sub tema perekonomian tommyhermawan
Post on 29-Dec-2015
34 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
SISTEM LOGISTIK IKAN NASIONAL, SEBUAH TINJAUAN
KEBIJAKAN
Oleh
Tommy Hermawan1
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah laut 5,8 juta km2
termasuk Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia memberikan hasil tangkapan pada tahun 2011
sebesar 5,4 juta ton/tahun (Bappenas 2012). Potensi sumber daya perikanan tangkap di laut
sebesar 6,5 juta ton per tahun dan yang sudah dimanfaatkan sebesar 5 juta ton lebih.
Berdasarkan data FAO, pada tahun 2008, Indonesia dengan total ekspor sebesar 5 juta ton per
tahun merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam produksi perikanan dunia di
samping China dan Peru (FAO 2010).
Namun demikian tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut masih belum
optimal, baik untuk pemenuhan konsumsi ikan dalam negeri maupun pemenuhan permintaan
ekspor
Meskipun Indonesia merupakan negara pengekspor ikan tetapi masih juga mengimpor
ikan. Di lain pihak, pada musim panen di wilayah timur Indonesia sebagai gudang ikan masih
tersedia banyak ikan, karena jumlah penduduk dan industri pengolahan ikan yang sedikit
tidak mampu menyerap kelebihan tangkapan ikan.
Kelebihan pasokan tangkapan ikan pada saat panen di wilayah timur Indonesia sering
diikuti dengan rendahnya harga jual ikan. Dilain pihak wilayah barat Indonesia dengan
populasi penduduk yang besar dan industri pengolahan ikan yang lebih banyak masih
membutuhkan pasokan ikan.
Kelangkaan stok ikan yang diakibatkan faktor alam bersifat relatif dan musiman
sehingga sudah dapat diketahui dan diantisipasi. Meskipun demikian ada pula perubahan
alam yang belum dapat diantisipasi seperti pemanasan global yang makin meningkat.
Selain faktor musim terdapat pula faktor tingginya biaya distribusi ikan dari wilayah
timur ke wilayah barat atau ke Jawa.
Tingginya biaya transportasi dari produsen penangkapan ikan di wilayah timur ke
konsumen atau industri di wilayah barat berakibat tingginya harga ikan konsumsi dan
mahalnya bahan baku untuk industri perikanan.
Hal ini akan berdampak pada beralihnya konsumen dari konsumsi ikan ke bahan pangan
lain dan ini dapat pula mengakibatkan berkurangnya produksi industri perikanan
(pengolahan).
1 Perencana Madya, Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas
2
Untuk menjembatani akibat faktor alam yang bersifat musiman dan biaya distribusi yang
tinggi pada waktu-waktu tertentu digagas Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) yang dapat
berfungsi sebagai: a) penyangga dan menjamin ketersediaan bahan baku ikan untuk industri
perikanan, b) menjaga stabilitas harga, c) mendukung ketahanan pangan, d) mendorong
pertumbuhan industri (pengolahan) perikanan, dan e) meningkatkan pertumbuhan ekonomi
masyarakat.
1.2 Tujuan
Makalah disusun untuk memberikan masukan terhadap kebijakan SLIN dengan
melakukan evaluasi dan analisis terhadap kondisi dan permasalahan logistik serta dan
distribusi hasil perikanan tangkap di semua tingkatan berdasarkan data dan sampel hasil
kunjungan di daerah.
1.3 Metodologi
Metodologi yang digunakan adalah:
1. Pengumpulan data dan informasi melalui kajian literatur, yang difokuskan terkait isu
logistik dan distribusi ikan.
2. Hasil kunjungan lapangan di pelabuhan Perikanan Pemangkat Kalimantan Barat, dan
Pelabuhan Perikanan Banjarmasin di Kalimantan Selatan, dan Pelabuhan Bitung di
Sulawesi Utara. Adapaun tujuan dari kunjungan lapangan tersebut adalah untuk
mendapatkan masukan dan informasi dari pemerintah daerah, dan UPT Pelabuhan
tentang kondisi logistik yang ada dan rencana ke depan.
3. Analisis berdasarkan data dan informasi yang terkumpul, melalui pendekatan deskriptif
dan kuantitatif.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Logistik
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru
Pengembangan Sistem Logistik Nasional, mendefinisikan logistik sebagai:
Bagian dari rantai pasok (supply chain) yang menangani arus barang, arus informasi dan arus
uang melalui proses pengadaan (procurement), penyimpanan (warehousing), transportasi
(transportation), distribusi (distribution), dan pelayanan pengantaran (delivery services)
sesuai dengan jenis, kualitas, jumlah, waktu dan tempat yang dikehendaki konsumen, secara
aman, efektif dan efisien, mulai dari titik asal (point of origin) sampai dengan titik tujuan
(point of destination)’
2.2 Sistem Logistik
Sistem logistik tersusun atas fasilitas-fasilitas yang terhubung dengan jasa pelayanan
transportasi. Sistem ini membahas mengenai bagaimana suatu material diproses, manufaktur,
disimpan, diseleksi, untuk kemudian dijual atau dikonsumsi. Pembahasan dalam sistem
3
logistik ini merupakan pembahasan yang komperhensif, termasuk pembahasan mengenai
proses manufaktur dan perakitan, pergudangan, pendistribusian, titik/poin pengalihan
angkutan, terminal transportasi, penjualan eceran, pusat penyortiran barang, dan dokumen,
pusat penghancuran, dan pembuangan dari keseluruhan kegiatan industri (Ghiani, Gianpaolo,
Laporte, Musmanno, 2004)
Gambar 1. Sistem Logistik
Berdasarkan skema tesebut diatas dapat digambarkan bahwa sistem logistik merupakan
sistem yang membahas mengenai keterkaitan antara entitas/pelaku dalam sebuah kegiatan
logistic yang terintegrasi, dari pemasok hingga konsumen dalam masing-masing jaringan
distribusi untuk menggerakkan barang/jasa. Adapun yang menjadi obyek dari sistem logistik
dapat berupa barang jadi, barang setengah jadi, maupun bahan baku.
Untuk memaksimalkan nilai sistem logistik yang diupayakan, diperlukan variasi rencana
mengenai pengambilan keputusan untuk setiap tahapan aktivitasnya. Perencanaan sistem
logistic yang mendukung juga mempengaruhi desain dan operasional sistem logistic yang
akan diberlakukan guna menciptakan efisiensi dan efektifitas produksi suatu barang dan jasa.
2.3 Pola Penyaluran Logistik
Kotler (2002) membedakan saluran distribusi barang industri dan konsumsi. Tingkat saluran
distribusi dibagi dalam empat jenis yaitu:
1. Saluran tingkat nol (produsen-konsumen), disebut pula saluran pemasaran langsung terdiri
dari produsen yang menjual langsung kepada konsumen. Tiga cara penting dalam
penjualan langsung adalah penjualan dari rumah ke rumah, penjualan lewat toko
perusahaan.
2. Saluran tingkat satu (produsen-pengecer-konsumen), mempunyai satu perantara penjualan.
Dalam pasar konsumen, perantara itu sekaligus merupakan pengecer. Dalam pasar industri
sering kali ia bertindak sebagai agen penjualan atau makelar.
3. Saluran tingkat dua (produsen-grosir-pengecer-konsumen), mempunyai dua perantara
penjualan. Dalam pasar konsumen, mereka merupakan grosir atau pedagang besar dan
sekaligus pengecer. Dalam pasar industri mereka mungkin merupakan sebuah penyalur
tunggal dan penyalur industri.
4
4. Saluran tingkat tiga (produsen-grosir-distributor-pengecer-konsumen),mempunyai tiga
perantara penjualan. Masalah pengawasan semakin meningkat sesuai dengan angka
tingkat saluran, walaupun biasanya produsen tersebut hanya berhubungan dengan saluran
yang berdekatan dengannya.
Gambar 2. Saluran Logistik Barang Konsumsi dan Industri
5
2.4 Sistem Logistik Nasional
Perencanaan logistik secara nasional diperlukan jika melihat kondisi geografis
Indonesia yang terdiri dari 17.584 buah pulau dengan potensi kekayaan alam yang
melimpah dan menghasilkan komoditas strategis maupun komoditas ekspor. Dengan
kondisi kekayaan sumber daya alam yang dimiliki dan hasil industri olahannya Indonesia
berpotensi sebagai pemasok barang dunia. Disamping itu, jumlah penduduk Indonesia
yang besar berpotensi pula sebagai pasar global. Peranan sebagai pemasok dan juga
sebagai pasar dunia memberikan peluang pengembangan rantai distribusi atau sistem
logistik di tingkat nasional.
Secara umum telah ada rantai distribusi pada masing-masing komoditas. Data
menyebutkan biaya distribusi masih tinggi atau secara nasional biaya yang dikeluarkan
mencapai 27% (dua puluh tujuh persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu
kualitas pelayanan belum memadainya. Rendahnya kualitas pelayanan dikenali dari: (a)
rendahnya kuantitas dan kualitas tingkat penyediaan infrastruktur, (b) masih adanya
pungutan tidak resmi dan biaya transaksi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, (c)
lamanya waktu pelayanan ekspor-impor, d) hambatan operasional pelayanan di
pelabuhan, (e) masih terbatasnya kapasitas dan jaringan pelayanan penyedia jasa logistik
nasional, (f) masih terjadinya kelangkaan stok dan fluktuasi harga kebutuhan bahan
pokok masyarakat, terutama pada hari-hari besar nasional dan keagamaan, dan bahkan
(g) masih tingginya disparitas harga pada daerah perbatasan, terpencil dan terluar.
Untuk mengembangkan Sistem Logistik Nasional yang terintegrasi, efektif dan
efisien telah dikeluarkan PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2012 tentang CETAK BIRU PENGEMBANGAN SISTEM
LOGISTIK NASIONAL.
Peran pokok Cetak Biru Sistem Logistik Nasional (Sislognas) adalah memberikan
arahan dan pedoman bagi pemerintah dan dunia usaha untuk membangun Sistem
Logistik Nasional yang efektif dan efisien. Ke depan cetak biru dapat sebagai panduan
dalam pengembangan logistik bagi para pemangku kepentingan terkait serta koordinasi
kebijakan dan pengembangan Sistem Logistik Nasional.
Tujuan pengembangan Sistem Logistik Nasional adalah sebagai salah satu prasarana
dalam membangun daya saing nasional.
6
Gambar 3. Infrastruktur dan Jaringan Sistem Logistik
2.4.1. Ruang lingkup
Komoditas yang dijadikan obyek dan aktivitas logistik dalam Cetak Biru Sistem Logistik
Nasional ini adalah :
1. Logistik barang bukan penumpang dan tidak termasuk pos (antaran), karena pos sudah
ditangani dan diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009
tentang Pos.
2. Difokuskan pada logistik komoditas strategis dan komoditas ekspor, sehingga logistik
bencana dan logistik militer (pertahanan keamanan) akan diatur secara terpisah.
3. Aktivitas logistik meliputi transportasi, pergudangan, dan distribusi tidak termasuk
aktivitas pengadaan khususnya barang pemerintah, karena diatur dan ditangani oleh
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dan kegiatan produksi yang
ditangani oleh Kementerian atau Lembaga lain yang terkait.
Sistem Logistik Nasional akan dikembangkan menuju Sistem Logistik terintegrasi yang
efektif dan efisien dengan menggunakan konsep Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain
Management/SCM) yang berbasis pada sinkronisasi, integrasi dan kolaborasi berbagai pihak
terkait (pemangku kepentingan), dengan memanfaatkan penggunaan teknologi informasi
yang diwadahi dalam suatu tatanan kelembagaan yang terpercaya dan sistem organisasi yang
efektif. Sistem Logistik Nasional ini diharapkan dapat dioperasionalisasikan oleh pelaku dan
penyedia jasa logistik yang profesional dan beretika, serta didukung oleh tersedianya
infrastuktur logistik yang mencukupi dan handal.
7
Gambar 4. Sistem Logistik Nasional
2.4.2. Permasalahan Logistik
Secara umum kinerja logistik nasional masih belum menggembirakan. Hal ini terlihat dari
Logistics Performance Index (LPI) yang dikeluarkan Bank Dunia dimana peringkat Indonesia
menurun dari urutan 43 (empat puluh tiga) pada tahun 2007, menjadi urutan 75 (tujuh puluh
lima) pada tahun 2010.
Selain itu belum ada pemilihan komoditas prioritas dalam strategi pengembangan logistik
nasional. Masih terjadi perbedaan prioritas antar K/L yaitu antara Kementerian Perdagangan
dan Kementerian Perindustrian. Pembagian prioritas Kementerian Perdagangan yaitu: a)
Produk Unggulan, b) Produk Potensial, dan c) “produk Jasa”. Di lain pihak, Kementerian
Perindustrian menetapkan 13 (tiga belas) jenis industri yang menjadi indikator kinerja
industri nasional. Secara umum, dalam skala nasional, komoditas prioritas pemerintah yaitu:
1) bahan pangan (beras dan minyak goreng), 2) bahan sandang (tekstil dan produk tekstil), 3)
bahan perumahan (semen dan baja). Disamping itu, ada komoditas strategis seperti bahan
bakar minyak dan gas (BBM), hasil tani (jagung dan kedelai), pupuk, dan lain-lain.
Biaya logistik nasional yang tinggi mencapai 27% dari PDB disumbangkan oleh tingginya
biaya transportasi darat dan laut. Disamping itu terdapat faktor-faktor lain yang ikut
menyumbang tingginya biaya logistik yaitu: a) faktor terkait dengan regulasi, SDM, b) proses
dan manajemen logistik yang belum efisien, dan c) kurangnya profesionalisme pelaku dan
penyedia jasa logistik nasional seperti belum efisiennya perusahan jasa pengiriman barang
dalam negeri.
8
3. Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN)
Meskipun ikan dan hasil laut belum menjadi komoditas prioritas dalam pengembangan
Sislognas, gagasan pengembangan SLIN dalam rencana strategis sebagai penyangga stok
ikan diharapkan mampu mendorong industrialisasi di sektor perikanan, menopang ketahanan
pangan nasional serta mensejahterakan nelayan. SLIN dikembangkan dalam rangka
mendukung industri perikanan seperti yang diamanatkan oleh RPJPN 2005_2025 dimana
bidang Kelautan dalam RPJMN 2010-2014 mempunyai rencana: a) Penguatan industri
kelautan, dan b) pengembangan industri maritim.
Tujuan SLIN yaitu memberikan jaminan berupa kecukupan stok ikan dan harga yang
relatif stabil tanpa dipengaruhi oleh musim apakah sedang paceklik atau lagi puncak panen.
Pada tahap awal jenis ikan yang akan ditangani adalah kelompok ikan layang, kembung,
sardine, serta kelompok ikan tuna, tongkol dan cakalang. Sedang unsur pendukungnya adalah
pelabuhan perikanan, usaha kapal transport, asosiasi pelaku, dan perbankan.
Seperti BULOG, SLIN juga dikembangkan sebagai sistim penyanggaan yang akan
berfungsi menampung ikan sebanyak-banyaknya pada saat puncak panen ikan dengan
membeli pada harga yang disepakati bersama sehingga pelaku di hulu tidak dirugikan.
Demikian pula berlaku sebaliknya, ketika musim paceklik, stok tersebut di lepas ke pasar
sehingga konsumen tetap memperoleh suplai secara kontinyu dengan harga yang disepakati
sehingga harga tidak melambung terlalu tinngi.
Seluruh rantai pasokan produksi ikan laut adalah proses integrasi yang menggabungkan
produksi, pengadaan, transportasi, pergudangan, penyimpanan, pemuatan, pembongkaran,
pengiriman, pengepakan dan sebagainya serta upaya untukmemangkas biaya melalui
pengiriman sehingga memberikan konsumen layanan yang lebih baik.
Sistem logistik ikan laut terdiri dari tiga komponen: 1) peserta logistik, 2) saluran
logistik, dan 3) fungsi logistik, di bawah kendala dari sistem tertentu, peserta yang berbeda
akan memilih saluran yang berbeda dan mengadopsi bentuk organisasi yang berbeda untuk
melakukan fungsi logistik sehingga akan membentuk kegiatan logistik yang khusus.
Pemilihan dan penentuan saluran distribusi bukan suatu hal yang mudah karena
kesalahan dalam memilih saluran distribusi akan dapat menggagalkan tujuan perusahaan
yang telah di tentukan. Pemilihan saluran distribusi yang salah dapat menimbulkan
penghamburan biaya atau pemborosan. Oleh sebab itu masalah pemilihan saluran distribusi
akan sangat penting artinya bagi perusahaan yang menginginkan perkembangan kegiatannya.
Masalah pemilihan ini sangat penting sebab kesalahan dalam pemilihan saluran yang
dipergunakan dapat memperlambat atau menghambat usaha penyaluran barang atau jasa yang
dihasilkan telah sesuai dengan selera konsumen, tetapi jika saluran distribusi yang
dipergunakan tidak mempunyai kemampuan, tidak mempunyai inisiatif dan kreatif serta
kurang bertanggung jawab dalam menciptakan transaksi, maka usaha untuk penyaluran akan
mengalami keterlambatan dan kemacetan.
Oleh karena pengaruhnya sangat besar terhadap kelancaran penjualan, maka masalah
saluran distribusi ini harus benar-benar dipertimbangkan. Pada industri perikanan, produsen
harus memperhatikan faktor-faktor yang sangat mempengaruhi dalam pemilihan saluran
distribusi. Beberapa petunjuk dalam pemilihan saluran distribusi sebagai berikut:
a. Sifat komoditas ikan. Sifat dan karakteristik sumberdaya laut mudah rusak, sehingga
diperlukan teknologi untuk mengolah perikanan tersebut menjadi produk yang tahan
9
lama, dan juga adanya IUU fishing Illegal, unregulated, dan unreported yang sangat
marak sehingga mengakibatkan kekurangan pasokan bahan baku ikan.
b. Sifat ikan yang mudah rusak dapat dipakai sebagai dasar pertimbangan untuk
menetapkan seluruh distribusi yang harus ditempuh. Sifat ikan yang perishible dapat
cepat mengalami kerusakan sehingga dapat mempengaruhi turunnya nilai harga dan
berpengaruh dalam penentuan rantai distribusi.
c. Sifat Pembayarannya. Dalam pemasaran barang, ada barang-barang tertentu yang
memerlukan penyebaran seluas-luasnya baik secara vertikal maupun horizontal.
Biasanya barang-barang tersebut merupakan kebutuhan umum, harga perunit rendah
serta pembelian dari setiap konsumen relatif kecil.
d. Biaya.Salah satu kelemahan logistik perikanan Indonesia adalah tingginya harga
distribusi ikan. Hal ini disebabkan letak geografis, luas perairan laut tetapi kurangnya
infrastruktur perhubungan terkait transportasi laut. Untuk meningkatkan industri
perikanan kendala utama adalah infrastruktur dan distribusi. Panjangnya jalur distribusi
dan minimnya fasilitas pendingin membuat harga distribusi menjadi mahal. Sebagai
gambaran, biaya distribusi ikan dari Ambon ke Jatim rata-rata untuk 1 kg ikan mencapai
Rp 1.800,- . Jika distribusi sampai ke Jakarta biaya bisa mencapai Rp 2.000,- per kg. Jika
dibandingkan dengan harga mendatangkan ikan impor dari luar negeri, khususnya impor
dari China, biaya yang dibutuhkan sampai Jakarta hanya Rp 700 per kg. Dalam
pengembangan SLIN dapat menekan biaya sampai Rp 1.000 per kg, dan secara bertahap
akan terus menurun.
e. Secara umum, mata rantai saluran distribusi yang terlalu panjang akan menimbulkan
biaya yang lebih besar dan mendorong harga jual yang tinggi dan selanjutnya dapat
menggangu kelancaran penjualan barang-barang tersebut. Hal ini dapat dimaklumi sebab
setiap mata rantai menginginkan keuntungan yang layak sebagai imbalan dari kegiatan
mereka.
f. Untuk menekan harga penjualan maka perusahaan harus rela untuk mendapatkan
keuntungan yang tipis atau mengusahakan agar komisi dari mata rantai tersebut menjadi
lebih kecil.
g. Modal.Sifat suatu barang terutama barang-barang industri harus dapat mendorong agar
barang tersebut dapat diterima oleh konsumen atau lembaga industri. Salah satu caranya
adalah menjual barang-barang tersebut secara konsinyasi atau piutang dalam tempo
tertentu. Hal ini memerlukan dana yang tidak kecil. Kalau kita menggunakan grosir atau
agen mungkin masalah modal sebagaimana kalau kita menjual langsung kepada
pengecer.
e. Tingkat Keuntungan
Persaingan yang makin tajam dapat mendorong penjualan menjadi rendah. Dalam
keadaan demikian tingkat keuntungan dari perusahaan menjadi lebih rendah. Apabila
perusahaan menggunakan mata rantai saluran distribusi yang sangat panjang, dapat
menyebabkan harga ke konsumen menjadi lebih tinggi, dan ini menggangu penjualan
barang tersebut. Perusahaan yang kebetulan tingkat keuntungannya lebih tinggi akan
lebih loss dalam menentukan saluran distribusinya, sebab walaupun perusahaan
menetapkan mata rantai saluran distribusi yang panjang, tetapi karena keuntungan masih
cukup tinggi, maka harga sampai ke konsumen masih dapat bersaing.
10
Saluran tata niaga hasil perikanan pada umumnya terdiri dari produsen (nelayan dan petani
ikan), pedagang perantara sebagai pengumpul, grosir, pedagang eceran dan konsumen.
Pemilihan saluran distribusi berdasarkan Kotler memerlukan analisis atas faktor-faktor yang
menyangkut masalah fungsi-fungsi marketing, jenis-jenis barang serta keinginan konsumen,
kemudian baru dapat menentukan pilihannya terhadap saluran distribusi yang dianggap tepat.
Dalam pengembangan SLIN beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yaitu:
3.1. Pertimbangan Pasar (Market Consideration)
Untuk pasar ekspor, komoditas perikanan Indonesia dikelompokkan menjadi dua kelompok,
yaitu kelompok ikan dan udang. Pada kelompok ikan ada tiga sub kelompok, yaitu: a) ikan
hidup, b) ikan utuh, dan c) ikan olahan. Kelompok udang terdiri dari: a) udang, b) lobster
karang, c)lobster, dan d) udang olahan. Jenis komoditas perikanan yang berorintasi ekspor
tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.12
Sumber : Sistem Informasi Agroindustri Berorintasi Ekspor, Bank Indonesia 2011b
Gambar 4.12. Jenis Komoditas Perikanan yang Berorientasi Ekspor
Nilai ekspor perikanan Indonesia tahun 2006 mencapai US$ 2 milyar berdasarkan
data FAO (2007). Jika dibandingkan dengan nilai ekspor negara Vietnam dan Thailand yang
sekitar US$ 3,40 milyar dan US$ 5,20 milyar maka maka nilai ekspor Indonesia masih sangat
jauh di bawah apalagi produksi perikanan kedua negara tersebut berada di bawah Indonesia.
Peringkat Indonesia berada dalam peringkat ke 7 (tujuh) di dunia berdasarkan neraca
perdagangan tahun 2006 dengan nilai mencapai sekitar US$ 1,90 milyar. Sementara itu
negara Thailand dan Vietnam berada pada peringkat 3 (tiga) dan 5 (lima) negara dengan
11
masing-masing neraca perdagangan mencapai sekitar US$ 3,70 milyar dan US$ 3,10 milyar.
Hal ini menunjukkan bahwa daya saing produk perikanan Indonesia masih jauh di bawah
produk perikanan kedua negara tersebut. Meskipun secara produksi, Indonesia merupakan
negara kelima terbesar penghasil produksi perikanan dunia, namun demikian nilai ekspor
perikanan Indonesia masih berada pada peringkat kesepuluh dunia. Berdasarkan hal tersebut
pemerintah perlu untuk membenahi daya saing produk perikanan nasional di pasar
Internasional.
Secara khusus ekspor ikan tuna dalam kaleng kontribusinya relatif besar, hal ini berhubungan
dengan permintaan ikan tuna dalam kaleng yang jauh lebih besar dibanding dengan ikan
dalam kaleng jenis sardines, mackerel, salmon dan lainnya.
Pada pasar dalam negeri permintaan volume pasar ikan tuna dalam kaleng jauh lebih kecil
daripada ikan sardines dan mackerel dalam kaleng. Hal ini yang mengakibatkan industri
pengolahan ikan tuna dalam kaleng di Indonesia lebih memfokuskan ke pasar ekspor.
Pengembangan industri pengolahan ikan dan hasil laut untuk mengisi pangsa pasar dunia perlu
memperhatikan:
Standar kesehatan dan keselamatan seperti yang berlaku di UE.
Pengembangan kepasar baru, tidak ke USA atau ke Eropa lagi tetapi ke negara-negara
lain,misalnya ke Asia dan Timur Tengah.
Diversifikasi produk-produk perikanan khususnya untuk produk ikan siap saji.
Pada umumnya untuk pasar ekspor telah terbentuk sistem logistik yang mapan antara
produsen di Indonesia dan industri di lokasi pasar ekspor. Pasar umumnya merupakan pasar
industri dengan pembeli atau buyer yang mengendalikan harga karena pasar kompetitif
dengan pemasok dari berbagai negara. Pengaturan pasar dengan kuota untuk tiap negara
semakin melemahkan posisi tawar eksportir ikan Indonesia. Pengembangan SLIN akan
sangat berpengaruh terhadap pasar ekspor jika berhasil meningkatkan efisensi terutama untuk
mengurangi biaya transportasi. Beberapa penyebab mahalnya biaya transpor pengangkutan
ikan dari wilayah timur ke tujuan ekspor yaitu: a) Pelabuhan di wilayah timur hanya bisa
melakukan ekspor tetapi tidak bisa untuk impor, b) Sulit untuk menekan biaya transpor
karena kapal berisi barang hanya pada saat berangkat. Pada saat kembali kapal sering kosong
atau paling banyak hanya berisi setengah dari kapasitas muat barang. Sehingga pemiliki kapal
membebankan tarif yang mahal.
Hal serupa berlaku untuk pasar dalam negeri. Rendahnya harga ikan di tingkat lokal di
wilayah timur tidak dapat berkompetisi dengan wilayah barat jika terjadi musim panen ikan
dalam waktu yang bersamaan atau berdekatan karena mahalnya biaya transpor.
3. 2. Pertimbangan Produk Ikan
Ikan sebagai produk dalam sistem logistik mempunyai karakteristik tersendiri.
Berbeda dengan beras, ikan jauh lebih perishable sehingga perlu penanganan logistik yang
lebih kompleks dan mahal, terutama dalam hal penyimpanan yang memerlukan unit
berpendingin. Jika jenis ikan yang yang dijual mudah rusak, maka nelayan langsung menjual
ikan ke konsumen sehingga tidak diperlukan perantara. Sebagai konsekuensinya maka posisi
tawar nelayan rendah. Jika nelayan ingin memperoleh posisi tawar yang lebih tinggi maka
12
perlu menghubungi pedagang perantara yang memiliki fasilitas penyimpanan yang cukup
baik.
Terkait dengan nilai atau harga maka jika jenis ikan yang akan dijual bernilai jual
relatif rendah, maka produsen cenderung untuk menggunakan saluran distribusi yang
panjang. Tetapi sebaliknya, jika nilai unitnya relatif tinggi, maka saluran distribusinya pendek
atau langsung.
Barang-barang perikanan mempunyai ciri-ciri yang dapat mempengaruhi atau
menimbulkan masalah dalam pemasaran. Ciri-ciri yang dimaksud antara lain adalah sebagai
berikut (Hanafiah dan A.M Saefuddin 1986):
1) Produksinya musiman, berlangsung dalam ukuran kecil-kecil (small scale) dan di
daerah terpencar-pencar serta spesialisasi. Produksi perikanan umumnya berlangsung
secara musiman dan panennya (penangkapannya) terbatas dalam periode tertentu yang
relativ singkat. Keadaan ini biasanya menimbulkan beban musiman (peak load) dalam
pembiayaan, penyimpanan, pengangkutan dan penjualan;
2) Konsumsi hasil perikanan berupa bahan makanan relatif stabil sepanjang tahun. Sifat
demikian ini dihubungkan dengan sifat produksinya yang musiman dan jumlahnya tidak
berketentuan karena pengaruh cuaca, menimbulkan masalah dalam penyimpanan dan
pembiayaan;
3) Barang hasil perikanan berupa bahan makanan mempunyai sifat cepat atau mudah rusak
(perishable). Barang-barang hasil perikanan adalah organisme hidup dan karenanya
mudah atau cepat mengalami kerusakan atau pembusukan akibat dari kegiatan bakteri,
enzimatis dan oksidasi. Masalah ini membutuhkan usaha atau perawatan khusus dalam
proses pemasaran guna mempertahankan mutu;
4) Jumlah atau kualitas hasil perikanan dapat berubah-ubah. Kenyataan menunjukan
bahwa jumlah dan kualitas dari hasil perikanan tidak selalu tetap, tetapi berubah-ubah
dari tahun ke tahun.
3.3 Pertimbangan Nelayan/ Pemilik Kapal Penangkap
Penggunaan saluran distribusi langsung atau yang pendek biasanya memerlukan jumlah dana
yang lebih besar. Oleh karena itu saluran distribusi pendek ini kebanyakan hanya dilakukan
oleh nelayan atau pemilik kapal penangkapan ikan yang kuat modalnya. Nelayan atau pe,ilik
kapal yang tidak kuat kondisi keuangannya akan cenderung menggunakan saluran distribusi
yang lebih panjang.
Biasanya kelompok nelayan penangkap ikan telah memiliki hubungan dengan pedagang
pengumpul. Tetapi jika membentuk kelompok baru, atau berpindah lokasi penangkapan ikan
maka penjualan lebih suka menggunakan perantara. Hal ini disebabkan karena umumnya
perantara sudah lebih lama dan berpengalaman karena telah lama berada di wilayah tersebut.
Jika pengiriman ikan melalui distribusi atau perantara maka nelayan akan lebih mudah kalau
memilih saluran distribusinya pendek meskipun biayanya lebih tinggi.
13
3.4. Pertimbangan Perantara atau pedagang pengumpul
Hubungan antara nelayan tangkap dengan pemilik kapal sebagai pedagang pengumpul telah
terbentuk lama. Atau jika pemilik kapal hanya sebagai produsen maka biasanya telah
mempunyai tempat penampungan di satu atau lebih pedagang pengumpul. Hal ini berlaku di
wilayah timur Indonesia yang meskipun telah disediakan tempat pelelangan ikan tetapi
selama ini tidak berfungsi. Sebaliknya, di wilayah barat hanya di pulau Jawa tempat
pelelangan ikan yang berfungsi sehingga pembentukan harga dapat terjadi disini. Keterikatan
nelayan dengan pemilik kapal atau pedagang perantara sudah berakar sejak lama. Segala
kebutuhan nelayan penangkap ikan akan dipenuhi oleh pemilik kapal dengan memberikan
jaminan kebutuhan kepada keluarga yang ditinggalkan melaut dalam rangka mencari ikan.
4. Pembahasan dan Langkah-langkah Pengembangan Sistem Logistik Perikanan
4.1 Pasar
Tantangan pengembangan SLIN adalah kondisi geografi Indonesia yang memiliki
wilayah laut yang luas yang berpotensi sebagai wilayah penangkapan ikan terutama di
wilayah timur Indonesia. Di lain pihak, sebagian besar industri pengolahan ikan berada di
wilayah barat di pulau Jawa. Untuk menjembatani penawaran (suplai) dan permintaan
(demand) produk ikan diperlukan pengembangan logistik yang efisien dan efektif sehingga
dapat meningkatkan daya saing industri perikanan nasional.
Perebutan bahan baku pasar. Untuk mendapatkan bahan baku ikan maka terjadi
persaingan antara industri di wilayah timur dan wilayah barat. Selain kompetisi untuk
mendapatkan bahan baku, terjadi pula kompetisi di bidang transportasi dan penyimpanan
pendinginan (cold storage). Meletakkan industri pengolahan ikan di dekat sentra produksi di
wilayah timur seperti di Bitung, Sorong dan Makasar dengan harapan untuk meningkatkan
efisiensi produksi pengolahan tidak didukung oleh sarana dan prasarana dasar seperti listrik,
infrastruktur jalan, transportasi dan pendukung lainnya. Masih kompetitifnya industri
perikanan di wilayah barat terutama di pulau Jawa seperti industri perikanan Jakarta,
Surabaya, Banyuwangi, dan Makasar yang dapat bekerja lebih efisien dapat memberikan
penawaran bahan baku terhadap lebih tinggi dibandingkan dengan sentra industri perikanan
wilayah timur. Hal ini telihat dari banyaknya jumlah cold storage yang dibawah kapasitas
terpasang di Bitung, Pontianak, Banjarmasin.
Pada saat ini Surabaya merupakan pusat logistik ikan laut dengan perkiraan 60% hasil
penangkapan ikan laut didaratkan di sini. Selanjutnya distribusi ikan terbesar dari Surabaya
ke Muara baru Jakarta dilaksanakan melalui jalur darat.
Disamping perebutan bahan baku di dalam negeri terjadi pula kompetisi perebutan bahan
baku ikan antara industri pengolahan ikan Bitung menghadapi pesaing dari luar negeri
khususnya industri pengolahan ikan tuna di General Santos, Filipina. Pusat industri
pengolahan tuna di General Santos, Filipina selalu yang menawarkan harga yang lebih tinggi
dari harga di Bitung terutama untuk komoditas Tuna.
14
Pasar dan bahan baku ikan di Bitung saat ini harganya ditentukan oleh produsen atau
perusahaan yang memiliki kapal. Sehingga industri pengolahan yang tidak memiliki armada
penangkapan kalah bersaing dalam mendapatkan bahan baku.
4.2 Produk Bahan Baku Ikan
Meskipun produksi perikanan di Sulawesi Utara meningkat pada tahun 2012 menjadi
239.000 ton/tahun tetapi industri pengolahan ikan di Sulawesi Utara masih mengalami
kelangkaan bahan baku ikan
Beberapa alasan sehingga terjadinya kelangkaan bahan baku ikan di daerah Sulawesi
Utara, antara lain karena adanya kelangkaan BBM yang dipasok ke kapal penangkap ikan,
pasokan listrik, cuaca buruk, musim migrasi ikan kehabitat asal, mekanisme pasar, hingga
usia kapal termasuk alat penangkap ikan yang sudah kadaluarsa.
Dalam pembahasan pelaksanaan SLIN di Palu Sulawesi Tengah ditemukan dua kendala
di lapangan yaitu: a) produksi, dan b) harga. Kesinambungan produksi ikan meskipun pada
saat panen raya ikan tidak bisa dijamin disebabkan oleh berbagai keterbatasan yang dimiliki
nelayan yaitu: a) sarana penangkapan (kapal dan alat tangkap), b) ketersediaan bahan
pengawet berupa es balok, c) kelangkaan bahan bakar minyak. Potensi ikan di laut tidak
dapat dioptimalkan akibat kelangkaan es balok dan seringkali nelayan terpaksa membuang
ikan kelaut karena busuk. Jumlah hasil tangkapan terbatas sesuai jumlah es yang tersedia.
Kerugian potensial dapat dihitung karena jika es balok tersedia maka hasil tangkapan ikan
bisa 2 sampai 3 kali lebih banyak. Pada saat musim panen ikan, permintaan nelayan untuk
mendapatkan es balok di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Donggala mencapai 2.000 balok
setiap hari padahal kemampuan suplai pabrik es hanya sekitar 1.000 balok tiap hari.
Kenaikan harga ikan dapat dengan cepat mengindikasikan terjadinya kelangkaan ikan.
Harga ikan menjadi salah satu kendala dalam menentukan harga pada setiap tingkat
distribusi. Kajian Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah, harga ikan pada saat
musim puncak panen ikan di tingkat nelayan berkisar Rp4.000,00/per kg, distributor
Rp8.000,00 per kg dan pengecer Rp10.000,00 per kg. Pada musim paceklik ikan, harga di
tingkat nelayan sekitar Rp12.000,00 per kg, distributor Rp14.000,00 per kg dan pengecer
Rp20.000,00 per kg. Perbedaan harga yang dapat ditolerir antara musim panen dan paceklik
adalah yang tidak terlalu jauh dan di sini lah peran SLIN untuk dapat meminimalkan
perbedaan. Perbedaan harga yang ditawarkan jika SLIN dilaksanakan adalah harga ikan di
tingkat nelayan sekitar Rp6.500,00 per kg, distributor Rp8.500,00 per kg dan pengecer
Rp10.000,00 per kg pada saat puncak panen ikan. Sebaliknya pada saat paceklik ikan harga
di tinkat nelayan Rp10.000,00 per kg, distributor Rp12.000,00 per kg dan pengecer
Rp.14.000,00 per kg. Sebagai cadangan maka sistem penyangga atau gudang penyangga
(buffer stok) yang direncanakan berlokasi di salah satu pelabuhan menjual dengan harga
Rp7.000,00/kg saat puncak musim panen ikan dan menjual ikan Rp11.000,00 per kg pada
saat paceklik. Simulasi harga belum disepakati sehingga perlu dicari fomulasi harga yang
dapat diterima semua pihak yang terlibat dalam industri perikanan.
15
4.3 Nelayan/ Pemilik Kapal Penangkap
Beberapa industri perikanan besar telah mengembangkan jaringan dari hulu ke hilir
dengan memiliki seluruh rantai produksi seperti: armada penangkapan, logistik penyimpanan
dan transportasi, serta industri pengolahan. Bahkan sering kali dijumpai industri ini
mempunyai pelabuhan perikanan untuk mempersingkat distribusi bahan bakunya. Meskipun
ada petugas pencatat dari Dinas Kelautan dan Perikanan atau petugas UPT pelabuhan
terdekat tetapi kemungkinan tidak tercatatnya stok ikan akan menjadi menjadi dalam
perencana SLIN ke depan. Tempat pelelangan ikan (TPI) yang seharusnya dapat menjadi alat
monitoring dan evaluasi stok sumber daya ikan tidak berkembang karena nelayan atau
pemilik kapal sebagai produsen telah mempunyai pelanggan masing-masing.
Nelayan dan pemilik armada kapal penangkapan ikan yang mendaratkan ikan di
Sulawesi Utara yang tidak mempunyai keterikatan dengan perantara selain memenuhi
kebutuhan industri pengolahan ikan di Sulawesi Utara juga melayani agen pembelian dari
sentra industri pengolahan ikan di luar Sulwesi Utara seperti Makasar, Surabaya, dan Jakarta.
Ini yang menyebabkan tidak terisinya kapasitas ruang penyimpanan (cold storage) industri
logistik di Bitung khususnya dan Sulawesi Utara pada umumnya.
Dalam pengembangan SLIN, nelayan dan pemilik kapal yang merupakan produsen yang
mempunyai keahlian khusus sebagai penangkap ikan tidak memungkinkan atau terkendala
untuk mengembangkan peran dan mempelajari sistem logistik sehingga sering mempunyai
posisi tawar yang rendah karena belum menyadari pentingnya informasi.
4.4 Perantara
Khusus di bagian penyimpanan berpendingin (cold storage) dalam beberapa survai di
lapangan di wilayah timur seperti di Bitung, Pontianak, Banjarmain banyak cold storage yang
beroperasi jauh di bawah kapasitas bahkan sampai hanya 50 persen dari kapasitas terpasang.
Selain ikan sebagai bahan baku cold storage, terjadi pula persaingan dalam jenis pengadaan
peralatan cold storage. Di Bitung persaingan terjadi antara cold storage besar dengan yang
kecil.
Disamping itu, kapasitas terpasang air blast freezer (ABF) dan cold storage kurang
dimanfaatkan secara optimal. Kapasitas terpasang Cold storage di Sulawesi Utara sebesar
17.000 ton/hari hanya terpakai kurang dari 20%.
Sedang dilakukan kajian untuk pembuatan Perda penarikan retribusi untuk pengiriman
ikan ke luar propinsi untuk mencukupi kebutuhan ikan sebagai bahan industri pengolahan
ikan di Sulawesi Utara.
Persaingan yang dihadapi oleh ABF dan Cold Storage di pelabuhan atau disekitar
pelabuhan yaitu beroperasinya ABF dan Cold storage yang berjalan (mobile) yang ijinnya
dikeluarkan bukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan.
Mahalnya biaya transportasi pengangkutan ikan dari wilayah timur ke sentra industri
perikanan di wilayah barat disebabkan oleh masing-masing kelompok menciptakan rantai
16
pasokan atau sistem logistik sendiri-sendiri sehingga skala ekonomi tidak besar dan tidak
dapat meningkatkan efiseiensi dan pada akhirnya akan meningkatkan biaya distribusi dan
logistik secara keseluruhan.
4.5 Sarana dan Prasarana Pendukung
Pelabuhan Perikanan Samudra Bitung hanya dapat untuk bongkar muat 10% dari total
pendaratan ikan di Silawesi Utara karena keterbatasan fasilitas dermaga pelabuhan perikanan.
Meningkatnya produksi komoditas rumput laut di Sulawesi Utara dapat juga
memanfaatkan pengembangan SLIN.
Berdasarkan diskusi dengan Kabid Penangkapan Dinas KP Sulawesi Utara, kapal
penangkapan ikan banyak menemui hambatan ketika hendak masuk ke dalam wilayah
pelabuhan perikanan baik di Bitung maupun di Tumumpa. Hambatan yang terjadi seperti
pemeriksaan oleh aparat seperti TNI AL dan Polair. Hal berbeda terjadi di pelabuhan
perikanan General Santos di Filipina dimana armada penangkapan bahkan yang berasal dari
wilayah Bitung dan wilayah Sulawesi Utara lainnya selalu disambut sebagai tamu agung.
Meskipun hasil penangkapan ikan cukup tinggi di wilayah timur Indonesia tetapi masih
sering dijumpai distribusi yang panjang seperti di pelabuhan perikanan Ambon dengan
modus operasi pemindahan atau bongkar muat di pelabuhan dari kapal penangkap ikan ke
truk penampung dan langsung disalurkan ke kapal penampung yang berada tidak jauh dari
kapal penangkap untuk di ekspor ke luar negeri. Pada proses logistik atau bongkar muat ini
diindikasikan hasil produksi berlangsung tidak efisiensi karena terjadi dua kali bongkar muat
dan jalur distibusi bertambah panjang yang pada akhirnya akan mengakibatkan tingginya
harga ikan meskipun terjadi dalam satu kelompok usaha.
Perencanaan pengembangan industri yang tidak memperhatikan keterbatasan sumber
daya ikan terjadi di Muncar Jawa Timur. Pada awalnya di Selat Bali sumber daya ikan
lemuru sangat berlimpah sehingga direncanakan industri pengolahan ikan (pengalengan).
Bertambahnya industri pengalengan ikan di MuncarJawa Timur dan Jembrana Bali tanpa
dibatasi sesuai dengan ketersediaan sumber daya ikan lemuru yang ada serta akibat
pencemaran industri perikanan maka diperkirakan tempat pemijahan dan pembesaran ikan
lemuru telah hancur. Untuk menggerakkan industri pengolahan ikan (pengalengan) di
Muncar maka terpaksa dilakukan impor ikan lemuru dari lura negeri.
Pada beberapa pelabuhan perikanan seperti di Kendari dan Ambon belum terpasang alat
pengangkut bongkar muat dengan kontainer.
Beberapa pembangunan pelabuhan perikanan tidak diikuti dengan pembangunan jaringan
transportasi yang terintegrasi. Di pelabuhan perikanan Prigi di Jawa Timur diidentifikasi
mahalnya akses transpotasi darat untuk distribusi hasil produksi ikan.
17
5. Saran dan Rekomendasi
Beberapa saran dan rekomendasi agar Sistem Logistik Ikan Nasional dapat berjalan dengan
lancar maka:
a. Ditetapkan indikator keberhasilan pelaksanaan SLIN sesuai tujuan yaitu:
Sistem Logistik Ikan dapat menjadi penyangga kelangkaan ikan yang musiman
sehingga suplai ikan tidak terpengaruh musim baik jumlah maupun kualitasnya dan
harga ikan tidak berfluktuasi sangat ekstrim seperti saat ini.
Mekanisme penentuan harga pembelian ikan dapat dinikmati oleh nelayan meskipun
terjadi kelebihan suplai ikan pada saat puncak panen ikan.
b. Mengikutsertakan industri penyimpanan (cold storage) yang saat ini penggunaannya di
bawah kapasitas terpasang.
c. Bentuk kelembagaan yang dibentuk harus menyertakan seluruh stakeholder sistem
logistik ikan nasional dan dapat berjalan dengan mandiri. Terutama nelayan sebagai
pelaku logistik agar terlindungi dan diuntungkan oleh sistem ini.
d. Sistem logistik ikan nasional dijadikan sebagai salah satu prioritas komoditas dalam
sislognas dan disusun secara sistematis dan komprehensif.
e. Pembenahan sistem data dan informasi perikanan menjadi prasyarat utama karena
menjadi dasar dalam perencanaan dan sebagai dasar di sinilah pijakan pokok manajemen
logistik dan dasar pengambilan kebijakan.
f. Pembangunan SLIN dengan hub (pusat) dan sub hub nya perlu diintegrasikan dan
disinergikan dengan Sislognas sehingga dapat menekan biaya logistik karena salah satu
permasalahan logistik yang cukup penting yaitu kapal pengangkut ikan dari wilayah
timur Indonesia ke wilayah industri perikanan di barat Indonesia pada saat kembali
sering dalam keadaan kosong atau hanya terisi sebagian. Sehingga biaya angkut ikan
menjadi sangat besar.
18
Daftar Pustaka
Bappenas. Direktorat Kelautan dan Perikanan. 2012a. Data dan Informasi Kelautan dan
Perikanan.
Bappenas. Direktorat Kelautan dan Perikanan. 2011b. Strategi Pengembangan
Pemasaran Produk Perikanan Dalam Rangka Mengantisipasi Peningkatan
Produksi Perikanan
Departemen Perindustrian. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia. 2009. Roadmap
Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Laut.
Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. 2013. SLIN dan
Kendala Potensial yang Menghadang. www.dkp.sulteng.go.id
FAO. 2010. The State of World Fisheries and Aquaculture 2010.
Ghiani, Gianpaolo, Gilbert Laporte, Roberto Musmanno. 2004. Introduction to Logistics
Systems Planning and Control. John Wiley and Sons, New York.
Hanafiah dan AM Saefudin 1986. Tata Niaga Hasil Perikanan. Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press). Jakarta
Jiang Yi-min. 2010. Problems and Countermeasures of Logistics in the Marine Fisheries
Industry
Philip Kotler. 2002. Manajemen Pemasaran. Edisi Milenium, Jilid 2, Penerbit
Prehalindo, Jakarta.
Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2012. Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik
Nasional
top related