peranan omeprazole dalam mengatasi stress ulcer
Post on 31-Mar-2016
229 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAGIAN ILMU BEDAH TINJAUAN PUSTAKA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
PERANAN OMEPRAZOLE INJEKSI DALAM MENGATASI STRESS ULCER
(TINJAUAN PUSTAKA)
Oleh
Annas Ahmad
Dibuat Dalam Rangka
LOMBA KARYA TULIS ILMIAH
BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
BEKERJASAMA
DARYA VARIA LABORATORIA
MAKASSAR
2012
PERANAN OMEPRAZOLE INJEKSI DALAM MENGATASI STRES ULCER (TINJAUAN PUSTAKA)
Annas Ahmad Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar
ABSTRACT
Stress ulcers are the most frequently found in critically ill patients and or post surgery.
Hypersecretion of gastric acid and mucosal ischemia due to physiological stress plays an important
role in the occurrence of stress ulcer. Routine prophylaxis should be reserved for critically ill
patients at high risk for stress-related mucosal damage (SRMD), an erosive process of
gastroduodenal associated with abnormally high physiological demands. Choice of drug use stress
ulcer prophylaxis has been widely introduced among Sucralfate, antacids and histamine H2
receptor antagonists (H2RAs). Previous H2RAs most widely used as stress ulcer prophylaxis
agents, however, some recent research says that the proton pump inhibitor (PPI) have significant
efficacy in the maintenance and reduction of gastric aciditas and at reasonable cost. As a result,
and after the intravenous formulation, PPI began to be used for the prophylaxis of SRMD in
critically ill adults. The high prevalence of decreased kidney function and liver in the ICU population,
as well as the need for drugs that many patients, means that the consideration of the
characteristics of the pharmacokinetics and potential drug interactions is very important in choosing
a prophylactic agent. This review seeks to present evidence that can inform pharmacological role
as an agent injection PPI omeprazole in preventing stress ulcer.
Key words : Stress ulcer, Omeprazole, PPI, Prophylaxis
ABSTRAK
Stres ulcer adalah kasus yang sering ditemukan pada pasien-pasien kritis dan atau pasca bedah.
Hipersekresi asam lambung dan terjadinya iskemia mucosa akibat tekanan fisiologik sangat
berperan dalam terjadinya stress ulcer. Profilaksis secara rutin harus disediakan untuk pasien sakit
kritis yang berisiko tinggi untuk stres yang berhubungan dengan kerusakan mukosa (SRMD),
sebuah proses erosif dari gastroduodenum yang terkait dengan tuntutan fisiologis abnormal tinggi.
Pilihan pemakaian obat-obat profilaksis stress ulcer telah banyak diperkenalkan diantaranya
sukralfat, antasid dan antagonis reseptor histamin H2 (H2RAs). H2RAs sebelumnya paling banyak
digunakan sebagai agen profilaksis stress ulcer, namun beberapa penelitian terbaru menyebutkan
bahwa proton pump inhibitor (PPI) memiliki efektivitas yang signifikan dalam pemeliharaan dan
penurunan tingkat aciditas lambung dan dengan biaya murah. Akibatnya, dan setelah adanya
formulasi intravena, PPI mulai menjadi digunakan untuk profilaksis SRMD pada orang dewasa
yang sakit kritis. Tingginya prevalensi penurunan fungsi ginjal dan hati pada populasi di ICU, serta
kebutuhan obat yang banyak pada pasien, berarti bahwa pertimbangan karakteristik farmakokinetik
dan potensi interaksi obat sangat penting dalam memilih agen profilaksis. Ulasan ini berusaha
untuk menyajikan bukti farmakologis yang dapat menginformasikan peranan omeprazole injeksi
sebagai agent PPI dalam mencegah terjadinya stress ulcer.
Kata Kunci : Stres ulkus, Omeprazole, PPI, Profilaksis
Pendahuluan
Stres ulcer adalah suatu erosi superfisial akut dari mukosa gaster yang terjadi
sekunder akibat stres fisiologis yang dialami penderita. Istilah ini pertama kali digunakan
oleh Hans Selye pada tahun 1936. Istilah lain yang sering digunakan adalah gastritis
erosiva, gastritis hemoragika, erosi gaster dan perdarahan akibat stres (stress related
bleeding). Karena erosi mukosa gaster umumnya terjadi dibagian superfisialnya saja,
maka manifestasi utama dari tukak peptik adalah perdarahan. 1,2
Insidensi stres ulcer dalam 20 tahun terakhir ini menurun drastis, dari 20-30%
menjadi 1,5-14%. 3 Ini disebabkan karena semakin baiknya pengelolaan penderita di
ruang intensif serta penggunaan berbagai regimen profilaksis stress ulcer seperti
antasida, antagonis-H2 dan juga sucralfate. 1,3,4
Patofisiologi
Berbagai uji klinis dan eksperimental membuktikan bahwa stres ulcer terjadi akibat
lebih dominannya faktor agresif (HCl, pepsin, asam empedu) dari pada faktor - faktor
defensif mukosa (mucin, bikarbonat, mikrosirkulasi dan motilitas). Akibatnya terjadilah
kerusakan dari barier mukosa gaster. Faktor utama yang mendasari kejadian tersebut
adalah iskemia mukosa akibat dari berbagai ruda paksa yang dialami penderita seperti
cedera kepala, luka bakar, sepsis dan syok. 2 Adanya hipoksia mengakibatkan asidosis
seluler dan dilepaskannya radikal bebas oksigen, fosfolipase dan protease sehingga
terjadi cedera membrana plasma dan nekrosis sel.
Stres fisiologis juga meningkatkan asam lambung sehinggga pH-nya mencapai
dibawah 3,5. Rendahnya pH tersebut akan mengaktifkan pepsin dan terjadi difusi balik
ion H+ menembus barier mukosa, sehingga mengakibatka erosi dari mukosa.5 Kivillaakso
et al membuktikan bahwa bila pH dipertahankan > 7 maka asidosis intraseluler dan erosi
mukosa dapat dicegah.1 Dikatakan bahwa hipersekresi asam ini sangat jelas terjadi pada
penderita denga cedera kepala (Cushing’s ulcer) dan luka bakar (Curling’s ulcer),
varian-varian dari stress ulcer. Pada kedua tipe ulkus ini lesi umumnya tunggal,
penetrasi lebih dalam bahkan sampai seluruh ketebalan, dan cendrung jadi kronis. 1,2,3
Sekalipun faktor asam lambung berperan penting pada stress ulcer, Silen (1987)
menemukan fakta bahwa kebanyakan penderita tidak mengalami hipersekresi asam,
melainkan normal atau bahkan menurun. Berdasarkan study evidence based medicine,
ternyata tidak ada bukti yang memperkuat dugaan bahwa hipersekresi asam
memuncak pada kejadian stress ulcer. 2
Disamping faktor-faktor diatas, perlu dipertanyakan juga sejauh mana peran
Helicobacter pylori pada tukak stres. Berdasarkan penelitian dari Robertson et al (1999),
disimpulkan bahwa ternyata H. pylori tidak meningkatkan resiko terjadinya tukak
stres secara signifikan.5 Menurut Halm et al (2000), adanya H. pylori ternyata tidak
berhubungan secara langsung dengan perdarahan saluran cerna pada penderita-
penderita paska bedah. Oleh sebab itu eradikasi profilaksis terhadap H. pylori tidak
perlu dilakukan.1
Secara patologis stres ulcer berbeda dengan tukak peptik. Pada stres ulcer lesi
yang terjadi kebanyakan di fundus, berupa erosi superfisial dan multipel yang tidak
menembus batas epitel. Manifestasi klinis pada umumnya adalah perdarahan. Menguy
(1981) telah membuktikan bahwa ATP mukosa gaster mengalami penurunan pada syok
hemoragis. Bagian lambung yang paling banyak mengalami penurunan ATP adalah di
fundus, tempat predileksi stress ulcer.1 Sebaliknya, pada tukak peptik terjadi defek
mukosa fokal yang disertai infiltrasi sel-sel inflamasi dan nekrosis koagulasi yang
menembus sapai muskularis mukosa. Lokasi tersering tukak peptik adalah pada zona
transisi antara korpus–antrum dan gaster-duodenum. Tukak peptik tidak jarang
mengalami perdarahan atau bahkan perforasi. 1,4
Faktor resiko
Berdasarkan pengamatan klinis, evaluasi stress ulcer seyogyanya didasarkan atas
endpoint dari stress ulcer, yaitu ada tidaknya perdarahan saluran cerna. Ben-Menachem
et al (1994) melaporkan bahwa kejadian clinically important bleeding (CIB) di ruangan
intensif adalah 6%, namun laporan-laporan lainnya berkisar antara 0,1–39%.1 Dengan
semakin baiknya metoda dan sarana penanganan tukak stres, insidensi perdarahan
saluran cerna pada penderita yang dirawat di ruang intensif juga makin menurun.
Agaknya ada beberapa kondisi yang secara dominan menjadi faktor resiko kejadian
tersebut. Cook et al (1994), berdasarkan analisa statistik, mendaftarkan berbagai
faktor resiko tersebut, yaitu:
gagal nafas
koagulopati
hipotensi
sepsis
gagal hati dan ginjal
pemberian glukokortikoid dan antikoagulansia
diet enteral, dan
transplantasi organ. 2
Namun dari kesemuanya itu, faktor terpenting adalah pemakaian ventilator yang
lebih dari 48 jam, dan adanya koagulopati. 4
Diagnosis
Seperti telah disinggung diatas, evaluasi tukak peptik didasarkan atas ada tidaknya
perdarahan saluran cerna pada penderita kritis yang dirawat di ruang intensif. Sebab
pemeriksaan darah samar (guaiac test) terhadap aspirat lambung tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara klinis, karena tidak sensitif dan juga tidak spesifik.
Dewasa ini yang dianut adalah adanya perdarahan yang nyata (overt bleeding) dan
clinically important bleeding.1 Adapun kriteria dari kedua parameter tersebut adalah
a. Overt bleeding (OB) didefinisikan : adanya hematemesis, melena,
hematokesia, atau aspirasi darah dari selang lambung.
b. Clinically important bleeding (CIB) : yaitu, adanya perdarahan yang
(1) disertai penurunan tekanan darah sampai 20mmHg dalam 24 jam, dan
(2) adanya gejala ortostatik berupa perubahan detak jantung 20 x per menit
atau penderita memerlukan transfusi darah. 1,3
Pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard untuk menegakkan diagnosis
stress ulcer. 1,3 Melalui endoskopi, Rausser et al (1990) menemukan bahwa 70-100%
penderita kritis di ICU mengalami erosi mukosa dalam 24 jam setelah cedera. Sekalipun
demikian, kebanyakan penderita tetap asimtomatis. Karena bersifat lebih invasif dan
mahal, maka dewasa ini endoskopi hanya dianjurkan pada penderita kritis yang
mengalami CIB. Tujuannya adalah untuk identifikasi sumber perdarahan dan
menyingkirkan penyebab yang lain seperti ulkus peptikum dan varises. 1
Terapi profilaksis pada stress ulcer
Dalam beberapa tahun terakhir, insidensi perdarahan pada stres ulcer menurun
secara drastis, sekalipun terapi profilaksisnya tidak diberikan. Hal ini dimungkinkan
karena semakin baiknya penanganan terhadap infeksi, syok, kegagalan ventilasi,
koagulopati dan malnutrisi.1,2,4 Namun demikian, bila terjadi perdarahan, maka angka
mortalitasnya dapat mencapai 80%. Untuk itu diperlukan beberapa kriteria pemberian
profilaksis pada penderita yang dirawat diruang intensif.
Berdasarkan percobaan klinis dan meta-analisis, maka The American Society of
Hospital Pharmacist (ASHP) merekomendasikan pemberian profilaksis pada stress ulcer
yang dirawat di ICU dengan kriteria sebagai berikut : 1,2
a. penderita yang menggunakan ventilator > 48 jam
b. penderita dengan koagulopati
c. adanya riwayat ulkus peptikum atau perdarahan dalam 1 tahun sebelum dirawat
d. penderita dengan minimal 2 faktor resiko dibawah ini:
- sepsis
- dirawai di ruang intensif lebih dari 1 minggu
- perdarahan samar berlangsung 6 hari atau lebih
- penggunaan kortikosteroid dosis tinggi (hydrocortiosone > 250 mg/hari).
e. Keadaan-keadaan yang lain yang juga memerlukan profilaksis adalah:
- cedera kepala dengan GCS kurang atau sama dengan 10
- luka bakar yang luasnya > 35%
- gagal hati atau post hepatektomi
- trauma multipel yang berat
- trauma tulang belakang.
Ada beberapa macam regimen profilaksis stres ulcer yang sering digunakan
dalam klinis. Obat-obat tersebut antara lain: antasida, antagonis H2, protont pump
inhibitor (PPI), mesoprostol dan sucraflate. Berdasarkan meta-analisis, Cook et al (1991)
melaporkan bahwa terjadi penurunan CIB sampai 50% apabila penderita diberikan terapi
profilaksis.4
Peranan Omeprazole sebagai Agent PPI
Agen profilaksis yang ideal untuk stres ulkus adalah harus efektif dalam
mengurangi risiko ulserasi, dengan potensi rendah untuk efek samping dan interaksi obat,
harus memiliki karakteristik farmakokinetik yang memfasilitasi penggunaannya pada
pasien dengan disfungsi organ dan harus efektif biaya, dengan mempertimbangkan tidak
hanya biaya perolehan tetapi biaya administrasi dan pemantauan. Perbandingan
beberapa agen profilaksis stress ulcer ini akan diuraikan dalam Tabel 1.4
Penggunaan PPI untuk menekan asam dalam penyakit kritis, dimana PPI seperti
esomeprazole, lansoprazole, omeprazole, pantoprazole dan rabeprazole, adalah agen
yang paling efektif untuk menekan keasaman lambung. Keunggulan PPI dari sebuah
H2RA telah dibuktikan pada pasien dengan penyakit ulkus peptic, gastroesophageal reflux
disease, kerusakan GI yang disebabkan oleh non-steroid anti-inflamasi (NSAID) dan
Zollinger-Ellison syndrome. Dalam praktek Gastrointestinal secara umum, PPI dianggap
sebagai obat pilihan dalam penanganan peningkatan asam lambung yang berhubungan
dengan gangguan GI. Efek samping dari PPI jarang terjadi, akan tetapi dapat terjadi sakit
kepala,diare, mual, sembelit dan gatal-gatal.4,5
Kemungkinan keberhasilan pencapaian penekanan asam memberikan alasan
untuk penggunaan PPI dalam preferensi untuk H2RAs sebagai profilaksis untuk stress
ulcer yang berhubungan dengan kerusakan mucosa (SRMD), meskipun beberapa studi
telah dievaluasi bahwa PPI khusus untuk profilaksis stres ulcer. Namun, sebagian
penelitian tersebut telah menunjukkan jelas bahwa pemberian enteral atau IV dari PPI
mengangkat pH intragastrik dan mempertahankan pH minimal 4. Selanjutnya, studi
banding telah menunjukkan PPI menjadi lebih efektif daripada H2RAs untuk meninggikan
pH intragastrik, dan keduanya telah menunjukkan omeprazol enteral menjadi lebih efektif
daripada ranitidine dalam mengurangi risiko Stres-Related Mucosal Damaged yang
disertai perdarahan.4,5
Omeprazole diserap di usus halus dan mencapai sel-sel parietal melalui sirkulasi.
Pada pH sitosol sekitar 7,0, omeprazole (basa lemah dengan pKa = 4) sebagian besar
unionisasi, dan melintasi membran sel. Namun, di kanaliculus secara aktif mensekresi sel
parietal lambung, omeprazol menjadi terionisasi, terjebak dan diubah menjadi sulfenamida
(yaitu bentuk aktif) di mana ia mengikat ireversibel dengan residu sistin pada permukaan
ekstraselular dari subunit α sel parietal fundic H + / K + ATPase (yang biasanya funct-ion
dengan bertukar K luminal + ion untuk seluler ion H +) dan selektif menghambat enzim.
obat menghilang dengan cepat dari plasma tapi efeknya tetap sekitar 18 - 24 jam (yaitu
paruh H + / K + ATPase.1
Tabel 1. Perbandingan pilihan untuk profilaksis stress ulcer 4 Characteristic Sucralfate Antacid H2RAs Esomeprazole Lansoprazole Omeprazole Pantoprazol
Efficacy in elevating gastric pH + +++ +++ +++ +++ +++
Tolerability + + + +++ +++ +++ +++
Use in organ failure +
Low potential for drug interactions +
Administration options
Oral + + + +
Intravenous + + + +
Nasogastric + + + + +
Pilihan Pemberian
Ketersediaan formula intra vena (IV) adalah penting bagi kredibilitas profilaksis
stres ulcer, karena pemberian enteral tidak selalu memungkinkan pada pasien sakit kritis.
Formua IV dari pantoprazole tersedia di seluruh dunia, dan IV olahan dari omeprazole dan
esomeprazole tersedia dalam banyak negara. Saat ini tidak ada formulasi IV lansoprazole,
tetapi tersedia sebagai suspensi sirup, yang dapat diberikan nasogastrically. Omeprazole
juga dapat disiapkan untuk pemberian nasogastrik dengan pencampuran tablet yang
dihancurkan.1
Kesimpulan
Tingginya insidensi stress ulcer terutama pada pasien-pasien trauma dan pasca bedah
serta pasien yang di rawat di Unit Intensive Care (ICU), adalah tantangan tersendiri oleh
para ahli bedah. Pemberian obat-obat profilaksis adalah mutlak diperlukan sebagai upaya
mengurangi resiko timbulnya stress ulcer sebagai akibat dari meningkatnya tekanan
fisiologis yang berdampak pada tejadinya hipersekresi asam lambung serta iskemia
mucosa sehingga merusak system barrier mukosa lambung. Omeprazole injeksi yang
dikenal sebagai Proton Pump Inhibitor (PPI) bekerja pada pengaturan enzim pencernaan
dalam mengurai dan menetralisir asam lambung sehingga dapat mempertahankan PH
lambung pada kondisi yang constant. Pilihan pemberiaan terapi melalui jalur intra vena
lebih memudahkan karena dapat diberikan pada semua pasien termasuk pasien kritis
atau dengan kesadaran menurun. Dengan demikian preparat omeprazole injeksi (PPI)
yang telah dibenarkan oleh beberapa penelitian dinilai effective dan low cost.
DAFTAR PUSTAKA
1. Collins D, Acute Gastrointestinal Bleeding in Critical Care Resuscitation, Department of
Critical care Medicine, Australia, 2001, p. 105-106
2. Clake CR, Stress Induced Gastritis (journal online) 2011 July, available from URL:
http://www.medscape reference
3. Debora JC et all, Risk Factors For Gastrointestinal Bleeding in Critically ill Patient, New
England Journal of Medicine, volume 330, 1994
4. Stephen B, The Use of Proton Pump Inhibitors for Gastric Acid Suppression in Critical
Illness (serial online) 2004, available from URL: http://ccforum.com/content/9/1/45
5. Terri M, Administration of Proton Pump Inhibitors in Patient Requiring Enteral Nutrition,
volume 34 no.3, March 2009
top related