srilestari

Post on 12-Jul-2015

636 Views

Category:

Documents

0 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

ABSTRAK Sri Lestari Manurung (2010), Peningkatan Kemampuan Pemahaman Matematis dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) dengan Menggunakan Software Autograph. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah: (1) Perbedaan kemampuan pemahaman matematis antara kelompok siswa yang menerapkan model pembelajaran Creative Problem Solving dengan menggunakan Autograph dengan siswa yang menerapkan model pembelajaran Creative Problem Solving; (2) Perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa yang menerapkan model pembelajaran Creative Problem Solving dengan menggunakan Autograph dengan siswa yang menerapkan model pembelajaran Creative Problem Solving; (3) sikap positif siswa pada pembelajaran model Creative Problem Solving; (4) Perbedaan aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen di SMA Swasta Al-Masdar Batang Kuis. Pemilihan sampel yang dijadikan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan secara random (cluster random sampling). Penelitian ini diawali dengan tes ujicoba perangkat dan instrumen penelitian. Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah perlakuan pembelajaran model CPS dan penggunaan Autograph sebagai variabel bebas, dan sebagai variabel terikatnya adalah kemampuan pemahaman matematis dan berpikir kritis siswa. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis inferensial. Analisis deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan sikap siswa yang diberi perlakuan model CPS dengan menggunakan Autograph dan menganalisa aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung. Analisis inferensial yang digunakan adalah analisis dengan uji t, dengan menganalisa kemampuan pemahaman matematis dan berpikir kritis pada kedua kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kemampuan pemahaman matematis pada kelompok siswa yang menerapkan model CPS dengan menggunakan Autograph lebih baik yaitu dengan persentase ketuntasan belajar sebesar 91,11 % sedangkan kelompok siswa yang menerapkan model CPS memperoleh persentase ketuntasan belajar sebesar 85,71 %; (2) kemampuan berpikir kritis pada kelompok siswa yang menerapkan model CPS dengan menggunakan Autograph lebih baik yaitu dengan persentase ketuntasan belajar sebesar 85,27 % sedangkan kelompok siswa yang menerapkan model CPS memperoleh persentase ketuntasan belajar sebesar 78,16 %; (3) terdapat sikap positif siswa yang menerapkan model CPS dengan Atograph saat pembelajaran berlangsung; (4) Siswa lebih beraktivitas saat pembelajaran melalui penerapan model CPS dengan menggunakan Autograph dibanding dengan siswa yang hanya menerapkan model CPS saja. Pembelajaran melalui penerapan model CPS dengan menggunakan Autograph merupakan suatu alternatif bagi guru matematika yang memiliki fasilitas laboratorium di sekolahnya dalam menyajikan pelajaran matematika, sudah seharusnya pembelajaran matematika berbasis teknologi disosialisasikan penggunaanya di lembaga unit masing-masing sekolah yang memiliki fasilitas laboratorium komputer. Penerapan model CPS dengan Autograph hendaknya

1

disesuaikan dengan materi yang dianggap sulit dipahami siswa terutama pada penggambaran grafik sutu fungsi.

2

ABSTRACT Sri Lestari Manurung (2010), Increasing Understanding of Mathematical Ability and Critical Thinking Ability Student Learning Through the Application of Model Creative Problem Solving (CPS) by Using the Autograph software. This study aims to examine: (1) The difference between the ability of mathematical understanding which groups of students applying learning models Creative Problem Solving by using the Autograph with students applying learning models Creative Problem Solving; (2) The difference between critical thinking ability of students to apply the learning model Creative Problem Solving by using the Autograph with students applying learning models Creative Problem Solving; (3) positive attitudes of students in the learning model of Creative Problem Solving; (4) The differences of students during learning activities take place. This research is experimental research on SMA Al-Masdar Batang Kuis. The selection of samples used as the experimental group and control group carried out at random (random cluster sampling). This research begins with the test device and test research instruments. Variables in this research is the treatment of learning and the use of model Autograph CPS as the independent variable, and as a bound variable is the ability of mathematical understanding and critical thinking students. The data in this study were analyzed using descriptive statistical analysis and inferential analysis. Descriptive analysis is intended to describe the attitudes of students who were given treatment by using the CPS model and analyze Autograph students during learning activities take place. Inferential analysis was used to test analysis - t, by analyzing the mathematical understanding and ability to think critically in both groups. The results showed that: (1) understanding of mathematical ability in students who are applying the CPS model by using Autograph better is by studying the percentage of completeness of 91.11% while the group of students who apply receive a percentage of the CPS model study for completeness 85.71%; (2) critical thinking skills in students who are applying the CPS model by using Autograph better is by studying the percentage of completeness of 85.27% while the group of students who apply receive a percentage of the CPS model study for completeness 78.16%; (3) there is an attitude positive students who apply to the CPS model when learning took place Atograph; (4) more active student learning through the implementation of the CPS model by using Autograph compared with students who are only just implementing CPS model. Learning through the application of the CPS model by using Autograph is an alternative to the math teacher who has laboratory facilities in schools in presenting math, it should be technology-based mathematics learning promoted its use in institutional units in each school who has a computer laboratory facilities. Application of the model with Autograph CPS should be adjusted to material that some students especially elusive in the graph representation sutu function.

3

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang MasalahMatematika sebagai dasar ilmu pengetahuan dan merupakan salah

satu mata pelajaran Ujian Nasional (UN). Matematika dengan berbagai peranannya menjadikannya sebagai ilmu yang sangat penting, dan salah satu peranan matematika adalah sebagai alat berpikir untuk menghantarkan siswa memahami konsep matematika yang sedang dipelajarinya. Suatu ilmu pengetahuan yang mendasarkan pada analisis dalam menarik kesimpulan menurut pemahaman dan kemampuan berpikir tertentu yang dimiliki siswa. Berdasarkan perkembangannya, maka masalah yang dihadapi dalam pembelajaran matematika semakin lama semakin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Sehingga dalam pembelajaran sangat diperlukan kemamapuan pemahaman matematis dan cara berpikir yang kritis, agar mampu menyelesaikan persoalan-persoalan matematika. Bagi seorang guru dalam mengembangkan kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan berpikir kritis pada siswa tidaklah mudah, akan tetapi tidak boleh cepat menyerah sebab cara seseorang untuk dapat memahami dan berpikir sangat ditentukan oleh lingkungan di mana ia hidup. Tujuan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan tingkat menengah pada kurikulum 2004 atau KTSP 2006 adalah : 1. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisteni dan inkonsistensi. 2. Mengembangkan intuisi, dan aktivitas kreatif dengan yang melibatkan imajinasi, pemikiran

penemuan

mengembangkan

divergen, orisinal, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

4

3. 4.

Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau

mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan. Dalam menghadapi dan menyikapi kurikulum yang berbasis

kompetensi dan telah disempurnakan pada penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) di setiap sekolah setingkat SD, SMP dan SMA, akan membuat guru semakin pintar, karena mereka dituntut harus mampu merencanakan sendiri materi pelajarannya untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Hanya saja, sebagian besar guru belum terbiasa untuk mengembangkan model-model pembelajaran. Implementasi KTSP sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini berkaitan dengan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktur dan kini menjadi fasilitator pembelajaran. Namun pada kenyataannya, seringkali siswa menjadi korban dan dianggap sebagai sumber penyebab kesulitan belajar. Padahal mungkin saja kesulitan itu bersumber dari luar diri siswa, misalnya proses pembelajaran yang terkait dengan kurikulum, cara penyajian materi pelajaran, dan pendekatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Hal tersebut dapat mengakibatkan kemampuan pemahaman matematis dan berpikir kritis serta sikap siswa terhadap matematika cukup memprihatinkan. Ada yang merasa takut, ada yang merasa bosan bahkan ada yang alergi pada pelajaran matematika. Akibatnya siswa tidak mampu mandiri dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya sehingga kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan berpikir kritis siswa sangat rendah kualitasnya saat pembelajaran berlangsung. Berdasarkan hasil observasi nilai matematika siswa dan wawancara terhadap guru matematika SMA Swasta Al-Masdar Batang Kuis, para siswa sering mengalami kesulitan dalam pembelajaran matematika khususnya matematika trigonometri. Trigonometri merupakan salah satu materi pelajaran yang dianggap sulit dipahami oleh siswa

5

dikarenakan begitu banyak rumus-rumus yang harus dikuasai sementara metode pembelajaran yang digunakan guru masih bersifat konvensional. Pernyataan ini diungkapkan oleh Bpk. Febrizal Ahmadi Nasution, S.T selaku guru bidang studi matematika dan juga menjabat sebagai kepala sekolah SMA Swasta Al-Masdar Batang Kuis (dalam Wawancara 3 Agustus 2009), beliau mengatakan bahwa dalam proses belajar mengajar beliau hanya menggunakan metode ceramah dan penugasan akibatnya siswa hanya mendengarkan, menyimak dan memperhatikan lalu menyelesaikan tugas tanpa ada interaksi antar sesama siswa. Permasalahan mengenai kurangnya pemahaman dan berpikir kritis siswa ini dapat dilihat dari contoh soal dalam menggambarkan grafik fungsi, menentukan nilai maksimum dan nilai minimum dari persamaan fungsi

f(x) = sinus x 3

dengan interval

4

x 2 . Siswa

terkadang mengalami kesulitan dalam menggambarkan grafik dari

fungsi f(x) = sinus x dengan cara mentranslasikan grafik fungsi 3 f(x) = sin x sejauh

3

satuan dalam arah horisontal ke kanan atau

mentranslasikan grafik fungsi f(x) = sin x sejauh

3

satuan dalam arah

horisontal ke kiri, menentukan nilai minimum dan nilai maksimum dari fungsi tersebut. Keadaan ini terjadi karena siswa tidak memahami konsep dasar matematika trigonometri dan rendahnya kemampuan berpikir kritis yang dimiliki siswa, sehingga siswa tidak mampu menemukan sendiri konsep belajarnya dan membuat pembelajaran menjadi tidak bermakna. Hingga saat ini, pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan keterampilan berpikir dalam memecahkan masalah belum begitu membudaya di kelas. Kebanyakan peserta didik terbiasa melakukan kegiatan belajar berupa dan menghafal tanpa dibarengi Untuk pengembangan pemahaman keterampilan berpikir.

menyikapi permasalahan ini maka perlu dilakukan upaya pembelajaran berdasarkan teori kognitif yang di dalamnya termasuk teori belajar

6

konstruktivis. Menurut teori konstruktivis pemahaman dan keterampilan berpikir dalam memecahkan masalah dapat dikembangkan jika peserta didik melakukan sendiri, menemukan, dan memindahkan kekompleksan pengetahuan yang ada. Dalam hal ini, secara spontanitas peserta didik akan mencocokkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang dimilikinya kemudian membangun kembali aturan pengetahuannya jika terdapat aturan yang tidak sesuai (Slavin, 1994). Menurut Slavin (1994), pemberian keterampilan berpikir dan pemecahan masalah kepada peserta didik memerlukan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, terutama orang tua, teman sejawat, dan guru. Selain itu, pemberian keterampilan berpikir dan memecahkan masalah ke peserta didik memerlukan sarana. Menurut Dewey (dalam Slavin, 1994), sarana yang memadai untuk melatih keterampilan berpikir dan memecahkan masalah peserta didik adalah lembaga pendidikan seperti misalnya sekolah. Sekolah merupakan cermin dari masyarakat luas dan merupakan laboratorium pemecahan masalah dari bentuk kehidupan nyata. Hiebert dan Carpenter (Hasanah, 2004) juga berpendapat bahwa belajar matematika dengan mengandalkan pemahaman matematis berarti siswa mampu mengemukakan ide atau gagasan yang diperolehnya dan mampu menyajikan gagasan tersebut dengan satu atau beberapa cara tertentu, siswa juga mampu memahami masalah yang ditemukan, menghubungkan Pemahaman masalah matematis tersebut yang dengan memicu pengetahuan yang dimiliki, dan mampu menyusun strategi dalam pemecahan masalah. pembentukan pengetahuan siswa dalam belajar juga merupakan suatu proses yang terjadi dalam suasana sosial. Dalam situasi ini siswa dapat diposisikan untuk bekerjasama dalam kelompok belajar sehingga mereka berkesempatan untuk berinteraksi dan berbagi pengetahuan serta pengalamannya tanpa rasa malu satu terhadap yang lain. Di Indonesia, pengajaran keterampilan berpikir dalam meningkatkan kemampuan pemahaman matematis memiliki beberapa kendala. Salah satunya adalah terlalu dominannya peran guru di sekolah sebagai penyebar ilmu atau sumber ilmu, sehingga siswa hanya dianggap sebagai sebuah wadah yang akan diisi dengan ilmu oleh guru.

7

Kendala lain yang sebenarnya sudah cukup klasik namun memang sulit dipecahkan, adalah sistem penilaian prestasi siswa yang lebih banyak didasarkan melalui tes-tes yang sifatnya menguji kemampuan kognitif tingkat rendah. Siswa yang dicap sebagai siswa yang pintar atau sukses adalah siswa yang lulus ujian. Ini merupakan masalah lama yang sampai sekarang masih merupakan polemik yang cukup seru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang sudah mulai diterapkan di Indonesia sebenarnya cukup kondusif bagi pengembangan pengajaran keterampilan berpikir, karena mensyaratkan siswa sebagai pusat belajar. Namun kenyataannya, proses pembelajaran yang dilaksanakan dikelas cenderung bertumpu pada aktivitas guru. Guru berperan aktif sedangkan siswa hanya menerima pengetahuan yang disampaikan oleh guru. Banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan berpikir kritis siswa, salah satunya adalah ketidaktepatan dan kurang bervariasi dalam penggunaan model dan media pembelajaran yang digunakan guru di kelas. Selain itu pembelajaran matematika di kelas belum bermakna, bersusun dan tidak menekankan pada pemahaman siswa, sehingga pengertian siswa tentang konsep sangat lemah. Kenyataan menunjukkan bahwa selama ini kebanyakan guru menggunakan model pembelajaran yang bersifat konvensional dan banyak didominasi guru (Huddyd, 1990). Pola pembelajaran seperti itu harus diubah dengan cara menggiring peserta didik mengkontruksikan ilmunya sendiri dan menemukan konsep-konsep secara mandiri. Untuk mengantisipasi masalah di atas, guru dituntut mencari dan menemukan suatu cara yang dapat menumbuhkan motivasi belajar peserta didik. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru diharapkan dapat mengembangkan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan menemukan, mengembangkan, menyelidiki dan mengungkapkan ide peserta didik sendiri. Dengan kata lain diharapkan kiranya guru mampu meningkatkan kemampuan Kemampuan pemahaman memecahkan matematis, masalah kemampuan tujuan berpikir umum dan dalam kemampuan siswa memecahkan masalah dalam belajar matematika. adalah

8

pengajaran matematika dan bahkan sebagai jantungnya matematika, (Mariono, 2000). Oleh karena itu, kemampuan memecahkan masalah hendaknya diberikan, dilatihkan, dan dibiasakan kepada peserta didik sedini mungkin, dengan membuat soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan yang dapat memancing berpikir kritis siswa, sehingga permasalahan yang ada dapat dipecahkan oleh siswa. Bagi seorang guru, dalam mengajar matematika tidak cukup hanya mengandalkan penguasaan materi. Diperlukan strategi dan metode pembelajaran yang tepat agar siswa merasa senang dan bersemangat belajar matematika, sehingga siswa dapat meraih prestasi tinggi. Dalam proses pembelajaran di dalam kelas, siswa juga belum terlibat secara aktif, banyak siswa yang sering mengantuk saat pembelajaran, tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan, malas mencatat, suka melamun dan kurangnya intensitas bertanya siswa serta berbagai aktivitas lain yang menunjukkan dan bahwa motivasi, berpikir kemampuan kritis siswa pemahaman dalam belajar matematis kemampuan

matematika masih rendah khususnya pada pembelajaran matematika trigonometri. Kenyataan ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian terhadap penyebab rendahnya kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran matematika trigonometri. Proses belajar mengajar (PBM) seringkali dihadapkan pada materi yang abstrak dan di luar pengalaman siswa sehari-hari, sehingga materi trigonometri ini menjadi sulit diajarkan guru dan sulit dipahami siswa. Visualisasi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengkonkritkan sesuatu yang abstrak. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan kemampuan pemahaman dan berpikir siswa. Pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik dimulai dari sekolah dasar dan membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Banyak siswa yang mengatakan bahwa matematika adalah pelajaran yang paling sulit, seperti yang dikatakan oleh Soedjadi (2002: 7) bahwa dewasa ini matematika sudah

9

berkembang sedemikian rupa sehingga terlalu sulit untuk dapat dikuasai seluruhnya oleh seorang siswa. Kenyataan serupa juga terjadi di sekolah SMA Swasta Al-Masdar Batang Kuis, yaitu masih banyak ditemukan kesulitan-kesulitan yang dihadapi para siswa dalam mempelajari matematika trigonometri. Dalam pembelajaran ini, mereka sangat kesulitan memecahkan masalah dari soal-soal yang diberikan karena begitu banyak rumus-rumus yang harus dikuasai oleh siswa. Hal ini didasarkan pada hasil wawancara kepada salah satu guru bidang studi matematika di sekolah SMA Swasta AlMasdar Batang Kuis pada tanggal 3 Agustus 2009, yang menyatakan bahwa guru masih menerapkan pembelajaran konvensional, sehingga kemampuan berpikir kritis siswa sangat minim dan ini mengakibatkan pemahaman konsep siswa terhadap materi trigonometri kurang tercapai dari tujuan pembelajaran. Atas alasan inilah penelitian sangat perlu dilakukan di sekolah tersebut, agar ada bahan masukan dan pertimbangan dalam menyikapi kejenuhan dan keterbatasan siswa saat belajar matematika trigonometri, sehingga pola berpikirnya dapat dikembangkan. Penelitian ini juga akan dapat terlaksana dengan baik, karena didukung oleh laboratorium yang sangat memadai serta nyaman dan difasilitasi oleh jaringan internet yang selalu aktif. Dengan fasilitas yang ada akan sangat menunjang kelancaran dan keberhasilan dari penelitian yang akan dilaksanakan, yaitu selain dapat merasakan manfaat penerapan model CPS dengan menggunakan Autograph, siswa juga bisa menambah wawasan dalam belajar matematika trigonometri dengan membuka website: http://www.math-movies.com/analyticatau http://www.mathPihak sekolah trigonometry-in-several-variables.pdf

movies.com/analytic-trigonometry-in-one-variable.pdf.

sangat senang dan antusias dalam kunjungan tersebut, dan mereka berharap penelitian ini dapat memberikan wajah baru dalam proses belajar mengajar matematika. Metode pembelajaran dan suasana belajar matematika yang kurang menyenangkan menjadi salah satu faktor penyebab siswa kesulitan memahami konsep-konsep matematika. Guru lebih suka menggunakan metode ceramah dan pemberian tugas, serta kurang beorientasi pada tingkat berpikir siswa. Akibatnya siswa menjadi jenuh

10

dan malas untuk belajar matematika. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode pembelajaran yang dapat menciptakan suasana belajar belajar yang menyenangkan, sehingga dapat mendukung siswa untuk mudah memahami konsep matematika, berpikir kritis dan memiliki ketrampilan untuk menghadapi hidup (life skill). Trigonometri merupakan salah satu pokok bahasan matematika yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, dimana penerapan trigonometri dalam kehidupan nyata adalah untuk mengukur ketinggian, mengukur jarak dan menentukan besar suatu sudut. Akan tetapi kenyataannya banyak siswa yang sulit untuk memahami konsep trigonometri. Oleh karena itu, melalui penerapan model Creative Problem Solving (CPS) dengan penggunaan software Autograph diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan berpikir kritis siswa. Model CPS adalah suatu model pembelajaran yang memusatkan pada pengajaran dan ketrampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreativitas (Pepkin, 2004). Ketika dihadapkan dengan situasi pertanyaan, siswa dapat melakukan ketrampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, ketrampilan memecahkan masalah dengan memperluas proses berpikir. Model CPS merupakan representasi dimensi-dimensi proses yang alami, bukan suatu usaha yang dipaksakan. Model CPS merupakan pendekatan yang dinamis, siswa menjadi lebih trampil sebab siswa mempunyai prosedur internal yang lebih tersusun dari awal. Dengan menggunakan model pembelajaran ini diharapkan dapat menimbulkan minat sekaligus kreativitas dan motivasi siswa dalam meningkatkan kemampuan pemahaman matematis dan berpikir kritis, sehingga siswa dapat memperoleh manfaat yang maksimal baik dari proses maupun hasil belajarnya. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan berpikir kritis siswa, agar tujuan ini tercapai maka sangat baik apabila menerapkan model CPS ini dengan software Autograph. Pembelajaran dengan model CPS berbasis teknologi dapat mengetahui ketuntasan belajar pada hasil belajar,

11

keaktifan dan ketrampilan proses siswa, pengaruh keaktifan dan kemampuan pemahaman matematis serta ketrampilan proses berpikir kritis siswa. Pembelajaran matematika dengan menggunakan media berbasis teknologi komputer sangat baik apabila kita mendukungnya dengan software-software matematika yang akan sangat membantu siswa dalam mengerjakan atau menganalisa persoalan yang ada. Salah satu software yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika adalah Autograph. Autograph adalah software atau perangkat lunak yang sangat membantu dalam proses belajar di sekolah, software ini dikembangkan oleh Douglas Butter pada tahun 1984. Pemanfaatan Autograph dalam pembelajaran di kelas merupakan suatu inovasi baru dalam pembelajaran matematika, karena yang selama ini kita ketahui bahwa dalam pembelajaran matematika di kelas selama ini bersifat tradisional. Kegiatan pembelajaran lebih didominasi oleh guru, tetapi dengan menggunakan Autograph siswa dapat mengembangkan cara belajarnya menjadi lebih baik. Pembelajaran dengan Autograph dapat mengakomodasi siswa yang lamban menerima pelajaran, karena ia dapat memberikan iklim yang bersifat afektif dengan cara yang lebih individual, tidak pernah lupa, tidak pernah bosan, dapat merangsang siswa untuk mengerjakan latihan-latihan. Selain itu penggunaan Autograph sebagai media pembelajaran bisa memudahkan guru dalam menyampaikan materi, mempermudah siswa untuk menyerap apa yang disampaikan guru, dan terjadinya simulasi karena tersedianya animasi grafik, warna dan musik yang dapat menambah realisme. Pernyataan ini diperkuat oleh Hamalik (1994), ia mengemukakan bahwa pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Penggunaan media pembelajaran pada tahap orientasi pembelajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan pelajaran pada saaat itu. Selain membangkitkan motivasi dan minat siswa, media pembelajaran juga dapat meningkatkan pemahaman

12

matematis dan kemampuan berpikir, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan mendapatkan informasi yang lebih banyak. Implimentasi dengan implikasi suatu teknologi pada kemampuan menerapkan dengan KTSP seni, 2006 suatu yang dan pengetahuan dan kependaian membuat sesuatu yang berkenaan produk, yang itu berhubungan berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta bersandarkan pada aplikasi dan pengetahuan sendiri. Kurikulum pembelajaran matematika saat ini masih terkesan banyak kekurangan bila diorientasikan dengan kemajauan teknologi dewasa ini. Teknologi yang merupakan aplikasi kemajuan ilmu pengetahuan yang membawa dunia pendidikan untuk menyesuaikannya. Strategi pembelajaran harus berorientasi pada kebutuhan teknologi masa kini, artinya setiap materi yang sudah dirancang dalam jabaran kurikulum dicarikan link dengan masalah kontekstual dan teknologi. Perkembangan teknologi sekarang ini menuntut penggunaan komputer yang lebih bervariatif dan efektif, termasuk didalamnya penggunaan aplikasi komputer dalam proses pembelajaran di sekolah sebagai media pembelajaran atau media pendidikan, (Cahyo, 2008). Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti mencoba untuk (CPS) menggabungkan model pembelajaran Creative Problem Solving

dengan media teknologi komputer (Autograph), untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan kemampuan berpikir kritis siswa. Model CPS ini sangat baik apabila dipadukan dengan media teknologi terutama pada penggunaan Autograph, karena hal ini dapat membantu kemampuan mengembangkan daya kreativitas dan meningkatkan

berpikir siswa melalui investigasi yang mereka lakukan. Autograph diharapkan bisa menghadirkan bentuk gambar atau animasi yang lebih menarik dan berkesan, sehingga pembelajaran bisa dirasakan siswa lebih menyenangkan dan tidak membosankan. Pembelajaran langsung dirancang secara khusus untuk mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan prosedural yaitu pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu dan pengetahuan deklaratif yaitu pengetahuan tentang sesuatu, yang diajarkan selangkah demi selangkah (Wjanto, 2008). Penggunaan Autograph sebagai media pembelajaran dapat

13

menjadikan dirasakan

pengetahuan siswa lebih

prosedural konkret.

dan

pengetahuan

deklaratif dalm

menjadi lebih menarik dan berkesan, sehingga pengalaman belajar Penggunaan Autograph pembelajaran bisa memudahkan guru dalam menyampaikan materi, dan mempermudah siswa untuk menyerap apa yang disampaikan guru. Hal inilah yang membangkitkan semangat penulis untuk melakukan penelitian tersebut, yaitu untuk memberikan angin segar dalam pembelajaran matematika terutama pada materi Trigonometri. Dengan mengembangkan pembelajaran matematika yang sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya yang ada serta berpandangan pada perkembangan teknologi dan tuntutan era globalisasi dan kurikulum, diantaranya penerapan model CPS dengan menggunakan dan berpikir kritis siswa. Autograph diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pemahaman matematis

B.

Identifikasi Masalah Berdasarkan dari uraian latar belakang permasalahan di atas, maka peneliti

mengidentifikasi beberapa kemungkinan permasalahan yang berkaitan dengan penerapan model pembelajaran CPS dan implimentasi teknologi pada peningkatan kemampuan pemahaman matematis dan berpikir kritis siswa. Permasalahan tersebut meliputi: 1. 2. Kemampuan pemahaman matematis siswa masih rendah. Kemampuan berpikir kritis siswa kurang terlatih, sehingga banyak masalah pembelajaran matematika khususnya matematika trigonometri tidak

terselesaikan oleh siswa. 3. Kurangnya pemahaman, ketidaktepatan dan kurang bervariasinya

penggunaan teknologi berbasis komputer dengan bantuan software-software matematika yang dilakukan guru di kelas dengan tujuan meningkatkan kemampuan pemahaman matematis dan berpikir kritis siswa.

14

4.

Guru belum sepenuhnya mengaplikasikan dan mengembangkan berbagai jenis model dan metode pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga suasana proses belajar mengajar menjadi sangat membosankan dan membuat siswa menjadi malas berpikir sehingga mengakibatkan siswa tidak memahami apa yang dipelajarinya.

5.

Tidak sesuainya penggunaan media berbasis teknologi komputer dalam proses pembelajaran matematika dan penguasaan guru dalam penggunaan media komputer masih minim, sehingga media teknologi pembelajaran hanya dijadikan sebagai pengganti papan tulis.

6.

Sikap siswa SMA terhadap pelajaran matematika tidak menyenangkan, cenderung membencinya. Hal ini, dikarenakan banyaknya rumus-rumus yang harus dihapal dan hitungan-hitungan yang harus diselesaikan oleh siswa secara rutin setiap pembelajaran matematika berlangsung.

7.

Aktivitas siswa yang lebih banyak diam/pasif selama pembelajaran berlangsung, membuat suasana belajar semakin tidak menyenangkan karena tidak ada komunikasi dua arah yaitu antara guru dengan siswa atau antara sesama siswa.

C.

Batasan Masalah Banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan pemahaman

matematis dan berpikir kritis siswa dengan keterkaitannya terhadap sikap dan aktivitas siswa melalui penerapan model pembelajaran CPS dengan penggunaan Autograph. Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dilakukannya pembatasan masalah dengan mengingat keterbatasan dana, waktu dan kemampuan peneliti.

15

Penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup lokasi penelitian, subyek penelitian, waktu penelitian dan variabel penelitian. Berkaitan dengan lokasi penelitian, penelitian ini terbatas pada SMA Swasta Al-Masdar Batang Kuis. Penelitian ini melibatkan siswa kelas XI Program IPS, dengan meneliti permasalahan sebagai berikut: 1. Kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan berpikir kritis siswa masih rendah dan kurang terlatih, sehingga banyak masalah pembelajaran matematika khususnya matematika trigonometri tidak terselesaikan oleh siswa. 2. Sikap siswa SMA terhadap pelajaran matematika tidak menyenangkan, cenderung membencinya. 3. Aktifitas siswa selama pembelajaran masih pasif, kurang merespon pendapat temannya dan tidak peka terhadap masalah pembelajaran yang sedang dihadapinya. 4. Penerapan model pembelajaran CPS dengan penggunaan teknologi komputer, khususnya software Autograph belum teraplikasi dengan baik saat proses pembelajaran berlangsung.

D.

Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut: 1. Apakah kemampuan pemahaman melalui matematis penerapan kelompok model siswa CPS yang dengan

memperoleh

pembelajaran

menggunakan software Autograph lebih baik daripada kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran melalui penerapan model CPS? 16

2.

Apakah kemampuan berpikir kritis kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran melalui penerapan model CPS dengan menggunakan software Autograph lebih baik daripada kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran melalui penerapan model CPS?

3.

Apakah terdapat sikap positif siswa pada penerapan model pembelajaran CPS dengan menggunakan software Autograph?

4.

Apakah aktifitas siswa selama pemebelajaran melalui penerapan model CPS dengan menggunakan software Autograph lebih aktif daripada kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran melalui penerapan model CPS?

E.

Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah diperolehnya informasi tentang

keefektifan pembelajaran matematika dengan menanamkan kesadaran individu terhadap kemampuan berpikir kritis siswa melalui model pembelajaran CPS dan penggunaan Autograph dalam pembelajaran matematika trigonometri. Secara khusus tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah : 1. Mengetahui perbedaan kemampuan pemahaman matematis pada kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran melalui penerapan model CPS dengan menggunakan software Autograph dibandingkan terhadap kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran melalui penerapan model CPS. 2. Mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis pada kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran melalui penerapan model CPS dengan

menggunakan software Autograph dibandingkan terhadap kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran melalui penerapan model CPS.

17

3.

Mendeskripsikan sikap positif siswa pada pembelajaran melalui penerapan model pembelajaran CPS dengan menggunakan Autograph.

4.

Mendeskripsikan aktivitas siswa selama pembelajaran melalui penerapan model CPS dengan menggunakan software Autograph berlangsung.

F.

Manfaat Penelitian Dengan mengetahui penerapan model pembelajaran CPS dengan

menggunakan software Autograph terhadap peningkatan kemampuan pemahaman dan kemampuan berpikir kritis siswa di kelas XI IPS SMA Swasta Al-Masdar Batang Kuis diharapkan akan memberikan manfaat secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi sebagai sumbangan pemikiran dan bahan acuan bagi guru, pengelolah, pengembang lembaga pendidikan dan peneliti selanjutnya akan mengkaji secara lebih mendalam tentang penerapan model CPS dengan menggunakan Autograph dalam

meningkatkan kemampuan pemahaman dan berpikir kritis siswa pada pembelajaran matematika, khususnya matematika trigonometri. Secara praktis penelitian ini diharapkan : 1. Bahan pertimbangan bagi guru dalam memahami kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran matematika trigonometri, sehingga dapat memilih model dan media pembelajaran yang cocok. 2. Bahan masukan bagi guru dalam memilih dan menggunakan model serta media pembelajaran secara optimal pada kegiatan belajar mengajar matematika khusunya pada materi pokok trigonometri. 3. Rujukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan penelitian ini bagi para peneliti yang tertarik dengan penelitian sejenis. 18

4.

Peningkatan kompetensi peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian serta aplikasi dalam proses pembelajaran di kelas.

G.

Definisi Operasional Untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran, perlu adanya penjelasan

dari beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Beberapa konsep dan istilah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) merupakan model pembelajaran yang memusatkan pada pengajaran dan ketrampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan ketrampilan. Langkah-langkah pembelajaran dalam penerapan model CPS ini berdasarkan hasil gabungan prosedur Von Oech dan Osborn, yaitu: klarifikasi masalah, pengungkapan gagasan, evaluasi dan seleksi, serta implementasi. 2. Media software Autograph yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah sofware Autograph versi 3.0, buatan Douglas Butler dan bekerja dilembar kerja 2 (dua) dimensi. 3. Pemahaman matematis dalam penelitian ini mengacu pada Bloom (dalam Hasanah, 2004), yang meliputi pemahaman interpretasi, translasi, dan ekstrapolasi. 4. Kemampuan berpikir kritis dalam penelitian ini mengacu pada (Hassoubah, 2007), yang meliputi kemampuan siswa dalam menguji, menentukan jawaban rasional, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada masalah.

19

20

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Matematika Soedjadi (2002), menyatakan beberapa pengertian dan definisi tentang matematika, antara lain: (1) Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik, (2) Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi, (3) Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logika dan berhubungan dengan bilangan-bilangan, (4) Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta dan masalahmasalah tentang ruang dan bentuk, (5) Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik, (6) Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Soedjadi (2002), juga berpendapat bahwa matematika merupakan ilmu yang memiliki karekteristik khusus dibanding dengan bidang lain, yang memiliki objek kajian abstrak, bertumpu kepada kesepakatan, berpola pikir deduktif, memiliki simbol yang kosong dari arti, memperhatikan semesta pembicaraan dan konsisten dalam sistemnya. Konsisten dalam sistem, maksudnya ada sistem yang mempunyai kaitan satu sama lain, tetapi ada sistem yang dipandang terlepas. Kitcher (dalam Hamzah, 2003:62) lebih memfokuskan perhatiannya pada komponen dalam kegiatan matematika. Kitcher mengklaim bahwa matematika terdiri atas komponen-komponen: (1) bahasa (language) yang dijalankan oleh para matematikawan, (2) pernyataan (statements) yang digunakan oleh para matematikawan, (3) pertanyaan (questions) penting yang hinnga kini belum terpecahkan, (4) alasan (reason) yang digunakan untuk menjelaskan pernyataan dan (5) ide matematika itu sendiri.

21

Komponen bahasa dalam matematika biasanya diwujudkan dalam bentuk lambang atau simbol yang memiliki makna tersendiri. Penggunaan lambang dalam matematika tampaknya lebih efisisen, dan dalam proses pembelajarannya menjadi alat untuk mengkomunikasikan ide-ide matematika. Komponen statements (pernyataan) biasanya ditemukan dalam bentuk logika matematika ``jika p, maka q``. Artinya, dalam pandangan kontruktivisme, belajar matematika memerlukan penalaran. Dengan penalaran atau logika tersebut siswa dapat membentuk pengetahuan matematikanya dengan baik. Untuk komponen pertanyaan (questions) memberikan gambaran bahwa begitu banyak persoalan matematika yang belum terpecahkan hingga saat ini. Di sini diperlukan cabang matematika secara spesifik. Sedangkan reason merupakan komponen matematika yag memerlukan alasan secara argumentatif sehingga terbentuk pola pikir seseorang dalam belajar matematika, (Hamzah, 2008: 128). Menurut Jailani (1999: 168), matematika merupakan ilmu yang sangat dibutuhkan dan berguna dalam kehidupan sehari-hari, bagi sains, perdagangan dan industri, dan karena matematika menyediakan suatu daya, alat komunikasi yang singkat dan tidak ambigius serta berfungsi sebagai alat untuk mendeskripsikan dan memprediksi. Matematika mencapai kekuatannya melalui simbol-simbolnya, tata bahasa dan kaidah bahasa (sintax) pada dirinya, serta mengembangkan kemampuan pemahaman, kemampuan berpikir kritis, aksiomatik, logis, dan deduktif. Dari berbagai pandangan dan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika adalah sebagai suatu bidang ilmu yang merupakan alat pikir, berkomunikasi, alat untuk memecahkan berbagai persoalan praktis, yang unsur-unsurnya logika dan ituisi, analisis dan kontruksi, generalitas dan individualitas, serta mempunyai cabang-cabang antara lain aritmetika, alajabar, geometri, dan analisis. Seseorang akan merasa mudah memecahkan masalah dengan bantuan matematika,

22

karena ilmu matematika itu sendiri memberikan kebenaran berdasarkan alasan logis dan sistematis. Di samping itu, matematika dapat memudahkan dalam pemecahan masalaah karena proses kerja matematika dilalui secara berurut yang meliputi tahap observasi, menebak, menguji hipotesis, mencari analogi, dan akhirnya merumuskan teoremateorema. Selain itu, matematika memiliki konsep struktur dan hubungan-hubungan yang banyak menggunakan simbol-simbol. Simbol-simbol ini sangat penting dalam membantu memanipulasi aturan-aturan yang beroperasi dalam struktur-struktur. Simbolisasi juga memberikan fasilitas komunikasi sehingga dapat memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi, dan dari informasi inilah dapat dibentuk konsep-konsep baru. Dengan demikian simbol-simbol matematika sangat bermanfaat untuk mempermudah cara kerja bepikir, karena simbol-simbol ini dapat digunakan untuk mengomunikasikan ide-ide, dengan jalan memahami dikemukakan. B. Hakikat Belajar Matematika Hakikat belajar matematika adalah suatu aktivitas mental untuk memahami arti dan hubungan-hubungan serta simbolsimbol, kemudian diterapkannya pada situasi nyata, yaitu bahwa belajar matematika berkaitan dengan apa dan bagaimana menggunakannya dalam membuat keputusan untuk memecahkan masalah. Matematika melibatkan pengamatan, penyelidikan dan keterkaitannya dengan fenomena fisik dan sosial. Berkaitan dengan hal ini, maka belajar matematika merupakan suatu kegiatan yang berkenaan dengan penyeleksian himpunanhimpunan dari unsur matematika yang sederhana dan merupakan himpunan-himpunan baru, yang selanjutnya membentuk himpunan-himpunan baru yang lebih rumit. Demikian seterusnya, karekteristik matematika seperti yang telah

23

sehingga dalam belajar matematika harus dilakukan secara hierarkis. Dengan kata lain, belajar matematika pada tahap yang lebih tinggi, harus didasarkan pada tahap belajar yang lebih rendah. Gagne (dalam Hamzah, 2008), mengemukakan delapan tipe belajar yang dilakukan secara prosedural atau hierarki dalam belajar matematika. Kedelapan tipe belajar tersebut, yakni (1) belajar sinyal (signal learning), (2) belajar stimulus respons (stimulus-response learning), (3) belajar merangkai tingkah laku (behavior chaining learning), (4) belajar asosiasi verbal (verbal chaining learning), (5) belajar diskriminasi (diskrimination learning), (6) belajar konsep (consept learning), (7) belajar aturan (rule learning), (8) belajar memecahkan masalah (problem solving learning). Hierarki belajar empat tipe pertama disebut sebagai tipe belajar sederhana (simple type of learning), sedangkan empat tipe terakhir disebut tipe belajar bahwa, belajar matematika berdasarkan hierarki hipotetik dengan deduktif (deduktive hipotetic learning). Gagne mengemukakan pandangannya yang bertolak dari teori belajar behavioristik. Struktur koqnitif anak menurut Ausubel (dalam Hamzah, 2008) berhubungan dengan struktur ingatan yang secara tetap terbentuk dari apa yang sudah dibentuk sebelumnya. Untuk itu, bahan pelajaran matematika yang dipelajari harus bermakna, artinya bahan pelajaran harus sesuai dengan kemampuan dan struktur koqnitif yang dimiliki siswa. Dengan kata lain, pelajaran matematika yang baru perlu dikaitkan dengan knsep-konsep yang sudah ada sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap dengan baik. Hakikat belajar matematika seperti ini oleh Ausubel disebut sebagai belajar bermakna. Dikarenakan matematika sebagai suatu ilmu yang tersusun menurut struktur, maka sajian matematika hendaknya dilakukan dengan cara yang sistematis, teratur, dan logis sesuai perkembangan intelektual anak. Itulah sebabnya sajian matematika yang diberikan kepada 24

siswa berbeda-beda sesuai jenjang pendidikan dan perkembangan intelektual anak. Dalam hal ini siswa pada pendidikan tingkat dasar, sajiannya bersifat konkret, dan makin tinggi jenjang pendidikan siswa maka sajian matematika semakin abstrak. Menurut Hamzah (2008), untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika, sebaiknya dalam proses pembelajarannya perlu memperhatikan teori pemrosesan informasi. Sedikitnya ada empat tahap yang dilalui dalam teori pemrosesan informasi, yakni (1) pemasukan informasi yang dicatatat melalui indera, (2) simpanan jangka pendek, di mana informasi yang diterima hanya bertahan selama 0,5 sampai 2,0 detik, (3) memori jangka pendek atau memori kerja, di mana data dalam jumlah terbatas dipertahankan selama 20 detik, (4) memori jangka panjang, di mana data yang telah disandikan menjadi bagian dari sistem pengetahuan. Memori yang tidak tersandikan akan hilang dari sistem memori. Apabila informasi pembelajaran matematika telah melampaui kapasitas memori penerima maka akan banyak informasi yang hilang. Di sini diperlukan proses penyeleksian informasi yang disampaikan adalah hal-hal yang penting. Selain proses penyeleksian informasi yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran matematika berdasarkan teori pemrosesan informasi, teori lain seirama dengan paradigma kontruktivisme adalah teori yang melandasi strategi kognitif, yakni metacognition. Metacognition merupakan keterampilan siswa dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya. Menurut teori metacognition bahwa siswa yang belajar memiliki keterampilan tertentu untuk mengatur dan mengontrol apa yang dipelajarinya. Keterampilan ini berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain sesuai dengan kemampuan proses berpikirnya. Menurut Woolfolk (dalam Hamzah, 2008), metacognition meliputi empat jenis keterampilan, yaitu sebagai berikut: 25

(1)

Keterampilan

memecahkan

masalah

(problem solving), yakni suatu

keterampilan seorang siswa dalam menggunakan proses berpikirnya untuk memecahkan masalah melalui pengumpulan fakta, analisis informasi, menyusun berbagai alternatif pemecahan, dan memilih pemecahan masalah yang paling efektif (2) Keterampilan pengambilan keputusan (decision making), yakni keterampilan seseorang menggunakan proses berpikirnya untuk memilih sesuatu keputusan yang terbaik dari beberapa pilihan yang ada melalui pengumpulan informasi, perbandingan kebaikan dan kekurangan dari setiap alternatif, analisis informasi, dan pengambilan keputusan yang terbaik berdasarkan alasan yang rasional (3) Keterampilan berpikir kritis (critical thingking), yakni keterampilan seseorang dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menganalisis argumen dan memberikan interpretasi berdasarkan persepsi yang sahih melalui logical reasoning, analisis asumsi dan bias dari argumen dan interpretasi logis (4) Keterampilan berpikir kreatif (creative thinking), yakni keterampilan seseorang dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menghasilkan suatu ide baru, kontrukstif, dan baik berdasarkan konsep-konsep, prinsip-prinsip yang rasional maupun persepsi dan intuisi. Mengingat matematika memiliki beberapa unit yang satu sama lain saling berhubungan, maka yang penting dalam belajar matematika adalah bagaimana kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah matematika. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa materi matematika merupakan materi yang abstrak, dan dalam pemilihan materi keilmuan matematika merupakan salah satu jenis materi ilmu ide abstrak. Sehingga,

26

dalam belajar matematika sangat dituntut kemampuan penalaran siswa dalam memecahkan persoalan-persoalan matematika yang terjadi. C. Pemahaman Matematis Pemahaman merupakan terjemahan dari comprehension. Purwadinata (dalam Emiliani, 2000) menyatakan bahwa paham artinya "mengerti benar", sehingga pemahaman konsep artinya mengerti benar tentang konsep. Kemudian Purwadinata menyatakan bahwa pemahaman adalah kemampuan untuk menjelaskan suatu situasi atau suatu tindakan, sedangkan kata matematis berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga adalah bersifat matematika. Dari pengertian ini ada tiga aspek pemahaman matematis, yaitu kemampuan mengenal matematika, kemampuan menjelaskan matematika, dan kemampuan menginterpretasi atau menarik kesimpulan dalam belajar matematika. Menurut Bloom (dalam Hasanah, 2004), menyatakan ada 3 (tiga) macam pemahaman yaitu: pengubahan (translation), pemberian arti (interpretasi), dan pembuatan ekstrapolasi (extrapolation). Dalam matematika misalnya mampu mengubah (translation) soal kata-kata ke dalam simbol dan sebaliknya, mampu mengartikan (interpretation) suatu kesamaan, mampu memperkirakan (ekstrapolasi) suatu kecenderungan dari gambar. Pemahaman translasi (kemampuan menerjemahkan) adalah kemampuan dalam memahami suatu gagasan yang dinyatakan dengan cara lain dari pernyataan asal yang dikenal sebelumnya. Pemahaman interpretasi (kemampuan menafsirkan) adalah kemampuan dalam memahami bahan atau ide yang direkam, diubah atau disusun dalam bentuk atau cara lain, misalnya dalam bentuk grafik, tabel, diagram, gambar, dan sebagainya. Sedangkan pemahaman ekstrapolasi (kemampuan meramalkan) adalah

27

kemampuan meramalkan kecenderungan yang ada menurut data tertentu dengan mengutarakan konsekuensi dan implikasi yang sejalan dengan kondisi yang digambarkan. Dalam pembelajaran matematika, pemahaman translasi berkaitan dengan kemampuan siswa dalam memodelkan, menerjemahkan kalimat dalam soal/permasalahan ke dalam bentuk lain, misalnya dapat menyebutkan atau menuliskan variabel-variabel yang diketahui dan yang dinyatakan. Pemahaman interpretasi berkaitan dengan kemampuan-kemampuan siswa dalam menentukan konsep-konsep yang tepat untuk digunakan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Pemahaman ekstrapolasi berkaitan dengan kemampuan siswa menerapkan konsep dalam perhitungan matematika untuk menyelesaikan masalah. Untuk memahami suatu objek secara mendalam Machener (dalam Turmudi, 2008), menyatakan bahwa seseorang harus mengetahui: 1. 2. 3. 4. 5. Objek itu sendiri. Relasinya dengan objek lain yang sejenis. Relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis. Relasi dual dengan objek lain yang sejenis. Relasi dengan objek dalam teori lainnya. Pembelajaran matematika yang efektif memerlukan

pemahaman apa yang siswa ketahui dan perlukan untuk dipelajari, kemudian memberikan tantangan dan dukungan kepada siswa agar siswa dapat belajar dengan baik. Jadi, pemahaman siswa terhadap matematika adalah kemampuan siswa menggunakannya untuk memecahkan masalah, serta kepercayaan siswa terhadap matematika dan semua ini dibentuk oleh pembelajaran yang mereka hadapi di kelas.

28

Menurut

Turmudi

(2008),

terbentuknya

pemahaman

matematis dalam kegiatan belajar terjadi melalui proses yang dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Menangkap ide yang dipelajari melalui pengamatan yang dilakukan. Hal-hal yang diamati dapat bersumber dari apa yang dilakukan sendiri ataupun dari apa yang ditunjukkan oleh guru. 2. Menggabungkan informasi yang baru dengan skema pengetahuan yang telah ada. 3. Mengorganisasikan kembali pengetahuan yang telah terbentuk.

Mengorganisasikan tersebut berarti adanya hubungan pengetahuan lama dan pengetahuan baru yang telah terbentuk ditata kembali dan akan membentuk hubungan-hubungan baru. 4. Membangun pemahaman pada setiap belajar matematika akan memperluas pengetahuan matematika yang dimiliki. Semakin luas pengetahuan tentang ide atau gagasan matematik yang dimiliki semakin bermanfaat dalam

memecahkan masalah yang dijumpai ketika belajar. Untuk dapat merasakan manfaat matematika dalam

kehidupan sehari-hari, seseorang yang belajar matematika harus mencapai pemahaman matematis yang mendalam dan bermakna akan matematika. Salah satu sasaran yang perlu dicapai siswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dan bermakna adalah memahami matematika yang dipelajarinya. Untuk memperoleh pemahaman dalam belajar matematika, materi yang dipelajari harus disesuaikan dengan jenjang atau tingkat kemampuan diperoleh berpikir siswa. Pemahaman matematis yang ketika belajar matematika dapat menumbuhkan

kemampuan berpikir kritis siswa.

29

D.

Berpikir Kritis Berpikir kritis melibatkan beberapa bentuk kegiatan mental (pikiran). Berpikir kritis adalah kegiatan yang aktif tidak pasif, dan perlu usaha. Berpikir kritis meliputi menjelaskan sesuatu atau mencoba menghubungkan ide-ide yang kelihatannya terkait. Berpikir kritis terjadi saat para siswa mencoba memahami penjelasan dari orang lain, ketika mereka bertanya, dan ketika mereka menjelaskan atau menyelidiki kebenaran ide mereka sendiri. Wijaya (2007) mengemukakan berpikir kritis adalah suatu kegiatan atau suatu atau proses menganalisis, ide, menjelaskan, mencakup melawankan mengembangkan mengkategorisasikan, menyeleksi membandingkan,

(contrasting), menguji argumentasi dan asumsi, menyelesaikan dan mengevaluasi kesimpulan induksi dan deduksi, menentukan prioritas dan pembuat pilihan. Menurut Desmita (2005: 161), pemikiran kritis (critical thinking) sebagai pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka bagi berbagai pendekatan dan perspektif yang berbeda, menganalisis permasalahan sampai ketingkat terkecil (tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber baik lisan maupun tulisan), dan berpikir secara reflektif dan evaluatif. Ennis yang dikutip oleh Hassoubah (2007: 87) menyatakan berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Pendidikan di sekolah terutama di tingkat SMA, harus mampu membangkitkan dan mengembangkan pemikiran kritis siswa, hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sternberg (dalam Desmita, 2005: 162), menjelaskan ada lima cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada siswa yaitu: (1) mengajarkan siswa menggunakan

30

proses-proses berpikir yang benar, (2) mengembangkan strategistrategi pemecahan masalah, (3) meningkatkan gambaran mental siswa, (4) memperluas landasan pengetahuan siswa, dan (5) memotivasi siswa untuk menggunakan keterampilan-keterampilan berpikir. Hal yang senada juga dijelaskan oleh Santrock (dalam Desmita, 2005: 163), bahwa ada enam cara yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan berpikir kritis pada siswa, yaitu: (1) mendengarkan merumuskan secara seksama, (2) mengidentifikasi (3) atau pertanyaan-pertanyaan, mengorganisasikan

pemikiran-pemikiran mereka, (4) memperhatikan persamaanpersamaan dan perbedaan-perbedaan, (5) melakukan deduksi, (6) membedakan antara kesimpulan-kesimpulan yang secara logika valid dan tidak valid. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan dengan cara melatih anak-anak melihat, serta mengatasi masalah-masalah sederhana yang konkret yang ada di sekitarnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran yang memungkinkan untuk pengembangan berpikir tersebut. Di sini peran guru sangat kreatif dalam menciptakan kondisi lingkungan yang mendukung proses pembelajaran. Menurut Bonnie dan Potts (2003) secara singkat dapat disimpulkan bahwa ada tiga buah strategi untuk mengajarkan kemampuan-kemampuan berpikir kritis, yaitu : (1) Building Categories (Membuat Klasifikasi), (2) Finding Problem (Menemukan Masalah), dan (3) Enhancing the Environment (Mengkondusifkan lingkungan). Disebutkan pula bahwa beberapa ciri khas dari mengajar untuk berpikir kritis meliputi : (1) Meningkatkan interaksi di antara para siswa sebagai pebelajar, (2) Dengan mengajukan pertanyaan open-ended, (3) Memberikan waktu yang memadai kepada para siswa untuk memberikan refleksi terhadap pertanyaan yang diajukan atau masalah-masalah yang diberikan, dan (4) Teaching for transfer (Mengajar untuk dapat menggunakan kemampuan yang baru saja diperoleh 31

terhadap situasi-situasi lain dan terhadap pengalaman sendiri yang para siswa miliki). Wade (dalam Achmad, 2007: 2), mengidentifikasi delapan karakteristik berpikir kritis, yakni meliputi: 1. kegiatan merumuskan pertanyaan 2. membatasi permasalahan 3. menguji data-data 4. menganalisis berbagai pendapat dan bias 5. menghindari pertimbangan yang sangat emosional 6. menghindari penyederhanaan berlebihan 7. mempertimbangkan berbagai interpretasi, dan 8. mentoleransi ambiguitas. Dalam proses pembelajaaran berpikir kritis ini dianggap sangat penting sebab dapat mencegah penggunaan bahasa, konsep dan argumentasi yang salah. Siswa harus mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran. Ini berarti bahwa siswa perlu mengembangkan berbagai proses berpikir aktif. Akan tetapi, berpikir kritis semata-mata tidak memiliki kekuatan yang generatif maupun konstruktif. Kemampuan berpikir kritis tidak tergantung pada tingkat intellegence question (IQ), akan tetapi pada intensitas pembinaan dan kebiasaan melatih anak berpikir kritis. Hal ini sesuai dengan pendapat Moore (dalam Rosyada, 2007: 106) yang menyimpulkan bahwa berpikir kritis itu lebih kompleks daripada berpikir biasa, karena berpikir kritis berbasis pada standard objektivitas dan konsistensi. Inti dari pengembangan berpikir kritis yaitu, mengakses berbagai informasi lain dari berbagai sumber yang tidak dibatasi hanya menggunakan buku teks, lalu informasi-informasi tersebut dianalisis dengan menggunakan berbagai pengetahuan dasar dari bahan ajar formal, lalu siswa membuat kesimpulan. Proses pemyimpulan itulah yang disebut dengan berpikir kritis yang mampu melahirkan berbagai pemikiran kreatif. Dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada siswa dalam pembelajaran, guru dan siswa harus berperan sebagai 32

pemain

bersama.

Guru

dan

siswa

harus

bersama-sama

memecahkan suatu masalah. Guru tidak berpikir untuk menjadi siswa tetapi guru dan siswa bersama-sama mencari dan bertanggung jawab dalam suatu proses pertumbuhan. Guru dan siswa harus saling mengajar dan belajar dan didalam pembelajaran harus terdapat saling dialog dan komunikasi horizontal. Pelaksanaan pembelajaran dengan cara dialog inilah akan membangkitkan kesadaran berpikir kritis pada siswa. Siswa akan sadar dengan ketidakmampuannya, sadar akan adanya perkembangan yang terus bergerak maju. Dengan demikian tujuan berpikir kritis dapat lebih mudah tercapai. Muhfahroyin (2009), menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis ini mengaktifkan kemampuan melakukan analisis dan evaluasi bukti, identifikasi pertanyaan, kesimpulan logis, memahami implikasi argumen. Lebih lanjut Muhfahroyin (2009), menyampaikan bahwa berpikir kritis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk dikembangkan di sekolah, guru diharapkan mampu merealisasikan pembelajaran yang mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada siswa. Hal yang harus dilakukan agar siswa memiliki keterampilan intelektual tingkat tinggi harus dilatih keterampilan kritis, kreatif, pemecahan masalah, dan membuat keputusan. Kemudian dalam mengevaluasi terhadap kemampuan berpikir kritis antara lain bertujuan untuk mendiagnosis tingkat kemampuan siswa, memberi umpan balik keberanian berpikir siswa, dan memberi motivasi agar siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Kemampuan-kemampuan critical thinking (berpikir kritis) yang harus dimiliki siswa adalah menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi menganalisis aspek-aspek informasi, yang mengingat fokus dan pada masalah, mengumpulkan dan mengorganisasi informasi, memvalidasi dan mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban yang 33

rasional, melukiskan kesimpulan yang valid, dan melakukan analisis (Hassoubah, 2007). Menurut De Bono (2007: 204), tujuan awal berpikir kritis adalah menyingkapkan kebenaran dengan menyerang dan menyingkirkan yang salah supaya kebenaran akan terlihat. Sedangkan menurut Swartz (dalam Hassoubah, 2007), tujuan berpikir kritis adalah untuk mencapai penilaian yang kritis apa yang akan kita terima atau apa yang akan kita lakukan dengan alasan yang logis. Dari kedua pendapat ini dapat disimpulakan bahwa tujuan berpikir matematis kritis yang adalah untuk memperoleh dalam pemahaman sedalam-dalamnya

mengungkapkan makna dibalik suatu kejadian. Dari sisi prosedur penerapan kriteria, berpikir kritis bisa menggunakan banyak prosedur seperti mengajukan pertanyaan, membuat keputusan, dan indentifikasi asumsi. Ennis (dalam Mulyanto, 2008) merinci 12 aspek yang menjadi ciri berpikir kritis analitis sebagai berikut: 1. 2. 3. mampu menangkap arti suatu pertanyaan mampu menilai kerancuan (ambiguity) dalam jalur penalaran mampu menilai apakah pertanyaan-pertanyaan yang terungkap bertentangan satu sama lain atau tidak 4. mampu menilai apakah keputusan atau kesimpulan sudah waktunya untuk diambil 5. mampu menilai apakah suatu pernyataan sudah cukup jelas dan spesifik untuk diungkapkan 6. mampu menilai apakah ada aplikasi prinsip-prinsip tertentu dalam suatu pernyataan 7. mampu menilai apakah suatu pernyataan dari suatu pengamatan dapat diandalkan

34

8.

mampu menilai apakah kesimpulan indukstif dari suatu fenomena dapat diakui kebenarannya

9. 10. 11. 12.

mampu menilai apakah suatu masalah sudah teridentifikasi mampu menilai apakah suatu pernyataan itu asumsi atau bukan mampu menilai apakah suatu perumusan definisi sudah memadai mampu menilai pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh para ahli, baik setuju maupun tidak setuju, dengan didasari argumentasi. Proses berpikir kritis mengharuskan keterbukaan pikiran, kerendahan hati, dan kesabaran. Kualitas-kualitas tersebut membantu seseorang mencapai pemahaman yang mendalam. Karena ingin sekali melihat makna dibalik informasi dan kejadian, pemikir kritis selalu berpikiran terbuka saat mereka mencari keyakinan yang ditimbang baik-baik berdasarkan bukti logis dan logika yang benar, tidak besrasal dari asumsi yang salah. Meskipun siswa telah memiliki kemampuan berpikir kritis, bukan jaminan akan menjadi orang yang bertanggung jawab, akan tetapi penerapan daripada berpikir kritis dapat menjauhkan siswa dari keputusan yang keliru dalam mengambil suatu keputusan.

E.

Model Pembelajaran Matematika Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai

pedoman dalam melakukan suatu aktivitas tertentu. Dalam pengertian lain, model diartikan sebagai barang tiruan, metafor, atau kiasan yang dirumuskan. Pouwer (dalam Hamzah, 2008) menerangkan tentang model dengan anggapan seperti kiasan yang dirumuskan secara eksplisit yang mengandung sejumlah unsur yang saling tergantung. Sebagai metafora model tidak pernah dipandang sebagai bagian data yang diwakili. Model menjelaskan fenomena dalam bentuk yang tidak seperti biasanya. Setiap model diperlukan untuk menjelaskan sesuatu yang lebih atau 35

berbeda dari data. Syarat ini dapat dipenuhi dengan menyajikan data dalam bentuk: ringkasan (type, diagram), konfigurasi (structure), korelasi (pola), idealisasi, dan kombinasi dari keempatnya. Jadi model merupakan kiasan yang padat yang bermanfaat bagi pembanding hubungan antara data terpilih dengan hubungan antara unsur terpilih dari suatu konstruksi logis. Istilah model pembelajaran dibedakan dari istilah strategi pembelajaran, metode pembelajaran, atau prinsip pembelajaran. Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada suatu strategi , metode atau prosedur. Istilah model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode tertentu yaitu rasional teoritik yang logis yang disusun oleh penciptanya, tujuan pembelajaran yang akan dicapai, tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil, dan lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. Menurut Soekamto (1997), model pembelajaran merupakan kerangka yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pemandu bagi para perancang desain pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Apabila diantara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. 36

Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara dan gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran yang dapat digunakan. Dalam prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.

Bruce Joyce dan Marsha Weil (dalam Nuriana, 2005) a. Model Pembelajaran Problem Solving Pembelajaran matematika yang efektif perlu pemahaman apa yang siswa ketahui, perlu dipelajari, kemudian tantangan dan dukungan terhadap mereka untuk mempelajarinya secara baik (NCTM, 2000). Ini salah satu prinsip yang disodorkan oleh 37

Principles and Standards for School Mathematics, yaitu memahami apa yang siswa ketahui dan apa yang perlu dipelajari siswa di dalam matematika merupakan salah satu kompetensi guru dalam mengajarkan matematika. Kemudian menantang dan mendorong siswa untuk mempelajari matematika dengan baik, juga jenis kompetensi lain dalam pembelajaran matematika. Problem Solving dalam pembelajaran matematika merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pembelajaran matematika, perlu memperoleh perhatian serius bagi para guru. Menurut Turmudi (2008:28), Problem solving atau pemecahan masalah dalam matematika melibatkan metode dan cara penyelesaian yang tidak standar dan tidak diketahui terlebih dahulu. Untuk mencari penyelesaiannya para siswa harus memanfaatkan pengetahuannya, dan melalui proses ini mereka akan sering mengembangkan pemahaman matematika yang baru. Penyelesaian masalah bukan hanya sebagai tujuan akhir dari belajar matematika, melainkan sebagai bagian terbesar dari aktivitas ini. Siswa harus memiliki kesempatan sesering mungkin untuk memformulasikan, menyentuh, dan menyelesaikan masalah-masalah kompleks yang mensyaratkan sejumlah usaha yang bermakna dan harus mendorong siswa untuk berani merefleksikan pikiran mereka. Pemecahan masalah seharusnya menjadi fokus utama dari kurikulum matematika. Hal ini diberikan karena metode problem solving memberikan fokus perhatian utama pada : 1. Keikutsertaan para siswa secara aktif dalam mengkontruksikan dan mengaplikasikan ide-ide dalam matematika 2. 3. Pemecahan masalah sebagai alat dan juga tujuan pengajaran Penggunaan bermacam-macam bentuk pengajaran (kelompok kecil,

penyelidikan idividu, pengajaran oleh teman sebaya, diskusi seluruh kelas, pekerjaan proyek). 38

Pemecahan masalah merupakan bagian tak terpisahkan dalam semua bagian pemebelajaran matematika terutama dalam matematika trigonometri, dan juga tidak harus diajarkan secara terisolasi dari pembelajaran matematika. Dengan menggunakan pemecahan masalah dalam matematika, siswa mengenal cara berpikir, kebiasaan untuk tekun, dan keingintahuan yang tinggi, serta percaya diri dalam situasi yang tidak biasa, yang akan melayani para siswa secara baik di luar kelas matematika. Dalam kehidupan sehari-hari dan di tempat kerja menjadi pemecah masalah yang baik dapat mengarah menjadi hal yang menguntungkan. Beberapa keterampilan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah adalah: 1. memahami soal: memahami dan mengidentifikasi apa fakta atau informasi yang diberikan, apa yang ditanyakan, diminta untuk dicari, atau dibuktikan 2. memilih pendekatan atau strategi pemecahan: misalkan menggambarkan masalah dalam bentuk diagram, memilih dan menggunakan pengetahuan aljabar yang diketahui dan konsep yang relevan untuk membentuk model atau kalimat matematika 3. menyelesaikan model: melakukan operasi hitung secara benar dalam menerapkan strategi, untuk mendapatkan solusi dari masalah 4. menafsirkan solusi: memperkirakan dan memeriksa kebenaran jawaban, masuk akalnya jawaban, dan apakah memberikan pemecahan terhadap masalah semula.NYATA SITU ASI MA ABSTRAK SOL

39

PENYEDERHANAAN

PEMERIKSAAN HASIL INTERPRESTASI

TRANSFORMASI

PERUMU SAN

MATEMATISASI

MODEL MAT

Matematika sebagai pemecah masalah

Pembicaraan sebagian kecil dari salah satu kompetensi kurikulum matematika, yaitu kompetensi problem solving diharapkan para siswa mampu membangun pengetahuan baru matematika, memecahkan permasalahan matematika dalam konteks lain, menerapkan dan mengadaptasi berbagai macam strategi untuk memecahkan masalah, serta memonitor dan merefleksikan proses penyelesaian masalah matematika. Karena tuntutan problem solving yang begitu tinggi, maka peran guru menjadi semakin kompleks. Selain harus memahami hakikat permasalahan problem solving dalam matematika, guru juga harus terlatih menggunakan soal-soal problem solving. Dalam menggunakan model pembelajaran problem solving, ada beberapa langkah (step by step) yang perlu dilakukan, yaitu: 1. Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya. 2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya, berdiskusi, dan lain-lain. 3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang diperoleh pada langkah kedua di atas. 4. Menguji kebenaran jawaban sementara dari masalah tersebut. Dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin

40

bahwa jawaban tersebut betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran jawaban ini tentu saja diperlukan metode-metode lainnya seperti, demonstrasi, tugas diskusi dan lain-lain. 5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi. Wijaya (2008) berpendapat, bahwa model pemecahan

masalah (problem solving) adalah suatu model pembelajaran yang kegiatannya dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersamasama. Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah. Wijaya (2008), juga menyatakan bahwa model problem solving memiliki keunggulan dan 1. 2.3.

kelemahan

dalam

proses

belajar

mangajar.

Adapun

keunggulan model problem solving sebagai berikut: Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan Berpikir dan bertindak kreatif Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat 7. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja. Sedangkan kelemahan model problem solving sebagai berikut:

4. 5. 6.

41

1.

Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misal terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut

2.

Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain. Meskipun tidak ada cara tunggal yang terbaik dalam menyelesaikan soal-soal problem solving dan tidak ada satu strategi yang dipelajari sekali untuk keperluan semuanya, strategi dipelajari sepanjang waktu dan diterapkan dalam konteks tertetu sehingga menjadi lebih halus, mendalam dan fleksibel, karena digunakan dalam situasi yang semakin kompleks. Untuk itu, diperlukan keterampilan memilih persoalan problem solving secara bijaksana. Dalam mempelajari tentang problem solving dan berlatih bagaimana menyajikan dan mengevaluasi problem solving dalam matematika merupakan suatu langkah awal dari pengembangan kemampuan bermatematika yang melibatkan berpikir tingkat tinggi (high order thinking).

b.

Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) Untuk hidup dalam abad ke-21, kreativitas akan sangat diperlukan manusia agar ia dapat bersaing secara global. Bahkan, Covey (dalam Munandar 1999) dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People menyatakan bahwa kualitas daya cipta orisinil manusia sangat dipengaruhi oleh kemamapuan menggunakan otak kanan yang bersifat kreatif. Otak sebelah kanan memang menjadikan manusia memiliki kapasitas pribadi yang mampu melakukan visualisasi suatu konsep dan mampu melakukan sintesis dari bagian-bagian untuk membangun dan memproyeksikan keutuhan suatu ide dan gagasan. Namun, jika hal ini tidak pernah disentuh oleh proses pendidikan, kemampuan itu juga tidak akan pernah terlahirkan.

42

Mengenai makna dan posisi kreativitas, dikemukakan oleh banyak ilmuan, salah satunya pendapat Treffinger (dalam Akbar 2001) mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang tidak memiliki kreativitas. Untuk melihat nilai pentingnya kreativitas dalam kehidupan secara nyata, dapat diuraikan sebagai berikut: a) Dengan kreatifnya seseorang dapat melakukan pendekatan secara bervariasi dan memilki bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu persoalan. Dari potensi kreatifnya, seseorang dapat menunjukkan hasil perbuatan, kinerja atau karya, baik dalam bentuk barang maupun gagasan secara bermakna dan berkualitas. b) Dengan mengacu kepada tujuan pendidikan nasional dalam GBHN ditegaskan bahwa pendidikan adalah mendorong berkembangnya kreativitas peserta didik yang sejajar dengan perkembangan aspek-aspek lain, agar tercipta keseimbangan dan keselarasan. Untuk itu, kreativitas penting untuk dipahami bagi para guru terutama dalam kaitannya dengan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik dan pengajar dalam membimbing dan mengantarkan anak didik kepada pertumbuhan dan perkembangan prestasinya secara optimal. c) Belajar kreatif dapat menimbulkan kepuasan dan kesenangan yang besar. Secara lebih luas, belajar kreatif dapat menimbulkan terciptanya ide-ide baru. Berpikir kreatif dapat dinilai sebagai segi yang amat penting dalam kehidupan terutama dalam konteks pendidikan.d)

Satu sisi dari kreativitas yang penting untuk dipedulikan dalam proses belajar mengajar di samping ciri aptitude adalah ciri non-aptitude. Untuk itu, guru diperlukan kemampuan untuk menciptakan suasana agar siswa terangsang untuk lebih ingin mengetahui materi, senang menanyakan dan berani

43

mengajukan pendapat, serta melakukan percobaanyang menuntut pengalaman baru. Pepkin (dalam Cahyo, 2008), menyatakan bahwa model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang memusatkan pada pengajaran dan ketrampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan ketrampilan. Dengan menggunakan model pembelajaran ini diharapkan dapat menimbulkan minat sekaligus kreativitas dan motivasi siswa dalam mempelajari matematika, sehingga siswa dapat memperoleh manfaat yang maksimal baik dari proses maupun hasil belajarnya. Model CPS merupakan suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan ketrampilan. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir. Sedangkan Osborn (dalam Cahyo, 2008), mengatakan bahwa model CPS mempunyai 3 (tiga) prosedur, yaitu: 1. menemukan fakta, melibatkan penggambaran masalah, mengumpulkan dan meneliti data dan informasi yang bersangkutan. 2. menemukan gagasan, berkaitan dengan memunculkan dan memodifikasi gagasan tentang strategi pemecahan masalah. 3. manemukan solusi, yaitu proses evaluatif sebagai puncak pemecahan masalah. Model pembelajaran CPS ini juga merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya adalah mulai dari 44

fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan identifikasi permasalahan dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, presentasi dan diskusi. Oleh pengembangannya, Sidney Parnes dan Osborn ( dalam Akbar, dkk, 2001:42) menjelaskan bahwa CPS perlu dilaksanakan melalui lima tahap yaitu :1.

Menemukan Fakta (fact finding)

Pada tahapan ini diajukan pertanyaan-pertanyaan faktual, yang menanyakan tentang apa yang terjadi dan yang ada sekarang atau di masa lalu. Pertanyaan tersebut dikelompokkan ke dalam dua fase, yaitu fase divergen dan fase konvergen. Pada fase divergen, dimana pertanyaan ditulis berdasarkan apa yang muncul dari pikiran kita dengan tidak mempersoalkan apakah pertanyaan tersebut bisa memperoleh data relevan atau tidak. Fase konvergen, dimana pertanyaan-pertanyaan faktual diseleksi mana yang terpenting dan relevan dan selanjutnya dicari jawaban yang paling tepat.2.

Menemukan Masalah (Problem finding)

Dalam tahap ini diajukan banyak kemungkinan pertanyaan kreatif. Pertanyaan tersebut diangkat atas dasar fakta yang diperoleh dalam tahap penemuan fakta. Seperti tahap pertama, dalam fase divergen pertanyaan kreatif diajukan sebanyak mungkin, dan kemudian dikembangkan atau diperluas dikaitkan dengan hal-hal yang relevan dengan fakta yang ditemukan. Dan seterusnya pada fase konvergen, dipilih masalah yang paling relevan dan paling penting untuk dipecahkan.3.

Menemukan Gagasan (Idea Finding)

Dalam tahap ini diinginkan untuk diperoleh alternatif jawaban sebanyak mugkin untuk pemecahan masalah yang telah ditentukan dalam tahap sebelumnya. Fase-fase berpikir divergen dan konvergen berlaku seperti tahap sebelumnya, yaitu mengumpulkan alternatif jawaban yang sebanyak-banyaknya, kemudian dilanjutkan dengan menyeleksi jawaban atau gagasan yang paling relevan dan tepat untuk memecahkan masalah. 45

4.

Menemukan Jawaban (Solution Finding)

Dalam tahap ini disusun kriteria, tolak ukur, atau persyaratan untuk memecahkan jawaban. Melalui pemikiran divergen, tolak ukur disusun berdasarkan antisipasi terhadap semua kemungkinan yang bakal terjadi baik yang bersifat positif maupun negatif sekiranya salah satu gagasan dipakai dalam pemecahan masalah. Kemudian dengan berpikir konvergen, alternatif jawaban yang ditemukan berdasarkan tolak ukur yang telah disusun diseleksi mana yang lebih tepat dan relevan atau beresiko paling rendah apabila diangkat sebagai jawaban yang akan dipakai untuk memecahkan masalah.5.

Menemukan Penerimaan (Acceptance Finding )

Setelah gagasan pemecahan masalah kita temukan melalui tahap pertama sampai keempat, maka pada tahap ini kita akan menyusun rencana yang sangat terperinci untuk melaksanakan gagasan-gagasan tersebut, dan sekaligus disusun rencana untuk menjual gagasan tersebut. Melalui berpikir divergen dapat dicatat tahapan-tahapan yang akan kita laksanakan dengan mengacu kepada pertanyaanpertanyaan berikut sebagai pedoman antara lain : yang harus dilakukan ? - Siapa yang akan melakukannya ? - Kapan harus dilakukan ? - Dimana akan dilakukan? dan, - Bagaimana cara melakukannya ? Dalam fase konvergen dilakukan penyeleksian langkahlangkah mana yang betul-betul diperlukan, kemudian disusun secara berurutan yang tepat, berikut kapan, siapa dan dimana kegiatan tersebut akan dilakukan. Perlu diperhatikan bahwa setiap tahap pemecahan masalah ada dua fase, yaitu fase divergen dan fase konvergen. Dalam fase divergen dilakukan sumbang saran (brainstorming) untuk memperkaya gagasan dan ide pemecahan masalah. Fase konvergen yang merupakan proses pemikiran logis diperlukan untuk menganalisis secara kritis gagasan atau ide yang paling bermutu, tepat dan relevan. 46 Apa saja

Dalam menggunakan model CPS, guru dan siswa harus mengetahui apa yang dianggap dengan masalah. Menurut Suyitno (2000:34), suatu soal yang dianggap sebagai masalah adalah soal yang memerlukan keaslian berpikir tanpa danya contoh penyelesaian sebelumnya. Masalah berbeda dengan soal latihan. Pada soal latihan, siswa telah mengetahui cara menyelesaikannya, karena telah jelas antara hubungan antara yang diketahui dengan yang ditanyakan, dan biasanya telah ada contoh soal. Pada masalah siswa tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya, tetapi siswa tertarik dan tertantang untuk menyelesaikannya. Siswa menggunakan segenap pemikiran, memilih strategi pemecahannya, dan memproses hingga menemukan penyelesaian dari suatu masalah. Pepkin (dalam Cahyo, 2008), menuliskan langkah-langkah Creative Problem Solving dalam pembelajaran matematika sebagai hasil gabungan prosedur Von Oech dan Osborn sebagai berikut: a Klarifikasi masalah, Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang masalah yang diajukan, agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian yang diharapkan.

b

Pengungkapan gagasan, Siswa dibebaskan untuk mengungkapkan gagasan tentang berbagai macam strategi penyelesaian masalah.

c

Evaluasi dan seleksi, Setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategistrategi yang cocok untuk menyelesaikan masalah.

d

Implementasi,

47

Siswa menentukan strategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut. Dengan membiasakan siswa menggunakan langkah-langkah yang kreatif dalam memecahkan masalah, diharapkan dapat membantu siswa untuk mengatasi kesulitan dalam mempelajari matematika. Peserta didik dihadapkan dengan suatu masalah, mereka dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. CPS merupakan representasi dimensi-dimensi proses yang alami, bukan suatu usaha yang dipaksakan. CPS merupakan pendekatan yang dinamis, siswa menjadi lebih trampil sebab siswa mempunyai prosedur internal yang lebih tersusun dari awal. Ada banyak kegiatan yang melibatkan kreatifitas dalam pemecahan masalah seperti riset dokumen, pengamatan terhadap lingkungan sekitar, kegiatan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, dan penulisan yang kreatif. Dengan CPS, siswa dapat memilih dan mengembangkan ide dan pemikirannya.Berbeda dengan hafalan yang sedikit menggunakan pemikiran, CPS memperluas proses berpikir. Sasaran dari CPS adalah sebagai berikut:

1.

Siswa akan mampu menyatakan urutan langkah-langkah pemecahan masalah dalam CPS.

2.

Siswa mampu menemukan kemungkinan-kemungkinan strategi pemecahan masalah.

3.

Siswa mampu mengevaluasi dan menyeleksi kemungkinan-kemungkinan tersebut kaitannya dengan kriteria-kriteria yang ada.

4.

Siswa mampu memilih suatu pilihan solusi yang optimal.

48

5.

Siswa mampu mengembangkan suatu rencana dalam implementasikan strategi pemecahan masalah.

6.

Siswa mampu mengartikulasikan bagaimana CPS dapat digunakan dalam berbagai bidang/ situasi. Suatu proses belajar akan berlangsung secara optimal jika pembelajaran

diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian jika tahap belajar yang pertama ini dirasa cukup, siswa beralih ke tahap belajar yang kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik. Selanjutnya kegiatan belajar itu dilanjutkan pada tahap ketiga, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik. Sebagai contoh nyata untuk anak SMP kelas delapan yang sedang mempelajari tentang Teorema Pythagoras, pada tahap enaktif anak diberikan contoh tentang benda di sekitarnya yang berbentuk segitiga siku-siku dan ditunujukkan panjang sisi-sisinya. Kemudian mengajak siswa-siswa untuk mengukur panjang sisi-sisi dari segitiga siku-siku tersebut. Selanjutnya pada tahap ikonik siswa dapat diberikan penjelasan tentang hubungan panjang ketiga sisi pada segitiga siku-siku menggunakan gambar dan model segitiga siku-siku selanjutnya pada tahap simbolik siswa dibimbing untuk dapat mendefinisikan secara simbolik tentang Teorema Pythagoras, baik dengan lambang-lambang verbal maupun dengan lambang-lambang matematika. Dalam pembelajaran matematika salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh guru adalah dengan menggunakan model pembelajaran Problem Solving karena dengan menggunakan model pembelajaran ini dapat memberikan siswa kesempatan seluas-luasnya untuk memecahkan masalah matematika dengan strateginya sendiri. c. Teori Belajar yang Melandasi Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) dengan Menggunakan Software Autograph 49

Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) dengan menggunakan Autograph dalam meningkatkan kemampuan pemahaman dan berpikir kritis siswa pada intinya adalah untuk membantu siswa dalam menyelesaikan suatu masalah yang sedang dihadapinya dengan mengarahkan siswa sehingga dapat menyusun pengetahuannya sendiri. Salah satu teori belajar yang relevan dengan pembelajaran ini adalah teori belajar kontruktivisme. Teori kontruktivisme berakar kuat dari psikologi kognitif dan teori-teori dari Piaget yang berkembang sekitar tahun 1960. Kontruktivisme menolak bahwa siswa adalah lembaran putih yang kosong. Para siswa tidak menyerap ide-ide yang diberikan gurunya, tetapi mereka adalah kreator pengetahuannya. Menurut pandangan Glaserfeld (dalam Suparno, 1997) saat mengkontruksikan pengetahuan, kontruktivisme tidak bertujuan untuk mengerti realita tetapi lebih ditujukan untuk melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Sedangkan Steffe dan Kieren (dalam Suherman, 2001) berpendapat apabila dilihat dari implementasinya dalam matematika kemungkinan ini sesuai untuk diterapkan, karena prinsip dalam kontruktivisme diantaranya adalah proses observasi, melakukan aktivitas matematika, dan pembicaraan matematika dimana kegiatan-kegiatan itu merupakan sumber yang kuat dan dapat dijadikan petunjuk untuk mengajar, kurikulum, dan cara-cara dimana pengetahuan siswa bertambah dan dapat dievaluasi. Berdasarkan uraian tersebut, model pembelajaran Creative Problem Solving dengan menggunakan Autograph didukung oleh teori Steffe dan Kieren. Hal ini dapat dilihat pada tahapan proses pembelajaran di kelas, yaitu siswa dihadapkan pada situasi atau masalah, siswa menemukan ide atau gagasan, kemudian siswa melakukan observasi dengan mengumpulkan data, dan mencari cara untuk menyelesaikan masalah. Sebagian kasus ICT ditemukan sebagai motivator yang baik, di mana siswa yang bekerja di komputer menunjukkan tingkat antusiasme dan on-task behavior yang tinggi, dan sering tidak mau berhenti setelah tugas yang harus dikerjakannya selesai, meskipun tidak jelas sejauh mana ini disebabkan karena siswa mendapatkan hal baru dan berbeda, dan bila memang demikian halnya kemungkinan besar akan pupus seiring berjalannya waktu (Watson, 1993). Banyak teori yang mendasari kontruktivisme, diantaranya adalah teori yang dikemukakan oleh Piaget yang dianggap sebagai tokoh kontruktivis. Piaget (dalam 50

Winkel, 1996) memandang pengetahuan yang dibangun dalam pikiran anak sebagai akibat dari interaksi secara aktif dengan lingkungannya melalui proses asimilasi (penyerapan setiap informasi baru ke dalam pikirannya) dan proses akomodasi (kemampuan menyusun kembali struktur pikirannya karena ada informasi baru yang diterimanya). Kaitan antara proses asimilasi dengan model pembelajaran Creative Problem Solving dengan menggunakan Autograph adalah awalnya siswa dihadapkan pada suatu situasi yang tak lain merupakan suatu informasi yang masuk ke dalam pikiran siswa. Kemudian siswa melakukan proses akomodasi dimana mereka dituntut untuk menyusun informasi tersebut ke dalam pikirannya. Selanjutnya Piaget (dalam Slavin, 1994) mengemukakan bahwa pembelajaran lebih terpusat pada proses berpikir atau proses mental, dan bukan sekedar (hasil) produk. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan terlibat aktif dalam kegiatan belajar, memahami adanya perbedaan individu dalam aspek kemajuan perkembangan diantara siswa. Oleh karena model pembelajaran ini tidak lepas dari pengaruh lingkungan sekitarnya (faktor sosial) maka kontruktivis lainnya yaitu Vygotsky (dalam Slavin, 1994) mengatakan bahwa proses belajar akan terjadi dan berhasil jika bahan belajar yang mereka pelajari masih berada dalam jangkauan (lingkungan) mereka. Konsep lain dari Vygotsky adalah scaffolding yang merupakan proses untuk membantu siswa menuntaskan masalah tertentu melalui bantuan media atau Autograph.

F. Aplikasi Media Teknologi komputer dengan Menggunakan Software Autograph Dalam Pembelajaran Matematika Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti tengah, pengantar, atau perantara. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan. Gerlach (1997) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau elektronis. 51

Sejak perkembangan ENIAC dalam tahun 1946, maka perkembangan komputer elektronik amat pesat. Teknologi yang terus berkembang menghasilkan komputer yang mutakhir begitu hebatnya. Seperti halnya kalkulator, pada komputer dapat dibeli program-program latihan khusus tentang suatu topik dalam kurikulum sekolah menengah. Meskipun tidak dimaksudkan sebagai pengganti guru, komputer diprogram untuk membimbing s

top related