refarat-epilepsi post traumatik
Post on 14-Apr-2018
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
1/21
EPILEPSI POST TRAUMA
Cedera kepala yang serius di Rumah Sakit yang terjadi di
Amerika Serikat tiap tahun rata-rata 200 per 100.000 populasi
untuk total paling sedikit 500.000 pertahun. Resiko terjadinya
epilepsy post trauma bervariasi dengan tipe dan cedera yang hebat.
Dengan penangan trauma yang modern dan cepat, penanganan
serangan post trauma lebih penting atau pada dasar kelangsungan
hidup sesudah mengobati cedera yang hebat.
Lebih dari penelitian epilepsy post trauma mempunyaiserangan yang bercabang ke kategori baru dan lambat. Terjadinya
serangan yang sangat cepat sesudah trauma kepala tidak selalu di
indikasikan bahwa serangan yang berlanjut terjadi ketidakteraturan,
tetapi serangan awal mempunyai resiko yang tinggi untuk
terjadinya serangan lambat. Dalam kelompok pasien yang datang
ke klinik mendapat perhatian sesudah trauma kepala, 2.1%
didapatkan serangan dengan 1-2 minggu sesudah cedera, dan 1.9% didapatkan serangan lambat post trauma. Jannet, menemukan
bahwa pasien yang dikirim ke rumah sakit penanganan sesudah
trauma kepala, kira-kira 5% didapat post trauma serangan selama 1
minggu sesudah cedera dan 5% serangan yang berulang.
Bedah dan Farmakologi untuk pencegahan epilepsy posttrauma telah diusahakan, tetapi angka keberhasilan yang terbatas.
Penelitian yang berbeda mempunyai hasil yang bertentangan,
tetapi baru saja menemukan keuntungan dari beberapa garis besar
secara umum untuk pencegahan dan profilaksis yang baru.
PATOLOGI, PATOFISIOLOGI, DAN FAKTOR RESIKO
EPILEPSI POST TRAUMA
1
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
2/21
PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI EPILEPSI POST TRAUMA
Patologi cedera kepala yang meliputi penetrasi langsung ke
otak oleh karena proyektil atau tidak meliputi banyak tipe
komponen cedera. Cedera tersebut tidak meliputi proyektil yang
dibuat komponen oleh karena adanya fraktur terbuka calvarium;
fraktur basis seharusnya berhubungan dengan otak atau liquar
serebro spinalis yang dirusak oleh meningitis atau abses otak;
komplikasi ini adalah patologi epilepsy oleh karena bagian atas
yang melapisi daerah inflamasi dan cedera pembuluh darah. Fraktur
kepala yang merupakan hasil dalam fraktur depresi fragmen tulang
yang seharusnya laserasi. Hipoksia dan iiskemia terjadi dalam
waktu trauma yang multi system atau dalam kumpulan komplikasi
post trauma yang merupakan tambahan untuk patologi epilepsy.
Hematom intra serebral post trauma dihasilkan dalam tempat
penyimpanan hemoglobin dan besi di dalam jaringan otak. Kedua
substansia ini mempunyai arti penting dalam patologi epilepsy.
Penelitian yang lain, patologi epilepsy ini tempat penyimpanan
darah mempunyai hubungan untuk menjadi formasi radikal bebas
dan peroksidase lipid dari membran neuron. Ion Ferri mempunyai
sodium yang berkurang dan aktivitas ion potassium Adeno
2
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
3/21
Sinetriphosphatase (ATPase); pengurangan ini dihasilkan dalam
otak yang oedem dan banyak pengaruh pencegahan neuro trans
membranasea potensial dan ion yang tinggi. Ion Ferri dalam kortex
juga dihasilkan dalam peningkatan dari eksitasi pelepasan neuro
transmitter dan penurunan pelepasan inhibisi neuro transmitter
Gama-Aminobutaric Acid (GABA). Peningkatan tingkat konvulsi
komponen guanidine disebabkan oleh reaksi katalisator besi yang
juga mempunyai pengaruh dalam mekanisme patologi epilepsy.
Dalam penelitian patologi epilepsy, intra selullar neuron
mencata perubahan gerakan paroksismal depolarisasi yang diikuti
oleh hiperpolarisasi neuron. Gerakan depolarisasi dihasilkan dalam
kumpulan potensial aksi; elektrik ini tetap menjadi dalam kelompok
neuron yang saling cocok menjadi tajam terlihat dalam
Elektroensephalography (EEG). Ukuran kelompok aktivitas berhenti,
patologi epilepsy neuron seharusnya lebih berangsur-angsur masuk
ke dalam sel yang bermacam di ketahui, dimana stimulasi elektrik
berulang-ulang dalam area abu-abu yang akhirnya disebabkan oleh
serangan dan produksi dapat menjadi serangan aktivitas spontan
patologi epilepsy terfokus., dapat juda dihasilkan dalam focus
3
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
4/21
formasi kedua, yang disebut Fokus mirror, di dalam area
homologous yang kontralateral hemiparase serebral dihasilkan oleh
penghancuran di area homologous jarak comissura berhubungan.
Dalam teori, kontrol berhenti dari awal area yang kecil dalam
patologi epilepsy kekuatan ukuran sel atau penanganan formasi
dari klinik lebih berarti dalam focus patologi epilepsy yang kronik.
4
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
5/21
MRI (MAGNETIC RESONANSE IMAGING)
FAKTOR RESIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN
EPILEPSI POST TRAUMA
Karakteristik dari partikel cedera kepala mempunyai analisis
perkiraan resiko pasien mempunyai serangan post trauma. Cedera
penetrasi peluru membawa resiko tinggi untuk serangan. Dari
5
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
6/21
semua kejadian serangan post trauma dalam cedera peluru di
laporkan dalam angka 30 sampai 35%, tetapi dengan tindak lanjut
yang lama kejadian dapat menjadi lebih tinggi. Di Vietnam, 93% di
Amerika cedera kepala selalu disebabkan oleh peluru, dan 53% di
kelompok dari 421 pasien tersebut mendapat terakhir satu
serangan dari 15 tahun sesudah cedera. Kira-kira 5% mendapat
serangan dalam minggu pertama dan 57% dari pesien dengan satu
epilepsy post trauma dihasilkan dari 1 tahun sesudah trauma. Di
samping kebanyakan pasien di poroleh waktu serangan selama 1
tahun sesudah cedera, 18% dari mereka mempunyai satu serangan
lebih banyak di bandingkan 5 tahun sesudah cedera, pasien dengan
serangan 92% mempunyai serangan lebih dari satu serangan.
Serangan yang menetap terjadi dalam 53% pada setiap serangan
pasien; frekuensi serangan dalam satu tahun sesudah serangan
dengan sebagian waktu terjadi dalam kira-kira 70% pasien dengan
epilepsy, di mana kira-kira 70% paling sedikit satu serangan umum.
Kasus dari intra serebral atau subdural hematom resiko serangan
meningkat dan volume otakl kelihatan berkurang oleh karena masa
yang lama tindak lanjut dengan computer tomography (CT) yang
dapat menemukan salah satu serangan.
6
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
7/21
Kira-kira 8% dari pasien dengan waktu perang cedera kepala
menemukan hasil epilepsy yang hebat. Kemajuan dalam perawatan
obat dan debridement bedah yang cepat tidak mempunyai hasil
dalam banyak perubahan kejadian epilepsy post trauma dengan
pasien waktu perang cedera kepala; kejadian yang sama terjadi
dalam perang dunia I, perang korea dan perang Vietnam.
Di samping epilepsy yang abnormal dalam rekaman EEG tidak
selalu sama dengan epilepsy, EEG abnormal ini mempunyai salah
satu signifikan dengan terjadinya serangan post trauma. Dalam
kelompok dari 300 pasien dengan kejadian cedera kepala, 80% dari
pasien dengan epilepsy menemukan dalam rekaman EEG kira-kira
14 tahun sesudah paling sedikit satu serangan. Epilepsi yang
menyolok ditemukan dalam EEG di mana dihubungkan dengan lebih
serangan yang menetap.
KATEGORI EPILEPSI POST TRAUMA
I. EPILEPSI AWAL
Jannet mendefinisikan serangan awal dapat di mulai 1
minggu sesudah cedera. Pasien dengan cedera kepala non
peluru harus serius mendapat perawatan si rumah sakit, kira-
7
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
8/21
kira 5% didapatkan serangan awal dan 5% didapatkan
serangan lambat. Kebanyakan serangan awal yang terjadi
dalam 1-8 minggu sesudah kedua peluru dan non peluru
cedera kepala yang dapat di lihat pada minggu pertama
cedera kepala post trauma. Serangan awal, 41% aktivitas
gerakan fokal motorik, tipe serangan ini adalah keadaan yang
lebih selama 1 minggu pertama dibandingkan serangan
lambat. Serangan awal kejadiannya lebih lama. Psikomotor
serangan biasanya tidak terlihat dalam minggu pertama.
Jannet menemukan anak yang lebih muda di
bandingkan anak yang berumur 5 tahun mempunyai
serangan awal post trauma yang lebih sering dan serangan
lambat tidak sesering di bandingkan remaja. Kelompok umur
juga cenderung mempengaruhi serangan awal sesudah
cedera. Dalam penelitian yang lain 937 anak di rumah sakit
sesudah cedera kepala, 9.8% didapatkan serangan awal post
trauma, 94.5% di mulai dengan 24 jam sesudah cedera.
Cedera yang hebat, di klasifikasikan oleh Glasgow Coma Scale
(GCS), lebih penting di hubungkan dengan resiko serangan
pasien dengan cedera yang hebat (GCS score < 8), 35.3%
didapatkan serangan awal dengan status epileptikus juga
lebih sering di temukan pada pasien yang tua di bandingkan
anak-anak. Status epileptikus harus di observasi dalam 11%
semua pasien dengan serangan awal dan 22% anak yang
lebih muda dibandingkan anak yang berumur 5 tahun
mendapat serangan awal.
Serangan yang terjadi saat kejadian cedera mempunyai
serangan dengan segera. Pasien yang mengetahui serangan
tidak mempunyai resiko tinggi untuk menjadi epilepsy lambat.
Jannets seri menghasilkan ke dalam ukuran kecil di mana
pasien mengetahui sebagian umum serangan sesudah cedara
8
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
9/21
yang hebat. Tidak seorangpun pasien mengatahui serangan
yang berulang.
Pasien mempunyai perubahan serangan awal yang
meningkat dengan adanya fraktur kepala, hematom intra
cranial akut, amnesia post trauma yang lama atau tanda fokal
neurology. Faktor ini, hematom intra cranial yang lebih
berarti. Hematom intra dural lebih sering beresiko
dibandingkan dengan hematom ekstra dural.
Dengan fraktur kepala, pasien yang mempunyai resiko
serangan awal meningkat tanpa memperhatikan apakah
fraktur itu fraktur depresi dan dalam 57% pasien dengan
fraktur non depresi. Linier atau fraktur deprasi dalam daerah
oksipitalis tidak banyak resiko serangan di bandingkan di
tempat lain; sebaliknya fraktur llain tidak mempunyai resiko
serangan yang infeksi.
II. EPILEPSI LAMBAT
Pasien dengan resiko tinggi dapat berkembang menjadi
serangan yang lambat jika pasien juga menderita perdarahan
intra cranial (35%) atau fraktur depresi kepala (15%) atau jika
pasien mendapat serangan awal (25%). Di rumah sakit pasien
tanpa banyak keistimewaan, resiko serangan yang lambar
hanya 1%. Pasien yang muda di bandingkan dengan pasien
yang berumur 16 tahun tidak sebanyak yang mendapat
serangan yang lambat dengan fraktur depresi dari pasien
yang lebih tua. Kejadian post trauma akan lupa setelah lebih
dari 24 jam juga bertambahnya resiko dari serangan lambat
sesudah fraktur depresi. Jika duramater robek akibat fraktur
depresi resiko dari epilepsy lambat akan bertambah hebat di
bandingkan dengan pasien yang duramater masih utuh.
Pasien yang berpengalaman dengan epilepsy lambat
sesudah cedar non peluru lebih dari separuh mempunyai
9
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
10/21
serangan pertama dalam 1 tahun yang awalnya trauma
kepala. Bagaimanapun, beberapa pasien yang
berpengalaman dengan serangan yang lambat beberapa
tahun sesudah cedera. Serangan yang lambat iini di
kumpulkan dengan fraktur depresi kepala, 20% di mulai lebih
dari 4 tahun sesudah pasien cedera. Model yang
berhubungan mulai di kembangkan, di dasarkan atas
observasi klinik yang berlangsung, kemungkinan perkiraan
pasien yang berkembang menjadi epilepsy post trauma
memberi waktu setelah cedera.
Jannet menemukan bahwa 25% pasien dengan epilepsy
lambat dapat manjadi serangan baru. Pasien dengan waktu
serangan yang lebih dari 4 tahun sesudah di mana lebih
sepertinya mendapat epilepsy yang menetap. Tidak ada
perbedaan dalam kejadian serangan yang berulang
menemukan di antara anak dan remaja. Dalam kelompok
pasien dengan trauma yang sama, tidak ada perbedaan
berarti dalam serangan di antara pasien dengan cedera
penetrasi dan pasien dengan cedera non penetrasi.
Bertambahnya jumlah serangan dalam 1 tahun trauma di
kumpulkan dengan kejadian yang tertinggi serangan yang
menetap di rumah sakit.
10
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
11/21
FAKTOR HEREDITER DIHUBUNGKAN DENGAN
SERANGAN AWAL DAN LAMBAT
Hal ini di beritahukan bahwa factor herediter mempunyai efek
kejadian serangan post trauma. Dalam kelompok pasien di monitor
untuk serangan yang berulang sesudah satu rupanya tidak
beralasan untuk serangan, berulangnya lebih sering seperti untuk
pasien dengan serangan riwayat keluarga, EEG tajam-gelombang
abnormal, atau adanya riwayat neurology. Dalam waktu yang lama
tindak lanjut penelitian dari cedera peluru di dapatkan di Vietnam,
tidak menemukan kelainan genetic. Dalam Jannets seri cedera non
peluru, riwayat keluarga epilepsy tidak berhubungan dengan
kejadian serangan awal post trauma. Bagaimanapun, riwayat
keluarga pada epilepsy lebih penting keadaannya dalam pasien
yang lebih muda di bandingkan pasien berumur 16 tahun di mana
mendapat serangan lambat. Tidak signifikan di hubungkan dengan
riwayat keluarga di temukan pada pasien yang muda dengan
serangan lambat. Jadi, herediter adalah masalah yang sangat
signifikan yang berpengaruh dalam resiko serangan di bandingkan
dengan trauma otak yang luas.
PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN EPILEPSI POST
TRAUMA
Penanganan Bedah Neuro pada trauma kepala yang meliputi
pengosongan perdarahan intra cranial dan pembersihan luka
trauma. Pengalaman ini diiindikasikan secara perbaikan yang
bertahap dalam penangan trauma kepala akut tidak di hasilkan
dalam frekuensi yang berkurang pada epilepsy post trauma. Dalam
11
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
12/21
penelitian trauma penetrasi yang di dapatkan di Vietnam, kejadian
di tahan oleh fragmen tulang intra serebral yang tidak berhubungan
dengan serangan post trauma, di mana fragmen-fragmen di tahan
akan menunjukkan hubungan kejadian serangan. Hubungan tidak
selalu menyatakan secara langsung perbaikan fragmen di mana
mengurangi resiko serangan; malahan, keseluruhan biologi dan
patologi dari trauma menghasilkan fragmen-fragmen yang tidak
dapat di hasilkan dengan mudah, mungkin factor klritis
menghasilkan resiko serangan yang bertambah.
Peningkatan dari fraktur depresi kepala yang tertutup adalah
jelas dalam beberapa pusat meninggikan tekanan local dalam otak
dan membolehkan pembersihan kortikal. Yang lain dari Bedah Saraf
adalah meningkatkan fraktur deprasi tertutup jika hanya gejala
neurology berkurang pada daerah yang tertekan. Sekarang itu atau
jika kelainan kosmetik wajib di perbaiki. Tidak selalu
memperlihatkan peningkatan dari fraktur-fraktur depresi
mengurangi resiko epilepsy post trauma. Sebagai akibat, awal
trauma otak agak lebih tertekan di dalam otak. Dari fraktur depresi
kepala, adalah mungkin fraktur yang sangat penting dalam
patogenesis epilepsy.
PENCEGAHAN FARMAKOLOGI
Penatalaksanaan pencegahan obat-obat anti kejang bisa di
gunakan luas untuk mencegah pembentukan epilepsy post trauma.
Fenotoin adalah obat tang biasa lebih banyak diresepkan.
Fenobarbital juga bisa di gunakan, sendiri atau kombinasi dengan
fenotoin. Beberapa rumah sakit menggunakan carbamazepin dan
valporic acid. Pengobatan banyak di gunakan untuk pasien dengan
trauma kepala yang hebat. Lamanya pengobatan di antara rumah
sakit berbeda, tetapi 1 tahun pengobatan post trauma adalah lebih
biasa.
12
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
13/21
Model penelitian, epilepsy fokal diyakini mempunyai
pencegahan anti kejang terhadap patogenesis epilepsy dan
serangan kronik. Beberapa rumah sakit dapat di paksa
menggunakan pengobatan tersebut; Yang lain tidak biasa
menunjukkan keuntungan. Kebanyakan penelitian mempunyai
penanganan obat anti kejang dan tingkat yang sulit tidak cukup
untuk di monitor. Baru saja penelitian mempunyai hasil yang dapat
di gunakan.
Dalam kelompok dari 1614 kasus trauma kepala yang di
adakan di Vietnam, 70% dari pasien menerima pencegahan
fenotoin dan atau fenobarbital. Kebanyakan pasien menerima
fenotoin intra muscular sebagai pengobatan yang cepat, di ikuti
oleh pengobatan melalui oral. Tidak biasa yang dapat menemukan
dari pengobatan dalam masa kejadian serangan awal, tetapi dapat
di hasilkan, dan tingkat obat di mana tidak di gunakan. Masa yang
lama tindak lanjut dari trauma penetrasi di Vietnam di tujukan tidak
selalu dari yang tersebar luas menggunakan pencegahan obat anti
kejang.
Penelitian yang berhubungan dengan pasien sipil dengan
trauma kepala non peluru di obati dengan menggunakan dan
pemeliharaan fenotoin yang di pakai sebagai obat-obat efektif akan
berkurang kejadian serangan lambat. Bagaimanapun pasien tidak
boleh sembarangan dan dosis obat dan kelompok terdapat
perbedaan yang berati. Perbedaan dalam meratanya resiko tinggi
tidak untuk di laporkan, dan dosis obat tidak di pakai dalam semua
pasien. Penelitian penting kesulitan dalam menarik kesimpulan dari
topik yang berhubungan dengan penelitiannya.
Dalam kelompok pasien tindak lanjut sesudah trauma non
peluru dan peluru yang hebat, awalnya memakai intra vena dan
intra muscular yang di berikan fenotoin, di lakukan oleh percobaan
pemeliharaan pengobatan untuk 1 tahun sesudah trauma. Sebagian
kecil pasien sudah mengetahui cara tindak lanjut pemeliharaan,
13
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
14/21
tetapi mereka hanya 6% yang mendapat serangan sesudah 1
minggu tetapi dalam 1 tahun setelah trauma. Dasar serangan yang
lama di sebut bukti dari pencegahan yang baik adalah penanganan
anti kejang yang cepat.
Dua kelompok penelitian memberi petunjuk pada trauma
kepala, group pertama di obati dengan menggunakan fenotoin dan
fenobarbital dan group yang satunya tidak di obati, menemukan
kepentingan yang di tandai dalam pengobatan. Bagaimanapun,
dosis dari pengobatan dan kelompok yang tidak di obati berbeda,
dan pasien tidak di badi secara acak di antara kelompok.
Penry et al. melaporkan petunjuk dua-kejadian, plasebo yang
di kontrol pencegahan dalam penelitian, pengobatan dengan
fenotoin dan fenobarbital untuk 18 bulan. Tidak signifikan
perbedaan di temukan di antara pengobatan dan kelompok
plasebo. Yang lain dua-kejadian , plasebo yang dikontrol oleh
penelitian juga tidak menemukan keuntungan dari pencegahan
fenotoin, tetapi pasien mengeluh dengan penggunaan obat-obat
yang terbatas sekali.
Secara sembarangan dua-kejadian, plasebo yang di kontrol
oleh penelitian intra vena atau intra muscular fenotoin tidak
mengurangi serangan awal post trauma. Penelitian yang sama
mengikuti dan memperpanjang pemeriksaan penelitian mengenai
efek dari obat dalam serangan lambat. Pasien secara acak
menerima fenotoin atau plasebo dan di ikuti dalam dua-kejadian.
Fenobarbital memberikan pasien di mana di pertimbangkan
hipersensitivitas fenotoin. Tidak signifikan perbedaan dalam
kejadian serangan lambat di antaranya di obati dan kelompok
plasebo. Bagaimanapun, tidak pasien fenotoin konsentrsi plasma 12
g/ml atau llebih untuk serangan lambat. Demikian, penelitian tidak
menjawab pertanyaan apakah tingkat obat yang tinggi akan
memberikan pencegahan yang lebih efektif.
14
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
15/21
Penelitian terbaik yang ada dari profilaksis anti kejang secara
acak yang di berikan pada 404 pasien dengan cedera kepala yang
hebat di berikan fenotoin atau plasebo dalam dua-kejadian. Intra
vena dosis yang di berikan dan tingkat obat di perhatikan dan
pencegahan dalam angka terapeutik. Pencegahan di lanjutkan
untuk 1 tahun, dan pasien di mana tindak lanjut untuk tahun yang
lain sesudah penggunaan obat yag terputus-putus. Demostrasi
penelitian ini secara statistik signifikan berkurang dalam angka
pasien yang mendapat serangan dalam kelompok fenotoin selama 1
minggu sesudah cedera. Tidak menguntungkan untuk serangan
lambat. Penelitian yang sama menemukan gangguan afek kognitif
dari penanganan profilaksis fenotoin, terutama lebih pada pasien
dengan cedera yang hebat.
Komplikasi yang ada dari data support penanganan profilaksis
obat anti epilepsi untuk pencegahan serangan awal. Analisis yang
ada di kontrol oleh penelitian menemukan bahwa kombinasi yang di
hasilkan penelitian menunjukkan efek keuntungan dari fenotoin
dalam pencegahan serangan awal tetapi tidak menguntungkan
untuk pencegahan serangan lambat.
PENANGANAN KEJANG PADA POST TRAUMATIK
Penanganan kejang pada Post Traumatik Akut
Kejang umum akut seharusnya diterapi awal dengan
benzodiazepine. Kemudian diberikan loading dose dari obat
antiepilepsi yang masa kerjanya panjang kejang susulan dapat
diterapi dengan benzodiazepine yang ditingaktkan dosisnya dan
dosis tambahan dari terapi lanjutannya. Pembicaraan terprerinci
mengenai penanganan kejanag aktu lebih baik dibicarakan sebagai
penanganan status epileptikus.
Status epileptikus menggambarkan beberapa gejala., status
epileptikus konvulsif merupakan keadaan yagn sanagt penting y
15
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
16/21
ang dsapat tejrdi pada post traumatik. Status epileptikus
didefinisikan sebagai kejanag berulang tanpa adanya pemulihan
kesadaran diantara serangan yagn tibuil. Kejang tidak terus
menerus terapi sering t imbul dengan adanya periode interictal
tanpa pulihnya kesadaran secara penuh. Pada status epileptikus
post traumatik, kejang dapat u mum atau fokal. Bentuk lain dari
status epileptikus termasuk kompleks pasrsial, petitmal, epilepsia
parsial kontinue. Prognosis dari status epileptikus konvulsif
berhubungan dnegan durasi dari kejang yang tidak terkontrol.
Semakin panjang durasinya meningkatkan angka kesakitan
dan kematian. Status epileptikus yang dapat dikontrol dalam waktu
1,5 jam tidak meningkatkan angka morbiditas yang secara
signifikan, tetapi status epileptikus yang timbul hingga 10 jam
menimbulkan resiko yang tinggi terhadap neurological sequale.
Angka mortalitas telah dilaporkan antara 10 12% dan pasien yang
meninggal pada kejang selama 13 jam.
Kerusakan / kelainan neurologi yagn terjadi selama kejang
mempunyai banyak faktor. Kejang meningkatkan metabolik pada
jaringan serebral dan suplai metabolik selama kejang berkurang.
Hipoksia dapat disebabkan akibat terganggunya jalan nafas selama
kejang. Hipertensi sering timbul pada kejang. Pada status
epileptikus hipotesnsi timbul karena dehidrasi akibat tidak
adekuatnya asupan cairan dan hiperhidrosis.
Komplikasi sistemik lainnya seperti gagal ginjal, dapat tejradi
jika tidak adanya keseimbangan cairan. Zat toksik metabolik seprti
asam arkhidonik, prostaglandin, dan leuketrien dapat terakumulasi
di jaringan serebral selama meningkatnya konsentrasi kalsium
neuronal. Kerusakan neuronal tejradi dari mekanisme eksitotoksik
yang berhubungan dengan meningkatnya rangsangan
neurotransmitter dan berkurangnya hambatan neurotransmitter.
Selama masa akut kejang, pasien harus dilindungi dari trauma
secara fisik. Perlindungan jalan nafas sangat penting. Pada kejang
16
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
17/21
yang singkat, perlindungan jalan nafas dilakukan dengan elevasi
mandibula. Jika terjadi post iktal yang panjang, perlindungan jalan
nafas dilakukan dengan pemasangan alat bantu jalan nafas yang
melalui mulut atau hidung. Setelah kejang yang melalui mulut atau
hidung.
Setelah kejang yang multipel dan tertekannya status mental
akibat kejang dan obat, dapat dilakukan entotrakhea dan ventilasi
meklanis. Jalur intravena harus disiapkan sebagai jalur pemberian
obat dan ciran. Pemberian gluksoa secara bolus dilakukan dengan
memberikan D50w sebanyak 50 cc. Elektrolit dan pemeriksaan rutin
laboratorium yang lain harus diperiksa. Hasil yang abnormal yang
mempengaruhi kejang, seperti hopanatremia dan hipokalsemia
harus segera dikoreksi.
Kejang ditangani dengan pemberian diazepam intravena
diatas 0,25 mg/kg/dosis dewasa 5-10 mg), diberikan secara
perlahan-lahan, dan tidak lebih dari 5 mg/menit. Alternatif dari
diazepam adalah iorazepam 0,05 0,10 mg/kg/dosis dewasa 2-4
mg) diberikan kurang dari 2 mg/menit. Efek anti konvulsan dari
benzodiazepine sangat singkat, tetapi efek sedatifnya lebih
panjang. Durasi dari efek antikonvulsan lebih panjang pada
iorazepam dibandingkan diazepam.
Benzodiazepine harus segera diikuti dengan dosisi
pemeliharaan antikonvulsan. Biasanya fenitoin diberikan diatas 18-
20 mg/kg dan kurang dari 50 mg/menit. Obat sebaiknya diberikan
melalui syringe yang dekat dengan vena. Dilusi menyebabkan
terjadinya presipitasi obat dari cairan. Selama diinfus, pasien harus
dimonitor untuk diketahui terjadinya hipotensi dan cardiaz arritmia.
Hal ini sering terjadi pada pasien yang berusia tua. Jika hal tersebut
terjadi, infus harus dikurangi secara drastis. Injeksi intramuskular
phenitoin biasanya tidak efektif. Setelah pemberian dosis awal,
dosis pemeliharaan phenitoin (dosis dewasa 100 mg tiap 6-8 jam)
diberikan dan dititrasi untuk memelihara daya kerjanya didalam
17
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
18/21
serum. Jika tetap kejang setelah pemberian phenitoin seara
adekuat, tambahan dosis benzodiazepin dapat diberikan untuk
mengontrol kejang. Pemberian dosis pemeliharaan antikonvulsan
untuk yang kedua kali sangat diperlukan. Fenobarbital harus
diberikan dengan dosis 5 mg/kg, dengan dosis total sampai 20
mg/kg. Fenobarbital dapat diberikan secara intravena kurang dari
50 mg/menit dengan pengawasan hemodinamik. Dosis
pemeliharaan (umumnya 30-60 mg tiap 6 jam pada dewasa, 5
mg/kg perhari dalam dosis yang terbagi untuk anak-anak) harus
dititrasi untuk mencapai dosis pemeliharaan diserum darah, 15-40
mg/ml.
Pemberian phenitoin dan fenobarbital diperlukan, dan
penekanan pada pernafasan biasanya terjadi sebagai efek dari
kejang dan pengobatannya. Dalam hal ini, intubasi endotrakea dan
ventilasi mekanis diperlukan, dan juga diperhatikan analisa gas
darah. Setelah timbul kejang multipel dan pemberian antikonvulsan
dalam dosis tinggi, tipe kejang umum dapat berubah. Kejang fokal
dapat terlihat, dan aktivitas kejang timbul tanpa manifestasi yang
berbahaya. Ketika kejang umum telah berkurang tetapi status
mental tidak pulih, pemeriksaan EEG penting untuk dilakukan. EEG
portabel dibawah ke sisi tempat tidur. Biasanya pada kondisi seperti
ini pasien dirawat diruang perawatan intensif. Setelah dilakukan
pemeriksaan EEG, mesin EEG tetap ditempatkan pada sisi tempat
tidur untuk dilakukan pemeriksaan secara intermiten.
Level antikonvulsan harus dimonitor dan dosis pemeliharaan
ditambahkan untuk menjaga dosis therapeutiknya. Pada status
epileptikus, level/dosisnya harus dipertahankan pada batas atas
dosis therapeutiknya. Selain menambah dosis pemeliharaanya, jika
kejang tetap berlanjut dan dosis/level tidak adekuat, harus
ditambahkan dosis yang tepat. Jika kejang tidak berhenti setelah
pemberian phenitoin dan fonobarbital yang adekuat, obat pilihan
ketiga harus diberikan. Diwaktu lalu, pilihan utama adalah
18
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
19/21
paraldehyde. Tetapi obat ini tidak tersedia secara luas. Paraldehyde
diberikan dalam 4% cairan, dengan menambah 10 cc didalam 250
cc normal saline. Cairan ini diberikan secara intravena antara 30
menit 2 jam (dosis dewasa). Dosis paraldehyde pada anak-anak
0,15 cc/kg. Paraldehyde sebaiknya tidak diberikan tidak melalui
jalur intravena karena beresiko tinggi terhadap udem paru,
laringospasme, dan bronkospasme. Pemberian melalui rectal
dilaporkan lebih efektif. Alternatif dari paraldehyde rectal dilaporkan
lebih efektif. Alternatif dari paraldehyde adalh lidocain dengan dosis
awal 50 -100 mg dan diikuti melalui jalur infus 1-2 mg/menit. Pilihan
lainnya adalah diazepam dengan dosis 8 mg/jam. Pada kasus ini,
penambahan obat pilihan ke 3 (phenitoin dan fenobarbital
merupakan 2 pilihan pertama) harus diperhatikan penggunaannya
agar dapat mempermudah penghentian pemberian lidozain atau
diazepam.
Jika status epileptikus tidak berhenti dengan semua jenis
penanganan yang telah dijelaskan, langkah berikutnya dengan
menggunakan infus fenobarbital. Tetapi awal dengan menggunakan
fenobarbital, lebih baik daripada paraldehyde, diazepam, atau
lidocain infus. Dosis yang tinggi, yang sama dengan penggunaan
pada hipertensi intracranial dengan koma barbiturat, dapat
digunakan. Dosis awal hampir 5 mg/kg harus diberikan dan
diteruskan secara infus dengan dosis 0,5-3,0 mg/kg/jam.
Walaupun digunakan dosis yang besar, pengawasan EEG
dilakukan terakhir, dimana pemberian obat akan menghasilkan
penekanan isoelektrik. Pengawasan hemodinamik sangat penting,
dan umumnya pasien memerlukan kateter arteri pulmonal untuk
mengoptimalkan penanganan hemodinamik. Setelah kejang
terkontrol, infus fenobarbital harus dikurangi aktivitas periodik dan
rekaman EEG akan menganalisa aktivitas kejang terkini. Dosis
pemeliharaan obat lainnya (termasuk fenobarbital) diteruskan dan
dititrasi pada level serum selama pemberian fenobarbital.
19
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
20/21
Pemberian fenobarbital harus dilanjutkan, sehingga mencapai
tingkatan (level) yang adekuat.
Tiopental digunakan sebagai alternatif fenobarbital, tetapi
dosisnya berbeda dan tiopental biasanya jarang tersedia diruang
perawatan intensif. Ketika demam tetap ada tetapi berkurang
menjadi aktivitas fokal atau perubahan EEG yang intermiten tanpa
manifestasi somatik, keputusan untuk memberi terapi akan sulit
dilakukan. Aktivitas kejang yang berkelanjutan berpotensi
mengakibatkan kerusakan serebral, dan pengawasan penuh sangat
diperlukna. Tetapi, tingkat intravensinya harus diputuskan dalam
keseluruhan situasi klinis pasien. Dokter harus mengawasi aktivitas
kejang selengkap mungkin tanpa menyebabkan kesalahan dalam
penanganan gangguan sistemik. Saat in banyak obat yang tersedia
untuk menangani status epileptikus. Hal yang lebih penting selain
pemilihan obat yang tepat adalah meningkatkan keahlian dalam
pengobatan dengan obat yang khusus, dan penanganan kejang
yang tepat. Gambar 107.1 menggambarkan penangganan status
epileptikus dan menunjukkan hubungan antara manuver sistemik
dan pemberian obat.
Setelah berhasil mengontrol episode statis epileptikus,
pemulihan status mental memerlukan jumlah waktu yang signifikan.
Dosis pemeliharaan antikonvulsan harus dilanjutkan dan dikurangi
sebanyak mungkin, sesuai dengan pengawasan kejang dan
dikurangi sebanyak mungkin, sesuai dengan pengawasan kejang
dan EEG secara serial dapat menolong.
Penanganan jangka panjang kejang post traumatik
Penanganan jangka panjang kejang post traumatik biasanya
diteruskan dengan phenitoin, walaupun fenobarbital,
carbamazepine atau sodium valproat dapat digunakan. Obat-obat
20
-
7/29/2019 Refarat-Epilepsi Post Traumatik
21/21
ini sangat berguna. Oleh sebab itu, respon dari pasien dapat
digunakan sebagai acuan penggunaannya. Disarankan pengobatan
dengan obat tunggal. Penambahan obat dilakukan bila pengobatan
monoterapi gagal yang disebabkan timbulnya kejang walaupun
pasien dalam pengawasan kadar (level) obat yang kuat. Terapi
harus dilanjutkan hingga 1 tahun setelah kejang terakhir keputusan
untuk mengurangi dan tidak melanjutkan penggunaan
antikonvulsan harus dilakukan sendiri. Jika kejang telah berhenti
tapi rekaman Eeg menunjukkan aktifitas epilepsi, penghentian
penggunaan antikonvulsan harus ditunda. Keputusan untuk tidak
melanjutkan pengobatan harus djelaskan kepada pasien mengenai
baik atau buruknya resiko yang diterima.
Penanganan epilepsi post traumatik harus dijelaskan dalam
konteks rehabilitasi menyeluruh pada cedera kepala. Lesi yang luas
pada otak dan defisit neurologi yang signifikan akan tampak jelas
pada pasien dengan epilepsi post traumatik daripada pasien yang
tidak mengalami kejang. Post traumatik epilepsi telah ditemukan
hubungannya dengan rehabilitasi/proses pemulihan yang terbatas.
Kesimpulan
Peluang timbulnya epilepsi post traumatik bervariasi, sesuai
dengan tipe dan beratnya cedera. Pengetahuan mengenai
karakteristik dari cedera khusus dapat digunakan untuk menilai
resiko kejang. Penanganan profilaksis antikonvulsan ditentukan
pada fase akut setelah terjadinya cedera, tetapi fakta yang tidak
kuat juga mendukung penanganan profilaksis jangka panjang. Saat
ini, tindakan bedah pada cedera kepala tidak lagi menunjukkan
pengaruh terhadap timbulnya kejang post traumatik. Dokter yang
menangani cedera kepala harus menguasai penanganan kejang
post traumatik, termasuk status epileptikus. Penanganan jangka
panjang pada epilepsi post traumatik harus secara individual dan
termasuk bagian dari program rehabilitas yang menyeluruh.
top related