reforma agraria melalui penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar
Post on 24-Jul-2015
278 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Didasari pertimbangan untuk menghindari implikasi yang menimbulkan
kesenjangan sosial, ekonomi, dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, serta menurunkan
kualitas lingkungan, maka sebagai salah-satu Rencana Aksi yang harus diselesaikan
dalam Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu II, Pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar (PP PPTT) yang ditandatangani oleh Presiden Dr. H. Susilo Bambang
Yudoyono pada tanggal 22 Januari 2010, untuk dijadikan acuan penertiban dan
pendayagunaan tenah terlantar guna penyelesaian dampak tersebut di atas.
Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa, dan negara
Indonesia, harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, walau secara praktis hak atas tanah yang dikuasai dan/atau dimiliki
penggunaannya masih banyak yang diterlantarkan, sehingga tanah sebagai salah-satu
sumber kesejahteraan rakyat belum mampu mewujudkan kesejahteraan yang sebesar-
besar bagi kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai dan digunakan sebesar-besar
untuk kemakmuran rakyat”. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang
menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Dinamika tanah terlantar dalam kaitannya dengan reforma agraria secara
historical explanation telah ada sejak pada masa kuasa politik kolonial yang pada
awalnya hadir sebagai organisasi dagang (VOC), yang dibalik kepentingan dagang
tersebut menjalankan pula proses eksploitasi atas rakyat pribumi dalam rangka
memperkuat proses akumulasi kapitalnya dengan jalan tanam paksa. Legitimasi dari
tindakan tersebut dengan dibuatnya kebijakan politik pertanahan kolonial, yakni
Agrarische Wet 1870. Melalui legitimasi inilah, penguasaan sumber-sumber agraria
ditata secara tegas melalui peraturan kuasa politik legal kolonial.
Pengalaman sejarah di atas membuktikan bahwa terjadi hoogspanning erlangen
kepentingan dagang (bisnis) dengan hak-hak rakyat untuk dapat memanfaatkan tanah
sebagai sumber kesejahteraannya. UUPA yang merupakan produk hukum positif yang
menjadi aturan organis dari UUD NRI 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3) merupakan
tahapan pertama dan terpenting dalam sejarah dalam mewujudkan keadilan dan
kemakmuran rakyat melalui reforma agraria. Sebuah tahapan yang mengakomodasi
kepentingan masyarakat dalam suatu negara modern yang disesuaikan dengan cita-cita
dasar kebangsaan, serta dalam hubungannya dengan dunia internasional, sehingga yang
dibutuhkan prosesi transformasi dalam tataran das sein (fakta yang ada) dan das sollen
(yang diharapkan) agar reforma agraria dapat terimplementasi.
Praktek reforma agraria sebagaimana yang diamantkan dalam UUD NRI 1945,
diantaranya bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat melalui pemerataan
pendapatan, meningkatkan keadilan sosial melalui distribusi/retribusi tanah bagi
kepentingan rakyat, kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum agraria melalui
kodefikasi aturan hukum agraria yang bersifat nasional untuk mengakhiri politik hukum
agraria kolonial yang bersifat dualistis dan rumit. Tujuan dimaksud harus pula didukung
dengan prinsip nasionalitas, hak menguasai dari negara, tanah mengandung fungsi sosial,
dan perencanaan agraria. Sehingga, didasari tujuan dan prinsip tersebut UUPA tersebut,
UUPA dapat menjadi law as tool of social engginering sebagaimana yang dikatakan oleh
Prof. Satjipto Rahardjo.
Sebagai salah satu bentuk reforma agraria, penertiban dan pendayagunaan tanah
terlantar dapat dijadikan sebagai resolusi guna mewujudkan kemakmuran sebesar-besar
bagi rakyat. Penelantaran tanah yang sering terjadi di pedesaan dan perkotaan,
merupakan tindakan menghilangkan manfaat secara ekonomis karena hilangnya potensi
tanah yang seharusnya dapat dimanfaatkan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UUPA
yang menyatakan bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta
mencegah kerusakannya merupakan kewajiban pemegang hak atau pihak yang
memperoleh dasar penguasaan tanah, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis
lemah.
Penelantaran tanah juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus
dipenuhi para pemegang hak atau pihak yang memperoleh dasar penguasaan tanah,
sehingga dampak lainnya yakni terhambatnya pencapaian berbagai program
pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional,
tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah, serta
terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial yang dapat dihindari apabila tanah
dimanfaatkan atau didayagunakan secara baik.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat makalah
dengan judul PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR SEBAGAI OBJEK
REFORMASI AGRARIA.
2. Rumusan dan Permbatasan Masalahan
Permasalahan dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana makna dari reformasi agraria??
2. Bagaimana kriteria dari tanah terlantar?
3. Bagaimana pendayaagunaan Tanah terlantar dalam reformasi agraria?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Makna Reformasi Agraria
Istilah Reforma Agraria berasal dari bahasa Spanyol, yang berarti Pembaharuan
Agraria, yaitu upaya melakukan perombakan struktur tanah agraria dengan cara
menghapuskan kepemilikan monopoli atas tanah dan sumber-sumber agraria serta
mendistribusikan tanah dan sumber-sumber agraria lainya kepada petani penggarap, baik
laki-laki maupun perempuan.1
Reformasi agraria merupakan suatu perubahan dalam struktur agraria dengan
tujuan peningkatan akses kaum tani miskin akan penguasaan tanah. Jadi pada
hakekatnya, reformasi agraria dilakukan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
kaum tani miskin. Setelah kaum tani meningkat kesejahteraannya, lalu apa nilai tambah
yang diperoleh negara? Sebuah jawaban jitu diberikan oleh Rehman Sobhan, seorang
ekonom terkemuka dari Bangladesh dalam buku karyanya yang berjudul Agrarian
Reform and Social Transformation: Preconditions for Development (1993). Setelah
menganalisis program reformasi agraria yang telah berlangung di 36 negara di seluruh
dunia, beliau menarik kesimpulan bahwa bila sebuah negara ingin mewujudkan
penghapusan kemiskinan di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan
ekonomi, maka tidak ada alternatif lain selain melakukan reformasi agraria yang radikal.
Reformasi agraria tersebut akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata
bagi sebagian besar rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah. Hal itu dengan
1 “Reforma Agraria : Gagalnya Visi Pembaharuan?” dalam pejuang-pertanian.blogspot.com/2012/05/reforma-agraria-gagalnya-visi.html akses tanggal 20 juni 2012
sendirinya dapat menghapuskan secara total penguasaan tanah yang dominan dari kelas-
kelas yang lama (feodal) maupun baru (kapitalis) di pedesaan.
Pemerataan penguasaan tanah di pedesaan sebagai hasil dari reformasi agraria
akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga desa yang pada umumnya petani
gurem atau buruh tani. Peningkatan kesejahteraan tersebut akan menimbulkan
konsekuensi peningkatan daya beli warga desa. Hal ini akan menjadi pasar potensial bagi
produk-produk industri nasional, yang, pada akhirnya, dapat membantu proses
industrialisasi nasional sebagai fondasi bagi kemandirian ekonomi bangsa.
Bila ditelaah, berbagai reformasi agraria memiliki corak yang berbeda pada
masing-masing negara. Ada yang bercorak kapitalistik, sebagai buah perombakan sistem
produksi feodal menuju terbentuknya pasar bebas pertanahan yang berdasarkan
kompetisi modal. Corak semacam ini terjadi di Jepang, Perancis dan Korea. Sementara
adapula yang bertipe sosialis, yakni merubah struktur kepemilikan tanah secara radikal
dari monopoli segelintir tuan tanah, pemilik modal maupun kapitalis birokrat menjadi
pengelolaan tanah oleh para petani kecil dan tak berlahan secara kolektif dan merata.
Dan proses reformasi ini dilakukan secara intensif oleh negara. Hal ini terjadi di Kuba
dan Venezuela.
Dalam konteks Indonesia, reformasi agraria menjadi suatu hal yang urgen bila
meninjau jumlah buruh tani dan petani gurem yang terus bertambah sebagai akibat dari
konflik agraria yang juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di Indonesia,
terdapat lebih dari 80 persen petani gurem atau petani yang berlahan kurang dari 1
hektar. Lebih dari 50 persen jumlah petani berlahan sempit ini menguasai hanya 21
persen dari keseluruhan lahan pertanian. Struktur agraria semacam ini merupakan
warisan dari politik agraria kolonial yang masih lestari hingga kini.
Demi mengakhiri struktur penguasaan tanah yang timpang warisan kolonial,
pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan reformasi agraria yang termaktub dalam
UU Pokok Agraria (UU PA) No.5 tahun 1960. UU PA No.5/1960 diberlakukan untuk
melikuidasi undang-undang agraria produk penjajahan Belanda (“Agrarische Wet”
dalam Staatsblad 1870 No. 55). Hingga kini, UU ini adalah produk hukum perundang-
undangan yang paling berpihak pada rakyat (kaum tani) miskin, karena UU tersebut
mereformasi ketimpangan penguasaan tanah menuju kearah kemakmuran yang
berkeadilan.
Salah satu contoh pasal yang berpihak pada kepentingan rakyat miskin dalam
undang-undang tersebut ialah pasal 13 yang berisi empat ayat dan berbunyi sebagai
berikut :2
1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya
2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agrarian dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial,termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
Menurut Badan Petanahan Nasional RI makna Reforma Agraria adalah
restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan sumber-sumber
agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Apabila makna ini di dekomposisikan, terdapat
lima komponen mendasar di dalamnya, yaitu:
a) Resturukturisasi penguasaan asset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-
ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity),
2 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960
b) Sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasisi keagraraiaan (welfare),
c) Penggunaan atau pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara
optimal (efficiency),
d) Keberlanjutan (sustainability), dan
e) Penyelesaian sengketa tanah (harmony).
Berdasarkan makna Reforma Agraria di atas, dirumuskan tujuan Reforma Agraria
sebagai berikut:
a) Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke
arah yang lebih adil,
b) Mengurangi kemiskinan,
c) Menciptakn lapangan kerja,
d) Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah,
e) Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan,
f) Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, dan
g) Meningkatkan ketahanan pangan.
Bahwa inti dari reforma agraria adalah upaya politik sistematis untuk melakukan
perubahan struktur penguasaan tanah dan perbaikan jaminan kepastian penguasaan tanah
bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya, dan yang
diikuti pula oleh perbaikan sistem produksi melalui penyediaan fasilitas teknis dan kredit
pertanian, perbaikan metode bertani, hingga infrastruktur sosial lainnya. Konsep
Reforma Agraria tidak lepas dari apa yang disebut dengan
konsep Landreformyangmerupakan bagiandari agrarianreform dan agrarianreform itu
sendiri tidak tidak bisa dijalankan tanpa adanya landreform.
Adapun tujuan dari landreform menurut Michael Lipton dalam Mocodompis
adalah:
1. Menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini
dilakukan melalui usaha yang intensif yaitu dengan redistribusi tanah, untuk
mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang dapat
merupakan usaha untuk memperbaki persamaan diantara petani secara
menyeluruh.
2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan lahan. Dengan
ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya
meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan yang diperuntukkan untuk
pertanian tersebut, kemudian secara langasung akan mengurangi jumlah petani
penggarap yang hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang cenderung
merugikan para petani.
Apabila dicermati, keseluruhan tujuan Reforma Agraria di atas bermuara
pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan penyelesaian berbagai permasalahan
bangsa.Pengembangan kapasitas petani miskin merupakan suatu proses penguatan
petani agar mereka dapat mengenali masalah-masalah yang dihadapinya dan secara
mandiri dapat menyelesaikan masalahnya sendiri.
2. Kriteria Tanah Terlantar
3. Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Upaya Reformasi Agraria
Pasal 4 PP PPTT mengatur ketentuan tanah yang diindikasikan sebagai tanah
terlantar dengan cara pendataan tanah terlantar melalui identifikasi dan penelitian oleh
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. Penjelasan Pasal 4 menyebutkan
bahwa tanah yang terindikasi terlantar yaitu tanah hak atau dasar penguasaan atas
tanah yang tidak sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau
dasar penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian. Selanjutnya,
tanah hak atau dasar penguasaan apa saja yang dapat menjadi objek penertiban tanah
terlantar. Pasal 2 mengatur bahwa yang menjadi objek penertiban tanah terlantar,
meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan, atau dasar penguasaan
atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai
dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Pasal 2 ini bila dibaca secara independen, maka menimbulkan tafsir hukum yang
argument acontrario dengan keberadaan tanah sebagai fungsi sosial karena eksistensi
tanah hak milik perorangan dan tanah yang dikuasai pemerintah pun merupakan objek
tanah yang dapat diindikasikan sebagai tanah terlantar apabila tidak sesuai dengan
keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Hal ini
tentunya akan menimbulkan resistensi secara faktual, karena tanah-tanah yang
dimiliki perorangan belum tentu dimanfaatkan sesuai keadaan atau sifat atau tujuan
pemberian dikarenakan persoalan ketidakmampuan secara ekonomi untuk
mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkannya. Selain itu, tanah yang
dikuasai pemerintah tersebut tidak dipergunakan karena keterbatasan anggaran
negara/daerah sehingga penggusaannya, penggunaannya, atau peruntukannya tidak
sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Sebagai wujud resolusi permasalahan dimaksud, dalam PP PPTT diatur mengenai
pengecualian objek tanah terlantar yakni tanah hak milik atau tanah hak guna
bangunan atas nama perorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya dan
tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung ataupun tidak langsung dan
sudah berstatus maupun belum berstatus barang milik negara/daerah yang tidak
sengaja tidak dipergunakan.
Untuk dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar ada proses yang harus dilalui
terlebih dahulu, yakni proses identifikasi dan penelitian oleh Kepala Kantor Wilayah
BPN. Identifikasi dan penelitian tersebut dilaksanakan terhitung mulai 3 (tiga) tahun
sejak diterbitkan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, atau sejak
berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang
berwenang. Apabila dari hasil identifikasi dan penelitian disimpulkan terdapat tanah
terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah BPN memberitahukan dan sekaligus
memberikan peringatan tertulis kepada pemegang hak, agar dalam jangka waktu 1
(satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan, menggunakan tanahnya
sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai
izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya. Apabila pemegang hak tetap tidak
melaksanakan kawajibannya, maka pemegang hak diberikan peringatan tertulis
sebanyak (2) lagi setelah peringatan pertama dengan jangka waktu masing-masing 1
(satu) bulan. Apabila pemegang hak tetap tidak melaksanakan peringatan tersebut,
maka Kepala BPN menetapkan tanah tersebut sebagai tanah terlantar. Selanjutnya
tanah terlantar dimaksud dibuat penetapannya mengenai hapusnya hak atas tanah,
sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai
langsung oleh negara.
Tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar, peruntukan penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar tersebut
didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria
dam program strategis negara untuk cadangan negara lainnya. Reforma Agraria
merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum
pertanahan serta penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap
tanah sesuai dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam,
dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria. Penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap
tanah dapat melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar.
Didasari hal di atas, hubungan hukum antara reforma agraria serta penertiban
dan pendayagunaan tanah terlantar secara yuridis, yakni antara UUD NRI 1945,
UUPA, dan PP PPTT menjadi sumber kepastian hukum bagi penggunaan tanah
terlantar dalam mewujudkan reforma agraria. Melalui regulasi ini kebijakan
pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta
penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat melalui distribusi dan
redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar guna mewujudkan tanah sebagai
sumber kesejahteraan rakyat; mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan;
menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan; memperkuat
harmoni sosial, dan optimalisasi pengusahaan, penggunaan tanah; meningkatkan
kualitas lingkungan hidup; mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja;
serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi dapat dilaksanakan
sebagaimana alasan sosiologis dan filosofis UUD NRI 1945, UUPA, dan PP PPTT.
Terbitnya PP 11/2010 merupakan sesuatu yang ditunggu mengingat regulasi
mengenai tanah telantar yang lama mandul dalam konsep maupun dalam praktiknya
di lapangan. PP yang lama amat sulit untuk diberlakukan mengingat proses yang
sedemikian panjang, rumit, dan mempersulit pelaksanannya. Alhasil, sejak PP
tersebut disahkan hingga diganti, tak ada satu pun bidang tanah yang secara formal
dinyatakan telantar. Dampaknya, jutaan hektare tanah yang secara fisik telantar, tapi
secara hukum tak dapat dinyatakan telantar.
Secara keseluruhan, isi PP 11/2010 ini meliputi 8 bab dan 20 pasal, serta
dilengkapi penjelasan. Kedelapan bab tersebut adalah; Ketentuan umum; Objek
penertiban tanah telantar; Identifikasi dan penelitian; Peringatan; Penetapan tanah
telantar; Pendayagunaan tanah negara bekas tanah telantar; Ketentuan peralihan, dan;
Ketentuan penutup.
Kepastian adanya perbaikan dalam prosedur dan mekanisme operasional
penertiban dan pendayagunaan tanah telantar sangat diperlukan agar tanah-tanah
telantar itu otomatis sebagai objek reforma agraria. Sehingga, penertiban dan
pendayagunaan tanah telantar berguna bagi keperluan menutup defisit kebutuhan
rakyat miskin atas tanah sebagai faktor produksi utama.
Reforma agraria menjadi jawaban tepat memajukan dan memakmurkan
bangsa, secara bersama. Reforma agraria, hakikatnya proses penataan kembali
struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah untuk mencapai
kesejahteraan dan keadilan sosial. Ini adalah upaya besar seluruh komponen bangsa.
Di sinilah relevansi menempatkan seluruh pengertian, ruang lingkup, dan kegunaan
dari pengelolaan ''tanah negara bekas tanah telantar'' dalam realisasi reforma agraria
sejati, yang salah satunya dimaksudkan untuk mengatasi kemiskinan struktural yang
dihadapi mayoritas rakyat Indonesia, khususnya kaum tani di pedesaan.
Reforma Agraria tanpa kebijakan pemerintah ialah kemustahilan. Sementara
itu, reforma agraria tanpa melibatkan organisasi rakyat akan gagal dalam mencapai
tujuannya. Keberadaan organisasi rakyat (tani) yang kuat ialah prasyarat pokok
keberhasilan reforma agraria. Peran dan keterlibatan organisasi rakyat dalam
pelaksanaan reforma agraria sangat penting.
Pada akhirnya, upaya penertiban dan pendayagunaan tanah telantar hanya akan
berkontribusi pada penanggulangan kemiskinan jika ia diletakkan dalam bingkai
pelaksanaan program reforma agraria untuk kepentingan rakyat miskin
top related