ritme listrik jantung penyebab henti jantung
Post on 05-Dec-2015
27 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Ada empat ritme listrik jantung yang menyebabkan terjadinya henti jantung, yaitu
pulseless ventricular tachycardia (VT), ventricular fibrilation (VF), pulseless electric
activity (PEA), dan asystole. Ritme-ritme jantung tersebut menyebabkan jantung
tidak dapat memompa untuk membuat darah mengalir secara signifikan. Penyebab-
penyebab terjadinya henti jantung yang dapat ditangani, dalam istilah bahasa Inggris
disebut sebagai the H’s dan the T’s yaitu H: Hypoxia (hipoksia), hypovolemia
(hipovolemik), hydrogen ion/asidosis (asidosis), hypo-/hyperkalemia, hypothermia; T:
Toxins (racun), tamponade jantung, tension pneumothorax, thrombosis pulmonary,
thrombosis coronary. Meski jantung berhenti, penderita belum lah dikatakan
meninggal. Penderita masih memiliki harapan untuk mendapatkan kembali sirkulasi
darah spontan atau yang disebut sebagai return of spontan circulation (ROSC).
Namun, peluang untuk penderita mengalami ROSC akan semakin berkurang seiring
dengan lama terjadinya henti jantung. Oleh karena itu, pertolongan harus segera
dilakukan, yang mana setiap detik amatlah berharga.
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan utama yang harus segera
dilakukan pada pasien yang mengalami henti jantung. RJP terdiri dari kompresi dada
dan pemberian ventilasi dengan rasio 30:2. Artinya adalah penolong melakukan
kompresi dada sebanyak 30 kali, kemudian dilanjutkan dengan memberikan napas
buatan sebanyak dua kali tiupan. Jika status infeksi pasien tidak diketahui sehingga
penolong khawatir adanya risiko penularan penyakit saat melakukan pemberian
napas buatan, napas buatan tidak perlu diberikan. Pada menit-menit awal terjadinya
henti jantung, kompresi dada saja cukup membantu mengingat pasien masih
memiliki cadangan oksigen. Pada saat RJP, pengiriman oksigen ke jantung dan otak
lebih terbatasi oleh karena rendahnya aliran darah dibandingkan kandungan oksigen
dalam arteri. Bahkan, jika penolong hanya sendiri, pemberian ventilasi disarankan
untuk tidak perlu diberikan pada menit-menit awal henti jantung.
Kecepatan kompresi dada yang direkomendasikan adalah setidaknya 100 kali dalam
satu menit. Ritme kompresi dada tersebut sesuai dengan beat sebuah lagu berjudul
Staying Alive sehingga untuk mempermudah dalam melakukan kompresi dada
sebanyak 100x per menit, banyak praktisi kesehatan yang melakukan kompresi
dada sembari membayangkan lagu tersebut. RJP tidak boleh mengalami interupsi.
Berhentinya RJP secara sementara hanya boleh dilakukan saat menilai ritme
jantung (dengan EKG atau monitor jantung), melakukan shock dengan defibrilator
pada kasus VT/VF, melakukan pengecekan pulsasi nadi karotis (dilakukan jika ritme
jantung teratur sudah terdeteksi), atau saat melakukan pemasanganadvanced
airway (alat untuk membantu mempertahankan jalan napas tetap terbuka, seperti
endotracheal tube atau supraglotic airway). Saat pergantian penolong (bisa karena
kelelahan), interupsi harus diupayakan seminimal mungkin.
Jika sudah dilakukan pemasangan advanced airway, ventilasi tidak lagi hanya
diberikan sebanyak dua kali tiap 30 kompresi dada melainkan menjadi 8-10 kali
setiap menit. Jadi, pemberian ventilasi (dengan bagging) dilakukan setiap 6 hingga 8
detik. Namun, perlu diperhatikan bahwa ventilasi tidak boleh dilakukan secara
berlebihan. Pada saat RJP, perfusi sistemik dan paru berkurang sehingga hubungan
perfusi-ventilasi yang normal dapat terjaga dengan ventilasi yang jauh lebih rendah
daripada normal. Selain itu, pada saat pemberian ventilasi, tekanan dalam rongga
dada akan meningkat sehingga aliran darah akan cenderung terhambat padahal
yang sedang lebih dibutuhkan adalah terjaganya aliran darah ke organ-organ
penting.
Selain interupsi minimal, kecepatan kompresi dada minimal 100x/menit, hindari
ventilasi berlebihan, kompresi-ventilasi 30:2, prinsip lain dalam RJP adalah
kedalaman yang cukup saat melakukan kompresi dada (sekitar 5 cm pada dewasa
dan 3 cm pada anak), dan membiarkan dada mengalami complete recoil atau
relaksasi secara sempurna setiap kali kompresi dada. Untuk kedalaman yang cukup
serta efektifitas tenaga, kita tidak mengandalkan kekuatan lengan melainkan
menggunakan berat badan kita dalam melakukan kompresi dada. Posisi lengan
lurus, tidak boleh tertekuk. Telapak tangan kanan diletakan diatas tangan kiri.
Kemudian, kita mendorong dengan badan kita dengan beban dialirkan melalui
lengan kita menuju dada penderita.
Pada kasus ventricular fibrilation atau pulseless ventricular tachycardia, selain
menjalankan RJP yang berkualitas, terapi lain yang sudah terbukti meningkatkan
survival adalah defibrilator. Oleh karena itu, pada kedua kasus tersebut, pemberian
defibrilator terintegrasi dalam siklus RJP. Selain itu, meskipun pada awal
pengecekan ritme didapatkan bahwa ritme jantung pasien PEA atau asystole,
defibrilator tetap perlu disiapkan karena ritme jantung dapat mengalami evolusi.
Bagaimana algoritma penatalaksanaan henti jantung pada
dewasa?
Situasi di luar rumah sakit: Pada saat melihat korban tidak sadarkan diri, pastikan
bahwa korban tidak sadar seperti dengan mengguncang-guncang bahu dan
memanggil namanya (atau dengan panggilan umum seperti pak, bu, mas, dsb).
Panggil pertolongan sesegera mungkin bahwa ada korban tidak sadarkan diri.
Amankan lingkungan sekitar, jangan sampai penolong dan korban justru mengalami
bahaya lain, misalnya korban tidak sadar di tengah jalan sehingga ada bahaya dari
kendaraan yang lewat. Cek pulsasi karotis. Jika tidak ada nadi teraba, segera
lakukan kompresi dada. Minta bantuan pada orang di sekitar untuk meminta
pertolongan medis (menelepon ambulans atau RS). RJP dilakukan hingga ada
orang yang lebih kompeten atau ambulans datang.
Jika henti jantung terjadi di rumah sakit, segera setelah memulai RJP, korban
diberikan oksigen dan dipasang monitor. Defibrilator segera disiapkan. Setelah
monitor siap, lakukan pemeriksaan ritme jantung untuk memastikan apakah dapat
dilakukan shock dengan defibrilator atau tidak. Jika tidak dapat dishock, yaitu ritme
listrik jantung PEA atau asistol, RJP dilanjutkan kembali selama dua menit. Sembari
melakukan RJP, jika belum dipasang, akses intravena dipasang. Pertimbangkan
juga untuk melakukan pemasangan advanced airway (endotracheal tube atau
supraglotic airway). Setelah dua menit RJP, lakukan kembali pengecekan ritme yang
ditampilkan pada monitor. Jika tidak dapat dishock, RJP dilanjutkan.
Suntik epinefrin diberikan setiap 3-5 menit. Dosis pemberian epinefrin adalah 1 mg.
Namun, untuk mempermudahnya, pemberian epinefrin dapat diberikan setiap 4
menit, yaitu tiap kali dua sesi RJP dilakukan. Tatalaksana pada kasus yang tidak
dapat dishock memang hanya RJP yang berkualitas ditambah dengan pemberian
epinefrin. Jadi, siklus itu terus dilanjutkan sampai pasien ROSC atau memenuhi
kriteria untuk tidak melanjutkan resusitasi. Jika tidak ada, epinefrin dapat diganti
dengan vasopresin 40 unit. Sembari melakukan upaya resusitasi, penyebab dari
henti jantung juga perlu dicari dan ditangani.
Pada kondisi ritme yang dapat dishock, yaitu VT atau VF, segera lakukan shock
dengan defibrilator. Alat defibrilator memiliki dua macam jenis, yaitu bifasik dan
monofasik. Pada bifasik, dosis energi yang digunakan sesuai dengan rekomendasi
pembuat alat,misalnya dosis inisial 120-200 J. Jika tidak diketahui, gunakan energi
maksimal yang mungkin. Jika alat monofasik, dosis yang digunakan adalah 360 J.
Setelah melakukan shock dengan defibrilator, RJP dilanjutkan selama dua menit,
sembari melakukan pemasangan akses intravena. Setelah dua menit, lakukan
kembali pemeriksaan ritme jantung. Jika masih VT/VF, shock dengan defibrilator
kembali dilakukan. Epinefrin 1 mg diberikan setiap 3-5 menit sebagaimana pada
kasus PEA atau asistol. Tiap kali shock dengan defibrilator selesai dilakukan, RJP
dilanjutkan selama dua menit. Setelah tiga kali shock dengan defibrilator dilakukan
korban belum ROSC, pemberian amiodarone dapat dilakukan dengan dosis 300 mg,
bolus. Siklus tetap dilanjutkan sampai pasien ROSC. Setelah 2 kali shock lagi
setelah pemberian amiodarone pertama, amiodarone dosis kedua dapat diberikan
sebesar 150 mg, bolus. Pemberian amiodarone hanya dilakukan sebanyak dua kali
itu saja. Jika tidak ada amiodarone, lidokain dapat menjadi penggantinya. Dosis
inisial adalah 1-1,5 mg/kgBB IV. Jika masih VF atau pulseless VT, dapat
ditambahkan dosis 0.5-0.75 mg/kgBB IV dengan interval pemberian 5-10 menit
hingga dosis maksimal 3 mg/kgBB.
Shock hanya dilakukan tiap kali monitor menunjukan gambaran VT atau VF. Jika
ritme berubah menjadi PEA atau asistol, hanya RJP dan pemberian epinefrin saja
yang dilakukan. Jika epinefrin, vasopresin dan lidokain tidak dapat diberikan secara
intravena karena aksesnya tidak bisa didapatkan, pemberian dapat dilakukan
melalui endotracheal tube. Dosis optimal pemberian obat melalui ETT belum
diketahui secara pasti, tetapi dosis yang diberikan biasanya adalah 2-2,5 kali
pemberian melalui IV. Obat terlebih dahulu dilarutkan dalam air steril atau normal
saline 5-10 cc.
Reference:Neumar RW, Otto CW, Link MS, Kronick SL, Shuster M, Callaway CW, dkk. Adult Advanced Cardiovascular Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resucitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010; 122:S729-S767
top related