perbedaan kejadian postpartum blues pada …... · maupun latar belakang sosial ekonomi, dan dapat...
Post on 06-Feb-2018
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERBEDAAN KEJADIAN POSTPARTUM BLUES PADA PERSALINAN
SEKSIO SESARIA DAN PERSALINAN SPONTAN
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
FIFIANA DEWI PERMATASARI
G0008213
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Melahirkan seorang anak dapat menyebabkan suatu perubahan besar yang
melibatkan gejolak fisik dan emosional yang cukup berarti. Perubahan
fisiologis tubuh dan rasa sakit yang diderita mengakibatkan perasaan tegang.
Perasaan bahagia yang timbul sering kali juga diiringi dengan perasaan was-
was, takut, dan panik karena perasaan gelisah menghadapi kenyataan akan
hadirnya tangis bayi dalam keluarga ataupun khawatir terhadap kesehatan dan
keadaan bayi yang akan lahir. Menjadi seorang ibu juga berarti melepas
identitas masa lalu seorang perempuan, melepas masa anak dan remaja yang
begitu menyenangkan dan merubahnya menjadi masa yang penuh tanggung
jawab (Marshall, 2004). Pada masa itu perempuan dituntut untuk mampu
merawat dan membesarkan anaknya menjadi pribadi yang baik dengan tetap
mempertahankan peranan sebelumnya. Tanggung jawab besar inilah yang
sering memicu perempuan mengalami depresi setelah persalinannya (Suhemi,
2009).
Perempuan setelah melahirkan dapat mengalami simptom yang mirip
dengan simptom depresi pasca melahirkan, yang dikenal dengan postpartum
blues, yang dialami hampir 80 persen perempuan yang baru melahirkan. Hal
ini berbeda dengan depresi pasca melahirkan karena postpartum blues hanya
gangguan yang dialami paling lama enam minggu dan intensitas terjadinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
juga lebih ringan. Postpartum blues dibedakan dari depresi postpartum dilihat
pada jangka waktunya dan segi intensitasnya. Depresi postpartum terjadi
secara konstan dan terus-menerus, sedangkan pada postpartum blues lebih
ringan. Perempuan yang mengalami postpartum blues masih bisa menikmati
tidur nyenyak apabila dijauhkan dari kewajiban mengurus bayinya. Selain itu,
hiburan tertentu masih dapat mengembalikan kegembiraannya (Handi, 2004).
Postpartum blues maupun depresi postpartum dapat terjadi pada perempuan
manapun tanpa mempertimbangkan usia, ras, agama, tingkat pendidikan,
maupun latar belakang sosial ekonomi, dan dapat dialami lagi pada kehamilan
selanjutnya (Barsky, 2006).
Penelitian ini penting dilakukan karena gangguan postpartum blues pada
ibu pasca persalinan masih dianggap sebagai hal yang wajar sehingga
seringkali terabaikan dan tidak tertangani dengan baik (Iskandar, 2004). Selain
ibu merasa enggan menceritakan gejala-gejala yang dirasakannya, hal ini
terjadi karena pihak penyedia layanan kesehatan biasanya menganggap
masalah ibu hanya sekedar “aktivitas hormon” atau menganggapnya sebagai
postpartum blues yang bersifat sementara saja dan akan hilang dengan
sendirinya (Beck, 1999). Meskipun pihak penyedia layanan kesehatan
memiliki program yang berkesinambungan terkait dengan kesehatan fisik ibu
dan bayi, namun tidak semua yang memberikan perhatian lebih pada
kesehatan psikologis ibu. Padahal perempuan mempunyai kebutuhan khusus
karena kodratnya untuk haid, hamil, melahirkan, dan menyusui sehingga
memerlukan pemeliharaan yang lebih intensif dalam hidupnya, baik fisik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
maupun psikologis. Kurangnya perhatian pada aspek psikologis
mengakibatkan gangguan ini berkembang menjadi gangguan emosional yang
lebih parah seperti depresi postpartum (Depkes Indonesia, 2001).
Lebih lanjut, tingkat keparahan gejala maupun dampak terjadinya depresi
postpartum menjadikan gangguan ini tidak dapat diabaikan. Penanganan
terhadapnya baru akan menjadi perhatian lebih dan membutuhkan intervensi
dari pihak-pihak profesional karena akan mempunyai dampak lebih buruk
terutama dalam hubungan perkawinan dengan suami dan dengan anaknya
(Iskandar, 2004).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa penting mengadakan suatu
penelitian untuk mengetahui perbedaan postpartum blues antara persalinan
seksio sesaria dan spontan karena diharapkan dapat memberikan pandangan
yang representatif tentang status kesehatan mental perempuan pasca
persalinan sehingga dapat digunakan sebagai dasar bahwa intervensi khusus
perlu diberikan pada perempuan pasca persalinan baik dengan persalinan
spontan ataupun dengan seksio sesaria.
B. Perumusan Masalah
Adakah perbedaan kejadian postpartum blues antara persalinan seksio
sesaria dan spontan?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan kejadian
postpartum blues antara persalinan dengan seksio sesaria dan persalinan
spontan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritik
Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dalam bidang
ilmu Obstetri Ginekologi tentang perbedaan postpartum blues antara
persalinan seksio sesaria dan spontan.
2. Manfaat terapan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dilakukannya
pencegahan postpartum blues dengan intervensi khusus pada pasien pasca
persalinan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Postpartum Blues
a. Definisi
Postpartum blues merupakan suatu keadaan sebagai akibat dari
proses melahirkan dan merupakan suatu transisi perasaan yang dialami
perempuan pasca melahirkan yang umumnya terjadi, yang berlangsung
singkat dan bukan suatu masalah yang serius (Henshaw, 2003).
Postpartum blues merupakan hal yang umum terjadi pada perempuan
pasca melahirkan dan akan hilang dengan sendirinya sebelum mencapai
hari kesepuluh (Kennerly, 1989). Seorang perempuan yang mengalami
postpartum blues di satu minggu pertama dan tidak kunjung hilang
hingga kurun waktu dua minggu setelah melahirkan berisiko dua
setengah kali lipat mengalami depresi postpartum dua bulan berikutnya
(Iskandar, 2004).
b. Etiologi
Faktor hormonal seringkali disebut sebagai faktor utama yang
dapat memicu timbulnya postpartum blues. Faktor ini melibatkan
terjadinya perubahan kadar sejumlah hormon dalam tubuh ibu pasca
persalinan, yaitu menurunnya kadar hormon progesteron, hormon
estrogen, ketidakstabilan kelenjar tiroid, dan menurunnya tingkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
endorfin (hormon kesenangan). Meskipun demikian, masih banyak
faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam terjadinya postpartum
blues seperti harapan persalinan yang tidak sesuai dengan kenyataan,
adanya perasaan kecewa dengan keadaan fisik dirinya juga bayinya,
kelelahan akibat proses persalinan yang baru dilaluinya, kesibukan
mengurus bayi dan perasaan ibu yang merasa tidak mampu atau khawatir
akan tanggung jawab barunya sebagai ibu, kurangnya dukungan dari
suami dan orang-orang sekitar, terganggu dengan penampilan tubuhnya
yang masih tampak gemuk, dan kekhawatiran pada keadaan sosial
ekonomi yang membuat ibu harus kembali bekerja setelah melahirkan
(Kennerly, 1989).
Faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi menjadi faktor
biologis, faktor genetika dan faktor psikososial. Faktor biologis berasal
dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin merupakan dua
neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan
mood. Faktor neurotransmitter norepinefrin yang dinyatakan oleh
penelitian ilmiah dasar antara turunnya regulasi reseptor b-adrenergik
dan respon antidepresan secara klinis memungkinkan indikasi peran
sistem noradrenergik dalam depresi. Sedangkan penurunan serotonin
dapat mencetuskan depresi, dan beberapa pasien yang bunuh diri
(depresi) memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah di dalam
cairan serebrospinal dan juga konsentrasi tempat ambilan serotonin di
trombosit. Data tertentu juga menyatakan bahwa aktivitas dopamin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
mungkin menurun pada depresi. Selain itu penemuan subtipe baru
reseptor dopamin dan meningkatnya pengertian tentang regulasi
prasinaptik dan pasca sinaptik fungsi dopamin semakin membuktikan
bahwa pnurunan dopamin berhubungan dengan gangguan mood.
(Sadock, 2005).
Faktor neurokimia lainnya seperti GABA (Gama Amino Buteric
Acid) dan neuroaktif peptida (terutama vasopressin dan opiate endogen)
telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood (Sadock, 2005).
Sedangkan hipothalamus adalah pusat regulasi neuroendokrin dan
menerima rangsangan neuronal yang menggunakan neurotransmitter
biogenic amin. Bermacam-macam disregulasi endokrin dijumpai pada
pasien gangguan mood (Sadock, 2005; Durand, 2007). Salah satu
hormon yang diduga memiliki peranan adalah CRH (Corticotropin
Releasing Hormon) (Yim, 2009).
Faktor genetika juga berpengaruh, pada penelitian twin studies
menunjukkan bahwa anak kembar identik memiliki kemungkinan dua
sampai tiga kali lebih tinggi untuk menunjukkan gangguan suasana
perasaan dibanding dengan kembar fraternal (Durand, 2007).
Meskipun depresi dapat terjadi pada setiap manusia dengan pola
kepribadian apapun, tetapi manusia dengan tipe kepribadian dependen-
oral, obsesif-kompulsif, histerikal memiliki risiko yang lebih tinggi
mengalami depresi. Faktor psikoanalitik dan psikodinamik juga berperan
mempengaruhi episode pertama gangguan mood. Dalam percobaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
dengan menggunakan binatang yang dipapar dengan kejutan listrik
secara berulang maka binatang akan menyerah dan tidak melakukan
usaha sama sekali untuk menghidari kejutan yang diberika padanya dan
pada manusia depresi juga ditemukan ketidakberdayaan yang mirip. Hal
ini membuktikan bahwa ketidakberdayaan yang dipelajari (learned
helplessness) juga berpengaruh. Hal terakhir yang berpengaruh adalah
interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering
menyebabkan distorsi negatif pengalaman hidup, penilaian diri yang
negatif, pesimisme, dan keputusasaan selanjutnya dapat menyebabkan
perasaan depresi. (Durand, 2007)
c. Diagnosis dan Skrining Postpartum Blues
Postpartum blues diukur dengan menggunakan Blues
Questionnaire yang berdasarkan teori postpartum blues dari Kennerley
& Gath. Kuesioner ini terdiri dari 28 item gejala postpartum blues
dengan pilihan jawaban “Ya” dan “Tidak”. Untuk “Ya” diberi skor 1 dan
“Tidak” diberi skor “0”. Gejala yang ada pada Blues Questionnaire yaitu
meneteskan air mata, semangat yang berkurang, mudah lupa, cemas,
emosi yang berlebihan, semangat yang berubah-ubah, kelelahan,
kesulitan untuk menunjukkan perasaan, ingin merasa sendiri, hampa,
mudah gugup, terlalu sensitif, emosi yang naik turun, membayangkan
sesuatu, menyesal pada diri sendiri, merasakan sangat sedih, cepat
marah, menangis terus menerus, tidak bahagia, tidak mempunyai
harapan, tidak merasa gembira, penurunan konsentrasi, penurunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
keceriaan, berhati-hati/waspada, ketidaknyamanan, tidak percaya diri,
dan merasa tidak tenang. (Kennerly, 1989)
Seseorang dianggap mengalami postpartum blues bila terdapat dua
belas gejala dalam pengisian kuesioner. Blues Questionnaire merupakan
alat ukur sistematis untuk mengetahui gangguan postpartum blues dan
telah diuji validitasnya (Priyastiwi, 2009).
2. Persalinan (Partus)
a. Definisi
Persalinan (partus) adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi
(janin dan uri) yang dapat hidup ke dunia luar, dari lahir melalui jalan
lahir atau jalan lain. Persalinan terjadi karena keterlibatan berbagai
faktor, salah satunya adalah hormon. Teori penurunan hormon
menyebutkan bahwa pada 1-2 minggu sebelum persalinan mulai terjadi
penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Progesteron bekerja
sebagai penenang otot polos rahim dan akan menyebabkan kontraksi
pembuluh darah sehingga timbul his bila kadar progesteron turun
(Mochtar, 1998).
b. Persalinan Spontan
Persalinan spontan adalah proses lahirnya bayi dengan presentasi
belakang kepala dengan tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan alat-alat atau
pertolongan istimewa serta tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya
berlangsung kurang dari 24 jam (Winkjosastro, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Proses persalinan spontan terdiri dari 4 kala, yaitu kala I-IV. Kala I
(pembukaan) adalah waktu untuk pembukaan serviks sampai menjadi
pembukaan lengkap 10 cm. Kala ini ditandai dengan keluarnya lendir
bercampur darah (bloody show) karena serviks mulai membuka (dilatasi)
dan mendatar (effacement). Kala II (pengeluaran janin) dimulai saat
pembukaan sudah lengkap dan berakhir sampai bayi dilahirkan. Pada
fase ini his terkoordinir, kuat, cepat, dan lebih lama, kira-kira 2-3 menit
sekali. Setelah bayi lahir, kontraksi uterus istirahat sebentar. Selanjutnya
dimulai kala III, yaitu waktu pelepasan dan pengeluaran plasenta dan
selaput janin. Kala IV merupakan kala terakhir yang merupakan periode
pengawasan 1 jam setelah bayi dan uri lahir untuk mengamati keadaan
ibu terutama terhadap bahaya perdarah postpartum (Mochtar, 1998;
Mansjoer, 1999; Winkjosastro, 2007).
c. Seksio sesaria
Seksio sesaria adalah suatu persalinan buatan di mana janin
dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500
gram (Winkjosastro, 2007). Persalinan ini dilakukan dengan beberapa
indikasi baik dari ibu maupun janin. Disproporsi kepala panggul,
plasenta previa, tumor pelvis (obstruksi jalan lahir), kelainan tenaga atau
kelainan his, ruptura uteri imminent (mengancam), serta kegagalan
persalinan yaitu persalinan tidak maju dan tidak ada pembukaan,
disebabkan serviks yang kaku, sering terjadi pada ibu primi tua atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
jarak persalinan yang lama (lebih dari delapan tahun) merupakan
indikasi pada ibu sehingga perlu dilakukan seksio sesaria. Sedangkan,
janin besar (> 4000 gram), kelainan gerak, gawat janin, janin kelelahan
dan tidak ada kemajuan dalam persalinan, serta hidrocepalus merupakan
indikasi pada janin sehingga perlu dilakukan seksio sesaria. Selain itu,
ada pertimbangan lain yang digunakan sebagai indikasi seksio sesaria
yaitu ibu dengan risiko tinggi persalinan. Apabila telah mengalami
seksio sesaria atau menjalani operasi kandungan sebelumnya karena
ruptura uteri, sebaiknya persalinan berikutnya juga dengan seksio sesaria
untuk menghindari terjadinya ruptura uteri saat kontraksi uterus pada
persalinan spontan (Mochtar, 1998; Winkjosastro, 2007).
Komplikasi yang terjadi pada tindakan ini menyebabkan trauma
jaringan baik pada ibu maupun janin. Trauma jaringan (fisik) pada ibu
dapat mengakibatkan nyeri pasca seksio sesaria akut yang dapat
berkembang menjadi nyeri pasca persalinan kronik. Keadaan ini dapat
mengganggu kondisi fisik dan psikologis sang ibu (Eisenach, 2008).
Perawatan di rumah sakit yang lebih lama, biaya yang lebih mahal, serta
penundaan ke aktivitas normal yang lebih lama dapat memperparah
gangguan psikologis pada ibu, yaitu depresi pasca persalinan (Patel,
2005; Sword, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
3. Kondisi Pasca Persalinan (masa nifas)
Kondisi pasca persalinan disebut juga masa nifas (peurperium),
yaitu kondisi di mana masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai
sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra-hamil. Lama masa ini
adalah 6-8 minggu (Mansjoer,1999).
Setelah kelahiran, pembuluh darah mengalami obliterasi akibat
perubahan hialin, dan pembuluh – pembuluh yang lebih kecil
menggantikannya. Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil (involusi)
sehingga kembali seperti sebelum hamil. Kontraksi rahim yang terjadi 2-4
hari pasca persalinan menyebabkan rasa sakit (after pains). Pada masa
awal nifas, peluruhan jaringan desidua menyebabkan keluarnya discharge
vagina dalam jumlah bervariasi yang disebut lokhia. Secara mikroskopis,
lokhia terdiri atas eritrosit, serpihan desidua, sel – sel epitel, dan bakteri.
Selama beberapa hari pertama setelah melahirkan, kandungan darah dalam
lokhia cukup banyak sehingga warnanya merah, lokhia rubra. Setelah 3
atau 4 hari, lokhia menjadi sangat memucat yang kemudian disebut
sebagai lokhia serosa. Setelah sekitar 10 hari, akibat campuran leukosit
dan berkurangnya kandungan cairan, lokhia menjadi berwarna putih atau
putih kekuning – kuningan, yang disebut sebagai lokhia alba
(Winkjosastro, 2007).
Puting susu, areola, duktus & lobus membesar, vaskularisasi
meningkat (Breast Engorgement). Keadaan payudara pada 2 hari pertama
nifas sama dengan keadaan dalam kehamilan. Pada waktu ini buah dada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
belum mengandung susu, melainkan kolustrum yang dapat dikeluarkan
dengan memijat areola mamae. Kolustrum adalah cairan kuning yang
disekresi oleh payudara pada awal masa nifas. Selanjutnya, kira – kira hari
ke 3 pasca persalinan, buah dada menjadi besar, keras dan nyeri. Ini
menandai permulaan sekresi air susu dan kalau areola mamae dipijat,
maka keluarlah cairan putih dari puting susu (Mochtar, 1998;
Winkjosastro, 2007; Maulana, 2008; Suhemi, 2009).
Kandung kemih masa nifas mempunyai kapasitas yang bertambah
besar dan relatif tidak sensitif terhadap tekanan cairan intravesika.
Overdistensi pengosongan yang tidak sempurna dan urine residual yang
berlebihan sering dijumpai. Hal ini diduga karena pengaruh anestesi
terutama anestesi regional dan gangguan temporer fungsi saraf kandung
kemih. Ureter dan pelvis renalis yang mengalami dilatasi akan kembali ke
keadaan sebelum hamil mulai dari minggu ke 2 sampai ke 8 setelah
kelahiran (Ambarwati, 2008).
Selama proses kehamilan dan persalinan terdapat perubahan pada
sistem endokrin. Hormon-hormon yang berperan pada proses tersebut,
antara lain hormon plasenta, hormon pituitary, hipotalamik pituitary
ovarium, hormon oksitosin, dan hormon estrogen dan progesteron
(Ambarwati, 2008; Saleha 2009).
Perubahan sistem muskuloskeletal terjadi pada saat umur
kehamilan semakin bertambah. Adaptasi muskuloskelatal ini mencakup:
peningkatan berat badan, bergesernya pusat akibat pembesaran rahim,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
relaksasi dan mobilitas. Namun demikian, pada saat pasca persalinan
sistem muskuloskeletal akan berangsur-angsur pulih kembali. Ambulasi
dini dilakukan segera setelah melahirkan, untuk membantu mencegah
komplikasi dan mempercepat involusi uteri (Ambarwati, 2008).
Selain itu terdapat perubahan pada dinding perut dan peritoneum.
Dinding perut akan longgar pasca persalinan. Keadaan ini akan pulih
kembali dalam 6 minggu. Selama masa kehamilan, kulit abdomen akan
melebar, melonggar dan mengendur hingga berbulan-bulan. Otot-otot dari
dinding abdomen dapat kembali normal kembali dalam beberapa minggu
pasca melahirkan dengan latihan postnatal. Striae pada dinding abdomen
tidak dapat menghilang sempurna melainkan membentuk garis lurus yang
samar. Setelah janin lahir, ligamen-ligamen, diafragma pelvis dan fasia
yang meregang sewaktu kehamilan dan partus berangsur-angsur menciut
kembali seperti sediakala. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi
kendor yang mengakibatkan letak uterus menjadi retrofleksi (Ambarwati,
2008).
Biasanya ibu mengalami obstipasi setelah persalinan. Hal ini
disebabkan karena pada waktu melahirkan alat pencernaan mendapat
tekanan yang menyebabkan kolon menjadi kosong, pengeluaran cairan
yang berlebihan pada waktu persalinan (dehidrasi), kurang makan,
haemoroid, laserasi jalan lahir. (Ambarwati, 2008).
Satu hari (24jam) postpartum suhu badan akan naik sedikit (37,5°C
- 38°C) sebagai akibat kerja keras waktu melahirkan, kehilangan cairan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
dan kelelahan. Apabila keadaan normal suhu badan menjadi biasa.
Biasanya pada hari ketiga suhu badan naik lagi karena adanya
pembentukan ASI, buah dada menjadi bengkak, berwarna merah karena
banyaknya ASI. Bila suhu tidak turun kemungkinan adanya infeksi pada
endometrium, mastitis, tractus genitalis atau sistem lain. Denyut nadi
normal pada orang dewasa 60-80 kali permenit. Setelah melahirkan denyut
nadi itu akan lebih cepat. Kemungkinan tekanan darah akan rendah setelah
ibu melahirkan karena ada perdarahan. Tekanan darah tinggi pada
postpartum dapat menandakan terjadinya preeklampsi postpartum
(Ambarwati, 2008).
Keadaan pernafasan selalu berhubungan dengan keadaan suhu dan
denyut nadi. Bila suhu nadi tidak normal, pernafasan juga akan
mengikutinya, kecuali ada gangguan khusus pada saluran nafas
(Ambarwati, 2008).
Pada persalinan pervaginam, biasanya perempuan kehilangan darah
sekitar 300 – 400 cc. Bila kelahiran melalui seksio sesarea, maka
kehilangan darah dapat dua kali lipat. Perubahan terdiri dari volume darah
dan hematokrit. Bila persalinan pervaginam, hematokrit akan naik dan
pada seksio sesaria, hematokrit cenderung stabil dan kembali normal
setelah 4-6 minggu. Setelah persalinan, shunt akan hilang dengan tiba-tiba.
Volume darah ibu relatif akan bertambah. Keadaan ini akan menimbulkan
beban pada jantung. Keadaan ini dapat diatasi dengan mekanisme
kompensasi dengan timbulnya haemokonsentrasi sehingga volume darah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
kembali seperti sediakala, umumnya hal ini terjadi pada hari 3-5
postpartum (Ambarwati, 2008).
Selama minggu-minggu terakhir kehamilan, kadar fibrinogen dan
plasma serta faktor-faktor pembekuan darah meningkat. Pada hari pertama
postpartum, kadar fibrinogen dan plasma akan sedikit menurun tetapi
darah lebih mengental dengan peningkatan viskositas sehingga
meningkatkan faktor pembekuan darah. Leukositosis yang meningkat di
mana jumlah sel darah putih dapat mencapai 15.000 selama persalinan
akan tetap tinggi dalam beberapa hari pertama dari masa postpartum.
Jumlah sel darah putih tersebut masih bisa naik lagi sampai 25.000 atau
30.000 tanpa adanya kondisi patologis jika perempuan tersebut mengalami
persalinan lama. Jumlah hemoglobine, hematokrit dan eritrosit akan sangat
bervariasi pada awal-awal masa postpartum sebagai akibat dari volume
darah, volume plasenta dan tingkat volume darah yang berubah-ubah.
Semua tingkatan ini akan dipengaruhi oleh status gizi dan hidrasi
perempuan tersebut. Kira-kira selama kelahiran dan masa postpartum
terjadi kehilangan darah sekitar 200-500 ml. Penurunan volume dan
peningkatan sel darah pada kehamilan diasosiasikan dengan peningkatan
hematokrit dan hemoglobine pada hari ke 3-7 postpartum dan akan
kembali normal dalam 4-5 minggu postpartum (Ambarwati, 2008).
Dalam menjalani adaptasi pada pasca persalinan, ibu akan
mengalami fase sebagai berikut (Ambarwati, 2008; Maulana, 2008;
Suhemi, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
a. Fase Taking in
Fase ini adalah periode ketergantungan yang berlangsung
pada hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat
itu fokus perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri. Pengalaman
selama proses persalinan sering berulang diceritakannya. Hal ini
membuat cenderung ibu menjadi pasif terhadap lingkungannya.
b. Fase taking hold
Periode yang berlangsung antara 3-10 hari setelah
melahirkan. Pada fase ini ibu merasa khawatir akan
ketidakmampuannya dan rasa tanggung jawabnya dalam merawat
bayi. Pada fase ini ibu memerlukan dukungan karena saat ini
merupakan kesempatan yang baik untuk menerima berbagai
penyuluhan dalam merawat diri dan bayinya sehingga timbul
percaya diri.
c. Fase letting go.
Fase ini adalah saat sang ibu menerima tanggung jawab akan
peran barunya yang berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan.
Ibu sudah dapat menyesuaikan diri, merawat diri dan bayinya
sudah meningkat.
4. Perubahan Emosional Pasca Melahirkan
Secara umum terdapat tiga jenis reaksi emosional yang dijumpai
pada perempuan pasca persalinan yaitu Maternity blues atau postpartum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
blues atau baby blues, depresi pasca persalinan (DPP), dan psikosis pasca
persalinan (psikosis puerperal) (Marshall, 2004; Yim, 2009).
Psikosis pasca persalinan bisa dikatakan sebagai bentuk paling berat
dari depresi pasca persalinan karena sudah ditandai dengan adanya
ketidakmampuan membedakan antara realita (kenyataan) dan khayalan.
Tanda dan gejala yang dialami oleh seseorang yang mengalaminya antara
lain adalah waham. Waham adalah keyakinan yang salah (tidak sesuai
dengan kenyataan, budaya dan norma yang berlaku) yang tetap
dipertahankan walaupun telah dikoreksi dan diberikan bukti-bukti. Gejala
lain yaitu terjadinya gangguan atau distorsi persepsi, yang antara lain
berupa ilusi dan halusinasi atau adanya perilaku yang tidak wajar, yang
berupa antara lain gaduh gelisah, marah-marah tanpa sebab, mengamuk,
mencelakai diri sendiri atau orang lain (Marshall, 2004; Hay, 2009).
Gejala dan tanda postpartum blues yang muncul antara lain
meneteskan air mata, semangat yang berkurang, mudah lupa, cemas, emosi
yang berlebihan, semangat yang berubah-ubah, kelelahan, kesulitan
menunjukkan perasaan, ingin merasa sendiri, hampa/tidak dapat
merasakan apa-apa, mudah gugup, terlalu sensitif, emosi yang naik turun,
gelisah, membayangkan sesuatu, menyesal pada diri sendiri, merasakan
sangat sedih, cepat marah, menangis terus menerus, tidak bahagia, tidak
mempunyai harapan, tidak merasa gembira, penurunan konsentrasi,
penurunan keceriaan, berhati-hati/waspada, ketidaknyamanan, tidak
percaya diri, dan merasa tidak tenang (Kennerly, 1989).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Postpartum blues dapat berkembang menjadi depresi pasca
persalinan, dan depresi pasca persalinan juga mampu berkembang menjadi
psikosis pasca persalinan. Dalam hal ini, depresi pasca persalinan
didefiniskan sebagai suatu depresi yang ditemukan pada wanita setelah
melahirkan, yang terjadi dalam kurun waktu 4 hingga 6 minggu. Hal ini
dapat berlangsung hingga beberapa bulan bahkan beberapa tahun bila tidak
diatasi (Dorheim, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
B. Kerangka Berpikir
Ketererangan:
Garis lurus: faktor yang secara langsung mempengaruhi postpartum blues
Garis putus-putus: faktor luar yang tidak dapat dikendalikan yang turut
mempengaruhi postpartum blues.
Pengalaman persalinan
Persalinan spontan Persalinan seksio sesaria
- Perubahan fisik - Perubahan psikologis
1. Nyeri pasca persalinan
2. Perawatan 3. Biaya 4. Penundaan ke
aktivitas normal
1.Nyeri pasca persalinan lebih parah
2.Perawatan lebih lama
3.Biaya lebih mahal 4.Penundaan ke
aktivitas normal lebih lama
Postpartum blues (+)/(-)
Postpartum blues (+)/(-) a. Hormon
b. Kepribadian c. Kondisi
kehamilan d. Riwayat
menyusui e. Sosial ekonomi f. Dukungan suami
dan keluarga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
C. Hipotesis
Kejadian postpartum blues lebih banyak pada persalinan dengan seksio
sesarea dibandingkan persalinan spontan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian
Penelitian yang akan dilakukan merupakan observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional. Dalam penelitian ini, variabel bebas dan
terikat dinilai secara simultan pada saat yang sama. Jadi tidak ada follow up
pada penelitian ini (Arief, 2008).
B. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di UPTD RS Daerah Banjarsari dan Rumah
Bersalin Fitri Candra Wonogiri.
.C. Subjek penelitian
Populasi adalah keseluruhan subjek dalam penelitian (Arikunto,
2002). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien pasca persalinan yang
menjalani rawat inap di Bangsal Perawatan Kebidanan dan Kandungan di RS
Daerah Banjarsari dan Rumah Bersalin Fitri Candra Wonogiri.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah
non random purposive quota sampling, yaitu teknik penentuan sampel
berdasarkan pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti (Sugiono, 2007).
1. Kriteria inklusi
a. Umur 20-35 tahun
b. Jenis persalinan spontan atau seksio sesaria
c. Umur kehamilan aterm (36-42 minggu)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
d. Tidak ada riwayat pengobatan depresi sebelumnya
e. Primipara
f. Apgar Score ≥ 7
2. Kriteria eksklusi
a. Skor L-MMPI > 10
b. Komplikasi obstetri (preeklampsia, plasenta previa)
c. Kelainan konginetal mayor
D. Teknik sampling
Pengambilan sampel dilakukan secara teknik non random purposive
quota sampling. Non random purposive quota sampling adalah suatu cara
pengambilan dari suatu populasi di mana untuk mendapatkan sampel
tersebut, peneliti memberikan kriteria inklusi yang dianggap sesuai dengan
tujuan penelitian. Dalam penelitian ini digunakan 66 pasien dari UPTD RS
Daerah Banjarsari dan Rumah Bersalin Fitri Candra, di mana 33 pasien
dengan persalinan normal dan 33 adalah pasien dengan seksio sesaria.
Berdasarkan dalil rule of thumb jumlah minimal sampel yang dapat
dipertanggungjawabkan secara statistik, sudah disepakati dan merupakan
kelaziman bagi para ahli statistik adalah 30 orang. Jumlah tersebut disetujui
karena sudah mendekati distribusi normal. Dan untuk mengantisipasi
kemungkinan berkurangnya sampel maka digunakan rumus n’ = n/1-L. di
mana n’ = ukuran sampel setelah revisi, n = ukuran sampel asli, L = non
response rate/subjek yang hilang. Bila diantisipasi ada 10% subjek yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
hilang maka didapatkan nilai 33,33, dan dibulatkan menjadi 33 subjek (Murti,
2006). Jadi jumlah sampel 66 dianggap sudah representatif dalam penelitian
ini.
E. Identifikasi variabel
1. Variabel bebas : persalinan spontan dan
seksio sesaria
2. Variabel terikat : postpartum blues
3. Variabel luar :
a. Variabel terkendali : kejujuran.
b. Variabel tidak terkendali : kepribadian, hormon, sosial ekonomi
F. Definisi operasional variabel
1. Persalinan spontan
a. Definisi
Persalinan spontan adalah proses lahirnya bayi dengan presentasi
belakang kepala dengan tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan alat-alat
atau pertolongan istimewa serta tidak melukai ibu dan bayi yang
umumnya berlangsung kurang dari 24 jam (Winkjosastro, 2007).
b. Alat ukur : rekam medik
c. Skala : nominal
2. Persalinan seksio sesarea
a. Definisi
Suatu persalinan buatan di mana janin dilahirkan melalui suatu insisi
pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Winkjosastro, 2007).
b. Alat ukur : rekam medik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
c. Skala: nominal
3. Postpartum Blues
a. Definisi
Suatu keadaan sebagai akibat dari proses melahirkan dan
merupakan suatu transisi perasaan yang dialami perempuan pasca
melahirkan yang umumnya terjadi, yang berlangsung singkat dan
bukan suatu masalah yang serius (Henshaw, 2003).
Alat ukur : kuesioner Blues Questionnaire
b. Cara pengukuran
Pengisian kuesioner Blues Questionnaire dilakukan sendiri oleh
responden dengan didampingi peneliti dan hasil yang diperoleh
akan dinilai dengan skor tertentu.
c. Skala : nominal
G. Instrumen Penelitian
1. Instrumen Lembar persetujuan dan identitas pribadi
2. Skala Inventori Lie Scale Minnesota Multiphasic Personality Inventory
(L-MMPI)
Menurut Graham dalam Handi (2004) instrumen ini digunakan untuk
menguji kejujuran responden dalam menjawab pertanyaan yang ada pada
kuesioner penelitian. Skala L-MMPI berisi 15 butir pernyataan untuk
dijawab responden dengan ”ya” bila butir pertanyaan dalam L-MMPI
sesuai dengan perasaan dan keadaan responden, dan ”tidak” bila tidak
sesuai dengan perasaan dan keadaan responden. Responden dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
dipertanggungjawabkan kejujurannya bila jawaban ”tidak” berjumlah 10
atau kurang.
3. Blues Questionnaire
Kuesioner ini terdiri dari 28 item gejala postpartum blues dengan pilihan
jawaban “Ya” dan “Tidak”. Untuk “Ya” diberi skor 1 dan “Tidak” diberi
skor “0”. Postpartum blues dibagi menjadi 7 kelas, di mana masing
masing kelas jumlah gejalanya tidak sama. Seseorang dianggap
mengalami postpartum blues bila terdapat dua belas gejala dalam
pengisian kuesioner. Blues Questionnaire merupakan alat ukur sistematis
untuk mengetahui gangguan postpartum blues dan telah diuji
validitasnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
H. Protokol penelitian
I. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan
menggunakan uji Chi-Square dan diolah dengan menggunakan Statistical
Product and Service Solution (SPSS) 17 for Windows.
Kuesioner L-MMPI
Persalinan spontan Persalinan seksio sesaria
Sampel
Kuesioner L-MMPI
Blues questionnair Blues questionnair
Postpartum blues
Tidak postpartum
blues
Postpartum blues
Uji Chi-Square
Tidak postpartum
blues
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analtik observational dengan
pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah pasien
pasca persalinan yang menjalani rawat inap di Bangsal Perawatan
Kebidanan dan Kandungan di UPTD RS Daerah Banjarsari dan Rumah
Bersalin Fitri Candra Wonogiri. Pengambilan sampel dilakukan secara
teknik non random purposive quota sampling. Dalam penelitian ini
digunakan 66 pasien di Bangsal Perawatan UPF Kebidanan dan Kandungan
UPTD RS Daerah Banjarsari dan Rumah Bersalin Fitri Candra, di mana 33
pasien dengan persalinan normal dan 33 lainnya adalah pasien dengan
persalinan seksio sesaria.
Dari penelitian yang dilakukan dengan pengambilan data dan
pengisian kuesioner pada pasien persalinan spontan dan persalinan seksio
sesaria diperoleh hasil sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
A. Ciri-ciri Subjek Penelitian
Tabel IV.1 Distribusi Data Responden Berdasarkan Usia
Usia Seksio
sesaria
prosentase Spontan Prosentase
20-29 tahun 28 84,85 % 30 90,91 %
30-35 tahun 5 15,15 % 3 9,09 %
Jumlah 33 100 % 33 100 %
Dari tabel IV. diketahui bahwa berdasarkan usia responden pada
kelompok usia 20-29 tahun pada persalinan seksio sesaria sebanyak 84,85
% sedangkan persalinan spontan sebanyak 90,91 %. Kelompok usia 30-35
tahun sebanyak pada persalinan seksio sesaria sebanyak 15,15 %
sedangkan persalinan spontan sebanyak 9,09 %. Rerata usia persalinan
pada seksio sesaria adalah 25,57 tahun sedangkan pada persalinan spontan
adalah 23,45 tahun.
Tabel IV.2 Distribusi Responden Berdasarkan Penghasilan
Penghasilan Seksio
sesaria
Prosentase Spontan Prosentase
<Rp 1.000.000 9 27,27 % 26 78,79 %
≥Rp 1.000.000 24 72,73 % 7 21,21 %
Jumlah 33 100 % 33 100 %
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Dari tabel IV.2 diketahui jumlah responden yang mempunyai
penghasilan < Rp 1.000.000 pada persalinan seksio sesaria sebanyak 27,27
% sedangkan pada persalinan spontan sebanyak 78,79 %. Responden yang
mempunyai penghasilan ≥ Rp 1.000.000 pada persalinan seksio sesaria
sebanyak 72,73 % sedangkan pada persalinan spontan sebanyak 21,21 %.
Tabel IV.3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Persalinan.
Persalinan Jumlah Prosentase
Spontan
Seksio sesario
33
33
50,00 %
50,00 %
Jumlah 66 100,00 %
Dari tabel IV.3 diketahui jumlah responden dengan persalinan
spontan sebanyak 33 orang (50,00 %) dan responden dengan persalinan
seksio sesaria sebanyak 33 orang (50,00 %).
Tabel IV.4 Distribusi Responden Berdasarkan Postpartum Blues.
Postpartum
Blues
Jumlah Prosentase
Ada
Tidak
28
38
42,40 %
57,60 %
Jumlah 66 100,00 %
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Dari tabel IV.4 diketahui jumlah responden yang ada (mengalami)
postpartum blues sebanyak 28 orang (42,40 %) dan responden tidak
postpartum blues sebanyak 38 orang (57,60 %).
B. Analisis Data.
Untuk mengetahui perbedaan kejadian postpartum blues pada
persalinan seksio sesario dan persalinan spontan uji statistik Chi Kuadrat.
Tabel 5. Tabulasi Silang Hasil Penelitian
Tidak Postpartum Blues
Postpartum Blues
Total
Persalinan SC Count (% of Total)
14 (21.2 %)
19 (28.8 %)
33 (50.0 %)
Persalinan Spontan
Count (% of Total)
24 (36.4 %)
9 (13.6 %)
33 (50.0 %)
Total Count (% of Total)
38 (57.6 %)
28 (41.4 %)
66 (100 %)
Dari penelitian diperoleh hasil pada tabulasi silang responden dengan
persalinan seksio sesaria yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 14
orang (21,2%) dan ada (mengalami) postpartum blues sebanyak 19 orang
(28,8%). Sedangkan responden dengan persalinan spontan yang tidak mengalami
postpartum blues sebanyak 24 orang (36,40%) dan ada (mengalami) postpartum
blues sebanyak 9 orang (13,6%). Dari hasil perhitungan dengan SPSS diperoleh
nilai c² hitung sebesar 6,203 dengan p-value sebesar 0,01, dengan df 1 c² tabel
sebesar 3,8. Oleh karena c²hitung (6,203) > c²tabel (3,8) atau p value (0.01) <
0,05 (a) maka Ho ditolak, sehingga dapat dinyatakan ada perbedaan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
bermakna kejadian postpartum blues pada persalinan seksio sesaria dan persalinan
spontan. Risiko prevalensi pada persalinan seksio sesaria sebesar 2,11 yang berarti
risiko postpartum blues dua kali lebih besar pada persalinan seksio sesaria.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
BAB V
PEMBAHASAN
Pospartum blues terdiri dari 28 gejala yang dibagi menjadi 7 kelas, di
mana masing-masing kelas jumlah gejalanya tidak sama. Seorang dikatakan
mengalami postpartum blues jika terdapat 12 gejala dari 28 gejala yang ada.
Dari tabel IV.5 tabulasi silang hasil penelitian sebagian besar kejadian
postpartum blues dialami pada persalinan seksio sesaria yaitu sebesar 28,80 %
sedangkan pada persalinan spontan sebesar 13,60 %. Hasil penelitian sesuai
dengan penelitian dari Gonidakis (2007), sekitar 71,3 % perempuan yang baru
melahirkan di Yunani mengalami postpartum blues di tiga hari pertama
postpartum.
Persalinan seksio sesaria adalah suatu persalinan buatan di mana janin
dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan
syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram. Selain itu
ada pertimbangan lain yang digunakan sebagai indikasi seksio sesaria yaitu
ibu dengan risiko tinggi persalinan. Komplikasi yang terjadi pada tindakan ini
menyebabkan trauma jaringan baik pada ibu maupun janin. Trauma jaringan
(fisik) pada ibu dapat mengakibatkan nyeri pasca seksio sesaria akut yang
dapat mengganggu kondisi fisik dan psikologis sang ibu. Menurut Patel
(2005) dan Sword (2009) menyatakan bahwa perawatan di rumah sakit yang
lebih lama, biaya yang lebih mahal, serta penundaan ke aktivitas normal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
lebih lama dapat mempengaruhi gangguan psikologis pada ibu, yaitu depresi
pasca persalinan.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Cury (2008), postpartum blues yang muncul pada perempuan
post operatif (SC) terlihat lebih nyata dibandingkan dengan perempuan yang
melahirkan secara normal. Perbedaan sangat nyata terlihat dari waktu
munculnya gejala postpartum blues. Pada perempuan yang melahirkan secara
normal, gejala postpartum blues terlihat memuncak di hari ke tiga dan empat,
sedangkan pada perempuan post SC gejala-gejala postpartum blues muncul
segera setelah operasi dan menghilang secara progresif.
Menurut Iles (1989), perempuan yang menjalani kelahiran dengan SC
lebih berisiko mengalami gangguan mood setelah melahirkan di awal masa
postpartum dibandingkan perempuan yang menjalani persalinan spontan. Hal
tersebut karena stres akibat proses pembedahan yang dilakukan, yang
mengakibatkan perubahan pada sistem endokrin dan psikologis di masa
puerpurium sehingga berakibat berkembangnya postpartum blues yang lebih
nyata terlihat (Stig, 2001).
Postpartum blues yang muncul pada perempuan yang baru melahirkan
karena perubahan hormonal setelah melahirkan, yaitu pengaruh perubahan
hormon estrogen dan progesteron (Kennerley, 1989). Menurut Levy (1987),
pada perempuan post SC, postpartum blues ini muncul karena pengaruh
hormon kortisol. Hormon kortisol ini seperti diketahui meningkat selama
hamil dan setelah operasi yang berakibat pada perubahan mood. Disforia yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
terjadi karena peningkatan hormon kortisol yang menyebabkan hormon
adrenal makin meningkat karena stres. Postpartum blues merupakan disforia
yang terjadi sebagai reaksi akibat dari stres akut setelah mengalami proses
operasi dan karena trauma fisik akibat pembedahan.
Hasil penelitian Isdinawati (2000) menyebutkan kecenderungan depresi
postpartum perempuan primipara lebih tinggi dibandingkan perempuan
multipara. Perempuan primipara belum mempunyai pengalaman dalam
merawat anak sehingga timbul rasa takut dan khawatir melakukan kesalahan
dalam merawat bayi. Begitu pula dalam melakukan tugas sebagai seorang ibu,
wanita primipara merasa bingung, lebih terbebani, dan merasa kebebasannya
berkurang dengan hadirnya seorang anak (Isdinawati, 2000)
Menurut Freudenthal (1999), postpartum blues yang dialami seorang
perempuan setelah melahirkan terjadi karena sedikit atau tidak ada sama
sekali bantuan dalam merawat anak. Hal tersebut dapat terjadi pada setiap
perempuan, baik pada perempuan primipara maupun multipara. Postpartum
blues yang dialami perempuan setelah melahirkan juga disebabkan kurangnya
pengetahuan perempuan yang baru melahirkan terhadap tugas-tugas baru yang
harus dijalani sebagai seorang ibu (Hunker, 2007).
Menurut Fisher (1997) bahwa perempuan yang menjalani seksio sesaria
emergency akan mengalami perasaan gagal dan penurunan harga diri lebih
besar karena tidak dapat melahirkan dengan normal serta tidak memiliki
persiapan sebelumnya. Kelahiran dengan prosedur seksio sesaria emergency
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
akan membawa dampak psikologis yang negatif bagi perempuan setelahnya
dibandingkan perempuan yang menjalani seksio sesaria elektif. Perempuan
yang menjalani seksio sesaria elektif, persiapan telah dipersiapkan
sebelumnya karena mendapat informasi dari tenaga kesehatan. Perempuan
yang menjalani seksio sesaria elektif akan menerima informasi mengenai
proses seksio sesaria, waktu yang dibutuhkan, dan risiko yang kemungkinan
muncul setelahnya dari staf kesehatan sewaktu pemeriksaan antenatal care.
Proses informasi yang diterima akan membuat wanita yang menjalani seksio
sesaria elektif mempersiapkan diri lebih baik secara fisik maupun mental serta
proses penyembuhannya akan lebih cepat dan tidak menimbulkan trauma yang
berat seperti pada wanita yang menjalani seksio sesaria emergency (Churcill,
2005).
Perempuan yang menjalani seksio sesaria emergency tidak mengetahui
sebelumnya bahwa kehamilannya harus diakhiri dengan seksio sesaria.
Pemberitahuan bahwa proses persalinan akan dilakukan dengan seksio sesaria
dilakukan sesaat sebelum proses operasi, sehingga perempuan yang menjalani
seksio sesaria emergency tidak dapat mengantisipasi perasaannya (Churcill,
2005). Perempuan yang mejalani seksio sesaria emergency tidak memiliki
persiapan dan pengetahuan yang cukup mengenai seksio sesaria dan dampak
yang ditimbulkan setelah seksio sesaria. Seorang perempuan yang menjalani
seksio sesaria emergency akan merasa lebih takut akan kematian atau terluka,
takut kehilangan bayinya, serta kehilangan kesadaran seterusnya akibat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
penggunaan anestesi (loss contact with reality) karena tidak pernah terpikirkan
akan melahirkan dengan seksio sesaria sebelumnya (Ryding, 2000).
Trauma akan kelahiran dengan proses operasi tanpa pemberitahuan
sebelumnya merupakan salah satu penyebab postpartum blues. Selain karena
trauma, proses pemisahan dengan bayi yang baru dilahirkan yang belum
diantisipasi sebelumnya membuat kekhawatiran perempuan yang menjalani
seksio sesaria emergency bertambah. Sebagian besar perempuan yang
menjalani SC, mempunyai masalah pada keadaan ibu dan bayinya sehingga
keadaan keduanya setelah proses persalinan akan dipisahkan sampai keadaan
keduanya stabil. Banyak wanita yang merasa cemas dan khawatir dengan
keadaan fisik bayinya (Hunker, 2007).
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Iles (1989) yang dilakukan di RS Oxford, kelas postpartum
blues yang paling dominan pada wanita post operasi adalah kelas retardasi
(retardation) dan kelas kepercayaan diri. Kedua kelas tersebut memuncak di
hari pertama dan kedua, selanjutnya menurun sampai hari ke sepuluh. Hal
tersebut bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Kennerly dan Gath
(1989) menyebutkan, bahwa gejala postpartum blues yang paling sering
muncul pada wanita yang baru melahirkan berada dalam kelas primary blues
dan retardasi di mana masing-masing proporsinya adalah 36 %.
Penelitian Kane melaporkan, bahwa sekitar 64 % perempuan baru saja
melahirkan mengalami kecemasan, depresi, mood yang labil dan kesulitan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
kognitif (kurangnya konsentrasi dan penurunan memori jangka pendek)
(Henshaw, 2003). Penelitian dari Herlina (2008) menyebutkan, sekitar 7 orang
(18,92%) dari 37 orang perempuan postpartum mengalami depresi ringan
(postpartum blues) dengan menunjukkan gejala-gejala seperti kelelahan,
mudah tersinggung dan mudah menangis tanpa alasan yang jelas.
Banyak perempuan yang baru melahirkan mengalami perasaan bahagia
dan disforia dalam waktu bersamaan (Henshaw, 2003). Penelitian dari Cury
(2008) dengan Stein’s Scale menjelaskan, sekitar 50% perempuan mengalami
postpartum blues mengalami gejala mudah meneteskan air mata dan perasaan
sangat sedih. Penelitian dari Okano dan Nomura cit Rohde (1997)
menjelaskan bahwa gejala yang sering muncul di hari ke tiga sampai hari ke
lima antara lain kelelahan, emosi yang naik turun, dan mudah meneteskan air
mata.
Pada penelitian ini didapatkan tingginya gejala ketidaknyamanan,
kelelahan, dan kegelisahan. Penelitian yang dilakukan oleh Levy (1987)
menyebutkan, gejala yang paling banyak muncul pada perempuan post operasi
yang mengalami postpartum blues adalah ketidaknyamanan (89%), kelelahan
(86%) dan kegelisahan (70%) dengan menggunakan Blues Rating
Questionnaire oleh Stein. Ketidaknyamanan disebabkan adanya luka di dearah
pembedahan yang menyebabkan rasa nyeri lebih hebat yang dirasakan
dibandingkan perempuan yang menjalani persalinan normal.
Ketidaknyamanan juga membuat para perempuan post operasi pembedahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
kesulitan untuk melakukan aktivitasnya. Kelelahan terjadi karena beban berat
dialami perempuan selama hamil serta proses kelahiran dengan proses
pembedahan yang membuat seorang perempuan merasa tertekan (Iles, 1989).
Kelelahan juga karena proses kala I yang panjang yang dialami perempuan
sebelum melahirkan, di mana pada nulipara dihabiskan waktu sekitar 8 jam,
sedangkan multipara sekitar 5 jam (Cunningham, 2000).
Sekitar 15-80% perempuan yang sedang berada di masa puerpurium
mengalami perasaan yang sangat sedih dan mudah meneteskan airmata.
Ketidaknyamanan fisik, stres sementara yang dialami setelah melahirkan dan
gangguan psikologis akibat perubahan hormonal yang menyebabkan
munculnya gejala-gejala tersebut. Sering meneteskan air mata dialami sekitar
50-80% perempuan yang baru melahirkan. Perasaan meneteskan air mata ini
merupakan perasaan bahagia atas kelahiran sang bayi dengan selamat dan air
mata yang menetes sering tidak disadari oleh para perempuan (Henshaw,
2003).
Postpartum blues yang muncul di masa puerperium tidak muncul begitu
saja tanpa sebab. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi munculnya
postpartum blues. Menurut Kennerly dan Gath (1989) terdapat hubungan yang
signifikan antara postpartum blues dengan riwayat penyakit obstetrik. Riwayat
penyakit obstetrik yang biasanya ditemukan adalah abortus di awal kehamilan,
adanya penyakit penyerta selama kehamilan, model persalinan yang dilakukan
serta komplikasi yang ditemukan pada ibu dan bayi, seperti kelelahan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
perdarahan pada ibu, serta lilitan tali pusat, jaundice, dan mata yang tidak
dapat membuka (sticky eyes) pada bayi. Keadaan seperti di atas akan
mempengaruhi keadaan emosional perempuan yang mengalaminya dan lebih
rentan mengalami gangguan emosional setelah melahirkan.
Kecemasan selama kehamilan merupakan suatu perasaan yang subjektif
yang dialami perempuan yang penuh tekanan emosional selama kehamilan.
Kecemasan yang dialami lebih sering terjadi di trimester tiga atau menjelang
kelahiran yang berhubungan dengan gangguan emosional perempuan terkait
dengan beban untuk melahirkan (Gonidakis, 2007). Kecemasan dan ketakutan
yang muncul di trimester tersebut di antaranya pikiran bagaimana perempuan
postpartum merespon nyeri selama proses persalinan, kehilangan kontrol dan
emosi, serta khawatir akan keadaan bayi dan dirinya sendiri setelah
melahirkan. Kecemasan selama kehamilan ditunjukkan oleh perasaan mudah
tersinggung, mudah menangis, khawatir, dan sering membayangkan sesuatu.
Pernyataan lain yang memperkuat hubungan antara postpartum blues dengan
riwayat kecemasan selama kehamilan adalah penelitian Henshaw (2003),
menjelaskan bahwa kecemasan yang terjadi selama kehamilan akan
berpengaruh sangat besar pada gangguan emosional setelah melahirkan. Hasil
penelitian mengenai hubungan bermakna antara postpartum blues dengan
kecemasan juga dijelaskan dalam penelitian Murata (1998) dan Adewuya
(2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Dukungan sosial diperlukan perempuan yang baru melahirkan untuk
mengurangi stress dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan dengan
memberikan keamanan, kontak sosial, penerimaan, rasa memiliki serta kasih
sayang (Rutgers, 2003). Dukungan sosial berhubungan dengan seorang
perempuan untuk mengatasi segala macam perubahan yang terjadi setelah
melahirkan. Penerimaan dukungan sosial oleh perempuan di masa postpartum
meliputi perasaan menerima dukungan sosial, keadekuatan dukungan sosial
yang diterima serta kepuasan dukungan sosial yang diterima (Hunker, 2007).
Dukungan dari suami di masa setelah melahirkan sangat penting dalam
masa penyesuaian diri seorang perempuan sebagai seorang ibu. Aspek yang
lain dapat diperoleh dari orang tua, saudara, keluarga besar, serta teman
(Hopkins, 2008). Menurut Rutgers (2003), aspek dalam dukungan sosial
antara lain dukungan instrumental, penghargaan, emosional, dan dukungan
informasional. Dukungan emosional dan instrumental yang cukup dapat
membantu seorang perempuan meningkatkan keadaan fisiknya setelah
melahirkan dan membantu dalam perawatan anak. Dukungan sosial yang
diberikan oleh tenaga kesehatan dan seorang yang membantu proses
persalinan akan sangat berpengaruh terhadap keadaan psikologis perempuan
yang menerimanya (Hopkins, 2008).
Peneliti menyadari bahwa masih terapat hal yang menjadi keterbatasan
dan kelemahan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Waktu pengambilan sampel relatif singkat dan hari postpartum yang tidak
seragam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
2. Beberapa variabel luar belum dapat dikendalikan dalam penelitian ini, yaitu
kepribadian, hormon, pendidikan, agama, dan sosial ekonomi.
3. Dalam pengisian kuesioner peneliti tidak didampingi oleh pihak yang
berkompeten dalam bidang psikiatri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Kejadian postpartum blues lebih banyak pada persalinan dengan seksio sesarea
dibandingkan persalinan spontan. Ada perbedaan yang bermakna kejadian
postpartum blues antara persalinan seksio sesarea dengan persalinan spontan.
Risiko postpartum blues dua kali lebih besar pada persalinan seksio sesaria
dibandingkan persalinan spontan.
B. Saran
1. Perlu dilakukan intervensi khusus seperti penyuluhan dan pendampingan
untuk menurunkan derajat depresi pasca persalinan pada pada perempuan
postpartum.
2. Bagi Rumah Sakit yang bersangkutan disarankan membuat prosedur
pengkajian untuk keadaan psikologis bagi wanita postpartum blues
khususnya pada persalinan seksio sesarea agar dapat mengindentifikasi
gangguan mood postpartum sejak dini
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbedaan postpartum
blues primipara dengan persalinan spontan dan seksio dengan
mengendalikan faktor-faktor luar yang turut mempengaruhi, seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
genetik, kepribadian, hormon, dan sosial ekonomi yang belum dapat
dikendalikan dalam penelitian ini.
4. Sebaiknya dilakukan penelitian pada populasi lain atau yang lebih luas
untuk dapat melakukan generalisasi kesimpulan yang sama dan perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut pula dengan sampel yang lebih besar
untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dan terpercaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
top related