skripsi ana sma 6 padang.doc
Post on 26-Oct-2015
106 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Ilmu kimia merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam ( IPA ) yang
tidak mudah untuk didefinisikan karena luasnya bidang yang dikaji (Effendy,
2002:2). Kimia juga merupakan salah satu bidang studi yang di pelajari di sekolah
menengah tingkat atas.
Pengajaran ilmu kimia pada siswa sekolah menengah, memberikan suatu
tantangan yang besar bagi para pengajarnya. Hal ini di sebabkan oleh sejumlah besar
materi ilmu kimia, yang sebagian besar merupakan materi yang abstrak, harus di
ajarkan dalam waktu yang relatif terbatas (William, Turner, Dubreuil, Fast dan
Berestiansky dalam Wiseman dalam Effendy, 2002 : 2 )
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (UUSPN No.20 tahun 2003 dalam
Sagala, 2003:62). Dalam pembelajaran terjadi proses komunikasi dua arah,
membelajarkan dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar
dilakukan oleh peserta didik atau siswa. Pembelajaran sebagai proses belajar yang
dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir yang dapat
meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan penguasaan
terhadap materi pelajaran.
Pembelajaran mempunyai dua karakteristik yaitu: pertama dalam proses
pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya
1
1
menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas
siswa dalam proses berpikir. Kedua, dalam pembelajaran membangun suasana
dialogis dan proses tanya jawab terus-menerus yang diarahkan untuk memperbaiki
dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan
berpikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka
konstruksi sendiri (Sagala, 2003:63).
Konstruktivis beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan konstruksi
(bentukan) dari orang yang mengetahui sesuatu. Siswa mengkonstruksi pengetahuan
mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan
lingkungan mereka. Suatu pengetahuan akan diterima bila pengetahuan itu dianggap
relevan dan konsisten untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena
yang sesuai. Bagi konstruktivis, pengetahuan tidak ditransfer begitu saja dari seorang
guru kepada siswa, tetapi harus diinterpretasikan dan dikonstruksi sendiri oleh
masing-masing siswa lewat pengalamannya. Hal ini merupakan proses penyesuaian
konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran-
pikiran mereka (Suparno, 1997:28). Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi,
melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus.
Menurut Dahar (1989:78) hasil utama pendidikan yang harus kita
capai yaitu belajar konsep. Belajar konsep ini menurut kaum konstruktivisme
merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi arti entah teks, dialog, pengalaman
fisis dan lain–lain. Dalam mengkonstruksi konsep, siswa mengasimilasi dan
mengakomodasi dalam menghubungkan pengalaman atau materi yang dipelajari
2
dengan pengertian yang sudah terdapat dalam struktur kognitif siswa. Dalam proses
ini siswa sudah membawa makna tertentu dari pengalaman yang telah mereka temui,
sehingga tercipta suatu anomali saat mereka harus melakukan asimilasi ataupun
akomodasi konsep (Suparno:1997, 59). Penanaman konsep yang benar dalam proses
pembelajaran akan menghasilkan mutu pendidikan yang berkualitas.
Salah pengertian dalam memahami sesuatu ,menurut teori konstruktivisme
dan teori perubahn konsep bukanlah akhir dari segala galanya karena setiap saat
siswa dapat mengubah pengertian tersebut sehingga miskonsepsi tidak terus
berlanjut.Kesalahan-kesalahan dalam pemahaman konsep (miskonsepsi) akan
memberikan penyesatan lebih jauh jika tidak dilakukan pembenahan. Anehnya
miskonsepsi itu sering sekali tidak disadari oleh pengajar kimia.
Miskonsepsi siswa dalam pembelajaran kimia perlu diidentifikasi dan
diperbaiki. Terjadinya miskonsepsi pada suatu konsep, dapat menyebabkan
miskonsepsi pada pokok bahasan lain, sebab konsep-konsep dalam ilmu kimia
memiliki keterkaitan
Untuk melihat miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat dilakukan dengan
memberikan tes diagnostik. Tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk
mengetahui kelemahan-kelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan-
kelemahan tersebut dapat dilberikan perlakuan yang tepat (Arikunto, 1999:34).
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Pendidikan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Padang
beberapa tahun terakhir telah mengidentifikasi miskonsepsi siswa pada berbagai
3
konsep dalam ilmu kimia. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
mahasiswa pendidikan kimia seperti yang dilakukan oleh Afrida (2009),
menyimpulkan bahwa: terdapat miskonsepsi siswa kelas X1 yang terdaftar semester
Januari – Juni tahun ajaran 2008/2009 di SMA Negeri 11 Padang terhadap konsep-
konsep dalam pokok bahasan ikatan kimia, diantaranya konsep konfigurasi elektron
sebesar 57,14% dan konsep struktur lewis sebesar 82,86%.Selaian itu penelitian yang
telah dilakukan Seprianto (2010), menyimpulkan bahwa : terdapat miskonsepsi di
kelas XI IA 1 SMA Negeri 13 Padang pada masing-masing konsep dalam pokok
bahasan larutan penyangga yaitu: konsep asam Bronsted-Lowry 64,86%, konsep basa
Bronsted-Lowry 78,38%, dan konsep larutan penyangga asam 66,22%. Disini terlihat
bahwa masih banyak nya terdapat miskonsepsi pada pembelajaran kimia.
Berdasarkan wawancara dengan guru bidang studi kimia di SMAN 6
Padang dinyatakan bahwa hasil belajar kimia siswa kelas X belum memuaskan. Hal
itu terlihat dari nilai rata-rata mata pelajaran kimia pada pokok bahasan ikatan kimia
belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Hasil belajar yang rendah
dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor seperti motivasi, metode mengajar
guru, kesiapan belajar,serta media yang digunakan. Pada penelitian kali ini penulis
ingin melihat seberapa besar miskonsepsi mempengaruhi hasil belajar siswa.
Berdasarkan latar belakang diatas maka akan dilakukan penelitian yang
berjudul “Analisis Miskonsepsi Siswa Pada Pokok Bahasan Ikatan Kimia di
Kelas X SMA Negeri 6 Padang”.
4
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan, maka permasalahan
dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Dalam proses pembelajaran, pengetahuan dikonstruksi atau diinterpretasikan
sendiri oleh siswa untuk pengembangan konsepnya, sehingga sering terjadi
salah pengertian dalam memahami suatu konsep yang mereka pelajari.
2. Terjadinya miskonsepsi siswa terhadap konsep-konsep prasyarat dan konsep-
konsep yang harus dikuasai siswa pada pokok bahasan ikatan kimia
menyebabkan tujuan pembelajaran ikatan kimia tidak tercapai yang terlihat
dari rendahnya hasil belajar siswa.
3. Miskonsepsi yang di alami oleh siswa pada suatu konsep, dapat menyebabkan
miskonsepsi pada konsep lain, sebab pokok konsep-konsep dalam ilmu kimia
memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: pada konsep-konsep apakah
siswa mengalami miskonsepsi dan berapakah persentase miskonsepsi tersebut?
D. Batasan Masalah
1. Konsep-konsep yang diteliti dibatasi pada materi ikatan kimia.
2. Data mengenai miskonsepsi siswa diperoleh dari hasil tes diagnostik
bertingkat dua.
5
E.Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan pada konsep-konsep mana saja siswa mengalami
miskonsepsi dalam pokok bahasan ikatan kimia.
2. Mengungkap berapa persen siswa mengalami miskonsepsi pada tiap-tiap
konsep dalam pokok bahasan ikatan kimia.
F.Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi guru tentang gambaran miskonsepsi yang terjadi
dalam diri siswa pada pokok bahasan ikatan kimia yang mungkin tidak
disadari selama ini.
2. Bahan pertimbangan bagi guru untuk merencanakan pelaksanaan
pembelajaran yang sesuai agar miskonsepsi pada pokok bahasan ikatan kimia
bisa diminimalkan.
6
BAB II
KAJIAN TEORI
A.KONSEP
1. Pengertian Konsep
Dalam belajar kimia, pemahaman konsep merupakan syarat mutlak untuk
mencapai keberhasilan belajar kimia. Dahar ( 1989 : 79 ) mengemukakan bahwa
“Konsep-konsep merupakan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi untuk
merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi. Untuk memecahkan
masalah, seorang siswa harus menegtahui aturan-aturan yang relevan, dan aturan-
aturan ini didasarkan pada konsep-konsep yang diperolehnya”.
Amien (1987 :19 ) mendefinisikan “ Konsep adalah suatu ide atau gagasan
yang relative sempurna dan bermakna”. Nasution ( 1989 : 164 ) menyatakan bahwa “
konsep dapat digunakan untuk mengkomunikasikan pengetahuan”. Hal ini seiring
dengan pendapat Dahar (1989 : 179 ) yang menjelaskan bahwa “ konsep merupakan
dasar berfikir , konsep sangat penting bagi manusia karena konsep digunakan dalam
komunikasi berfikir dan belajar”.
Berg dalam Effendy ( 2002 : 3 ) mengemukakan bahwa konsep adalah
abstraksi dari cirri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antar manusia dan
memungkinkan manusia berfikir. Lebih jauh Effendy ( 2002 : 3 ) menuliskan bahwa
konsep adalah abstraksi / gagasan yang menggambarkan ciri-ciri umum suatu objek
atau peristiwa yang memungkinkan manusia untuk berfikir.
7
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan suatu
abstraksi ide pikiran atau gambaran mental dari suatu objek atau peristiwa yang
memiliki ciri-ciri yang sama secara umum, yang diwakili oleh satu frasa kata atau
simbol. Suatu konsep dapat membantu manusia untuk berpikir dan menyusun suatu
pengetahuan berdasarkan kesamaan ciri-ciri yang dimiliki secara umum, sehingga
dapat memudahkan manusia untuk berkomunikasi antar sesamanya. Suatu konsep
dikatakan telah dipahami secara benar adalah bila konsep tersebut sesuai dengan
pemahaman masyarakat ilmiah. Gagne (dalam Effendi 2002) membagi konsep dalam
dua kategori yaitu konsep konkrit dan konsep terdefinisi. Konsep konkrit adalah
abstraksi atau gagasan yang ditemukan dari obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa
konkrit. Konsep konkrit contohnya: konsep tentang peleburan, misalnya es bila
dipanaskan akan melebur. Konsep terdefinisi merupakan gagasan yang diturunkan
dari objek-objek atau peristiwa yang bersifat abstrak. Contoh konsep terdefinisi
contohnya konsep atom, ion dan molekul. Konsep terdefinisi yang diturunkan dari
obyek-obyek abstrak disebut juga dengan konsep mikroskopik.
Vygotsky (dalam Effendi 2002) membedakan konsep menjadi dua kategori,
konsep spontan dan konsep ilmiah. Konsep spontan yaitu konsep yang diperoleh
siswa dari kehidupan sehari-hari (diluar sekolah). Konsep ilmiah yaitu konsep yang
diperoleh siswa dari pelajaran disekolah. Dua konsep ini akan selalu berhubungan
dan saling mempengaruhi secara terus menerus.
8
2.Perolehan Konsep
Seseorang dapat membentuk konsep berdasarkan pemikiran dan pengalaman.
Konsepsi merupakan pandangan seseorang terhadap konsep. Menurut Piaget
pemerolehan konsep berkaitan dengan proses pembentukan skema. Skema
merupakan struktur mental atau struktur kognitif yang dengan seseorang secara
intelektual beradaptasi dengan mengkoordinasi lingkungan nya( Suparno,1996 : 30 ).
Proses yang menyebabkan terjadinya perubahan skema di sebut dengan adaptasi.
Adaptasi ini meliputi dua hal yaitu assimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan
persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang telah ada
di dalam pikirannya (Suparno, 1997:31). Asimilasi terjadi bila ciri-ciri perangsang
atau pengalaman baru masih bersesuaian dengan skema yang telah dipunyai
seseorang (Effendy, 2002:5). Dapat terjadi dalam menghadapi rangsangan atau
pengalaman baru, seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu
dengan skema yang telah ia punyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali
tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan seperti ini orang itu akan
mengadakan akomodasi, yaitu (1) membentuk skema baru yang dapat cocok dengan
rangsangan yang baru atau (2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan
rangsangan itu (Suparno, 1997:32).
Dalam perkembangan intelektual seseorang ,diperlukan keseimbannngan
antara assimilasi dan akomodasi proses itu disebut ekuilibrasi,yakni pengaturan diri
9
secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses assimilasi dan akomodasi
(Suparno,1997)
Suparno (1997:51) menjelaskan bahwa supaya terjadi perubahan radikal atau
akomodasi, dibutuhkan beberapa keadaan dan syarat sebagai berikut: 1)Harus ada
ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada.2)Konsep yang baru harus dapat
dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena baru.3)Konsep
yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang
terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada
sebelumnya.4) Konsep baru harus lebih baik daripada pandangan lama (yang salah).
B. Miskonsepsi
1. Pengertian Miskonsepsi
Tafsiran konsep seseorang atau konsepsi kadang sesuai dengan tafsiran yang
dimaksud oleh para ilmuwan atau pakar dalam bidang itu kadang pula tidak sesuai.
Konsepsi yang tidak sesuai dengan yang diterima para pakar dalam bidang itu disebut
salah konsep atau miskonsepsi.
Miskonsepsi dapat diartikan sebagai perbedaan pemahaman antara individu
dengan masyarakat ilmiah (Helm dalam Effendi, 2002). Perbedaan tersebut terjadi
karena berbagai faktor diantaranya adalah: proses pembelajaran, termasuk dalam hal
ini metoda dan media belajar. Selain itu lingkungan pergaulan juga dapat menjadi
faktor penyebab miskonsepsi pada siswa.
Suparno (1998 : 95) memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat
akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah,
10
kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang
tidak benar.
Menurut pendapat Osborn yang di kutip effendi (2002) beberapa fakta yang
ditemukan tentang kesalahan konsep (miskonsepsi) antara lain : a)miskonsepsi sulit
diperbaiki b) seringkali “sisa” miskonsepsi terus menerus mengganggu ,soal soal
sederhana dapat dikerjakan, tetapi pada soal yang lebih sulit miskonsepsi muncul
kembali tanpa disadari. c) seringkali terjadi regresi ,yaitu siswa yang sudah pernah
mengalami miskonsepsi setelah beberapa bulan akan kambuh lagi. d) dengan ceramah
yang bagus, miskonsepsi belum dapat dengan sepenuhnya dihilasngkan. e) guru
umumnya tidak mengetahui miskonsepsi yang terjadi pada siswa, sehingga proses
belajar mengajar tidak disesuaikan dengan prakonsepsi yang dimiliki siswa. f) siswa
yang pandai maupun yang kurang pandai keduanya dapat mengalami miskonsepsi.
2. Penyebab terjadinya miskonsepsi
Miskonsepsi akan terbentuk bila konsepsi seseorang mengenai suatu materi
tidak sesuai dengan konsepsi yang diterima oleh ilmuwan atau pakar dibidangnya.
Suatu miskonsepsi siswa bisa berasal dari beberapa sebab. Miskonsepsi siswa bisa
berasal dari siswa sendiri, yaitu siswa salah menginterpretasi gejala atau peristiwa
yang dihadapi dalam hidupnya. Selain itu, miskonsepsi yang dialami siswa bisa juga
diperoleh dari pembelajaran dari gurunya. Pembelajaran yang dilakukan gurunya
mungkin kurang terarah sehingga siswa melakukan interpretasi yang salah terhadap
suatu konsep, atau mungkin juga gurunya mengalami miskonsepsi terhadap suatu
konsep sehingga apa yang disampaikannya juga merupakan suatu miskonsepsi.
11
Menurut Berg dalam Effendy (2002) terjadinya miskonsepsi dapat disebabkan
oleh gagasan gagasan yang muncul dari pikiran siswa yang bersifat pribadi. Gagasan
ini umumnya kurang bersifat ilmiah, akan tetapi bila pengajar tidak berupaya
untukmelihat gagasan yang dimiliki oleh siswa sebelum mengenalkan konsep yang
berhubungan akan memungkinkan terjadinya salah konsep.
Menurut Kirkwood dan Symington (dalam Effendy, 2002:12), penyebab
terjadinya miskonsepsi dalam belajar kimia dapat ditinjau dari sisi siswa, pengajar
dan materi pelajaran. Dari sisi siswa penyebab terjadinya miskonsepsi antara lain:
pengetahuan yang telah diperoleh siswa dari hasil belajar sebelumnya, pengalaman,
kemampuan berpikir, motivasi belajar dan kesiapan belajar. Dari sisi pengajar,
miskonsepsi mungkin disebabkan metode dan pendekatan belajar yang digunakan.
Dari sisi materi penyebab terjadinya miskonsepsi antara lain: konsep-konsep yang
kompleks dan abstrak dan materi kajian yang terlalu padat dalam waktu yang relatif
terbatas.
3. Cara mengatasi miskonsepsi
Effendy (2002:17) mengemukakan langkah-langkah pokok dalam strategi
mengatasi miskonsepsi pada siswa antara lain:
1) Identifikasi miskonsepsi yang dimiliki siswa
Langkah ini dapat diakukan dengan pemberian tes diagnostik. Tes diagnostik
didefinisikan sebagai tes yang dilaksanakan untuk menentukan secara tepat,
jenis kesukaran yang dihadapi oleh para peserta didik dalam suatu mata
pelajaran tertentu (Sudijono, 1998:70). Tes diagnostik ini sebaiknya diberikan
12
segera setelah proses pembelajaran selesai. Setelah tes diagnostik diberikan,
jawaban siswa dianalisis untuk mengetahui kesalahan konsep (miskonsepsi)
yang dimiliki siswa.
2) Penciptaan kondisi konflik
Hal ini bertujuan untuk menimbulkan rasa ketidakpuasan pada diri siswa
terhadap konsep awal mereka atau dengan kata lain terjadi ketidakseimbangan
(disekuilibrium) dalam pikiran siswa (Carey dalam Suparno, 1997:52). Upaya
yang dapat dilakukan guru antara lain: pemberian suatu peristiwa yang
bertentangan dengan pikiran siswa (suatu anomali), dan pemberian
pengalaman langsung (seperti fakta eksperimen) yang menimbulkan
kontradiksi dengan pemahaman siswa (Chin dalam Suparno,1997:51). Pada
langkah ini siswa akan mulai mempersoalkan mengapa pemikiran awal
mereka tidak benar.
3) Pemberian bantuan untuk terjadinya ekuilibrasi
Dalam hal ini, guru dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan pemberian
informasi yang dapat mengarahkan siswa dalam mengatasi dan atau
menyelesaikan konflik yang ada.
4) Rekonstruksi pemahaman siswa
Pada langkah ini, siswa mengubah pemahamannya yang salah terhadap suatu
konsep menjadi pemahaman yang benar akibat adanya konflik kognitif yang
menantang siswa untuk lebih berpikir.
13
C. Tes diagnostic
Tes diagnostik adalah suatu model tes yang digunakan untuk mengetahui
kesulitan belajar siswa dalam mempelajari suatu materi pada bidang studi tertentu.
Materi yang ditanyakan pada tes diagnostik ditekankan pada konsep-konsep tertentu
yang dianggap sulit dipahami oleh siswa. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh
Arikunto (1999;34) bahwa tes diagnotik digunakan untuk mengetahui kelemahan-
kelemahan siswa, sehingga berdasarkan kelemahan tersebut dapat dilakukan
pemberian perlakuan yang tepat.
Menurut Arikunto (1999: 44), fungsi tes diagnostik antara lain:a. Menentukan apakah bahan prasyarat telah dikuasai atau belum.b. Menentukan tingkat penguasaan siswa terhadap bahan yang
dipelajari.c. Mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuan dalam menerima
pelajaran yang akan dipelajari.d. Menentukan kesulitan-kesulitan belajar yang dialami siswa untuk
menentukan cara yang khusus untuk mengatasi dan memberikan bimbingan.
Bentuk tes diagnostik yang sering digunakan adalah tes pilihan ganda.
Tes ini pada pokoknya menghadapkan kepada siswa sejumlah alternatif
jawaban, umumnya antara tiga sampai lima alternatif untuk setiap soal dan
tugas siswa adalah memilih salah satu diantara alternatif tersebut berdasarkan
suatu dasar pertimbangan tertentu (kadang-kadang sebagai variasi, tidak
ditentukan harus memilih satu, tetapi dimana perlu, harus lebih dari satu yang
dipilih) (Slameto, 2001:59).
Tes pilihan ganda mempunyai beberapa kebaikan, diantaranya: lebih
fleksibel dan efektif, mencakup hampir seluruh bahan pelajaran, koreksi dan
14
penilaiannya mudah dan objektif, serta dapat dipakai berulang-ulang. Akan
tetapi, tes pilihan ganda juga mempunyai beberapa kelemahan. Selain sulit
serta membutuhkan waktu yang lama dalam menyusun soalnya, jawaban siswa
belum tentu menunjukkan hasil/kemampuan yang sebenarnya. Sebab, siswa
kemungkinan hanya kira-kira saja (Slameto, 2001:41).
Treagust (dalam Irwan, 2009:13) merancang model tes pilihan ganda untuk
mengidentifikasi miskonsepsi siswa secara lebih sensitif dan efektif, dimana Treagust
menyebutnya sebagai two-tier diagnostic test atau tes diagnostik bertingkat dua.
Dalam model tes tersebut, setiap item tes terdiri dari dua tingkat soal. Tingkat
pertama berupa suatu pertanyaan dengan dua sampai lima pilihan jawaban. Namun,
pada tingkat kedua terdiri dari beberapa pilihan jawaban yang merupakan alasan
pemilihan jawaban pada tingkat pertama. Diantara beberapa pilihan jawaban pada
tingkat kedua ini, terdapat jawaban yang benar dan selainnya merupakan jawaban
yang mengidentifikasikan miskonsepsi yang dialami siswa. Pada tes diagnostik
bertingkat dua ini, identifikasi miskonsepsi siswa pada batasan-batasan dan konteks
yang jelas lebih mudah dilakukan. Pengelompokkan tingkat pemahaman siswa
berdasarkan kriteria penilaian tes diagnostik bertingkat dua ditampilkan pada tabel 1.
15
Tabel 1. Kriteria Pengelompokan Tingkat Pemahaman Siswa berdasarkan Tes
Diagnostik Bertingkat Dua.
No. Tingkat pemahamanKriteria Penilaian
Tingkat pertama Tingkat kedua
1. Paham Benar Benar
2. Miskonsepsi Benar
Salah (Kosong)
Salah (Kosong)
Benar
3. Tidak paham Salah (Kosong) Salah (Kosong)
D. Deskripsi Materi
Ikatan kimia adalah gaya tarik-menarik yang kuat antara atom-aton tertentu di
dalam suatu zat. Perubahn kimia atau reaksi kimia terjadi karena penggabungan atau
pemisahan atom-atom dengan cara tertentu sehingga terbentuk zat yang lebih stabil.
1. Susunan Electron Stabil
a. Susunan elektron yang stabil mempunyai 8 elektron pada kulit terluar ( octet )
sebagaimana yang dimimiliki oeleh atom-atom unsure gas mulia,kecuali
helium ( dua electron atau duplet )
b. Menurut Kossel dan Lewis (1916) ,keadaan seperti ini merupakan keadaan
paling stabil yang dimiliki atom-atom unsure gas mulia ( octet ).
c. Atom dari unsur-unsur lain berusaha memiliki konfigurasi elektron yang
stabil seperti konfigurasi elektron atom unsure gas mulia.
16
d. Kecendrungan memiliki konfigurasi electron stabil merupan salah satu factor
penyebab terjadinya ikatan kimia.
Konfigurasi Electron Unsure-Unsur Gas Mulia
Unsur Konfigurasi elektron Electron valensi
2He
10Ne
18Ar
36Kr
54Xe
86Rn
2
2 8
2 8 8
2 8 18 8
2 8 18 18 8
2 8 18 32 18
2
8
8
8
8
8
e. Cara mendapatkan konfigurasi electron yang stabil:
1) Melepaskan electron valensi nya sehingga terbentuk ion positif yang
bermuatan sejumlah electron yang dilepaskannya.
Na : 2e 8e 1e Na+ : 2e 8e + 1e
Mg : 2e 8e 2e Mg2+ : 2e 8e + 2e
17
Unsur-unsur yang cenderung melepaskan elektronadalah unsure logam yang berada pada golongan IA,IIA, dan IIIA ( elektron valensi 1, 2,dan 3 )
2) Menarik electron dari luar sehingga bermuatan negative sebesar electron
yang ditariknya.
F : 2e 7e + 1e F- : 2e 8e
O : 2e 6e + 2e O2- : 2e 8e
3) Pemilikan bersama pasangan elektron, yaitu :
Penggunaan bersama pasangan electron dari dua atom yang berikatan
sehingga terbentuk pasangan electron terikat sebanyak electron yang
saling dipinjamkan.
2. Ikatan Ion
a. Ikatan ion adalah ikatan kimia yang terbentuk akibat gaya tarik-menerik
antara ion positif ( kation ) dengan ion negative ( anion ) atau akibat serah
terima se-elektron dari satu atom ke atom yang lain.
b. Ikatan ion terjadi antara atom logam ( golongan IA, kecuali H dan golongan
IIA ) dengan unsure non logam ( golongan VIA dan golongan VIIA ).
18
Unsur-unsur yang cenderung menarik electron adalah unsure nonlogam yang berada pada golongan VA,VIA, dan VIIA ( elektron valensi 5, 6,dan 7 )
c. Pelepasan dan penerimaan electron tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut :
Kekuatan ikatan ion
Kekuatan ikatan ion suatu senyawa dapat diprediksikan dari perbedaan skala
keelektronegatifan unsur pembentuknya. Makin besar beda skala
keelektronegatifannya makin kuat ikatan ionnya.
3. Ikatan Kovalen
a. Ikatan kovalen adalah ikatan yang terjadi akibat pemakaian bersama pasangan
elektron oleh dua atom yang berikatan.
19
b. Ikatan kovalen terbentuk diantara dua atom yang sama-sama ingin menangkap
elektron (semilogam dan bukan logam )
c. Dalam melukiskan ikatan kovalen , kita menggunakan apa yang disebut rumus
LEWIS, yaitu setiap electron valensi ( electron pada kulit terluar )
dilambangkan dengan tanda ( titik, silang, kros atau yang lain ).
Contoh :
Untuk memudahkan pemikiran rumus Lewis perlu diperhatikan :
Pembentukan ikatan kimia merupakan upaya atom suatu unsure untuk
mencapai susnan octet ( 8 elektron terluar ) atau duplet ( dua electron
terluar )
Pasangan electron terikat digambarkan di antara dua atom yang
berikatan.
Sepasang electron dapat digambarkan dengan satu garis.
20
Berdasarkan jumlah pasangan electron yang digunakan bersama,
ikatan kovalen dapat dibedakan menjadi :
Ikatan tunggal ( dilambangkan dengan satu garis ikatan )
melibatkan sepasang elektron.
Ikatan kovalen rangkap ( melibatkan lebih dari sepasang
electron )
- Dua (2) pasang electron disebut ikatan rangkap dua .
- Tiga (3) pasang electron disebut ikatan rangkap tiga.
4. Sifat-Sifat Senyawa Ion Dan Senyawa Kovalen
1. Ikatan ion jauh lebih kuat dari pada ikatan kovalen karena ikatan ion terjadi
akibat gay Coulomb ( gaya elektrostatis ) , sedangkan ikatan kovalen terjadi
karena pemakaian bersama pasangan electron ikatan.
2. Perbandingan sifat fisika senyawa ion dengan senyawa kovalen.
Senyawa ion Senyawa kovalen
Mempunyai titik didih dan titk
leleh yang tinggi.
Cairan dan larutannya dapat
menghantar listrik ( bersifat
elektrolit )
Semua senyawa elektrovalen pada
suhu kamar berwujud padat.
Mempunyai titik didih dan titk
leleh yang rendah.
Cairan tidak dapat menghantar
listrik.
Pada suhu kamar ada yang
berwujud padat ,cair maupun gas.
21
5. Ikatan Kovalen Koordinasi
a. Ikatan kovalen koordinasi adalah ikatan kovalen dengan pasangan electron
yang digunakan secara bersama hanya berasal dari salah satu atom yang
berikatan.
b. Ikatan kovalen koordinasi hanya dapat terbentuk apabila salah satu atom
mempunyai Pasangan Electron Bebas (PEB)
Contoh : senyawa SO3 memiliki 1 ikatan rangkap dan 2 ikatan kovalen
koordinasi.
6. Kepolaran Ikatan
a. Ikatan Kovalen Polar
.Ikatan kovalen polar terjadi jika pasangan electron yang dipakai bersama ,
tertarik lebih kuat ke salah satu atom berikatan.
Kepolaran senyawa akan bertambah jika beda keelektronegatifan atom-atom
yang berikatan semakin besar.
22
b. Ikatan Kovalen Nonpolar
Ikatan kovalen plar terjadi jika pasangan electron yang dipakai bersama,
tertarik sama kuat ke semua atom yang berikatan.
Perbedaan Senyawa Polar dan Nonpolar
Senyawa Polar Senyawa Nonpolar
1. Ikatan yang terjadi adalah
ikatan polar.
2. Terjadi gaya elektrostatika
(antar muatan positif dan
negatif )
3. Senyawa yang terbentuk
berwujud cair/ padat.
4. Titik didih relative tinggi
5. Tertarik ke medan magnet dan
listrik.
1. Ikatan yang terjadi adalah
ikatan nonpolar.
2. Terjadi gaya Van der Waals
karena adanya dipole induksi.
3. Ikatan tidak begitu kuat ,
sehingga berwujud cair.
4. Titik didih rendah
5. Tidak tertarik ke medan
magnet dan listrik.
7.Ikatan Logam
a. Atom-aton logam mempunyai electron valensi yang kecil, sehingga electron
valensi dapat bergerak bebas dan sangat mudah dilepaskan, akibatnya
electron-elektron valensi tersebut bukan hanya milik salah satu ion logam ,
23
tetapi merupakan milik bersama ion-ion logam yang berada dalam kisi Kristal
logam.
b. Elektron valensi dalam logam, membaur membentuk awan electron yang
menyelimuti ion-ion positif logam yang telah melepaskan sebagian electron
valensi nya. Akibatnya terjadi interaksi antara kedua muatan ( electron
bermuatan negative dengan ion logam bermuatan positif ) yang berlawana dan
membentuk ikatan logam.
c. Unsur-unsur logam menunjukkan sifat yang khas, seperti umumnya berupa
zat padat pada suhu kamar, dapat ditempa dan merupakan penghantar listrik
dan panas yang baik.
d. Gaya tarik-menarik ini cukup kuat, sehingga pada umumnya unsure logam
mempunyai titik didih dan titik leleh yang tinggi.
Kekuatan ikatan logam dipengaruhi oleh :
1. Jari-jari atom, makin besar jari-jari atom menyebabkan ikatan logam
semakin lemah.
2. Jumlah electron valensi, makin banyak electron valensinya ikatan logam
semakin kuat.
3. Jenis electron s, p, atau d. Logam-logam blok s ikatannya paling lemah
dan logam-logam blok d ikatan logamnuya paling kuat.
24
E. Kerangka Konseptual
Berdasarkan latar belakang dan kajian teori yang telah dikemukakan
terdahulu, dapat dibuat suatu kerangka konseptual,yakni di dalam proses
pembelajaran terjadi interaksi antara guru dengan siswa, dimana dalam kegiatan
tersebut guru berperan sebagai pemberi informasi kepada sekelompok siswa.
Pengetahuan yang akan diperoleh siswa dalam kegiatan pembelajaran tersebut berupa
konsep-konsep, jadi dalam hal ini dituntut pemahaman siswa terhadap konsep-
konsep. Pemahaman siswa terhadap suatu konsep mungkin berbeda dengan
pemahaman yang secara umum diterima masyarakat ilmiah yang disebut
miskonsepsi. Miskonsepsi siswa pada suatu konsep dapat mengganggu siswa dalam
menerima konsep berikutnya yang berhubungan. Disini peneliti menganalisis
kesalahan konsep (miskonsepsi) siswa. Jika siswa mengalami miskonsepsi, dapat
diupayakan perbaikan misalnya saat pelaksanaan program remedial, agar proses
pembelajaran dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan konsep siswa
25
Sehubungan dengan hal tersebut maka kerangka konseptual tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1.Kerangka Konseptual
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan yaitu penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif bertujuan menggambarkan dan menginterpretasikan suatu gejala, peristiwa
atau kejadian dengan apa adanya tanpa memberikan perlakuan dan manipulasi
variabel (Arikunto, 1997:9). Dalam hal ini, penelitian deskriptif memiliki data atau
gejala data tersebut masih ada sekarang (Zafri, 2000:17). Dalam penelitian ini
fenomena fenomena yang ditemukan apa adanya tidak diberi perlakuan. Miskonsepsi
dilihat dari data tes diagnostik.
26
Proses Pembelajaran
Pemahaman Siswa terhadap Suatu Konsep
Miskonsepsi
Perlu Diketahui / Didiagnosa
SiswaGuru
Tidak PahamPaham
Mengganggu
Tingkat Penguasaan Konsep Siswa Lebih Baik
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 6 Padang yang
terdaftar semester Juli– Desember tahun ajaran 2010/2011 yang terdiri dari dua kelas.
Penelitian ini dilakukan di kelas X3 dan X5 , dimana kelas ini tidak homogen dengan
guru yang sama.
C. Variabel dan Data
1. Variabel Penelitian
Variabel merupakan gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati
(Sugiyono, 2007:2). Variabel dalam penelitian ini adalah miskonsepsi siswa
terhadap konsep-konsep pada pokok bahasan ikatan kimia.
2. Data Penelitian
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah berupa hasil tes diagnostik
bertingkat dua yang diberikan kepada siswa.
D. Kerangka Operasional
Dalam mengungkap miskonsepsi yang terjadi pada siswa ada beberapa tahap
penelitian yang dilakukan. Tahap-tahap tersebut lebih jelasnya diringkaskan dalam
kerangka operasional pada gambar berikut
27
Menentukan konsep
Penyusunan instrumen (tes diagnostik)
Validasi tes
Pemberian tes
Analisis data
Kesimpulan
Analisis materi pelajaran kimia
Analisis kurikulum
Gambar 2. Skema Kerangka Operasional Penelitian
E.Teknik Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah tes diagnostik bertingkat
dua. Dengan mengggunakan tes ini, diketahui tingkat pemahaman siswa terhadap
konsep-konsep prasyarat dan konsep-konsep yang harus dikuasai siswa pada pokok
bahasan ikatan kimia. Tes tersebut berupa pilihan ganda dengan beberapa pilihan
jawaban disertai beberapa alternatif alasan siswa berdasarkan jawaban pertamanya.
Instrumen disusun berdasarkan indikator pembelajaran yang terdapat dalam silabus
pembelajaran kimia kelas X khususnya pada pokok bahasan ikatan kimia. Sebelum
diberikan kepada siswa, instrumen ini divalidasi terlebih dahulu.
28
Validasi instrumen yang dilakukan adalah dari segi validitas isi. Sebuah
instrumen dikatakan memiliki validitas isi jika isi instrumen merupakan materi
pelajaran yang telah diajarkan (Sugiyono, 2007:272). Instrumen yang akan digunakan
pada penelitian ini divalidasi ke beberapa orang dosen kimia sebagai validator. Dalam
hal ini instrumen divalidasi dengan mendiskusikannya bersama beberapa orang dosen
kimia. Dengan demikian, layak atau tidak layaknya instrumen tersebut ditentukan
berdasarkan pertimbangan beberapa orang dosen kimia.
F. Teknik Analisis Data
Data hasil tes dikelompokkan menjadi tiga kelompok pemahaman, yaitu :
paham, miskonsepsi dan tidak paham. Teknik analisis data dalam penelitian ini
menggunakan analisis statistik deskriptif dengan menggunakan perhitungan
persentase (%) untuk mengetahui besarnya miskonsepsi siswa pada masing-masing
konsep.
% Jawaban = × 100 %
Keterangan: P = Jumlah Siswa pada Kelompok Pemahaman, yaitu: paham,
miskonsepsi dan tidak paham.
N = Jumlah Seluruh Siswa yang Mengikuti Tes.
29
DAFTAR PUSTAKA
Afrida, Monalisa. 2009. Analisis Miskonsepsi Siswa pada Pokok Bahasan Ikatan Kimia Kelas X di SMAN 11 Padang. Padang: FMIPA UNP.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka cipta.
. 1999. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi aksara.
Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
30
Effendy. 2002. Upaya untuk Mengatasi Kesalahan Konsep dalam Pengajaran Kimia
dengan Menggunakan Strategi Konflik Kognitif. Media Komunikasi kimia,
Jurnal Ilmu Kimia dan Pembelajaran, 2(6)1-22
Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Purba, Michael. 2006. Kimia untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.
Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka
Cipta.
. 2001. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Seprianto.2010.Analisis Miskonsepsi Siswa pada Pokok Bahasan Larutan Penyangga
di Kelas XI SMA Negeri 13 Padang.Padang : FMIPA UNP
Sudijono, Anas. 1998. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta. PT. Raja Grafindo
Persada.
Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Gramedia.
Zafri. 2000. Metoda Penelitian Pendidikan. Padang: FIS UNP.
31
top related