pembangunan perkampungan di kota …... · kesimpulan yang dapat ditarik bahwa adanya pembangunan...
Post on 26-Feb-2019
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN
MANGKUNEGARA VII
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh:
Daryadi C.0504017
ILMU SEJARAH
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2009
PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN
MANGKUNEGORO VII
Disusun oleh
DARYADI C0504017
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing
Drs. Tundjung. W.S, M.Si NIP. 131 792 938
Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum NIP. 131 570 156
PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN
MANGKUNEGARA VII
Disusun oleh
DARYADI C0504017
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Pada Tanggal.............................
Jabatan Nama Tanda Tangan Ketua (.................................) Sekretaris (.................................) Penguji I (.................................) Penguji II (.................................)
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Drs. Sudarno, MA NIP. 131 472 202
PERNYATAAN
Nama : Daryadi NIM : C0504017 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, Juni 2009
Yang membuat pernyataan
Daryadi
MOTTO
Katakanlah, “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya aku pun
berbuat pula. Kelak kamu akan mengetahui siapakah diantara kita yang akan
memperoleh hasil yang baik dari dunia ini”. Sesungguhnya, orang-orang yang zalim itu
tidak akan mendapat keberuntungan
(QS. Al An-am: 135)
Sebelum kita berani mati lebih baik kita berani hidup dahulu,
karena hidup adalah perjuangan
(Penulis)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
v Bapak dan Ibuku tercinta
v Kakak-Kakakku tersayang
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-Hadirat Allah SWT, yang
telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya kepada penulis,
hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul
“Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan
Mangkunegara VII”.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung, baik moral, material
maupun spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan
selesai sesuai yang penulis harapkan, yaitu kepada:
1. Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra
dan Seni Rupa, serta selaku Pembimbing Akademis penulis selama masa studi di
Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
3. Dra. Sawitri P.P, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan
Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Drs. Tundjung W.S, M.Si, selaku Pembimbing skripsi, yang memberikan banyak
dorongan, masukan, dan kritik yang membangun dalam proses penulisan skripsi ini.
5. Segenap dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu dan wacana
pengetahuan.
6. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Fakultas
Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Daerah Surakarta, dan Perpustakaan
Sonopustoko Kasunanan.
7. Ibu Koestrini Soemardi, Ibu Darweni, Bapak Basuki dan segenap staf perpustakaan
Reksopustoko Mangkunegaran yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada
penulis dalam penyediaan data-data yang diperlukan.
8. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan tulus
ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis.
9. Saudara-saudaraku: Mas Moch, Mbak Erna, dan Mas Triyadi yang selalu
memberikan dukungan baik moril maupun materiil.
10. Teman-temanku angkatan 2004, tetap kompak dan cepat menyelesaikan skripsi.
11. Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksananya penulisan
skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun, agar skripsi ini
menjadi lebih baik.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surakarta, Juni 2009
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN.......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN.......................................................................... iv
HALAMAN MOTTO....................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................ vi
KATA PENGANTAR....................................................................................... vii
DAFTAR ISI..................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL............................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xiii
DAFTAR ISTILAH.......................................................................................... xiv
ABSTRAK........................................................................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian....................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian..................................................................... 6
E. Tinjauan Pustaka........................................................................ 6
F. Metode Penelitian...................................................................... 10 1. Teknik Pengumpulan Data.................................................... 11 2. Analisa Data.......................................................................... 12
G. Sistematika................................................................................ 14 BAB II WILAYAH ADMINISTRASI PRAJA MANGKUNEGARAN
PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA VII
A. Perkembangan Wilayah Administrasi Praja Mangkunegaran... 15
B. Wilayah Administrasi Praja Mangkunegaran Pada Masa
Mangkunegara VII....................................................................
25
C. Struktur Birokrasi Praja Mangkunegaran Pada Masa
Mangkunegara VII.....................................................................
27
BAB III PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA
MASA MANGKUNEGARA VII
A. Struktur Penduduk di Kota Mangkunegaran Pada Masa
Mangkunegara VII..................................................................
36
B. Pola Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa
Mangkunegara VII
40
1. Perkampungan Pribumi....................................................... 41
2. Perkampungan Eropa.......................................................... 45
3. Pasar di Kota Mangkunegaran............................................ 46
C. Toponimi Perkampungan di Kota Mangkunegaran 48
1. Nama Kampung Berdasarkan Nama Orang yang
Terkenal............................................................................
48
2. Nama Kampung Berdasarkan Nama Jabatan dalam
Pemerintahan......................................................................
50
3. Nama Kampung Berdasarkan Keadaan Setempat dan
Aktivitasnya........................................................................
52
4. Nama Tempat Berdasarkan Ciptaan Baru........................... 55
BAB IV PERANAN MANGKUNEGARA VII BAGI PEMBANGUNAN
PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN
A. Sikap dan Tindakan Mangkunegara VII Bagi Praja
Mangkunegaran.........................................................................
58
1. Mangkunegara VII Sebagai Raja yang Bijaksana.............. 60
2. Mangkunegara VII Sebagai Raja Pembaharu...................... 62
B. Konsep Filosofi Pembangunan Mangkunegara VII.................. 65
C. Dinas Pekerjaan Umum Pada Masa Pemerintahan
Mangkunegara VII....................................................................
69
D. Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran........... 71
1. Pembangunan WC Umum / Kakus Umum......................... 72
2. Pembangunan Pancuran Umum.......................................... 73
3. Pembangunan Saluran Pembuangan Air............................. 74
4. Perbaikan Jalan dan Jembatan............................................ 74
5. Pengadaan Penerangan Jalan.............................................. 76
6. Pembangunan Bale Kampung / Kantor Kalurahan............ 77
7. Perbaikan Rumah-Rumah Kumuh...................................... 78
8. Pembangunan Mentalitas Penduduk.................................. 79
BAB V KESIMPULAN............................................................................... 80 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 86
LAMPIRAN........................................................................................................ 87
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Luas awal wilayah Mangkunegaran........................................................21
Tabel 2 Perbandingan luas swapraja yang ada di Jawa Tengah..........................24
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 PetaKota Mangkunegaran Tahun 1939......................................................87
Lampiran 2 Gambar-Gambar Mangkunegaran...............................................................88
Lampiran 3 Anggaran Pembuatan Kakus Umum dan Pancuran Umum........................93
Lampiran 4 Anggaran Pembuatan Saluran Pembuangan Air.........................................97
Lampiran 5 Surat Permohonan Penerangan Jalan..........................................................99
Lampiran 6 Anggaran Pembuatan Bale Kampung Punggawan...................................101
Lampiran 7 Pembukaan Bale Kampung Manahan.......................................................106
DAFTAR ISTILAH, SINGKATAN DAN UKURAN
1. Istilah
Ajeg : Tetap sama
Akulturasi : Proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih
Antaka : Api
Bekel : orang yang mengurus apanage, pemungut pajak,
kepala desa, petani penghubung antara pemilik
desa/penguasa desa dengan penggarap tanah
Borjuis : golongan kaum hartawan
Budaya : hasil cipta, rasa dan karsa manusia
De Beweging : surat kabar milik Indische Partij
Epidemi pest : wabah penyakit pes
Instruktif : mengandung pelajaran
Legiun : pasukan bala tentara
Lurah : kepala kalurahan
Kecu : Perampok atau preman
Onderregentscap : se-tingkat kabupaten
Panewu : kepala rendahan yang membawahi 1000 cacah
Sepektur manekwesen : kepala pasar
Vaccin otten : vaksin untuk penderita penyakit pes
Villa park : pemukiman orang-orang Eropa
Vorstenlanden : Kerajaan Jawa
Wedana : kepala distrik
Zieken zorg : rumah sakit pusat
2. Singkatan
B.R.M : Bendara Raden Mas
B.R.M.H : Bendara Raden Mas Harya
H.I.S : Hollands Inlandshe Scholl
I.S.D.V : Indische Socialische Demokratie Vereeneeging
K.G.P.A.A : Kangjeng Gusti Pangeran Ario Adipati
K.P.A : Kangjeng Pangeran Ario
N.I.S : Nederlandsch Indische Spoorweg
R.M : Raden Mas
R.Tg : Raden Tumenggung
S.E.M : Solo Electricitiet Maatschappij
V.O.C : Vereenigde Oost Indische Compagnie
3. Ukuran
1 karya : 1 cacah
1 cacah : 1 bahu
1 bahu : 7000 m2
1 jung : 4 bahu
4 bahu : 2,8 ha
ABSTRAK
Daryadi. C0504017. 2009. Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini berjudul Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Alasan Mangkunegara VII mengembangkan pemukiman perkampungan di Kota Mangkunegaran, (2) Bagaimana pola perkembangan kampung di wilayah Kota Mangkunegaran.
Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interprestasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Dari pengumpulan data, kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan kronologisnya. Untuk menganalisis data, digunakan pendekatan ilmu sosial yang lain sebagai ilmu bantu ilmu sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ekonomi, dan sosiologi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan di perkampungan baru berlangsung pada masa pemerintahan Mangkunegara VII. Sebelumnya perkampungan di kota Mangkunegaran tidak teratur dan lingkungan serta rumah-rumah penduduknya kumuh dan tidak sehat. Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII pembangunan perkampungan semakin ditingkatkan untuk menyejahterakan penduduknya. Pembangunan yang dilakukannya antara lain: pembangunan WC umum, pembangunan pancuran umum, pembangunan saluran pembuangan air, pembangunan jalan dan jembatan, pengadaan penerangan jalan, pembangunan bale kampung, perbaikan rumah-rumah kumuh, dan pembangunan mentalitas penduduk.
Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa adanya pembangunan perkampungan di kota Mangkunegaran mempunyai dampak, penduduk dapat menikmati hasil modernisasi di daerahnya dengan dibangunnya fasilitas-fasilitas umum, sehingga penduduk dapat hidup dengan bersih, sehat dan teratur, serta dapat dengan mudah melakukan aktivitasnya di perkampungan.
ABSTRACT
Daryadi. C0504017. 2009. The Development of Countrified in Mangkunegaran Town At
The Mangkunegaran VII’s Governance Period. Skripsi: Department of Historical
Science, Letters and Fine Arts Faculty, Sebelas Maret University Surakarta.
The title of this research is The Development of Countrified in Mangkunegaran Town
At Mangkunegaran VII’s Governance Period. The purpose of this research are to know :
( 1) reason of Mangkenagaran VII that developed countrified settlement in
Mangkunegaran Town, ( 2) how the pattern of kampong’s growth in Mangkunagaran
Town area.
This research is historical research, so that the steps that was done in this
research contain: heuristic, criticize of the source (both intern goodness and also
ekstern), interpretation, and histograft. Data collecting technique that was used in this
research were document study and book study. From the data collecting, then the data
was analysed and interpreted based on the chronologize. Data analize was done by the
other social science approach as historical scince assist. The approaches that were done
in this research were economical and sociological approach.
The result of this research shows that developing of the new countrified was
taken place at the Mangkunegaran VII’s governance period. Before that, countrified in
Mangkunegaran Town was irregular and the environmental and also environment and
houses of its resident was dirty and unhealthy. At the Mangkunegaran VII’s governance
period the countrified developing was improved progressively to increase its resident
prosperity. The developmences that were done were is public toilet building, public
douche building, water dismissal channel building, street and bridge buiding, street
lighting existing, kampong hall building, dirty houses reconstruction, and resident
mentality building.
The conclussion of this research is the development of countrified in
Mangkunegaran Town has effects, the resident could enjoy the results of their area
modernization by public facility building, so that the resident could life cleanly,
healthly, and regularly, and also could do their activity in their countrified easily.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang terdiri atas pulau-pulau dan dikelilingi lautan
yang luas. Letak geografis Indonesia yang begitu sangat berpengaruh terhadap
perkembangan kota-kota di Indonesia. Kota-kota tua di Indonesia berada di daerah
pedalaman yang berada di sekitar sungai-sungai besar dan daerah pantai Jawa serta
pulau-pulau besar yang lainnya. Kota-kota tua tersebut selalu terletak berdekatan
dengan pusat-pusat pemerintahan di kerajaan yang menawarkan keamanan bagi kota-
kota itu.1
Kota-kota tua yang terdapat di Indonesia, baik kota pedalaman maupun kota
pesisir pantai mempunyai ciri-ciri yang berbeda, yakni:
1. Kota Pedalaman
Kota-kota di daerah pedalaman merupakan pusat-pusat administrative, sehingga
dari kota ini raja memiliki wewenang untuk mengatur wilayah yang ada
disekitarnya. Kota pedalaman mempunyai fungsi memberikan berbagai macam
barang dan jasa untuk keraton. Kota itu juga menikmati kemegahan yang
melimpah dari istana kerajaan.
2. Kota Pesisir Pantai
Kota pesisir mempunyai atmosfer yang lebih kosmopolitan. Pedagang asing dan
pengrajin ahli merupakan proporsi penduduk yang besar di kota pesisir. Kota
pesisir sangat terpengaruh oleh oleh berbagai kontak dengan negara asing. Para
1 Wertheim, W.F, 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal: 133 1
pedagang dan pekerja ahli dikelompokkan dalam wilayah, menurut negara asal di
bawah kepala kelompok mereka.
Sekitar abad 18 perkembangan kota di Indonesia mengalami babak yang baru,
itu terjadi atas prakarsa Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen yang ingin membangun
sebuah tiruan dari kota Belanda lama dalam bentuk Batavia, yang berada di pantai utara
Jawa. Jan Pieterszoon Coen mempunyai keinginan untuk mengisi kota Batavia dengan
warga Belanda dan juga ingin memindahkan karakter dan budaya borjuis Belanda ke
Indonesia. Kota itu dengan cepat berkembang menjadi Kota Timur yang khas dan
memberikan contoh akulturasi yang sangat instruktif.2 Perkembangan perkotaan di
Indonesia semakin pesat sekitar tahun 1870 dengan adanya system liberal atau
perusahaan bebas yang sangat memegang peranan penting bagi perkembangan
perkotaan di Indonesia.
Praja Mangkunegaran didirikan pada tahun 1757 oleh Raden Mas Said. Praja
Mangkunegaran berdiri sebagai hasil perjuangan melawan Belanda. R.M Said baru
berusia 16 tahun ketika memimpin perjuangan melawan Belanda. Perjuangan R.M Said
ini tidak dapat dipisahkan dari kericuhan yang ada di kerajaan Mataram pada akhir abad
17. Sejak awal abad 17, daerah Mataram sudah diperintah secara langsung oleh Belanda
yang mengakibatkan golongan pro dan kontra di kerajaan Mataram. R.M Said mulai
tidak senang kepada Belanda berawal dari peristiwa pembuangan ayahnya ke Srilangka
yang disebabkan oleh fitnah Paku Buwono II dan Patih Danurejo yang mempunyai
hubungan yang baik dengan Belanda.3
2 Ibid, hal: 135 3 Ismu Sadiyah, 1998. Karya Tulis: Keraton Mangkunegaran Sebagai Objek Yang Menarik di
Jawa Tengah. Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yayasan Pariwisata-ABA Bandung. Hal:14
Pada tanggal 17 Maret diadakan perjanjian Salatiga antara R.M Said, Paku
Buwono III, dan Hamengkubowono I. Perjanjian itu melahirkan sebuah wilayah baru
yaitu Praja Mangkunegaraan, yang masih merupakan bawahan dari Keraton Kasunanan
Surakarta. R.M Said diangkat menjadi kepala pemerintahan dengan gelar Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro I. Perkembangan Praja Mangkunegaran selalu
mengalami pasang surut baik dalam bidang politik maupun bidang ekonomi.Praja
Mangkunegaran mengalami masa keemasaan pada masa pemerintahan Mangkunegoro
VII.
Adipati Mangkunegoro VII (1916-1944) lahir pada hari Kamis Wage tanggal 12
November 1885. Pada masa mudanya dikenal dengan sebutan Bandara Raden Mas
Suparta, kemudian terkenal dengan sebutan Bandara Raden Mas Surya Suparta, putera
Adipati Mangkunegoro V. R.M Suparta diangkat menjadi Prangwedana pada hari Jumat
Pahing tanggal 3 Maret 1916. R.M Suparta ditetapkan menjadi Adipati Mangkunegoro
VII pada hari Kamis Wage tanggal 4 September 1916.4 pada masa pemerintahan
Mangkunegoro VII pembangunan-pembangunan diberbagai aspek kehidupan rakyat di
Praja Mangukunegaran semakin ditingkatkan.
Mangkunegoro VII banyak melakukan pembangunan irigasi, jalan, dan
jembatan. Pelaksanaan pembangunan tersebut dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan
Umum Praja Mangkunegaran. Pembangunan yang dilakukan oleh Adipati
MangkunegoroVII juga keperkampungan di Kota Mangkunegaran. Istilah
4 Dr. Purwadi, M.Hum, 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Abadi. Hal: 566
perkampungan yang ada di Kota Mangkunegara baru ada sekitar tahun 1926,
perkampungan itu merupakan bentuk dari kesatuan-kesatuan desa.5
Perkampungan yang ada di Kota Mangkunegaran mempunyai cirri-ciri yang
sama dengan kampung-kampung yang terdapat di Kasunanan Surakarta maupun di
Kasultanan Yogyakarta. Perkampungan di Kota Mangkunegaran terdiri dari
perkampungan orang-orang Belanda yang dinamakan Villa Park dan perkampungan
orang-orang pribumi. Perkampungan itu mempunyai ciri masing-masing yang dapat
menunjukkan perbedaannya.
1. Kampung Orang-Orang Belanda / Villa Park
Sesuai dengan namanya kampung tersebut merupakan tempat tinggal orang-orang
Belanda. Kampung Belanda memiliki perancanaan infrastruktur yang baik,
sehingga kampung tersebut mempunyai sarana dan prasarana yang memadai bagi
penduduknya. Kampung ini memiliki model seperti yang ada di negeri Belanda.
2. Kampung Pribumi
Kampung pribumi pada umumnya terdiri dari penduduk asli. Kampung tersebut
umumnya tidak didahulu oleh perencanaan infrastruktur, sehingga jaringan
kotanya kurang memadai. Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII
perkampungan tersebut mengalami kemajuan yang pesat dibidang sarana dan
prasarana.
Dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis dalam
mengkaji mengenai perkampungan di Kota Mangkunegaran menggunakan judul
“Pembangunan Perkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan
Mangkunegoro VII)”
5 Dr. Th. M. Metz, 1939. Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Roterrdam: NV Nijgh dan Van
Ditmar. Hal: 48
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka pokok
permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apa alasan Mangkunegoro VII mengembangkan permukiman perkampungan di
Kota Mangkunegaran?
2. Bagaimana pola perkembangan kampung di wilayah Kota Mangkunegaran?
C. Tujuan Penelitian
Dari perumusan permasalahan diharapakan kajian tentang perkampungan di kota
Mangkunegaran mampu memberikan jawaban atas beberapa permasalahan. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah.
1. Untuk mengetahui alasan Mangkunegoro VII mengembangkan permukiman
perkampungan di Kota Mangkunegaran.
2. Untuk mengetahui pola perkembangan kampung di wilayah Kota
Mangkunegaran.
D. Manfaat Penelitiaan
Dari kajian tentang perkampungan di kota Mangkunegaran, maka penelitian ini
diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang perkampungan
yang ada di Kota Mangkunegaran
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat
khususnya masyarakat Surakarta. Mengenai pembangunan perkampungan yang
dilakukan oleh Mangkunegoro VII.
E. Kajian Pustaka
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa literatur dan referensi yang
relevan dan menunjang tema yang dikaji. Literatur tersebut akan penulis jadikan bahan
acuan untuk mengkaji, menelusuri dan mengungkap pokok permasalahan. Literatur
yang penulis gunakan antara lain:
Mengenang BRM. Soerya Soeparto merupakan buku yang ditulis oleh
Bernardial Hilmiyah M.D, 1985. Buku ini membahas mengenai kehidupan Soerya
Soeparto sebelum beliau menjadi Mangkunegoro VII sampai menjadi Mangkunegoro
VII. Buku ini juga menceritakan bahwa ketika naik tahta, ia di hadapkan pada banyak
kesulitan, sebab dalam lingkungan masyarakatnya telah muncul kelompok baru yang
becita-cita memperjuangkan nasib serta penghidupan rakyat. Oleh karena itu tugas
Mangkunegoro VII adalah membawa kemajuan duniawi dan kemajuan spiritual
rakyatnya. Namun demikian, buku ini sebagian besar sumber acuannya berasal dari
sumber sekunder. Dalam hubungannya dengan penelitian ini, tulisan Bernardial
Hilmiyah itu sangat berguna sekali. Membaca buku itu, penulis mendapatkan beberapa
informasi awal tentang modernisasi di Praja Mangkunegaran, yang kemudian memberi
inspirasi untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam.
Buku yang berjudul Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa yang
ditulis oleh Dr. Th. M. Metz, dan telah diterjemahkan oleh RTg. Muhammad Husodo
Pringgokusumo, 1987. Buku ini berisi mengenai Praja Mangkunegaran pada masa
pemerintahan Mangkunegoro VII. Buku ini membahas mengenai perkembangan dan
kemajuan yang pesat di Kadipaten Mangkunegaran di bidang ekonomi yang terdiri dari
masalah agraria, irigasi, perusahaan-perusahaan dana milik, pekerjaan umum,
kehutanan, kredit rakyat, pasar, penyediaan pangan pada masa paceklik, kebudayaan
dan kesenian, dan keuangan Mangkunegaran.
Namun demikian, karya ini tidak boleh sebagai sumber primer murni karena
tidak semua nformasi yang ia sampaikan merupakan hasil pandangan mata si penulis,
tetapi ada beberapa yang berasal dari sumber lain. Akan tetapi sekalipun informasi yang
diberikan merupakan campuran antara sumber primer dan sumber sekunder, namun di
dalamnya banyak mengandung unsur-unsur yang bersifat primer. Buku ini menyajikan
sejumlah data tentang Mangkunegaran pada masa Mangkunegoro VII. Data-data itu
sangat berguna untuk merekonstruksikan modernisasi, khususnya bagi perkampungan di
Praja Mangkunegaran dan juga untuk mengetahui peranan dan tindakan yang dilakukan
Dinas Pekerjaan Umum bagi pembangunan perkampungan di Kota Mangkunegaran.
Buku yang berjudul Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Adiningrat
yang ditulis oleh Drs. Radjiman, tahun 1984. Buku ini dibagi menjdi dua bagian yakni,
bagian pertama berisi mengenai Kerajaan Mataram Surakarta, Kasunanan Surakarta
Adiningrat, dan Toponomi Kota Surakarta. Bagian kedua berisi mengenai Struktur
Birokrasi Mataram, Struktur Birokrasi Kasunanan Surakarta, dan Struktur Birokrasi
Pada Masa Pemerintahan Paku Buwono IX. Buku ini juga membahas mengenai Sejarah
pemberian nama kampung-kampung yang ada di wilayah Kasunanan maupun
Mangkunegaran. Akan tetapi, buku ini banyak menggunakan babad sebagai sumber
acuannya seperti Babad Tanah Jawi yang terlalu banyak diisi dengan folklore yang
berkembang di dalam masyarakat. Buku ini juga menggunakan sumber yang lain seperti
Rijksblad, Staatsblad, dan Bijblad yang digunakan untuk memperkuat tulisannya. Buku
ini membantu di dalam mengetahui batas-batas perkampungan di Kasunanan dan
Mangkunegaran dan asal-usul nama-nama kampung di Kota Mangkunegaran.
Dalam buku Ketataprajaan Mangkunegaran yang ditulis oleh Muhammad
Dalyono, SH dan diterjemahkan oleh R.M Sarwanto Wiryosaputro, 1977. buku ini
membahas mengenai ketataprajaan yang ada di Mangkunegaran yang terdiri dari
susunan dan pengisian jabatan, kewenangan ketataprajaan, lingkungan kerja dan
hubungan kekuasaan dengan negara, daerah/wilayah dan orang di Praja
Mangkunegaran. Oleh karena ia sebagai seorang ahli hukum maka cara
pengungkapannya lebih bersifat kaku dan menekankan pada aspek-aspek yuridis formal
dari Praja Mangkunegaran. Akan tetapi, karena buku ini ditulis oleh penulis yang hidup
sejaman dengan peristiwa yag diteliti dan juga diterbitkan pada masa itu, maka validitas
isi dari buku itu dapat dipertanggungjawabkan. Buku ini sangat membantu dalam
penelitian ini karena sebagian besar bertumpu pada peraturan-peraturan baik yang
dikeluarkan oleh Praja Mangkunegaran maupun Oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran (Akhir Abad
XIX – Pertengahan Abad XX), tahun 1994. merupakan tesis dari Drs. Wasino. Karya
ilmiah ini membahas mengenai pembaharuan pemerintahan di Praja Mangkunegaran di
masa pemerintahan Mangkunegoro VI-VII. Karya ilmiah ini membahas pembaharuan di
bidang keuangan dan perekonomian serta pembangunan-pembangunan yang dilakukan
oleh Mangkunegoro VI-VII. Karya ilmiah ini memang menarik karena banyak
menampilkan peranan- peranan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VI dan
Mangkunegoro VII bagi kemajuan yang pesat di Praja Mangkunegaran. Karya ilmiah
ini juga menggunakan sumber-sumber primer yang berupa arsip dari Mangkunegaran,
surat kabar, dan majalah. Karya ilmiah ini membantu penulis untuk mengetahui hal-hal
apa yang telah dilakukan oleh Mangkunegoro VII salah satunya terhadap perkembangan
di Kota Mangkunegaran.
F. Metode Penelitian.
Suatu penelitian ilmiah perlu didukung dengan metode, karena peranan sebuah
metode dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting, karena berhasil atau tidaknya
tujuan yang dicapai, tergantung dari metode yang digunakan. Di dalam hal ini, suatu
metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan obyek yang diteliti.
Terkait dengan hal itu, Koentjoroningrat mengungkapkan bahwa, dalam arti kata yang
sesungguhnya, maka metode (dalam bahasa Yunani methodos) adalah cara atau jalan.
Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja yaitu
cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.
Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, maka metode yang digunakan adalah
metode historis. Menurut Louis Gottschalk yang dimaksud metode historis adalah
proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari pengalaman masa lampau.6
Metode historis ini terdiri dari 4 tahap yang saling berkaitan antara yang satu dengan
yang lainnya. (a) Heuristik yaitu suatu proses pengumpulan bahan atau sumber-sumber
sejarah. Dalam proses ini penulis mengumpulkan bahan di perpustakaan Rekso Pustoko
dan Sono Pustoko, karena di tempat tersebut banyak terdapat sumber-sumber primer
6 Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah, edisi terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press. hal 32
yang sangat membantu dalam penulisan penelitian ini. (b) Kritik sumber yang bertujuan
untuk mencari keaslian sumber yang diperoleh melalui kritik intern dan ekstern.7 Kritik
intern bertujuan untuk mencari keaslian isi sumber atau data, sedang kritik ekstern
bertujuan untuk mencari keaslian sumber. (c) Interpretasi, yaitu penafsiran terhadap
data-data yang dimunculkan dari data yang sudah terseleksi. Tujuan dari interpretasi
adalah menyatukan sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah dan
bersama teori disusunlah fakta tersebut ke dalam interpretasi yang menyeluruh.8 (d)
Historiografi, yaitu menyajikan hasil penelitian berupa penyusunan fakta-fakta dalam
suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut teknik penulisan sejarah.
1. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data atau sumber berupa studi
dokumen dan studi pustaka.
a. Studi Dokumen
Dalam studi ini karena fokus penelitian adalah peristiwa yang sudah lampau,
maka salah satu sumber yang digunakan adalah sumber dokumen. Dokumen
dibedakan menjadi dua macam yaitu dokumen dalam arti sempit dan
dokumen dalam arti luas. Menurut Sartono Kartodirdjo, “dokumen dalam
arti sempit adalah kumpulan data verbal dalam bentuk tulisan seperti surat
kabar, catatan harian, laporan dan lain-lain.9 Di satu sisi dokumen dalam arti
luas meliputi artefak, foto-foto, dan sebagainya. Penggunaan dokumen
dalam penelitian ini adalah dokumen dalam arti sempit. Studi dokumen
mempunyai arti metodologis yang sangat penting, sebab selain bahan
7 Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, hal.58. 8 Ibid, hal. 64. 9 Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah. Jakarta: PT.
Gramedia. hal. 98
dokumen menyimpan sejumlah besar fakta dan data sejarah, bahan ini juga
dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan, apa, kapan dan mengapa.10
Studi tentang dokumen bertujuan untuk menguji dan memberi gambaran
tentang teori sehingga memberi fakta dalam mendapat pengertian historis
tentang fenomena yang unik.11 Dokumen yang berhasil penulis kumpulkan
untuk penelitian ini antara lain: Arsip-arsip dari Dinas Pekerjaan Umum:
Anggaran pembangunan wc umum dan pancuran umum kode L. 436,
Anggaran pembangunan saluran pembuangan air kode H. 204, Rijksblad
Tahun 1939. No. 23, Peta Kota Mangkunegaran, dan sebagainya.
b. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan sebagai bahan pelengkap dalam sebuah penelitian.
Dalam penelitian ini sumber pustaka yang digunakan hanya yang berkaitan
dengan tema penelitian. Tujuan dari studi pustaka adalah untuk menambah
pemahaman teori dan konsep yang diperlukan dalam penelitian. Sumber
pustaka yang digunakan antar lain: buku, majalah, surat kabar, artikel dan
sumber lain yang memberikan informasi tentang tema yang diteliti. Studi
pustaka dalam penelitian ini di lakukan di perpustakaan Reksa Pustaka
Mangkunegaran.
2. Teknik Analisa Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi analisis. Deskripsi
analisis artinya menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya yang
terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Setelah
10 Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu
Alternati. Jakarta: PT. Gramedia. hal 97-122 11 Sartono Kartodirdjo. 1983. “ Metode Penggunaan Bahan Dokumen “Koentjoroningrat,
Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia. hal. 47.
itu dari sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, tahap selanjutnya adalah
diadakan analitis, diinterpretasikan, dan ditafsirkan isinya. Data-data yang telah
diseleksi dan diuji kebenarannya itu adalah fakta-fakta yang akan diuraikan dan
dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis, berupa kisah sejarah
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.12
Selain itu teknik yang digunakan untuk menganalisa data penelitian ini adalah
analisa historis. Yaitu analisa untuk mencari hubungan sebab akibat dari suatu
fenomena historis pada ruang dan waktu tertentu. Tujuan dari teknik ini adalah
agar penelitian ini tidak hanya menjawab apa, kapan, dan di mana peristiwa ini
terjadi namun juga menjelaskan gejala sejarah sebagai kausalitas. Analisa ini
kemudian disajikan dalam bentuk penulisan diskriptif.
G. Sistematika Skripsi
Untuk memberikan gambaran terperinci, skripsi ini disusun bab demi bab.
Penyusunan ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan gambaran yang
menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang beruntun
Bab I, dalam bab pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode
penelitian, dan sistematika skripsi.
Bab II, dalam bab ini menguraikan gambaran umum yang mencangkup sejarah,
wilayah, dan struktur birokrasi Praja Mangkunegaran.
12 Nugroho Notosusanto. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: yayasan Indayu. hal
36
Bab III, dalam bab ini mengenai perkampungan di Kota Mangkunegaran
termasauk didalamnya struktur penduduk, pola perkampungan, dan asal-usul nama
kampong di Kota Mangkunegaran.
Bab IV, dalam bab ini mengenai peranan Mangkunegoro VII bagi pembangunan
perkampungan di Kota Mangkunegaran.
Bab V, dalam bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan.
BAB II
WILAYAH ADMINISTRATIF PRAJA MANGKUNEGARAN
PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGORO VII
A. Perkembangan Wilayah Administratif Praja Mangkunegaran
Praja Mangkunegaran didirikan oleh R.M Said. Ia merupakan putera dari K.P.A
Mangkunegoro, dan merupakan cucu dari Sunan Amangkurat IV. K.P.A Mangkunegoro
sebenarnya merupakan pengganti Sunan Amangkurat IV, tetapi dalam kenyataannya
yang menggantikan tahta adalah Sultan Sepuh, yang bergelar Sunan Paku Buwono II.
KPA Mangkunegoro karena menentang dan tidak disenangi Belanda maupun Sunan
Paku Buwono II, kemudian dibuang ke Ceylon, dan meninggal di Tanjung Harapan.13
Berdirinya Praja Mangkunegaran merupakan dampak dari konflik-konflik perang
perebutan tahta kerajaanyang telah terjadi pada masa sebelumnya. Geger Pacinan
merupakan konflik awal perebutan kekuasaan di Mataram Kartosura. Peristiwa ini
berawal dari pemberontakan orang-orang Cina di batavia pada tahun 1740 yang
kemudian menjalar ke sepanjang pantai utara Jawa. Peristiwa ini juga melibatkan para
bangsawan Mataram, yang termasuk di dalamnya Raden Mas Said.14
Pemberontakan Cina di Mataram dipimpin oleh R.M Garendi atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Sunan Kuning. Pemberontakan itu mengakibatkan jatuhnya
Istana Kartosuro ketangan musuh, kemudian oleh Sunan Paku Buwono II istana
dipindahkan ke sebelah timur yaitu ke desa Sala yang kemudian lebih dikenal dengan
nama Surakarta. Pada tahun 1743 pemberontakan Cina telah dipadamkan oleh kerajaan
13 Mulat Sarira, 1978. Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran. hal 4-5 14 Wasino, 1994. Tesis: Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir
Abad XIX-Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Hal 34
15
Mataram yang dibantu VOC. Paku Buwono II semakin tidak bebas dalam menentukan
kebijakan-kebijakan politik dan pemerintahannya akibat intervensi dari VOC, karena
telah banyak membantu mengusir para pemberontak.15
R.M Said tetap melakukan perlawanan terhadap kompeni Belanda dan Paku
Buwono II, yang sebenarnya masih untuk menuntut hak-haknya sebagai putera dari
K.P.A Mangkunegoro. Dalam perlawananya Mas Said didukung oleh 18 pembantu
utama yang merupakan putera pejabat Keraton Kartosuro, yang kemudian dikenal
sebagi Punggawa Baku.16 Selain dibantu oleh 18 pemuda itu, Mas Said juga mendapat
bantuan dari Raden Sutowijoyo yang kemudian mendapat gelar Kyai Ronggo
Panambangan, dan Kyai Kudawarsa. Mas Said dan para punggawanya mempunyai ikrar
“tiji-tibeh” yaitu :mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh, yang artinya mati satu
mati semua, bahagia satu bahagia semua.17
Perlawanan Mas Said sangat menyulitkan Sunan Paku Buwono II dan VOC.
Paku Buwono II kemudian menjanjikan hadiah tanah lungguh sebesar 3000 cacah di
daerah Sukowati (Sragen) bagi mereka yang berhasil menghalau Mas Said dan kawan-
kawannya dari daerah itu. Pangeran Mangkubumi menerima tawaran dari Paku Buwono
II, walaupun sebelumnya juga berkonflik dengannya. Mas Said berhasil dikalahkannya
pada tahun 1746. Paku Buwono II, karena bujukan para penasehatnya tidak memberikan
hadiah kepada Mangkubumi, sehingga membuatnya merasa kecewa.18 Akhirnya
Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Mas Said untuk melawan Paku Buwono II
dan VOC.
15 Ibid 16 Ng. Satyapranawa, 1950. Babad Mangkunegaran. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 29 17 Ibid 18 Wasino, op.cit. hal 35
Mas Said di medan pertempuran pamornya semakin menonjol dan rakyat banyak
yang semakin simpati kepadanya, apalagi setelah Pangeran mangkubumi bergabung
dengannya. Pada tahun 1751 pasukan gabungan ini dapat menghancurkan pasukan
Belanda di bawah Mayor de Clery di lembah Bagawonto. Keberhasilan pertempuran ini
membuktikan bahwa Raden Mas Said seorang pemimpin yang berani dan ahli strategi
perang, sehingga mendapat julukan Pangeran Samber Nyowo.19
Persatuan antara Mas Said dan Pangeran Mangkubumi menjadi semakin kuat,
setelah Mas Said menikah dengan Puteri Sulung Mangkubumi, yang bernama Raden
Ajeng Inten atau selanjutnya disebut dengan Ratu Bendara. Pada bulan-bulan terakhir
tahun 1752, terjadi perselisihan antara Mas Said dengan Mangkubumi. Mas Said kini
harus berjuang sendiri untuk menghadipi sekutu-sekutu Sunan dan VOC Belanda. Ia
juga menghadapi Mangkubumi yang merupakan mantan mertuanya sendiri. Komandan
Belanda van Honendarf menyarankan kepada Dewan Hindia agar ditawari jabatan
Putera Mahkota, karena melihat situasi yang semakin meruncing, dan usul itu ternyata
diterima. Perundingan kemudian dilakukakan pada tanggal 28 Februari 1753.20
Akan tetapi diperundingan tersebut Mas Said ingin dinobatkan menjadi Raja,
dan bukan sebagai Putera Mahkota. Tindakan Mas Said ini sebagai tekanan terhadap
Belanda, dikarenakan ia baru saja memukul mundur pasukan mangkubumi dalam
pertempuran di sebelah timur Surakarta. Kemenangan yang gemilang ini yang
menyebabkan Mas Said mendekte syarat-syarat perdamaian dengan Belanda yang telah
gagal menyelesaikan secara militer. Mas Said terlalu yakin akan keberhasilannya,
sehingga tidak mau membuat kompromi dengan pihak kompeni. Dalam hal ini ia
19 Heri Dwiyanto, 1995. Skripsi: Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja Mangkunegaran
Pada Masa Mangkunegoro VII. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hal 46 20 Wasino, op.cit. hal 36
kurang waspada terhadap Mangkubumi, yang justru bersedia mengadakan perundingan
dengan pihak VOC. Mangkubumi menyetujui kesepakatan yang agak realistis, yakni ia
menerima separo dari tanah kerajaan, mengakui kekuasaan VOC atas pesisir, dan
bersekutu dengan VOC untuk melawan Mas Said.21
Pada tanggal 13 Februari 1755 terjadi perjanjian Giyanti antara Pangeran
Mangkubumi dan Sunan Paku Buwono III. Kedua belah pihak akhirnya menerima
masing-masimng separo dari tanah kerajaan Mataram yang bukan menjadi wilayah
kekuasaan VOC. Konflik dinasti yang berkepanjangan di Surakarta ternyata belum
dapat diselesaikan. Mas Said tidak mau menyerah begitu saja. Ia tetap mengerahkan
pasukannya untuk melawan tiga kekuatan yang bersekutu. Pada bulan Oktober 1755 ia
masih berhasil mengalahkan pasukan VOC dan pada bulan Februari 1756 ia hampir
berhasil membakar istana baru di Yogyakarta. Pasukan-pasukan gabungan itu tidak
berhasil dan tidak sanggup melawan Mas Said, tetapi ia yang berjuang sendirian tidak
mampu menaklukkan Jawa.22
Pasukan Mas Said mulai mengalami banyak kekalahan-kekalahan yang
dikarenakan semakin berkurangnya jumlah pasukan dan membelotnya beberapa
pengikut kepada pasukan-pasukan musuh. Situasi yang nampak semakin gawat, Mas
Said sudah dapat membaca ketidakseimbangan antara pasukannya dalam menghadapi
pasukan gabungan yang besar itu, maka ia berusaha untuk menghentikan peperangan
yang mulai tidak seimbang melalui perundingan dengan Sunan dan VOC. Melalui
adiknya Pangeran Timur, ia memberikan tawaran perdamaian kepada Sunan.
21 Ibid. hal 37 22M.C Ricklefs, 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hal
148-150
Perundingan ini diambil oleh Mas Said, karena ia berharap bahwa setelah Sunan
meninggal ia dapat menggantikannya sebagai Raja. Pangeran Timur yang menjadi
utusan menyampaikan permohonan Mas Said kepada Sunan agar tanah Jawa hanya
diperintah oleh seorang raja saja, tetapi apabila tidak bisa ia menerima saja keputusan
Sunan asal ia mendapat hak atas tanah Laroh, Matesih, Keduwang, dan Pacitan. Dari
pihak VOC melalui Hartingh juga mendesak agar diadakan perundingan untuk
mengakhiri perang saudara yang berlarut-larut.23 Pada tanggal 24 Februari 1757 di
Gogol, daerah sesbelah selatan kota Surakarta, Mas Said sembari bersujud ia
menyerahkan diri secara sukarela kepada Susuhunan Paku Buwono III.24 Pertemuan ini
merupakan awal dari pertemuan yang selanjutnya di Salatiga pada tanggal 17 Maret
1757.
Dalam pertemuan di Salatiga tanggal 17 Maret 1757, yang dihadiri pula oleh
Patih Danurejo dari Kasultanan Yogyakarta. Pertemuan ini membahas mengenai
kedudukan, pangkat, dan penghasilan Mas Said. Pertemuai ini akhirnya dapat dicapai
beberapa kesepakatan, walaupun melalui perdebatan antara kedua belah pihak.
Kesepakatan ini isinya sebagai berikut: (1) Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji,
yang kedudukannya tepat dibawah Sunan. Ia memakai gelar Pangeran Adipati
Mangkunegoro, (2) Ia juga mendapatkan tanah sebesar 4000 karya, yang terletak di
Keduwang, Laroh, Matesih, dan Gunung Kidul. Wilayah itu terletak disekitar Surakarta
Tenggara dan sebagian lagi di timur Yogyakarta, (3) Mas Said harus bersumpah setia
kepada Sunan, Sultan, VOC dan berjanji akan datang di hari-hari tertentu (senin, kamis,
dan sabtu). Mas Said juga harus selalu tunduk kepada perintah Raja. Ia juga harus
23 A.K Pringgodigdo, 1938. Lahir Serta Tumbuhnya Praja Mangkunegaran. Surakarta: Reksa
Pustaka. hal 8 24 G.P Rouffaer. Swapraja. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 34
tinggal dan berkedudukan di Ibu Kota Surakarta.25 Berdasarkan perjanjian Salatiga
tahun 1757, maka berdirilah Praja Mangkunegaran yang wilayahnya meliputi Laroh,
Matesih, Keduwang, dan Gunung Kidul.
Praja Mangkunegaran merupakan salah satu bagian dari empat swapraja yang
ada di Jawa Tengah. Wilayah Mangkunegaran terletak dibagian timur dan utara
Surakarta, juga sebagian terletak di wilayah Kasunanan dan Kasultanan. Wilayah
Mangkunegaran di sebut sebagai desa Babok. Desa Babok merupakan tanah-tanah atau
wilayah permulaan dari Praja Mangkunegaran.26 Luas wilayah Praja Mangkunegaran
4000 karya ketika berdiri, dan terus mengalami perubahan sejak berdirinya kerajaan itu.
Tabel I
Desa Babok Mangkunegaran
Nama Daerah Jumlah (Jung)
Keduwang
Laroh
Matesih
Wiraka
Haribaya
Hanggabayan
Sembuyan
Gunung Kidul
Pajang (sebelah selatan jalan besar Surakarta-Kartosura)
Pajang (sebelah utara jalan besar Surakarta-Kartosura)
Mataram (pertengahan Yogyakarta)
Kedu
141
115,5
218
60,5
82,5
25
133
71,5
58,5
64,5
1
8,5
Jumlah 975,5
Sumber: Pringgodigdo, op.cit. hal 10 dan Rouffaer, op.cit. hal 9
25 A.K Pringgodigdo, op.cit. hal 8-9 26 Sutrisno Adiwardoyo, 1974. Skripsi: Pertumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai
Masuknya Ke Provinsi Jawa Tengah. Surakarta: IKIP Surakarta. hal 28
Menurut Wasino, wilayah dan batas-batas Praja Mangkunegaranyang didasarkan
perjanjian Salatiga 1757 itu memang kurang jelas. Hal ini di karenakan, surat
perjanjiannya sendiri hilang dan tidak dapat ditemukan. Dengan demikian data-data
mengenai wilayah Mangkunegaran yang dikemukakan oleh Rouffaer dan Pringgadigdo
itu hanyalah perkiraan saja.27
Dibawah Pemerintahan Mangkunegoro II (1796-1835), wilayah Praja
Mangkunegaran mengalami perubahan, yakni adanya pertambahan wilayah sebanyak
dua kali. Praja Mangkunegaran mendapat tambahan tanah sebesar 240 jung atau 1000
karya yang terletak di Keduwang (72 jung), Sembuyan (12 jung), Mataram (2,5 jung),
Sukawati bagian timur (95,5 jung), Sukawati bagian barat (28,5 jung), dan daerah di
lereng Gunung Merapi bagian timur (29,5 jung).28 Bertambahnya luas wilayah Praja
mangkunegaran dikarenakan adanya hubungan kerjasama antara Mangkunegoro II
dengan Inggris untuk melawan Sultan Hamengkubuwono II di Yogyakarta dan
Susuhunan Paku Buwono IV.
Praja Mangkunegaran mengalami penambahan luas wilayah lagi pada tahun
1830. penambahan luas wilayah ini sebagai atas jasa Praja Mangkunegaran dalam
membantu Belanda menghadapi pasukan Diponegoro. Praja Mangkunegaran
27 Wasino, op.cit. hal 51 28 Wasino, loc.cit
memperoleh hadiah berupa tanah 120 jung atau 500 karya yang terletak di Sukowati
bagian utara, sehingga luas wilayah Praja Mangkunegaran pada masa Mangkunegoro II
menjadi 5500 karya.29
Masa pemerintahan Mangkunegoro II juga terjadi adanya perubahan wilayah
sebagai akibat tukar-menukar tanah yang dilakukan Mangkunegaran dan Kasultanan.
Pertukaran tanah ini dilakukan karena wilayah masing-masing swapraja itu semula
bersifat tumpang-tindih sehingga ada usaha untuk menyatukan wilayah agar tidak
terpencar wilayah swapraja yang lain.30 Perubahan-perubahan yang dilakukan didaerah
Gunung Kidul bagian barat (pajang dan semanu) sebesar 64 jung yang merupakan
daerah Mangkunegaran di tukar dengan 60 jung tanah yang terdiri dari desa-desa di
Yogyakarta didaerah Sembuyan (sebelah Tenggara Surakarta).31
Praja Mangkunegaran Setelah adanya dua kali perubahan luas wilayah dan
pertukaran tanah dengan Kasunanan, luas wilayah Mangkunegaran menjadi 2815, 14
km², meliputi lereng barat dan selatan Gunung Lawu yang meluas sampai daerah hulu
sungai Bengawan Solo menuju ke daerah Gunung Kidul. Daerah selatan Praja
Mangkunegaran membentang pada bagaian timur dari Gunung Sewu yang sangat tandus
hingga ke Samudera Hindia. Di sebelah barat, daerahnya sebagian menuju barat melalui
dataran rendah bengawan Solo sampai pada lereng Gunung Merapi dan Merbabu yang
sangat subur. Batas swapraja Mangkunegaran dan Kasunanan melewati ibu kota
Surakarta. Sebelah utara masuk daerah Mangkunegaran dan sebelah selatan masuk
daerah Kasunanan. Di bagian utara daerah ini merupakan tanah-tanah yang cocok untuk
29 Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. hal 28
30 Wasino, op.cit. hal 51
31 A.K Pringgodigdo, op.cit. hal 19
pertanian dan perhutanan, sedangkan dibagian selatan tidak begitu baik untuk budi daya
pertanian baah dan hanya cocok untuk kehutanan.32 Di daerah selatan ini merupakan
sebagian besar wilayah Praja Mangkunegaran, walaupun ada juga di daerah timur yang
subur di bawah lereng Gunung Lawu.
Wilayah Praja Mangkunegaran Luasnya tidak terpaut jauh dengan swapraja lain
yang ada di Jawa Tengah yakni Kasunanan dan Kasultanan. Jika dibandingkan dengan
wilayah Paku Alaman, wilayah Mangkunegaran lebih luas. Apabila dilihat dari
kesuburan tanahnya, Praja Mangkunegaran memiliki tingkat kesuburan tanah yang
buruk. Perbandingan luas wilayah dari keempat swapraja di Jawa Tengah itu dapat
dilihat dalam tabel dibawah ini.
Tabel II
Perbandingan Luas Wilayah Swapraja di Jawa Tengah
No Nama Swapraja Luas Wilayah
1
2
3
4
Kasunanan Surakarta
Kasultanan Yogyakarta
Pura Mangkunegaran
Pura Paku Alaman
3.237.50 Km²
3.049.81 Km²
2.815.14 Km²
122.50 Km²
Sumber: Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Di Jawa. Surakarta: Rekso Pustaka. hal 15
Ibu Kota Mangkunegaran tidak terlalu luas, jika di bandingkan dengan
Kasunanan dan Kasultanan. Ibu Kota Mangkunegaran hanya seperlima dari seluruh
wilayah Karesidenan Surakarta, dan Ibu Kota Kasunanan menempati empat perlima dari
seluruh karesidenan itu. Di Karesidenan Yogyakarta, sebagian besar wilayahnya milik
32 Wasino, op.cit. hal 52
Kasultanan Yogyakarta, dan hanya sebuah wilayah kecil yang terletak disebelah barat
daya dan sebuah en clave disekitar istananya merupakan wilayah Paku Alaman.33
B. Wilayah Administratif Praja Mangkunegaran
Pada Masa Mangkunegoro VII.
Pembagian wilayah administrasi Praja Mangkunegaran telah mengalami
beberapa perubahan, yang dilakukan untuk mempermudah dalam pengelolaan wilayah
tersebut untuk kemajuan dan kemakmuran Praja Mangkunegaran. Pada masa
pemerintahan Mangkunegoro III perubahan terjadi untuk pertama kalinya, pada
tahun1847 Praja Mangkunegaran dibagi atas tiga daerah Onderregentschap, yaitu:
Wonogiri (meliputi Laroh, Hanggabayan, dan Keduwang), Karanganyar (meliputi
Sukawati, Matesih, dan Haribaya), dan Malangjiwan.34 Di tahun 1875, perubahan
kembali dilakukan untuk yang kedua kalinya, yaitu dengan penghapusan
Onderregenschap Malangjiwan dan kemudian dibentuk Onderregenschap Baturetno
yang wilayahnya meliputi tanah Wiraka dan Sembuyan. Dengan demikian pada masa
pemerintahan Mangkunegoro IV, Praja Mangkunegaran dibagi menjadi tiga wilayah
admistrasi yaitu: Wonogiri, Karanganyar, dan Baturetno.
Perubahan pembagian wilayah dilakukan lagi pada tahun 1891 masa
pemerintahan Mangkunegoro V. Onderegenschap Baturetno dihapuskan dan
wilayahnya digabungkan dengan Onderregenschap Wonogiri.35 Pada tahun 1903 di
bawah pemerintahan Mangkunegoro VI terjadi perubahan wilayah yang keempat
33 G.D Larson, 1990. Masa Menjelang Revolusi, Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta
1912-1942. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hal 1 34 Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. hal 30 35 Wasino, op.cit. hal 54
kalinya, yaitu dibentuk Onderregenschap Kota Mangkunegaran. Dengan demikian
daerah Praja Mangkunegaran terbagi menjadi tiga wilayah administrasi yaitu: Kota
Mangkunegaran, Wonogiri, Karanganyar, dan di tambah enclave Ngawen.36
Pada masa awal pemerintahan Mangkunegoro VII wilayah administrasi Praja
Mangkunegaran tetap menjadi tiga wilayah, tetapi di tahun 1929 terjadi perubahan
wilayah administrasi lagi yang dilakukan dalam rangka penghematan. Hal itu dilakukan
oleh Mangkunegoro VII dikarenakan pada saat itu dampak-dampak krisis ekonomi
yang terjadi di seluruh penjuru dunia sudah mulai dirasakan oleh Praja Mangkunegaran.
Oleh karena itu Mangkunegoro VII menghapus Kabupaten Kota Mangkunegaran, dan
wilayahnya dimasukkan ke wilayah Kabupaten Karanganyar. Perubahan itu tidak
berlangsung lama, setahun kemudian diadakan perubahan lagi yaitu penghidupan lagi
Kabupaten Kota Mangkunegaran. Bekas daerah Kabupaten Karanganyar menjadi
daerah Kabupaten Kota Mangkunegaran.37
Dengan demikian pada tahun 1930 wilayah administrasi Praja Mangkunegaran
menjadi dua wilayah yaitu: Kabupaten Kota Mangkunegaran (meliputi Kawedanan
Kota Mangkunegaran, Kawedanan Karanganyar, Kawedanan Karang Pandan,
Kawedanan Jumapolo) dan Kabupaten Wonogiri (meliputi Kawedanan Wonogiri,
Kawedanan Jatisrono, Kawedanan Wuryantoro, Kawedanan Baturetno).
C. Struktur Birokasi Praja Mangkunegaran
Pada Masa Mangkunegoro VII
36 Daerah Onderregentschap disebut daerah Kabupaten. Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1917
No. 331 37 Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. hal 31
Praja Mangkunegaran merupakan salah satu dari empat daerah swapraja yang
ada di Jawa Tengah. Oleh karena itu, Praja Mangkunegaran memiliki struktur birokrasi
yang telah tertata dengan baik, Praja Mangkunegaran ini memiliki hubungan politik
yang baik dengan pemerintah kolonial Belanda, hubungan ini membawa dampak yang
baik bagi birokrasi di Praja ini. Praja Mangkunegaran sangat terpengaruh dengan
struktur birokrasi kolonial yang legal – rasional.
Pengageng Pura (Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro) merupakan jabatan
tertingi dan mengendalikan semua aparat yang ada di bawahnya didalam struktur
birokrasi di Praja Mangkunegaran. Pada awalnya pengangkatan pura ini atas kehendak
pemerintah Hindia Belanda dengan persetujuan Sri Susuhunan Surakarta. Akan tetapi
pada akhir abad XX, pengangkatan tidak harus melalui persetujuan dari Susuhunan
Surakarta.38 Mangkunegoro sebagai pimpinan Praja Mungkunegaran memegang sendiri
pemerintahan. Ia tidak hanya merupakan simbol kerajaan, tetapi sebaliknya, ia
merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan. Mangkunegoro mempunyai
kekuasaan untuk dapat mengontrol semua aparat-aparat yang ada di bawahnya untuk
hanya tunduk kepada PAA Mangkungoro.
Di bawah PAA Mangkunegoro adalah Patih Mangkunegoro. Pada mula-
mulanya jabatan ini hanya bersifat pribadi tetapi dalam perkembangannya, jabatan Patih
di Mangkunegaran bersifat resmi dalam mengurus pemerintahan sejak Mangkunegoro II
dengan nama Bupati Patih dengan pangkat Tumenggung. Menurut Rijksblad
Mangkunegoro tahun 1917. No 37 Bupati Patih betugas untuk menyelenggarakan
pemerintahan pertama dari perintah raja. Seorang Patih di Mangkunegoro harus
bersumpah setia dihadapan Mangkunegoro, sebelum ia memangku jabatannya. Isi
38 Wasino, op.cit. hal 99-100
sumpah itu hanya akan setia dan melaksanakan tugas-tugas yang diemban sebagai
pegawai di Praja Mangkunegaran.39
Pada masa pemerintahan Mangkunegoro I hingga Mangkunegoro III aparat-
aparat birokrasi pemerintah di bawah Patih hanya terdiri dari empat jabatan
pemerintahan dengan nama Priyayi Punggawa. Mereka adalah dua orang Lurah dan dua
orang Bekel. Masing-masing dari Priyayi Pungawa itu dibantu oleh 14 orang Jajar.
Tugas dan kewajiban para Pungawa itu menjalankan pemerintahan yang berasal dari
perintah Pangeran Mangkunegoro.40 Dengan demikian, pada masa pemerintahan
Mangkunegoro I sampai Mangkunegoro III pemerintahan hanya terbagi dalam dua
bagian yaitu kekuasan pusat yakni di Istana Mangkunegoro dan kekuasaan daerah yang
dipegang oleh Lurah dan Bekel.
Praja Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegoro IV diadakan
pembaharuan didalam struktur pemerintahannya. Dengan Pranatan tanggal 11 Angustus
1867 telah ditetapkan Departemen-Departemen dalam Praja Mangkunegaran diluar
kesentanaan dengan legiun. Departemen-departemen itu disebut Kawedanan yang
terdiri dari 9 macam. Tiap-tiap Kawedanan dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut
Wedana.41 Pemerintahan di Praja Mangkunegaran terbagi menjadi dua bagian yaitu
pemerintah dalam praja dan pemerintah diluar praja. Pola yang digunakan pemerintah
Mangkunegaran mirip dengan struktur birokrasi di kerajaan Mataram yang dibagi
menjadi dua, yakni Wedana Lebet dan Wedana Jawi.42
39 Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1924 No. 8 40 Wasino, op.cit. hal 104-105 41 Ibid. hal 106 42 Marwati Djoened Poesponegoro, 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.
hal 6
Struktur birokrasi Praja Mangkunegaran pada masa pemerintahan
Mangkunegoro IV. Bupati Patih mempunyai bawahan yakni Reh Jaba dan Reh Jero
yang membawahi beberapa Kawedanan dan Kemantren.
1. Reh Jaba
Pejabatnya : Wedana Reksa Praja yang membawahi tiga Kamantren.
a. Polisi yang bertugas menerima perkara, menjalankan bunyi surat
pemerintah, dan membantu kelancaran pemerintahan Praja.
b. Margatama yang betugas memperbaiki jalan-jalan, tanggul, jembatan,
rumah jaga, kantor pos dan sarana fisik di wilayah Praja Mangkunegaran.
c. Jaksa yang bertugas memutusi perkara dari mereka yang bersengketa,
berkewajiban menjalankan segala undang-undang dan peraturan negara.
2. Reh Jero
a. Kawedanan Hamang Praja terdiri dari tiga kemantren
1) Sastrolukito: pekerjaannya menulis dan menghitung
2) Reksopustoko: pekerjaannya merawat dan menyusun surat-surat yang
dianggap penting
3) Pamong siswo: pekerjaannya mengembangkan kesenian dan
perpustakaan
b. Kawedanan Kartapraja, membawahi dua kemantren:
1) Kartahusada, pekerjaannya melakukan usaha dan berkewajiban
meningkatkan sumber pendapat negara dengan mudah
2) Martanimpura, pekerjaannya menerima setoran pajak dan pendapatan
luar biasa negara, kerig aji, dan semacamnya, yang kemudian
dimasukkan dalam gedong.
c. Kawedanan Martapraja, hanya membawahi satu kemantren, yakni
kemantren Reksahandara yang pekerjaannya menyimpan dan mengetahui
jumlah uang yang berada di gedong dan ditempat lainnya.
d. Kawedanan Karti Praja hanya membawahi satu kemantren, yakni kemantren
Kartipura yang dikerjakan mengadakan perbaikan dalam kota dan luar kota,
serta sebagai pemadam kebakaran.
e. Kawedanan Mandrapura, membawahi empat kemantren:
1) Mardrasena pekerjaannya merawat dan membersihkan perkakas Praja.
2) Reksa Pradipta, pekerjaanya membuat dan menghidupkan lampu.
3) Subapandaya pekerjaannya mengurusi masalah minuman Praja.
4) Reksasunggata pekerjaannya mengurusi penyediaan makanan istana.
f. Kawedanan Reksawibawa, membawahi tiga kemantren
1) Reksa Warastra, pekerjaannya memelihara senjata
2) Reksawahana pekerjaannya menjaga kendaraan beserta suku cadangan
3) Langenpraja pekerjaannya memperlengkapi dan merewat gamelan dan
wayang.
g. Kawedanan Prababaksana, membawahi tiga kemantren
1) Reksabaksana pekerjaannya memelihara dan membagi bahan pangan
2) Wreksapandaya, pekerjaannya menyediakan kayu jati untuk bahan
bangunan.
3) Tarulata pekerjaannya membagi penyerahan sirih, rumput dan padi.
h. Kawedanan Yogiswara, membawahi empat kemantren
1) Ketib pekerjaanya menikahkan orang akan menikah, mengurusi mayat,
dan menyeleaikan perkara yang akan dibawa ke Surambi
2) Nai’b pekerjaannya menikah orang yang akan menikah dan
berwewenang menyelesaikan talak wasiat dan semacamnya
3) Mardikan pekerjannya memberi pelajaran agama dan memelihara
makam dan tempat suci
4) Ngulama pekerjaannya berdoa agar negara hidup tentram sejahtera.43
Pada masa pe.merintahan Mangkunegoro VII pembaharuan didalam struktur
birokrasi Praja Mangkunegaran juga dilakukan. Pembaharuan itu dilakukakan untuk
memperbaiki kinerja aparatur yang ada di struktur birokrasinya agar lebih baik.
Perubahan-perubahan itu antara lain: Pertama, pembagian birokrasi reh jaba dan reh
jero dihapuskan. Kedua, beberapa jabatan yang semula bernama Kawedanan yang
dipimpin oleh seorang wedana kini diubah menjadi Kabupaten yang dipimpin seorang
Bupati. Jabatan-jabatan yang diubah meliputi Kawedanan Hamong Praja diubah
menjadi Kabupaten Hamong Praja, Kawedanan Mandrapura diubah menjadi Kabupaten
Mandrapura, Kawedanan Karti Praja diubah menjadi Kabupaten Karti Praja,
Kawedanan Yogiswara diubah menjadi Kabupaten Yogiswara. Naiknya jabatan wedana
menjadi bupati membawa konsekuensi naiknya jabatan-jabatan dibawahnya, serta
pembentukan jabatan-jabatan baru pada tingkat yang paling bawah. Jabatan yang
dulunya hanya kapenewon meningkat menjadi kawedanan, jabatan mantri tingkat I
menjadi penewu, dan seterusnya.44
Ketiga, adanya penghapusan beberapa Kawedanan lama yang diganti dengan
jabatan-jabatan baru yang fungsinya mirip. Kawedanan yang dihapus yakni: Reksa
Praja, Reksa wibowo, Mandrapura, Martapraja dan Purabaksana. Keempat, jabatan-
jabatan baru dibentuk sesuai dengan kebutuhan Praja Mangunegaran yang telah
43 Wasino, op.cit. hal 107-111 44 Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1923 No. 10
mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan masyarakat. Jabatan-jabatan baru
itu yakni: Kabupaten Pangreh Praja, Parimpuna, Sindumarto, Wanamarta, Kawedanan
Sinatriyo, Paprentahan Pajeg Siti, Martanimpuna, dan Pasianoan Dusun.45
Susunan struktur birokrasi Praja Mangkunegaran dan tugas-tugasnya yang telah
mengalami pembaharuan pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII.
1. Kabupaten Hamong Praja
Pejabat : Bupati
Tugasnya : Sebagai pusat pemerintahan dan mengurusi segala
jalannya pemerintahan
2. Kabupaten Pangreh Praja
Pejabatnya : Bupati
Tugasnya : Mengurusi masalah pemerintahan daerah dan kepolisian.
3. Kabupaten Parimpuna
Pejabatnya : Kliwon
Tugasnya : Mengurus masalah pasar di wilayah Praja Mangkunegaran
4. Kabupaten Karti Praja
Pejabatnya : Belanda berpangkat Direktur
Tugasnya : Mengurus masalah pekerjaan umum
5. Kabupaten Mandra Pura
Pejabatnya : Kliwon
Tugasnya : Mengurusi didalam Istana Mangkunegaran
6. Kabupaten Sindumarta
45 Wasino, op.cit. hal 113-114
Pejabatnya : Insiyur
Tugasnya : Mengurusi masalah irigasi
7. Kabupaten Yogiswara
Pejabatnya : Penghulu
Tugasnya : Mengurusi masalah nikahan, perceraian, dan kematian)
8. Kabupaten Kartausaha
Pejabatnya : Belanda berpangkat Super-Intendent
Tugasnya : Mengelola semua badan usaha dan keuangan praja yang
diperoleh dari badan-badan usaha itu, yang kemudian
dilembagakan dalam Dana Milik Mangkunegaran
9. Kabupaten Wonomarto
Pejabatnya : Belanda berpangkat Opperhoutvester
Tugasnya : Mengelola hutan yang ada di wilayah Mangkunegaran
10. Kawedanan Sinatriyo
Pejabatnya : Wedana
Tugasnya : Mengurusi putra sentono (putera Adipati Mangkunegoro)
11. Kawedanan Nata Praja
Pejabatnya : Wedana
Tugasnya : sebagai Sekretariat Praja Mangkunegaran
12. Kawedanan Niti Praja
Pejabatnya : Wedana
Tugasnya : sebagai Badan Perhitungan Praja Mangkunegaran
13. Paprentahan Pajeg Siti
Pejabatnya : Kliwon
Tugasnya : Mengurusi pajak tanah di wilayah Mangkunegaran
14. Paprentahan kedokteran
Pejabatnya : Dokter
Tugasnya : Menjaga/memelihara kesehatan putera sentana dan para praja
dalam istana
15. Paprentahan Martanimpuna
Pejabatnya : Kliwon
Tugasnya : Menerima setoran pajak dan pendapatan luar biasa negara
16. Paprentahan Pasinaoan Dusun
Pejabatnya : Pejabat Goverment
Tugasnya : Mengatur dan memajukan sekolah-sekolah desa.46
.
46 Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. hal 35-36 dan Wasino, Ibid. hal 11
BAB III
PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA
PEMERINTAHAN MANGKUNEGORO VII
A. Struktur Penduduk Di Kota Mangkunegaran
Pada Masa Mangkunegoro VII
Penduduk di Praja Mangkunegaran sebagian besar memeluk agama Islam sesuai
dengan corak kerajaan yang ada di Jawa, yaitu Kerajaan Islam. Di kota Mangkunegaran
sebagian besar penduduknya juga memeluk agama Islam. Penduduk di kota
Mangkunegaran terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, yang tersebar di kampung-
kampung yang berada di kota tersebut. Suku-suku bangsa itu antara lain: suku Jawa,
suku Sunda, suku Madura, dan ada juga suku yang berasal dari luar pulau Jawa. Kota
Mangkunegaran juga terdapat bangsa-bangsa Eropa yang bermukim di tempat khusus
hanya untuk kalangan mereka saja.
Kota Mangkunegaran di tahun 1930 mempunyai penduduk 35.183 jiwa, yang
terdiri dari orang-orang Pribumi, orang Timur Asing, dan orang Eropa. Kepadatan
penduduk di kota Mangkunegaran pada tahun 1930 mencapai 859,93 per km².47 Kota
Mangkunegaran memiliki tingkat kepadatan yang paling tinggi diantara daerah-daerah
lain yang ada di praja Mangkunegaran. Itu dikarenakan kota Mangkunegaran
merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian di praja Mangkunegaran, sehingga
banyak penduduknya yang pindah ke daerah ibukota yakni kota Mangkunegaran, agar
mudah melakukan aktivitas ekonominya.
47 Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 15
36
Penduduk di kota Mangkunegaran sama dengan penduduk yang ada di daerah-
daerah lain di praja Mangkunegaran merupakan masyarakat yang tradisional. Itu
dikarenakan penduduk di kota Mangkunegaran masih bersifat ajeg dan hampir-hampir
tanpa perubahan, dan apabila ada perubahan hanyalah sangat sedikit. Penduduk di kota
ini juga masih mempunyai sifat nrimo, yakni selalu menerima suatu keadaan dengan
apa adanya. Tradisi dan kebiasaan itu selalu diteruskan atau diwariskan pada generasi
berikutnya.
Menurut Sartono Kartodirdjo, untuk menentukan posisi seseorang dalam
masyarakat tradisional itu diperlukan dua kriteria, yaitu: (1) prinsip kebangsawanan
yang ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan penguasa, dan (2) kedudukan
seseorang dalam struktur birokrasi kerajaan. Seseorang yang memenuhi dua kriteria itu
disebut dengan golongan elit, sedangkan mereka yang berada di luar golongan itu
dianggap sebagai rakyat (kawula).48
Menurut Suyatno, secara tradisional di Surakarta terdapat tiga macam kelas
sosial yaitu: (1) Sentana Dalem, yang terdiri dari keluarga raja, (2) Abdi Dalem, yang
terdiri dari pegawai kerajaan, dan (3) Kawula Dalem, yang terdiri dari rakyat
kebanyakan.49 Rakyat kebanyakan, yakni semua rakyat yang masih tinggal di dalam
praja tetapi tidak termasuk dalam golongan bangsawan maupun narapraja dan tidak
mengabdi pada praja lain.
Kota Mangkunegaran struktur penduduknya di bagi menjadi empat golongan
yang memiliki peranan masing-masing, yakni: Golongan Bangsawan (Kasatriyan),
48 Sartono Kartodirdjo,1983. Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia. hal 159 49 Suyatno, dkk, 1986. Birokrasi Dalam Perubahan Sosial Di Indonesia. Surakarta: Hapsara. hal 27
Golongan Pegawai Sipil (Narapraja), Golongan Militer (Wirapraja), dan Rakyat
(Kawula).50 Struktur penduduk itu juga terdapat di daerah-daerah lain di praja
Mangkunegaran. Penggolongan ini tidak didasarkan terutama dari segi ekonomis atau
keunggulan kelahiran, tetapi dari segi pertuanan dan perhambaan dari kawula dengan
bandara, dan tempat atau kedudukan seseorang dalam masyarakat. Pembagian
golongan ini dapat diartikan bahwa hak dan kewajiban masing-masing kelas sosial telah
ditakdirkan.
Struktur penduduk di kota Mangkunegaran sejak pemerintahan Mangkunegoro I
sampai Mangkunegoro VII, sebenarnya tidak ada yang berubah. Pertama, golongan
bangsawan (kasatriyan) terdiri dari Adipati Mangkunegoro, putera, menantu, dan ipar
Mangkunegoro, serta Sentana Dalem. Kedua, golongan pegawai sipil (narapraja) terdiri
dari Bupati Patih, para wedana dari berbagai departeman, para mantri dari berbagai
kemantren, dan para pegawai rendahan atau priyayi rendahan.
Ketiga, golongan militer (wirapraja) didasarkan atas tingkat kepangkatan
seseorang yaitu opsir dan bawahan. Opsir terdiri dari seseorang yang berpangkat mayor
sampai kolonel, dan letnan sampai kapten. Bawahan meliputi sersan sampai ajudan
opsir bawah, dan fusiler sampai dengan kopral atau anak buah. Keempat, golongan
rakyat kebanyakan (kawula) mereka bekerja sebagai tukang tukang, buruh industri
perkebunan, tukang cukur, pedagang, dan sebagian besar adalah petani.51
Selama pemerintahan Kolonial Belanda berkembanglah suatu sistem kelas
lainnya yang sejajar dengan struktur masyarakat pribumi, yaitu kelas-kelas yang
setingkat dengan kaum bangsawan, priyayi dan orang-orang biasa. Kelas baru yang
50 Th. M. Metz, op.cit. hal 17 51 Wasino, 1994. Skripsi: Kebijakan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. hal 61-64
makin mapan dan sejajar dengan kelas atas adalah orang-orang Belanda. Mereka terdiri
dari kelompok kecil tetapi kehadirannya mencolok dikarenakan adanya perbedaan ras,
warna kulit, kekayaan material, kebudayaan, dan kekuasaan mereka yang melebihi
penguasa pribumi.52
Pada masa ini muncul golongan elit baru yang gaya hidup kesehariannya seperti
kaum bangsawan Jawa, bahkan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan bangsawan
Jawa tersebut. Elit baru ini terdiri dari orang-orang Belanda. Untuk mempertahankan
statusnya, golongan elit baru ini sengaja menciptakan struktur sosial yang berdasarkan
pada perbedaan ras.
Struktur sosial tersebut yaitu orang-orang Eropa (terutama orang Belanda)
merupakan status teratas dalam masyarakat. Orang-orang Indo dan Timur Asing
menduduki status menengah, dan orang-orang Pribumi (bangsawan maupun rakyat
kebanyakan) merupakan kelas terbawah. Stuktur sosial ini juga berlaku di seluruh
daerah kekuasaan Kolonial Belanda, termasuk daerah Praja Mangkunegaran.
B. Pola Perkampungan Di Kota Mangkunegaran
Pada Masa Mangkunegoro VII
Salah satu yang menjadi ciri dari perkembangan kota adalah adanya wilayah
permukiman yang di huni oleh sekelompok orang. Mereka tinggal pada satu lingkungan
disalah satu kawasan yang menjadi bagian dari kota dan di tempat itu berbaur berbagai
suku bangsa dengan karakteristik tersendiri yang khas mewarnai pertumbuhan dan
perkembangan kota. Sejak kehadiran bangsa Belanda, banyak kota di Hindia Belanda
52 Selo Soemardjan, 1981. Perubahan Sosial Di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss. hal 37
yang pola permukimannya meniru model di Belanda. Penduduk kota di warnai dengan
kehadiran empat kelompok utama ras di kawasan perkotaan yaitu Belanda, Indo-Eropa,
Timur Asing, dan Pribumi. Orang-orang pribumi tinggal di daerah perkampungan dan
bangsa Eropa sebagian besar tinggal didekat jalan utama.53
Istilah perkampungan yang ada di Kota Mangkunegara baru ada sekitar tahun
1926, Menurut T.h. Metz, perkampungan itu merupakan bentuk dari kesatuan-kesatuan
desa. Kampong merupakan struktur birokrasi dan administrasi yang berada di bawah
kalurahan.54 Kota Mangkunegaran pada masa Mangkunegoro VII pola permukiman
perkampungannya hanya terdiri dari dua perkampungan, yakni Perkampungan Pribumi
dan Perkampungan Eropa (terutama orang-orang Belanda). Di kota ini juga terdapat
beberapa pasar yang menjadi fokus dari kehidupan ekonomi bagi masyarakat
perkampungan di Kota Mangkunegaran.
1. Perkampungan Pribumi
Perkampungan orang-orang pribumi di kota Mangkunegaran terbagi menjadi
beberapa kalurahan. Kalurahan merupakan struktur pemerintahan di praja
Mangkunegaran di bawah Panewu. Kalurahan di kota ini dipimpin oleh seorang Lurah
Kampung. Di dalam setiap kebijakan pemerintahannya, seorang lurah harus patuh
terhadap anjuran dari Bupati Patih. Lurah di bantu oleh Punggawa Kampung dalam
pemerintahannya. Jumlah dan pangkat dari punggawa di tentukan oleh Bupati Patih.
53 Himawan Prasetyo, 2001. Skripsi: Wajah Kauman Surakarta 1910-1930. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada. hal 22 54 Th. M. Metz, op.cit. hal. 48
Lurah juga merupakan wakil dari kampung di pengadilan dan pada waktu mengajukan
hal-hal yang berhubungan dengan keperluan kampungnya.55
Di Kota Mangkunegaran kantor Kalurahan letaknya selalu berada dipojok. Hal
ini secara filosofis melambangkan bahwa setiap pemimpin harus selalu mengayomi
rakyatnya. Makna filosofis ini erat kaitannya dengan konsep Tri Dharma yang dianut
oleh Praja Mangkunegaran. Pada masa Mangkunegoro VII Kota Mangkunegaran terdiri
dari 10 kalurahan, antara lain:
a. Kalurahan Stabelan
Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan langsung dengan Kampung
Kepatihan yang merupakan wilayah dari Kasunanan, di sebelah barat berbatasan
dengan Pasar Legi dan Villa Park, di sebelah utara berbatasan dengan Kalurahan
Gilingan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kalurahan Keprabon. Kalurahan
Stabelan terdapat kampung: Jogobayan, Tambak Segaran, Margoyudan, dan
Stabelan.
b. Kalurahan Timuran
Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Keprabon, di
sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Mangkubumen, di sebelah utara
berbatasan dengan kalurahan Ketelan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan
kampung Kemlayan merupakan wilayah Kasunanan. Kalurahan Timuran terdapat
kampung: Beskalan, Tumenggungan, Priyabadran, dan Timuran.
c. Kalurahan Keprabon
Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan Kampung Baru merupakan
wilayah Kasunanan, di sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Timuran dan
55 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1939. No 23
Ketelan, di sebelah utara berbatasan dengan kalurahan Stabelan, dan di sebelah
selatan berbatasan dengan Kampung Kauman merupakan wilayah Kasunanan.
Kalurahan Keprabon terdapat kampung: Purawan, Nataningrat, Pringgading,
Niyagan, Kusumodiningratan, dan Keprabon.
d. Kalurahan Kestalan
Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan Pasar Legi, di sebelah barat
berbatasan dengan kalurahan Punggawan, di sebelah utara berbatasan dengan
kalurahan Gilingan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan kalurahan Ketelan.
Kalurahan Kestalan terdapat kampung: Ngebrusan, Kestalan, Ngambakan, Kauman,
dan Balapan.
e. Kalurahan Ketelan
Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Keprabon, di
sebelah barat berbatasan dengan Kalurahan Punggawan, di sebelah utara berbatasan
dengan kalurahan Kestalan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan kalurahan
Timuran. Kalurahan Ketelan terdapat kampung: Grogolan, Ketelan, Ngadisoeman,
dan Jageran.
f. Kalurahan Punggawan
Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Ketelan, di
sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Mangkubumen, di sebelah utara
berbatasan dengan kalurahan Gilingan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan
kalurahan Timuran. Kalurahan Punggawan terdapat kampung: Pethetan,
Madyataman, Tempelredjo, Bramantakan dan Punggawan.
g. Kalurahan Mangkubumen
Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Timuran dan
Punggawan, di sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Manahan, di sebelah
utara berbatasan dengan kalurahan Gilingan dan Manahan, dan di sebelah selatan
berbatasan dengan Kampung Sriwedari merupakan wilayah Kasunanan. Kalurahan
Mangkubumen terdapat kampung: Turisari, Gumuk, dan Mangkubumen.
h. Kalurahan Manahan
Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan Kalurahan Mangkubumen,
di sebelah barat berbatasan dengan daerah Kerten, di sebelah utara berbatasan
dengan kalurahan Nusukan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Purwosari,
yang masih merupakan wilayah Mangkunegsaran. Kalurahan Manahan terdapat
kampung: Gremet, Tempuran, Badran, Tirtomoyo, Tirtoyoso, Purworejo, Sidoredjo,
Gondang, dan Manahan.
i. Kalurahan Gilingan
Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Jebres merupakan
wilayah Kasunanan, di sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Mangkubumen
dan Manahan, di sebelah utara berbatasan dengan kalurahan Nusukan, dan di
sebelah selatan berbatasan dengan kalurahan Kestalan dan Stabelan. Kalurahan
Gilingan terdapat kampung: Gumunggung, Cinderejo, Gilingan, Sambeng,
Ngemplak, Margorejo, Redjosari, dan Bibis.
j. Kalurahan Nusukan
Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan daerah Mojosongo
merupakan wilayah Kasunanan, di sebelah barat berbatasan dengan daerah
Malangjiwan yang masih merupakan wilayah Mangkunegaran, di sebelah utara juga
berbatasan dengan daerah Kalioso, dan di sebelah selatan berbatasan dengan
kalurahan Gilingan. Kalurahan Nusukan terdapat kampung: Joglo, Prawit,
Cangakan, Nayu, Bonorejo, dan Nusukan.
2. Perkampungan Eropa
Perkampungan elit orang Eropa (terutama orang-orang Belanda) biasa di sebut
dengan nama Villa Park. Perkampungan ini berada di sebelah utara Istana
Mangkunegaran. Perkampungan ini memiliki luas kurang lebih sekitar 1,5 ha. Villa
Park dibangun pada masa Mangkunegoro VI. Perkampungan tersebut dibuat berbanjar,
dan kelihatan indah. Rumah-rumah diperkampungan ini merupakan bangunan yang
disewakan untuk para pembesar Belanda.56 Villa Park dinyatakan sebagai lingkungan
elit dengan peraturan tentang penggunaan tanah negara di wilayah kota
Mangkunegaran. Lingkungan Villa Park sebagian besar dihuni oleh orang-orang Eropa
yang bekerja di sektor perkebunan. Peraturan tentang daerah Villa Park telah ditetapkan
pada tanggal 1 November !913.57
Pertumbuhan permukiman di Villa Park juga disertai dengan segala infrastruktur
yang dibutuhkan bagi orang-orang Eropa yang tinggal di tempat tersebut. Kebutuhan
infrastruktur ini terdiri atas fasilitas pendidikan, kesehatan, ibadah, kesenian, dan
kebudayaan. Pada tahun 1930-an terjadi adanya suatu perubahan di Kota
Mangkunegaran, permukiman orang-orang Eropa tidak lagi sepenuhnya dimiliki oleh
orang-orang Eropa saja. Memang pada awalnya daerah Villa Park merupakan daerah
yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda, namun karena perkembangan dan
kemajuan zaman telah membuat golongan pribumi masuk ke dalam lingkungan
56 Radjiman, 1984. Sejarah Mataram Sampai Surakarta Adiningrat. Surakarta: Krida. hal 105 57 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No 1
tersebut. Hal ini sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pada tanggal 1 November
1913.58 Pada tahun 1942 kawasan Villa Park berubah namanya menjadi Banjarsari.
3. Pasar Di Kota Mangkunegaran
Pasar merupakan perusahaan praja. Praja membangun gedung-gedungnya dan
menyewakan los-losnya. Pasar merupakan fokus dari kehidupan ekonomi bagi rakyat.
Di Praja Mangkunegaran, pasar dipimpin oleh seorang Inspektur yang dinamakan
Sepektur Manekwesen yang di tunjuk langsung oleh Adipati Arya Prabu Prangwedana
VII. Inspektur Pasar dibantu oleh beberapa Punggawa Pasar, yakni Ajung Inspektur 1,
Lurah Pasar, dan pembantu yang diperlukan untuk melakukan kewajibannya
mengontrol dan mengawasi pasar setiap harinya. Pedagang-pedagang pasar di Praja
Mangkunegaran setiap harinya harus membayar uang sewa sesuai dengan tempat yang
digunakan untuk berjualan, baik itu los maupun pelataran pasar. Para pedagang tersebut
setelah membayar akan mendapatkan karcis yang telah diberi cap.59 Adapun pasar yang
terletak di kota Mangkunegaran antara lain:
a. Pasar Legi
Pasar Legi yang berada di sebelah utara Istana Mangkunegaran. Pasar ini
memiliki gedung yang besar dan pendapat yang besar di antara pasar-pasar yang ada
di Praja Mangkunegaran. Dari lokasinya Pasar Legi diibaratkan sebagai tempat
pemenuhan kebutuhan duniawinya. Pasar ini dinamakan Pasar Legi karena pasar ini
ramai pada hari pasaran Legi. pada tahun 1936, Mangkunegoro VII, melakukan
renovasi pada pasar ini, sehingga kondisi pasar menjadi lebih rapi, indah, dan tertib.
b. Pasar Pon
58 Ibid 59 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1917. No 23
Pasar Pon terletak di sebelah utara Pura Mangkunegaran yang berbatasan
langsung dengan kampung Kemlayan (wilayah Kasunanan). Pasar ini dinamakan
Pasar Pon karena pasar ini ramai pada hari pasaran Pon. Sejak tahun 1929, pasar ini
berubah menjadi pusat pertokoan, terdiri dari toko-toko yang menjual barang-barang
rumah tangga (toko klontong). Pasar Pon sebagian besar pedagangnya adalah etnis
Cina.
c. Pasar Triwindu
Pasar Triwindu terletak di sebelah selatan Pura Mangkunegaran. Pasar ini
dibangun oleh Mangkunegoro VII untuk memperingati 24 tahun kenaikan tahtanya
dan diresmikan pada tahun 1939. Barang yang diperdagangkan di pasar ini hanya
barang yang terbuat dari logam, antara lain: besi, tembaga, emas, dan perak.60
Di kota Mangkunegara selain pasar-pasar yang disebutkan di atas masih ada
beberapa pasar kecil yang tersebar di seluruh kalurahan, antara lain: Pasar Ngapeman,
Pasar Nongko, Pasar Nusukan, Pasar Umbul, Pasar Joglo, dan Pasar Ngemplak,
C. Toponomi Perkampungan Di Kota Mangkunegaran
Pembagian wilayah di kota Mangkunegaran atas kampung-kampung yang
mempunyai spesifikasi tertentu atau ciri-ciri yang khas membentuk toponimi yang dapat
dibagi dalam beberapa kelompok, yakni berdasarkan nama orang yang terkenal di
tempat itu, berdasarkan nama jabatan dalam pemerintahan, berdasarkan keadaan
setempat, dan nama-nama bentukan baru.
1. Nama Kampung Berdasarkan Nama Orang Yang Terkenal
Tradisi pemberian nama tempat berdasarkan nama orang ini berlatar belakang
pada jabatan seseorang yang pantas dihormati, kesetian orang itu, dan pengaruh orang
60 Nina Astiningrum, 2006. Kebijakan Mangkunegoro VII Dalam Pembangunan Perkotaan Di
Praja Mangkunegaran. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hal. 101
itu terhadap masyarakat. Pemberian nama itu merupakan sebagai wujud penghormatan
bahwa orang itu sebagai Abdi Dalem atau Sentana Dalem yang disegani oleh rakyat.
Dia dihormati karena berkelakuan baik, berjasa kepada raja, berwibawa atau masih
keturunan bangsawan.61 Nama-nama kampung di kota Mangkunegaran yang termasuk
dalam kelompok ini adalah:
a. Mangkubumen
Kampung Mangkubumen terletak mulai depan pertigaan Sriwedari ke utara
samapi permpatan Pasar Beling ke barat sampai pertigaan lapangan Mangkubumen,
ke selatan sampai perempatan Gendengan. Dahulu merupakan tempat tinggal
B.R.M.H. Mangkubumi, adik dari Paku Buwana IV. Agaknya sebutan Mangkubumi
itu bukan nama orang, tetapi sebutan bagi sebuah jabatan. Dia adalah pembantu
terdekat raja yang berkuasa, bahkan mungkin saja sebagai wali raja. Hal ini kita
lihat bahwa nama Mangkubumi sudah ada sejak jaman Kerajaan Majapahit. Gajah
Mada menjabat Patih Amangkubumi. Sultan Agung mempunyai wakil di bidang
pemerintahan di samping Patih, ialah Pangeran Mangkubumi. Pada Masa Kerajaan
Mataram Kartosura kita kenal nama Pangeran Mangkubumi. Di sini jelas, jabatan
Mangkubumi dipegang oleh seseorang yang masih dekat hubungan saudara dengan
raja.
b. Keprabon
Kampung ini dulunya merupakan tempat tinggal dari menantu Paku Buwana
III, yang bernama Kangjeng Pangeran Arya Prabuwijaya, yang letaknya berada di
depan Istana Mangkunegaran. Kampung ini kemudian bernama Keprabon.62
c. Timuran
61 Radjiman, op.cit. hal 79 62 R.M Sayid. Babad Sala. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 60
Kampung ini dulunya merupakan tempat tinggal putera laki-laki dari selir
Mangkunegoro yang belum dewasa (Gusti Timur). Kampung ini kemudian
dinamakan Timuran. Di daerah ini terdapat tempat yang bernama Gendingan,
artinya tempat tinggal pembuat gamelan atau gending-gending Jawa (Niyaga
Mangkunegaran).63
2. Nama Kampung Berdasarkan Nama Jabatan Dalam Pemerintahan
Daerah ini merupakan tempat tinggal sekelompok abdi dalem yang memiliki
tugas dan jabatan sama. Mereka terdiri dari para prajurit, pejabat, abdi dalem kriya,
pengrajin, pemelihara binatang, dan sebagainya.64 Nama-nama kampung di kota
Mangkunegaran yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain:
a. Kauman
Kampung ini terletak di sebelah barat Pasar Legi dan di sebelah timur
Ngebrusan. Kampung Kauman merupakan tempat tinggal para abdi dalem putihan
(penghulu).65 Saat ini kampung Kauman telah menjadi pemukiman rakyat biasa
(kawula)
b. Stabelan
Kampung ini terletak di sebelah timur Pasar Legi. Stabelan berasal dari bahasa
Belanda “kon-stabel”, artinya prajurit meriam yang terdiri dari orang-orang
63 Radjiman, op.cit. hal 111 64 Ibid, hal 80 65 Nina Astiningrum., op.cit. hal 7
Belanda. Stabelan merupakan tempat tinggal prajurit meriam dari Legiun
Mangkunegaran, tetapi sekarang menjadi pemukiman biasa.
c. Madyataman
Kampung ini terletak di sebelah utara Pethetan dan sebelah barat Jageran.
Madyataman dari kata Madya-Tamtaman, artinya tempat tinggal prajurit Tamtaman
golongan menengah dalam Legiun Mangkunegaran. Semasa pemerintahan
Mangkunegoro I, terdapat 37 macam prajurit yang dikelompokan menjadi 44
kelompok. Setiap kelompok rata-rata terdiri dari 44 orang, tetapi ada pula yang
hanya terdiri dari 22 orang dan bahkan 88 orang.
d. Jageran
Kampung ini terletak di sebelah timur Grogolan. Jageran dari kata “Jager”,
artinya pemburu. Jageran merupakan tempat tinggal para pemburu.
e. Ngebrusan
Kampung ini terletak di sebelah barat Stabelan. Ngebrusan dari kata “Obrus”,
yaitu Overste (sebuah pangkat di dalam system kemiliteran Belanda, yakni Letnan
Kolonel). Ngebrusan merupakan tempat tinggal Overste Belanda.
f. Bramantakan
Kampung ini terletak di sebelah selatan jembatan merah (kreteg bang).
Menurut Sutarto, Bramantakan berasal dari kata Brama (api) dan Antaka (mati),
artinya tempat tinggal abdi dalem pemadam kebakaran termasuk di dalamnya abdi
dalem bagian listrik. Menurut Tonaya, Bramantakan merupakan tempat tinggal abdi
dalem prajurit berani mati di dalam Legiun Mangkunegaran. Ada juga yang
mengatakan Bramantakan dahulu bernama Jabang Bayen, ialah tempat
meninggalnya seorang bayi, yang tidak diketahui siapa orang tuanya. Sampai
sekarang kuburannya masih ada, dan dipelihara oleh orang-orang yang senang
tirakat.
g. Punggawan
Kampung ini terletak di sebelah timur Tumenggungan. Punggawan dari kata
“Punggawa”. Punggawa ialah sebutan bagi para pengikut Raden Mas Said selama
dalam pemberontakan. Kampung Punggawan merupakan tempat tinggal punggawa
yang menjadi Pamong Desa. Jumlah Punggawa tersebut mula-mula hanya 22 orang.
Para punggawa tersebut memakai nama “jaya”, antara lainnya: Jayautama,
Jayaprameya, Jayawilanten, Jayawiguna, Jayasutirta, Jayanimpuna,
Jayaprabata,Jayasantika, Jayapuspita, Jayasudargo, Jayasudarma, Jayadipuara,
Jayaleyangan, Jaya Jagaulatan, Jaya Alap-Alap, Jayapanamur, Jaya Pamenang, Jaya
Panantang, Jaya Tilarsa, Jaya Pangrawit, Jaya Winata, dan Jaya Prawira.
h. Tumenggungan
Kampung ini terletak di sebelah utara Ngapeman. Tumenggungan berasal dari
kata “Tumenggung”, ialah punggawa prajurit Mangkunegaran yang berpangkat
bupati atau patih. Tumenggungan merupakan tempat tinggal para punggawa prajurit
serta Patih Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegoro II sampai
dengan Mangkunegoro VII.66
3. Nama Kampung Berdasarkan Nama Keadaan Setempat dan Aktivitasnya
Nama-nama di dalam kelompok ini dapat dihubungkan dengan benda-
bendayang ada di suatu tempat atau kegunaan dari tempat tersebut, dan kadang-kadang
66 Radjiman, op.cit. hal 106-107 dan 110
dihubungkan dengan benda-benda yang aneh di tempat tersebut.67 Nama-nama
kampung di kota Mangkunegaran yang termasuk di dalam kelompok ini, antara lain:
a. Kestalan
Kampung ini terletak mulai dari belakang RRI Surakarta menyusur Jembatan
Balapan (Srambatan) menyusur ke timur sampai Jembatan Pasar Legi, ke utara
sampai simpang lima Balapan. Kestalan berasal dari bahasa Belanda “Staal”, yang
artinya kandang kuda. Kampung ini merupakan kandang kuda milik
Mangkunegaran.68
b. Grogolan
Kampung ini berada di sebelah utara Kestalan. Grogolan berasal dari kata
Grogol-an, artinya tempat untuk mengikat hewan-hewan hasil perburuan. Tempat
ini digunakan untuk menampung hewan hasil perburuan sebelum di sembelih untuk
diambil dagingnya.
c. Tambak Segaran
Kampung ini terletak di sebelah timur Pasar Legi dan sebelah barat Widuran.
Nama dari kampung ini diambil karena dahulu sungai Pepe sebelum dibuatkan
sungai Susukan, sering banjir. Oleh karena itu supaya tidak membanjiri Istana
Mangkunegaran, maka dibuatkan bendungan atau ditambak. Oleh karena itu
kampung ini bernama Tambak Segaran.
d. Pethetan
Kampung ini terletak di sebelah barat Grogolan. Pethetan artinya taman bunga
yang indah dan teratur. Tempat ini di bangun pada masa pemerintahan
Mangkunegoro V. Tempat itu sekarang telah menjadi permukiman warga.
67 Ibid. hal 81 68 R.M. Sayid, op.cit. hal 64
e. Nusukan
Kampung ini terletak di sebelah utara sungai Pepe. Nusukan dari kata “Susuk”,
yang berarti sudet atau tembus. Sungai Susukan merupakan sungai buatan, yang
dibuat pada masa Mangkunegoro VI bersama-sama dengan Paku Buwana IX pada
tahu 1908. Sungai ini digunakan sebagai terusan untuk mengalirkan air sungai Pepe,
agar tidak menggenangi Kota Surakarta apabila banjir. Sungai Susukan biasa
disebut dengan Kali Anyar dan bermuara di Sungai Bengawan Solo yang berada di
sebelah utara Jurug.
f. Joglo
Kampung ini berada di sebelah utara kampung Prawit. Dinamakan Joglo,
karena pada tahun 1911 pada masa pemerintahan Mangkunegoro VI. Ia
memerintahkan membangun sebuah rumah joglo umtuk menyaksikan pertama kali
mendaratnya pesawat terbang di Solo (Panasan). Pada masa Mangkunegoro VII
rumah tersebut kemudian di pindahkan ke Partini-tuin.
g. Gilingan
Kampung ini terletak di sebelah utara Stasiun Kereta Api Balapan. Pada masa
Mangkunegoro I dan II masih merupakan sawah, kemudian tempat itu dibangun
sebuah benteng di bawah pimpinan KPH Nataningrat I ketika akan menangkap
Puteri Serang, yang akhirnya dapat ditangkap dan dibunuh, kemudian mayatnya
dimakamkan di sebelah utara sungai Susukan. Setelah benteng itu tidak dipakai lagi
digunakan sebagai pabrik gula, dan akhirnya dipergunakan sebagai tempat
penggilingan padi.69 Saat ini benteng tersebut tidak ada dan menjadi permukiman
warga yang terdapat di belakang Pasar Besi di kampung Gilingan.
69 Radjiman, op.cit. hal 106-107 dan 112
h. Balapan.
Kampung ini dulu merupakan arena pacuan kuda yang dilengkapi tribun pada
masa pemerintahan Mangkunegoro IV, kemudian tempat ini berubah menjadi
Stasiun Kereta Api Balapan. Tempat pacuan kuda kemudian dipindahkan ke
Manahan.70
4. Nama Tempat Berdasarkan Ciptaan Baru
Pemberian kelompok ini berdasarkan atas kreasi baru. Nama tempat ini biasanya
dihubungkan dengan nama-nama dalam pewayangan, nama-nama bahasa asing,
kenangan pada kelahiran putera-puteri raja, atau lainnya.71 Nama-nama tempat yang ada
yang ada di Kota Mangkunegaran yang berada dikelompok ini, antara lain:
a. Partini-tuin
Tempat ini terletak di sebelah utara lapangan Manahan. Partini-tuin biasa
disebut Bale Kambang, artinya rumah yang mengapung di tengah telaga buatan.
Taman ini di buka pada hari Rabu Kliwon, tanggal 26 Sapar 1853 atau 1922 Masehi
oleh Mangkunegoro VII untuk kenang-kenangan terhadap puterinya yang bernama
Bandara Raden Ajeng Partini, yang kemudian menikah dengan Prof. Dr. Husein
Jayadiningrat. Tempat ini sekarang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan
Bale Kambang dan telah selesai direnovasi dan semakin menjadi lebih menarik.
b. Partinah Bosch
Tempat ini berada di sebelah utara Partini-tuin. Partinah Bosch merupakan
hutan kecil milik Mangkunegaran. Tempat ini diberi nama sesuai dengan nama
puterinya, yakni Bandara Raden Ajeng Partinah, kemudian menikah dengan putera
70 Nina Astiningrum, op.cit. hal 7 71 Radjiman, op.cit. hal 81
Bupati Batang yang bernama Mr. RM. Murdakusuma.72 Tempat ini masih tetap ada
dan berfungsi sebagai hutan kota dan daerah resapan air hujan.
c. Kusumawardhaniplein
Tempat ini diambil dari nama salah seorang puteri Mangkunegoro VII yang
bernama Gusti Bandara Raden Ajeng Siti Nurul Kamaril Ngasarati
Kusumawardhani. Kusumawardhaniplein merupakan tempat olahraga para prajurit
Mangkunegaran (terutama prajurit wanita Mangkunegaran). Kusumawardhaniplein
sekarang ini telah menjadi taman yang berada di sebelah utara Monumen Pers.
d. Tri Windu
Tempat ini merupakan sebuah pasar yang terletak di sebelah selatan
Ngarsapura (Pamedan). Pasar ini dibangun untuk memperingati tiga windu (24
tahun) berkuasanya Mangkunegoro VII, sehingga diberi nama Tri Windu.73 Pasar ini
sekarang masih berdiri dan telah selesai direnovasi dan berganti nama menjadi
Pasar Windu Jenar.
72 Nina Astiningrum, op.cit. hal 7 73 Radjiman, op.cit. hal 13
BAB IV
PERANAN MANGKUNEGORO VII BAGI PEMBANGUNAN
PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN
A. Sikap dan Tindakan Mangkunegoro VII Bagi Praja Mangkunegaran
Mangkunegoro VII merupakan anak dari Mangkunegoro V. Ia merupakan anak
yang ketujuh dan putera yang ketiga. Ia lahir pada tanggal 12 November 1885, yang
menurut hitungan Jawa jatuh pada hari Kamis Wage, tanggal 3 Sapar tahun Dal 1815.
mangkunegoro memiliki nama kecil B.R.M. Soeparto. Sewaktu kecil Soeparto telah
diangkat putera oleh pamannya, yakni R.M. Soenito. Ia sangat dimanja dan disayangi
oleh pamannya yang belum memiliki keturunan. Soeparto hanya memiliki satu adik
kandung yang bernama R.A. Soeparti.74
Ketika berumur 11 tahun Soeparto telah ditinggal mati oleh ayahnya, yakni
Mangkunegoro V. Ia meninggalkan putra-putri sebanyak 24 orang serta hutang negara
yang belum dapat terlunasi. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mengangkat R.M.
Soenito, yang tidak lain adik dari Mangkunegoro V dan paman dari Soeparto. Ia
dianggap mampu untuk diserahi tanggung jawab dan kewajiban mengelola praja,
terutama karena beratnya tanggungan hutang yang harus dibayar kembali dan untuk
menyelamatkan Mangkunegaran dari bahaya kemlaratan yang mengancam negara dan
rakyat. Mangkunegoro VI adalah raja yang bijaksana dan sederhana dalam
kehidupannya. Ia melakukan penghematan demi untuk memperbaiki perekonomian
Praja Mangkunegaran. Di masa pemerintahan telah terjadi peningkatan ekonomi yang
74 Ringkasan Riwayat Dalem Suwarga Sampeyan Dalem K.G.P.A.A. Mangkunegoro VII. ,2007.
Surakarta: Reksa Pustaka. Hal 1
58
dapat membawa kesejahteraan rakyat dan praja, sehingga terdapat cadangan uang yang
cukup besar bagi praja.75 Di bawah asuhan pamannya, Soeparto tumbuh menjadi
pemuda yang gagah dan kekar. Itu dikarenakan Mangkunegoro VI merupakan figur
yang disiplin dan inovatif, maka sedikit banyak mempengaruhi kepribadian Soeparto.
Soeryo Soeparto juga ikut dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Ia
bergabung dengan perkumpulan yang ingin memperjuangkan kemerdekaan melalui
pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, yakni Budi Utomo. Pendapatnya dan
pemikirannya untuk mendukung dan mempropagandakan Budi Utomo di Surakarta
selalu dituangkan dalam tulisan pada surat kabar Dharmo Kondo, sehingga ia dikenal
sebagai propagandis pergerakan bangsa yang patut dipuji.76 Ia mulai mempunyai cita-
cita agar Praja Mangkunegaran, walaupun hanya merupakan sebuah kerajaan kecil di
bawah Pemerintahan Hindia Belanda, namun bisa memiliki keunggulan-keunggulan
yang dapat membawa nama baik Praja Mangkunegaran di seluruh daerah kekuasaan
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Cita-cita ini kemudian diwujudkan oleh Soeryo
Soeparto, setelah ia naik tahta menjadi Mangkunegoro VII.
Soeryo Soeparto diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda menjadi penguasa
Praja Mangkunegaran setelah Mangkunegoro VI meletakkan jabatan atas
permintaannya sendiri . Soeparto diangkat menjadi Pengageng Pura Mangkunegaran
ketika ia baru berumur 21 tahun. Pengangkatannya itu terjadi pada tanggal 13 Maret
1916. Selama masa pemerintahannya, Mangkunegoro VII dianggap oleh rakyat praja
Mangkunegaran sebagai raja yang bijaksana dan raja pembaharu.
1. Mangkunegoro VII Sebagai Raja Yang Bijaksana
75 Benardial Hilmiyah, 1985. Mengenang Soeryo Soeparto. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 7 76 A. Muhlenfeld, 1916. Buku Kenang-Kenangan Pada Jumenengan R.M. Soeparto. Surakarta:
Reksa Pustaka. hal 3-4
Soeryo Soeparto setelah diangkat menjadi Pengageng Pura Mangkunegaran
namanya berubah menjadi K.G.P.A.A Mangkunegoro VII. Ia merupakan raja yang
bijaksana di masa pemerintahannya. Dalam menghadapi situasi yang menghadangnya ia
selalu berpikir secara bijak dan di masa pemerintahannya telah terjadi adanya perubahan
sosial politik dan sosial budaya di Hindia Belanda, termasuk di Praja Mangkunegaran.
Perubahan sosial politik menyangkut kebijaksanaan negeri Belanda terhadap daerah
jajahan, tumbuhnya organisasi-organisasi kebangsaan, dan sikap Sunan terhadap
keberadaan Mangkunegaran. Sementara itu perubahan sosial budaya adalah ditandai
dengan semakin meresapnya faham dan gagasan-gagasan barat dalam masyarakat
Jawa.77
Mangkunegoro VII karena bersikap secara moderat, maka ia sering
mendapatkan kritikan keras dari organisasi-organisasi pergerakan yang radikal,
terutama I.S.D.V dan Sarikat Islam. Mangkunegoro VII dianggap oleh organisasi itu
sebagai partner dari Pemerintahan Hindia Belanda. Kritikan ini banyak dimuat dalam
surat kabar di Jawa Tengah seperti di surat kebar Sarotama milik Sarikat Islam.
Sementara itu, Cipto Mangunkusumo dalam De Beweging mengkritik bahwa
Prangwedana merupakan seorang pemburu laba yang jorok, sebagai seorang penguasa
yang menjual kemakmuran rakyatnya untuk memperoleh ringgit putih. Misbah, tokoh
I.S.D.V di Surakarta juga menyerang Mangkunegoro VII sebagai raja feodal yang
menghisap rakyat.78
77 Wasino, 1994. Tesis: Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir
Abad XIX-Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. hal 95 78 G.D Larson, 1990. Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta
1912-1942. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 77-131
Dalam situasi demikian itu, Mangkunegoro VII selalu berpikir secara bijak. Ia
lebih bersikap kooperatif kepada Pemerintahan Hindia Belanda, karena itu akan dapat
membantunya untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan di dalam praja dan dapat
menyejahterakan kehidupan rakyatnya. Ia juga berpikir bahwa jika ikut menentang
kebijakan-kebijakan yang di keluarkan oleh Pemerintahan Kolonial, itu malah akan
menghambat Praja Mangkunegaran untuk berkembang dan maju.
Pada tanggal 6 September 1920, Mangkunegoro VII menikah dengan putri
Hamengkubuwono VII, yang bernama Gusti Kangjeng Ratu Timur.79 Perkawinan ini
membawa dampak positif terhadap hubungan kedua swapraja yang dulunya saling
bertentangan. Perkawinan itu juga memperkuat stabilitas politik di kedua belah pihak,
antara Pura Mangkunegaran dan Kasultanan Yogyakarta.
2. Mangkunegoro VII Sebagai Raja Pembaharu
Mangkunegoro VII juga merupakan raja pembaharu. Di masa pemerintahannya,
ia melakukan pembaharuan tidak hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi meliputi
segala bidang. Mangkunegoro VII menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam
penggunaan keuangan praja. Ia juga melakukan pembaharuan di bidang Birokrasi
Pemerintahan. Di Praja Mangkunegaran juga banyak dilakukan pembangunan-
pembangunan yang ditujukan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya.
Pembangunan yang paling menonjol adalah pembangunan irigasi seperti bendungan,
saluran air, dan prasarana lainnya yang berkaitan dengan irigasi itu. Mangkunegoro VII
memandang irigasi merupakan kebutuhan yang mendesak buat rakyatnya, karena
79 Ringkasan Riwayat Dalem Suwarga Sampeyan Dalem K.G.P.A.A. Mangkunegoro VII, op.cit.
Hal 4
mengingat keadaan tanah dan topografi daerah Mangkunegran, terutama di daerah
selatan sangat tidak menguntungkan untuk pertanian basah, terutama padi.
Pemerintahan praja Mangkunegaran perlu mengatur air di daerah itu agar ketika
musim hujan dapat mengalir pelan-pelan, melewati sawah-sawah dan menyimpannya
untuk keperluan pada musim kemarau. Irigasi ini sekaligus berguna sebagai
pemupukan, karena air yang mengalir itu membawa lumpur yang subur yang berasal
dari lereng-lereng gunung dan lumpur-lumpur itu akan mengendap di sawah-sawah.80
Pada Masa Mangkunegoro VII telah dibangun lima buah waduk yang berfungsi
sebagai saluran irigasi. Waduk-waduk tersebut, antara lain: (1) Waduk Kedung Uling
yang dibangun pada tahun 1918. Waduk ini mempunyai luas 15,4 ha dengan kedalaman
rata-rata 9,7 m berisi 712.500 m³ air dan dapat mengaliri 800 ha sawah. (2) Waduk
Plumbon dibangun dalam dua tahap, yaitu tahun 1918-1919 dan tahun 1924-1929.
Waduk ini mempunyai luas 12,5 ha dengan kedalam rata-rata 15 m ini berisi 1.200.000
m³ air yang dapat mengairi 815 ha sawah. (3) Waduk Tirtomarto dibangun pada tahun
1920-1924. Waduk ini luasnya 56,5 ha dengan kedalaman rata-rata 16 m ini berisi
4.000.000 m³ air yang dapat mengairi 12.700 ha sawah. (4) Waduk Cengklik dibangun
pada tahun 1930-1932. Waduk ini mempunyai luas 301, 2 ha dengan kedalaman rata-
rata 9 m ini berisi 11.000.000 m³ air yang dapat mengairi 950 ha sawah. (5) Waduk
Jombor dibangun pada tahun 1925-1926. Waduk ini luasnya hanya 16 ha dengan
kedalaman 4,5 m berisi 400.000 m³ air yang dapat mengairi 2,3 ha sawah.81
Pembangunan jalan dan jembatan selain untuk kepentingan istana juga ditujukan
untuk menembus daerah-daerah yang terisolasi. Dari sejumlah daerah di
Mangkunegaran, daerah Wonogiri yang mendapatkan perhatian khusus dalam
80 Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 42
81 Wasino, op.cit. hal 203-204
pembangunan jalan dan jembatan. Hal itu disebabkan daerah-daerah ini masih banyak
yang terisolir dengan dunia luar. Mangkunegaran juga membangun jalan-jalan yang
menuju jalan kereta api NIS. Jalan ini diperlukan untuk mempermudah pengangkutan
barang dari pedalaman ke stasiun kereta api. Usaha-usaha pembangunan jalan dan
jembatan di Mangkunegaran telah membawa hasil yang memuaskan untuk ukuran
swapraja sekecil itu.
Pembangunan pendidikan juga dilakukan Mangkunegoro VII, antara lain:
memberikan motivasi untuk bersekolah, didirikannya sarana dan prasarana berupa
pendirian sekolah-sekolah desa, sekolah H.I.S. Siswo, Sisworini, merupakan suatu
usaha untuk membawa rakyatnya pada kemajuan, dan pemberian beasiswa bagi para
siswa yang ingin sekolah tetapi mengalami kesulitan biaya. Demikian pula dengan
pembangunan kebudayaan Jawa merupakan sebuah prestasi yang gemilang dengan di
bentuknya Jawa Institut.82
Pembaharuan yang digalakkan oleh Mangkunegoro VII juga dilakukan di
daerah-daerah perkampungan khususnya di kota Mangkunegaran. Adapun beberapa
alasan yang mempengaruhi pembangunan perkampungan di kota Mangkunegaran,
yaitu: Mangkunegoro VII sebagai pemimpin wajib melakukan pembangunan di
kampung-kampung demi terciptanya kesejahteraan penduduknya. Mangkunegoro VII
menginginkan agar penduduk di perkampungan dapat menikmati modernisasi yang
dilakukannya. Mangkunegoro VII menginginkan agar penduduk di perkampungan dapat
hidup dengan bersih, sehat, dan teratur.
82 Jawa Instituut merupakan lembaga yang membahas secara ilmiah tentang kebudayaan jawa, mulai dari karya sastra, arsitektur, seni tari, permainan anak, dan lain sebagainya. Hasil-hasil pembahasan ilmiah itu kemudian dimuat dalam majalah berkalanya, yakni Majalah Djawa. Ibid. hal 262
B. Konsep Filosofi Pembangunan Mangkunegoro VII
Praja Mangkunegaran konsep mengenai pemusatan kekuatan kosmis masih
seperti di zaman Mataram, yakni keraton masih merupakan pusat kekuatan kosmis yang
dikelilingi oleh kekuatan mahkluk hidup dan unsur alam semesta dari arah timur, barat,
utara, dan selatan. Keraton didirikan berdasarkan “pangolahing budi”, yaitu pakarti
lahiriyah dan pakarti batiniyah. Pakarti lahiriyah mengandung tuntunan bahwa manusia
hidup dalam tingkah laku serta ucapan yang tidak menyimpang dari budi luhur. Pakarti
batiniyah yakni dengan cara semedi, meditasi, atau bertapa untuk mendekatkan diri
dengan Tuhan. Hasil dari pangolahing budi disebut dengan budaya.83 Dengan demikian
dapat diartikan bahwa budaya keraton merupakan tuntunan hidup berdasarkan
pangolahing budi. Selain itu dapat juga dikatakan bahwa budaya keraton tidak dapat
lepas dengan kepercayaan mengenai Tuhan. Kekuasaan di keraton merupakan sebuah
wahyu Illahi. Menurut kepercayaan bahwa kearton Jawa tidak akan berdiri dan tidak
akan lestari tanpa adanya wahyu tersebut.
Keraton merupakan pusat kekuatan kosmis yang akan menentukan paham
negara. Apabila kekuatan yang ada dipusat semakin jauh maka akan semakin redup
kekuatan tersebut. Menurut filsafat politik Jawa, negara itu paling padat dipusat ibukota
dan kekuatan raja memancar samapi ke desa-desa. Kekuatan itu ada karena seluruh
kekuatan menjaga keraton dan memberikan perlindungan serta memberi keselamatan
pada para penghuninya.
Kekuatan yang berawal dari berbagai kekuatan mahkluk hidup, unsur alam dari
arah timur, selatan, barat, dan utara yang disatupadukan di keraton untuk dipanjatkan
dengan suatu persembahan melalui upacara ritual kepada sumber dari sumber kekuatan
83 Yosodipuro, 1994. Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Makradata. Hal 2
yaitu Tuhan. Keberadaan keraton akan tetap langgeng (tidak punah) karena adanya
kekuatan-kekuatan yang berada di keraton itu. Keraton juga dipercaya dilindungi dan
dijaga oleh kekuatan halus yang berad di keblat empat. Adapun kekuatan itu terletak
diempat arah mata angin, yakni: di sebelah utara: Kangjeng Ratu Kalayuwati di hutan
Krendhawahana, di sebelah barat: Kangjeng Sunan Lawu di gunung Lawu, di sebelah
utara: Kangjeng Ratu Kencana Sari (Ratu Kidul) di Samudera Hindia, dan di sebelah
barat: Kangjeng Ratu Kedhaton di gunung Merapi dan Merbabu.84
Pura Mangkunegaran memiliki dua bangunan, yakni bangunan utama berupa
joglo atau limasan dan bangunan disekelilingnya didirikan berdasarkan arsitektur
Belanda. Bangunan kedua digunakan sebagai asrama tentara kavaleri. Bangunan yang
ada di Pura Mangkunegaran, antara lain:
1. Pamedan yaitu halaman luas yang berfungsi sebagi tempat latihan militer legion
Mangkunegaran.
2. Reksa Wahana yaitu sebagai tempat menyimpan kereta-kereta dan memelihara
kuda, terletak di sebelah kanan pamedan.
3. Pendopo Ageng yang terletak di tengah-tengah bangunan utama dan merupakan
tempat pertunjukan kesenian, menyimpan gamelan, dan terutama sebagai tempat
jamuan dan upacara-upacara resmi.
4. Pringgitan yang disebut juga sebagai beranda dalem, yang letaknya lebih tinggi
dari pendopo. Pringgitan ini berbentuk kutuk ngambang dan sering dipakai
untuk pertunjukan wayang, tetapi fungsi utamanya sebagai tempat menerima
tamu.
84 Nina Astiningrum, 2006. Skripsi: Kebijakan Mangkunegoro VII Dalam Pembangunan
Perkotaan di Praja Mangkunegaran. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hal 25
5. Panetan merupakan jalan bagi kereta tamu dan terletak diantara pendopo dengan
pringgitan.
6. Dalem Ageng yaitu bangunan yang terletak di sebelah dalam pringgitan,
merupakan tempat diadakannya upacara-upacara resmi.
7. Dimpil merupakan tempat pemujaan nenek moyang dan menyimpan pusaka.
8. Bale Warni merupakan tempat tinggal permaisuri dan putri-putrinya.
9. Pracimusana merupakan tempat untuk menerima tamu sehari-hari dan tempat
tinggal keluarga Pura Mangkunegaran.
10. Bale Peni merupakan tempat tinggal Mangkunegoro dan menerima tamu laki-
laki.
11. Purwosana yang terletak diseputar bale warni dan bale peni merupakan tempat
tinggal para wanita yang mempunyai hubungan keluarga dengan Mangkunegoro
yang sudah memerintah.
12. Panti Putra yaitu tempat tinggal putra-putra yang masih ada hubungan keluarga
dengan Mangkunegoro.
13. Prangwedanan merupakan tempat tinggal putra mahkota calon pengganti
Mangkunegoro yang sedang memerintah. Letaknya diantara perkantoran
mandrapura dan panti putra.
14. Mandrapura merupakan perkantoran dimana semua pekerjaan yang
berhubungan dengan penataan dan pengaturan administrasi. Letaknya diantara
timur dan barat pendopo.
15. Reksa Pustaka yaitu perpustakaan yang terletak di sebelah timur pendopo.
Pura Mangkunegaran merupakan sentrum dari teori sentrifugal yang menghadap
ke utara dibangun jalan poros lurus sampai titik teologis tugu pemandengan ndalem. Hal
ini dimaknai, yakni: Pertama, untuk membedakan nilai kosmis magis antara ruang-
ruang publik bagi rakyat (njobo) merupakan lingkungan mikrokosmos dengan istana
kerajaan (njeron) makrokosmos yang bernuansa sakral magis. Kedua, sumbu poros ini
juga dimaknai sebagi simbol pemisahan antara prinsip dunia sekuler (Pasar Legi) di
timur jalan dengan dunia spiritual (Masjid Wustho) di barat jalan yang ditandai dengan
keberadaan kampung kauman yang merupakan tempat tinggal abdi dalem reh pangulon.
Dalam pengertian kiblat kulon (arah matahari terbenam) sebagai abdi dalem urusan
kiblat.85 Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII konsep praja kejawen di atas,
masih dijadikan acuan dalam membangun tata ruang kota di praja Mangkunegaran,
yang masih mengutamakan poros sakral utara-selatan.
C. Dinas Pekerjaan Umum Pada Masa Pemerintahan Mangkunegoro VII
Dinas Pekerjaan Umum di Praja Mangkunegaran sudah ada sejak pemerintahan
Mangkunegoro IV, yang disebut dengan Kawedanan Karti Praja. Kawedanan ini
dipimpin oleh seorang wedana. Ia membawahi sebuah kemantren, yakni Kemantren
Kartipura, yang mempunyai tugas mengadakan perbaikan di dalam kota dan di luar
kota. Kemantren ini juga bertugas sebagai pemadam kebakaran. Sehubungan untuk
mempermudah pengawasan dan pekerjaannya terhadap keadaan kota, ia dibantu oleh
beberapa pekerja, antara lain: bramataka, tukang batu, juru taman, undagi, pande besi,
pengangsu, jagapiyara, narajomba, serta pekerja tidak tetap seperti jagahastana dan
wiratana.86
Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII terjadi sedikit perubahan di Dinas
Pekerjaan Umum, yakni jabatan dari Kawedanan Karti Praja diubah menjadi Kabupaten
85 Ibid, hal 18 86 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1917. No. 37
Karti Praja. Kabupaten ini dipimpin oleh seorang yang berkebangsaan Belanda yang
berpangkat direktur. Pada masa Mangkunegoro VII tugas dari Dinas Pekerjaan Umum
masih sama seperti pada masa pemerintahan sebelumnya.87 Dinas ini mempunyai tugas
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan sarana-sarana umum yang
terdapat di Praja Mangkunegaran.
Sekitar Tahun 1934-an Mangkunegoro VII melakukan penggabungan antara
Kabupaten Karti Praja dan Kabupaten Sindumarta menjadi Kabupaten Sindupraja. Ia
melakukan penggabungan itu dalam rangka penghematan, karena di tahun tersebut
sedang terjadi krisis ekonomi dunia yang juga melanda praja Mangkunegaran.
Kabupaten Sindupraja mempunyai tugas sebagai pengelola irigasi dan pekerjaan umum
di praja Mangkunegaran.
Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran telah melakukan berbagai
pembangunan yang digunakan untuk kepentingan umum. Pada masa Mangkunegoro
VII, dinas ini telah mengerjakan beberapa fasilitas-fasilitas umum di kota
Mangkunegaran, seperti: pembangunan Partini-tuin dengan pemandian dan lapangan
olahraga (tempat ini sekarang bernama Taman Bale Kambang), sebuah gedung
pertemuan untuk para pegawai sipil (sekarang telah menjadi Monumen Pers) dan para
bintara/militer (sekarang telah menjadi kantor Pramuka Surakarta), sebuah perpustakaan
umum (Reksa Pustaka), sebuah lapangan sepak bola yang ada di Gilingan (sekarang
telah menjadi Terminal Tirtonadi, yang berada di sebelah timur), sebuah kantor polisi
(sekarang telah menjadi Polsek Banjarsari), masjid Al-Wustha Mangkunegaran,
beberapa gedung sekolah (H.I.S. Siswo sekarang telah menjadi SMP Negeri 5
87 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1923. No. 10.
Surakarta, H.I.S. Siswo-rini sekarang tidak digunakan lagi dan tempatnya berada di
sebelah timur Akademi Seni Mangkunegaran).88
Pembangunan Rumah Sakit Pusat “Zieken Zorg”, yang ada di daerah
Mangkubumen, merupakan rumah sakit yang pertama di Surakarta. Rumah sakit itu
dalam pembangunannya mendapat subsidi dari Pemerintah Swapraja dan mendapat
subsidi setiap tahunnya sebesar f. 5.000. Rumah sakit ini pada saat berdirinya dipimpin
oleh tiga orang dokter, mantri, pembantu mantra, bidan, dan juru rawat.89 Rumah sakit
ini sekarang telah tidak ada, dan lahan bekas rumah sakit ini dibangun sebuah
apartemen.
Pembangunan yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum juga sampai ke daerah-
daerah perkampungan di kota Mangkunegaran. Pembangunan yang dilakukan dinas itu,
antara lain: Pembangunan tiga buah kantor kalurahan/bale kampung di Kestalan,
Punggawan, dan Manahan. Pembangunan wc umum di kampung Ngebrusan, Grogolan,
Ngentak, Manahan, Stabelan, dan Cinderejo. Pembangunan pancuran umum di
kampung Cinderejo, Kusumodiningratan, Manahan, Kestalan, Stabelan, Grogolan, dan
Turisari. Perbaikan jalan di kampung Bibis, Nayu, dan Gilingan. Perbaikan jembatan
kecil di kampung Pringgading. Pembangunan saluran pembuangan air di kampung
Stabelan.
D. Pembangunan Perkampungan Di Kota Mangkunegaran
Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII kondisi keuangan di praja
Mangkunegaran telah kembali sehat, bahkan telah mengalami kemajuaan yag pesat.
Oleh karena itu pemerintah praja Mangkunegaran berusaha untuk mengadakan
88 Th. M. Metz, op.cit. hal 71 89 Ibid, hal. 71
pembangunan-pembangunan dibidang infrastruktur, pertanian, pendidikan dan
kebudayaan, dan lain-lain. Pembangunan itu juga dilaksanakan di daerah-daerah
perkampungan, khususnya di kota Mangkunegaran. Di masa pemerintahannya,
Mangkunegoro VII selalu berkeliling ke kampung-kampung di kota Mangkunegaran
untuk melihat langsung keadaan masyarakat dan sarana-sarana umum yang perlu
mendapatkan perbaikan.
Dalam pembangunan di perkampungan pemerintah praja Mangkunegaran masih
tetap mendapatkan bimbingan dan bantuan dari pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini
merupakan strategi politik dari para Pengageng Pura Mangkunegaran, yang lebih
memilih menjalin hubungan baik dengan pemerintah kolonial, yang berguna untuk
kemajuan dan kemakmuran praja. Adapun pembangunan-pembangunan itu, antara lain:
1. Pembangunan WC Umum/Kakus Umum
Pembangunan wc umum merupakan program pemerintah praja Mangkunegaran
di masa pemerintahan Mangkunegoro VII. Pembangunan sarana umum ini dimaksudkan
agar penduduk di perkampungan tidak membuang hajat disembarang tempat yang dapat
menggangu kesehatan maupun kebersihan lingkungan. Pembangunan itu juga
dimaksudkan untuk menghilangkan jumbleng, yakni tempat pembuangan hajat
tradisional yang dilakukan dengan menggali tanah dan telah dipakai secara turun-
temurun.
Pembuatan wc umum ini biasanya diletakkan di tempat-tempat yang strategis
dan bersifat umum. Lahan yang akan digunakan untuk membangun wc umum ini
merupakan lahan milik rakyat tanpa diberikan ganti rugi, tetapi akan dibuatkan wc
pribadi. Pembangunan wc umum ini dilakukan di kampung-kampung yang terdapat di
kota Mangkunegaran, seperti: kampung Ngebrusan, grogolan, Ngentak, Manahan,
Stabelan, dan Cinderejo.90
2. Pembangunan Pancuran Umum
Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat diperlukan dan harus dipenuhi
secara mutlak. Air juga merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sehari-harinya,
baik sebagai air minum maupun untuk kepentingan lainnya, yakni mandi dan mencuci.
Dalam hal ini, untuk memenuhi kebutuhan air bersih pemerintahan praja
Mangkunegaran membagun pancuran-pancuran umum disetiap kalurahan yang ada di
kota Mangkunegaran. Pancuran ini dibangun di kampung Cinderejo,
Kusumodiningratan, Manahan, Kestalan, Stabelan, Grogolan, dan Turisari.91
Pembangunan pancuran umum ini maksudkan untuk memenuhi keutuhan air bersih bagi
masyarakat, sebab air pancuran lebih bersih dan sehat dari pada air sumur. Namun
demikian usaha ini agak mengalami hambatan karena penduduk dperkampungan kurang
membutuhkan air pancuran, hal ini dikarenakan mereka telah memiliki sumur sendiri.
Pemenuhan air bersih di Surakarta semakin teratasi dengan didirikannya
perusahaan air minum pada tahun 1931, yang merupakan inisiatif dari Residen
Surakarta. Perusahaan air minum ini diberi nama N.V. Hoodgruk Water Leiding
Hoofdplaats Surakarta en Omstreken (PT Air Minum Bertekanan Tinggi di Ibukota
Surakarta dan Sekitarnya). Sumber air bersih yang digunakan oleh perusahaan air
minum ini berasal dari daerah Cakratulung.92 Dengan berdirinya perusahaan ini
90 “Anggaran Untuk Membuat Kakus Umum dan Pancuran di Mangkunegaran. Arsip
Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode L. 436 91 Ibid 92 Heri Dwiyanto, 1995. Skripsi: Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja Mangkunegaran Pada
Masa Mangkunegoro VII. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hal 79
pemerintah praja Mangkunegaran telah berusaha meningkatkan kesadaran akan
pentingnya kesehatan, yakni menyediakan air bersih melalui leiding.
3. Pembangunan Saluran Pembuangan Air
Pembangunan saluaran pembuangan air juga dilakukan oleh Mangkunegoro VII.
Pembangunan saluran air ini digunakan untuk pembuanagn limbah maupun luapan
banjir. Saluaran air ini digunakan untuk menyerap air kotor agar tidak mengenang di
daerah permukiman perkampungan di kota Mangkunegaran. Pemerintah praja kemudian
membangun saluran pembuangan air dari Pura Mangkunegran yang dialirkan ke sungai
Toklo yang dibuka pukul 8.30 pagi dan 6.30 sore, agar tidak menganggu pemandangan.
Pembuatan saluran air hujan juga dilakukan di kampung Stabelan untuk menghindari
luapan dan genangan air hujan dan limbah rumah tangga, sehingga air kotor dapat
mengalir dengan lancar dan tidak menyebabkan munculnya bibit penyakit.93
4. Perbaikan Jalan dan Jembatan
Pembangunan infrastruktur lain yang menjadi urgen bagi pemerintahan praja
Mangkunegaran adalah pembangunan jalan dan jembatan. Pembangunan infrastruktur
ini dipandang mendesak karena mengingat ditinjau dari teknik lalu lintas, letak
Mangkunegaran tidak baik sekali. Walaupun ibukotanya merupakan titik persilangan
jalan kereta api yang terpenting di Jawa, yakni dua perusahaan kereta api SS (dari
Jakarta dan Bandung lewat Yogyakarta dan Surakarta) dan NIS (dari Semarang ke
Yogyakarta lewat Surakarta), namun ibukota Mangkunegaran hanya sebagian kecil saja
yang disinggahi. Sebagian besar dari daerah-daerah Mangkunegaran masih merupakan
daerah terisolir dan sulit untuk dilalui dengan kendaraan umum. Pembangunn jalan dan
jembatan di Mangkunegaran semakin diperhatikan pada masa Mangkunegoro VII. Pada
93 “Anggaran Pembuatan Saluran Air”. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka.
Kode H. 204
tahun 1931 di praja Mangkunegaran terdapat 530 km jalan yang telah dapat dilalui
kendaraan bermotor.94
Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII pembangunan jalan dan jembatan
tidak hanya di jalan-jalan utama (protokol) dan jembatan-jembatan besar saja, tetapi
juga di daerah-daerah perkampungan, seperti mengadakan pelebaran jalan dan
pengerasan jalan serta pembagunan jembatan yang menghubungkan antara kampung
satu dengan kampung yang lainnya, agar penduduknya mudah berinteraksi.95 Jalan
perkampungan yang diperbaiki yakni seperti di kampung Nayu, Bibis, dan Gilingan.
Perbaikan jembatan dilakukan di kampong Gondang dan Pringgading. Pembangunan
jalan dan jembatan merupakan hasil inspeksi berkuda Mangkunegoro VII beserta
perwira dan keluarga serta abdi dalem yang dilakukan secar teratur, sehingga ia
mengetahui keadaan jalan dan jembatan yang ada di kampung-kampung di kota
Mangkunegaran.96 Pada mulanya pembangunan jalan dan jembatan ini mengalami
sedikit kesukaran dalam hal tenaga kerja, itu dikarenakan penduduk diperkampungan
Kota Mangkunegaran belum terbiasa dalam pekerjaan itu secara sistematik, namun
lama-kelamaan penduduk di perkampungan itu dapat menyesuaikan pekerjaan-
pekerjaan baru itu.
5. Pengadaan Penerangan Jalan
Listrik merupakan salah satu kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat,
khususnya di malam hari. Pada zaman dahulu kota Surakarta di waktu malam hari
sangat gelap, sebelum adanya penerangan listrik. Di jalan-jalan kota sebagai penerangan
94 Wasino, op.cit. hal 207-209 95 Sejarah Perjuangan K.G.P.A.A. Prabu Prangwedana ke VII, 1993. Surakarta: Reksa Pustaka.
Hal 294. 96 Pernyataan R.M. Gondosubariyo, 1939. Tri Windu Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa
Pustaka. Hal 56
masih menggunakan Lampu Ting, yakni lampu teplok yang memakai kaca dimasukkan
dalam suatu tempat yang terbuat dari seng, dan berbentuk persegi empat. Lampu-lampu
tersebut digantungkan pada pertengahan jalan yang ramai pada setiap satu meter
dipasang satu buah lampu penerangan. Ketika musim penghujan banyak lampu yang
mati karena terkena air dan tertiup angin kencang.97 Keadaan tersebut juga dialami oleh
Praja Mangkunegaran, sebelum adanya listrik di kota itu.
Pada tanggal 12 Maret 1902 di Surakarta didirikan sebuah perusahaan listrik
yang bernama S.E.M (Solo Electricitiet Maatschappij). Lampu-lampu baru bisa menyala
pada tanggal 19 April 1902, sehingga di kota Surakarta di waktu malam hari menjadi
terang. Pemerintah praja Mangkunegran pada sekitar tahun 1902 masih belum bisa
menyuplai listrik untuk daerah-daerah diperkampungan, yang dikarenakan harganya
mahal. Baru pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII mulai melakukan pemasangan
lampu-lampu listrik di tepi-tepi jalan diperkampungan. Kampung-kampung yang
mendapatkan penerangan listrik, antara lain: Kampung Badran, Tirtomoyo, Manahan,
Timuran,.98 Penerangan jalan-jalan di perkampungan itu bermanfaat untuk
mempermudah hubungan antar kampung di waktu malam hari dan juga dapat
mengurangi tindak kejahatan (begal dan kecu) di Kota Mangkunegaran.
6. Pembangunan Bale Kampung/Kantor Kalurahan
Bale kampung merupakan kantor dinas dari Lurah Kampung dan Punggawa
Kampung. Bale kampung digunakan sebagai tempat untuk mengurusi masalah
diperkampungan, seperti: administrasi, perpajakan, pengadilan, dan lain sebagainya.
Bale Kampung di kota Mangkunegaran biasanya terletak di pojok perempatan jalan
97 R.M. Sayid, 1984. Babad Sala. Surakarta: Reksa Pustaka. Hal 74 98 “Surat Permohonan Penerangan Jalan”. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka.
Kode P.1938
diperkampungan. Pada masa pemerintahannya, Mangkunegoro VII melakukakan
pembangunan bale kampung yang dianggapnya sudah tidak layak digunakan sebagai
tempat kerja. Tanah yang digunakan untuk pembangunan bale kampung adalah tanah
milik rakyat, yang telah mendapatkan ganti rugi dari pemerintah praja Mangkunegaran.
Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII telah dibangun tiga buah bale kampung,
yang antara lain: Bale Kampung Kestalan, Punggawan, dan Manahan.99
7. Perbaikan Rumah-Rumah Kumuh
Epidemi Pest yang menyebar di seluruh Jawa Tengah ternyata juga sampai
menyebar ke kota Mangkunegaran. Penyakit pest ditimbulkan oleh kutu yang dibawa
oleh tikus dan kemudian menyerang manusia lewat baju atau barang yang ada di dalam
rumah, di mana kebersihan masyarakat pada waktu itu sangat memprihatinkan. Hal ini
dikarenakan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih di bawah garis kemiskinan.
Rumah-rumah di perkampungan yang rata-rata terbuat dari alang-alang dan kayu
sederhana serta berlantai tanah sangat mendukung untuk berkembangnya penyakit yang
ditimbulkan oleh binatang pengerat itu.
Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII, melalui Dinas Kesehatan
Mangkunegaran selalu menganjurkan kepada rakyatnya untuk menciptakan perumahan
yang sehat. Kriteria rumah sehat pada waktu itu adalah lantai harus kering, harus ada
pintu dan jendela, harus ada ventilasi, di sekitar rumah tidak ada air yang
mengenang, di setiap sumur harus dibuatkan penghalang di pinggirnya agar tidak
tercemari air kotor, dan bagi yang mampu dianjurkan untuk membuat kakus di setiap
rumah.100 Pemerintah Praja juga memberikan bantuan berupa pinjaman uang bagi rakyat
99 “Pembangunan Bale Kampung Kestalan, Punggawan, dan Manahan”. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode H. 159, P. 2607, dan P. 2583
100 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1925. No. 11. Surakarta: Reksa Pustaka
yang ingin memperbaiki rumahnya. Dalam anggaran belanja praja tahun 1918,
pemerintah menyediakan dana sebesar f. 66.000 untuk perbaikan rumah rakyat dan f.
25.000 untuk biaya pembangunan kampung-kampung.101
Selain memberikan bantuan berupa pinjaman uang untuk perbaikan rumah dan
kampung, ia juga memberikan vaccin otten yang telah ditemukan pada tahun 1935,
untuk penderita penyakit pest dan juga melakukan penyemprotan obat serta
pembasmian tikus.102 Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VII itu
sangat membantu di dalam program pemberantasan penyakit menular, khususnya
penyakit pest di kota Mangkunegaran. Program itu juga diharapkan menciptakan
masyarakat yang sehat. Usaha-usaha pemberantasan penyakit menular yang dilakukan
oleh pemerintahan Mangkunegoro VII merupakan suatu bukti bahwa pemerintah tidak
menginginkan rakyatnya menderita akibat adanya penyakit menular yang mengancam
jiwa mereka. Mangkunegoro VII juga menyadari bahwa keselamatan dan kelangsungan
hidup rakyat menjadi tanggung jawabnya.
8. Pembangunan Mentalitas Penduduk
Mangkunegoro VII di masa pemerintahannya, ia tidak hanya membangun
sarana-sarana umum saja, tetapi ia juga membangun mentalitas penduduk di kota
Mangkunegaran. Mangkunegoro VII selalu memerintahkan patihnya untuk
mengaktifkan para lurah dan punggawa kampung, termasuk rukun kampung supaya
setiap hari tertentu menyelenggarakan penyuluhan-penyuluhan yang bersifat
memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman kepada warga masyarakat,
101 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No.2. Surakarta: Reksa Pustaka 102 Ratih Widayati, 1998. Skripsi: Yatna Nirmala: Dinas Kesehatan Praja Mangkunegaran Tahun
1943-1953. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hal 87
khususnya bagi ibu-ibu. Di samping memberi tambahan pengalaman, juga hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan dan memberikan motivasi bagi putra-putrinya.
Mangkunegoro VII Pada tanggal 29 April 1924, memerintahkan patihnya untuk
menyelenggarakan penyuluhan untuk warga masyarakat di sekitar Istana
Mangkunegaran. Acara itu bertempat di pendopo Prangwedanan. Acara itu juga diikuti
oleh para putra-putri sentana. Penyuluhan itu dimaksudkan untuk memberi tambahan
pengetahuan dan pengalaman tentang pembinaan keluarga, yang berguna untuk
kemajuan bagi praja Mangkunegaran. Di dalam acara itu Mangkunegoro VII juga
menghimbau agar penduduk di perkampungan hidup dengan sehat dan teratur yakni
dengan selalu menjaga kebersihan dilingkungannya masing-masing.103
103 Sejarah Perjuangan K.G.P.A.A. Prabu Prangwedana ke VII. Op.cit. hal 295
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan dalam bab-bab dimuka, maka
dapat ditarik kesimpulan, yakni: Mangkunegoro VII menggantikan kedudukan dari
Mangkunegoro VI pada tahun 1916. Pada awal pemerintahan Mangkunegoro VI terjadi
kesulitan keuangan yang hampir membuat kebangkrutan praja Mangkunegaran.
Keberhasilan yang diperoleh Mangkunegoro VI salah satunya adalah mampu
memperbaiki kondisi keuangan praja yang kembali menjadi baik.
Mangkunegoro VII merupakan seorang terpelajar yang menempuh pendidikan
negeri Belanda. Mangkunegoro VII pada masa pemerintahannya melakukan
pembaharuan-pembaharuan disegala bidang yang merupakan terobosan baru dalam
sejarah kerajaan Jawa. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang sudah mapan, serta
didukung oleh keadaan geografis yang ada mendorong untuk melakukan pembaharuan
yang berguna untuk kesejahteraan praja dan rakyat Mangkunegaran.
Mangkunegoro VII juga melakukan pembaharuan ke daerah perkampungan,
khususnya di kota Mangkunegaran. Ada beberapa alasan yang mempengaruhi
pembangunan perkampungan di kota mangkunegran, yaitu: Mangkunegoro VII sebagai
pemimpin wajib melakukan pembangunan di kampung-kampung demi terciptanya
kesejahteraan penduduknya. Ia juga menginginkan agar penduduk di perkampungan
dapat menikmati modernisasi yang dilakukannya. Ia juga ingin agar penduduk di
perkampungan dapat hidup dengan bersih, sehat, dan teratur.
Pemerintahan Mangkunegoro VII selama 28 tahun telah terjadi perkembangan
ke arah modernisasi dibidang pendidikan, pertanian, infrastruktur, dan irigasi. Ia juga
81
sangat memperhatikan keadaan yang ada di perkampungan kota Mangkunegaran. Di
kampung-kampung banyak didirikan wc umum, seperti: kampung Ngebrusan,
Grogolan, Ngentak, Manahan, Stabelan, dan Cinderejo. Pembangunan pancuran umum
juga dibangun di kampung Cinderejo, Kusumodiningratan, Manahan, Kestalan,
Stabelan, Grogolan, dan Turisari agar penduduknya dapat hidup dengan bersih dan
sehat. Pembuatan saluran air yang ada di kampung Stabelan dapat mengatasi luapan
banjir dan mengalirkan air hujan yang ada di rumah-rumah agar tidak menimbulkan
bibit penyakit.
Mangkunegoro VII juga membangun bale kampung Manahan, Kestalan, dan
Punggawan untuk mengurusi masalah penduduknya baik itu administrasi, pajak,
maupun pengadilan. Ia juga memperbaiki jalan dan jembatan yang ada di
perkampungan, seperti di kampung Gilingan, Nayu, Bibis, dan Pringgading yang
bermanfaat untuk berinteraksi antar penduduknya. Mangkunegaran VII juga
mengadakan penerangan jalan di perkampungan untuk mempermudah aktivitas di
malam hari dan mencegah tindak kriminalitas. Kampung-kampung yang mendapatkan
penerangan jalan antar lain: kampung Timuran, Badran, Tirtomoyo, dan Manahan.
Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII perbaikan rumah-rumah kumuh
juga dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit pest yang sangat berbahaya,
karena penduduk perkampungan pada masa itu hidup secara seadanya, itu dikarenakan
keadaan ekonomi yang tidak mencukupi. Mangkunegoro VII tidak hanya melakukan
pembangunan fisik saja,tetapi juga pembangunan mentalitas penduduk perkampungan
agar selalu hidup secar sehat, bersih, dan teratur, serta mendidik anak-anaknya secara
baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arsip-Arsip
Anggaran Untuk Membuat Kakus Umum dan Pancuran Umum Di Mangkunegaran.
Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka.
Anggaran Pembuatan Saluran Air. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka Anggaran Pembangunan Bale Kampung Punggawan. Arsip Mangkunegoro VII.
Surakarta: Reksa Pustaka Pembukaan Bale Kampung Manahan. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa
Pustaka Perumahan Yang Akan Dibuat Bale Kampung Kestalan. Arsip Mangkunegoro VII.
Surakarta: Reksa Pustaka. Surat Permohonan Penerangan Jalan. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa
Pustaka. Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1917. No. 23 (Bab Mengenai Pasar) dan No. 331
(Bab Mengenai Perubahan wilayah Administrasi Mangkunegaran). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No. 2 (Bab Mengenai Dana Untuk Perbaikan
Rumah dan Kampung). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1923. No 10 (Bab Mengenai Perubahan Struktur
Birokrasi Mangkunegaran). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1924. No. 8 (Bab Mengenai Tugas Bupati Patih). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1925. No. 11 (Bab Mengenai Kriteria Rumah Sehat). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1939. No. 3 (Bab Mengenai Desa dan Kampung).
2. Buku-Buku
Mulat Sarira, 1978. Surakarta: Reksa Pustaka Ringkasan Riwayat Dalen Suwarga Sampeyan Dalen K.G.P.A.A Mangkunegoro ke VII,
2007. Surakarta: Reksa Pustaka
Sejarah Perjuangan K.G.P.A.A Prabu Prangwedana VII, 1993. Surakarta: Reksa Pustaka
Bernardinal Hilmiyah M.D, 1985. Mengenang Soerya Soeparto. Surakarta: Reksa
Pustaka. Dudung Abdurrrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Gondosubariyo R.M, 1939. Tri Windu Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka Gottshalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press. Heine-Geldern, Robert. 1981. Konsepsi Tentang Raja dan Kedudukan raja di Asia
Tenggara. Jakarata: Penerbit Rajawali. Larson G.D, 1990. Masa Menjelang Revolusi, Kraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta 1912-1942. Yogyakarta: Gajah Mada University Perss. Marwati Djoened Poesponegoro, 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai
Pustaka. Moedjanto G, 1987. Konsep Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Muhammad Dalyono, 1977. Ketataprajaan Mangkunegaran. Rekso Pustoko
Mangkunegaran. Muhlenfeld A, 1916. Buku Kenang-Kenangan Pada Jumenengan R.M Soeparto.
Surakarta: Reksa Pustaka. Metz Th.M, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Rotterdam: NV
Nijgh dan Van Ditmar. Nugroho Notosusanto. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta: yayasan
Indayu. Pringgodigdo A.K, 1938. Lahir Serta Tumbuhnya Praja Mangkunegaran. Surakarta:
Reksa Pustaka. Purwadi, 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Abadi. Radjiman, 1984. Sejarah Mataram Sampai Surakarta Adiningrat. Surakarta: Krida. Rouffer G.P. Swapraja. Surakarta: Reksa Pustaka. Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah. Jakarta: PT.
Gramedia.
. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif. Jakarta: PT. Gramedia.
. 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah, Jakarta: PT.
Gramedia. . 1982, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu
Alternatif, Jakarta: PT. Gramedia. . 1983, “ Metode Penggunaan Bahan Dokumen “Koentjoroningrat, Metode-
Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia. Sayid R.M,1984. Babad Sala. Surakarta: Rekso Pustoko Pura Mangkunegaran. Selo Soemardjan, 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gajah Mada
University Perss. Suyatno dkk, 1986. Birokrasi Dalam Perubahan Sosial di Indonesia. Surakarta:
Hapsara. Yosodipuro, 1994. Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Makradata Wertheim, W.F, 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
3. Karya-Karya Ilmiah
Heri Dwiyanto, 1995. Skripsi: Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Himawan Prasetyo, 2001. Skripsi: Wajah Kauman Surakarta 1910-1930. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada. Ismu Sadiyah, 1998. Karya Tulis: Keraton Mangkunegaran Sebagai Obyek Wisata
Yang Menaraik Di Jawa Tengah. Bandung: ABA Bandung. Nina Astiningrum, 2006. Skripsi: Kebijakan Mangkunegoro VII Dalam Pembangunan
Perkotaan Di Praja Mangkunegaran. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Ratih Widayati, 1998. Skripsi: Yatma Nirmala: Dinas Kesehatan Praja Mangkunegaran
Tahun 1943-1953. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Wasino, 1994. Tesis: Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran
(Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Gambar 2 WC Umum dan Pemandian Umum, di kampung Ngebrusan di bangun pada tahun 1943.
Sekarang di kenal dengan nama Monumen Jamban Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka
Gambar 3 Pancuran di daerah Villa Park, di bangun pada tahun 1943
Pancuran tersebut sekarang telah berubah menjadi Monumen 45 Banjarsari
Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka
Gambar 4
Bale Kampung Manahan, di bangun pada tahun 1938 Sumber: Arsip Foto Rekso Pustoko
Gambar 5 Pembangunan Jalan di Gilingan pada tahun 1935
Sumber: Arsip Foto Rekso Pustoko
Gambar 6 Perkampungan Sebelum Adanya Pembangunan tahun 1924
Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka
Gambar 7 Perkampungan Setelah Adanya Pembangunan tahun 1930
Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka
top related