skripsi perlindungan hukum terhadap tertanggung …
Post on 16-Oct-2021
19 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERTANGGUNG ATAS PENGGUNAAN JASA
PENILAI KERUGIAN ASURANSI (LOSS ADJUSTER) YANG TIDAK DIPERJANJIKAN DALAM POLIS
OLEH: NIRWANA NUR RAHMAT
B111 14 381
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN 2018
i
HALAMAN JUDUL
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERTANGGUNG ATAS
PENGGUNAAN JASA PENILAI KERUGIAN ASURANSI (LOSS
ADJUSTER) YANG TIDAK DIPERJANJIKAN DALAM POLIS
Oleh :
NIRWANA NUR RAHMAT
B111 14 381
SKRIPSI
Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana pada
Departemen Hukum Keperdataan Program Studi Ilmu Hukum
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
vi
ABSTRAK
NIRWANA NUR RAHMAT (B111 14 381), dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERTANGGUNG ATAS PENGGUNAAN JASA PENILAI KERUGIAN ASURANSI (LOSS ADJUSTER) YANG TIDAK DIPERJANJIKAN DALAM POLIS” Dibimbing Oleh Oky Deviany sebagai Pembimbing I dan Sabir Alwy sebagai Pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap tertanggung atas penggunaan jasa penilai kerugian asuransi (loss adjuster) yang tidak diperjanjikan dalam polis serta untuk mengetahui tanggung jawab penilai kerugian asuransi (loss adjuster).
Penelitian ini bersifat empiris dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan topik penelitian. Selain itu, penulis juga melakukan penelitian kepustakaan melalui data-data, buku-buku dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan topik penelitian. Selanjutnya, data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yang kemudian dipaparkan secara dekskriptif.
Adapun hasil penelitian ini, yaitu: 1) Perlindungan hukum terhadap tertanggung atas penggunaan jasa penilai kerugian asuransi (loss adjuster) secara yuridis formal telah sangat kuat dan mampu melindungi tertanggung. Adapun bentuk perlindungan hukum tersebut termuat dan tersebar dalam beberapa peraturan otoritas jasa keuangan selaku lembaga yang mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. 2) Penilai kerugian asuransi (loss adjuster) bertanggung jawab atas hasil penilaiannya, mulai dari proses penilaian sampai menghasilkan hasil penilaian yang sesuai dengan pedoman profesi yang berlaku secara umum. Oleh sebab itu, jika terjadi kesalahan dalam hasil penilaiannya sehingga menyebabkan tertanggung menderita kerugian (dalam hal ini klaim ditolak maupun diterima tetapi tidak sesuai dengan asas indemnitas), maka penilai kerugian asuransi (loss adjuster) juga bertanggung jawab atas kerugian tersebut sehingga dapat dituntut atas dasar perbuatan melawan hukum. Khusus untuk perbuatan melawan hukum dengan unsur kelalaian, penilai kerugian asuransi (loss adjuster) hanya bertanggung jawab jika pihak tertanggung juga tidak lalai dalam memberikan dokumen-dokumen yang dibutuhkan penilai kerugian asuransi (loss adjuster).
Kata Kunci: Penilai Kerugian Asuransi, Tertanggung, Perlindungan Hukum, Tanggung Jawab.
vii
ABSTRACT
NIRWANA NUR RAHMAT (B111 14 381), entitled "LEGAL
PROTECTION THE INSURED FOR THE USE OF LOSS ADJUSTER
SERVICES WHICH ARE NOT AGREED IN THE POLICY" Guided by Oky
Deviany as Supervisor I and Sabir Alwy as Supervisor II.
This research aims to determine the form of legal protection the insured
for the use of loss adjuster services which are not agreed in the policy and
to determine the responsibility of the loss adjuster.
This research is empirical with data collecting technique conducted
through interviews with the parties related to the research topic. In addition,
the author also conducts library research through data and books related to
research topics. Furthermore, the data obtained were analyzed qualitatively
which was then described descriptively.
The results of this research, namely: 1) Legal protection the insured for
the use of loss adjuster services which are not agreed in the policy of a
formal judicial has been very strong and able to protect the insured. The
form of legal protection is contained and scattered in several regulations of
Otoritas Jasa Keuangan. 2) The loss adjuster is responsible for the
assessment result, starting from the appraisal process to producing the
result of the assessment in accordance with the applicable professional
guidance in general. Therefore, if there is a mistake in the result of his
judgment that causes the insured to suffer a loss (in which case the claim is
rejected or accepted but not in accordance with the indemnity principle), the
loss adjuster is also responsible for the loss, so it can be prosecuted on the
basis of unlawful act. Especially for unlawful acts with an element of
negligence, loss adjuster is only liable if the insured is also not negligent in
providing the documents required by the loss adjuster.
Keyword: Loss Adjuster, The Insured, Legal Protection, Responsibility.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim...
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillahir Rabbil Alamin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan
semesta alam atas segala segala limpahan rahmat, hidayah, dan karunia
yang senantiasa membimbing langkah penulis sehingga mampu
merampungkan skripsi ini yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap
Tertanggung Atas Penggunaan Jasa Penilai Kerugian Asuransi (Loss
Adjuster) yang Tidak Diperjanjikan dalam Polis”, sebagai salah satu syarat
tugas akhir pada jenjang Studi Strata Satu (S1) di Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin.
Salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang menjadi
tauladan agar setiap langkah dan perbuatan kita selalu berada di jalan
kebenaran dan bernilai ibadah disisi Allah SWT. Semoga setiap hal yang
telah penulis lakukan berkaitan dengan skripsi ini dapat pula bernilai ibadah
di sisi-Nya. Amin.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan ungkapan terima
kasih yang tiada terhingga kepada kedua orang tua penulis, Ibunda Husnia
dan Ayahanda Rahmat, S.H. yang senantiasa merawat, mendidik,
membimbing, memotivasi dengan penuh cinta dan kasih sayang serta doa
yang tiada henti untuk kemudahan dan kelancaran demi kesuksesan
ix
penulis. Serta kepada adik penulis, Ainun Jaria Nur Rahmat yang setiap
saat mengisi hari-hari penulis dengan penuh kebersamaan, canda, tawa,
emosi yang tidak karuan serta dukungan semangat untuk terus melangkah
menggapai cita-cita. Terima kasih kepada keluarga besar penulis yang
telah memberi dukungan baik materiil maupun immateriil.
Terima kasih pula penulis haturkan kepada berbagai pihak yang telah
memberikan bantuan baik berupa bimbingan, motivasi dan saran selama
menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan
selama penulisan skripsi ini, yaitu:
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., selaku Rektor Universitas
Hasanuddin, Prof. Dr. Ir. Junaedi Muhidong, M.Sc., selaku Wakil
Rektor Bidang Akademik, Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H., MS.,
selaku Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Keuangan, Dr. Ir. Abd.
Rasyid J., M.Si., selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan
Alumni, dan Prof. Dr. Budu, Ph.D, Sp.M (K)., M.Med.Ed., selaku
Wakil Rektor Bidang Inovasi dan Kemitraan;
2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Makassar;
3. Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H., Wakil Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin Makassar;
4. Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Makassar;
x
5. Prof. Dr. Hamzah, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Makassar;
6. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar
yang telah membimbing dan memberikan pengetahuan, nasihat
serta motivasi kepada penulis selama menempuh pendidikan di
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar;
7. Ruslan Hambali, S.H., M.H., selaku Penasihat Akademik penulis
atas segala masukan dan nasihatnya selama penulis menempuh
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar;
8. Dr. Oky Deviany, S.H., M.H., selaku Pembimbing I, ditengah
kesibukan dan aktivitasnya, beliau senantiasa bersedia membimbing
dan memotivasi penulis dalam penyusunan skripsi ini;
9. Dr. Sabir Alwy, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang senantiasa
menyempatkan waktu dan penuh kesabaran dalam membimbing
penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini;
10. Dewan Penguji, Prof. Dr. Anwar Borahima, S.H., M.H., Dr. Harustiati
A. Muin, S.H., M.H., dan Dr. Muhammad Basri, S.H.,M.H., atas
segala saran dan masukannya yang sangat berharga dalam
penyusunan skripsi ini;
11. Seluruh Staf Akademik, Bagian Kemahasiswaan, dan seluruh
pegawai di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang
senantiasa membantu penulis selama menempuh pendidikan;
xi
12. Ketua Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 6 Makassar dan
khususnya Bapak Bondan Kusuma selaku Ketua Bagian
Pengawasan IKNB, Bapak Aryo selaku Staf Edukasi dan
Perlindungan Konsumen serta Bapak Andi Ariwahyudi selaku Staf
Bank Supervision yang telah membantu memberikan izin dalam
rangka kegiatan penelitian dan memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh penulis;
13. Pimpinan Cabang PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 dan
khususnya Bapak Reza Anggriyanto selaku Kepala Seksi Klaim yang
telah membantu memberikan izin dalam rangka kegiatan penelitian
dan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh penulis;
14. Kepada Pegawai Bagian Kemahasiswaan Universitas Hasanuddin
yang telah memberikan pelayanan yang baik dan senantiasa
membantu penulis selama menempuh pendidikan;
15. Keluarga Besar Lembaga Penalaran dan Penulisan Karya Ilmiah
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (LP2KI FH UH) khususnya
teman-teman dan senior-senior yang tergabung dalam Ko Kurikuler
Penulisan Tahun 2014, tanpa kalian semua penulis tidak akan
mengetahui mengenai footnote secara lebih baik;
16. Sahabat-sahabat Hangsay, Hasri Ramadhani, Asti Nilawati, Gita
Alvionita Zainal, A.Md., St. Nurbaya, Sulviana Syam (Ana), dan Yuli
Hartina. Terima kasih untuk kebersamaan yang telah kita lalui serta
untuk semua warna yang telah kalian isi dalam hari-hariku. Terima
xii
kasih banyak. Semoga persahabatan kita tidak lekang oleh waktu
dan selalu berjalan dalam kebaikan dan kebenaran, Amiiin;
17. Teman-teman yang nama grup Linenya senantiasa diganti dari
waktu ke waktu tetapi telah menetap saat ini, yaitu Fortuna, Nurul
Fitra Sappe, S.H., Nur Aryas Tuti A., S.H., Ningsih, S.H., Hardianti,
S.H., dan Rafiatul Mahmudah, terima kasih untuk empat tahun yang
tidak karuan ini, tanpa kalian semua keseharian di kampus menjadi
tawar. Semoga sesuai nama grup, pertemanan kita selalu membawa
keberuntungan dan keberkahan bagi kita dan orang-orang
disekeliling kita, Amiiin;
18. Teman-teman Klinik Hukum Pidana (Kejaksaan) dan Klinik Hukum
Lingkungan Tahun 2017 khususnya Peppe Squad (Ahmad Nugraha
Abrar, S.H., A. Symasinar, S.H., Anita Natsir, S.H., Hardianti, S.H.,
Nurul Fitra Sappe, S.H., Nur Aryas Tuti A., S.H., Hartina, S.H.,
Sakinah, S.H., Nurul Afiah Idrus, S.H., Nurhaeria, S.H., Risnayanti,
S.H, Wahyuni, S.H., dan Resky Amalia), Galang Ramadhan, S.H.,
St. Zainab Fauzi, S.H., Rahmi Wahyuni, S.H., Nurul Fadillah, S.H.,
dan Irawati Muin atas kebersamaan singkat satu semester serta
empat hari yang lebih sulit di Pulau Sembilan dibanding pada waktu
KKN. Terkhusus kepada Ibu Birkah Latif, S.H., M.H., LL.M yang
selalu memberikan bimbingan dan nasihat pada saat proses
perkuliahan klinik hukum;
xiii
19. Teman-teman KKN Reguler Gelombang 96, Kab. Barru Kec. Barru
Kel. Mangempang, Suriyanti, Andi Hartina Tenrirawe, Ferawati, Andi
Mursalim dan Isral Waris, terima kasih atas segala kisah dan
kebersamaan yang tercipta serta mohon maaf atas segala omelan
penulis selama kebersamaan tersebut;
20. Teman-teman DIPLOMASI 2014 serta teman-teman Pejuang
Perdata, khususnya Margareth Jeannetta Nawing, S.H., Lana
Laviana, S.H., Nasrah Indah, S.H., Indri Setiawati, S.H., Irdayanti
Amir, S.H., Lisa Ruliantini Munassar, S.H., Masturah Azizah, S.H.
serta Nurjannah, terima kasih telah memberikan warna dan cerita
selama berkuliah di Fakultas Hukum Unhas serta terima kasih atas
segala bantuan dan informasi yang telah diberikan selama menjadi
pejuang skripsi;
21. Semua pihak yang telah membantu penulis selama menempuh
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dibuat dengan upaya dan
kemampuan penulis yang terbatas. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan, kritikan dan saran dari
pihak yang membaca skripsi ini.
Semoga Allah SWT, senantiasa membalas segala hal kebaikan yang
telah diberikan dengan penuh rahmat dan hidayah-Nya. Akhir kata semoga
xiv
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan
para pembaca pada umumnya, serta dalam perkembangan hukum di
Indonesia. Amin.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...
Makassar, Juni 2018
Penulis,
Nirwana Nur Rahmat
xv
DAFTAR ISI
Halaman Judul .......................................................................................... i
Pengesahan Skripsi ................................................................................. ii
Persetujuan Pembimbing ....................................................................... iii
Persetujuan Menempuh Ujian Skripsi ................................................... iv
Pernyataan Keaslian Skripsi ................................................................... v
Abstrak .................................................................................................... vi
Abstract .................................................................................................. vii
Kata Pengantar ...................................................................................... viii
Daftar Isi ................................................................................................. xv
Daftar Tabel .......................................................................................... xvii
Bab I Pendahuluan ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 7
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 7
Bab II Tinjauan Pustaka ........................................................................... 8
A. Tinjauan Umum Hukum Perjanjian .................................................. 8
1. Perjanjian pada Umumnya ......................................................... 8
2. Asas-Asas Perjanjian ................................................................. 9
3. Syarat Sah Perjanjian .............................................................. 10
4. Perjanjian Pertanggungan ....................................................... 12
B. Tinjauan Umum Asuransi .............................................................. 15
1. Pengertian Asuransi................................................................. 15
2. Manfaat Asuransi ..................................................................... 17
3. Penggolongan Asuransi ........................................................... 17
4. Prinsip-Prinsip Asuransi ........................................................... 19
5. Subjek dan Objek Asuransi ...................................................... 25
6. Evenemen, Klaim dan Ganti Rugi ............................................ 29
xvi
C. Polis .............................................................................................. 33
1. Pengertian Polis ....................................................................... 33
2. Jenis-Jenis Polis ...................................................................... 33
3. Isi Polis .................................................................................... 35
4. Klausula Polis .......................................................................... 36
D. Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster) .................................... 39
1. Pengertian dan Dasar Hukum Penilai Kerugian Asuransi ........ 39
2. Kedudukan dan Fungsi Penilai Kerugian Asuransi .................. 41
3. Tugas dan Kewenangan Penilai Kerugian Asuransi ................ 42
Bab III Metode Penelitian ....................................................................... 44
A. Tipe Penelitian .............................................................................. 44
B. Lokasi Penelitian ........................................................................... 44
C. Populasi dan Sampel .................................................................... 45
D. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 46
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 47
F. Teknik Analisis Data ...................................................................... 48
Bab IV Pembahasan ............................................................................... 49
A. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Tertanggung atas
Penggunaan Jasa Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster) yang
Tidak Diperjanjikan dalam Polis .................................................... 49
1. Penggunaan Jasa Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster) . 49
2. Bentuk Perlindungan Hukum TerhadapTertanggung atas
Penggunaan Jasa Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster) . 57
B. Tanggung Jawab Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster) ........ 67
Bab V Penutup ....................................................................................... 81
A. Kesimpulan ................................................................................... 81
B. Saran............................................................................................. 82
Daftar Pustaka ............................................................................................
Lampiran .....................................................................................................
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Daftar Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster) Per 31 Desember 2017 .............................................................. 52
Tabel 2. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Tertanggung atas Penggunaan Jasa Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster) Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ....................... 61
Tabel 3. Pandangan Tertanggung atas Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster) Saat Terjadi Sengketa dengan Penanggung .............. 65
Tabel 4. Data Pengaduan Konsumen Melalui Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 6 Makassar ..................................................... 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam menjalani kehidupannya di muka bumi senantiasa diikuti
oleh risiko. Secara sederhana, risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan
akan menderita kerugian yang diakibatkan oleh peristiwa yang tidak
diketahui kapan akan terjadi. Oleh sebab itu, risiko hanya mengandung dua
unsur, yaitu kerugian dan ketidakpastian.
Kahadiran risiko dalam kehidupan manusia pada dasarnya lahir secara
otomatis. Hal itu dikarenakan risiko merupakan konsekuensi manusia yang
harus ditanggung akibat tidak lagi bertempat tinggal di taman Firdaus,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Emmy Pangaribuan Simanjuntak.1
Oleh sebab itu, manusia senantiasa mencari upaya untuk mengatasi risiko
yang mungkin timbul tersebut. Beberapa upaya yang dilakukan oleh
manusia antara lain dengan cara menerima risiko, menghindari risiko,
ataupun dengan cara mencegah agar peristiwa-peristiwa yang dapat
menimbulkan risiko tersebut tidak terjadi. Penerapan ketiga upaya tersebut
pada dasarnya tidak membutuhkan bantuan pihak lain.
Seiring berjalannya waktu, dimana perkembangan yang semakin pesat,
risiko juga senantiasa berkembang sehingga menyebabkan manusia tidak
1 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1978, Simposium
Tentang Hukum Asuransi, Cetakan Pertama, Binacipta, Bandung, hlm. 25.
2
dapat lagi mengatasinya sendiri. Oleh sebab itu, muncullah pemikiran
bahwa cara untuk mengatasi risiko adalah dengan mengalihkan atau
membagi risiko tersebut kepada pihak lain yang disebut pihak ketiga.
Pengalihan dan pembagian risiko tersebut saat ini dilakukan dengan cara
asuransi.
Asuransi sebagai lembaga pengalihan dan pembagian risiko telah
menjadi salah satu jenis usaha dibidang jasa, yang dikenal dengan usaha
perasuransian. Di Indonesia, usaha perasuransian diatur dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian (untuk selanjutnya
UU Perasuransian). Dalam undang-undang tersebut, yang dimaksud
dengan usaha perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa
pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko,
pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah,
konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau
reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah.2
Adapun pelaksana dalam usaha perasuransian tidak lain adalah
perusahaan perasuransian.
Secara umum, perusahaan perasuransian dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu perusahaan asuransi dan perusahaan penunjang asuransi.
Perusahaan asuransi adalah perusahaan yang melakukan usaha jasa
keuangan yakni menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan
premi dan memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai
2 Lihat Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.
3
jasa asuransi tersebut, sedangkan perusahaan penunjang asuransi adalah
perusahaan yang melakukan usaha yang merupakan usaha jasa tertentu,
yang dalam pelaksanaan usahanya senantiasa berkaitan dengan usaha
yang dilaksanakan perusahaan asuransi. Dalam UU Perasuransian,
perusahaan asuransi terdiri dari perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan reasuransi dan perusahaan reasuransi
syariah, sedangkan perusahaan penunjang asuransi terdiri dari perusahaan
pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi dan perusahaan penilai
kerugian asuransi.
Salah satu perusahaan penunjang asuransi yang masih banyak tidak
diketahui oleh masyarakat umum adalah perusahaan penilai kerugian
asuransi (loss adjuster). Perusahaan penilai kerugian asuransi (loss
adjuster) adalah perusahaan yang melakukan usaha penilai kerugian
asuransi. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU Perasuransian, usaha penilai
kerugian asuransi adalah usaha jasa penilaian klaim dan/atau jasa
konsultasi atas objek asuransi.
Pada hakikatnya, kehadiran penilai kerugian asuransi bertujuan untuk
menerapkan prinsip keseimbangan (indemnitiet principle). Oleh sebab itu,
penilai kerugian asuransi (loss adjuster) senantiasa dituntut untuk memiliki
sifat inpenden serta kredibilitas yang tinggi. Akan tetapi, independensi serta
kredibilitas dari penilai kerugian asuransi (loss adjuster) seringkali
diragukan oleh tertanggung. Hal itu dikarenakan penunjukan penilai
kerugian asuransi (loss adjuster) merupakan hak dari penanggung,
4
sehingga tertanggung beranggapan bahwa penilai kerugian asuransi (loss
adjuster) berpihak pada penanggung.3 Selain itu, berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Lilik Fadhilah tentang kedudukan hukum
perusahaan penilai kerugian asuransi dalam perjanjian asuransi, penilai
kerugian asuransi (loss adjuster) merupakan pihak ketiga dalam perjanjian
asuransi yang tidak menjadi bagian yang tertulis dalam polis asuransi, serta
kehadirannya hanya ada dalam proses penyelesaian klaim.4
Permasalahan timbul ketika penanggung menolak pengajuan klaim
tertanggung atau yang biasa disebut dengan wanprestasi. Dalam kasus-
kasus wanprestasi, seringkali penanggung menyatakan bahwa tidak
dilaksanakannya prestasi dikarenakan pihak tertanggung memiliki itikad
tidak baik. Wujud dari itikad tidak baik tersebut menurut penanggung dapat
dilihat pada saat mengajukan klaim, dimana besaran klaim yang diajukan
oleh tertanggung lebih besar dari hasil penilaian penilai kerugian asuransi
(loss adjuster). Padahal, hasil penilaian penilai kerugian asuransi (loss
adjuster) bukanlah suatu hal yang mutlak untuk dijadikan acuan, melainkan
hanya bersifat rekomendasi.
Jika mencermati putusan-putusan kasus wanprestasi antara
penanggung dengan tertanggung yang melibatkan penilai kerugian
3 Frans Lamury, “Timbulnya Sengketa Asuransi”, Indonesia Arbitration Quarterly
Newsletter Volume 6 Nomor 2 Juni 2014, Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Jakarta, hlm. 13.
4 Lilik Fadhilah, Peran Dan Fungsi Penilai Kerugian (Loss Adjuster) Dalam Penyelesaian Klaim Asuransi Kerugian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian (Studi Kasus Pada Pt Pramayasa Vaisha Adjuster), http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=html&id=108413&ftyp=potongan&potongan=S1-2017-282811-conclusion.pdf&, (diakses pada 5 Oktober 2017).
5
asuransi (loss adjuster) dalam prosesnya, hakim seringkali menjatuhkan
putusan bahwa pemberian ganti rugi kepada tertanggung didasarkan pada
hasil penilaian penilai kerugian asuransi (loss adjuster). Misalnya, dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1169 K/Pdt/2009, hakim menjatuhkan
amar putusan bahwa penetapan nilai penghitungan ganti rugi asuransi yang
harus dibayar tergugat yaitu penanggung kepada penggugat yaitu
tertanggung adalah sebesar SGD 45,963.00, (empat puluh lima ribu
sembilan ratus enam puluh tiga dolar Singapura).5 Putusan tersebut
menurut penulis telah sesuai dengan hukumnya, dikarenakan dalam Pasal
13 ayat (1) Polis, ganti rugi dilakukan dengan menunjuk juru taksir (penilai)
yang punya keahlian di bidang asuransi.6
Lain halnya dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1040/K/Pdt/2014,
walapun hakim menjatuhkan putusan bahwa besaran ganti rugi yang harus
dibayar penanggung adalah sesuai dengan hasil penilaian penilai kerugian
asuransi (loss adjuster), tetapi penggunaan jasa penilai kerugian asuransi
(loss adjuster) tersebut tidak diperjanjikan sebelumnya dalam polis. Penulis
beranggapan demikian dikarenakan dalam putusan tersebut, tergugat yaitu
penanggung hanya berdasar pada Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian,7 dan bukanlah
merujuk pada klausul dalam polis sebagaimana dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1169 K/Pdt/2009.
5 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 1169 K/Pdt/2009, hlm. 13 dan 16. 6 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 1169 K/Pdt/2009, hlm. 10-11. 7 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 1040/K/Pdt/2014, hlm. 7.
6
Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor
1040/K/Pdt/2014 tersebut, penilai kerugian asuransi (loss adjuster) juga
bukan merupakan pihak yang dapat diikutkan sebagai pihak yang
berperkara.8 Padahal, menurut penulis, jika besaran ganti rugi didasarkan
pada hasil penilaian penilai kerugian asuransi (loss adjuster), maka penilai
kerugian asuransi (loss adjuster) tersebut dapat pula dimasukkan sebagai
salah satu pihak yang berperkara dalam kasus tersebut.
Tidak diperjanjikannya penggunaan jasa penilai kerugian asuransi (loss
adjuster) dalam polis serta penunjukan yang merupakan hak dari
penanggung, dapat menciptakan posisi yang merugikan bagi tertanggung
jika tidak ada perlindungan hukum yang diberikan. Apalagi ditambah
ketidaktahuan tertanggung terhadap adanya penilai kerugian asuransi (loss
adjuster) dalam proses pengajuan klaim dan pemberian ganti rugi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan
masalah yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap tertanggung
atas penggunaan jasa penilai kerugian (loss adjuster) yang tidak
diperjanjikan dalam polis?
2. Sejauh manakah tanggung jawab penilai kerugian asuransi (loss
adjuster)?
8 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 1040/K/Pdt/2014, hlm. 8 dan 20.
7
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap
tertanggung atas penggunaan jasa penilai kerugian (loss adjuster)
yang tidak diperjanjikan dalam polis;
2. Untuk mengetahui tanggung jawab penilai kerugian asuransi (loss
adjuster).
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan bahan referensi dalam
pengembangan ilmu hukum khususnya dalam kajian hukum
asuransi;
2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada
semua pihak termasuk perusahaan asuransi dan kalangan
akademisi serta masyarakat yang memiliki perhatian serius dalam
bidang hukum khusunya hukum asuransi.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Hukum Perjanjian
1. Perjanjian Pada Umumnya
Perjanjian merupakan salah satu sebab lahirnya perikatan,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1233 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (untuk selanjutnya KUH-Perdata). Dalam pasal
tersebut, diatur bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang”. Persetujuan sebagaimana
yang termaktub dalam pasal tersebut tidak lain adalah perjanjian.
Dalam Pasal 1313 KUH-Perdata, diatur bahwa “Suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut
Mariam Darus Badrulzaman, para sarjana hukum berpendapat bahwa
definisi perjanjian tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Dikatakan
tidak lengkap dikarenakan hanya mengenai perjanjian sepihak, dan
dikatakan terlalu luas dikarenakan dapat mencakup hal-hal yang
mengenai janji kawin serta perbuatan melawan hukum.9
Menurut Subekti sebagaimana yang termuat dalam buku yang ditulis
oleh Agus Yudha Hernoko, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
9 Mariam Darus Badrulzaman, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III
Tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Cetakan Ke-2, Alumni, Bandung, hlm. 89.
9
seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Sedangkan menurut KRMT
Tirtodiningrot sebagaimana yang termuat dalam buku yang sama,
perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat
diatara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum
yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.10 Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana
dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu yang
menimbulkan akibat hukum.
2. Asas-Asas Perjanjian
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dalam hukum perjanjian
terdapat beberapa asas, antara lain sebagai berikut:11
a) Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi);
b) Asas konsensualisme (persesuaian kehendak);
c) Asas kepercayaan;
d) Asas kekuatan mengikat;
e) Asas persamaan hukum;
f) Asas keseimbangan;
g) Asas kepastian hukum;
h) Asas moral;
i) Asas kepatutan;
10 Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, Cetakan Ke-3, Kencana, Jakarta, hlm. 15-16. 11 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hlm. 108.
10
j) Asas kebiasaan.
3. Syarat Sah Perjanjian
Suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi syarat
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH-Perdata, yaitu:
a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Pengertian sepakat dilukiskan pernyataan kehendak yang
disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara pihak-pihak.
Penyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte),
sedangkan pernyataan pihak yang menerima tawaran
dinamakan akseptasi (acceptatie).12 Suatu kesepakatan dapat
dicapai dengan berbagai cara, baik tertulis maupun tidak tertulis
termasuk dengan menggunakan simbol-simbol atau dengan cara
lainnya yang tidak secara lisan.13 Adapun sepakat yang dianggap
sah hanya jika diberikan tidak berdasarkan kekhilafan, paksaan
maupun penipuan.14
b) Cakap untuk membuat suatu perikatan;
Kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk
melakukan perbuatan hukum. Kecakapan ini ditandai dengan
dicapainya umur 21 tahun atau telah menikah walaupun belum
berumur 21 tahun dan tidak dalam pengampuan.15 Akan tetapi,
12 Ibid., hlm. 98. 13 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233
Sampai 1456 BW, Cetakan Ke-6, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 68. 14 Lihat Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 15 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Loc. Cit..
11
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
menetapkan bahwa seseorang yang belum mencapai umur 18
tahun berada dibawah kekuasaan orang tuanya.16 Dengan
demikian, secara yuridis seseorang yang berumur 18 tahun telah
dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan
karenanya menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum.
c) Suatu hal tertentu;
Hal tertentu yang dimaksud dalam syarat ini tidak lain berkenaan
dengan objek perjanjian. KUH-Perdata memberikan beberapa
syarat tertentu agar suatu objek dapat diperjanjikan, antara lain
objek tersebut harus berupa barang yang dapat diperdagangkan,
sudah ditentukan jenisnya, jumlahnya dapat ditentukan atau
dihitung dikemudian hari, serta barang tersebut dapat berupa
barang yang telah ada ataupun akan ada dikemudian hari,
kecuali terhadap barang yang masih dalam warisan yang belum
dibuka.17
d) Suatu sebab yang halal.
Sebab yang yang dimaksud dalam syarat ini tidak berkaitan
dengan motif diadakannya perjanjian, melainkan berkenaan
dengan sebab yang sifatnya objektif.18 Halal yang dimaksud
16 Lihat Pasal 47 jo. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. 17 Lihat Pasal 1332, Pasal 1332 dan Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 18 Munir Fuady, 2014, Konsep Hukum Perdata, Cetakan Ke-1, Rajawali Pers, Jakarta,
hlm. 201.
12
adalah isi dari perjanjian tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum.19 Berkaitan dengan
syarat ini, KUH-Perdata mengatur bahwa perjanjian tidak boleh
diadakan tanpa sebab sama sekali, dengan sebab yang palsu
dan sebab yang terlarang.20
Dua syarat yang ditulis pertama disebut dengan syarat subjektif
karena berkenaan dengan subjek dari pelaku perjanjian dan berakibat
dapat dibatalkan jika tidak terpenuhi, kecuali dalam hal pengampuan
yang telah mendapat penetapan dari pengadilan.21 Adapun dua syarat
yang ditulis terakhir disebut dengan syarat objektif, karena berkenaan
dengan objek perjanjian dan batal demi hukum jika tidak terpenuhi. Batal
demi hukum dalam hal ini berarti perjanjian dianggap tidak pernah sah
dan tidak pernah ada, sedangkan dapat dibatalkan dalam hal ini berarti
perjanjian baru dianggap sah dan tidak ada jika perjanjian tersebut
dibatalkan oleh yang berkepentingan.22
4. Perjanjian Pertanggungan
Perjanjian pertanggungan dalam KUH-Perdata dikategorikan ke
dalam perjanjian untung-untungan, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1774. Dalam pasal tersebut, diatur bahwa:
Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak,
19 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. Cit., hlm. 69. 20 Lihat Pasal 1335 dan Pasal 1336 jo. Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. 21 Lihat Pasal 446 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 22 Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 186-187.
13
maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah: Perjanjian pertanggungan; bunga cagak hidup; perjudian dan pertaruhan. Perjanjian yang pertama diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Terkait dengan pasal di atas, perjanjian pertanggungan digolongkan
sebagai perjanjian untung-untungan. Padahal, karakteristik perjanjian
untung-untungan adalah berdasarkan kemungkinan yang sangat
bersifat spekulatif dengan tujuan utama hanya kepentingan keuangan,
sedangkan perjanjian pertanggungan pada dasarnya mempunyai tujuan
yang lebih pasti, yaitu mengalihkan risiko yang sudah ada yang
berkaitan pada kemanfaatan ekonomi tertentu sehingga tetap berada
dalam posisi yang sama.23 Selain itu, Abdulkadir Muhammad juga
mengemukakan bahwa perjanjian pertanggungan bukanlah untung-
untungan.24 Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa perjanjian
pertanggungan seyogyanya tidak dapat digolongkan kedalam perjanjian
untung-untungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1774 KUH-
Perdata.
Perjanjian pertanggungan sebagai salah satu bentuk perjanjian
khusus, memiliki beberapa sifat dan ciri, yang menurut Emmy
Pangaribuan Simanjuntak antara lain adalah sebagai berikut:25
23 Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan, 2016, Pokok-Pokok Hukum
Asuransi, Cetakan Pertama, Pustaka Sustisia, Yogyakarta, hlm. 15-16. 24 Abdulkadir Muhammad, 1999, Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan Ke II, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 16. 25 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Op. Cit., hlm. 33 dan 35.
14
a) Merupakan perjanjian bersyarat, dikarenakan pelaksanaan
kewajiban ganti rugi digantungkan pada suatu syarat;
b) Merupakan perjanjian timbal balik, dikarenakan kedua belah
pihak memiliki prestasi masing-masing, yaitu pihak tertanggung
berkewajiban membayar premi sedangkan pihak penanggung
berkewajiban membayar ganti rugi jika peristiwa yang tidak tentu
atas mana pertanggungan diadakan tersebut terjadi;
c) Merupakan perjanjian konsensual, dikarenakan perjanjian
berlaku setelah Nota Penutupan Asuransi ditandatangani oleh
pihak tertanggung, bukan setelah polis diterbitkan dan
diserahkan kepada tertanggung.
Selain itu, perjanjian pertanggungan juga dapat dikategorikan
sebagai perjanjian baku. Hal ini dikarenakan dalam melakukan
transaksi, perjanjian asuransi antara perusahaan asuransi dengan
tertanggung atau pemegang polis nyaris selalu menggunakan perjanjian
yang berbentuk standar atau baku. Adapun yang dimaksud perjanjian
baku menurut N. H. T. Siahaan, adalah perjanjian standar yang tertuang
dalam suatu format perjanjian yang telah dibuat sebelumnya oleh salah
satu pihak serta telah dicetak seperti formulir yang untuk selanjutnya
diberikan kepada pihak lainnya untuk disetujui (ditandatangani).26
26 N.H. T. Siahaan, 2005, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan
Tanggungjawab Produk, Cetakan Pertama, Panta Rei, Jakarta, hlm. 105.
15
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya UU Perlindungan
Konsumen):27
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Dalam klausula perjanjian baku, menurut Sutan Remy Sjahdeini
sebagaimana yang dikutip oleh H. P. Panggabean, perjanjian baku
hampir seluruh klausulanya dibakukan oleh pelaku usaha, sehingga
pihak lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan. Akan tetapi, masih terdapat beberapa hal yang belum
dibakukan, misalnya menyangkut jenis, harga, jumlah, serta beberapa
hal spesifik dari objek perjanjian.28
B. Tinjauan Umum Asuransi
1. Pengertian Asuransi
Istilah asuransi merupakan serapan dari istilah assurantie (Belanda),
assurance (Inggris) yang banyak dipakai dalam praktik dunia usaha.
Sedangkan dalam literatur hukum, istilah yang digunakan adalah
pertanggungan yang merupakan serapan dari istilah verzekering
27 Lihat Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. 28 H. P. Panggabean, 2012, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) dalam
Perjanjian Kredit Perbankan, Cetakan Ke-1, Alumni, Bandung, hlm. 17.
16
(Belanda). Akan tetapi, saat ini, kedua istilah tersebut dipakai dalam
kegiatan bisnis maupun literatur hukum sebagai sinonim.29
Secara yuridis, pengertian mengenai asuransi dapat dilihat dalam
Pasal 246 KUHD, yang mengatur bahwa:
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, di mana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti.
Sedangkan Pasal 1 angka 1 UU Perasuransian, mengatur bahwa:
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau
pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Berdasarkan kedua pasal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
asuransi adalah perjanjian yang diadakan dalam rangka pengalihan
risiko antara tertanggung atau pemegang polis dengan perusahaan
asuransi yang disebut penanggung, dimana tertanggung atau
pemegang polis mengikatkan diri untuk membayar premi, sedangkan
29 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hlm. 6-7.
17
penanggung mengikatkan diri untuk membayar imbalan atas kerugian
yang diderita tertanggung atau pemegang polis akibat peristiwa yang
tidak tentu atau membayar sejumlah uang akibat meninggalnya
tertanggung.
2. Manfaat Asuransi
Asuransi mempunyai banyak manfaat, sebagaimana menurut
Herman Darmawi yang dikutip oleh Angger Sigit Pramukti dan Andre
Budiman antara lain sebagai berikut:30
a) Melindungi risiko investasi;
b) Sebagai sumber dana investasi;
c) Untuk melengkapi persyaratan kredit;
d) Dapat mengurangi kekhawatiran;
e) Mengurangi biaya modal;
f) Menjamin kestabilan perusahaan;
g) Dapat meratakan keuntungan;
h) Dapat menyediakan layaan profesional;
i) Mendorong usaha pencegahan kerugian; dan
j) Membantu pemeliharaan kesehatan.
3. Penggolongan Asuransi
Menurut Man Suparman Sastrawidjaja, asuransi dapat dibedakan ke
dalam beberapa golongan, antara lain sebagai berikut:31
30 Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan, Op. Cit.,, hlm. 26-34. 31 Man Suparman Sastrawidjaja, 2003, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat
Berharga, Cetakan Ke-2, Alumni, Bandung, hlm. 82-88.
18
a) Penggolongan secara yuridis:
1) Asuransi kerugian (schadeverzekering) adalah semua jenis
asuransi yang kepentingannya dapat dinilai dengan uang;
2) Asuransi jumlah (sommenverzekering) adalah semua jenis
asuransi yang kepentingannya tidak dapat dinilai dengan
uang sehingga penanggung terikat untuk melakukan prestasi
berupa pembayaran sejumlah uang yang telah ditentukan
sebelumnya.
b) Penggolongan berdasarkan kriteria ada tidaknya kehendak
bebas:
1) Asuransi sukarela (voluntary insurance) adalah asuransi yang
terjadi didasarkan kehendak bebas dari pihak-pihak yang
mengadakannya;
2) Asuransi wajib (compulsory insurance) adalah asuransi
diharuskan oleh suatu ketentuan perundang-undangan, dan
dalam beberapa jenis terdapat sanksi apabila asuransi
tersebut tidak diadakan.
c) Penggolongan berdasarkan tujuan:
1) Asuransi komersial (commercial insurance) adalah asuransi
yang diadakan oleh perusahaan asuransi sebagai suatu
bisnis, sehingga tujuan utamanya adalah untuk memperoleh
keuntungan;
19
2) Asuransi sosial (social insurance) adalah asuransi yang
diselenggarakan tidak dengan tujuan memperoleh
keuntungan, tetapi bermaksud memberikan jaminan sosial
(social security) kepada masyarakat atau sekelompok
masyrakat.
d) Penggolongan berdasarkan sifat dari penanggung:
1) Asuransi premi (premieverzekering) adalah asuransi antara
penanggung dengan tiap-tiap tertanggung, dan antara
tertanggung yang satu dengan tertanggung yang lain tidak
memiliki hubungan hukum sehingga tiap-tiap tertanggung
memiliki kewajiban untuk membayar premi kepada
penanggunga;
2) Asuransi saling menanggung (onderlinge verzekering) adalah
asuransi yang merupakan suatu perkumpulan yang terdiri dari
para tertanggung sebagai anggota. Jadi, dibentuknya
perkumpulan tersebut dikarenakan antara para anggota
terdapat suatu hubungan hukum dan mempunyai tujuan yang
sama, sehingga anggota tidak membayar premi, tetapi
membayar iuran tetap kepada perkumpulan tersebut.
4. Prinsip-Prinsip Asuransi
Prinsip atau asas hukum merupakan dasar pikiran yang merupakan
sesuatu yang menjadi latar belakang dari peraturan yang sifatnya konkrit
dan umum. Pada umumnya, prinsip hukum tersebut tidak ditegaskan
20
tertuang dalam bentuk peraturan yang konkrit, tetapi tidak selalu
demikian. Adakalanya suatu prinsip hukum dinyatakan dalam suatu
peraturan perundang-undangan, seperti prinsip praduga tidak bersalah
dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.32
Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam asuransi adalah sebagai
berikut:
a) Prinsip Kepentingan yang Dapat Diasuransikan (Insurable
Interest)
Prinsip ini adalah prinsip yang mensyaratkan adanya
kepentingan dalam mengadakan perjanjian asuransi, dengan akibat
kebatalan jika seandainya tidak dipenuhi sehingga penanggung tidak
diwajibkan untuk memberikan ganti rugi. Hal tersebut sesuai dengan
yang diatur dalam Pasal 250 KUHD. Menurut Emmy Pangaribuan
yang dikutip oleh Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang,
kepentingan tersebut harus ada pada saat terjadinya kerugian dan
dapat dibuktikan.33 Adapun yang dimaksud dengan kepentingan,
menurut Molengraaff sebagaimana yang ditulis oleh Man Suparman
Sastrawidjaja, adalah kekayaan atau bagian kekayaan tertanggung
yang apabila terkena bencana dapat diterima, dengan pengertian
bahwa yang dimaksud kekayaan meliputi kekayaan yang dapat
32 Ibid., hlm. 64. 33 Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang, 1993, Hukum Asuransi: Perlindungan
Tertanggung Asuransi Deposito Usaha Perasuransian, Cetakan Pertama, Alumni, Bandung, hlm. 55-56.
21
dinilai dengan uang atau tidak, baik berupa benda berwujud maupun
tidak berwujud.34
b) Prinsip Itikad Baik atau Kejujuran yang Sempurna (Utmost Good
Faith)
Dalam perjanjian asuransi, banyak pasal-pasal dalam KUHD
yang dapat disimpulkan mengandung unsur prinsip itikad baik,
antara lain Pasal 251, Pasal 252, Pasal 276 dan Pasal 277. Akan
tetapi, yang paling popular adalah Pasal 251 KUHD, yang dikenal
dengan kewajiban memberikan keterangan. Dalam pasal tersebut,
asuransi menjadi batal jika tertanggung memberikan keterangan
yang keliru atau tidak benar atau sama sekali tidak memberikan
keterangan.35 Secara umum, itikad baik yang sempurna dapat
diartikan bahwa masing-masing pihak dalam suatu perjanjian yang
akan disepakati, mempunyai kewajiban untuk memberikan
keterangan yang selengkap-lengkapnya, yang dapat mempengaruhi
keputusan pihak lain untuk mengadakan perjanjian atau tidak, baik
keterangan tersebut diminta atau tidak.36
c) Prinsip Keseimbangan (Indemnitiet Principle)
Prinsip ini adalah prinsip yang mengatur bahwa seorang
tertanggung hanya dapat memperoleh indemnitas, ganti rugi
asuransi tidak boleh menempatkan tertanggung dalam keadaan
34 Man Suparman Sastrawidjaja, Op. Cit., hlm. 66. 35 Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Op. Cit., hlm. 57. 36 Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan, Op. Cit., hlm. 23.
22
yang menguntungkan daripada sebelum tertimpa risiko objek yang
diasuransikan.37 Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, prinsip
ini mengandung beberapa ketentuan pokok, antara lain sebagai
berikut:38
1) Ganti rugi harus seimbang dengan kerugian yang sungguh-
sungguh diderita dan diperimbangkan dengan jumlah yang
dipertanggungkan;
2) Ganti rugi tidak boleh melebihi dari nilai pertanggungan
(Pasal 253 ayat (1) KUHD);
3) Tidak diperbolehkan untuk mengadakan pertanggungan yang
kedua untuk waktu yang sama dan terhadap bahaya yang
sudah dipertanggungkan untuk harga yang penuh (Pasal 252
KUHD);
Akan tetapi, prinsip ini hanya berlaku pada asuransi kerugian dan
tidak berlaku pada asuransi sejumlah uang. Hal ini dikarenakan
dalam asuransi sejumlah uang seperti asuransi jiwa, tidaklah dapat
dikatakan bahwa kematian dapat diganti rugi dengan sejumlah
uang.39
d) Prinsip Subrogasi (Subrogation Principle)
Prinsip ini menurut Man Suparman Sastrawidjaja menentukan
bahwa jika penanggung telah membayar ganti kerugian terhadap
37 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Op. Cit., hlm. 122. 38 Ibid., hlm. 32-33. 39 Ibid., hlm. 33.
23
tertanggung, maka penanggung berhak mengganti kedudukan
tertanggung termasuk dalam melaksanakan hak-hak tertanggung
kepada pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya kerugian.
Peralihak hak-hak tersebut terjadi secara otomatis, sesuai dengan
yang diatur dalam Pasal 284 KUHD. Akan tetapi, menurut Emmy
Pangaribuan Simanjuntak seperti yang dikutip oleh Man Suparman
Sastrawidjaja, penerapan prinsip ini terbatas, yaitu sekadar kerugian
yang telah dibayarkan oleh penanggung. Sama halnya dengan
prinsip keseimbangan, prinsip subrogasi juga hanya berlaku pada
asuransi kerugian.40
e) Prinsip Sebab-Akibat (Causalitiet Principle)
Prinsip ini menurut Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang
menentukan bahwa ganti rugi yang dibayarkan oleh penanggung
terhadap tertanggung hanya sekadar kerugian yang disebabkan oleh
peristiwa yang ditentukan dalam polis.41 Untuk menentukan sebab
timbulnya kerugian, ada tiga teori, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Scheltma dan dikutip oleh Emmy Pangaribuan Simanjuntak dan
dikutip lagi oleh Man Suparman Sastrawidjaja yaitu sebagai
berikut:42
40 Man Suparman Sastrawidjaja, Op. Cit., hlm. 75-76. 41 Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Op. Cit., hlm. 62. 42 Man Suparman Sastrawidjaja, Op. Cit., hlm. 77-78.
24
1) Teori causa proxima
Menurut teori ini, dari rangkaian peristiwa yang ada, harus
dipilih sebab yang paling dekat dengan kerugian yang terjadi.
Adapun yang dianggap sebab yang paling dekat adalah
sebab yang paling dominan dan efektif.
2) Teori condition sine qua non
Menurut teori ini, bahwa yang merupakan sebab dari kerugian
adalah segala kejadian dan kenyataan yang merupakan
syarat mutlak untuk terjadinya suatu akibat.
3) Teori causa remota
Menurut teori ini, peristiwa yang menjadi sebab dari timbulnya
kerugian adalah peristiwa terjauh.
f) Prinsip Kontribusi
Prinsip ini menentukan bahwa apabila dalam suatu polis
ditandatangani oleh beberapa penanggung, maka masing-masing
penanggung itu menurut imbangan dari jumlah untuk mana mereka
menandatangani polis, memikul hanya harga yang sebenarnya dari
kerugian yang diderita oleh tertanggung. Prinsip ini terjadi apabila
ada asuransi berganda (double insurance) sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 278 KUHD.43
43 Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Op. Cit., hlm. 63.
25
g) Prinsip Follow The Fortunes
Prinsip ini menentukan bahwa tindakan penanggung ulang tidak
boleh mempertimbangkan secara tersendiri terhadap objek asuransi,
akibatnya segala sesuatu termasuk peraturan dan perjanjian yang
berlaku bagi penanggung pertama, berlaku pula bagi penanggung
ulang. Prinsip ini hanya berlaku bagi re-asuransi.44
5. Subjek dan Objek Asuransi
Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam asuransi, yaitu
penanggung dan tertanggung yang mengadakan perjanjian asuransi.
Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak
memperoleh pembayaran premi, sedangkan tertanggung wajib
membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul
kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan.45
Secara lengkap, Man Suparman Sastrawidjaja menguraikan hak dan
kewajiban penanggung dan tertanggung. Adapun hak dan kewajiban
tersebut antar lain adalah sebagai berikut:46
a) Hak Tertanggung:
1) Menuntut agar polis ditandatangani oleh penanggung (Pasal
259 KUHD);
2) Menuntut agar polis segera diserahkan (Pasal 260 KUHD);
44 Ibid., hlm. 64. 45 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 8. 46 Man Suparman Sastrawidjaja, Op. Cit., hlm. 20-23.
26
3) Meminta ganti kerugian kepada penanggung, karena lalai
menandatangani dan menyerahkan polis sehingga
menimbulkan kerugian kepada tertanggung (Pasal 261
KUHD);
4) Melalui pengadilan, tertanggung dapat membebaskan
penanggung dari segala kewajibannya dan kemudian
mengasuransikan obyek asuransi yang sama kepada
penanggung yang lain (Pasal 272 KUHD);
5) Mengadakan solvabilitiet verzekering karena tertanggung
ragu-ragu akan kemampuan penanggungnya. Akan tetapi,
harus tegas bahwa tertanggung hanya akan mendapat ganti
kerugian dari salah satu penanggung saja (Pasal 280 KUHD);
6) Menuntut pengembalian premi apabila perjanjian asuransi
batal atau gugur dengan syarat bahwa tertanggung beritikad
baik dan penanggung belum menanggung risiko (Pasal 281
KUHD);
7) Menuntut ganti kerugian apabila peristiwa yang diperjanjikan
dalam polis terjadi.
b) Kewajiban Tertanggung:
1) Membayar premi kepada penanggung (Pasal 246 KUHD);
2) Memberikan keterangan yang benar kepada penanggung
mengenai objek yang diasuransikan (Pasal 251 KUHD);
27
3) Mengusahakan atau mencegah agar peristiwa yang dapat
menimbulkan kerugian terhadap obyek yang diasuransikan
dapat dihindari. Apabila penanggung dapat membuktikan hal
sebaliknya, maka hal tersebut dapat menjadi salah satu alas
an bagi penanggung untuk menolak memberikan ganti
kerugian bahkan menuntut ganti rugi kepada tertanggung
(Pasal 283 KUHD);
4) Memberitahukan kepada penanggung bahwa telah terjadi
peristiwa yang menimpa obyek yang diasuransikan beserta
usaha-usaha pencegahannya.
c) Hak Penanggung:
1) Menuntut pembayaran premi kepada tertanggung sesuai
perjanjian;
2) Meminta keterangan yang benar dan lengkap kepada
tertanggung berkaitan dengan obyek yang diasuransikan;
3) Menuntut premi dan bahkan menuntutnya jika peristiwa yang
diperjanjikan terjadi tetapi disebabkan oleh kesalahan
tertanggung (Pasal 276 KUHD);
4) Memiliki premi yang sudah diterima dalam hal asuransi batal
atau gugur yang disebabkan oleh perbuatan curang
tertanggung (Pasal 282 KUHD);
5) Melakukan asuransi kembali (reinsurance, hervezekering)
(Pasal 271 KUHD).
28
d) Kewajiban Penanggung:
1) Memberikan ganti kerugian atau memberikan sejumlah uang
kepada tertanggung jika peristiwa yang diperjanjikan terjadi,
kecuali terdapat alas an yang membebaskan dari kewajiban
tersebut;
2) Menandatangani dan menyerakan polis kepada tertanggung
(Pasal 259 dan Pasal 260 KUHD);
3) Mengembalikan premi apabila perjanjian asuransi batal atau
gugur dengan syarat bahwa tertanggung beritikad baik dan
penanggung belum menanggung risiko (Pasal 281 KUHD);
4) Penanggung harus mengganti biaya yang diperlukan untuk
membangun kembali apabila diperjanjikan dalam asuransi
kebakaran (Pasal 289).
Selain pihak penanggung dan tertanggung, terdapat pula subjek
asuransi yang disebut pemegang polis. Pemegang polis adalah pihak
yang mengikatkan diri berdasarkan perjanjian dengan perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah untuk mendapatkan pelindungan atau
pengelolaan atas risiko bagi dirinya, tertanggung, atau peserta lain.47
Berkaitan dengan objek asuransi, Pasal 268 KUHD mengatur bahwa
“Pertanggungan dapat menjadikan sebagai pokok yakni semua
47 Lihat Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang
Perasuransian.
29
kepentingan yang dapat dinilai dengan uang, dapat terancam bahaya
dan tidak dikecualikan oleh undang-undang.” Berdasarkan pasal
tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi objek asuransi adalah
semua kepentingan yang dapat dinilai dengan uang, dapat terancam
bahaya dan tidak dikecualikan dari undang-undang. Akan tetapi,
menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, ketentuan mengenai hal
tersebut tidak dapat diterapkan dalam asuransi sejumlah uang. Hal itu
dikarenakan kematian seseorang tidak dapat dinilai dengan uang.48
Dalam UU Perasuransian, mengatur bahwa objek asuransi adalah jiwa
dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, benda dan jasa,
serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi,
dan/atau berkurang nilainya.49
6. Evenemen, Klaim dan Ganti Rugi
a. Evenemen
Evenemen merupakan istilah yang diadopsi dari bahasa Belanda
evenement yang berarti peristiwa tidak pasti, yang dalam bahasa
Inggris disebut fortuitous event. Evenemen adalah peristiwa yang
menjadi sebeb asuransi diadakan, tidak dapat dipastikan kapan
terjadinya dan diharapkan tidak akan terjadi. Secara lengkap,
Abdulkadir Muhammad memberikan definisi sebagai berikut:50
Evenemen adalah peristiwa yang menurut pengalaman manusia normal tidak dapat dipastikan terjadi, atau walaupun
48 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Op. Cit., hlm. 33. 49 Lihat Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang
Perasuransian. 50 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 114.
30
sudah pasti terjadi saat terjadinya itu tidak dapat ditentukan dan juga tidak diharapkan akan terjadi. Jika terjadi juga, mengakibatkan kerugian.
Berkaitan dengan jenis-jenis evenemen, Abdulkadir Muhammad
menuliskan dalam bukunya bahwa hal tersebut bergantung pada
jenis asuransi yang diadakan, sehingga penanggung dan
tertanggung yang akan menentukan peristiwa-peristiwa apa saja
yang merupakan evenemen dan harus dicantumkan dengan tegas
dalam polis.
b. Klaim
Klaim adalah tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh tertanggung
kepada penanggung. Dalam praktik bisnis asuransi di Indonesia,
penanggung menerapkan beberapa prosedural klaim yang berbeda,
namun secara substansial pada dasarnya memiliki kesamaan antara
satu perusahaan asuransi dengan perusahaan asuransi lainnya.
Berikut beberapa ketentuan dalam melaksanakan proses klaim:51
1) Pemberitahuan klaim (notification of claim);
2) Tindakan pengamanan dan pencegahan (preventive action);
3) Subrogasi;
4) Penyerahan hak/abandomen;
5) Nilai sisa barang (salvage);
6) Usaha perolehan kembali (recovery attemps);
51 Chairul Huda dan Lukman Hakim, 2006, Tindak Pidana dalam Bisnis Asuransi,
Cetakan Pertama, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia (LPHI), Jakarta, hlm. 20-21.
31
7) Dokumen klaim (documents of claim);
8) Pembayaran klaim (settlement of claim); dan
9) Forum penyelesaian sengketa (dispute settlement forum).
Selanjutnya, dalam Pasal 31 ayat (3) UU Perasuransian, mengatur
bahwa penanganan dan keluhan atas klaim wajib melalui proses
yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil.
c. Ganti Rugi
Persoalan evenemen erat sekali hubungannya dengan
persoalan ganti rugi (compensation). Akan tetapi, tidak setiap
kerugian akibat evenemen harus mendapat ganti kerugian. Dengan
kata lain, antara evenemen dan kerugian yang timbul ada hubungan
kausal (sebab-akibat). Adapun cara menentukan bahwa kerugian
yang timbul tersebut adalah akibat evenemen yang menjadi
tanggungan penanggung, menurut R. Soerjatin adalah sebagai
berikut:52
1) Terbatas pada perimbangan bagian yang dipertanggungkan
dan bagian yang tidak dipertanggungkan untuk asuransi
terbatas (Pasal 253 ayat (2) KUHD):
2) Sesuai dengan jumlah yang dipertanggungkan tanpa
mengingat harga lebih dari barang yang bersangkutan untuk
asuransi premier risque (Pasal 253 ayat (3) KUHD);
52 R. Soerjatin, 1976, Hukum Dagang I dan II, Cetakan Kedua, Pradnya Paramita,
Jakarta, hlm. 136-138.
32
3) Sesuai dengan kerugian yang timbul berdasarkan sebab
musabab timbulnya kerugian, yang terdiri dari sebab proxima
(sebab terdekat), sebab remota (sebab terjauh) dan sebab
adequate (sebab yang dimaksudkan dalam asuransi);
Berkenaan cara penentuan kerugian yang menjadi tanggungan
penanggung, Abdulkadir Muhammad memberikan hal yang lebih
rinci, antara lain sebagai berikut:53
1) Berdasarkan pasal-pasal tertentu dalam KUHD, yaitu Pasal
290 mengenai asuransi kebakaran, Pasal 249 mengenai
asuransi kerugian menurut sifat dan jenis benda asuransinya,
Pasal 276 mengenai kerugian yang timbul karena kesalahan
tertanggung sendiri, dan Pasal 637 mengenai asuransi laut;
2) Menentukan satu demi satu evenemen yang menjadi beban
penanggung dalam polis;
3) Dengan janji khusus yang disebut klausula all risk yang
dicantumkan dengan tegas dalam polis;
4) Dengan menggunakan kausa terdekat dari kerugian yang
timbul (proximate cause).
C. Polis
1. Pengertian Polis
Polis adalah sebuah akta yang sengaja dibuat untuk tanda bukti
adanya asuransi antara penanggung dengan tertanggung. Hal tersebut
53 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 117.
33
sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 255 KUHD. Dari pasal tersebut,
dapat disimpulkan bahwa polis merupakan unsur mutlak dalam
asuransi. Tetapi sebaliknya, dalam Pasal 257 KUHD, mengatur bahwa
polis hanya merupakan suatu tanda bukti adanya perjanjian
pertanggungan dan bukan suatu unsur mutlak. Akan tetapi, untuk
beberapa jenis asuransi, polis merupakan suatu unsur mutlak, seperti
yang termuat dalam KUHD Pasal 272, Pasal 280, Pasal 603, Pasal 606
dan Pasal 615.54
2. Jenis-Jenis Polis
Menurut Partadireja, polis dapat dibedakan menjadi beberapa
macam, antara lain adalah sebagai berikut:55
a) Polis terbuka dan polis yang ditaksir
Polis terbuka adalah polis yang harga barang yang diasuransikan
tidak dicantumkan, sehingga ganti rugi yang diberikan ditentukan
dari jumlah yang tertinggi dan premi dihitung dari jumlah ganti rugi
yang tertinggi tersebut, sedangkan polis yang ditaksir adalah
polis yang mencantumkan harga barang yang diasuransikan.
b) Polis kontrak dan polis pauschal
Polis kontrak adalah polis yang preminya dibayar secara
diangsur, sedangkan polis pauschal adalah polis yang preminya
dibayar sekaligus.
54 H.M.N. Purwosutjipto, 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 7, Cetakan
Pertama, Djambatan, Jakarta, hlm. 185. 55 Iting Partadireja, 1978, Pengetahuan dan Hukum Dagang, Cetakan Pertama,
Erlangga, Jakarta, hlm. 128.
34
Menurut R. Soerjatin, macam-macam polis antara lain sebagai berikut:56
a) Polis maskape adalah polis yang dikeluarkan oleh perusahaan
asuransi, sehingga isi perjanjiannya berbeda antara perusahaan
yang satu dengan perusahaan yang lain;
b) Polis bursa adalah polis yang isi perjanjiannya ditentukan oleh
undang-undang serta oleh maskape yang bersangkutan. Polis ini
dibedakan menjadi tiga, yaitu amsterdamsche beurspolis,
Rotterdamsche beursgoederen polis;
c) Polis lloyd’s yang merupakan suatu polis bursa, tetapi
dipergunakan di bursa lloyd’s di London.
Selain ketiga polis yang telah dikemukakan R. Soerjatin, Abdulkadir
Muhammad menambahkan penggolongan polis berdasarkan sifat
berlakunya asuransi, yaitu sebagai berikut:
a) Polis perjalanan (voyage policy) adalah polis yang dibuat untuk
asuransi satu perjalanan atau satu pelayaran tertentu saja; dan
b) Polis waktu (time policy) adalah polis yang dibuat untuk jangka
waktu tertentu, misalnya satu tahun.
Di Indonesia, Dewan Asuransi Indonesia (DAI) membagi jenis-jenis
polis asuransi kerugian, antara lain:57
56 R. Soerjatin, Op. Cit., hlm. 135. 57 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Op. Cit., hlm. 132-133.
35
a) Polis asuransi kebakaran yang terdiri dari polis kebakaran
Indonesia, polis bursa Amsterdam/Rotterdam dan polis F.O.C
(Fire Offices Committee/Foreign);
b) Polis asuransi pengangkutan (cargo dan casco) yang terdiri dari
marine cargo policy, polis bursa, polis maskapai dan polis
pertanggungan kapal;
c) Polis asuransi varia yang terdiri dari polis kendaraan bermotor,
polis pertanggungan berdasarkan Undang-Undang Kecelakaan
Tenaga Kerja, polis kecelakaan pribadi dan polis lain-lain.
3. Isi Polis
Berdasarkan Pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali mengenai
asuransi jiwa, harus memuat sebagai berikut:
a) Hari dan tanggal pembuatan asuransi;
b) Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau untuk pihak ketiga;
c) Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan;
d) Jumlah uang yang diasuransikan;
e) Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung;
f) Saat mulai dan berakhirnya bahaya yang menjadi tanggungan
penanggung;
g) Premi asuransi; dan
h) Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh
penanggung dan segala janji-janji khusus yang diadakan antara
para pihak.
36
Dalam praktik asuransi kerugian di Indonesia, Dewan Asuransi
Indonesia (DAI) mengemukakan bahwa penambahan sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (h) tersebut sesuai dengan jenis objek
asuransi, dan terhadap evenemen apa asuransi diadakan.58 Disamping
syarat-syarat khusus tersebut, dalam polis harus dicantumkan pula
berbagai asuransi yang diadakan lebih dahulu, dengan ancaman batal
jika tidak dicantumkan.59 Selanjutnya, berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian, mengatur bahwa:60
Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata, kata.kata, atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai resiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung, atau mempersulit tertanggung mengurus haknya.
4. Klausula Polis
Dalam perjanjian asuransi sering dimuat janji-janji khusus yang
dirumuskan dengan tegas dalam polis, yang lazimnya disebut klausula
asuransi. Maksud klausula tersebut adalah untuk mengetahui batas
tanggung jawab penanggung dalam pembayaran ganti kerugian. Jenis-
jenis klausula asuransi itu ditentukan oleh sifat objek asuransi, bahaya
yang mengancam dalam setiap asuransi. Klausula-klausula tersebut
antara lain sebagai berikut:61
58 Ibid., hlm. 130. 59 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 58-59. 60 Lihat Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. 61 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 65-68.
37
a) Klausula premier risqie adalah klausula yang menentukan bahwa
apabila pada asuransi dibawah nilai benda terjadi kerugian
sebagian (partial loss), penanggung akan membayar ganti
kerugian seluruhnya sampai maksimum jumlah yang
diasuransikan (Pasal 253 ayat (3) KUHD);
b) Klausula all risk adalah klausula yang menentukan bahwa
penanggung memikul segala risiko atas benda yang
diasuransikan, kecuali kerugian yang timbul karena kesalahan
tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) dan karena cacat bawaan
dari benda yang diasuransikan (Pasal 249 KUHD);
c) Klausula sudah diketahui (all seen) adalah klausula yang
menentukan bahwa penanggung sudah mengetahui betul
keadaan, konstruksi, letak, dan cara pemakaian bangunan yang
diasuransikan. Dengan demikian, klausula ini menghilangkan
tuduhan bahwa tertanggung telah menyembunyikan hal-hal
tertentu atas objek yang diasuransikan (Pasal 251 KUHD);
d) Klausula pelepasan hak/renunsiasi (renunciation) adalah
klausula yang menentukan bahwa penanggung tidak akan
menggugat tertanggung dengan alasan Pasal 251 KUHD. Oleh
sebab itu, apabila timbul kerugian bagi tertanggung akibat
evenemen, maka penanggung tidak akan mengajukan alasan
Pasal 251 KUHD dan akan tetap membayar ganti kerugian
kepada tertanggung. Akan tetapi, jika diperkarakan ke
38
pengadilan dan hakim menentukan bahwa Pasal 251 KUHD
berlaku terhadap kasus tersebut, maka walaupun asuransi
berklausula renunsiasi, penggugat tidak berkewajiban menggati
kerugian.
e) Klausula free from particular average (FPA) adalah klausula yang
menentukan bahwa penanggung dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti kerugian yang timbul akibat peristiwa khusus di
laut (particular average) seperti yang ditentukan dalam Pasal 709
KUHD. Kebalikan dari klausula ini adalah with particular average
yang berarti penanggung wajib mengganti kerugian yang timbul
akibat peristiwa khusus di laut.
Selain klausula yang dikumukakan oleh Abdulkadir Muhammad,
masih ada klausula lain, antara lain sebagai berikut:62
a) Klausula total loss only (TLO) adalah klausula yang menentukan
bahwa penanggung hanya menanggung kerugian yang
merupakan kerugian keseluruhan/total atas benda yang
diasuransikan;
b) Klausula riot (kerusahan), strike (pemogokan) & civil commotion
(huru-hara) atau yang biasa disingkat klausula RSCC adalah
klausula yang menentukan bahwa apabila pada asuransi terjadi
keadaan yang menimbulkan suasana gangguan ketertiban dan
62 Anonim, Bab II Tinjauan Pustaka, http://digilib.unila.ac.id/4441/12/BAB%20II.pdf,
(diakses pada 7 Oktober 2017).
39
keamanan masyarakat dengan kegaduhan dan menggunakan
kekerasan serta rentetan pengrusakan sejumlah besar harta
benda;
c) Klausula bank (banker’s clause) adalah klausula yang muncul
sebagai akibat adanya hubungan utang piutang antara debitur
dan kreditor di mana objek pertanggungan adalah menjadi
jaminan bank; sehingga klausula ini bukan merupakan standar
yang umumnya tercantum dalam polis;
d) Klausula eksonerasi adalah klausul yang dicantumkan dalam
suatu perjanjian, dimana satu pihak menghindarkan diri untuk
memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau
terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan
melanggar hukum.
D. Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster)
1. Pengertian dan Dasar Hukum Penilai Kerugian Asuransi
Penilai kerugian asuransi (loss adjuster) merupakan salah satu usaha
yang ada di industri perasuransian. Usaha penilai kerugian asuransi
adalah usaha jasa penilaian klaim dan/atau jasa konsultasi atas objek
asuransi.63 Dalam pelaksanaannya, usaha penilai kerugian asuransi
dilakukan oleh perusahaan penilai kerugian asuransi, yang pada
63 Lihat Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang
Perasuransian.
40
dasarnya merupakan salah satu perusahaan penunjang asuransi.
Adapun dasar hukum yang mengatur mengenai penilai kerugian
asuransi antara lain sebagai berikut:
a) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian;
b) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah
diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 dan
diubah lagi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008
kemudian diubah lagi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 81
Tahun 2008;
c) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2012 Tentang
Tata Kelola Perusahaan yang Baik Bagi Perusahaan
Perasuransian;
d) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 68/POJK.05/2016
Tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Pialang
Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan
Penilai Kerugian Asuransi;
e) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016
Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi dan
Perusahaan Reasuransi Syariah;
f) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 70/POJK.05/2016
Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pialang Asuransi,
41
Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai
Kerugian Asuransi; dan
g) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016
Tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik Bagi Perusahaan
Perasuransian.
2. Kedudukan dan Fungsi Penilai Kerugian Asuransi
Penilai kerugian asuransi berkedudukan sebagai pihak ketiga yang
memberikan jasanya kepada pihak penanggung atas permintaan
penanggung dalam rangka penanggung memenuhi kewajibannya
kepada pemegang polis atau tertanggung. Adapun fungsi penilai
kerugian asuransi bagi penanggung adalah sebagai berikut:64
a) Fungsi teknis:
1) Melakukan investigasi mengenai sebab-sebab suatu kejadian
yang menimbulkan tuntutan ganti rugi;
2) Melakukan pemeriksaan apakah persyaratan/ketentuan polis
telah dipenuhi;
3) Melakukan pemeriksaan awal dan interview atas sifat dan
besarnya kerugian yang mungkin dituntut oleh Tertanggung;
4) Membuat laporan awal atas sifat dan besarnya kerugian serta
kemungkinan tanggung jawab polis;
5) Membuat Laporan penilaian kerugian disertai dengan
rekomendasi.
64 Lilik Fadhilah, Loc. Cit.
42
b) Fungsi tata kelola yang baik meliputi transparansi, akuntabilitas,
keseimbangan hak dan kewajiban, independence (kemandirian)
dan responsibility. Fungsi ini melekat pada proses pelayanan
kepada pemegang polis atau tertanggung melalui proses yang
cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil.
3. Tugas dan Kewenangan Penilai Kerugian Asuransi
Dalam praktiknya, penilai kerugian asuransi biasanya ditugaskan
setelah adanya klaim dari tertanggung. Penilai kerugian asuransilah
yang menilai apakah suatu klaim berhak untuk diberi ganti rugi dan
berapa besar ganti rugi yang harus diberikan.65 Dalam menangani
sebuah klaim yang diajukan oleh penanggung, penilai kerugian asuransi
(loss adjuster) akan melaksanakan tugas hingga menghasilkan sebuah
laporan yang akan menjadi dasar perusahaan asuransi membayarkan
ganti rugi kepada tertanggung.66 Adapun tugas penilai kerugian asuransi
(loss adjuster) antara lain sebagai berikut:67
a) Mengkoordinasikan pengumpulan data dan informasi untuk
menilai ganti rugi asuransi;
b) Mengevaluasi rancangan laporan penilaian ganti rugi asuransi;
dan
65 Anna Muli Ludy, dkk., “Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Penilai Kerugian
Asuransi dalam Industri Asuransi Di Indonesia”, Diponegoro Law Journal Volume 5 Nomor 3 Tahun 2016, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 6.
66 Ibid., hlm. 7. 67 Lihat Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 70/POJK.05/2016 Tentang
Penyelenggaraan Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi.
43
c) Memverifikasi laporan penilaian ganti rugi.
Adapun wewenang penilai kerugian asuransi antara lain sebagai
berikut:68
a) menyimpulkan tanggung jawab polis asuransi atas kerugian
asuransi;
b) menyimpulkan nilai ganti rugi asuransi;
c) menandatangani laporan penilaian ganti rugi asuransi;
d) memberikan saran dalam melakukan manajemen terhadap risiko
objek asuransi; dan
e) memberikan saran kepada pemegang polis, tertanggung, atau
peserta mengenai langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk
meminimalisasi kerugian.
68 Lihat Pasal 23 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 70/POJK.05/2016 Tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi.
44
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah tipe
penelitian yuridis empiris, yaitu tipe penelitian yang dilakukan dengan cara
memadukan bahan-bahan hukum yang merupakan data sekunder dengan
data primer yang diperoleh dilapangan yang terkait dengan permasalahan
yang diteliti.
B. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data sesuai dengan tujuan dilakukannya penelitian,
maka penelitian dilakukan di kota Makassar. Lokasi ini dipilih karena kota
Makassar merupakan salah satu kota besar yang ada di Indonesia
sehingga terdapat beberapa perusahaan asuransi yang telah beroperasi
dan telah menggunakan jasa penilai kerugian asuransi (loss adjuster)
dalam menangani klaim. Selain itu, di kota Makassar juga telah terdapat
Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen yang
berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga jasa
keuangan.
45
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah beberapa perusahaan asuransi
yang bergerak dalam bidang asuransi kerugian dan beberapa pejabat
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku lembaga pengawas pada sektor
jasa keuangan serta pihak tertanggung.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Adapun metode penentuan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan teknik purposive sampling, yaitu penarikan
sampel secara sengaja yang dilakukan untuk mencapai tujuan
penelitian. Adapun sampel penelitian adalah sebagai berikut:
a) Perusahaan Asuransi sebanyak 3 (tiga) perusahaan, yaitu PT.
Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967, PT. Asuransi Sinar Mas
dan PT. Asuransi Adira Dinamika;
b) Pejabat Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 6 Makassar
sebanyak 2 (dua) orang, yaitu Kepala Bagian Pengawasan
Industri Keuangan Non Bank (IKNB) dan Staf Edukasi dan
Perlindungan Konsumen.
Selain itu, penulis juga memasukkan surat permohonan penelitian pada
PT. Asuransi Artarindo, PT. MNC Insurance dan PT. Asuransi Jasa
Indonesia. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada tindak lanjut
mengenai keputusan surat permohonan yang telah diajukan tersebut.
46
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1) Data Primer
Data primer yaitu data empiris yang diperoleh secara langsung dari
tempat yang dijadikan lokasi penelitian. Dalam penggunaan data
primer, pengumpulan data melalui field research terutama dengan
menggunakan metode wawancara secara langsung dengan pihak-
pihak yang berkompeten dan terkait dengan objek penelitian.
2) Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang didapatkan dengan mengkaji buku-
buku, hasil-hasil penelitian, peraturan perundang-undangan,
putusan-putusan pengadilan serta sumber tertulis lainnya yang
terkait dengan objek penelitian. Adapun peraturan perundang-
undangan yang digunakan antara lain sebagai berikut:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
c) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan;
d) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 68/POJK.05/2016
Tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Pialang
Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan
Penilai Kerugian Asuransi;
47
e) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016
Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi dan
Perusahaan Reasuransi Syariah;
f) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 70/POJK.05/2016
Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pialang Asuransi,
Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai
Kerugian Asuransi;
g) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016
Tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik Bagi Perusahaan
Perasuransian.
E. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, penulis menggunakan
teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1) Teknik Wawancara
Teknik wawancara yaitu teknik pengumpulan data secara langsung
melalui tanya jawab dengan pihak-pihak yang terkait permasalahan
yang diteliti. Adapun pihak-pihak tersebut antara lain Kepala Seksi
Klaim PT. Asuransi Umum Bumiputer Muda 1967 Cabang Makassar,
Staf PT. Asuransi Sinar Mas Cabang Makassar, Staf PT. Asuransi
Adira Dinamika Cabang Makassar, Kepala Bagian Pengawasan
IKNB Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 6 Makassar, dan Staf
48
Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan
Kantor Regional 6 Makassar.
2) Teknik kepustakaan
Teknik kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data dengan cara
melakukan pengkajian dan mengolah data yang terkait dalam,
peraturan perundang-undangan, jurnal, dan kajian-kajian ilmiah
serta buku-buku yang berkaitan dengan latar belakang
permasalahan, termasuk mengumpulkan data melalui media
elektronik dan media-media informasi lainnya.
F. Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis deskriptif kualitatif, yaitu menganalisis data dari studi lapangan dan
kepustakaan dengan cara menjelaskan dan memaparkan hasil yang akan
disusun secara logis. Selanjutnya, dari pengumpulan data dan hasil
penelitian yang telah dianalisis dan dibahas, disusun dalam suatu laporan
hasil penelitian mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Tertanggung
Atas Penggunaan Jasa Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster) yang
Tidak Diperjanjikan dalam Polis.
49
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Tertanggung Atas
Penggunaan Jasa Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster) yang
Tidak Diperjanjikan dalam Polis
1. Penggunaan Jasa Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster)
Kehadiran penilai kerugian asuransi (loss adjuster) pada hakikatnya
untuk menerapkan prinsip indemnitas atau yang lebih dikenal dengan
prinsip keseimbangan dalam hukum asuransi. Prinsip indemnitas
merupakan prinsip yang berkenaan dengan pembayaran ganti rugi,
dimana hal itu diatur dalam Pasal 252 dan Pasal 253 KUHD. Dalam
pasal tersebut, ditentukan bahwa:
Pasal 252 Kecuali dalam hal yang diuraikan oleh ketentuan undang-undang, tidak boleh diadakan pertanggungan kedua untuk waktu yang sama, dan untuk bahaya sang [sic] sama atas barang-barang yang telah dipertanggungkan untuk nilainya secara penuh, dengan ancaman kebatalan terhadap pertanggungan yang kedua.
Pasal 253 Pertanggungan yang melampaui jumlah harganya atau kepentingan yang sesungguhnya, hanyalah berlaku sampai jumlah nilainya. Bila nilai barang itu tidak dipertanggungkan sepenuhnya, maka penanggung, dalam hal kerugian, hanya terikat menurut perimbangan antara bagian yang dipertanggungkan dan bagi- yang tidak dipertanggungkan. Akan tetapi bagi pihak yang berjanji bebas untuk mempersyaratkan dengan tegas, bahwa tanpa mengingat kelebihan nilai barang yang dipertanggungkan, kerugian yang diderita oleh barang itu akan diganti sampai jumlah penuh yang dipertanggungkan.
50
Kedua pasal tersebut pada dasarnya memberikan konsekuensi bahwa
pihak tertanggung tidak diperkenankan untuk memperoleh keuntungan
atas perjanjian asuransi yang telah diadakan. Oleh sebab itu, dalam
praktiknya, perusahaan asuransi selaku penanggung biasanya
menggunakan jasa penilai kerugian asuransi (loss adjuster) untuk
menangani klaim yang diajukan oleh tertanggung.
Menurut Frans Lamury, penggunaan jasa penilai kerugian asuransi
(loss adjuster) tidak diharuskan dalam perjanjian asuransi. Jika
diperjanjikan dalam perjanjiannya, maka penilai kerugian asuransi (loss
adjuster) mutlak untuk digunakan jasanya. Akan tetapi, jika tidak ada
klausula demikian, maka perusahaan asuransi akan melihat apakah
akan menggunakan jasa penilai atau tidak.69
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, beberapa perusahaan
asuransi tidak mencantumkan klausula penggunaan jasa penilai
kerugian asuransi (loss adjuster) dalam polisnya. Perusahaan tersebut
antara lain PT. Asuransi Sinar Mas dan PT. Asuransi Umum Bumiputera
Muda 1967. Hal tersebut diketahui berdasarkan hasil wawancara yang
telah dilakukan dengan Kepala Seksi Klaim PT. Asuransi Umum
Bumiputera Muda 1967 pada tanggal 14 Februari 2018 serta pada saat
PT. Asuransi Sinar Mas menolak surat permohonan penelitian yang
telah dikirimkan pada tanggal 20 Februari 2018.
69 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 402/Pdt.G/2007//PN.Jkt.Pst. hlm.
25.
51
Tidak dituangkannya klausula penggunaan jasa penilai kerugian
asuransi (loss adjuster) dalam polis bukan berarti memberikan
konsekuensi bahwa penggunaan jasa penilai kerugian asuransi (loss
adjuster) menjadi ilegal. Penggunaan jasa penilai kerugian asuransi
(loss adjuster) dalam menangani sebuah klaim mendapatkan
legalitasnya melalui Pasal 37 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Dalam pasal tersebut,
diatur bahwa perusahaan asuransi atau unit syariah dapat menunjuk
perusahaan penilai kerugian asuransi (loss adjuster) untuk melakukan
penilaian terhadap klaim yang diajukan. Selanjutnya, dalam Pasal 39
ayat (1) peraturan yang sama, diatur bahwa dalam hal perusahaan
asuransi menggunakan jasa penilai kerugian asuransi (loss adjuster),
perusahaan asuransi hanya dapat menunjuk perusahaan penilai
kerugian asuransi (loss adjuster) yang telah mendapat izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berikut ini dipaparkan perusahaan
penilai kerugian asuransi (loss adjuster) yang telah mendapat izin usaha
dari OJK melalui tabel 1. berikut ini.
52
Tabel 1.
Daftar Perusaahaan Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster)
Per 31 Desember 2017
No. Nama Perusahaan Nomor Izin Usaha
1. PT Ardilla Solorina KEP-447/KM.5/2004
2. PT Atlas Adjusting Indonesia KEP-61/NB.1/2016
3. PT Axis International Indonesia KEP-2565/MD//1986
4. PT Bahtera Arthaguna Parama KEP-4586/M/1988
5. PT Bahtera Arung Persada KEP-
064/KMK.017/1997
6. PT Cunningham Lindsey Indonesia KEP-136/KM.13/1989
7. PT Dharma Nilaitama KEP-2413/MD/1987
8. PT General Adjuster Indonesia KEP-115/KM.12/2006
9. PT Global Internusa Adjusting KEP-915/KM.10/2011
10. PT Japenansi Nusantara KEP-272/KM.13/1991
11. PT Kuadra Inti Adjuster KEP-498/NB.1/2015
12. PT Mandiri Nilai Tama KEP-513/NB.1/2015
13. PT Mclarens Indonesia KEP-014/KM.13/1991
14. PT MCO Prima Indonesia KEP-637/KM.10/2012
15. PT Multi Pilar Jasa Pirsa Nusa KEP-084/KM.6/2002
16. PT Nippon Kaiji Kentei Kyokai
Indonesia
KEP-
877/KMK.017/1993
17. PT Pandu Halim Perkasa KEP-068/KM.17/2000
53
18. PT Pramayasa Vaisha Adjuster KEP-127/KM.10/2009
19. PT Prima Adjusterindo Mandiri KEP-093/KM.6/2004
20. PT Radita Hutama Internusa KEP-4871/09-01/PK/86
21. PT Royal Conocean International
Adjustment KEP-245/MD/1987
22. PT Sapalans Makarti KEP-244/MD/1987
23. PT Sapta Pirsa Mandiri KEP-123/KM.13/1990
24. PT Satria Dharma Pusaka Crawford
THG KEP-609/KM.13/1991
25. PT Sthira Budi Madhyasta KEP-144/KM.6/2004
26. PT Universal Nilaitama KEP-158/D.05/2013
27. PT Utama Nilai Sentosa KEP-181/KM.10/2008
Sumber: Website Resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kepala Bagian Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kantor Regional 6 Makassar
menjelaskan bahwa tidak semua perusahaan asuransi menggunakan
jasa penilai kerugian asuransi (loss adjuster) pada saat menangani
klaim. Secara umum, pertimbangan menggunakan jasa penilai kerugian
asuransi (loss adjuster) oleh perusahaan asuransi antara lain:70
a) Resources perusahaan asuransi yang tidak ada untuk objek-
objek tertentu seperti asuransi Industrial All Risk (IAR) yang
membutuhkan ahli-ahli penilai kerugian asuransi;
70 Wawancara melalui WhatsApp dengan Bapak Bondan Kusuma selaku Kepala Bagian
Pengawasan IKNB Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 6 Makassar pada tanggal 1 Februari 2018.
54
b) Biaya yang lebih efisien ketika menunjuk penilai kerugian
asuransi (loss adjuster) daripada meng-hire SDM permanen
pada devisi klaim; dan
c) Hasil laporan lebih reputable dan acceptable bagi tertanggung
dan perusahaan reasuransi dalam hal risikonya ditranfer ke
perusahaan asuransi terutama reasuransi luar negeri.
Sejalan dengan yang dijelaskan oleh Kepala Bagian Pengawasan
IKNB OJK Kantor Regional 6 Makassar, Kepala Seksi Klaim PT.
Asuransi Bumiputera Muda 1967 juga menjelaskan bahwa tidak semua
klaim menggunakan jasa penilai. Jasa penilai kerugian asuransi (loss
adjuster) hanya digunakan untuk menangani klaim yang rumit atau
kompleks. Beliau memberikan contoh bahwa pada waktu dirinya masih
di Kantor Cabang PT. Bumiputera Muda 1967 Kupang, ada klaim
ekskavator. Perusahaan pada awalnya hanya ingin melakukan
pengelasan, akan tetapi dikarenakan berbagai hal, perusahaan akhirnya
memutuskan untuk menggunakan jasa penilai kerugian asuransi (loss
adjuster). Pada akhirnya, penilai kerugian asuransi (loss adjuster)
memberikan penilaian bahwa ekskavator dapat hanya dilakukan
pengelasan saja, tetapi ada kemungkinan bahwa ekskavator akan
mengalami kerusakan kembali, sehingga lebih baik untuk mengganti
dengan unit yang baru. Selain itu, beliau juga menjelaskan bahwa
mengingat biaya yang dikeluarkan untuk membayar penilai kerugian
asuransi (loss adjuster) cukup besar, maka jasa penilai kerugian
55
asuransi (loss adjuster) hanya digunakan untuk klaim yang besar pula,
yaitu klaim yang berkisar diatas Rp100.000.000,00.71
Dalam hal penunjukan perusahaan penilai kerugian asuransi (loss
adjuster), berdasarkan Pasal 39 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah mengatur bahwa
penunjukan perusahaan penilai kerugian asuransi (loss adjuster) wajib
dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja sama antara perusahaan
asuransi. Selanjutnya, dalam Pasal 39 ayat (3) dalam peraturan yang
sama, perjanjian kerja sama tersebut wajib paling sedikit memuat:
a) Hak dan kewajiban perusahaan penilai kerugian asuransi dan
perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, atau unit
syariah pada perusahaan asuransi;
b) Jangka waktu pembayaran imbalan jasa penilaian kerugian
dan/atau imbalan jasa konsultasi terkait dengan kerugian yang
terjadi atas objek asuransi; dan
c) Ketentuan yang menyatakan bahwa setiap pelaksanaan penilaian
kerugian atas objek asuransi oleh perusahaan penilai kerugian
asuransi harus didasari penugasan tertulis atau surat perintah
71 Wawancara langsung dengan Bapak Reza Anggriyanto selaku Kepala Seksi Klaim
PT. Asuransi Bumiputera Muda 1967 pada tanggal 14 Februari 2018.
56
kerja dari perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah atau
unit syariah pada perusahaan asuransi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Klaim PT.
Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967, penunjukan perusahaan
penilai kerugian asuransi (loss adjuster) merupakan hak dari
perusahaan, dan biasanya penunjukan tersebut dilakukan oleh kantor
pusat. Hal itu dikarenakan kantor cabang hanya dapat menangani klaim
yang terbilang rendah. Sebagai contoh, beliau memberikan penjelasan
bahwa misalnya untuk Asuransi Kendaraan Bermotor, kantor cabang
hanya dapat menangani klaim dengan limit Rp10.000.000,00.72
Sejalan dengan prosedur klaim yang ada pada PT. Asuransi Umum
Bumiputera Muda 1967, pada PT. Asuransi Jasa Indonesia juga
menerapkan prosedur klaim yang secara substansial sama, dimana
kewenangan penunjukan perusahaan penilai kerugian asuransi (loss
adjuster) juga merupakan hak dari kantor pusat.73
Selain itu, PT. Asuransi Adira Dinamika juga menerapkan prosedur
klaim yang secara substansial sama, dimana kewenangan penunjukan
perusahaan penilai kerugian asuransi (loss adjuster) juga merupakan
hak dari kantor pusat. Kantor cabang hanya berwenang untuk
menangani dokumen klaim kemudian meneruskan ke kantor pusat, dan
72 Wawancara langsung dengan Bapak Reza Anggriyanto selaku Kepala Seksi Klaim
PT. Asuransi Bumiputera Muda 1967 pada tanggal 14 Februari 2018. 73 Faris Danar Saputro, 2008, “Tanggung Jawab Hukum PT. Asuransi Jasa Indonesia
Dalam Penyelesaian Klaim Asuransi Pengangkutan Barang di Laut (Studi Kasus di PT. Asuransi Jasa Indonesia Cabang Surakarta)”, Skripsi, Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm.75.
57
kantor pusat yang akan mengambil keputusan mengenai langkah
selanjutnya dari klaim tersebut. Hal itu disampaikan oleh salah satu Staf
PT. Asuransi Adira Dinamika pada tanggal 19 Februari 2018, yaitu pada
saat menolak permohonan penelitian yang telah diajukan sebelumnya.
Berkaitan dengan pemilihan perusahaan penilai kerugian asuransi
(loss adjuster) yang akan menangani klaim, perusahaan asuransi
biasaya memiliki beberapa kriteria sebagai standar minimal, antara lain
sebagai berikut:74
a) Kelengkapan izin perusahaan penilai kerugian asuransi
tersebut;
b) Integritas, kapabilitas, pengalaman, dan reputasi dari
perusahaan penilai kerugian asuransi;
c) Menyesuaikan keahlian khusus yang dimiliki penilai kerugian
asuransi dengan klaim yang akan ditangani;
d) Memiliki hubungan baik dengan perusahaan asuransi;
e) Faktor lain terkait bisnis asuransi.
2. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Tertanggung atas
Penggunaan Jasa Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster)
Perlindungan hukum menurut Lili Rasjidi dan I B Wysa Putra adalah
suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai
dengan aturan hukum dalam rangka menegakkan peraturan hukum.
Hakikatnya, setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum,
74 Anna Muli Ludy, dkk., Loc. Cit.
58
dan hampir seluruh hubungan hukum harus mendapatkan perlindungan
dari hukum.75 Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
perlindungan hukum bersifat preventif dan perlindungan hukum bersifat
represif. Perlindungan hukum bersifat preventif adalah perlindungan
hukum yang diberikan oleh pemerintah melalui peraturan perundang-
undangan dengan maksud untuk mencegah terjadinya suatu
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan
dalam melakukan suatu kewajiban, sedangkan perlindungan hukum
bersifat represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti
denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila telah
terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.76
Perlindungan hukum terhadap tertanggung khususnya perlindungan
atas penggunaan jasa penilai kerugian asuransi telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (untuk selanjutnya UU OJK),
telah mengamanatkan bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen
sektor jasa keuangan termasuk tertanggung dilakukan oleh lembaga
independen yang bebas dari campur tangan pihak lain, yang dinamakan
OJK. Dalam Pasal 6 UU OJK, OJK memiliki tugas pengaturan dan
pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan,
75 Sri Wahyuni S., 2016, “Perlindungan Hukum Internet Service Provider Terhadap
Penyalahgunaan Sistem Secure Socket Shell oleh Pengguna Layanan Jasa Telekomunikasi”, Skripsi, Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, hlm. 16.
76 Ibid., hlm. 17.
59
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan
lembaga jasa keuangan lainnya.
Sebagai lembaga yang bertugas untuk melakukan pengaturan dan
pengawasan terhadap kegiatan sektor jasa keuangan termasuk
perasuransian, OJK memiliki kewenangan sebagaimana yang termuat
dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UU OJK, yang menentukan bahwa:
Pasal 8 Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini; b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan; c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK; d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa
keuangan; e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK; f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah
tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu; g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola
statuter pada Lembaga Jasa Keuangan; h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta
mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Pasal 9 Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap
kegiatan jasa keuangan; b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan
oleh Kepala Eksekutif; c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan,
perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
60
d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
e. melakukan penunjukan pengelola statuter; f. menetapkan penggunaan pengelola statuter; g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang
melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h. memberikan dan/atau mencabut: 1. izin usaha; 2. izin orang perseorangan; 3. efektifnya pernyataan pendaftaran; 4. surat tanda terdaftar; 5. persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6. pengesahan; 7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8. penetapan lain,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Dalam pasal tersebut, dapat dilihat bahwa salah satu kewenangan
OJK adalah untuk membuat peraturan. Berkaitan dengan perlindungan
konsumen sektor jasa keuangan secara umum, OJK mengaturnya
melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013
Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Berkaitan
dengan perlindungan hukum terhadap tertanggung atas penggunaan
jasa penilai kerugian asuransi (loss adjuster) secara khusus, ada
beberapa peraturan OJK yang telah memberikan perlindungan hukum
tersebut. Adapun bentuk perlindungan hukum yang diberikan melalui
beberapa peraturan OJK disajikan dalam tabel 2. berikut ini.
61
Tabel 2.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Tertanggung Atas Penggunaan Jasa Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster) Berdasarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
No. Jenis Perlindungan
Hukum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
1.
Perlindungan dari
penunjukan perusahaan
penilai kerugian asuransi
yang bodong atau palsu.
Pasal 39 POJK No. 69/POJK.05/2016, dimana dalam melakukan penunjukan, perusahaan asuransi wajib
hanya menunjuk perusahaan penilai kerugian asuransi yang telah mendapat izin dari OJK.
2.
Perlindungan atas
penggunaan jasa penilai
kerugian asuransi (loss
adjuster) yang tidak
berkompeten di
bidangnya.
Pasal 14 POJK No. 68/POJK.05/2016, dimana anggota direksi perusahaan penilai kerugian asuransi wajib
memiliki sertifikat ahli penilai kerugian asuransi dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat dibawah
kualifiikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang perasuransian.
Pasal 14 POJK No. 70/POJK.05/2016, dimana perusahaan penilai kerugian asuransi berkewajiban memiliki
tenaga ahli.
Pasal 38 POJK No. 68/POJK.05/2016, dimana perusahaan penilai kerugian asuransi berkewajiban untuk
mempekerjakan 1 (satu) orang tenaga ahli perusahaan secara penuh waktu. Tenaga ahli tersebut harus
memenuhi persyaratan:
a) memiliki sertifikat ahli penilai kerugian asuransi dengan kualifikasi tertinggi dari Lembaga Sertifikasi
Profesi di bidang perasuransian;
b) memiliki pengalaman kerja dibidang penilai kerugian paling singkat 3 (tiga) tahun;
c) menjadi anggota asosiasi profesi.
62
3. Perlindungan atas
proses penilaian klaim.
Pasal 45 POJK No. 68/POJK.05/2016, dimana perusahaan penilai kerugian asuransi wajib menjadi anggota
salah satu asosiasi yang sesuai dengan jenis usahanya.
Pasal 21 ayat (2) POJK No. 70/POJK.05/2016, dimana dalam menjalankan tugasnya, tenaga ahli harus
berpedoman pada kode etik dan standar perilaku yang disusun oleh asosiasi.
Pasal 71 POJK No. 73/POJK.05/2016, dimana perusahaan penilai kerugian asuransi wajib melindungi hak
dan kepentingan tertanggung yang berhak memperoleh manfaat dengan cara bertindak dengan integritas,
kompetensi serta utmost good faith.
4. Perlindungan atas hasil
penilaian klaim
Pasal 44 POJK No. 70/POJK.05/2016, dimana dalam kontrak penunjukan perusahaan penilai kerugian
asuransi, perusahaan asuransi dilarang memuat klausula yang membatasi perusahaan penilai kerugian
asuransi menolak untuk memberikan laporan hasil akhir penilaian kerugian asuransi kepada tertanggung.
Jika tidak memenuhi ketentuan ini, maka OJK dapat memberikan sanksi sesuai dengan yang diatur dalam
Pasal 63.
Pasal 43 POJK No. 70/POJK.05/2016, dimana perusahaan penilai kerugian asuransi wajib menyampaikan
laporan hasil penilaian kerugian asuransi kepada tertanggung apabila terdapat permintaan tertanggung
dalam hal:
a) klaim ditolak;
b) tidak terdapat kesepakatan mengenai jumlah kerugian.
Sumber: Data Sekunder, Diolah 2018.
63
Dalam hal bentuk perlindungan hukum sebagaimana yang termuat
pada poin 2, pada dasarnya telah diterapkan. Hal itu dikarenakan pada
poin 2, aturan tersebut juga merupakan syarat agar perusahaan penilai
kerugian asuransi (loss adjuster) dapat memperoleh izin dari OJK.
Adapun sertifikat profesi bagi penilai kerugian asuransi (loss adjuster)
adalah Indonesian Certified Adjuster Practitioner (ICAP). Kegunaan
sertifikat tersebut antara lain sebagai berikut:77
a) Pengakuan kompetensinya secara nasional dan internasional;
b) Peningkatan pengetahuan dan sikap dalam mengelola bisnis;
c) Sarana untuk meningkatkan jenjang karier dan memacu diri agar
lebih profesional dan mencapai hasil pekerjaan yang berkualitas
dan dapat dipertanggungjawabkan;
d) Peningkatan berkomunikasi dengan rekan seprofesi; dan
e) Peningkatan performance sehingga mampu berkompetensi
secara global.
Dalam hal bentuk perlindungan hukum sebagaimana yang termuat
pada poin 3, juga telah diterapkan. Adapun asosiasi yang menaungi
penilai kerugian asuransi (loss adjuster) secara nasional yaitu Asosiasi
Penilai Kerugian Asuransi (APKAI), dan secara internasional APKAI
telah diakui sebagai International Federation of Adjusting Association
(IFAA) atau Federasi Asosiasi Adjuster Internasional.
77 Anonim, Perasuransian, http://aca.co.id/cmsprd/uploads/3%20Perasuransian%20-
Universitas%201503419184.pdf, (diakses pada 4 Maret 2018).
64
Berkenaan dengan bentuk perlindungan hukum sebagaimana yang
termuat pada poin 4, Kepala Seksi Klaim PT. Asuransi Umum
Bumiputera Muda 1967 menjelaskan bahwa dalam hal ada keberatan
dari tertanggung berkenaan dengan nominal ganti rugi yang akan
diberikan oleh perusahaan asuransi, perusahaan asuransi biasanya
menunjukkan hasil penilaian penilai kerugian asuransi (loss adjuster)
kepada tertanggung untuk mencapai kesepakatan mengenai nominal
ganti rugi.78 Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa bentuk
perlindungan hukum pada poin 4 juga telah diterapkan. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa tertanggung telah memperoleh
perlindungan hukum atas penggunaaan jasa penilai kerugian asuransi
(loss adjuster).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Pengawasan IKNB
OJK Kantor Regional 6, belum ada pengaduan konsumen khususnya
tertanggung terkait dengan penilai kerugian asuransi (loss adjuster)
melalui OJK. Selain itu, menurut Kepala Seksi Klaim PT. Asuransi
Umum Bumiputera Muda 1967, tertanggung justru keberatan jika tidak
menggunakan jasa penilai kerugian asuransi (loss adjuster). Walaupun
demikian, jika mencermati beberapa kasus yang telah melalui proses
litigasi, ada beberapa kasus dimana tertanggung seringkali
mempermasalahkan mengenai penilai kerugian asuransi (loss adjuster).
78 Wawancara langsung dengan Bapak Reza Anggriyanto selaku Kepala Seksi Klaim
PT. Asuransi Bumiputera Muda 1967 pada tanggal 14 Februari 2018.
65
Berikut ini disajikan pandangan tertanggung mengenai penilai kerugian
asuransi (loss adjuster) saat terjadi sengketa dengan penanggung
berkenaan dengan masalah penolakan klaim melalui tabel 3. berikut ini.
Tabel 3.
Pandangan Tertanggung atas Penilai Kerugian Asuransi (Loss
Adjuster) Saat Terjadi Sengketa dengan Penanggung
No. Nama Tertanggung Pandangan Terhadap Penilai
Kerugian Asuransi (Loss Adjuster)
1. PT. Orchid Mas
Hasil penilaian loss asdjuster belum
menutupi seluruh kerugian bahkan jauh
dari total kerugian yang dialami.
2. Handoko Mintojo
Rahardjo
Penunjukan loss adjuster secara
sepihak, tidak melalui kesepakatan
bersama.
3. PT. Pupuk Subur
Makmur
Penunjukan loss adjuster yang berbau
keberpihakan karena perusahaan
asuransi dan loss adjuster merupakan
perusahaan yang terafiliasi sehingga
mengakibatkan terjadinya
keberpihakan, kongkalikong dan
hengkipengki dalam memberikan hasil
penilaian.
4. PT. Pelayaran
Manalagi
Hasil penilaian loss adjuster seharusnya
sudah merupakan bukti nyata terkait
dengan kerugian yang terjadi,
mengingat loss adjuster merupakan
suatu lembaga independen yang
reputasinya telah dikenal.
Sumber: Data Sekunder, Diolah 2018.
66
Berdasarkan tabel 3. tersebut, dapat dilihat bahwa tertanggung
masih memiliki ketidakpercayaan dengan penilai kerugian asuransi (loss
adjuster). Timbulnya ketidakpercayaan tersebut dikeranakan hasil
penilaian dari penilai kerugian asuransi (loss adjuster) yang tidak sesuai
dengan kehendak tertanggung. Menurut Kepala Bagian Pengawasan
IKNB serta Staf Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Kantor
Regional 6 Makassar, tertanggung maupun pemegang polis terkadang
tidak mengetahui dengan jelas isi polis serta cenderung menginginkan
keuntungan dari perjanjian asuransi yang telah diadakan, tanpa
menyadari bahwa ada asas indemnitas yang berlaku dalam perjanjian
asuransi.79
Berkenaan dengan penggunaan jasa penilai kerugian asuransi (loss
adjuster), Kepala Bagian Pengawasan IKNB OJK Kantor Regional 6
Makassar menghimbau kepada tertangggung agar tidak perlu khawatir
jika penilai kerugian asuransi (loss adjuster) dipergunakan jasanya,
mengingat penilai kerugian asuransi (loss adjuster) yang sifatnya
independen serta senantiasa berada dalam pengawasan OJK. Akan
tetapi, jika tertanggung masih meragukan independensi dari penilai
kerugian asuransi (loss adjuster), tertanggung dapat mengadukan hal
tersebut kepada OJK dengan menyertakan bukti-bukti, sehingga OJK
dapat menjatuhkan sanksi kepada penilai kerugian asuransi (loss
79 Wawancara langsung dengan Bapak Bondan Kusuma selaku Kepala Bagian
Pengawasan IKNB dan Bapak Aryo selaku Staf Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 6 Makassar tanggal 5 Februari 2018.
67
adjuster) jika terbukti bersalah sesuai dengan kewenangan yang dimiliki
oleh OJK sebagaimana yang termuat dalam Pasal 9 UU OJK .
B. Tanggung Jawab Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster)
Penanganan klaim rupanya belum memuaskan sebagian pemegang
polis. Hal ini tercermin dari jumlah kasus yang ditangani Badan Mediasi
Asuransi Indonesia (BMAI). Selama sepuluh tahun sejak 2006 hingga 2016,
jumlah pengaduan yang diterima BMAI mencapai 577 kasus. Dari jumlah
tersebut, porsi kasus yang masuk ranah asuransi jiwa dan asuransi umum
hampir seimbang. Pengaduan paling banyak menyangkut soal penanganan
klaim, terutama asuransi umum. Misalnya, soal penolakan klaim asuransi
kendaraan bermotor. Pengaduan mengenai asuransi juga masuk ke OJK.
Berdasarkan data dari OJK, pengaduan yang masuk ke OJK sebanyak
3.700 pengaduan, dan 24% diantaranya terkait masalah asuransi.80 Adapun
data lengkap pengaduan konsumen melalui OJK Kantor Regional 6
Makassar disajikan dalam tabel 4. berikut ini.
80 Kontan, Soal Klaim Didominasi Pengaduan Asuransi, http://keuangan.kontan.co.id
/news/soal-klaim-dominasi-pengaduan-asuransi, (diakes pada 4 Maret 2018).
68
Tabel 4.
Data Pengaduan Konsumen Lembaga Jasa Keuangan Melalui
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kantor Regional 6 Makassar Tahun
2014-2017
No. Kategori Pelaku Usaha
Jasa Kuangan
Tahun
2014 2015 2016 2017
1. Perbankan 67 363 408 482
2. Asuransi 23 44 96 47
3. Lembaga Pembiayaan 6 70 142 162
4. Pasar Modal - 3 12 6
5. Dana Pensiun - 1 - 3
6. Pegadaian - - 1 12
7. Non-LJK 50 50 49 60
Jumlah 96 531 708 772
Sumber: Data Primer, Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 6 Makassar
Berdasarkan tabel 4. tersebut, untuk keseluruhan pengaduan
konsumen, sektor asuransi berada pada urutan ketiga. Untuk pengaduan
konsumen IKNB, sektor asuransi berada pada urutan kedua. Menurut salah
satu Staf Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Makassar, masalah
klaim merupakan pengaduan konsumen yang sering terjadi pada sektor
asuransi.81
Jika dilihat dari aspek hukum perjanjian, permasalahan klaim identik
dengan wanprestasi. Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak
terlaksananya prestasi atau lalai dalam melaksanakan kewajiban
81 Wawancara langsung dengan Bapak Aryo selaku Staf Edukasi dan Perlindungan
Konsumen Otoritas Jasa Keuangan Kantor Regional 6 Makassar tanggal 5 Februari 2018.
69
sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian. Dalam perjanjian
asuransi, wanprestasi yang dilakukan oleh penanggung adalah tidak
memberikan ganti rugi atas klaim yang diajukan oleh tertanggung. Berkaitan
dengan hal tersebut, Frans Lamury berpendapat bahwa ada beberapa hal
yang menyebabkan penanggung tidak memberikan ganti rugi kepada
tertanggung, antara lain tertanggung tidak melaksanakan kewajiban
membayar premi, ataupun tertanggung tidak mematuhi ketentuan dan
syarat polis asuransi.82
Selain kedua hal yang dikemukakan Frans Lamury, pada dasarnya
masih ada hal lain yang menyebabkan penanggung menolak klaim yang
diajukan oleh tertanggung. Hal lain tersebut yaitu hasil penilaian dari penilai
kerugian asuransi (loss adjuster). Melihat beberapa kasus wanprestasi
yang terjadi antara perusahaan asuransi dengan tertanggung, seperti kasus
antara PT. Sinar Mas Cabang Batam melawan PT. Orchid Mas83, kasus PT.
Asuransi Adira Dinamika melawan Samrida84 serta kasus PT. MNC
Insurance melawan PT. Bhinneka Sangkuriang Transport dan PT. Maya
Graha Indah85, serta kasus-kasus lainnya, hasil penilaian dari penilai
kerugian asuransi (loss adjuster) senantiasa menjadi dasar pertimbangan
penanggung dalam memberikan ganti rugi kepada tertanggung, sehingga
nilai ganti rugi juga selalu menjadi permasalahan bagi tertanggung.
82 Frans Lamury, Op. Cit, hlm. 7 83 Putusan Mahkamah Agung Nomor 1169 K/Pdt/2009. 84 Putusan Mahkamah Agung Nomor 1040/K/Pdt/2014. 85 Putusan Mahkamah Agung Nomor 2959/K/Pdt/2015.
70
Hasil penilaian dari penilai kerugian asuransi (loss adjuster) dalam
kegiatan perasuransian pada dasarnya sangat berperan penting,
mengingat kedudukan, tugas serta kewenangannya. Selain itu,
berdasarkan Pasal 37 ayat (3) Peraturan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan
Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah menentukan bahwa
dalam hal perusahaan atau unit syariah menggunakan perusahaan penilai
kerugian asuransi untuk melakukan penilaian terhadap klaim yang diajukan,
perusahaan atau unit syariah dilarang mengabaikan hasil penilaian
kerugian tanpa didasari argumen yang kuat. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa jika perusahaan asuransi mempergunakan jasa penilai
kerugian asuransi (loss adjuster), maka secara otomatis perusahaan
asuransi terikat untuk selalu mempertimbangkan hasil penilaian dari penilai
kerugian asuransi (loss adjuster) dalam pengambilan keputusan mengenai
klaim tertanggung.
Berdasarkan hasil penelitian, PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda
1967 telah menerapkan aturan tersebut. Menurut Kepala Seksi Klaim PT.
Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967, dalam hal perusahaan
menggunakan jasa penilai kerugian asuransi (loss adjuster), perusahaan
selalu mengikuti hasil penilaian dari penilai kerugian asuransi (loss
adjuster), termasuk nominal ganti rugi yang harus dibayar kepada
71
tertanggung.86 Untuk lebih memberikan gambaran mengenai keterikatan
perusahaan asuransi terhadap hasil penilaian dari penilai kerugian asuransi
(loss adjuster) dalam pengambilan keputusan mengenai tindak lanjut atas
klaim tertanggung, berikut ini disajikan skema mengenai hal tersebut,
melalui skema 1. berikut ini.
Skema 1.
Keterikatan Perusahaan Asuransi atas Hasil Penilaian Dari Penilai
Kerugian Asuransi (Loss Adjuster)
86 Wawancara langsung dengan Bapak Reza Anggriyanto selaku Kepala Seksi Klaim
PT. Asuransi Bumiputera Muda 1967 pada tanggal 14 Februari 2018.
72
Berdasarkan skema 1. tersebut, dapat dilihat bahwa pada saat
tertanggung mengajukan klaim atas kerugian yang ditimbulkan akibat
evenemen yang terjadi dengan dasar perjanjian asuransi, maka disaat yang
bersamaan pula perusahaan asuransi atas dasar perjanjian kerja sama
yang telah diadakan sebelumnya dengan perusaahaan penilai kerugian
asuransi dapat menugaskan perusahaan penilai kerugian asuransi untuk
menangani klaim yang diajukan oleh tertanggung. Penugasan tersebut
pada akhirnya bermuara pada hasil penilaian yang dikeluarkan oleh penilai
kerugian asuransi (loss adjuster). Hasil penilaian tersebut akan menjadi
dasar pertimbangan perusahaan asuransi dalam mengambil keputusan
berkenaan dengan klaim tertanggung, yaitu diterima atau ditolak. Jika
keputusannya adalah diterima, biasanya nominal ganti rugi yang akan
dibayarkan kepada tertanggung hanya akan berdasar pada hasil penilaian
dari penilai kerugian asuransi (loss adjuster).
Terikatnya perusahaan asuransi terhadap hasil penilaian dari penilai
kerugian asuransi (loss adjuster) dalam pengambilan keputusan mengenai
tindak lanjut atas klaim tertanggung memberikan kesimpulan bahwa penilai
kerugian asuransi (loss adjuster) juga memiliki tanggung jawab berkenaan
dengan klaim yang diajukan oleh tertanggung. Dalam Pasal 22 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 70/POJK.05/2016 Tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan
Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, diatur
73
mengenai tanggung jawab penilai kerugian asuransi (loss adjuster) yang
menentukan bahwa:
Tenaga Ahli pada Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib bertanggung jawab dalam: a. memastikan kejelasan, kelengkapan dan keakuratan laporan
penilaian ganti rugi berdasarkan data dan informasi yang sudah diperoleh; dan
b. memastikan laporan penilaian ganti rugi asuransi disusun berdasarkan pedoman profesi yang berlaku.
Berdasarkan pasal tersebut diatas, dapat dilihat bahwa penilai kerugian
asuransi (loss adjuster) bertangggung jawab atas penilaiannya, mulai dari
proses penilaian sampai menghasilkan hasil penilaian yang sesuai dengan
pedoman profesi yang berlaku secara umum. Oleh sebab itu, penilai
kerugian asuransi (loss adjuster) seyogyanya dituntut untuk teliti dan penuh
kehati-hatian dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya agar tidak
menimbulkan kerugian bagi tertanggung, mengingat hasil penilaiannya
menentukan keputusan mengenai tindak lanjut atas klaim tertanggung,
yaitu diterima atau ditolak oleh perusahaan asuransi.
Oleh sebab hasil penilaian dari penilai kerugian asuransi (loss adjuster)
menentukan keputusan mengenai tindak lanjut atas klaim tertanggung,
maka jika terjadi kesalahan atas hasil penilaiannya, dan menimbulkan
kerugian terhadap tertanggung, baik dalam hal klaim tertanggung ditolak
maupun klaim tertanggung diterima tetapi nominal ganti rugi tidak sesuai
dengan asas indemnitas, maka penilai kerugian asuransi (loss adjuster)
memiliki tanggung jawab atas kerugian tersebut. Dalam beberapa
peraturan yang khusus mengatur mengenai asuransi, tidak ada satupun
74
aturan yang mengatur mengenai tanggung jawab penilai kerugian asuransi
(loss adjuster) jika terjadi kesalahan berkenaan dengan hasil penilainnya.
Akan tetapi, secara umum, lingkup tanggung jawab ganti kerugian
terbagi atas dua tuntutan, yaitu tuntutan ganti kerugian atas dasar
wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan
hukum. Jika tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka
terlebih dahulu ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan
kerugian dengan pihak yang menderita kerugian. Lain halnya dengan
tuntutan ganti kerugian atas dasar wanprestasi, tuntutan ganti kerugian atas
dasar perbuatan melawan hukum87 tidak perlu didahului dengan hubungan
kontraktual.88
Sebelum mengetahui tuntutan ganti kerugian yang tepat bagi penilai
kerugian asuransi (loss adjuster) atas kesalahan yang terjadi dalam hasil
penilaianya, harus diketahui terlebih dahulu mengenai hubungan hukum
antara tertanggung dengan penilai kerugian asuransi (loss adjuster).
Berkenaan dengan hubungan hukum tersebut, pada skema 1. telah sangat
jelas memberikan gambaran bahwa hubungan hukum antara penilai
kerugian asuransi (loss adjuster) dengan tertanggung merupakan
hubungan hukum tidak langsung, dimana tidak ada perjanjian yang
mengikat secara langsung. Berkenaan dengan tanggung jawab penilai
87 Dalam literatur, perbuatan melawan hukum juga biasa disebut perbuatan melanggar
hukum. Penggunaan kata perbuatan melanggar hukum dapat ditemukan dalam buku yang ditulis oleh Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen.
88Suharnoko, 2014, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Cetakan Ke-8, Kencana, Jakarta, hlm. 117-118.
75
kerugian asuransi (loss adjuster) atas kerugian yang dialami tertanggung
yang ditimbulkan akibat hasil penilaiannya, maka tuntutan ganti kerugian
yang tepat adalah tuntutan ganti kerugian yang berdasar pada perbuatan
melawan hukum.
Dalam KUH-Perdata, perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal
1365, 1366 dan 1367. Dalam pasal-pasal tersebut, diatur bahwa:
Pasal 1365 Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Pasal 1366 Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebahkan [sic] kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Pasal 1367 Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Berdasarkan ketiga pasal tersebut, dapat dilihat bahwa model tanggung
jawab dari perbuatan melawan hukum yang diatur bebeda satu sama lain.
Dalam Pasal 1365 mengatur perbuatan melawan hukum dengan unsur
kesalahan, baik kesengajaan maupun kelalaian. Dalam Pasal 1366
mengatur perbuatan melawan hukum dengan unsur kelalaian, sedangkan
Pasal 1367 mengatur tangggung jawab atas kerugian yang disebabkan
oleh orang atau benda yang berada dibawah pengawasannya.
Untuk dapat menuntut ganti kerugian kepada penilai kerugian asuransi
(loss adjuster), maka kerugian yang ditimbulkan tersebut harus merupakan
76
akibat perbuatan melawan hukum. Adapun unsur-unsur perbuatan
melawan hukum antara lain sebagai berikut: 89
1) Ada perbuatan melawan hukum;
2) Ada kerugian;
3) Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum dengan
kerugian; dan
4) Ada kesalahan.
Berkenaan dengan unsur ada perbuatan melawan hukum tidak hanya
diartikan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang, tetapi dapat pula
berupa:90
1) Melanggar hak orang lain;
2) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat;
3) Berlawanan dengan kesusilaan baik; dan
4) Berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan
dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.
Berkenaan dengan unsur kesalahan, harus terlebih dahulu memenuhi
unsur kesengajaan atau kelalaian, dan tidak ada alasan pembenar atau
alasan pemaaf seperti keadaan memaksa (overmacht), membela diri, tidak
waras, dan lain-lain.91 Unsur kesengajaan dan unsur kelalaian merupakan
dua hal yang berbeda, dimana pada unsur kesengajaan terdapat kesadaran
89 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan
Ke-6, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 130. 90 Ibid. 91 Munir Fuady, 2017, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Cetakan
Ke-5, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 12.
77
dalam melakukan kesalahan, sedangkan pada unsur kelalaian tidak
terdapat kesadaran. Oleh sebab itu, unsur kesengajaan memiliki derajat
kesalahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan unsur kelalaian. Adapun
elemen-elemen yang harus dipenuhi agar dapat memenuhi unsur
kesengajaan maupun kelalaian antara lain sebagai berikut:
1) Unsur kesalahan:
Adanya kesadaran, adanya konsekuensi dari perbuatan, serta
kesadaran untuk melakukan bukan hanya untuk menimbulkan
konsekuensi, melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan
tindakan tersebut “pasti” dapat menimbulkan konsekuensi
tersebut.92
2) Unsur kelalaian:
Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang
semestinya dilakukan, adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty
of care), tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut, adanya
kerugian bagi orang lain, serta adanya hubungan sebab akibat
antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian
yang timbul.93
Sampai saat ini, belum ada kasus dimana penilai kerugian asuransi
(loss adjuster) melakukan kesalahan atas hasil penilaian dengan unsur
kesengajaan. Akan tetapi, kesalahan atas hasil penilaian dengan unsur
92 Ibid., hlm. 47. 93 Ibid., hlm. 73.
78
kelalaian pernah terjadi pada kasus PT AMR. PT AMR tidak mendapatkan
ganti rugi yang sesuai dengan kerugian yang benar-benar dialaminya
disebabkan oleh kesalahan loss adjuster sebagai pihak yang telah keliru
dalam memberikan rekomendasi nilai ganti kerugian kepada para
penanggung.94
Berkenaan dengan kelalaian, masih memungkinkan penilai kerugian
asuransi (loss adjuster) melakukan kelalaian dikarenakan tindakan dari
tertanggung yang turut andil sehingga menimbulkan kerugian. Pada kasus
PT. Cahaya Sakti melawan PT. Staco Jasapratama dan PT. Tugu Pratama
Indonesia95, dimana PT. Cahaya Sakti tidak mendapat ganti rugi
dikarenakan penilai kerugian asuransi (loss adjuster) tidak memberikan
hasil penilaian. Penilai kerugian asuransi (loss adjuster) tidak serta merta
dianggap melakukan kelalaian, dikarenakan PT. Cahaya Sakti sendiri yang
tidak memberikan dokemen-dokumen yang dibutuhkan selama proses
penilaian.
Dalam ilmu hukum, dikenal 3 doktrin mengenai kelalaian, antara lain
sebagai berikut:96
1) Kelalaian kontributif (contributory negligence);97
94 Junita Tio Gloria, Pertanggungjawaban Hukum Penilai Kerugian Asuransi (Loss
Adjuster) Terhadap Perhitungan Jumlah Ganti Kerugian yang Harus Dibayarakan Terhadap Tertanggung Sebagaimana Diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, http://repository.unpad.ac.id/16755/1/110110090306_a_5587.pdf, (diakses pada 22 Februari 2018).
95 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 402/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pst. 96 Munir Fuady, Perbuatan Melawan…, Op. Cit., hlm. 79. 97 Pihak korban dapat memperoleh ganti rugi hanya jika korban sama sekali tidak ikut
lalai yang berarti tidak ikut berkontribusi terhadap kerugian yang ada.
79
2) Kelalaian komparatif (comparative negligence);98 dan
3) Kesempatan terakhir (last clear chance)99.
Berkenaan dengan kelalaian penilai kerugian asuransi (loss adjuster),
yang diterapkan adalah doktrin kelalaian kontributif. Hal itu dikarenakan
dalam melakukan proses penilaian sampai menghasilkan hasil penilaian,
tertanggung memiliki kewajiban untuk menyerahkan dokumen-dokumen100
pendukung klaim, yang pada dasarnya dibutuhkan dalam melakukan
penilaian oleh penilai kerugian asuransi (loss adjuster).
Untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan oleh
perusahaan penilai kerugian asuransi (loss adjuster) atas kesalahan dalam
penilaiannya, tertanggung dapat pula mengajukan tuntutan kepada
perusahaan asuransi. Tuntutan tersebut dimungkinkan dikarenakan
perusahaan penilai kerugian asuransi (loss adjuster) merupakan pihak
ketiga dalam perjanjian asuransi yang bekerja untuk kepentingan
perusahaan asuransi, dan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 29
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 Tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan menentukan bahwa
pelaku usaha jasa keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian
konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/kelalaian pengurus, pegawai
98 Pihak korban dapat memperoleh ganti rugi hanya sebatas kerugian yang ditimbulkan
oleh pelaku. 99 Pihak korban tidak dapat memperoleh ganti rugi jika sebelum timbulnya kerugian ada
kesempatan untuk menghindari perbuatan melawan hukum namun tidak ada upaya yang dilakukan.
100 Dokumen yang dimaksud adalah dokumen-dokumen yang diminta oleh pihak penanggung, seperti laporan penyebab kerugian, foto-foto kerusakan, serta dokumen-dokumen lain yang relevan, yang wajar dan pantas dimintai oleh penanggung.
80
pelaku usaha jasa keuangan, dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk
kepentingan pelaku usaha jasa keuangan. Oleh sebab itu, perusahaan
asuransi juga dapat dimintai pertanggungjawaban jika terjadi kesalahan
penilaian yang dilakukan oleh penilai kerugian asuransi (loss adjuster).
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perlindungan hukum terhadap tertanggung atas penggunaan jasa
penilai kerugian asuransi (loss adjuster) secara yuridis formal telah
sangat kuat dan mampu melindungi tertanggung. Adapun bentuk
perlindungan hukum tersebut termuat dan tersebar dalam beberapa
peraturan otoritas jasa keuangan selaku lembaga yang mengatur
dan mengawasi sektor jasa keuangan.
2. Penilai kerugian asuransi (loss adjuster) bertanggung jawab atas
hasil penilaiannya, mulai dari proses penilaian sampai menghasilkan
hasil penilaian yang sesuai dengan pedoman profesi yang berlaku
secara umum. Oleh sebab itu, jika terjadi kesalahan dalam hasil
penilaiannya sehingga menyebabkan tertanggung menderita
kerugian (dalam hal ini klaim ditolak maupun diterima tetapi tidak
sesuai dengan asas indemnitas), maka penilai kerugian asuransi
(loss adjuster) juga bertanggung jawab atas kerugian tersebut
sehingga dapat dituntut atas dasar perbuatan melawan hukum.
Khusus untuk perbuatan melawan hukum dengan unsur kelalaian,
penilai kerugian asuransi (loss adjuster) hanya bertanggung jawab
jika pihak tertanggung juga tidak lalai dalam memberikan dokumen-
dokumen yang dibutuhkan penilai kerugian asuransi (loss adjuster).
82
B. Saran
1. Perusahaan asuransi sebaiknya memperjanjikan penggunaan jasa
penilai kerugian asuransi (loss adjuster) secara lebih jelas dalam
polis yang diterbitkan serta sebaiknya penunjukan perusahaan
penilai yang berdasar pada kesepakatan bersama agar dikemudian
hari tidak timbul sengketa yang mempersoalkan nilai ganti rugi
dikarenakan telah ada klausula penunjukan penilai kerugian
asuransi (loss adjuster) untuk melakukan penilaian.
2. Tertanggung sebaiknya tidak perlu khawatir jika perusahaan
asuransi mempergunakan jasa penilai kerugian asuransi (loss
adjuster) dalam menangai klaim dikarenakan penilai kerugian
asuransi (loss adjuster) bersifat independen dan tidak berafiliasi
dengan perusahaan asuransi. Selain itu, tertanggung juga
diharapkan dengan segera memenuhi dokumen-dokumen yang
diminta oleh perusahaan asuransi agar penilai kerugian asuransi
(loss adjuster) dapat melakukan penilaian dengan cepat dan benar
sehingga proses klaim dapat diselesaikan dengan cepat pula.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdulkadir Muhammad. 1999. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Agus Yudha Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial. Jakarta: Kencana.
Ahmadi Miru dan Sakka Pati. 2008. Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW. Jakarta: Rajawali Pers.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Rajawali Pers.
Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan. 2016. Pokok-Pokok Hukum Asuransi. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. 1978. Simposium Tentang Hukum Asuransi. Bandung: Binacipta.
Chairul Huda dan Lukman Hakim. 2006. Tindak Pidana dalam Bisnis Asuransi. Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia.
Panggabean, H. P. 2012. Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) dalam Perjanjian Kredit Perbankan. Bandung: Alumni.
Purwosutjipto, H.M.N. 1984. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 7. Jakarta: Djambatan.
Iting Partadireja. 1978. Pengetahuan dan Hukum Dagang. Jakarta: Erlangga.
Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang. 1993. Hukum Asuransi: Perlindungan Tertanggung Asuransi Deposito Usaha Perasuransian. Bandung: Alumni.
Man Suparman Sastrawidjaja. 2003. Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga. Bandung: Alumni.
Mariam Darus Badrulzaman. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Bandung: Alumni.
Munir Fuady. 2014. Konsep Hukum Perdata. Jakarta: Rajawali Pers.
__________. 2017. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Siahaan, N. H. T. 2005. Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab Produk. Jakarta: Panta Rei.
Soerjatin, R. 1976. Hukum Dagang I dan II. Jakarta: Pradnya Paramita.
Suharnoko. 2014. Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana.
Penelitian Ilmiah:
Anna Muli Ludy, dkk. 2016. “Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Penilai Kerugian Asuransi dalam Industri Asuransi Di Indonesia”. Diponegoro Law Journal Volume 5 Nomor 3 Tahun 2016. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Faris Danar Saputro. 2008. “Tanggung Jawab Hukum PT. Asuransi Jasa Indonesia Dalam Penyelesaian Klaim Asuransi Pengangkutan Barang di Laut (Studi Kasus di PT. Asuransi Jasa Indonesia Cabang Surakarta)”. Skripsi. Sarjana Hukum. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Frans Lamury. 2014. “Timbulnya Sengketa Asuransi”. Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter Volume 6 Nomor 2 Juni 2014. Jakarta: Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
Sri Wahyuni S. 2016 “Perlindungan Hukum Internet Service Provider Terhadap Penyalahgunaan Sistem Secure Socket Shell oleh Pengguna Layanan Jasa Telekomunikasi”. Skripsi. Sarjana Hukum. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar.
Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 68/POJK.05/2016 Tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 70/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 Tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian.
Putusan Pengadilan:
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 402/Pdt.G/2007//PN.Jkt.Pst Tentang Kasus Wanprestasi antara PT. Cahaya Sakti Melawan PT. Staco Jasapratama dan PT. Tugu Pratama Indonesia.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1169 K/Pdt/2009 Tentang Kasus Wanprestari antara PT. Asuransi Sinar Mas Cabang Batam Melawan PT. Orchid Mas.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1935 K/Pdt/2012 Tentang Kasus Wanprestasi antara PT. Asuransi Harta Aman Pratama, Tbk. Melawan PT. Pelayaran Manalagi.
Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 772/Pdt.G/2014/PN.SBY Tentang Permohonan Pembatalan Putusan Majelis Arbitrase Ad Hoc Nomor 014/ARB-ADHOC/GRSJ-JSDO/II/2014 oleh Handoko Mintojo
Rahardjo Terhadap PT. Asuransi Jasa Indonesia Pusat Cq. Asuransi Jasa Indonesia Cabang Surabaya.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1040/K/Pdt/2014 Tentang Kasus Wanprestasi antara Samrida Melawan PT. Asuransi Adira Dinamika.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2959/K/Pdt/2015 Tentang Kasus Wanprestasi antara PT. MNC Asuransi Indonesia Melawan PT. Bhinneka Sangkuriang Transport dan PT. Maya Graha Indah.
Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 273/PDT/2017/PT.MDN Tentang Kasus Wanprestasi antara PT. Pupuk Subur Makmur Melawan PT. Asuransi Wahana Tata Cabang Medan, PT. Satria Dharma Pusaka Crawford THG dan PT. Bank Mandiri Cabang Medan.
Internet:
Anonim, Bab II Tinjauan Pustaka, http://digilib.unila.ac.id/4441/12/BAB %20II.pdf, (diakses pada 7 Oktober 2017).
Anonim, Perasuransian, http://aca.co.id/cmsprd/uploads/3% 20Perasuransian%20-Universitas%201503419184.pdf, (diakses pada 4 Maret 2018).
Junita Tio Gloria, Pertanggungjawaban Hukum Penilai Kerugian Asuransi (Loss Adjuster) Terhadap Perhitungan Jumlah Ganti Kerugian yang Harus Dibayarakan Terhadap Tertanggung Sebagaimana Diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, http://repository.unpad.ac.id/16755/1/110110090306_a_5587.pdf, (diakses pada 22 Februari 2018).
Kontan, Soal Klaim Didominasi Pengaduan Asuransi, http://keuangan.kontan.co.id/news /soal-klaim-dominasi-pengaduan-asuransi, (diakes pada 4 Maret 2018).
Lilik Fadhilah. Peran Dan Fungsi Penilai Kerugian (Loss Adjuster) Dalam Penyelesaian Klaim Asuransi Kerugian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian (Studi Kasus Pada Pt Pramayasa Vaisha Adjuster). http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php ?mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=html&id=108413&ftyp=potongan&potongan=S1-2017-282811-conclusion.pdf&. (diakses pada 5 Oktober 2017).
top related