pbl blok 14 erik
Post on 25-Dec-2015
22 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Nyeri Sendi Jari dan Pergelangan Tangan pada Artritis Reumatoid
Disusun oleh:
Erick Thambrin
102011270
erickthambrin@gmail.com
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Telephone: (021) 5694-2061 (hunting) Fax: (021) 563-1731
A. Pendahuluan
Rheumatoid arthritis (RA) atau artritis rheumatoid (AR) adalah penyakit yang
lebih sering disebut dengan penyakit rematik, yang merupakan penyakit autoimun
yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, di mana sendi merupakan
target utamanya. Penyebab/etiologi dari AR masih belum diketahui dengan pasti.
Manifestasi utama yang dapat dilihat dari AR adalah poliartritis simetrik yang
terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki.1,2
Skenario yang didapat adalah sebagai berikut:
“Seorang perempuan, 21 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri
pada jari-jari tangan, dan pergelangan tangan pada tangan kanan dan kiri sudah
berlangsung selama 4 bulan ini. Pasien mengatakan ibunya juga sering nyeri sendi
terutama pada lutut kirinya.”
Pada makalah kali ini akan dibahas secara singkat mengenai artritis reumatoid,
mulai dari anamnesis pasien terkait skenario, diagnosis, hingga penjelasan mengenai
1
artritis reumatoid mulai dari epidemiologi, hingga prognosis dan terapi farmakologis
ataupun non-farmakologis yang diberikan.
B. Isi
Anamnesis
Gejala klinis yang terlihat pada AR adalah berupa poliartritis pada bagian
perifer seperti pada sendi jari-jari tangan, dan bersifat simetris, tidak hanya mengenai
pada salah satu sisi saja, melainkan pada kedua sisi. Biasanya lama kelamaan akan
menyebabkan kerusakan pada sendi dan cacat fisik. Sehingga pada anamnesis harus
menanyakan sendi apa saja yang terkena, satu sisi atau kedua sisi. Selain itu pada AR
didapatkan kaku pada pagi hari sekitar 1 jam.1,2
Pada penyakit AR juga terdapat pengaruh dari faktor genetik, sehingga perlu
ditanyakan apakah memiliki riwayat keluarga yang sama dengan yang dialami oleh
pasien.1
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi 4 macam, yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi. Untuk pemeriksaan fisik dalam pasien AR, yang harus dilakukan adalah
inspeksi dan palpasi pada sendi-sendi yang terkena. Pada inspeksi dilihat apakah
terdapat pembengkakan pada sendi terutama pada jari-jari tangan dan kaki.
Selanjutnya melihat apakah adanya perubahan/deformitas pada sendi-sendi jari tangan
yang menjadi ciri khas dari AR, seperti adanya deformitas leher angsa/swan neck dan
deformitas boutonniere, 2 dari beberapa deformitas yang bisa ditemukan pada pasien
AR. Swan neck adalah hiperekstensi PIP (proximal interphalangeal) dan fleksi DIP
(distal interphalangeal), sedangkan deformitas boutonniere adalah fleksi PIP dan
hiperekstensi DIP. Untuk palpasi pada pasien AR memang ditujukan untuk melihat
adanya tanda-tanda peradangan seperti kalor dan dolor. Namun pasien AR biasanya
sudah mengeluh sangat kesakitan jika disentuh sedikit saja, sehingga palpasi sedikit
sulit dilakukan pada pasien AR.1
2
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada tes diagnostik tunggal yang definitif untuk konfirmasi diagnosis
AR. The American College of Rheumatology Subcommittee on Rheumatoid Arthritis
(ACRSRA) merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dasar untuk evaluasi antara
lain: daraf perifer lengkap (complete blood cell count), faktor reumatoid (RF), laju
endap darah atau C-reactive protein (CRP). Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal juga
direkomendasikan karena akan membantu dalam pemilihan terapi. Bila pemeriksaan
RF dan anti-CCP negatif, maka bisa lanjutkan dengan pemeriksaan anti-RA33 untuk
membedakan penderita AR yang memiliki risiko tinggi mengalami prognosis buruk.1
Pada pasien AR yang kronis dapat terjadi anemia, dan merupakan tolak ukur
progresivitas penyakit dalam pasien tersebut. Pada serangan akut juga dapat
ditemukan CRP dan LED yang meningkat. CRP dan LED yang meningkat
berhubungan erat dengan aktivitas penyakit dalam pasien. Jika angkanya meninggi
terus-menerus, maka prognosis pasien juga memburuk. Hitung leukosit pada pasien
AR dapat menunjukkan nilai meninggi ataupun normal, bahkan pada kasus sindrom
Felty didapatkan nilai yang sangat menurun.3
Adanya faktor reumatoid merupakan penanda penting pada pasien AR,
merupakan sebuah autoantibody terhadap Fc region pada IgG. RF biasanya positif
pada 50% kasus dan sekitar 20-35% sisanya menjadi positif setelah 6 bulan terdiagosa
AR. RF bukanlah penanda pasti karena tidak spesifik untuk AR dan dapat juga positif
pada penyakit lainnya. Berikut merupakan beberapa penyakit/kondisi yang dapat
menunjukkan hasil positif palsu pada pemeriksaan RF:3
1. Penyakit reumatik: AR, Sjögren syndrome, SLE, dan lain-lain.
2. Infeksi virus: hepatitis C, EBC (Epstein-Barr virus), parvovirus, influenza.
3. Infeksi bakteri: endocarditis, osteomielitis.
4. Kondisi inflamasi yang kronis.
5. Penyakit hepar, penyakit inflamasi saluran pencernaan.
6. Penuaan.
Karena RF tidak spesifik, maka ditemukanlah autoantibody yang lebih spefisik
pada pasien AR, yaitu terhadap citrullinated protein, sehingga dinamakan anticyclic
citrullinated peptide (anti-CCP) antibodies. Anti-CCP biasanya terdapat pada 60-
3
70% pasien AR saat terdiagnosa, dan 90-98% spesifik untuk pasien AR. Selain itu
anti-CCP juga biasanya sudah positif beberapa tahun sebelum terdiagnosa AR.3
Pemeriksaan cairan sendi pada pasien AR tidak begitu spesifik, karena hanya
berupa tanda-tanda inflamasi, seperti peningkatan leukosit hingga 50.000 dengan
2/3nya merupakan sel neutrofil.3
Pemeriksaan pencitraan (imaging) yang dapat digunakan untuk menilai pasien
AR antara lain foto polos (plain radiograph) dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging). Pada awal perjalanan penyakit mungkin hanya ditemukan pembengkakan
jaringan lunak atau efusi sendi pada pemeriksaan foto polos, tetapi dengan
berlanjutnya penyakit, maka akan lebih banyak ditemukannya kelainan. Sekitar 70%
penderita AR mengalami erosi tulang dalam 2 tahun pertama penyakit. Erosi bisa
tampak pada semua sendi, tapi paling sering adalah pada sendi metacarpophalangeal,
metatarsophalangeal, dan pergelangan tangan. Foto polos bermanfaat dalam
menentukan prognosis, menilai kerusakan sendi, dan bila diperlukan terapi
pembedahan. Pemeriksaan MRI menunjukkan sensitivitas terbaik untuk melihat
adanya sinovitis dan efusi sendi. Perubahan pada jaringan lunak ini terlihat lebih
dahulu sebelum terlihatnya erosi tulang pada x-ray. Mahalnya pemeriksaan MRI
membatasi penggunaannya dalam pemeriksaan klinis rutin.1,2
Diagnosis Kerja & Diagnosis Banding
Beberapa hal yang dapat diperhatikan dalam mendiagnosis pasien AR adalah
sebagai berikut:3,4
1. Jenis kelamin: wanita (3:1).
2. Umur: late childbearing years pada wanita (60-80 tahun pada pria).
3. Onset: tersembunyi dan membahayakan (sekitar setiap beberapa minggu
hingga beberapa bulan), dengan morning stiffness dan rasa sakit pada sendi
yang terkena.
4. Distribusi: poliartritis simetris dengan predileksi pada sendi-sendi kecil tangan
dan kaki, dengan deformitas pada AR yang sangat progresif.
5. Gejala sistemik: kelelahan, berat badan turun, dan low-grade fevers.
6. Gejala pada radiografi: juxta-articular, erosi sendi, celah sendi yang
menyempit.
4
7. Penemuan lab: anemia, RF dan anti-CCP positif pada 60-80% pasien,
peningkatan LED dan/atau CRP, dan trombositosis.
8. Manifestasi ekstraartikuler: nodul subkutan, efusi pleura, perikarditis,
limfadenopati, splenomegali dengan leukopenia dan vaskulitis.
Untuk mendiagnosa pasien AR tidak bisa dengan single finding dalam
pemeriksaan fisik maupun penunjang. Sebaliknya, untuk dapat mendiagnosa pasien
AR harus dengan pemeriksaan fisik yang kompleks dan anamnesis yang baik
(menanyakan riwayat penyakit dengan dalam). Oleh karena itu, The American
College of Rheumatology memberikan kriteria untuk mendiagnosa AR, meskipun
bukan didesain secara spesifik. Lima kriteria pertama dapat ditemukan secara klinis,
sedangkan dua kriteria sisanya hanya dapat ditemukan dalam tes lab dan radiografi.
Empat kriteria pertama harus sudah terjadi minimal 6 minggu sebelum diagnosis AR
dapat diberikan pada pasien. Berikut adalah kriteria yang diberikan:1,3
1. Morning stiffness.
2. Artritis pada minimal 3 area sendi.
3. Artritis pada sendi-sendi tangan.
4. Artritis yang simetris.
5. Nodul reumatoid.
6. Faktor reumatoid serum positif.
7. Perubahan secara radiografi.
AR harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti artropati reaktif
yang berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan
ikat lainnya seperti SLE, yang mungkin memiliki gejala seperti AR. Adanya kelainan
endokrin juga harus disingkirkan. Artritis gout jarang terjadi bersamaan dengan AR.
Bila dicurigai artritis gout maka pemeriksaan cairan sendi harus dilakukan.1
Etiologi
Faktor Genetik
5
Selama 30 tahun telah diperkirakan bahwa faktor genetik sangat berperan
dalam kontribusinya pada penyakit AR hingga tingkat keparahannya. Alel yang ikut
terlibat dalam terjadinya AR adalah MHC (major histocompability complex).
Kebanyakan terjadi perubahan pada gen HLA-DRB1, yang merupakan pengkode
molekul MHC II rantai β. Beberapa lokus non-HLA juga dapat berhubungan dengan
terjadinya AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode aktivator
reseptor nuclear factor kappa B (NF-kB). Gen ini berperan penting dalam resorpsi
tulang pada AR. Faktor genetik juga berperan penting dalam terapi pasien AR karena
aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine
methyltransferase untuk metabolisme metrotrexate dan azathioprine ditentukan oleh
faktor genetik.
Hormon Seks
Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan pada laki-laki,
sehingga diduga hormon seks ikut berperanan pada penyakit AR. Pada observasi
ternyata didapatkan perbaikan gejala AR selama kehamilan. Perbaikan ini diduga
karena:1
1. Adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang HLA-DR
sehingga terjadi hambatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan
perbaikan penyakit.
2. Adanya perubahan profil hormon. Placental corticotropin-releasing hormone
secara langsung menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang
merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel
adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular
dan humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen
plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2)
dan menghambat respon imun selular (Th1). Oleh karena pada AR respon
selular lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek
berlawanan terhadap perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral
dilaporkan mencegah perkembangan AR atau berhubungan dengan penurunan
insiden AR yang lebih berat.
6
Epidemiologi
AR terjadi pada usia dewasa muda sekitar 0,5-1% dari total penduduk dunia.
Berbagai bukti telah menunjukkan bahwa insiden terjadinya AR sudah menurun
dalam 10 tahun terakhir, sedangkan prevalensinya masih sama karena penderita AR
hidup lebih lama. Insiden dan prevalensi AR bervariasi tergantung lokasi geografis,
hingga etnis. Sebagai contoh, prevalensi AR sekitar 7% pada orang-orang di Amerika
utara, sedangkan hanya 0.2-0.4% pada orang Asia dan Afrika.2
Seperti penyakit autoimun lainnya, AR terjadi lebih banyak pada wanita (2-
3:1). Teorinya berpusat pada peran estrogen dalam meningkatkan sistem imun, yaitu
dengan menstimulasi produksi TNF-alfa, yang merupakan sitokin utama yang
dikeluarkan dalam pathogenesis AR.2
Gambaran Klinis
Insiden terjadinya AR meningkat pada usia 25-55 tahun, kemudian plateau
hingga umut 75 tahun, dan kemudian menurun. Gejala yang muncul pada pasien AR
biasanya berupa inflamasi pada sendi, tendon, dan bursa. Pasien mengeluh nyeri sendi
pada pagi hari sekitar 1 jam dan akan berkurang ketika mulai beraktivitas fisik. Sendi
yang pertama terkena adalah sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Pola awal
terjadinya artritis pada AR dapat berupa monoartritis, oligoartritis (≤4 sendi), atau
poliartritis (≥5 sendi), dan biasanya terjadi simetris.2
Pada pasien AR juga sering mengeluh gejala konstitutional berupa weight loss,
demam, kelelahan, malaise, depresi, dan pada kasus yang parah dapat berupa
cachexia.2
Keseluruhan gejala/gambaran klinis yang dapat terlihat pada pasien AR telah
dirangkumkan dalam sebuah gambar di bawah ini.
7
Gambar 1. Manifestasi Klinis AR.2
Deformitas yang terjadi pada pasien AR adalah karena kerusakan pada
struktur artikular dan periartikular (tendon & ligamentum). Bentuk-bentuk terjadinya
deformitas dapat dilihat pada gambar di bawah ini.1
Gambar 2. Bentuk Deformitas pada AR.1
8
Patologi & Patogenesis
Mekanisme patogenik dari inflamasi sinovial merupakan hasil dari
keterlibatan yang cukup kompleks antara faktor genetik, lingkungan, dan imunologi
yang pada akhirnya menyebabkan sebuah ‘disregulasi’ dari sistem imun dan
gangguan pada self tolerance. Penyebab pastinya masih menjadi sebuah misteri.2
Pada RA, hal yang dapat dideteksi pertama kali pada masa preklinis adalah
terjadinya gangguan dalam self tolerance. Ide ini didukung dengan ditemukannya
autoantibodi, seperti RF dan anti-CCP antibodi, pada serum pasien cukup lama
sebelum gejala klinis dimulai. Meskipun begitu, target antigenik dari anti-CCP dan
RF tidak terbatas hanya pada sendi, dan peran mereka dalam patogenesis AR masih
bersifat spekulatif. Diagram lengkap pathogenesis AR dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.2
Gambar 3. Diagram Patogenesis AR.2
9
Pada pemeriksaan sendi secara histologis, sendi yang terkena menunjukkan
gambaran sinovitis papilaris kronis, yang memiliki karakteristik sebagai berikut:5
1. Hyperplasia dan proliferasi sel sinovial.
2. Inflamasi perivascular karena infiltrasi sel pada sel sinovium yang terdiri dari
sel T CD4+, sel plasma, dan makrofag.
Peningkatan vaskular karena angiogenesis.
3. Neutrofil dan agregat berupa fibrin pada permukaan sinovial dan dalam celah
sendi.
4. Peningkatan aktivitas osteoklas, menyebabkan erosi tulang periartikular.
Gambaran klasik yang dapat dilihat adalah adanya pannus, yang dibentuk dari
proliferasi sel-sel permukaan sinovial yang bercampur dengan sel-sel inflamasi,
jaringan granulasi, dan jaringan penyambung fibrosa. Gambaran lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.5
Gambar 4. Gambaran Histologi pada AR.5
Komplikasi
Dokter harus dapat mengantisipasi komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
AR. Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien AR dirangkumkan dalam gambar-
gambar berikut ini.1
10
Gambar 5. Komplikasi pada Pasien AR.1
Penatalaksanaan
AR tidak hanya menyerang sendi, melainkan juga memiliki gangguan lain
yang sifatnya sistemik. Pemberian AINS dapat mengurangi nyeri dan
mempertahankan fungsi sendi namun tidak mencegah kerusakan tulang rawan sendi
tulang. Saat ini dikenal obat antirematik yang tidak hanya bersifat simptomatik, tetapi
ikut menghambat proses memburuknya penyakit. Berbeda dengan AINS, obat ini
bekerja dengan lambat. Efek baru akan terasa sekitar 6 minggu sampai 6 bulan setelah
pengobatan, meskipun beberapa biologic agents dapat memberikan efek dalam 2
minggu atau kurang.6,7
Obat untuk terapi farmakologi pada pasien AR termasuk pada golongan
disease-modifying antirheumatic drugs (DMARDs) seperti metrotrexate, azathioprine,
klorokuin dan hidroksiklorokuin, cyclophospamide, siklosporin, leflunomid,
mycophenolate mofetil, dan sulfasalazine. Garam emas, yang dahulu sering
digunakan, kini tidak lagi direkomendasikan karena toksisitasnya. Terdapat juga
biologic DMARD , yaitu sebagai T-cell modulator (abatecept), B-cell cytotoxic agent
11
(rituximab), anti IL-6 receptor antibody (tocilizumab), dan sisanya merupakan TNF-
alfa blocking agents. Berikut adalah gambar rangkuman obat-obat tersebut.2,7
Gambar 6. Terapi Farmakologi pada AR.2
12
Pada gambar selanjutnya akan dijelaskan bagaimana tahap-tahapan dalam
memberikan terapi pada pasien AR.
Gambar 7. Langkah Terapi pasien AR.3
Prognosis
Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain: skor fungsional
yang rendah, status sosialekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat
keluarga dekat menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi
13
saat permulaan penyakit, RF atau anti-CCP positif, ada perubahan radiologis pada
awal penyakit, ada nodul reumatoid/manifestasi eksktraartikuler lainnya. Penderita
dengan AR yang berat seperti ini akan sulit memberikan hasil terapi yang baik
dibandingkan dengan pasien yang menderita AR ringan.1
C. Kesimpulan
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit yang tidak terjadi pada sendi,
melainkan memiliki gejala yang sifatnya sistemik. Pada skenario didapatkan nyeri
pada jari-jari tangan dan pergelangan tangan baik kanan maupun kiri. Ini merupakan
salah satu ciri khas pada penyakit AR, ditambah pasien memiliki riwayat keluarga
dekat yang memiliki gangguan nyeri sendi. Sehingga dapat dipastikan bahwa pasien
pada skenario menderita penyakit artritis reumatoid.
D. Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009.
h. 2495-508.
2. Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo. Harrison’s principles of
internal medicine. Volume 2. 18th ed. USA: The McGrawHill Companies;
2012. p. 2738-49.
3. Imboden J, Hellmann D, Stone J. Current diagnosis & treatment:
rheumatology. 2nd ed. USA: The McGrawHilla Companies; 2007. p. 161-7.
4. McPhee SJ, Papadakis MA. Current medical diagnosis & treatment. USA:
The McGrawHill Companies; 2009. p. 726-8.
5. Kumar, Abbas, Aster. Robbins basic pathology. 9th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2013. p. 784-5.
6. Wilmana PF, Gan S. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2012. h. 245.
7. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic & clinical pharmacology. 12th
ed. USA: The McGrawHill Companies; 2012. p. 643.
14
top related