presus kulit
Post on 11-Aug-2015
10 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
SINDROM STEVENS-JOHNSON
Disusun oleh:
Anindita Setyoningrum
20040310155
Diajukan kepada:
dr. Rudi Agung W, Sp.KK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2009
PENDAHULUAN
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus
yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium, serta mata disertai
keadaan umum bervariasi dari ringan hingga berat. Sinonimnya antara lain: sindrom de Friessinger-
Rendu, ektodermosis erosiva pluriorifisialis, eritema multiformis tipe Hebra, eritema bulosa maligna,
sindrom mukokutanea-okular, minor form of TEN (toxic epidermal necrolysis).
SSJ jarang terjadi, kejadian SSJ adalah satu dari 1 juta penduduk per tahun. Di Amerika Serikat
ditemukan sekitar 300 kasus baru dalam satu tahun. Di Indonesia belum ada angka prevalensi penyakit
ini. Penelitian menunjukkan bahwa SSJ adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari 2000 orang yang
mengkonsumsi antibiotik penisilin yang terkena SSJ. Sindrom ini kebanyakan timbul pada anak-anak dan
laki-laki muda. Perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 2 : 1. Namun jarang dijumpai pada
anak usia 3 tahun ke bawah.
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor. SSJ dapat
disebabkan SSJ dapat disebabkan infeksi virus: herpes simplex virus, influenza, mumps, cat-scratch
fever, histoplasmosis, Epstein-Barr virus, atau sejenis, reaksi alergi karena obat-obatan (diclofenac,
fluconazole, valdecoxib, sitagliptin, penicillins, barbiturates, sulfonamides, phenytoin, azithromycin,
modafinil, lamotrigine, nevirapine, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepine, etambutol, tetracyclin,
digitalis, kontraseptif, makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), penyakit kolagen
(lupus eritematosus), keganasan, vaksinasi, kehamilan, atau faktor idiopatik (lebih dari 50%). SSJ juga
dilaporkan sebagai akibat pemakaian obat herbal yang tidak umum yang mengandung ginseng. SSJ
dapat juga disebabkan pemakaian kokain. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas, sering
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan reaksi hipersensitivitas
lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV).
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata,
serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau
mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan
tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Presentasi kasus ini melaporkan satu kasus Sindrom Steven Johnson pada seorang anak berusia
1 tahun. Pembahasan menekankan pada gejala dan tanda Sindrom Steven Johnson serta terapinya
LAPORAN KASUS
Seorang anak perempuan, usia 1 tahun datang dengan kedua orang tuanya dengan keluhan kulit
melepuh di sekitar wajah, leher, ketiak dan selangkangan.
Awalnya pasien datang ke puskesmas karena terdapat luka di sekitar hidung. Oleh petugas
kesehatan diberi puyer, salah satunya berisi antibiotika. Sehari kemudian, pasien demam dan timbul
bintik-bintik merah dan lepuhan di sekitar wajah. Kulit pasien selanjutnya menjadi kasar, berair, bercak-
bercak coklat kehitaman. Keadaan ini juga timbul di leher, ketiak dan selangkangan. Pasien juga
mengeluh gatal di serta mengalami kesulitan untuk makan dan minum. Pasien diperiksakan ke
puskesmas dan mendapatkan salep antibiotika, tetapi tidak menunjukkan perbaikan . Kelainan kulit
serupa belum pernah dialami oleh pasien maupun pada silsilah keluarga.
Keadaan umum pasien baik, kesadaran kompos mentis, berat badan 12 kg. Kulit wajah, leher,
ketiak dan selangkangan dijumpai papul eritema dan vesikel batas jelas multipel tersebar merata disertai
erosi dan krusta kehitaman. Kelainan mata tidak ditemukan.
Diagnosis klinis pasien adalah Sindrom Stevens Johnson. Terapi yang sudah diberikan adalah
kortikosteroid oral (methylprednisolone) dan topikal serta antihistamin oral.
PEMBAHASAN
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, pilek, sakit menelan,
nyeri kepala, nyeri dada, muntah, nyeri otot (mialgia), dan nyeri sendi (artralgia) yang sangat bervariasi
dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan
berupa:
Kulit: berupa eritema, papul, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Vesikel dan
bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura.
Selaput lendir orifisium: membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal,
dan meatus uretra. Vesikel dan bula yang pecah menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga
dapat membentuk pseudomembran. Kelainan yang tampak di bibir adalah krusta berwarna hitam yang
tebal (krusta hemoragik). Kelainan dapat juga menyerang saluran pencernaan bagian atas (faring dan
esofagus) dan saluran nafas atas. Keadaan ini dapat menyebabkan penderita sukar/tidak dapat menelan
dan juga sukar bernafas.
Mata: konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, dan sulit
dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Selain
itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron dan ulkus komea.
Pada kasus ini, kelainan kulit di wajah, leher, ketiak dan selangkangan sesuai dengan teori yaitu
berupa eritem, vesikel, erosi dan krusta. Sedangkan di bibir terdapat krusta kehitaman (krusta
hemoragik). Sedangkan di amta tidak didapatkan kelainan.
Diagnosis ditujukan sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya
dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan
pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah
tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan,
leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat
meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar.
Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-
kasus atipik. Tetapi pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis
hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ. Pada NET terdapat
epidermolisis menyeluruh yang tidak terdapat pada SSJ. Diagnosis banding yang lain adalah pemfigus
yang biasanya ada akantolisis dan tes Nikolski positif; variola hemoragika yang efloresensi kulit berupa
vesikel/bula dalam stadium yang sama (monomorof).
Di bawah ini terdapat tabel perbedaan eritema multiforme, sindrom stevens Johnson dan nekrolisis
epidermal toksik (NET).
Terapi untuk pasien sindrom stevens Johnson:
- Mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi, terutama penderita yang sukar menelan
akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat
diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
- Kortikosteroid: metil prednisolon 80-120 mg per oral (1,5-2 mg/kgBB/hari) atau pemberian
deksametason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam.
Beberapa peneliti menyetujui pemberian kortikosteroid sistemik beralasan bahwa
koertikosteroid akan menurunkan beratnya penyakit, mempercepat konvalensi, mencegah
komplikasi berat, menghentikan progresifitas penyakit dan mencegah kekambuhan. Beberapa
literature menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik dapat mengurangi inflamasi dengan
cara memperbaiki intergritas kapiler, memacu sintesa lipokortin, menekan ekspresi molekul
adhesi. Selain itu dapat meregulasi respon imun melalui down regulation ekspresi gen sitokin.
- Antihistamin, terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat dapat diberikan dengan
dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3
kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun: 2,5
mg/dosis, 1 kali/hari; > 6 tahun: 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
- Antibiotik yang dipilih yang jarang menimbulkan alergi, spektrum luas, bersifat bakterisidal dan
tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari, gentamisin 1-1,5
mg/kgBB/dosis, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi
kulit dan darah.
Gentamisin perlu dipantau pada pasien dengan penyakit ginjal, fungsi ginjal yang labil, lanjut
usia, kegemukan, demam dengan kemungkinan perubahan bersihan kreatinin, sepsis, luka
bakar, fibrosis kistik, dialisis, neonatus karena gentamisin mempunyai efek toksik terhadap
susunan saraf berupa gangguan pendengaran, keseimbangan, visus, neuritis perifer,
ensefalopati dan pada ginjal.
- Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle, untuk bibir yang
kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim urea 10%.
- Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi atau saline. Untuk lesi di kulit yang
erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sufadiazin perak.
- Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
- Pada purpura yang luas dapat ditambahkan vit.C 500 mg atau 1000 mg sehari IV.
Komplikasinya antara lain bronkopneumonia, sepsis, kehilangan cairan / darah, gangguan
keseimbangan elektrolit, syok, kebutaan.
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3
minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau
pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas.
Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia,
serta sepsis.
Sepsis adalah sindrom klinik yang terjadi karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap
rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan hipertermia (>380C) atau hipotermia (<35,60C),
takipnea (RR >20x/mnt), takikardia (nadi >100x/mnt), hipotensi, leukositosis (>12.000/mm) atau
leukopenia (<4.000/mm).
RINGKASAN
Diagnosis sindrom stevens Johnson terutama dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada
umumnya disebabkan oleh reaksi obat terutama sulfonamide, NSAID, penisilin. Penatalaksanaan lebih
bersifat simptomatik dan konservatif, kecuai lesi terbuka dilakukan seperti penanganan luka bakar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, A. 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Siregar, R. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
3. Tedjapranata, M. 2009. Sindrom Steven Johnson. Diakses 29 November 2009, dari http://22-sindrom-steven-johnson.htm
4. Anonim. 2009. Sindrom Steven Johnson. Diakses 29 November 2009, dari http://My Blog » Blog Archive » Stevens-Johnson Syndrome.htm
top related