refarat se
Post on 13-Dec-2015
47 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan. Data
WHO menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, nilai yang sama
dengan kanker payudara pada perempuan dan kanker prostat pada pria. Epilepsi
dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan social
ekonomi. Angka kejadian epilepsy masih tinggi terutama di negara berkembang
yang mencapai 114 (70-190) per 100.000 penduduk pertahun. Angka yang tinggi
dibandingkan dengan Negara yang sudah berkembang di mana angka kejadian
epilepsi berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk pertahun. Bila jumlah
penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penyandang
epilepsi baru 250.000 pertahun. (1)
Angka prevalensi penyandang epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000
penyandang epilepsi. Dari banyak studi diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar
antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Berkaitan
dengan umur, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi
epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan
pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut. (1)
Umumnya penyakit ini dapat diobati; data penelitian menemukan 55-68 %
kasus berhasil menunjukkan remisi dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Dikalangan masyarakat awam, terutama di negara berkembang masih terdapat
pandangan yang keliru (stigma) terhadap epilepsi, antara lain dianggap sebagai
penyakit akibat kutukan, guna-guna, kerasukan, gangguan jiwa /mental, dan
dianggap penyakit yang dapat ditularkan melalui air liur. Hal ini berpengaruh
negatif terhadap upaya pelayanan penyandang epilepsi. Selain hal tersebut di atas,
pelayanan penyandang epilepsi masih menghadapi banyak kendala. Beberapa
kendala yang telah teridentifikasi antara lain keterbatasan dalam hal tenaga medik,
sarana pelayanan, dana dan kemampuan masyarakat. Berbagai keterbatasan tadi
dapat menurunkan optimalisasi penanggulangan epilepsi. (1)
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30
menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dimana di antara bangkitan-bangkitan
tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan
konvulsif harus dimulai bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-
10 menit. SE merupakan keadaan kegawat daruratan yang memerlukan
penanganan dan terapi segera guna menghentikan bangkitan (dalam waktu 30
menit). SE dikatakan pasti (established) bila pemberian benzodiazepin awal tidak
efektif dalam menghentikan bangkitan.(1)
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA), status epileptikus
didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.(2)
2.2. ETIOLOGI
Tabel 1. Etiologi of Status Epileptikus.(2)
Penyebab Presentase
Demam 36 %
Perubahan obat 20 %
Lain-lain (Trauma, vascular, infeksi, tumor, obat) 15 %
Tidak diketahui 9 %
Metabolik 8 %
Congenital 7 %
Anoxic Injury 5 %
2
Beberapa obat yang lebih umum diketahui menyebabkan kejang meliputi: (2)
Penisilin
Isoniazid
Metronidazol
Antihistamin
Narkotic
Ketamine
Halotan
Enfluran
Antidepresan trisiklik
Antipsikotik
Phencyclidine
Kokain
2.3. EPIDEMIOLOGI
Insiden status epileptikus (SE) adalah 10 sampai 60 per 100.000 orang-
tahun. SE terjadi sama pada pria dan wanita. Meskipun SE dapat terjadi pada
semua usia, distribusi temporal adalah bimodal, mempengaruhi ekstrem usia,
dengan risiko yang lebih tinggi pada tahun pertama kehidupan dan setelah usia 60
tahun. Insiden ini lebih tinggi pada populasi miskin.(3)
SE adalah presentasi pertama epilepsi pada sepertiga pasien, terutama pada
anak-anak. Sepertiga lagi dari pasien memiliki diagnosis didirikan epilepsi, dan
yang ketiga tersisa tidak memiliki riwayat epilepsi. Pada pasien dengan epilepsi,
SE adalah lebih mungkin terjadi pada mereka dengan kejang refrakter parsial dan
pada mereka dengan epilepsi simtomatik terpencil.(3)
Untuk menentukan angka kejadian dari status epilepsi non konvulsi
(NCSE) dibutuhkan tersedianya EEG. Beberapa studi hanya dilaporkan dari
pasien yang di rawat di rumah sakit. Lebih mudah untuk menentukan angka
kejadian dari status epilepsi konvulsi umum (GCSE), karena gejala klinik mudah
dikenal. De Lorenzo dkk melaporkan angka kejadian 41 per 100.000, angka
kematian pada GCSE hampir 22%, dan meningkat 30% pada usia tua.(4)
Menurut epilepsy foundation research, angka kejadian NCSE diperkirakan
6-18 kasus/100.000/tahun. Towne dkk, pada studi prospektif dari 236 pasien
dengan koma dimana secara klinis tidak ditemukan kejang, melaporkan 8% dari
pasien memenuhi kriteria NCSE pada EEG. De Lorenzo dkk mendapatkan 14%
dari pasien yang kontrol sesudah mendapat GCSE. Privitera dan Strawburg
melaporkan pada studi prospektif menemukan pada 198 pasien dengan perubahan
3
tingkat kesadaran pada EEG ditemukan NCSE. NSCE dilaporkan dapat
ditemukan pada semua usia dan usia sangat muda sampai sangat tua, pada kedua
jenis kelamin tanpa perbedaan. NCSE tidak membutuhkan riwayat kejang
sebelumnya, dari perpustakaan dilaporkan 10-100% pasien dengan NCSE telah
ditemukan riwayat kejang sebelumnya.(4)
Diperkirakan 10% dari dewasa dengan status absent didapat sekurangnya
satu kali serangan absent. Pada dewasa, NCSE diperkirakan seperempat dari
seluruh kasus status epilepsi. Data mengenai NCSE pada anak-anak jarang
dilaporkan disebabkan oleh kurangnya konsensus untuk diagnosa dan diatas
segalanya akibat tidak diketahuinya gejala sebagai kelainan patologi atau
misinterprestasi sebagai problem tingkah laku. Status absent dilaporkan terbanyak
pada anak-anak yang akan menjadi NSCE pada waktu dewasa. Berbagai faktor
pencetus dapat terlibat pada NCSE termasuk gangguan metabolik, infeksi,
intoksikasi alkohol, kehamilan, intoksikasi obat (amitriptilin, theophylin,
cephalosporin, obat khemoterapi (metotroksat, ifosfemid, ciklo fostamid,
ciklosporin, vinblastin, eisplastin), withdrawal anti epilepsy (AEO) dan
carbamazepin, sangat jarang lamotrigin, phenobarbital, phenitoin.(4)
2.4. PATOFISIOLOGI
Hubungan antara keluaran neurologis dan lama status epileptikus belum
diketahui pada anak dan dewasa. Ada beberapa bukti bahwa masa status
epileptikus yang menimbulkan cedera saraf pada anak kurang daripada masa
tersebut pada orang dewasa. Pada primata, perubahan patologis dapat terjadi pada
otak binatang yang diventilasi sesudah aktivitas kejang konstan 60 menit ketika
homeostasis metabolic dipertahankan. Dengan demikian, kematian sel dapat
akibat dari peningkatan kebutuhan metabolic karena discharge (rabas) neuron
secara terus-menerus. Daerah otak yang paling rentan adalah hipokampus,
amigdala, serebellum, daerah korteks tengah, dan thalamus. Perubahan patologis
akut khas terdiri dari kongesti vena, perdarahan ptekie kecil dan edema.(5)
Perubahan iskemik selular adalah temuan histologis paling awal yang
disertai dengan neuronofogia, proliferasi mikroglia, kehilangan sel dan
4
peningkatan jumlah astrosit reaktif. Kejang lama yang disertai dengan asidosis
laktat, perubahan pada sawar darah otak, dan peningkatan tekanan intrakarnial.
Kompleks serial, perubahan hormonal dan biokimia yang kurang dimengerti,
terjadi. Kadar prolactin yang bersirkulasi hormon adrenokortikotropin, kortisol,
glucagon, hormon pertumbuhan, insulin, epineprin, dan nukleotid siklik
meningkat selama status epileptikus pada binatang. Kadar kalsium, asam
arakidonat, dan prostaglandin neuron meningkat dan dapat meningkat kematian
sel. Pada mulanya, binatang mungkin hiperglekemik, tetapi akhirnya jadi
hipoglikemik. Tidak dapat dihindarkan terjadi disfungsi sistem saraf autonom,
yang dapat menyebabkan hipotensi dan syok. Aktivitas otot tonik klonik yang
konstan selama kejang dapat menghasilkan mioglobinuria dan nekrosis tubulus
akut.(5)
Beberapa pemeriksaan telah menunjukkan penambahan aliran darah otak
dan kecepatan metabolik yang bermakna selama status epileptikus. Pada binatang
sekitar 20 menit status epileptikus menghasilkan insufisiensi oksigen regional,
yang meningkat cedera dan nekrosis sel. Penelitian ini telah mengarah pada
konsep masa kritis selama status epileptikus ketika perubahan neuron ireversibel
dapat berkembang. masa transisi ini bervariasi antara 20 dan 60 menit pada
binatang selama aktivitas kejang konstan. Manajemen anak harus diarahkan pada
dukungan fungsi vital dan mengendalikan konvulsi secepat dan seefisien
mungkin, karena masa transmisi yang tepat pada manusia belum diketahui.(5)
2.5. KLASIFIKASI
2.5.1. Status Epileptikus Konvulsivus
Status epileptikus konvulsivus adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5
menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara
bangkitan.(1)
2.5.2. Status Epileptikus Non Konvulsivus
Status epilepticus non konvulsivus adalah serangan epilepsi yang
berlangsung lebih dari 30 menit ditandai dengan adanya aktifitas bangkitan yang
5
kontinyu atau berulang pada perubahan Elektro Encephalogram (EEG) yang
menyebabkan berbagai gejala klinik mencakup gangguan kesadaran, gangguan
persepsi dengan tingkah laku yang abnormal.(4)
Menurut The Epilepsy Research Foundation status epilepticus non
konvulsivus adalah suatu rangkaian kondisi dimana ditemukan aktifitas bangkitan
yang memanjang yang menyebabkan gejala klinis non konvulsi.(4)
Bila seseorang anak diduga menderita status epilepticus non konvulsivus
maka EEG harus segera dilakukan. Rekaman EEG akan memudahkan dokter
untuk mengkonfirmasi atau mengeklusi diagnosis status epilepticus non
konvulsivus. Idealnya EEG dilakukan sebelum anak mendapat obat anti epilepsi.
EEG juga berguna untuk memonitor respon pengobatan. Status epilepticus non
konvulsivus dibedakan dengan status epilepsi konvulsi karena tidak ditemukan
atau sedikit ditemukannya komponen motorik. Tanda dominan dari status
epilepticus non konvulsivus adalah perubahan status mental yang berhubungan
dengan perubahan pada EEG.(4)
Ada tiga jenis utama dari status epilepsi: (4)
1. Status absens yang merupakan epilepsi umum
2. Status parsial komplek yang berasal dari bangkitan fokal
3. Hipsaritmia terutama ditemukan pada spasme infantile atau syndrome
West.
Status absent dan status parsial komplek keduanya ditandai dengan
perubahan dari tingkat kesadaran dan tingkah laku, keduanya tidak ditemui atau
ditemui gejala motor yang minimal. Gejala awal dapat terjadi mendadak atau
perlahan-lahan, lamanya gejala bervariasi dari beberapa menit, hari atau bulan.
Tidak berespon, salah satu gejala yang harus difikirkan suatu gambaran dari status
absens.(4)
Absent status biasanya khas ditemukan pulihnya kesadaran, terlebih
dahulu terjadi normalisasi post iktal secara berangsur-angsur. Menurut sejarah
status absens lebih banyak ditemukan dari pada status parsial komplek, tetapi
6
dengan perbaikan dari teknik EEG membawa perubahan. Aktifitas cepat (Rapid
generalization) dari status parsial komplek pada EEG sering dianggap sebagai
status absens.(4)
2.6. MANIFESTASI KLINIS
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized
Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai,
hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain
dapat juga terjadi.(6)
2.6.1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized Tonic-Klonic
Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi
dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-
klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum.
Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-
klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan
frekuensi.(6)
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien
menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya
takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang.
Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan
penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang
sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani. (6)
2.6.2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua. (6)
7
2.6.3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome. (6)
2.6.4. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya
tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati
anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan
toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif. (6)
2.6.5. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat
seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu
periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens
pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus
(monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus
Benzodiazepin intravena didapati.(6)
2.6.6. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-
konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. (6)
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,
delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior),
retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG
8
menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave
discharges dari status absens. (6)
2.6.7. Status Epileptikus Parsial Sederhana
2.6.7.1. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan
jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin
menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi
tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada
hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses
destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai
dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik). (6)
2.6.7.2. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala
sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march. (6)
2.6.8. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi
otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.
Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi,
tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari
status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus
parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.(6)
2.7. DIAGNOSTIK
Aktivitas listrik korteks memiliki voltase yang sangat rendah; pada
elektroensefalografi aktivitas ini diperkuat dan di rekam. Rekaman yang
dihasilkan disebut elektroensefalogram (EEG).(7)
9
Gelombang otak bersifat individual dan bervariasi sesuai aktivitas
(misalnya, aktivitas mental yang intensif = amplitudo rendah, frekuensi tinggi;
tidur gelombang-lambat = frekuensi rendah, amplitudo meningkat). Spikes
(tonjolan) menandakan fokus iritatif. Gelombang otak melambat akibat hipoksia,
anestesia, sedativa, kadar karbon dioksida (CO2) yang rendah, tidur nyenyak, dan
relaksasi; gelombang ini mengalami percepatan apabila kadar CO2 meningkat,
terjadi stimulasi sensorik, anestesia ringan, dan obat seperti metilprednisolon
(Medrol) .(7)
Lapisan-lapisan superfisial korteks bertanggung jawab menghasilkan
aktivitas listrik yang terekam pada EEG. Massa dendrit yang membentuk suatu
jaringan padat diperkirakan merupakan sumbernya. Serebelum juga memiliki
jaringan serupa, dan pola serupa juga dapat direkam dari bagian ini.(7)
EEG harus digunakan bersama dengan evaluasi klinis yang cermat. EEG
adalah suatu rekaman fisiologik dan tidak membedakan satu entitas dari entitas
lain; sebagai contoh, EEG tidak dapat membedakan tumor dari trombosis. 10%
pasien dengan kejang memperlihatkan EEG yang normal. Selain itu, rekaman
yang abnormal tidak selalu bersifat didiagnotik. Pada kenyataannya, bahkan pada
pasien yang didiagnosis mengidap epilepsi, aktivitas kejang sering nonklinis.(7)
EEG hanyalah suatu pemeriksaan, bukan penentu diagnosis pasti.
Interpretasi gambaran EEG harus dilakukan dengan hati-hati. Sebagai contoh,
elektroda kulit kepala mungkin sering tidak dapat merekam aktivitas listrik dari
aspek inferior lobus frontalis dan temporalis serta oksipitalis.(7)
Pada sebagaian pasien, digunakan tehnik-tehnik pengaktivan tertentu,
seperti hiperventilasi atau stimulasi cahaya berkedip-kedip, untuk memicu
munculnya pola listrik abnormal. Bahkan setelah pemeriksaan EEG berulang,
hasil tetap negative pada hampir 20 %. EEG yang normal sering dijumpai pada
anak dengan kejang tonik-klonik.(7)
Baku emas untuk diagnosis epilepsi adalah pemantauan video-EEG secara
simultan, yang mengaitkan temuan EEG dengan serangan. Pasien dipantau 24 jam
dengan radiotelemetri. Elektroda ditanam dan dihubungkan ke suatu alat telemetri
yang dipasang di kepala pasien. Rekaman EEG digunakan untuk mengidentifikasi
10
daerah-daerah otak spesifik yang terlibat dalam lepas muatan abnormal, dan data
ini dikorelasikan dengan rekaman video. Pemeriksaan lain mencakup pencitraan
saraf dengan CT scan dan MRI untuk melihat ada tidaknya neuropati fokal. MRI
lebih disukai karena dapat mendeteksi lesi kecil (misalnya tumor kecil,
malformasi pembuluh, atau jaringan parut) di lobus temporalis. Sklerosis temporal
mesial, suatu kelainan yang sering menjadi penyebab epilepsi temporalis, dapat
terlihat dengan MRI tetapi tidak dengan CT scan.(7)
2.8. PENATALAKSANAAN
2.8.1. Status Epileptikus KonvulsivusTabel 2. Penanganan SE Konvulsivus.(1)
Stadium Penatalaksanaan
Stadium I (0-10 menit) Memperbaiki fungsi kardio-
respirasi
Memperbaiki jalan nafas,
pemberian oksigen, resusitasi bila
perlu
Stadium II (1-60 menit) Pemeriksaan status neurologic
Pengukuran tekanan darah, nadi
dan suhu
Monitor status metabolic, AGD
dan status hematologi
Pemeriksaan EKG
Memasang infus pada pembuluh
darah besar dengan NaCL 0,9%.
Bila akan digunakan 2 macam
OAE pakai 2 jalur infus
Mengambil 50-100 cc darah untuk
pemeriksaan laboraturium (AGD,
Glukosa, fungsi ginjal dan hati,
kalsium, magnesium, pemeriksaan
11
lengkap hematologi, waktu
pembekuan dan kadar AED),
pemeriksaan lain sesuai dengan
klinik
Pemberian OAE emergensi :
Diazepam 0,2mg/kg dengan
kecepatan pemberin 5mg/menit IV
dapat diulang bila kejang masih
berlangsung setelah 5 menit
Memasukan 50cc glukosa 50%
pada keadaan hipoglikemia
Pemberian thiamin 250mg
intravena pada penyandang
alkoholoisme
Menangani asidosis dengan
bikarbonat
Stadium III (0-60/90 menit) Menetukan etiologi
Bila kejang berlangsung terus
setelah pemberian
lorazepam/diazepam, beri
phenytoin iv 15-20mg/kg dengan
kecepatan ≤50mg/menit (monitor
tekanan darah dan EKG pada saat
pemberian). Bila kejang masih
berlangsung dapat di beri
phenytoin tambahan
5-10mg/kgbb. Bila kejang
berlanjut berikan phenobarbital*
20mg/kgbb dengan kecepatan 50-
75mg/menit (monitor respirasi
12
pada saat pemberian). Dapat di
ulang 5-10mg/kgbb.
Memulai terapi dengan
vasopressor (dopamine) bila
diperlukan
Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30-90 menit) Bila kejang tetap tidak teratasi
selama 30-60 menit, pindahkan
penyandang epilepsy ke ICU, beri
propofol (2mg/kgbb bolus iv, di
ulang bila perlu) atau midazolam
(0,1mg/kgbb dengan kecepatan
pemberian 4mg/menit) atau
tiopentone (100-250mg bolus iv
pemberian dalam 20 menit,
dilanjutkan dengan bolus 50mg
setiap 2-3 menit), dilanjutkan
sampai 12-24 jam setelah
bangkitan klinik atau bangkitan
EEG terakhir, lalu dilakukan
tapering off
Memonitor bangkitan dan EEG,
tekanan intracranial,memulai
pemberian OAE dosis rumatan
*harus selalu tersedia fasilitas intubasi
13
2.8.2. Status Epileptikus Refrakter
Pada umumnya sekitar 80% penyandang dengan status SE konvulsivus
dapat terkontrol dengan pemberian benzodiazepine atau fenitoin. Bila bangkitan
kejang masih berlangsung, yang kita sebut sebagai SE refrakter, maka diperlukan
penanganan di ICU untuk tindakan anesthesia.(1)
Dikatakan SE refrakter jika pemberian 2-3 jenis obat gagal mengatasi
bangkitan. Obat yang biasa digunakan midazolam, profol, dan pentobarbital,
Topiramat dan levetiracetam juga digunakan dalam SE dan juga penggunaan
ketamine sebagai obat anestetik cukup menjanjikan.(1)
Tabel 3. Tindakan Anestesi Untuk SE Refrakter.(1)
OBAT DOSIS DEWASA
MIDAZOLAM 0,1 mg/kgBB dengan kecepatan
pemberian 4 mg/menit dilanjutkan
dengan pemberian per infus 0,05-0,4
mg/kgBB/jam.
THIOPENTHONE 100-250 mg bolus, diberikan dalam 20
detik, kemudian dilanjutkan dengan
bolus 50 mg setiap 2-3 menit sampai
bangkitan teratasi. Kemudian
dilanjutkan dengan pemberian per
infus 3-5 mg/kg BB/jam.
PENTOBARBITAL 10-20 mg/kgBB dengan kecepatan 25
mg/menit, kemudian 0,5-1
mg/kgBB/jam ditingkatkan sampai 1-3
mg/kgBB/jam.
PROPOFOL 2 mg/kgBB kemudian ditingkatkan
menjadi 5-10 mg/kgBB/jam
14
2.8.3. Status Epileptikus Non Konvulsivus.(1)
Dapat ditemukan pada 1/3 kasus SE
Dapat dibagi menjadi SE lena, SE parsial kompleks, SE nonkonvulsivus
pada penyandang dengan koma, dan SE pada penyandang dengan
gangguan belajar
Pemilihan terapi untuk status epileptikus non konvulsivus tercantum pada
tabel berikut.
Tabel 4. Terapi SE Non Konvulsivus.(1)
TIPE TERAPI PILIHAN TERAPI LAIN
SE lena Benzodiazepin IV/oral Valproate IV
SE parsial complex Clobazam oral Lorazepam/Phenytoin/
Phenobarbital IV
SE lena atipikal Valproate oral Benzodiazepine lamotrigine,
topiramate, methylphenidate,
steroid oral
SE tonik Lamotrigine oral Methylphenidate, steroid
SE nonkonvulsivus
pada penyandang
koma
Phenytoin IV atau
phenobarbital
Anesthesia dengan thiopentone,
pentobarbital, propofol atau
midazolam
2.9. PRONOGSIS
Hasil neurologis pasca status epileptikus telah membaik secara bermakna
sejak penemuan unit perawatan intensif modern dan manajemen agresif kejang
yang lama. Angka mortalitas status epileptikus adalah sekitar 5% pada
kebanyakan seri. Kebanyakan kematian terjadi pada kelompok bergejala,
kebanyakan darinya mempunyai kelainan SSS serius dan mengancam jiwa
sebelum mulainya status epileptikus. Bila tidak ada serangan neurologis progresif
atau gangguan metabolic, morbiditas status epileptikus adalah rendah.
Kenyataannya bahwa sekuele jangka panjang seperti hemiplegia, sindrom
extrapiramidalis, retardasi mental, dan epilepsi adalah lebih lazim pada anak
15
sebelum umur 1 tahun pasca status epileptikus dihubungkan dengan keyataan
bahwa kelompok ini lebih mungkin menderita kelainan SSS yang mendasari
sebelum sakit daripada anak yang lebih tua.(5)
16
BAB III
KESIMPULAN
Epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinis ,
ditandai dengan bangkitan kejang berulang akibat gangguan
fungsi oak secara intermiten . Dikatakan Epilepsi jika kejang
berlangsung 2x atau lebih dalam waktu lebih dari 24 jam dan
tidak ada yang memprovokasi . Bangkitan Epilepsi adalah
manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal .
Status Epilepsi adalah bangkitan yang berlangsung terus
menerus atau berulang lebih dari 30 menit atau adanya dua
bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan tersebut tidak ada
pemulihan kesadaran . Angka prevalensi epilepsi dari berbagai
penelitian berkisar 1,5–31/1000 penduduk. Konvulsi tonik-klonik ini
selalunya menyerang secara tiba-tiba, walaupun ada sebagian pasien yang
mengaku mengalami simptom pre-konvulsi beberapa waktu sebelum mengalami
konvulsi .Status epileptikus tipe grandmal ini merupakan gawat darurat neurologi.
Harus diatasi secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf
permanen.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsy. Terapi Status Epileptikus.
2012. p. 28-32.
2. Franzon D. Status Epileptikus [internet]. Update 2013 Jun 14 [cited 2014
Oct 23]. Available from :
http://peds.stanford.edu/Rotations/picu/pdfs/8_status_epilepticus.pdf
3. bestpractice.bmj.com. Status Epilepticus [internet]. Update 2014 Jun 6
[cited 2014 Nov 1]. Available from:
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/464/basics/
epidemiology.html
4. Meiti F. Status Epileptikus Non Konvulsi [internet]. Update 2012 Aug 16
[cited 2014 Oct 30]. Available from:
http://neuro.fk.unand.ac.id/images/stories/STATUS%20EPILEPTIKUS
%20NON%20KONVULSIF.pdf
5. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak.
Vol 3. Edisi 15. Jakarta: EGC; 2002. p. 2067-9.
6. Julie L Roth: Status Epilepticus [internet]. Update 2014 Apr 28 [cited 23
Okt 2014]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1164462-overview#a0101
7. Hartwig, Mary S. Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi
Generalisata Editor Price SA, Wilson LM. dalam Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC; 2006. Vol 2. p.
1161-3.
18
19
top related