perbandingan antara audiogram pada pasien omsk sebelum dan sesudar terapi operatif
Post on 12-Jan-2016
17 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
PERBANDINGAN HASIL AUDIOGRAM PADA PENDERITA OTITIS MEDIA
SUPURATIF KRONIK SEBELUM DAN SESUDAH OPERASI DI RSPAD GATOT
SUBROTO JAKARTA PADA TAHUN 2013 – 2015
INDRA PRAMANA PUTRA
Kedokteran Umum, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta,
Jl. RS Fatmawati, Pondok Labu, Jakarta Selatan 12450, Telp. (021) 7656971
Homepage : http://www.upnvj.ac.id E-mail : upnvj@upnvj.ac.id
Abstract
Hearing loss is one of common complication for CSOM, as the tympani membrane damaged
and perforated, they are become a disvantageous circumstances to convert sound into
vibrations. As the hearing ability lacked, it will decrease the hearing patient‟s degree. The
condition of hearing loss can be evaluation by audiometry. Management of CSOM can
simultaneously overcome this complication is surgery. The study intend to apprehend results
of an audiogram in patients before and after CSOM operative treatment in RSPAD Gatot
Soebroto Jakarta. The study was an analitycal study with cross sectional design. The total
sample that being used were 35 patients between 18-65 years. It contained 19 males and 16
females. The sample was taken by non-probability sampling technique. Operative therapy
were discussed in this study are combined approach tympanoplasty and mastoidektomi
radical modifications. The obtained data were analyzed by using paired T-test. The results of
the analysis showed a differences in postoperative audiogram results with pre operative with
significant value {p = 0.000 (p <0.05)}, there‟s an increase of average from 64,48 to 51,71 in
post operative. The study approve that surgery is a mainstay of treatment in CSOM
eradication disease and restoration of hearing.
Keywords : Chronic Suppurative Otitis Media, Audiogram, Audiometry
PENDAHULUAN
Otitis media supuratif kronik
(OMSK) adalah inflamasi kronik yang
terdapat pada bagian telinga tengah dan
ruang mastoid disertai pengeluaran cairan
pus (otorea). OMSK merupakan fase
lanjutan dari otitis media akut (OMA)
yang ditandai dengan pengeluaran
discharge yang persisten melalui membran
timpani yang mengalami perforasi. OMSK
rata-rata disebabkan oleh adanya infeksi
Proteus mirabilis (31%) dan Pseudomonas
aeruginosa (26,7%) (Acuin, 2007, p. 2-5).
OMSK diderita oleh 65 - 330 juta
orang di seluruh dunia dengan 39 – 200
juta ( 60% ) diantaranya mengalami
gangguan pendengaran yang signifikan
secara klinis. angka kematian yang terjadi
2
terhadap OMSK adalah 28.000 dari 2 juta
kasus. Lebih dari 90% kejadian OMSK
terjadi di Asia Tenggara, Afrika dan
beberapa etnis minoritas di daerah Pasifik
(Acuin, 2007, p.2-5). OMSK diderita
setiap 9 dari 100.000 orang, dengan 95%
diantaranya disertai kolesteatoma (Morris,
2012, p. 2-7).
Di Indonesia menurut hasil riset
kesehatan dasar (RISKESDAS) yang
dilakukan sejak tahun 2007 menyatakan
bahwa penyebab morbiditas telinga yang
disebabkan sekret dalam liang telinga
terjadi sebanyak 3,8%. Prevalensi
gangguan pendengaran di Indonesia secara
nasional sebesar 2,6% dengan kejadian di
perkotaan lebih tinggi yaitu sebesar 2,2%
jika di bandingkan dengan kejadian di
pedesaan sebesar 0,09% (RISKESDAS,
2013, hm.243). Prevalensi OMSK di
Jakarta menurut hasil penelitian Pasra pada
tahun 2012 mencapai jumlah 3,4% dari
total populasi penduduk, menurut kriteria
Prevalensi OMSK Setiap Negara oleh
WHO Regional Classification jumlah
tersebut termasuk dalam insidensi tinggi
(2-4%) (Pasra, 2012, hlm.1-3). Di RSPAD
Gatot Soebroto sendiri angka kunjungan
pasien OMSK pada tahun 2014 mencapai
jumlah 42 kunjungan pasien OMSK per
bulan (DITKESAD, 2014).
Otitis media merupakan penyakit
yang paling sering menyebabkan gangguan
pendengaran konduktif, yaitu sebesar
13,32% (Ghonaim.M, 2011, p.172-181).
Penurunan fungsi pendengaran merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi,
selain itu OMSK dapat berdampak
terjadinya penyebaran infeksi sehingga
dapat menyebabkan infeksi intrakranial
atau mastoiditis akut (Acuin, 2007, p.2-5).
Untuk mengevaluasi gangguan
pendengaran dapat dilakukan dengan
menggunakan uji audiometri nada murni
atau audiometri tutur (Amundsen, 2010,
p.453-357).
Dampak yang timbul apabila
mengalami gangguan pendengaran terbagi
atas segi fungsi sosial, meliputi gangguan
komunikasi, gangguan perkembangan
apabila terjadi pada anak-anak dalam masa
pertumbuhan, selain itu dalam segi
emosional keterbatasan pendengaran dapat
menyebabkan timbulnya perasaan
kesepian, terisolasi ataupun frustasi. Dari
segi ekonomi, biasanya di negara
berkembang anak-anak dengan gangguan
pendengaran jarang menerima pendidikan
dan orang dewasa dengan gangguan
pendengaran memiliki tingkat
pengangguran yang lebih tinggi ( WHO,
2014).
Proses penyembuhan OMSK ini
membutuhkan waktu yang lama dengan
cara yang bermacam-macam bergantung
pada jenisnya seperti terapi operatif dan
non operatif . Terapi non operatif dipilih
apabila OMSK tergolong tipe aman,
3
sementara untuk OMSK tipe bahaya yang
biasanya disertai gangguan pendengaran
dilakukan pilihan terapi operatif, selain
untuk menyembuhkan OMSK terapi
operatif terbagi menjadi untuk
memperbaiki fungsi pendengaran dan
untuk mencegah komplikasinya (Soepardi
et al, 2007, hlm.69-73).
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di RSPAD
Gatot Soebroto Jakarta pada bulan April
2015. Pengambilan sampel selama 15 hari
didapatkan sejumlah 35 orang. Jumlah ini
adalah jumlah seluruh pasien yang sesuai
dengan kriteria inklusi dan kriteria
eksklusi. Karakteristik sampel penelitian
yang variabelnya dimasukan antara lain
jenis kelamin, usia dan pekerjaan. Berikut
dibawah ini tabel yang menyajikan
gambaran umum mengenai karakteristik
sampel yang telah didapat.
1. Karakteristik Demografik
Jumlah terbesar sampel OMSK di
RSPAD Gatot Soebroto Jakarta adalah pria
yang berjumlah 19 orang (54,3%). Jumlah
terbesar kelompok usia penderita OMSK
di RSPAD Gatot Soebroto adalah 26 – 45
tahun dengan jumlah sampel 19 orang
(53,3%). Mayoritas pekerjaan pasien
OMSK yang datang ke RSPAD Gatot
Soebroto adalah anggota TNI dan PNS
yang masing masing berjumlah 13 orang
(37,1%).
Tabel 1 Hasil karakteristik demografik
pasien OMSK di RSPAD Gatot
Soebroto
Karakteristik Jumlah Persen
(%)
Jenis Kelamin
Pria
Wanita
19
16
54,3 %
45,7 %
Pekerjaan
TNI
PNS
Swasta
Wiraswasta
Ibu Rumah
Tangga
13
13
4
4
1
37,1 %
37,1 %
11,4 %
11,4 %
2,9 %
Usia
17 – 25 tahun
26 – 45 tahun
46 – 65 tahun
7
19
9
20,0 %
53,3 %
25,7 %
Stati
stika
Usia
Rerat
a
Usia
terbanyak
Usia
termuda
Usia
tertua
Standar
Deviasi
37,80 43 19 60 12,54
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang paling banyak
disampaikan oleh penderita OMSK di
RSPAD Gatot Soebroto adalah telinga
berair sebanyak 11 orang (31,4%)
termasuk didalamnya adalah telinga
4
berdarah, telinga berair dan telinga keluar
nanah.
Tabel 2 Hasil keluhan utama pasien
OMSK di RSPAD Gatot Soebroto
Keluhan
Utama
Jumlah Persen
(%)
Telinga Sakit 6 17,1 %
Telinga
Berdengung
4 11,4 %
Telinga Berair 11 31,4 %
Telinga Penuh 5 14,3 %
Pendengaran
Menurun
9 25,7 %
3. Status Lokasi
Status lokasi perforasi terbanyak
yang ditemukan dari pemeriksaan pada
penderita OMSK di RSPAD Gatot
Soebroto adalah perforasi sentral, dimana
letak perforasi berada ditengah, ditemukan
pada 22 pasien (62,9%).
Tabel 3 Hasil status lokasi perforasi
pasien OMSK di RSPAD Gatot
Soebroto
Status Lokasi Jumlah Persen
(%)
Sentral 22 62,9 %
Atik 0 0 %
Marginal 6 17,1 %
Subtotal 7 20,0 %
4. Telinga yang Terkena
Telinga yang paling banyak
dikeluhkan terinfeksi sehingga
menyebabkan OMSK di RSPAD Gatot
Soebroto adalah kedua telinga dengan
jumlah 16 orang (45,7%).
Tabel 4 Hasil lokasi infeksi telinga
pasien OMSK di RSPAD Gatot
Soebroto
Telinga
Terkena
Jumlah Persen
(%)
Telinga
Kanan
8 22,9 %
Telinga Kiri 11 31,4 %
Bilateral 16 45,7 %
5. Jenis Tuli
Jenis tuli yang paling banyak
ditemukan di RSPAD Gatot Soebroto
adalah tuli konduktif dengan jumlah 25
orang (71,4%). Hal ini dilihat berdasarkan
hasil audiogram yang telah dinilai oleh
dokter pemeriksa.
Tabel 5 Hasil jenis Tuli pasien OMSK di
RSPAD Gatot Soebroto
Jenis Tuli Jumlah Persen
(%)
Konduktif 25 71,4 %
Campuran 10 28,6 %
5
6. Jenis Operasi
Tindakan operatif yang paling
banyak dilakukan untuk menangani
penyakit OMSK di RSPAD Gatot
Soebroto adalah combined approach
tympanoplasty (CAT) sebanyak 27
tindakan (77,1%).
Tabel 6 Hasil jenis operasi pasien
OMSK di RSPAD Gatot Soebroto
Jenis Operasi Jumlah Persen (%)
CAT 27 77,1 %
MRM 8 22,9 %
7. Hasil Audiogram
a. Hasil Audiogram Sebelum Operasi
Berdasarkan data audiogram
sebelum terapi operatif yang telah didapat,
didapatkan bahwa penurunan pendengaran
paling banyak didapatkan pada tingkat
sedang sebanyak 15 orang (42,9%).
Tabel 7 Hasil audiogram pasien OMSK
sebelum terapi operatif di RSPAD Gatot
Soebroto
Hasil audigram
sebelum operatif
Jumlah Persen
(%)
Normal 0 0%
Ringan 3 8,6 %
Sedang 15 42,9 %
Berat 14 40,0 %
Sangat Berat 3 8,6 %
Total 35 100,0 %
b. Hasil Audiogram Setelah Operasi
Berdasarkan data audiogram
setelah terapi operatif yang telah didapat,
didapatkan bahwa tingkat audiogram
paling banyak didapatkan pada tingkat
ringan sebanyak 13 orang (37,1%). Dari
hasil ini dapat dilihat adanya peningkatan
pendengaran sebelum dan sesudah
operatif, terbukti dari terjadinya
pergeseran jumlah kelompok audiogram
terbanyaknya. Selain itu dapat dilihat pula
adanya penurunan jumlah pasien pada
kategori sengat berat, berat dan sedang.
Tabel 8 Hasil audiogram pasien OMSK
pasca terapi operatif di RSPAD Gatot
Soebroto
Hasil audigram
sebelum operatif
Jumlah Persen
(%)
Normal 1 2,9 %
Ringan 13 37,1 %
Sedang 11 31,4 %
Berat 9 25,7 %
Sangat Berat 1 2,9 %
Total 35 100,0%
Hasil Analisis Bivariat
Hasil analisis bivariat berupa
perbandingan hasil audiogram pasien
OMSK sebelum dan sesudah melakukan
terapi operatif di RSPAD Gatot Soebroto
dengan menggunakan uji T-test.
6
Uji T-test berpasangan Hasil Audiogram
Sebelum dan Sesudah Operatif
Pada penelitian ini, meneliti
mendapatkan data numerik yang
berdistribusi normal sehingga digunakan
Uji T-test berpasangan untuk mengetahui
perbedaan hasil audiogram sebelum dan
sesudah terapi operatif. Dari hasil nilai
rata-rata dapat terlihat perbedaan hasil
audiogram sebelum dan sesudah yang
cukup signifikan. Hasil uji T-test dengan p
–value uji dua sisi menunjukan hasil p
sebesar 0,000. Sementara peneliti
melakukan uji satu sisi (one tailed) maka
hasil nilai p dibagi dua ( 0,000
/2 ) = 0,000
Nilai p – value untuk uji satu sisi < 0,05
maka menjadi bukti kuat untuk menolak
H0.
Tabel 9 Hasil uji T-test nilai audiogram
pasien OMSK sebelum dan sesudah
terapi operatif di RSPAD Gatot
Soebroto
Hasil
Audiogram Rerata P
Nilai Audiogram
Sebelum
64,48 0,000
Nilai Audiogram
Sesudah
51,71
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini didapatkan
sampel penelitian berjenis kelamin pria
sebanyak 19 orang (54,3%) dan berjenis
kelamin wanita sebanyak 16 orang
(45,7%). Sedangkan pada penelitian
sebelumnya oleh Asroel pada tahun 2013
didapatkan bahwa pria berjumlah 64 orang
(53,78%) dan wanita sebanyak 55 orang
(46,22%) (Asroel et al, 2013, hlm.567-
570). Sehingga dapat disimpulkan sampel
penelitian keduanya sejalan karena sama-
sama memperoleh sampel pria dengan
jumlah yang lebih banyak dikarenakan
faktor risiko pria yang lebih besar 2,50 kali
untuk terkena infeksi telinga tengah
dibandingkan wanita. Hal ini dikarenakan
aktivitas pria lebih banyak dilakukan
diluar rumah sehingga kemungkinan risiko
terinfeksi lebih tinggi dibanding wanita
yang lebih banyak beraktivitas di dalam
ruangan (Umar, 2013, hlm.47-64).
Pada penelitian ini didapatkan usia
termuda pasien OMSK yang melakukan
terapi operatif adalah 19 tahun, sementara
usia tertua adalah 60 tahun. Diketahui pula
usia terbanyak adalah 43 tahun. Sementara
jumlah terbesar kelompok usia penderita
OMSK di RSPAD Gatot Soebroto adalah
26 – 45 tahun dengan jumlah sampel 19
orang (54,3%). Hal ini berbeda dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Asroel pada tahun 2013 yakni didapatkan
kelompok usia sampel terbanyak adalah
7
11- 20 tahun sebanyak 38 orang (31,93%)
(Asroel et al, 2013, hlm.567-570). Begitu
pula dengan hasil penelitian Sengupta
yang mengatakan prevalensi tertinggi ada
pada usia 11- 20 tahun (37,5%), sementara
prevalesi terbanyak kedua ada pada
kelompok usia 21- 30 tahun (35%)
(Sengupta et al, 2010, p.171-176).
Sehingga dapat disimpulkan distribusi
karakteristik usia berbeda walaupun tidak
signifikan, perbedaan ini dikarenakan
peneliti tidak mengambil data apabila usia
pasien kurang dari 18 tahun, karena
menurut verhoeff tindakan operatif yang
dilakukan pada masa sebelum pubertas
insiden kegagalan tindakan operasinya
lebih tinggi. Peneliti juga mengeksklusikan
usia lebih dari 65 tahun untuk
mengurangin faktor perancu antara
penuruan pendengaran akibat OMSK atau
penurunan pendengaran fisiologis akibat
pertambahan usia (Verhoeff et al, 2006,
p.1-8).
Pasien terbanyak ada pada kategori
usia 26 – 45 tahun karena kategori ini
merupakan kategori usia produktif
sehingga merupakan salah satu faktor
risiko terpapar infeksi kuman di saat
aktifitas, selain itu infeksi juga dapat
dipengaruhi oleh faktor status sosial
ekonomi yang rendah atau adanya infeksi
kronis yang tidak diobati secara adekuat
(Dewi et al, 2009, hlm.1-5).
Mayoritas pekerjaan pasien OMSK
yang datang ke RSPAD Gatot Soebroto
adalah anggota TNI dan PNS yang
berjumlah 13 orang (37,1%). Hal ini
dikarenakan RSPAD merupakan rumah
sakit pusat dan rujukan tertinggi bagi
rumah sakit TNI. Hal ini dibuktikan
dengan didapatkannya data sampel pasien
yang berasal dari tempat yang berbeda dan
jauh seperti Bengkulu, Kalimantan,
Maluku, Aceh dan lain - lain. Selain itu
sesuai dengan misi RSPAD Gatot
Soebroto tahun 2014 yaitu memberikan
pelayanan kesehatan yang bermutu secara
menyeluruh untuk prajurit PNS TNI AD
serta masyarakat (DITKESAD, 2014).
Keluhan utama yang paling banyak
diutarakan oleh pasien adalah telinga
berair, dimana hal ini diutarakan oleh 11
orang (31,4%). Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian sebelumnya oleh Yazdi, yaitu
keluhan terbanyak adalah adanya ear
discharge sebanyak 85 orang (68%)
(Yazdi, 2011, p.37-41). Keluhan ini
disebabkan oleh infeksi telinga tengah
yang selanjutnya akan menimbulkan reaksi
inflamasi dan menyebabkan keluarnya
cairan dari telinga sebagai hasil dari
inflamasi tersebut (Shaikh et al, 2010,
p.362).
Status lokasi perforasi terbanyak
menurut data RSPAD Gatot Soebroto
adalah perforasi sentral dengan jumlah 22
8
orang (62,9%). Hal ini sesuai dengan
penelitian Kamran et al yang menyatakan
letak perforasi terbanyak adalah perforasi
sentral yaitu sebanyak 82 orang (43,15%)
(Kamran et al, 2011, p.189-193). Penyebab
banyaknya perforasi sentral belum dapat
diketahui secara pasti (Dewi, 2009, hlm.1-
5).
Telinga yang paling banyak
terinfeksi adalah kedua telinga (bilateral)
dengan jumlah penderita 16 orang
(45,7%), sementara untuk infeksi
terbanyak kedua ada pada infeksi pada
telinga kiri didapatkan sejumlah 11 orang
(31,4%). Hal ini tidak sejalan dengan hasil
penelitian sebelumnya oleh Dewi yang
mendapatkan telinga yang paling banyak
terinfeksi adalah telinga kanan dengan
jumlah 9 subjek (39,1%) dan bilateral 8
subjek (34,8%). Penyebab tingginya
insidensi OMSK pada bagian telinga
tertentu masih belum diketahui secara pasti
(Dewi, 2009, hlm.1-5).
Jenis tuli konduktif merupakan
komplikasi dari OMSK yang paling
banyak ditemukan di RSPAD Gatot
Soebroto adalah dengan data 25 orang
(71,4%) disusul dengan tuli campur
dengan jumlah 10 orang (28,6%). Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Asroel di
tahun 2013 yang menemukan bahwa tuli
konduktif merupakan komplikasi tersering
dengan jumlah 70 orang (58,82%) disusul
dengan tuli campuran dengan jumlah 29
orang (24,37%). Selain itu pada penelitian
lain di India dan Bangladesh juga
mengemukakan bahwa tuli konduktif
merupakan jenis tuli tersering pada
komplikasi OMSK dengan jumlah 90,0%
dan 93,62% (Asroel, 2013, hlm.567-570).
Tuli konduktif pada OMSK disebabkan
adanya gangguan hantaran suara, dalam
hal ini dikarenakan perforasi yang ada
pada membran timpani di telinga tengah
atau akibat adanya sekret hasil dari proses
inflamasi yang ada di telinga tengah
(Soepardi,2007, hlm.22).
Pada penelitian ini, peneliti ingin
meneliti hubungan audiogram dan terapi
operatif sehingga data jenis terapi operatif
disesuaikan dengan tujuan pengobatan
untuk menyembuhkan penyakit dan juga
memperbaiki pendengaran. Dari kriteria
tersebut didapatkan bahwa jenis operasi
yang paling banyak dipilih adalah
Combined approach tympanoplasty (CAT)
didapatkan sebanyak 27 tindakan (77,1%)
dan mastoidektomi radikal dengan
modifikasi (MRM) didapatkan sebanyak 8
tindakan (22,9%). Hal ini tidak sejalan
dengan hasil penelitian sengupta yang
menemukan bahwa tindakan terbanyak
yang dilakukan untuk OMSK adalah wall
down dimana diantaranya terdapat
mastoidektomi radikal dengan modifikasi
dengan jumlah 25 tindakan (62,5%)
9
(Sengupta et al, 2010, p.171-176). Hal ini
dikarenakan pada penelitian sebelumnya
sengupta hanya meneliti OMSK tipe
bahaya (maligna), sementara pada
penelitian kali ini tipe bahaya dan tipe
aman diteliti keduanya dan CAT dapat
dilakukan untuk mengobati tipe aman dan
tipe bahaya, sementara MRM hanya
dilakukan dengan tujuan mengobati
OMSK tipe bahaya saja (Soepardi et al,
2007, hlm.71-74).
Hasil audiogram sebelum tindakan
operatif, didapatkan jumlah terbanyak ada
pada kategori sedang dengan jumlah 15
orang (42,9%). Hasil ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya oleh sengupta pada
tahun 2010 yang mendapatkan penurunan
pendengaran terbanyak ada pada kategori
moderate hearing loss (sedang) (Sengupta,
2010, p.171-176). Sesuai dengan
penelitian sebelumnya oleh Acuin pada
tahun 2007 yang menyatakan bahwa
penurunan fungsi pendengaran adalah
komplikasi yang paling sering terjadi dari
OMSK (Acuin, 2007, p.2-5). Penurunan
pendengaran pada OMSK terjadi akibat
perforasi dan adanya sekret sehingga
terhambatnya hantaran udara yang
menyebabkan terjadinya penurunan
pendengaran (Soepardi, 2007, hlm.22).
Hasil audiogram setelah tindakan
operatif didapatkan jumlah terbanyak ada
pada kategori ringan dengan jumlah 13
(37,1%). Hal ini tidak sejalan dengan
penelitian sengupta yang mendapatkan
hasil pasca operasi terbanyak adalah
kategori moderate hearing loss (Sedang)
(Sengupta, 2010, p.171-176).
Berdasarkan hasil uji T-test terlihat
peningkatan nilai rata-rata dari hasil
audiogram dimana yang awalnya 64,48
menjadi 51,71 terjadi perubahan yang
signifikan. Uji t-test juga disertai dengan
nila P = 0,000 sehingga dapat disimpulkan
menolak H0 dan terdapat perbaikan hasil
audiogram pasca terapi operatif. Hasil ini
sejalan dengan hasil penelitian Sengupta
yang juga mendapatkan perbaikan derajat
pendengaran pasca tindakan operatif
sebanyak 14 kasus (35%) (Sengupta, 2010,
p.171-176).
Membran timpani berfungsi untuk
mengubah gelombang suara menjadi
getaran untuk kemudian menggetarkan
tulang pendengaran, sehingga apabila
terjadi perforasi pada membran timpani
akibat penyakit OMSK maka akan
mengganggu fungsi fisiologisnya sehingga
gelombang suara yang dirubah menjadi
getaran pun menjadi tidak maksimal dan
tulang pendengaran tidak bergetar
sebagaimana mestinya (Sherwood, 2011,
hlm.176-185). Hal ini akan berdampak
pada kinerja organ pendengaran yang akan
menurun fungsinya. Tindakan operatif
bertujuan untuk eradikasi penyakit sebagai
10
tujuan primernya serta untuk memperbaiki
atau memodifikasi anatomi
timpanomastoid sehingga fungsi
pendengaran dapat membaik dibanding
sebelumnya (Edward, 2011, hlm 1-5).
Pada mastoidektomi radikal dengan
modifikasi yang dilakukan adalah seluruh
rongga mastoid dibersihkan dan dinding
posterior liang telinga direndahkan. Tujuan
operasi adalah untuk membuang semua
jaringan patologik dari rongga mastoid dan
mempertahankan pendengaran yang masih
ada (Amaleen, 2011, hlm.1-10). Pada
teknik mastoidektomi radikal modifikasi
yang perlu diperhatikan adalah kemiringan
tulang dan pengangkatan ujung mastoid
untuk memungkinkan jaringan lunak
menggantung untuk mendorong timbulnya
migrasi epitel sehingga menghasilkan
rongga yang kecil (Edward, 2011, hlm.1-
5).
Pada Combined approach
tympanoplasty juga dilakukan untuk
menghilangkan penyakit pada telinga
tengah disertai rekonstrusi kembali
membran timpani, sehingga pendengaran
yang menurun akibat perforasi dapat
membaik. Prognosis perbaikan fungsi
pendengaran juga dipengaruhi beberapa
faktor yang tidak bisa dikendalikan oleh
peneliti seperti adanya penyakit penyulit
(diabetes melitus, hipertensi), kemampuan
dokter yang melakukan tindakan operatif,
adanya komplikasi (mastoiditis, labirinitis)
sehingga dapat menyebabkan perbaikan
pendengaran pasca operatif yang tidak
signifikan atau bahkan justru
memperburuk derajat pendengaran
(Soepardi, 2007, hlm.71-74).
Hal lain yang juga mempengaruhi
hasil derajat audiogram pasca terapi
operatif adalah pemeriksaan audiogram itu
sendiri, yang dipengaruhi oleh alat (harus
terkalibrasi), ruangan (harus kedap suara),
operator audiogram dan juga gangguan
lainnya seperti penggunaan anting dan
kacamata yang bisa mengganggu proses
pemeriksaan (Admusend, 2010, p.453-
457).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
terhadap pasien OMSK di RSPAD Gatot
Soebroto Jakarta dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
a. Gambaran karakteristik
demografik dari sampel
penderita OMSK di RSPAD
Gatot Soebroto Jakarta
didapatkan jumlah terbesar
adalah pria berjumlah 19 orang
(54,3%) dan jumlah terbesar
kelompok usia adalah
kelompok usia 26 – 45 tahun
berjumlah 19 orang (54,3%),
serta mayoritas pekerjaan dari
11
penderita OMSK yang datang
adalah sebagai anggota TNI
dan PNS sebanyak 13 orang
(37,1%).
b. Gambaran karakteristik OMSK
yang ditemukan di RSPAD
Gatot Soebroto Jakarta
didapatkan keluhan utama
paling banyak pada telinga
berair yang dikeluhkan oleh 11
orang (31,4%). Status lokasi
perforasi terbanyak pada bagian
sentral membran timpani
sebanyak 22 orang (62,9%).
OMSK paling banyak
mengenai kedua telinga
(bilateral) sebanyak 16 orang
(45,7%). Jenis tuli paling
banyak adalah tuli konduktif
sebanyak 25 orang (71,4%),
serta tindakan operatif yang
paling banyak dipilih adalah
combined approach
tympanoplasty (CAT) sebanyak
27 tindakan (77,1%).
c. Terdapat penurunan nilai rata-
rata audiogram sebelum
tindakan operatif sebesar 64,48
menjadi 51,71 hal ini
menandakan adanya perbaikan
derajat pendengaran ( p =
0,0000).
DAFTAR PUSTAKA
Acuin, Jose. 2007. „Chronic Suppurative
Otitis Media‟, Philipines: De La
Salle University, diakses tanggal
28 April 2014,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/a
rticles/PMC2943814/
Amaleen, Syafeefah. 2011. Gambaran
Penderita Otitis Media Supuratif
Kronis di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik pada tahun
2009. Medan: FkUSU. Hlm. 1-10.
Amundsen, Gerarld A. 2010. Pfenninger
and fowler’s procedure’s for
primary care. Elsevier Health
Sciences, pp. 453- 457.
Asroel, H.A. 2013. Profil Penderita Otitis
Media Supuratif Kronis. Indonesia:
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Hlm.
567 – 570.
Boies, L.R. 2012. Buku Ajar Penyakit
THT, Edisi 6. Indonesia: EGC.
Dahlan, Sopiyudin. 2012. Besar Sampel
dan Cara Pengambilan Sampel
dalm Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan. Jakarta : Penerbit
Salemba Medika.
Dahlan, Sopiyudin. 2013. Statistik untuk
Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta
: Penerbit Salemba Medika.
Dewi NP, Zahara D. 2009. Characteristic
of Chronic Suppurative Otitis
Media at H. Adam Malik Hospital
Medan. Medan: FKUSU. Hlm. 1-5.
12
DITKESAD. 2014. Diakses tanggal 02
Mei 2015 dari situs
http://www.rspadgatsu.com.
Edward Yan, Mulyani Sri. 2001.
Penatalaksanaan Otitis Media
Supuratif Kronik Tipe Bahaya.
Padang: Bagian Ilmu Telinga,
Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala
dan Leher Universitas Andalas.
Hlm. 1-5.
Ganong, William F. 2005. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran, Edisi 20.
EGC, 2008.
Iqbal Kamran, Khan Muhammad Ismail,
Satti Luqman. 2011. Microbiology
of Chronic Suppurative Otitis
Media: Experience at Dera Ismail
Khan. In: Gomal Journal of
Medical Sciences, Vol.9, No. 2, pp
189-193.
Kolo, E.S. 2012. Sensorineural Hearing
Loss in Patients with Chronic
Suppurative Otitis Media. India:
Association of Otolaryngologists of
India, pp 59 – 61.
Lee, Qureishi A. 2014. Update on otitis
media – prevention and treatment.
Pubmed, Vol7, January 2014, pp
15 - 24
Mabrouk M. Ghonaim.2011. Risk Factors
and Causative Organisms of Otitis
Media in Children Ibnosina J Med
BS 2011,3(5):172-181.
Morris, Peter. 2012. „Chronic suppurative
otitis media‟, BMJ Clin Evid.
2012; 2012: 0507, diakses pada
tanggal 1 Oktober 2014,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/
articles/PMC3412293/
Pasra,YW. 2012. Prevalensi Otitis Media
Supuratif Kronik di Jakarta.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Hlm. 1-62
Periasamy, Premraj. 2011. Gambaran
Karakteristik Penderita Otitis
Media Supuratif Kronik yang
dirawat inap di Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik,
Medan Tahun 2009. Medan:
FKUSU. Hlm. 3-10.
Prakash R, Juyal D, Negi V, Pal S,
Adekhandi S, Sharma M, et al.
Microbiology of chronic
suppurative otitis media in a
tertiary care setup of uttarakhand
state, India. North Am J Med Sci
2013;5:282-7.
RISKESDAS. 2013. Riset Kesehatan
Dasar. Indonesia. Hlm. 243
Sastroasmoro, Sudigdo. 2010. Dasar-
dasar Metodologi Penelitian Klinis
Edisi 4. Jakarta : Sagung Seto.
Sengupta, Arunabha. 2010. A Study of
Surgical Management of Chronic
Suppurative Otitis Media with
Cholesteatoma and it’s Outcome.
India: Indian J Otolaryngol Head
Neck Surg. 62(2):171–176; DOI:
10.1007/s12070-010-0043-3
Shaikh, M.D. 2010. Diagnosing Otitis
Media – Otoscopy and Cerumen
Removal. New England: N Engl J
Med 2010;362:e62.
Sherwood, Lauralee. 2009. Fisiologi
Manusia : dari Sel ke Sistem. Edisi
6. Jakarta: EGC,2011
Soepardi, E.A. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung
13
Tenggorok Kepala dan Leher edisi
6. Jakarta: FKUI
Sulabh, B., Tarun, O., Suresh, K., Amit, S.
& Pratibha, V. (2013) Changing
Microbiological Trends in Cases of
Chronic Suppurative Otitis Media
Patients. IJCRR, 5 (15), pp 76-81.
Umar, Sakina. 2013. Prevalensi Otitis
Media Akut pada Anak-anak di
Kota Madya Jakarta Timur.
Jakarta: FKUI. Hlm. 47- 64.
Verhoeff, M. 2005. Chronic Suppurative
Otitis Media: A Review.
Netherlands: International Journal
of Pediatric Otorhinolaryngology,
pp 1 – 8.
World Health Organization, 2004.
„Burden of Illness and
Management Options‟, Geneva,
Switzerland 2004. Diakses tanggal
28 Mei 2014 dari situs
http://www.who.int/neglected_dise
ases/diseases/otitis/en/
World Health Organization, 2014.
„Neglected Tropical Disease‟.
Diakses tanggal 28 Mei 2014 dari
situs
http://www.who.int/neglected_dise
ases/diseases/otitis/en/
Yazdi, A.K. 2011. Association Between
Audiometric Profile and
Intraoperative Findings in Patients
with Chronic Suppurative Otitis
Media. Iran: Otolaryngology
Research Center, Imam Khomeini
Hospital, Tehran University of
Medical Sciences, pp 37 – 41.
top related