skripsi - muhammad lutfi f24104121 · basah yang dapat diaplikasikan pada industri kecil serta...
Post on 18-Mar-2019
234 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SKRIPSI
MEMPELAJARI TEKNOLOGI PENGOLAHAN MANISAN SEMI
BASAH BUAH TROPIS
Oleh :
MUHAMMAD LUTFI
F24104121
2010
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Mempelajari Teknologi Pengolahan Manisan Semi Basah Buah Tropis
Nama : Muhammad Lutfi NIM : F24104121
Menyetujui :
Dosen Pembimbing Akademik,
Dr.Ir. Slamet Budijanto, M.Agr
(NIP : 19610502.198603.001)
Mengetahui :
Ketua Departemen ITP,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc
(NIP : 19650814.199002.001)
Tanggal lulus : 21 Juni 2010
Muhammad Lutfi F24104121. Mempelajari Teknologi Pengolahan Manisan Semi Basah Buah Tropis. Dibawah bimbingan Slamet Budijanto (2010).
RINGKASAN
Kerusakan bahan pangan terutama produk hortikultura seperti buah dan sayur di Indonesia terbilang tinggi. Kurang lebih 20 – 40 % buah-buahan mengalami kerusakan setelah panen. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan teknologi yang tepat dalam hal pemanenan dan penanganan pasca-panen agar kehilangan (loss) dapat ditekan serendah mungkin. Salah satu usaha pengawetan buah adalah dengan pengolahan menjadi produk yang memiliki kadar air rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan aplikasi panas (pengeringan), penambahan gula, atau gabungan keduanya. Salah satu pengolahan buah yang banyak dilakukan adalah pembuatan manisan. Pada penelitian ini dicoba pembuatan manisan semi basah dari buah belimbing manis, nanas, dan pepaya. Tujuan pembuatan manisan semi basah adalah memformulasi teknologi proses pengolahan manisan semi basah yang dapat diaplikasikan pada industri kecil serta dapat mengurangi kehilangan (loss) buah-buahan pasca-panen. Penelitian ini terdiri atas tiga tahap penelitian. Tahap pertama meliputi penentuan ketebalan potongan buah terbaik, penentuan konsentrasi dan waktu perendaman dalam larutan kapur, penentuan waktu blansir, dan penentuan kombinasi larutan gula. Seleksi penilaian pada tahap pertama dilakukan oleh 5 orang panelis terbatas. Tahap kedua adalah pengamatan terhadap pengaruh metode pengeringan. Perlakuan yang dilakukan dalam tahap ini adalah jenis, suhu, dan waktu pengeringan. Jenis pengeringan yang dilakukan adalah pengeringan kabinet dengan suhu 50 0C selama 4 jam (a1) dan 6 jam (a2); 60 0C selama 4 jam (b1) dan 6 jam (b2); dan penjemuran dibawah sinar matahari langsung selama 2 hari penjemuran (12 – 15 jam) (c). Seleksi pemilihan sampel paling optimal dilakukan dengan melakukan uji organoleptik oleh 30 orang panelis dengan parameter uji warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan. Produk yang terpilih sebagai yang paling baik kemudian digunakan dalam tahap berikutnya. Tahap ketiga adalah penggunaan bahan dusting untuk menutupi sisa-sisa larutan gula. Perlakuan yang dilakukan adalah jenis bahan dusting yang digunakan. Bahan dusting yang digunakan dalam percobaan adalah campuran tepung gula dan tepung kanji (1 : 1) (A), glukosa kristal (B), dan dekstrin kristal (C). Seleksi pemilihan sampel paling optimal dilakukan dengan melakukan uji organoleptik oleh 30 orang panelis dengan parameter uji warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan. Produk terpilih dari uji organoleptik ini kemudian diuji mutu kimia, fisik, dan mikrobiologinya.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah produk manisan yang memiliki karakteristik yang baik. Formula produk manisan belimbing yang paling disukai adalah formulasi A (ukuran 3 cm x 0,5 cm sejajar sirip buah, perendaman larutan CaCl2 500 ppm dan Na-metabisulfat 150 ppm 30 menit, blansir 85 0C 2 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, larutan gula batu 70 0brix 12 jam, proses pengeringan kabinet 50 0C 4 jam, dan bahan dusting campuran tepung gula dan tepung kanji). Formula produk manisan nanas yang paling disukai adalah formulasi B (ukuran 3 cm x 0,5 cm
potongan sejajar, perendaman larutan CaCl2 500 ppm 30 menit, blansir 85 0C 1 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, larutan gula batu 70 0brix 12 jam, dan pengeringan suhu 60 0C selama 2 jam menggunakan pengering kabinet, dan bahan dusting glukosa kristal). Sedangkan formula produk manisan pepaya yang paling disukai adalah formulasi B (ukuran 3 cm x 0,5 cm, konsentrasi CaCl2 500 ppm 30 menit, blansir 85 0C 1 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, larutan gula batu 70 0brix 12 jam, pengeringan kabinet suhu 60 0C selama 2 jam, dan bahan dusting glukosa kristal).
Produk manisan semi basah yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki nilai mutu kimia, fisik, dan mikrobiologi yang cukup baik. Teknologi pembuatan manisan semi basah ini juga dapat diaplikasikan pada berbagai macam produk hortikultura dengan sedikit penyesuaian.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 13 Oktober 1986.
Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari
pasangan Djeni Hendra dan Nurhayati Syarif. Pendidikan
yang pernah diikuti oleh penulis adalah TK Insan Kamil,
SDN Empang III Bogor, SLTPN 4 Bogor, dan SMAN 4
Bogor. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan setelah
diterima di Insitut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu dan Teknologi
Pangan melalui jalur SPMB pada tahun 2004.
Semasa kuliah penulis aktif mengikuti kegiatan-kegiatan kemahasiswaan
diantaranya sebagai anggota panitia BAUR 2006, anggota divisi Logistik dan
Transportasi NSPC 2006, dan Kepala Divisi Logistik dan Transportasi NSPC
2007. Penulis juga pernah mengikuti Praktik Lapang di PT. Ciptayasa Putra
Mandiri pada tahun 2007.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga
penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Skripsi yang
berjudul “Teknologi Pembuatan Manisan Semi Basah Pepaya (Carica papaya),
Belimbing manis (Averrhoa carambola L.), dan Nanas (Ananas comosus (L)
merr)” ini merupakan laporan hasil penelitian yang penulis lakukan sebagai syarat
mendapatkan gelar sarjana di Instutut Pertanian Bogor.
Selama kegiatan penelitian maupun penulisan skripsi ini tentu tak lepas
dari bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu dan Bapak tercinta, adik dan kakakku atas do’a dan dukungannya.
2. Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr. sebagai dosen pembimbing
akademik atas segala kesabaran, dukungan, arahan, dan bimbingannya.
3. Bapak Dr.Ir.Yadi Haryadi, MSc dan Ibu Dr. Ir. Dede R. Adawiah, M.Si
atas kesediaannya menjadi dosen penguji dan bimbingannya kepada
penulis.
4. Teman seperjuangan satu bimbingan, Yuliana.
5. Mbak Febri, Mbak Iin, Mang Ujang, dan Mang Zaenal. Terimakasih atas
pinjaman ruang dan alat-alat di Technopark.
6. Teman-teman TPG 39, 40, 41, dan 42 yang tidak bisa disebutkan satu
persatu.
7. Semua teknisi dan laboran. Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Rojak, Teh Ida,
Bu Rubiyah. Terima kasih atas bantuannya.
8. Pak Aryo dan Pak Leman sebagai supplier pepaya IPB-9.
9. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian
maupun penulisan skripsi.
Dalam penulisan skripsi ini tak lepas dari kekurangan dan kesalahan dan
penulis mohon maaf. Penulis berharap semoga Skripsi ini dapat berguna bagi
semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Juni 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ...................................................................... 1
B. TUJUAN PENELITIAN ................................................................... 2
C. MANFAAT PENELITIAN ............................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PEPAYA ........................................................................................... 3
B. BELIMBING MANIS ....................................................................... 4
C. NANAS ............................................................................................. 6
D. TEKNOLOGI PENGOLAHAN MANISAN SEMI BASAH.......... 7
E. BAHAN TAMBAHAN PANGAN .................................................. 8
1. Kalsium Klorida (CaCl2) ............................................................... 8
2. Asam Sitrat .................................................................................... 9
3. Potasium Sorbat ............................................................................ 9
F. GULA ................................................................................................ 11
G. GLUKOSA KRISTAL ...................................................................... 12
H. DEKSTRIN ....................................................................................... 13
I. PENGERINGAN .............................................................................. 14
1. Teori Pengeringan ......................................................................... 14
2. Pengeringan Buah ......................................................................... 15
3. Metode Pengeringan...................................................................... 16
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT ....................................................................... 20
B. PEMBUATAN MANISAN SEMI BASAH ..................................... 20
Halaman
C. METODE PENELITIAN .................................................................. 23
1. Tahap Pertama ............................................................................. 23
2. Tahap Kedua ............................................................................... 25
3. Tahap Ketiga ............................................................................... 25
4. Analisis Produk Terpilih ............................................................ 26
E. METODE ANALISIS ....................................................................... 27
1. Kadar Air ..................................................................................... 27
2. Kadar Abu ................................................................................... 27
3. Kadar Protein .............................................................................. 27
4. Kadar Lemak ............................................................................... 28
5. Kadar Karbohidrat ....................................................................... 29
6. Rendemen .................................................................................... 29
7. Uji Keasaman (pH) ..................................................................... 29
8. Uji Kekerasan .............................................................................. 29
9. Uji Aktifitas Air (aw) ................................................................... 29
10. Uji Mikrobiologi ......................................................................... 30
11. Uji Organoleptik ......................................................................... 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. TAHAP PERTAMA ......................................................................... 32
1. Penentuan Ukuran Pemotongan .................................................. 32
2. Penentuan Konsentrasi dan Waktu Perendaman Larutan Kapur 33
3. Penentuan Suhu dan Waktu Blansir ............................................ 34
4. Penentuan kombinasi larutan gula .............................................. 35
B. TAHAP KEDUA .............................................................................. 37
1. Nilai Warna ................................................................................. 37
2. Nilai Aroma ................................................................................. 39
3. Nilai Tekstur ............................................................................... 40
4. Nilai Rasa .................................................................................... 42
5. Nilai Kerenyahan ........................................................................ 43
C. TAHAP KETIGA ............................................................................. 45
1. Nilai Warna ................................................................................. 46
Halaman
2. Nilai Aroma ................................................................................. 48
3. Nilai Tekstur ............................................................................... 50
4. Nilai Rasa .................................................................................... 51
5. Nilai Kerenyahan ........................................................................ 53
D. ANALISIS PRODUK TERPILIH .................................................... 55
1. Mutu Kimia Manisan Semi Basah .............................................. 55
2. Mutu Fisik Manisan Semi Basah ................................................ 60
3. Mutu Mikrobiologi Manisan Semi Basah ................................... 63
E. VERIFIKASI PROSES PEMBUATAN MANISAN SEMI BASAH .............................................................................................. 66
1. Pembuatan larutan kapur CaCl2 0,5 % ........................................ 66
2. Pembuatan larutan gula pasir 40 0brix ........................................ 66
3. Pembuatan larutan gula pasir 55 0brix ....................................... 66
4. Pembuatan larutan gula batu 70 0brix ........................................ 67
5. Pembuatan larutan gula batu 70 0brix ........................................ 67
6. Pembuatan manisan semi basah buah nanas ............................... 69
7. Pembuatan manisan semi basah buah pepaya ............................. 70
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN ................................................................................. 73
B. SARAN ............................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 75
LAMPIRAN .................................................................................................. 78
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia pepaya per 100 g .......................................... 4
Tabel 2. Komposisi kimia belimbing manis per 100 g .......................... 5
Tabel 3. Batas penggunaan potasium sorbat di Indonesia ..................... 11
Tabel 4. Data uji organoleptik terbatas penentuan ketebalan potongan ................................................................................... 32
Tabel 5. Data uji organoleptik terbatas penentuan konsentrasi dan lama perendaman dalam larutan kapur ............................. 34
Tabel 6. Data uji organoleptik terbatas penentuan suhu dan waktu blansir ............................................................................ 35
Tabel 7. Data uji organoleptik terbatas kombinasi larutan gula ............ 36 Tabel 8. Data produk terpilih dari penelitian tahap pertama ................ 36 Tabel 9. Komposisi kimia formula manisan semi basah hasil analisis proksimat (% bb) ........................................................ 56
Tabel 10. Aktivitas air (aw) minimum pertumbuhan mikroba pada bahan pangan ........................................................................... 62
Tabel 11. Hasil perhitungan koloni manisan semi basah dengan metode TPC ............................................................................. 63
Tabel 12. Standar mutu dehydrated fruit (SNI 01-3710-1990) ............... 65
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bagan alir pembuatan manisan buah semi basah ................... 22
Gambar 2. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan warna manisan .......................................... 38
Gambar 3. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan aroma manisan .......................................... 40
Gambar 4. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan tekstur manisan ......................................... 43
Gambar 5. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan rasa manisan ............................................. 43
Gambar 6. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan kerenyahan manisan ................................. 44
Gambar 7. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan warna manisan .......................................... 48
Gambar 8. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan aroma manisan .......................................... 49
Gambar 9. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan tekstur manisan ......................................... 51
Gambar 10. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan rasa manisan ............................................. 53
Gambar 11. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan kerenyahan manisan ................................. 54
Gambar 12. Bagan alir pembuatan manisan buah belimbing semi
basah ....................................................................................... 68
Gambar 13. Bagan alir pembuatan manisan buah nanas semi basah ......... 70
Gambar 14. Bagan alir pembuatan manisan buah pepaya semi basah ....... 71
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data jumlah produksi beberapa jenis buah di Indonesia ....... 78
Lampiran 2. Form quisioner uji organoleptik ............................................. 78
Lampiran 3. Sidik ragam uji hedonik warna belimbing manis tahap kedua ....................................................................................... 79
Lampiran 4. Sidik ragam uji hedonik warna nanas tahap kedua ................. 79
Lampiran 5. Sidik ragam uji hedonik warna pepaya tahap kedua .............. 80
Lampiran 6. Sidik ragam uji hedonik aroma belimbing manis tahap kedua ....................................................................................... 81
Lampiran 7. Sidik ragam uji hedonik aroma nanas tahap kedua ................ 81
Lampiran 8. Sidik ragam uji hedonik aroma pepaya tahap kedua .............. 82
Lampiran 9. Sidik ragam uji hedonik tekstur belimbing manis tahap kedua ....................................................................................... 83
Lampiran 10. Sidik ragam uji hedonik tekstur nanas tahap kedua ............... 83
Lampiran 11. Sidik ragam uji hedonik tekstur pepaya tahap kedua ............. 84
Lampiran 12. Sidik ragam uji hedonik rasa belimbing manis tahap kedua .. 85
Lampiran 13. Sidik ragam uji hedonik rasa nanas tahap kedua .................... 85
Lampiran 14. Sidik ragam uji hedonik rasa pepaya tahap kedua .................. 86
Lampiran 15. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan belimbing manis tahap
kedua ....................................................................................... 87
Lampiran 16. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan nanas tahap kedua ........ 87
Lampiran 17. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan pepaya tahap kedua ...... 88
Lampiran 18. Sidik ragam uji hedonik warna belimbing manis tahap ketiga ...................................................................................... 89
Lampiran 19. Sidik ragam uji hedonik warna nanas tahap ketiga ................ 89
Lampiran 20. Sidik ragam uji hedonik warna pepaya tahap ketiga .............. 90
Lampiran 21. Sidik ragam uji hedonik aroma belimbing manis tahap ketiga ...................................................................................... 91
Lampiran 22. Sidik ragam uji hedonik aroma nanas tahap ketiga ................ 91
Lampiran 23. Sidik ragam uji hedonik aroma pepaya tahap ketiga .............. 92
Halaman
Lampiran 24. Sidik ragam uji hedonik tekstur belimbing manis tahap ketiga ...................................................................................... 92
Lampiran 25. Sidik ragam uji hedonik tekstur nanas tahap ketiga ............... 93
Lampiran 26. Sidik ragam uji hedonik tekstur pepaya tahap ketiga ............. 94
Lampiran 27. Sidik ragam uji hedonik rasa belimbing manis tahap ketiga .. 94
Lampiran 28. Sidik ragam uji hedonik rasa nanas tahap ketiga .................... 95
Lampiran 29. Sidik ragam uji hedonik rasa pepaya tahap ketiga ................. 95
Lampiran 30. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan belimbing manis tahap ketiga ............................................................................. 96
Lampiran 31. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan nanas tahap ketiga ........ 97
Lampiran 32. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan pepaya tahap ketiga ..... 97
Lampiran 33. Data hasil pengujian sampel manisan semi basah menggunakan Texture Analizer ............................................. 98
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas hasil
pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Salah satu komoditas
hortikultura yang potensial adalah buah-buahan. Penanganan pra-panen
maupun pasca-panen menjadi hal penting dalam peningkatan produksi buah-
buahan. Kurang lebih 20 – 40 % buah-buahan mengalami kerusakan setelah
panen. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan teknologi yang tepat dalam hal
pemanenan dan penanganan pasca-panen agar kehilangan (loss) dapat ditekan
serendah mungkin.
Sifat mudah rusak pada buah-buahan disebabkan masih
berlangsungnya aktivitas pernapasan dan penguapan setelah panen. Proses
kerusakan semakin dipercepat dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan
biokimia akibat aktivitas enzim dan mikroba (Harris, 1989).
Beberapa jenis buah-buahan yang potensial tetapi mudah rusak adalah
pepaya, belimbing, dan nanas. Ketiga buah tersebut sangat potensial untuk
dikembangkan karena sangat digemari dan juga bernilai ekonomi tinggi.
Selain itu, ketiganya juga memiliki rasa yang enak dan aroma yang khas.
Buah-buahan ini adalah salah satu komoditas ekspor non migas yang
potensial (Sosrodihardjo, 1988). Hal ini dapat dilihat dari data Biro Pusat
Statistik pada Lampiran 1.
Kesegaran dan keawetan komoditas buah-buahan dapat dipertahankan
melalui beberapa metode, diantaranya dengan pemberian lapisan lilin, metode
CAS (Control Atmosphere Storage), dan metode MAP (Modified Atmosphere
Packaging). Meskipun dapat memperpanjang umur simpan, metode-metode
ini tetap mengalami kendala dalam aplikasinya, termasuk investasi yang
terlalu mahal.
Produk manisan buah semi basah merupakan salah satu teknologi
alternatif yang dinilai dapat dikembangkan untuk mengatasi hal tersebut.
Pengeringan buah dapat dilakukan dengan alat pengering dan sinar matahari.
Metode pengeringan dan alat pengering yang digunakan berbeda-beda untuk
setiap buah olahan kering yang dihasilkan. Hasil pengeringan ini mungkin
akan mengalami perubahan warna dan tekstur karena air yang terkandung
dalam buah akan berkurang. Berkurangnya kadar air buah inilah yang
menyebabkan produk akhir lebih tahan lama. Meskipun demikian, produk
akhir yang dihasilkan juga harus mempunyai warna, tekstur, dan penampilan
yang baik atau mendekati penampakan awalnya, serta tidak terkontaminasi
oleh kapang selama masa penyimpanan.
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan memformulasi teknologi proses pengolahan
manisan semi basah yang dapat diaplikasikan pada industri kecil serta dapat
mengurangi kehilangan (loss) buah pepaya, belimbing, dan nanas pasca-
panen.
C. MANFAAT PENELITIAN
Tersedianya teknologi pengolahan manisan buah semi basah yang
dapat diaplikasikan pada industri kecil.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PEPAYA
Pepaya (Carica papaya) adalah tanaman yang digolongkan ke dalam
Caricaceae. Tanaman pepaya bukan merupakan tanaman asli Indonesia
melainkan berasal dari Amerika Utara dan Amerika Selatan (Arriola et al.
1980). Berbagai sebutan pepaya di Indonesia dikenal seperti Gedang (Sunda,
Bali), Kates (Jawa, Madura, Sasak, Palembang), Kabula (Enggota), Pente
(Aceh), Betik (Karo), dan lain-lain (Rismunandar, 1980).
Pepaya mempunyai daerah penyebaran sangat luas yang meliputi
daerah tropik dan subtropik di seluruh dunia (Arriola et al. 1980). Tanaman
pepaya dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah hingga daerah dengan
ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Semakin tinggi tempat tumbuh
pohon pepaya, semakin berkurang rasa manis buahnya. Di Indonesia tanaman
pepaya dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah sampai daerah dengan
ketinggian 700 m di atas permukaan laut.
Kulit pepaya bertekstur halus, tipis, dan mudah rusak. Warna pepaya
berkisar antara oranye sampai merah bila matang. Secara tradisional, warna
pepaya digunakan sebagai parameter kematangan buah. Tingkat kematangan
buah pepaya ditunjukkan dengan munculnya warna kuning sampai oranye
pada kulit pepaya.
Pepaya merupakan buah segar dengan kandungan vitamin C tinggi.
Selain itu, buah pepaya juga mengandung vitamin A dan vitamin B kompleks
(Arriola et al. 1980). Buah pepaya matang memiliki nilai gizi lebih tinggi
dibandingkan dengan buah pepaya mentah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Selama proses pematangan, kandungan vitamin C buah pepaya
semakin meningkat. Hal ini merupakan pengecualian dari kebanyakan buah,
karena buah-buahan lain mengalami penurunan kadar vitamin C selama
pematangan. Selama pematangan, terjadi pula peningkatan persentase karoten
dan xantofil.
Tabel 1. Komposisi kimia pepaya per 100 g
Komponen Buah matang Buah mentah
Energi (kkal) 46 26
Air (g) 86.7 92.3
Protein (g) 6.5 2.1
Lemak (g) - 0.1
Karbohidrat (g) 12.2 4.9
Vitamin A (IU) 365 50
Vitamin B (mg) 0.04 0.02
Vitamin C (mg) 78 19
Kalsium (mg) 23 50
Besi (mg) 1.7 0.4
Fosfor (mg) 12 16
Sumber : Arriola et al. (1980)
Metabolisme dari polisakarida dalam dinding sel menyebabkan kadar
gula buah pepaya meningkat. Total gula yang terkandung dalam 100
grambuah pepaya matang adalah 9 gr. Total gula tersebut dinyatakan sebagai
glukosa (Arriola et al., 1980).
B. BELIMBING MANIS
Tanaman belimbing merupakan tanaman asli Indonesia dan Malaysia
yang menyebar ke Asia Tenggara. Tanaman ini terdiri dari dua jenis yaitu,
belimbing manis (Averrhoa carambola L.) dan belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi L.). meskipun dari keluarga yang sama, kedua jenis belimbing ini
tidak memiliki persamaan baik dari penampakan maupun rasa buahnya.
Belimbing manis memiliki bentuk yang unik dan menarik. Bentuknya seperti
bintang jika dilihat penampang melintangnya dengan ukuran hingga sebesar
gelas. Rasa manisnya bervariasi sesuai dengan jenis atau varietasnya. Semasa
muda buah berwarna hijau muda, dan berubah kuning sampai kemerahan
setelah tua.
Buah belimbing manis mempunyai kandungan vitamin dan air yang
tinggi. Belimbing manis bermanfaat sebagai obat, antara lain untuk
menyembuhkan sariawan, batuk rejan, sakit perut, demam dan menurunkan
tekanan darah tinggi. Selain teksturnya yang berserat halus menjadikan
belimbing berkhasiat untuk melancarkan pencernaan. Kandungan zat gizi
buah belimbing dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia belimbing manis per 100 g
Komponen Jumlah
Energi (kkal) 36
Air (g) 90
Protein (g) 0.4
Lemak (g) 0.4
Karbohidrat (g) 8.8
Vitamin A (IU) 170
Vitamin B1 (mg) 0.03
Vitamin C (mg) 35
Kalsium (mg) 4
Besi (mg) 1.1
Fosfor (mg) 12
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1990).
Ada 13 jenis belimbing unggul di Indonesia. Jenis belimbing unggul
biasanya dicirikan dengan produksi buah per pohon tinggi, ukuran buahnya
besar dengan warna menarik, mengandung banyak air, berserat halus, rasa
buahnya manis dan menyegarkan. Selain itu, tahan terhadap hama penyakit.
Varietas belimbing unggul tersebut antara lain belimbing Demak, Sembiring,
Bangkok, Paris, Dewi, Siwalan, Wulan dan Wijaya.
Kualitas atau mutu buah belimbing ditentukan oleh waktu dan cara
pemetikannya. Pemetikan yang dilakukan pada saat yang tepat akan
menghasilkan buah yang enak dan warna buahnya juga lebih menarik.
Pemetikan yang dilakukan pada saat buah belum siap panen akan
menurunkan kualitas buah, dengan rasa yang asam dan sepat, warnanya tidak
menarik, dan jika dibiarkan masak dalam penyimpanan akan menyebabkan
buah keriput dan pucat.
Ciri buah yang siap panen adalah ukurannya besar (maksimal), telah
matang dan warnanya berubah dari hijau menjadi kuning atau merah,
tergantung pada varietasnya. Selain itu ciri buah belimbing siap panen dapat
dilihat dari kulitnya yang mengkilap dan daging pada siripnya (belimbingan)
sudah tampak penuh.
C. NANAS
Menurut Mulyohardjo (1984), tanaman nanas sudah lama dikenal di
Indonesia, namun bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini
berasal dari Amerika Selatan dan Hindia Barat. Tanaman nanas merupakan
tanaman berbentuk semak yang mempunyai batang semu dengan tinggi 30 –
50 cm, berdaun tepi panjang dengan tepi berduri atau runcing. Buah nanas
sesungguhnya merupakan buah majemuk. Buah yang tampak merupakan
gabungan buah-buah kecil yang berjumlah 100 – 200 buah yang ditutupi
daun-daun buah kecil. Buah-buah kecil tersebut dihubungkan dengan hati
buah yaitu kelanjutan dari tangkai buah yang berserat. Buah nanas yang biasa
ditanam hanyalah dua jenis, yaitu nanas yang mempunyai mata menonjol dan
rata.
Varietas Ananas comosus yang penting :
1. Spanish (berdaging putih). Jenis ini mempunyai daun yang panjang kecil,
berduri halus sampai kasar, buah bulat bermata pipih dan besar. Jenis ini
cocok untuk dikalengkan atau dikonumsi segar. Contoh : Red spanish,
Sugar loaf, Singapore spanish, Ananas vermelo, dan monte livio.
2. Queen (berdaging kuning). Jenis ini mempunyai daun yang pendek dan
berduri tajam membengkok kebelakang, buah berbentk krucut, mata buah
menonjol, beraroma menarik, dan rasanya manis. Buah nanas Palembang
dan nanas Bogor termasuk jenis ini.
3. Cayenne. Jenis ini memiliki buah yang berbentuk silindris dengan berat
2.3 – 3.6 kg, penampilan bagus dan bermata datar. Nanas ini baik untuk
dikalengkan atau diawetkan.
D. TEKNOLOGI PENGOLAHAN MANISAN SEMI BASAH
Pembuatan manisan dilakukan melalui beberapa tahap yaitu
pencucian, pemotongan, perendaman dalam larutan garam, perendaman
dalam larutan kapur (CaCl2), blansir, perendaman dalam larutan gula disertai
penambahan potasium sorbat dan asam askorbat, penirisan, dan pengeringan.
Pangan semi basah atau intermediate moisture food (IMF) merupakan
bahan pangan yang mempunyai kadar air antara 10 – 40 % dan aktifitas air
(aw) antara 0.65 – 0.90 (Karel, 1976). Purnomo mendeskripsikan pangan semi
basah sebagai bahan pangan yang memiliki kadar air sekitar 15 – 40 % dan
memiliki aktifitas air antara 0.65 – 0.90. Pada tingkat aw tersebut,
pertumbuhan bakteri dan khamir menjadi tertekan. Pangan semi basah
termasuk pangan yang stabil terhadap pertumbuhan mikroba, tahan disimpan
tanpa memerlukan proses pengawetan yang lain seperti pendinginan,
sterilisasi ataupun pengeringan.
Pangan semi basah merupakan makanan dengan kadar air yang lebih
tinggi dibandingkan dengan makanan kering dan dapat dimakan tanpa
rehidrasi (Taoukis et. Al. 1999). Pangan semi basah mempunyai prinsip
pengolahan dengan menurunkan aw sampai tingkat dimana mikroba patogen
dan pembusuk tidak dapat tumbuh, tetapi kandungan airnya masih cukup
tinggi sehingga dapat dimakan tanpa rehidrasi terlebih dahulu dan cukup
kering hingga stabil dalam penyimpanan (Leisner dan Rodel, 1976).
Karel (1976) menyatakan bahwa cara pengolahan IMF dibedakan atas
tiga cara yaitu cara pencelupan basah, cara pencelupan kering dan cara
pencampuran. Pencampuran secara basah (moist infution) dimana potongan-
potongan bahan dicampur menjadi satu dan dimasukkan dalam larutan
tertentu sehingga menghasilkan produk pada tingkat aw yang diinginkan.
Pencelupan kering (dry infution) dilakukan dengancara mendehidrasi bahan
pangan kemudian dibasahkan kembali dengan mengocoknya dalam larutan
bertekanan osmose tertentu. Pencampuran (blending), semua bahan dicampur
dan dimasak untuk mengatur kadar air sehingga menghasilkan makanan
dengan aw tertentu.
Berdsarkan klasifikasi teknologi produksi IMF modern tersebut
terdapat dua tipe dasar pengolahan IMF modern, yaitu adsorpsi dan desorpsi.
Pada tipe adsorpsi, bahan pangan dikeringkan sambil dikontrol proses
pembasahan kembali sampai keadaan yang diinginkan sedangkan tipe
desorpsi bahan pangan dimasukkan ke dalam larutan yang mempunyai
tekanan osmotik lebih tinggi, sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat
aw yang diinginkan. Proses ini dapat dipercepat dengan menaikkan suhu
(Robson, 1976).
Menuruk Taoukis et. al. (1999), karakteristik produk IMF memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan produk kering konvensional atau
makanan dengan kadar air tinggi. Proses pengolahan IMF lebih hemat energi
dibandingkan pengeringan, refrigerasi, pembekuan atau pengalengan.
Teknologi IMF juga menghasilkan produk dengan retensi nutrisi dan kualitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses lain seperti pengeringan dan
proses panas. Sifat IMF yang plastis dan mudah dikunyah tanpa ada sensasi
kering menjadikan produk IMF dapat secara langsung dikonsumsi tanpa
penyiapan dan lebih convenience. Sifat plastis yang terdapat pada IMF, juga
memudahkan pengemasan karena dapat dengan mudah dibentuk dengan
ukuran dan bentuk geometris yang diharapkan. Taub dan Singh (1998),
menyatakan bahwa pangan semi basah dapat dikonsumsi tanpa pemasakan
dan dapat dikemas dalam kemasan yang fleksibel.
E. BAHAN TAMBAHAN PANGAN
Bahan tambahan pangan yang dibutuhkan dalam pembuatan manisan
semi basah buah pepaya, nanas, dan belimbing adalah CaCl2, asam sitrat, dan
potasium sorbat.
1. Kalsium Klorida (CaCl2)
Kalsium klorida merupakan kristal putih yang memiliki berat
molekul 110.98, titik leleh 772 0C, titik didih lebih dari 1600 0C, dan
larut dalam air. Kalsium klorida digunakan dalam produk pangan sebagai
anticaking agent, antimicrobial agent, curing agent, firming agent,
flavour enhancer, humektan, sekuestran, stabilizer, pengental,
pembentuk tekstur, dan lain-lain.
Perendaman dalam air kapur (CaCl2) bertujuan memperkuat
jaringan permukaan buah. Pektin yang terdapat dari buah akan
berinteraksi dengan kalsium yang berasal dari kalsium klorida hingga
membentuk suatu kompleks, yaitu kalsium-pektat. Kompleks inilah yang
akan memperkuat tekstur produk.
2. Asam Sitrat
Asam sitrat (C6H8O7) dengan nama kimia asam β-3-hidroksi,2-
hidroksi-1,2,3-propana trikarboksilik merupakan asidulan yang paling
populer. Asam sitrat berbentuk kristal putih dan tidak berbau. Asam sitrat
memiliki solubilitas dan stabilitas yang baik (Reddish F.G., 1957).
Perendaman buah dalam larutan asam sitrat pada pembuatan
manisan semi basah dilakukan untuk menurunkan pH, memperbaiki
warna, memperbaiki tekstur, dan menambah citarasa. Dengan
menurunnya pH, aktivitas mikroorganisme dapat terhambat.
Asam sitrat berfungsi sebagai chelating agent yaitu dapat
mengikat logam-logam bivalen, seperti Mn, Mg, dan Fe yang sangat
dibutuhkan sebagai katalisator dalam reaksi-reaksi biologis. Oleh karena
itu reaksi-reaksi biologis dapat dihambat dengan penambahan asam sitrat
(Winarno dan Aman, 1981).
3. Potasium Sorbat
Asam sorbat, sodium, dan potasium sorbat efektif dalam
menghambat pertumbuhan kapang dan khamir dalam keju baked goods,
sari buah, buah-buahan, sayuran segar, minuman ringan, pikel,
sauerkraut, daging, dan produk-produk ikan (Rani, 1989). Asam sorbat
dengan rumus kimia C6H8O2 merupakan padatan putih, berbentuk kristal,
dan sedikit larut dalam air (0.15 g per 100 ml) pada suhu 20 0C (Sofos
dan Busta, 1993). Kelarutan asam sorbat dalam air akan meningkat
dengan meningkatnya suhu (Frazier, 1979). Kelarutan asam sorbat dalam
air menurun dengan semakin tingginya konsentrasi NaCl, sukrosa, dan
glukosa. Potasium sorbat dengan rumus kimia C6H7O2K merupakan
bubuk putih, halus, dan sangat larut dalam air (139.2 g/100 ml) pada suhu
20 0C. Kelarutan dalam alkohol 2.0 g/100 ml pada suhu 20 0C (Sofos dan
Busta, 1993).
Asam sorbat dan garamnya aktif menghambat pertumbuhan
kapang dan khamir tetapi tidak efektif menghambat pertumbuhan bakteri.
Kisaran pH optimumnya lebih besar dari 6.5. Asam sorbat dan garamnya
meningkat aktivitasnya sebagai senyawa antimikroba dengan
menurunnya pH. Dalam keadaan tidak terdisosiasi, asam sorbat dan
garamnya memiliki keaktifan yang paling tinggi dalam menghambat
pertumbuhan mikroba. Asam sorbat 0.1 % pada pH 4.5 dapat
menghambat pertumbuhan fungi yang berfilamen dan khamir. Pada
konsentrasi yang sama pada pH 3.5 pertumbuhan bakteri asam laktat
dapat dihambat (Rani, 1989).
Sifat toksin asam sorbat dan garamnya sangat rendah, sekitar
sepertiga kali asam benzoat (Kirk dan Othmer, 1985). Asam sorbat dan
garamnya tidak mengakibatkan gangguan fisiologis dalam tubuh karena
asam sorbat akan mengalami metabolisme menjadi CO2 dan H2O.
Sebagai bahan pengawet, asam sorbat dan garamnya termasuk ke
dalam kelompok GRAS (Generally Recognized as Safe) (Frazier, 1979).
Di Indonesia pemakaian sorbat diatur dengan peraturan Menteri
Kesehatan nomor 235/Men.Kes./Per/79. Batas penggunaan sorbat dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Batas penggunaan potasium sorbat di Indonesia
Sumber : Rani (1989)
F. GULA
Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat,
mempunyai rasa manis dan larut dalam air, serta mempunyai sifat aktif optis
yang dijadikan ciri khas untuk mengenal setiap gula (Goutara, 1985).
Beberapa macam gula antara lain glukosa, fruktosa, maltosa, sukrosa,
dan laktosa. Setiap gula mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda-beda
misalnya dalam hal rasa manis, kelarutan dalam air, energi yang dihasilkan,
mudah tidaknya difermentasi oleh mikroba tertentu, daya pembentukan
karamel saat dipanaskan, dan pembentukan kristalnya (Winarno, 1988).
Gula yang digunakan pada penelitian ini adalah sukrosa. Sukrosa
merupakan senyawa oligosakarida dengan nama kimia -D-glukopiranosida-
-D-fruktofuranosida. Rumus molekul sukrosa C12H22O11, memiliki berat
molekul 342.30 terdiri atas gugus glukosa dan fruktosa. Titik cair sukrosa
adalah 186C (Kirk dan Othmer, 1985).
Menurut Buckle et al. (1985), apabila gula ditambahkan ke dalam
bahan pangan dalam konsentrasi tinggi minimum 40 % padatan terlarut,
sebagian air yang ada menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan
mikroorganisme dan aktivitas air (aw) bahan pangan akan berkurang. Hal
yang perlu diperhatikan adalah konsentrasi larutan gula yang digunakan untuk
perendaman tidak boleh terlalu tinggi. Minifie dan Chem (1982) menyatakan
Jenis makanan Batas maksimum
Sirup, sari buah, jam, jelly 1000 mg/kg
Minuman ringan 400 mg/kg
Saus tomat, acar 1000 mg/kg
Margarin 1000 mg/kg
Ikan yang diawetkan 1000 mg/kg
Terasi (pasta ikan) 2000 mg/kg
Aprikot kering dan marmalade
500 mg/kg
bahwa jika buah direndam dalam larutan gula panas dengan konsentrasi yang
lebih tinggi dari 75 % akan menyebabkan air keluar dari dinding sel buah
lebih cepat dibandingkan dengan masuknya larutan gula ke dalam buah.
Dengan adanya perbedaan yang besar antara kecepatan keluarnya air dan
masuknya gula menyebabkan struktur sel dan tekstur buah menjadi keras dan
berkerut. Selain itu, proses dehidrasi akan sulit mencapai optimum karena
daerah dengan konsentrasi gula rendah akan terbentuk di sekitar potongan
buah.
Menurut Apriyantono (1985), konsentrasi gula yang dibutuhkan untuk
mencegah pertumbuhan mikroorganisme bervariasi bergantung dari jenis dan
kandungan zat yang terdapat pada bahan makanan, tetapi pada umumnya 70
% gula akan menghentikan pertumbuhan seluruh mikroorganisme dalam
makanan. Larutan gula dengan konsentrasi lebih rendah dari 70 % masih
efektif menghentikan kegiatan mikroorganisme tetapi hanya dalam jangka
waktu yang pendek, kecuali untuk makanan baru atau makanan yang bersifat
asam.
G. GLUKOSA KRISTAL
Glukosa kristal merupakan bahan pemanis berbentuk kristal yang
mengandung gula D-glukosa. Pemanis kristal yang mengandung D-glukosa
mengandung salah satu atau lebih dari tiga bentuk kristal D-glukosa, yaitu α-
D-glukopiranosa monohidrat, anhidrous α-D-glukopiranosa, dan β-
glukopiranosa. Sedangkan menurut Raymond dan Othner (1954), dekstrosa
(D-glukosa, gula jagung, gula pati, dan gula anggur), C6H12O6 BM = 180.16,
merupakan kristal gula putih dengan tingkat kemanisan 70 % sukrosa.
Dalam fasa larutan, dekstrosa terdapat bersama-sama dengan sejumlah
bentuk-bentuk isomer termasuk bentuk α dan β. Pada keadaan kristal, α-
dekstrosa dipisahkan dari larutan aqueous sebagai monohidrat dengan suhu
diatas 50 0C. Diatas 115 0C, β-dekstrosa dipisahkan dalam bentuk anhidrat.
Ketiga bentuk kristal tersebut dihasilkan secara komersial, dan α-monohidrat
sebagai bentuk paling umum (Raymond dan Othner, 1954).
Dekstrosa digunakan secara luas dalam industri permen dan roti, pada
pengalengan buah-buahan dan sayuran, minuman dan industri lain yang
memerlukan pemanis dan pewarna karamel (Raymond dan Othner, 1954).
Sedangkan menurut Balagopalan et al. (1988), dekstrosa banyak digunakan
dalam industri makanan sebagai pengembang, pembangkit cita rasa dan
aroma juga berperan dalam pembentukan lapisan warna. Dalam industri
farmasi, dekstrosa juga digunakan sebagai bahan pencampur dalam
pembuatan obat (tablet) dan campuran dalam cairan infus.
H. DEKSTRIN
Dekstrin adalah karbohidrat yang dibentuk selama hidrolisis pati
menajadi gula oleh panas, asam dan atau enzim. Dekstrin dan pati memiliki
rumus umum yang sama, - [Cx(H2O)y)]n - (y = x - 1), dimana unit glukosa
bersatu dengan yang lainnya membentuk rantai (polisakarida) tetapi dekstrin
memiliki ukuran lebih kecil dan kurang kompleks dibandingkan pati.
Dekstrin larut dalam air tetapi dapat diendapkan dengan alkohol. Dekstrin
memiliki sifat seperti pati. Beberapa dekstrin bereaksi dengan iodin
memberikan warna biru dan larut dalam alkohol 25 % (disebut
amilodekstrin), berwarna coklat-kemerahan dan larut dalam alkohol 55 %
(disebut eritrodekstrin) dan tidak membentuk warna dengan iodin serta larut
dalam alkohol 70 % (disebut akhrodekstrin), yang juga diidentifikasi sebagai
desktrosa ekuivalen (DE). DE yang tinggi menunjukkan adanya
depolimerisasi pati yang besar. Maltodekstrin adalah produk dengan DE
rendah.
Dekstrin larut dalam air dingin dalam berbagai derajat tergantung
pada kekuatan hidrolisisnya. Desktrin dapat digunakan untuk berbagai
keperluan. Dektrin dapat dibuat dari berbagai sumber pati seperti tapioka dan
kentang ataupun jagung. Sifat viskositas yang rendah dari dekstrin
menjadikan dekstrin sering dipakai dalam pembuatan jelli sebagai sumber
padatan yang menstabilkan
I. PENGERINGAN
1. Teori Pengeringan
Pengeringan adalah proses pindah panas dan kandungan air secara
simultan. Udara panas yang dibawa oleh media pengering akan
digunakan untuk menguapkan air yang terdapat di dalam bahan. Uap air
yang berasal dari bahan akan dilepaskan dari permukaan bahan ke udara
kering (Pramono, 1993). Dasar proses pengeringan adalah terjadinya
penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara
dengan bahan yang dikeringkan. Tujuan pengeringan adalah mengurangi
kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme
penyebab pembusukan, dan kegiatan enzim didalam bahan pangan
menjadi terhambat atau terhenti sehingga bahan memiliki masa simpan
yang lebih lama (Taib et al. 1988).
Jumlah kandungan air pada bahan akan mempengaruhi daya tahan
bahan tersebut terhadap serangan mikroba, dan biasanya dinyatakan
sebagai water activity (aw). Water activity adalah jumlah air bebas bahan
yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya.
Besarnya nilai aw bahan harus diatur karena mikroba hanya dapat tumbuh
pada kisaran nilai aw tertentu. Bahan yang mempunyai nilai aw di bawah
0.7 biasanya sudah dianggap cukup baik dan tahan dalam penyimpanan.
Berdasarkan proses penguapan air, terdapat tiga macam proses
pengeringan. Pertama, panas diberikan karena kontak langsung dengan
udara panas pada tekanan atmosfer dan uap air. Kedua, vacuum drying,
evaporasi air berlangsung lebih cepat pada tekanan rendah dan panas
diberikan oleh dinding logam secara konduksi dan radiasi. Ketiga, freeze
drying, air diuapkan dari bahan yang membeku dan panas diberikan
secara radiasi dan konduksi.
Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas
adalah air pada permukaan bahan, sedangkan air terikat adalah air dalam
bahan dan biasanya sulit keluar dibandingkan dengan air bebas. Bila air
permukaan semua diuapkan, terjadi migrasi air dan uap air dari bagian
dalam ke permukaan secara difusi.
Pengeringan produk atau hasil pertanian dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu suhu, kelembaban udara, dan kecepatan aliran
udara. Ukuran bahan juga mempengaruhi cepat lambatnya pengeringan.
Selain itu jenis alat pengering juga mempengaruhi proses pengeringan.
Menurut Taib et al. (1988), semakin besar perbedaan suhu antara
media pemanas (suhu udara pengering) dengan bahan yang dikeringkan,
semakin cepat pula perpindahan panas ke dalam bahan sehingga
penguapan air dari bahan yang dikeringkan akan lebih banyak dan cepat.
Suhu pengeringan bervariasi untuk setiap bahan yang dikeringkan.
Kelembaban udara (RH) juga mempengaruhi proses pengeringan.
Kelembaban udara berbanding lurus dengan waktu pengeringan.
Semakin tinggi kelembaban udara, proses pengeringan (waktu
pengeringan) akan berlangsung lebih lama. Apabila bahan pangan
dikeringkan dengan menggunakan udara sebagai medium pengering,
maka semakin panas udara tersebut semakin cepat pengeringannya.
Berbeda dengan RH, kecepatan aliran udara berbanding terbalik dengan
waktu pengeringan. Semakin tinggi kecepatan aliran udara, proses
pengeringan akan berjalan lebih cepat.
Pemotongan bahan yang akan dikeringkan akan menjadikan
proses pengeringan berjalan lebih cepat. Hal ini dikarenakan pemotongan
atau pengirisan akan memperluas permukaan bahan sehingga akan lebih
banyak permukaan bahan yang berhubungan dengan udara panas dan
mengurangi jarak gerak panas untuk sampai ke bahan yang akan
dikeringkan.
2. Pengeringan Buah
Teknologi pengeringan bahan pertanian sebenarnya sederhana,
yaitu hanya memberikan tambahan energi dalam bentuk panas ke produk
untuk menurunkan kandungan airnya. Sumber panas dapat diperoleh
secara alami dari panas sinar matahari atau dari sumber panas buatan
(listrik, kompor, atau sumber lainnya). Untuk mempercepat proses
pengeringan bahan-bahan pertanian, udara pengering disirkulasikan
secara kontinyu melewati bahan yang dikeringkan (Nuraeni, 2004).
Pada pengeringan buah-buahan sering terjadi perubahan tekstur
yang disebut shrinkage dan case hardening. Shrinkage terjadi akibat
adanya perpindahan massa uap air secara drastis selama pengeringan.
Perpindahan ini menimbulkan tekanan yang kuat pada dinding sel yang
akan menimbulkan kerusakan pada membran sel sehingga kehilangan
permeabilitasnya.
Case hardening adalah suatu keadaan pada bahan yang bagian
permukaannya sangat kering sedangkan pada bagian dalam masih basah.
Kondisi ini terjadi apabila penguapan air pada permukaan bahan jauh
lebih cepat daripada difusi air dari bagian dalam bahan ke luar
permukaan. Lapisan permukaan bahan menjadi keras dan kenyal
sehingga uap air tidak dapat menembusnya walaupun pengeringan
dilanjutkan.
Case hardening umumnya terjadi pada buah-buahan yang banyak
mengandung gula terlarut. Selama pengeringan, air beserta gula-gula
terlarut bergerak dari dalam potongan buah ke permukaan. Air akan
segera menguap sedangkan gula beserta padatan lainnya akan tetap
tertinggal di permukaan, lalu mengering dan mengeras sehingga air
dalam sel atau potongan bahan tidak dapat keluar atau menguap.
Terjadinya case hardening dan shrinkage dapat dicegah dengan cara
menurunkan suhu pada permukaan bahan selama pengeringan (Potter,
1980).
3. Metode Pengeringan
Berdasarkan sumber panas yang digunakan dikenal 2 jenis
metode pengeringan yaitu pengeringan alami dengan sinar matahari dan
pengeringan buatan.
a. Pengeringan alami (penjemuran)
Penjemuran memanfaatkan energi matahari untuk
mengurangi kadar air bahan. Penjemuran merupakan metode
pengeringan yang termurah tetapi resiko kerusakan akibat cuaca juga
tinggi dan relatif sukar menjaga kondisi pengeringan yang higienis.
Energi panas matahari dialirkan ke bumi dalam bentuk
radiasi surya. Radiasi surya memiliki ciri khas yaitu keberadaannya
yang selalu berubah-ubah. Meskipun hari cerah dan sinar surya
tersedia banyak, besarnya berubah sepanjang hari dengan titik
maksimumnya pada tengah hari. Sinar surya juga bergantung pada
keadaan atmosfer. Besarnya radiasi akan berkurang jika langit
berawan. Selain itu lokasi suatu tempat (perbedaan garis lintang,
ketinggian) dan musim juga berpengaruh terhadap besarnya radiasi
surya.
Pemanfaatan sinar matahari secara langsung merupakan cara
yang umum dan sudah dipakai secara luas sejak lama, misalnya pada
proses pengeringan hasil pertanian. Sebenarnya kondisi tersebut
akan menyebabkan komoditas menyerap uap air dari tanah selama
pengeringan berlangsung.
Panas yang dihasilkan matahari berasal dari proses fusi yang
mengubah 4 ton hidrogen menjadi helium tiap detiknya dan
mengeluarkan panas dengan laju 1024 kWh/detik. Jumlah panas yang
diproduksi matahari yang jatuh ke wilayah Indonesia tersebut
mencapai 9 x 1017 kJ/tahun atau setara dengan 28.35 x 108 MW
energi listrik.
Energi panas matahari dialirkan ke bumi dalam benruk
radiasi yang merupakan gelombang pendek. Ciri khas radiasi surya
adalah sifat keberadaaannya yang selalu berubah-ubah, sehingga
meskipun hari cerah dan sinar surya tersedia banyak, nilainya
sepanjang hari berubah dengan titik maksimum pada tengah hari
karena bertepatan dengan jarak lintasan terpendek sinar surya
menembus atmosfer.
b. Pengeringan buatan
Pada pengering buatan, kondisi saniter mudah dijaga, produk
akan lebih seragam mutunya, dan proses pengeringan tidak
bergantung pada keadaan cuaca. Akan tetapi, dibutuhkan biaya
bahan bakar dan biaya investasi alat yang lebih besar (Desrosier,
1988). Ada beberapa metode pengeringan buatan, diantaranya
pengeringan kabinet, fluidized bed drier, dan pengeringan vakum.
Menurut Taib et al. (1988), melihat banyaknya pilihan mesin
pengering yang dapat digunakan untuk berbagai jenis produk maka
pemilihan mesin pengering yang optimal didasari pada kapasitas
mesin pengering, sifat fisik bahan umpan basah, spesifikasi hasil
yang diinginkan, operasi pengolahan hulu dan hilir, kadar air bahan
umpan dan hasil pengeringan, kinetika pengeringan, parameter mutu,
aspek keamanan, nilai produk, kebutuhan akan kendali otomatis,
sifat keracunan produk, rasio pengembalian modal, jenis dan biaya
bahan bakar, serta peraturan lingkungan.
Suhu udara pengering yang terkontrol menjamin proses
pengeringan dilakukan secara benar dan energi yang digunakan
efisien, sehingga kualitas bahan kering terjamin. Suhu yang
terkontrol pada kisaran tertentu berpengaruh pada laju perpindahan
panas dari udara pengering ke bahan yang dikeringkan dan laju
penguapan air dari bahan ke udara pengering. Kedua hal ini
berpengaruh pada laju perubahan fisik bahan yang dikeringkan, yaitu
tekstur, warna, dan daya awet. Pengeringan bahan hasil pertanian
yang baik menggunakan aliran udara pengering dengan suhu
berkisar antara 45C sampai 75C. Bila pengeringan dilakukan pada
suhu di bawah 45C maka mikroba dan jamur yang merusak produk
masih hidup, sehingga daya awet produk rendah. Namun
pengeringan pada suhu udara pengering di atas 75C akan
menyebabkan struktur kimiawi dan fisik produk rusak, karena
perpindahan panas dan massa air yang cepat akan berdampak pada
perubahan struktur sel (Nuraeni, 2004).
Aliran udara pengering yang melewati bahan harus dikontrol
polanya, karena udara pengering berfungsi memindahkan panas ke
dalam sistem pengeringan dan memindahkan uap air ke luar sistem
pengeringan Uap air dari bahan menyebabkan kelembaban udara
pengering meningkat. Hal ini menghambat laju pengeringan. Untuk
menghindari hal tersebut, udara pengering yang telah membawa uap
air harus segera dialirkan ke luar sistem pengeringan dan digantikan
dengan udara segar (Nuraeni, 2004).
II. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan dalam proses pembuatan manisan semi
basah adalah pepaya, nanas, belimbing manis, garam, CaCl2, air, asam sitrat,
gula, natrium metabisulfat, asam askorbat, dan potasium sorbat.
Alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan manisan semi
basah adalah timbangan digital kasar, baskom, toples, sendok pengaduk,
sendok makan, kompor, panci ukuran besar, pisau, cabinet dryer, termometer,
refraktometer, pH meter, plastik ukuran 5 kg dan 1 kg, mangkok, piring,
sendok-sendok kecil, dan gelas takar ukuran 1000 dan 2000 ml.
Bahan-bahan yang digunakan dalam analisa produk adalah aquades,
K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO3, larutan NaOH-Na2S2O3, HCl 0.1 N, NaOH
0.1N, kertas saring, indikator metil merah dan metil biru, heksan, dan etanol.
Alat-alat yang digunakan dalam analisa adalah pipet tetes, pipet
volumetrik 10, 5, dan 2 ml, gelas piala ukuran 100 dan 400 ml, cawan
alumunium, cawan porselen, cawan petri, gelas ukur 10 dan 100 ml,
desikator, alat destilasi, labu kjeldahl, erlenmeyer 100 ml dan 300 ml, neraca
analitik, silica gel, inkubator 30 C, penetrometer, dan tabung reaksi.
B. PEMBUATAN MANISAN SEMI BASAH
Pembuatan manisan semi basah terbagi menjadi beberapa tahap yaitu,
pengupasan kulit, pemotongan disertai perendaman dalam larutan garam,
perendaman dalam larutan kapur CaCl2, pembilasan, pemblansiran,
perendaman dalam larutan gula yang dilakukan sebanyak 3 tahap disertai
penambahan potasium sorbat pada perendaman yang terakhir, penirisan,
pengeringan, pendinginan, dan dusting.
Pembuatan manisan semi basah diawali dengan menyiapkan pepaya
dengan tingkat kemasakan 80 % (mengkal), nanas dengan tingkat kemanisan
80 % (mengkal), dan belimbing dengan tingkat kemanisan 80 % (mengkal).
Ketiga buah tersebut dikupas, dibuang bijinya / mata pada permukaan daging
nanas, dan direndam dalam larutan garam 1 %. Daging buah dipotong dengan
pisau. Potongan daging buah tersebut kemudian direndam dalam larutan
kapur. Selanjutnya potongan daging buah diblansir dengan air panas. Proses
blansir dilakukan untuk menghilangkan sisa-sisa CaCl2 yang tidak terserap
daging buah yang dapat menimbulkan rasa gatal di lidah.
Potongan daging buah direndam dalam larutan gula pertama selama
12 jam pada suhu awal 60 0C dan dibiarkan mendingin selama perendaman.
Perendaman gula kedua dilakukan dengan larutan gula dengan konsentrasi
yang lebih tinggi dari larutan pertama dengan lama perendaman 12 jam dan
suhu awal larutan 60 0C. Kemudian perendaman gula ketiga dilakukan
dengan larutan gula dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari larutan kedua
dengan lama perendaman 12 jam dan suhu awal perendaman 60 0C.
Sebelumnya larutan gula terakhir dicampur dengan potasium sorbat 500 ppm.
Setelah itu dilakukan penirisan dan pengeringan menggunakan cabinet dryer.
Pembuatan manisan semi basah dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagan alir pembuatan manisan buah semi basah
Keterangan :
* : pepaya ketebalan 2 cm, 1 cm, dan 0.5 cm; nanas 1 cm (melintang), 0.5 cm (sejajar);
belimbing tebal 1 cm (melintang), 3 x 0.5 cm (sejajar sirip buah)
** : konsentrasi larutan CaCl2 0.5 %, 1 %, 2%, 4%; lama perendaman 30 menit, 2 jam, 4
jam, 6 jam, 8 jam. Untuk sampel buah belimbing ditambahkan Na-metabisulfit 150
ppm.
C. METODE PENELITIAN
Buah
Pengupasan, pembuangan biji, dan pencucian
Pemotongan buah *
Perendaman dalam larutan kapur
Pembilasan dengan air mengalir
Pemblansiran
Manisan buah IMF
Pengeringan
Perendaman dalam larutan gula III disertai pelarutan sorbat 500 ppm
Perendaman dalam larutan gula II
Perendaman dalam larutan gula I
CaCl2 **
Larutan gula I (konsentrasi 40 0brix)
Larutan gula II (konsentrasi 55 0brix)
Larutan gula III (konsentrasi 70 0brix)
Dusting Bahan dusting : tepung gula + tepung kanji (1 : 1), glukosa
kristal, dekstrin kristal
Suhu 85 0C, waktu 1, 2, 3, 4, 5 menit
1. Tahap Pertama
Tahap pertama penelitian ini adalah penentuan ukuran
pemotongan, penentuan konsentrasi dan waktu perendaman dalam
larutan kapur, penentuan suhu dan waktu blansir, dan penentuan
kombinasi jenis gula perendaman dalam larutan gula. Seleksi dilakukan
oleh panelis terbatas berjumlah 5 orang. Parameter yang diuji pada
penentuan ukuran pemotongan adalah penampakan dan tekstrur; pada
penentuan konsentrasi dan waktu larutan kapur adalah kerenyahan,
tekstur, dan penampakan; pada penentuan waktu blansir adalah
penampakan warna dan tekstur; dan pada penentuan kombinasi jenis gula
adalah rasa, tekstur, dan penampakan.
a. Penentuan ukuran pemotongan
Pemotongan dilakukan agar diperoleh manisan semi basah
dengan ketebalan yang dapat memberikan tekstur dengan kerutan
paling sedikit. Pemotongan buah dilakukan dengan menggunakan
pisau dapur dengan ketebalan sebagai berikut :
Buah Ketebalan (cm)
Pepaya 2
1
0.5
Nanas 1 (potongan melintang)
0.5 (potongan sejajar)
Belimbing 1 (potongan melintang)
0.5 (potongan sejajar pada sirip buah)
b. Penentuan konsentrasi dan waktu perendaman larutan kapur
Perendaman dalam larutan kapur dilakukan untuk
memperkuat jaringan buah sehingga dapat dihasilkan manisan semi
basah yang memiliki kerenyahan yang baik. Kapur yang digunakan
adalah CaCl2. Konsentrasi larutan kapur yang digunakan pada
percobaan ini adalah 0.5 %, 1 %, 2 %, dan 4 %, dengan lama
perendaman 30 menit, 2 jam, 4 jam, 6 jam, dan 8 jam.
c. Penentuan waktu blansir
Proses blansir yang dilakukan pada potongan buah manisan
bertujuan untuk menghentikan kerja enzim-enzim penyebab
pencoklatan, menurunkan jumlah kontaminan mikroba, melemaskan
potongan buah, dan juga untuk menghilangkan sisa-sisa larutan
kapur yang tidak terserap oleh buah. Suhu yang digunakan adalah 85 0C dan waktu blansir yang dilakukan adalah 1, 2, 3, 4, dan 5 menit.
d. Penentuan kombinasi larutan gula
Perendaman potongan buah dalam larutan gula bertujuan
untuk mengeluarkan sebagian air dari dalam buah secara osmosis.
Proses dehidrasi ini berlangsung secara perlahan tergantung kepada
kandungan air buah dan konsentrasi larutan gula yang digunakan.
Proses ini dilakukan secara bertahap, yaitu perendaman dilakukan
sebanyak tiga kali dengan tiap larutan perendaman memiliki
konsentrasi gula yang berbeda.
Perendaman pertama menggunakan konsentrasi larutan gula
sebesar 40 0brix. Perendaman kedua menggunakan larutan gula
dengan konsentrasi gula yang lebih tinggi (55 0brix) dan perendaman
ketiga menggunakan konsentrasi yang lebih tinggi lagi (70 0brix).
Pada percobaan ini digunakan dua jenis gula yang digunakan pada
perendaman yang ketiga yaitu larutan gula pasir dan gula batu.
Kandungan gula pasir (sukrosa) akan berubah menjadi gula
invert (campuran glukosa dan fruktosa) apabila dipanaskan. Gula
invert memiliki sifat tidak mudah mengkristal dan tingkat kemanisan
lebih tinggi dibandingkan sukrosa. Sedangkan kandungan utama
gula batu adalah glukosa yang akan tetap berupa glukosa setelah
dipanaskan dan glukosa lebih mudah mengkristal dibandingkan gula
invert. Selain itu glukosa juga memiliki tingkat kemanisan dibawah
gula invert.
Perendaman ketiga dalam percobaan ini menentukan jenis
gula yang akan terdapat pada permukaan manisan buah, hal ini akan
menentukan karakteristik permukaan dan rasa manisan buah.
2. Tahap Kedua
Tahap kedua penelitian ini adalah mengamati pengaruh metode
pengeringan. Pengeringan manisan buah bertujuan untuk menghilangkan
sebagian besar air didalam potongan buah. Hilangnya air didalam
potongan buah akan membuat manisan buah menjadi lebih tahan
terhadap kontaminasi mikroba dan aktifitas enzim, sehingga akan
meningkatkan umur simpan produk.
Perlakuan pengeringan manisan buah semi basah dilakukan
dengan dua cara, yaitu pengeringan dengan tenaga matahari dan
pengeringan buatan menggunakan pengering kabinet. Pengeringan
dengan tenaga matahari dilakukan dengan penjemuran potongan buah
dibawah sinar matahari secara langsung selama 2 hari pengeringan (12 -
15 jam). Pengeringan potongan buah dengan menggunakan alat
pengering kabinet dilakukan dengan suhu 50 dan 60 0C dengan waktu 2
dan 4 jam.
Uji organoleptik tahap kedua yang meliputi uji kesukaan
(hedonik) terhadap 30 panelis untuk mengetahui tingkat penerimaan
panelis dan mengetahui kekurangan yang terdapat pada produk yang
berhubungan dengan sifat dan mutu sensori. Parameter yang diuji adalah
warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan.
3. Tahap Ketiga
Tahap ketiga penelitian ini adalah aplikasi tepung dusting pada
manisan buah semi basah. Pembuatan manisan semi basah dilakukan
dengan proses pemanasan yang singkat dan suhu yang cukup rendah
dengan tujuan tetap menjaga sebagian kandungan air buah agar
dihasilkan produk yang memiliki tingkat kerenyahan, tekstur, dan rasa
yang baik dengan umur simpan yang jauh lebih panjang. Namun aplikasi
proses pengeringan yang tidak terlalu lama menyebabkan banyaknya sisa
larutan gula di permukaan produk manisan semi basah. Hal ini
mendapatkan perhatian dari panelis dimana permukaan manisan terasa
lengket jika dipegang.
Perlakuan proses panas yang lebih lama atau dengan suhu yang
lebih tinggi dikhawatirkan akan merusak karakteristik produk yang sudah
cukup baik. Karena itu dilakukan perlakuan dusting pada permukaan
manisan buah. Pengaplikasian tepung dusting pada manisan buah akan
menutupi sisa-sisa larutan gula, sehingga manisan buah semi basah
menjadi tidak lengket saat dipegang.
Proses dusting dilakukan dengan menggunakan 3 jenis tepung,
yaitu campuran tepung gula dengan tepung kanji (1 : 1), glukosa kristal,
dan dekstrin kristal. Pemilihan bahan dusting berdasarkan pada rasa
(tingkat kemanisan) bahan tersebut.
Uji organoleptik tahap ketiga meliputi uji kesukaan (hedonik)
terhadap 30 panelis untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis.
Parameter yang diuji adalah warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan.
4. Analisis Produk Terpilih
Analisis dilakukan terhadap produk terpilih dari penelitian tahap
ketiga. Analisis yang dilakukan meliputi uji kimia (kadar air, abu,
protein, lemak, dan karbohidrat), uji fisik (rendemen, pH, kekerasan, dan
aw), dan uji mikrobiologi (TPC). Analisis produk bertujuan untuk
memberikan informasi nutrisi, karakteristik fisik produk, dan kandungan
mikroorganisme dalam manisan buah semi basah terpilih yang
selanjutnya dapat menentukan kelayakan produk untuk dikonsumsi.
D. METODE ANALISIS
1. Kadar Air (AOAC, 1995)
Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan
didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang. Sampel
ditimbang kurang lebih sebanyak 2 gramdalam cawan. Cawan beserta isi
dikeringkan dalam oven 100 0C selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke
dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya
dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan.
Perhitungan :
Kadar Air (% berat basah) = [W2 - (W3 – W1)] x 100%
W3 - W1
Berat cawan (gr) = W1
Berat sampel (gr) = W2
Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (gr) = W3
2. Kadar Abu (AOAC, 1995)
Cawan disiapkan untuk melakukan pengabuan, kemudian
dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Lalu didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 gramdi dalam
cawan, kemudian dibakar dalam ruang asam sampai tidak mengeluarkan
asap lagi. Kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada
suhu 400 – 600 0C selama 4 – 6 jam sampai terbentuk abu berwarna
putih atau memiliki berat yang tetap. Sampel beserta cawan didinginkan
dalam desikator kemudian ditimbang.
Perhitungan :
Kadar abu (%) = Berat abu (g) x 100% Berat sampel kering (g)
3. Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl (Apriyantono et al., 1989)
Sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam
labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1.9 + 0.1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO,
dan 3.8 + 0.1 ml H2SO4. Batu didih ditambahkan pada labu lalu sampel
didihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Labu beserta
sampel didinginkan dengan air dingin. Isi labu dan air bekas
pembilasnya dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125
ml diisi dengan 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan 4 tetes
indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung
kondensor terendam dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3
sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan
destilasi sampai didapat destilatnya sebanyak + 15 ml dalam erlenmeyer.
Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan
HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru.
Perhitungan jumlah nitrogen dilakukan setelah sebelumnya diperoleh
jumlah volume (ml) blanko.
Perhitungan :
Jumlah N (%) = (ml HCl – ml blanko) x NHCl x 14.007 x 100 mg sampel kering
Kadar Protein (%) = jumlah N x faktor konversi (6.25)
4. Kadar Lemak (AOAC, 1995)
Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi
soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 0C – 110 0C kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang.
Sampel ditimbang sebanyak 5 gramdalam kertas saring dan kemudian
ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya
dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat
kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya.
Refluks dilakukan selama 5 jam sampai pelarut kembali menjadi bening.
Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi kemudian labu
dipanaskan dalam oven pada suhu 105 0C. Setelah dikeringkan sampai
berat tetap dan didinginkan dalam desikator, labu beserta lemak
ditimbang, dan dilakukan perhitungan kadar lemak.
Perhitungan :
Kadar lemak (%) = Berat lemak (g) x 100% Berat sampel kering (g)
5. Kadar Karbohidrat (By Difference)
Perhitungan :
Kadar Karbohidrat (%) = 100% - % (Protein + Kadar air + Abu +
Lemak)
6. Rendemen
Perhitungan :
Rendemen = Berat akhir produk X 100 % Berat awal produk
7. Uji Keasaman (pH)
Pengukuran pH produk dilakukan dengan menggunakan alat pH-
meter. Sebelum pengukuran pH-meter dikalibrasi dengan buffer standar
pH 4. Sampel dilumatkan terlebih dulu, elektroda dibilas dengan akuades
kemudian dikeringkan dengan tissue. Batang elektroda dimasukkan
kedalam sampel selama beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang
stabil.
8. Uji Kekerasan
Uji kekerasan dilakukan dengan menggunakan Texture Analyzer.
Sebelum dilakukan uji, alat dikalibrasi. Bahan diuji dengan
menggunakan pisau uji sobek untuk menganalogikan pengujian
kekerasan sampel dengan menggunakan sobekan gigi. Semakin besar
waktu dan gaya yang dibutuhkan untuk menyobek bahan, semakin keras
bahan yang diuji.
9. Uji Aktifitas Air (Aw)
Pengujian Aw produk manisan semi basah dilakukan dengan alat
Aw Meter. Sampel disiapkan sebanyak kurang lebih 5 gramkemudian
dimasukkan kedalam wadah uji. Wadah uji ditutup rapat dan alat
dibiarkan untuk mengukur Aw selama kurang lebih 20 menit. Hasil
pengukuran ditunjukkan pada layar display.
10. Uji Mikrobiologi Total Plate Count (Fardiaz, 1992)
Uji mikrobiologi manisan pada penelitian ini dilakukan melalui
uji TPC (Total Plate Count). Uji TPC dilakukan untuk mengetahui
jumlah mikroorganisme yang mungkin tumbuh pada manisan.
Kontaminasi biasanya berasal dari mikroorganisme di seluruh bagian
manisan. Oleh karena itu dalam uji mikrobiologi manisan, pengambilan
contoh dilakukan dengan menggunakan metode penghancuran.
Uji mikrobiologi manisan semi basah dimulai dengan menimbang
sampel sebanyak 10 gr, ditambahkan 90 ml larutan pengencer,
dimasukkan ke dalam plastik stomacher steril, dan distomacher selama 1
menit. Pengenceran dibuat hingga 10-3. Pengenceran yang dilakukan
tergantung mutu sampel yang dianalisis. Semakin rendah mutu sampel,
pengenceran yang diperlukan untuk dapat menghitung jumlah mikroba
semakin tinggi. Sebanyak 0.1 ml sampel yang telah diencerkan
dimasukkan ke dalam masing-masing 2 cawan petri (duplo) yang
selanjutnya dilakukan pemupukan. Pemupukan dilakukan pada
pengenceran 10-2 sampai 10-4. Setelah pemupukan dilakukan, media
dituangkan ke dalam cawan.
Media yang digunakan adalah PCA. PCA dengan pH 7
mengandung tripton, ekstrak khamir, dekstrosa, agar, dan air destilata.
PCA digunakan untuk identifikasi total mikroba, baik kapang, khamir,
maupun bakteri. Selanjutnya inkubasi dilakukan dengan posisi cawan
terbalik pada suhu 30 C selama 2 hari.
Perhitungan:
Pengenceran = pengenceran x pengenceran x jumlah yang awal. selanjutnya ditumbuhkan
Koloni per ml = Jumlak koloni x 1 Pengenceran
11. Uji Organoleptik
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji
organoleptik pada peneltian tahap pertama adalah uji organoleptik
terbatas dengan panelis berjumlah 5 orang. Uji di tahap ini dilakukan
pada tiap percobaan dengan parameter uji yang berbeda. Penilaian
dilakukan dengan skala 1 – 5 berupa tanda (+) dimana 1 adalah nilai
untuk paling tidak suka dan 5 untuk sangat suka.
Uji organoleptik produk manisan dari tahap kedua dan ketiga
dilakukan di laboratorium sensori SEAFAST pada 30 orang panelis.
Parameter yang diuji meliputi uji kesukaan terhadap tekstur, kerenyahan
di mulut, aroma, rasa, dan warna. Penilaian dilakukan pada lembar
kuisioner dengan skala nilai 1 – 7 dimana 1 adalah nilai untuk paling
tidak suka dan 7 untuk sangat suka.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. TAHAP PERTAMA
Percobaan yang dilakukan adalah penentuan ukuran pemotongan
buah, penentuan waktu perendaman dan konsentrasi larutan kapur, penentuan
waktu dan suhu proses blansir, dan penentuan kombinasi gula perendaman
dalam larutan gula. Percobaan ini hanya melibatkan panelis terbatas.
Penilaian dilakukan dengan memberikan sejumlah tanda (+) sesuai dengan
tingkat kesukaan panelis terhadap produk tersebut dengan nilai terendah
adalah (+) dan tertinggi (+++++). Produk dengan penilaian terbaik akan
digunakan dalam penelitian tahap selanjutnya.
1. Penentuan ketebalan pemotongan
Ukuran ketebalan buah mempengaruhi lama waktu perendaman
gula dan tingkat penetrasi larutan gula ke dalam daging buah serta lama
pengeringan. Seleksi dilakukan untuk memilih produk dengan jumlah
kerutan paling sedikit.
Tabel 4. Data uji organoleptik terbatas penentuan ketebalan potongan
Ketebalan (cm) Nilai rata-rata
Pepaya Nanas Belimbing 0.5 ++++ ++++ (sejajar) ++++ (sejajar)1 ++ ++ (melintang) + (melintang)2 +
Ukuran ketebalan yang diujikan pada pembuatan manisan buah
pepaya adalah ukuran 2 cm, 1 cm, dan 0.5 cm. Ukuran ketebalan yang
dipilih sebagai potongan paling baik untuk potongan buah pepaya adalah
0.5 cm. Produk yang dihasilkan memiliki kerutan yang sedikit. Ukuran
ketebalan yang dilakukan pada pembuatan manisan buah nanas adalah 1
cm (potongan melintang), dan 0.5 cm (potongan sejajar). Ukuran
ketebalan potongan buah nanas yang dipilih adalah 0.5 cm potongan
sejajar. Produk yang dihasilkan memiliki kerutan yang paling sedikit.
Ukuran potongan yang dilakukan pada pembuatan manisan buah
belimbing adalah tebal 1 cm (potongan melintang), dan 0.5 (potongan
sejajar pada sirip buah). Ukuran potongan paling baik adalah 3 cm x 0.5
cm potongan sejajar sirip-sirip buah, produk hasil yang didapat
mengalami kerutan paling sedikit. Data pengujian disajikan pada Tabel 4.
Pemotongan buah secara melintang akan menghasilkan produk
yang sangat sulit disobek (digigit) karena terdapat semacam serat yang
kuat di dalam buah belimbing. Serat tersebut terdapat pada buah dengan
posisi memanjang, sehingga pemotongan melintang akan menyebabkan
serat tersebut ikut terolah di dalam produk.
2. Penentuan konsentrasi dan lama perendaman dalam larutan kapur
Perendaman potongan buah dalam larutan kapur bertujuan untuk
memperkuat jaringan permukaan buah dan memperbaiki tekstur produk.
Kalsium dalam larutan kapur dapat berikatan dengan zat pektat pada
potongan buah membentuk senyawa kalsium-pektat yang kuat. Seleksi
dilakukan untuk memilih produk dengan kerenyahan, tekstur, dan
penampakan produk terbaik.
Perlakuan yang dilakukan pada percobaan ini adalah konsentrasi
larutan kapur yang digunakan dan waktu perendaman. Konsentrasi
larutan kapur adalah 0.5 %, 1 %, 2 %, dan 4 %, dengan lama perendaman
30 menit, 2 jam, 4 jam, 6 jam, dan 8 jam.
Penggunaan larutan kapur dengan konsentrasi yang rendah dan
lama proses perendaman yang singkat cocok diaplikasikan pada manisan
buah semi basah karena produk yang dihasilkan memiliki kerenyahan
yang baik. Proses perendaman kapur paling baik yang dipilih untuk buah
belimbing adalah konsentrasi 0.5 % dengan tambahan campuran Na-
metabisulfat 150 ppm selama 30 menit, penggunaan Na-metabisulfat
pada buah belimbing bertujuan untuk mengurangi tingkat browning.
Konsentrasi dan lama perendaman dalam larutan kapur yang dipilih
untuk buah nanas adalah konsentrasi 0.5 % selama 30 menit, dan untuk
buah pepaya konsentrasi yang dipilih adalah 0.5% selama 30 menit. Data
pengujian disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Data uji organoleptik terbatas penentuan konsentrasi dan lama perendaman dalam larutan kapur
Perlakuan perendaman kapur
Nilai rata-rataPepaya Nanas Belimbing
0.5 %
30 menit ++++ ++++ ++++ 2 jam +++ ++ +++ 4 jam +++ +++ +++ 6 jam +++ +++ +++ 8 jam ++ ++ ++
1 %
30 menit +++ +++ ++ 2 jam +++ +++ +++ 4 jam ++ +++ +++ 6 jam +++ ++ +++ 8 jam ++ ++ +++
2 %
30 menit ++ +++ ++ 2 jam ++ + ++ 4 jam +++ ++ +++ 6 jam ++ ++ ++ 8 jam + ++ ++
4 %
30 menit ++ ++ ++ 2 jam + ++ ++ 4 jam ++ ++ + 6 jam ++ + ++ 8 jam + + ++
3. Penentuan waktu blansir
Proses blansir dilakukan dengan tujuan untuk menginaktifkan
enzim-enzim yang masih berkerja setelah buah dipanen, menghilangkan
sebagian kontaminan mikroba, memperbaiki tekstur, dan juga untuk
menghilangkan sisa-sisa larutan kapur yang tidak terserap oleh potongan
buah. Seleksi dilakukan untuk memilih produk dengan warna dan tekstur
terbaik.
Suhu yang digunakan adalah 85 0C dan waktu blansir yang
dilakukan adalah 1, 2, 3, 4, dan 5 menit. Proses blansir yang dilakukan
pada potongan buah menyebabkan permukaan buah menjadi lebih
lembek. Proses pemblansiran yang dipilih sebagai proses paling baikl
untuk buah belimbing adalah suhu blansir 85 0C selama 2 menit.
Perlakuan suhu dan waktu blansir yang terbaik untuk buah nanas adalah
85 0C selama 1 menit, dan untuk buah pepaya proses blansir yang terbaik
adalah suhu 85 0C selama 1 menit. Produk manisan yang dihasilkan
dengan perlakuan-perlakuan blansir tersebut memiliki warna yang baik
dan tekstur yang tidak lembek. Data pengujian disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Data uji organoleptik terbatas penentuan suhu dan waktu blansir Waktu blansir
(menit) Nilai rata-rata
Pepaya Nanas Belimbing 1 ++++ ++++ ++ 2 ++ +++ ++++ 3 ++ ++ ++ 4 + + ++ 5 + + ++
4. Penentuan kombinasi larutan gula
Perlakuan proses perendaman dalam larutan gula akan
menyebabkan buah mengalami dehidrasi osmosis. Hal ini dimungkinkan
karena gula memiliki difusifitas yang lebih rendah daripada air. Proses
dehidrasi yang berjalan lambat ini akan terus berlangsung hingga tercapai
keseimbangan kadar gula dan air dalam buah. Proses inilah yang
menyebabkan buah-buahan dapat menjadi manisan (Apriyantono, 1985).
Perendaman dilakukan bertahap dengan tiap tahapan
menggunakan konsentrasi larutan gula yang lebih tinggi. Hal ini
bertujuan agar gula dapat meresap masuk dalam buah dengan sempurna.
Perlakuan perendaman gula yang dilakukan dalam percobaan ini adalah :
a. Perendaman dalam larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, dilanjutkan
perendaman dalam larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, dan terakhir
dengan menggunakan larutan gula pasir 70 0brix 12 jam dengan suhu
awal ketiga larutan 60 0C
b. Perendaman dalam larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, dilanjutkan
perendaman dalam larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, dan terakhir
dengan menggunakan larutan gula batu 70 0brix 12 jam dengan suhu
awal ketiga larutan 60 0C
Hasil penilaian terbaik untuk ketiga jenis buah adalah
perendaman dalam larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, larutan gula pasir
55 0brix 12 jam, dan larutan gula batu 70 0brix 12 jam dengan suhu awal
ketiga larutan 60 0C. Data pengujian disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Data uji organoleptik terbatas penentuan kombinasi larutan gula Perlakuan
perendaman gula Nilai rata-rata
Papaya Nanas Belimbing a +++ ++ +++ b ++++ ++++ ++++
Penggunaaan gula batu pada perendaman terakhir bertujuan agar
manisan buah memiliki permukaan yang dilapisi glukosa. Gula batu
memiliki kandungan glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan gula
pasir. Permukaan buah yang ditutupi glukosa membuat potongan buah
menjadi lebih mudah dikeringkan karena sifat glukosa yang mudah
mengkristal. Sifat lebih cepat kering penting dalam pembuatan manisan
buah semi basah karena hasil yang diharapkan memiliki tekstur juicy,
dimana permukaannya terasa kering sementara daging buah masih terasa
basah. Penggunaan gula batu juga bertujuan untuk menghasilkan manisan
dengan rasa yang tidak terlalu manis.
Berdasarkan percobaan-percobaan yang telah dilakukan pada
penelitian tahap pertama maka produk manisan yang akan digunakan
pada penelitian tahap kedua adalah produk dengan perlakuan sebagai
berikut :
Tabel 8. Data produk terpilih dari penelitian tahap pertama
Perlakuan Belimbing Nanas Pepaya
Ketebalan potongan 0.5 cm 0.5 cm 0.5 cm
Konsentrasi dan lama perendaman kapur
0.5 % (30 menit) 0.5 % (30 menit) 0.5 % (30 menit)
Lama blansir 2 menit 1 menit 1 menit
Kombinasi gula Gula pasir dan
gula batu Gula pasir dan
gula batu Gula pasir dan
gula batu
B. TAHAP KEDUA
Dasar proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara
karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang
dikeringkan. Salah satu tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar air
bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme yang
menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti sehingga bahan memiliki
masa simpan yang lebih lama.
Pengeringan buah dilakukan dengan menggunakan oven yang
memiliki sirkulasi udara yang cepat ataupun dengan cara penjemuran
dibawah sinar matahari. Pengeringan dengan menggunakan oven dilakukan
dengan suhu 50 (a) dan 60 0C (b) dengan lama pengeringan 2 dan 4 jam,
sedangkan pengeringan dengan penjemuran di bawah sinar matahari (c)
dilakukan dengan lama penjemuran 12 – 15 jam.
Penilaian penerimaan dilakukan dengan melakukan uji organoleptik.
Parameter yang diuji adalah warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan.
Berikut ini disajikan data hasil uji organoleptik :
1. Nilai warna
a. Belimbing
Buah belimbing sangat mudah mengalami reaksi browning
enzimatis saat pengolahan dilakukan. Walaupun telah dilakukan
perubahan pada proses blansir dan perendaman dalam larutan Na-
metabisulfit ternyata penilaian panelis terhadap parameter warna
buah ini masih rendah.
Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap warna formula
manisan belimbing semi basah menunjukkan rataan nilai antara 4.03
– 4.83 (netral - agak suka) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi
0.05 (Lampiran 3). Rataan nilai ini menandakan bahwa warna
manisan belimbing semi basah yang dihasilkan masih kurang
diterima panelis dan diperlukan penyempurnaan proses agar warna
yang dihasilkan lebih disukai panelis.
b. Nanas
Skor penilaian panelis terhadap parameter warna manisan
buah nanas semi basah berkisar antara 3.36 – 5.23 (agak tidak suka –
agak suka) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran
4).
Berdasarkan hasil penilaian panelis dapat diketahui bahwa
pengeringan menggunakan tenaga matahari menghasilkan manisan
nanas yang memiliki warna yang kurang disukai. Produk yang
dikenai perlakuan pengeringan matahari berwarna lebih pucat. Hal
ini menunjukkan bahwa selama penjemuran terjadi kerusakan
karoten oleh sinar matahari. Proses pemucatan (bleaching) pada
produk tersebut ternyata tidak disukai oleh panelis.
c. Pepaya
Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap warna formula
manisan pepaya semi basah menunjukkan rataan nilai antara 5.03 –
5.33 (agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05
(Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa warna manisan pepaya
semi basah yang dibuat pada penelitian tahap pertama sudah mulai
mendekati harapan panelis.
Data hasil uji organoleptik untuk penilaian warna manisan
semi basah ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan warna manisan
0
1
2
3
4
5
6
Belimbing Nanas Pepaya
Skor kesukaan
Jenis manisan buah
a1
a2
b1
b2
c
2. Nilai aroma
a. Belimbing
Cita rasa suatu produk makanan juga ditentukan oleh faktor
aroma. Menurut Soekarto (1985), industri pangan menganggap
sangat penting untuk melakukan uji aroma karena dapat diketahui
dengan cepat bahwa produknya disukai atau tidak disukai. Proses
perendaman dalam larutan gula menyebabkan buah belimbing akan
mengalami dehidrasi osmotik Menurut Ponting et al. (1966), proses
dehidrasi osmotik mampu meminimalkan kerusakan aroma bahan
dibandingkan metode pengeringan dengan udara maupun
pengeringan vakum.
Hasil uji organolepik menunjukkan rataan nilai antara 4.3 –
4.83 (netral - agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf
signifikansi 0.05 (Lampiran 6). Rataan nilai yang berkisar pada skala
hedonik netral ini dikarenakan buah belimbing bukanlah tergolong
buah beraroma kuat, ditambah lagi adanya tahap pengeringan dengan
udara panas sehingga umumnya manisan belimbing yang dihasilkan
relatif tidak beraroma.
b. Nanas
Nilai skor penilaian panelis terhadap parameter aroma
manisan buah nanas semi basah berkisar antara 3.97 sampai 4.76
(netral – agak suka) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05
(Lampiran 7).
Penilaian yang terendah (3.97) diperoleh sampel manisan
nanas semi basah dengan perlakuan pengeringan dengan tenaga
matahari. Pengeringan matahari umumnya menyebabkan bahan
mempunyai aroma tertentu yang tidak disukai. Penilaian panelis
terhadap parameter aroma manisan buah nanas semi basah yang
relatif rendah dapat disebabkan karena potongan buah kehilangan
komponen flavor aroma selama proses pengeringan.
c. Pepaya
Hasil uji organoleptik tahap pertama pada formula manisan
pepaya semi basah menunjukkan rataan nilai antara 4.5 hingga 4.7
(agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05
(Lampiran 8).
Data hasil uji organoleptik untuk penilaian aroma manisan
semi basah ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan aroma manisan
3. Nilai tekstur permukaan
a. Belimbing
Setiap bahan makanan mempunyai sifat tekstur tersendiri
tergantung pada keadaan fisik, ukuran, dan bentuk sel yang
dikandungnya. Tekstur manisan belimbing semi basah sangat
dipengaruhi oleh konsentrasi CaCl2 dan proses pengeringan.
Rentang skor rata-rata penilaian panelis terhadap parameter
tekstur adalah antara 4.1 – 5.16 (netral – agak suka) dan berbeda
nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 9). Secara umum
terlihat bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur meningkat
seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu proses pengeringan
hingga pada titik tertentu hingga kemudian menurun kembali bila
waktu dan suhu pengeringan terus ditingkatkan. Manisan belimbing
0
1
2
3
4
5
6
Belimbing Nanas Pepaya
Skor kesukaan
Jenis manisan buah
a1
a2
b1
b2
c
semi basah yang diperoleh dari perlakuan proses pengeringan
dengan alat pengering kabinet dengan suhu 50 0C selama 4 jam
mempunyai rataan nilai kesukaan tertinggi terhadap tekstur
dibandingkan dengan lima sampel lainnya.
b. Nanas
Tekstur manisan nanas semi basah dipengaruhi oleh
konsentrasi gula, konsentrasi CaCl2 dan proses pengeringan. Skor
penilaian panelis terhadap parameter tekstur pada manisan semi
basah nanas berkisar pada selang nilai 4.37 – 4.87 (netral - agak
suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran
10).
Tingkat penerimaan yang rendah dapat disebabkan karena
perlakuan panas yang diterapkan menyebabkan pengerutan pada
potongan buah. Hal ini terjadi karena proses dehidrasi osmotik yang
terjadi selama perendaman belum mencukupi, demikian juga proses
difusi gula ke dalam buah. Oleh karena itu pada saat buah
dikeringkan, jumlah gula dalam buah tidak mencukupi untuk
mempertahankan bentuk dan tekstur buah akibat menguapnya air
dari buah.
c. Pepaya
Skor penerimaan panelis terhadap parameter tekstur manisan
buah pepaya semi basah berkisar antara 4.87 hingga 5.33 atau berada
pada skala agak suka dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi
0.05 (Lampiran 11).
Data hasil uji organoleptik untuk penilaian tekstur manisan
semi basah ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan tekstur manisan
4. Nilai rasa
a. Belimbing
Faktor yang sangat penting dalam menentukan keputusan
panelis untuk menerima atau menolak suatu produk makanan adalah
rasa. Rasa dimulai melalui tanggapan rangsangan kimiawi oleh
indera pencicip (lidah), hingga akhirnya terjadi keseluruhan interaksi
antara sifat-sifat aroma, rasa, dan tekstur sebagai keseluruhan rasa
makanan yang dinilai.
Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap parameter rasa
manisan belimbing semi basah belimbing adalah antara 4.7 – 5.33
(agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05
(Lampiran 12).
b. Nanas
Nilai rata-rata skor kesukaan panelis terhadap parameter rasa
manisan nanas semi basah adalah antara 3.8 sampai 5.17 (agak tidak
suka – agak suka) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05
(Lampiran 13). Rata-rata nilai tertinggi diperoleh sampel manisan a2
dan b1, sedangkan nilai rata-rata terendah diperoleh oleh sampel
manisan c (pengeringan matahari).
0
1
2
3
4
5
6
Belimbing Nanas Pepaya
Skor kesukaan
Jenis manisan buah
a1
a2
b1
b2
c
c. Pepaya
Hasil pengujian organoleptik terhadap parameter rasa
manisan pepaya semi basah menunjukkan rataan nilai antara 4.77 –
5.22 (agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05
(Lampiran 14).
Data hasil uji organoleptik untuk penilaian rasa manisan semi
basah ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan rasa manisan
5. Nilai kerenyahan
a. Belimbing
Kerenyahan merupakan salah satu kriteria penting dalam
menentukan mutu produk makanan kering atau makanan yang
berbentuk padatan. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap
parameter kerenyahan pada manisan belimbing semi basah berkisar
antara 4.33 sampai 5.33 (netral – agak suka) dan berbeda nyata pada
taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 15).
b. Nanas
Kerenyahan manisan nanas dipengaruhi oleh konsentrasi
CaCl2, dan gula. Kerenyahan memainkan peran penting dalam
penerimaan suatu produk oleh konsumen. Rata-rata nilai kerenyahan
0
1
2
3
4
5
6
Belimbing Nanas Pepaya
Skor kesukaan
Jenis manisan buah
a1
a2
b1
b2
c
manisan nanas semi basah adalah antara 4.1 hingga 4.87 atau berada
pada skala netral hingga agak suka dan berbeda nyata pada taraf
signifikansi 0.05 (Lampiran 16).
c. Pepaya
Hasil pengujian organoleptik pada manisan pepaya semi
basah menunjukkan rataan nilai 4.97 – 5.37 (agak suka) dan tidak
berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 17).. Kisaran
rataan yang berada pada skala hedonik agak suka menandakan
bahwa karakteristik kerenyahan manisan pepaya sudah mendekati
keinginan panelis.
Data hasil uji organoleptik untuk penilaian kerenyahan
manisan semi basah ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata
kesukaan kerenyahan manisan
Berdasarkan hasil dari uji penerimaan yang telah dilakukan
diketahui bahwa formulasi belimbing semi basah yang memiliki
karakteristik terbaik menurut panelis adalah formula a2 (suhu
pengeringan 50 0C selama 4 jam). Formulasi manisan ini
mendapatkan nilai 4.8 (rasa), 4.77 (aroma), 5.17 (tekstur), 5.3 (rasa),
dan 5.33 (kerenyahan). Formulasi manisan nanas semi basah yang
terbaik menurut penilaian panelis adalah formula b1 (suhu
0
1
2
3
4
5
6
Belimbing Nanas Pepaya
Skor kesukaan
Jenis manisan buah
a1
a2
b1
b2
c
pengeringan 60 0C selama 2 jam). Formulasi manisan nanas ini
memperoleh nilai 5.23 (rasa), 4.77 (aroma), 4.83 (tekstur), 5.17
(rasa), dan 4.87 (kerenyahan). Sedangkan untuk fomulasi manisan
papaya adalah formula b1 (suhu pengeringan 60 0C selama 2 jam).
Formulasi manisan nanas ini memperoleh nilai 5. 3 (rasa), 4.5
(aroma), 5.33 (tekstur), 5.17 (rasa), dan 5.37 (kerenyahan).
Selanjutnya ketiga formulasi manisan tersebut akan
digunakan pada penelitian tahap ketiga.
C. TAHAP KETIGA
Proses pembuatan yang dilakukan pada pembuatan manisan semi
basah umumnya memberikan hasil daging buah yang renyah, rasa yang dapat
diterima, dan karakteristik juicy yang dapat dipertahankan. Namun
permukaan tetap lengket oleh sisa-sisa larutan gula yang sulit dikeringkan.
Sisa-sisa larutan gula ini biasanya berada di celah-celah yang terdapat pada
kerutan buah dan umumnya manisan yang permukaannya lengket tidak
disukai oleh panelis.
Penghilangan sisa larutan gula sebenarnya bisa dilakukan dengan
melanjutkan pengeringan, namun proses pengeringan yang terlalu lama dapat
menyebabkan potongan buah menjadi keras dan kehilangan sifat juicy-nya.
Untuk mengatasi lengket tersebut maka dilakukan dusting / penaburan tepung
pada potongan buah yang sudah dikeringkan.
Dusting dilakukan pada manisan buah yang sudah didinginkan. Hal
ini sangat membantu pada proses dusting. Potongan buah yang didinginkan
dapat ditempeli tepung dusting dengan baik (tipis), sedangkan potongan buah
yang tidak didinginkan akan ditempeli banyak tepung karena banyaknya
jumlah larutan gula di permukaan.
Proses dusting dilakukan dengan beberapa jenis tepung yaitu,
campuran tepung gula dan tepung kanji (1 : 1), glukosa kristal, dan dekstrin
kristal. Penggunaan tepung gula tanpa campuran bahan lain untuk proses
dusting umumnya tidak disukai oleh panelis. Tingkat kemanisan dari tepung
gula kurang lebih sama dengan gula pasir, karena itu rasa manisan buah
menjadi terlalu manis sehingga berkesan kehilangan rasa buahnya dan
berganti dengan rasa gula. Karena itu dilakukan pencampuran tepung gula
dengan tepung kanji. Pemilihan tepung kanji sebagai campuran tepung gula
bertujuan untuk mengurangi tingkat kemanisan bahan dusting tanpa
memberikan rasa tambahan lainnya dikarenakan tepung kanji memiliki rasa
yang hambar. Campuran keduanya menghasilkan bahan dusting yang
memiliki rasa tidak terlalu manis, dan tidak mengganggu rasa asli buah
tersebut.
Bahan dusting lain yang digunakan adalah glukosa kristal. Tingkat
kemanisan glukosa yang rendah tidak membuat manisan buah menjadi terlalu
manis, sehingga rasa asli buahnya tetap terasa dan permukaannya menjadi
tidak lengket. Bahan dusting ketiga adalah dekstrin kristal. Dekstrin kristal
memiliki rasa yang hambar dan mempunyai karakteristik khas seperti debu
saat dicicipi.
Formula manisan buah yang digunakan untuk proses dusting adalah
manisan yang memperoleh ranking terbaik pada uji ranking hedonik. Formula
manisan belimbing yang digunakan adalah formula a2 (proses pengeringan
dengan oven bersuhu 50 0C selama 4 jam), formula manisan nanas adalah
formula b1 (proses pengeringan dengan oven bersuhu 60 0C selama 2 jam),
dan formula manisan pepaya yang digunakan adalah formula b1 (proses
pengeringan dengan oven bersuhu 60 0C selama 2 jam).
Penilaian penerimaan dilakukan dengan melakukan uji organoleptik.
Bahan dusting yang digunakan pada manisan semi basah adalah campuran
tepung gula dan tepung kanji (1 : 1) (A), glukosa kristal (B), dan dekstrin
kristal (C). Parameter yang diuji adalah warna, aroma, tekstur, rasa, dan
kerenyahan. Berikut ini disajikan data hasil uji organoleptik :
1. Nilai warna
a. Belimbing
Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter
warna pada formula manisan belimbing a2 adalah 4.8 (agak suka).
Berdasarkan pengamatan visual, manisan formulasi ini memiliki
warna kuning-coklat gelap sehingga, tampak kurang menarik.
Setelah dilakukan proses dusting dengan menggunakan tiga jenis
bahan dusting pada manisan ini terjadi peningkatan nilai penerimaan
warna menjadi 4.93 – 5.3 (agak suka) dan tidak berbeda nyata pada
taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 18). Warna manisan yang aslinya
berwarna kuning-coklat gelap sedikit tertutupi oleh warna putih
tepung dusting.
b. Nanas
Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter
warna pada formula manisan nanas b1 adalah 5.23 (agak suka).
Berdasarkan pengamatan, manisan formulasi ini memiliki warna
kuning cerah yang tidak berbeda dengan potongan buah segarnya.
Proses dusting yang dilakukan dengan menggunakan tiga jenis bahan
dusting pada manisan ini memberikan nilai antara 4.93 hingga 5.3
(agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05
(Lampiran 19).
Proses dusting yang dilakukan pada produk manisan nanas
semi basah menyebabkan sedikit tertutupnya potongan buah oleh
paparan tepung dusting. Hal ini menyebabkan warna potongan
manisan buah yang awalnya kuning cerah menjadi lebih putih
(tampak lebih pucat), namun hal ini tidak terlalu berpengaruh
terhadap penilaian panelis.
c. Pepaya
Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter
warna pada formula manisan pepaya b1 adalah 5.3 (agak suka).
Seperti manisan buah nanas, manisan formulasi ini memiliki warna
oranye-merah cerah yang tidak berbeda dengan potongan buah
segarnya. Namun proses dusting yang dilakukan menyebabkan
tertutupnya warna buah. Perlakuan dusting pada potongan manisan
buah pepaya semi basah memberikan hasil uji organoleptik untuk
parameter warna sebesar 5.03 hingga 5.16 (agak suka) dan berbeda
nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 20).
Data hasil uji organoleptik untuk penilaian manisan manisan
semi basah ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan warna manisan
2. Nilai aroma
a. Belimbing
Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter
aroma pada formula manisan belimbing a2 adalah 4.76 (agak suka).
Manisan ini memiliki sedikit aroma buah segar belimbing disertai
dengan sedikit aroma karamel gula. Setelah dilakukan proses dusting
dengan menggunakan tiga jenis bahan dusting pada manisan ini tidak
terjadi perubahan nilai penerimaan aroma yang signifikan.
Rentang nilai penerimaan panelis terhadap parameter aroma
manisan belimbing yang mengalami perlakuan dusting adalah 4.7 –
4.76 (agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05
(Lampiran 21). Nilai tertinggi pada uji organoleptik aroma yang
kedua adalah formula manisan C (bahan dusting dekstrin kristal).
Tidak signifikannya perubahan nilai bisa dikarenakan semua bahan
dusting yang digunakan tidak memiliki aroma yang cukup kuat.
4,7
4,8
4,9
5
5,1
5,2
5,3
5,4
Belimbing Nanas Pepaya
Skor kesukaan
Jenis manisan buah
A
B
C
b. Nanas
Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter
aroma pada formula manisan nanas b1 adalah 4.76 (agak suka).
Tidak terjadi perubahan nilai penerimaan yang signifikan setelah
dilakukan proses dusting pada manisan ini. Hal ini dikarenakan
seluruh bahan dusting yang digunakan relatif tidak memiliki aroma
yang kuat. Nilai uji organoleptik aroma berkisar pada selang 4.46
hingga 4.56 (agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf
signifikansi 0.05 (Lampiran 22).
c. Pepaya
Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter
aroma pada formula manisan pepaya b1 adalah 4.5 (agak suka).
Tidak terjadi perubahan nilai penerimaan yang signifikan setelah
proses dusting. Hal ini dikarenakan seluruh bahan dusting yang
digunakan tidak memiliki aroma yang kuat. Nilai uji organoleptik
aroma berkisar pada selang 4.73 hingga 4.86 (agak suka) dan tidak
berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 23).
Data hasil uji organoleptik untuk penilaian aroma manisan
semi basah ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan aroma manisan
4,2
4,3
4,4
4,5
4,6
4,7
4,8
4,9
Belimbing Nanas Pepaya
Skor kesukaan
Jenis manisan buah
A
B
C
3. Nilai tekstur permukaan
a. Belimbing
Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter
tekstur permukan pada formula manisan belimbing a2 adalah 5.1
(suka). Tekstur permukaan manisan ini terdapat sisa-sisa larutan gula
yang lengket, cukup empuk digigit, dan terasa berair (juicy). Setelah
dilakukan proses dusting terjadi peningkatan nilai penerimaan
tekstur.
Hasil uji organoleptik tahap kedua menunjukkan nilai
penerimaan tekstur panelis 5.26 – 5.5 (agak suka - suka) dan tidak
berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 24).
Peningkatan nilai ini terutama dipengaruhi oleh permukaan manisan
yang tidak lengket.
b. Nanas
Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter
tekstur permukan pada formula manisan nanas b1 adalah 4.83 (agak
suka). Tekstur permukaan manisan ini terdapat sisa-sisa larutan gula
yang lengket, cukup empuk digigit, dan terasa berair (juicy). Setelah
dilakukan proses dusting terjadi peningkatan nilai penerimaan
tekstur menjadi 4.86 – 5.03 (agak suka) dan tidak berbeda nyata pada
taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 25).
c. Pepaya
Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter
tekstur permukan pada formula manisan pepaya b1 adalah 5.3 (agak
suka). Tekstur permukaan manisan ini seperti kedua buah lainnya,
terdapat sisa-sisa larutan gula yang lengket, dan terasa berair (juicy).
Setelah dilakukan proses dusting terjadi peningkatan nilai
penerimaan tekstur menjadi 5.06 – 5.43 (agak suka) dan tidak
berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 26).
Peningkatan nilai ini terutama dipengaruhi permukaan manisan yang
tidak lengket.
Data hasil uji organoleptik untuk penilaian tekstur manisan
semi basah ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan tekstur manisan
4. Nilai rasa
a. Belimbing
Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter rasa
pada formula manisan belimbing a2 adalah 5.3 (agak suka). Rasa
manisan ini adalah rasa buah belimbing yang didominasi rasa manis
dengan sedikit rasa asam. Setelah dilakukan proses dusting dengan
menggunakan tiga jenis bahan dusting pada manisan ini terjadi
peningkatan nilai penerimaan warna menjadi 5.36 – 5.76 (agak suka
- suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05
(Lampiran 27).
Peningkatan nilai kesukaan panelis terhadap parameter rasa
disebabkan pengaruh penggunaan bahan dusting yang tergolong gula
sehingga memberikan lebih banyak rasa manis yang memang
disukai.
4,5
4,6
4,7
4,8
4,9
5
5,1
5,2
5,3
5,4
5,5
5,6
Belimbing Nanas Pepaya
Skor kesukaan
Jenis manisan buah
A
B
C
b. Nanas
Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter rasa
pada formula manisan nanas b1 adalah 5.17 (agak suka). Rasa
manisan ini adalah rasa khas buah nanas yang manis. Penggunaan
bahan dusting yang tergolong gula sehingga memberikan lebih
banyak rasa manis disukai oleh panelis. Setelah dilakukan proses
dusting dengan menggunakan tiga jenis bahan dusting pada manisan
ini terjadi peningkatan nilai penerimaan warna menjadi 5.16 – 5.72
(agak suka - suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi
0.05 (Lampiran 28). Nilai tertinggi diperoleh formula manisan B
(bahan dusting glukosa kristal).
c. Pepaya
Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter rasa
pada formula manisan pepaya b1 adalah 5.2 (agak suka). Setelah
dilakukan proses dusting dengan menggunakan tiga jenis bahan
dusting pada manisan ini terjadi peningkatan nilai penerimaan warna
menjadi 5.6 – 6.03 (agak suka) dan berbeda nyata pada taraf
signifikansi 0.05 (Lampiran 5). Penggunaan bahan dusting yang
tergolong gula memberikan lebih banyak rasa manis sehingga
penilaian panelis menjadi lebih besar. Nilai tertinggi diperoleh
formula manisan B (bahan dusting glukosa kristal).
Data hasil uji organoleptik untuk penilaian rasa manisan semi
basah ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan rasa manisan
5. Nilai kerenyahan
a. Belimbing
Uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter
kerenyahan pada formula manisan belimbing a2 adalah 5.3 (agak
suka). Setelah dilakukan proses dusting dengan menggunakan tiga
jenis bahan dusting pada manisan ini terjadi sedikit peningkatan nilai
penerimaan kerenyahan menjadi 5.3 – 5.53 (agak suka - suka) dan
tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 5).
b. Nanas
Uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter
kerenyahan pada formula manisan nanas b1 adalah 4.86 (agak suka).
Setelah dilakukan proses dusting dengan menggunakan tiga jenis
bahan dusting pada manisan ini tidak terjadi perubahan nilai
penerimaan kerenyahan yang signifikan. Nilai uji sensori terhadap
parameter kerenyahan yang diperoleh adalah 4.76 – 4.83 (agak suka)
dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 5).
4,6
4,8
5
5,2
5,4
5,6
5,8
6
6,2
Belimbing Nanas Pepaya
Skor kesukaan
Jenis manisan buah
A
B
C
c. Pepaya
Uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter
kerenyahan pada formula manisan pepaya b1 adalah 5.36 (agak
suka). Setelah dilakukan proses dusting dengan menggunakan tiga
jenis bahan dusting pada manisan ini tidak terjadi perubahan nilai
penerimaan kerenyahan yang signifikan. Nilai uji sensori terhadap
parameter kerenyahan yang diperoleh adalah 5.26 – 5.5 (agak suka -
suka) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 5)..
Data hasil uji organoleptik untuk penilaian kerenyahan
manisan semi basah ditunjukkan pada Gambar 11.
Gambar 11. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan kerenyahan manisan
Berdasarkan hasil dari uji penerimaan yang telah dilakukan
diketahui bahwa formulasi belimbing semi basah yang memiliki
karakteristik terbaik menurut panelis adalah formula A (bahan
dusting campuran tepung gula dan tepung kanji). Formulasi manisan
ini mendapatkan nilai 5.3 (rasa), 4.73 (aroma), 5.5 (tekstur), 5.77
(rasa), dan 5.53 (kerenyahan). Formulasi manisan nanas semi basah
yang terbaik menurut penilaian panelis adalah formula B (bahan
dusting glukosa kristal). Formulasi manisan nanas ini memperoleh
nilai 5.33 (rasa), 4.53 (aroma), 5.03 (tekstur), 5.72 (rasa), dan 4.83
4,2
4,4
4,6
4,8
5
5,2
5,4
5,6
Belimbing Nanas Pepaya
Skor kesukaan
Jenis manisan buah
A
B
C
(kerenyahan). Sedangkan untuk fomulasi manisan papaya adalah
formula B (bahan dusting glukosa kristal). Formulasi manisan nanas
ini memperoleh nilai 5.03 (rasa), 4.87 (aroma), 5.43 (tekstur), 6.03
(rasa), dan 5.5 (kerenyahan).
D. ANALISIS PRODUK TERPILIH
Proses pembuatan produk manisan semi basah melibatkan beberapa
tahapan yang dapat menyebabkan perubahan-perubahan dalam produk akhir.
Perubahan dapat terjadi pada kandungan kimia maupun sifat fisik produk
tersebut. Jumlah kandungan mikroba juga berubah seiring dengan perlakuan
terhadap produk manisan.
Analisis produk pada penlitian ini dilakukan pada produk terpilih dari
uji organoleptik tahap ketiga. Analisis ini menentukan kelayakan produk
untuk dikonsumsi. Berikut ini adalah data analisis produk terpilih :
1. Mutu kimia manisan semi basah
Analisis proksimat merupakan suatu metode analisis yang biasa
dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai kandungan komponen
utama pada bahan. Analisis ini meliputi penentuan kadar air, kadar abu,
kadar protein, dan kadar lemak. Adapun kandungan karbohidrat
ditentukan by difference, yaitu dengan menghitung selisih antara 100
dengan total kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak.
Formula manisan yang diuji kandungan zat gizinya adalah manisan buah
semi basah yang mendapat ranking terbaik pada uji ranking hedonik
tahap ketiga. Data hasil analisis kimia manisan semi basah ditampilkan
pada Tabel 8.
Tabel 9. Komposisi kimia formula manisan semi basah hasil analisis proksimat (% bb)
Komposisi Belimbing A Nanas B Pepaya B
Air (%) 24.32 27.95 21.99
Abu (%) 0.28 0.24 0.43
Protein (%) 1.01 1.15 1.29
Lemak (%) 0.28 0.33 0.32
Karbohidrat (%) 74.11 70.33 75.97
Keterangan : Belimbing A : potongan sejajar sirip buah ketebalan 0.5 cm, perendaman larutan
kapur CaCl2 500 ppm dan Na-metabisulfit 150 ppm 30 menit, blansir 85 0C selama 2 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix, larutan gula pasir 55 0brix, dan larutan gula batu 70 0brix masing-masing 12 jam, pengeringan oven 50 0C selama 4 jam, dan dusting campuran tepung gula dan tepung kanji.
Nanas B : ketebalan potongan 0.5 cm sejajar, perendaman larutan kapur CaCl2 500 ppm 30 menit, blansir 85 0C 1 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix, larutan gula pasir 55 0brix, dan larutan gula batu 70 0brix masing-masing 12 jam, pengeringan oven 60 0C selama 2 jam, dan dusting glukosa kristal.
Pepaya B : ketebalan potongan 0.5 cm, perendaman larutan kapur CaCl2 500 ppm 30 menit, blansir 85 0C 1 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix, larutan gula pasir 55 0brix, dan larutan gula batu 70 0brix masing-masing 12 jam, pengeringan oven 60 0C selama 2 jam, dan dusting glukosa kristal.
a. Kadar air
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan
yang dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa
makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan
acceptability, kesegaran, dan daya tahan makanan (Winarno, 1984).
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar air
formula manisan belimbing semi basah adalah 24.32 %, manisan
nanas semi basah adalah 27.95 %, dan manisan pepaya semi basah
adalah 21.99%. Penurunan ini disebabkan oleh proses pengolahan
manisan yang sangat mempengaruhi penurunan kadar air,
diantaranya perendaman dalam larutan gula dan pengeringan.
Menurut Ponting et al., (1966), proses dehidrasi osmosis
akibat perendaman dalam larutan gula mengakibatkan pengeluaran
sejumlah air dari dalam buah-buahan. Makin lama perendaman dan
makin pekatnya konsentrasi gula yang digunakan, jumlah air yang
keluar dari bahan juga akan semakin banyak. Pengeluaran air dari
dalam buah mengakibatkan penurunan kadar air. Selain itu,
penurunan kadar air juga bisa disebabkan proses pengeringan yang
melibatkan panas sehingga terjadi penguapan air.
Kadar air merupakan parameter utama yang terlibat dalam
kebanyakan reaksi perusakan bahan pangan. Beberapa kerusakan
yang disebabkan oleh kadar air yang tinggi pada bahan pangan
adalah pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan, hidrolisis, dan
oksidasi lemak. Nilai kadar air formula manisan semi basah yang
rendah diyakini dapat menghambat terjadinya berbagai kerusakan
tersebut, sehingga mutu produk tetap terjaga.
b. Kadar protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting
bagi tubuh, karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar
dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur.
Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-
unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau
karbohidrat (Winarno, 1984). Beberapa komponen penyusun yang
mengandung unsur-unsur tersebut diantaranya asam sitrat (C6H8O7),
potasium sorbat (C6H7O2K), sukrosa (C12H22O11), dan asam askorbat
(C6H8O6).
Data hasil analisis menunjukkan bahwa kadar protein formula
manisan belimbing, nanas, dan pepaya semi basah berturut-turut
adalah 1.01%, 1.15 %, dan 1.29 % bb.
c. Kadar lemak
Lemak atau minyak merupakan sumber energi yang paling
efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu
gramlemak dapat menghasilkan kalori sebesar 9 kkal, sedangkan
karbohidrat dan protein hanya menghasilkan kalori sebesar 4 kkal.
Hampir semua bahan pangan banyak mengandung lemak dan
minyak, terutama bahan yang berasal dari hewan. Selain sebagai
sumber energi, lemak dan minyak berperan penting dalam
penyediaan vitamin A, D, E, dan K dalam tubuh serta pembentukan
cita rasa suatu makanan (Winarno, 1984).
Kadar lemak yang dianalisis pada penelitian ini adalah kadar
lemak kasar, yaitu tidak hanya lemak (true fat), tetapi juga lilin,
fosfolipida, sterol, hormon, minyak atsiri dan pigmen (Ketaren,
1986). Kadar lemak formula formula manisan belimbing, nanas, dan
pepaya semi basah berturut-turut adalah 0.28 % bb, 0.33 % bb, dan
0.32 % bb. Kadar lemak yang rendah ini mempunyai keuntungan,
yaitu dapat mengurangi reaksi oksidasi selama penyimpanan. Reaksi
oksidasi lemak dapat menyebabkan penurunan mutu produk karena
menimbulkan ketengikan pada produk dan juga pembentukan radikal
bebas yang sangat berbahaya bagi tubuh.
d. Kadar abu
Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96 % terdiri dari
bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur mineral. Unsur
mineral juga dikenal sebagai zat organik atau abu. Dalam proses
pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya
tidak, karena itulah disebut abu (Winarno, 1984). Kadar abu formula
manisan manisan buah sangat dipengaruhi oleh kadar abu bahan
penyusunnya terutama garam dan CaCl2 (kalsium klorida).
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar abu
formula manisan belimbing, nanas, dan pepaya semi basah berturut-
turut adalah 0.28 %, 0.24 %, dan 0.43 % bb.
e. Kadar karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama dan mempuyai
peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan,
misalnya rasa, warna, dan tekstur (Winarno, 1984). Karbohidrat
dalam makanan terdiri dari dua jenis, yaitu karbohidrat yang dapat
dicerna (pati) dan karbohidrat yang tidak dapt dicerna (serat) oleh
tubuh dalam sistem metabolisme.
Sumber karbohidrat utama pada formula manisan semi basah
ini berasal dari kandungan karbohidrat sukrosa. Penentuan kadar
karbohidrat dalam penelitian ini dihitung secara by difference, yaitu
dengan menghitung selisih antara 100% dengan total kadar air, abu,
protein, dan lemak. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh kadar
karbohidrat formula formula manisan belimbing, nanas, dan pepaya
semi basah berturut-turut adalah 74.11 %bb, 70.33 % bb, dan 75.97
% bb. Kadar karbohidrat ketiga formula yang diuji tidak jauh
berbeda. Hal ini dikarenakan ketiganya mendapat perlakuan
perendaman dalam larutan gula (sukrosa) dengan konsentrasi yang
sama, yaitu 40, 55, dan 70 0Brix. Adanya sedikit perbedaan kadar
karbohidrat diantara ketiga formula yang diuji disebabkan terjadi
perubahan kadar lemak, protein, dan abu, sehingga dengan
perhitungan secara by difference kadar karbohidrat pun akan berubah
sesuai perubahan komponen gizi lainnya.
Karbohidrat yang terdapat pada formula manisan semi basah
sebagian besar terdiri dari sukrosa dan sebagian kecil serat.
Karbohidrat mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menentukan kalori produk karena jumlahnya yang sangat tinggi.
Menurut Winarno (1984), walaupun jumlah kalori yang dihasilkan
oleh 1 gramkarbohidrat hanya 4 kkal, bila dibandingkan dengan
protein dan lemak, karbohidrat merupakan sumber kalori yang
murah.
2. Mutu fisik manisan semi basah
Analisis mutu fisik yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari
perhitungan rendemen, pengukuran pH, tingkat kekerasan dan aktivitas
air.
a. Rendemen
Pengukuran rendemen penting dilakukan dalam kaitannya
dengan perhitungan ekonomis bahan baku. Makin besar rendemen,
makin besar pula jumlah produk yang dihasilkan per satuan berat
bahan awal.
Selama proses dehidrasi osmosis buah-buahan, air yang
berdisfusi ke luar dapat mencapai lebih dari 50 % dari berat awal
buah (Ponting et al., 1966). Air berdifusi keluar melalui dinding sel
yang bertindak sebagai membran hingga tercapai keseimbangan
konsentrasi di dalam dan di luar bahan. Dan karena berat molekul
gula lebih besar daripada air maka kemampuan molekul gula untuk
menembus dinding sel lebih kecil, sehingga proses ini disebut juga
dehidrasi parsial (Ponting et al., 1966).
Hasil pengukuran rendemen pada formula manisan buah
belimbing semi basah adalah 72 %, formula manisan nanas semi
basah 45 %, dan formula manisan pepaya semi basah adalah 71 %.
Perbedaan jumlah rendemen disebabkan berbagai hal, selain
kehilangan air, juga disebabkan proses pengupasan dan pemotongan
yang berbeda untuk setiap buah.
Buah belimbing memiliki kulit yang tipis dan jumlah biji
yang sedikit, sehingga tidak banyak bagian buah yang dibuang. Buah
pepaya memiliki kulit yang tipis namun bijinya yang sangat banyak.
Pada buah nanas hasil rendemen tergolong rendah karena banyaknya
bagian buah yang tidak ikut diolah menjadi manisan. Bagian yang
harus dibuang antara lain daun, kulit, bagian mata nanas pada daging
buah, dan bagian tengah buah.
b. Keasaman (pH)
Pengukuran keasaman produk yang biasa dinyatakan dengan
pH, penting dilakukan karena pH mempengaruhi terjadinya inversi
sukrosa dalam larutan gula. Nilai pH juga mempengaruhi laju
pertumbuhan mikroorganisme, aktivitas enzim, dan stabilitas vitamin
dalam bahan pangan. Menurut Woodroof dan Luh (1975), adanya
asam yang tinggi turut mencegah terjadinya pencoklatan pada buah-
buahan yang dikeringkan.
Apabila pH produk akhir yang diinginkan rendah, maka
jumlah asam yang digunakan harus cukup tinggi, terutama bila
disertai perendaman dalam larutan gula konsentrasi tinggi. Goutara
(1985) menyatakan bahwa bila diinginkan kandungan asam yang
tinggi pada produk akhir maka asam dapat ditambahkan dalam
larutan gula yang digunakan untuk perendaman.
Hasil pengukuran pH pada sampel manisan belimbing semi
basah dari tiga kali ulangan menunjukkan nilai rata-rata sebesar 4.09.
pH rata-rata sampel manisan nanas semi basah adalah 4.36.
Sedangkan hasil pengukuran pH untuk sampel manisan pepaya semi
basah rata-rata adalah 4.17.
c. Kekerasan
Kekerasan produk diukur secara objektif dengan
menggunakan Texture Analyzer (TA). Makin besar beban (gaya)
yang dibutuhkan untuk menyobek sampel, makin tinggi tingkat
kekerasan sampel tersebut. Data pengujian sampel manisan semi
basah belimbing, nanas, dan pepaya dapat dilihat pada Lampiran 33.
Rata-rata beban yang diperlukan untuk menyobek manisan
belimbing semi basah adalah 4539.3 gramdengan waktu rata-rata
2.405 sekon. Rata-rata beban yang diperlukan untuk menyobek
manisan nanas semi basah adalah 6015.3 gramdengan waktu rata-
rata 3.498 sekon. Rata-rata beban yang diperlukan untuk menyobek
manisan pepaya semi basah adalah 3280.5 gramdengan waktu rata-
rata 2.291 sekon Secara umum tingkat kekerasan / kerenyahan
manisan-manisan semi basah yang diuji tergolong empuk.
Permukaan potongan buah yang kering cukup renyah sedangkan
bagian dalam potongan daging buah empuk dan mengandung air
(juicy).
d. Aktivitas air (aw)
Pengukuran aktivitas air penting artinya bagi industri pangan
karena nilai aw mengontrol laju dan jenis reaksi kerusakan bahan,
serta merupakan suatu indeks bagi stabilitas dan kualitas bahan
pangan (Desroiser, 1988). Menurut Winarno et al. (1988), aktivitas
air merupakan jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk tumbuh. Tujuan pengukuran aw adalah
mengetahui keaktifan air minimal yang terdapat pada bahan pangan
sehingga dapat dilakukan tindakan untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya kontaminasi mikroorganisme. Nilai aw minimum bagi
pertumbuhan mikroba disajikan di Tabel 9.
Tabel 10. Aktivitas air (aw) minimum pertumbuhan mikroba pada bahan pangan
Mikroorganisme aw minimum
Organisme penghasil lendir pada daging 0.98
Spora Pseudomonas, Bacillus cereus 0.97
Spora B. subtilis, C. Botulinum 0.95
C. botulinum, Salmonella 0.93
Bakteri pada umumnya 0.91
Ragi pada umumnya 0.88
Aspergillus niger 0.85
Jamur pada umumnya 0.80
Bakteri halofilik 0.75
Jamur xerofilik 0.65
Ragi osmofilik 0.62 Sumber : Buckle et al. (1985)
3. Mutu mikrobiologi manisan semi basah
Pertumbuhan bakteri, reaksi pencoklatan, hidrolisis, dan oksidasi
lemak umumnya terjadi pada kisaran aw diatas 0.8. Apabila suatu produk
pangan memiliki nilai aw yang lebih rendah maka pertumbuhan bakteri
dan aktifitas-aktifitas tertentu dapat ditekan sehingga umur simpan
produk menjadi lebih panjang.
Hasil pengukuran rata-rata aw dari dua kali ulangan pada sampel-
sampel manisan semi basah adalah 0.636 untuk belimbing, 0.628 untuk
nanas, dan 0.664 untuk pepaya. Sampel manisan semi basah ini tergolong
kedalam makanan beraktifitas air sedang. Nilai aktivitas air formula
manisan yang berkisar antara 0.628 – 0.664 diyakini dapat menghambat
terjadinya berbagai kerusakan seperti pertumbuhan mikroba, reaksi
pencoklatan, hidrolisis, dan oksidasi lemak, sehingga mutu produk tetap
terjaga.
Jumlah mikro organisme dalam bahan pangan penting untuk
diketahui. Hal ini berhubungan dengan keamanan dalam mengkonsumsi
pangan. Hasil perhitungan uji mikrobiologi manisan disajikan pada Tabel
10.
Tabel 11. Hasil perhitungan koloni manisan semi basah dengan metode TPC
Sampel Ulangan Jumlah koloni tiap pengenceran Koloni/gr 10-1 10-2 10-3
Belimbing 1 4 0 0 < 2.5 x 102 2 3 0 0
Nanas 1 1 0 0 < 2.5 x 102 2 5 0 0
Pepaya 1 2 0 0 < 2.5 x 102 2 1 0 0
Berdasarkan hasil pengamatan, pada analisis formula belimbing
ditemukan 4 dan 3 koloni pada pemupukan 10-1, 0 koloni pada
pemupukan 10-2, serta 0 koloni pada pemupukan 10-3. Pada analisis
formula nanas ditemukan 1 dan 5 koloni pada pemupukan 10-1, 0 koloni
pada pemupukan 10-2, serta 0 koloni pada pemupukan 10-3. Pada analisis
formula pepaya ditemukan 2 dan 1 koloni pada pemupukan 10-1, 0
koloni pada pemupukan 10-2, dan 0 koloni pada pemupukan 10-3.
Berdasarkan SNI mengenai uji cemaran mikroba yaitu SNI 01-2897-
1992, perhitungan koloni dilakukan pada kisaran 25-250 koloni. Data
hasil perhitungan di Tabel 6 menunjukkan jumlah koloni yang lebih kecil
dari batasan tersebut, sehingga jumlah mikroba yang terdapat pada
manisan semi basah adalah lebih kecil dari 2.5 x 102 koloni/gr.
Adanya perendaman dalam larutan garam dan larutan gula yang
disertai penambahan potasium sorbat sebagai pengawet antimikroba,
telah berhasil menghambat bahkan menginaktifkan mikroba yang
tumbuh. Perendaman ini akan menimbulkan tekanan osmosis yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Lingkungan yang isotonik dapat
menyebabkan dinding sel mikroba mempunyai konsentrasi yang sama
dengan media yang berisi bahan makanan, dengan adanya garam dan
gula, sebagian air yang ada menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan
mikroorganisme dan aktivitas air (aw) dari bahan pangan akan berkurang.
Kadar air dan aw bahan juga berkurang akibat proses pengeringan yang
dilakukan pada suhu 50 - 60C.
Kadar air merupakan parameter utama yang terlibat dalam
kebanyakan reaksi perusakan bahan pangan. Beberapa kerusakan yang
disebabkan oleh kadar air yang tinggi pada bahan pangan adalah
pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan, hidrolisis, dan oksidasi lemak.
Nilai kadar air formula manisan semi basah yang rendah diyakini dapat
menghambat terjadinya berbagai kerusakan tersebut, sehingga mutu
produk tetap terjaga. Berbagai kerusakan tersebut terutama kerusakan
akibat mikroba juga dapat dihambat dengan kadar aw bahan hasil analisis
yang tergolong rendah.
Mutu manisan semi basah ini juga tetap terjaga dengan pH produk
yang rendah. Menurut Winarno (1984), dengan nilai pH di bawah 4.5
maka kemungkinan tumbuhnya mikroba berbahaya pada produk akan
lebih kecil. Jenis mikroba yang dapat mengkontaminasi manisan semi
basah hampir sama dengan mikroba yang tumbuh pada produk jam dan
jelly. Adanya pertumbuhan mikroba dapat mengakibatkan perubahan
aroma dan flavor, sebagai contoh adalah timbulnya aroma senyawa keton
dan asetat akibat pertumbuhan khamir.
Secara umum, manisan semi basah yang dihasilkan pada
penelitian ini memiliki mutu fisik, kimia, dan mikrobiologi yang baik dan
sesuai dengan standar mutu manisan buah kering SNI 01-3710-1990
(Tabel 11). Hal tersebut dapat dilihat dari penampakan, bau, dan rasa
yang normal. Kadar air yang rendah dapat menghambat berbagai
kerusakan pangan, sehingga mutu produk tetap terjaga. Manisan semi
basah ini juga dibuat tanpa pemanis buatan. Penggunaan pengawet
(potasium sorbat) telah sesuai dengan persyaratan SNI 01-0222-1995
serta sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan nomor
235/Men.Kes./Per/79, yaitu maksimal 500 ppm. Mutu mikrobiologi yang
baik dapat dilihat dari jumlah total mikroba yang sangat kecil, yaitu lebih
kecil dari batasan terkecil 2.5 x 102 koloni/gr. Kemungkinan adanya
cemaran logam pada manisan semi basah sangat kecil. Hal ini
dikarenakan peralatan yang digunakan hanya berupa wadah-wadah
plastik dan pisau stainless steel.
Tabel 12. Standar mutu dehydrated fruit (SNI 01-3710-1990)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan
1.1 Penampakan
1.2 Bau
1.3 Rasa
- normal
- normal
- normal
2. Air % bb maksimal 31
3. BTP
3.1 Pemanis Buatan
3.2 Pewarna
3.3 Pengawet
- negatif
- sesuai SNI 01-0222-1995
- sesuai SNI 01-0222-1995
4. Cemaran Mikroba APM/g <3
5. Cemaran Logam
5.1 Timbal
5.2 Tembaga
5.3 Seng
5.4 Arsen
mg/kg maksimal 2.0
mg/kg maksimal 5.0
mg/kg maksimal 40.0
mg/kg maksimal 1.0
Seperti pada produk dengan aw rendah lainnya, manisan semi
basah ini diharapkan mempunyai daya awet yang tinggi. Hal tersebut
dapat dilakukan dengan pengolahan yang higienis, pengemasan, dan
penyimpanan yang baik Kemasan yang digunakan sebaiknya kemasan
yang melibatkan gas (MAP dan CAP) dan kedap air.
E. VERIFIKASI PROSES PEMBUATAN MANISAN SEMI BASAH
Produk-produk terpilih dari tiap buah dibuat dengan memodofikasi
proses pembuatan masing-masing produk. Berdasarkan percobaan-percobaan
yang telah dilakukan, diperoleh prosedur untuk pembuatan manisan dan
bahan-bahan pembuatan.
1. Pembuatan larutan kapur CaCl2 0,5 %
Siapkan 1 liter air lalu tambahkan CaCl2 sebanyak 0,5 gram
kemudian larutan diaduk hingga larut. Khusus untuk pembuatan manisan
belimbing ditambahkan 0.15 gram Na-metabisulfit ke dalam larutan
kapur.
2. Pembuatan larutan gula pasir 40 0brix
Panaskan air sebanyak 1 liter hingga mendidih kemudian
masukkan 1 kg gula pasir lalu diaduk hingga larut. Ukur tingkat
konsentrasi larutan dengan menggunakan refraktometer. Tepatkan
konsentrasi larutan dengan cara menambahkan sedikit gula atau air. Suhu
larutan yang digunakan saat melakukan perendaman buah adalah 60 0C.
3. Pembuatan larutan gula pasir 55 0brix
Panaskan air sebanyak 1 liter hingga mendidih kemudian
masukkan 1,5 kg gula pasir lalu diaduk hingga larut. Ukur tingkat
konsentrasi larutan dengan menggunakan refraktometer. Tepatkan
konsentrasi larutan dengan cara menambahkan sedikit gula atau air. Suhu
larutan yang digunakan saat melakukan perendaman buah adalah 60 0C.
4. Pembuatan larutan gula batu 70 0brix
Panaskan air sebanyak 0,75 liter hingga mendidih kemudian
masukkan 1,5 kg gula batu lalu diaduk hingga larut. Ukur tingkat
konsentrasi larutan dengan menggunakan refraktometer. Tepatkan
konsentrasi larutan dengan cara menambahkan sedikit gula atau air.
Hitung volume larutan kemudian tambahkan 0.5 gram potassium sorbat
untuk tiap 1 liter larutan. Suhu larutan yang digunakan saat melakukan
perendaman buah adalah 60 0C.
5. Pembuatan manisan semi basah buah belimbing
Buah yang digunakan adalah buah dengan tingkat kematangan
kurang lebih 80 %, dapat dilihat dari warna permukaan buah dimana
kurang lebih ¾ bagian kulit buah berwarna kuning kehijauan.
Buah dibuang bagian ujung-ujungnya, lalu dicuci dengan air
bersih. Potong buah pada bagian tengahnya sehingga kelima sirip buah
terpisah, kemudian pada tiap sirip buah dibelah pada bagian tengahnya
sehingga sirip terbagi dua. Buang serat-serat berwarna putih yang
terdapat pada bagian tengah buah belimbing. Potongan sirip yang telah
bersih dari serat-serat putih lalu dipotong-potong dengan panjang
potongan 3 cm.
Potongan buah kemudian direndam dalam larutan campuran
kapur CaCl2 dan Na-metabisulfit selama 30 menit kemudian dibilas
dengan air mengalir. Setelah dibersihkan kemudian potongan buah
diblansir dengan suhu 85 0C selama 2 menit. Setelah itu dilanjutkan
dengan perendaman dalam larutan gula I selama 12 jam, lalu dilanjutkan
perendaman gula II selama 12 jam, kemudian perendaman gula III
selama 12 jam.
Potongan buah kemudian ditiriskan lalu dikeringkan dengan
menggunakan pengering kabinet bersuhu 50 0C selama 4 jam. Setelah
proses pengeringan selesai potongan buah didinginkan lalu dilakukan
proses dusting dengan cara memasukkan potongan buah dan tepung
dusting (campuran tepung gula dan tepung kanji 1 : 1) dalam kantung
plastik besar lalu kantung plastik tersebut dikocok selama ½ menit.
Apabila lapisan dusting terlihat terlalu tebal menutupi permukaan buah
maka lakukan pengocokan kedua dengan menggunakan kantung plastik
bersih. Pengocokan dilakukan hingga lapisan bahan dusting pada
potongan buah tidak terlalu tebal. Bagan alir pembuatan manisan buah
belimbing semi basah dapat dilihat pada Gambar 12.
Buah belimbing mengkal
Kupas kulit, dan buang bagian ujung buah
Potong buah pada bagian siripnya
Bersihkan serat-serat di bagian dalam daging buah
Buah dipotong-potong ukuran 3 x 0,5 cm
Buah direndam dalam larutan kapur CaCl2 dan Na-metabisulfat 150 ppm (30 menit)
Buah diblansir dengan suhu 85 0C (2 menit)
Buah direndam dalam larutan gula pasir 40 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)
Buah direndam dalam larutan gula pasir 55 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)
Buah direndam dalam larutan gula batu 70 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)
Buah ditiriskan
Buah dikeringkan dengan menggunakan pengering kabinet dengan suhu 50 0C (4 jam)
Buah dan campuran gula tepung dan tepung kanji dimasukan kedalam plastik lalu
dikocok-kocok (½ menit)
Manisan buah belimbing semi basah
Gambar 12. Bagan alir pembuatan manisan buah belimbing semi basah
6. Pembuatan manisan semi basah buah nanas
Buah yang digunakan adalah buah dengan tingkat kematangan
kurang lebih 80 %, dapat dilihat dari warna permukaan buah dimana
kurang lebih ¾ bagian kulit buah berwarna kuning kehijauan. Buang
bagian daun buahnya.
Kupas seluruh kulit nanas kemudian buang seluruh mata buah.
Pembuangan mata buah dilakukan dengan memotong secara diagonal
sampai seluruh mata buah terbuang. Buah nanas kemudian dipotong pada
alur yang telah terbentuk saat membuang mata nanas. Pada tiap potongan
tersebut lalu dipotong lagi menjadi potongan-potongan kecil dengan
panjang 3 cm. Potongan buah kemudian dicuci dengan air mengalir.
Potongan buah kemudian direndam dalam larutan kapur CaCl2
selama 30 menit kemudian dibilas dengan air mengalir. Setelah
dibersihkan kemudian potongan buah diblansir dengan suhu 85 0C
selama 1 menit. Setelah itu dilanjutkan dengan perendaman dalam
larutan gula I selama 12 jam, lalu dilanjutkan perendaman gula II selama
12 jam, kemudian perendaman gula III selama 12 jam.
Potongan buah kemudian ditiriskan lalu dikeringkan dengan
menggunakan pengering kabinet bersuhu 60 0C selama 2 jam. Setelah
proses pengeringan selesai potongan buah didinginkan lalu dilakukan
proses dusting dengan cara memasukkan potongan buah dan tepung
dusting (glukosa kristal) dalam kantung plastik besar lalu kantung plastik
tersebut dikocok selama ½ menit. Apabila lapisan dusting terlihat terlalu
tebal menutupi permukaan buah maka lakukan pengocokan kedua
dengan menggunakan kantung plastik bersih. Pengocokan dilakukan
hingga lapisan bahan dusting pada potongan buah tidak terlalu tebal.
Bagan alir pembuatan manisan buah belimbing semi basah dapat dilihat
pada Gambar 13.
Buah nanas mengkal
Kupas kulit, buang bagian ujung dan daun buah
Buang seluruh mata buah
Potong buah pada bagian alur yg terbentuk dari bekas mata buah
Buah dipotong-potong ukuran 3 x 0,5 cm
Buah direndam dalam larutan kapur CaCl2 (30 menit)
Buah diblansir dengan suhu 85 0C (1 menit)
Buah direndam dalam larutan gula pasir 40 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)
Buah direndam dalam larutan gula pasir 55 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)
Buah direndam dalam larutan gula batu 70 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)
Buah ditiriskan
Buah dikeringkan dengan menggunakan pengering kabinet dengan suhu 60 0C (2 jam)
Buah dan glukosa kristal dimasukan kedalam plastik lalu dikocok-kocok (½ menit)
Manisan buah nanas semi basah
Gambar 13. Bagan alir pembuatan manisan buah nanas semi basah
7. Pembuatan manisan semi basah buah pepaya
Buah yang digunakan adalah buah dengan tingkat kematangan
kurang lebih 80 %, dapat dilihat dari warna permukaan buah dimana
kurang lebih ¾ bagian kulit buah berwarna kuning kehijauan.
Buang kedua bagian ujung buah. Potong buah papaya menjadi 4
bagian. Buang seluruh biji buah lalu kupas seluruh kulit buahnya. Buah
kemudian dipotong-potong menjadi potongan kecil dengan ketebalan 0.5
cm.
Potongan buah kemudian direndam dalam larutan kapur CaCl2
selama 30 menit kemudian dibilas dengan air mengalir. Setelah
dibersihkan kemudian potongan buah diblansir dengan suhu 85 0C
selama 1 menit. Setelah itu dilanjutkan dengan perendaman dalam
larutan gula I selama 12 jam, lalu dilanjutkan perendaman gula II selama
12 jam, kemudian perendaman gula III selama 12 jam.
Potongan buah kemudian ditiriskan lalu dikeringkan dengan
menggunakan pengering kabinet bersuhu 60 0C selama 2 jam. Setelah
proses pengeringan selesai potongan buah didinginkan lalu dilakukan
proses dusting dengan cara memasukkan potongan buah dan tepung
dusting (glukosa kristal) dalam kantung plastik besar lalu kantung plastik
tersebut dikocok selama ½ menit. Apabila lapisan dusting terlihat terlalu
tebal menutupi permukaan buah maka lakukan pengocokan kedua
dengan menggunakan kantung plastik bersih. Pengocokan dilakukan
hingga lapisan bahan dusting pada potongan buah tidak terlalu tebal.
Bagan alir pembuatan manisan buah belimbing semi basah dapat dilihat
pada Gambar 14.
Buah pepaya mengkal
Kupas kulit, dan buang bagian ujung buah
Buah dibelah menjadi 4 bagian lalu buang seluruh biji buah
Buah dipotong-potong menjadi potongan kecil dengan ukuran 3 x 0,5 cm
Buah direndam dalam larutan kapur CaCl2 (30 menit)
Buah diblansir dengan suhu 85 0C (1 menit)
Buah direndam dalam larutan gula pasir 40 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)
Buah direndam dalam larutan gula pasir 55 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)
@
@
Buah direndam dalam larutan gula batu 70 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)
Buah ditiriskan
Buah dikeringkan dengan menggunakan pengering kabinet dengan suhu 60 0C (2 jam)
Buah dan glukosa kristal dimasukan kedalam plastik lalu dikocok-kocok (½ menit)
Manisan buah pepaya semi basah
Gambar 14. Bagan alir pembuatan manisan buah pepaya semi basah
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Secara umum, produk manisan belimbing, nanas, dan pepaya semi
basah disukai konsumen. Formula produk akhir manisan belimbing semi
basah yang paling disukai adalah formula A (ketebalan 0.5 cm potongan
sejajar sirip-sirip buah, perendaman dalam larutan CaCl2 dengan konsentrasi
500 ppm dan Na-metabisulfat 150 ppm selama 30 menit, blansir 85 0C 2
menit, larutan gula pasir 40 0brix, larutan gula pasir 55 0brix, dan larutan gula
batu 70 0brix 12 jam, perlakuan proses pengeringan kabinet 50 0C selama 4
jam, dan bahan dusting campuran tepung gula dan tepung kanji). Formula
produk akhir manisan nanas semi basah yang paling disukai konsumen adalah
formula B (ketebalan 0.5 cm potongan sejajar, konsentrasi CaCl2 500 ppm
selama 30 menit, blansir 85 0C 1 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix, larutan gula pasir 55 0brix, dan larutan gula batu 70 0brix 12 jam, 70 0brix 12 jam pengering kabinet, dan perlakuan proses pengeringan suhu 60 0C
selama 2 jam menggunakan pengering kabinet, dan bahan dusting glukosa
kristal).
Formula produk akhir manisan pepaya semi basah yang paling disukai
konsumen adalah formula B (ketebalan 0.5 cm, konsentrasi CaCl2 500 ppm
selama 30 menit, blansir 85 0C 1 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix, larutan gula pasir 55 0brix, dan larutan gula batu 70 0brix 12 jam
pengering kabinet, dan perlakuan proses pengeringan dengan pengering
kabinet suhu 60 0C selama 2 jam, dan bahan dusting glukosa kristal).
Produk manisan semi basah tersebut memiliki nilai kesukaan yang
baik dari panelis uji organoleptik. Preferensi konsumen yang baik ini
menjadikan manisan buah semi basah berpotensi untuk dikembangkan dan
teknologinya dapat diaplikasikan pada industri kecil.
B. SARAN
Produk manisan semi basah yang dihasilkan bersifat higroskopis. Oleh
karena itu diperlukan pengemasan hermetis terutama pengemas yang kedap
air sehingga mutu produk tetap terjaga. Masih diperlukan penelitian lanjutan
untuk menghasilkan manisan buah semi basah yang tetap memiliki aroma
khas buah dan tekstur permukaan yang tidak keriput.
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytical
Chemistry, Inc., Washington D. C. Apriyantono, A. 1985. Panduan praktikum pembuatan manisan buah-buahan. Di
dalam Buku III. Pendidikan dan Latihan Tenaga Penyuluhan Lapangan Spesialis Industri Kecil Pengolahan Pangan. Dirjen Industri Kecil. Departemen Pertanian kerjasama dengan FATETA IPB, Bogor.
Apriyantono, A. Fardiaz, D. Puspitasari, N.L. dan Budianto, S. 1989. Petunjuk
Laboratorium Analisa Pangan. Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Arriola, M.C., J. Calzada, Menchu, Roiz, dan Garcia. 1980. Papaya. Di dalam :
Nagy dan Philip E. Shaw (eds). Tropical and Subtropical Fruits. The AVI Publishing co, Inc. Westport, Connecticut.
Balagopalan., C., G. Padmaja dan S.N. Moothny. 1988. Cassava In Food, Feed
and Industry. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Buckle, K.A., R. A. Edward, G.H. dan M. Wootor. 1985. Ilmu Pangan.
Diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1990. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Bharata Karya aksara, Jakarta. Desroiser, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI-Press, Jakarta. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PAU Pangan dan Gizi dan Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta. Frazier, L.K. 1979. Food Microbiology,3rd edition. Mcgraw-Hill Book Co., New
York. Goutara. 1985. Penggunaan Gula dalam Makanan Olahan. Gramedia, Jakarta. Harris, R. S. 1989. General discussion on the stability of nutrients. Di dalam : R.S.
Harris, dan E. Karmas (eds). Nutritional Evaluation of Food Processing. The AVI Pub. Co. Inc., Westport, Connecticut.
Karel, M. 1976. Technology and Application of New Intermediate Moisture
Foods. Di dalam R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker. (eds) Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD., London.
Ketaren. 1986.Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan.UI Press, Jakarta.
Kirk, B.E. and D.F. Othmer. 1985. Encyclopedia of Chemical Technology. The Interscience Encyclopedia Inc., New York.
Leistner, L. dan W. Rődel. 1976. The Stability of IMF with Respect to
Microorganism. Di dalam R R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker. (eds) Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD., London.
Minifie, B.W. dan C. Chem. 1982. Chocolate Cocoa and Confectionery : Science
and Technology. The AVI Publishing Co, Inc. Westport, Connecticut. Mulyohardjo, M.1984. Nanas dan Teknologi Pengolahannya. Liberty,
Yogyakarta. Nuraeni, Iin Indah.2004. Rekayasa Proses Pengeringan Untuk Produksi Buah
Pepaya. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ponting, J.D., G.G. Watters, R.R.Forrey, R. Jackson, dan W.L. Stanley. 1966.
Ostomic dehydration of fruits. J. Food Tech. 20(10) : 125-128. Potter, N. 1980. Food Science.The AVI Publishing Co,Inc.Westport, Connecticut. Pramono, L. 1993. Mempelajari Karakteristik Pengeringan Teh Hitam CTC
(Curling Tearing Crushing) Tipe FBD (Fluidized Bed Dryer). Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rani, Hertini. 1989. Jenis dan Mekanisme Kerja Bahan Pengawet Pangan.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Raymond, E. Kirk dan Donald F. Othner. 1954. Encyclopedia of Chemical
Technology. Vol 4. The Interscience Encyclopedia, Inc, New York. Reddish, F.G. 1957. Antiseptics, Disinfectants, Fungicides, and Chemical and
Physical Sterilization. 2nd edition. Lea and Febiger, USA. Rismunandar, J.A. 1980. Bertanam Pepaya. Terate, Bandung. Robson J.N. 1976. Some Introductory Thougths on Intermediate Moisture Foods.
Di dalam R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker. (eds) Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD., London.
Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik. Bhatara Karya Aksara. Jakarta. Sofos, J.N. dan F. F. Busta. 1993. Sorbic acid and sorbates. Di dalam davidson
dan Branen (ed). 1993. Antimicrobial in Foods. Marcel Dekker, Inc, New York.
Sosrodihardjo. 1988. Produksi Buah Pepaya kering. UI-Press, Jakarta.
Taoukis, P.S., W.M. Breene, T.P. Labuza. Intermediate Moisture Food. Paper No.
14,969 of The Scientific Journal Series of the Minnesota Agricultural Experiment Station. Department of Food Science and Nutrition, Minnesota.
Taub, I. A., dan Singh, R. P., 1998. Food Storage Stability. CRC Press : Boca
Raton. Taib, G., G. Said, dan S. Wiraatmadja. 1988. Operasi Pengeringan pada
Pengolahan Hasil Pertanian. Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta. Winarno,F. G. dan M.Aman.1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya, Jakarta. Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta. Winarno, F.G. 1988. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta. Woodroof, J.G. dan B.S. Luh. 1975. Commercial Fruit Processing. AVI
Publishing Co., Westport, Connecticut.
Lampiran 1. Data jumlah produksi beberapa jenis buah di Indonesia
Tahun Mangga
(ton) Jeruk
(ton)
Pepaya
(ton)
Pisang
(ton) Nanas
(ton)
2000 876,027 644,052 429,207 3,746,962 393,299
2001 923,294 691,433 500,571 4,300,422 494,968
2002 1 402,906 968,132 605,194 4,384,384 555,588
2003 1 526,474 1 529,824 626,745 4,177,155 677,089
2004 1 437,665 2,071,084 732,611 4,874,439 709,918
2005 1412,884 2 214,020 548,657 5,177,607 925,082
Sumber : Biro Pusat Statistik (2005)
Lampiran 2. Form quisioner uji organoleptik Uji Hedonik Nama : Tanggal : Instruksi : Dihadapan anda terdapat 5 sampel manisan. Cicipi satu per satu lalu lakukan penilaian terhadap parameter yang diminta untuk masing-masing contoh. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala 1 – 7 (1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, dan 7 = sangat suka) tanpa membandingkan antar sampel. Setelah itu lakukan uji rangking dengn memberikan nilai 1 – 5 (1 = paling disukai sedangkan 5 = paling tidak disukai).
Penilaian Kode Contoh
Rasa Tekstur Kerenyahan Aroma Warna Ranking
Lampiran 3. Sidik ragam uji hedonik warna belimbing manis tahap kedua
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2350,356(a) 32 73,449 104,812 ,000 PANELIS 47,389 29 1,634 2,332 ,003 SAMPEL 2,689 2 1,344 1,919 ,156 Error 40,644 58 ,701 Total 2391,000 90
a R Squared = ,983 (Adjusted R Squared = ,974) SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 3,00 30 4,93332,00 30 4,93331,00 30 5,3000Sig. ,114
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,701. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 4. Sidik ragam uji hedonik warna nanas tahap kedua Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2456,089(a) 32 76,753 92,915 ,000 PANELIS 40,489 29 1,396 1,690 ,045 SAMPEL 2,756 2 1,378 1,668 ,198 Error 47,911 58 ,826 Total 2504,000 90
a R Squared = ,981 (Adjusted R Squared = ,970)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 3,00 30 4,93331,00 30 5,26672,00 30 5,3333Sig. ,112
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,826. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 5. Sidik ragam uji hedonik warna pepaya tahap kedua
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 4139,600(a) 34 121,753 140,671 ,000 PANELIS 81,600 29 2,814 3,251 ,000 SAMPEL 2,000 4 ,500 ,578 ,679 Error 100,400 116 ,866 Total 4240,000 150
a R Squared = ,976 (Adjusted R Squared = ,969)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 5,00 30 5,03334,00 30 5,10002,00 30 5,23333,00 30 5,30001,00 30 5,3333Sig. ,274
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,866. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 6. Sidik ragam uji hedonik aroma belimbing manis tahap kedua
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 3272,427(a) 34 96,248 135,210 ,000 PANELIS 84,593 29 2,917 4,098 ,000 SAMPEL 4,627 4 1,157 1,625 ,173 Error 82,573 116 ,712 Total 3355,000 150
a R Squared = ,975 (Adjusted R Squared = ,968)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 4,00 30 4,36675,00 30 4,46673,00 30 4,60002,00 30 4,76671,00 30 4,8333Sig. ,057
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,712. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 7. Sidik ragam uji hedonik aroma nanas tahap kedua
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 3105,440(a) 34 91,336 128,331 ,000 PANELIS 119,573 29 4,123 5,793 ,000 SAMPEL 11,040 4 2,760 3,878 ,005 Error 82,560 116 ,712 Total 3188,000 150
a R Squared = ,974 (Adjusted R Squared = ,967)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 2 5,00 30 3,9667 1,00 30 4,43334,00 30 4,46672,00 30 4,63333,00 30 4,7667Sig. 1,000 ,167
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,712. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 8. Sidik ragam uji hedonik aroma pepaya tahap kedua
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 3292,293(a) 34 96,832 314,578 ,000 PANELIS 153,893 29 5,307 17,240 ,000 SAMPEL 1,093 4 ,273 ,888 ,474 Error 35,707 116 ,308 Total 3328,000 150
a R Squared = ,989 (Adjusted R Squared = ,986)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 5,00 30 4,46673,00 30 4,50001,00 30 4,56674,00 30 4,63332,00 30 4,7000Sig. ,152
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,308. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 9. Sidik ragam uji hedonik tekstur belimbing manis tahap kedua
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 3487,893(a) 34 102,585 72,074 ,000 PANELIS 98,860 29 3,409 2,395 ,001 SAMPEL 18,893 4 4,723 3,319 ,013 Error 165,107 116 1,423 Total 3653,000 150
a R Squared = ,955 (Adjusted R Squared = ,942)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 2 4,00 30 4,1000 3,00 30 4,73331,00 30 4,76675,00 30 4,93332,00 30 5,1667Sig. 1,000 ,205
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,423. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 10. Sidik ragam uji hedonik tekstur nanas tahap kedua
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 3391,467(a) 34 99,749 132,188 ,000 PANELIS 73,100 29 2,521 3,340 ,000 SAMPEL 4,867 4 1,217 1,612 ,176 Error 87,533 116 ,755 Total 3479,000 150
a R Squared = ,975 (Adjusted R Squared = ,967)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 2 5,00 30 4,3667 4,00 30 4,6667 4,66672,00 30 4,7667 4,76673,00 30 4,8333 4,83331,00 30 4,8667Sig. ,059 ,424
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,755. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 11. Sidik ragam uji hedonik tekstur pepaya tahap kedua
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 3971,093(a) 34 116,797 144,276 ,000 PANELIS 106,593 29 3,676 4,540 ,000 SAMPEL 3,693 4 ,923 1,141 ,341 Error 93,907 116 ,810 Total 4065,000 150
a R Squared = ,977 (Adjusted R Squared = ,970)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 2,00 30 4,86674,00 30 4,96671,00 30 5,10005,00 30 5,10003,00 30 5,3333Sig. ,075
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,810. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 12. Sidik ragam uji hedonik rasa belimbing manis tahap kedua
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 3998,293(a) 34 117,597 80,858 ,000 PANELIS 48,193 29 1,662 1,143 ,303 SAMPEL 7,693 4 1,923 1,322 ,266 Error 168,707 116 1,454 Total 4167,000 150
a R Squared = ,960 (Adjusted R Squared = ,948)
SKOR
Duncan
SAMPEL N
Subset
1 4,00 30 4,70005,00 30 5,13333,00 30 5,16672,00 30 5,30001,00 30 5,3333Sig. ,071
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,454. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 13. Sidik ragam uji hedonik rasa nanas tahap kedua
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 3483,373(a) 34 102,452 137,192 ,000 PANELIS 108,240 29 3,732 4,998 ,000 SAMPEL 33,373 4 8,343 11,172 ,000 Error 86,627 116 ,747 Total 3570,000 150
a R Squared = ,976 (Adjusted R Squared = ,969)
SKOR
Duncan
SAMPEL N
Subset
1 2 3 5,00 30 3,8667 1,00 30 4,6333 4,00 30 4,8000 4,80002,00 30 5,13333,00 30 5,1667Sig. 1,000 ,457 ,123
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,747. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 14. Sidik ragam uji hedonik rasa pepaya tahap kedua
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 3857,573(a) 34 113,458 128,493 ,000 PANELIS 83,573 29 2,882 3,264 ,000 SAMPEL 3,973 4 ,993 1,125 ,348 Error 102,427 116 ,883 Total 3960,000 150
a R Squared = ,974 (Adjusted R Squared = ,967)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 5,00 30 4,76671,00 30 4,90002,00 30 5,03333,00 30 5,16674,00 30 5,2000Sig. ,115
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,883. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 15. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan belimbing manis tahap kedua
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 3527,773(a) 34 103,758 66,414 ,000 PANELIS 81,340 29 2,805 1,795 ,016 SAMPEL 19,173 4 4,793 3,068 ,019 Error 181,227 116 1,562 Total 3709,000 150
a R Squared = ,951 (Adjusted R Squared = ,937)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 2 4,00 30 4,3333 3,00 30 4,4667 5,00 30 4,8000 4,80001,00 30 4,9667 4,96672,00 30 5,3333Sig. ,075 ,121
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,562. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 16. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan nanas tahap kedua
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 3238,267(a) 34 95,243 87,177 ,000 PANELIS 97,633 29 3,367 3,082 ,000 SAMPEL 12,467 4 3,117 2,853 ,027 Error 126,733 116 1,093 Total 3365,000 150
a R Squared = ,962 (Adjusted R Squared = ,951)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 2 5,00 30 4,1000 4,00 30 4,4333 4,43331,00 30 4,5667 4,56672,00 30 4,86673,00 30 4,8667Sig. ,105 ,147
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,093. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 17. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan pepaya tahap kedua
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 4095,227(a) 34 120,448 150,603 ,000 PANELIS 78,293 29 2,700 3,376 ,000 SAMPEL 2,427 4 ,607 ,759 ,554 Error 92,773 116 ,800 Total 4188,000 150
a R Squared = ,978 (Adjusted R Squared = ,971)
SKOR
Duncan
SAMPEL N
Subset
1 4,00 30 4,96671,00 30 5,16672,00 30 5,16675,00 30 5,20003,00 30 5,3667Sig. ,127
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,800. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 18. Sidik ragam uji hedonik warna belimbing manis tahap ketiga
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2350,356(a) 32 73,449 104,812 ,000 PANELIS 47,389 29 1,634 2,332 ,003 SAMPEL 2,689 2 1,344 1,919 ,156 Error 40,644 58 ,701 Total 2391,000 90
a R Squared = ,983 (Adjusted R Squared = ,974)
SKOR
Duncan
SAMPEL N
Subset
1 3,00 30 4,93332,00 30 4,93331,00 30 5,3000Sig. ,114
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,701. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 19. Sidik ragam uji hedonik warna nanas tahap ketiga
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2456,089(a) 32 76,753 92,915 ,000 PANELIS 40,489 29 1,396 1,690 ,045 SAMPEL 2,756 2 1,378 1,668 ,198 Error 47,911 58 ,826 Total 2504,000 90
a R Squared = ,981 (Adjusted R Squared = ,970)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 3,00 30 4,93331,00 30 5,26672,00 30 5,3333Sig. ,112
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,826. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 20. Sidik ragam uji hedonik warna pepaya tahap ketiga
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2355,267(a) 32 73,602 95,430 ,000 PANELIS 44,267 29 1,526 1,979 ,014 SAMPEL ,600 2 ,300 ,389 ,680 Error 44,733 58 ,771 Total 2400,000 90
a R Squared = ,981 (Adjusted R Squared = ,971) SKOR
Duncan
SAMPEL N
Subset
1 2,00 30 4,96673,00 30 5,06671,00 30 5,1667Sig. ,412
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,771. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 21. Sidik ragam uji hedonik aroma belimbing manis tahap ketiga
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2050,067(a) 32 64,065 71,548 ,000 PANELIS 33,600 29 1,159 1,294 ,200 SAMPEL ,067 2 ,033 ,037 ,963 Error 51,933 58 ,895 Total 2102,000 90
a R Squared = ,975 (Adjusted R Squared = ,962)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 2,00 30 4,70001,00 30 4,73333,00 30 4,7667Sig. ,800
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,895. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 22. Sidik ragam uji hedonik aroma nanas tahap ketiga
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 1871,156(a) 32 58,474 89,616 ,000 PANELIS 30,456 29 1,050 1,610 ,062 SAMPEL ,156 2 ,078 ,119 ,888 Error 37,844 58 ,652 Total 1909,000 90
a R Squared = ,980 (Adjusted R Squared = ,969)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 1,00 30 4,46672,00 30 4,53333,00 30 4,5667Sig. ,655
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,652. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 23. Sidik ragam uji hedonik aroma pepaya tahap ketiga
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2102,622(a) 32 65,707 75,648 ,000 PANELIS 38,322 29 1,321 1,521 ,087 SAMPEL ,289 2 ,144 ,166 ,847 Error 50,378 58 ,869 Total 2153,000 90
a R Squared = ,977 (Adjusted R Squared = ,964)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 1,00 30 4,73333,00 30 4,76672,00 30 4,8667Sig. ,606
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,869. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 24. Sidik ragam uji hedonik tekstur belimbing manis tahap ketiga
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2642,200(a) 32 82,569 92,451 ,000 PANELIS 16,933 29 ,584 ,654 ,893 SAMPEL ,867 2 ,433 ,485 ,618 Error 51,800 58 ,893 Total 2694,000 90
a R Squared = ,981 (Adjusted R Squared = ,970)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 2,00 30 5,26673,00 30 5,43331,00 30 5,5000Sig. ,373
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,893. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 25. Sidik ragam uji hedonik tekstur nanas tahap ketiga Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2225,422(a) 32 69,544 107,339 ,000 PANELIS 24,722 29 ,852 1,316 ,185 SAMPEL ,422 2 ,211 ,326 ,723 Error 37,578 58 ,648 Total 2263,000 90
a R Squared = ,983 (Adjusted R Squared = ,974)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 3,00 30 4,86671,00 30 4,93332,00 30 5,0333Sig. ,455
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,648. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 26. Sidik ragam uji hedonik tekstur pepaya tahap ketiga
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2543,822(a) 32 79,494 97,730 ,000 PANELIS 34,722 29 1,197 1,472 ,105 SAMPEL 2,156 2 1,078 1,325 ,274 Error 47,178 58 ,813 Total 2591,000 90
a R Squared = ,982 (Adjusted R Squared = ,972)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 3,00 30 5,06671,00 30 5,33332,00 30 5,4333Sig. ,143
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,813. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 27. Sidik ragam uji hedonik rasa belimbing manis tahap ketiga
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2832,822(a) 32 88,526 150,229 ,000 PANELIS 19,122 29 ,659 1,119 ,350 SAMPEL 2,489 2 1,244 2,112 ,130 Error 34,178 58 ,589 Total 2867,000 90
a R Squared = ,988 (Adjusted R Squared = ,982)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 3,00 30 5,36672,00 30 5,63331,00 30 5,7667Sig. ,060
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,589. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
b Alpha = ,05.
Lampiran 28. Sidik ragam uji hedonik rasa nanas tahap ketiga
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2639,289(a) 32 82,478 112,002 ,000 PANELIS 27,822 29 ,959 1,303 ,194 SAMPEL 8,622 2 4,311 5,854 ,005 Error 42,711 58 ,736 Total 2682,000 90
a R Squared = ,984 (Adjusted R Squared = ,975)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 2 3,00 30 5,0667 1,00 30 5,2667 2,00 30 5,8000Sig. ,370 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,736. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 29. Sidik ragam uji hedonik rasa pepaya tahap ketiga
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 3029,756(a) 32 94,680 118,748 ,000 PANELIS 22,222 29 ,766 ,961 ,534 SAMPEL 3,089 2 1,544 1,937 ,153 Error 46,244 58 ,797 Total 3076,000 90
a R Squared = ,985 (Adjusted R Squared = ,977)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 3,00 30 5,60001,00 30 5,70002,00 30 6,0333Sig. ,080
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,797. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 30. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan belimbing manis tahap ketiga
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2675,289(a) 32 83,603 87,038 ,000 PANELIS 60,722 29 2,094 2,180 ,006 SAMPEL ,956 2 ,478 ,497 ,611 Error 55,711 58 ,961 Total 2731,000 90
a R Squared = ,980 (Adjusted R Squared = ,968)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 3,00 30 5,30002,00 30 5,33331,00 30 5,5333Sig. ,391
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,961. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 31. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan nanas tahap ketiga
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2110,067(a) 32 65,940 54,688 ,000 PANELIS 36,400 29 1,255 1,041 ,436 SAMPEL ,067 2 ,033 ,028 ,973 Error 69,933 58 1,206 Total 2180,000 90
a R Squared = ,968 (Adjusted R Squared = ,950)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 3,00 30 4,76671,00 30 4,80002,00 30 4,8333Sig. ,827
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,206. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 32. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan pepaya tahap ketiga
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2600,600(a) 32 81,269 88,269 ,000 PANELIS 39,333 29 1,356 1,473 ,105 SAMPEL 1,267 2 ,633 ,688 ,507 Error 53,400 58 ,921 Total 2654,000 90
a R Squared = ,980 (Adjusted R Squared = ,969)
SKOR Duncan
SAMPEL N
Subset
1 1,00 30 5,23333,00 30 5,26672,00 30 5,5000Sig. ,316
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,921. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 33. Data hasil pengujian sampel manisan semi basah menggunakan Texture Analizer
Buah Ulangan Beban (gr) Waktu (sekon) Jarak (mm)
Belimbing 1 4782.3 2.502 5.673
2 4603.3 2.467 5.402
3 4231.5 2.248 5.011
Nanas 1 6170.9 2.515 5.025
2 6612.5 2.975 5.943
3 5262.3 5.005 10.000
Pepaya 1 3207.2 1.920 3.840
2 3370.5 2.505 5.003
3 3263.8 2.450 4.892
top related