antara albumin dan
kristaloid6.
BAB III
SYOK KARDIOGENIK
Patofisiologi
Syok kardiogenik terjadi akibat kegagalan fungsi pompa jantung untuk memompa
darah sehingga jaringan tidak dapat melakukan proses metabolisme. Berangkat dari hal
tersebut, maka klinis syok kardiogenik mencakup : curah jantung yang rendah, hipoksia
jaringan, dengan volume intravaskular yang adekuat6.
Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan disfungsi ventrikel kiri
mengakibatkan penurunan tekanan darah sistemik. Respon adrenergik akan meningkatkan
frekuensi denyut jantung, kontraktilitas miokard, dan konstriksi dari arteri dan vena.
Sedangkan sistem RAA yang diaktivasi oleh penurunan perfusi renal dan rangsangan
simpatis, mengakibatkan vasokonstriksi lebih lanjut serta retensi air dan garam6.
Bila terjadi hipotensi, sekresi ADH akan meningkat sehingga terjadi retensi air lebih
lanjut. Penurunan tekanan darah akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
yang disebabkan oleh retensi air dan terganggunya fungsi ventrikel kiri; akan mengurangi
tekanan perfusi koroner juga oksigenasi miokard6.
Sementara itu, peningkatan frekuensi denyut jantung, SVR, dan kontraktilitas jantung
akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Ketidakseimbangan asupan dan kebutuhan
oksigen ini akan mengakibatkan kerusakan ventrikel kiri lebih lanjut dan bila tidak
ditatalaksana dengan baik akan berujung pada kegagalan sirkulasi6.
Penyakit yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi jantung dan memburuk
menjadi syok kardiogenik ialah miokard infark, miokarditis akut, aritmia, dan kardiomiopati.
Dari otopsi pasien-pasien yang meninggal karena syok kardiogenik menunjukkan kehilangan
lebih dari 40% otot miokard ventrikel kiri. Patofisiologi syok kardiogenik meliputi6 :
- Patologi miokard
Syok kardiogenik menyebabkan nekrosis miokard yang progresif, menurunnya
tekanan perfusi koroner, dan meningkatnya kebutuhan oksigen di miokardium
sehingga menyebabkan iskemia, sehingga compliance miokardium menurun, tekanan
pengisian ventrikel kiri meningkat, yang dapat mengakibatkan odem paru dan
hipoksemia.
- Patologi selular
Hipoperfusi jaringan mengakibatkan hipoksia selular, sehingga terjadi glikolisis
anaerob, akumulasi asam laktat, dan asidosis intraselular. Selain itu transport
membran miosit gagal memompa, sehingga terjadi pembengkakan miosit karena
akumulasi natrium dan kalsium. Bila iskemia bertambah berat dan lama, cedera
miokard selular akan mengakibatkan mionekrosis dan apoptosis terjadi di daerah
periinfark.
- Shock state
Sindrom yang ditimbulkan oleh hipoperfusi sistemik akut yang mengakibatkan
hipoksia dan disfungsi organ vital.
Klinis
Manifestasi klinis syok kardiogenik merupakan konsekuensi dari berkurangnya
perfusi perifer, respon adrenergik, dan ketidakmampuan jantung untuk mengakomodasi curah
balik vena pulmoner. Kecuali konsekuensi yang terakhir ini, tanda-tanda klinis syok
kardiogenik sama dengan pada syok hipovolemik 6,10.
Bila syok terjadi akibat gagal jantung kanan, maka tanda klinis yang dominan adalah
akibat dari akumulasi cairan di vena sistemik dan vena kapasitans. Di sisi lain, bila yang
terjadi adalah gagal jantung kiri, maka tanda klinis yang terjadi adalah akibat peningkatan
cairan ekstravaskular di paru-paru. Cairan interstisial paru-paru melebihi kapasitas limfatik
pulmoner, sehingga tejadi edema. Edema paru menunjukkan gejala klinis bila tekanan di atas
24 mmHg10.
Hemodinamik pada umumnya menunjukkan gejala hipotensi. Namun pada pasien
dengan riwayat hipertensi, tekanan sistolik dapat melebihi 90 mmHg. Parameter lain yang
lebih sensitif adalah penurunan MAP sebanyak 30 mmHg dan tekanan nadi kurang dari 20
mmHg10.
Pada auskultasi jantung kita dapat menemukan bunyi jantung S3 atau S4. Adanya
murmur dapat merupakan tanda adanya disfungsi katup atau defek septal10.
Gambar 4. : Patofisiologi Syok Kardiogenik
Diadaptasi dari : Nathens, AB. Maier, RV. Shock and Resuscitation. Dalam: Norton,JA et.al editor. Surgery Basic Science and Clinical Evidence. New York, USA; Springer. 2001. hal : 266
Diagnosa
Adanya riwayat penyakit jantung sebelumnya dapat membantu menegakkan diagnosa.
Sarana pemeriksaan penunjang penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa
adalah6,10 :
1. Elektrokardiogram (EKG)
Merupakan pemeriksan penunjang yang harus dilakukan pertama kali. EKG
dapat membantu mendeteksi adanya iskemi\atau infark miokard, aritmia, dan
beberapa kelainan elektrolit.
2. Rontgen toraks
Dapat memberikan informasi adanya edema paru, efusi pleura, pembesaran
jantung, dan kelainan sihouette jantung (mis: double contour pada tamponade
kardiak).
Left ventricle dysfunction
Myocardial oxygen demand Myocardial oxygen delivery Sistemic blood pressure
Coronary perfusion pressure
Perceived reduction in circulating blood volume
Sympathetic tone RAA systemADH
LVEDP
Salt and water retention
Heart rate Myocardial contractilitySVR
3. Enzim jantung
Merupakan penanda infark miokard. Bila memungkinkan, dilakukan
pemeriksaan B- type Natriuretic Peptide. Peptida ini berhubungan dengan EDP
ventrikel dan merupakan prediktor kuat timbulnya gagal jantung setelah infark
miokard akut (IMA).
4. Analisa gas darah
Memberikan informasi mengenai status oksigen darah.
5. Ekokardiografi transtorakal
Pemeriksaan non invasif yang baik dalam mencari diagnosa banding syok
kardiogenik atau penyebabnya.
6. Urin
Pemeriksaan kadar natrium urin dan osmolaritas urin dapat menggambarkan
fungsi ginjal dalam meretensi natrium dan urin.
Tatalaksana
Prinsip tatalaksana syok kardiogenik adalah mencegah disfungsi miokard lebih lanjut
dengan memperbaiki oksigenasi dan ventilasi, koreksi ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa, dan memperbaiki irama jantung menjadi sinus10.
1. Pastikan Airway-Breathing-Circulation. Pasang monitor hemodinamik, irama jantung,
dan pulse oxymetri
2. Identifikasi dan koreksi segera bila terjadi gangguan irama, hipoksemia, hipovolemia, dan
gangguan elektrolit.
3. Bila ada keluhan angina : nitrogliserin 5 - 100 μg/mnt, IV (titrasi) atau morfin sulfat 0,25
mg , IV; dapat diulang dengan memperhatikan status hemodinamik.
4. Bila terjadi hipotensi ringan sampai dengan sedang ,tanpa hipovolemi : dobutamin 2,5 –
20 μg/kg/mnt, IV. Pada hipotensi berat : dopamin 2,5 – 20 μg/kg/mnt, IV. Dosis dititrasi
sesuai efek yang diinginkan.
5. Untuk memperbaiki curah jantung melalui reduksi preload dan afterload : nitrogliserin 5
– 100 μg/mnt, IV dan sodium nitroprusside 0,5 – 10 100 μg/mnt, IV.
6. Bila hipotensi tetap tidak dapat dikoreksi : norepinefrin, dimulai dengan dosis 0,02 – 0,25
μg/kg/mnt, IV7, dititrasi sesuai efek yang diinginkan.
7. Salah satu terapi adjuvan adalah intraaortic baloon couterpulsation (IABC) 6,10.
Digunakan pada disfungsi jantung yang berat sebelum dilakukan intervensi lebih lanjut.
IABC ditempatkan di aota descenden torakalis melalui arteri femoralis. Pengembangan
balon saat diastol akan memperkuat tekanan diastol di pangkal aorta sehingga terjadi
perbaikan aliran darah koroner. Pengempisan balon saat sistol akan mengurangi afterload.
Kedua efek yang ditimbulkan ini akan mengubah metabolisme oksigen miokard dan
menghentikan prosuksi laktat. Terdapat beberapa bukti bahwa penggunaan IABC dapat
meningkatkan angka kesintasan.
8. Bila dibutuhkan : terapi trombolitik, angioplasti transluminal perkutaneus atau bypass
arteri koroner.
Sumber:Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV, 2006.
BAB IV
SYOK SEPTIK
Syok septik merupakan penyebab kematian tersering pada pasien ICU bedah. Sebuah
studi di rumah sakit pendidikan menyatakan bahwa 50% pasien sepsis akan mengalami syok
septik, dengan angka kematian rata-rata 45%11. Tempat infeksi yang paling sering adalah
paru-paru, abdomen, dan traktus urinarius. Bakteri adalah penyebab sepsis yang paling
sering; gram negatif sebanyak k 35-40% dan gram positif sebanyak 55-60%. Faktor risiko
untuk infeksi bakteri gram negatif adalah diabetes mellitus, sirosis, luka bakar, prosedur
invasif, dan kemoterapi. Sedangkan faktor risiko untuk infeksi gram positif adalah
penggunaan kateter vaskular, alat mekanik, dan obat intravena, serta luka bakar. Sepsis akibat
non bakteri biasanya dijumpai pada pasien dengan immunocompromised7.
Perjalanan sepsis dimulai dari respon tubuh terhadap infeksi yang dikenal dengan
nama sistemic inflammatory response syndrome (SIRS). Pada tahun 1992, Bone dan kawan-
kawan mempublikasikan konsensus kategori sepsis-related inflammatory response yang
masih dipakai hingga sekarang7:
Tabel 3. : KRITERIA EMPAT KATEGORI SIRSSIRS2 atau lebih kriteria berikut :
Temperatur inti di atas 38°C atau di bawah 36°C Frekuensi denyut jantung > 90 kali/menit Frekuensi pernafasan > 20 x/menit untuk pasien dengan pernafasan spontan
atau PaCO2 < 32 mmHg Hitung leukosit >12.000 sel/mm3 atau <4.000 sel/mm3 atau >10% sel batang di
pewarnaan darah tepi SepsisMemenuhi kriteria SIRS dengan konfirmasi fokus infeksi
Sepsis BeratSepsis yang berhubungan dengan disfungsi organ dan hipoperfusi
Indikator hipoperfusi : Tekanan sistolik <90 mmHg Penurunan tekanan sistolik >40 mmHg Asidosis laktat Oliguria Perubahan akut dari status mental
Syok SeptikKeadaan sepsis berat yang :
Tidak responsif terhadap resusitasi cairan Membutuhkan agen inotropik dan vasopresor untuk mempertahankan tekanan
sistolik
Diadaptasi dari Mullins, RJ. Shock, Electrolytes, and Fluid. Dalam Townsend, CM et. al ,editor.Sabiston textbook of Surgery 17th ed. Pennsylvania, USA : Lippincot Williams & Wilkins. 2004. hal : 100
Patofisiologi
Sepsis merupakan kulminasi dari interaksi antara mikroorganisme, imunitas pejamu,
dan respon inflamasi dan koagulasi. Disfungsi organ terjadi bila respon pejamu tidak adekuat
terhadap infeksi12.
Respon Inflamasi
Gambar 5. : Respon Inflamasi pada Sepsis
Russell, JA. Management of Sepsis.N Engl J Med 2006 ;355:1702
Bakteri gram negatif dan positif , virus, dan jamur memiliki molekul dinding sel yang
unik, yang disebut pathogen-associated molecular patterns yang terikat pada pattern
recognition receptor (toll-like receptors TLRs) di permukaan sel imun. Lipopolisakarida
dari bakteri gram negatif terikat pada protein pengikat lipopolisakarida, kompleks CD14.
Peptidoglikan pada bakteri gram positif dan lipopolisakarida pada bakteri gram negatif terikat
pada TLR-2 dan TLR-4. Kompleks ini kemudian mengaktivasi jalur transduksi sinyal
intraselular yang mengakibatkan aktivasi cytosolic nuclear factor κB (NF-κB). NF-κB yang
teraktivasi pindah dari sitoplasma menuju nukleus, terikat pada situs inisiasi transkripsi dan
kemudian meningkatkan transkripsi berbagai sitokin seperti : TNF-α, IL-1β, IL-10. TNF-α
dan IL-1β merupakan sitokin pro-inflamasi yang mengaktivasi respon adaptasi imun dan juga
menyebabkan kerusakan pejamu secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan IL-10
merupakan sitokin anti inflamasi yang meng-inaktivasi makrofag dan menimbulkan efek anti
inflamasi lainnya12.
Sepsis meningkatkan aktivitas iNOS yang merangsang sintesa NO; yang merupakan
vasodilator poten. Sitokin merangsang neutrofil, monosit, makrofag, dan trombosit terikat
pada endotel melalui reseptor adhesi yang kemudian mengakibatkan kerusakan endotel.
Endotel tersebut kemudian melepaskan mediator-mediator seperti : protease, oksidan,
prostaglandin, dan leukotrien. Mediator-mediator ini merusak endotel sehingga permeabilitas
pembuluh darah meningkat, terjadi vasodilatasi, dan gangguan keseimbangan faktor pro-
prokoagulan dan anti koagulan. Sitokin juga mengaktivasi jalur koagulasi12.
Respon Pro-Koagulasi
Sepsis meng-inisiasi koagulasi melalui aktivasi endotel yang kemudian meningkatkan
ekspresi faktor jaringan. Faktor koagulasi yang teraktivasi terutama adalah faktor Va dan
VIIIa. Pembentukan trombi dan pelepasan mediator akibat obstruksi mikrovaskular; yang
kemudian menyebabkan iskemia dan hipoksia jaringan, semakin memperburuk kerusakan
sel12.
Pada keadaan normal, antikoagulan alami (protein C dan protein S), antitrombin III,
dan tissue factor-pathway inhibitor (TFPI) akan menghambat koagulasi, meningkatkan
fibrinolisis, dan memindahkan mikrotrombi. Protein C dengan kofaktornya protein S
membentuk kompleks yang meng-inaktivasi faktor Va dan VIIIa , juga menurunkan sintesis
plasminogen-activator inhibitor 1 (PAI-1). Aktivasi protein C sendiri diperantarai oleh
trombin- α yang terikat pada trombomodulin pada endotel12.
Gambar 6. : Respon Koagulasi pada Sepsis
Russell, JA. Management of Sepsis.N Engl J Med 2006 ;355: 1703
Pada sepsis terjadi penurunan kadar faktor-faktor tersebut. Lipopolisakarida dan TNF-
α menurunkan sintesa trombomodulin dan endothelial protein C receptor (EPCR), yang
kemudian menurunkan aktivasi protein C. Sepsis juga menurunkan ekspresi EPCR, sehingga
jalur aktivasi protein C terganggu lebih lanjut. Selain itu, lipopolisakarida dan TNF-α
meningkatkan kadar PAI-1, sehingga fibrinolisis terhambat.
Tatalaksana11
1. Pastikan A-B-C.
2. Stabilisasi hemodinamik (resusitasi cairan)
3. Bila tidak ada respon dari resusitasi cairan, dapat diberikan dopamin 5-20 μg/kg/mnt ,
IV dengan dosis titrasi.
4. Bila tetap hipotensi, dapat diberikan norepinefrin 8-12 μg/mnt, IV sebagai loading dose
dan 2-4 μg/mnt, IV sebagai dosis rumatan untuk mempertahankan MAP minimal 60
mmHg.
5. Identifikasi sumber infeksi dan berikan antibioti empiris sesuai fokus infeksi. Bila
sumber infeksi belum diketahui, berikan antibiotik yang mencakup bakteri gram positif
dan negatif.
6. Koreksi asidosis
7. Bila terjadi DIC : FFP 15 -20 mL/kg untuk mempertahankan PT 1,5 – 2 kali nilai
normal. Trombosit dapat diberikan untuk mempertahankan konsentrasi minimal
50.000/μL
8. Monitor ketat gula darah : 80-100 mg/dL dengan terapi insulin jika dibutuhkan
Gambar 7. : Patofisiologi Syok Septik
Baldwin, K. Morris, S. Shock, Multiple Organ Dysfunction Syndrome, and Burns in Adults. Dalam McCance, K. Huether, S. Pathophysiology, The Biologic Basis for Disease in Adults & Children 4th ed. Missouri, USA : Mosby. 2002. hal : 1491
Beberapa isu dari tatalaksana syok septik adalah13 :
Activated protein C
Recombinant human activated protein C, merupakan agen anti inflamasi pertama yang
terbukti efektif dalam tatalaksana sepsis. Pemberian activated protein C dapat
mengurangi risiko relatif mortalitas sebanyak 19,4% dan risiko absolut sebanyak 6,1%.
Efek antiapoptosis protein C diduga berkontribusi terhadap efektifitas penggunaannya.
Terapi insulin intensif untuk hiperglikemia
Penelitian Van den Berghe et al menunjukkan bahwa terapi insulin intensif untuk
mempertahankan kadar gula darah pada level 80-100 mg/dL dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien dibandingkan terapi konvensional yang
mempertahankan gula darah pada level 180-200 mg/dL. Metode ini juga menurunkan
rekurensi sepsis sebanyak 46%.
Mekanisme proteksi insulin terhadap sepsis belum sepenuhnya diketahui. Hipotesa
yang ada adalah insulin memiliki efek anti-apoptosis dan koreksi hiperglikemia dapat
memperbaiki fungsi fagositik neutrofil.
Resusitasi cairan
Menggunakan metode Early Goal Directed Therapy (EGDT), di mana perbaikan
hemodinamik pasien dilakukan dalam waktu 6 jam (golden period). Metode ini akan
dibahas tersendiri. Penelitian Rivers et. al menunjukkan bahwa pada kelompok pasien
yang menerima EGDT, terjadi perbaikan konsentrasi oksigen vena sentral, penurunan
kadar laktat, defisit basa, dan rata-rata nilai pH lebih tinggi. Angka mortalitas pada
kelompok ini adalah 30,5% sedangkan pada kelompok kontrol 46,5%
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi tidak memperbaiki kesintasan, di sisi lain malah
dapat meningkatkan frekuensi infeksi sekunder.
Gambar 8. : Alur Tatalaksana Syok Septik
Russell, JA. Management of Sepsis.N Engl J Med 2006 ;355:1704
BAB V
SYOK ANAFILAKTIK
Merupakan akibat dari reaksi hipersensitivitas yang hebat, yang disebut anafilaksis.
Dimulai dari reaksi alergi yang merupakan respon imun dan inflamasi terhadap alergen
tertentu. Efek vaskular yang terjadi adalah vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
vaskular yang mengakibatkan edema jaringan dan pengumpulan cairan di perifer. Sedangkan
efek ekstravaskular adalah konstriksi otot polos. Hal ini mengakibatkan distres pernafasan,
karena terjadi konstriksi otot polos sepanjang dinding jalan nafas3.
Manifestasi klinis yang terjadi pada awal terjadinya syok adalah gelisah, sulit
bernafas, kram gastrointestinal, edema, urtikaria, sensasi terbakar dan gatal pada kulit3.
Gambar 9. :Patofisiologi Syok Anafilaktik
McCance, K. Huether, S. Pathophysiology, The Biologic Basis for Disease in Adults & Children 4th ed. Missouri, USA : Mosby. 2002. hal : 1489
Reaksi timbul sewaktu alergen masuk ketubuh, merangsang sintesa IgE yang terikat
pada permukaan sel mast dan basofil akan mengaktifkan mediator kimiawi, seperti Histamin,
5-Hydroxytryptamin, kinin, derivat as. Arakidonat, dan timbul respon alergi. Respon
fisiologis dari mediator ini ialah kontraksi otot polos saluran napas dan saluran pernapasan,
vasodilatasi, peningkatan permebilitas vaskular, dan perangsangan saraf sensoris3.
Mekanisme dan obat pencetus anafilaksis3 :
Anafilaksis (melalui IgE):
- Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
- Ekstrak alergen (bisa tawon, polen)
- Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
- Enzim (kemopapain, tripsin)
- Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
- Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melalui IgE):
- Zat pelepas histamin secara langsung: Obat (opiat, vankomisin, kurare),
cairan hipertonik (kontras, manitol).
- Aktivasi komplemen: imunoglobulin
- Modulasi metabolisme asam arakidonat: asam asetilsalisilat,NSAID.
GEJALA KLINIK
Mengenal gambaran klinik anafilaksis merupakan langkah pertama menuju diagnosis.
Pada anafilaksis beberapa organ dapat terlibat baik secara berurutan ataupun serempak3.
Pada anafilaksis gejala atau tanda yang paling sering ditemukan adalah organ kulit
seperti pruritus, urtikaria, angioedema, atau kemerahan dapat terjadi pada lebih 80% pasien,
berikut gejala saluran napas 40-60% pasien, gejala kardiovaskular 20-40% dan sisanya organ-
organ yang lain kurang dari 20%, seperti keluhan gatrointestinal yang umumnya disebabkan
oleh alergi makanan13.
Tabel 4. Gambaran klinik anfilaksis1
Gejala umumGelisah, lesu, lemah, rasa tidak enak yang sukar dilukiskan.Parestesia (di tangan, bibir, mulut,atau lidah), mulut rasa kering, rasa tidak enak dimulut.
Kulit, subkutan, mukosa
Kongesti hidung, rinore, eritema konjungtiva, lakrimasi, gatal ditelapak tangan/kaki, lipat paha/ketiak, muka, hidung/mata. Eritema di muka, leher, badan bgn atas, urtikaria.
odem periorbitaangioedema di lidah, bibir, telinga, leher, dan bgn tubuh yang lain
Gastrointestinal Mual, muntah, Sakit perut, termasuk kontraksi uterus, diare.
Pernapasan
Edema saluran napas bgn atas menyebabkan gangguan bicara/menelan, suara serak, stridor. Rasa tertekan/sakit didada/tenggorok,sesak, takipneu, bronkospasme, batuk, hipoksemia,sianosis sentral.
Kardiovaskular
Takikardia berkaitan dgn vasodilatasi&penurunan tek. Darah, terutama tek. diastolik.Hipotensi sistolik disertai takikardia&bradikardia relatif.Berkeringat&gagal sirkulasi(pengisian kapiler > 2dtk), pucat dan atau sianosis perifer.T terbalik, ST depresi dengan/tampa nyeri dada, aritmia, renjatan kardiogenik& odem paru.Henti jantung.
SSPSakit kepala berdenyut, pusing, mau pingsan, hilang penglihatan, hilang kesadaran, bingung.
Tabel 5. Derajat berat reaksi Hipersensitivitas yang luas1.
DERAJAT GAMBARAN KLINIK
Ringan (hanya kulit dan jaringan submukosa)Eritema luas, edema periorbita, atau
angioedema.
Sedang (keterlibatan pernapasan, kardiovaskuler, gastrointestinal).
Sesak, stridor, mengi, mual, muntah, pusing, presinkop, diaforesis, rasa tertekan
didada/tenggorokan,atau sakit perut.
Berat (hipoksia,hipotensi,atau deficit neurologik).
Sianosis/ SpO₂ < 92% pada tiap tingkat, hipotensi, bingung, kolaps, hilang/
inkontinens.
Kriteria klinik diagnosis Anafilaksis menurut National institute of Allergy and Infectious
Disease dan the Food Allergy and anaphylaxis network1:
Terjadinya penyakit segera (beberapa menit sampai beberapa jam) yang melibatkan
kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (urtikaria yang merata, pruritus, atau
kemerahan, edema bibir, lidah ,uvula) dan yang paling sedikit satu dari berikut ini:
- Gangguan pernapasan (sesak, mengi-bronkospasme, stridor, penurunan arus
puncak ekspirasi (APE), hipoksemia.
- Penurunan tekanan darah atau berhubungan dengan disfungsi organ
(hipotonia/kolaps, pingsan, inkontinens).
Dua atau lebih dari penanda berikut ini yang terjadi segera setelah terpapar serupa
alergen pada penderita (beberapa menit sampai beberapa jam):
- Keterlibatan kulit jaringan mukosa (urtikaria yang merata, pruritus-
kemerahan, oedema pada bibir-lidah-uvula).
- Gangguan pernapasan (sesak, mengi-bronkospasme, stridor, penurunan APE,
hipoksemia).
- Penurunan tekanan darah atau gejala yagn berhubungan (hipotonia/kolaps,
pingsan, inkontinens).
- Gejala gastointestinal yang menetap ( kram perut, sakit, muntah).
Penurunan tekanan darah segera setelah terpapar alergen (beberapa menit sampai
beberapa jam)
- Bayi dan anak: tekanan darah sistolik rendah (tgt umur), atau penurunan lebih
dari 30% tekanan darah sistolik.
- Dewasa: tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan lebih
dari 30% nilai basal pasien.1
TATA LAKSANA
Sebagaimana keadaan gawat lainnya, pengobatan anafilaksis dimulai dengan menilai
ABC (airway, breathing, circulation). Setelah diagnosa ditegakkan, epinefrin/adrenalin
sebagai obat pilihan segera diberikan. Pemberian intramuskuler lebih baik daripada subkutan
dalam mencapai kadarnya didalam darah, baik pada anak maupun dewasa. Pasien yang tetap
mengalami hipotensi memerlukan pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar, karena
diperkirakan pada kasus anafilaksis berat, kehilangan cairan dapat mencapai 35% dari
volume darah dalam 10 menit pertama. Antihistamin H1 dan H2 mulai kerja lama dan efek
kerja terhadap tekanan darah kecil, sehingga dianggap sebagai obat lini kedua. Antihistamin
bermanfaat untuk mengatasi pruritus, urtikaria, dan angioedema. Begitu pula dengan
kortikoseroid dianggap sebagai obat lini kedua karena kurang bermanfaat pada fase akut,
akan tetapi bermanfaat utnuk mencegah reaksi bifasik atau protracted1.
Berikut ini adalah panduan pengobatan Anafilaksis menurut Brown:
1. Hentikan pencetus, nilai beratnya reaksi dan berikan terapi yang sesuai: adrenalin IM
(paha lateral) 0,01 mg/kg boleh sampai 0,5 mg.
Pasang infus, berbaring rata/tinggikan posisi kaki bila mungkin, berikan oksigen
aliran tinggi, alat bantu napas/ventilasi bila diperlukan.
Bila hipotensi: akses IV tambahan (jarum 14 G atau 16 G pada orang dewasa) untuk
infus NaCl fisiologis.
2. Bila respon tidak adekuat, keadaan mengancam kehidupan, atau memburuk: mulai
dengan infus adrenalin sesuai dengan panduan/protokol rumah sakit atau ulang
adrenalin IM setiap 3-5 menit bila diperlukan .
Pertimbangkan hal-hal berikut:
Hipotensi:
- Ulangi infus NaCl fisiologis 10-20 ml/kg dapat mencapai 50 ml/kg dalam 30
menit pertama.
- IV atropin 0,02 mg/kg bila bradikardi berat dosis minimum 0,1 mg.
- IV vasopresor untuk mengatasi vasodilatasi. Pada henti jantung adrenalin
dapat ditingkatkan menjadi 3-5 mg setiap 2-3 menit mungkin efektif.
- IV glukagon pada pasien yang memakai obat penyekat beta. 1-5 mg diikuti 5-
15 mikrogram/menit (dewasa).
Bronkospasme:
- Inhalasi salbutamol secara kontinyu.
- IV hidrokortison 5 mg/kg diikuti prednison 1 mg/kg max 50 mg selama 4 hari.
Obstruksi saluran napas bagian atas
- Adrenalin inhalasi ( 5mg atau 5 ml sediaan adrenalin 1: 1000)
- Persiapkan tindakan bedah
3. Lama observasi dan tindak lanjut
Observasi paling tidak 4 jam setelah semua gejala dan tanda menghilang.
Sebelum dipulangkan pasien diberikan penjelasan mengenai alergen tersangka
dan upaya penghindarannya, serta dirujuk ke konsultan alergi dan Imunologi.
Di negara maju setelah diberikan penjelasan dan pelatihan sebagian pasien
dibekali EPIPEN yaitu adrenalin 0,3 atau 0,15 yang siap pakai.1
PENCEGAHANPasien yang pernah mengalami reaksi anfilaksis mempunyai risiko untuk memperoleh
reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien ini harus dikenali dan diberi
peringatan dan bila perlu diberi tanda peringatan pada ikat pinggang atau dompetnya.
Kadang-kadang kepada pasien dibekali suntikan adrenalin yang harus dibawa kemanapun ia
pergi. Hal ini terutama bila pencetus alergi tersebut timbul tidak terduga seperti pada
sengatan tawon atau anafilaksis idiopatik13.
Pasien asma dan penyakit jantung bila mendapat serangan anafilaksis bisa jauh lebih
berat oleh karena itu setiap pasien asma atau jantung harus mendapat pengobatan yang
optimal. Pasien yang mempunyai risiko anafilaksis dianjurkan untuk tidak memakai obat-
obatan penyekat beta, karena bila terjadi reaksi anfilaksis, pengobatannya menjadi lebih
sulit13.
Beberapa keadaan dilaporkan adanya tindakan pencegahan untuk menghindari reaksi
anafilaksis. Greenberger dkk memberikan1,13:
Prednison dan antihistamin sebelum memberikan media kontras pemeriksaan
radiologik kepada pasien yang mempunyai risiko.
Tindakan desensitisasi jangka pendek dengan penisilin.
Desentisasi jangka panjang kepada pasien yang alergi terhadap sengatan tawon.
Hati-hati dalam memberikan obat pada pasien yang berisiko dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
o Sebelum memberikan obat:
1) Adakah indikasi pemberian obat
2) Adakah riwayat alergi obat sebelumnya
3) Apakah pasien mempunyai risiko alergi obat
4) Apakah obat tersebut perlu diuji kulit dulu
5) Adakah pengobatan pencegahan untuk mengurangi reaksi alergi
o Sewaktu minum obat:
1) Kalau mungkin obat diberikan secara oral
2) Hindari pemakaian intermitten
3) Sesudah memberikan suntikan pasien harus selalu diobservasi
4) Beritahu pasien kemungkinan reaksi yang terjadi
5) Sediakan obat atau alat untuk mengatasi keadaan darurat
6) Bila mungkin lakukan uji provokasi atau desensitisasi
o Sesudah minum obat:
1) Kenali tanda dini reaksi alergi obat
2) Hentikan obat bila terjadi reaksi
3) Tindakan imunisasi sangat dianjurkan
4) Bila terjadi reaksi berikan penjelasan dasar kepada pasien agar kejadian
tersebut tidak terulang kembali.
BAB VI
SYOK NEUROGENIK
Syok neurogenik yang disebut juga dengan syok vasogenik, diakibatkan oleh trauma
akut medula spinalis servikal atau torakal letak tinggi 3,6.Trauma ini mengakibatkan gangguan
persarafan simpatis, sehingga klinis karakteristik dari syok ini adalah bradikardi dan hipotensi
dengan kulit kering dan hangat. Letak level trauma berhubungan dengan tingkat keparahan
syok. Derajat kehilangan tonus simpatis pada trauma di atas T1 lebih berat daripada trauma
pada T1 sampai T315. Gejala kardiovaskular pada pasien dengan trauma setingkat
torakolumbal, hanya bersifat sementara, dan dapat pulih spontan dalam 2-6 minggu6.
Syok ini harus dibedakan dengan syok spinal, di mana terjadi kehilangan refleks spinal
sementara di bawah level trauma6,15.
Pada prinsipnya, keadaan yang mengakibatkan gangguan asupan oksigen dan glukosa
ke medula spinalis, dapat mengakibatkan syok neurogenik. Contoh kondisi tersebut adalah :
obat anestesi, reaksi insulin, stres emosional atau nyeri yang hebat3.
Harus diingat bahwa diagnosa syok neurogenik adalah diagnosa eksklusional15. Kita
dapat mencurigai keadaan ini pada pasien yang mengalami hipotensi dan bradikardi setelah
trauma6.
Tatalaksana15 :
1. Jalan nafas harus diamankan dengan proteksi dan imobilisasi spinal
2. Resusitasi cairan : pertahankan MAP 85-90 mmHg. Bila tidak memberikan respon,
gunakan inotropik (dopamin dan dobutamin).
3. Untuk bradikardi, dapat diberikan atropin 0,5-1 mg, IV, setiap 5 menit, sampai dengan
total 3 mg. Bila tidak memberikan respon, pilihan tatalaksana berikutnya adalah pacu
jantung.
4. Konsultasi dengan bagian bedah, ortopedi, dan bedah saraf.
Gambar 9. : Patofisiologi Syok Neurogenik
Baldwin,K. Morris, S. Shock, Multiple Organ Dysfunction Syndrome, and Burns in Adults. Dalam McCance, K. Huether, S. Pathophysiology, The Biologic Basis for Disease in Adults & Children 4th ed. Missouri, USA : Mosby. 2002. hal : 1488
Imbalance between symphatetic and parasympathic stimulation
Massive vasodilatation
Vascular tone
SVR
Inadequate cardiac output
Tissue perfusion
Impaired cellular metabolism
Gambar 10. :Diagram Alir Tatalaksana Syok
Greenwald, PW. Shock. Dalam: Stone, CK. Humphries, R, editor. Current Emergency Diagnosis & Treatment 5th ed. Mc. Graw-Hill. 2004. hal: 192
Parameter Evaluasi
Evaluasi tanda-tanda vital penting dalam proses diagnosa dan penatalaksanaan syok.
Namun seiring dengan berkembangnya pengalaman dalam menangani pasien syok,
ditemukan bahwa perbaikan dari tanda-tanda vital dan produksi urin saja tidak cukup untuk
menilai perbaikan dari keadaan syok. Proses perburukan dapat terus tejadi menuju kegagalan
multi organ dan kematian. Namun demikian, tanda-tanda vital tetap merupakan dasar awal
diagnosa syok.
a. Frekuensi Denyut Jantung
Penurunan frekuensi denyut jantung saat dilakukan fluid challenge test dapat kita
gunakan sebagai dasar diagnosa syok hipovolemik. Sehingga penurunan frekuensi
denyut jantung dapat kita gunakan untuk mengevaluasi resusitasi cairan yang kita
lakukan
Peningkatan frekuensi denyut jantung ini menjadi patologik bila mengakibatkan
waktu pengisian diastolik yang mengakibatkan insufisiensi pengisian ventrikel,
sehingga curah jantung berkurang
b. Tekanan Darah
Respon hipotensi pada pasien yang diduga syok dapat menggambarkan keadaan
hipovolemia, menurunnya kontraktilitas miokard, atau vasodilatasi sistemik.
Perbaikan tekanan darah harus segera dicapai sesegera mungkin untuk memperbaiki
perfusi jaringan.
Parameter Mean Arterial Pressure (MAP) lebih mampu menggambarkan keadaan
hemodinamik yang sesungguhnya dibandingkan dengan tekanan darah sistolik dan
diatolik saja. MAP dihitung dengan rumus :
MAP = (sistolik + 2.diastolik)/3
Nilai normal: 60-130 mmHg
c. Suhu
Walaupun parameter suhu tidak dapat mengindikasikan ada atau tidaknya syok,
namun dapat membantu memperkirakan penyebab syok dan memiliki nilai prognostic
yang signifikan. Adanya hipotermia (suhu inti < 36 °C atau 96,8 °F) menandakan
kerusakan fisiologis yang berat yang sangat mempengaruhi survival pasien.
Hipotermia juga meningkatkan risiko terjadinya disritmia, gagal ginjal akut, dan
koagulopati refrakter.
d. Produksi Urin
Fungsi ginjal merupakan prediktor yang penting terhadap ada-tidaknya syok. Oliguria
merupakan salah satu tanda awal hipoperfusi jaringan. Respon penurunan produksi
urin sebagai akibat hipovolemia muncul lebih dulu dibandingkan dengan perubahan
frekuensi nadi dan tekanan darah.
Perbaikan produksi urin dapat digunakan untuk meng-evaluasi resusitasi yang
dilakukan selama factor perancu seperti diabetes insipidus, DKA, dan penggunaan
obat diuretik, tidak ada.
e. Pulse Oximetry
Parameter ini kerap dianggap sebagai tanda vital kelima, karena dapat memberikan
peringatan awal terhadap hipoksemia dan dapat digunakan untuk meng-evaluasi status
oksigen pasien.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa perbaikan tanda-tanda vital saja
tidak cukup untuk menilai perbaikan dari keadaan syok, maka digunakan parameter-
parameter lain untuk menilai metabolisme oksigen jaringan; yang dapat menggambarkan
keadaan perfusi jaringan dan keberhasilan resusitasi.
a Mixed Venous Oxygen Saturation (SvO2)
Diukur dari arteri pulmonalis. Dipengaruhi oleh saturasi oksigen arteri, Hb, curah
jantung, dan indeks konsumsi oksigen. Status oksigen vena setara dengan status
oksigen di jaringan. SvO2 merupakan indikator global dari keseimbangan supply-
demand oksigen , namun tidak menggambarkan keadaan perfusi di bantalan kapiler;
karena SvO2 tidak mencerminkan status oksigen di jaringan yang tidak mendapat
perfusi. Nilai normal : 12-17 mL O2 /dL darah.
b. Konsentrasi Laktat Arteri
Merupakan penanda terjadinya metabolisme anaerobik, namun tidak dengan spesifik
menggambarkan perfusi jaringan. Hipoperfusi dapat terjadi pada kadar laktat normal
atau sebaliknya; terjadi peningkatan kadar laktat tanpa adanya hipoperfusi. Keadaan
ini menggambarkan proses patologi yang berat. Nilai normal kadar laktat: 0,4 – 1,2
mEq/L
Kenaikan kadar laktat di atas 2 mEq/L meningkatkan angka mortalitas. Angka ini
menjadi rendah bila keadaan hiperlaktatemia ini dapat diatasi dalam waktu 24 jam,
dan meningkat menjadi 24-86% bila tidak dapat diatasi dalam waktu 48 jam.
c. Tonometri Gaster
Digunakan untuk mengukur perfusi mukosa gaster. Pada tahap awal syok, tubuh
mengurangi aliran darah splanknik untuk mempertahankan perfusi organ yang lebih
vital; sehingga pengukuran ini dapat menjadi penanda awal hipoperfusi sistemik.
Tonometri gaster mengukur kadar CO2 intralumen gaster yang menggambarkan kadar
CO2 mukosa. Penambahan PCO2 gap antara arteri dan intramukosa atau penurunan
pH intramukosa berhubungan dengan peningkatan angka mortalitas. Namun perlu
dilakukan studi lebih lanjut terhadap parameter ini dalam penggunannya untuk
menilai keberhasilan resusitasi
d. Defisit Basa
Defisit basa adalah jumlah basa yang dibutuhkan untuk menormalkan pH darah pada
suhu, PCO2 arteri, dan PO2 arteri yang fisiologis. Nilai normalnya adalah +3 sampai
dengan -3 mmol/L. Kenaikan defisit basa berhubungan dengan keadaan syok yang
berat. Parameter ini juga dapat digunakan untuk menilai kebutuhan dan keberhasilan
resusitasi.
top related