pengertian jual beli, syarat dan hukum jual beli
Post on 25-Jun-2015
8.662 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT dengan
ramaht-Nya dan inayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Pengertian Jual Beli, Syarat dan Hukum Jual Beli”.
Makalah ini dibuat dengan maksud yakni memperoleh keridhoan
Allah semata, akhir kata saya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan sekaligus bermanfaat untuk menambah
pengetahuan sehubungan dengan jual beli.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................1
B. Tujuan.............................................................................................1
BAB II DEFENISI, LANDASAN DAN RUKUN JUAL BELI.............2
A. Pengertian Jual Beli........................................................................2
B. Landasan Syara’..............................................................................3
C. Rukun dan Pelaksanaan Jual Beli...................................................5
BAB III SYARAT JUAL-BELI...............................................................7
1. Menurut Ulama Hanafiyah..............................................................7
2. Madzab Maliki..............................................................................11
3. Madzhab Syafi’i............................................................................12
4. Madzhab Hambali.........................................................................14
BAB IV HUKUM (KETETAPAN) BAI’ BESERTA PEMBAHASAN BARANG DAN HARGA........................................................................17
1. Hukum (Ketetapan) Akad.............................................................17
2. Tsuman (Harga) dan Mabi’ (Barang Jualan)................................17
3. Hukum dan Sifat Jual Beli............................................................22
4. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam............................................24
5. Macam-Macam Jual Beli..............................................................31
BAB V SAH ATAU TIDAK NYA JUAL BELI ANAK DI BAWAH UMUR......................................................................................................33
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah ST menjadikan manusia, masing-masing saling membutuhkan
satu sama lain, supaya mereka tolong menolong, tukar-menukar keperluan
dalam segala urusan.
Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan
subur, pertalian yang satu dengan yang lain menjadi teguh. Akan tetapi sifat
loba dan tamak tetap ada pada manusia suka mementingkan diri sendiri.
B. Tujuan
Adapun tujuan mempelajari tentang jual beli adalah:
1. Agar mahasiswa bisa mengetahui aturan-aturan jual beli.
2. Agar mahasiswa bisa mengetahui jual beli yang sah dan tidak sah.
1
BAB II
DEFENISI, LANDASAN DAN RUKUN JUAL BELI
A. Pengertian Jual Beli
Menurut etimologi, jual beli diartikan
Artinya:
“Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)”
Kata lain dari al-bai’ adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Berkenaan dengan kata at-tijarah, dalam Al-Qur’an surat Fathir ayat 29
dinyatakan:
Artinya:
“Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi”
(QS. Fathir: 29)
Adapun jual beli menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat
dalam mendefenisikannya, antara lain:
a. Menurut ulama Hanafiyah
“Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus orang
dibolehkan)”.
2
b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’
Artinya:
“Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”.
c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni
Artinya:
Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan mulik”.
B. Landasan Syara’
Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ yakni:
a. Al-Qur’an diantaranya
Artinya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”.
(QS. Al-Baqarah:275)
Artinya:
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”
(QS. AL-Baqarah:282)
Artinya:
“Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka”.
(QS. An-Nisa:29)
b. As-Sunah, di antaranya:
3
Artinya:
“Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau
menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli
yang babrur”.
(HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)
Maksud mabrur dalam hadis di atas adalah jual-beli yang terhindar
dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
Artinya:
“Jual beli harus dipastikan harus saling meridai.”
(HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah)
c. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperolehkan dengan alasan
bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa
bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain
yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
C. Rukun dan Pelaksanaan Jual Beli
Dalam menetapkan rukun jual-beli, diantara para ulama terjadi
perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual-beli adalah ijab
dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik dengan
ucapan maupun perbuatan.
Adapun rukun jual-beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:
a. Ba’i (penjual)
b. Mustari (pembeli)
4
c. Shighat (ijab dan qabul)
d. Ma’qud ‘alaih (benda atau barang)
5
BAB III
SYARAT JUAL-BELI
Dalam jual beli terdapat empat macam syarat, yaitu syarat terjadinya akad
(in’iqad), syarat sahnya akad, syarat terlaksananya akad (nafadz), dan syarat
lujum.
Secara umum tujuan adanya semua syarat tersebut antara lain untuk
menghindari pertentangan diantara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang
sedang akad, menghindari jual-beli gharar (terdapat unsur penipuan), dan lain-
lain.
Jika jual beli tidak memenuhi syarat terjadinya akad, akad tersebut batal.
Jika tidak memenuhi syarat sah, menurut ulama Hanafiyah, akad tersebut fasid.
Jika tidak memenuhi syarat nafadz, akad tersebut mauquf yang cenderung boleh,
bahkan menurut ulama Malikiyah, cenderung kepada kebolehan. Jika tidak
memenuhi syarat ljum, akad tersebut mukhayyir (pilih-pilih), baik khiyar untuk
menetapkan maupun membatalkan.
Diantara uma afiqih berbeda pendapat dalam menetapkan persyaratan jual-
beli. Dibawah ini akan dibahas sekilas pendapat setiap madzhab tentang
persyaratan jual beli tersebut.
1. Menurut Ulama Hanafiyah
Persyaratan yang ditetapkan oleh ulama Hanabilah berkaitan dengan
syarat jual-beli adalah:
a. Syarat Terjadinya Akad (In’iqad)
Adalah syarat-syarat yang telah ditetapkan syara’. Jika persyaratan ini
tidak terpenuhi, jual beli batal. Tentang syarat ini, ulama Hanafiyah
menetapkan empat syarat, yaitu berikut ini.
1) Syarat Aqid (orang yang akad)
Aqid harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) Berakal dan Mumayyiz
7
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan harus baligh.
Tasharruf yang boleh dilakukan oleh anak mumayyiz dan berakal
secara umum terbagi tiga:
Tasharruf yang bermanfaat secara murni, seperti hibah
Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni, seperti tidak sah
talak oleh anak kecil
Tasharruf yang berada di antara kemanfaatan dan kemadaratan,
yaitu aktivitas yang boleh dilakukan, tetapi atas seizin wali
b) Aqih harus berbilang, sehingga tidaklah sah akad dilakukan
seorang diri. Minimal dilakukan dua orang, yaitu pihak yang
menjual dan membeli.
2) Syarat dalam Akad
Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai antara ijab dan qabul.
Namun demikian, dalam ijab qabul terdapat tiga syarat berikut ini.
a) Ahli Akad
Menurut ulama Hanafiyah, seorang anak yang berakal dan
mumayyiz (berumur tujuh tahun, tetapi belum baligh) dapat
menjadi ahli akad. Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa akad anak mumayyiz bergantung pada izin walinya. Adapun
menurut ulama Syafi’iyah, anak mumayyiz yang belum baligh
tidak dibolehkan melakukan akad sebab ia belum dpaat menjaga
agama dan hartanya (masih bodoh).
Allah SWt berfirman
Artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”.
(QS. An-Nisa’:5)
8
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa yang disebut
orang-orang yag belum sempurna akalnya pada ayat di atas adalah
anak yatim yang masih kecil atau orang dewasa yang tidak mampu
mengurus hartanya.
b) Qabul harus sesuai dengan ijab
c) Ijab dan qabul harus bersatu, yakni berhubungan antara ijab dan
qabul qalaupun tempatnya tidak bersatu.
3) Tempat Akad
Harus bersatu atau berhubungan antara ijab dan qabul.
4) Ma’qud ‘alaih (objek akad)
Ma’qud ‘alaih harus memenuhi empat syarat:
a) Ma’qud ‘alaih harus ada, tidak boleh akad atas barang-barang yang
tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual beli buah yang
belum tampak, atau jual beli anak hewan yang masih dalam
kandungan. Secara umum dalil yang digunakan sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah
SAW melarang jual beli yang belum tampak hasilnya.
b) Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin
dimanfaatkan dan disimpan.
c) Benda tersebut milik sendiri.
d) Dapat diserahkan.
b. Syarat Pelaksanaan Akas (Nafadz)
1. Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk akad
2. Pada benda tidak terdapat milik orang lain
Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang sewaan atau
barang gadai, sebab barang tersebut bukan miliknya sendiri, kecuali
kalau diizinkan oleh pemilik sebenarnya, yakni jual beli yang
ditangguhkan (mauquf).
9
Berdasarkan nafadz dan waqaf (penangguhan), jual beli terbagi
dua:
a) Jual beli nafidz
Jual beli yang dilakukan oleh orang yang telah memenuhi
syarat dan rukun jual beli sehingga jual beli tersebut dikategorikan
sah.
b) Jual beli mauquf
Jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi
syarat dan rukun nafadz, yakni bukan milik dan tidak kuasa untuk
melakukan kada, seperti jual beli fudhul (jual beli bukan milik
orang lain tanpa ada izin). Namun demikian, jika pemiliknya
mengizinkan jual beli fudhul dipandang sah. Sebaliknya, jika
pemilik tidak mengizinkan dipandang batal.
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menghukumi jual beli
fudhul.
c. Syarat Sah Akad
Syarat ini terbagi atas dua yaitu umum dan khusus:
1. Syarat umum
Adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual beli
yang telah ditetapkan syara’. Diantaranya adalah syarat-syarat yang
telah disebutkan di atas. Juga harus terhindar kecacatan jual beli yaitu
ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu (tauqit),
penipuan (gharar), kemadaratan, dan persyaratan yang merusak
lainnya.
2. Syarat Khusus
Adalah syarat-syarat yang hanya ada pasa barang-barang tertentu. Jual
beli ini harus memenuhi persyaratan berikut:
a) Barang yang diperjual belikan harus dapat dipegang yaitu pada jual
beli benda yang harus dipegang sebab apabila dilepaskan akan
rusak atau hilang.
10
b) Harga awal harus diketahui, yaitu pada jual beli amanat.
c) Serah terima benda dilakukan sebelum berpisah, yaitu pad ajual
beli yang bendanya ada di tempat.
d) Terpenuhi syarat penerimaan.
e) Harus seimbang dalam ukuran timbangan, yaitu dalam jual beli
yang memakai ukuran atau timbangan.
f) Barang yang diperjualbelikan sudah menjadi tanggungjawabnya.
Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang yang masih berada di
tangan penjual.
d. Syarat Lujum (kemestian)
Syarat ini hanya ada satu, yaitu akad jual beli harus terlepas atau
terbebas dari khiyat (pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak yang
akad dan akan menyebabkan batalnya akad.
2. Madzab Maliki
Syarat-syarat yang dikemukakan oleh ulama Malikiyah yang
berkenaan dengan aqih (orang yang akad), shighat, dan ma’qud ‘alaih
(barang) berjumlah 11 syarat.
a. Syarat Aqih
Adalah penjual atau pembeli. Dalam hal ini terdapat tiga syarat, ditambah
satu bagi penjual:
1) Penjual dan pembeli harus mumayyiz
2) Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil
3) Keduanya dalam keadaan sukarela. Jual beli berdasarkan paksaan
adalah tidak sah
4) Penjual harus sadar dan dewasa
Ulama Malikiyah tidak mensyaratkan harus Islam bagi aqid kecuali
dalam membeli hamba yang muslim dan membeli mushaf. Begitu pula
dipandang sahih jual beli orang yang buta.
11
b. Syarat dalam Shighat
1) Tempat akad harus bersatu
2) Pengucapan ijab dan qabul tidak terpisah
Di antara ijab dan qabul tidak boleh ada pemisahan yang
mengandung unsur penolakan dari salah satu aqid secara adat.
c. Syarat Harga dan yang Dihargai
1) Bukan barang yang larang syara’
2) Harus suci, maka dibolehkan menjual khamr, dan lain-lain
3) Bermanfaat menurut pandangan syara’
4) Dapat diketahui oleh kedua orang yang akad
5) Dapat diserahkan
3. Madzhab Syafi’i
Ulama Syafi’iyah mensyaratkan 22 syarat, yang berkaitan dengan
aqih, shighat dan ma’qud alaih. Persyaratan tersebut adalah:
a. Syarat Aqid
1. Dewasa atau Sadar
Aqih harus baligh dan berakal, menyadari dan mampu
memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian, akad anak
mumayyiz dipandang belum sah.
2. Tidak dipaksa atau tanpa hak
3. Islam
Dipandang tidak sah, orang kafir yang membeli kitab Al-
Qur’an atau kitab-kitab yang berkaitan dengan agama seperti hadis,
kitab-kitab fiqih, dan juga membeli hamba yang muslim. Hal itu
didasarkan antara lain pada firman Allah SWT:
Artinya:
12
“Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk
menghina orang mukmin”.
(QS. An-Nisa’: 141)
4. Pembeli bukan musuh
Umat Islam dilarang menjual barang, khususnya senjata,
kepada musuh yang akan digunakan untuk memerangi dan
menghancurkan kaum muslimin.
b. Syarat Shighat
1) Berhadap-hadapan
Pembeli atau penjual harus menunjukkan shighat akadnya kepada
orang yang sedang bertransaksi dengannya, yakni harus sesuai
denganorang yang dituju. Dengan demikian tidak sah berkata, “Saya
menjual kepadamu!” Tidak boleh berkata, “Saya menjual kepada
Ahmad”, padahal nama pembeli bukan Ahmad.
2) Ditunjukan pada seluruh badan yang akal
Tidak sah mengatakan, “Saya menjual barang ini kepada kepala atau
tangan kamu”.
3) Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab
Orang yang mengucapkan qabul haruslah orang yang diajak
bertransaksi oleh orang yang mengucapkan ijab, kecuali jika
diwakilkan.
4) Harus menyebutkan barang atau harga
5) Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud)
6) Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna
Jika seseorang yang sedang bertransaksi itu gila sebelum mengucapkan
qabul, jual beli yang dilakukannya batal.
7) Ijab qabul tidak terpisah
Anatara ijab dan qabul tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu
lama, yang menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak.
8) Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain
13
9) Tidak berubah lafazh
Lafazh ijab tidak boleh berubah, seperti perkataan, “Saya jual dengan
lima ribu, kemudian berkata lagi, “Saya menjualnya dengan sepuluh
ribu, padahal barang yang dijual masih sama dengan barang yang
pertama dan belum ada qabul.
10) Bersesuaian anatar ijab dan qabul secara sempurna
11) Tidak dikaitkan dengan sesuatu
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungan
dengan akad.
12) Tidak dikaitkan dengan waktu
c. Syarat Ma’qud ‘Alaih (Barang)
1) Suci
2) Bermanfaat
3) Dapat diserahkan
4) Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain
5) Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad
4. Madzhab Hambali
Menurut ulama Hanabilah, persyaratan jual beli terdiri atas 11 syarat,
baik dalam aqih, shighat dan ma’qud ‘alaih.
a. Syarat Aqid
1) Dewasa
Aqid harus dewasa (baliqh dan berakal), kecuali pada jual beli barang-
barang yang sepele atau telah mendapat izin dari walinya dan
mengandung unsur kemaslahatan.
2) Ada Kerinduan
Masing-masing aqid harus saling meridai, yaitu tidak ada unsur
paksaan, kecuali jika dikehendaki oleh mereka yang memiliki otoritas
untuk memaksa, seperti hakim atau penguasa.
14
Ulama Hanabilah menghukumi makruh bagi orang yang menjual
barangnya karena terpaksa atau karena kebutuhan yang mendesak dengan
harga di luar harga lazim.
b. Syarat Shighat
1) Berdasa di tempat yang sama
2) Tidak terpisah
Antara ijab dan wabul tidak terdapat pemisah yang menggambarkan
adanya penolakan
3) Tidak dikaitkan dengan sesuatu
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak berhubungan
dengan akad.
c. Syarat Ma’qud ‘Alaih
1) Harus berupa harta
Ma’qud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat menurut
pandangan syarat. Adapun barang-barang yang tidak bermanfaat hanya
dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa, misalnya membeli khamar
sebab tidak ada lagi air lainnya. Dibolehkan pula membeli burung
karena suaranya bagus.
Ulama Hanabilah mengharamkan jual beli Al-Qur’an baik
untuk orang muslim maupun kafir sebab Al-Qur’an wajib diagungkan,
sedangkan menjualnya berarti tidak mengagungkannya.
Begitu pula mereka me;arang jual beli barang-barang mainan
dan barang-barang yang tidak bermanfaat lainnya.
2) Milik penjual secara sempurna
Dipandang tidak sah jual beli fudhul, yakni menjual barang tanpa
seizin pemiliknya.
3) Barang dapat diiserahkan ketika akad
15
4) Barang diketahui oleh penjual dan pembeli
Ma’qud ‘alaih harus jelas dan diketahui kedua pihak yang
melangsungkan akad. Namun demikian, dianggap sah jual beli orang
yang buta
5) Harga diketahui oleh kedua pihak yang akad
6) Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah
Barang, harga, dan aqid harus terhindar dari unsur-unsur yang
menjadikan akad tersebut menjadi tidak sah, seperti riba.
16
BAB IV
HUKUM (KETETAPAN) BAI’ BESERTA
PEMBAHASAN BARANG DAN HARGA
1. Hukum (Ketetapan) Akad
Hukum akad adalah tujuan dari aqad. Dalam jual beli, ketetapan akad
adalah menjadikan barang sebagai milik pembeli dan menjadikan harga atau
uang sebagai milik penjual.
Secara mutlak hukum aqad dibagi 3 bagian:
a. Dimaksudkan sebagai taklif, yang berkaitan dengan wajib, haram, sunah,
makruh, dan mubah.
b. Dimaksudkan sesuai dengan sifat-sifat syara’ dan perbuatan, yang sah,
luzum, dan tidak luzum, seperti pernyataan, “Akad yang sesuai dengan
rukun dan syaratnya disebut sahih lazim.”
c. Dimaksudkan sebagai dampak tasharruf syara’, seperti wasiat yang
memenuhi ketentuan syara’ berdampak pada beberapa ketentuan, baik bagi
orang yang diberi wasiat maupun bagi orang atau benda yang diwasiatkan
Hukum atau ketetapan yang dimaksud pada pembahasan akad jual beli
ini, yakni menetapkan barang milik pembeli dan menetapkan uang milik
penjual.
2. Tsuman (Harga) dan Mabi’ (Barang Jualan)
a. Pengertian Harga dan Mabi’
Secara umum, mabi’ adalah (perkara
yang menjadi tentu dengan ditentukan). Sedangkan pengertian harga
secara umum, adalah (perkara yang tidak tentu
dengan ditentukan).
Defenisi di atas, sebenarnya sangat umum sebab sangat bergantung
pada bentuk dan barang yang diperjual belikan. Adakalanya mabi’ tidak
17
memerlukan penentuan. Sebaliknya harga memerlukan penentuan, seperti
penetapan uang muka.
b. Penentuan Mabi’ (Barang Jualan)
Penentuan mabi’ adalah penentuan barang yang akan dijual dari
barang-barang lainnya yang tidak akan dijual, jika penentuan tersebut
menolong atau menentukan akad, apabila mabi’ tidak ditentukan dalam
akad, penentuannya dengan cara penyerahan mabi’ tersebut.
c. Perbedaan Harga, Nilai dan Utang
1. Harga
Harga hanya terjadi pada akad, yakni sesuatu yang direlakan dalam
akad, baik lebih sedikit, lebih besar, atau sama dnegan nilai barang.
Biasanya, harga dijadikan penukar barang yang diridai oleh kedua
pihak yang akad.
2. Menilai Sesuatu
Sesuatu yang dinilai sama menurut pandangan manusia.
3. Utang
Utang adalah sesuatu yang menjadi tanggungan seseorang dalam
urusan harta, yang keberadaannya disebabkan adanya beberapa iltijam,
yakni keharusan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu
untuk orang lain, seperti merusak harta gashab, berutang, dan lain-lain.
d. Perbedaan Mani’ dan Harga
Kaidah umum tentang mani’ dan harga adalah segala sesuatu yang
dijadikan mabi’ adalah sah dijadikan harga, tetapi tidak semua harga dapat
menjadi mabi’.
Diantara perbedaan antara mabi’ dan tsaman adalah:
1. Secara umum uang adalah harga, sedangkan barang yang dijual adalah
mabi’
18
2. Jika tidak menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah
mabi’ dan penukarannya adalah harga.
e. Ketetapan Mabi’ dan Harga
Hukum-hukum yang berkaitan dengan mabi’ dan harga antara lain:
1) Mabi’ disyaratkan haruslah harta yang bermanfaat, sedangkan harga
tidak disyaratkan demikian.
2) Mabi’ disyaratkan harus ada dalam kepemilikan penjual, sedangkan
harga tidak disyaratkan demikian.
3) Tidak boleh mendahulukan harga pada jual beli pesanan, sebaliknya
mabi’ harus didahulukan.
4) Orang yang bertanggung jawab atas harga adalah pembeli, sedangkan
yang bertanggung jawab atas mabi’ adalah penjual.
5) Menurut ulama Hanafiyah, akad tanpa menyebutkan harga adalah fasid
dan akad tanpa menyebutkan mabi adalah batal.
6) Mabi’ rusak sebelum penyerahan adalah batal, sedangkan bila harga
rusak sebelum penyerahan, tidak batal.
7) Tidak boleh tasharruf atas barang yang belum diterimanya, tetapi
dibolehkan bagi penjual untuk tasharruf sebelum menerima.
f. Hukum atas mabi’ dan harga rusak serta harga yang tiada laku
1. Kerusakan barang
Tentang hukum barang yang rusak, baik seluruhnya, sebagian,
sebelum akad, dan setelah akad, terdapat beberapa ketentuan yaitu:
a) Jika barang rusak semuanya sebelum diterima pembeli
Mabi’ rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, jual
beli batal
Mabi’ rusak oleh pembeli, akad tidak batal, dan pembeli harus
membayar
Mabi’ rusak oleh orang lain, jual-beli tidaklah batal, tetapi
pembeli harus khiyar antara membeli dan membatalkan
19
b) Jika barang rusak semuanya setelah diterima pembeli
Mabi’ rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual,
pembeli, atau orang lain, jual beli tidaklah batal sebab barang
telah keluar dari tanggungan penjual. Akan tetapi, jika yang
merusak orang lain, tanggung jawabnya diserahkan kepada
perusaknya.
Jika mabi’ rusak oleh penjual, ada dua sikap
1) Jika pembeli telah memegangnya, baik dengan seizin
penjual atau tidak, tetapi telah membayar harga, penjual
bertanggung jawab.
2) Jika penjual tidak mengizinkan untuk memegangnya dan
harga belym di serahkan, akad batal.
Ulama Syafi;iyah berpendapat bahwa setiap barang
merupakan tanggungan penjual sampai barang tersebut dipegang
pembeli.
c) Barang rusak sebagian sebelum diterima pembeli:
Ulama Hanadiyah berpendapat:
Jika rusak sebagian diakibatkan sendirinya, pembeli berhak
khiyar (memilih), boleh membeli atau tidak.
Jika rusak oleh penjual, pembeli berhak khiyar
Jika rusak oleh pembeli, jual beli tidaklah batal
d) Barang rusak sebagian setelah dipegang pembeli
Tanggung jawab bagi pembeli, baik rusak oleh sendirinya
taupun orang lain.
Jika disebabkan oleh pembeli, dilihat dari dua segi. Jika
dipegang atas seizin penjual, hukumnya sama seperti barang
yang dirusak oleh orang lain. Jika dipegang bukan atas
seizinnya, jual beli batal atas barang yang dirusaknya.
20
2. Kerusakan Harga
Harga rusak ditempat akad sebelum dipegang:
Jika harga berupa uang, akad tidak batal sebab dapat diganti
dengan yang lain.
Jika harga menggunakan barang yang dapat rusak dan tidak dapat
diganti waktu itu, emnurut ulama Hanadiyah, akadnya batal.
3. Harga Tidak Berlaku
Ulama Hanafiyah berpendapat, jika uang tidak berlaku sebelum
diserahkan kepada penjual, akad batal. Pembeli harus mengembalikan
barang kepada penjual atau menggantinya jika rusak.
Adapun menurut Abu Yusuf dan Muhammad (dua orang
sahabat Imam Hanafi), akad tidak batal, tetapi penjual berhak khiyar,
baik dengan membatalkan jual beli atau mengambil sesuatu yang
sesuai dengan nilai uang yang tidak berlaku tersebut.
g. Tasharruf atas mabi’ dan harga sebelum memegang
1. Tasharuff mabi’
Menurut ulama Hanafiyah, mabi’ yang dapat dipindahkan tidak boleh
di tasharruf kan sebelum diterima atau dipegang oleh pembeli, sebab
Rasulullah SAW, melarangnya sebagaimana dinyatakan dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
2. Tasharruf harga sebelum dipegang
Dibilehkan tasharruf atas harga sebelum memegang sebab termasuk
utang. Begitu pula dibolehkan tasharruf atas urang-utang lainnya,
seperti mahar, upah, pengganti barang yang rusak dan lain-lain.
h. Penyerahan mabi’ dan harga
Penyerahan harga dari pembeli dan mabi’ (barang) dari penjualan harus
dilakukan oleh penjual dan pembeli. Dengan kata lain, hal itu harus
21
dilakukan oleh penjual dan pembeli. Dengan kata lain, hal itu merupakan
kewajiban kedua belah pihak yang melakukan akad.
i. Hak menahan mabi’ (al-habsu)
Telah disinggung bahwa pembeli diharuskan terlebih dahulu menyerahkan
harga. Hal itu menunjukkan bahwa ia memiliki hak untuk mengekang
barang sehingga ia membayar harganya, baik sebagian maupun
seluruhnya.
Syarat dibolehkannya mengekang mabi’ ada dua:
1) Salah satu pengganti dari jual beli harus berupa utang (seperti uang,
dinar, dan lain-lain).
2) Harga yang ditetapkan harus dibayar waktu itu, jika disepakati ada
penangguhan, gugurlah hak mengekang.
j. Penyerahan dan cara meyakinkan
Penyerahan atau pemegangan menurut ulama Hanadiyah adalah
penyerahan atau pembebas antara mabi’ dan pembeli sehingga tidak ada
lagi penghalang di antara keduanya. Pembeli dibolehkan tasharruf atas
barang yang tadinya milik penjual.
Pemegangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
1) Penyerahan atau pembebasan
2) Pembeli merusak barang yang ada di tangan penjual
3) Penitipan barang kepada pembeli atau meminjamannya
4) Pemetikan, yakni pembeli memetik buah pedagang
3. Hukum dan Sifat Jual Beli
Ditinjau dari hukum dan sfat jual beli, jumhur ulama membagi jual beli
menjadi dua macam, yaitu jual beli yang dikategorikan sah (sahih) dan jual
beli yang dikategorikan tidak sah. Jual beli sahih adalah jual beli yang
memenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun syaratnya, sedangkan jual
beli tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan
22
rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain,
menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama. Adapun
ulama Hanadiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi sah, batal dan
rusak.
Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan ulama Hanafiyah
berpangkal pada jual beli atau akad yang tidak memenuhi ketentuan yara’
berdasarkan hadits:
Artinya:
“Barang siapa yang berbuat suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka
tertolak. Begitu pula barang siapa yang memasukkan suatu perbuatan kepada
agama kita, maka tertolak”.
(Muslim dari Siri Aisyah)
Berdasarkan hadis di atas, jumhur ulama berpendapat bahwa akad atau
jual beli yang keluar dari ketentuan syara’ harus ditolak atau tidak dianggap,
baik dalam hal muamalat maupun ibadah.
Adapun menurut ulama Hanasiyah, dalam masalah muamalah
terkadang asa satu kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dari syara’
sehingga tidak sesuai atau ada kekurangan dengan ketentuan syariat. Akad
seperti itu adalah rusak, tetapi tidak batal. Dengan kata lain, ada akad yang
batal saja dan ada pula yang rusak saja. Lebih jauh tentang penjelasan jual beli
sahih, fasad, dan batal adalah berikut ini.
Jual beli sahih adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun,
atau yang tidak sesuai dengan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya,
seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil.
Jual beli rusak adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat
pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli
23
yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga
menimbulkan pertentangan.
Adapun dalam maslaah ibadah, ulama Hanadiyah sepakat dengan
jumhur ulama bahwa batal dan fasad adalah sama.
4. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam
Jual beli yang dilarang dalam Islam sangatlah banyak. Jumhur ulama,
sebagaimana disinggung di atas, tidak membedakan antara fasid dan batal.
Dengan kata lain, menurut jumhur ulama, hukum jual beli terbagi dua, yaitu
jual beli sahih dan jual beli fasid, sedangkan menurut ulama Hanafiyah jual
beli terbagi tiga, jual beli sahih, fasid dan batal.
Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah Al-
Juhalili meringkasnya sebagai berikut:
1) Terlarang sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan sahih apabila
dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu ber
tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual
belinya adalah berikut ini.
a. Jual beli orang gila
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah.
Begitu pula sejenisnya, seperti orang mabuk, sakalor, dan lain-lain.
b. Jual beli anak kecil
Ulama fiqih sepakat bahwa jual bali anak kecil (belum
mumayyiz) dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang
ringan atau sepele. Menurut ulama Syafi’iyah jual beli anak mumayyiz
yang belum baligh, tidak sah sebab tidak ada ahliah.
Adapun menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah
jual beli anak kecil dipandang sah jika diizinkan walinya. Mereka
antara lain beralasan, salah satu cara untuk melatih kedewasaa adalah
dengan memberikan keleluasaan untuk jual beli, juga pengalaman atas
firman Allah SWT.
24
Artinya:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pendai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya”.
(QS. An-Nisa: 6)
c. Jual beli orang buta
Jual beli orang buta dikategorikan sahih menurut jumhur jika
barang yang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Adapun
menurut ulama Syafi’iyah jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia
tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik.
d. Jual beli terpaksa
Menurut ualam Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa,
seperti jual beli fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya), yakni
ditangguhkan (mauquf). Oleh karena itu, keabsahannya ditangguhkan
sampai rela (hilang rasa terpaksa). Menurut ulama Malikiyah, tidak
lazim, baginya ada khiyar. Adapun menurut ulama ada keridaan ketika
akad.
e. Jual beli fudhul
Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin
pemiliknya. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli
ditangguhkan sampai ada izin pemilik. Adapun menurut ulama
Hanabilah dan Syafi’iyah jual beli fudhul tidak sah.
f. Jual beli orang yang terhalang
Maksud terhalang di sini adalah terhalang karena kebodohan,
bangkrut, ataupun sakit. Jual beli orang yang bodoh yang suka
menghamburkan hartanya, menurut pendapat ulama Malikiyah,
Hanafiyah dan pendapat paling sahih di kalangan Hanabilah, harus
ditangguhkan. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli tersebut
25
tidak sah sebab tidak ada ahli dan ucapannya dipandang tiodak dapat
dipegang.
g. Jual beli Malja
Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam
bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli
tersebut fasid, menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut ualama
Hanabilah.
2) Terlarang Sebab Shighat
Ulama fiqih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan
pada keridaan di antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian di
antara ijab dan qabul, berada di satu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu
pemisah.
Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak
sah. Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan
oleh para ulama adalah berikut ini.
a. Jual beli mu’athah
Jual beli mu’athah adalah jual beli yang telah disepakati oleh
pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak
memakai ijab qabul. Jumhur ulama menyatakan sahih apabila ada ijab
dari salah satunya. Begitu pula dibolehkan ijab qabul dengan isyarat,
perbuatan, atau cara-cara lain yang menunjukkan keridhaan.
Memberikan barang dan menerima uang dipandang sebagai shighat
dengan perbuatan atau isyarat.
b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan
Disepakati ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau
utusan adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya surat atau utusan
dari aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul melebihi tempat, akad
tersebut dipandang tidak sah, seperti surat tidak sampai ke tangan yang
dimaksud.
c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan
26
Disepakati kesahihan akad dengan isyarat atau tulisan
khususnya bagi yang uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu,
isyarat juga, menunjukkan apa yang ada dalam tai aqid. Apabila isyarat
tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), akad
tidak sah.
d. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada
di tempat adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat in’iqad
(terjadinya akad).
e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
Hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama. Akan
tetapi, jika lebih baik, seperti meninggikan harga, menurut ulama
Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama Syafi’iyah
menganggapnya tidak sah.
f. Jual beli munjiz
Jual beli munjiz adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau
ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Jual beli, dipandang fasid
menurut ulama Hanafiyah, dan batal menurut jumhur ulama.
3) Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat
pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi’ (barang jualan)
dan harga.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud
alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat
diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan
dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan dari syara’.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian
ulama, tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, diantaranya berikut ini.
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidaka ada
27
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau
dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada
di usara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c. Jual beli gharar
Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran.
Hal itu dilarang dalam Islam sebab Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
“Janganlah kamu membeli ikan di dalam air karena jual beli seperti
itu termasuk gharar (menipu)”.
(HR. Ahmad)
Menurut Ibn Jazi Al-Maliki, ghahar yang dilarang ada 10
(sepuluh) macam :
1) Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih
dalam kandungan induknya.
2) Tidak diketahui harga dan barang
3) Tidak diketahui sifat barang atau harga
4) Tidak diketahui ukuran barang dan harga
5) Tidak diketahui masa yang akan datang, seperti “Saya jual
kepadamu, jika Jaed datang”
6) Menghargakan dua kali pada satu barang
7) Menjual barang yang diharapkan selamat
8) Jual beli husha’ misalnya pembeli memegang tongkat, jika tongkat
jatuh wajib membeli
9) Jual beli munabadzah, yaitu jual beli dengan cara lempar-
melempari, seperti seseorang melempar bajunya, kemudian yang
lain pun melempar bajunya, maka jadilah jual-beli.
28
10) Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain, maka wajib
membelinya.
d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis,
seperti khamar. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang barang
yang terkena najis (al-mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan,
seperti minyak yang terkena bangkai tikus. Ulama Hanafiyah
membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan, sedangkan
ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan.
e. Jual beli air
Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki, seperti air sumur
atau yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur
ulama madzhab empat. Sebaiknya ulama Zhahiriyah melarang secara
mutlak. Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah, yakni
yang semua manusia boleh memanfaatkannya.
f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli ini adalah fasid, sedangkan
menurut jumhur batal sebab akan mendatangkan pertentangan di
antara manusia.
g. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (gaib), tidak dapat
dilihat
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini dibolehkan
tanpa harus menyebutkan sifat-sifatnya, tetapi pembeli berhak khiyar
ketika melihatnya. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak
sah, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya bila disebut sifat-
sifatnya dan mensyaratkan 5 (lima) macam:
1) Harus jauh sekali tempatnya
2) Tidak boleh dekat sekali tempatnya
3) Bukan pemiliknya harus ikut memberikan gambaran
4) Harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh
29
5) Penjual tidak boleh memberikan syarat
h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang
Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat
dipindahkan sebelum dipegang, tetapi untuk barang yang tetap
dibolehkan. Sebaliknya, ulama Syafi’iyah melarangnya secara mutlak.
Ulama Malikiyah melarang atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah
melarang atas makanan yang diukur.
i. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah
ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ulama
Hanafiyah dan batal menurut Jumhur ulama. Adapun jika buah-buahan
atau tumbuhan itu telah matang, akadnya dibolehkan.
4) Terlarang Sebab Syara’
Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan
dan rukunya. Namun demikian, ada beberapa masalah yang
diperselisihkan di antara para ulama, diantaranya berikut ini.
a. Jual beli riba
Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah,
tetapi menurut jumhur ulama.
b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid (rusak) dan terjadi akad atas
nilainya, sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal sebab ada
nash yang jelas dari hadis ukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW
mengharamkan jual beli khamar, bangkai, anjing dan patung.
c. Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju tempat yang
dituju sehingga orang yang mencegatnya akan mendapatkan
keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu makruh
tahrim. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh
30
khiyar. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu
termasuk fasid.
d. Jual beli waktu azan Jum’at
Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at.
Menurut ulama Hanafiyah pada waktu azan pertama, sedangkan
menurut ulama lainnya, azan ketika khatib sudah berada di mimbar.
Ulama Hanafiyah menghukuminya makruh tahrim, sedangkan ulama
Syafi’iyah menghukumi sahih haram. Tidak jadi pendapat yang
masyhur di kalangan ulama Malikiyah, dan tidak sah menurut ulama
Hanabilah.
e. Jual beli anggur untuk dijadikan khamar
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah zahirnya sahih, tetapi
makruh, sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah
batal.
f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang, namun masih
dalam khiyar, kemudian datang orang lain yang menyuruh untuk
membatalkannya sebab ia akan membelinya dengan harga lebih tinggi.
g. Jual beli memakai syarat
Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti, “Saya
akan membeli baju ini dengan sayarat bagian yang rusak dijahit dulu”.
Begitu pula menurut ulama Malikiyah membolehkannya jika
bermanfaat. Menurut ulama Syafi’iyah dibolehkan jika syarat maslahat
bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad, sedangkan menurut
ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika hanya bermanfaat bagi salah
satu yang akad.
5. Macam-Macam Jual Beli
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat
macam:
a. Jual beli saham (pesanan)
31
Jual beli saham adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan
cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar
belakangan.
b. Jual beli muwayadhah (barter)
Jual beli muqayadhah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan
barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
c. Jual beli muthlaq
Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah
disepakati sebagai alat pertukaran, seperti sepatu.
d. Jual beli alat penukar dengan laat penukar
Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang yang
biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti
uang perak dengan uang emas.
Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi pula menjadi empat bagian:
1) Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah)
2) Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dnegan harga aslinya
(at-tauliyah)
3) Jual beli rugi (al-khasarah)
4) Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi
kedua orang yang akad saling meridai, jual beli seperti inilah yang
berkembang sekarang
32
BAB V
SAH ATAU TIDAK NYA JUAL BELI ANAK DI BAWAH UMUR
Ada beberapa pendapat mengatakan salah satunya, penjualan anak belum
sampai umur, belum berakal penuh, tidak sah penjualannya. Dari pada itu Abu
Hanifah mensyaratkan sahnya penjualan dengan terlebih dahulu ada izin dari para
wali dan dengan diizinkan oleh para wali di benarkan penjualan itu.
Kalau menurut saya penjualan itu sah di lakukan, apabila kedua belah
pihak sudah dewasa atau baliqh, berakal mempunyai kemampuan, kemampuan
atas kemauannya sendiri dan dia bisa memelihara hartanya.
Seandainya penjualan atau tukar menukar barang sesama anak kecil dan
mereka merasa tidak ada yang dirugikan menurut saya penjualan itu sah-sah saja,
karena dia jual beli sesama anak kecil dan para wali mereka tidak melarang.
Contohnya jual beli sesana anak kecil
Si A menjual sebuah kelereng kepada si B dan si B membelinya.
33
top related