referat toksikologi
Post on 30-Oct-2014
163 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Sampai saat ini, terdapat banyak kasus keracunan dan pencemaran
lingkungan yang sulit terungkap, yang umumnya disebabkan karena seringkali
data yang diperlukan tidak cukup untuk dapat membuktikan penyebabnya, seperti
kasus Buyat, kasus keracunan di Magelang, kasus kematian aktivis HAM Munir,
dan kasus keracunan makanan yang seringkali terjadi di beberapa daerah di
Indonesia. Kurangnya pemahaman mengenai hal-hal apa saja yang diperlukan
untuk dapat membuat suatu kesimpulan mengenai kasus terkait keracunan dan
pencemaran lingkungan menjadikan strategi pengumpulan data-data yang
diperlukan seringkali tidak tepat.
Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan, dapat dibagi dalam dua
kelompok, yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian, misalnya
kematian akibat keracunan morfin, sianida, karbon monoksida, keracunan
insektisida, dan lain sebagainya, dan kelompok yang kedua adalah untuk
mengetahui mengapa suatu peristiwa, misalnya peristiwa pembunuhan,
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pesawat udara dan perkosaan dapat terjadi.
Dengan demikian, tujuan yang kedua bermaksud untuk membuat suatu rekaan
rekonstruksi atas peristiwa yang terjadi.
Dalam ilmu kedokteran kehakiman, keracunan dikenal sebagai salah satu
penyebab kematian yang cukup banyak sehingga keberadaannya tidak dapat
diabaikan. Jumlah maupun jenis reaksi pun semakin bertambah, apalagi dengan
makin banyaknya macam-macam zat pembasmi hama. Selain karena faktor murni
kecelakaan, racun yang semakin banyak jumlah dan jenisnya ini dapat
disalahgunakan untuk tindakan-tindakan kriminal. Walaupun tindakan meracuni
seseorang itu dapat dikenakan hukuman, tapi baik di dalam kitab Undang-
Undang Hukum Pidana maupun di dalam Hukum Acara Pidana (RIB) tidak
dijelaskan batasan dari keracunan tersebut, sehingga banyak dipakai batasan-
batasan racun menurut beberapa ahli, untuk tindakan kriminal ini, adanya racun
harus dibuktikan demi tegaknya hukum.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TOKSIKOLOGI FORENSIK
2.1.1 Definisi dan Peran Toksikologi Forensik
Toksikologi (berasal dari kata Yunani, toxicos dan logos) merupakan studi
mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat terhadap
organisme/mahluk hidup. Dalam toksikologi, dipelajari mengenai gejala,
mekanisme, cara detoksifikasi serta deteksi keracunan pada sistim biologis
makhluk hidup. Toksikologi sangat bermanfaat untuk memprediksi atau mengkaji
akibat yang berkaitan dengan bahaya toksik dari suatu zat terhadap manusia dan
lingkungannya.
Toksikologi forensik, adalah penerapan toksikologi untuk membantu
investigasi medikolegal dalam kasus kematian, keracunan maupun penggunaan
obat-obatan. Dalam hal ini, toksikologi mencakup pula disiplin ilmu lain seperti
kimia analitik, farmakologi, biokimia dan kimia kedokteran.
Hal yang menjadi perhatian utama dalam toksikologi forensik bukanlah
keluaran aspek hukum dari investigasi secara toksikologi, namun mengenai
teknologi dan teknik dalam memperoleh serta menginterpretasi hasil seperti:
pemahaman perilaku zat, sumber penyebab keracunan, metode pengambilan
sampel dan metode analisa, interpretasi data terkait dengan gejala/efek atau
dampak yang timbul serta bukti-bukti lainnya yang tersedia.
Seorang ahli toksikologi forensik harus mempertimbangkan keadaan suatu
investigasi, khususnya adanya catatan mengenai gejala fisik, dan adanya bukti
apapun yang berhasil dikumpulkan dalam lokasi kriminal/kejahatan yang dapat
mengerucutkan pencarian, misalnya adanya barang bukti seperti botol obat-
obatan, serbuk, residu jejak dan zat toksik (bahan kimia) apapun yang ditemukan.
Dengan informasi tersebut serta sampel yang akan diteliti, ahli toksikologi
forensik harus dapat menentukan senyawa toksik apa yang terdapat dalam sampel,
dalam konsentrasi berapa, dan efek yang mungkin terjadi akibat zat toksik
tersebut terhadap seseorang (korban). Dalam mengungkap kasus kejahatan
lingkungan, toksikologi forensik digunakan untuk memahami perilaku pencemar,
2
mengapa dapat bersifat toksik terhadap biota dan manusia, dan sejauhmana
risikonya, serta mengidentifikasi sumber dan waktu pelepasan suatu bahan
pencemar.
Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik. Menurut
Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah ”the application of
science to low”, maka secara umum ilmu forensik (forensik sain) dapat dimengerti
sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk penegakan
hukum dan peradilan.
Guna lebih memahami pengertian dan ruang lingkup kerja toksikologi
forensik, maka akan lebih baik sebelumnya jika lebih mengenal apa itu bidang
ilmu toksikologi. Ilmu toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan
efek berbahaya zat kimia atau racun terhadap mekanisme biologis suatu
organisme. Racun adalah senyawa yang berpotensi memberikan efek yang
berbahaya terhadap organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh:
dosis, konsentrasi racun di reseptor, sifat fisiko kimis toksikan tersebut, kondisi
bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk
efek yang ditimbulkan. Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau
pemanfaatan ilmu toksikologi untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari
toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari
racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan
apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang
dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil
analisis dan interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu
laporan yang sesuai dengan hukum dan perundanganundangan.
Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut
dengan Surat Keterangan Ahli atau Surat Keterangan. Jadi toksikologi forensik
dapat dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu tosikologi untuk keperluan penegakan
hukum dan peradilan. Toksikologi forensik merupakan ilmu terapan yang dalam
praktisnya sangat didukung oleh berbagai bidang ilmu dasar lainnya, seperti kimia
analisis, biokimia, kimia instrumentasi, farmakologitoksikologi, farmakokinetik,
biotransformasi.
3
2.1.2 Prinsip Dasar dalam Investigasi Toksikologi
Dalam menentukan jenis zat toksik yang menyebabkan keracunan,
seringkali menjadi rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi dalam
tubuh manusia. Jarang sekali suatu bahan kimia bertahan dalam bentuk asalnya
didalam tubuh. Bahan kimia, ketika memasuki tubuh akan mengalami proses
ADME, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Misalnya, setelah
memasuki tubuh, heroin dengan segera termetabolisme menjadi senyawa lain dan
akhirnya menjadi morfin, menjadikan investigasi yang lebih detil perlu dilakukan
seperti jenis biomarker (petanda biologik) zat racun tersebut, jalur paparan zat,
letak jejak injeksi zat pada kulit dan kemurnian zat tersebut untuk mengkonfirmasi
hasil diagnosa. Zat toksik juga kemungkinan dapat mengalami pengenceran
dengan adanya proses penyebaran ke seluruh tubuh sehingga sulit untuk
terdeteksi.
Walaupun zat racun yang masuk dalam ukuran gram atau miligram,
sampel yang diinvestigasi dapat mengandung zat racun atau biomarkernya dalam
ukuran mikrogram atau nanogram, bahkan hingga pikogram.
Bapak Toksikologi Modern, Paracelsus (1493-1541) menyatakan bahwa
"semua zat adalah racun; tidak ada yang bukan racun. Dosis yang tepat
membedakan suatu racun dengan obat". Toksikan (zat toksik) adalah bahan
apapun yang dapat memberikan efek yang berlawanan (merugikan). Racun
merupakan istilah untuk toksikan yang dalam jumlah sedikit (dosis rendah) dapat
menyebabkan kematian atau penyakit (efek merugikan) yang secara tiba-tiba. Zat
toksik dapat berada dalam bentuk fisik (seperti radiasi), kimiawi (seperti arsen,
sianida) maupun biologis (bisa ular). Juga terdapat dalam beragam wujud (cair,
padat, gas). Beberapa zat toksik mudah diidentifikasi dari gejala yang
ditimbulkannya, dan banyak zat toksik cenderung menyamarkan diri.
Sulit untuk mengkategorisasi suatu bahan kimia sebagai aman atau
beracun. Tidak mudah untuk membedakan apakah suatu zat beracun atau tidak.
Prinsip kunci dalam toksikologi ialah hubungan dosis-respon/Efek. Kontak zat
toksik (paparan) terhadap organisme/tubuh dapat melalui jalur tertelan (ingesti),
terhirup (inhalasi) atau terabsorpsi melalui kulit. Zat toksik umumnya memasuki
4
organisme/tubuh dalam dosis tunggal dan besar (akut), atau dosis rendah namun
terakumulasi hingga jangka waktu tertentu (kronis).
Tabel 2.1 Contoh zat-zat toksik dan gejalanya.Zat Toksik Gejala
Asam (nitrat, hidroklorat, sulfat)
Anilin ArsenAtropin Basa (kalium, hidroksida)
Asam karbolat (atau fenol lainnya) Karbon monoksida Sianida Keracunan makanan Senyawa logam Nikotin Asam oksalat Natrium fluoridaStriknin
Luka bakar pada kulit, mulut, hidung, membran mukosaKulit muka dan leher menghitam (gelap) Diare parahPelebaran pupil mata Luka bakar pada kulit, mulut, hidung, membran mukosaBau desinfektan Kulit berwarna merah terang Kematian cepat, kulit memerahMuntah, nyeri perutDiare, muntah, nyeri perut KejangBau bawang putih KejangKejang, muka dan leher menghitam (gelap)
2.1.3 Kriteria Diagnosis Kasus Keracunan
1. Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan
racun (secara injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau mukosa).
Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya
sebagai kriteria diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri – keluarga korban
tentunya tidak akan memberikan keterangan yang benar, bahkan malah cenderung
untuk menyembunyikannya, karena kejadian tersebut merupakan aib bagi pihak
keluarga korban.
2. Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat
yang diduga.
Adanya tanda/gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang
bersifat darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus tanpa
disertai dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian karena kematian
sehingga harus dipikirkan terutama pada kasus yang mati mendadak, non
traumatik yang sebelumnya dalam keadaan sehat.
5
3. Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa makanan /
obat / zat yang masuk ke dalam tubuh korban.
Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang
digunakan korban itu adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum dapat
dibuktikan secara analisa kimia, kemungkinan-kemungkinan seperti tertukar atau
disembunyikannya barang bukti, atau si korban menelan semua racun – kriteria ini
tentunya tidak dapat dipakai.
4. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara
makroskopik atau mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang diakibatkan
oleh racun yang bersangkutan.
Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus keracunan,
selain untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga penting untuk
menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab kematian. Otopsi menjadi
lebih penting pada kasus yang telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana
pada kasus-kasus seperti ini kita tidak akan menemukan racun atau metabolitnya,
tetapi yang dapat ditemukan adalah kelainan-kelainan pada organ yang
bersangkutan.
5. Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di
dalam tubuh / jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.
Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa
pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak
memiliki arti dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan dengan
pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh terpaku pada dosis letal sesuatu zat,
mengingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja racun. Penentuan ada
tidaknya racun harus dibuktikan secara sistematik, diagnosa kematian karena
racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya berdasar pada ditemukannya racun
dalam lambung korban.
Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada
kasus-kasus keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima
merupakan kriteria yang terpenting dan tidak boleh dilupakan.
6
2.1.4 Analisis Toksikologi
Analisis toksikologi merupakan pemeriksaan laboratorium yang berfungsi
untuk:
1. Analisa tentang adanya racun.
2. Analisa tentang adanya logam berat yang berbahaya.
3. Analisa tentang adanya asam sianida, fosfor dan arsen.
4. Analisa tentang adanya pestisida baik golongan organochlorin maupun
organophospat.
5. Analisa tentang adanya obat-obatan misalnya: transquilizer, barbiturate,
narkotika, ganja, dan lain sebagainya.
Analitikal toksikologi meliputi isolasi, deteksi, dan penentuan jumlah zat
yang bukan merupakan komponen normal dalam material biologis yang
didapatkan dalam otopsi. Guna toksikologi adalah menolong menentukan sebab
kematian.
Kadang-kadang material didapatkan dari pasien yang masih hidup,
misalnya darah, rambut, potongan kuku atau jaringan hasil biopsi. Hasil
toksikologi disini membantu dalam menentukan kasus-kasus yang diduga
keracunan. Pada pengiriman material untuk analitikal toksikologi, diharapkan
dokter mengirimkan material sebanyak mungkin, dengan demikian akan
memudahkan pemeriksaan dan hasilnya akan lebih sempurna. Jaringan tubuh
masing-masing memiliki afinitas yang berbeda terhadap racun-racun tertentu,
misalnya:
Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan racun-
racun organis, baik yang mudah menguap maupun yang tidak mudah
menguap.
Hepar dan ginjal adalah material yang paling baik untuk menentukan
keracunan logam berat yang akut.
Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat organik
non volatile, misalnya obat sulfa, barbiturate, salisilat dan morfin.
Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik untuk
pemeriksaan keracunan logam yang bersifat kronis.
7
Untuk racun yang efeknya sistemik, harus dapat ditemukan dalam darah
atau organ parenkim ataupun urin. Bila hanya ditemukan dalam lambung saja
maka belum cukup untuk menentukan keracunan zat tersebut. Penemuan racun-
racun yang efeknya sistemik dalam lambung hanyalah merupakan penuntun bagi
seorang analis toksikologi untuk memeriksa darah, organ, dan urin ke arah racun
yang dijumpai dalam lambung tadi. Untuk racun-racun yang efeknya lokal, maka
penentuan dalam lambung sudah cukup untuk dapat dibuat diagnosa.
Secara umum tugas analisis toksikolog forensik (klinik) dalam melakukan
analisis dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu: 1) penyiapan sampel
“sample preparation”, 2) analisis meliputi uji penapisan “screening test” atau
dikenal juga dengan “general unknown test” dan uji konfirmasi yang meliputi uji
identifikasi dan kuantifikasi, 3) langkah terakhir adalah interpretasi temuan
analisis dan penulisan laporan analisis. Berbeda dengan kimia analisis lainnya
(seperti: analisis senyawa obat dan makanan, analisis kimia klinis) pada analisis
toksikologi forensik pada umumnya analit (racun) yang menjadi target analisis,
tidak diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis. Tidak sering hal ini
menjadi hambatan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi forensik, karena
seperti diketahui saat ini terdapat ribuan atau bahkan jutaan senyawa kimia yang
mungkin menjadi target analisis. Untuk mempersempit peluang dari target
analisis, biasanya target dapat digali dari informasi penyebab kasus forensik
(keracunan, kematian tidak wajar akibat keracunan, tindak kekerasan dibawah
pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan pemeriksaan di tempat
kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi penyidik.
Sangat sering dalam analisis toksikologi forensik tidak diketemukan
senyawa induk, melainkan metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis
toksikologi forensik, senyawa metabolit juga merupakan target analisis. Sampel
dari toksikologi forensik pada umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan
biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh. Preparasi
sampel adalah salah satu faktor penentu keberhasilan analisis toksikologi forensik
disamping kehadalan penguasaan metode analisis instrumentasi. Berbeda dengan
analisis kimia lainnya, hasil indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan
merupakan tujuan akhir dari analisis toksikologi forensik. Seorang toksikolog
8
forensik dituntut harus mampu menerjemahkan apakah analit (toksikan) yang
diketemukan dengan kadar tertentu dapat dikatakan sebagai penyebab keracunan
(pada kasus kematian).
2.1.5 Jenis-Jenis Keracunan
A. Keracunan Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida (CO) adalah racun yang tertua dalam sejarah manusia.
Sejak dikenal cara membuat api, manusia senantiasa terancam oleh asap yang
mengandung CO. Gas CO adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak
meransang selaput lendir, sedikit lebih ringan dari udara sehingga mudah
menyebar.
Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan CO
Diagnosis keracunan CO pada korban hidup biasanya berdasarkan
anamnesis adanya kontak dan di temukannya gejala keracunan CO.-Pada korban
yang mati tidak lama setelah keracunan CO, ditemukan lebam mayat berwarna
merah terang (cherry pink colour) yang tampak jelas bila kadar COHb mencapai
30% atau lebih. Warna lebam mayat seperti itu juga dapat ditemukan pada mayat
yang di dinginkan, pada korban keracunan sianida dan pada orang yang mati
akibat infeksi oleh jasad renik yang mampu membentuk nitrit, sehingga dalam
darahnya terbentuk nitroksi hemoglobin. Meskipun demikian masih dapat di
bedakan dengan pemeriksaan sederhana.
Pada mayat yang didinginkan dan pada keracunan CN, penampang ototnya
berwarna biasa, tidak merah terang. Juga pada mayat yang di dinginkan warna
merah terang lebam mayatnya tidak merata selalu masih ditemukan daerah yang
keunguan (livid). Sedangkan pada keracunan CO, jaringan otot, visera dan darah
juga berwarna merah terang. Selanjutnya tidak ditemukan tanda khas lain.
Kadang-kadang dapat ditemukan tanda asfiksia dan hiperemia visera. Pada otak
besar dapat ditemukan petekiae di substansia alba bila korban dapat bertahan
hidup lebih dari ½ jam.
Pada analisa toksikologik darah akan di temukan adanya COHb pada
korban keracunan CO yang tertunda kematiannya sampai 72 jam maka seluruh
CO telak di eksresi dan darah tidak mengandung COHb lagi, sehingga ditemukan
9
lebam mayat berwarna livid seperti biasa demikian juga jaringan otot, visera dan
darah. Kelainan yang dapat di temukan adalah kelainan akibat hipoksemia dan
komplikasi yang timbul selama penderita di rawat.
Otak, pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus
dapat di temukan petekiae. Kelainan ini tidak patognomonik untuk keracunan CO,
karena setiap keadaan hipoksia otak yang cukup lama dapat menimbulkan
petekiae. Pemeriksaan mikroskopik pada otak memberi gambaran:
- Pembuluh-pembuluh halus yang mengandung trombihialin
- Nikrosis halus dengan di tengahnya terdapat pembuluh darah yang
mengandung trombihialin dengan pendarahan di sekitarnya, lazimnya di
sebut ring hemorrage
- Nikrosis halus yang di kelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang
mengandung trombi
- Ball hemorrgae yang terjadi karena dinding arterior menjadi nekrotik
akibat hipoksia dan memecah.
Pada miokardium di temukan perdarahan dan nekrosis, paling sering di
muskulus papilaris ventrikal kiri. Pada penampang memanjangnya, tampak bagian
ujung muskulus papilaris berbercak-bercak perdarahan atau bergaris-garis seperti
kipas berjalan dari tempat insersio tendinosa ke dalam otak.
Ditemukan eritema dan vesikal / bula pada kulit dada, perut, luka, atau
anggota gerak badan, baik di tempat yang tertekan maupun yang tidak tertekan.
Kelainan tersebut di sebabkan oleh hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit.
Pneunomonia hipostatik paru mudah terjadi karena gangguan peredaran darah.
Dapat terjadi trombosis arteri pulmonalis.
B. Keracunan Sianida
Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik, karena garam sianida
dalam takaran kecil sudah cukup untuk menimbulkan kematian pada seseorang
dengan cepat seperti bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa tokoh nazi.
Kematian akibat keracunan CN umumnya terjadi pada kasus bunuh diri dan
pembunuhan.
10
Tetapi mungkin pula terjadi akibat kecelakaan di laboratorium, pada
penyemprotan (fumigasi) dalam pertanian dan penyemprotan di gudang-gudang
kapal.
Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Sianida3
Pada pemeriksaan korban mati, pada pemeriksaan bagian luar jenazah,
dapat tercium bau amandel yang patognomonig untuk keracunan CN, dapat
tercium dengan cara menekan dada mayat sehingga akan keluar gas dari mulut
dan hidung. Bau tersebut harus cepat dapat ditentukan karena indra pencium kita
cepat teradaptasi sehingga tidak dapat membaui bau khas tersebut. Harus dingat
bahwa tidak semua orang dapat mencium bau sianida karena kemampuan untuk
mencium bau khas tersebut bersifat genatik sex-linked trait.
Sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut, dan lebam mayat
berwarna terang, karena darah vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi ada pula yang
mengatakan karena terdapat Cyanmet-Hb.
Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat tercium bau amandel yang khas
pada waktu membuka rongga dada, perutdan otak serta lambung(bila racun
melalui mulut) darah, otot dan penampang tubuh dapat berwarna merah terang.
Selanjutnya hanya ditemukan tandatanda asfiksia pada organ tubuh.
Pada korban yang menelan garam alkalisianida, dapat ditemukan kelainan
pada mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena
terbentuk hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi
dapat mengakibatkan perforasi lambung yang dapat terjadi antemortal atau
posmortal.
C. Keracunan Arsen (As)
Senyawa arsen dahulu sering mengunakan sebagai racun untuk membunuh
orang lain, dan tidaklah mustahil dapat ditemukan kasus keracunan dengan arsen
dimasa sekarang ini. Disamping itu keracunan arsen kadang-kadang dapat terjadi
karena kecelakaan dalam industri dan pertanian akibat memakan/meminum
makanan/minuman yang terkontaminasi dengan arsen. Kematian akibat keracunan
arsen sering tidak menimbulkan kecurigaan karena gejala keracunan akutnya
menyerupai gejala gangguan gastrointestinal yang hebat sehingga dapat
didiagnosa sebagai suatu penyakit.
11
Pemeriksaan Kedokteran Forensik As
Korban mati keracunan akut. Pada pemeriksaan luar ditemukan tanda-
tanda dehidrasi. Pada pembedahan jenazah ditemukan tanda-tanda iritasi lambung,
mukosa berwarna merah, kadang-kadang dengan perdarahan (flea bitten
appearance). Iritasi lambung dapat menyebabkan produksi musin yang menutupi
mukosa dengan akibat partikel-partikel As berwarna kuning sedangkan As2O3
tampak sebagai partikel berwarna putih.
Pada jantung ditemukan perdarahan sub-endokard pada septum. Histologik
jantung menunjukkan infiltrasi sel-sel radang bulat pada miokard. Sedangkan
organ lain parenkimnya berwarna putih.-Korban mati akibat keracunan arsin. Bila
korban cepat meninggal setelah menghirup arsin, akan terlihat tanda-tanda
kegagalan kardiorespirasi akut. Bila meninggalnya lambat, dapat ditemukan
ikterus dengan anemia hemolitik, tanda-tanda kerusakan ginjal berupa degenerasi
lemak dengan nekrosis fokal serta nekrosis tubuli. Korban mati akibat keracunan
kronik. Pada pemeriksaan luar tampak keadaan gizi buruk. Pada kulit terdapat
pigmentasi coklat (melanosis arsenik).
D. Keracunan Alkohol
Alkohol banyak terdapat dalam berbagai minuman dan sering
menimbulkan keracunan. Keracunan alkohol menyebabkan penurunan daya reaksi
atau kecepatan, kemampuan untuk menduga jarak dan ketrampilan mengemudi
sehingga cenderung menimbulkan kecelakaan lalu-lintas di jalan, pabrik dan
sebagainya. Penurunan kemampuan untuk mengontrol diri dan hilangnya
kapasitas untuk berfikir kritis mungkin menimbulkan tindakan yang melanggar
hukum seperti perkosaan, penganiayaan, dan kejahatan lain ataupun tindakan
bunuh diri.
Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Alkohol
Pada orang hidup, bau alkohol yang keluar dari udara pernapasan
merupakan petunjuk awal. Petunjuk ini harus dibuktikan dengan pemeriksaan
12
kadar alkohol darah, baik melalui pemeriksaan udara pernapasan atau urin,
maupun langsung dari darah vena.
Kelainan yang ditemukan pada korban mati tidak khas, Mungkin
ditemukan gejala-gejala yang sesuai dengan asfiksia. Seluruh organ menunjukkan
tanda perbendungan, darah lebih encer, berwarna merah gelap. Mukosa lambung
menunjukkan tanda perbendungan, kemerahan dan tanda inflamasi tapi
kadangkadang tidak ada kelainan.
Organ-organ termasuk otak dan darah berbau alkohol. Pada pemeriksaan
histopatologik dapat dijumpai edema dan pelebaran pembuluh darah otak dan
selaput otak, degenerasi bengkak keruh pada bagian parenkim organ dan inflamasi
mukosa saluran cerna.-Pada kasus keracunan kronik yang, meninggal, jantung
dapat memperlihatkan fibrosis interstisial, hipertrofi serabut otot jantung, sel-sel
radang kronik pada beberapa tempat, gambaran seran lintang otot jatunng
menghilang, hialinisasi, edema dan vakuolisasi serabut otot jantung. Schneider
melaporkan miopati alhokolik akut dengan miohemoglobinuri yang disebabkan
oleh nekrosis tubuli ginjal dan kerusakan miokardium.
2.1.6 Cara Pengiriman Bahan Pemeriksaan Forensik
Untuk melakukan pengiriman bahan pemeriksaan forensik, harus
memenuhi kriteria:
1. Satu tempat hanya berisi satu contoh bahan pemeriksaan
2. Contoh bahan pengawet harus disertakan untuk kontrol
3. Tiap tempat yang telah terisi disegel dan diberi label
4. Hasil autopsi harus dilampirkan secara singkat
5. Adanya surat permintaan dari penyidik
Jika jenazah akan diawetkan, maka pengambilan contoh bahan harus
dilakukan sebelum pengawetan. Pada pengambilan contoh bahan dari korban
hidup, alkohol tidak dapat dipakai sebagai disinfektan lokal saat pengambilan
darah. Sebagai gantinya dapat digunakan sublimat 1% atau merkuri klorida.
13
BAB III
KESIMPULAN
Toksikologi adalah studi mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari
suatu zat terhadap organisme/mahluk hidup. Dalam toksikologi, dipelajari
mengenai gejala, mekanisme, cara detoksifikasi serta deteksi keracunan pada
sistim biologis makhluk hidup. Toksikologi sangat bermanfaat untuk memprediksi
atau mengkaji akibat yang berkaitan dengan bahaya toksik dari suatu zat terhadap
manusia dan lingkungannya.
Toksikologi forensik, adalah penerapan toksikologi untuk membantu
investigasi medikolegal dalam kasus kematian, keracunan maupun penggunaan
obat-obatan. Dalam hal ini, toksikologi mencakup pula disiplin ilmu lain seperti
kimia analitik, farmakologi, biokimia dan kimia kedokteran.
Toksikologi forensik merupakan ilmu terapan yang dalam praktisnya
sangat didukung oleh berbagai bidang ilmu dasar lainnya, seperti kimia analisis,
biokimia, kimia instrumentasi, farmakologi toksikologi, farmakokinetik, dan
biotransformasi.
14
DAFTAR PUSTAKA
Adiwisastra, A., 1985, Keracunan, Sumber, Bahaya serta Penanggulangannya,. Angkasa, Bandung.
Andarwendah, Sumardi, 1982, Keracunan Arsen, Program Pendidikan Pasca Sarjana Hyperkes, FK-UGM.
Bell, S. Forensic Chemistry. Pearson Education Inc., 2006
Budiawan. Peran Toksikologi Forensik dalam Mengungkap Kasus Keracunan dan Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):35-39
Casarett, L.J. and Doull, J. Toxicology, the Basic Science of Poisons. McGraw-Hill Companies, Inc., New York, 1991
Hadikusumo, Nawawi, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik, IKF III, FK Uiversitas Gajah Mada.
Idries, A.M., dkk, 1985, Ilmu Kedokteran Kehakiman, PT. Gunung Agung, Jakarta.
Simpson, Keith, 1979, Forensic Medicine, eight edition, The English Language Book Society and Edward Arnold (Publishers) LTD.
Thienes, Clinton H., 1972, Clinical Toxicology, Heurg kimpton Publishers, London, Great Britain.
Wirasuta, M. G, Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan Analisis, Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):47-55
15
top related