presentasi kasus karsinoma nasofaring
Post on 26-Dec-2015
196 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : Hermawan
RM : 61.21.40
Umur : 26 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Kepek Saptosari Wonosari Gunng Kidul Yogyakarta
Anamnesis
Keluhan utama : Benjolan pada leher kiri
Perjalanan penyakit :
Seorang pasien datang mengeluhkan terdapat benjolan di leher kiri. Benjolan ini
dikatakan sudah muncul kurang lebih sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan bahwa
benjolan awalnya berukuran kecil namun lama kelamaan semakin membesar, namun
benjolan ini dikatakan tidak nyeri apabila diberikan penekanan. Keluhan ini juga dikatakan
disertai dengan keluhan berupa telinga berdengung yang hilang timbul. Telinga berdengung
ini dirasakan di telinga kiri. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya sakit kepala yang
hilang timbul dan dikatakan sudah terjadi sejak kurang dari 1 bulan yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan akhir-akhir ini sering batuk pilek yang hilang timbul
Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien tidak pernah mengalami gejala penyakit seperti ini sebelumnya. Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit alergi, asma, hipertensi, jantung, DM dan penyakit sistemik
lainnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan bahwa pada keluarganya tidak ada yang menderita penyakit yang
sama atau menderita penyakit kanker lainnya. Pasien mengatakan bahwa dari keluarga tidak
ada yang memiliki riwayat penyakit alergi, asma, hipertensi, jantung, DM dan penyakit
sistemik lainnya.
Riwayat life style
Kebiasaan pasien sering minum kopi. Pasien juga merokok dan kadang-kadang suka
meminum-minuman keras
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Denyut Nadi : 80 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Temperatur Axila : 36,5oC
Status General
• Kepala : Tidak ditemukan kelainan
Mata : Anemia (-/-), ikterus (-/-), ptosis (-/-), diplopia (-/-),
strabismus (-/-), isokor
• THT : Sesuai status lokalis
• Leher : Pembesaran kelenjar getah bening
- Pada daerah jugular superior sinistra, massa padat, terfiksir,
nyeri tekan (-), ukuran 3 x 2 x 2 cm.
• Thorak : Cor : S1S2 tunggal, Reguler, Murmur(-)
Po : Ves +/+, Rh-/-, Wh-/-
• Abdoment : Distensi(-), Bising usus (+) Normal, H/L tak teraba
• Ekstremitas : Edema (-/-), akral hangat (+/+)
Status Lokalis THT
TELINGA KANAN KIRI
Daun telinga N N
Liang telinga Lapang Lapang
Discharge - -
Membrana Tipani Intak Intak
Tumor - -
Mastoid N N
Tes pendengaran: tidak dilakukan
HIDUNG KANAN KIRI
Hidung Luar N N
Kavum Nasi Lapang Lapang
Septum Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi
Discharge - -
Mukosa Merah muda Merah muda
Tumor - -
Konka Dekongesti Dekongesti
Sinus N N
TENGGOROK
Dispneu -
Sianosis -
Mukosa Merah muda
Dinding belakang -
Stridor -
Suara Normal
Tonsil T1/T1
LARING Tidak dievaluasi
NASOFARING Massa berdungkul-dungkul, terlihat di fossa
rossenmuler yang meluas ke atap nasofaring
Pemeriksaan Penunjang
CT Scan Kepala
Kesan:
- Tumor nasofaring sinistra./CA
- Pembesaran kel limfe di ventral M maseter/ parotis sinistra. (proses
metastase)
Pemeriksaan Lab
Darah Lengkap:
14/7/2011
AL (x 103/µL) 6,6
Ne (%) 57
Lym (%) 34
Mo (%) 9
Eo (%) 0
Ba (%) 0
RBC (x 106/ µL) 5,74
Hgb (g/dL) 16,1
Hct (%) 48
MCV (fL) 84,1
MCH (pg) 26,0
MCHc (g/dL) 33,3
PLT (x 103/µL) 233
Diagnosis
Suspec Karsinoma Nasofaring Stadium II B (T1N1M0)
Penatalaksanaan
- Pemeriksaan Biopsy
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Karsinoma nasofaring ialah tumor ganas yang berasal dari sel-sel epitel mukosa
nasofaring atau kalenjar yang terdapat pada nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan
tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak yang ditemukan di Indonesia namun sulit
untuk dilakukan diagnosis dini dikarenakan letaknya yang tersembunyi serta berhubungan
dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher.
Epidemologi
Insiden KNF relatif rendah di seluruh dunia, insidennya kurang dari 1:100 000 orang.
Tetapi di Selatan Negara China, insidennya mencapai 10-15:100 000 pada laki-laki dan 5-
10:100 000 pada perempuan. Di daerah Guandong dan Guangxi insiden KNF mencapai
50:100 000 orang.
Di Indonesia insiden KNF sebanyak 4,7:100 000 orang pertahun dimana parbandingan
laki-laki dengan perempuan berkisar 2-3:1 orang.
Etiologi
Antara faktor yang berkaitan dengan karsinoma nasofaring adalah faktor lingkungan
yang saling berhubungan dengan faktor genetic.
Faktor Lingkungan
Antara faktor yang dikaitkan ialah ventilasi rumah yang kurang bagus dan
penggunaan kayu api sebagai bahan bakar dalam ruangan. Ventilasi yang buruk
menyebabkan terpaparnya oleh asap yang terlalu lama dapat meningkatkan resiko KNF.
Konsumsi ikan asin dalam jangka masa lama dapat meningkatkan resiko KNF. Penelitian
yang dilakukan oleh Yu et al menunjukan ras China yang memiliki kebiasaan konsumsi ikan
asin dalam jangka lama ternyata memiliki insiden KNF yang tinggi. Ada juga penelitian
dilakukan dengan menggunakan tikus, dimana tikus ini diberikan ikan asin sebagai diet. Hasil
penelitian tersebut di menunjukkan hasil bahwa 3 dari 20 tikus yang diberi ikan asin sebagai
diet, terjangkit kanker nasofaring dan kanker faring. Kandungan nitrosamide yang terdapat di
ikat asin diduga sebagai penyebab utama untuk terjadinya KNF.
Merokok (tembakau) juga merupakan salah satu faktor resiko, dimana dalam suatu penelitian
didapatkan angka insiden KNF tinggi pada orang yang merokok lebih dari 10 tahun atau
lebih. Ada pun penelitian dilakukan di Taiwan oleh Lin et al menunjukkan bahwa paparan
terlalu lama oleh asap rokok meningkatkan resiko KNF.
Paparan terlau lama pada senyawa kimia yang bersifat karsinogen (pestisida, asbes, dll) juga
memainkan peranan dalam terjadinya KNF.
Faktor Genetik
Insiden KNF pada ras China lebih tinggi di populasi yang biasa berkaitan dengan
jenis diet tertentu. Satu penelitian yang dilakukan simon et al didapati peranan
histocampability locus antigen (HLA) mempunyai kaitan dengan KNF. Dimana HLA
termasuk HLA-A2, HLA-B46 dan HLA-B58 mempunyai hubungan keganasan. Salah satu
contoh pada anggota keluarga di Cina selatan dengan 49 anggota dari dua generasi
didapatkan 9 penderita karsinoma nasofaring dan 1 menderita tumor ganas payudara. Secara
umum didapatkan 10% dari penderita karsinoma nasofaring menderita keganasan organ
lain.2,3
Virus Epstein-Barr
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga
d i nyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini. Pada pasien
karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum
plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom
virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di
dalam sel penderita karsinoma nasofaring.
Anatomi
Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga hidung.
Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput dan ruas pertama
tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium
dari tuba eustachian berada pada dinding samping dan pada bagian depan dan belakang
terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas dan
samping dari torus tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa
rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft palatum.
Gambar 2. Gambaran Nasofaring.
Gambar 3. Gambaran nasofaring melalui laringscope
Histologi
Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia respiratory type. Setelah 10 tahun
kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing
squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa membentuk invaginasi
membentuk crypta. Stroma kaya dengan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan
limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang
limfosit dan bisa merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous
dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.
Pathogenesis
Gambar 4. Skema pathogenesis KNF
Hubungan antara virus Epstein-Barr (EBV) dan konsumsi nitrosamine diketahui
sebagai penyebab utama terjadinya karsinoma nasofaring. EBV adalah suatu virus dari
keluarga herpes (yang termasuk Virus herpes simpleks dan Cytomegalovirus), yang merupakan
salah satu virus-virus paling umum di dalam manusia. Banyak orang yang terkena infeksi EBV,
yang sering asimptomatis tetapi biasanya penyakit akibat radang yang cepat menyebar. Virus
tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk
mengkonsumsi ikan asin atau makanan dengan kandungan garam tinggi secara terus menerus
mulai dari masa anak-anak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini
sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan juga pemeriksaan
penunjang.
Adapun kriteria Digby, dimana menggunakan skoring untuk setiap gejala mempunyai nilai
diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat menentukan KNF.
Digby skoring
Jika jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi
tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga
menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.
Manisfestasi klinis
Simtomatologi ditentukan oleh hubungan anatomi nasofaring terhadap hidung, tuba
Eustachii dan dasar tengkorak.
Gejala Hidung :
o Epistaksis: rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan.
o Sumbatan hidung. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam
rongga nasofaring dan menutupi koana, gejalanya : pilek kronis, ingus kental,
gangguan penciuman.
Gejala telinga
o Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula di fosa Rosen Muler,
pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba
(berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran)
o Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran
Gejala lanjut
o Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat
mencapai kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh
dan berkembang biak hingga kelenjar membesar dan tampak benjolan di
leher bagian samping, lama kelamaan karena tidak dirasakan kelenjar akan
berkembang dan melekat pada otot sehingga sulit digerakkan.
Gejala mata dan saraf
o Gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma
ini dikarenakan posisi anatomi nasofaring yang berhubungan dekat dengan
rongga tengkorak melalui beberapa lubang/foramen. Penjalaran melalui
foramen laserum akan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V,
sehingga tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa pasien lebih dahulu
ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering
ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
o Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranial, didahului oleh gejala subyektif
dari penderita seperti : kepala sakit atau pusing, hipestesia daerah pipi dan
hidung, kadang sulit menelan atau disfagia. Perluasan kanker primer ke
dalam kavum kranii akan menyebabkan kelumpuhan N. II, III, IV, V dan VI
akibat kompresi maupun infiltrasi atau perluasan tumor menembus jaringan
sekitar atau juga secara hematogen.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi
posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung)
sertafibernasofaringoskopi.
Pemeriksaan Radiologi
Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor
yang menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :
o Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan
ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring.
Sensitif mendeteksi erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak.
o Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging
yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan
tumor dari peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi
metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat
mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat
mendeteksinya.
Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi dilakukan untuk mendeteksi infeksi EBV dimana
dilakukan biopsi jarum halus pada sel tumor. Melalui pemeriksaan
imunohistokimia dapat mendeteksi mRNA EBV pada jaringan tumor. EBV
dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma dan non keratinizing squamous
cell carcinoma.
Pemeriksaan Pathologi
Pemeriksaan pathologi dapat dilakukan dengan biopsi aspirasi jarum halus dan
biopsi jaringan.
Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening servikalis.
Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan
sitologi biopsi aspirasi kelenjar getah bening servikal.
Biopsi Jaringan
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi
melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar
dan diklem bersama-sama dengan ujung kateter yang dihidung. Demikian juga
dengan kateter disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian
dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat
tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan
melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas.
Klasifikasi
Klasifikasi WHO tahun 2005 membagi karsinoma nasofaring menjadi
i. Tipe WHO 1
- Karsinoma sel skuamosa (KSS)
- Deferensiasi baik sampai sedang.
- Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan).
ii. Tipe WHO 2
- Karsinoma non keratinisasi (KNK).
- Paling banyak pariasinya.
- Menyerupai karsinoma transisional
iii. Tipe WHO 3
- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).
-Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, “Clear Cell
Carsinoma”, varian sel spindel.
- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.
Stagging
Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union
Internationale Centre Cancer ) dan AJCC (Americant Joint Committe on Cancer). Untuk
karsinoma nasofaring pembagian TNM adalah sebagai berikut :
T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya
T1 : Tumor terbatas pada nasofaring
T2 : Tumor meluas ke orofaring dan atau fossa nasal
T2a : Tanpa perluasan ke parafaring
T2b : Dengan perluasan ke parafaring
T3 : Invasi ke struktur tulang dan atau sinus paranasal
T4 :Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai syaraf otak, fossa
infratemporal, hipofaring atau orbita
N menggambarkan keadaaan kelenjar limfe regional
N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6 cm
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cm
N3 : Terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm atau ekstensi ke supraklavikula
M menggambarkan metastase jauh
M0 : Tidak ada metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh
Berdasarkan TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium I : T1, N0, M0
Stadium IIA : T2a, N0, M0
Stadium IIB : T1, N1, M0, T2a, N1, M0 atau T2B, N0-1, M0
Stadium III : T1-2, N2, M0 atau T3, N0-2, M0
Stadium IVA: T4, N0-2, M0
Stadium IVB: Tiap T, N3, M0
StadiumIV C: Tiap T, Tiap N, M1
Diagnosis Banding
Adapun diagnosa banding dari karsinoma nasofaring ini adalah :
1. TBC nasofaring
Dapat dibedakan dengan pemeriksaan histopatologi ( PA ).
2. Angiofibroma nasofaring
Insidennya pada laki-laki dewasa muda, tanpa gejala metastase karena merupakan
tumor jinak
Penatalaksanaan
Modalitas penatalaksaan dapat dilakukan
Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi pilihan utama karena karsinoma nasofaring
adalah tumor yang radiosensitif, biaya relatif murah, dan cukup efektif
terutama terhadap tumor yang belum mengadakan invasi ke intrakranial.
Tetapi jika sudah metastase jauh maka radiasi merupakan pengobatan yang
bersifat paliatif. Dosis untuk radioterapi radikal adalah 6000-7000 rad
dengan aplikasi radium dalam 7 hari atau 5000-6000 rad dengan sinar X
dalam waktu 5-6 minggu. Untuk terapi paliatif diberikan pada nasofaring
dan kelenjar limfe servikal kanan dan kiri. Dosisnya adalah dua pertiga dari
dosis radikal. Evaluasi pasca radiasi diadakan setiap bulan pada tahun
pertama, kemudian setiap 3 bulan pada tahun kedua, dan setiap 6 bulan
selama 5 tahun.
Khemoterapi
Kemoterapi merupakan terapi adjuvan yang hingga saat ini masih tetap
digunakan. Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai
saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti. Pemberian
adjuvan kemoterapi Cis-platinum, bloemycin, dan 5-fluorouracil sedang
dikembangkan di Departemen THT FKUI dengan hasil sementara yang cukup
memuaskan.
Obat-obatan sitostatika yang direkomendasikan adalah :
a. Obat tunggal :
- Methotrexate, dosis 25 mg / minggu per oral
- Cyclophosphamide, dosis 1 gram / minggu intravena
- Bleomycin, dosis 10 mg / m2 luas permukaan tubuh / minggu im
- 5 Fluorouracil atau 5FU dan Cisplatin
Cisplatin menghambat sintesis DNA dan proliferasi sel dengan jalan membuat
rantai silang pada DNA dan menyebabkan denaturasi helik ganda. 5FU akan
menghambat sintesis timidilat dan juga mempengaruhi fungsi dan sintesi RNA,
berpengaruh terhadap DNA, dan berguna pada pengobatan paliatif pada pasien
dengan penyakit yang progresif.
b. Obat-obatan ganda :
COMP :
Hari I : Cyclophosphamide 500 mg intravena
Vincristine 1 mg intravena
5 FU 750 mg intravena
Hari VIII : Cyclophosphamide 500 mg intravena
Vincristine 1 mg intravena
Methotrexate 50 mg intravena
Diulang setiap 4 minggu
Methotrexate-Bleomycin-Cisplatin :
Hari I : Bleomycin 10 mg / m2 intravena
Methotrexate 20 mg / m2 intravena
Diulang setiap 2 minggu sampai 4 kali
Hari II: CispIatin 80 mg / m2 intravena
Diulang setelah 10 minggu
Harus diperhatikan efek samping dengan cara melakukan kontrol yang baik
terhadap fungsi hemopoitik, fungsi ginjal dan sebagainya.
Karena tingginya insiden kerusakan jaringan regional akibat radioterapi dan
juga karena tingginya metastase jauh dari kanker nasofaring, maka kombinasi
modalitas therapy radiasi dan kemotherapi adalah konsep yang cukup atraktif.
Kombinasi ini dapat saling melengkapi atau bahkan sinergis. Ada beberapa
cara untuk kombinasi ini, dimana dapat diberikan secara neoadjuvan
(kemoterapi yang diikuti dengan radiotherapi) atau sebagai adjuvant therapi
(radiotherapi yang diikuti dengan kemoterapi). Kombinasi kemo-radioterapi
dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan
radiasi yang bersifat “radiosensitizer” memperlihatkan hasil yang memberi
harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
Pembedahan
Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar/tidak menghilang pasca radiasi (residu) atau adanya kekambuhan
kelenjar/timbul kembali setelah penyinaran, tetapi dengan syarat bahwa tumor
primer sudah dinyatakan bersih, atau sudah hilang yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi tumor induk sisa atau kambuh
diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.
Prognosis
Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia dimana usia muda mempunyai prognosis
yang lebih baik bebanding usia lanjut, staging klinik dan lokasi dari metatase regional juga
berperanan (lebih baik pada yang homolateral dibandingkan pada metastase kontralateral dan
metastase yang terbatas pada leher atas dibandingkan dari leher bawah). Studi terakhir
dengan menggunakan TNM Staging System menunjukkan 5 years survival rate untuk stage I
98%, stage II A-B 95%, stage III 86%, dan stage IV A-B 73%.6 Secara mikroskopis,
prognosis lebih buruk pada keratinizing squamous cell carcinoma dibandingkan dengan yang
lainnya. Untuk non keratinizing squamous cell carcinoma, prognosis buruk bila dijumpai :
1. Anaplasia dan atau plemorfism.
2. Proliferasi sel yang tinggi (dihitung dari mitotik atau dengan proliferasi yang
dihubungkan dengan marker imunohistokimia).
3. Sedikitnya jumlah sel radang limfosit.
4. Tingginya densitas dari S-100 protein yang positif untuk sel-sel dendritik.
5. Dijumpai banyak pembuluh darah kecil.
6. Dijumpai ekspresi c-erb B-2.
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A, Adham M. Karsinoma nasofaring; Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok. Edisi Keenam. Editor : Soepardi EA, Iskandar N. FK
UI;Jakarta. 2007
2. Satyanarayana K. et al. Epidemiological and etiological factors associated with
nasofharyngeal carcinoma. September 2003: 33(9); 1-9
3. Jeyakumar A. et al. Review of nasopharygeal carcinoma. March 2006: 85(3); 168-173
4. Suardana W. et al. Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Telinga Hidung Dan
Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; Denpasar. 1992
5. Asroel H. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. Fakultas
Kedokteran Bagian THT Universitas Sumatera Utara. 2002
top related