pemikiran hasan al banna dalam pendidikan...
Post on 31-Jan-2018
258 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PEMIKIRAN HASAN AL BANNA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
MUHAMMAD AL BANNA
NIM108011000168
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
i
ABSTRAK
MUHAMMAD AL BANNA (NIM:108011000168). Pemikiran Hasan Al
Banna dalam Pendidikan Islam.
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui pemikiran Hasan
Al Banna tentang komponen-komponen dalam pendidikan Islam. (2)
memperdalam pemahaman tentang prinsip pemikiran Hasan Al Banna dalam
pendidikan Islam. (3) mengetahui aliran filsafat yang mempengaruhi pemikiran
Hasan Al Banna dalam pendidikan Islam.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yaitu
penelitian yang bermaksud menggambarkan tentang suatu variabel, gejala, atau
keadaan “apa adanya”, dan tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu.
Ditunjang oleh data-data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library
research). Karena permasalahari yang akan diteliti adalah mengkaji sejarah, maka
dari itu diperlukan banyaknya literatur-literatur yang relevan dengan skripsi ini.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan adalah bahwa:
1. Hasan Al Banna mempunyai pandangan bahwa pendidikan adalah upaya
ikhtiari manusia untuk peningkatan taraf hidup kearah yang lebih baik.
2. Pemikiran Hasan Al Banna dalam pendidikan Islam berangkat dari
pemahamannya terhadap ajaran Islam yang memiliki universalitas;
universalitas zamany, universalitas makany (geografi) dan unversalitas
insany (kemanusiaan), yaitu Al-Qur’an Sunnah Nabi Saw. Dan amaliyatsalaf
al-shalih sebagai rujukannya. Pemikiran Hasan Al Banna dalam pendidikan
islam meliputi:
a. Dasar-dasar pendidikan Islam berlandaskan pada ajaran yang bersumber
dari Al-Qur'an dan Hadist.
b. Tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk kepribadian muslim yang
merupakan realisasi atas pemahaman Islam kaffah.
c. Metode pendidikan harus mencontoh prinsip-prinsip Qur'ani.
d. Materi pendidikan bertumpu pada ajaran tauhid, sedangkan ibadah dan
akhlak merupakan suplemennya.
e. Hubungan pendidik dan peserta didik harus selalu harmonis.
f. Pendidikan Islam meliputi pendidikan formal, informal, dan non formal,
yang ketiganya saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain.
3. Pemikiran Hasan Al Banna dalam pendidikan Islam dapat di kategorikan ke
dalam aliran filsafat rekonstruksionalisme, yaitu suatu aliran yang berusaha
mengatasi krisis kehidupan modern dengan membangun tata susunan hidup
yang baru melalui lembaga dan proses pendidikan.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul "PEMIKIRAN HASAN AL BANNA DALAM PENDIDIKAN ISLAM".
Skripsi ini penulis ajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendid'ikan Islam (S.Pd.I). Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada
juri'jungan kita nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, dan kita sebagai
pengikut ajarannya.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh bimbingan, arahan
dan masukan dari berbagai pihak sehingga penulis dapat mengatasi semua
halangan dan rintangan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala
kerendahan hati dan ketulusan jiwa, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya, jazakumullah khairan jaza, mereka adalah :
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin
Hidayat, M.A. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk mengikuti perkuliahan Pendidikan Agama Islam di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Nurlena Rifa'i, Ph. D
beserta seluruh staffnya.
3. Kepala Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag.
4. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Marhamah Saleh, Lc.
MA.
5. Penasehat Akademik, Tanenji, M.A. yang senantiasa memberikan
nasihat, arahan dan motivasinya kepada penulis.
6. Dosen Pembimbing, Dr. Khalimi, M.A. yang telah banyak
memberikan arahan dan motivasinya kepada penulis selama
menyelesaikan skripsi ini.
iii
7. Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah banyak
memberikan ilmu kepada penulis selama di perkuliahan.
8. Kepala Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
seluruh staff, atas segala kemudahan yang diberikan kepada penulis
untuk mendapatkan referensi yang mendukung penyelesaian skripsi
ini.
9. Orang tua tercinta, H. Sholihin Sani dan Betty Nurbaeti, yang tiada
henti-hentinya memberikan doa, nasehat, dan semangat agar penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
10. Nuristiana S.Pd., yang terus memberikan semangat dan motivasinya
selama penulis mengerjakan skripsi ini.
11. Teman-teman Jurusan Pendidikan Agama Islam, khususnya
sahabat-sahabatku kelas E (ANKA FC) angkatan 2008 yang selalu
memberikan masukan yang berharga dan semangat kepada penulis
Semoga selamanya kita kompak.
Serta semua pihak yang telah banyak membantu penulis namun tidak
bisa disebutkan satu persatu. Penulis berharap semoga amal baik dari semua
pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
mendapatkan balasan dari Allah SWT. Semoga apa yang telah ditulis dalam
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin ya Rabbal alamin.
Jakarta, 21 Maret 2014
Muhammad Al Banna
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
ABSTRAK ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Permasalahan ............................................................................. 4
1. Identifikasi Masalah ............................................................... 4
2. Pembatasan Masalah .............................................................. 5
3. Perumusan Masalah ............................................................... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................... 5
1. Tujuan Penelitian ................................................................... 5
2. Kegunaan Penelitian .............................................................. 5
BAB II KAJIAN TEORITIS
A. Filsafat Pendidikan Islam .......................................................... 6
1. Pengertian Pendidikan Agamalslam ...................................... 6
2. Urgensi dan Fungsi Pendidikan Islam .................................. 12
3. Sumber-sumber Filsafat Pendidikan Islam ............................ 14
4. Aliran-aliran dalam Filsafat Pendidikan Islam ...................... 15
B. Pemikiran Pendidikan Islam ...................................................... 18
1. Pengertian Pemikiran Pendidikan Islam ............................... 18
2. Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Pemikiran Pendidikan
Islam ....................................................................................... 19
3. Prinsip-prinsip Pemikiran Pendidikan Islam ......................... 19
4. Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam ..................................... 20
v
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Sumber dan Jenis Penelitian ...................................................... 27
B. Tehnik Perolehan Data ............................................................... 28
C. Tehnik Pengolahan Data ............................................................. 28
D. Tehnik Penulisan ........................................................................ 31
BAB IV HASAN ALBANNA
A. Biografi ....................................................................................... 32
B. Pemikiran dalam Pendidikan ...................................................... 35
1. Dasar-dasar Pendidikan ......................................................... 36
2. Tujuan Pendidikan ................................................................. 37
3. Metode Pendidikan ................................................................ 38
4. Materi-materi dalam Pendidikan ........................................... 38
5. Pendidik dan Peserta Didik .................................................... 46
6. Evaluasi Pendidikan Islam ..................................................... 48
7. Analisis ................................................................................. 49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 50
B. Saran ........................................................................................... 52
DAFTARPUSTAKA ................................................................................. 53
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam telah berlangsung kurang lebih 14 abad, yakni
sejak Nabi Muhammad Saw. diutus sebagai Rasul. Pada awalnya pendidikan
berlangsung secara sederhana, dengan masjid sebagai pusat proses
pembelajaran, Al-Qur'an dan hadist sebagai kurikulum utama dan Rasulullah
sendiri berperan sebagai guru dalam proses pendidikan tersebut. Setelah
Rasulullah wafat, Islam terus berkembang ke luar Jazirah Arab. Sejalan
dengan itu pendidikan Islam terus berkembang. Kurikulum pendidikan,
misalnya, yang sebelumnya terbatas pada Al-Qur'an dan Hadist berkembang
dengan dimasukkannya ilmu-ilmu baru yang berasal dari luar Jazirah Arab
yang telah berhubungan dengan Islam secara baik dalam bentuk peperangan
maupun dalam bentuk hubungan damai.
Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan kegiatan kependidikan
pada masa klasik Islam telah membawa Islam sebagai jembatan
pengembangan keilmuan dari keilmuan klasik ke keilmuan modern. Akan
tetapi generasi umat Islam seterusnya tidak mewarisi semangat ilmiah yang
dimiliki para pendahulunya. Akibatnya prestasi yang telah diraih berpindah
2
tangan ke Barat, karena ternyata mereka mau mempelajari dan meniru tradisi
keilmuan yang dimiliki oleh umat Islam masa klasik dan mampu
mengembangkannya secara lanjut.
Kemudian, berawal dari kemunduran yang di alami umat Islam masa
masa itu dan Barat makin menunjukkan eksistensinya sebagai pusat
peradaban, maka muncullah banyak pemikir-pemikir Islam yang tersadar
bahwa keadaan umat Islam saat itu sangat terbelakang. Maka mereka
melakukan suatu gerakan yang menghasilkan gagasan untuk membangkitkan
umat Islam dari keterpurukan itu. Banyak sekaii tokoh-tokoh umat Islam yang
memberikan ide-ide dan gagasan-gagasannya pada masa itu, dl antaranya
yaitu:
1. Hasan Al Banna
a. Beliau mempunyai ide Arabisme, yakni Islam tidak pernah bangkit
tanpa bersatunya bangsa Arab. Batas-batas geografis dan pemetaan
politis tidak pernah mengoyak makna kesatuan Arab dan Islam.
b. Beliau memperjuangkan Islam melalui sebuah tradisi penegakan
Islam yakni keluarga (al-usrah). Kelompok-kelompok usrah inilah
yang dikenal dengan nama gerakan Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini
menekankan pada aspek penegakan syari'at Islam yang penuh
dengan keyakinan dan keikhlasan.1
c. Dalam bidang pendidikan, beliau menjelaskan bahwa pendidikan
yang ideal adalah pendidikan yang seimbang yang mementingkan
aspek akal dan rohani sekaligus, dilandasi oleh Al-Qur'an dan
Hadist, serta me'miliki corak keislaman yang jelas.2
2. Jamaluddin al-Afghani
a. Beliau menyuarakan agar umat Islam kembali kepada Al-Qur'an dan
Hadist.
1http://evirizkirahmadani.wordpress.com/2012/Q5/24/hasan-al-banna-dan-pemikirannya-
tentang-kebangkitan-umat-3/diakses pada Jum‟at. 2 Mei 2014 pkl. 15.00 wib. 2 http://kabunvillage.blogspot.com/2011/ll/al-banna-hasan.html diakses pada Jum'at,2 Mei
2014 pkl. 15.25 wib.
3
b. Menggiatkan tradisi intelektual dengan mengkaji berbagai ilmu
pengetahuan seperti sains, filsafat, dan teks-teks wahyu.
c. Memberikan ide gagasan yaitu Pan-Islamisme (kesatuan dan
persatuan Umat Islam di dunia.3
3. Muhammad Abduh
a. Dalam bidang pendidikan, beliau menganut sistem pendidikan
Madrasah Alam, dibandingkan dengan sistem yang bercorak
dualisme.
b. Beliau merupakan penganjur yang sukses dalam membuka pintu
ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan zaman modern,
c. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam
percakapan-percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan
maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.4
4. Muhammad Iqbal
a. Bersama Muhammad Ali Jinnah dan umat Islam India berhasil
mendirikan negara Islam yang sekarang lebih dikenal dengan negara
Pakistan,
b. Beliau menganut paham dianmisme yang tujuannya adalah untuk
mendorong umatnya saati itu supaya berpikir dan menggunakan akal
rasional
c. Beliau mengatakan bahwa tujuan dari puncak tasawufnya adalah
insan al-kamil atau mardi'i khuda yaitu insan sebagai teman kerja
Tuhan di muka bumi ini.5
3http://ibrohimnaw.wordpress.com/2009/04/13/kajian-tokoh-jamaluddin-al-afghani/ diakses
pada Jumat, 2 Mei 2014 pkl. 15. 30 wib. 4 http://asrikarolina.wordpress.com/2011/06/09/muhammad-abduh/ diakses pada Jumat, 2
Mei 2014 pkl. 15.45 wib. 5http://paidjo2009.blogspot.com/2012/05/filosofispemikiran-muhammad-iqbal.html diakses
pada Junvat, 2 Mei 2014 pkl. 16.00 wib.
4
5. Sayyid Amir Ali
a. Dalam pemikiran dan filsafat Islam, beliau berpendapat bahwa jiwa
yang terdapat dalam Al-Qur'an bukan jiwa fatalisme, tetapi jiwa
kebebasan manusia dalam berbuat. Jiwa manusia bertanggung jawab
atas perbuatannya.
b. Beliau berpendapat bahwa kemunduran umat Islam sebabnya terletak
pada keadaan umat Islam di zaman modern menganggap pintu ijtihad
telah tertutup dan oleh karena itu mengadakan ijtihad tidak boleh lagi,
bahkan merupakan dosa.
c. Beliau membentuk National Muhammaden Association yang
merupakan wadah persatuan umat Islam di India, dan tujuannya adalah
untuk membela kepentingan urnat Islam dan melatih umat Islam dalam
bidang politik.6
Dari beberapa gagasan para pemikir pembaharuan Islam, penulis
tertarik untuk menampilkan serta menguraikan tentang konsep pemikiran
Hasan Al Banna, dengan alasan bahwa penulis ingin mengenal lebih dekat
sosok Hasan Al Banna, dan juga konsep pemikiran Hasan Al Banna meliputi
seluruh aspek dalam kehidupan (universal), serta masih cukup relevan untuk
dikembangkan dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang penulis, maka ada beberapa persoalan yang
dapat diidentifikasi, antara lain :
a. Defmisi dan aliran-aliran dalam filsafat pendidikan Islam
b. Aliran filsafat Hasan Al Banna
c. Biografi dan pemikiran Hasan Al Banna dalam Pendidikan Islam.
6http://rachmatfatahillah.blogspot.com/2013/01/sayyid-amir-ali-dan-mohammad-ali-
jinnah.html diakses pada Jumat, 2 Mei 2014 pkl. 16.15 wib.
5
2. Pembatasan Masalah
Di dalam skripsi ini, penulis akan membatasi permasalahannya
yaitu berfokus tentang konsep pemikiran Hasan Al Banna dalam
pendidikan Islam.
3. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah tersebut, penulis merumuskan
permasalahannya yaitu :
a. Bagaimana pemikiran Hasan Al Banna tentang komponen-
komponen dalam pendidikan Islam?
b. Termasuk ke dalam aliran filsafat apakah pemikiran Hasan Al
Banna?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pemikiran Hasan Al Banna tentang komponen-
komponen dalam pendidikan Islam,
b. Untuk mengetahui aliran filsafat yang mempengaruhi pemikiran
Hasan Al Banna
c. Memperdalam pemahaman tentang prinsip pemikiran Hasan Al
Banna dalam pendidikan Islam.
2. Kegunaan Penelitian
a. Menambah wawasan tentang pemikiran Hasan Al Banna dalam
pendidikan Islam,
b. Memperkaya khazanah keilmuan untuk dikembangkan selanjutnya,
yaitu tentang konsep pemikiran Hasan Al Banna.
c. Menambah perbendaharaan kepustakaan bagi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya mengenai pemikiran tokoh-tokoh
Islam dalam pendidikan Islam.
6
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Filsafat Pendidikan Islam
1. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Sebelum merambah jauh berbicara tentang pengertian Filsafat
Pendidikan Islam, baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa itu filsafat. Ada
dua pendapat berbeda mengenai asal-usul tema filsafat secara etimologi.
Pendapat pertama menyebutkan bahwa fisafat berasal dari bahasa Arab,
falsafah. Pendapat ini di antaranya dikemukakan oleh Harun Nasution.
Menurutnya, filsafat berasal dari kata Arab, falsafa dengan timbangan
fa'lala, fa'lalah, dan fi'lal. Namun bahasa Indonesia menyebutnya "filsafat",
padahal tema ini dilihat dari akar katanya bukan berasal dari kata Arab,
falsafah, dan bukan pula berasal dari kata Inggris, philosophy.7
Pendapat kedua menyatakan bahwa filsafat berasal dari kata bahasa
Inggris philo dan sophos. Philo berarti cinta, dan sophos berarti ilmu atau
7 Toto Suharto, Filsafat pendidikan Islam, (Jogjakarta) Ar-Ruzz Media, 2011). h. 15
6
7
hikmah.8
Dari kedua pendapat ini, muncul pendapat ketiga yang
menggabungkan keduanya. Pendapat ini dikemukakan oleh filsuf Islam al-
Farabi. Menurutnya filsafat berasal dari bahasa Yunani yang masuk dan
digunakan sebagai bahasa Arab, yaitu berasal dari kata philosophia. Philo
berarti cinta, sedangkan sophia bera rti hikmah.9
Namun demikian,
meskipun kata filsafat berasal dari Yunani, tidak berarti orang Yunani
Kuno adalah perintis pertama pemikiran filsafat di dunia. Sebelum Yunani
Kuno, ada negara lain seperti Mesir, Cina, dan India yang sudah
mempunyai tradisi filsafat, meskipun mereka tidak rnenggunakan kata
philosophia untuk maksud yang sama.10
Filsafat, falsafah, atau philosophia secara harfiah berarti cinta
kepada kebijaksanaan atau cinta'kepada kebenaran. Maksudnya, setiap
orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada
pngetahuan disebut philosopher, yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai
tujuan hidupnya. Dengan perkataan lain, ia mengabdikan diri dan
hidupnya kepada pengetahuan. Filsafat secara sederhana berarti "alam
pikiran” atau “alam berpikir”. Berfilsafat artinya berpikir. Namun, tidak
semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara
mendalam (radikal) dan sungguh-sungguh. Ada sebuah semboyan yang
mengatakan bahwa “setiap manusia adalah fisuf. Semboyan ini benar
adanya, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi, secara filosofis,
semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalh
filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu
dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Filsafat adalah hasil akal budi
manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-
8 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat,Terj. Soejono Soemargono, Cet. VI, (Jogjakarta:
bayu Indra Grafika, 1989), h. 11 9 Oemar Amin Hoesin Anshari, Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1961), h. 14
10 Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama Cet. VII (Surabaya: Bina Ilmu,
1987), h. 80-82
8
dalamnya. Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan
sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Berikut dikemukakan beberapa pengertian filsafat menurut para
ahli. mulai dari klasik hingga modern.
a. Plato (427-347 SM) mengatakan bahwa filsafat itu tidak lain
dari pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada.11
b. Aristoteles (384-322 SM) berpendapat bahwa filsafat
itu menyelidiki sebab dan asas segala benda.12
c. Marcuss Tullius Cicero (106-143 SM) merumuskan filsafat
sebagai pengetahuan tentang segala yang maha-agung dan
usaha-usaha untuk mencapainya.13
d. Al-Farabi (w. 950 M) mengungkapkan bahwa filsafat adalah
ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan
menyelidiki "hakikat yang sebenarnya.14
e. Immanuel Kant (1724-1804 M) menguatarakan bahwa filsafat
adalah ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang
didalamnya mencakup emapat persoalan, yaitu apa yang dapat
diketahui manusia (metafisika), apa yang boleh dikerjakan
manusia (etika), sampain di mana harapan manusia (agama)
dan apa yang dinamakan manusia (antropologi).15
f. D.C. Mulder menyatakan bahwa filsafat adalah pemikiran
teoritis tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan.16
g. Fuad Hasan menggagas bahwa filsafat adalah suatu ikhtiar
untuk berpikir radikal; radikal dalam arti muali dari radiksnya
suatu gejala, dari akarnya sesuatu yang hendak
11
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1981), h. 155. 12
Ibid 13
Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Get. II, (Sala: Ramadhani, 1982), h. 9. 14
Abu Ahmadi, Filsafat Islam, (Semarang: Toha Putra, 1988), h. 8. 15
Abubakar. loc. cit. 16
Harold H. Titus dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Terj. H.M. Rasjidi, Get. 1, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), h. 11-14.
9
dipermasalahkan. Dengan gejala penjajagan yang radikal ini,
filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan
yang universal.17
h. Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis bahwa filsafat adalah
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai
hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.18
Dari banyaknya pengertian filsafat yang dikemukakan,
kiranya dapat dikatakan bahwa para ahli telah merumuskan filsafat
secara berbeda-beda. Hal ini mengindikasikan bahwa filsafat
memang sulit didefinisikan. Oleh karena itu, Mohammad Hatta dan
Langeveld menyarankan agar filsafat itu tidak didefinisikan.19
Biarlah seseorang mendefinisikan filsafat menurut
konotasinya sendiri setelah ia belajar filsafat. Ditambah lagi,
"hampir semua definisi bergantung kepada cara orang berpikir
mengenai filsafat itu", demikian menurut Abu Bakar Aceh.20
Dalam konteks ini, penulis lebih cenderung kepada
pendapat Sidi Gazalba yang mengartikan filsafat sebagai berpikir
secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka
mencari kebenaran, inti atau hakikat mengenai segala yang ada.21
Selanjutnya penulis akan menjelaskan pengertian filsafat
pendidikan Islam menurut para tokoh.
Ahmad D. Marimba dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Filsafat Pendidikan Islam menyatakan bahwa Filsafat
Pendidikan Islam terdiri dari tiga kata filsafat, pendidikan, dan
Islam. Namun demikian, ketiganya tidaklah berdiri sendiri-sendiri,
melainkan mempunyai hubungan yang sangat erat. Ketiga kata itu
17
Fuad Hasan. Berkenalan dengan Filsafat Eksistensialisme, Cet. IV, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1989), h. 10. 18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 242. 19
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Cet. I,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990) h, 8. 20
Abubakakar. op. cit. h. 9. 21
Sidi Gazalba. Sistematika Filsafat, Jilid I, Get. II, (Jakarta: Bulan Bintang. 1967), h. 15.
10
mewakili satu pengertian yang bulat dan tersendiri. Pokok yang
dibicarakan dalam Filsafat Pendidikan Islam adalah filsafat.
Filsafat tentang apa ? Jawabnya, filsafat tentang pendidikan.
pendidikan yang bercorak bagaimana? Pendidikan yang bercorak
Islam, atau singkatnya pendidikan Islam. Dengan demikian,
meskipun terdiri dari tiga kata, ketiganya dapat direntang menjadi
satu kalimat yang mewakli satu pangertian, yaitu filsafat tentang
pendidikan yang bercorak Islam.22
Muzayyin Arifm dalam Filsafat Pendidikan Islam menulis:
“Filsafat Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep
berpikir tentang kependidikan yang bersumber atau
berlandaskan ajaran agama Islam tentang hakikat kemampuan
manusia untuk dapat .dibina dan dikembangkan serta dibimbing
menjadi manusia Muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh
ajaran Islam”.23
Dari kutipan di atas tampak bahwa Arifin di dalam
mengemukakan pengertian Filsafat Pendidikan Islamlebih
menekankan pada pendidikan Islamnya daripada unsur filsafatnya.
Di sini, Filsafat Pendidikan Islam harus memunculkan sebuah
konsep tentang bagaimana pendidikan Islam mampu melahirkan
dan mencetak pribadi Muslim.
Kemudian, Munir Mulkhan dalam Paradigma Intelektual
Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah
menyebutkan bahwa secara khusus Filsafat Pendidikan Islam
adalah suatu analisis atau pemikiran rasionalis yang dilakukan
secara kritis, radikal, sistematis, dan metodologis untuk
22
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet. VIII, (Bandung: Al-
Ma‟arif, 1989), h. 10. 23
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. ix.
11
memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam.24
Dari pengertian ini, tampak bahwa Mulkhan dalam mendefmisikan
Filsafat Pendidikan Islam lebih memfokuskan dan menekankan
pada aspek filsafat, yaitu berpikir rasional secara kritis, radikal,
sistematis, dan metodologis mengenai pendidikan Islam harus lebih
ditonjolkan.
Hal senada juga dikemukakan oleh Hasan Langgulung.
Menurutnya, Filsafat Pendidikan Islam tidak berbeda maknanya
dengan sejumlah prinsip, kepercayaan, dan premis yang diambil
dari ajaran Islam atau sesuai dengan semangatnya dan mempunyai
kepentingan terapan dan bimbingan dalam bidang pendidikan.25
Dari beberapa pendapat para tokoh di atas, umunya mereka
memperdebatkan dua wacana Filsafat Pendidikan Islam . Pertama,
Filsafat Pendidikan Islam adalah filsafat tentang pendidikan
pendidikan Islam. Kedua, Filsafat Pendidikan Islam adalah filsafat
pendidikan dalam perspektif Islam. Dari kedua wacana ini, penulis
Cenderung berpendapat bahwa Filsafat Pendidikan Islam dapat
diaftikan sebagai filsafat tentang pendidikan Islam, dan dapat juga
diartikan sebagai filsafat pendidikan menurut Islam. Yang jelas,
dari kedua pengertian ini, Filsafat Pendidikan Islam bagaimanapun
juga adalah filsafat. Filsafat Pendidikan Islam merupakan kajian
filosofis mengenai berbagai masalah pendidikan yang berlandaskan
ajaran Islam. Kajian filosofis digunakan dalam Filsafat Pendidikan
Islam, dalam arti bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan
pemikiran secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal
dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat mengenai
pendidikan Islam. Filsafat Pendidikan Islam dengan demikian
24
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam dan Dakwah, Cet. I, (Yogyakarta: SIPRESS, 1993), h. 74. 25
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Pustaka al-Husna:
1988), h. 41.
12
senantiasa mengkaji filsafat pendidikan yang berlandaskan ajaran
Islam.
2. Urgensi dan Fungsi Filsafat Pendidikan Islam
Menurut Imam Barnadib yang mengutip pendapat" Brubacher
mengatakan bahwa filsafat pendidikan sewajarnya dipelajari oleh mereka
yang memperdalam ilmu pendidikan dan keguruan. Alasannya adalah
sebagai berikut:
a. Berbagai masalah pendidikan selalu timbul dari zaman ke zaman,
yang menjadi perhatian ahlinya masing-masing. Pendidikan adalah
usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin
suatu bangsa dan masyarakat.
b. Orang yang mempelajari filsafat pendidikan akan memiliki
pandangan-pandangan yang jangkauannya melampaui hal-hal yang
ditemukan secara empirik atau eksperimental oleh ilmu pengetahuan.
Dari sini ia diharapkan memiliki bekal untuk meninjau masalah-
masalah pendidikan secara kritis.
c. Dengan berlandaskan asas bahwa berfilsafat adalah berpikir logis,
teratur, dan kritis maka berfilsafat pendidikan berarti memilki
kemampuan intelektual dan akademik ini. Dari sini, mempelajari
filsafat pendidikan berarti mengandung optimisme dalam
membentuk pribadi pendidik yang baik.26
Al-Syaibany secara khusus menjelaskan bahwa mempelajari
Filsafat Pendidikan Islam memiliki beberapa kegunaan sebagai berikut:
a. Filsafat Pendidikan Islam dapat membantu para perencana dan para
pelaksana pendidikan untuk membentuk suatu pemikiran yang sehat
tentang pendidikan.
26
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, Cet. IX, (Yogyakarta: Andi
Offset), h. 16.
13
b. Filsafat Pendidikan Islam merupakan asas bagi upaya menentukan
berbagai kebijakan pendidikan.
c. Filsafat Pendidikan Islam dapat dijadikan asas bagi upaya menilai
keberhasilan pendidikan.
d. Filsafat Pendidikan Islam dapat dijadikan sandaran intelektual bagi
mereka yang berkecimpung dalam dunia praksis pendidikan.
e. Filsafat Pendidikan Islam dapat dijadikan dasar bagi upaya pemberian
pemikiran pendidikan dalam hubungannya dengan masalah spiritual,
kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik.27
Pada intinya, Filsafat Pendidikan Islam merupakan pegangan dan
pedoman yang dapat dijadikan landasan filosofis bagi pelaksanaan
pendidikan Islam dalam rangka menghasilkan generasi baru yang
berkepribadian Muslim. Generasi baru ini secara bertahap dan estafet pada
gilirannya dapat membangun dan menyusun kembali filsafat yang
melandasi usaha-usaha pendidikannya sehingga membawa hasil yang lebih
besar.28
Setelah diketahui betapa pentingnya Filsafat Pendidikan Islam,
langkah berikutnya adalah mengetahui fungsi Filsafat Pendidikan Islam.
Noor Syam dengan mengambil pendapat dari Brubacher mengemukakan
bahwa filsafat pendidikan memiliki empat fungsi, yaitu fungsi spekulatif,
fungsi normatif, fungsi kritik, dan fungsi teori.29
Fungsi spekulatif
menekankan bahwa filsafat pendidikan berusaha memahami berbagai
persoalan pendidikan, merumuskannya dan mencarikan hubungannya
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan. Fungsi normatif
adalah sebagai penentu arah dan pedoman pendidikan. Tujuan pendidikan
apa yang akan ditentukan, manusia model apa yang ingin dicetak, dan
norma-norma atau nilai-nilai apa yang hendak dibina, semuanya
27
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Ter. Hasan
Langgulung, Cet. 1, (Jakarta: Bulan Bintang), h. 33-36, 28
Ahmad D. Marimba, op. cit., h. 30. 29
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
Cet. II, (Surabaya: Usaha Nasional 1984);h. 51-52.
14
ditentukan oleh filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan melakukan fungsi
kritik, artinya memberi dasar bagi pengertian kritis-rasional dalam
mempertimbangkan dan menafsirkan data-data ilmiah pendidikan.
Kemudian filsafat juga senantiasa memberikan ide, konsepsi, analisis, dan
berbagai teori bagi upaya pelaksanaan pendidikan. Filsafat pendidikan
selalu menentukan prinsip-prinsip umum bagi suatu praktek pendidikan.
Pada intinya, Filsafat Pendidikan Islam berfungsi mengarahkan dan
memberikan landasan pemikiran yang sistematik, mendalam, logis,
universal, dan radikal terhadap berbagai persoalan yang dialami
pendidikan Islam. Oleh karena persoalan-persoalan pendidikan Islam itu
diselesaikan secara filosofis, solusi itu bersifat komprehensif, tidak
parsial. Dalam konteks ini, fungsi Filsafat Pendidikan Islam dapat
diibaratkan sebagai sebuah kompas, yang menjadi penentu arah dan
strategi kemajuan pendidikan Islam.
3. Sumber-sumber Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat Pendidikan Islam berdasarkan ajaran Islam artinya sumber
utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah senantiasa dijadikan
landasan bagi Filsafat Pendidikan Islam. Selain itu, Filsafat Pendidikan
Islam juga mengambil sumber-sumber dari ajaran lain yang sejalan, atau
tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam. Dalam konteks ini, 'Abdul-
Rahman Salih 'Abdullah menyebutkan bahwa para pakar Filsafat
Pendidikan Islam terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, adalah mereka
yang mngadopsi konsep-konsep non-Islam dan memadukannya ke dalam
pemikiran pendidikan Islam. Kedua, adalah mereka yang tergolong
kelompok Filsafat Pendidikan Islam Tradisional, yang senantiasa
mengambil pandangan Al-Qur'an dan Sunnah tentang Pendidikan Islam.30
Sementara itu, hal-hal yang dapat dipandang sebagai sumber
historis bagi Filsafat Pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
30
toto Suharto, op cit,, h. 33
15
a. Hasil-hasil kajian ilmiah mengenai watak manusia, tingkah
lakunya, proses pertumbuhannya, kemampuan-kemampuannya,
dan lain-lain, baik yang bersifat biologis. psikologis, maupun
sosiologis, yang senantiasa serasi dan seorientasi dengan akidah dan
nilai-nilai ajaran Islam,
b. Hasil-hasil kajian ilmiah dalam bidang pendidikan mengenai
proses belajar manusia, dan berbagai corak kajiannya yang tidak
bertentangan dengan semangat ajaran Islam,
c. Pengalaman-pengalaman keberhasilan kaum Muslimin dalam
bidang pendidikan. keterbukaan penerimaan terhadap pengalaman-
pengalaman ini akan berfaedah bagi perbaikan Filsafat Pendidikan
Islam yang dirumuskan.
d. Prinsip-prinsip yang menjadi dasar filsafat politik Islam, ekonomi
Islam, dan sosiologi Islam yang diterapkan dalam masyarakat Muslim.
e. Nilai-nilai dan tradisi sosial budaya masyarakat Muslim yang tidak
menghambat kemajuan dan perubahan.31
4. Aliran-aliran dalam Filsafat Fendidikan Islam
a. Aliran Progressivme
Aliran progressivme adalah suatu aliran filsafat pendidikan
yang sangat berpengaruh dalam abad ke 20 ini. Pengaruh ini terasa di
seluruh bagian dunia, terlebih di Amerika Serikat. Biasanya aliran ini
dihubungkan dengan pandangan hidup liberal, yaitu pandangan hidup
yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : fleksibel (tidak kaku,
tidak menolak perubahan; tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu),
corious (ingin mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan open-
minded (mempunyai hati terbuka).32
Tokoh-tokoh progressivisme
yang terkenal adalah William James dan John Dewey.
31
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, op, cit, h. 44-45. 32
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. II. (Jakarta: Bumi Aksara. I995) h. 20.
16
b. Aliran Esensialisme
Aliran ini muncul pada zaman Renaissans, dengan ciri-ciri
utamanya yang berbeda dengan progressivisme. Perbedaan ini
terutama dalam memberikan dasar berpijak menegenai pendidikan
yang penuh fleksibilitas, dimana serba terbuka untuk perubahan,
toleran, dan tidak ada keterikatan dengan doktrin tertentu. Bagi
esensialisme, pendidikan yang berpijak pada dasar pandangan itu
sudah goyah dan kurang terarah. Karena itu esensialisme memandang
bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah
yang jelas.33
Tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran aliran
esensialisme, yaitu Desiderius Erasmus, Johann Amos Comenius, dan
Johann Henrich Pestalozzi.
c. Aliran Perenialisme
Aliran perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang
berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses
mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada
kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan telah teruji
ketangguhannya. Tokoh-tokohnya yaitu Plato, Aritoteles, dan Thomas
Aquinas.34
d. Aliran Rekonstruksionalisme
Pada dasarnya aliran rekonstruksionalime adalah sepaham
dengan aliran perennialisme dalam hendak mengatasi krisis kehidupan
modern. Hanya saja jalan yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang
dipakai oleh perennialisme, tetapi sesuai dengan istilah yang
dikandungnya, yaitu berusaha membina suatu konsensus yang paling
33
ibid,, h. 25 34
ibid,,h. 27-28
17
luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam
kehidupan manusia.
Untuk mencapai tujuan itu, rekonstruksionalisme berusaha
mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat
mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh
lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses pendidikan,
rekonstruksioanlisme ingin merombak tata susunan lama, dan
membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru.35
Tokoh-tokoh dalam aliran Rekonstruksionalisme, diantaranya
adalah George Hunt, Caroline Pratt, dan Harold Rugg.
e. Aliran Eksistensialisme
Aliran eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan
aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat
manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan
dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat
eksistensi. Paham eksistensialisme secara radikal menghadapkan
manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah
benar-benar sebagai arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan
cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Paham ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman
individu. Beberapa tokoh dalam aliran ini diantaranya: Jean Paul
Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, dan Martin Heidegger.
35
Mohammad Noor Syam, op cit,, h.183
18
B. Pemikiran Pendidikan Islam
1. Pengertian Pemikiran Pendidikan Islam
Secara etimologi, pemikiran berasal dari kata dasar "pikir" yang
berarti proses, cara, atau perbuatan memikir, yaitu menggunakan akal budi
untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala
sesuatu secara bijaksana.
Adapun mengenai pengertian pendidikan, banyak sekali para ahli
memberi batasannya, tetapi paling tidak, secara umum, pendidikan berarti
suatu proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau
sekelompok orang (peserta didik) dalam usaha mendewasakan manusia
(peserta didik) melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan,
dan cara-cara mendidik.36
Sedangkan secara terminologis, menurut Mohammad Labib An-
Najihi, pemikiran pendidikan Islam adalah aktivitas pikiran yang teratur
dengan mempergunakan metode filsafat. Pendekatan tersebut
dipergunakan .untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses
pendidikan dalam sebuah sistem yang integral.37
Dengan berpijak pada definisi di atas, yang dimaksud dengan
Pemikiran Pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan
kalbu yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam melihat berbagai
persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk
membangun sebuah paradigma pendidikan yang mampu menjadi wahana
bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna.
Melalui upaya ini diharapkan agar pendidikan yang ditawarkan mampu
berapresiasi terhadap dinamika peradaban modern secara adaptik dan
proporsional, tanpa harus melepaskan nilai-nilai Ilahiyah sebagai nilai
warna dan nilai kontrol. Melalui pendekatan ini dimungkinkan akan
menjadikan pendidikan Islam sebagai sarana efektif dalam mengantarkan
peserta didik sebagai insan intelektual dan insan moral.
36
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah. 2009), h. 2-3. 37
Abdul Munir Mulkhan. op. cit., h. 184.
19
2. Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Pemikiran Pendidikan Islam
Secara khusus, menurut Samsul Nizar, pemikiran pendidikan Islam
memiliki tujuan yang sangat kompleks, antara lain:
a. Membangun kebiasaan berpikir ilmiah, dinamis, dan kritis terhadap
persoalan-persoalan seputar pendidikan Islam.
b. Memberikan dasar berpikir inklusif terhadap ajaran Islam dan
akomodatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang
dikembangkan oleh intelektual di luar Islam,
c. Menumbuhkan semangat berijtihad, sebagaimana yang ditunjukkan
oleh Rasulullah dan para kaum intelektual muslim pada abad pertama
sampai abad pertengahan, terutama dalam merekonstruksi pendidikan
Islam yang lebih baik.
d. Untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan sistem
pendidikan nasional. Meskipun kajian ini berupaya untuk menyoroti
konsep al-insaniyah yang dititikberatkan pada aspek peserta didik dan
nilai-nilai kemanusiaan yang fitri sebagaimana dikembangkan oleh
filsafat Islam, akan tetapi juga diharapkan mampu memberikan
sumbangan bagi pengembangan sistem pendidikan di Indonesia.38
3. Prinsip-prinsip Pemikiran Pendidikan Islam
a. Prinsip Ontologis
Dalam kaitannya dengan pemikiran pendidikan Islam,
memberikan arti bahwa segala sesuatu yang menjadi objek kajian
pemikiran tidak selamanya bersifat realistis, akan tetapi ada kalanya
yang bersifat fenomena dan abstrak. Ketika membicarakan apa tujuan
pendidikan Islam yang sesungguhnya, maka seorang intelektual
muslim harus melihat kedua pendekatan tersebut secara seksama. la
harus memperhatikan kondisi realitas yang bersifat kekinian dan
eksistensi kemakhlukannya sebagai tujuan penciptaan Allah. la harus
38
Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: Gaya Media Pratama),
h. 17.
20
mempertimbangkan tuntutan kebudayaan dan potensi yang dimiliki
peserta didik sebagai makhluk yang unik dan dinamis, secara serasi
dan seimbang.39
b. Prinsip Epistimologis
Dalam kaitannya dengan pemikiran pendidikan Islam,
pendekatan tersebut memberi makna tentang bagaimana proses
internalisasi yang efektif dalam mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkan sebagai sebuah kebenaran yang hakiki. Proses yang
dilakukan harus mengandung makna tertinggi, sesuai dengan posisi,
fungsi dan kemampuan peserta didik, baik secara vertikal maupun
horizontal.40
c. Prinsip Aksiologis
Dalam kaitannya dengan pemikiran pendidikan Islam,
pendekatan tersebut memberikan makna bahwa objek kajian dan
rangkaian proses yang dilakukan harus memiliki nilai dan tidak
merusak nilai-nilai yang ada, baik nilai kemanusiaan (moral), maupun
nilai ketuhanan (agama). Pendekatan ini sesungguhnya merupakan
control yang efektif dalam melihat kebermaknaan dan
ketidakbermaknaan atau ideal dan tidak idealnya konsep pendidikan
yang ditawarkannya bagi umat manusia.41
4. Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam
Dalam catatan sejarah, eksistensi pendidikan Islam telah ada sejak
Islam pertama kali diturunkan. Ketika Rasulullah Saw. mendapat perintah
Allah Swt. untuk menyebarkan ajaran Islam, maka apa yang dilakukannya,
jelas masuk dalam kategori pendidikan. Bagi umat Islam, Rasulullah Saw.
adalah guru agung. Kepribadiannya merupakan perwujudan ideal Islam
tentang seorang guru dan pendidik. Dalam Al-Qur'an, ayat yang pertama
diturunkan berhubungan langsung dengan pendidikan. Perintah membaca
39
A. Susanto op cit,, h. 7-8 40
A. Susanto op cit,, h. 8-9 41
A. Susanto op cit,, h. 9
21
(iqra) sebagaimana wahyu pertama Surah Al-Alaq, jelas mengandung nilai
filosofi yang menjadi dasar bagi kegiatan pendidikan. hal tersebut berarti
menunjukkan penekanan dan pandangan Al-Qur'an terhadap pentingnya
ilmu pengetahuan.
Ketika di Mekkah, proses pendidikan Islam dilakukan Nabi Saw.
dan para pengikutnya di Dar Al-Arqam, sebagai pusat pendidikan dan
dakwah. Di Madinah, setelah Rasulullah hijrah, beliau membangun masjid
yang tidak saja berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai tempat
pendidikan. di masjid ini pula terdapat apa yang disebut suffah yang
berfungsi sebagai tempat pendidikan, sekaligus tempat tinggal bagi orang
yang tidak memiliki rumah, pendatang baru, atau orang yang datang
kesana khusus untuk menuntut ilmu. Keberadaan suffah sebagai sarana
pendidikan dan dakwah terasa penting. Kebijakan lain yang dilakukan
Nabi Saw. dalam memajukan pendidikan umat Islam adalah melalui
pemanfaatan tawanan perang Badar. Sejumlah tawanan yang dapat
menulis dan membaca dilepaskan setelah masing-masing mengajari
sepuluh anak-anak muslim untuk menulis dan membaca.
Pada era ini, umat Islam juga mengenal lembaga kuttab yang
berfungsi sebagai tempat pengajaran pokok-pokok agama dan tulis baca.
Pendekatan yang dilakukan Rasulullah kemudian diikuti oleh para
khalifah sesudahnya, memperhatikan perkembangan pendidikan bagi umat
Islam.
Semenjak wafatnya Rasulullah Saw., selain ayat dalam Al-Qur'an,
hadist pun mendapat perhatian yang serius dalam pendidikan Islam.
Kemudian didorong dengan semakin kompleksnya tuntutan kehidupan
umat Islam maka ruang lingkup pendidikan semakin berkembang pesat,
yakni dengan tumbuhnya berbagai disiplin ilmu seputar kajian ajaran
agama Islafri.
Sehubungan dengan hal tersebut, upaya membongkar dasar-dasar
pemikiran pendidikan Islam merupakan suatau hal yang menarik untuk
dicermati lebih lanjut, terutama sebagai bahan perbandingan dalam
22
merekonstruksi sistem pendidikan Islam yang lebih capable di penghujung
abad ini.42
Berikut adalah beberapa pemikiran pendidikan Islam yang
dimulai dari masa awal atau pada masa Nabi Muhammad Saw:
a. Pemikiran Pendidikan Islam Masa Nabi
Pemikiran pendidikan pada masa Nabi terjadi pada periode
awal dalam sejarah Islam, dimana pada periode ini merupakan wujud
dari ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. dan
pada hadist-hadist Rasulullah Saw. ketika beliau berbicara dengan
sahabat-sahabatnya dan mengajak manusia percaya kepada Allah Swt.
Pemikiran pendidikan yang tampak pada dua sumber utama
pendidikan Islam ini bukanlah pemikiran pendidikan seperti yang
dipahami dalam pemikiran pendidikan modern, tetapi pemikiran
pendidikan yang bercampur dengan pemikiran politik, ekonomi,
sosial, sejarah dan peradaban, yang keseluruhannya membentuk
kerangka umum ideologi Islam.43
b. Pemikiran Pendidikan Islam Masa Khulafaurrasyidin
Pada masa ini, kaum muslimin tidak lagi ditemani guru agung,
Nabi Muhammad Saw., sehingga merupakan masa yang berat
terhadap berbagai cobaan dan tekanan yang dihadapi kaum muslimin
dari dalam dan luar semenanjung Arabia. Pemikiran pendidikan Islam
masih tetap berpegang teguh pada Al-Qur‟an dan Sunnah sebagai
sumber utama rujukan pendidikannya. Tidak ada pemikiran baru pada
masa khulafaurrasyidin, kecuali hanya sedikit bercampur filsafat
Yunani. Akan tetapi, sangat terbatas dan pengaruhnya sedikit,
sebagian besar berkisar pada logika bukan filsafat dalam
pengertiannya yang luas.44
42
A. Susanto op cit,, 5-7 43
A. Susanto op cit,, 25-26 44
A. Susanto op cit,, 26-27
23
c. Pemikiran Pendidikan Islam Masa Umayyah
Pemikiran pendidikan pada masa Umayyah tampak dalam
bentuk nasihat-nasihat khalifah kepada pendidik anak-anaknya, yang
memenuhi buku-buku sastra, yang menunjukkan bagaimana teguhnya
mereka berpegang pada tradisi Arab dan Islam. Salah satu nasihat
tersebut adalah nasihat Abdul Malik bin Marwan kepada pendidik
anaknya, “hendaklah pendidik mendidik akal, hati, dan jasmani anak-
anak”.
Pemikiran pendidikan Islam pada masa Umayyah ini juga
tersebar beberapa tulisan para ahli nahwu, sastra, hadist, dan tafsir.
Pada masa ini para ahli tersebut mulai mencatat (modifikasi) ilmu-
ilmu bahasa, sastra dan agama untuk menjaganya agar tidak
diselundupkan pikiran-pikiran lain dan perubahan yang merusak, yang
tanda-tandanya sudah banyak terlihat pada waktu itu.45
d. Pemikiran Pendidikan Islam Masa Abbasiyah
Pemikiran pendidikan Islam pada masa Abbasiyah disebut
dengan masa “keemasan”. Pada periode ini tampak adanya
keterlibatan ulama-ulama Islam yang menulis tentang buku
pendidikan dan pengajaran secara meluas dan mendalam yang
menunjukkan perhatian khusus dalam bidang pendidikan. Pengarang
yang pertama kali menulis dalam hal ini adalah Ibnu Sahnun, yakni
pada abad ketiga hijriyah, Al-Qabisi pada abad keempat hijriyah, dan
masih'banyak lagi yang lainnya, tetapi yang terkenal adalah Ibnu
Maskawaih dan Al-Ghazali pada abad keenam. Hijriyah dan Ibnu
Khaldun pada abad kedelapan hijriyah.46
45
A. Susanto op cit,, 28 46
A. Susanto op cit,, 30
24
e. Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Qayyim
1. Akal
Ibnu Qayyim berpesan bahwa hendaknya manusia jangan
terpedaya dengan akalnya, dikarenakan akal manusia terkadang
sukar menangkap hikmah Ilahi yang terkandung dalam masalah
yang dibebankan kepadanya. Akal mempunyai tugas yang penting
dalam hidup, namun manusia harus berhati-hati agar tidak tertipu
dengannya. Akal itu mengikuti kepada agama dalam pengertian
bersesuaian dalam agama dan ini bertentangan dengan pendapat
kaum rasionalis seperti Mu‟tazilah.
2. Jiwa
Ibnu Qayyim berpendapat bahwa potensi yang ada pada
diri manusia harus dilatih dan dibiasakan sehingga akan menjadi
kebiasaan yang sulit dihapuskan. Jiwa merupakan sesuatau yang
menduduki tempat tertinggi apabila dihubungkan dengan sifat-
sifat seorang hamba. Akan tetapi dianggap rendah apabila
dikaitkan dengan akhlak dan perbuatan baik dengan perbuatan itu
karena usahanya maupun karena sudah menjadi tabiatnya.
3. Jasmani
Jasmani adalah unsur kasar manusia yang terdiri dari
pancaindra, sedangkan ruhani adalah sesuatu yang menunjukkan
sifat material dan spritual, terdiri dari rasa dan rasio. Rasio dalam
arti rrtaterial adalah otak dan spiritual dalam arti akal (Tuhan).47
f. Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Hazm
Pandangan Ibnu Hazm dalam pendidikan Islam adalah
penekanannya pada keutamaan mencari ilmu. Kajiannya dimulai dari
proses mencari ilmu, metode memperoleh ilmu, dan urutan mencari
47
A. Susanto op cit,, 34-37
25
ilmu. Ketiga aspek tersebut merupakan bekal utama bagi seorang
manusia mengarungi hidupnya di dunia ini karena tanpa ilrnu
seseorang akan ditinggalkan dan dijauhi.48
g. Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun
Pandangan Ibnu Khaldun dalam pendidikan Islam adalah
penekanannya pada proses belajar yang dilakukan oleh guru. Ada
beberapa prinsip dasar yang senantiasa harus diperhatikan oleh para
pendidik dalam mengajarkan kepada anak didik mulai dari adanya
penahapan dan pengulangan, tidak membebani pikiran siswa, tidak
melanjutkan materi satu sebelum yang lain dipahami secara utuh,
tidak dengan kekerasan, dan lain-lain.49
h. Pemikiran Pendidikan Islam Hamka
Pemikiran Hamka tentang pendidikan Islam secara garis besar
adalah:
1. Urgensi pendidikan, adalah untuk membantu manusia
memperoleh penghidupan yang layak.
2. Tujuan pendidikan adalah untuk mengabdi dan beribadah '
kepada Allah.
3. Materi pendidikan meliputi empat hal, yaitu ilmu, amal, akhlak,
dan keadilan.
4. Prinsip dalam pendidikan Islam adalah tauhid, sebab dengan
tauhid akan memberi nilai tambah bagi manusia dan
menumbuhkan kepercayaan pada dirinya serta mempunyai
pegangan hidup yang benar.
48
A. Susanto op cit,, 44 49
A. Susanto op cit,, 53
26
5. Kurikulum pendidikan harus mencakup seluruh ilmu pengetahuan
yang bermanfaat dan menjadi dasar bagi kemajuan dan kejayaan
hidup manusia.50
i. Pemikiran Pendidikan Islam Mphammad Natsir
Pemikiran pendidikan Islam Mohammad Natsir secara garis
besar adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan menurut Mohammad Natsir ialah upaya membimbing
jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan sifat
ruhani yang menuju kepada sifat kemanusiaan dalam arti yang
sesungguhnya.
2. Tujuan pendidikan adalah ajaran tauhid, mengenal Tuhan,
mempercayai dan penyerahan diri kepada Tuhan. Sejalan dengan
tujuan pendidikan tersebut, seorang guru adalah orang yang
memahami dasar dan tujuan dari pendidikan itu sendiri, yaitu
tauhid.51
50
A. Susanto op cit,, 112 51
A. Susanto op cit,, 124
27
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Sumber dan Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metodologi
penelitian eksplorasi. Penelitian ini dilakukan untuk melakukan pengujian yang
didasarkan atas pengalaman-pengalaman masa lampau.52
Oleh karena obyek
penelitian ini difokuskan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia
sejarah pendidikan, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
sejarah pendidikan.53
Adapun sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber
tertulis.54
Sumber tertulis ini diperoleh melalui sumber buku, makalah, jurnal,
dan artikel. Sumber tertulis tersebut diperoleh dari Perpustakaan Umum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Imam Jama, dan Perpustakaan
Nasional Repubik Indonesia (PNRI).
Sedangkan jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian
kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud menggambarkan tentang suatu
variabel, gejala, atau keadaan “apa adanya”, dan tidak dimaksudkan untuk
52
J.Supranto, Metode Riset dan Aplikasinya di dalam Riset Pemasaran, (Jakarta: Yayasan
Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1974), h. 33. 53
Imam Barnadib, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit
FIPIKIP, 1982), h. 51. 54
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. XVIII. (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), h. 13-14.
27
28
menguji hipotesis tertentu.55
Ditunjang oleh data-data yang diperoleh melalui
penelitian kepustakaan (library research). Karena permasalahan yang akan
diteliti adalah mengkaji sejarah, maka dari itu diperlukan banyaknya literatur-
literatur yang relevan dengan skripsi ini.
B. Tehnik Perolehan Data
Data-data yang dikumpulkan pada penelitian ini diperoleh melalui
library research (kajian pustaka). Jadi data-data yang dikumpulkan peneliti
perojeh dari perpustakaan. Dari literatur yang penulis gunakan, terdapat
beberapa data primer yang bisa dijadikan sebagai rujukan. Sedangkan untuk
melengkapi data tentang Hasan Al Banna maka perlu data sekunder yakni'data
yang bersifat membantu dalam menganalisis data primer.
C. Tehnik Pengolahan Data
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa sumber dan jenis
data yang diperoleh pada penelitian ini adalah berupa sumber tertulis. Setelah
data-data diperoleh, peneliti mengolah data-data tersebut dengan cara dibaca
dan dianalisis kemudian disimpulkan.
Terkait dengan hal ini menurut Athur O. Lovejoy menyatakan bahwa
sejarah intelektual bukan merupakan ringkasan atau sintesis dari data, namun
mencoba dengan benar mencari kembali dan mengerti ide-ide persebaran
mereka pada masyarakat tertentu. Dengan demikian perlu ditinjau elemen-
elemen yang terpilih dalam beberapa kelompok ide atau paham yang berasal
dari buah pemikiran tokoh tersebut.56
Adapun tahap-tahap untuk membuat
laporan penelitian sejarah sebagaimana disarankan oleh Louis Gottschalk
yakni: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.
55
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Cet. X, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 234 56
O. Lovejoy, Metodologi Penelitian dalam Sebuah Pengantar, (Jakarta: Grafindo Persada,
1995), h. 3.
29
1. Heuristik
Heuritik merupakan kegiatan dalam metode sejarah untuk
menemukan bahan-bahan sumber atau bukti-bukti yang pernah ada di
masa lampau. Penulis dalam tahap ini menghimpun data-data dan fakta-
fakta sejarah yang berkaitan dengan permasalahan yang ada. Berhubung
penelitian ini tentang pemikiran seorang tokoh sejarah, maka sumber yang
akan dihimpun antara lain berupa dokumentasi gagasan, terutama gagasan
yang tertulis.
Sumber sejarah dibedakan hienjadi dua yaitu sumber primer dan
sumber sekunder. Sumber primer adalah kesaksian langsung asli dari
sumber utama sedangkan sumber sekunder adalah informasi yang
disampaikan oleh yang bukan saksi mata utama.57
Penulis dalam penelitian
ini berusaha mengumpulkan berbagai sumber primer yang bisa berupa
arsip-arsip, karangan asli, dan hal lain yang berhubungan langsung dengan
Hasan Al Banna sudah sangat jarang sekali karena sebagian dari dari
mereka telah meninggal dunia kalaupun masih ada kemungkinan besar
orang tersebut sudah lupa ingatannya.
2. Kritik Sumber
Penulis dalam tahap ini menerapkan sejumlah prinsip-prinsip untuk
menilai dan menguji kebenaran dan kesejatian dari sumber sejarah, antara
lain mengembalikan sumber sejarah sejauh mungkin pada benruk asli, dan
menetapkan nilai pembentukan benar. Sebagaimana yang disarankan oleh
Imam Barnadib, bahwa peneliti harus melakukan penilaian terhadap
sumber-sumber sejarah dari dua segi yakni, segi ekstern dan intern.
Penulis dalam hal ini mengkritisi sumber dari aspek ekstern yakni
dengan mengaitkan berbagai persoalan yang berhubungan kesejatian
sumber yang dibutuhkan. Salah satu bagian esensial dari kritik ekstern
adalah penerkaan mengenai bentuk apakah sumber asli atau turunan. Kritik
ekstern mempunyai tujuan untuk menentukan kemurnian sumber yang
57
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003), h. 96.
30
dipakai, kritik ekstern berusaha menjawab tentang keautentikan dan
keaslian sumber yang digunakan. Dengan kata lain kritik ekstern adalah
proses menelisik kulit dari sumber yang didapatkan antara lain mengenai
perkiraan tanggal pembuatan suatu dokumen atau identifikasi
pengarang/pembuat dokumen.58
Adapun kritik intern adalah proses pengkajian terhadap isi sumber
yang bersangkutan apakah releVan dengan permasalahannya yang ada atau
tidak? Bisakah dipercaya? Apakah ada suatu tendensi tertentu? apakah
mengandung kepentingan-kepentingan tertentu atau tidak? dan lain-lain.
Kritik intern membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan oleh sumber
yang dapat dipercaya. Berhubung dalam penelitian ini juga digunakan
studi pustaka maka penulis hanya melakukan kritik sumber terhadap buku-
buku yang mengulas tentang Hasan Al Banna atau tulisan lain yang
berkaitan dengan pemikiran tokoh yang bersangkutan.
3. Interpretasi
Selain menggunakan kritik sumber, maka hal yang tidak boleh
dilupakan adalah interpretasi data. Menurut Marzuki dalam bukunya
Metodologi Research, interpretasi adalah usaha untuk membentuk jalinan
makna fakta-fakta yang bersesuaian satu sama lain, hingga menjadi
kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Langkah ini merupakan tahap
penentuan makna dari hubungan fakta yang satu dengan fakta yang lain,
sehingga ada rangkaian cerita yang dapat dipahami. Langkah yang penulis
tempuh lebih lanjut adalah menyempitkan wilayah kajian pemikiran Hasan
Al Banna, mengingat pemikiran yang bersangkutan cukup beragam,
gagasan-gagasan yang telah didapat kemudian dipilah-pilah dan diseleksi,
mana yang merupakan tema mayor dan mana yang sekedar tema minor
dan bagaimana hubungan satu gagasan dengan gagasan yang lain.
58
Imam Barnadib, Arti dan Metode Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP,
1982),h. 71.
31
4. Historiografi
Historiografi adalah langkah terakhir dari metodologi penelitian
searah yang berwujud penulisan cerita sejarah. Historiografi juga diartikan
sebagai suatu proses penyusunan atau penyajian sejarah yang berasal dari
fakta-fakta pemikiran yang telah melewati tahapan metode penelitian
sebelumnya. Tahap ini penulis menyusun tulisan berupa 1 iiraian kalimat
logis dan tematis, sehingga menjadi sebuah karya sejarah ilmiah yang jelas
dan mudah dimenegrti, antara lain dengan melakukan pengaturan bab atau
bagian-bagian yang menjadi bentuk bangunan sebuah karya tulis yang
menarik, Hal ini disebabkan peneliti sejarah harus mampu membuat alur
tulisan yang dapat menggugah pikiran pembaca.
5. Bentuk Laporan
Bentuk laporan penelitian yang disampaikan, dikemukakan dengan
menggunakan pendekatan deskriptif analisis, yakni mendeskripsikan
semua data-data yang sudah diperoleh dan dianalisis sehingga menjadi
satu bentuk kesatuan yang utuh dan menyeluruh serta sesuai dengan tujuan
penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya.
D. Tehnik Penulisan
Secara tehnik, penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini
merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
32
BAB IV
HASAN ALB ANNA
A. Biografi
Hasan Al Banna dilahirkan di kota kecil Mahmudiyah di muara Sungai
Nil, sembilan puluh mil di sebelah barat laut Kairo, pada tahun 1906.59
Julukannya adalah Pembaharu Islam Abad ke-20.60
Ayahandanya, bernama Syeikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, yang
lebih terkenal dengan panggilan as-Sa'ati, atau si tukang arloji. Syeikh Ahmad
sehari-harinya di samping sebagai tukang reparasi arloji juga merangkap
sebagai imam masjid dan guru agama di masjid setempat. Syeikh Ahmad
menguasai ilmu fiqh, ilmu tauhid, ilmu bahasa dan menghafal Al-Qur'an.
Bahkan Syeikh Ahmad pernah belajar sebagai mahasiswa Al-Azhar pada
waktu Muhammad Abduh mengajar di lembaga itu. Sehingga tak
mengherankan jika ia disegani oleh sejumlah besar ulama di Mesir.
Hasan Al Banna lahir dari keluarga yang cukup terhormat dan
dibesarkan dalam suasana keluarga yang taat. Sebagai seorang ayah, Syeikh
Ahmad mencita-citakan putranya (Hasan) sebagai mujahid (pejuang)
59
Abdul Kholiq, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Ktasik dan Kontemporer,
(Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar,
1999). h.253. 60
Muhammad Sa‟id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. (Jakarta; Pustaka
Al-Kautsar, 2007), h. 244.
32
33
disamping seoarang mujaddid (pembaharu). Sejak kecil Hasan Al Banna telah
dituntut untuk menghafalkan Al-Qur‟an penuh. Baru setelah itu ia di masukkan
sekolah persiapan yang dirancang pemerintah Mesir menunit model sekolah
dasar, tanpa pelajaran bahasa asing. Dan ketika di rumah Hasan bergelut
dengan perpustakaan pribadi ayahnya, yang berisi buku agama, hukum, hadis
dan ilmu bahasa.61
Aktivitas dakwah Hasan al-Banna bermula ketika dia masih seorang
bocah tanggung. Pada usia 12 tahun, ia bergabung dengan Masyarakat untuk
Tingkah Laku Moral. Hal ini menunjukkan bahwa bocah kelahiran 1906 ini
sudah tertarik pada masalah-masalah keagamaan sejak usia dini.62
Pada usia 14 tahun (1920), Hasan Al Banna masuk sekolah guru tingkat
pertama di Damanhur. Dan dalam usia itu pula Hasan Al Banna juga menjadi
anggota aktif golongan sufi Hasafiyah, dan tetap aktif di jamiyah tersebut
sampai dua puluh tahun berikutnya. Sejak di sekolah menengah hasan sudah
terpilih sebagai ketua Jam‟iyatul Ikhwanial-adabiyah, yakni sebuah
perkumpulan yang terdiri dari calon pengarang. Ia juga mendirikan dan sebagai
ketua Jam‟iyatul Man‟il Muharramat, semacam serikat pertobatan serta pendiri
dan sekretaris Jam‟iyatul Hasafiyah Khairiyah, semacam
organisasipembaharuan. Kemudian ia juga menjadi anggota Makarimul
Akhlaqil Mukarramah, yaitu Perhimpunan Etika Islam.
Pada usia enam belas tahun, ia pergi ke Kairo untuk melanjutkan
sekolah guru bahasa Arab, sebuah lembaga pendidikan produk abad
pembaharuan yang berdiri pada abad 19 dan boleh dikatakan sebagai miniatur
Al-Azhar. Dalam lingkungan pendidikan tersebut Hasan Al Banna mampu
mengorganisasikan kelompok mahasiswa Universitas Al-Azhar dan kelompok
mahasiswa Universitas Dar al-Ulum yang melatih diri berkhotbah di masjid-
masjid. Dalam kesempatan belajar di Kairo, Hasan Al Banna sering berkunjung
ke toko-toko buku yang dimiliki oleh gerakan Shalafiyah pimpinan Rasyid
61
Kholiq; loc. cit. 62
Herry Mohammad, dkk.. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Insani Press. 2006), h. 202.
34
Ridha. Di Mesir pula ia aktif membaca al-Manar dan berkenalan dengan
Rasyid Ridha serta menjalin komunikasi dengan murid-murid Abduh lainnya.
Pada tahun 1927, saat usia Hasan Al Banna mencapai 21 tahun, ia lulus
dari al-Ulum dan mendapat tugas sebagai guru Sekolah Dasar Ismailiyah
markas besar Perusahaan Terusan Suez yang dikuasai oleh Inggris.
Pada bulan Maret 1928, di kota Ismailiyah, ia mendirikan Gerakan
Ikhwanul Muslimin.63
Dia membentuk Ikhwanul Muslimin dengan tujuan
memulai gerakan revolusioner untuk memandu bangsanya yang salah arah.
Anggota Ikhwanul Muslimin adalah orang-orang yang berdedikasi dan beriman
sehingga mereka tidak akan menyimpang dari prinsip-prinsip. Mereka
mengunjungi semua rumah dan berusaha meyakinkan penghuni rumah untuk
bergabung dengan mereka dan menghindari gemerlap dunia dan nilai-nilai
Barat.64
Pada mulanya ia hanya memiliki enam orang pengikut dan
sekelompok siswa yang taat kepada guru. Tapi dalam perkembangannya
gerakan ini setapak demi setapak mulai mendapatkan simpati dari masyarakat.
Gerakan Ikhwanul Muslimin yang pada mulanya memfokuskan perhatian pada
bidang sosial dan pendidikan bahkan pada akhirnya menjelma sebagai
kekuatan politik yang dikagumi di Mesir dan dunia Arab.
Gerakan ini dalam perjalanan perjuangannya di Mesir akhirnya
mengalami beberapa hambatan dari pemerintahan Mesir sendiri, setelah
kekhawatiran pemerintah atas keterlibatan Ikhwanul Muslimin dalam agitasi
dan kekerasan, tepatnya pada tahun 1948, ketika pecah perang Palestina dan
peran Mesir yang mengecewakan.
Puncaknya tanggal 8 Desember 1948, dengan keluar perintah militer
yang berisi pembubaran Ikhwanul Muslimin dan cabangnya di mana saja,
menutup pusat-pusat kegiatannya, menyita koran, dokumen, majalah dan
semua publikasinya serta uang dan kekayaan Ikhwanul Muslimin.
Kebijaksanaan pemerintah tersebut juga dibarengi dengan penangkapan dan
63
kholiq, loc. cit. h. 253-254. 64
M. Atiqu) Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, (Jogjakarta:
Diglossia, 2007) h. 376.
35
pengahalauan para pejuang dan tokoh-tokoh Ikhwan ke kamp-kamp
konsentrasi dan penjara.
Hasan Al Banna masih mencoba mendekatkan pengertian untuk
menjernihkan masalah, tapi pada tanggal 28 Desenber 1948, perdana menteri
an-Nuqrasy terbunuh, dan tuduhan dialamatkan ke kelompok Ikhwan, dan
menjadikan kondisi bertambah parah. Tujuh minggu setelah kejadian tersebut
pada tanggal 12 Februari 1949, Hasan Al Banna dibunuh oleh agen-agen dinas
rahasia Mesir.65
Peristiwa itu terjadi pada masa Ibrahim Abdul Hadi yang menggantikan
Nuqrasy sebagai perdana menteri dengan bekerjasama dengan istana dan agen
imperialis Inggris. Setelah tewasnya Hasan Al Banna terjadilah penangkapan
dan penyiksaan serta pembunuhan besar-besaran kepada anggota Ikhwanul
Muslimin.66
Imam Asy-Syahid mempunyai beberapa murid seperti, Yusuf Al-
Qardhawi, Syaikh Mutawalli Sya‟rawi, Musthafa As-Siba'i, Abdul Qadir
Audah, Umar At-Tilmisani, Mustafa Masyhur dan lain-lainnya.67
Ia
mewariskan dua karya monumentalnya, yaitu Mudzakkirat al-Dakwah wa
Da‟iyyah (Catatan Harian Dakwah dan Da‟i), dan Majmu‟ah Rasail
(Kumpulan Surat-Surat). Selain itu, Hasan al-Banna mewariskan semangat dan
teladan dakwah bagi seluruh aktivis dakwah sepanjang zaman.68
B. Pemikiran dalam Pendidikan
Sistem pendidikan yang diterapkan Hasan Al Banna dalam Madrasah
Hasan Al Banna berbeda kontras dengan sistem pendidikan yang dibangun
oleh dasar individualis maupun sosialis komunis. Bahkan pendidikan Al Banna
dalam masyarakat yang diatur oleh Al-Qur‟an dan di dalamnya dominan
ajaran-ajaran Islam berbeda pula dengan pendidikan muslim yang di dalamnya
65
Kholiq, loc. cit. h. 254-255. 66
Imam Al-Ghazali Said. Ideologi Kaum Fundamentalis, Pengamh Politik al-Maududi
Terhadap Gerakan Jamaah islamiyyah Trans Pakistan-Mesir, (Surabaya: Diantara, 2003), h. 167. 67
muhammad Sa‟id Mursi Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar 2007), h. 248. 68
Herry Mohamrnad, dkk., op. cit., h. 207.
36
terdapat ide sekuler. Sistem pendidikan yang dibangun Hasan Al Banna
mengacu kepada tujuan yang jelas, langkah-langkah yang nyata, sumber yang
terang yang digali dari ajaran Islam kaffah bukan dari ajaran yang lainnya.
Komponen-komponen pemikiran Hasan Al Banna tentang pendidikan
yang diaplikasikan dalam Madrasah Hasan Al Banna adalah sebagai berikut:
1. Dasar-dasar Pendidikan
Madrasah Hasan al-Banna dibangun dengan landasan agama Islam
yang bersumber pada Al-Qur‟an dan tafsirnya, terutama mengutamakan
tafsir salaf seperti Tafsir Ibnu Katsir.
Sumber yang kedua adalah al-Hadist dengan keauntentikan dan
syarahnya berpegang pada imam-imam hadist yang terpercaya. Dalam
pandangan Hasan, bahwa kedua sumber tersebut adalah tempat kembali
setiap muslim untuk mengetahui hukum Islam. Dan keduanya sebagai
dasar Islam hams dipahami secara total dan universal sebagaimana
mestinya dengan memperhatikan keautentikan dan kevalidannya.
Madrasah Hasan al-Banna mendasarkan pembentukan kepribadian,
mengacu pada pemahaman Islam yang sempurna dan universal “total
islam”, sebagaimana yang terkandung di dalam Al-Qur‟an dan al-Hadist.
Hal ini didasarkan atas pemahaman Hasan Al Banna tentang Islam yang
dipahami sebagai peraturan yang menyeluruh yang mencakup setiap aspek
kehidupan, meliputi negara dan tanah air, pemerintahan dan bangsa,
penciptaan dan kekuasaan, rahmat dan keadilan, budaya dan hukum, ilmu
pengetahuan dan ketetapan, jihad dan seruan menuju Allah, angkatan
bersenjata dan pemikiran serta ritual keagamaan.
Dengan memahami sumber Islam yakni Al-Qur'an dan al-Hadis
secara autentik dan kaffah maka Islam dipahami sebagai tatanan yang
lengkap dan menyeluruh yang mencakup setiap aspek kehidupan.
Pemahaman Islam kaffah tersebut menjadi dasar utama sistem pengajaran
Madrasah Hasan Al Banna sehingga corak pengajarannya mempunyai
37
nilai keuniversalan khususnya untuk membangun masyarakat Islam yang
benar-benar menerapkan Islam secara total dan universal.69
2. Tujuan Pendidikan
Pada hakekatnya tujuan pendidikan Madrasah Hasan Al Banna
merupakan suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam
pribadi manusia yang dikehendaki, yang mempengaruhi dan menggejala
dalam prilaku, berorientasi untuk merealisasikan identitas Islami, yaitu ,
membentuk kepribadian muslim.70
Hasan Al Banna sering mengatakan bahwa pendidikan (tarbiyah)
adalah upaya ikhtiari manusia untuk merubah kondusi ke arah yang lebih
baik. Beliau berkata :
“Pendidikan (tarbiyah) harus menjadi pilar kebangkitan. Pertama-
tama, umat Islam harus terdidik, dengan itu akan mengerti hak-haknya
yang harus diterimanya secara utuh, dan mempelajari berbagai sarana agar
dapat memperoleh hak-hak tersebut”.71
Mencermati kutipan di atas, setidaknya ada tiga hal yang sangat
mendasar dan perlu digarisbawahi yang berkaitan dengan pendidikan umat
Islam :
a. Umat Islam tidak boleh menjadi umat yang bodoh, ia harus punya
pendidikan.
b. Umat Islam harus mengetahui dan menjalankan kewajiban-
kewajibannya, dengan itu ia akan mengetahui akan hak-hak yang
harus menjadi miliknya.
c. Umat Islam tidak hanya dituntut punya pengetahuan teoritis, tapi juga
keterampilan (skill) sebagai saran memperoleh hal-hal yang berkenaan
dengan haknya.
69
Kholiq,, op. cit., h. 255-256. 70
Kholiq,, op. cit., h. 256. 71
Utsman Abd. Al-Mu‟iz Ruslan, al-Tarbiyah al-Siyasiyyah „Ind al-Ikhwan al-Muslimin,
(Kairo: Dar al-Tauz-wa al-Nasyr al-Islamiyyah. 2000), h. 39.
38
3. Metode Pendidikan
Menurut Hasan Al Banna, metode pendidikan harus seirama
dengan konsep dan martabat manusia sebagai khalifah Allah. Artinya,
metode dan pendekatan dalam pendidikan haruslah mencontoh prinsip-
prinsip Qur‟ani, yaitu :
a. Bersifat komprehensif, yaitu satu sama lain saling mengisi.
b. Mampu mendidik manusia untuk layak berintegrasi bagi kehidupan
dunia akhirat.
c. Mengakui adanya kekuatan dalam diri manusia, ruh, akal, jasmani,
dan bekerja demi memenuhi kebutuhannya.
d. Siap untuk diterapkan, artinya tidak terlalu idealis dan mungkin diikuti
dan diterapkan oleh manusia.
e. Metode praktik, bukan sekedar teoritis.
f. Bersifat kontinue, sesuai bagi seluruh manusia dan berlangsung
sampai manusia menemui Rabbnya.
g. Menguasai seluruh perkembangan dalam hidup manusia, mencapai
batasan yang mampu diakses oleh manusia dengan kekuatan yang
dimilikinya.72
4. Materi-materi dalam Pendidikan
a. Ketuhanan
Aspek ketuhanan atau keimanan merupakan segi terpenting
dalam pendidikan Islam.73
Yang demikian itu karena tujuan pertama
dari pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang beriman
kepada Allah. Dalam Islam, Iman bukannya sekedar ucapan atau
pengakuan belaka. Iman merupakan kebenaran yang jika masuk ke
dalam akal akan memberi kepuasan akli, jika masuk ke dalam
perasaan akan memperkuatnya, jika masuk ke dalam iradah atau
72
Ali Abd. Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2000), h. 53-54. 73
Yusuf Qardhawi, Sistem Pendidikan Ikhwanul Muslimin. (Jakarta: Media Da‟wah, 1988),
h. 9.
39
keinginan (will) akan membuatnya dinamis dan mampu
menggerakkan.
Dalam Al-Qur'an ada ayat yang mengisyaratkan hal ini, yaitu
ayat :
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah
orang-orang yang per cay a (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad)
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka Itulah
orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 15)
Tiang pendidikan berdasar Ketuhanan adalah hati yang hidup
yang berhubungan dengan Allah Swt, meyakini pertemuan dengan-
Nya dan hisab-Nya, mengaharapkan rahmat-Nya dan takut akan siksa-
Nya. Hati adalah satu-satunya pegangan yang dapat ditunjukkan oleh
seorang hamba kepada Tuhannya pada hari kiamat sebagai sarana bagi
keselamatannya. Allah Swt berfirman :
Artinya : “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yangbersih.”
(QS. Asy-Syu‟ara: 88-89)
Di antara nilai-nilai pokok yang dilaksanakan oleh pendidikan
Ketuhanan Ikhwanul Muslimin adalah ibadah kepada Allah Swt.
Itulah tujuan pertama dari penciptaan manusia. Allah Swt. berfirman:
40
Artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku/” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Di antara unsur-unsur pokok yang ditekankan dalam ibadah
adalah :
1. Tetap mengikuti Sunnah dan menjauhi bid'ah, sebab setiap bid‟ah
adalah sesat.
2. Mengutamakan ibadah-ibadah fardhu, sebab Allah tidak
menerima ibadah sunnah sebelum ditunaikan yang fardhu.
3. Menggemarkan shalat berjamaah, meskipun mazhab-mazhab
berbeda pendapat mengenai hukumnya, ada yang mengatakan
fardhu ain, ada yang mengatakan fardhu kifayah dan ada yang
mengatakan sunnah muakkad.
4. Menggemarkan amalan sunnah
5. Menggemarkan berzikir kepada Allah.
Allah Swt berfirman :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan
menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan
bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.” (QS.Al-
Ahzab: 41-42)74
74
Yusuf al-Qardhawi. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna. terj. Bustami A.
Gani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 27-32.
41
b. Sempurna dan Lengkap
Pada hakikatnya pendidikan Islam mementingkan keseluruhan
aspek-aspek ini dan ingin mewujudkan semua macam pendidikan
secara utuh. Yang demikian itu karena pendidikan Islam adalah
pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rokhani dan
jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karena pendidikan Islam
menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan senang atau
susah maupun dalam keadaan damai dan perang; dan menyiapkannya
untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan
kejahatannya, manisnya dan pahitnya.
Karena itu haruslah diperhatikan pendidikan itu berjuang dan
pendidikan kemasyarakatan, sehingga seorang muslim tidak terasing
hidupnya dari masyarakat sekitarnya.
Sesungguhnya kesempurnaan dan kelengkapan yang
menyeluruh adalah ciri khas Islam baik dalam bidang akidah, ibadah
dan hukum. Semuanya mendapat tempat yang khas dalam bidang
pendidikannya.
1. Aspek Akal
Ikhwanul Muslimin menaruh perhatian besar pada aspek
ini, sesuai dengan perhatian Islam sendiri padanya. Ayat pertama
yang diturunkan Allah kepada Muhammad Saw. adalah:
Artinya: “bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan.” (QS. Al-Alaq: 1)
Berpikir dalam Islam adalah ibadah, mencari bukti adalah
wajib dan menuntut ilmu adalah fardu, sebagaimana kejumudan
itu adakah keji dan taklid adalah kejahatan.
42
Islam menuntut dari seorang muslim supaya mempunyai
bukti-bukti tentang Tuhannya dan dakwahnya hendaklah
”berlandaskan akal”. Iman seorang mukallid tidaklah diterima dan
Islam tidak membenarkan penganutnya menjadi pengekor,
berpikir dengan kepala orang lain, lalu ia mengikuti saja tanpa
pemikiran dan pengertian. Bahkan ia harus berpikir, sendiri
merenungkan dan memahami.
Al-Qur‟an menempatkan ilmu lebih dahulu dari iman dan
ta‟at, kedua-duanya adalah hasil dari ilmu atau cabang
daripadanya. Allah Swt. Berfirman:
Artinya: “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini
bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu
mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan
Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang
yang beriman kepadajalanyang lurus.” (Al-Hajj: 54)
Demikian pendidikan Ikhwanul Muslimin yang
menempatkan pember.tukan akal atau ilmu pada tempat terdepan
dalam sistemnya yang bersifat menyeluruh. Kekeliruan kaum
muslimin memahami Islam adalah akibat dua perkara penting
yaitu:
a. Endapan-endapan masa kemunduran dan apa yang masuk ke
dalam Islam pada masa itu berupa percampur-adukan, bid'ah,
dan pengertian yang salah disebabkan penyelewengan dari
mereka yang ekstrim, usaha dari mereka yang sengaja
membuat kebatilan dan penafsiran orang-orang bodoh. Dalam
43
suasana seperti ini taklid dan fanatik mazhab berkembang
dengan subur.
b. Pengaruh-pengaruh pertarungan pemikiran atau penjajahan
kebudayaan yang menimpa negeri-negeri Islam pada masa
penjajahan asing, yang memasukkan pengertian-pengertian
baru dan pemikiran-pemikiran asing dalam kehidupan kaum
muslimin. Semua ini dimajukan dan diperkuat melalui
lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran dan badan-
badan ilmiah dan pengarahan.75
Al-Qur'an dan tafsir adalah sumber yang pertama bagi
Ikhwanul Muslimin, dengan ketentuan tafsir ulama salaf yang
didahulukan atas tafsir-tafsir lainnya. Sebab itu mereka bertumpu
pada Tafsir Ibnu Katsir dan menjadikannya sebagai sumber
utama.
As-Sunnah sebagai sumber kedua, dengan ketentuan
mengenai keautentikannya dan syarahnya (penjelasannya) mereka
harus berpegang pada imam-imam Hadits yang terpercaya.
Pada akhir hayatnya, Imam Hasan Al Banna menyadari
bahwa jama‟ahnya perlu memperdalam aspek pemikiran dan
ilmiah pada anggota-anggotanya dari satu segi dan menjelaskan
aspek-aspek Islam dan tujuannya kepada selain anggota dari segi
lain. Lalu beliau menerbitkan majalah bulanan Asy-Syihab untuk
mengisi kekosongan ini dan merealisasikan tujuan tersebut.
Majalah ini menggantikan majalah Al-Manar yang telah terhenti
penerbitannya seelah pemimpinnya Sayid Rasyid wafat.
Kebanyakan isinya ditulis oleh Hasan Al Banna sendiri.76
75
Ibid h. 44-45 76
Ibid h. 47
44
2. Aspek Akhlak
Di antara aspek pendidikan yang terpenting menurut
Ikhwanul Muslimin ialah aspek kejiwaan atau akhlak. Mereka
sangat mementingkan dan mengutamakannya serta
menganggapnya sebagai tonggak pertama untuk perubahan
masyarakat. Imam Hasan Al Banna menamakannya “Tongkat
Komando Perubahan”, seperti tongkat yang mengalihkan
perjalanan kereta api dari satu jalur ke jalur lainnya.
Islam memandang akhlak utama sebagian daripada iman
atau sebagian dari buahnya yang matang. Sebagaimana iman,
begitu pula Islam tergambar pada keselamatan akidah dan
keikhlasan beribadah, tergambar pula pada kemantapan akhlak.
Seperti hadits berikut:
Artinya:”Orang mukmin paling sempurna imannya adalah yang
lebih baik akhlaknya.”
Akhlak mencakup hal yang lebih luas dan lebih dalam dari
aspek-aspek kehidupan termasuk pengendalian diri, benar dalam
perkataan, baik dalam perbuatan, amanah dalam mu'amalah,
berani dalam mengeluarkan pendapat, adil dalam memutuskan,
tegas dalam kebenaran. bulat tekad untuk kebaikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf, melarang dari yang mungkar, antusias
tehadap kebersihan, menghormati peraturan dan tolong menolong
atas kebaikan dan takwa.
Diantara hal yang paling penting yang ditanamkan oleh
Ikhwanul Muslimin ke dalam jiwa pengikutnya yaitu:
a. Sabar
b. Tabah
c. Cita-cita
45
d. Pengorbanan
3. Aspek Jasmani
Ikhwanul Muslimin tidak mengabaikan aspek jasmani
dalam pendidikan anggota-anggotanya. Sebab tubuh adalah
sarana manusia untuk mencapai maksudnya serta melaksanakan
kewajiban-kewajiban agama dan dunia.
Tujuan dari pendidikan ini adalah:
a. Kesehatan badan dan terhindarnya dari penyakit.
b. Kekuatan jasmani dan ketrampilannya.
c. Keuletan dan ketahanan tubuh.
Karena itu Ikhwanul Muslimin mendirikan klub-klub
olahraga, team-team kepanduan, menyiapkan gerak jalan dan
perkemahan yang bersifat rutin dan periodik sebagai latihan yang
intensif untuk hidup dalam kekurangan, tahan dan sabar di padang
pasir, didaerah pegunungan di bawah terik matahari dan udara
yang sangat dingin atau menghadapi hujan atau kurangnya air dan
makanan.77
4. Aspek Jihad
Aspek pendidikan Ikhwanul Muslimin yang paling
menonjol adalah pendidikan jihad. Imam Hasan Al Banna
menganggap jihad sebagai salah satu rukun bai'at yang sepuluh
dan salah satu semboyan yang diteriakkan oleh jama'ah adalah
kalimat:
77
Ibid h. 60-62
46
Artinya: “Jihad itu adalahjalan kami dan matipadajalan Allah
adalah cita kami yang tertinggi.”
5. Aspek Politik
Pendidikan politik madrasah Hasan Al Banna didasarkan
atas sejumlah prinsip, yaitu:
a. Memperkuat kesadaran dan perasaan wajib membebaskan
negeri Islam dengan segala cara yang sah.
b. Mernbangkitkan kesadaran dan perasaan atas wajibnya
mendirikan “pemerintahan Islam”,
c. Mernbangkitkan kesadaran dan perasaan akan wajib
terwujudnya persatuan Islam. Persatuan adalah kewajiban
agama dan keharusan hidup.78
5. Pendidik dan Peserta Didik
Tentang hubungan pendidik dengan peserta didik menurut
pemikiran Hasan Al Banna dapat terbaca dari cuplikan-cuplikan pidato
dan surat-surat yang ia kirimkan kepada anggota-anggota dan simpatisan
al-Ikhwan al-Muslimin yang selalu memakai tema “al-ikhwan”79
, kata
“nahnu dengan arti “kita”, dan memakai kata kerja berawalan “nun” (fill
mudhari), seperti” na‟taqidu ( نعتقد ) dengan arti kita meyakini, nunadihim
(ffcpUj) dengan arti kita ajak mereka, dan lain-lain.
Hubungan yang dekat antara Hasan Al Banna dengan jamaahnya
merupakan refleksi dari pemikirannya tentang perlunya membangun
hubungan yang erat antara murabby dengan murabba. Hubungan antara
murabby (Tuhan) dengan murabba (alam semesta) merupakan manifestasi
dari pemahamannya terhadap potongan ayat “al-hamd li Allah Rabb al-
„Ilamin”. Suatu hubungan yang melambangkan kasih tanpa pilih terhadap
78
Ibid h. 81-95. 79
Hasan Al-Banna. Majmu 'at Rasa „il al-Imam al-Syahid Hasan al-Banna, (Kairo: Dar al-
Da'wah, 1411 H), h. 59.
47
anak-anak didik yang notabenenya mereka berasal dari berbagai strata
kehidupan dan kemampuan yang variatif.
Kehangatan hubungan antara seorang pendidik dengan anak didik
merupakan suatu hal yang krusial yang mestinya diwujudkan dalam
pendidikan, sebab hal itu menurut sebuah penelitian akan memberikan
pengaruh positif terhadap usaha belajar siswa/anak didik.80
Jika dianalisis secara seksama pemikiran Hasan Al Banna yang
tertuang dalam karyanya yang cukup monumental itu, melahirkan kesan
bahwa beliau itu boleh dikatakan tidaklah seorang teoritisi yang hanya
bergelut dengan pemikifan tanpa aplikasi di dunia nyata. la sebenarnya
lebih dekat dikatakan sebagai seorang praktisi lapangan. Implementator
dari setiap gagasan yang ia petik dan ia pahami dari isyarat-isyarat
Qur‟ani.
Pandangan semacam ini identik dengan pendapat Shalaluddin
Jursyi, menurutnya, Hasan Al Banna itu lebih menonjol kemampuan
memimpinnya dan mendidik umat dengan berbagai kecakapan yang
dimilikinya dan ia selalu berperan sebagai orang tua dalam hubungannya
dengan para pengikutnya.81
Peran Hasan Al Banna sebagai seorang bapak atau orang tua dan
menjalin hubungan dengan jamaahnya yang menjadi peserta didik, dapat
dikatakan sebagai wujud dari penerapan hadis Nabi Saw yang berbunyi :
Artinya: “Hanya saja soya ini seperti (peran) seorang bapak bagi anak
kandungnya sendiri”. (Riwayat Abu Daud dan Ibn Hibban)
Suatu hal yang rasanya perlu dicatat terutama bagi pengelola
pendidikan terutama bagi orang-orang yang berkiprah di dunia pendidikan.
80
Elida Prayitno, Rekonstruksi Mata Kuliah Dasar Kependidikan, (Padang: IKIP, 1990), h.
578. 81
Shalaluddin Jursyi, Membumikan Islam Progresif, terj. M. Aunul Abiet Syah, (Jakarta:
Paramadina. 2004), h. 60.
48
Menurut beliau, hendaklah ditangani oleh orang yang punya kekuatan
jiwa, tekad yang kuat dan semangat yang tegar. Memiliki kesetiaan yang
utuh, bersih dari sikap lemah dan jauh dari sifat munafik. Punya sifat rela
berkorban, tidak mudah diperdayakan oleh hal-hal material, dan jauh dari
sifat serakah.82
Seluruhnya merupakan kompetensi kpribadian yang hams
dimiliki setiap individu yang bergerak dalam dunia pendidikan.
Hal yang perlu diteladani dari pemikiran Hasan Al Banna terutama
dalam hal hubungan pendidik dengan peserta didik yang merupakan
gambaran kompetensi kepribadian adalah, mendidik dengan hati dan selalu
mendoakan anak didik.
Dalam hal kelemah lembutan, Saiful Islam anak kedua dari Hasan
Al Banna-Sekjen Aliansi Advokat dan anggota Parlemen Mesir-
menuturkan:
“Ayah mengajari kami dengan penuhb cinta kasih, ketulusan,
kelembutan dan penuh rasa harap.”83
6. Evaluasi Pendidikan Islam
Evaluasi sebagai salah satu komponen pendidikan sasarannya
adalah proses belajar mengajar. Namun bukan berarti evaluasi itu hanya
tertuju kepada hasil belajar murid, ia juga bisa meramalkan tentang
keuntungan yang diperoleh melalui penyelenggaraan yang tepat dalam
merumuskan tehnik-tehnik.84
Dalam pelaksanaan evaluasi, ada beberapa hal yang muncul dari
pemikiran Hasan Al Banna di antaranya yang paling penting sekali adalah
kejujuran. Untuk membentuk sifat jujur di dalm diri peserta didik, ia
menerapkan sebuah model evaluasi “al-muhasabah” sebagai sebuah
metode untuk membentuk sikap percaya diri sendiri, yaitu membuat
82
Hasan Al-Banna, op. cit., h. 97. 83
Muhammad Lili Nur Aulia. Cinta di Rumah Hasan al-Banna, (Jakarta: Puslaka
Da'watuna, 2007), h. 39. 84
Lesler D. Crow, Educational Psychology, terj. Z. Kasejen, (Surabaya: Bina ilmu, 1987),
h. 5.
49
pertanyaan-pertanyaari'yang ditujukan oleh seseorang kepada dirinya
sendiri dan ia sendiri yang harus menjawabnya dengan “ya” atau “tidak”.
Introspeksi hanya dilakukan sendiri tidak memerlukan pengawasan orang
lain. Tujuannya adalah menanamkan kepercayaan pada diri sendiri.85
Untuk membentuk jiwa yang jauh dari kecurangan, Hasan Al
Banna menanamkan keyakinan kepada mereka bahwa Allah selalu
menyertai mereka. Sedangkan dari aspek tujuan evaluasi adalah untuk
menjadi sarana kenaikan manzilah (kedudukan). Oleh karena itu, apapun
bentuk ujian terhadap manusia seluruhnya bersifat positif. Itulah sebabnya
Hasan Al Banna selalu melihat sebuah bencana yang menimpa umat
sebagai sebuah ujian diri. Evaluasi kinerja sebagai seorang yang menapaki
jalur dakwah dan pendidikan.
7. Analisis
Pemikiran Hasan Al Banna dalam pendidikan Islam dapat di
kategorikan ke dalam aliran filsafat rekonstruksionalisme, yaitu suatu
aliran yang berusaha mengatasi krisis kehidupan modern dengan
membangun tata susunan hidup yang baru melalui lembaga dan proses
pendidikan. Adapun teori dan ide pokok kependidikan yang ditawarkannya
sangat ideal dan relevan untuk saat ini. Hal ini terlihat dengan adanya
aspek-aspek yang diterapkannya melalui pendidikan Madrasah Hasan
Al Banna, disana terdapat keseimbangan antara , pengetahuan umum
dan pendidikan agama.
85
Yusuf al-Qardhawi. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustami A.
Ghani. (Jakarta: Bulan Bintang), h. 33.
50
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melalui kajian yang cukup panjang terhadap pemikiran Hasan Al
Banna dalam pendidikan Islam, maka pada bab penutup ini penulis dapat
mendeskripsikan dalam bentuk kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasan Al Banna mempunyai pandangan bahwa pendidikan adalah upaya
ikhtiari manusia untuk peningkatan taraf hidup kearah yang lebih baik.
2. Pemikiran Hasan Al Banna dalam pendidikan Islam berangkat dari
pemahamannya terhadap ajaran Islam yang memiliki universalitas;
universalitas zamany, universalitas makany (geografi) dan unversalitas
insany (kemanusiaan), yaitu Al-Qur'an, Sunnah Nabi Saw. dan amaliyat
salaf al-shalih sebagai rujukannya. Pemikiran Hasan Al Banna dalam
pendidikan Islam meliputi:
a. Dasar-dasar pendidikan Islam berlandaskan pada ajaran yang
bersumber dari Al-Qur'an dan Al-Hadist.
50
51
b. Tujuan pendidikan Madrasah Hasan Al Banna merupakan suatu
perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi
manusia yang dikehendaki, yang mempengaruhi dan menggejala
dalam prilaku, berorientasi untuk merealisasikan identitas Islami,
yaitu membentuk kepribadian muslim, dan merupakan realisasi atas
pemahaman Islam kaffah.
c. Metode pendidikan harus seirama dengan konsep dan martabat
manusia sebagai khalifah Allah. Artinya, metode dan pendekatan
dalam pendidikan haruslah mencontoh prinsip-prinsip Qur‟ani.
d. Materi pendidikan bertumpu pada ajaran tauhid, sedangkan ibadah
dan akhlak merupakan suplemennya, dan pendidikan keterampilan
sebagai materi pendukung.
e. Hubungan pendidik dengan anak didik harus selalu dijaga secara
harmonis, karena melalui hubungan yang harmonis itu, pembelajaran
akan selalu terasa menyenangkan.
f. Pendidikan Islam meliputi pendidikan formal, informal, dan non
formal. Ketiganya saling berkaitan dan saling mendukung satu sama
lain. Oleh karena itu, orang tua, masyarakat, dan sekolah merupakan
tiga unsur yang harus bekerjasama secara sinergis untuk
mengantarkan anak ke gerbang tujuan yang ditargetkan.
3. Pemikiran Hasan AI Banna dalam pendidikan Islam dapat di kategorikan
ke dalam aliran .filsafat rekonstruksionalisme, yaitu suatu aliran yang
berusaha mengatasi krisis kehidupan modern dengan membangun tata
susunan hidup yang baru melalui lembaga dan proses pendidikan.
52
B. Saran
1. Hasan Al Banna memang diakui adalah anak zamannya dan alur
pemikirannya tentu dilatarbelakangi oleh kehidupan sosial yang
menghiasinya saat itu. Namun pemikiran pendidikannya masih relevan
untuk dipedomani dan dikembangkan terutama dalam membenahi
lembaga pendidikan Islam atau dijadikan sebagai sebuah konsep
alternatif.
2. Agar lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah lebih
menampakkan wujud dan kiprahnya sebagai pencetak individu-individu
muslim yang mempunyai kompetensi menghadapi berbagai tantangan di
era global, perlu menata ulang dan memformat kembali sistem
pendidikan yang integral dan menyatu seperti yang dicanangkan oleh
Hasan Al Banna.
3. Agar lembaga-lembaga pendidikan Islam tetap bertahan di era yang
cukup kompetitif ini dan lepas dari ketergantungan menjadi pegawai
negeri, maka perlu memasukkan materi keterampilan sebagai muatan
lokal, menjadikan tahfidz al-Qur‟an sebagai salah satu program
unggulannya. Disamping itu, hendaknya lembaga pendidikan Islam
memiliki masjid tempat praktek ibadah para peserta didik, serta kembali
menekuni pendalaman bahasa Arab seperti yang direkomendasikan oleh
Hasan Al Banna.
4. Mengingat pendidikan Islam bersifat internalisasi (al-idkhlal) bukan
hanya sebatas transfer pengetahuan belaka (naql al-„ilm), maka sudah
saatnya para guru/pendidik dan orang-orang yang berkiprah di arena
pencetak intelektual muslim ini punya komitmen tinggi dan sifat-sifat
terpuji sebagai wujud kompetensi kepribadian di samping kompetensi
akademis dan komoetensi sosial. Dengan itu diharapkan lembaga
pendidikan Islam kembali dapat melahirkan manusia yang paripurna,
unggul ilmiahnya, unggul amaliyahnya, dan unggul akhlaknya.
53
DAFTAR PUSTAKA
„Abd. Al-Mu'iz Ruslan, 'Usman, al-Tarbiyah al-Siyasiyyah 'Ind al-Ikhwan
al-Muslimin, Kairo: Dar al-Tauz-'wa al-Nasyr al-Islamiyyah, 2000
„Abd. Halim Mahmud, Ali, Pendidikan Ruhani, terj. Abdul Hayyie al-
Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
Al-Banna, Hasan, Majmu‟at Rasa'il al-Imam al-Syahid Hasan al-Banna,
Kairo: Dar al-Da'wah, 1411 H
Aceh, Abubakar, Sejarah Filsafat Islam, Get. II, Sala: Ramadhani, 1982
Ahmadi, Abu,-Filsafat Islam, Semarang: Toha Putra, 1988
Al-Ghazali Said, Imam, Ideologi Kaum Fundamentalis, Pengaruh Politik
al-Maududi Terhadap Gerakan Jamaah Islamiyyah Trans Pakistan-Mesir,
Surabaya: Diantara, 2003
al-Toumy al-Syaibany, Oemar Muhammad, Falsafah Pendidikan Islam,
Terj. Hasan Langgulung, Get. I, Jakarta: Bulan Bintang
al-Qardhawi, Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna,
terj,Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang, 1980
Amin Hoesin, Oemar, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1961 Arifin,
M., Filsafat Pendidikan Islam, Get. I, Jakarta: Bina Aksara, 1987
Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Get. X, Jakarta: Rineka
Cipta, 2009
Barnadib, Imam, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan, Yogyakarta:
Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982
__________, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, Get. IX,
Yogyakarta: Andi Offset
Bertens, K., Sejarah Filsafat Islam, Yogyakarta: Kariisius, 1981
Crow, Lester D, Educational Psychology, terj. Z. Kasejen, Surabaya: Bina
Ilmu, 1987
54
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Get. I, Jakarta : Balai Pustaka, 1990
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Jilid I, Get. II, Jakarta: Bulan Bintang,
1967
Hasan, Fuad, Berkenalan dengan Filsafat Eksistensialisme, Get. IV,
Jakarta: Pustaka Jaya, 1989
Haque, M. Atiqul, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia,
Jogjakarta: Diglossia, 2007
Kerry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20,
Jakarta: Gema Insani Press, 2006
Jursyi, Shalaluddin, Membumikan Islam Progresif, terj. M. Aunul Abiet
Syah, Jakarta: Paramadina, 2004
Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu Dalam Perspektif Filsafat, Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2003
Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, Get. IV,
Jogjakarta: Bayu Indra Grafika, 1989
Kholiq, Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan
Kontemporer, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,
2003
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Get. II, Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1988
Lovejoy, O., Metodologi Penelitian dalam Sebuah Pengantar, Jakarta:
Grafindo Persada, 1995
Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Get. VIII,
Bandung, Al-Ma‟arif, 1981
Moelong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Get. XVIII, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004
Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim, Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Get. I, Yogyakarta: SIPRESS, 1993
55
Nasution, Harun, MuhammadAbduh dan Teologi RasionalMu'tazilah, Get.
I, Jakarta: UI Press, 2006
Nizar, Samsul Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama
Nur Aulia, Muhammad Lili, Cinta di Rumah Hasan al-Banna, Jakarta:
Pustaka Da‟watuna, 2007
Prayitno, Elida, Rekonstruksi Mata Kuliah Dasar Kependidikan, Padang:
IKIP, 1990
Qardhawi, Yusuf, Sistem Pendidikan Ikhwanul Muslimin, Jakarta: Media
Da'wah, 1988
Rusli, Ris'an, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Mam, Get. I,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013
Saifuddin Anshari, Endang, Ilmu, Filsafat, dan Agama, Get. VII,
Surabaya: Binallmu, 1987
Sa'id Mursi, Muhammad, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2011
Supranto, J., Metode Riset dan Aplikasinya di dalam Riset Pemasaran,
Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1974
Susanto A, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2009
Syam, Muhammad Noor, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila, Get. II, Surabaya: Usaha Nasional, 1984
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai James,
Get. I, Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Titus, Harold H., Persoalan-persoalan Filsafat, Terj. H.M. Rasjidi, Get. I,
Jakarta, Bulan Bintang, 1984
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Get. II, Jakarta: Bumi Aksara,
1995
top related