manajemen perawatan kritis cedera otak traumatik

Upload: mohd-faie-ramli

Post on 10-Feb-2018

250 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    1/31

    1

    Manajemen perawatan kritis cedera otak traumatik (TBI) berat

    pada orang dewasa

    Samir H Haddad1* and Yaseen M Arabi2

    Kata kunci: Cedera otak Traumatik, cedera kepala, trauma kepala, perawatan kritis

    Pendahuluan

    Cedera otak traumatis (TBI) berat, didefinisikan sebagai trauma kepala dengan Glasgow

    Coma Scale (GCS) dengan total skor 3 sampai 8 [1], TBI merupakan masalah utama dan

    menantang dalam bidang kedokteran divisi perawatan kritis. Selama dua puluh tahun terakhir,

    banyak penelitian dengan hasil luar biasa dalam menegakkan manajemen perawatan kritis dari

    TBI berat. Pada tahun 1996, Brain Trauma Foundation (BTF) pertama kali mempublikasi

    pedoman pengelolaan TBI berat [2] dan diterima oleh American Association of Neurological

    Surgeons dan didukung oleh World Health Organization in Neurotraumatology. Edisi kedua

    dengan revisi lanjutan dipublikasi pada tahun 2000 [3] dengan tambahan data pada tahun 2003,

    dan edisi ke-3 dipublikasikan pada tahun 2007 [4]. Beberapa penelitian telah dilakukan

    sebelumnya dan melaporkan dampak hasil dari penerapan protokol manajemen berbasis

    Abstrak

    Cedera otak traumatis (TBI) adalah merupakan masalah medis dan sosial-ekonomi yang

    berat, dan merupakan salah satu penyebab utama kematian pada golongan anak-anak dan dewasa

    muda. Manajemen perawatan kritis dari TBI berat sebagian besar berasal dari "Pedoman

    Pengelolaan Cedera Otak Traumatic berat (Guidelines for the Management of Severe Traumatic

    Brain Injury )" yang dipublikasikan oleh Brain Trauma Foundation. Tujuan utama pedoman ini

    adalah pencegahan dan pengobatan hipertensi intrakranial dan cedera otak sekunder, pelestarian

    tekanan perfusi serebral/cerebral perfusion pressure (CPP), dan mengoptimalisasi oksigenasi

    serebral. Dalam revisi ini, perawatan kritis manajemen TBI berat akan dibahas dengan fokus pada

    pemantauan, menghindari dan meminimalkan cedera sekunder pada otak, dan mengoptimalisasi

    oksigenasi otak dan mempertahankan CPP.

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    2/31

    2

    pedoman untuk TBI berat pada perawatan pasien dengan TBI berat [5,6]. Studi-studi ini jelas

    menunjukkan bahwa pelaksanaan protokol untuk pengelolaan TBI berat, dengan melaksanakan

    penatalaksanaan sesuai rekomendasi dari pedoman, memberikan hasil jauh lebih baik pada

    kasus-kasus TBI berat seperti berkurangnya angka kematian, hasil skor fungsional, Durasi rawat

    inap di rumah sakit, dan penurunan biaya [7,8]. Namun, masih ada Variasi institusional yang

    cukup besar dan luas dalam perawatan pasien dengan TBI berat.

    Secara umum, TBI dibagi menjadi dua periode diskrit: cedera otak primer dan sekunder.

    Cedera otak primer adalah disebabkan adanya kerusakan fisik pada parenkim (jaringan,

    pembuluh) yang terjadi selama peristiwa traumatis, sehingga pergeseran dan kompresi jaringan

    terjadi pada jaringan otak di daerah trauma. Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses

    kompleks, akibat dari cedera otak primer pada jam-jam hingga hari-hari berikutnya setelah

    terjadi cedera otak primer. banyak sekali stressor sekunder, baik intrakranial dan ekstrakranial

    atau sistemik, dapat menyebabkan komplikasi terjadinya luka pada otak dan mengakibatkan

    cedera otak sekunder. Stressor sekunder otak intrakranial meliputi edema serebral, hematoma,

    hidrosefalus, hipertensi intrakranial, vasospasme, gangguan metabolisme, excitotoxicity,

    toksisitas ion kalsium, infeksi, dan kejang [9,10]. sekunder, stressor skunder otak sistemik secara

    umum bersifat iskemik di [9,11], seperti:

    - Hipotensi (tekanan darah sistolik [SBP]

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    3/31

    3

    Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa hanya sebagian dari kerusakan otak selama trauma

    kepala adalah akibat dari cedera otak primer, yang tidak dapat diperbaiki dan bersifat

    irreversible. Namun, cedera otak sekunder sering dapat diperbaiki dengan pencegahan dan

    penatalaksanaan yang baik dan bersifat reversible. Manajemen perawatan intensif pasien dengan

    TBI berat adalah sebuah proses dinamis, dimulai pada periode pra-rumah sakit, di tempat

    terjadinya kecelakaan itu sendiri. Selama tahap perawatan awal di rumah sakit, pasien dapat

    ditangani di berbagai lokasi di rumah sakit termasuk ruangan perawatan gawat darurat,

    departemen radiologi, dan ruang operasi sebelum mereka dirawat lanjutan di Intensive Care Unit

    (ICU). Perjalanan dari perawatan akut, selama "GOLDEN HOUR", dari saat cedera sehingga

    permulaan dari perawatan definitif, harus dilaksanakan dan didasarkan pada pedoman dan

    rekomendasi yang disebutkan sebelumnya. Revisis ini menguraikan prinsip-prinsip dasar

    manajemen perawatan kritis pasien dengan TBI berat selama mereka tinggal di ICU.

    Lihat Gambar 1

    Manajemen Perawatan Kritis Dari TBI Berat

    Sebelum pasien dipindahkan ke ruang ICU, pasien dengan TBI berat biasanya diterima,

    diresusitasi dan distabilkan di perawatan gawat darurat atau ruang operasi. Setelah pasien dengan

    TBI berat telah dipindahkan ke ICU, penatalaksanaan pada pasien ini terdiri dari penyediaan

    perawatan umum kualitas tinggi dan berbagai strategi ditujukan untuk mempertahankan

    hemostasis dengan:

    - Stabilisasi pasien, jika masih tidak stabil- Pencegahan hipertensi intracranial- mempertahankan tekanan perfusi serebral (CPP) yang memadai dan stabil- Menghindari cedera otak sistemik, sekunder (SBI)- Oksigenasi dan optimalisasi hemodinamik serebral

    Evaluasi

    Evaluasi pasien dengan TBI berat sangat penting dan menjadi pedoman dan optimalisasi

    terapi. Alasannya evaluasi merupakan deteksi dini dan diagnosis stressor sekunder otak, baik

    sistemik dan intrakranial. Oleh karena itu, evaluasi pasien dengan TBI berat harus terdiri dari

    evualasi dari sisi neurologis umum dan khusus.

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    4/31

    4

    Evaluasi Umum

    Selama perawatan neurointensive pasien dengan TBI berat, parameter umum yang

    dievaluasi secara teratur termasuk elektrokardiografi (Evaluasi EKG), saturasi oksigen arteri

    (pulse OXYMETRY, SpO2), capnography (endtidal CO2, PetCO2), tekanan darah arteri (kateter

    arteri), tekanan vena sentral (CVP), suhu sistemik, urin, gas darah arteri, serum elektrolit dan

    osmolaritas. Evaluasi secara Invasif atau non-invasif output jantung mungkin diperlukan pada

    kasus gangguan hemodinamik pada pasien yang tidak merespon terhadap terapi cairan resusitasi

    dan pemberian vasopressor.

    Evaluasi Neurologik

    Evaluasi tekanan intrakranial

    Brain Trauma Foundation (BTF) merekomendasikan bahwa "tekanan intrakranial (TIK) harus

    dievaluasi pada semua pasien dengan prognosis baik TBI berat dengan computed tomography

    (CT) scan yang abnormal. Evaluasi TIK juga menjadi indikasi pada pasien dengan TBI berat

    dengan CT scan yang normal jika dua atau lebih dari fitur berikut ditemukan saat masuk: usia di

    atas 40 tahun, unilateral atau bilateral motorik, atau tekanan darah sistolik (BP)

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    5/31

    5

    adanya kontraindikasi. [12]. Namun, alat evaluasi TIK boleh ditempatkan di sisi yang terdpat

    gejala patologis maksimal atau pembengkakan [13].

    Penggantian rutin kateter ventrikel atau penggunaan antibiotik profilaksis pada

    pemasangan kateter ventrikel tidak dianjurkan untuk mengurangi infeksi [4]. Namun,

    penggunaan alat evaluasi TIKbiasanya berlangsung selama 1 minggu, dengan pemeriksaan

    CSF setiap hariuntuk kadar glukosa, kadar protein, jumlah sel, pewarnaan Gram, serta kultur

    dan sensitivitas. pengobatan untuk hipertensi intrakranial harus dimulai dengan TIK pada batas

    di atas 20 mm Hg. Selain evaluasi TIK, evaluasi gejala klinis dan hasil CT scan harus dijadikan

    pedoman untuk menentukan kebutuhan untuk perawatan yang tepat[4]. Meskipun tidak ada uji

    coba, secara randomized controlled(RCT) yang telah dilakukan sebelumnya untuk menunjukkan

    bahawa evaluasi TIK meningkatkan keberhasilan perawatan atau mendukung penggunaannya

    sebagai pemeriksaan standar; evaluasi TIK telah menjadi bagian integral dalam pengelolaan

    pasien dengan TBI berat di sebagian besar pusat trauma dunia. Namun, ada juga bukti

    bertentangan tentang apakah evaluasi TIK meningkatkan keberhasilan perawatan. Beberapa

    penelitian telah menunjukkan bahwa evaluasi TIK mengurangi tingkat kematian keseluruhan

    TBI berat [14-21]. Penelitian lain belum menunjukkan manfaat dari evaluasi TIK [22-24]. Selain

    itu, beberapa studi menunjukkan bahwa evaluasi TIK dikaitkan dengan memburuknya kadar

    mortalitas [25,26]. Potensi komplikasi dari evaluasi TIK termasuk infeksi, perdarahan,

    kerusakan, obstruksi, atau malposisi. Baru-baru ini, kami melaporkan bahwa pada pasien dengan

    TBI berat, evaluasi TIK tidak menjadi faktor yang bermain peran penting dengan berkurangnya

    kadar mortalitas di rumah sakit, namun evaluasi TIK menjadi antara faktor penting yang

    berperan menyebabkan terjadinya peningkatan yang signifikan pada durasi penggunaan ventilasi

    mekanis, peningkatan indikasi penggunaan tracheostomy, dan durasi perawatan ICU [27].

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    6/31

    6

    terapi lini kedua

    Evaluasi TIK

    Mempertahankan CPP> 60

    mm Hg

    Hipertensi Intrakranial*

    Evalasi kepala pada tempat tidur dengan sudut 30o Oksigenasi yang memadai Normocapnia Memperdalam sedasi / analgesia kelumpuhan Normovolemia, atau hypervolemia sedang Mempertahankan suhu normal penatalaksanaan kejang

    Drainase CSF (jika memungkinkan)

    Hipertensi Intrakranial*

    Hiperventilasi akut (15-30

    menit) untuk PaCO2 30-35mm

    Manitol (0,25-1,0 g / kg IV selama 15-20

    menit) atau cairan Saline

    hipertonik(NaCl 7,5%: 2 mL / kgBB IV

    lebih dari 15 menit)

    Dapat diulangi jika

    serum osmolaritas

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    7/31

    7

    Dalam database Cochrane, Revisi secara sistematis terbaru tidak menemukan RCT yang

    dapat memperjelas peran TIK pada evaluasi koma akut baik traumatik atau non-traumatik[26].

    Namun demikian, ada bukti, dan kebanyakan dokter setuju, untuk mendukung penggunaan

    evaluasi TIK pada pasien TBI berat yang berisiko mempunyai hipertensi intrakranial. Nilai TIK

    adalah prediktor absolut dan mandiri terhadap prognosis akhir TBI secara neurologis, namun,

    TIK refraktori dan respon untuk penatalaksanaan peningkatan TIK dapat menjadi prediktor yang

    lebih baik prognosis neurologis dibandingkan nilai TIK absolut [28]. Treggiari et al. melakukan

    penelitian sistematis untuk memperkirakan hubungan antara nilai-nilai dan pola TIK dan hasil

    vital dan neurologis dari sisi prognosis jangka pendek dan jangka panjang. Sehubungan dengan

    TIK normal ( 40

    mm Hg. Peningkatan TIK yang dapat direduksi dikaitkan dengan peningkatan 3-4-kali lipat pada

    kadar kematian OR atau prognosis neurologis yang buruk. Pola TIK refraktori dikaitkan dengan

    peningkatan secara dramatis dan relative risiko kematian (OR = 114,3 [95% CI: 40.5, 322,3])

    [29].

    Saturasi oksigen bulbus vena jugular

    Saturasi oksigen vena jugularis (SjvO2) merupakan indikator dari kadar oksigenasi otak

    dan kadar metabolisme otak, Saturasi oksigen vena jugularis (SjvO2) memberi gambaran rasio

    antara aliran darah otak (CBF) dan tingkat metabolisme oksigen serebral (CMRO2). Kateterisasi

    retrograde dari vena jugularis interna (IJV) digunakan untuk evaluasi SjvO2. Secara umumnya

    IJV kanan adalah daerah yang biasanya dominan [30], daerah ini biasanya digunakan untuk

    kanulasi yang dapat memberikan gambaran oksigenasi serebral global[31]. Evaluasi SjvO2 dapat

    dilakukan secara terus menerus melalui serat kateter optik atau secara intermiten melalui

    pemeriksaan sampel darah berulang. Dalam sebuah penelitian prospektif pasien dengan trauma

    otak berat yang akut disertai hipertensi intrakranial, Cruz menyimpulkan bahwa evaluasi secara

    terus menerus SjvO2 dikaitkan dengan perbaikan prognosis [32]. Rata-rata normal dari SjvO2,

    dalam subjek terjaga normal, adalah sebanyak 62% dengan kisaran 55% sampai 71%. desaturasi

    berkelanjutan vena jugularis dari

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    8/31

    8

    penatalaksanaan pengobatan. Pada TBI, desaturasi vena jugularis sebagian besar memainkan

    peran dalam penurunan kadar CBF sekunder akibat dari penurunan kadar CPP (hipotensi,

    hipertensi intrakranial, dan vasospasme) atau hipokapnia-terkait vasokonstriksi serebral.

    Penelitian menunjukkan bahwa penurunan secara berkelanjutan dari SjvO2 hingga batas

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    9/31

    9

    PbtO2-berbasis terapi dikaitkan dengan hasil yang lebih baik untuk kasus pasca TBI berat

    dibandingkan dengan hanya penggunaan TIK/CPP-berbasis terapi sahaja [43]. Oddo et al.

    Melaporkan bahwa hipoksia otak atau penurunan PbtO2 merupakan hasil prediktor yang mandiri

    dan berhubungan dengan prognosis buruk jangka pendek pasca TBI berat.

    Selain dari TIK, CPP yang rendah, dan tingkat keparahan cedera. PbtO2 merupakan salah

    satu sasaran terapi yang penting pasca TBI berat [44]. PbtO2 telah didokumentasikan lebih

    unggul dari metode SjvO2, near infrared spectroscopy [45], dan regional transcranial oxygen

    saturation dalam mendeteksi iskemia otak. Evaluasi PbtO2 adalah metode yang menjanjikan,

    aman dan dapat diaplikasikan secara klinis pada pasien dengan TBI berat; Namun, metode ini

    tidak banyak digunakan dan ketersediaannya sangat minimal. Kombinasi metode evaluasi

    TIK/PbtO2 intra-parenkim adalah penting dan sangat membantu dalam pentalaksanaan terapi

    pada pasien dengan kasus TBI berat.

    Microdialisis serebral

    Microdialisis serebral (MD) merupakan perangkat laboratorium invasif yang baru

    dikembangkan, MD merupakan perangkat laboratorium yang mudah digunakan untuk

    menganalisis biokimia dari jaringan otak[47]. Kateter MD dimasukkan ke daerah jaringan otak

    dimana terdapat lesi untuk mengukur perubahan biokimia di daerah otak yang paling rentan

    terhadap cedera sekunder. Tes yang berbeda tersedia untuk mengukur konsentrasi dialisat

    termasuk glukosa, laktat, piruvat, gliserol, dan glutamat. Secara karakteristik, hipoksia atau

    iskemia serebral menunjukkan ada terjadinya peningkatan yang signifikan pada rasio

    laktat:piruvat (LPR) [48]. Nilai LPR> 20-25 dianggap sebagai indikator untuk iskemia otak dan

    berkaitan dengan prognosis yang buruk pada TBI [49]. Meskipun, MD adalah perangkat yang

    baik untuk memberikan pemeriksaan tambahan dan membantu dalam pentalaksanaan pasien

    dengan TBI berat, penggunaannya sangat terbatas.

    Transkranial doppler ultrasonografi

    Transkranial Doppler (TCD) adalah metode non-invasif untuk mengukur velositas CBF.

    metode ini semakin sering digunakan dalam perawatan kritis gawat neurologis termasuk TBI.

    Alat ini sangat berguna secara klinis untuk membantu menegakkan diagnosis komplikasi yang

    mungkin terjadi pada pasien dengan kasus TBI seperti vasospasme, peningkatan kritis TIK dan

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    10/31

    10

    penurunan CPP, diseksi karotis, dan gangguan peredaran darah otak (kematian otak). TCD dapat

    memprediksi vasospasme pasca-trauma sebelum timbulnya manifestasi klinis. Karena

    pemantauan TIK merupakan prosedur invasive dengan potensi risiko komplikasi yang terkait,

    TCD merupakan teknik alternatif non-invasif teknik untuk mengevaluasi TIK dan CPP [50,51].

    Secara umum sensitivitas TCD untuk mengkonfirmasikan kematian otak adalah 75% sampai

    88%, dan spesifisitas keseluruhan adalah 98% [52,53]. Meskipun, TCD adalah metode evaluasi

    pada perawatan kritis gawat neurologis, bukti untuk mendukung nya sebagai modalitas pilihan

    utama untuk membantu untuk manajemen TIK / CPP pada pasien dengan kasus TBI berat masih

    sangat kurang.

    Electrophysiological monitoring

    Electroencephalogram (EEG) adalah alat yang berguna secara klinis untuk memantau

    kedalaman koma, mendeteksi kejang non-convulsif (sub-klinis) atau kejang pada pasien dengan

    kelumpuhan secara farmakologi serta mendiagnosa kematian otak [54,55]. EEG terus menerus

    telah merupakan modalitas pilihan untuk membantu penegakkan diagnosis kejang pasca-trauma

    (PTS) pada pasien dengan TBI, terutama pada mereka yang menerima blokade neuromuskular.

    Sensory-evoked potentials (SEP) dapat memberikan data yang akurat tentang fungsi otak pada

    pasien TBI berat, namun, penggunaannya sangat terbatas dalam pengelolaan awal TBI.

    Near infrared spectroscopy

    Near infrared spectroscopy (NIRS) merupakan metode non-invasif untuk mengevaluasi

    langsung secara berterusan, oksigenasi serebral dan volume darah otak (CBV). Didalalam

    jaringan otak, dua chromophores utama (senyawa yang menyerap cahaya) adalah hemoglobin

    (Hb) dan sitokrom oksidase. Prinsip kerja NIRS adalah didasarkan pada perbedaan sifat

    penyerapan chromophores pada kisaran NIR, yakni antara 700 dan 1.000 nm. Pada 760 nm,

    wujud Hb bersifat terdeoksigenasi (deoxyHb), sedangkan pada kadar 850 nm, wujud Hb bersifat

    beroksigeni (oxyHb). Oleh karena itu, dengan mengevaluasi perbedaan serap antara dua panjang

    gelombang, tingkat deoksigenasi jaringan dapat dievaluasi. Jika dibandingkan dengan SjvO2,

    NIRS kurang akurat dalam menentukan oksigenasi serebral [56]. Meskipun, NIRS adalah

    teknologi yang berkembang dan berpotensi sebagai modalities pemeriksaan pilihan untuk

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    11/31

    11

    pengukuran CBF, penggunaannya dalam perawatan kritis gawat neurologis masih sangat

    terbatas.

    Suhu otak

    Setelah terjadinya trauma kepala, dilaporkan bahawa gradien suhu otak dibandingkan

    dengan suhu tubuh lebih tinggi hingga mencapai perbedaan 3 C di otak. suhu tinggi adalah

    stressor sistemik umum sekunder untuk cedera otak. Terdapat beberapa alat invasif (baru Licox

    PMO: Integra LifeSciences, Plainsboro, NJ) [57] dan non-invasif [58], untuk mengevaluasi suhu

    otak secara terus menerus yang tersedia secara komersial. Namun, evaluasi suhu otak masih

    belum banyak digunakan sebagai pedoman dalam perawatan kritis gawat neurologis pasien

    dengan TBI berat.

    Manajemen Perawatan Kritis

    Pedoman pengelolaan TBI parah tersedia secara luas dan harus menjadi dasar utama dan

    landasan untuk pengembangan institusi praktek klinis dengan protokol manajemen berbasis

    pedoman klinis. Beberapa penelitian telah menunjukkan kepentingan dan dampak dari

    implementasi protokol yang benar seperti pada hasil prognosis pasien dengan TBI berat [5-7].

    Kami melaporkan bahwa pemanfaatan praktek klinis pedoman berbasis protokol untuk TBI berat

    memainkan peran yang sangat signifikan pada penurunan mortalitas baik di perawatan ICU atau

    rumah sakit rumah sakit [8].

    Analgesia, sedasi dan pelumpuhan otot

    Pada pasien TBI berat, intubasi endotrakeal, ventilasi mekanik, trauma, intervensi bedah

    (jika ada), biaya perawatan, dan prosedur ICU mempunyai potensial menjadi penyebab nyeri.

    Narkotika, seperti morfin, fentanyl dan remifentanil, harus dipertimbangkan sebagai terapi lini

    pertama karena golongan ini memberikan efek analgesia, sedasi ringan dan depresi refleks

    saluran napas (batuk) yang semuanya dibutuhkan dalam proses intubasi dan ventilasi mekanik

    pasien. Administrasi narkotika sebaik diberikan dalam bentuk infus terus menerus atau sebagai

    bolus intermiten.

    Sedasi yang memadai dengan analgesia poten; dapat memberikan efek anxiolysis, ini

    akan dapat membantu membatasi peningkatan TIK yang disebabkan oleh agitasi, perasaan tidak

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    12/31

    12

    nyaman, batuk atau rasa nyeri; analgesia poten juga dapat memfasilitasi perawatan pasien dan

    ventilasi mekanis, menurunkan konsumsi O2, menurunkan produksi CMRO2, dan CO2,

    meningkatkan kenyamanan pasien; dan mencegah gerakan yang boleh meperburuk kondisi

    pasien. obat sedasi yang ideal untuk pasien dengan TBI harus mempunyai karekteristik waktu

    kerja cepat dalam onset dan offset, mudah dititrasi untuk memberikan kesan yang diinginkan,

    dan kurangnya metabolit aktif. Secara garis besar pemilihan analgesia bertujuan sebagai

    antikonvulsan, menurunkan TIK dan CMRO2, dan untuk membantu dalam pemeriksaan

    neurologis. Akhirnya, analgesia juga harus mempunyai efek yang tidak merugikan terhadap

    sistem kardiovaskular. Buat waktu ini tidak ada obat sedasi yang digunakan dapat dikatakan

    sebagai obat sedasi yang paling ideal.

    Propofol adalah obat untuk menginduksi hipnotis pilihan pada pasien dengan gejala

    neurologis akut, karena mudah dititrasi dan efek sedasinya dapat cepat sekali dihentikan cukup

    dengan hanya menghentikan administrasi. Karekteristik propofol ini mengizinkan waktu sedasi

    diprediksi dan memungkinkan untuk evaluasi neurologis secara periodik pada pasien. Namun,

    propofol harus dihindari pada pasien dengan kondisi hipotensi atau hipovolemik karena efek

    deleterious hemodynamic nya. Selain itu,propofol infusion syndrome (rhabdomyolysis, asidosis

    metabolik, gagal ginjal, dan bradycardia) merupakan komplikasi potensial dari administrasi

    propofol yang lama dan berterusan baik secara infusi maupun dosis tinggi. Benzodiazepine

    seperti midazolam dan lorazepam sangat direkomendasikan sebgai obat sedasi dan digunakan

    secara infus berterusan atau bolus intermiten. Selain sedasi, golongan obat ini juga memberikan

    efek amnesia dan antikonvulsan. Namun penggunaan obat ini secara Infus berterusan, dosis

    tinggi, adanya kegagalan ginjal atau hati, dan usia lanjut adalah antara faktor yang dapat

    menyebabkan risiko terjadinya akumulasi dan sedasi berlebihan.

    Penggunaan secara rutin agen pemblokir neuromuskuler (NMBAs) untuk melumpuhkan

    pasien dengan TBI tidak dianjurkan. NMBAs mengurangi TIK dan harus dianggap sebagai terapi

    lini kedua untuk hipertensi refrakter intrakranial. Namun, penggunaan NMBA dapat

    menyebabkan terjadinya peningkatan risiko pneumonia, memperpanjang waktu perawatan ICU

    (LOS), dan terjadinya komplikasi neuromuskuler.

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    13/31

    13

    Ventilasi mekanis

    Penatalaksanaan pasien dengan TBI berat biasanya disertai dengan intubasi dan ventilasi

    mekanik. Hipoksia, didefinisikan sebagai saturasi O2

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    14/31

    14

    tambahan dianjurkan untuk menghindari desaturasi dan peningkatan mendadak pada TIK.

    penyedotan ETT harus singkat dan tidak menyebabkan trauma tambahan..

    Peningkatan PEEP dapat menyebabkan peningkatan tekanan intratorak dan menyebabkan

    penurunan drainase vena serebral hingga menyebabkan peningkatan CBV dan TIK. Namun, efek

    dari PEEP pada TIK terlihat signifikan hanya pada kadar PEEP diatas dari 15 cm H2O pada

    pasien dengan kondisi hipovolemik. Namun demikian, tingkat kadar terendah PEEP, biasanya

    digunakan hanya pada kadar 5 sampai 8 cm H2O untuk mempertahankan oksigenasi memadai

    dan mencegah kolaps ekspirasi akhir. PEEP pada kadar tinggi, yaitu diatas 15 cm H2O, mungkin

    dapat digunakan pada kasus hipoksemia refraktori.

    Sering terjadinya ALI atau sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), pada sejumlah

    besar pasien dengan TBI berat dengan kejadian ALI / ARDS dilaporkan mempunyai prevelensi

    sebanyak diantara 10% sampai 30% [62-64]. Etiologi ALI / ARDS pada pasien dengan TBI berat

    antaranya termasuk aspirasi, pneumonia, contusio paru, transfusi darah masif, cedera paru akut

    yang disebabkan oleh transfusi (TRALI), sepsis, edema paru neurogenik dan penggunaan tidal

    volume dan kadar pernapasan yang tinggi [65,66]. Proses terjadinya ALI / ARDS pada pasien

    dengan TBI berat menyebabkan perpanjangan waktu perawatan ICU (LOS) dan perpanjangan

    pengunaan ventilasi mekanis [60]. Manajemen ventilasi pasien dengan TBI berat dan ALI /

    ARDS merupakan suatu prosedur yang rumit. Strategi ventilasi yang seimbang, mengikuti

    pedoman untuk penatalaksanaan TBI berat dan "Pendekatan cedera otak konvensional"

    (oksigenasi yang memadai: mengoptimalkan oksigenasi serebral otak, drainase vena dengan

    menggunakan PEEP kadar rendah, dan hipokapnia ringan dengan menggunakan tidal volume

    tinggi), dan strategi ventilasi pelindungan pulmonal (dengan menggunakan PEEP kadar tinggi

    dan tidal volume rendah), adalah tujuan yang diinginkan, namun, sulit untuk dicapai.

    Hiperkapnia permisif, merupakan strategi yang dapat digunakan pada pasien dengan ALI /

    ARDS, namun harus dihindari, jika memungkinkan, pada pasien dengan kasus TBI berat

    disebabkan akan terjadinya vasodilatasi serebral dan peningkatan CBV dan TIK.

    Dukungan hemodinamik

    Gangguan hemodinamik adalah masalah umum yang sering terjadi pada pasien dengan

    kasus TBI berat. Hipotensi, yang didefinisikan sebagai SBP

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    15/31

    15

    adalah antara stressor sekunder sistemik yang sering menyebabkan cedera otak sekunder telah

    dilaporkan sering terjadi pada sekitar 73% populasi pasien selama perawatan ICU [67].

    Penelitian dari Traumatic Coma Data Bank (TCDB) mendokumentasikan bahwa hipotensi

    merupakan penentu utama dan merupakan prediktor mandiri prognosis TBI berat (68). Hipotensi

    secara signifikan berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasca TBI [69-71]. Di antara

    prediktor prognosis TBI, hipotensi adalah prediktor yang paling harus diperhatikan dan dihindari

    serta ditangani dengan baik dan cepat.

    TBI dengan kondisinya sendiri dan terisolasir dari kondisi lain tidak akan menyebabkan

    hipotensi kecuali pada pasien yang telah terjadi mati batang otak. Berkurangnya volume

    intravaskular akibat perdarahan dari cedera yang terjadi seperti pada kulit kepala, leher,

    pembuluh darah, dada, perut, panggul dan ekstremitas, atau karena poliuria sekunder yang

    disebabkan oleh kondisi diabetes insipidus, adalah antara penyebab paling sering terjadinya

    hipotensi pada pasien dengan TBI berat. Selain itu antara faktor lain yang berperan untuk

    terjadinya hipotensi pada pasien dengan TBI berat adalah kerana terjadinya contusio miokard

    yang mengakibatkan kegagalan kerja primer jantung yaitu untuk memompa darah, dan trauma

    pada spinalis yang menyebabkan terjadinya syok spinalis (lesi servikal yang menyebabkan

    kehilangan total persarafan simpatik himgga terjadinya hipotensi vasovagal dan bradiaritmia).

    Penyebab hipotensi yang sering kurang diperhatikan pada pasien dengan TBI adalah penggunaan

    etomidate untuk intubasi. Telah dilaporkan bahwa bahkan dengan hanya penggunaan dosis

    tunggal etomidate dapat menyebabkan terjadinya insufisiensi adrenal yang akhirnya

    mengakibatkan hipotensi.[72].

    Pemberian terapi cairan yang tepat dan agresif untuk mencapai volume intravaskular

    yang memadai adalah langkah pertama dalam prosedur resusitasi pasien dengan hipotensi parah

    pasca TBI. CVP dapat digunakan sebagai pedoman manajemen cairan dan dianjurkan untuk

    dipertahankan pada tekanan 8 - 10 mm Hg. Pada pasien yang tidak merespon secara baik dengan

    ekspansi volume yang adekuat dan administrasi vasopressor, merupakan petanda adanya

    gangguan hemodinamik atau penyakit kardiovaskular yang mendasari, kateter arteri pulmonal

    atau evaluasi hemodinamik non-invasif harus dipertimbangkan.

    Tekanan wedge kapiler pulmonal harus dipertahankan pada tekanan 12 - 15 mm Hg.

    Beberapa indikator yang dapat diandalkan sebagai keberhasilan terapi cairan adalah seperti

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    16/31

    16

    variasi tekanan nadi, variasi tekanan sistolik, variasi stroke volume, dan kolaps vena kava

    inferior direkomendasikan sebagai indikator manajemen terapi cairan. Kristaloid isotonik,

    larutan khusus normal saline (NS) adalah cairan pilihan untuk terapi resusitasi cairan dan

    volume pengganti. HSSs efektif untuk merestorasi tekanan darah pada syok hemoragik, namun

    tidak menurunkan kadar mortalitas [73]. The National Heart, Lung, and Blood Institute of the

    National Institutes of Health telah menghentikan pendaftaran untuk penelitian uji klinis efek

    HSSs pada pasien dengan TBI parah karena HSS tidak lebih baik daripada pengobatan standar

    NS [74]. Terapi pengganti darah dan produk darah masih dapat digunakan sesuai kebutuhan

    kasus.

    Anemia adalah stressor sekunder sistemik yang umumnya sering terjadi dan harus

    dihindari, kadar hemoglobin yang disasarkan adalah 100 g / L atau hematokrit 0,30.

    Jaringan otak merupakan jaringan yang kaya dengan tromboplastin dan kerusakan otak dapat

    menyebabkan koagulopati [75]. Kelainan koagulasi harus dikoreksi secara agresif dan cepat

    dengan produk darah yang sesuai, terutama pada kondisi perdarahan intrakranial pasca trauma.

    Sebelum dilakukan evaluasi invasif TIK, MAP yang dianjurkan adalah pada tekanan 80

    mm Hg. Alasan untuk mempertahankan MAP pada tekanan 80 mm Hg adalah untuk

    mempertahankan CPP 60 mm Hg yang merupakan batasan pengobatan TIK> 20 mm Hg [4].

    Setelah dilakukan evaluasi invasif TIK, manajemen MAP akan diarahkan mengikuti nilai TIK /

    CPP.

    Pada kasus-kasus yang jarang dimana kadar CPP atau MAP sasaran mungkin tidak dapat

    dicapai meskipun terapi resusitasi cairan yang tepat dan volume intravaskular yang adekuat telah

    dicapai. Pemberian cairan secara berlebihan untuk mencapai CPP atau MAP sasaran harus

    dihindari kerana dapat menjadi penyebab terjadinya overload cairan dan ARDS. Administrasi

    vasopressor harus digunakan untuk mencapai sasaran CPP atau MAP jika ini tidak dapat

    diperoleh dengan terapi resusitasi cairan yang adekuat. Norepinefrin, dititrasi melalui jalur vena

    sentral (CVL), direkomendasikan. Dopamin menyebabkan terjadinya vasodilatasi serebral dan

    peningkatan TIK, namun, dopamin dapat digunakan melalui kanula intravena perifer sampai

    CVL dimasukkan [76,77]. Phenylephrine, agen vasoaktif alpha-agonis murni, dianjurkan pada

    pasien TBI dengan takikardia. Penelitian terbaru melaporkan bahwa pasien yang menerima

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    17/31

    17

    Phenylephrine memberikan MAP dan CPP yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang

    menerima dopamin dan norepinefrin [78].

    Hipertensi, yang didefinisikan sebagai SBP> 160 mm Hg atau MAP > 110 mm Hg, juga

    merupakan stressor sistemik sekunder yang dapat memperburuk edema vasogenik otak dan

    hipertensi intrakranial. Namun, hipertensi yang terjadi mungkin merupakan reaksi fisiologis

    terhadap berkurangnya perfusi jaringan otak.

    Akibatnya, sebelum dilakukan evaluasi TIK, hipertensi tidak boleh diturunkan kecuali

    penyebabnya dikenalpasti dan diterapi, terutama pada tekanan SBP> 180-200 mm Hg atau

    MAP> 110-120 mm Hg. Menurunkan tekanan darah yang meningkat, sebagai mekanisme

    kompensasi untuk mempertahankan CPP yang memadai, dapat memperburuk iskemia otak.

    Setelah dilakukan suatu prosedur evaluasi TIK, CPP harus menjadi patokan dalam pengelolaan

    MAP.

    Tekanan perfusi serebral/Cerebral perfusion pressure (CPP)

    Iskemia otak dianggap kondisi sekunder yang paling penting untuk dinilai pada pasien

    dengan kasus TBI berat. CPP, didefinisikan sebagai MAP dikurangi TIK, (CPP = MAP- TIK),

    CPP di bawah 50 mm Hg harus dihindari [4]. CPP yang rendah dapat membahayakan daerah

    otak yang mengalami iskemia, dan peningkatan tekanan CPP dapat membantu untuk

    menghindari terjadinya iskemia otak. Nilai sasaran dari CPP minimal yang harus dipertahankan

    sebelum melewati batas paling rendah dimana dikhwatiri terjadinya iskemik adalah pada tekanan

    60 mm Hg [4]. Mempertahankan CPP diatas 60 mmHg adalah terapi pilihan yang mampu

    membantu mengurangi secara substansial kadar mortalitas dan peningkatan kemungkinan

    bertahan hidup, dan nilai sasaran diata 60 mmHg ini juga memungkinkan terjadinya peningkatan

    perfusi ke daerah otak yang iskemik pada pasien dengan kasus TBI berat. Tidak ada bukti

    peningkatan pada kadar terjadinya hipertensi intrakranial, morbiditas, atau mortalitas pada

    perawatan aktif mempertahankan CPP di atas 60 mmHg dengan normalisasi volume

    intravaskular atau induksi hipertensi sistemik. Pada literature yang diteliti CPP pada kadar 60

    mm Hg dan 70 mm Hg batasan CPP harus dipertahankan sebagai patokan penatalaksanaan

    iskemia serebral pada pasien dengan TBI berat. CPP harus dipertahankan minimal 60 mm Hg

    pada kasus TBI tanpa adanya tanda iskemia serebral, dan minimal pada kadar 70 mm Hg pada

    kasus TBI dengan tanda iskemia serebral [4]. Evaluasi PbtO2 disarankan untuk mengidentifikasi

    secara individual kadar CPP optimal [79]. Dengan tidak adanya iskemia serebral, upaya secara

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    18/31

    18

    agresif untuk mempertahankan CPP otak di atas 70 mm Hg dengan administrasi cairan dan

    vasopressor harus dihindari karena berisiko menyebabkan terjadinya ARDS [4].

    Terapi Hiperosmolaritas

    Administrasi manitol merupakan metode yang efektif untuk menurunkan peningkatan

    TIK pasca terjadinya TBI berat [80]. manitol meningkatkan gradien osmotik sementara dan akan

    dan keadaan ini menyebabkan peningkatan osmolaritas serum sehingga 310-320 mOsm / kg

    H2O. Namun pemberian manitol profilaksis tidak dianjurkan [4]. Sebelum dilakukan evaluasi

    TIK, penggunaan manitol harus dibatasi untuk pasien dengan tanda-tanda herniasi transtentorial

    atau kerusakan neurologis progresif yang tidak disebabkan faktor ekstrakranial.

    walaubagaimanapun, manitol tidak boleh diberikan jika osmolaritas serum > 320 mOsm / kg

    H2O. Diuresis osmotik harus dikompensasi oleh penggantian cairan yang memadai dengan

    larutan garam isotonik untuk mempertahankan euvolmia. Dosis manitol yang efektif adalah 0,25

    1 g / kg, diberikan secara intravena selama 15 sampai 20 menit. Pemberian sering manitol dapat

    menyebabkan dehidrasi intravaskular, hipotensi, azotemia/uremia prerenal dan hiperkalemia

    [81]. Manitol boleh melewati Blood Brain Barrier (BBB) dan menumpuk di otak, sehingga

    menyebabkan terjadinya pergeseran reversal pada tekanan osmotik atau reboundefek, dan hal ini

    menyebabkan osmolaritas otak meningkat, sehingga TIK juga meningkat [82,83]. Pada pasien

    TBI dengan gagal ginjal pemberian manitol menjadi kontraindikasi karena berrisiko

    menyebabkan terjadinya edema paru dan gagal jantung. HSSs telah diusulkan sebagai alternatif

    untuk manitol. HSS memiliki sejumlah efek menguntungkan pada pasien dengan cedera kepala,

    antaranya termasuk peningkatan volume intravaskular, ekstraksi air dari ruang intraseluler,

    penurunan TIK, dan peningkatan kontraktilitas jantung. HSS dapat menyebabkan dehidrasi

    osmotik dan peningkatan viskositas yang boleh menyebabkan terjadinya vasokonstriksi serebral.

    Administrasi berterusan dari HSS dapat membantu menurunkan TIK, menghindari terjadinya

    edema serebral, tanpa efek samping supraphysiologic hyperosmolarity seperti gagal ginjal,

    edema paru, atau demielinasi pontine sentralis [84,85]. Pada meta-analisis yang baru dilakukan,

    Kamel et al. menemukan bahwa saline hipertonik lebih efektif dibandingkan administrasi

    manitol, dan mungkin adalah lebih baik dari manitol yang menjadi pilihan untuk perawatan

    standar peningkatan TIK buat masa kini.[86].

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    19/31

    19

    Modulasi suhu

    Hipotermia sistemik sedang pada suhu 32 C hingga 34 C, dapat mengurangi

    metabolisme otak dan CBV, menurunkan TIK, dan meningkatkan CPP [87]. Namun bukti

    adanya dampak hipotermia pada pasien dengan kasus TBI masih kontroversial. Penelitian awal

    menunjukkan bahwa hipotermia sedang, pada saat pasien dibawa masuk, dikatakan mampu

    memberi perbaikan signifikan prognosis pada bulan ke 3 dan 6 setelah TBI [88]. Namun, pada

    suatu RCT besar yang dilakukan, tidak ditemukan korelasi dari efek hipotermia sedang yang

    dapat mempengaruhi prognosis TBI [89,90]. The National Acute Brain Injury Study:

    Hypothermia II was a randomized, multicentre clinical trial of patients with severe TBI

    merupakan uji klinis pasien dengan TBI berat yang mengambil sampel pasien dengan

    karekteristik 2 sampai 5 jam pasca TBI. Pasien secara acak dikelompokan untuk kelompok

    hipotermia (pendinginan sampai 33 C selama 48 jam) atau normothermia. Tidak ada perbedaan

    signifikan dari prognosis antara kelompok hipotermia dan kelompok normothermia. Uji klinis ini

    tidak mengkonfirmasi metode terapi hipotermia sebagai strategi proteksi neurologis pada pasien

    dengan kasus TBI berat [88]. Namun, suhu pasien harus harus tetap dikontrol dan demam harus

    diobati dengan cepat pada pasien dengan TBI berat. Hipotermia sedang dapat digunakan pada

    kasus peningkatan TIK tidak terkendali dan refrakter.

    Profilaksis anti-kejang

    Kejang pasca trauma diklasifikasikan sebagai kejang kejang pasca-trauma awal yang

    terjadi dalam waktu 7 hari dari terjadinya cedera, atau kejang pasca-trauma lambat yaitu

    melewati 7 hari dari terjadinya cedera [91]. Terapi profilaksis (fenitoin,carbamazepine, atau

    fenobarbital) tidak dianjurkan untuk mencegah kejang pasca trauma lambat[4]. BTF

    merekomendasikan terapi profilaksis untuk mencegah kejang pasca-trauma awal pada pasien

    TBI yang berisiko tinggi untuk kejang [4]. Faktor risiko meliputi: GCS skor

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    20/31

    20

    Profilaksis thrombosis vena dalam

    Pasien TBI berat mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya proses thromoembolik

    vena (VTEs) termasuk thrombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru. Risiko terjadinya DVT

    pada keadaan ketiadaan profilaksis diperkirakan terjadi sebanyak 20% pasca TBI berat[93].

    Metode tromboprofilaksis mekanik, seperti alat graduated compression stockings dan alat

    kompresi berurutan, dianjurkan penggunaannya namun menjadi kontraindikasi jika adanya

    cedera ekstremitas bawah. Penggunaan alat tersebut harus dilanjutkan sehingga kondisi pasien

    cukup hanya dirawat jalan. Jika tidak adanya kontraindikasi, heparin dengan berat molekul

    rendah (LMWH) atau dosis rendah unfractionated heparin harus digunakan dengan kombinasi

    profilaksis mekanik.Namun, penggunaan profilaksis farmakologisberpotensi menyebabkan

    terjadinya peningkatan risiko untuk perluasan perdarahan intrakranial. Meskipun, bukti untuk

    mendukungrekomendasi waktu yang tepat untuk menggunakan profilaksis farmakologiskurang,

    kebanyakan ahli menyarankan memulaiprofilaksis farmakologis sedini mungkin yaitu sekitar 48

    sampai 72 jamsetelah terjadinya cedera, tanpa adanya kontraindikasi lain[94].

    Profilaksis stres ulkus

    TBI berat merupakan faktor risiko yang diketahui mampu menyebabkan ulkus stres

    (Ulkus Cushing) di perawatan ICU. Profilaksis termasuk pemberian awal asupan nutrisi secara

    enteral dan profilaksis farmakologi seperti H2-blocker, proton pump inhibitor dan sukralfat

    [95,96].

    Dukungan nutrisi

    Pasien TBI berat biasanya berada didalam kondisi hipermetabolik, hiperkatabolik dan

    hiperglikemia, dengan disertai gangguan fungsi GI. Ada bukti yang menunjukkan kondisi gizi

    buruk meningkatkan kadar mortalitas pada pasien TBI [97]. Telah dilakukan penelitian

    sebelumnya dimana didokumentasikan pemberian asupan nutrisi secara enteral adalah lebih baik

    dari pemberian asupan nutrisi secara parenteral (PN). Penggunaan PN harus dibatasi dan hanya

    dipilih jika adanya kontraindikasi dari pemberian asupan nutrisi enteral, hal ini karena ia dapat

    menyebabkan peningkatan terjadinya komplikasi dan kadar mortalitas [98]. Oleh karena itu,

    pemberian awal asupan nutrisi enteral dianjurkan pada pasien dengan TBI berat, karena

    pemberian asupan nutrisi enteral aman, murah, hemat biaya, dan fisiologis. Potensi keuntungan

    dari pemberian asupan nutrisi secara enteral termasuk menstimulasi semua fungsi saluran gastro-

    intestinal, mempertahankan immunitas usus, mempertahankan fungsi dan integritas mukosa usus,

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    21/31

    21

    dan pengurangan infeksi dan komplikasi septik. Secara umum, pasien dengan TBI berat memiliki

    intoleransi lambung terhadap asupan nutrisi karena berbagai alasan antaranya termasuk

    pengosongan lambung yang abnormal dan gangguan fungsi lambung yang merupakan akibat

    sekunder dari peningkatan TIK, dan penggunaan opiat. Agen prokinetik seperti metoclopramide

    atau eritromisin, meningkatkan toleransi. Asupan makanan postpyloric dapat menghindari

    intoleransi lambung dan dapat memastikan suplai kalori yang tinggi dan asupan nitrogen.

    Meskipun BTF merekomendasikan instruksi istirahat dari aktivitas metabolik sebanyak 140%

    pada pasien tidak lumpuh dan 100% pada pasien lumpuh untuk tidak lagi digunakan, ada bukti

    yang menunjukkan adanya manfaat dari asupan rendah kalori [99-102].

    kontrol glikemik

    Pada pasien dengan TBI berat, stres hiperglikemia adalah merupakan antara stressor

    sekunder otak sistemik yang sering terjadi. Penelitian menunjukkan hiperglikemia yang terjadi

    berulang kali dikaitkan dengan prognosis neurologis buruk pasca terjadinya TBI [103-108].

    Namun meskipun hiperglikemia merugikan, mempertahankan kadar glukosa darah yang rendah

    dalam batas optimal masih menjadi isu yang kontroversial pada pasien dengan TBI berat, karena

    hipoglikemia, yang merupakan komplikasi umum dari penurunan kadar glukosa yang intensif,

    dapat malah menyebabkan cedera otak dan memperburuk cedera otak sudah terjadi[109]. Vespa

    et al. melaporkan bahwa terapi insulin intensif (IIT) memberikan hasil penurunan microdialisis

    glukosa dan peningkatan microdialisis glutamat dan rasio laktat / piruvat tanpa memberikan hasil

    keuntungan fungsional [110]. Oddo dkk. menndokumentasikan bahwa kontrol glukosa sistemik

    secara intensif mampu menyebabkan terjadinya penurunan ketersediaan glukosa otak

    ekstraseluler dan meningkatkan prevalensi terjadinya krisis energi otak, yang pada akhirnya

    berkorelasi dengan meningkatnya kadar mortalitas. IIT dapat mengganggu metabolisme glukosa

    otak setelah terjadinya cedera otak berat [111]. Suatu meta-analisis IIT pada cedera otak

    mengungkapkan bahwa IIT tampaknya tidak mengurangi risiko meningkatnya mortalitas di

    rumah sakit atau mortalitas lambat (RR = 1,04, 95% CI = 0,75, 1,43 dan RR = 1,07, 95% CI =

    0,91, 1,27 masing-masing). Selain itu, IIT juga tidak memiliki efek protektif neurologis jangka

    panjang (RR = 1,10, 95% CI = 0,96, 1,27). IIT malah meningkatkan kadar terjadinya episode

    hipoglikemik (RR = 1,72, 95% CI = 1,20, 2,46) [112]. Akibatnya, Mayoritas bukti klinis yang

    tersedia saat ini tidak mendukung kontrol glukosa intensif (mempertahankan kadar glukosa

    darah di bawah 110-120 mg / dl) selama perawatan akut pasien dengan TBI berat [113].

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    22/31

    22

    Steroid

    Administrasi steroid tidak dianjurkan untuk memperbaiki prognosis atau mengurangi TIK

    pada pasien dengan TBI berat. Pemberian steroid dapat membahayakan pada kasus TBI.

    Penelitian CRASH merupakan suatu penelitian kolaborasi internasional yang multisenter,

    bertujuan untuk mengkonfirmasi atau menolak efek steroid pada kasus TBI telah melakukan

    penelitian dengan target merekrut 20000 pasien sebgai sampel. Pada bulan Mei 2004, data

    monitoring committee mempresentasikan hasil penelitian mereka kepada steering committee,

    bahawa penelitian CRASH yang berhenti pada perekrutan 10008 pasien memberikan hasil

    jumlah pasien yang dibandingkan dengan plasebo, risiko mortalitas dari semua penyebab dalam

    waktu 2 minggu lebih tinggi pada kelompok yang dialokasikan pada kelompok yang diberi

    kortikosteroid (1052 [21,1%] vs 893 [17,9%] kematian, risiko relatif = 1,18 [95% CI = 1,09-

    1,27], p = 0,0001). Para penulis menyimpulkan bahwa tidak ada pengurangan kematian dengan

    pemberian metilprednisolon dalam jangka waktu 2 minggu setelah terjadinya cedera kepala.

    Penyebab kenaikan risiko kematian dalam 2 minggu pada penelitian ini bagaimanapun masih

    tidak jelas [114]. Oleh karena itu, pada pasien dengan TBI parah, pemberian dosis tinggi

    metilprednisolon menjadi kontraindikasi [4]

    Koma barbiturat

    Barbiturat terbukti sebagai terapi yang efisien untuk kasus hipertensi intrakranial

    refrakter. Barbiturat mengurangi metabolisme serebral dan CBF, dan menurunkan TIK [115].

    Admnistrasi dosis tinggi barbiturat dapat dipertimbangkan pada pasien TBI berat dengan kondisi

    hemodinamik yang stabil, namun refrakter terhadap penatalaksanaan terapi maksimal TIK secara

    medis maupun bedah. efek samping utama dari golongan obat ini adalah: hipotensi, terutama

    pada hipovolemik, dan imunosupresi yang dapat meningkatan terjadinya infeksi [116]. Namun,

    administrasi profilaksis barbiturat untuk menginduksi keadaan burst suppression EEG tidak

    dianjurkan [4]. Pentobarbital merupakan obat yang direkomendasikan untuk menginduksi koma

    barbiturat sebagai dengan pemberian seperti berikut:

    Pentobarbital: 10 mg / kgBB selama 30 menit, kemudian 5 mg / kgBB / jam selama 3 jam, kemudian 1 mg / kgBB / jam

    Sebagai alternatif, natrium thiopental dapat digunakan sebagai berikut:

    2,5-10 mg / kgBB IV, bolus perlahan, diikuti dengan

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    23/31

    23

    0,5-2 mg / kgBB / jamCairan dan elektrolit

    Tujuan dari terapi cairan adalah untuk mengembalikan dan mempertahankan keadaan

    euvolemia ke hipervolemia sedang (CVP = 8-10 mm Hg, PCWP = 12 - 15 mm Hg).

    Keseimbangan cairan negatif telah terbukti berhubungan dengan faktor yang merugikan dan juga

    merupakan faktor yang mandiri namun dapat mempengaruhi TIK, MAP, dan CPP [117].

    Kristaloid isotonik harus digunakan pada terapi cairan, dan cairan Normal saline (NS) adalah

    cairan kritaloid yang direkomendasikan. Namun resusitasi cairan secara intensif dengan NS

    dapat mengakibatkan hiperkloremik metabolik asidosis, hal ini merupakan komplikasi yang

    dapat diprediksi dari pemberian NS dalam volume besar, dengan implikasi klinis yang berbeda.

    Solusi hipotonik, seperti 1/2 NS, NS , Dextrose 5% dalam air (D5% W), D5% 1/2 NS, atau

    D5% NS harus dihindari. Larutan ringer laktat sedikit hipotonik dan merupakan cairan yang

    kurang direkomendasi untuk resusitasi cairan pada pasien TBI berat, terutama untuk melakukan

    resusitasi dengan volume besar, hal ini karena Riner laktat dapat menurunkan osmolaritas serum.

    glukosa mengandung solusi, seperti yang disebutkan sebelumnya atau D10% W harus dihindari

    pada periode 24 sampai 48 jam pertama, kecuali pada pasien yang mengalami hipoglikemia

    dengan tidak adanya dukungan nutrisi. Kondisi hiperglikemia pada TBI adalah keadaan yang

    sangat membahayakan, metabolisme anaerobic glukosa otak menghasilkan asidosis dan molekul

    air bebas, kedua senyawa dapat memperburuk edema otak. Pemberian cairan koloid harusdigunakan secara berhati-hati karena penggunaan cairan ini seperti yang dilaporkan pada,

    penelitian SAFE, merupakan antara faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan mortalitas

    pada pasien dengan TBI [118]. HSSs telah terbukti efektif dalam mengurangi edema otak,

    mengurangi TIK, dan meningkatkan MAP dan CPP [119]. Potensi bermanafaat lain dari

    pemberian cairan HSSs termasuk, dapat cepat meningkatkan volume intravaskular (dengan

    pemberian volume kecil), meningkatkan curah jantung dan pertukaran gas pulmonal, pembalikan

    immunomodulation yang disebabkan oleh hipotensi, dan penurunan produksi CSF. Namun HSS

    mempunyai potensi efek samping seperti hipertensi mendadak, hipernatremia, penurunan

    kesadaran dan kejang. Namun, secara umum penelitian penggunaan HSS menunjukkan hasil

    yang tidak konsisten sehingga penilitian klinis selanjutnya adalah diperlukan untuk menentukan

    perannya dalam penatalaksanaan terapi cairan.

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    24/31

    24

    Pada pasien TBI berat dengan peningkatan TIK atau adanya bukti edema otak, tingkat

    natrium serum (Na+) yang diterima sebagai kadar aman adalah pada kadar 150-155 mEq / L

    [120]. Namun, gangguan konsentrasi serum elektrolit merupakan komplikasi yang umum setelah

    terjadinya TBI. Cedera pada sistem hipotalamus-hipofisis adalah merupakan faktor utama

    terjadinya kondisi ini. Penyebab paling umum untuk kondisi hipernatremia (Na+> 150 mmol / L)

    pada pasien dengan TBI adalah diabetes insipidus sentral atau neurogenik, penggunaan diuresis

    osmotik (mannitol), dan HSS. Koreksi hipernatremia berat (Na+> 160 mmol / L) harus dilakukan

    secara bertahap, kerana perubahan secara mendadak pada osmolaritas serum dan penurunan

    cepat konsentrasi natrium dapat memperburuk edema serebral. Resusitasi cairan pada kasus

    pasien TBI dengan kondisi hipovolemik dan hipernatremik harus diterapi dengan hanya

    pemberian NS pada awalnya. Penatalaksanaan gangguan elektrolit harus diikuti dengan restorasi

    total volume. Hiponatremia merupakan kondisi yang membahayakan dan merupakan stressor

    sekunder otak sistemik utama pada cedera otak sekunder pada pasien yang menderita TBI berat,

    karena kondisi ini mengarah ke eksaserbasi edema otak dan peningkatan TIK. Hal ini merupakan

    efek sekunder dari cerebral salt wasting syndrome [121], syndrome of inappropriate anti-

    diuretic hormone secretion (SIADH). Hipofosfatemia dan hipomagnesemia adalah komplikasi

    umum pada pasien dengan cedera kepala dan hal ini adalah faktor kejang sering terjadi [122123].

    TerapiLund

    Terapi Lund pada TBI berat didasarkan pada prinsip regulasi fisiologis antarajaringan

    otak dan volume darah. Terapi ini bertujuan untuk mencegah hipoksia otak dan sekaligus

    mengambil langkah-langkah menghindari filtrasi transkapiler. Konsep Lund lebih

    menguntungkan jika terjadinya gangguan pada fungsi blood brain barrier dan lebih tepat

    digunakan jika tekanan autoregulasi hilang. Terapi ini memiliki dua tujuan utama: pertama untuk

    mengurangi atau Terapi ini memiliki dua tujuan utama: pertama untuk mengurangi terjadinya

    peningkatan TIK (TIK sasaran), dan yang kedua adalah untuk meningkatkan perfusi dan

    oksigenasi pada sekitar daerah kontusio (perfusi sasaran) dengan mempertahankan oksigenasi

    darah yang normal, normovolemia dan kadar hematokrit normal. Protokol pengobatan, untuk

    mengurangi peningkatan TIK, antaranya termasuk mempertahankan tekanan normal penyerapan

    dari koloid (konsentrasi protein plasma normal), penurunan tekanan intrakapiler dengan cara

    mengurangkan tekanan darah sistemik dengan terapi antihipertensi (a beta1-antagonis,

    metoprolol, dikombinasikan dengan alpha 2-agonis, clonidine) dan secara bersamaan, konstriksi

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    25/31

    25

    sedang pada resistensi pembuluh darah prekapiler dengan memberi thiopental dan

    dihydroergotamine dosis rendah. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa terapi Lund dapat

    memberikan hasil klinis yang baik [124]

    Perawatan intensif umum

    Mirip dengan pasien lain pada perawatan intensif, pasien dengan kasus TBI harus

    menerima perawatan rutin sehari-hari seperti berikut berikut:

    Meninggikan posisi kepala pada tempat tidur pada sudut 30 - 45 : yang akandapat membantu mengurangi TIK dan meningkatkan CPP [125], dan menurunkan

    risiko ventilator-associated pneumonia (VAP).

    Mempertahankan kepala dan leher pasien dalam posisi netral: ini akan dapatmembantu meningkatkan drainase vena serebral dan mengurangi TIK.

    Menghindari kompresi vena jugular interna atau eksterna dengan menghindaripemasangan cervical collar secara keras atau fiksasi berlebihan endotrakeal tube

    yang akan menghambat drainase vena serebral dan dapat mengakibatkan

    terjadinya peningkatan TIK.

    Menggerakkan pasien miring ke kiri dan ke kanan secara teratur dan seringnamun dengan pengamatan secara tetap TIK [126].

    Memberikan perawatan mata, mulut dan kebersihan kulit Menerapkan evidence-based bundles untuk pencegahan infeksi termasuk VAP

    [127] dan central line bundle [128].

    Pengadministrasian rejimen usus untuk menghindari konstipasi yang dapatmeningkatkan tekanan intra-abdomen dan TIK.

    Melakukan fisioterapiDekompresi cranioectomy dan hemicranioectomy

    Prosedur bedah dekompresi cranioectomy merupakan rekomendasi pendekatan terapi

    yang menjanjikan untuk pasien dengan TBI berat akut yang beresiko untuk dapat terjadinya

    edema otak berat. Prosedur dekompresi cranioectomy dan hemicranioectomy, secara umum

    diterima sebagai prosedur bedah yang dapat dipilih untuk mengatasi hipertensi intrakranial pada

    kasus di mana penatalaksanaan non-bedah gagal. Operasi dekompresi dilakukan sebagai life-

    saving procedure saat hipertensi intracranial dapat menyebabkan terjadinya mortalitas yang

    cepat. Meskipun prosedur operasi semakin sering digunakan, bukti tentang efek keseluruhan

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    26/31

    26

    pada prognosis adalah bertentangan. Albanese et al, dalam penelitian kohort retrospektif pada 40

    pasien dengan hipertensi intrakranial yang beresiko tinggi terjadinya kematian otak, prosedur

    dekompresi cranioectomy membantu 25% dari jumlah pasien sampel untuk mencapai rehabilitasi

    sosial dalam jangka waktu 1 tahun [129]. Cooper et al, dalam sebuah penelitian prospektif,

    terkontrol secara acak pada 155 orang dewasa dengan TBI berat yang diffus dan hipertensi

    intrakranial yang refrakter dibandingkan dengan terapi konvensional non-bedah, prosedur

    bifrontotemporoparietal decompressive craniectomy, menunjukkan hasil penurunan tekanan

    intrakranial (P

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    27/31

    27

    Abbreviations

    BTF: Brain Trauma Foundation; CBF: Cerebral blood flow; CBV: Cerebral blood volume; CPP:

    Cerebral perfusion pressure; CSF: Cerebral spinal fluid; CVP: Central venous pressure; EEG:

    Electroencephalogram; GCS: Glasgow coma scale; HSS: Hypertonic saline solution; ICP:

    Intracranial pressure; MAP: Mean arterial pressure; NS: Normal saline; PbtO2: Brain tissue

    oxygen tension; PEEP: Positive end expiratory pressure; SBP: Systolic blood pressure; SIADH:

    Syndrome of inappropriate anti-diuretic hormone secretion; SjvO2: Jugular venous oxygen

    saturation; TBI: Traumatic brain injury.

    Author details

    Surgical Intensive Care Unit, Intensive Care Department, King Abdulaziz

    Medical City, PO Box 22490, Riyadh 11426, K.S.A. 2Intensive Care Department,

    College of Medicine, King Saud Bin Abdulaziz University for Health Sciences,

    King Abdulaziz Medical City, PO Box 22490, Riyadh 11426, K.S.A.

    Authors contributions

    SHH performed literature review and wrote the initial draft of the

    manuscript. YMA edited and rewrote portions of the manuscript. All authors

    read and approved the final manuscript.

    Authors information

    Samir H. Haddad, MD, is Head Section of Surgical Intensive Care Unit; and

    Consultant in the Intensive Care Department at King Abdulaziz Medical City,

    Riyadh, Saudi Arabia.

    Yaseen M. Arabi, MD, FCCP, FCCM, is Chairman, Intensive Care Department;

    and Medical Director, Respiratory Services at King Abdulaziz Medical City,

    Riyadh, Saudi Arabia. He is also Associate Professor at College of Medicine,

    King Saud Bin Abdulaziz University for Health Sciences, Riyadh, Saudi Arabia.

    Competing interests

    The authors declare that they have no competing interests.

    Received: 22 October 2011 Accepted: 3 February 2012

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    28/31

    28

    DAFTAR PUSTAKA

    1) Teasdale G, Jennett B: Assessment of coma and impaired consciousness: A practicalscale. Lancet 1974, 2:81-84.

    2) Bullock R, Chestnut RM, Clifton G, Ghajar J, Marion DW, Narayan RK, etal:Guidelines for the management of severe head injury. J Neurotrauma 1996,

    13(11):643-734.

    3) Bullock R, Chestnut RM, Clifton G, Ghajar J, Marion DW, Narayan RK, etal:Guidelines for the Management of Severe Traumatic Injury. J Neurotrauma 2000,

    17:453-553.

    4) Bullock R, et al: Guidelines for the Management of Severe TraumaticBrain Injury. JNeurotrauma , 3 2007, 24(Suppl 1):S1-S106.

    5) Vukic M, Negovetic L, Kovac D, Ghajar J, Glavic Z, Gopcevic A: The effect ofimplementation of guidelines for the management of severe head injury on patient

    treatment and outcome. Acta Neurochir (Wien) 1999, 141(11):1203-8.

    6) Hesdorffer D, Ghajar J, Iacono L: Predictors of compliance with the evidence-basedguidelines for traumatic brain injury care: A survey of United States trauma centers. J

    Trauma 2002, 52:1202-1209.

    7) Fakhry SM, Trask AL, Waller MA, Watts DD: Management of brain- injured patientsby an evidence-based medicine protocol improves outcomes and decreases hospital

    charges. J Trauma 2004, 56(3):492-499, discussion 499-500.

    8) Arabi Y, Haddad S, Tamim H, Al-Dawood A, Al-Qahtani S, Ferayan A, et al:Mortality Reduction after Implementing a Clinical Practice Guidelines-Based

    Management Protocol for Severe Traumatic Brain Injury. J Crit Care 2010,

    25(2):190-195.

    9) Chesnut RM: Secondary brain insults after head injury: clinical perspectives. NewHoriz 1995, 3:366-75.

    10)Unterberg AW, Stover JF, Kress B, Kiening KL: Edema and braintrauma.Neuroscience 2004, 129:1021-9.

    11)Jeremitsky E, Omert L, Dunham CM, Protetch J, Rodriguez A: Harbingers of pooroutcome the day after severe brain injury: hypothermia, hypoxia, and hypoperfusion.

    J Trauma 2003, 54(2):312-319.

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    29/31

    29

    12)Abdoh MG, Bekaert O, Hodel J, Diarra SM, Le Guerinel C, Nseir R, Bastuji-Garin S,Decq P: Accuracy of external ventricular drainage catheter placement. Acta

    Neurochir (Wien) 2011.

    13)Stiefel MF, Spiotta A, Gracias VH, Garuffe AM, Guillamondegui O, Maloney-Wilensky E, Bloom S, Grady MS, LeRoux PD: Reduced mortality rate in patients

    with severe traumatic brain injury treated with brain tissue oxygen monitoring. J

    Neurosurg 2005, 103(5):805-811.

    14)Saul TG, Ducker TB: Effect of intracranial pressure monitoring and aggressivetreatment on mortality in severe head injury. J Neurosurg 1982, 56:498-503.

    15)Saul TG, Ducker TB: Intracranial pressure monitoring in patients with severe headinjury. Am Surg 1982, 48(9):477-480.

    16)Eisenberg HM, Frankowski RF, Contant CF, et al: High-dose barbiturate control ofelevated intracranial pressure in patients with severe head injury. J Neurosurg 1988,

    69:15-23.

    17)Howells T, Elf K, Jones P, et al: Pressure reactivity as a guide in the treatment ofcerebral perfusion pressure in patients with brain trauma. J Neurosurg 2005, 102:311-

    317.

    18)Aarabi B, Hesdorffer D, et al: Outcome following decompressive craniectomy formalignant swelling due to severe head injury. J Neurosurg 2006, 104:469-479.

    19)Timofeev I, Kirkpatrick P, Corteen E, et al: Decompressive craniectomy in traumaticbrain injury: outcome following protocol-driven therapy. Acta Neurochir (Suppl)

    2006, 96:11-16.

    20)Bulger EM, Nathens AB, Rivara FP, Moore M, MacKenzie EJ, JurkovichGJ:Management of severe head injury: institutional variations in care and effect on

    outcome. Crit Care Med 2002, 30:1870-1876.

    21)Lane PL, Skoretz TG, Doig G, Girotti MJ: Intracranial pressure monitoring andoutcomes after traumatic brain injury. Can J Surg 2000, 43:442-448.

    22)Mauritz W, Steltzer H, Bauer P, Dolanski-Aghamanoukjan L, Metnitz P: Monitoringof intracranial pressure in patients with severe traumatic brain injury: an Austrian

    prospective multicenter study. Intensive Care Med 2008, 34:1208-1215.

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    30/31

    30

    23)Stocchetti N, Penny KI, Dearden M, Braakman R, Cohadon F, Iannotti F, Lapierre F,Karimi A, Maas A Jr, Murray GD, Ohman J, Persson L, Servadei F, Teasdale GM,

    Trojanowski T, Unterberg A, European Brain Injury Consortium: Intensive care

    management of head-injured patients in Europe: a survey from the European brain

    injury consortium. Intensive Care Med 2001, 27:400-406.

    24)Cremer OL, van Dijk G, van Wensen E, et al: Effect of intracranial pressuremonitoring and targeted intensive care on functional outcome after severe head

    injury. Crit Care Med 2005, 33:2207-2213.

    25)Cremer OL: Does ICP monitoring make a difference in neurocritical care? EuropeanJournal of Anaesthesiology 2008, 25(Suppl 42):87-93.

    26)Shafi S, Diaz-Arrastia R, Madden C, Gentilello L: Intracranial pressure monitoring inbrain-injured patients is associated with worsening of survival. J Trauma 2008,

    64(2):335-340.

    27)Haddad S, AlDawood AS, AlFerayan A, Russell N, Tamim H, Arabi YM:Relationship between intracranial pressure monitoring and outcomes in severe

    traumatic brain injury patients. Anaesth Intensive Care 2011, 39(6):1043-1050.

    28)Forsyth R, Wolny S, Rodrigues B: Routine intracranial pressure monitoring in acutecoma. Cochrane Database Syst Rev 2010, , 2: CD002043.

    29)Treggiari MM, Schutz N, Yanez ND, Romand JA: Role of intracranial pressurevalues and patterns in predicting outcome in traumatic brain injury: a systematic

    review. Neurocrit Care 2007, 6(2):104-12.

    30)Robertson CS, Narayan RK, Gokaslan ZL, et al: Cerebral arteriovenous oxygendifference as an estimate of cerebral blood flow in comatose patients. J Neurosurg

    1989, 70:222-230.

    31)Lam JM, Chan MS, Poon WS: Cerebral venous oxygen saturation monitoring: isdominant jugular bulb cannulation good enough? Br J Neurosurg 1996, 10:357-364.

    32)Cruz J: The first decade of continuous monitoring of jugular bulboxyhemoglobinsaturation: management strategies and clinical outcome. Crit Care Med 1998, 26:344-

    351.

    33)Robertson CS, Cormio M: Cerebral metabolic management. New Horiz 1995, 3:410-422.

  • 7/22/2019 Manajemen Perawatan Kritis Cedera Otak Traumatik

    31/31

    34)Sheinberg M, Kanter MJ, Robertson CS, et al: Continuous monitoring of jugularvenous oxygen saturation in head-injured patients. J Neurosurg 1992, 76:212-217.

    35)Gopinath SP, Robertson CS, Contant CF, et al: Jugular venous desaturation andoutcome after head injury. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1994, 57:717-723.

    36)Robertson CS, Gopinath SP, Goodman JC, Contant CF, Valadka AB, Narayan RK:SjvO2 monitoring in head-injured patients. J Neurotrauma 1995, 12:891-896.

    37)Lewis SB, Myburgh JA, Reilly PL: Detection of cerebral venous desaturation bycontinuous jugular bulb oximetry following acute neurotrauma. Anaesth Intensive

    Care 1995, 23:307-314.

    38)Rosenthal G, Hemphill JC, Sorani M, Martin C, Morabito D, Obrist WD, Manley GT:Brain tissue oxygen tension is more indicative of oxygen diffusion than oxygen

    delivery and metabolism in patients with traumatic brain injury. Crit Care Med 2008,

    36(6):1917-1924.

    39)Haddad and Arabi Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and EmergencyMedicine 2012, 20:12http://www.sjtrem.com/content/20/1/12Page 12 of 15

    http://www.sjtrem.com/content/20/1/12http://www.sjtrem.com/content/20/1/12http://www.sjtrem.com/content/20/1/12http://www.sjtrem.com/content/20/1/12