stven johnson
Post on 10-Jul-2016
220 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB 1PENDAHULUAN
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua orang
dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki Namun dokter
tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya. Sindrom Stevens Johnson adalah
bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang parah berupa
lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan
purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan
epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta melibatkan
membran mukosa dari dua organ atau lebih.(2) Sindrom Stevens- Johnson
umumnya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda terutama pria. Tanda-tanda
oral sindrom Stevens- Johnson sama dengan eritema multi-forme, perbedaannnya
yaitu melibatkan kulit dan membran mukosa yang lebih luas, disertai gejala-gejala
umum yang lebih parah, termasuk demam, malaise, sakit kepala, batuk, nyeri
dada, diare, muntah dan artralgia1.
Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas yaitu kelainan
pada mata berupa konjung-tivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan
vulvovaginitis, serta kelainan oral berupa stomatitis. Lesi oral didahului oleh
makula dan papula yang segera diikuti vesikel atau bula, kemudian pecah karena
trauma mekanik menjadi erosi dan terjadi ekskoriasi sehingga terbentuk ulkus
yang ditutupi oleh jaringan nekrotik berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu
kuning menyerupai pseudomembran. Ulkus nekrosis ini mudah mengalami
perdarahan dan menjadi krusta kehitaman. Lesi oral cenderung lebih banyak
terjadi pada bagian anterior mulut termasuk bibir, bagian lain yang sering terlibat
adalah lidah, mukosa pipi, palatum durum, palatum mole, bahkan dapat mencapai
2
faring, saluran pernafasan atas dan esofagus, namun lesi jarang terjadi pada gusi.
Lesi oral sedangkan lesi pada saluran pernafasan bagian atas dapat menyebabkan
keluhan sulit bernafas.Penyebab pasti dari Sindrom Stevens-Johnson saat ini
belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya seperti
obat-obatan atau infeksi virus. Meka-nisme terjadinya sindroma adalah reaksi
hipersensitif terhadap zat yang memi-cunya. Sindrom Stevens-Johnson mun-cul
biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan
yang ditimbulkan kadang tidak berhubungan langsung dengan dosis, namun
sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien1.
3
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Nn. HR
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 3 tahun
Alamat : Gampong Ampeh Kec. Tanah Luas
Suku Bangsa : Aceh
Agama : Islam
No. MR : 07.38.93
Tanggal MRS : Februari 2016
Tanggal Pemeriksaan : Februari 2016
Nama Ayah : Tn. I
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Nama Ibu : Ny. J
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama : Kulit Yang Melepuh
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Cut Meutia dengan keluhan utama kulit
yang melepuhyang dirasakan sejak 4 hari yang lalu keluhan ini muncul
setelah meminum obat yang diberikan oleh bidan setempat yaitu bodrexin,
karena ibu OS menyatakan bahwa OS saat itu demam sehingga ia memiliki
4
inisiatif untuk membawa OS ke bidan tersebut pada pagi hari. Ibu OS
menyatakan demam yang dialami OS menghilang tetapi timbul keluhan kulit
yang melepuh pada sore harinya dan terasa gatal juga pedih.
3. Riwayat penyakit dahulu : Pasien pernah mengalami ISPA dan Diare Akut
sebelumnya
4. Riwayat penyakit keluarga : keluarga mengatakan tidak pernah menderita
sakit berat, namun ada sesekali anggota keluarga sakit flu, batuk, demam dll.
5. Riwayat kehamilan dan persalinan
Os merupakan anak kedua. Selama kehamilan ibu pasien tidak
pernah sakit berat/rawat inap di rumah sakit. Riwayat muntah berlebih,
tekanan darah tinggi, kejang, asma, diabetes melitus, infeksi, perdarahan
dan trauma selama kehamilan disangkal. Os lahir secara per vaginam
ditolong oleh bidan. Berat badan saat lahir 2700 gram. Lahir cukup bulan
38 – 40 minggu dan segera menangis.
6. Riwayat Nutrisi
Sejak lahir hingga usia 21 bulan pasien mengkonsumsi ASI. Sejak
usia 7 hari pasien diberikan pisang dan nasi bubur. Sejak usia 5 bulan
pasien diberi makan nasi biasa dan makanan orang dewasa.
7. Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengatakan bahwa pasien tidak mendapatkan imunisasi.
8. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Pasien tengkurap sejak usia 3 bulan
Pasien duduk sejak usia 7 bulan
Pasien merangkak sejak usia 8 bulan
5
Pasien mulai mengucapkan kata-kata sejak usia 12 bulan
Pasien mulai bicara lancer sejak usia 15 bulan
Pasien dibantu berjalan sejak usia 15 bulan
Pasien berjalan lancar sejak usia 20 bulan
2.3 Pemeriksaan fisik
A. Status Present
a. Kesan sakit: Ringan -Sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Nadi : 95 x/menit
d. Frekuensi pernafasan : 22 x/menit.
e. Suhu: 36,5 °C
f. Tinggi Badan : 85 cm
g. Berat Badan : 12 Kg
B. Status Gizi
BB aktual : 12 Kg
BB Ideal untuk TB aktual (CDC WHO 2000) : 12 Kg
Status Gizi (Waterlow) : 12/12 x100% = 100%
Interpretasi : Gizi Baik (100%)
6
C. Status Generalis
a. Kulit
a.Warna : Sawo Matang
b. Sianosis : (-)
c.Ikterus : (-)
d. Edema : (-)
e.Lemak subkutis : (N)
f. Makula Eritema : (+)
g. Krusta : (+)
b. Kepala
a.Rambut :berwarna hitam-kecoklatan, lurus, sepanjang leher.
b. Kulit kepala : terdapat makula eritam dan Krusta
c.Mata : Konjungtiva pucat (-/-), konjungtiva hiperemis (+/+),
ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+)
d. Telinga : Simetris, sekret (+/+), otorrhea (-/-), makula
eritema (+/+), krusta (+/+)
e.Hidung : sekret (-/-), rinorrhea (-/-),makula eritema (+/+), krusta
(+/+)
f. Mulut : terdapat vesikel dan erosi juga krusta
c. Leher
a. Pulsasi Vena Jugularis: tidak terlihat
b. Pembesaran kelenjar: tidak ada
c. Kuduk kaku: tidak ada
d. Makula Eritema dan Krusta (+)
7
d. Toraks
a.Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetri, terdapat mekula
eritema dan Krusta
b. Palpasi : tidak dilakukan
c.Perkusi : tidak dilakukan
d. Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), Wheezing (-/-).
e. Jantung
a.Inspeksi : iktus kordis tak tampak
b. Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS V, Icm medial lines
midclavicula sinistra
c.Perkusi batas jantung:
Tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I> BJ II, reguler, bising (-)
f. Abdomen
a.Inspeksi : bentuk dalam batas normal, pada kulit ditemukan
makula eritema dan krusta
b. Palpasi : organomegali (-)
c.Perkusi : Timpani
d. Auskultasi : bising usus (+) normal
g. Ekstremitas atas : Akral dingin (-),sianosis (-/-), makula eritema dan
krusta (+/+)
h. Ekstremitas bawah : Akral dingin (-),sianosis (-/-),makula eritema
dan krusta (+/-)
8
i. Genitalia
Inspeksi :ditemukan ada makula eritema dan krusta pada labia
minora
2.4 Pemeriksaan penunjang
16 Februari 2016
HEMATOLOGI KLINIK
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 9,4g% 12-16
LED - <20
Eritrosit 4,4 x 103/mm3 3,8-5,8 x 103/mm3
Leukosit 3,4x 103/mm3 4-11
Hematokrit 32,,8% 37-47
MCV 75 fl 76-96
MCH 21,3 pg 27-32
MCHC 28,7 g% 30-35
RDW 12,5 % 11-15
Trombosit 26 x 103/mm3 150-450
2.5 Diagnosis
a. Diagnosis Banding :
1. Toxic Epidermolysis Necroticans
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrom
b. Diagnosis Kerja : Steven Jhonson Sindrom ec drug eruption (bodrexin)
9
2.6 Terapi
a. Non Farmakologi:
Istirahat
Edukasi tentang penyakit dan pilihan pengobatan
Diet makanan biasa
b. Farmakologi:
1. IVFD RL 10 tetes/menit
2. IV Cefotaxim 400 mg/12 jam
3. IV Ranitidin 1/3 amp/12 jam
4. IV Dexametason ½ amp/12 jam
5. CTM 3 X ½ tablet
2.7 Prognosis
o Dubia ad bonam
2.8 STATUS FOLLOW UP
Tanggal S O A & P TerapiSelasa, 16/2/2016
Gatal, perih, lesi pada kulit, nafsu makan baik, bab (+), bak (+)
HR : 68 x/i
RR : 16 x/i
Temp: 35,90C
Lesi pada kulit berupa makula eritema dan krustosa
DD: drug eruption ec bodrexin sirup
Saran Pemeriksaan:Darah rutin, Konsul : dokter kulit
IVFD RL 10 tetes/menit
IV Cefotaxim 250 mg/12 jam
IV Dexamethasone 1/2 amp/12 jam
IV Ranitidin 1/3 Amp/12 jam
CTM 3x ½ tab
Rabu, 17/2/2016
Gatal, perih, lesi pada kulit, nafsu makan baik, bab (+), bak (+)
HR : 120x/i
RR : 16 x/i
DD: steven jhonson et cause bodrexin
IVFD RL 10 tetes/menit
IV Cefotaxim 250
10
Temp :36,70C
Lesi pada kulit berupa makula eritema dan krustosa
mg/12 jam
IV Dexamethasone 1/2 amp/12 jam
IV Ranitidin 1/3 Amp/12 jam
CTM 3X ½ tab
Eritromisin 3x3/4 cth
Cetirizin 1x ½ cth
Fuson cream 2 x sehari
Kamis, 18/2/2016
Gatal sudah mulai berkurang, perih juga sudah berkurang lesi sudah mulai mengering
HR : 95x/i
RR : 22x/i
Temp :36,50C
Lesi pada kulit berupa makula eritema dan krustosa
DD: steven jhonson et cause drug eruption bodrexin
IVFD dex 5% NS 0,45% 12 tetes/menit
IV Metilprednisolon 1/2 amp/8 jam
IV Ranitidin 1/3 Amp / 8 jam
Cetirizin 1x ½ cth
Eritromisin 3x3/4 cth
Fuson cream 2 x sehariJumat 19/2/2016
PBJ
Lesi kemerahan (↓), krusta (↓),Gatal sudah mulai berkurang, perih juga sudah berkurang lesi sudah mulai mengering
HR: 84x/i RR: 24x/i Temp : 36,7 0C
DD: steven jhonson et drug eruption cause bodrexin
IVFD dex 5% NS 0,45% 12 tetes/menit
IV Metilprednisolon 1/2 amp/8 jam
IV Ranitidin 1/3 Amp / 8 jam
Cetirizin 1x ½ cth
Eritromisin 3x3/4 cth
Fuson cream 2 x sehari
11
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Steven Jhonson Syndrom
Sindrom Stevens-Johnson didefinisikan sebagai reaksi kumpulan gejala
sistemik dengan karakteristik yang mengenai kulit, mata dan selaput lendir
orifisium. Sindrom Stevens-Johnson merupakan bentuk berat dari eritema
multiforme, sehingga SSJ dikenal juga dengan sebutan eritema multiforme mayor.
Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi) terhadap obat; infeksi
HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker merupakan faktor risiko penyakit ini.kasus
berhubungan dengan infeksi Mycoplasmapneumonia, kasus lainnya idiopatik atau
tidak diketahui penyebabnya2
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.Sinonimnya antara lain :
sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema
poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Istilah
eritema multiforme yang sering dipakai sebetulnya hanya merujuk pada kelainan
kulitnya saja.2
Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang
tua. Lelaki dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan.Tidak
terdapat kecenderungan rasial terhadap SSJ walaupun terdapat laporan yang
menghubungkan kekerapan yang lebih tinggi pada jenis HLA tertentu.3
12
3.2 Etiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons
imun terhadap obat.3
1. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus,
jamur, bakteri, parasit),
2. obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,
kontraseptif),
3. makanan (coklat),
4. fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X),
5. lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson4
Infeksi
virusjamurbakteriparasit
Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae,
vaksiniakoksidioidomikosis,
histoplasmastreptokokus,Staphylococcs haemolyticus,
Mycobacterium tuberculosis,salmonelamalaria
Obat salisilat, sulfa, penisilin,
etambutol,tegretol, tetrasiklin,
digitalis, kontraseptif,
klorpromazin, karbamazepin,
kinin, analgetik/antipiretik
Makanan Coklat
Fisik udara dingin, sinar matahari, sinar X
13
Lain-lain penyakit kolagen, keganasan, kehamilan
Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan
sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21
hari). Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka
hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu
macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan
kausal.
Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat,
sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.
Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi
berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap
obat-obatan penyebab.
3.3 Epidemiologi
Sindrom steven johnson saat ini kejadiannya relatif meningkat. Salah satu
penyebab dari sindrom ini adalah alergi obat (50%) sementara masa sekarang
obat-obatan semakin mudah diperoleh secara bebas. Obat-obatan yang paling
sering diduga sebagai pencetus alergi adalah analgetik/antipiretik (45%),
14
karbamazepin (20%), dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi oleh obat.
Obat lain yang diduga juga mencetuskan alergi antara lain amoksisilin,
kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, seftriakson, dan adiktif. SSJ dapat berakibat
fatal sehingga tatalaksana segera perlu dilakukan.5
Pada SSJ, terjadi hipersensitivitas tipe II atau sitolitik. Sasaran utama pada
sindrom ini ialah kulit berupa destruksi keratosit. Terjadi aktivitas sel T (termasuk
CD4 dan CD8), IL-5 dan sitokin lain meningkat. CD4 terutama berada pada
dermis sedangkan CD8 pada epidermis. Keratinosit epidermal mengekspresi
ICAM-1, ICAM-2 dan MHC II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF gama
di epidermis meningkat. Anak-anak di bawah usia 3 tahun belum memiliki
imunitas yang berkembang sehingga jarang dijumpai SSJ.5
3.4 Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang
diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis
obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat
yang mampu menyebabkan sindroma ini.Hingga sebagian kasus yang terdeteksi,
tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.8
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin
dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa
menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan
dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang
diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di
15
Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar
suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.8
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif
tipe III dan IV.Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen
antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem
komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan
lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ).
Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan
sehingga terjadi reaksi radang.
Reaksi Hipersensitif tipe IIIHal ini terjadi sewaktu komplek antigen
antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau
jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada beberapa kasus antigen asing dapat
melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi
ditempat tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel
mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi
tersebut.Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel
yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel.
Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut 8
Reaksi Hipersensitif Tipe IVPada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi
pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga
terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel
16
ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk
terbentuknya.
3.5 Gejala Klinis
gejala prodormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk,
pilek, nyeri menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat
bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan
timbul lesi di 6:
1. kulit : berupa eritema, papul, vesikel, atau bula secara simetris pada
hampir seluruh tubuh. Lesi yang spesifik berupa lesi target, nila bula
kurang dari 10% disebut SJS, 10-30% disebut SJS-TEN, lebih dari 30%
TEN. Sekitar 80% penyebab TEN adalah obat
17
2. mukosa (mullut, tenggorokan, dan genitalia) : berupa vesikel, bula, erosi,
eksoriasi, perdarahan dan krusta berwarna merah.
3. Mata : berupa konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat terjadi
erosi dan perforasi kornea
3.6 Diagnosis
Diagnosis sindroma steven jhonson 80% ditegakkan berdasrakan klini.
Jika disebabkan oleh obat, ada korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya
gejala. Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang seseuai dengan tria
kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang
secara klinis terdapat lesi terbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada
mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium
3.7 Diagnosis diferensial
Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma steven jhonson
1. toxic epidermolysys necroticans. Sindroma steven jhonson sangat dekat
dengan TEN. SSJ dengan bula lebih dari 30% disebut TEN
2. staphylococcal scalded skin syndrom (Ritter Disease). Pada penyakit ini
lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada seluruh kulit.
Biasanya mukosa tidak terkena
18
3.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan
faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan
yang rutin dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi
(hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total,
LED), pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan
C4, kompleks imun), biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan
tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
2. Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan
keterlibatan kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis.
3. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala
perdarahan.
4. Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis
terdapat peninggian eosinofil.
5. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit
menurun, dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar.
6. Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di
epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis,
pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah
dermis superfisial.
7. Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA,
C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang
baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur
kurang dari 24 jam.8
19
3.9 Terapi
Penatalaksanaan utama adalah menghentikan obat yang diduga sebagai
penyebab SSJ, sementara itu kemungkinan infeksi herpes simplex dan
Mycoplasma Pneumonia harus disingkirkan. Selanjutnya perawatan bersifat
simtomatik. 8
1. antihistamin dianjurkan untuk mengatasi gejala pruritus/ gatal bisa dipakai
Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia
1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 x
sehari, sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5
tahun : 2.5 mg/dosis 1xsehari, lbh > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1xsehari.
2. Bister kulit bisa dikompres basah dengan larutan burowi
3. Papula dan makula pada kulit baik intak diberikan steroid topikal, kecuali
kulit yang terbuka
4. Pengobatan infeksi kulit dengan antibiotika. Antibiotika yang paling
berisisko tinggi adalah lactam dan sulfa jangan digunakan. Untuk terapi
awal dapat diberikan antibiotika sprektum luas, selanjutnya berdasarkan
hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan leesi kulit dan darah.
Terapi infeksi sekunder menggunakan antibiotika yang jarang
menimbulkan alergi, bersprektrum luas, bersifat bakterisidial dan tidak
bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin 8-16 mg/kgBB/hari secara
intravena, diberikan 2x/hari.
5. Kortikosteroid: dexametason dosis awal 1 mg/kgbb bolus intravena,
kemudian dilanjutkann 0,2-0,5 mg/kgbb intravena tiap 6 jam. Penggunaan
steroid sistemik masih kontroversi. Beberapa peneliti menyetujui
20
pemberian kortikosteroid akan menurunkan beratnya penyakit,
mempercepat konvalesensi, mencegah komplikasi berat, menghentikan
progresivitas penyakit dan mencegah kekambuhan. Beberapa literatur
menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik dapat mengurangu
inflamasi dengan cara memperbaiki integritas kapiler, memacu sintesa
lipokortin, menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu kortikosteroid dapat
meregulasi respon imun melalui down regulation ekspresi gen sitokin.
Mereka yang tidak setuju pemberian kortikosteroid akan menghambat
penyembuhan luka, meningkatkan resiko infeksi, menutupi tanda awal
sepsis, perdarahan gastrointestinal dan meningkatkan mortalitas. Faktor
lain yang harus dipertimbangkan yaitu harus tappering off 1-3 minggu.
Bila tidak ada perbaikan dalam 3-5 hari, maka sebaiknya pemberian
kortikoteroid dihentikan. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
6. Intravena imunoglobulin. Dosis awal dengan 0.5 mg/kgbb pada harri
1,2,3,4dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat
reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.
7. Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan
kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam
jangka waktu lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan
protein, dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan kon-
sentrasi garam dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita
selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan
makanan yang lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar
menelan.
21
8. Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C.
Vitamin B kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit.
Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg atau 1000 mg sehari dan
ditujukan terutama pada penderita dengan kasus purpura yang luas
sehingga pemberian vitamin dapat membantu mengurangi per-meabilitas
kapiler
Perawatan konservatif ditujukan untuk:
1. Perawatan lesi kulit yang terbuka, seperti perawatan luka bakar.
Koordinasi dengan unit luka bakar sangat dierlukan.
2. Terapi cairan dan elektorlit. Lesi yang terbuka seringkali disertai
pengeluaran cairan disertai elektrolit.
3. Alimentasi kalori dan protein secara parenteral. Lesi pada saluran cerna
menyebabkan kesulitan asupan makanan dan minuman.
4. Pengendalian nyeri. Penggunaan NSAID beresiko paling tinggi sebaiknya
tidak digunakan untuk mengatasi nyeri.
Perawatan pada Kulit
Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan penderita
merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment berupa
vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit
dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat tidur. Lesi kulit yang
erosive dapat diatasi dengan memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine
perak, larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1%
dapat diberikan untuk perawatan lesi pada kulit. Kerjasama antara dokter
gigi dan dokter spesialis ilmu penyakit kulit dan kelamin sangat diperlukan
22
Perawatan pada Mata
Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik,kompres
dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan
ointment. Pada kasus yang kronis,suplemen air mata seringkali digunakan
untuk mencegah terjadinya corneal epithelial breakdown. Antibiotik
topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder.
Perawatan pada genital
salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area genital
penderita. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang seringkali mengalami
gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis,
maka kateterisasi sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil.
Perawatan pada Oral
Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian
anastetik topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung
lidokain 2%. Campuran 50% air dan hydrogen peroksida dapat digunakan
untuk menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan
antibiotik dapat digunakan untuk mencegah superin-feksi. Lesi pada
mukosa bibir yang parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam
borat 3%. Lesi oral pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau
penggunaan triamsinolon asetonid. Triamsinolon asetonid merupakan
preparat kortikosteroid topical. Kortikosteroid yang biasa digunakan pada
lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum
23
tidur karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar lesi harus
dibersihkan terlebih dahulu
3.10 Prognosis
Prognosis kasus yang tidak berat, prognosis baik, dan penyembuhan
terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus
berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.
Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya
disebabkan oleh gangguan kesimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia,
serta sepsis.
24
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sindrom Stevens-Johnson adalah penyakit mukokutan akut dengan tiga
gejala yang khas, yaitu kelainan pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada
oral berupa stomatitis, serta kelainan pada genital berupa balanitis dan
vulvovaginitis. Mani-festasi oral hampir sepenuhnya terjadi pada penderita
Sindrom Stevens-Johnson. Pada seluruh permukaan oral dapat terjadi lesi seperti
mukosa bibir, lidah, palatum mole, palatum durum, mukosa pipi sedangkan lesi
jarang terdapat pada gusi. Perawatan pada penderita sindrom Stevens-Johnson
lebih ditekankan pada perawatan simtomatik dan suportif karena etiologinya
belum diketahui secara pasti.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Swapnil S Deore, Rishikesh C Dandekar, Aarti M Mahajan, Vaishali V
Shiledar, Drug Induced - Stevens Johnson Syndrome, International
Journal of Scientific Study, vol 2, no.2, 2014
2. Jeanclauderoujeau, m.d., Judithp. kelly, m.s., Luiginaldi,m.d., Bertholdr zany,
m.d.,Robert s. s tern, m.d., Heresa anderson, r.n., Arianea uquier, m.s., s,
Medication use and the risk of stevens–johnson syndrome or
toxicepidermal necrolysis, the new england journal of medicine, vol 333
no.24 1995
3. Satyanand Tyagi, Sachin Kumar, Amit Kumar, Mohit Singla and Abhishek
Singh, Stevens-johnson syndrome-A life threatening skin disorder, Journal
of Chemical and Pharmaceutical Research, vol 2 no.2 2010
4. Danish Qureshi, Lokendra Dave1, Ramakant Dixit, Stevens Johnson syndrome
due to nevirapine, Indian Journal of Allergy, vol 28, no 1, 2014
5. Syed Ahmad Ali Gardezi, Atif Hasnain Kazmi, Shahbaz Aman, Muhammad
Nadeem,Muhammad Salim Khan, Masood Sohail, A clinicoetiological
study of Stevens-Johnsonsyndrome and toxic epidermal necrolysis, Journal
of Pakistan Association of Dermatologists, vol 23, no.1, 2013
6. Jaafer m. kurmanji, Manal m. younus, Maytham h. a. al-amiry, Steven johnson
syndrome, International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences, vol 4, no 4, 2012
7. Matthew Smelik, MD, Stevens-Johnson Syndrome, The Permanente Journal
vol 6 no. 1, 2012
26
8. Ariyanto harsono, Sindroma steven jhonson diagnosis dan penatalaksanaan,
Artikel, Surabaya, 2006.
top related