pengolahan air lindi kompos dengan menggunakan biofilter
Post on 18-Mar-2022
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Pengolahan Air Lindi Kompos Dengan Menggunakan Biofilter dan Lahan Basah Buatan (Sub-Surface Flow Constructed Wetlands)
Purnama, IGH.1), Purnama, S.G1) Bagian Kesehatan Lingkungan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran,
Universitas Udayana. Jl. P.B. Sudirman – Denpasar, Bali - Indonesia patjoel@yahoo.com
ABSTRAK
Gianyar Waste Recovery Project adalah Fasilitas Pemilahan Sampah dan Pengomposan di Desa Temesi, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali yang digagas pertama kali oleh Rotary Club of Bali Ubud dan pada tahun 2008 diambil alih oleh Yayasan Berbasis Komunitas TEMESI atau Yayasan Pemilahan Sampah Temesi (YPST). Kapasitas produksi Kompos perhari adalah 50 ton atau 17500 ton/tahun dengan luas area produksi 4740 m2.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan penurunan kandungan BOD5, COD, TSS dan pH dari Air Lindi Kompos dengan menggunakan Biofilter dengan menggunakan Batu Lahar Kintamani sebagai Media Filter Anaerobic dan Lahan Basah Buatan (Sus-surface Flow constructed wetlands) menggunakan Tanaman Canna (Canna Sp.) dan Papirus (Cyperus Papyrus). Hasil pengolahan (Effluent) akan dibandingkan dengan Peraturan Gubernur Bali No. 16 tahun 2016 tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pada Reaktor 1 - 3, efektivitas sistem wetland secara keseluruhan hingga minggu ke-VI belum mencapai 65%. Removal rate tertinggi terjadi pada parameter TSS sebesar 59%, sementara parameter BOD5 dan COD berada pada rentang 30-58%. Faktor yang mempengaruhi efektivitas pengurangan nilai parameter tidak mencapai 65% antara lain disebabkan oleh ukuran filter batu vulkanik yang relatif besar dan tidak ideal, kuantitas dan kualitas air lindi kompos yang masuk ke sistem tidak menentu, serta tanaman yang digunakan kurang cocok dalam sistem wetland terutama dalam menyerap kandungan parameter yang diteliti.
Kata Kunci: Air Lindi Kompos, Biofilter, Lahan Basah Buatan, Batu Lahar Kintamani, Efektifitas Pengolahan
The use of Biofilter and Sub Surface Flow Constructed Wetlands to treat Compost Leachates
Purnama, IGH.1), Purnama, S.G1)
Environmental Health Unit, School of Public Health, Faculty of Medicine, Udayana. Jl. P.B. Sudirman – Denpasar, Bali - Indonesia
patjoel@yahoo.com Gianyar Waste Recovery Project is a waste and composting facility in Temesi village, Gianyar regency, Bali province which was first initiated by Rotary Club of Bali Ubud and in 2008 taken over by Yayasan Berbasis Komunitas TEMESI or Yayasan Pemahahan Sampah Temesi (YPST). Production capacity of Compost per day is 50 ton or 17500 ton/year with production area 4740 m2. This study aims to determine the ability to decrease the content of BOD5, COD, TSS and pH of compost Leachates using Biofilter (Using Kintamani Lava Rock as media) and Sub Surface Flow Constructed Wetlands, using Canna Plants (Canna Sp.) and Papyrus (Cyperus Papyrus). The effluent from reactors will be compared with Bali Governor's Regulation no. 16 of 2016 on Environmental Quality Standards and Raw Criteria for Environmental Damage. The results showed that in Reactor 1 - 3, the effectiveness of wetland system as a whole until the sixth week has not reached 65%. The highest removal rate occurs in TSS parameter of 59%, while the BOD5 and COD parameters are in the range of 30-58%. Factors affecting the effectiveness of the reduction of parameter values did not reach 65%, among others, caused by relatively large and not ideal volcanic stone filter size, the quantity and quality of compost leachate water into the system is not stabilized, and the plants used are less suitable in wetland system, especially in absorbing the parameter content under study. Keywords: Compost Leachates, Bio filter, constructed Wetlands, Kintamani Lava Rock, Treatment Efficiency PENDAHULUAN
Kabupaten Gianyar memiliki
permasalahan yang sama dengan daerah
lain di Bali khususnya, yaitu jumlah
produksi sampah yang meningkat dari
tahun ke tahun. TPA Temesi yang dimiliki
memiliki kemampuan mengolah 50 ton
sampah per hari. Dari total volume sampah
yang masuk ke TPA, 85 % adalah sampah
organik yang dapat ditransformasikan
menjadi Kompos.
Fasilitas Pemilahan Sampah Temesi
adalah fasilitas pengolahan sampah organik
menjadi Pupuk Kompos. Project ini digagas
oleh Rotary Club of Bali Ubud yang
sekarang sudah dibubarkan. Mitra
pelaksana adalah lembaga swadaya
masyarakat lokal, Yayasan Bali Fokus dan
Yayasan Gelombang Udara Segar (GUS).
Fasilitas pilot TEMESI mulai beroperasi
pada 25 Juni 2004 dengan kapasitas 4 ton
per hari. Sejak saat itu fasilitas ini
mendapatkan perhatian luas baik lokal
maupun internasional dan karenanya juga
mendapatkan ekspektasi yang tinggi. Di
fasilitas pilot, prosedur daur ulang sampah
dioptimalkan. Di pusat riset dan
laboratoriumnya, dipelajari komposting
dengan aerasi paksa skala besar dan
pengolahan sampah organik alternatif.
Fasilitas pilot dan operasional awal
memperoleh beragam dukungan akademis
internasional.
Hasil samping dari proses
pembuatan Kompos di falisitas ini adalah
terbentuknya Air Lindi yang dihasilkan dari
proses penyiraman tumpukan Sampah
organik yang akan dijadikan Kompos untuk
menjaga suhunya agar berada pada suhu
normal/ kamar. Saat ini air lindi yang
dihasilkan dialirkan ke suatu bak
penampung dan dilakukan pengolahan
sederhana sebelum dibuang ke badan air
umum. Air lindi ini mengandung bahan-
bahan kimia dan mikroorganisme, di
antaranya BOD5, COD, TSS, yang
berbahaya bagi manusia dan sangat
berpotensi mencemari lingkungan.
Salah satu alternatif untuk mengolah Air
Lindi Kompos ini adalah dengan
menggunakan metode pengolahan air
limbah Biofilter dipadukan dengan Lahan
Basah Buatan (Sub-surface Flow
Constructed Wetlands). Hadiwidodo dan
kawan-kawan (t.t) menyatakan bahwa
proses pengolahan Lindi Sampah dari
Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA)
Ngronggo, Salatiga dengan menggunakan
kombinasi Biofilter dan Lahan Basah
Buatan (Sub-surface Flow Constructed
Wetlands) mampu menurunkan kandungan
bahan organik diatas 65% dengan waktu
tinggal 25 jam. Berdasarkan referensi
tersebut diatas maka dilakukan hal serupa
di Fasilitas Pengomposan Temesi tetapi
dengan menggunakan media Biofilter
berupa Batu Lahar Kintamani yang mudah
dijumpai di Bali untuk mengolah Air Lindi
Kompos
METODE PENELITIAN
Subyek penelitian ini adalah Air
Lindi Kompos dari Fasilitas Pemilahan
Sampah Temesi di Kabupaten Gianyar
yang akan diberikan perlakuan dengan
Reaktor Biofilter dan Horizontal Sub
Surface Flow Constructed Wetlands untuk
menurunkan kandungan BOD5, COD, TSS,
dan pH pada Air Limbah dengan media
tumbuh Batu Lahar Kintamani.
Penelitian ini merupakan studi
experimental skala laboratorium untuk
melihat efisiensi penyisihan parameter
BOD5, COD, TSS, dan pH pada Air
Limbah dengan media tumbuh Batu Lahar
Kintamani, dimana data yang diperoleh
akan diolah secara deskriptif kuantitatif.
KONSEP DAN TAHAPAN PENELITIAN
HASIL PENELITIAN
Sebelum dilakukan pengolahan
menggunakan Constructed Wetlands, air
lindi kompos terlebih dahulu dilakukan uji
laboratorium untuk mengetahui kualitas air
sebelum pengolahan berdasarkan
parameter BOD5, COD, TSS dan pH.
Selama ini pihak TPA Temesi belum
pernah melakukan uji laboratorium
terhadap air lindi yang dihasilkan dari
proses pembuatan kompos.
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Air Lindi
Kompos Sebelum Pengolahan
Berdasarkan tabel di atas diketahui
bahwa parameter air limbah yang
dihasilkan dari proses pembuatan kompos
di TPA Temesi belum sesuai
dengan standar baku mutu yang ditetapkan
dalam Peraturan Gubernur Bali No. 16
Tahun 2016.
Setelah air lindi kompos dilakukan
pengolahan dalam Constructed Wetlands
selama 6 minggu, maka dilakukan uji
laboratorim terhadap parameter TSS, pH,
BOD5, dan COD. Setiap minggunya air
lindi kompos yang telah mengalami
pengolahan dilakukan sampling pada ketiga
Reaktornya (1 reaktor utama dan 2 reaktor
ulangan) sehingga setiap minggunya
terdapat 3 sampel yang harus diperiksa.
Tabel 2. Hasil Uji Laboratorium Reaktor 1
Tabel 3. Hasil Uji Laboratorium Reaktor 2
PROSES START UP REAKTOR DAN APLIKASI AIR LIMBAH
PADA REAKTOR
DESIGN dan PEMBUATAN REAKTOR
PENGAMBILAN DAN PEMERIKSAAN SAMPEL pH, BOD5,COD, dan TSS Dari start up awal,
operasional hingga aklimatisasi
ANALISIS KINERJA REAKTOR
UJI KARAKTERISTIK AIR LINDI KOMPOS
UJI COBA BANGUNAN REAKTOR
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
No. Parameter Satuan Standar Baku Mutu
Hasil Pengujian
1. Zat Padat Tersuspensi (TSS) mg/L 200 410 2. pH 6-9 7.2 3. BOD5
mg/L 50 1852.18
4. COD mg/L 6-9 2479.4
Tabel 4. Hasil Uji Laboratorium Reaktor 3
PEMBAHASAN
Pada Reaktor 1 - 3, efektivitas sistem
wetland secara keseluruhan hingga minggu
ke-VI belum mencapai 65%. Faktor yang
mempengaruhi efektivitas pengurangan
nilai parameter tidak mencapai 65% antara
lain disebabkan oleh ukuran filter batu
vulkanik yang relatif besar dan tidak ideal,
kuantitas dan kualitas air lindi kompos yang
masuk ke sistem tidak menentu, serta
tanaman yang digunakan kurang cocok
dalam sistem wetland terutama dalam
menyerap kandungan parameter yang
diteliti pada penelitian ini. Menurut
Vymazal (2002) dalam Padmanabha
(2015), ukuran batu yang ideal digunakan
sebagai filter adalah berukuran 0,8-1,6 cm.
Namun karena keterbatasan waktu dan
tenaga dalam mempersiapkan sistem
wetland ini, ukuran batu vulkanik yang
digunakan adalah ±5-10 cm dengan tebal
lapisan 45 cm dan ukuran ±10-15 cm
dengan tebal lapisan 30 cm. Ukuran
tersebut sangatlah berbeda jauh dari ukuran
idealnya sehingga hal ini menyebabkan
hasil pengolahan tidak berjalan dengan
optimal. Ukuran batu vulkanik yang besar
menyebabkan beberapa kekurangan dalam
penelitian ini antara lain tidak tersedianya
pori-pori yang banyak sehingga bakteri
yang menempel lebih sedikit. Hal ini
menyebabkan terjadinya proses degradasi
bahan-bahan pencemar dalam air lindi
kompos tidak berlangsung secara optimal.
Selain itu ukuran batu vulkanik
sebagai filter yang memiliki ukuran tidak
ideal mempengaruhi filtrasi padatan
sehingga menyebabkan proses penyaringan
dan penahanan partikel padatan dalam air
menjadi tidak optimal. Ukuran batu
vulkanik yang terlalu besar dapat
mempengaruhi ruang antar filter dan
distribusi air limbah pada sistem menjadi
tidak merata sehingga menyebabkan
perbedaan laju air limbah pada setiap titik
sistem dan aliran air yang masuk menjadi
lebih cepat dari yang seharusnya. Laju air
lindi kompos di dalam sistem yang cepat
menyebabkan waktu kontak air lindi
dengan filter berlangsung singkat sehingga
durasi pengolahan bahan-bahan organik
dan bahan lain dalam air limbah lindi
berlangsung lebih cepat dan tidak optimal.
Di lain sisi, laju air limbah yang berbeda di
setiap titik dalam sistem akan
menyebabkan ketidakseimbangan proses
pengolahan air lindi kompos yang
menyebabkan terdapat beberapa titik yang
tidak optimal mengolah air lindi kompos
(Environmental Protection Agency. 2000;
Lavrova dan Koumanova. 2013;
Padmanabha. 2015).
Tingginya kandungan bahan
organik dalam air limbah bahkan setelah
pengolahan dilakukan masih berada di atas
baku mutu disebabkan oleh ukuran filter
yaitu batu vulkanik yang digunakan tidak
ideal atau terlalu besar.
Pada semua reaktor, efektifitas
penurunan kandungan bahan organik
terutama BOD5 sudah terjadi kalaupun
hasil akhirnya masih berada jauh dari baku
mutu yang dipersyaratkan. Bila dilihat dari
kecenderungan dan trend efektifitas
pengolahan, maka dapat dilihat bahwa
setlah minggu kelima kecenderungan
efektifitas penurunan kandungan bahan
organic tidak mengalami tingkat yang
signifikan.
Beberapa hal yang dapat
menjelaskan terjadinya penurunan bahan
organik dalam SSF-Wetland tersebut,
menurut Wood dalam Tangahu &
Warmadewanthi (2001) bahwa penurunan
konsentrasi bahan organik dalam sistem
wetlands terjadi karena adanya mekanisme
aktivitas mikroorganisme dan tanaman,
melalui proses oksidasi oleh bakteri aerob
yang tumbuh disekitar rhizosphere tanaman
maupun kehadiran bakteri heterotrof
didalam air limbah. Menurut Handayanto,
E dan Hairiah, K. (2007), menyebutkan
bahwa kondisi tanah di rizosfer sangat
berbeda dengan kondisi tanah diluar
rizosfer (non-rizosfer). Akar tanaman tidak
saja berperan dalam penyerapan hara (baik
melalui aliran massa, kontak langsung
maupun difusi), tetapi juga sangat besar
pengaruhnya terhadap perubahan kondisi
rizosfer. mikroorganisme tanah, seperti
bakteri, jamur dan aktinomisetes lebih
banyak dijumpai didaerah rizosfer daripada
non-rizosfer. Dari ketiga jenis
mikroorganisme tersebut, maka pengaruh
rizosfer lebih besar pada bakteri, dengan
nisbah populasi antara daerah rizosfer
dibanding daerah non rizosfer (R/N)
berkisar antara 10 – 20 atau lebih.
Menurut Haberl dan Langergraber
(2002), bahwa proses fotosintetis pada
tanaman air (hydrophyta), memungkinkan
adanya pelepasan oksigen pada daerah
sekitar perakaran (zona rhizosphere).
Dengan kondisi zona rhizosphere yang
kaya akan oksigen, menyebabkan
perkembangan bakteri aerob di zona
tersebut.
Gambar 1. Fase pertumbuhan bakteri dalam
reaktor batch (Supradata, 2005)
Berdasarkan hal tersebut diatas,
maka peran utama mikroorganisme dalam
mendegradasi bahan organik dalam sistem
Wetlands tersebut, akan dapat menjelaskan
trend/kecenderungan penurunan bahan
organik dari hasil percobaan. Adanya
proses aklimatisasi tanaman pada awal
percobaan, akan memberikan kesempatan
pada bakteri yang terdapat rhizosphere
untuk tumbuh dan beradaptasi, sehingga
lag-phase akan terjadi saat proses
aklimatisasi tersebut. Dengan demikian
maka pada awal penelitian, pertumbuhan
bakteri telah mencapai fase pertumbuhan
eksponensial (Exponential growth phase).
Berdasarkan Tabel 3 sampai Tabel
5 dapat diketahui bahwa laju penurunan
parameter BOD5 pada Minggu kedua ke
Minggu ketiga cukup besar, sedangkan
pada akhir waktu percobaan (Minggu ke-5
dan 6) penurunan BOD5 relatif kecil.
Terjadinya penurunan tajam pada waktu
awal percobaan diduga dipengaruhi oleh
kandungan nutrient yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan mikroorganisme cukup
melimpah, sehingga akan terjadi fase
pertumbuhan dipercepat (Exponential
growth phase). Mengingat percobaan
dilakukan dengan sistem curah (batch),
maka dalam reaktor tidak ada penambahan
bahan organic berupa nutrien baru yang
dapat mendukung kehidupan
mikroorganisme, sehingga pada
pertengahan waktu penelitian (Minggu ke-
3 dan 4) pertumbuhan mikroorganisme
telah mencapai titik optimal terhadap
ketersediaan nutrien. Kondisi ini
menyebabkan terjadi keseimbangan antara
pertumbuhan dan kematian
mikroorganisme / bakteri atau sering
disebut sebagai Stationary Phase.
Parameter COD dalam air limbah
menunjukkan besarnya kebutuhan oksigen
total yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
zat-zat organik yang terdapat dalam air
limbah secara kimia. Dengan demikian, zat
– zat organik yang teroksidasi tidak hanya
yang bersifat biogradable, namun juga yang
bersifat tidak dapat teruraikan dengan
proses biologis. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa
kecenderungan penurunan konsentrasi
COD yang sejalan dengan penurunan
konsentrasi BOD5 mengindikasikan bahwa
bahan organik yang terkandung dalam air
limbah sebagian besar merupakan bahan
organik yang dapat terdegradasi secara
biologis.
Adanya aktivitas mikroorganisme
dalam reaktor yang mendegradasi sebagian
besar bahan organik dalam air limbah, tentu
akan mempengaruhi konsentrasi BOD5
maupun COD pada awal penelitian.
Kondisi tersebut yang dapat menjelaskan
tentang penurunan COD sangant signifikan
pada Minggu ke-2 penelitian. Disamping
itu proses pengolahan secara fisik (filtrasi
dan sedimentasi) yang terjadi di dalam
media reaktor, yang ditandai dengan
penurunan konsentrasi TSS yang cukup
besar di Minggu ke-2 tersebut, juga turut
mempengaruhi penurunan konsentrasi
COD pada effluent air limbah. Sedangkan
penurunan konsentrasi COD yang relatif
kecil pada penelitian Minggu ke-4 sampai
dengan Minggu ke-6, diduga disebabkan
oleh penurunan kinerja reaktor akibat
berkurangnya jumlah bakteri.
Parameter lain yang diuji dalam
penelitian ini adalah Total Padatan
Tersuspensi (Total Suspended Solids -
TSS). TSS adalah bahan-bahan tersuspensi
(diameter >1µm) yang tertahan pada
saringan millipore dengan diameter pori
0,45 µm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir
halus serta jasad-jasad renik terutama yang
disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi
yang terbawa ke dalam badan air. Padatan
ini terdiri dari senyawa- senyawa anorganik
dan organik yang terlarut dalam air, mineral
dan garam- garamnya. Penyebab utama
terjadinya TSS adalah bahan anorganik
berupa ion-ion yang umum dijumpai di
perairan. Sebagai contoh air buangan sering
mengandung molekul sabun, deterjen dan
surfaktan yang larut air, misalnya pada air
buangan rumah tangga (Sugiharto, 1987
dalam Supradata, 2005).
Perbedaan laju penurunan TSS pada
tiap-tiap reaktor bisa saja terjadi akibat
perbedaan porositas media yang dibentuk
oleh sistem perakaran tanaman dalam
reaktor. Proses pengolahan air limbah
dalam sistem Lahan Basah Buatan Aliran
Bawah Permukaan tidak hanya terjadi
proses biologis, namun juga terjadi proses
secara fisik, baik itu melalui proses filtrasi
maupun sedimentasi. Menurut Tangahu
dan Warmadewanthi (2001) dalam
Supradata (20050 mekanisme filtrasi dan
sedimentasi juga terjadi dalam sistem
Lahan Basah Buatan Aliran Bawah
Permukaan (SSF-Wetlands) tersebut.
Proses filtrasi dilakukan oleh media dan
akar tanaman yang terdapat dalam reaktor,
dimana proses tersebut terjadi karena
kemampuan partikel-partikel media
maupun sistem perakaran membentuk filter
yang dapat menahan partikel-partikel solid
yang terdapat dalam air limbah.
Hal serupa juga disampaikan oleh
Crites & Tchobanoglous (1998) dalam
Supradata (2005), media yang digunakan
pada reaktor SSF-Wetland akan dapat
menurunkan kecepatan aliran air limbah
yang masuk dalam reaktor. Penurunan debit
air limbah ini akan memudahkan terjadinya
proses sedimentasi partikel-partikel solid
dalam air limbah. Namun demikian, sistem
perakaran tanaman yang terbentuk dalam
reaktor tidak tumbuh secara merata pada
masing-masing reaktor, sehingga pola
aliran air limbah tidak membentuk aliran
sumbat yang sama untuk masing-masing
reaktor. Mengingat kondisi tersebut, maka
debit maupun pola aliran air limbah pada
tiap reaktor akan dapat berbeda-beda,
tergantung keseragaman ukuran media
maupun sistem perakaran tanaman yang
terbentuk.
Sama dengan parameter BOD5 dan COD,
parameter TSS memperlihatkan
kecenderungan yang sama dengan
penurunan BOD5 maupun COD pada
Minggu ke-2. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, maka dapat diduga bahwa partikel
– partikel solid yang terdapat dalam air
limbah sebagian besar terbentuk dari bahan
organik. Bahan organik yang berbentuk
padatan akan tertahan dalam media SSF
Wetland melalui mekanisme filtrasi dan
sedimentasi. Padatan yang tertahan dalam
media, kemudian oleh bakteri akan
didegradasi menjadi unsur yang lebih
sederhana dan terlarut dalam air limbah.
Penurunan bahan organik solid yang cukup
besar akan berpengaruh terhadap
konsentrasi TSS dalam air limbah
(Supradata, 2005).
SIMPULAN
1. Pada kesemua reaktor 1 dan 2 reaktor
ulangan lain, semua parameter
mengalami penurunan bahan organik.
Rata – rata penurunan kandungan
bahan organik adalah pada rentang 30-
59%.
2. Penurunan bahan organik tertinggi
terjadi pada parameter TSS yang
mencapai 59%. Laju penurunan TSS
yang cenderung lebih tinggi
disebabkan adanya proses fisik (filtrasi
dan sedimentasi) yang sangat
dipengaruhi oleh porositas media dan
sistem perakaran tanaman yang
terbentuk, sehingga akan tercipta
kondisi yang berbeda di setiap
reaktornya
3. Efektifitas penurunan bahan organik
pada Minggu ke-2 mengalami
peningkatan yang terbesar, hal ini
disebabkan karena adanya
pertumbuhan bakteri maksimal pada
reaktor. Sedangkan pada Minggu ke-4
sampai 6 efektifitas penurunan tidak
terlalu meningkat. Hal ini disebabkan
karena tidak adanya penambahan
nutrisi baru pada reaktor sehingga
bakteri cenderung berada pada
Stationary Phase.
4. Kalaupun terjadi penurunan
kandungan bahan organik yang
signifikan namun pada semua reaktor,
kandungan bahan organic pada titik
effluent masih berada diatas baku mutu
yang dipersyaratkan, sehingga
diperlukan upaya lanjutan untuk
menurunkan kandungan bahan organic
tersebut sehingga memenuhi baku
mutu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Cakra selaku kepala TPST
Temesi yang telah bersedia menngizinkan
pelaksanaan penelitian ini, serta Bapak
Supriyadi yang telah banyak membantu
proses pembuatan sistem wetland.
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G dan Santika, SS. (1984).Metode
Penelitian Air.Usaha Nasional. Surabaya.
Anonim (2011). Manual Teknis Sanitasi
Komunal Peri Urban. PAMSIMAS
Ahmad, M.A.B. (2009). Colour
Reduction From Water Sample Using
Adsorption Process by Agro - Waste By
– Product. Thesis.Malaysia : Universiti
Teknologi Malaysia.
Anonim.(2001). “Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air”.
Barros, L.A.F., Leal Filho, L.S., dan
Peres, A.E.C., (2000). Technical Note
Plant Practice Innovations In A Fosfate
Concentrator. Dept of Minning
Engineering, USP, Brazil.
Crolla, A (2004) Constructed Wetland In
Canada, ATAU Course Notes. Collège
d’Alfred – University of Guelph.
Droste, R. L., (1997). Theory and
Practice of Water and Wastewater
Treatment Disposal, John Willey &
Sons Inc, New York
Galbrand, C., Lemieux, I. G., Ghaly, A.
E., Cote, R. & Verma, M. (2008). Water
Quality Assesment of A Constructed
Wetland Treating Landfill Leachate and
Industrial Park Runoff. American
Journal of Environmental Sciences, 4
(2), 111-120.
Gill, R. (2010). Igneous Rocks and
Processes: A Practica Guide. New
York: John Wiley & Sons.
Ginting, P. (2007). Sistem Pengelolaan
Lingkungan dan Limbah Industri,
Bandung, CV. Yrama Widya.
Haberl, R., and Langergraber, H.,
(2002), Constructed wetlands: a chance
to solve wastewater problems in
developing countries. Water Science
Technology. 40:11–17.
Hammer, D.A. (1989). Constructed
Wetland for Wastewater Treatment –
Municipal, Industrial and Agricultural.
Lewis Publisher. Chelsea, Michigan.
IWA Specialist Group (2000).
Constructed Wetlands for Pollution
Control: Processes,Performance,
Design and Operation. IWA
Publishing. London
Lim, W.H., Tay, T.H. and Kho, B.L.
(2002). Plants Used in the Putrajaya
Wetland System and Problems
Associated with Their Establishment
and Maintenance.
9. Alexandria, VA.
Wong, YS. (1997). Mangrove Wetland
As Wastewater Threatmen Facility : A
Field Trip. Hidrobiologia Vol 352: 49-
59. Kluwer Academic Publisher :
Belgium.
top related