new t e s i srepository.ub.ac.id/2351/1/eva vajriyanti.pdf · 2020. 4. 17. · tempat/tanggal lahir...
Post on 01-Nov-2020
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGARUH AUDITOR SPESIALIS INDUSTRI DAN
MEKANISME KOMITE AUDIT TERHADAP MANAJEMEN
LABA DENGAN PRUDENCE SEBAGAI
VARIABEL MODERASI
T E S I S
Untuk Memenuhi Pesyaratan
Memperoleh Gelar Magister
Oleh:
EVA VAJRIYANTI
156020310111018
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
PASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
T E S I S
PENGARUH AUDITOR SPESIALIS INDUSTRI DAN MEKANISME
KOMITE AUDIT TERHADAP MANAJEMEN LABA DENGAN
PRUDENCE SEBAGAI VARIABEL MODERASI
Oleh:
EVA VAJRIYANTI
156020310111018
telah dipertahankan didepan penguji
pada tanggal 1 Agustus 2017
dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
Imam Subekti, SE., M.Si., Ak., Ph.D Abdul Ghofar, SE., M.Si., M.Acc., Ak., DBA
Ketua Anggota
Mengetahui,
a/n. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya
Ketua Program Magister Akuntansi
Dr. Roekhudin, SE., M.Si., Ak.
NIP. 19621127 198802 1 001
LEMBAR IDENTITAS KOMISI PEMBIMBING DAN PENGUJI
Judul : PENGARUH AUDITOR SPESIALIS INDUSTRI DAN
MEKANISME KOMITE AUDIT TERHADAP
MANAJEMEN LABA DENGAN PRUDENCE SEBAGAI
VARIABEL MODERASI
Nama Mahasiswa : EVA VAJRIYANTI
Program Studi : AKUNTANSI
KOMISI PEMBIMBING
Pembimbing 1 : Imam Subekti, SE., M.Si., Ak., Ph.D
Pembimbing 2 : Abdul Ghofar, SE., M.Si., M.Acc., Ak., DBA
TIMPENGUJI
Dosen Penguji 1 : Dr. Lilik Purwanti, M.Si, Ak.
Dosen Penguji 2 : Dr. Rosidi, SE, MM, Ak.
Tanggal Ujian : 1 Agustus 2017
a/n. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Ketua Program Magister Akuntansi
Dr.. Roekhudin, SE., M.Si., Ak.
NIP. 19621127 198802 1 001
ORISINALITAS TESIS
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang
pengetahuan saya, di dalam naskah TESIS dengan judul:
PENGARUH AUDITOR SPESIALIS INDUSTRI DAN MEKANISME KOMITE
AUDIT TERHADAP MANAJEMEN LABA DENGAN PRUDENCE SEBAGAI
VARIABEL MODERASI
tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk
memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang
secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan
dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah TESIS ini dapat dibuktikan terdapat
unsur-unsur PLAGIASI, saya bersedia TESIS ini digugurkan dan gelar akademik
yang telah saya peroleh dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan
pasal 70).
Malang, 1 Agustus 2017
Mahasiswa,
Nama : Eva Vajriyanti
NIM : 156020310111018
PS : MAGISTER AKUNTANSI
PPS FEB UB
iv
RIWAYAT HIDUP
Nama : Eva Vajriyanti
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Singaraja, 21 Oktober 1994
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Alamat Rumah : Jalan Jalak Putih 1, Singaraja-Bali
Email : vajriyantieva@gmail.com
Pendidikan
2000-2006 MIN Singaraja
2006-2009 SMP Negeri 2 Singaraja
2009-2012 SMA Negeri 1 Singaraja
2012-2015 S1 Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Udayana
2015-2016 Program Profesi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya
2015-2017 S2 Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Berusahalah (berdoa dan berikhtiar), karena hasil tidak
akan pernah mengkhianati usaha.
Kunci bahagia: Cukup Allah bagi kita dan yakinlah pada
Allah tanpa keraguan sedikitpun.
Tesis ini kupersembahkan untuk:
Ibu dan Bapak tercinta, my endless love.
Terima kasih atas semua kasih sayang dan doa yang tidak pernah terputus.
Kakak-kakak dan seluruh keluarga, my precious.
Terima kasih atas kasih sayang dan dukungan yang super.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur saya haturkan kepada Allah S.W.T,
sang Maha Pencipta yang senantiasa mengiringi saya disepanjang hidup saya,
sang Maha Pemberi yang senantiasa memberikan saya kenikmatan tanpa batas.
Hanya karena berkat dan rahmat-Nya saya mampu menyelesaikan Tesis
berjudul “Pengaruh Auditor Spesialis Industri dan Mekanisme Komite Audit
terhadap Manajemen Laba dengan Prudence sebagai Variabel Moderasi”
dengan baik dan lancar. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
kelulusan dalam meraih derajat Magister Akuntansi Program Pasca Sarjana (S-2)
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unversitas Brawijaya. Penulis telah berusaha
dengan segenap kemampuan untuk menyelesaikan tesis ini, namun penulis
masih mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Besar harapan penulis
tesis ini dapat bermanfaat dan membantu semua pihak yang memerlukan.
Malang, Agustus 2017
Penulis
Eva Vajriyanti
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Tesis ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan arahan dari berbagai
pihak yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam
penyusunan tesis ini. Penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya
kepada;
1. Imam Subekti, SE., M.Si., Ak., Ph.D. selaku dosen pembimbing utama, atas
waktu, masukan, arahan, dan motivasi yang begitu berharga, sehingga
penulis tidak patah semangat dapat menyelesaikan tesis ini. Terima kasih
Pak, semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan nikmat-Nya pada
Bapak dan keluarga. Semoga cepat jadi guru besar ya Pak.
2. Abdul Ghofar, SE., M.Si., M.Acc., Ak., DBA selaku dosen pembimbing kedua,
yang senantiasa memberikan solusi serta masukan yang sangat berharga
dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih telah menjadi teman berdiskusi
dan inspirasi saya Pak. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan
nikmat-Nya pada Bapak dan keluarga. Semoga cepat jadi guru besar ya Pak.
3. Para penguji, Dr. Lilik Purwanti, M.Si, Ak.dan Dr. Rosidi, MM, Ak., yang telah
banyak memberikan masukan untuk menyempurnakan tesis saya.
4. Orang tua, kakak-kakak, kakak-kakak ipar, keponakan-keponakan yang
senantiasa memberikan doa dan dukungan. Terima kasih atas segala kasih
sayang yang tanpa batas, kalian adalah my endless love, I love you.
5. Para pimpinan lembaga Universitas Brawijaya, khususnya Program Studi
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, atas
segala fasilitas yang diberikan. Para dosen di Program Magister Akuntansi
yang telah memberi banyak ilmu selama saya menempuh perkuliahan. Tidak
lupa kepada para pegawai (mas dimas, mas wid, mas gigih, mbak tri dan
mbak ida) yang banyak membantu penulis dalam urusan administrasi.
viii
6. Konco kentel manis, Ranita, April, Easty, Dea, Mbok Wiwid, Dito, Hendra,
yang senantiasa sabar menghadapi kegilaan saya. Terima kasih sudah
menjadi teman diskusi, teman curhat, teman jalan bareng, teman in
everything, I love you. Tidak lupa juga kepada Hidayati, Mbak Atma, Iyus,
Ismi, Sisca, Ricky, Mbak Astri, Fera, si polos Hardi, kalian juga punya tempat
tersendiri dihatiku guys, I love you.
7. Teman-teman Joint Program angkatan 26. Terima kasih atas pertemanan
yang selama ini kita jalin dan atas berbagai diskusi selama di kelas.
Kebersamaan selama ini tidak akan pernah saya lupakan. Semoga kita bisa
keep in touch selamanya, dan see you on top guys.
8. Semua murid-murid les private saya (Anggiku tersayang, Anita, Ilham,
Hansel, Wahyu, Keisha, Dinar, Safira, Angel, Ratu, Tiara, Febri, Jihan, dan
banyak lagi yang tidak bisa saya tulis satu per satu), meskipun kalian tidak
berkontribusi langsung dalam penulisan tesis saya, tapi kalian sangat
membantu kakak untuk dapat uang tambahan shopping, hehe. Semoga ilmu
kakak bermanfaat dan bisa jadi amal jariyah kakak ya, jangan pernah lelah
dalam belajar adik-adikku sayang.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. i IDENTITAS KOMISI PEMBIMBING DAN PENGUJI ..................................... ii PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................... iii RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................... v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ vii DAFTAR ISI .................................................................................................. ix DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv ABSTRAK .................................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang masalah ............................................................... 1 1.2 Motivasi Penelitian ........................................................................ 12 1.3 Rumusan Masalah ........................................................................ 13 1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................... 14 1.5 Kontribusi Penelitian ..................................................................... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori .................................................................................. 17 2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory) .............................................. 17 2.1.2 Teori Akuntansi Positif (Accounting Positive Theory) ........... 19 2.1.3 Teori Prospek (Prospect Theory) ......................................... 21 2.1.4 Manajemen Laba ................................................................. 22
2.1.4.1 Definisi Manajemen Laba ........................................ 22 2.1.4.2 Pola Manajemen Laba ............................................. 23 2.1.4.3 Motivasi untuk Manajemen Laba ............................. 24
2.1.5 Manajemen Laba Akrual ...................................................... 25 2.1.6 Manajemen Laba Riil ........................................................... 31 2.1.7 Auditor Spesialis Industri ...................................................... 33 2.1.8 Tata Kelola Perusahaan ....................................................... 35 2.1.9 Komite Audit ........................................................................ 37 2.1.10 Mekanisme Komite Audit ................................................... 39 2.1.11 Prudence ........................................................................... 41
2.2 Kajian Empiris ............................................................................... 44 2.2.1 Manajer Melakukan Manajemen Laba untuk Menghindari
Kerugian............................................................................... 44 2.2.2 Auditor Spesialis Industri dan Manajemen Laba................... 45 2.2.3 Mekanisme Komite Audit dan Manajemen Laba .................. 46 2.2.4 Mekanisme Komite Audit, Manajemen Laba dan Prudence . 48
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep Penelitian ......................................................... 49 3.2 Hiptesis Penelitian ........................................................................ 52
3.2.1 Manajer Melakukan Manajemen Laba untuk Menghindari Kerugian............................................................................... 52
3.2.2 Pengaruh Auditor Spesialis Industri terhadap Manajemen Laba ..................................................................................... 53
x
3.2.3 Pengaruh Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen
Laba ..................................................................................... 55 3.2.4 Prudence dalam Memoderasi Pengaruh Mekanisme Komite
Audit terhadap Manajemen Laba dan Prudence .................. 59
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ............................................................................. 62 4.2 Populasi dan Sampel .................................................................... 62 4.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data .......................................... 63 4.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ............................. 64
4.4.1 Variabel Dependen ............................................................. 64 4.4.1.1 Manajemen Laba Akrual ........................................... 65 4.4.1.2 Abnormal Cash Flow of Operation (ABNCFO) .......... 67 4.4.1.3 Abnormal Production Cost (ABNPROD) ................... 68 4.4.1.4 Abnormal Dicretionary Expense (ABNDISCR) .......... 69
4.4.2 Variabel Independen ........................................................... 70 4.4.2.1 Auditor Spesialis Industri .......................................... 70 4.4.2.2 Ukuran Komite Audit ................................................ 70 4.4.2.3 Independensi Komite Audit ....................................... 71 4.4.2.4 Keahlian Komite Audit .............................................. 71 4.4.2.5 Rapat Komite Audit .................................................. 71
4.4.3 Variabel Moderasi ............................................................... 72 4.5 Analisis Data ................................................................................. 73 4.5.1 Analisis Statistik Deskriptif ................................................... 73 4.5.2 Uji Asumsi Klasik ................................................................. 73
4.5.2.1 Uji Normalitas ........................................................... 73 4.5.2.2 Uji Multikolinearitas .................................................. 74 4.5.2.3 Uji Heteroskedastisitas ............................................. 74 4.4.2.4 Autokorelasi ............................................................. 74
4.6 Pengujian Hipotesis ..................................................................... 75 4.7 Model Analisis Data ..................................................................... 75
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Analisis Model Estimasi Manajemen Laba ........................... 77 5.1.1 Hasil Uji Asumsi Klasik Model Estimasi Manajemen Laba ... 77 5.1.2 Hasil Analisis Regresi Model Estimasi Manajemen Laba ..... 80
5.2 Hasil Analisis Pengujian Hipotesis ................................................ 81 5.2.1 Hasil Analisis Statistik Deskriptif .......................................... 82 5.2.2 Hasil Analisis Regresi Linier ................................................. 85 5.2.3 Hasil Uji Asumsi Klasik Regresi Berganda Hierarki .............. 89
5.2.3.1 Hasil Uji Normalitas .................................................. 90 5.2.3.2 Hasil Uji Multikolinearitas .......................................... 90 5.2.3.3 Hasil Uji Heteroskedastisitas .................................... 91 5.2.3.4 Hasil Autokorelasi ..................................................... 92
5.2.4 Hasil Analisis Regresi Berganda Hierarki ............................. 93 5.3 Pembahasan Hasil Pengujian Hipotesis........................................ 103
5.3.1 Manajer Melakukan Manajemen Laba Untuk Menghindari Kerugian .............................................................................. 103
5.3.2 Pengaruh Auditor Spesialis Industri terhadap Manajemen Laba .................................................................................... 105
5.3.3 Pengaruh Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen Laba .................................................................................... 107
xi
5.3.4 Prudence dalam memoderasi Pengaruh Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen Laba ......................................... 111
BAB VI KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ................................................................................... 114 6.2 Implikasi Penelitian ....................................................................... 116
6.2.1 Implikasi Teoritis .................................................................. 116 6.2.2 Implikasi Praktis ................................................................... 117 6.2.3 Implikasi Kebijakan .............................................................. 117
6.3 Keterbatasan dan Saran ............................................................... 118 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 119 LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................. 127
xii
DAFTAR TABEL
4.1 Prosedur Pemilihan Sampel ................................................................. 63 5.1 Hasil Uji Multikolinearitas Model Estimasi Manajemen Laba ................ 78 5.2 Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Estimasi Manajemen Laba ........... 79 5.3 Hasil Uji Autokorelasi Model Estimasi Manajemen Laba ...................... 80 5.4 Hasil Analisis Regresi Model Estimasi Manajemen Laba ..................... 81 5.5 Hasil Analisis Statistik Deskriptif ........................................................... 82 5.6 Perusahaan yang Teridentifikasi Melakukan Manajemen Laba ............ 86 5.7 Hasil Uji Multikolinearitas Analisis Regresi Linier ................................. 87 5.8 Hasil Uji Heteroskedastisitas Analisis Regresi Linier ............................ 87 5.9 Hasil Uji Autokorelasi Analisis Regresi Linier ....................................... 88 5.10 Hasil Analisis Regresi Linier ................................................................. 89 5.11 Hasil Uji Multikolinearitas Model Regresi Hierarki ................................ 91 5.12 Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Penelitian ..................................... 92 5.13 Hasil Uji Autokorelasi Model Penelitian ................................................ 92 5.14 Hasil Analisis Regresi Berganda Hierarki ............................................. 93 5.15 Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis ................................................... 102
xiii
DAFTAR GAMBAR
3.1 Kerangka Konsep Penelitian ................................................................ 52
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Nama Perusahaan Sampel .................................................... 128 Lampiran 2 Statistik Deskriptif Data Estimasi Manajemen Laba ............... 130 Lampiran 3 Hasil Analisis Regresi Untuk Estimasi Manajemen Laba (SHORTDA)........................................................................... 131 Lampiran 4 Hasil Analisis Regresi Untuk Estimasi Manajemen Laba (LONGDA) ............................................................................. 133 Lampiran 5 Hasil Analisis Regresi Untuk Estimasi Manajemen Laba (ABNCFO) ............................................................................. 135 Lampiran 6 Hasil Analisis Regresi Untuk Estimasi Manajemen Laba (ABNPROD) .......................................................................... 137 Lampiran 7 Hasil Analisis Regresi Untuk Estimasi Manajemen Laba (ABNDISCR).......................................................................... 139 Lampiran 8 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian .................................... 141 Lampiran 9 Hasil Analisis Regresi Untuk Hipotesis 1 dengan Variabel Dependen SHORTDA ............................................................ 142 Lampiran 10 Hasil Analisis Regresi Untuk Hipotesis 1 dengan Variabel Dependen LONGDA .............................................................. 144 Lampiran 11 Hasil Analisis Regresi Untuk Hipotesis 1 dengan Variabel Dependen ABNCFO .............................................................. 146 Lampiran 12 Hasil Analisis Regresi Untuk Hipotesis 1 dengan Variabel Dependen ABNPROD ........................................................... 148 Lampiran 13 Hasil Analisis Regresi Untuk Hipotesis 1 dengan Variabel Dependen ABNDISCR ........................................................... 150 Lampiran 14 Hasil Analisis Regresi Berganda Hierarki dengan Variabel Dependen ABNCFO .............................................................. 152 Lampiran 15 Hasil Analisis Regresi Berganda Hierarki dengan Variabel Dependen ABNPROD ........................................................... 155
xv
ABSTRAK
Eva Vajriyanti. Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, 2017. Pengaruh Auditor Spesialis Industri dan Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen Laba dengan Prudence sebagai Variabel Moderasi. Ketua Pembimbing: Imam Subekti, Komisi Pembimbing: Abdul Ghofar. Penelitian ini berfokus pada perusahaan yang melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian. Penelitin ini memiliki tujuan untuk menguji pengaruh auditor spesialis industri dan mekanisme Komite Audit yang terdiri dari ukuran, independensi, keahlian, dan rapat Komite Audit terhadap manajemen laba, serta menguji pengaruh prudence dalam memperkuat pengaruh negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba. Data penelitian dikumpulkan dari 83 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama empat tahun pengamatan (2012-2015). Penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa manajer melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian dengan menurunkan arus kas operasional dan memperbesar biaya produksi. Penelitian ini memberikan bukti empris bahwa auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola biaya produksi, sedangkan auditor spesialis industri berpengaruh positif terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional. Mekanisme Komite Audit yang terdiri dari ukuran, keahlian, dan rapat Komite Audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi. Penelitian ini juga memberikan bukti empiris bahwa prudence tidak memoderasi pengaruh ukuran, independensi, dan rapat Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi, prudence juga tidak memoderasi pengaruh keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional, namun prudence memperlemah pengaruh negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan biaya produksi. Kata Kunci: Auditor spesialis industri, Manajemen laba akrual, Manajemen laba riil, Mekanisme komite audit, Prudence
xvi
ABSTRACT
Eva Vajriyanti. Master of Accounting, Faculty of Economics and Business, Brawijaya University, 2017. The Effect of Industrial Specialist Auditor and the Mechanism of Audit Committee on Earnings Management with Prudence as Moderating Variable. Supervisor: Imam Subekti, Co-Supervisor: Abdul Ghofar. This research focused on the firm that performs earnings management to avoid negative earnings. This research is aimed at testing the effect of industrial specialist auditor and the mechanism of audit committee which consist of size, independence, expertise, and the audit committee meeting on earnings management, in addition to test the effect of prudence in strengthening the negative effect of the mechanism of audit committee on earnings management. The data were collected from 83 manufacturing companies during four years of observation (2012-2015). This study provides empirical evidence that manager performs earnings management to avoid negative earnings by minimizing cash flow from operations and increasing production costs. This study provides empirical evidence that the industrial specialist auditor has negative effect on earnings management by production costs, meanwhile, industrial specialist auditor has positive effect on earnings management by cash flow from operations. The mechanism of the audit committee which consist of size, expertise, and the audit committee meeting has no effect on earnings management. This study also provides empirical evidence that prudence does not moderate the effect of the size, independence, and the audit committee meeting on earnings management by cash flow from operations and production costs, prudence also does not moderate the effect of the expertise of the audit committee on earnings management by cash flow from operation, meanwhile, prudence weaken the negative effect of the expertise of the audit committee on earnings management by production costs. Keywords: Accrual earnings management, Industrial specialist auditor,
Mechanism of audit committee, Prudence, Real earnings management.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manajemen laba merupakan isu yang menarik banyak perhatian
akademisi dan praktisi dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini terjadi seiring
dengan munculnya berbagai fenomena manajemen laba di berbagai perusahaan.
PT. Kimia Farma, PT. Indofarma, dan PT. Katarina Utama merupakan contoh
perusahaan di Indonesia yang melakukan manajemen laba. PT. Kimia Farma
menyajikan laba lebih tinggi sebesar Rp 32,6 milyar pada tahun 2001 (Lestari,
2014). PT. Indofarma juga menyajikan laba lebih tinggi pada tahun 2001 (Armein,
2005). PT. Katarina Utama berkaitan dengan kasus menipulasi laporan
keuangan tahun 2009 (Surgery, 2012). Kasus baru muncul dari PT. Inovisi
Infracom Tbk (INVS) yang perdagangan sahamnya di suspensi selama empat
bulan di tahun 2014. Hal ini terkait dengan temuan Bursa Efek Indonesia (BEI)
terhadap adanya beberapa salah saji laporan keuangan pada tahun 2014, yang
menyebabkan aset menjadi lebih tinggi (Anonim, 2015). Penelitian-penelitian
sebelumnya, seperti penelitian Ferdawati (2009), Subekti (2012b), Lestari (2014),
Vajriyanti et al. (2015), serta Aditama & Purwaningsih (2016) telah membuktikan
bahwa manajemen laba terjadi pada banyak perusahaan di Indonesia.
Studi-studi sebelumnya mengenai manajemen laba lebih banyak berfokus
pada manajemen laba akrual. Graham, Harvey, & Rajgopal (2005) menemukan
bukti bahwa manajer lebih menyukai manajemen laba riil dibandingkan dengan
manajemen laba akrual. Penelitian Cohen & Zarowin (2010) menemukan bahwa
perusahaan yang sebelumnya melakukan manajemen laba akrual untuk
meningkatkan kinerjanya, maka akan berubah melakukan manajemen laba riil
pada periode setelahnya. Gunny (2010); Zang (2012); Zhu, Lu, Shan, & Zhang
2
(2015) juga menemukan bahwa kini perusahaan utamanya lebih memilih
melakukan manajemen laba melalui aktivitas riil daripada melalui pengelolaan
komponen akrual, namun manajer juga menggunakan kedua cara tersebut untuk
mencapai target laba yang diinginkan. Bukti empiris di Indonesia juga
menemukan bahwa perusahaan publik di Indonesia cenderung melakukan
manajemen laba riil daripada manajemen laba akrual untuk menghindari
kerugian (Subekti, 2012b).
Graham et al. (2005) menduga bahwa penekanan manajer yang lebih
besar pada manajemen laba riil disebabkan oleh keengganan mereka untuk
menggunakan manajemen laba berbasis akuntansi, sebagai akibat dari skandal
akuntansi Enron dan WorldCom. Hal ini juga terkait dengan semakin besarnya
keterbatasan manajer dalam mengelola akrual. Generally Accepted Accounting
Principles (GAAP) yang bersifat rule based memberikan aturan sampai ke hal-hal
yang kecil. Hal ini menyebabkan aturan-aturan dalam standar menjadi sangat
ketat, sehingga membatasi manajer untuk mengelola akrual. Zang (2012) juga
menyebutkan bahwa manajemen laba akrual dibatasi oleh pengawasan pihak
luar dan fleksibilitas. Manajemen laba akrual sering menjadi sorotan auditor,
sedangkan manajemen laba riil kurang disoroti oleh auditor dan regulator, sebab
tindakan manajemen laba riil mirip dengan keputusan bisnis normal (Graham et
al., 2005). Fleksibilitas terkait dengan kemampuan manajemen laba riil yang
dapat dilakukan di sepanjang periode. Ketika target laba tidak tercapai melalui
manajemen laba riil, maka manajer akan melakukan manajemen laba akrual di
akhir periode, sehingga hal ini dapat mengurangi risiko perusahaan apabila
hanya mengandalkan pada manajemen laba akrual saja.
Manajemen laba merupakan isu yang kontroversial. Dechow & Skinner
(2000), Riduwan (2010), dan Febriyanti et al. (2014) mengungkapkan ada
banyak pro dan kontra terkait manajemen laba. Pihak yang pro menganggap
3
bahwa manajemen laba merupakan hal yang boleh dilakukan sepanjang tidak
melanggar prinsip akuntansi, serta menganggap manajemen laba bermanfaat
untuk melindungi perusahaan dalam menghadapi berbagai kontrak dan
mengantisipasi kejadian yang tidak terduga. Pihak yang kontra menganggap
bahwa manajemen laba sama saja dengan manipulasi laba, manajemen laba
dapat mengurangi kualitas laba dan keandalan informasi dalam laporan
keuangan, serta dapat menyesatkan stakeholders dalam mengambil keputusan.
Manajemen laba merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti,
karena hal ini dapat merugikan perusahaan dan stakeholders. Manajemen laba
bahkan dapat menyebabkan kebangkrutan, hal ini dibuktikan dengan runtuhnya
perusahaan-perusahaan nomer wahid di Amerika Serikat akibat manajemen laba
yang mengarah ke fraud. Enron Corp, Xerox Corporation, Walt Disney Company,
dan Worldcom merupakan beberapa perusahaan yang mengalami kebangkrutan
akibat skandal kejahatan korporat melalui manipulasi pembukuan (Irianto, 2003).
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, maka penelitian
ini tertarik untuk menguji beberapa faktor yang dapat menurunkan manajemen
laba. Fokus penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan manajemen laba
untuk menghindari kerugian. Hal ini dikarenakan perusahaan memiliki tekanan
yang kuat untuk dapat memenuhi harapan para stakeholders, salah satunya
untuk memiliki kinerja baik yang tercermin dari laba yang positif (Handayani &
Rachadi, 2009). Hayn (1995), Burgstahler & Dichev (1997), Roychowdhury
(2006), dan Subekti (2012b) menemukan bahwa manajer melakukan manajemen
laba untuk menghindarkan perusahaan dalam melaporkan kerugian. Pertama-
tama penelitian ini menguji apakah manajer melakukan manajemen laba untuk
menghindari kerugian. Penelitian ini selanjutnya menguji faktor-faktor yang dapat
membatasi manajemen laba. Penelitian ini menggunakan audit sebagai faktor
yang dapat menurunkan manajemen laba. Mekanisme audit dapat dilakukan
4
secara internal maupun eksternal. Penelitian ini menggunakan auditor spesialis
industri sebagai mekanisme audit eksternal, dan menggunakan mekanisme
Komite Audit sebagai mekanisme audit internal. Penggunaan kedua variabel ini
sehubungan dengan Jensen & Meckling (1976) yang mengungkapkan bahwa
auditor dan mekanisme tata kelola perusahaan merupakan suatu mekanisme
yang dapat memecahkan masalah agensi atau yang dapat membatasi self
interest agen.
Teori Prospek mengungkapkan bahwa keputusan yang diambil terkait
keuntungun atau kerugian didefinisikan secara relatif pada suatu titik acuan
(reference point). Terkait tindakan manajer dalam menghindari kerugian, maka
titik acuan yang digunakan adalah titik nol, seperti pada penelitian Hayn (1995),
Burgstahler & Dichev (1997), Roychowdhury (2006), dan Subekti (2012a).
Manajer akan melakukan manajemen laba agar laba berada di atas titik acuan
(titik nol). Tindakan ini dilakukan manajer karena laba negatif mengindikasikan
kinerja yang buruk, serta memberikan sinyal negatif kepada investor. Kerugian
menyebabkan perusahaan harus menghadapi biaya transaksi yang lebih mahal
dengan stakeholders (Burgstahler & Dichev, 1997).
Jensen & Meckling (1976) menemukan bahwa auditor berperan dalam
mekanisme pengawasan untuk mengurangi biaya agensi, salah satunya yang
timbul karena insentif manajer untuk mengelola laba. Auditor melakukan
pengawasan terhadap konflik kepentingan yang muncul dalam perusahaan.
Kualitas auditor sangat mempengaruhi hasil audit. Kim, Chuang, & Firth (2003);
Memis & Jetenak (2012) menemukan bahwa auditor Big 4 dapat memonitor dan
mendeteksi tindakan oportunis manajer. Ini berarti bahwa auditor yang
berkualitas dapat memonitor dan mendeteksi perusahaan yang melakukan
manajemen laba, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin berkualitas
auditor, maka semakin kecil kemungkinan manajemen laba dilakukan.
5
Kualitas auditor tidak hanya dapat dilihat dari brand-name, saat ini
kualitas auditor juga dapat dilihat dari spesialisasi industrinya. Auditor spesialis
industri cenderung berinvestasi lebih banyak dalam perekrutan dan pelatihan
staf, teknologi informasi, serta teknologi audit, daripada auditor non-spesialis
(Krishnan, 2003b). Auditor spesialis juga memiliki pengetahuan dan keahlian
yang lebih spesifik mengenai industri (Dunn & Mayhew, 2004). Solomon, Shields,
& Whittington (1999) menemukan bahwa pengetahuan spesifik auditor mengenai
industri akan mempengaruhi kinerja auditor. Auditor yang memiliki banyak
pengalaman dalam suatu industri tertentu memiliki kemampuan yang lebih tinggi
dalam mendeteksi kesalahan (Wright & Wright, 1997). Pengalaman yang lebih
banyak dalam suatu industri diharapkan akan meningkatkan efektivitas auditor
dalam mengembangkan pengetahuan dasar mengenai risiko dan pendekatan
audit. Auditor yang expert dalam industri tertentu akan menghasilkan audit yang
lebih berkualitas, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam
mendeteksi manajemen laba.
Terdapat pemisahan kepemilikan dan pengelolaan dalam perusahaan.
Pemilik perlu melakukan pengawasan untuk memonitor kinerja manajer yang
mengelola perusahaan. Indonesia menganut sistem two-tier yang menyerahkan
fungsi pengawasan pada Dewan Komisaris. Dewan Komisaris membentuk
komite-komite guna meningkatkan efektivitas pengawasan. Komite Audit
merupakan mekanisme terpenting dalam tata kelola perusahaan yang dapat
menghambat manajemen laba, sebab Komite Audit merupakan bagian yang
bertanggung jawab untuk memastikan akurasi dan reliabilitas laporan keuangan
yang disediakan manajemen (Ayemere & Elijah, 2015).
FCGI (2001) menjabarkan mengenai tiga tanggung jawab Komite Audit.
Pertama, Komite Audit bertanggung jawab terhadap laporan keuangan, guna
memastikan bahwa laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan telah
6
mencerminkan keadaan sebenarnya mengenai kondisi keuangan, hasil usaha
dan rencana jangka panjang perusahaan. Kedua, Komite Audit bertanggung
jawab terhadap tata kelola perusahaan, guna memastikan bahwa perusahaan
menjalankan usahanya sesuai dengan ketentuan hukum dan undang-undang,
menjalankan bisnisnya secara etis, serta melakukan pengawasan dengan efektif
terkait benturan kepentingan dan kecurangan yang terjadi di perusahaan. Ketiga,
komite audit bertanggung jawab dalam pengawasan perusahaan, termasuk
memahami berbagai hal dan masalah yang berpotensi mengandung risiko, serta
bertanggung jawab dalam mengawasi auditor internal. Wolnizer (1995)
menyebutkan bahwa implementasi tanggung jawab Komite Audit dapat
meningkatkan kredibilitas, reliabilitas, dan objektivitas laporan keuangan,
meningkatkan akuntabilitas manajemen, mengurangi sifat oprtunis, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengendalian internal.
Melihat masih banyaknya kasus manajemen laba, ini membuktikan
bahwa kehadiran Komite Audit tidak serta merta dapat membatasi manajemen
laba (Ayemere & Elijah, 2015). Keberadaan Komite Audit bukanlah jaminan untuk
membatasi manajemen laba, tetapi bagaimana mekanisme Komite Audit yang
berperan dalam membatasi manajemen laba dan meningkatkan kepercayaan
stakeholders terkait laporan keuangan. Hal ini dibuktikan oleh Alzoubi & Selamat
(2012) yang menemukan bahwa Komite Audit yang efektif mampu menurunkan
manajemen laba. Komite audit yang efektif mampu meningkatkan kredibilitas,
reliabilitas, dan objektivitas laporan keuangan, serta melindungi reputasi
perusahaan dan kepentingan pemilik saham (Carcello et al., 2002). Mekanisme
Komite Audit yang baik akan mampu menjamin berlangsungnya tata kelola
perusahaan yang baik, sehingga pengelolaan perusahaan menjadi lebih
transparan, adil dan bertanggung jawab, serta pada akhirnya mampu
menurunkan manajemen laba.
7
Mekanisme Komite Audit tercermin melalui ukuran Komite Audit, jumlah
rapat Komite Audit, independensi Komite Audit, serta keahlian Komite Audit
(Alzoubi & Selamat, 2012; Ayemere & Elijah, 2015). Ukuran Komite Audit yang
terlalu kecil dapat menurunkan efektivitas pemantauan dan efisiensi dalam
pemenuhan tugas mereka (Vafeas, 2005). Semakin besar ukuran Komite Audit,
diharapkan pengawasan semakin meningkat, sehingga dapat menurunkan
manajemen laba.
Conger et al. (1998) mengemukakan bahwa rapat yang lebih sering
dilakukan mampu meningkatkan efektivitas dewan. Komite audit yang bertemu
secara teratur berhubungan dengan pengawasan yang lebih efektif. Dewan yang
lebih aktif akan lebih mungkin untuk melakukan tugas mereka sesuai dengan
kepentingan pemegang saham dan lebih berupaya dalam memantau integritas
laporan keuangan (Alzoubi & Selamat, 2012). Sehubungan dengan jumlah rapat
Komite Audit, Xie et al. (2003) menemukan bahwa jumlah rapat yang lebih tinggi
berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah.
Independensi merupakan kualitas penting yang dapat memberikan
kontribusi untuk efektivitas fungsi pengawasan (Alzoubi & Selamat, 2012).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Komite Audit independen berhubungan
dengan manajemen laba yang lebih rendah (Bedard et al., 2004; Davidson et al.,
2005; Klein, 2002; Xie et al., 2003). Hal ini disebabkan karena Komite Audit
independen mampu memonitor manajemen secara efektif. Komite Audit
Independen akan memberikan penilaian secara independen tanpa dipengaruhi
oleh pihak lain (Wolnizer, 1995).
Komite Audit bertanggung jawab terhadap laporan keuangan, guna
memastikan bahwa laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan telah
mencerminkan keadaan sebenarnya. Berdasarkan hal tersebut, maka
merupakan hal penting apabila Komite Audit memiliki keahlian dalam bidang
8
keuangan dan akuntansi. Alzoubi & Selamat (2012) menyebutkan bahwa Komite
Audit yang memiliki pengetahuan terkait keuangan dan akuntansi akan
meningkatkan kinerja Komite Audit. Peningkatan kinerja Komite Audit diharapkan
dapat berperan dalam menurunkan manajemen laba. Hal ini dibuktikan oleh
Bedard et al. (2004) yang menemukan bahwa keahlian keuangan Komite Audit
dapat mengurangi kesempatan mengelola laba secara oportunis.
Al-Thuneibat, Al-Angari, & Al-Saad (2014) melakukan penelitian untuk
menyelidiki kepatuhan perusahaan terhadap persyaratan tata kelola perusahaan
dan dampaknya terhadap manajemen laba. Penelitian tersebut menemukan
bahwa tidak ada hubungan signifikan antara mekanisme tata kelola perusahaan
yang terdiri dari audit internal, Komite Audit dan dewan direksi dengan
Discretionary Accrual. Mohamad et al. (2012) menemukan bahwa tidak ada
pengaruh antara keahlian, independensi, dan rapat Komite Audit terhadap
manajemen laba. Chandrasegaram et al. (2013) juga menemukan bahwa ukuran
dan independensi Komite Audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
Hubungan negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba ditemukan
dalam penelitian Amar (2014) yang menemukan pengaruh negatif ukuran Komite
Audit terhadap manajemen laba, Bedard et al. (2004) yang menemukan
pengaruh negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba, serta
Ayemere & Elijah (2015) dan Alzoubi & Selamat (2012) yang menemukan
pengaruh negatif ukuran, independensi, keahlian, dan rapat Komite Audit
terhadap manajemen laba.
Inkonsistensi hasil penelitian mengenai pengaruh mekanisme Komite
Audit terhadap manajemen laba mendorong peneliti untuk memasukkan variabel
moderasi. Peneliti menduga ada variabel lain yang selama ini diabaikan oleh
penelitian-penelitian sebelumnya, dan variabel ini mampu menginteraksi
pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba. Penelitian ini
9
menggunakan prudence sebagai variabel moderasi. Prudence atau kehati-hatian
merupakan prinsip akuntansi yang menggantikan konservatisme semenjak
konvergensi IFRS (Wistawan, 2015). Prudence adalah tingkat kehati-hatian
dalam melakukan penilaian untuk membuat estimasi yang diperlukan dalam
kondisi ketidakpastian, sehingga aset atau pendapatan tidak disajikan lebih tinggi
dan kewajiban atau beban tidak disajikan lebih rendah (Hoogervorst, 2012).
Teori Akuntansi Positif menggambarkan mengenai berbagai pilihan
manajemen atas kebijakan akuntansi yang dapat mempengaruhi angka-angka
akuntansi. LaFond & Roychowdhury (2008) mengungkapkan bahwa dalam
kondisi ketidakpastian manajemen akan memilih perlakuan akuntansi yang
kurang menguntungkan. Berbagai pilihan metode akuntansi memungkinkan
perusahaan untuk memilih metode yang dampaknya terhadap laba adalah
cenderung konservatif (Wistawan, 2015). Sikap kehati-hatian yang melekat pada
konservatisme menyebabkan konservatisme dapat membatasi sifat oportunis
manajer dalam laporan keuangan (Guay & Verrecchia, 2006; Chen at al., 2007).
Basu (1997) mengungkapkan bahwa konservatisme merupakan salah satu cara
dalam mewujudkan efisiensi kontrak. Konservatisme akan membatasi
pembayaran yang bersifat oportunis kepada manajer dan berbagai pihak dalam
kontrak (Watts, 2003). Kekuatan pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap
manajemen laba akan dipengaruhi oleh sikap prudence manajer dalam
menghadapi ketidakpastian, hal tersebut tercermin dalam kebijakan akuntansi
yang dipilih manajer. Berdasarkan kemampuan prudence dalam membatasi sifat
oportunis manajer, maka manajer yang prudence diharapkan dapat memperkuat
pengaruh negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba.
Penelitian ini menguji pengaruh auditor spesialis industri dan mekanisme
Komite Audit terhadap manajemen laba. Kebaruan penelitian ini terletak pada
alat ukur yang digunakan pada variabel yang diteliti, yaitu manajemen laba,
10
auditor spesialis industri dan mekanisme Komite Audit. Kebaruan selanjutnya
adalah penggunaan variabel prudence dalam memoderasi pengaruh mekanisme
Komite Audit terhadap manajemen laba. Penelitian ini juga menguji apakah
manajer melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian. Pengujian ini
dilakukan dengan mengelompokkan perusahaan menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok yang diduga melakukan manajemen laba dan yang tidak melakukan
manajemen laba. Earning per share (EPS) digunakan sebagai alat ukur untuk
membedakan kedua kelompok tersebut, seperti pada penelitian Subekti (2012a).
EPS digunakan sehubungan dengan kondisi perusahaan di Indonesia yang
sebagian besar merupakan family firm (Claessens, Djankov, & Lang, 2000), dan
konflik agensi yang terjadi adalah antara pemegang saham pengendali dan non-
pengendali (Morck & Young, 2003). Dividen merupakan salah satu tujuan utama
pemegang saham non-pengendali, sehingga EPS merupakan hal yang sangat
penting bagi pemegang saham non-pengendali, sebab EPS akan menentukan
jumlah dividen yang akan dibagikan perusahaan (Subekti , 2012a).
Penelitian ini menggunakan lima proksi dalam mengukur manajemen
laba, seperti yang digunakan oleh Subekti (2012b), yaitu short term discretionary
accruals, long term discretionary accruals, abnormal cash flow from operation,
abnormal production cost, dan abnormal dicretionary expense. Model
pengukuran Subekti (2012b) digunakan karena model ini telah dimodifikasi untuk
disesuaikan dengan keadaan perekonomian di Indonesia, sehingga penggunaan
model ini dapat memberikan hasil yang lebih baik. Penggunaan lima proksi ini
terkait dengan pergeseran manajemen laba akrual ke manajemen laba riil,
namun manajer tetap menggunakan keduanya untuk mencapai target laba.
Penelitian ini akan menyempurnakan penelitian-penelitian sebelumnya yang lebih
berfokus pada manajemen laba akrual, sehingga penelitian ini akan memberikan
bukti empiris yang lebih lengkap mengenai manajemen laba.
11
Kebanyakan penelitian sebelumnya menggunakan brand name (Big 4
dan Non-big 4) dalam mengukur kualitas auditor, seperti penelitian Kim et al.
(2003), Memis & Jetenak (2012), dan Kouaib & Jarboui (2014). Penelitian ini
menggunakan auditor spesialis industri dalam menilai kualitas audit. Auditor
spesialis industri diukur menggunakan jumlah klien auditor dalam industri yang
sama, seperti yang digunakan dalam penelitian Balsam et al. (2003).
Penggunaan jumlah klien berdasarkan alasan bahwa auditor yang melakukan
audit secara berulang pada banyak perusahaan dalam industri yang sama
memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam industri tersebut. Hal tersebut
akan meningkatkan kemampuan auditor dalam mendeteksi kesalahan dan
kecurangan yang dilakukan manajer, sehingga mampu meminimalisir
manajemen laba.
Penelitian ini menggunakan pengukuran yang lebih menyeluruh
mengenai mekanisme Komite Audit. Mekanisme Komite Audit dalam penelitian
ini terdiri dari ukuran, independensi, keahlian, dan jumlah rapat Komite Audit.
Mekanisme Komite Audit tersebut merupakan mekanisme yang digunakan dalam
penelitian Larcker et al. (2007), Alzoubi & Selamat (2012), serta Ayemere &
Elijah (2015). Penggunaan pengukuran ini akan memberikan bukti empiris yang
lengkap mengenai mekanisme Komite Audit.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini
menarik untuk dilakukan. Penelitian ini dapat menutup research gap terkait
pergeseran manajemen laba, dari manajemen laba akrual ke manajemen laba
riil. Penelitian ini juga dapat menutup gap yang terjadi karena inkonsistensi hasil
penelitian sebelumnya mengenai pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap
manajemen laba. Penelitian ini dapat memberikan bukti mengenai tindakan
manajemen laba yang dilakukan manajer untuk menghindari kerugian, serta
memberikan bukti empiris yang lebih lengkap mengenai pemecahan masalah
12
manajemen laba, dengan menguji beberapa variabel yang dapat menurunkan
manajemen laba, yaitu: (a) auditor spesialis industri, (b) mekanisme Komite Audit
yang terdiri dari ukuran, independensi, keahlian dan rapat Komite Audit, serta (c)
prudence dalam memoderasi pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap
manajemen laba.
1.2 Motivasi Penelitian
Motivasi penelitian ini berdasarkan fenomena yang terjadi di berbagai
Negara, termasuk juga Indonesia, yaitu manajemen laba yang kerap dilakukan
oleh berbagai perusahaan. Manajemen laba merupakan fenomena yang menarik
untuk diteliti, karena hal ini dapat merugikan perusahaan dan stakeholders,
bahkan manajemen laba dapat menyebabkan kebangkrutan. Motivasi lainnya
terkait dengan isu penerapan good corporate governance yang semakin gencar
dipromosikan di berbagai Negara, dengan tujuan agar perusahaan dapat
beroperasi secara bertanggung-jawab, transparan, dan adil. Manajemen laba
merupakan tindakan yang tidak sejalan dengan tujuan yang diharapkan good
corporate governance.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penelitian ini tertarik untuk dilakukan,
guna memberikan solusi yang dapat menurunkan manajemen laba. Penelitian ini
menguji beberapa variabel yang dapat menurunkan manajemen laba, yaitu: (a)
auditor spesialis industri, dan (b) mekanisme Komite Audit yang terdiri dari
ukuran, independensi, keahlian, dan rapat Komite Audit. Adanya inkonsistensi
hasil mengenai pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba
mendorong peneliti untuk mengembangkan penelitian ini. Penelitian ini
selanjutnya menguji prudence dalam memoderasi pengaruh mekanisme Komite
Audit terhadap manajemen laba. Prudence diharapkan dapat memperkuat
pengaruh negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba.
13
1.3. Rumusan Masalah
Penelitian ini berfokus pada perusahaan yang melakukan manajemen
laba untuk menghindari kerugian. Penelitian ini menguji mengenai pengaruh
auditor spesialis industri, mekanisme Komite Audit (ukuran, independensi,
keahlian, dan rapat Komite Audit), serta interaksi mekanisme Komite Audit dan
prudence terhadap manajemen laba yang diukur dengan lima proksi, yaitu short
term discretionary accruals, long term discretionary accruals, abnormal cash flow
from operation, abnormal production cost, dan abnormal dicretionary expense.
Pertama-tama penelitian ini menguji tindakan manajemen laba akrual dan
riil yang dilakukan oleh manajer untuk menghindari kerugian. Pengujian pertama
akan memberikan bukti empiris mengenai cara atau metode manajer dalam
melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian. Berdasarkan hasil
pengujian pertama, maka pengujian selanjutnya (pengaruh auditor spesialis
industri, mekanisme Komite Audit, serta interaksi mekanisme Komite Audit dan
prudence terhadap manajemen laba) hanya akan menggunakan proksi
manajemen laba yang signifikan atau dengan kata lain hanya proksi yang
digunakan oleh manajer untuk menghindari kerugian.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian yang
dapat dibuat pada penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Apakah manajer melakukan manajemen laba untuk menghindari
kerugian?
2. Apakah auditor spesialis industri berpengaruh terhadap manajemen
laba?
3. Apakah mekanisme Komite Audit berpengaruh terhadap manajemen
laba?
4. Apakah prudence memoderasi pengaruh mekanisme Komite Audit
terhadap manajemen laba?
14
1.4 Tujuan
Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan yang diharapkan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Untuk menguji apakah manajer melakukan manajemen laba untuk
menghindari kerugian.
2. Untuk menguji pengaruh auditor spesialis industri terhadap
manajemen laba.
3. Untuk menguji pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap
manajemen laba.
4. Untuk menguji prudence dalam memoderasi pengaruh mekanisme
Komite Audit terhadap manajemen laba.
1.5 Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis, praktis,
dan kontribusi kebijakan.
1. Kontribusi Teoritis
Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menjelaskan teori yang
sudah ada ke dalam suatu fenomena, meliputi Teori Agensi, Teori
Akuntansi Positif dan Teori Prospek. Teori Agensi menggambarkan
konflik antara prinsipal dan agen dalam perusahaan-perusahaan di
Indonesia, serta menggambarkan peran auditor spesialis industri
dalam menurunkan manajemen laba. Teori Akuntansi Positif
menggambarkan pilihan manajer atas berbagai kebijakan akuntansi
yang dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi. Teori Prospek
menggambarkan tindakan manajer untuk menghindari laba negatif,
tindakan ini dilakukan karena laba negatif mengindikasikan kinerja
manajer yang buruk dan menyebabkan biaya transaksi dengan
15
stakeholders meningkat, selain itu tindakan ini juga dilakukan untuk
memenuhi harapan investor agar perusahaan memiliki kinerja yang
baik. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam kajian empiris,
dengan memberikan bukti empiris mengenai tindakan manajer dalam
melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian. Penelitian
ini juga dapat memberikan bukti empiris mengenai pengaruh auditor
spesialis industri, mekanisme Komite Audit, serta interaksi antara
prudence dan mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba.
Penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.
2. Kontribusi Praktis
Penelitian ini dapat digunakan untuk diterapkan di praktik nyata atau
memperbaiki praktik yang ada agar menjadi lebih baik. Penelitian ini
secara praktis dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak
sebagai berikut;
a. Penelitian ini dapat memberikan panduan praktis kepada investor,
sehubungan dengan keputusan investasi investor. Penelitian ini
memberikan informasi mengenai praktik manajemen laba di
Indonesia, serta peran auditor spesialis industri dan mekanisme
Komite Audit dalam menurunkan manajemen laba. Investor
selanjutnya dapat lebih berhati-hati dalam menginvestasikan
dananya, sebelum investor memutuskan untuk berinvestasi,
sebaiknya investor memahami dengan baik auditor yang
digunakan oleh suatu perusahaan dan bagaimana efektivitas
mekanisme Komite Audit suatu perusahaan yang tertuang dalam
laporan tahunan. Hal ini dapat membantu investor dalam
menghindari kerugian investasi.
16
b. Penelitian ini dapat memberikan panduan praktis bagi auditor
eksternal yang mengaudit laporan keuangan. Auditor diharapkan
dapat melakukan audit dengan lebih hati-hati, serta
mempertimbangkan prosedur tambahan apabila diperlukan dalam
proses audit. Auditor juga diharapkan dapat berinvestasi lebih
banyak dalam perekrutan dan pelatihan staf, serta teknologi
informasi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko pemegang
saham dan rusaknya reputasi perusahaan.
c. Penelitian ini dapat memberikan saran kepada dewan komisaris
untuk menerapkan mekanisme Komite Audit sebagai mekanisme
pengawasan internal, dan auditor spesialis industri sebagai
mekanisme pengawasan eksternal. Keduanya digunakan untuk
meminimalisir tindakan manajemen laba.
3. Kontribusi Kebijakan
Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pembuat kebijakan,
mengenai peran penting Komite Audit dalam menurunkan manajemen
laba. Penelitian ini dapat memberi masukan kepada pembuat
kebijakan untuk menyempurnakan dan memperkuat regulasi
mengenai Komite Audit, misalkan dengan mempertegas sanksi bagi
yang tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Hal ini
diperlukan agar pengawasan terhadap manajemen menjadi lebih
efektif dan tata kelola perusahaan menjadi lebih transparan, adil, dan
bertanggung jawab.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Teori digunakan sebagai pedoman dalam memahami suatu fenomena
dalam penelitian tertentu dan memberikan batasan dalam penelitian. Teori juga
dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara variabel, sehingga dari
teori ini hipotesis penelitian juga dapat dikembangkan.
2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory)
Selama tahun 1960-an dan awal 1970, para ekonomis mengeksplor
mengenai risk sharing antar individu atau kelompok. Kemunculan Teori Agensi
dipelopori oleh Jensen & Meckling (1976), teori ini mengungkapkan adanya
pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Teori Agensi mengarah
pada suatu hubungan agensi, salah satu pihak yang disebut prinsipal
memberikan wewenang untuk mengelola perusahaan pada pihak lain yang
disebut agen (Eisenhardt, 1989). Teori Agensi mendeskripsikan masalah risk-
sharing sebagai salah satu masalah yang muncul ketika pihak-pihak dalam
organisasi memiliki sikap yang berbeda terhadap suatu risiko.
Teori Agensi mengungkapkan bahwa masalah agensi terjadi ketika pihak-
pihak dalam perusahaan memiliki perbedaan tujuan. Teori Agensi berfokus pada
pemecahan dua masalah yang muncul dalam suatu hubungan agensi. Masalah
pertama muncul ketika ada konflik tujuan antara prinsipal dan agen, serta muncul
kesulitan bagi prinsipal untuk memverifikasi apa yang sebenarnya dilakukan
agen. Masalah kedua adalah mengenai risk-sharing yang muncul ketika prinsipal
dan agen memiliki preferensi yang berbeda atas suatu risiko.
18
Hubungan agensi antara prinsipal dan agen memiliki tiga asumsi dasar
mengenai manusia, yaitu self-interest, rationality, dan risk aversion. Baik prinsipal
maupun agen diasumsikan berfikir secara rasional, sehingga ia hanya akan
mementingkan atau mengutamakan kepentingan dirinya sendiri (self-interest),
dan hal ini menyebabkan mereka enggan atau tidak berani untuk mengambil
risiko yang dapat mengancam kepentingannya.
Teori Agensi telah dikembangkan menjadi dua garis besar, yaitu Teori
Agensi positivis dan penelitian prinsipal-agen. Penelitian positivis berfokus pada
identifikasi situasi prinsipal dan agen yang memiliki konflik tujuan, dan kemudian
mendeskripsikan mekanisme governance yang dapat membatasi sifat self-
interest agen atau yang dapat memecahkan masalah agensi. Para peneliti
prinsipal-agen berfokus pada teori umum dari hubungan prinsipal-agen, yaitu
teori yang dapat diterapkan pada hubungan pemberi kerja dan pekerja,
pengacara dan klien, pembeli dan pemasok, dan hubungan agensi lainnya.
Ada dua kasus yang mungkin terjadi dalam hubungan agensi. Pertama,
ketika ada informasi yang lengkap dan prinsipal mengetahui apa yang telah
dilakukan oleh agen. Kedua, ketika prinsipal tidak mengetahui secara tepat apa
yang telah dilakukan agen. Kasus kedua dapat muncul ketika agen memiliki self-
interest, sehingga ia bisa berperilaku tidak sesuai dengan kontrak. Masalah
agensi ini dapat muncul karena dua hal, yaitu prinsipal dan agen memiliki tujuan
yang berbeda, serta prinsipal tidak dapat memastikan jika agen bertindak secara
tepat. Kasus kedua akan memunculkan adanya asimetri informasi, yaitu
kesenjangan informasi yang diperoleh antara prinsipal dan agen, dalam hal ini
agen memiliki informasi yang lebih banyak daripada prinsipal.
Asimetri informasi akan menimbulkan dua masalah dalam perusahaan,
yaitu adverse selection dan moral hazard (Scott, 2009). Adverse selection
menunjukkan bahwa agen memiliki informasi mengenai perusahaan yang lebih
19
banyak daripada prinsipal dan ada beberapa informasi penting yang bisa saja
tidak disampaikan oleh agen, sehingga akan mempengaruhi pengambilan
keputusan prinsipal. Moral hazard merupakan kegiatan atau tindakan yang
dilakukan oleh agen dan tidak dapat dimonitor oleh prinsipal, sehingga hal ini
memungkinkan agen untuk melakukan tindakan yang melanggar kontrak.
Teori Agensi dalam penelitian ini merupakan teori yang mampu
menjelaskan mengenai self interest agen dan adanya asimetri informasi antara
prinsipal dan agen, hal tersebut kemudian mendorong agen untuk melakukan
manajemen laba. Teori Agensi merupakan teori yang menjelaskan mengenai
peran auditor dan mekanisme tata kelola perusahaan dalam memecahkan
masalah agensi yang muncul karena sifat oportunis agen. Teori Agensi juga
merupakan teori yang mampu menjelaskan bagaimana auditor spesialis industri
dan mekanisme Komite Audit berperan dalam menurunkan manajemen laba.
2.1.2 Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory)
Teori Akuntansi Positif merupakan teori yang memiliki tujuan untuk
menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena (to explain and to predict)
(Deegan, 2004). Kemunculan Teori Akuntansi Positif dipicu oleh
ketidakmampuan Teori Normatif dalam menguji teori secara empiris. Teori
Akuntansi Positif berfokus pada penelitian empiris mengenai penerapan
kebijakan akuntansi di berbagai perusahaan. Teori ini berusaha menjelaskan dan
memprediksi berbagai perbedaan pilihan kebijakan akuntansi dalam perusahaan.
Manajer akan memilih kebijakan akuntansi yang dapat mempertahankan
kesejahteraannya (Watts & Zimmerman, 1978).
Watts & Zimmerman (1986) menyajikan suatu teori akuntansi yang
menggambarkan mengenai faktor-faktor ekonomi atau karakteristik tertentu
dalam suatu bisnis yang dapat mempengaruhi tindakan manajer dalam
20
menyiapkan laporan keuangan. Teori tersebut juga menjelaskan bagaimana
variabel-variabel ekonomi dapat memotivasi manajer dalam memilih metode
akuntansi. Manajer akan menggunakan kebijakan akuntansi yang paling optimal
menurut versinya, pilihan terhadap kebijakan akuntansi tersebut dapat
memberikan imbal balik yang terbaik dalam rangka mengurangi biaya kontrak
saat ini, dan memberikan manajer fleksibilitas untuk mengubah kebijakan
akuntansi sehubungan dengan perubahan kondisi yang terjadi (Deegan, 2004).
Teori Akuntansi Positif merupakan teori yang mampu menjelaskan
mengenai berbagai pilihan manajer terhadap kebijakan akuntansi. Manajer
melakukan manajemen laba dengan harapan untuk memperoleh manfaat atas
tindakan yang diambil Gumanti (2000). Watts & Zimmerman (1986)
mengungkapkan mengenai tiga hipotesis yang mendorong manajer untuk
bersikap oportunis dalam menentukan berbagai pilihan kebijakan akuntansi, yaitu
sebagai berikut;
1. The Bonus Plan Hypothesis. Hipotesis ini menggambarkan bahwa
ketika manajer berada dalam rencana kompensasi bonus dan
keadaan lainnya dianggap tetap, maka manajer akan berusaha
meningkatkan labanya pada suatu batas tertentu guna meningkatkan
bonus yang mereka terima. Manajer pada kondisi ini cenderung
memilih kebijakan atau prosedur akuntansi yang dapat mempercepat
pengakuan pendapatan.
2. The Debt Covenant Hypothesis. Ketika semua faktor lain dianggap
tetap dan perusahaan berada pada kondisi yang mendekati
pelanggaran utang, maka manajer berusaha untuk mengurangi
kemungkinan tersebut. Manajer akan berusaha untuk memilih
kebijakan atau prosedur akuntansi yang dapat menggeser
pendapatan dari periode mendatang ke periode saat ini.
21
3. The Political Cost Hypothesis. Ketika biaya politik yang dihadapi suatu
perusahaan adalah besar, sedangkan faktor lain dianggap tetap,
maka manajer akan berusaha untuk menurunkan labanya dengan
memilih kebijakan atau prosedur akuntansi yang dapat menggeser
pendapatan dari periode saat ini ke periode mendatang.
2.1.3 Teori Prospek (Prospect Theory)
Teori Prospek merupakan teori yang dikembangkan oleh Kahneman &
Tversky (1976) dalam bidang psikologi. Teori Prospek membahas mengenai
perilaku manusia yang irasional dalam mengambil keputusan. Teori ini
menjelaskan mengenai berbagai pilihan keputusan yang akan diambil ketika
pilihan tersebut memberikan dampak terhadap hasil-hasil yang akan
mempengaruhi kemakmurannya. Teori ini mengungkapkan bahwa manusia
cenderung bertindak menyukai risiko (risk taking) ketika dihadapkan pada suatu
keadaan kerugian atau keadaan yang mengarah pada penurunan kemakmuran.
Manusia cenderung memilih kerugian yang belum pasti, dibandingkan dengan
kerugian yang lebih kecil jumlahnya namun sudah pasti. Sebaliknya, manusia
cenderung bertindak menghindari risiko (risk averse) ketika dihadapkan pada
suatu keadaan keuntungan atau keadaan yang mengarah pada peningkatan
kemakmuran. Manusia cenderung memilih keuntungan yang sudah pasti,
dibandingkan dengan keuntungan yang lebih besar namun belum pasti.
Teori Prospek telah digunakan dalam mengembangkan penelitian
mengenai manajemen laba. Subekti (2012a) mengungkapkan bahwa dalam
suatu angka yang sama, suatu kerugian merupakan hal yang tidak
menyenangkan, apabila dibandingkan dengan suatu keuntungan. Kerugian
sekalipun dalam jumlah yang kecil merupakan sinyal yang menunjukkan bahwa
kinerja manajer buruk. Investor akan menghukum perusahaan-perusahaan yang
22
mengalami kerugian yang tercermin dalam harga saham. Kerugian juga dapat
menyebabkan perusahaan harus menghadapi biaya transaksi yang lebih mahal
dengan stakeholders. Hal ini kemudian mendorong manajer untuk menghindari
kerugian, meskipun dalam jumlah yang kecil. Teori Prospek mengungkapkan
bahwa keputusan yang diambil terkait keuntungun atau kerugian didefinisikan
secara relatif pada suatu titik acuan (reference point). Terkait tindakan manajer
dalam menghindari kerugian, maka titik acuan yang digunakan adalah titik nol,
seperti pada penelitian Hayn (1995), Burgstahler & Dichev (1997),
Roychowdhury (2006), dan Subekti (2012b). Manajer akan melakukan
manajemen laba agar laba berada di atas titik acuan (titik nol).
2.1.4 Manajemen Laba
Bagian ini akan menjelaskan mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan manajemen laba. Bagian ini meliputi definisi manajemen laba, pola
manajemen laba, serta motivasi untuk melakukan manajemen laba.
2.1.4.1 Definisi Manajemen Laba
Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan judgement dalam
pelaporan keuangan dan pengelolaan transaksi untuk mengubah laporan
keuangan, guna menyesatkan stakholders mengenai kinerja perusahaan atau
untuk mempengaruhi kontrak yang bergantung pada angka akuntansi (Healy &
Wahlen, 1999). Manajemen laba merupakan suatu pilihan yang dilakukan oleh
manajer dengan memanfaatkan kebijakan akuntansi atau tindakan nyata untuk
mempengaruhi laba agar mencapai target yang diinginkan (Scott, 2012).
Manajemen laba dapat dipandang dari dua perspektif, yaitu financial
reporting perspective dan contracting perspective (Scott, 2012). Financial
reporting perspective memandang bahwa manajer menggunakan manajemen
23
laba untuk memenuhi perkiraan analis laba, guna menghindari penurunan
reputasi dan harga saham serta untuk memenuhi harapan investor. Contracting
perspective memandang manajemen laba sebagai cara untuk melindungi
perusahaan dari konsekuensi atas kejadian tak terduga ketika terjadi kontrak
yang kaku dan tidak lengkap. Manajemen laba dapat dilakukan melalui pemilihan
kebijakan akuntansi dan tindakan nyata. Manajemen laba melalui pemilihan
kebijakan akuntansi biasanya kurang efektif, sebab kebijakan ini harus di
disclose di laporan keuangan, sehingga akan cepat terdeteksi.
2.1.4.2 Pola Manajemen Laba
Ada empat pola manajemen laba yang dapat dilakukan oleh manajer
guna mencapai target laba yang diinginkan (Scott, 2009), yaitu sebagai berikut;
1. Taking a bath
Pola ini dilakukan dengan cara menjadikan laba perusahaan pada
periode berjalan menjadi sangat ekstrim rendah (bahkan rugi) atau sangat
ekstrim tinggi dibandingkan dengan laba periode sebelumnya atau
sesudahnya. Misalnya, ketika terjadi keadaan buruk yang tidak
menguntungkan, maka manajer akan mengakui adanya biaya-biaya pada
periode masa mendatang, sehingga laba pada periode berikutnya akan
lebih tinggi dari seharusnya.
2. Income Minimization
Pola ini biasanya dilakukan pada saat perusahaan memiliki profitabilitas
tinggi, dengan maksud agar tidak mendapat perhatian secara politis. Pola
ini dilakukan dengan cara menjadikan laba pada periode berjalan lebih
rendah daripada laba sesungguhnya, misalkan dengan pembebanan
pengeluaran biaya Research and Development (R&D).
24
3. Income Maximization
Pola ini dilakukan dengan cara menjadikan laba periode berjalan lebih
tinggi, dengan tujuan untuk memperoleh bonus yang lebih besar,
meningkatkan keuntungan, dan untuk menghindari pelanggaran atas
kontrak utang jangka panjang. Pola ini dapat dilakukan dengan cara
mempercepat pencatatan pendapatan atau menunda biaya.
4. Income smoothing
Pola ini merupakan salah satu pola manajemen laba ketika manajer harus
membuat laba akuntansi yang dilaporkan menjadi relatif konsisten
(smooth) dari waktu ke waktu agar ia dapat memperoleh kompensasi
yang relatif konstan dan mencerminkan laba yang berkualitas.
2.1.4.3 Motivasi untuk Manajemen Laba
Ada berbagai motivasi yang mendorong manajer untuk melakukan
manajemen laba. Scott (2012) mengemukakan empat motivasi manajer dalam
melakukan manajemen laba, yaitu sebagai berikut;
1. Bonus purpose
Manajer memiliki informasi mengenai laba perusahaan sebelum pihak
luar. Manajer akan mengelola laba untuk memaksimalkan bonus mereka
di bawah rencana kompensasi perusahaan.
2. Motivasi Contracting Lainnya
Kontrak utang biasanya timbul dari masalah moral hazard antara manajer
dan pemberi pinjaman. Masalah ini dapat dikendalikan melalui kontrak
pinjaman jangka panjang yang berisi perjanjian untuk melindungi pemberi
pinjaman dari tindakan manajer yang bertentangan dengan kepentingan
pemberi pinjaman, seperti pemberian dividen yang berlebihan atau
melakukan tambahan pinjaman. Mengingat pelanggaran perjanjian dapat
25
menimbulkan biaya besar, maka manajer berusaha untuk menghindari
hal tersebut, sehingga manajemen laba dilakukan untuk mengurangi
kemungkinan pelanggaran perjanjian kontrak utang.
3. Memenuhi Ekspektasi Laba Investor dan Mempertahankan Reputasi
Perusahaan yang melaporkan laba yang lebih besar dari yang diharapkan
investor biasanya mengalami peningkatan pangsa pasar yang signifikan,
dan jika sebaliknya, maka perusahaan mengalami penurunan harga
saham yang signifikan. Perusahaan akan memiliki saham yang negatif
apabila gagal memenuhi ekspektasi laba, sedangkan hasil yang positif
bagi perusahaan yang melebihi harapan investor. Ini menunjukkan bahwa
pasar menghukum perusahaan-perusahaan yang jauh dari harapan
investor, akibatnya manajer memiliki insentif yang kuat untuk memastikan
bahwa ekspektasi laba dapat terpenuhi. Salah satu cara untuk melakukan
ini adalah mengelola peningkatan pendapatan.
4. Penawaran Saham
Manajer akan melakukan manajemen laba agar harga saham saat Initial
Public Offering (IPO) atau penawaran perdana menjadi lebih tinggi dan
kapitalisasi modal perusahaan menjadi lebih besar. Saat perusahaan go
public, informasi keuangan yang ada dalam prospektus merupakan
sumber informasi yang penting. Informasi ini dapat dipakai sebagai sinyal
kepada calon investor mengenai nilai perusahaan. Untuk mempengaruhi
keputusan calon investor, maka manajer berusaha menaikkan laba yang
dilaporkan.
2.1.5 Manajemen Laba Akrual
Akrual merupakan selisih antara laba dan arus kas operasi perusahaan.
Total akrual terdiri dari komponen discretionary dan non-discretionary accrual.
26
Discretionary accrual merupakan akrual yang keterjadiannya tidak dapat
dijelaskan dengan fenomena ekonomik, sedangkan non-discretionary accrual
merupakan akrual yang keterjadiannya dapat dijelaskan dengan fenomena
ekonomik. Manajemen laba akrual merupakan turut campur manajemen dalam
proses pelaporan keuangan melalui berbagai pilihan akuntansi dan estimasi yang
tersedia dalam standar akuntansi. Manajemen laba akrual dapat dilakukan
melalui dua hal, yaitu memanfaatkan kebijakan akuntansi dan discretionary
accrual (Scott, 2012). Manajemen laba dengan cara ini tidak akan mempengaruhi
arus kas yang akan diterima atau dikeluarkan perusahaan.
Pemanfaatan kebijakan akuntansi dilakukan melalui pemilihan berbagai
kebijakan yang tersedia dalam standar akuntansi, misalnya kebijakan untuk
memilih penyusutan dengan menggunakan metode garis lurus atau saldo
menurun. Discretionary accrual merupakan komponen akrual yang manajer
memiliki kewenangan untuk mengatur komponen tersebut. Discretionary accrual
sering dimanfaatkan untuk melakukan manajemen laba, contohnya dalam
menentukan estimasi kerugian piutang dan pengakuan pendapatan.
Pilihan terhadap kebijakan akuntansi dalam manajemen laba harus
memperhatikan adanya iron law yang berbentuk accruals reverse. Kenaikan laba
saat ini akan menyebabkan accruals reverse dalam periode selanjutnya yang
dapat menyebabkan penurunan laba masa depan. Pilihan terhadap kebijakan
akuntansi dalam manajemen laba juga dinilai kurang efektif, sebab pilihan
terhadap kebijakan akuntansi ini akan diungkapkan dalam laporan keuangan.
Model yang digunakan untuk mendeteksi manajemen laba akrual telah
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan ini muncul guna
memperbaiki kelemahan-kelemahan pada model pendeteksian manajamen laba
akrual sebelumnya. Subekti (2012b) menjabarkan mengenai perkembangan
manajemen laba akrual yang terdiri dari model Healy (1985), model DeAngelo
27
(1986), model Jones (1991), model industri oleh Dechow & Sloan (1991), model
Modified Jones oleh Dechow et al. (1995), dan model Kothari et al. (2005).
Berikut merupakan perkembangan model yang digunakan dalam
mendeteksi manajemen laba menggunakan akrual;
1. Model Healy (1985)
Model pendeteksian manajemen laba akrual pada awalnya
menggunakan total akrual. Total akrual pada Model Healy (1985)
merupakan discretionary accrual yang digunakan sebagai proksi
dalam mengukur manajemen laba. Kelemahan model ini adalah
mengabaikan non-discretionary accrual, sehingga total akrual sama
dengan discretionary accrual. Discretionary accrual pada Model Healy
(1985) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut;
TAit = (ΔCAit – ΔCLit – ΔCASHit – ΔSTDit – DEPit)/Ait-1
Keterangan: TAit = Total akrual perusahaan i pada tahun t ΔCAit = Perubahan aset lancar perusahaan i pada tahun t ΔCLit = Perubahan liabilitas lancar perusahaan i pada tahun t ΔCASHit = Perubahan kas perusahaan i pada tahun t ΔSTDit = Perubahan utang jangka panjang yang termasuk dalam kewajiban lancar perusahaan i pada tahun t DEPit = Depresiasi dan amortisasi perusahaan i pada tahun t Ait-1 = Total aset perusahaan i pada tahun t-1
2. Model DeAngelo (1986)
DeAngelo (1986) membagi akrual menjadi dua, yaitu discretionary
dan non-discretionary accrual. Non-discretionary accrual diasumsikan
memiliki sifat random walk, sehingga discretionary accrual tahun t
sama dengan discretionary accrual tahun t-1. Deviasi yang muncul
karena perbedaan discretionary accrual tahun t dan tahun t-1 disebut
sebagai discretionary accrual dan digunakan sebagai proksi dalam
mengukur manajemen laba. Discretionary accrual pada Model
DeAngelo (1986) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut;
28
DA = (TAit – TAit-1)/Ait-1
Keterangan: DA = Discretionary accrual perusahaan i pada tahun t TAit = Total akrual perusahaan i pada tahun t TAit = Total akrual perusahaan i pada tahun t-1
3. Model Jones (1991)
Model Jones (1991) dikembangkan dari model Healy (1985), guna
memperbaiki kelemahan model tersebut. Karakteristik dari model ini
adalah mengurangi asumsi bahwa non-discretionary accrual konstan
dari waktu ke waktu, serta model ini berusaha untuk mengendalikan
efek perubahan keadaan ekonomi perusahaan pada non-discretionary
accrual. Model ini mengontrol pengaruh perubahan keadaan ekonomi
perusahaan dengan menambahkan aset tetap dan perubahan
pendapatan ke dalam model estimasi. Discretionary accrual pada
Model Jones (1991) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut;
DA = TAit/Ait-1 - [α1 (1/Ai,t-1) + α 2 (ΔREVit/Ait-1) + α3 (PPEit/Ait-1)] Keterangan: DA = Discretionary accrual perusahaan i pada tahun t TAit = Total akrual perusahaan i pada tahun t ΔREV = Perubahan pendapatan perusahaan i pada tahun t PPE = Property, plant, equipment perusahaan i pada tahun t Ait-1 = Total aset perusahaan i pada tahun t-1
4. Model Industri oleh Dechow & Sloan (1991)
Model industri Dechow & Sloan (1991) mengasumsikan bahwa variasi
faktor penentu non-discretionary accrual adalah secara umum terjadi
di perusahaan-perusahaan pada industri yang sama. Model ini
menambahkan variabel kontrol pada Model Jones (1991), yaitu sektor
industri yang diterapkan secara cross-sectional.
5. Model Modified Jones oleh Dechow et al. (1995)
Model Dechow et al. (1995) merupakan modifikasi dari Model Jones
(1991). Modifikasi ini dilakukan karena model sebelumnya
29
menghasilkan analisis yang rendah mengenai manajemen laba.
Beberapa discretionary accrual dapat diukur sebagai non-
discretionary accrual saat bagian dari pendapatan juga dikelola.
Misalnya, manajer dapat menambah pendapatan yang sebenarnya
belum diperoleh dan belum diterima secara tunai, hal ini akan
mengakibatkan perubahan pendapatan dan perubahan piutang.
Berdasarkan hal tersebut, maka model ini kemudian menyesuaikan
perubahan pendapatan dengan perubahan piutang. Discretionary
accrual pada Model Modified Jones dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut;
DA = TAit/Ait-1 - [α1(1/Ai,t-1) + α 2(ΔREVit-ΔRECit)/Ait-1 + α3 (PPEit/Ait1)] Keterangan: DA = Discretionary accrual perusahaan i pada tahun t TAit = Total akrual perusahaan i pada tahun t ΔREV = Perubahan pendapatan perusahaan i pada tahun t ΔREC = Perubahan piutang perusahaan i pada tahun t PPE = Property, plant, equipment perusahaan i pada tahun t Ait-1 = Total aset perusahaan i pada tahun t-1
6. Model Kothari et al. (2005)
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa baik model
Jones dan Modified Jones memiliki tingkat kesalahan spesifikasi yang
lebih tinggi ketika perusahaan mengalami kinerja keuangan yang
ekstrim tinggi (Guay et al.,1996). Model Kothari et al. (2005)
memberikan suatu cara untuk mengatasi kelemahan pada model-
model sebelumnya. Penelitian Kothari et al. (2005) memasukkan
variabel kinerja, yaitu Return on Assets (ROA) sebagai variabel
independen tambahan dalam regresi discretionary accruals. Model
discretionary accruals yang baru ini akan memberikan kekuatan yang
lebih besar. Model terbaru ini memiliki tingkat kesalahan spesifikasi
yang lebih rendah dan dapat meningkatkan reliabilitas kesimpulan
30
mengenai manajemen laba. Discretionary accrual pada Model Kothari
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut;
DA = TAit/Ait-1 - [α1(1/Ai,t-1) + α 2(ΔREVit-ΔRECit)/Ait-1 + α3(PPEit/Ait1) + α4(ROAit-1)]
Keterangan: DA = Discretionary accrual perusahaan i pada tahun t TAit = Total akrual perusahaan i pada tahun t ΔREV = Perubahan pendapatan perusahaan i pada tahun t ΔREC = Perubahan piutang perusahaan i pada tahun t PPE = Property, plant, equipment perusahaan i pada tahun t Ait-1 = Total aset perusahaan i pada tahun t-1 ROAit-1 = Return on assets perusahaan i pada tahun t-1
7. Subekti (2012b)
Model Subekti (2012b) merupakan model pendeteksian manajemen
laba yang dikembangkan di Indonesia. Model ini mengadopsi model
Kothari et al. (2005) dengan melakukan satu penyesuaian terhadap
nilai total aset (1/At-1), dalam setiap model estimasinya Subekti (2012)
menggunakan nilai logaritma untuk total aset (1/Log At-1).
Penyesuaian ini dilakukan dengan harapan mendapatkan hasil
analisis yang lebih baik. Apabila tidak menggunakan nilai logaritma
untuk total aset, maka koefisien persamaan adalah sebesar nol untuk
semua observasi, hal ini disebabkan karena mata uang Indonesia
berbeda dengan mata uang Amerika Serikat. Model Subekti (2012b)
membagi manajemen laba akrual menjadi dua, yaitu short term
discretionary accruals dan long term discretionary accruals.
Pembagian manajemen laba akrual ke dalam jangka waktu pendek
dan panjang adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik
mengenai pola yang digunakan oleh manajer dalam mengelola laba
berdasarkan transaksi akrual.
31
2.1.6 Manajemen Laba Riil
Manajemen laba riil merupakan manajemen laba yang dihasilkan dari
kegiatan operasi normal, tindakan ini dimotivasi oleh keinginan manajer untuk
menyesatkan stakeholders agar menjadi percaya pada tujuan pelaporan
keuangan tertentu (Roychowdhury, 2006). Manajemen laba riil merupakan
manajemen laba yang dilakukan melalui kegiatan sehari-hari perusahaan
sepanjang periode berjalan dan akan mempengaruhi arus kas perusahaan.
Manajer telah bergeser dari manajemen laba akrual ke manajemen laba
riil (Gunny, 2005; Graham et al., 2005; Roychowdhury, 2006; Zang, 2012; Cohen
et al., 2008; Cohen & Zarowin, 2010). Pergeseran ini disebabkan oleh dua hal
(Graham et al., 2005), yaitu: (a) manajemen laba akrual lebih mudah dideteksi
oleh auditor dan regulator, serta (b) risiko tidak tercapainya laba yang diinginkan
akan menjadi lebih besar apabila hanya mengandalkan pada manajemen laba
akrual. Meskipun terjadi pergeseran manajemen laba dari manajemen laba
akrual ke manajemen laba riil, namun manajer tetap menggunakan keduanya
untuk mencapai target laba (Zang, 2012). Zang (2012) menemukan bahwa
keputusan perusahaan untuk melakukan manajemen laba riil mendahului
keputusan untuk melakukan manajemen laba akrual.
Manajemen laba riil dapat dilakukan melalui tiga cara (Roychowdhury,
2006), yaitu sebagai berikut;
1. Manipulasi penjualan
Manipulasi penjualan merupakan usaha manajer untuk meningkatkan
penjualan selama periode berjalan melalui pemberian diskon harga
atau memperpanjang jangka waktu kredit. Salah satu cara manajer
untuk mempercepat penjualan tahun depan ke tahun ini adalah
dengan memberikan potongan atau diskon harga, namun peningkatan
volume penjualan ini akan hilang ketika manajer menetapakan harga
32
normal kembali. Pendapatan pada periode saat ini menjadi lebih tinggi
akibat peningkatan penjualan. Kas masuk setelah dikurangi diskon
akibat penjualan tambahan akan menyebabkan penurunan margin
yang diperoleh perusahaan. Margin yang lebih rendah karena harga
diskon menyebabkan biaya produksi terhadap penjualan menjadi
tinggi secara abnormal.
2. Pengurangan biaya diskresioner
Pengeluaran diskresioner merupakan pengeluaran yang meliputi
Research and Development (R&D), iklan, dan pemeliharaan yang
dibebankan pada periode yang sama saat dikeluarkan. Pengurangan
ini dilakukan melalui pengurangan beban diskresioner yang
dikeluarkan. Beban diskresioner meliputi: beban R&D, beban iklan,
serta beban penjualan, umum dan administratif. Dechow & Sloan
(1991) menemukan bahwa CEO melakukan pengurangan atas biaya
R&D di akhir tahun fiskal. Pengurangan biaya ini dilakukan agar
manajemen dapat mencapai target laba yang diinginkan.
3. Overproduction
Manajer perusahaan manufaktur dapat memproduksi barang dalam
jumlah yang lebih besar daripada yang dibutuhkan untuk memenuhi
permintaan yang diharapkan. Produksi secara besar-besaran akan
menyebabkan biaya overhead tetap terbagi dalam jumlah produk
yang lebih besar, sehingga akan menurunkan biaya tetap per unit dan
total biaya juga akan menurun. Penurunan total biaya akan
berdampak pada penurunan cost of good sold, sehingga perusahaan
akan melaporkan margin operasi yang lebih tinggi.
Manajemen laba riil dilakukan oleh manajer untuk memenuhi target laba
periode berjalan, namun tindakan ini berpotensial untuk menurunkan nilai
33
perusahaan di masa depan. Manajemen laba riil dapat mengurangi nilai
perusahaan, karena tindakan yang diambil pada periode saat ini untuk
meningkatkan laba dapat memberikan dampak negatif pada arus kas masa
depan. Sebagai contoh, potongan harga yang agresif untuk meningkatkan
volume penjualan dan memenuhi target laba jangka pendek dapat menyebabkan
konsumen mengharapkan potongan serupa di masa depan. Hal ini dapat
menurunkan margin pada penjualan di masa depan. Overproduction juga akan
meningkatkan biaya persediaan, seperti biaya penyimpanan persediaan.
Model pendeteksian manajemen laba rii dikembangkan oleh
Roychowdhury et al. (2006). Roychowdhury et al. (2006) menggunakan tiga
proksi dalam mengukur manajemen laba, yaitu abnormal cash flow from
operation, abnormal production cost, dan abnormal discretionary expenses.
Model pendeteksian manajemen laba di Indonesia dikembangkan oleh Subekti
(2012b). Model tersebut mengadopsi model Roychowdhury et al. (2006) dengan
melakukan satu penyesuaian terhadap nilai total aset (1/At-1), dalam setiap model
estimasinya Subekti (2012b) menggunakan nilai logaritma untuk total aset
(1/Log. At-1). Sama seperti pada manajemen laba akrual, penyesuaian ini
dilakukan untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih baik.
2.1.7 Auditor Spesialis Industri
Bartov et al. (2001) mencatat bahwa insentif manajer untuk mengelola
laba merupakan salah satu biaya agensi. Bukti empiris dari Teori Agensi juga
melaporkan bahwa manajemen memiliki preferensi untuk mengelola angka laba
dalam rangka memperoleh manfaat dari proses contracting (Holthausen et al.,
1995). Penelitian sebelumnya mendokumentasikan bahwa biaya transaksi yang
lebih tinggi merupakan hasil dari asimetri informasi yang lebih besar antara
pelaku pasar. Beberapa penelitian juga mendokumentasikan bukti bahwa
34
keberadaan asimetri informasi adalah kondisi yang diperlukan untuk melakukan
manajemen laba (Dye, 1988). Praktek manajemen laba telah mengikis
kepercayaan diri investor dalam kualitas pelaporan keuangan dan menghambat
efisiensi arus modal di pasar keuangan (Jackson & Pitman, 2001).
Tindakan oportunis manajer dalam pelaporan keuangan dapat dimonitor
oleh pihak ketiga yang disebut sebagai auditor. Hal ini didukung oleh penelitian
Jensen & Meckling (1976); Krishnan (2003a) yang menemukan bahwa auditor
berperan dalam mekanisme monitoring untuk mengurangi biaya agensi, salah
satunya yang timbul karena insentif manajer untuk mengelola laba. Keberadaan
auditor akan mengurangi asimetri informasi yang terjadi antara prinsipal dan
agen. Kualitas audior akan sangat mempengaruhi hasil audit, auditor yang
berkualitas dan memiliki reputasi baik dapat memonitor dan mendeteksi
perusahaan yang melakukan manajemen laba, sehingga semakin berkualitas
auditor maka semakin kecil kemungkinan manajemen laba akan dilakukan.
DeAngelo (1981) mengungkapkan bahwa kualitas auditor ditentukan dari
kemampuan mereka untuk menemukan kesalahan dan salah saji material dalam
laporan keuangan perusahaan serta melaporkan pelanggaran tersebut. Bartov et
al. (2001) menunjukkan bahwa auditor berkualitas tinggi akan lebih transparan
dalam melaporkan kesalahan dan penyimpangan. Auditor berkualitas tinggi
diharapkan untuk dapat mendeteksi praktik manajemen laba dengan lebih baik
(Becker et al., 1998).
Pasar audit kini telah matang, teori ekonomi menunjukkan bahwa
perusahaan audit harus membedakan diri, salah satunya melalui spesialisasi
(Watkins et al., 2004). Spesialisasi merupakan salah satu langkah auditor untuk
melakukan diferensiasi dari kompetitornya, sehubungan untuk memenuhi
berbagai kebutuhan klien melalui cara yang tidak mudah ditiru oleh kompetitor
(Dunn & Mayhew, 2004). Spesialisasi industri berhubungan dengan kualitas audit
35
yang lebih tinggi (Craswell et al., 1995; Deboskey & Jiang, 2012). Spesialisasi
memungkinkan auditor untuk memberikan pelayanan dan kredibilitas yang
superior (Beasley & Petroni, 2001). Hal ini diharapkan dapat mengembalikan
kepercayaan diri investor dalam kualitas pelaporan keuangan dan memperlancar
kembali efisiensi arus modal di pasar keuangan.
Auditor spesialis cenderung berinvestasi lebih banyak dalam perekrutan
dan pelatihan staf, informasi teknologi, serta teknologi audit, daripada auditor
non-spesialis (Krishnan, 2003b). Berdasarkan hal tersebut, maka auditor
spesialis industri diharapkan dapat menunjukkan kinerja yang lebih unggul
dibandingkan rekan-rekan mereka yang non-spesialis (Solomon et al., 1999;
Owhoso et al., 2002). Auditor spesialis juga memiliki pengetahuan dan keahlian
yang lebih spesifik mengenai industri daripada auditor non-spesialis (Dunn &
Mayhew, 2004). Krishnan (2003b) mengungkapkan bahwa pemahaman auditor
spesialis yang menyeluruh mengenai tren dan karakteristik industri akan
menjadikan auditor lebih efektif dalam melakukan audit, dibandingkan auditor
non-spesialis. Berdasarkan keunggulan-keunggulan tersebut, maka auditor
spesialis industri diharapkan dapat menurunkan manajemen laba (Balsam et al.,
2003). Hal ini sesuai dengan Deboskey & Jiang (2012) yang mengungkapkan
bahwa auditor spesialis lebih efektif dalam menurunkan manajemen laba, karena
memiliki peran efektif dalam memonitor dan membatasi pilihan diskresioner,
serta mereka juga lebih terbuka dalam hasil temuannya.
2.1.8 Tata Kelola Perusahaan
Ekonomi modern ditunjukkan dengan pengelolaan dan pengendalian
perusahaan yang semakin terpisah dari kepemilikan. Hal ini sejalan dengan Teori
Agensi yang menunjukkan pentingnya pemisahan kepemilikan dan pengelolaan
perusahaan. Tujuan pemisahan ini adalah untuk menciptakan efisiensi dan
36
efektifitas, melalui agen profesional yang dipekerjakan untuk mengelola
perusahaan. Ada masalah yang timbul dalam pemisahan ini, manajer mungkin
berusaha untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri dengan mengorbankan
kepentingan para pemegang saham. Pemisahan ini juga telah menyebabkan
kurangnya transparansi dalam penggunaan dana di perusahaan.
Perusahaan semakin tergantung pada modal eksternal untuk pembiayaan
kegiatan, investasi dan pertumbuhan. Hal ini menyebabkan manajer perlu
meyakinkan pemodal eksternal atas penggunaan dana yang tepat dan paling
efisien, serta meyakinkan mereka bahwa manajemen bertindak untuk
kepentingan terbaik perusahaan. Jaminan tersebut dapat diwujudkan melalui
mekanisme corporate governance (CG) atau tata kelola perusahaan. Sistem CG
yang sehat harus memberikan perlindungan yang efektif bagi pemegang saham
dan kreditur, sehingga mereka dapat meyakinkan diri untuk mendapatkan
pengembalian yang tepat atas investasi mereka.
Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD
(2004) mengungkapkan bahwa CG berhubungan dengan menjaga
keseimbangan antara tujuan ekonomi dan sosial, serta antara tujuan individu dan
komunal. CG mendorong penggunaan sumber daya yang efisien dan
menghasilkan akuntabilitas untuk pengelolaan sumber daya, tujuannya adalah
untuk menyelaraskan kepentingan individu, perusahaan dan masyarakat.
Menggunakan defisini dari Komite Cadbury, FCGI (2001) mendefinisikan CG
sebagai seperangkat aturan yang mendefinisikan hubungan antara pemegang
saham, manajer, kreditor, pemerintah, karyawan, serta stakeholder internal dan
eksternal, yang berkaitan dengan hak-hak dan tanggung jawab mereka, atau
sistem dimana perusahaan akan diarahkan dan dikontrol. Tujuan dari CG adalah
untuk menciptakan nilai tambah bagi stakeholders. OECD (2004)
mengungkapkan enam prinsip CG, yaitu memastikan dasar untuk kerangka tata
37
kelola perusahaan yang efektif, hak pemegang saham, perlakuan yang setara
terhadap pemegang saham, peran stakeholders dalam CG, pengungkapan dan
transparansi, serta tanggung jawab dewan.
Upaya untuk meningkatkan CG telah dilakukan di Indonesia. Perbaikan
ini merupakan bagian penting dari Letter of Intent yang ditandatangani oleh
Indonesia dan IMF. Bantuan keuangan dari IMF akan bertumpu pada
peningkatan CG. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
merekomendasikan dan memantau perbaikan CG di Indonesia. Sebuah inisiatif
dari sektor swasta melalui beberapa asosiasi bisnis dan profesional juga telah
membentuk Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI). Ada juga
lembaga yang mengkhususkan diri dalam CG, misalnya Indonesian Institute for
Corporate Governance (IICG) dan Indonesian Institute for Corporate Directorship
(IICD).
2.1.9 Komite Audit
Komite Audit merupakan salah satu komite yang dibentuk oleh Dewan
Komisaris untuk membantu mereka dalam melaksanakan sistem pengawasan
secara menyeluruh. FCGI (2001) menyebutkan bahwa Komite Audit berperan
penting dalam memberikan pandangan atas berbagai masalah akuntansi,
laporan keuangan dan berbagai penjelasannya, serta sistem pengawasan
internal. Ayemere & Elijah (2015) menyebutkan bahwa Komite Audit merupakan
bagian yang bertanggung jawab untuk memastikan akurasi dan reliabilitas
laporan keuangan yang disediakan manajemen.
FCGI (2001) menjabarkan mengenai tiga tanggung jawab Komite Audit,
yaitu sebagai berikut;
1. Laporan Keuangan. Komite Audit bertanggung jawab terhadap
laporan keuangan, guna memastikan bahwa laporan keuangan yang
38
diterbitkan perusahaan telah mencerminkan keadaan sebenarnya
mengenai kondisi keuangan, hasil usaha dan rencana jangka panjang
perusahaan. Ada beberapa ruang lingkup pekerjaan Komite Audit
terkait laporan keuangan, diantaranya memberikan rekomendasi dan
memeriksa hal-hal mengenai auditor eksternal, menilai kebijakan
akuntansi yang digunakan perusahaan dan keputusan-keputusan
terkait, serta menelaah laporan keuangan interim maupun tahunan.
2. Tata Kelola Perusahaan. Komite Audit bertanggung jawab terhadap
tata kelola perusahaan. Komite Audit bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa perusahaan menjalankan usahanya sesuai
dengan ketentuan hukum dan undang-undang, menjalankan
bisnisnya secara etis, serta melakukan pengawasan dengan efektif
terkait benturan kepentingan dan kecurangan yang terjadi di
perusahaan. Ada beberapa ruang lingkup pekerjaan Komite Audit
terkait tata kelola perusahaan, diantaranya melakukan penillaian atas
kebijakan perusahaan yang memiliki hubungan dengan undang-
undang, etika, benturan kepentingan, serta melakukan penyelidikan
dan pemeriksaan atas perbuatan yang curang dan merugikan
perusahaan.
3. Pengawasan Perusahaan. Komite Audit bertanggung jawab dalam
pengawasan perusahaan, termasuk memahami berbagai hal dan
masalah yang berpotensi mengandung risiko, serta bertanggung
jawab dalam mengawasi auditor internal. Ruang lingkup pekerjaan
Komite Audit terkait pengawasan perusahaan adalah meliputi
pemeriksaaan dan penilaian atas kecukupan pengendalian internal.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 tahun 2015 mewajibkan
perusahaan publik untuk memiliki Komite Audit. Komite Audit tersebut paling
39
sedikit terdiri atas tiga orang yang berasal dari pihak luar (independen) dan
diketuai oleh seorang Komisaris Independen. Komite Audit wajib memahami
laporan keuangan dan memiliki pengetahuan, kemampuan, serta pengalaman
terkait dengan pekerjaannya. Komite Audit juga diwajibkan untuk memiliki salah
satu anggota yang berlatar belakang akuntansi dan keuangan.
2.1.10 Mekanisme Komite Audit
Melihat masih banyaknya kasus manajemen laba dalam perusahaan, ini
membuktikan bahwa kehadiran Komite Audit tidak serta merta dapat membatasi
manajemen laba (Ayemere & Elijah, 2015). Formasi audit bukanlah jaminan
untuk membatasi manajemen laba, tetapi bagaimana mekanisme Komite Audit
yang berperan dalam membatasi manajemen laba dan meningkatkan
kepercayaan stakeholders terkait laporan keuangan. Alzoubi & Selamat (2012)
dan Ayemere & Elijah (2015) melakukan penelitian mengenai mekanisme Komite
Audit yang meliputi ukuran, rapat, independensi, dan keahlian Komite Audit.
Temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa mekanisme Komite Audit dapat
menurunkan manajemen laba. Ayemere & Elijah (2015) juga merekomendasikan
kepada perusahaan untuk fokus dalam memperkuat mekanisme Komite Audit.
Ukuran Komite Audit merupakan salah satu karakteristik signifikan yang
berkontribusi dalam efektivitas Komite Audit (Alzoubi & Selamat, 2012). Ukuran
Komite Audit mengacu kepada jumlah anggota Komite Audit, termasuk pula
didalamnya Ketua Komite Audit. Ukuran Komite Audit yang terlalu kecil dapat
menurunkan efektivitas pemantauan dan efisiensi dalam pemenuhan tugas
mereka (Vafeas, 2005). Semakin besar ukuran Komite Audit diharapkan
pengawasan semakin meningkat, sehingga dapat menurunkan manajemen laba.
Ukuran Komite Audit yang terlalu besar juga tidak baik, sebab kinerja mereka
bisa menurun karena permasalahan koordinasi, sehingga berdampak pada
40
pengawasan yang lemah (Vafeas, 2005). Ukuran Komite Audit yang sempurna
adalah antara tiga sampai empat (Vafeas, 2005).
Conger et al. (1998) mengemukakan bahwa rapat yang lebih sering
dilakukan mampu meningkatkan efektivitas dewan. Komite Audit yang bertemu
secara teratur berhubungan dengan pengawasan yang lebih efektif. Dewan yang
lebih aktif akan lebih mungkin untuk melakukan tugas mereka sesuai dengan
kepentingan pemegang saham dan lebih berupaya dalam memantau integritas
laporan keuangan (Alzoubi & Selamat, 2012). Sehubungan dengan jumlah rapat
Komite Audit, Xie et al. (2003) menemukan bahwa jumlah rapat yang lebih tinggi
berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah.
Independensi merupakan kualitas penting yang dapat memberikan
kontribusi untuk efektivitas fungsi pengawasan (Alzoubi & Selamat, 2012).
Senada dengan hal tersebut, Ayemere & Elijah (2015) juga mengungkapkan
bahwa independensi merupakan karakteristik utama dalam efektivitas Komite
Audit. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Komite Audit independen
berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah (Bedard et al., 2004;
Davidson et al., 2005; Klein, 2002; Xie et al., 2003). Hal ini disebabkan karena
komite audit independen mampu memonitor manajemen secara efektif.
Komite audit bertanggung jawab terhadap laporan keuangan, guna
memastikan bahwa laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan telah
mencerminkan keadaan sebenarnya. Ayemere & Elijah (2015) juga menyebutkan
bahwa Komite Audit bertanggung jawab atas laporan keuangan yang berkualitas
dan terpercaya. Berdasarkan hal tersebut, maka merupakan hal penting apabila
Komite Audit memiliki keahlian dalam bidang keuangan dan akuntansi. Alzoubi &
Selamat (2012) menyebutkan bahwa Komite Audit yang memiliki pengetahuan
terkait keuangan dan akuntansi akan meningkatkan kinerja Komite Audit.
Peningkatan kinerja Komite Audit diharapkan dapat berperan dalam menurunkan
41
manajemen laba. Hal ini dibuktikan oleh Bedard et al. (2004) yang menemukan
bahwa keahlian keuangan Komite Audit dapat mengurangi kesempatan
mengelola laba secara oportunis.
2.1.11 Prudence
Perusahaan memiliki kontrak dengan berbagai pihak yang
berkepentingan dengan perusahaan, misalnya investor, kreditor dan pemerintah
(Jansen & Meckling, 1976). Bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap
berbagai pihak tersebut dituangkan dalam angka-angka akuntansi yang terdapat
dalam laporan keuangan. Teori Akuntansi Positif menggambarkan mengenai
berbagai pilihan manajemen atas kebijakan akuntansi yang dapat mempengaruhi
angka-angka akuntansi tersebut. Hal ini dapat terjadi karena standar akuntansi
memberikan berbagai pilihan metode akuntansi yang memungkinkan perusahaan
untuk memilih. Berbagai pilihan metode akuntansi memungkinkan perusahaan
untuk memilih metode yang dampaknya terhadap laba adalah cenderung
konservatif (Wistawan, 2015).
Prudence atau kehati-hatian merupakan prinsip akuntansi yang
menggantikan konservatisme semenjak konvergensi IFRS (Wistawan, 2015).
Prudence adalah tingkat kehati-hatian dalam melakukan penilaian untuk
membuat estimasi yang diperlukan dalam kondisi ketidakpastian, sehingga aset
atau pendapatan tidak disajikan lebih tinggi dan kewajiban atau beban tidak
disajikan lebih rendah (Hoogervorst, 2012). Prudence muncul ketika perusahaan
berada dalam kondisi yang penuh dengan ketidakpastiaan. LaFond &
Roychowdhury (2008) mengungkapkan bahwa dalam kondisi ketidakpastian
manajemen akan memilih perlakuan akuntansi yang kurang menguntungkan.
Prudence secara harfiah mirip dengan konservatisme, yakni merupakan
kehati-hatian terhadap kondisi dimasa depan yang tidak pasti, bedanya prudence
42
adalah konservatisme dalam batas wajar, atau tidak seekstrim konservatisme.
Konsep prudence memperbolehkan perusahaan mengakui pendapatan
sesegera mungkin selama telah memenuhi syarat-syarat pengakuan yang
ditetapkan dalam standar.
Konservatisme menggambarkan mengenai kecendrungan akuntan untuk
mensyaratkan derajat verifikasi yang lebih tinggi dalam pengakuan good news
dibandingkan bad news (Basu, 1997). Konservatisme menyebabkan perusahaan
akan mengakui beban atau rugi secepat mungkin, dan menunda pendapatan
atau laba untuk di masa depan (Basu, 1997). Berdasarkan hal tersebut, maka
laba dalam konservatisme merefleksikan bad news dengan lebih cepat
dibandingkan good news. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat
verifikasi yang dipersyaratkan untuk mengakui laba atau pendapatan, maka
semakin konservatif suatu perusahaan.
Ada dua jenis konservatisme akuntansi, yaitu conditional conservatism
dan unconditional conservatism (Beaver & Ryan, 2005).
1. Conditional conservatism atau ex-post conservatism merupakan
konservatisme yang dipengaruhi oleh suatu berita. Jenis
konservatisme ini menggambarkan mengenai pengakuan bad news
yang lebih cepat daripada good news. Akuntan dalam jenis ini akan
menerapkan derajat verifikasi yang tinggi dalam mengakui
pendapatan atau laba. Jenis konservatisme ini akan membatasi
manajer dalam melaporkan laba yang lebih tinggi ketika berada dalam
suatu kondisi yang tidak menguntungkan.
2. Unconditional conservatism atau ex-ante conservatism merupakan
konservatisme yang tidak dipengaruhi oleh suatu berita. Jenis
konservatisme ini berhubungan dengan kebijakan yang digunakan
oleh manajemen untuk mempengaruhi laba secara independen dari
43
berita yang ada. Akuntan dalam jenis ini akan menerapkan derajat
verifikasi yang tinggi dalam melaporkan aset.
Basu (1997) dan Watts (2003) menjelaskan mengenai berbagai alasan
yang mendorong perusahaan dalam menerapkan konservatisme, yang meliputi
alasan kontrak, litigasi, perpajakan, dan regulasi.
1. Salah satu cara dalam mewujudkan efisiensi kontrak adalah melalui
konservatisme. Konservatisme yang dilakukan perusahaan akan
membatasi pandangan optimistik manajer. Manajer akan secara lebih
cepat mengakui kerugian daripada keuntungan. Implikasi dari
konservatisme adalah pembayaran dividen kepada pemegang saham
dan kompensasi kepada manajer yang lebih rendah. Konservatisme
akan membatasi pembayaran yang bersifat oportunis kepada manajer
dan berbagai pihak dalam kontrak (Watts, 2003).
2. Perusahaan yang menerapkan akuntansi secara agresif akan
mendapatkan perhatian yang lebih besar dari pemegang saham,
serikat buruh, maupun pemerintah. Perhatian dari berbagai pihak ini
akan menimbulkan biaya litigasi yang lebih besar, misalkan tuntunan
kenaikan upah buruh. Perusahaan yang menerapkan konservatisme
dapat menekan kemungkinan biaya litigasi yang besar.
3. Prinsip konservatisme yang mempercepat pengakuan biaya dan
menunda pengakuan pendapatan akan berdampak pada laba yang
lebih rendah pada periode berjalan. Sehingga, konservatisme yang
dilakukan perusahaan akan mampu mengurangi jumlah pajak yang
dibayar perusahaan, serta mampu menangguhkan hutang pajak ke
masa mendatang (Watts, 2003). Namun, Indonesia memiliki aturan
sendiri dalam menentukan pajak terutang, sehingga hal ini kurang
relevan dalam konteks Indonesia.
44
4. Regulasi memberikan insentif kepada perusahaan untuk melaporkan
laporan keuangannya secara konservatif, sehingga hal ini memicu
manajer untuk menjadi konservatif. Hal ini misalnya terlihat pada
salah standar yang terdapat dalam International Financial Reporting
Standards (IFRS). IFRS mengatur mengenai metode penilaian
persediaan yang dikenal dengan istilah “Lower of Cost or Net
Realizable Value (LCNRV)”, metode penilaian ini mengharuskan
perusahaan untuk melaporkan persediaannya sebesar nilai yang lebih
rendah antara biaya atau nilai bersih yang dapat direalisasikan.
Implikasi dari metode ini adalah nilai persediaan terlihat lebih rendah.
2.2 Kajian Empiris
Kajian empiris dilakukan dengan mengkaji penelitian-penelitian terdahulu
yang berhubungan dengan rumusan masalah penelitian. Hubungan antarvariabel
diharapkan akan semakin jelas dengan adanya kajian empiris ini.
2.2.1 Manajer Melakukan Manajemen Laba untuk Menghindari Kerugian
Penelitian-penelitian sebelumnya telah menemukan bukti mengenai
manajer yang melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian.
Burgstahler & Dichev (1997), Roychowdhury (2006), dan Subekti (2012b)
menemukan bahwa manajer melakukan manajemen laba untuk menghindari
perusahaan dalam melaporkan kerugian. Roychowdhury (2006) menemukan
bukti bahwa sebagian besar perusahaan di Amerika Serikat melakukan
manajemen laba dengan cara mengelola arus kas operasional, biaya produksi,
dan beban diskresioner untuk menghindari kerugian. Subekti (2012a)
menemukan bukti di Indonesia, penelitian tersebut menemukan bahwa sebagian
perusahaan di Indonesia melakukan manajemen laba dengan cara memperbesar
45
arus kas operasional, memperbesar biaya produksi, memperkecil beban
diskresioner, dan memperkecil long term discretionary accruals.
Manajer akan melakukan manajemen laba agar laba berada di atas titik
acuan (titik nol). Tindakan ini dilakukan manajer karena laba negatif
mengindikasikan kinerja yang buruk, serta memberikan sinyal negatif kepada
investor. Kerugian menyebabkan perusahaan harus menghadapi biaya transaksi
yang lebih mahal dengan stakeholders (Burgstahler & Dichev, 1997).
2.2.2 Auditor Spesialis Industri dan Manajemen Laba
Penelitian mengenai pengaruh kualitas auditor terhadap manajemen laba
telah banyak di lakukan di berbagai Negara. Kualitas audit di kebanyakan
penelitian ditentukan oleh Big 4 dan Non-big 4, seperti penelitian Kim et al.
(2003), Memis & Jetenak (2012), dan Kouaib & Jarboui (2014). Kini cukup
banyak penelitian yang menentukan kualitas auditor berdasarkan spesialisasi
industrinya. Auditor spesialis lebih efektif dalam menurunkan manajemen laba
serta lebih terbuka dalam melaporkan hasil temuannya. Penelitian mengenai
pengaruh auditor spesialis industri terhadap manajemen laba telah cukup banyak
dilakukan di luar Indonesia, namun sepengetahuan peneliti, penelitian tersebut
masih jarang dilakukan di Indonesia.
Penelitian Balsam et al. (2003) menguji hubungan antara ukuran kualitas
laba dan auditor spesialis industri. Penelitian ini membandingkan tingkat absolute
Discretionary Accrual (DAC) dan Earnings Response Coefficients (ERC) antara
perusahaan yang telah diaudit oleh auditor spesialis industri dan dengan
perusahaan yang tidak diaudit auditor spesialis industri. Penelitian ini
menemukan bahwa klien dari auditor spesialis industri memiliki DAC lebih rendah
dan ERC lebih tinggi daripada klien dari auditor non-spesialis.
46
Krishnan (2003b) melakukan penelitian mengenai peran auditor industry
expertise dalam membatasi manajemen laba. Penelitian ini menggunakan
sampel dari klien Big 6. Auditor industry expertise diukur dari segi pangsa pasar
auditor dalam suatu industri dan pangsa industri dalam portofolio auditor industri
klien, sedangkan manajemen laba diukur dengan tingkat absolut DAC. Penelitian
ini menemukan bahwa klien auditor non-spesialis melaporkan DAC yang lebih
tinggi daripada DAC yang dilaporkan oleh klien dari auditor spesialis. Hal ini
membuktikan bahwa auditor spesialis dapat menurunkan manajemen laba akrual
dengan lebih baik daripada auditor non-spesialis.
Rusmin (2010) telah melakukan penelitian mengenai kualitas auditor dan
manajemen laba di Singapura, ia menemukan bukti adanya hubungan negatif
antara kualitas auditor dan manajemen laba. Temuannya menyimpulkan bahwa
besarnya manajemen laba antara perusahaan yang diaudit oleh auditor spesialis
secara signifikan lebih rendah dibandingkan perusahaan yang diaudit dengan
auditor non-spesialis.
Penelitian terkait pengaruh auditor spesialis industri juga dilakukan oleh
Gerayli et al. (2011), DeBoskey & Jiang (2012), Inaam et al. (2012), Hegazy et al.
(2015), serta Ahmad et al. (2016). Semua penelitian tersebut menemukan
hubungan negatif antara auditor spesialis industri dan manajemen laba. Auditor
spesialis industri berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah.
2.2.3 Mekanisme Komite Audit dan Manajemen Laba
Komite Audit merupakan komite yang membantu Dewan Komisaris dalam
melakukan pengawasan dan bertanggung jawab terhadap kredibilitas laporan
keuangan, tata kelola perusahaan dan pengawasan perusahaan. Alzoubi &
Selamat (2012) menemukan bahwa komite audit yang efektif mampu
menurunkan manajemen laba. Keberadaan Komite Audit tidak serta merta dapat
47
menurunkan manajemen laba, tapi mekanisme Komite Audit yang berperan
dalam menurunkan manajemen laba. Mekanisme Komite Audit diantaranya
meliputi ukuran, rapat, independensi, dan keahlian Komite Audit.
Alzoubi & Selamat (2012) dan Ayemere & Elijah (2015) melakukan
penelitian mengenai mekanisme Komite Audit yang meliputi ukuran, rapat,
independensi, dan keahlian Komite Audit. Kedua penelitian tersebut menemukan
bahwa masing-masing mekanisme Komite Audit berpengaruh secara negatif
terhadap manajemen laba. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme Komite Audit
yang meliputi ukuran, rapat, independensi, dan keahlian Komite Audit berperan
dalam membatasi atau menurunkan manajemen laba.
Penelitian mengenai mekanisme Komite Audit juga dilakukan oleh
beberapa peneliti lain. Xie et al. (2003) menemukan bahwa jumlah rapat yang
lebih tinggi berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah. Komite
Audit yang bertemu secara teratur berhubungan dengan pengawasan yang lebih
efektif. Bedard et al. (2004), Davidson et al. (2005), Klein (2002), dan Xie et al.
(2003) menemukan bahwa Komite Audit independen berhubungan dengan
manajemen laba yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena Komite Audit
independen mampu memonitor manajemen secara efektif. Bedard et al. (2004)
juga menemukan bahwa keahlian keuangan Komite Audit dapat mengurangi
kesempatan mengelola laba secara oportunis.
Beberapa penelitian lain menemukan bahwa tidak ada hubungan antara
Komite Audit dan manajemen laba. Al-Thuneibat et al. (2014) melakukan
penelitian untuk menyelidiki kepatuhan Saudi shareholding companies terhadap
persyaratan tata kelola perusahaan dan dampaknya terhadap manajemen laba.
Penelitian menemukan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara tata kelola
perusahaan yang diproksikan dengan audit internal, Komite Audit dan dewan
direksi dengan Absolute Discretionary Accrual. Hasil serupa juga ditemukan
48
Mohamad et al. (2012) yang menemukan bahwa tidak ada pengaruh antara
keahlian, independensi, dan rapat Komite Audit terhadap manajemen laba.
Chandrasegaram et al. (2013) juga menemukan bahwa ukuran dan independensi
Komite Audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
2.2.4 Mekanisme Komite Audit, Manajemen Laba, dan Prudence
Prudence atau kehati-hatian merupakan prinsip akuntansi yang
menggantikan konservatisme semenjak konvergensi IFRS (Wistawan, 2015).
Prudence adalah tingkat kehati-hatian dalam melakukan penilaian yang
diperlukan untuk membuat estimasi yang diperlukan dalam kondisi
ketidakpastian, sehingga aset atau pendapatan tidak disajikan lebih tinggi dan
kewajiban atau beban tidak disajikan lebih rendah (Hoogervorst, 2012).
Teori Akuntansi Positif menggambarkan mengenai berbagai pilihan
manajemen atas kebijakan akuntansi yang dapat mempengaruhi angka-angka
akuntansi. LaFond & Roychowdhury (2008) mengungkapkan bahwa dalam
kondisi ketidakpastian manajemen akan memilih perlakuan akuntansi yang
kurang menguntungkan. Berbagai pilihan metode akuntansi memungkinkan
perusahaan untuk memilih metode yang dampaknya terhadap laba adalah
cenderung konservatif (Wistawan, 2015). Sikap kehati-hatian yang melekat pada
konservatisme menyebabkan konservatisme dapat membatasi sifat oportunis
manajer dalam laporan keuangan (Guay & Verrecchia, 2006; Chen at al., 2007).
Kekuatan pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba
akan dipengaruhi oleh sikap prudence manajer dalam menghadapi
ketidakpastian, hal tersebut tercermin dalam kebijakan akuntansi yang dipilih
manajer. Perusahaan yang memilih kebijakan secara prudence diharapkan dapat
membatasi sifat oportunis manajer, sehingga dapat memperkuat pengaruh
negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba.
49
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Manajemen laba dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui
manajemen laba akrual dan manajemen laba riil. Manajemen laba akrual
merupakan turut campur manajemen dalam proses pelaporan keuangan melalui
berbagai pilihan akuntansi dan estimasi yang tersedia dalam standar akuntansi.
Manajemen laba dengan cara ini tidak akan mempengaruhi arus kas
perusahaan. Manajemen laba riil dilakukan melalui pengelolaan aktivitas sehari-
hari perusahaan (Roychowdhury, 2006). Manajemen laba riil akan
mempengaruhi arus kas perusahaan. Manajemen laba riil dapat dilakukan
melalui tiga cara, yaitu peningkatan penjualan melalui pemberian potongan harga
dan perpanjangan jatuh tempo pembayaran, melalui pengurangan biaya-biaya
diskresioner, serta melalui penurunan biaya produksi dengan produksi secara
besar-besaran (overproduction).
Tindakan oportunis manajer dalam pelaporan keuangan dapat dimonitor
oleh pihak ketiga yang disebut sebagai auditor. Hal ini didukung oleh penelitian
Jensen & Meckling (1976) yang menemukan bahwa auditor berperan dalam
mekanisme monitoring untuk mengurangi biaya agensi, salah satunya yang
timbul karena insentif manajer untuk mengelola laba. Keberadaan auditor akan
mengurangi asimetri informasi yang terjadi antara prinsipal dan agen, dan
kemudian berdampak pada manajemen laba yang menurun.
Kualitas auditor akan sangat mempengaruhi hasil audit. Auditor yang
berkualitas dan memiliki reputasi dapat memonitor dan mendeteksi perusahaan
yang melakukan manajemen laba (Kouaib & Jarboui, 2014). Semakin berkualitas
auditor, maka semakin kecil kemungkinan manajemen laba akan dilakukan.
50
Kualitas auditor salah satunya dapat dilihat dari spesialisasi industrinya. Auditor
spesialis industri cenderung berinvestasi lebih banyak dalam perekrutan dan
pelatihan staf, teknologi informasi, serta teknologi audit, daripada auditor non-
spesialis (Krishnan, 2003b). Auditor spesialis juga memiliki pengetahuan dan
keahlian yang lebih spesifik mengenai industri (Dunn & Mayhew, 2004). Auditor
yang memiliki banyak pengalaman dalam suatu industri tertentu memiliki
kemampuan yang lebih tinggi dalam mendeteksi kesalahan (Wright & Wright,
1997). Hal-hal tersebut membuktikan bahwa auditor yang expert dalam industri
tertentu akan menghasilkan audit yang lebih berkualitas, serta memiliki
kemampuan yang lebih tinggi dalam memonitor dan mendeteksi manajemen
laba, sehingga hal ini akan membatasi perusahaan dalam melakukan
manajemen laba.
Penelitian positivis Teori Agensi mendeskripsikan mekanisme tata kelola
perusahaan yang dapat membatasi sifat self-interest agen atau yang dapat
memecahkan masalah agensi (Eisenhardt, 1998). Hal ini berarti bahwa
manajemen laba juga dapat diminimalisir melalui suatu mekanisme pengawasan
yang dikenal dengan istilah tata kelola perusahaan. Komite Audit merupakan
mekanisme terpenting dalam tata kelola perusahaan yang dapat menghambat
manajemen laba, sebab Komite Audit merupakan bagian yang bertanggung
jawab untuk memastikan akurasi dan reliabilitas laporan keuangan (Ayemere &
Elijah, 2015).
Keberadaan Komite Audit tidak serta merta dapat menurunkan
manajemen laba, tapi mekanisme Komite Audit yang berperan dalam
menurunkan manajemen laba. Komite Audit yang efektif mampu meningkatkan
kredibilitas, reliabilitas dan objektivitas laporan keuangan, serta melindungi
reputasi perusahaan dan kepentingan pemilik saham (Carcello et al., 2002).
Mekanisme Komite Audit diantaranya meliputi ukuran, rapat, independensi, dan
51
keahlian Komite Audit. Alzoubi & Selamat (2012) dan Ayemere & Elijah (2015)
melakukan penelitian mengenai mekanisme Komite Audit yang meliputi ukuran,
rapat, independensi, dan keahlian Komite Audit. Kedua penelitian tersebut
menemukan bahwa masing-masing mekanisme Komite Audit berpengaruh
secara negatif terhadap manajemen laba. Hal ini menunjukkan bahwa
mekanisme Komite Audit yang meliputi ukuran, rapat, independensi, dan
keahlian Komite Audit berperan dalam membatasi manajemen laba.
Prudence merupakan tingkat kehati-hatian dalam melakukan penilaian
untuk membuat estimasi yang diperlukan dalam kondisi ketidakpastian, sehingga
aset atau pendapatan tidak disajikan lebih tinggi dan kewajiban atau beban tidak
disajikan lebih rendah (Hoogervorst, 2012). Prudence muncul ketika perusahaan
berada dalam kondisi yang penuh dengan ketidakpastiaan. LaFond &
Roychowdhury (2008) mengungkapkan bahwa dalam kondisi ketidakpastian
manajemen akan memilih perlakuan akuntansi yang kurang menguntungkan.
Berbagai pilihan metode akuntansi memungkinkan perusahaan untuk memilih
metode yang dampaknya terhadap laba cenderung konservatif (Wistawan, 2015).
Sikap kehati-hatian yang melekat pada konservatisme menyebabkan
konservatisme dapat membatasi sifat oportunis manajer dalam laporan keuangan
(Guay & Verrecchia, 2006; Chen at al., 2007). Kekuatan pengaruh mekanisme
Komite Audit terhadap manajemen laba akan dipengaruhi oleh sikap prudence
manajer dalam menghadapi ketidakpastian, hal ini tercermin dalam kebijakan
akuntansi yang dipilih manajer. Perusahaan yang memilih kebijakan secara
prudence akan membatasi sifat oportunis manajer, sehingga dapat memperkuat
pengaruh negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba.
Penelitian ini akan menguji mengenai pengaruh auditor spesialis industri
dan mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba akrual dan riil, serta
menguji peran prudence dalam memoderasi pengaruh mekanisme Komite Audit
52
terhadap manajemen laba akrual dan riil. Penelitian ini berfokus pada
perusahaan yang melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian.
Kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan pada gambar 3.1 berikut;
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian merupakan dugaan sementara yang diperoleh
melalui perkiraan secara logis mengenai hubungan antarvariabel. Hipotesis
penelitian disusun berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya, kemudian
hipotesis ini akan diuji kebenarannya melalui penelitian empiris.
3.2.1 Manajer Melakukan Manajemen Laba Untuk Menghindari Kerugian
Hayn (1995), Burgstahler & Dichev (1997), Roychowdhury (2006), dan
Subekti (2012a) menemukan bahwa manajer melakukan manajemen laba untuk
menghindari kerugian. Manajer akan mengelola laba negatif yang berada
dibawah titik nol agar menjadi laba positif dan berada diatas titik acuan (titik nol)
(Hayn, 1995; Burgstahler & Dichev, 1997). Roychowdhury (2006) menemukan
Auditor Spesialis Industri (X1)
Manajemen Laba (Y) - Short term discretionary
accruals - Long term discretionary
accruals - Abnormal cash flow
from operation - Abnormal production
cost - Abnormal dicretionary
expense
Prudence (Z)
Mekanisme Komite Audit - Ukuran Komite Audit
(X2) - Independensi Komite
Audit (X3) - Keahlian Komite Audit
(X4) - Rapat Komite Audit
(X5) -
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
53
bukti bahwa sebagian besar perusahaan di Amerika Serikat melakukan
manajemen laba dengan cara mengelola arus kas operasional, biaya produksi,
dan beban diskresioner untuk menghindari kerugian. Subekti (2012a)
menemukan bukti bahwa sebagian perusahaan di Indonesia melakukan
manajemen laba dengan cara memperbesar arus kas operasional, memperbesar
biaya produksi, memperkecil beban diskresioner, dan memperkecil long term
discretionary accruals. Perusahaan-perusahaan tersebut melakukan manajemen
laba untuk menghindari kerugian.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka
hipotesis yang dapat disusun peneliti adalah sebagai berikut;
H1a: Manajer melakukan manajemen laba dengan memperkecil short term discretionary accruals untuk menghindari kerugian
H1b: Manajer melakukan manajemen laba dengan memperkecil long term discretionary accruals untuk menghindari kerugian
H1c: Manajer melakukan manajemen laba dengan memperbesar arus kas operasional untuk menghindari kerugian
H1d: Manajer melakukan manajemen laba dengan memperbesar biaya produksi untuk menghindari kerugian
H1e: Manajer melakukan manajemen laba dengan memperkecil beban diskresioner untuk menghindari kerugian
3.2.2 Pengaruh Auditor Spesialis Industri terhadap Manajemen Laba
Tindakan oportunis manajer dalam pelaporan keuangan dapat dimonitor
oleh pihak ketiga yang disebut sebagai auditor. Hal ini didukung oleh penelitian
Jensen & Meckling (1976) yang menemukan bahwa auditor berperan dalam
mekanisme monitoring untuk mengurangi biaya agensi, salah satunya yang
timbul karena insentif manajer untuk mengelola laba. Keberadaan auditor akan
mengurangi asimetri informasi yang terjadi antara prinsipal dan agen.
Kualitas auditor akan sangat mempengaruhi hasil audit. Kouaib dan
Jarboui (2014) menemukan bahwa ada hubungan negatif antara auditor
bereputasi dan manajemen laba. Hal ini berarti bahwa auditor yang berkualitas
dan memiliki reputasi baik dapat memonitor dan mendeteksi perusahaan yang
54
melakukan manajemen laba, sehingga semakin berkualitas auditor maka
semakin kecil kemungkinan manajemen laba akan dilakukan. Bartov et al. (2001)
menunjukkan bahwa auditor yang berkualitas tinggi lebih suka untuk melaporkan
kesalahan dan penyimpangan yang terjadi dalam praktik akuntansi. Auditor
berkualitas tinggi diharapkan untuk mendeteksi praktik manajemen laba dengan
lebih baik (Becker et al., 1998).
Kualitas auditor tidak hanya dapat dilihat dari brand-name, saat ini auditor
berkualitas dapat dilihat dari spesialisasi industrinya. Solomon et al. (1999)
menemukan bahwa pengetahuan spesifik auditor mengenai industri akan
mempengaruhi kinerja auditor. Auditor yang expert dalam industri tertentu akan
menghasilkan audit yang lebih berkualitas, sehingga auditor dengan spesialisasi
industri akan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam memonitor dan
mendeteksi manajemen laba.
Auditor yang memiliki banyak pengalaman dalam suatu industri tertentu
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mendeteksi kesalahan (Wright &
Wright, 1997). Auditor spesialis cenderung berinvestasi lebih banyak dalam
perekrutan dan pelatihan staf, teknologi informasi, serta teknologi audit, daripada
auditor non-spesialis (Krishnan, 2003b). Auditor spesialis juga memiliki
pengetahuan dan keahlian yang lebih spesifik mengenai industri (Dunn &
Mayhew, 2004). Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa pengetahuan auditor
spesialis berkaitan dengan efektivitas audit, sehingga berdampak pada
kemampuan dalam membatasi manajemen laba.
Balsam et al. (2003) dan Khrisnan (2003b) melakukan penelitian
mengenai peran auditor spesialis dalam membatasi manajemen laba yang diukur
dengan discretionary accrual (DA). Penelitian ini menemukan bahwa klien auditor
non-spesialis melaporkan DA yang lebih tinggi daripada DA yang dilaporkan oleh
klien dari auditor spesialis. Hal ini membuktikan bahwa auditor spesialis dapat
55
menurunkan manajemen laba secara lebih baik daripada auditor non-spesialis.
Rusmin (2010) juga melakukan penelitian mengenai kualitas auditor dan
manajemen laba di Singapura, ia menemukan bukti adanya hubungan negatif
antara kualitas auditor dan manajemen laba. Temuannya menyimpulkan bahwa
besarnya manajemen laba antara perusahaan yang diaudit oleh auditor spesialis
secara signifikan lebih rendah dibandingkan perusahaan yang diaudit dengan
auditor non-spesialis.
Hubungan negatif antara auditor spesialis industri dan manajemen laba
juga ditemukan oleh Gerayli et al. (2011), DeBoskey & Jiang (2012), Inaam et al.
(2012), Hegazy et al. (2015), serta Ahmad et al. (2016). Auditor spesialis industri
berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah. Hal ini berarti bahwa
auditor spesialis industri dapat membatasi manajemen laba.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka
hipotesis yang dapat disusun peneliti adalah sebagai berikut;
H2a: Auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals
H2b: Auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals H2c: Auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba riil yang diukur dengan arus kas operasional H2d: Auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba riil yang diukur dengan biaya produksi H2e: Auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba riil yang diukur dengan beban diskresioner 3.2.3 Pengaruh Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen Laba
Komite Audit merupakan komite yang membantu Dewan Komisaris dalam
melakukan pengawasan dan bertanggung jawab terhadap kredibilitas laporan
keuangan, tata kelola perusahaan dan pengawasan perusahaan. Komite Audit
yang efektif mampu meningkatkan kredibilitas, reliabilitas, dan objektivitas
56
laporan keuangan, serta melindungi reputasi perusahaan dan kepentingan
pemilik saham (Carcello et al., 2002).
Keberadaan Komite Audit bukanlah jaminan untuk membatasi
manajemen laba, tetapi bagaimana mekanisme Komite Audit yang berperan
dalam membatasi manajemen laba dan meningkatkan kepercayaan stakeholders
terkait laporan keuangan. Mekanisme Komite Audit diantaranya meliputi ukuran,
rapat, independensi, dan keahlian Komite Audit. Alzoubi & Selamat (2012) dan
Ayemere & Elijah (2015) melakukan penelitian mengenai mekanisme Komite
Audit yang meliputi ukuran, rapat, independensi, dan keahlian Komite Audit.
Kedua penelitian tersebut menemukan bahwa masing-masing mekanisme
Komite Audit berpengaruh secara negatif terhadap manajemen laba. Hal ini
menunjukkan bahwa mekanisme Komite Audit yang meliputi ukuran, rapat,
independensi, dan keahlian Komite Audit berperan dalam membatasi atau
menurunkan manajemen laba.
Ukuran Komite Audit merupakan salah satu karakteristik signifikan yang
berkontribusi dalam efektivitas Komite Audit (Alzoubi & Selamat, 2012). Ukuran
Komite Audit mengacu kepada jumlah anggota Komite Audit, termasuk pula
didalamnya Ketua Komite Audit. Ukuran Komite Audit yang terlalu kecil dapat
menurunkan efektivitas pemantauan dan efisiensi dalam pemenuhan tugas
mereka (Vafeas, 2005). Alzoubi & Selamat (2012) dan Ayemere & Elijah (2015)
menemukan bahwa ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba. Semakin besar ukuran Komite Audit diharapkan pengawasan
semakin meningkat, sehingga dapat menurunkan manajemen laba.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka
hipotesis yang dapat disusun peneliti adalah sebagai berikut;
H3a: Ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals
57
H3b: Ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals
H3c: Ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
riil yang diukur dengan arus kas operasional H3d: Ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
riil yang diukur dengan biaya produksi H3e: Ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
riil yang diukur dengan beban diskresioner Independensi merupakan kualitas penting yang dapat memberikan
kontribusi untuk efektivitas fungsi pengawasan (Alzoubi & Selamat, 2012).
Senada dengan hal tersebut, Ayemere & Elijah (2015) juga mengungkapkan
bahwa independensi merupakan karakteristik utama dalam efektivitas Komite
Audit. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Komite Audit independen
berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah (Klein, 2002; Xie et al.,
2003; Bedard et al., 2004;. Davidson et al., 2005; Alzoubi & Selamat, 2012;
Ayemere & Elijah, 2015). Hal ini disebabkan karena Komite Audit independen
mampu memonitor manajemen secara efektif.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka
hipotesis yang dapat disusun peneliti adalah sebagai berikut;
H4a: Independensi Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals
H4b: Independensi Komite Audit berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals
H4c: Independensi Komite Audit berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasional H4d: Independensi Komite Audit berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi H4e: Independensi Komite Audit berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba riil yang diukur dengan beban diskresioner Ayemere & Elijah (2015) juga menyebutkan bahwa Komite Audit
bertanggung jawab atas laporan keuangan yang berkualitas dan terpercaya.
58
Berdasarkan hal tersebut, maka merupakan hal penting apabila Komite Audit
memiliki keahlian dalam bidang keuangan dan akuntansi. Alzoubi & Selamat
(2012) menyebutkan bahwa Komite Audit yang memiliki pengetahuan terkait
keuangan dan akuntansi akan meningkatkan kinerja Komite Audit. Peningkatan
kinerja Komite Audit diharapkan dapat berperan dalam menurunkan manajemen
laba. Hal ini dibuktikan oleh Bedard et al. (2004) dan Ayemere & Elijah (2015)
yang menemukan bahwa keahlian keuangan Komite Audit dapat mengurangi
kesempatan mengelola laba secara oportunis.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka
hipotesis yang dapat disusun peneliti adalah sebagai berikut;
H5a: Keahlian Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals
H5b: Keahlian Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals H5c: Keahlian Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba riil yang diukur dengan arus kas operasional H5d: Keahlian Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba riil yang diukur dengan biaya produksi H5e: Keahlian Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba riil yang diukur dengan beban diskresioner Conger et al. (1998) mengemukakan bahwa rapat yang lebih sering
dilakukan mampu meningkatkan efektivitas dewan. Komite audit yang bertemu
secara teratur berhubungan dengan pengawasan yang lebih efektif. Dewan yang
lebih aktif akan lebih mungkin untuk melakukan tugas mereka sesuai dengan
kepentingan pemegang saham dan lebih berupaya dalam memantau integritas
laporan keuangan (Alzoubi & Selamat, 2012). Xie et al. (2003); Alzoubi &
Selamat (2012); Ayemere & Elijah (2015) menemukan bahwa jumlah rapat yang
lebih tinggi berhubungan dengan manajemen laba yang lebih rendah.
59
Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka
hipotesis yang dapat disusun peneliti adalah sebagai berikut;
H6a: Rapat Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals
H6b: Rapat Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals H6c: Rapat Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
riil yang diukur dengan arus kas operasional H6d: Rapat Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
riil yang diukur dengan biaya produksi H6e: Rapat Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
riil yang diukur dengan beban diskresioner
3.2.4 Prudence dalam memoderasi Pengaruh Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen Laba
Prudence atau kehati-hatian merupakan prinsip akuntansi yang
menggantikan konservatisme semenjak konvergensi IFRS (Wistawan, 2015).
Prudence adalah tingkat kehati-hatian dalam melakukan penilaian yang
diperlukan untuk membuat estimasi yang diperlukan dalam kondisi
ketidakpastian, sehingga aset atau pendapatan tidak disajikan lebih tinggi dan
kewajiban atau beban tidak disajikan lebih rendah (Hoogervorst, 2012).
Teori Akuntansi Positif menggambarkan mengenai berbagai pilihan
manajemen atas kebijakan akuntansi yang dapat mempengaruhi angka-angka
akuntansi. LaFond & Roychowdhury (2008) mengungkapkan bahwa dalam
kondisi ketidakpastian manajemen akan memilih perlakuan akuntansi yang
kurang menguntungkan. Berbagai pilihan metode akuntansi memungkinkan
perusahaan untuk memilih metode yang dampaknya terhadap laba adalah
cenderung konservatif (Wistawan, 2015).
Sikap kehati-hatian yang melekat pada konservatisme menyebabkan
konservatisme dapat membatasi sifat oportunis manajer dalam laporan keuangan
60
(Guay & Verrecchia, 2006; Chen at al., 2007). Basu (1997) mengungkapkan
bahwa konservatisme merupakan salah satu cara dalam mewujudkan efisiensi
kontrak. Konservatisme yang dilakukan perusahaan akan membatasi pandangan
optimistik manajer. Manajer akan secara lebih cepat mengakui kerugian daripada
mengakui keuntungan. Implikasi dari penerapan konservatisme adalah
pembayaran dividen kepada pemegang saham dan kompensasi kepada manajer
yang lebih rendah. Konservatisme akan membatasi pembayaran yang bersifat
oportunis kepada manajer dan berbagai pihak dalam kontrak (Watts, 2003).
Perusahaan yang memilih kebijakan secara prudence diharapkan dapat
membatasi sifat oportunis manajer, sehingga dapat memperkuat pengaruh
negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka
hipotesis yang dapat disusun peneliti adalah sebagai berikut;
H7a: Prudence memperkuat pengaruh negatif ukuran Komite Audit terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals
H7b: Prudence memperkuat pengaruh negatif ukuran Komite Audit
terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals
H7c: Prudence memperkuat pengaruh negatif ukuran Komite Audit
terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasional
H7d: Prudence memperkuat pengaruh negatif ukuran Komite Audit
terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi H7e: Prudence memperkuat pengaruh negatif ukuran Komite Audit
terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan beban diskresioner
H8a: Prudence memperkuat pengaruh negatif independensi Komite Audit
terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals
H8b: Prudence memperkuat pengaruh negatif independensi Komite Audit
terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals
61
H8c: Prudence memperkuat pengaruh negatif independensi Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasional
H8d: Prudence memperkuat pengaruh negatif independensi Komite Audit
terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi H8e: Prudence memperkuat pengaruh negatif independensi Komite Audit
terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan beban diskresioner
H9a: Prudence memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit
terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals
H9b: Prudence memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit
terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals
H9c: Prudence memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit
terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasional
H9d: Prudence memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit
terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi H9e: Prudence memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit
terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan beban diskresioner
H10a: Prudence memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit
terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan short term discretionary accruals
H10b: Prudence memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit
terhadap manajemen laba akrual yang diukur dengan long term discretionary accruals
H10c: Prudence memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit
terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasional
H10d: Prudence memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit
terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi H10e: Prudence memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit
terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan beban diskresioner
62
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang analisisnya
menggunakan data-data berbentuk angka untuk kemudian diolah dengan
metode statistik. Jenis penelitian ini adalah hypothesis testing, penelitian ini
menguji pengaruh antar variabel melalui pengujian hipotesis. Penelitian ini
meneliti mengenai pengaruh auditor spesialis industri dan mekanisme Komite
Audit terhadap manajemen laba (short term discretionary accruals, long term
discretionary accruals, abnormal cash flow from operation, abnormal production
cost, dan abnormal dicretionary expense), serta pengaruh prudence dalam
memoderasi pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba.
4.2 Populasi dan Sampel
Populasi merupakan keseluruhan orang, hewan, tumbuhan, benda,
ataupun kejadian yang memiliki karakteristik tertentu yang akan diteliti. Populasi
akan menjadi wilayah untuk menggeneralisasikan hasil penelitian. Populasi
penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) selama periode 2012-2015. Pengambilan sampel menggunakan
metode non-probability sampling, dengan teknik purposive sampling dan
menggunakan kriteria judgement sampling. Kriteria yang digunakan dalam
pengambilan sampel meliputi;
1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI berturut-turut selama
periode 2012-2015. Perusahaan manufaktur dipilih karena data-data yang
dibutuhkan untuk mengukur manajemen laba riil hanya tersedia di
perusahaan manufaktur, misalnya biaya produksi.
63
2. Perusahaan memperoleh laba bersih yang positif selama periode
pengamatan.
3. Perusahaan menggunakan satuan mata uang rupiah dalam pelaporan
keuangannya, hal ini dilakukan guna menghindari bias yang muncul
akibat perbedaan kurs mata uang.
4. Perusahaan mempunyai laporan tahunan yang lengkap dan dapat
diakses.
Tabel 4.1 menyajikan mengenai prosedur pemilihan sampel. Berdasarkan
tabel 4.1, maka jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 83
sampel, dengan jumlah pengamatan sebanyak 332 selama empat tahun.
Tabel 4.1 Prosedur Pemilihan Sampel
No. Kriteria Jumlah
1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2012
130
2. Perusahaan tidak terdaftar selama 4 tahun berturut-turut (2012-2015)
(11)
3. Perusahaan yang memperoleh laba bersih negatif (20) 4. Perusahaan yang laporan keuangannya tidak
menggunakan satuan mata uang rupiah (16)
Jumlah sampel 83 Jumlah pengamatan selama 4 tahun (2012-2015) 332
4.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder. Data sekunder
merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung, yakni diperoleh melalui
data yang dikumpulkan atau dipublikasikan oleh orang lain. Teknik pengumpulan
data yang digunakan untuk memperoleh data sekunder adalah teknik
pengumpulan data dari basis data. Data penelitian ini bersumber dari annual
report atau laporan tahunan yang diperoleh dengan mengakses situs BEI di
64
www.idx.co.id, dan data mengenai harga saham yang diperoleh dari Yahoo
Finance.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi dokumen atau dokumentasi. Studi dokumen merupakan metode
pengumpulan data dengan meneliti berbagai dokumen yang berhubungan
dengan objek yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan secara panel atau
pooled data, peneliti mengumpulkan data dari banyak perusahaan selama
beberapa tahun.
4.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabel-variabel harus didefinisikan secara naratif maupun operasional
untuk memperoleh makna dan pengukuran yang jelas. Definisi operasional
merupakan elemen penelitian yang memberikan definisi mengenai cara
mengukur suatu variabel dalam penelitian, sehingga variabel dapat dioperasikan.
Penelitian ini meneliti mengenai empat variabel, yaitu manajemen laba sebagai
variabel dependen, auditor spesialis industri dan mekanisme Komite Audit
(ukuran, independensi, keahlian, dan rapat Komite Audit) sebagai variabel
independen, serta prudence sebagai variabel moderasi. Definisi operasional
masing-masing variabel adalah sebagai berikut;
4.4.1 Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah manajemen laba yang
diukur dengan menggunakan dua metode manajemen laba, yaitu manajemen
laba akrual dan manajemen laba riil. Manajemen laba akrual merupakan turut
campur manajemen dalam proses pelaporan keuangan melalui berbagai pilihan
akuntansi dan estimasi yang tersedia dalam standar akuntansi. Manajemen laba
akrual dapat dilakukan melalui dua hal, yaitu memanfaatkan kebijakan akuntansi
65
dan discretionary accrual (Scott, 2012). Manajemen laba akrual diukur dengan
menggunakan dua proksi, yaitu short term discretionary accruals dan long term
discretionary accruals.
Manajemen laba riil merupakan manajemen laba yang dilakukan melalui
kegiatan sehari-hari perusahaan sepanjang periode berjalan dan akan
mempengaruhi arus kas perusahaan. Manajemen laba riil diukur dengan
menggunakan tiga proksi, yaitu abnormal cash flow from operation, abnormal
production cost, dan abnormal dicretionary expense.
Lima proksi manajemen laba diukur menggunakan model estimasi dari
Subekti (2012b), yang merupakan modifikasi dari model estimasi Kothari et al.
(2005) dan Roychowdhury (2006). Satu penyesuaian dilakukan terhadap nilai
total aset (1/At-1), dalam setiap model estimasinya Subekti (2012b) menggunakan
nilai logaritma untuk total aset (1/Log. At-1). Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan
dengan perekonomian Indonesia, sehingga bisa mendapatkan hasil analisis yang
lebih baik.
4.4.1.1 Manajemen Laba Akrual
Short term discretionary accruals (SHORTDA) dan long term discretionary
accruals (LONGDA) diperoleh melalui beberapa langkah sebagai berikut:
1. Menghitung total accrual
Total akrual diperoleh dari selisih laba sebelum pos luar biasa dan
arus kas dari kegiatan operasi.
ACCi,t = EARNi,t – CFOi,t…………………………...…..…….....…….....(1)
Keterangan: ACCi,t = Total accrual perusahaan i pada tahun t EARNi,t = Earning before extraordinary items perusahaan i pada
tahun t CFOi,t = Cash flow from operation perusahaan i pada tahun t
66
2. Menghitung short term accrual
STACCi,t = ΔARi,t + ΔINVi,t + ΔOCAi,t - ΔAPi,t - ΔTXPi,t - ΔOCLi,t..........(2)
Keterangan: STACCi,t = Short term accrual perusahaan i pada tahun t ΔARi, = Account receivable tahun t dikurangi tahun t-1
perusahaan i ΔINVi, = Inventory tahun t dikurangi tahun t-1 perusahaan i ΔOCAi,t = Other current assets tahun t dikurangi tahun t-1
perusahaan i ΔAPi, = Account payable tahun t dikurangi tahun t-1 perusahaan i ΔTXPi,t = Tax payable tahun t dikurangi tahun t-1 perusahaan i ΔOCLi,t = Other current liabilities tahun t dikurangi tahun t-1
perusahaan i
3. Menghitung long term accruals
LTACCi,t = ACCi,t – STACCi,t……………………………………………..(3)
Keterangan: ACCi,t = Total accrual perusahaan i pada tahun t LTACCi,t = Long term accrual perusahaan i pada tahun t STACCi,t = Short term accrual perusahaan i pada tahun t
4. Menghitung Short Term Non Discretionary Accrual (SHORTNDA)
SHORTNDA dapat dihitung setelah memperoleh koefisien dari
persamaan regresi berikut ini:
STACCi,t/TAi,t-1 = γ1 (1/Log TAi,t-1) + γ 2 ((ΔREV/-ΔREC)/TAi,t-1) + γ3 (INCt/TAi t-1) + εi,t….………………………….............(4)
Setelah memperoleh koefisien dari persamaan regresi diatas, maka
selanjutnya koefisien tersebut dimasukkan kembali pada persamaan
tersebut untuk memperoleh SHORTNDA.
5. Menghitung Short Term Discretionary Accruals (SHORTDA)
SHORTDA diperoleh dari selisih Short Term Accruals (STACC) dan
SHORTNDA. Rumus SHORTDA adalah sebagai berikut:
SHORTDAi,t = STACCi,t/TAi,t-1 – [η1 (1/Log TAi,t-1) + η2 ((ΔREV/-ΔREC)/TAi,t-1) + η3 (INCt/TAi t-1)] ………..…...……...(5)
Keterangan: SHORTDAi,t = Short term discretionary accruals perusahaan i pada
tahun t STACCi,t = Short term accrual perusahaan i pada tahun t
67
TAt-1 = Total aset perusahaan i pada tahun t-1 ΔREVi,t = Revenue tahun t dikurangi tahun t-1 perusahaan i ΔRECi,t = Receivable tahun t dikurangi tahun t-1 perusahaan i ΔINCi,t = Net income tahun t dikurangi tahun t-1 perusahaan i εi,t = Error term perusahaan i pada tahun t
6. Menghitung Long Term Non Discretionary Accrual (LONGNDA)
LONGNDA dapat dihitung setelah memperoleh koefisien dari
persamaan regresi berikut ini:
LTACCi,t/TAi,t-1 = μ1 (1/Log TAi,t-1) + μ2 (PPEi,t/TAi,t-1) + μ3 (INTi,t/TAi,t-1) + μ4 (INCt/TAi,t-1) + εi,t….…………………………….…..(6)
Setelah memperoleh koefisien dari persamaan regresi diatas, maka
selanjutnya koefisien tersebut dimasukkan kembali pada persamaan
tersebut untuk memperoleh LONGNDA.
7. Menghitung Long Term Discretionary Accruals (LONGDA)
LONGDA diperoleh dari selisih Long Term Accruals (LTACC) dan
LONGNDA. Rumus LONGDA adalah sebagai berikut:
LONGDAi,t = LTACCi,t/TAi,t-1 – [ω1 (1/Log TAi,t-1) + ω2 (PPEi,t/TAi,t-1) + ω3 (INTi,t/TAi,t-1) + ω4 (INCt/TAi,t1)]………….........(7)
Keterangan: LONGDAi,t = Long term discretionary accruals perusahaan i
pada tahun t LTACCi,t = Long term accrual perusahaan i pada tahun t TAt-1 = Total aset perusahaan i pada tahun t-1 PPEi,t = Plant, property, and equipment perusahaan i
pada tahun t INTi,t = Intangible assets perusahaan i pada tahun t INCi,t = Net income perusahaan i pada tahun t εi,t = Error term perusahaan i pada tahun t
4.4.1.2 Abnormal Cash Flow from Operation (ABNCFO)
Laba yang lebih tinggi dapat dicapai melalui peningkatan penjualan.
Peningkatan penjualan dapat dicapai melalui pemberian diskon harga atau
memperpanjang jangka waktu kredit. Pengurangan harga, diskon yang lebih
tinggi, dan persyaratan kredit yang lunak akan menyebabkan arus kas dari
operasi atau cash flow from operation (CFO) menurun pada periode berjalan
68
pada tingkat penjualan tertentu. Berikut adalah langkah-langkah menghitung
ABNCFO.
1. Menghitung koefisien persamaan regresi untuk estimasi normal CFO
CFOt/At-1 = α0 + α1 (1/LogAt-1) + α2 (St/At-1) + α3 (ΔSt/At-1) + εt…........(8)
2. Menghitung estimasi normal CFO dengan memasukkan koefisien
yang diperoleh ke persamaan regresi sebelumnya.
3. Menghitung ABNCFO dari perbedaan antara CFO aktual dan estimasi
normal CFO.
ABNCFO = CFOt/At-1 - [α1 (1/Log At-1) + β1 (St/At-1) + β2 (ΔSt/At1)]…………………………………………………...(9)
4.4.1.3 Abnormal Production Cost (ABNPROD)
Manajer perusahaan manufaktur dapat memproduksi barang dalam
jumlah yang lebih besar. Produksi secara besar-besaran akan menyebabkan
biaya overhead tetap terbagi dalam jumlah produk yang lebih besar, sehingga
akan menurunkan biaya tetap per unit dan total biaya juga akan menurun.
Penurunan total biaya akan berdampak pada penurunan biaya pokok penjualan,
sehingga perusahaan akan melaporkan margin operasi yang lebih tinggi.
Perusahaan diduga melakukan manajemen laba riil melalui pengelolaan biaya
produksi apabila biaya produksi aktual lebih tinggi daripada estimasi biaya
produksi normal. Biaya produksi adalah penjumlahan dari biaya pokok penjualan
dan perubahan persediaan. Berikut ini langkah-langkah menghitung ABNPROD;
1. Menghitung koefisien persamaan regresi untuk estimasi biaya
produksi normal.
PRODt/At-1 = α0 + α1 (1/Log At-1) + β1 (St/At-1) + β2 (ΔSt/At-1) + β3 (ΔSt
1/At-1) + εt……………………………………..................(10)
2. Menghitung estimasi biaya produksi normal dengan memasukkan
koefisien yang diperoleh ke persamaan regresi sebelumnya.
69
3. Menghitung ABNPROD dari perbedaan antara biaya produksi aktual
dan estimasi biaya produksi normal.
ABNPROD = PRODt/At-1 – [α1 (1/Log At-1) + β1 (St/At-1) + β2 (ΔSt/At-1) + β3 (ΔSt-1/At-1)]……………………………………..…...(11)
4.4.1.4 Abnormal Dicretionary Expense (ABNDISC)
Perusahaan memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam mengatur biaya,
seperti biaya penelitian dan pengembangan (R&D), penjualan dan administrasi
(SG&A), biaya iklan, serta biaya pelatihan dan pemeliharaan karyawan. Manajer
dapat melakukan pengurangan biaya-biaya diskresioner tersebut untuk mencapai
target laba yang diinginkan. Perusahaan diduga melakukan manajemen laba riil
melalui pengelolaan biaya diskresioner ketika biaya diskresioner aktual lebih
rendah daripada estimasi biaya diskresioner normal. Biaya diskresioner diperoleh
dari agregat biaya iklan, biaya R&D, dan biaya SG&A. Berikut adalah langkah-
langkah menghitung ABNDISC.
1. Menghitung koefisien persamaan regresi untuk estimasi biaya
diskresioner normal
DISCRt/ At-1 = α0 + α1 (1/Log At-1) + β1 (St/At-1) + εt……………..…...(12)
2. Menghitung estimasi biaya diskresioner normal dengan memasukkan
koefisien yang diperoleh ke persamaan regresi sebelumnya.
3. Menghitung ABNDISC dari perbedaan antara biaya diskresioner
aktual dan estimasi biaya diskresioner normal.
ABNDISCR = DISCRt/ At-1 – [α1 (1/Log At-1) + β1 (St/At-1)]…………..(13)
Keterangan: CFOt = Cash flow from operation pada tahun t PRODt = Production cost pada tahun t DISCRt = Dicretionary Expense pada tahun t At-1 = Total aset perusahaan i pada tahun t-1 St = Sales perusahaan i pada tahun t ΔSt = Sales perusahaan i pada tahun t dikurangi tahun t-1 ΔSt = Sales perusahaan i pada tahun t-1 dikurangi t-2
70
α,β = Konstanta koefisien regresi εt = Error term pada tahun t
4.4.2 Variabel Independen
Penelitian ini menggunakan dua variabel independen, yaitu auditor
spesialis industri dan mekanisme Komite Audit yang terdiri dari ukuran,
independensi, keahlian, dan rapat Komite Audit.
4.4.2.1 Auditor Spesialis Industri
Auditor yang memiliki banyak pengalaman dalam suatu industri tertentu
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mendeteksi kesalahan. Auditor
yang expert dalam industri tertentu akan menghasilkan audit yang lebih
berkualitas, sehingga auditor dengan spesialisasi industri memiliki kemampuan
yang lebih tinggi dalam memonitor dan mendeteksi manajemen laba.
Penelitian ini menggunakan auditor spesialis industri dalam menilai
kualitas audit. Auditor spesialis industri diukur menggunakan jumlah klien auditor
dalam industri yang sama, seperti yang digunakan dalam penelitian Balsam et al.
(2003). Penggunaan jumlah klien berdasarkan alasan bahwa auditor yang
melakukan audit secara berulang pada banyak perusahaan dalam industri yang
sama memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam industri tersebut. Hal
tersebut akan meningkatkan kemampuan auditor dalam mendeteksi kesalahan
dan kecurangan yang dilakukan manajer, sehingga mampu meminimalisir
manajemen laba.
4.4.2.2 Ukuran Komite Audit
Ukuran Komite Audit merupakan salah satu karakteristik signifikan yang
berkontribusi dalam efektivitas Komite Audit (Alzoubi & Selamat, 2012). Ukuran
Komite Audit mengacu kepada jumlah anggota Komite Audit, termasuk pula
71
didalamnya ketua Komite Audit. Ukuran Komite Audit diukur secara numeral,
yaitu berdasarkan jumlah individu yang berada dalam Komite Audit.
4.4.2.3 Independensi Komite Audit
Independensi merupakan kualitas penting yang dapat memberikan
kontribusi untuk efektivitas fungsi pengawasan (Alzoubi & Selamat, 2012).
Independensi Komite Audit merupakan karakteristik penting yang dapat
mempengaruhi efektivitas Komite Audit dalam mengawasi proses pelaporan
keuangan. Independensi Komite Audit merujuk kepada individu dalam Komite
Audit yang berasal dari pihak luar dan tidak memiliki hubungan dengan pihak
terafiliasi, seperti pemegang saham pengendali, anggota dewan komisaris dan
direksi, serta dengan perusahaan tempat ia menjabat. Independensi Komite
Audit diukur dengan menggunakan persentase, dengan rumus sebagai berikut;
Independensi Komite Audit = ....(14)
4.4.2.4 Keahlian Komite Audit
Alzoubi & Selamat (2012) menyebutkan bahwa Komite Audit yang
memiliki pengetahuan terkait keuangan dan akuntansi akan meningkatkan kinerja
Komite Audit. Peningkatan kinerja Komite Audit diharapkan dapat berperan
dalam menurunkan manajemen laba. Keahlian Komite Audit diukur dengan
menggunakan persentase, dengan rumus sebagai berikut;
Keahlian Komite Audit = ...(15)
4.4.2.5 Rapat Komite Audit
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 55 tahun 2015 menyebutkan
bahwa Komite Audit mengadakan rapat minimal sekali dalam jangka waktu tiga
72
bulan. Conger et al. (1998) mengemukakan bahwa rapat yang lebih sering
dilakukan mampu meningkatkan efektivitas dewan. Komite Audit yang lebih aktif
akan memberikan kesempatan yang lebih besar pada anggota untuk membahas
dan mengevaluasi isu-isu mengenai praktek pelaporan keuangan perusahaan.
Rapat Komite Audit diukur secara numeral, yaitu berdasarkan jumlah rapat atau
pertemuan yang dilakukan oleh Komite Audit dalam jangka waktu setahun.
4.4.3 Variabel Moderasi
Variabel moderasi dalam penelitian ini adalah prudence. Prudence adalah
tingkat kehati-hatian dalam melakukan penilaian untuk membuat estimasi yang
diperlukan dalam kondisi ketidakpastian, sehingga aset atau pendapatan tidak
disajikan lebih tinggi dan kewajiban atau beban tidak disajikan lebih rendah
(Hoogervorst, 2012). Prudence diukur dengan menggunakan rasio market-to-
book, yang merupakan salah satu proksi dalam mengukur tingkat konservatisme.
Pengukuran tersebut merupakan pengukuran yang digunakan dalam penelitian
Givoly & Hayn (2000).
Rasio yang lebih besar dari satu mengindikasikan akuntansi yang
konservatif, dan ketika keadaan lain sama maka kenaikan rasio dari waktu ke
waktu menunjukkan peningkatan tingkat konservatisme (Givoly & Hayn, 2000).
Rasio market-to-book (MB) yang lebih tinggi merupakan konsekuensi dari sikap
konservatif perusahaan yang mengakui nilai buku aset secara lebih rendah
(Wijaya, 2012). MB diukur dengan rumus sebagai berikut;
MB = ..............................................................................................(16)
Keterangan: MB = Rasio Market-to-book MVE = Market Value of Equity, yang diperoleh dari jumlah saham yang
beredar dikali closing price (tanggal 30 April) BVE = Book Value of Equity, yang diperoleh dari selisih total aset dan
total liabilitas
73
4.5 Analisis Data
Analisis data dilakukan pada model estimasi manajemen laba dan model
regresi penelitian. Analisis data meliputi analisis statistik deskriptif, uji asumsi
klasik, dan analisis regresi.
4.5.1 Analisis Statistik Deskriptif
Analisis statistik deskriptif dilakukan untuk memperoleh gambaran atau
karakteristik distribusi data yang diteliti, meliputi nilai minimun, nilai maksimun,
nilai rata-rata, dan deviasi standar. Data yang dianalisis meliputi manajemen
laba, auditor spesialis industri, mekanisme Komite Audit, dan prudence.
4.5.2 Uji Asumsi Klasik
Penelitian ini merupakan penelitian yang memiliki tujuan prediktif (to
predict), yakni untuk memprediksi suatu hubungan antar variabel. Data-data
dalam jenis penelitian ini harus memenuhi kriteria dalam asumsi-asumsi dasar
analisis regresi. Uji ini sering disebut sebagai uji asumsi klasik, uji asumsi klasik
dilakukan agar tidak terjadi bias dalam hasil penelitian serta model regresi
memiliki daya prediksi yang layak. Uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji
multikoloniaritas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi.
4.5.2.1 Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah
residual dalam model regresi berdistribusi normal atau tidak. Model regresi
dikatakan layak apabila residualnya berdistribusi normal atau mendekati normal.
Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan kurva histogram. Residual dalam
model regresi adalah berdistribusi normal apabila lebar antara sisi kanan dan sisi
kiri kurva histogram sama.
74
4.5.2.2 Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui
adanya korelasi antar variabel independen. Model regresi yang layak adalah
yang antar variabel independennya tidak berkorelasi secara sempurna. Uji
multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan pendekatan Variance Inflation
Factor (VIF). Nilai VIF yang lebih kecil dari 10 mengindikasikan tidak terjadinya
multikolinearitas.
4.5.2.3 Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui
adanya ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan
yang lain. Model regresi yang layak adalah yang memiliki varians homogen atau
tidak terjadi gejala heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan
menggunakan uji Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel
independen terhadap nilai absolut residualnya. Nilai Sig. yang lebih besar dari
alpha (0,05) menunjukkan bahwa varians adalah homogen atau tidak terjadi
gejala heteroskedastisitas.
4.5.2.4 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui adanya
korelasi antar kesalahan pengganggu dalam suatu data yang bersifat time series.
Model regresi yang layak merupakan model regresi yang kesalahan pengganggu
dalam datanya tidak berkorelasi. Uji autokorelasi dilakukan dengan
menggunakan uji Durbin-Watson. Autokorelasi tidak terjadi ketika du<dw<(4-du).
75
4.6 Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan secara parsial dengan menggunakan uji t.
Pengujian parsial melalui uji t dilakukan untuk menguji secara parsial pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen. Pengambilan kesimpulan atas
hasil pengujian menggunakan nilai probabilitas statistik dan nilai koefisien.
Apabila nilai probabilitas statistik lebih kecil dari 0,05 (one-tailed) dan koefisien
bernilai negatif, maka H0 ditolak dan Ha didukung. Hal ini membuktikan bahwa
variabel independen secara parsial berpengaruh negatif terhadap variabel
dependen.
4.7 Model Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda hierarki
(Hierarchical Multiple Regression) untuk menguji model regresi penelitian.
Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda hierarki karena teknik
analisis data ini dapat memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai
pengaruh variabel independen, variabel moderasi, serta interaksi antara variabel
independen dan moderasi terhadap variabel dependen. Pengujian dilakukan
dengan menggunakan aplikasi SPSS versi 20.
Pengujian dengan menggunakan analisis regresi berganda hierarki
dilakukan secara bertahap. Tahapan analisis regresi berganda hierarki dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Menganalisis model regresi penelitian dengan memasukkan variabel
dependen dan variabel independen.
2. Menganalisis model regresi penelitian dengan memasukkan variabel
dependen dan variabel moderasi.
76
3. Menganalisis model regresi penelitian dengan memasukkan variabel
dependen, variabel independen, variabel moderasi, serta variabel
interaksi antara variabel independen dan moderasi.
Berdasarkan tiga tahapan dalam analisis regresi berganda hierarki, maka
tiga model regresi penelitian ini adalah sebagai berikut;
EM = α0 + β1ASI + β2UKA+ β3IKA+ β4KKA+ β5RKA + εt………….…...(17)
EM = α0 + β1P + εt…….........................................................................(18)
EM = α0 + β1ASI + β2UKA+ β3IKA+ β4KKA+ β5RKA + β6P + β7UKA*P +
β8IKA*P + β9KKA*P + β10RKA*P + εt………...............................(19)
Keterangan: EM = Earning management yang diproksikan dengan SHORTDA,
LONGDA, ABNCFO, ABNPROD, dan ABNDISCR α,β = Konstanta koefisien regresi ASI = Auditor spesialis industri UKA = Ukuran Komite Audit IKA = Independensi Komite Audit KKA = Keahlian Komite Audit RKA = Rapat Komite Audit P = Prudence ε = Error term
77
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Analisis Model Estimasi Manajemen Laba
Bagian ini menyajikan mengenai hasil analisis model estimasi manajemen
laba yang terdiri dari uji asumsi klasik untuk model estimasi manajemen laba dan
hasil analisis regresi dari model estimasi manajemen laba.
5.1.1 Hasil Uji Asumsi Klasik Model Estimasi Manajemen Laba
Uji asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji multikoloniaritas, uji
heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi. Uji normalitas merupakan uji yang
dilakukan untuk mengetahui apakah residual dalam model regresi berdistribusi
normal atau tidak. Model regresi dikatakan layak apabila residualnya berdistribusi
normal atau mendekati normal. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan
kurva histogram. Residual dalam model regresi adalah berdistribusi normal
apabila lebar antara sisi kanan dan sisi kiri kurva histogram sama. Berdasarkan
hasil pengujian normalitas dari kelima model estimasi manajemen laba, diperoleh
lebar antara sisi kanan dan sisi kiri kurva histogram dari masing-masing model
estimasi manajemen laba adalah sama. Hal ini berarti bahwa nilai residual dari
kelima model regresi telah berdistribusi normal. Hasil uji normalitas pada kelima
model estimasi manajemen laba dapat dilihat pada lampiran 3, 4, 5, 6, dan 7.
Uji multikolinearitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui
adanya korelasi antar variabel independen. Model regresi yang layak adalah
yang antar variabel independennya tidak berkorelasi secara sempurna. Uji
multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan pendekatan Variance Inflation
Factor (VIF). Nilai VIF yang lebih kecil dari 10 mengindikasikan tidak terjadinya
multikoloniaritas. Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada tabel 5.1.
78
Berdasarkan tabel 5.1, diperoleh bahwa semua variabel independen dalam
model estimasi manajemen laba memiliki nilai VIF < 10 dan nilai tolerance >
0,10. Hal ini berarti bahwa tidak terjadi multikolinearitas pada semua model
estimasi manajemen laba.
Tabel 5.1Hasil Uji Multikolinearitas Model Estimasi Manajemen Laba
Proksi Manajemen Laba Variabel VIF Tolerance
Short term nondiscretionary accrual
1/Log TAi.t-1(ΔREV/-ΔREC)/TAi.t-1
INCt/TAi t-1
0,9600,8460,816
1,0421,1811,226
Long term nondiscretionary accrual
1/Log TAi.tPPEi.t/TAi.t-1INTi.t/TAi.t-1INCt/TAi.t-1
0,9150,9320,9700,925
1,0921,0741,0311,081
Abnormal cash flow from operation
1/Log TAi.tSt/At-1
ΔSt/At-1
0,9930,7950,793
1,0071,2581,262
Abnormal Production Cost
1/Log TAi.tSt/At-1
ΔSt/At-1ΔSt-1/At-1
0,9850,7600,7780,889
1,0161,3161,2851,125
Abnormal Dicretionary Expense 1/Log TAi.tSt/At-1
0,9990,999
1,0011,001
Lihat Lampiran 3, 4, 5, 6, 7
Uji heteroskedastisitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui
adanya ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan
yang lain. Model regresi yang layak adalah yang memiliki varians homogen atau
tidak terjadi gejala heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan
menggunakan uji Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel
independen terhadap nilai absolut residualnya. Nilai Sig. yang lebih besar dari
alpha (0.05) menunjukkan bahwa varians adalah homogen atau tidak terjadi
gejala heteroskedastisitas. Tabel 5.2 menunjukkan mengenai hasil uji
heteroskedastisitas model estimasi manajemen laba.
79
Tabel 5.2Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Estimasi Manajemen Laba
Proksi Manajemen Laba Variabel Sig Keterangan
Short term nondiscretionary accrual
1/Log TAi.t-1(ΔREV/-
ΔREC)/TAi.t-1INCt/TAi t-1
0,9220,3450,067
NonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitas
Long term nondiscretionary accrual
1/Log TAi.tPPEi.t/TAi.t-1INTi.t/TAi.t-1INCt/TAi.t-1
0,3960,1950,2830,510
NonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitas
Abnormal cash flow from operation
1/Log TAi.tSt/At-1
ΔSt/At-1
0,6240,5990,717
NonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitas
Abnormal Production Cost
1/Log TAi.tSt/At-1
ΔSt/At-1ΔSt-1/At-1
0,8500,5660,1870,124
NonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitas
Abnormal Dicretionary Expense
1/Log TAi.tSt/At-1
0,1120,151
NonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitas
Lihat lampiran 3, 4, 5, 6, 7
Uji autokorelasi merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui adanya
korelasi antar kesalahan pengganggu dalam suatu data yang bersifat time series.
Model regresi yang layak merupakan model regresi yang kesalahan pengganggu
dalam datanya tidak berkorelasi. Uji autokorelasi dilakukan dengan
menggunakan uji Durbin-Watson. Autokorelasi tidak terjadi ketika du<dw<(4-du).
Tabel 5.3 menyajikan mengenai hasil uji autokorelasi kelima model estimasi
manajemen laba. Gejala autokorelasi yang terjadi pada model estimasi short
term discretionary accrual, abnormal production cost, dan abnormal dicretionary
expense dapat diabaikan, sebab pada penelitian cross-sectional sering ditemui
masalah gejala autokorelasi.
80
Tabel 5.3Hasil Uji Autokorelasi Model Estimasi Manajemen Laba
Proksi Manajemen Laba Du Dw 4-du Keterangan
Short term discretionary accrual 1,807 1,962 2,193 Tidak terjadi autokorelasi
Long term discretionary accrual 1,801 1,763 2,199 Terjadi autokorelasi
Abnormal cash flow from operation 1,807 1,984 2,193 Tidak terjadi
autokorelasi
Abnormal production cost 1,801 1,301 2,199 Terjadi autokorelasi
Abnormal dicretionary expense 1,814 1,627 2,186 Terjadi autokorelasi
Lihat lampiran 3, 4, 5, 6, 7
5.1.2 Hasil Analisis Regresi Model Estimasi Manajemen Laba
Analisis regresi dilakukan terhadap kelima model estimasi manajemen
laba, yang terdiri dari short term discretionary accrual (SHORTDA), long term
discretionary accrual (LONGDA), abnormal cash flow from operation (ABNCFO),
abnormal production cost (ABNPROD), dan abnormal dicretionary expense
(ABNDISCR). Pengujian ini menggunakan analisis regresi berganda, nilai
koefisien yang diperoleh dari analisis ini kemudian digunakan untuk menghitung
nilai dari masing-masing proksi manajemen laba. Hasil analisis regresi dari
kelima model estimasi manajemen laba disajikan pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 menjelaskan mengenai nilai dari koefisien regresi yang akan
digunakan untuk menghitung manajemen laba akrual dan manajemen laba riil
(SHORTDA, LONGDA, ABNCFO, ABNPROD, dan ABNDISCR). Tabel 5.4
menunjukkan bahwa berdasarkan nilai F, semua koefisien model estimasi adalah
signifikan, hal ini menunjukkan bahwa model regresi sudah akurat. Besarnya
daya penjelas (explanatory power) dapat dilihat dari nilai Adjusted R2. Abnormal
production cost memiliki daya penjelas tertinggi sebesar 84,9 persen, sedangkan
daya penjelas terendah dimiliki oleh long term discretionary accrual sebesar 2,5
81
persen. Daya penjelas untuk model short term discretionary accrual adalah
sebesar 14,1 persen, sebesar 6,9 persen untuk model abnormal cash flow from
operation, dan 9,9 persen untuk model abnormal dicretionary expense.
Tabel 5.4Hasil Analisis Regresi Model Estimasi Manajemen Laba
STACCt/TAt-1 LTACCt/TAt-1 CFOt/At-1 PRODt/At-1 DISCRt/ At-1
Intercept 0,030(0,300)
-0,121(-1,230)
0,503(3,527)
-0,117(-0,423)
0,131(8,888)
1/Log TAi.t-1 -0,225(-0,187)
1,083(0,927)
-5,767**(-3,326)
0,709(0,210)
-0,015(-1,595)
(ΔREV/-ΔREC)/TAi.t-1
0,113**(5,557)
INCt/TAi t-1 0,107(2,493)
0,097*(2,524)
PPEi.t/TAi.t-1 -0,042*(-2,524)
INTi.t/TAi.t-1 0,106(1,098)
St/At-1 0,044**(3,765)
0,889**(38,694)
0,014(1,438)
ΔSt/At-1 -0,005(-0,155)
-0,155**(-2,672)
ΔSt-1/At-1 0,010(0,156)
F-value 19,185** 3,162* 9,199** 465,946** 19,178**
Adjusted R2 0,141 0,025 0,069 0,849 0,099
Lihat Lampiran 3, 4, 5, 6, 7* Signifikan pada alpha 5%, ** signifikan pada alpha 1%
5.2 Hasil Analisis Pengujian Hipotesis
Bagian ini menyajikan hasil analisis model penelitian untuk menguji
hipotesis yang terdiri dari hasil analisis statistik deskriptif, uji asumsi klasik, dan
hasil analisis regresi model penelitian.
82
5.2.1 Hasil Analisis Statistik Deskriptif
Analisis statistik deskriptif dilakukan untuk memperoleh gambaran atau
karakteristik distribusi dari suatu data yang diteliti, meliputi nilai minimun, nilai
maksimun, nilai rata-rata, dan deviasi standar. Data yang dianalisis meliputi short
term discretionary accrual (SHORTDA), long term discretionary accrual
(LONGDA), abnormal cash flow from operation (ABNCFO), abnormal production
cost (ABNPROD), abnormal dicretionary expense (ABNDISCR), auditor spesialis
industri, ukuran Komite Audit, independensi Komite Audit, keahlian Komite Audit,
rapat Komite Audit, dan prudence. Tabel 5.5 menyajikan hasil statistik deskriptif
masing-masing variabel.
Tabel 5.5Hasil Analisis Statistik Deskriptif
Minimum Maksimum Rata-Rata Deviasi StandarSHORTDA -0,482 0,443 0,030 0,095LONGDA -0,498 0,252 -0,121 0,090ABNCFO 0,022 1,376 0,503 0,140ABNPROD -1,823 0,954 -0,127 0,270ABNDISCR -0,981 2,591 -,0239 0,235UKA 2,000 5,000 3,140 0,424IKA 1,000 1,000 1,000 0,000KKA 0,250 1,000 0,750 0,236RKA 1,000 38,000 6,440 5,116ASI 1,000 17,000 6,790 5,651Prudence -6,981 68,479 3,175 8,135Lihat lampiran 8Keterangan: SHORTDA = Short Term Discretionary Accrual, LONGDA = Long Term Discretionary Accrual, ABNCFO = Abnormal Cash Flow from Operation, ABNPROD = Abnormal Production Cost, dan ABNDISCR = Abnormal Dicretionary Expense, ASI = Auditor Spesialis Industri, UKA = Ukuran Komite Audit, IKA = Independensi Komite Audit, KKA = Keahlian Komite Audit, RKA = Rapat Komite Audit.
Manajemen laba diukur dengan menggunakan lima proksi, yaitu
SHORTDA, LONGDA, ABNCFO, ABNPROD, dan ABNDISCR. Perusahaan-
perusahaan sampel memiliki angka SHORTDA tertinggi sebesar 0,443, angka
terendah sebesar -0,482, rata-rata sebesar 0,030, dan deviasi standar sebesar
83
0,095. LONGDA memiliki angka tertinggi sebesar 0,252, angka terendah sebesar
-0,498, rata-rata sebesar -0,121, dan deviasi standar sebesar 0,090. ABNCFO
memiliki angka tertinggi sebesar 1,376, angka terendah sebesar 0,022, rata-rata
sebesar 0,503, dan deviasi standar sebesar 0,140. ABNPROD memiliki angka
tertinggi sebesar 0,954, angka terendah sebesar -1,823, rata-rata sebesar -
0,127, dan deviasi standar sebesar 0,270. ABNDISCR memiliki angka tertinggi
sebesar 2,591, angka terendah sebesar -0,981, rata-rata sebesar -,0239, dan
deviasi standar sebesar 0,235.
Auditor spesialis industri merupakan auditor yang memiliki keahlian atau
kemampuan khusus dalam suatu industri tertentu. Auditor yang expert dalam
industri tertentu akan menghasilkan audit yang lebih berkualitas, sehingga
auditor dengan spesialisasi industri memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam
memonitor dan mendeteksi manajemen laba. Penelitian ini mengukur auditor
spesialis industri dengan menggunakan jumlah klien auditor dalam industri yang
sama. Hasil analisis statistik deskriptif menunjukkan angka rata-rata sebesar
6,790. Hal ini menunjukkan bahwa secara rata-rata perusahaan audit memiliki
klien sebanyak 6 perusahaan. Auditor spesialis industri memiliki nilai tertinggi
sebesar 17, nilai terendah sebesar 1, dan deviasi standar sebesar 5,651.
Mekanisme Komite Audit dalam penelitian ini meliputi ukuran,
independensi, keahlian, dan rapat Komite Audit. Ukuran Komite Audit mengacu
kepada jumlah anggota Komite Audit, termasuk pula didalamnya Ketua Komite
Audit. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 tahun 2015 mewajibkan
perusahaan publik untuk memiliki Komite Audit. Komite Audit tersebut harus
paling sedikit terdiri atas tiga orang yang berasal dari pihak luar (independen).
Ukuran Komite Audit memiliki nilai rata-rata sebesar 3,140, angka ini lebih besar
dari tiga, ini menunjukkan bahwa secara rerata perusahaan-perusahaan sampel
telah memenuhi persyaratan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55
84
tahun 2015 untuk memiliki paling sedikit tiga orang Komite Audit. Ukuran Komite
Audit memiliki nilai tertinggi sebesar 5, nilai terendah sebesar 2, dan deviasi
standar sebesar 0,424.
Independensi Komite Audit merujuk kepada individu dalam Komite Audit
yang berasal dari pihak luar dan tidak memiliki hubungan dengan pihak terafiliasi,
seperti pemegang saham pengendali, anggota dewan komisaris dan direksi,
serta dengan perusahaan tempat ia menjabat. Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 55 tahun 2015 mewajibkan perusahaan publik untuk memiliki
Komite Audit paling sedikit tiga orang yang berasal dari pihak luar. Independensi
Komite Audit memiliki nilai rata-rata sebesar 1, ini menunjukkan bahwa secara
rerata perusahaan-perusahaan sampel telah memenuhi persyaratan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 tahun 2015 untuk memiliki Komite
Audit yang berasal dari pihak luar (independen). Independensi Komite Audit
memiliki nilai tertinggi sebesar 1, nilai terendah sebesar 1, dan deviasi standar
sebesar 0,000.
Keahlian Komite Audit merujuk kepada individu dalam Komite Audit yang
memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan. Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 55 tahun 2015 mewajibkan Komite Audit wajib memahami
laporan keuangan serta memiliki pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman
terkait dengan pekerjaannya. Komite Audit juga diharuskan untuk memiliki salah
satu anggota yang berlatar belakang akuntansi dan keuangan. Keahlian Komite
Audit memiliki nilai rata-rata sebesar 0,745, ini menunjukkan bahwa secara rerata
perusahaan-perusahaan sampel telah memenuhi persyaratan dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 tahun 2015 untuk memiliki Komite Audit
paling sedikit satu orang yang berlatar belakang akuntansi dan keuangan.
Keahlian Komite Audit memiliki nilai tertinggi sebesar 1, nilai terendah sebesar
0,250, dan deviasi standar sebesar 0,236.
85
Rapat Komite Audit mengacu kepada jumlah rapat atau pertemuan yang
dilakukan oleh Komite Audit. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 tahun
2015 mewajibkan perusahaan publik untuk melaksanakan rapat secara berkala
paling sedikit satu kali dalam waktu tiga bulan, atau dengan kata lain paling
sedikit empat kali dalam waktu setahun. Rapat Komite Audit memiliki nilai rata-
rata sebesar 6,440, angka ini lebih besar dari empat, ini menunjukkan bahwa
secara rerata perusahaan-perusahaan sampel telah memenuhi persyaratan
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 tahun 2015 untuk
mengadakan rapat paling sedikit empat kali dalam setahun. Rapat Komite Audit
memiliki nilai tertinggi sebesar 38, nilai terendah sebesar 1, dan deviasi standar
sebesar 5,116.
Prudence adalah tingkat kehati-hatian dalam melakukan penilaian untuk
membuat estimasi yang diperlukan dalam kondisi ketidakpastian, sehingga aset
atau pendapatan tidak lebih saji dan kewajiban atau beban tidak kurang saji
(Hoogervorst, 2012). Perusahaan-perusahaan sampel memiliki angka prudence
tertinggi sebesar 68,479, angka terendah sebesar -6,981, rata-rata sebesar
3,175, dan deviasi standar sebesar 8,135.
5.2.2 Hasil Analisis Regresi Linier
Analisis regresi linier sederhana digunakan untuk menguji hipotesis 1
(H1a-H1e), yaitu manajer melakukan manajemen laba untuk menghindari
kerugian. Pertama-tama dilakukan pengelompokan sampel menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok yang diduga melakukan manajemen laba dan yang
tidak melakukan manajemen laba. Pengelompokan ini berdasarkan pada EPS.
EPS yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika (USD), seperti yang digunakan dalam penelitian Subekti
(2012a), hal ini disebabkan karena sebagian besar investor di Indonesia berasal
86
dari luar negeri. Batasan nilai EPS yang digunakan untuk membagi kelompok
menjadi dua adalah Rp 573, yaitu 5 persen dari kurs rata-rata 2012-2015 (Rp
11.453). Perusahaan yang diduga melakukan manajemen laba adalah
perusahaan yang memiliki EPS antara nol sampai dengan Rp 573.
Pengelompokkan sampel yang diduga melakukan manajemen laba dan yang
tidak melakukan manajemen laba dapat dilihat pada tabel 5.6 berikut ini.
Tabel 5.6Perusahaan yang Teridentifikasi Melakukan Manajemen Laba
Tahun Teridentifikasi Tidak Teridentifikasi2012 69 142013 73 102014 72 112015 72 11Total 286 46
Sampel yang teridentifikasi dan tidak teridentifikasi melakukan
manajemen laba digunakan sebagai variabel dummy dalam pengujian hipotesis
1a-1e, sampel yang teridentifikasi melakukan manajemen laba diberi nilai 1 dan 0
bagi perusahaan yang tidak teridentifikasi melakukan manajemen laba. Langkah
selanjutnya adalah melakukan pengujian hipotesis. Hasil pengujian asumsi klasik
menunjukkan bahwa model regresi penelitian telah memenuhi uji asumsi klasik.
Berdasarkan hasil pengujian normalitas, semua model penelitian yang
menggunakan lima proksi manajemen laba memiliki lebar yang sama antara sisi
kanan dan sisi kiri kurva histogram. Hal ini berarti bahwa nilai residual dari kelima
model regresi telah berdistribusi normal. Hasil pengujian normalitas dapat dilihat
pada lampiran 9, 10, 11, 12, dan 13.
Uji multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan pendekatan
Variance Inflation Factor (VIF). Nilai VIF yang lebih kecil dari 10 mengindikasikan
tidak terjadinya multikoloniaritas. Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada
tabel 5.7. Berdasarkan tabel 5.7, diperoleh bahwa variabel independen (Dummy
87
EPS) dalam model regresi memiliki nilai VIF < 10 dan nilai tolerance > 0,10. Hal
ini berarti bahwa tidak terjadi multikolinearitas pada semua model regresi.
Tabel 5.7Hasil Uji Multikolinearitas Analisis Regresi Linier
Proksi Manajemen Laba VIF ToleranceShort term nondiscretionary accrual 1,000 1,000Long term nondiscretionary accrual 1,000 1,000Abnormal cash flow from operation 1,000 1,000Abnormal Production Cost 1,000 1,000Abnormal Dicretionary Expense 1,000 1,000Lihat Lampiran 9, 10, 11, 12, dan 13
Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejser. Uji
Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel independen terhadap nilai
absolut residualnya. Nilai Sig. yang lebih besar dari alpha (0,05) menunjukkan
bahwa varians adalah homogen atau tidak terjadi gejala heteroskedastisitas.
Tabel 5.8 menunjukkan hasil uji heteroskedastisitas kelima model penelitian.
Tabel 5.8Hasil Uji Heteroskedastisitas Analisis Regresi Linier
Proksi Manajemen Laba Sig KeteranganShort term nondiscretionary accrual 0,752 NonheteroskedastisitasLong term nondiscretionary accrual 0,564 NonheteroskedastisitasAbnormal cash flow from operation 0,058 NonheteroskedastisitasAbnormal Production Cost 0,071 NonheteroskedastisitasAbnormal Dicretionary Expense 0,751 NonheteroskedastisitasLihat Lampiran 9, 10, 11, 12, dan 13
Uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin-Watson.
Autokorelasi tidak terjadi ketika du<dw<(4-du).Tabel 5.9 menyajikan mengenai
hasil uji autokorelasi model regresi penelitian dengan lima proksi manajemen
laba. Model regresi penelitian dengan variabel dependen short term discretionary
accrual dan abnormal cash flow from operation tidak menunjukkan terjadi
autokorelasi. Gejala autokorelasi yang terjadi pada model penelitian dengan
variabel dependen long term discretionary accrual, abnormal production cost,
88
dan abnormal dicretionary expense dapat diabaikan, sebab pada penelitian
cross-sectional sering ditemui masalah mengenai gejala autokorelasi.
Tabel 5.9Hasil Uji Autokorelasi Analisis Regresi Linier
Variabel Dependen Du Dw 4-du Keterangan
Short term discretionary accrual 1,825 1,961 2,175 Tidak terjadi autokorelasi
Long term discretionary accrual 1,825 1,761 2,175 Terjadi autokorelasi
Abnormal cash flow from operation 1,825 2,048 2,175 Tidak terjadi
autokorelasi
Abnormal production cost 1,825 1,338 2,175 Terjadi autokorelasi
Abnormal dicretionary expense 1,825 1,676 2,175 Terjadi autokorelasi
Lihat lampiran 9, 10, 11, 12, dan 13
Ringkasan hasil analisis pengujian hipotesis 1 dapat dilihat pada tabel
5.10. Dummy EPS signifikan untuk regresi ABNCFO dan ABNPROD, sedangkan
dummy EPS tidak signifikan untuk SHORTDA, LONGDA, dan ABNDISCR.
Koefisien dummy EPS untuk proksi ABNCFO adalah sebesar -0,132, hasil ini
membuktikan bahwa manajer melakukan manajemen laba dengan cara
memperkecil arus kas operasional untuk menghindari kerugian. Arah koefisien
dari hasil penelitian H1c tidak sesuai dengan perumusan hipotesis yang
menyebutkan bahwa manajer melakukan manajemen laba dengan cara
memperbesar arus kas operasional untuk menghindari kerugian. Koefisien
dummy EPS untuk proksi ABNPROD adalah sebesar 0,215, hasil ini mendukung
hipotesis 1d bahwa manajer melakukan manajemen laba dengan cara
memperbesar biaya produksi untuk menghindari kerugian. Dummy EPS untuk
proksi SHORTDA, LONGDA, dan ABNDISCR adalah tidak signifikan, ini berarti
terjadi penolakan hipotesis 1a, 1b, dan 1e. Manajer tidak melakukan manajemen
laba terhadap transaksi-transaksi akrual jangka pendek dan jangka panjang,
serta beban diskresioner.
89
Tabel 5.10Hasil Analisis Regresi Linier
SHORTDA LONGDA ABNCFO ABNPROD ABNDISCRKonstanta 0,016 -0,125 0,617 -0,312 -0,188Dum_EPS 0,016
(1,041)0,004
(0,313)-0,132**(-6,297)
0,215**(5,194)
-0,059(-1,579)
F-value 1,084 0,098 39,647** 26,978** 2,494Adjusted R2 0,000 0,003 0,105 0,073 0,004Lihat Lampiran 9, 10, 11, 12, 13* Signifikan pada alpha 5%, Signifikan pada alpha 1%Keterangan: SHORTDA = Short Term Discretionary Accrual, LONGDA = Long Term Discretionary Accrual, ABNCFO = Abnormal Cash Flow From Operation, ABNPROD = Abnormal Production Cost, dan ABNDISCR = Abnormal Dicretionary Expense, Dum_EPS = Dummy Earnings per Share.
5.2.3 Hasil Uji Asumsi Klasik Regresi Berganda Hierarki
Tahapan analisis selanjutnya adalah menguji pengaruh auditor spesialis
industri, mekanisme komite audit, serta interaksi antara mekanisme komite audit
dan prudence terhadap manajemen laba. Penelitian ini menggunakan analisis
regresi berganda hierarki untuk menguji model regresi penelitian. Hal ini
disebabkan karena teknik analisis data ini dapat memberikan penjelasan yang
lebih baik mengenai pengaruh variabel independen, variabel moderasi, serta
interaksi antara variabel independen dan moderasi terhadap variabel dependen.
Proksi manajemen laba yang digunakan dalam pengujian ini (H2-H10)
adalah abnormal cash flow from operation dan abnormal production cost,
penggunaan keduanya sehubungan dari hasil penelitian H1a-H1e yang
menemukan bahwa untuk menghindari kerugian, manajer hanya melakukan
manajemen laba dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.
Pegujian ini tidak menggunakan proksi short term discretionary accrual, long term
discretionary accrual dan abnormal dicretionary expense. Hal ini dikarenakan
manajer tidak terbukti melakukan manajemen laba dengan mengelola akrual
jangka pendek dan jangka panjang, serta beban diskresioner untuk menghindari
kerugian.
90
Penelitian ini merupakan penelitian yang memiliki tujuan prediktif (to
predict), yakni untuk memprediksi suatu hubungan antar variabel. Data-data
dalam jenis penelitian ini harus memenuhi kriteria dalam asumsi-asumsi dasar
analisis regresi (uji asumsi klasik) agar tidak terjadi bias dalam hasil penelitian
serta model regresi memiliki daya prediksi yang layak. Uji asumsi klasik meliputi
uji normalitas, uji multikoloniaritas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi.
5.2.3.1 Hasil Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah
residual dalam model regresi berdistribusi normal. Model regresi dikatakan layak
apabila residualnya berdistribusi normal atau mendekati normal. Uji normalitas
dilakukan dengan menggunakan kurva histogram. Residual dalam model regresi
adalah berdistribusi normal apabila lebar antara sisi kanan dan sisi kiri kurva
histogram sama. Berdasarkan hasil pengujian normalitas, kedua model penelitian
memiliki lebar yang sama antara sisi kanan dan sisi kiri kurva histogram. Hal ini
berarti bahwa nilai residual dari kedua model regresi telah berdistribusi normal.
Hasil pengujian normalitas dapat dilihat pada lampiran 14 dan 15.
5.2.3.2 Hasil Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui
adanya korelasi antar variabel independen. Uji multikolinearitas dilakukan
dengan menggunakan pendekatan Variance Inflation Factor (VIF). Nilai VIF yang
lebih kecil dari 10 mengindikasikan tidak terjadinya multikoloniaritas.
Berdasarkan tabel 5.11, diperoleh bahwa semua variabel independen dalam
model regresi hierarki tahap 1, tahap 2, dan tahap 3 memiliki nilai VIF < 10 dan
nilai tolerance > 0,10, kecuali untuk variabel interaksi, hal ini merupakan situasi
yang normal terjadi pada variabel interaksi.
91
Tabel 5.11Hasil Uji Multikolinearitas Model Regresi Hierarki
Lihat Lampiran 14 dan 15Keterangan: ABNCFO = Abnormal Cash Flow from Operation, ABNPROD = Abnormal Production Cost, ASI = Auditor Spesialis Industri, UKA = Ukuran Komite Audit, IKA = Independensi Komite Audit, KKA = Keahlian Komite Audit, RKA = Rapat Komite Audit, P = Prudence.
5.2.3.3 Hasil Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui
adanya ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan
yang lain. Model regresi yang layak adalah yang memiliki varians homogen atau
tidak terjadi gejala heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan
menggunakan uji Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel
independen terhadap nilai absolut residualnya. Nilai Sig. yang lebih besar dari
alpha (0,05) menunjukkan bahwa varians adalah homogen atau tidak terjadi
gejala heteroskedastisitas. Tabel 5.12 menunjukkan mengenai hasil uji
heteroskedastisitas kedua model penelitian.
ABNCFO ABNPRODVariabel
VIF Tolerance VIF ToleranceASIUKAKKARKA
1,0341,2721,0481,233
0,9680,7860,9550,811
1,0341,2721,0481,233
0,9680,7860,9550,811
P 1,018 0,982 1,018 0,982
ASIUKAKKARKAPUKA*PIKA*PKKA*PRKA*P
1,1182,7561,5212,425
4227,527296,771
3795,06935,2607,586
0,8420,3630,6570,4120,0000,0030,0000,0280,132
1,1182,7561,5212,425
4227,527296,771
3795,06935,2607,586
0,8420,3630,6570,4120,0000,0030,0000,0280,132
92
Tabel 5.12Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Penelitian
Sig KeteranganVariabel
ABNCFO ABNPRODASIUKAKKARKAPUKA*PIKA*PKKA*PRKA*P
0,2120,7450,5270,1490,1030,9300,2210,0900,522
0,5030,3510,7010,0780,1700,6470,5800,3520,944
NonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitasNonheteroskedastisitas
Lihat Lampiran 14 dan 15Keterangan: ABNCFO = Abnormal Cash Flow from Operation, ABNPROD = Abnormal Production Cost, ASI = Auditor Spesialis Industri, UKA = Ukuran Komite Audit, IKA = Independensi Komite Audit, KKA = Keahlian Komite Audit, RKA = Rapat Komite Audit, P = Prudence.
5.2.3.4 Hasil Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui adanya
korelasi antar kesalahan pengganggu dalam suatu data yang bersifat time series.
Model regresi yang layak merupakan model regresi yang kesalahan pengganggu
dalam datanya tidak berkorelasi. Uji autokorelasi dilakukan dengan
menggunakan uji Durbin-Watson. Autokorelasi tidak terjadi ketika du<dw<(4-du).
Tabel 5.13 menyajikan mengenai hasil uji autokorelasi model regresi penelitian
dengan dua proksi manajemen laba. Model regresi penelitian dengan variabel
dependen abnormal cash flow from operation dan abnormal production cost tidak
menunjukkan terjadi gejala autokorelasi.
Tabel 5.13Hasil Uji Autokorelasi Model Penelitian
Variabel Dependen Du Dw 4-du KeteranganAbnormal cash flow from operation 1,869 1,969 2,131 Tidak terjadi
autokorelasiAbnormal production cost 1,869 1,199 2,131 Tidak terjadi
autokorelasi Lihat lampiran 14 dan 15
93
5.2.4 Hasil Analisis Regresi Berganda Hierarki
Tabel 5.14Hasil Analisis Regresi Berganda Hierarki
ABNCFO ABNPRODModel Regresi Tahap 1
Konstanta 0,510(7,592)
-0,130(-1,064)
ASI 0,004*(2,968)
-0,005*(-2,357)
UKA -0,011(-0,557)
0,026(0,723)
KKA -0,019(-0,609)
-0,004(0,068)
RKA 0,000(-0,158)
-0,001(-0,515)
F-value 2,267 1,542Adjusted R2 0,017 0,008
Model Regresi Tahap 2Konstanta 0,520
(8,000)-0,139
(-1,151)P 0,007**
(4,504)-0,007*(-2,276)
F-value 5,996** 2,288*Adjusted R2 0,081 0,022
Model Regresi Tahap 3Konstanta 0,415
(4,155)0,126
(0,680)ASI 0,002
(1,787)-0,003
(-1,171)UKA 0,011
(0,388)-0,027
(-0,521)KKA 0,015
(0,409)-0,105
(-1,553)RKA -0,002
(-0,936)-0,002
(-0,558)P 1,175
(1,741)-0,172
(-0,924)UKA* P
IKA*P
-0,013(-1,494)-0,115
(-1,215)
0,019(1,171)0,058
(0,328)KKA* P -0,019
(-1,939)0,055*(3,104)
RKA* P 0,001(1,573)
0,000(-0,129)
F-value 4,126** 2,394*Adjusted R2 0,090 0,042
Lihat Lampiran 14 dan 15* Signifikan pada alpha 5%, ** signifikan pada alpha 1%
Keterangan: ABNCFO = Abnormal Cash Flow from Operation, ABNPROD = Abnormal Production Cost, ASI = Auditor Spesialis Industri, UKA = Ukuran Komite Audit, IKA = Independensi Komite Audit, KKA = Keahlian Komite Audit, RKA = Rapat Komite Audit, P = Prudence.
94
Tabel 5.14 menyajikan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan
analisis regresi berganda hierarki. Salah satu variabel independen (independensi
Komite Audit) dikeluarkan dari model penelitian karena memiliki nilai yang
konstan selama tahun pengamatan. Penjelasan atas hasil pengujian hipotesis
dengan menggunakan analisis regresi berganda hierarki dapat dijabarkan
sebagai berikut;
1. Pengaruh Auditor Spesialis Industri terhadap Manajemen Laba
Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh auditor
spesialis industri terhadap manajemen laba. Manajemen laba diproksikan
dengan dua proksi, yaitu ABNCFO (H2c) dan ABNPROD (H2d). Pengujian tidak
dilakukan terhadap proksi manajemen laba SHORTDA (H2a), LONGDA (H2b),
dan ABNDISCR (H2e), hal ini karena berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e
menemukan bahwa manajer hanya melakukan manajemen laba dengan
mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.
a. Hasil pengujian hipotesis 2c (H2c)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien
regresi pengaruh auditor spesialis industri terhadap ABNCFO adalah
positif sebesar 0,004 dengan nilai probabilitas sebesar 0,003. Nilai
probabilitas lebih kecil daripada alpha (0,05), namun arah yang positif
menyebabkan H2c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa auditor
spesialis industri berpengaruh terhadap ABNCFO, tetapi memiliki arah
yang positif.
b. Hasil pengujian hipotesis 2d (H2d)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien
regresi pengaruh auditor spesialis industri terhadap ABNPROD
adalah negatif sebesar 0,005 dengan nilai probabilitas sebesar 0,019.
Nilai probabilitas yang lebih kecil daripada alpha (0,05) menunjukkan
95
bahwa H2d didukung. Hal ini berarti bahwa auditor spesialis industri
berpengaruh negatif terhadap ABNPROD.
2. Pengaruh Ukuran Komite Audit terhadap Manajemen Laba
Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh ukuran Komite
Audit terhadap manajemen laba. Manajemen laba diproksikan dengan dua
proksi, yaitu ABNCFO (H3c) dan ABNPROD (H3d). Pengujian tidak dilakukan
terhadap proksi manajemen laba SHORTDA (H3a), LONGDA (H3b), dan
ABNDISCR (H3e), hal ini karena berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e
menemukan bahwa manajer hanya melakukan manajemen laba dengan
mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.
a. Hasil pengujian hipotesis 3c (H3c)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien
regresi pengaruh ukuran Komite Audit terhadap ABNCFO adalah
negatif sebesar 0,011 dengan nilai probabilitas sebesar 0,578. Nilai
probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan
bahwa H3c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa ukuran Komite Audit
tidak berpengaruh negatif terhadap ABNCFO.
b. Hasil pengujian hipotesis 3d (H3d)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien
regresi pengaruh ukuran Komite Audit terhadap ABNPROD adalah
positif sebesar 0,026 dengan nilai probabilitas sebesar 0,470. Nilai
probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan
bahwa H3d tidak didukung. Hal ini berarti bahwa ukuran Komite Audit
tidak berpengaruh negatif terhadap ABNPROD.
3. Pengaruh Keahlian Komite Audit terhadap Manajemen Laba
Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh keahlian
Komite Audit terhadap manajemen laba. Manajemen laba diproksikan dengan
96
dua proksi, yaitu ABNCFO (H5c) dan ABNPROD (H5d). Pengujian tidak
dilakukan terhadap proksi manajemen laba SHORTDA (H5a), LONGDA (H5b),
dan ABNDISCR (H5e), hal ini karena berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e
menemukan bahwa manajer hanya melakukan manajemen laba dengan
mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.
a. Hasil pengujian hipotesis 5c (H5c)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien
regresi pengaruh keahlian Komite Audit terhadap ABNCFO adalah
negatif sebesar 0,019 dengan nilai probabilitas sebesar 0,543. Nilai
probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan
bahwa H5c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa keahlian Komite
Audit tidak berpengaruh negatif terhadap ABNCFO.
b. Hasil pengujian hipotesis 5d (H5d)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien
regresi pengaruh keahlian Komite Audit terhadap ABNPROD adalah
negatif sebesar 0,004 dengan nilai probabilitas sebesar 0,946. Nilai
probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan
bahwa H5d tidak didukung. Hal ini berarti bahwa keahlian Komite
Audit tidak berpengaruh negatif terhadap ABNPROD.
4. Pengaruh Rapat Komite Audit terhadap Manajemen Laba
Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh rapat Komite
Audit terhadap manajemen laba. Manajemen laba diproksikan dengan dua
proksi, yaitu ABNCFO (H6c) dan ABNPROD (H6d). Pengujian tidak dilakukan
terhadap proksi manajemen laba SHORTDA (H6a), LONGDA (H6b), dan
ABNDISCR (H6e), hal ini karena berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e
menemukan bahwa manajer hanya melakukan manajemen laba dengan
mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.
97
a. Hasil pengujian hipotesis 6c (H6c)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien
regresi pengaruh rapat Komite Audit terhadap ABNCFO adalah
sebesar 0,000 dengan nilai probabilitas sebesar 0,875. Nilai
probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan
bahwa H6c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa rapat Komite Audit
tidak berpengaruh negatif terhadap ABNCFO.
b. Hasil pengujian hipotesis 6d (H6d)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 1 menunjukkan bahwa koefisien
regresi pengaruh rapat Komite Audit terhadap ABNPROD adalah
negatif sebesar 0,001 dengan nilai probabilitas sebesar 0,607. Nilai
probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan
bahwa H6d tidak didukung. Hal ini berarti bahwa rapat Komite Audit
tidak berpengaruh negatif terhadap ABNPROD.
5. Pengaruh Prudence dalam memoderasi Pengaruh Ukuran Komite Audit terhadap Manajemen Laba
Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh prudence
dalam memoderasi pengaruh ukuran Komite Audit terhadap manajemen laba.
Manajemen laba diproksikan dengan dua proksi, yaitu ABNCFO (H7c) dan
ABNPROD (H7d). Pengujian tidak dilakukan terhadap proksi manajemen laba
SHORTDA (H7a), LONGDA (H7b), dan ABNDISCR (H7e), hal ini karena
berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e menemukan bahwa manajer hanya
melakukan manajemen laba dengan mengelola arus kas operasional dan biaya
produksi.
a. Hasil pengujian hipotesis 7c (H7c)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari
interaksi prudence dan ukuran Komite Audit terhadap ABNCFO
98
adalah negatif sebesar 0,013 dengan nilai probabilitas sebesar 0,136.
Nilai probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan
bahwa H7c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa prudence tidak
memoderasi pengaruh ukuran Komite Audit terhadap ABNCFO.
b. Hasil pengujian hipotesis 7d (H7d)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari
interaksi prudence dan ukuran Komite Audit terhadap ABNPROD
adalah positif sebesar 0,019 dengan nilai probabilitas sebesar 0,243.
Nilai probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan
bahwa H7d tidak didukung. Hal ini berarti bahwa prudence tidak
memoderasi pengaruh ukuran Komite Audit terhadap ABNPROD.
6. Pengaruh Prudence dalam memoderasi Pengaruh Independensi Komite Audit terhadap Manajemen Laba
Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh prudence
dalam memoderasi pengaruh independensi Komite Audit terhadap manajemen
laba. Manajemen laba diproksikan dengan dua proksi, yaitu ABNCFO (H8c) dan
ABNPROD (H8d). Pengujian tidak dilakukan terhadap proksi manajemen laba
SHORTDA (H8a), LONGDA (H8b), dan ABNDISCR (H8e), hal ini karena
berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e menemukan bahwa manajer hanya
melakukan manajemen laba dengan mengelola arus kas operasional dan biaya
produksi.
a. Hasil pengujian hipotesis 8c (H8c)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari
interaksi prudence dan independensi Komite Audit terhadap ABNCFO
adalah negatif sebesar 0,115 dengan nilai probabilitas sebesar 0,226.
Nilai probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan
99
bahwa H8c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa prudence tidak
memoderasi pengaruh independensi Komite Audit terhadap ABNCFO.
b. Hasil pengujian hipotesis 8d (H8d)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari
interaksi prudence dan independensi Komite Audit terhadap
ABNPROD adalah positif sebesar 0,058 dengan nilai probabilitas
sebesar 0,743. Nilai probabilitas yang lebih besar daripada alpha
menunjukkan bahwa H8d tidak didukung. Hal ini berarti bahwa
prudence tidak memoderasi pengaruh independensi Komite Audit
terhadap ABNPROD.
7. Pengaruh Prudence dalam memoderasi Pengaruh Keahlian Komite Audit terhadap Manajemen Laba
Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh prudence
dalam memoderasi pengaruh keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba.
Manajemen laba diproksikan dengan dua proksi, yaitu ABNCFO (H9c) dan
ABNPROD (H9d). Pengujian tidak dilakukan terhadap proksi manajemen laba
SHORTDA (H9a), LONGDA (H9b), dan ABNDISCR (H9e), hal ini karena
berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e menemukan bahwa manajer hanya
melakukan manajemen laba dengan mengelola arus kas operasional dan biaya
produksi.
a. Hasil pengujian hipotesis 9c (H9c)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari
interaksi prudence dan keahlian Komite Audit terhadap ABNCFO
adalah negatif sebesar 0,019 dengan nilai probabilitas sebesar 0,054.
Nilai probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan
bahwa H9c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa prudence tidak
memoderasi pengaruh keahlian Komite Audit terhadap ABNCFO.
100
b. Hasil pengujian hipotesis 9d (H9d)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari
interaksi prudence dan keahlian Komite Audit terhadap ABNPROD
adalah positif sebesar 0,055 dengan nilai probabilitas sebesar 0,002.
Nilai probabilitas lebih kecil daripada alpha (0,05), namun arah yang
positif menyebabkan H9d tidak didukung. Hal ini berarti bahwa
prudence tidak memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit
terhadap ABNPROD, melainkan memperlemah pengaruh negatif
keahlian Komite Audit terhadap ABNPROD.
8. Pengaruh Prudence dalam memoderasi Pengaruh Rapat Komite Audit terhadap Manajemen Laba
Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji pengaruh prudence
dalam memoderasi pengaruh rapat Komite Audit terhadap manajemen laba.
Manajemen laba diproksikan dengan dua proksi, yaitu ABNCFO (H10c) dan
ABNPROD (H10d). Pengujian tidak dilakukan terhadap proksi manajemen laba
SHORTDA (H10a), LONGDA (H10b), dan ABNDISCR (H10e), hal ini karena
berdasarkan hasil penelitian H1a-H1e menemukan bahwa manajer hanya
melakukan manajemen laba dengan mengelola arus kas operasional dan biaya
produksi.
a. Hasil pengujian hipotesis 10c (H10c)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari
interaksi prudence dan rapat Komite Audit terhadap ABNCFO adalah
positif sebesar 0,001 dengan nilai probabilitas sebesar 0,117. Nilai
probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan
bahwa H10c tidak didukung. Hal ini berarti bahwa prudence tidak
memoderasi pengaruh rapat Komite Audit terhadap ABNCFO.
101
b. Hasil pengujian hipotesis 10d (H10d)
Tabel 5.14 pada model regresi tahap 3 menunjukkan koefisien dari
interaksi prudence dan rapat Komite Audit terhadap ABNPROD
adalah positif sebesar 0,000 dengan nilai probabilitas sebesar 0,898.
Nilai probabilitas yang lebih besar daripada alpha (0,05) menunjukkan
bahwa H10d tidak didukung. Hal ini berarti bahwa prudence tidak
memoderasi pengaruh rapat Komite Audit terhadap ABNPROD.
Ringkasan hasil pengujian hipotesis dapat ditampilkan pada tabel 5.15
sebagai berikut;
102
Tabel 5.15Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis
Hipotesis Keterangan KesimpulanManajer melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugianH1a
H1b
H1c
H1d
H1e
Manajer melakukan manajemen laba dengan memperkecil short term discretionary accruals untuk menghindari kerugianManajer melakukan manajemen laba dengan memperkecil long term discretionary accruals untuk menghindari kerugianManajer melakukan manajemen laba dengan memperbesar arus kas operasional untuk menghindari kerugianManajer melakukan manajemen laba dengan memperbesar biaya produksi untuk menghindari kerugianManajer melakukan manajemen laba dengan memperkecil beban diskresioner untuk menghindari kerugian
tidak didukung
tidak didukung
tidak didukung
didukung
tidak didukung
Pengaruh auditor spesialis industri terhadap manajemen labaH2c
H2d
Auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalAuditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi
tidak didukung
didukung
Pengaruh ukuran Komite Audit terhadap manajemen labaH3c
H3d
Ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalUkuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi
tidak didukung
tidak didukung
Pengaruh keahlian Komite Audit terhadap manajemen labaH5c
H5d
Keahlian Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalKeahlian Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi
tidak didukung
tidak didukung
Pengaruh rapat Komite Audit terhadap manajemen labaH6c
H6d
Rapat Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalRapat Komite Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi
tidak didukung
tidak didukung
Pengaruh prudence dalam memoderasi ukuran Komite Audit dan manajemen labaH7c
H7d
Prudence memperkuat pengaruh negatif ukuran Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalPrudence memperkuat pengaruh negatif ukuran Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi
tidak didukung
tidak didukung
Pengaruh prudence dalam memoderasi independensi Komite Audit dan manajemen labaH8c
H8d
Prudence memperkuat pengaruh negatif independensi Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalPrudence memperkuat pengaruh negatif independensi Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi
tidak didukung
tidak didukung
Pengaruh prudence dalam memoderasi keahlian Komite Audit dan manajemen labaH9c
H9d
Prudence memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalPrudence memperkuat pengaruh negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi
tidak didukung
tidak didukung
Pengaruh prudence dalam memoderasi rapat Komite Audit dan manajemen labaH10c
H10d
Prudence memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan arus kas operasionalPrudence memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan biaya produksi
tidak didukung
tidak didukung
103
5.3 Pembahasan Hasil Pengujian Hipotesis
Bagian ini membahas mengenai hasil pengujian hipotesis. Pertama akan
dibahas mengenai manajer yang melakukan manajemen laba untuk menghindari
kerugian, kemudian dibahas mengenai pengaruh auditor spesialis industri dan
mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba, dan terakhir mengenai
prudence dalam memoderasi pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap
manajemen laba.
5.3.1 Manajer Melakukan Manajemen Laba Untuk Menghindari Kerugian
Salah satu tujuan manajer dalam melakukan manajemen laba adalah
untuk menghindari kerugian. Manajer menghindari kerugian karena laba negatif
mengindikasikan kinerja manajer yang buruk. Laba negatif juga dapat
meningkatkan biaya transaksi dengan pihak stakeholders. Manajer akan
mengelola laba negatif yang berada dibawah titik nol agar menjadi laba positif
dan berada diatas titik acuan (titik nol) (Hayn, 1995; Burgstahler & Dichev, 1997;
Subekti, 2012a).
Hasil pengujian H1a, H1b, H1c, H1d, dan H1e menunjukkan bahwa
dummy EPS hanya signifikan terhadap ABNCFO dan ABNPROD. Hasil ini
menunjukkan bahwa manajer melakukan manajemen laba dengan mengelola
arus kas operasional dan biaya produksi untuk menghindari kerugian. Temuan ini
sesuai dengan Teori Prospek yang mengungkapkan bahwa keputusan yang
diambil terkait keuntungun atau kerugian didefinisikan secara relatif pada suatu
titik acuan (reference point). Manajer akan mengelola laba negatif yang berada
dibawah titik nol agar menjadi laba positif dan berada diatas titik acuan (titik nol)
(Hayn, 1995; Burgstahler & Dichev, 1997; Subekti, 2012a).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa hanya H1d yang didukung, bahwa
untuk menghindari kerugian manajer melakukan manajemen laba dengan cara
104
memperbesar biaya produksi (ABNPROD). Hasil pengujian H1c menunjukkan
bahwa dummy EPS signifikan terhadap ABNCFO, tetapi dengan arah negatif, hal
ini menunjukkan bahwa H1c tidak didukung. Manajer melakukan manajemen
laba untuk menghindari kerugian dengan cara memperkecil arus kas operasional,
bukan dengan cara memperbesar arus kas operasional (ABNCFO).
Roychowdhury (2006) mengungkapkan bahwa aktivitas pengelolaan penjualan
melalui pemberian potongan harga dan persyaratan kredit yang lunak dapat
menyebabkan arus kas operasional pada periode berjalan menjadi lebih rendah
dibandingkan tingkat penjualan pada keadaan normal. Arus kas masuk per
penjualan setelah dikurangi potongan harga adalah lebih rendah seiring dengan
penurunan margin. Pemberian potongan harga menyebabkan arus kas masuk
menjadi lebih rendah selama masa penjualan, sehingga manajemen laba yang
dilakukan dengan mengelola penjualan dapat menyebabkan arus kas
operasional menurun.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa manajer tidak mengelola transaksi
akrual jangka pendek dan jangka panjang untuk menghindari kerugian. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan yang dimiliki manajemen laba akrual. Graham
et al. (2005) mengungkapkan bahwa manajer kini lebih menekankan pada
manajemen laba riil, hal ini disebabkan karena keengganan mereka untuk
menggunakan manajemen laba berbasis akuntansi, sebagai akibat dari skandal
akuntansi Enron dan WorldCom. Zang (2012) juga menyebutkan bahwa
manajemen laba akrual dibatasi oleh pengawasan pihak luar dan fleksibilitas.
Manajemen laba akrual lebih mudah dideteksi oleh auditor, sedangkan
manajemen laba riil lebih sulit dideteksi, sebab manajemen laba riil mirip dengan
keputusan normal bisnis. Manajemen laba riil dapat dilakukan di sepanjang
periode berjalan, sedangkan manajemen laba akrual hanya dapat dilakukan
diakhir periode, sehingga manajemen laba riil memberikan keleluasaan yang
105
lebih besar kepada manajer untuk mencapai target laba di sepanjang periode
berjalan.
Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa manajer tidak mengelola beban
diskresioner untuk menghindari kerugian. Hal ini disebabkan karena menurunkan
beban diskresioner dapat memberikan dampak yang besar terhadap nilai
perusahaan di masa depan (Roychowdhury, 2006). Beban diskresioner terdiri
dari beban penelitian dan pengembangan (R&D), beban penjualan dan
administrasi, serta beban iklan. Mengurangi beban diskresioner dapat
mempengaruhi nilai perusahaan, misalkan mengurangi biaya R&D pada saat ini
berisiko terhadap kemampuan bersaing perusahaan di masa depan.
Pengurangan beban diskresioner mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam
berinovasi, hal ini dapat menyebabkan perusahaan kalah bersaing dengan
perusahaan lain dan dapat berisiko terhadap penurunan penjualan dan arus kas
di masa depan.
5.3.2 Pengaruh Auditor Spesialis Industri terhadap Manajemen Laba
Audit merupakan alat yang digunakan oleh auditor untuk melakukan
pengawasan terhadap konflik kepentingan yang muncul antara prinsipal dan
agen. Keberadaan auditor akan mengurangi asimetri informasi yang terjadi
antara prinsipal dan agen. Auditor berkualitas salah satunya dapat dilihat dari
spesialisasi industrinya. Auditor spesialis industri memiliki berbagai keunggulan-
keunggulan yang dapat meningkatkan efektivitas audit. Auditor spesialis industri
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mendeteksi kesalahan. Auditor
yang expert dalam industri tertentu akan menghasilkan audit yang lebih
berkualitas, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam memonitor
dan mendeteksi manajemen laba.
106
Hasil pengujian H2c dan H2d menunjukkan bahwa auditor spesialis
industri berpengaruh signifikan positif terhadap ABNCFO dan berpengaruh
signifikan negatif terhadap ABNPROD. Hasil pengujian H2d menunjukkan bahwa
auditor spesialis industri berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil yang
dilakukan dengan mengelola biaya produksi (ABNPROD). Hal ini menunjukkan
bahwa semakin besar jumlah klien auditor dalam suatu industri yang sama, maka
semakin menurunkan manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola biaya
produksi. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Balsam et al. (2003),
Khrisnan (2003b), Rusmin (2010), Gerayli et al. (2011), DeBoskey & Jiang
(2012), Inaam et al. (2012), Hegazy et al. (2015), serta Ahmad et al. (2016).
Penelitian-penelitian tersebut menemukan hubungan negatif antara auditor
spesialis industri dan manajemen laba. Auditor spesialis industri berhubungan
dengan manajemen laba yang lebih rendah. Hal ini berarti bahwa auditor
spesialis industri dapat membatasi manajemen laba yang dilakukan perusahaan.
Ada beberapa kelebihan auditor spesialis industri yang menyebabkan
auditor spesialis memiliki kemampuan dalam menurunkan manajemen laba.
Auditor spesialis industri cenderung berinvestasi lebih banyak dalam perekrutan
dan pelatihan staf, teknologi informasi, serta teknologi audit, daripada auditor
non-spesialis (Krishnan, 2003b). Auditor spesialis juga memiliki pengetahuan dan
keahlian yang lebih spesifik mengenai industri (Dunn & Mayhew, 2004). Solomon
et al. (1999) menemukan bahwa pengetahuan spesifik auditor mengenai industri
akan mempengaruhi kinerja auditor. Auditor yang memiliki banyak pengalaman
dalam suatu industri tertentu memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam
mendeteksi kesalahan (Wright & Wright, 1997). Hasil penelitian ini mendukung
penelitian Jensen & Meckling (1976) yang menemukan bahwa auditor berperan
dalam mekanisme monitoring untuk mengurangi biaya agensi, salah satunya
yang timbul karena insentif manajer untuk mengelola laba.
107
Hasil pengujian H2c menunjukkan bahwa auditor spesialis industri
signifikan terhadap ABNCFO, tetapi dengan arah positif, hal ini menunjukkan
bahwa H1c tidak didukung. Hasil ini sesuai dengan temuan Challen & Siregar
(2011) yang menemukan bahwa keberadaan auditor spesialis industri
berhubungan dengan abnormal cash flow from operation (ABNCFO) yang lebih
tinggi. Harusetya & Pujilestari (2013) juga menemukan bahwa auditor spesialis
industri berpengaruh positif terhadap manajemen laba riil yang dilakukan dengan
mengelola penjualan. Auditor spesialis industri memiliki kemampuan yang lebih
besar dalam membatasi manajemen laba berbasis akrual dibandingkan
manajemen laba riil. Manajemen laba riil yang dilakukan dengan mengelola arus
kas operasional lebih sulit dideteksi oleh auditor (Challen & Siregar, 2011).
Auditor spesialis industri lebih mudah dan lebih berfokus dalam mendeteksi
metode manajemen laba selain arus kas operasional, sehingga keberadaan
auditor spesialis industri justru menyebabkan manajer meningkatkan manajemen
laba riil dengan mengelola arus kas operasional.
5.3.3 Pengaruh Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen Laba
Teori Agensi Positivis berfokus pada identifikasi situasi antara prinsipal dan
agen yang memiliki konflik tujuan, serta mendeskripsikan mekanisme tata kelola
yang dapat membatasi sifat self-interest agen atau yang dapat memecahkan
masalah agensi. Komite Audit merupakan mekanisme terpenting dalam tata
kelola perusahaan yang dapat menghambat manajemen laba, sebab Komite
Audit merupakan bagian yang bertanggung jawab untuk memastikan akurasi dan
reliabilitas laporan keuangan yang disediakan manajemen (Ayemere & Elijah,
2015). FCGI (2001) menjabarkan mengenai tiga tanggung jawab Komite Audit,
yaitu bertanggung jawab terhadap laporan keuangan, memastikan bahwa
perusahaan menjalankan usahanya sesuai dengan ketentuan hukum, undang-
108
undang dan menjalankan bisnisnya secara etis, serta bertanggung jawab
terhadap pengawasan perusahaan. Mekanisme Komite Audit tercermin dalam
ukuran Komite Audit, independensi Komite Audit, keahlian Komite Audit, dan
jumlah rapat Komite Audit.
Ukuran Komite Audit yang terlalu kecil dapat menurunkan efektivitas
pemantauan dan efisiensi dalam pemenuhan tugas Komite Audit (Vafeas, 2005).
Semakin besar ukuran Komite Audit diharapkan pengawasan semakin
meningkat, sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Hasil pengujian
hipotesis H3c dan H3d menunjukkan bahwa kedua hipotesis tersebut tidak
didukung. Hasil pengujian H3c dan H3d menunjukkan bahwa ukuran Komite
Audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan
mengelola arus kas operasional (ABNCFO) dan biaya produksi (ABNPROD). Hal
ini menunjukkan bahwa ukuran Komite Audit tidak berperan dalam menurunkan
manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan
biaya produksi. Hasil penelitian ini berbeda dengan temuan Alzoubi & Selamat
(2012) dan Ayemere & Elijah (2015) yang menemukan bahwa ukuran Komite
Audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini
mendukung temuan Chandrasegaram et al. (2013) yang menemukan bahwa
ukuran komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
Komite Audit bertanggung jawab terhadap laporan keuangan, guna
memastikan bahwa laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan telah
mencerminkan keadaan sebenarnya. Berdasarkan hal tersebut, maka
merupakan hal penting apabila Komite Audit memiliki keahlian dalam bidang
keuangan dan akuntansi. Hasil pengujian hipotesis H5c dan H5d menunjukkan
bahwa kedua hipotesis tersebut tidak didukung. Hasil pengujian tersebut
menunjukkan bahwa keahlian Komite Audit tidak berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional
109
(ABNCFO) dan biaya produksi (ABNPROD). Hal ini menunjukkan bahwa
besarnya jumlah anggota Komite Audit yang memiliki latar belakang keuangan
dan akuntansi tidak berperan dalam menurunkan manajemen laba yang
dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi. Hasil
penelitian ini berbeda dengan temuan Alzoubi & Selamat (2012) dan Ayemere &
Elijah (2015) yang menemukan bahwa keahlian Komite Audit berpengaruh
negatif terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini mendukung temuan
Mohamad et al. (2012) yang menemukan bahwa keahlian Komite Audit tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba.
Conger et al. (1998) mengemukakan bahwa rapat yang lebih sering
dilakukan mampu meningkatkan efektivitas dewan. Komite audit yang bertemu
secara teratur berhubungan dengan pengawasan yang lebih efektif. Hasil
pengujian H6c dan H6d menunjukkan bahwa kedua hipotesis tersebut tidak
didukung. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa rapat Komite Audit tidak
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan
mengelola arus kas operasional (ABNCFO) dan biaya produksi (ABNPROD). Hal
ini menunjukkan bahwa jumlah rapat yang diadakan oleh Komite Audit tidak
dapat membatasi manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas
operasional dan biaya produksi. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian
Xie et al. (2003), Alzoubi & Selamat (2012), dan Ayemere & Elijah (2015) yang
menemukan bahwa jumlah rapat yang lebih tinggi berhubungan dengan
manajemen laba yang lebih rendah. Hasil penelitian ini mendukung temuan
Mohamad et al. (2012) yang menemukan bahwa rapat komite audit tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba.
Hasil penelitian mengenai pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap
manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan
biaya produksi tidak mendukung Jensen & Meckling (1976) yang menyebutkan
110
bahwa mekanisme tata kelola perusahaan merupakan mekanisme yang
berperan dalam mekanisme monitoring untuk mengurangi biaya agensi, salah
satunya yang timbul karena insentif manajer untuk mengelola laba. Mekanisme
tata kelola perusahaan yang salah satunya tercermin dalam mekanisme Komite
Audit bukan merupakan mekanisme yang dapat menurunkan manajemen laba
yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.
Faccio & Lang (2002) menemukan bahwa hampir di semua Negara terjadi
konsentrasi kepemilikan perusahaan. Indonesia merupakan salah satu Negara
yang kepemilikannya terkonsentrasi pada pemegang saham pengendali.
Pemegang saham pengendali dalam struktur kepemilikan ini biasanya
memegang posisi yang kuat untuk mempengaruhi direksi, sehingga perusahaan
ini mungkin memiliki tata kelola perusahaan yang lebih rendah karena
pemantauan yang tidak efektif oleh dewan (Wang, 2006). Hal inilah yang
menyebabkan mekanisme Komite Audit tidak berperan dalam menurunkan
manajemen laba, sebab pemegang saham pengendali dan direksi memiliki
kedudukan yang kuat dalam menjalankan perusahaan. Agustia (2013)
mengungkapkan bahwa direksi yang memiliki kedudukan yang cenderung sangat
kuat terkadang tidak bersedia untuk memberikan informasi memadai kepada
komisaris. Hal tersebut menyebabkan Komite Audit memiliki keterbatasan dalam
melakukan pengawasan, sehingga akan membatasi kemampuan Komite Audit
dalam menurunkan manajemen laba. Penelitian tersebut juga mengungkapkan
bahwa terdapat kendala yang cukup menghambat kinerja komisaris, termasuk
didalamnya Komite Audit, yaitu masih lemahnya kompetensi dan integritas
mereka. Hal ini terjadi karena pengangkatan komisaris biasanya didasarkan pada
penghargaan, hubungan keluarga, atau hubungan dekat lainnya, padahal
integritas dan independensi merupakan hal yang fundamental agar tata kelola
perusahaan dapat terwujud secara efektif.
111
5.3.4 Prudence dalam memoderasi Pengaruh Mekanisme Komite Audit terhadap Manajemen LabaPrudence merupakan istilah yang menggantikan konservatisme.
Prudence adalah tingkat kehati-hatian dalam melakukan penilaian yang
diperlukan untuk membuat estimasi yang diperlukan dalam kondisi
ketidakpastian, sehingga aset atau pendapatan tidak lebih saji dan kewajiban
atau beban tidak kurang saji (Hoogervorst, 2012). Sikap kehati-hatian yang
melekat pada konservatisme menyebabkan konservatisme dapat membatasi sifat
oportunis manajer dalam laporan keuangan (Guay & Verrecchia, 2006; Chen et
al., 2007). Manajer yang memilih kebijakan secara prudence diharapkan dapat
membatasi sifat oportunis manajer, sehingga dapat memperkuat pengaruh
negatif mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan
dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.
Hipotesis H7c dan H7d menguji pengaruh prudence dalam memperkuat
pengaruh negatif ukuran Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan
dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi. Hasil pengujian
hipotesis menemukan bahwa baik H7c dan H7d tidak didukung. Hasil ini
menunjukkan bahwa prudence tidak memoderasi pengaruh negatif ukuran
Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus
kas operasional dan biaya produksi.
Hipotesis H8c dan H8d menguji pengaruh prudence dalam memperkuat
pengaruh negatif independensi Komite Audit terhadap manajemen laba yang
dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi. Hasil
pengujian hipotesis menemukan bahwa baik H8c dan H8d tidak didukung. Hasil
ini menunjukkan bahwa prudence tidak memoderasi pengaruh negatif
independensi Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan
mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.
112
Hipotesis H9c dan H9d menguji pengaruh prudence dalam memperkuat
pengaruh negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba yang
dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi. Hasil
penelitian menemukan bahwa H9c tidak didukung, hasil ini menunjukkan bahwa
prudence tidak memoderasi pengaruh negatif keahlian Komite Audit terhadap
manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional.
Pengujian H9d mengenai pengaruh prudence dalam memperkuat pengaruh
negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan
mengelola biaya produksi menemukan hasil yang signifikan dengan arah positif.
Hasil ini menunjukkan bahwa prudence memperlemah pengaruh negatif keahlian
Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola biaya
produksi. Hasil ini menunjukkan bahwa H9d tidak didukung. Perusahaan-
perusahaan di Indonesia memiliki sistem pengawasan yang lemah akibat struktur
kepemilikan yang terkonsentrasi. Ahmed & Duellman (2007) mengungkapkan
bahwa insentif pengawasan yang lemah memberikan kesempatan yang lebih
besar kepada manajer untuk menggunakan prinsip akuntansi yang lebih agresif
(kurang konservatif). Hal ini menyebabkan keberadaan prudence justru
memperlemah pengaruh negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba
yang dilakukan dengan mengelola biaya produksi, sebab manajer memilih
kebijakan akuntansi secara kurang konservatif atau dengan kata lain manajer
lebih agresif dalam memilih kebijakan akuntansi. Bukti manajer yang kurang
prudence dapat dilihat pada hasil statistik deskriptif data penelitian. Prudence
memiliki nilai rata-rata 3,175 dengan nilai maksimum 68,479. Semakin besar nilai
prudence, maka semakin konservatif suatu perusahaan. Nilai rata-rata yang
sangat jauh dengan nilai maksimum membuktikan bahwa secara rata-rata
manajer kurang prudence dalam memilih kebijakan akuntansi.
113
Hipotesis H10c dan H10d menguji pengaruh prudence dalam
memperkuat pengaruh negatif rapat Komite Audit terhadap manajemen laba
yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi.
Hasil penelitian menemukan bahwa baik H10c dan H10d tidak didukung. Hasil ini
menunjukkan bahwa prudence tidak memoderasi pengaruh negatif rapat Komite
Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas
operasional dan biaya produksi.
Hasil pengujian yang tidak mendukung hipotesis disebabkan karena
penerapan International Financial Reporting Standards (IFRS). Indonesia telah
melakukan konvergensi IFRS semenjak tahun 2012, hal ini menunjukkan bahwa
aturan-aturan yang terdapat dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) telah
berbasis IFRS. Beberapa aturan dalam IFRS memang masih
mempertimbangkan aspek prudence, misalnya aturan mengenai penilaian
persediaan yang menggunakan Lower of Cost or Net Realizable Value (LCNRV)
yang menyebabkan persediaan menjadi kurang saji. Hal ini tidak lantas
memberikan manajer keleluasaan untuk bersikap prudence dan untuk
melaporkan laba atau aset yang kurang saji, sebab IFRS memberikan
penekanan pada penggunaan nilai wajar dalam menyajikan laporan keuangan.
Sikap prudence manajer sangat dibatasi oleh penggunaan nilai wajar. IFRS
mengurangi sikap pesimisme manajer, sebaliknya IFRS mendorong manajer
untuk lebih optimis dalam menyajikan laporan keuangan yang berbasiskan nilai
wajar.
114
BAB VI
KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Penelitian ini berfokus pada perusahaan yang melakukan manajemen
laba untuk menghindari kerugian. Penelitian ini menemukan bahwa sebagian
perusahaan di Indonesia melakukan manajemen laba dengan cara memperkecil
arus kas operasional dan memperbesar biaya produksi untuk menghindari
kerugian, sedangkan manajer tidak mengelola aktivitas akrual jangka pendek dan
panjang, serta beban diskresioner untuk menghindari kerugian. Manajer akan
mengelola laba negatif yang berada dibawah titik acuan (titik nol) agar menjadi
laba positif dan berada diatas titik acuan. Hal ini dilakukan karena kerugian
sekalipun dalam jumlah yang kecil merupakan sinyal yang menunjukkan bahwa
kinerja manajer buruk dan hal ini dapat meningkatkan biaya transaksi dengan
stakeholders.
Penelitian ini selanjutnya menguji faktor-faktor yang dapat membatasi
manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan
biaya produksi. Penelitian ini memberikan bukti empris bahwa auditor spesialis
industri berpengaruh negatif terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan
mengelola biaya produksi, sedangkan auditor spesialis industri berpengaruh
positif terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas
operasional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah
klien auditor dalam suatu industri yang sama, maka akan semakin menurunkan
manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola biaya produksi. Auditor
spesialis industri memiliki pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang lebih
spesifik mengenai suatu industri, hal ini menyebabkan auditor spesialis industri
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mendeteksi kesalahan dan
115
membatasi manajemen laba. Auditor spesialis industri berpengaruh positif
terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas
operasional, hal ini disebabkan karena manajemen laba riil yang dilakukan
dengan mengelola arus kas operasional lebih sulit dideteksi oleh auditor,
sehingga keberadaan auditor spesialis industri justru menyebabkan manajer
meningkatkan manajemen laba riil dengan mengelola arus kas operasional.
Penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa mekanisme Komite Audit
yang terdiri dari ukuran Komite Audit, keahlian Komite Audit, dan rapat Komite
Audit tidak berpengaruh negatif terhadap manajemen laba yang dilakukan
dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi. Independensi
Komite Audit dikeluarkan dari model penelitian karena memiliki nilai yang konstan
selama tahun pengamatan. Ukuran, keahlian, dan rapat Komite Audit tidak dapat
membatasi manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas
operasional dan biaya produksi. Hal tersebut disebabkan karena sistem
kepemilikan di Indonesia yang terkonsentrasi pada pemegang saham
pengendali. Direksi biasanya memiliki kedudukan yang cenderung sangat kuat,
bahkan ada direksi yang tidak bersedia untuk memberikan informasi memadai
kepada komisaris. Hal tersebut menyebabkan Komite Audit memiliki
keterbatasan dalam melakukan pengawasan, sehingga akan membatasi
kemampuan Komite Audit dalam menurunkan manajemen laba.
Penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa prudence tidak
memoderasi pengaruh negatif ukuran, independensi, dan rapat Komite Audit
terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas
operasional dan biaya produksi, prudence juga tidak memoderasi pengaruh
negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan
mengelola arus kas operasional, tetapi prudence memperlemah pengaruh negatif
keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan
116
mengelola biaya produksi. Saat ini manajer tidak memiliki keleluasaan yang
besar untuk bersikap prudence, sebab IFRS memberikan penekanan pada
penggunaan nilai wajar dalam menyajikan laporan keuangan. Sikap prudence
manajer akan dibatasi oleh penggunaan nilai wajar dalam IFRS, sehingga
prudence tidak berperan dalam memoderasi pengaruh mekanisme Komite Audit
terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas
operasional dan biaya produksi. Alasan prudence memperlemah pengaruh
negatif keahlian Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan
mengelola biaya produksi adalah karena perusahaan-perusahaan di Indonesia
memiliki sistem pengawasan yang lemah akibat struktur kepemilikan yang
terkonsentrasi. Insentif pengawasan yang lemah memberikan kesempatan yang
lebih besar kepada manajer untuk menggunakan prinsip akuntansi yang lebih
agresif (kurang konservatif).
6.2 Implikasi Penelitian
Implikasi penelitian baik secara teoritis maupun praktis yang dapat
diberikan oleh penelitian ini adalah sebagai berikut;
6.2.1 Implikasi Teoritis
Penelitian ini telah memberikan tambahan bukti empiris dalam Teori
Agensi dan Teori Prospek. Teori Prospek menjelaskan tindakan manajer dalam
melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian dan agar laba berada di
atas titik nol, hal ini dilakukan karena laba negatif mengindikasikan kinerja
manajer yang buruk dan dapat menyebabkan biaya transaksi dengan
stakeholders meningkat. Teori Agensi merupakan teori yang mampu
menggambarkan mengenai konflik antara prinsipal dan agen, serta
menggambarkan peran auditor spesialis industri dalam menurunkan manajemen
117
laba yang dilakukan dengan mengelola biaya produksi. Penelitian ini memberikan
bukti empiris mengenai tindakan manajemen laba riil yang dilakukan pada
perusahaan di Indonesia. Penelitian ini juga memberikan bukti empiris mengenai
peran auditor spesialis industri dalam membatasi tindakan manajemen laba yang
dilakukan dengan mengelola biaya produksi. Penelitian ini dapat menjadi
referensi bagi penelitian selanjutnya terkait manajemen laba, auditor spesialis
industri, mekanisme Komite Audit, dan prudence.
6.2.2 Implikasi Praktis
Hasil penelitian ini memberikan bukti mengenai fenomena manajemen
laba pada perusahaan di Indonesia. Hasil penelitian ini dapat membantu investor
dalam menghindari kerugian investasi yang signifikan dengan memahami
berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia. Hasil ini juga dapat memberikan
masukan kepada auditor agar melakukan audit dengan lebih hati-hati, serta
mempertimbangkan prosedur tambahan apabila diperlukan dalam menilai dan
mengaudit laporan keuangan. Auditor juga diharapkan dapat berinvestasi lebih
banyak dalam perekrutan dan pelatihan staf, serta teknologi informasi.
6.2.3 Implikasi Kebijakan
Komite Audit merupakan bagian yang bertanggung-jawab terhadap
laporan keuangan, tata kelola perusahaan, serta pengawasan perusahaan.
Komite Audit merupakan salah satu organ perusahaan yang sangat berperan
penting dalam menurunkan manajemen laba, namun hasil penelitian
menunjukkan bahwa Komite Audit tidak berperan dalam menurunkan
manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan
biaya produksi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini
memberikan masukan kepada pemerintah untuk memperkuat regulasi mengenai
118
Komite Audit. Hal ini perlu dilakukan agar Komite Audit dapat secara lebih efektif
mengawasi manajer, sehingga laporan keuangan menjadi reliabel dan tata kelola
perusahaan menjadi lebih efektif untuk mengurangi manajemen laba.
yang digunakan dalam penelitian ini menjadi lebih sedikit.
6.3 Keterbatasan dan Saran
Keterbatasan dalam penelitian ini sehubungan dengan hambatan tertentu
ketika melakukan penelitian. Keterbatasan penelitian ini adalah ada beberapa
perusahaan yang data mengenai mekanisme Komite Audit tidak lengkap,
sehingga peneliti harus mencari data yang diperlukan dari sumber lain selain
laporan tahunan.
Penelitian ini hanya berfokus pada perusahaan yang melakukan
manajemen laba untuk menghindari kerugian. Penelitian selanjutnya dapat
berfokus pada perusahaan yang melakukan manajemen laba untuk tujuan yang
lain, misalkan berfokus pada perusahaan yang melakukan manajemen laba
untuk menghindari penurunan laba.
Secara teori seharusnya keberadaan Komite Audit berperan penting
dalam menurunkan manajemen laba, namun penelitian ini menemukan bahwa
mekanisme Komite Audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini
mungkin disebabkan oleh indikator yang digunakan dalam mengukur mekanisme
Komite Audit. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan atau
menggunakan indikator-indikator yang lain untuk mengukur mekanisme Komite
Audit, misalkan masalah yang dibahas dalam setiap rapat Komite Audit.
119
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, F. & Purwaningsih, A. 2014. Pengaruh Perencanaan Pajak terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Non-manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. MODUS, Vol. 6, No. 1, pp. 33-50.
Agustia, D. 2013. Pengaruh Faktor Good Corporate Governance, Free Cash Flow, dan Leverage Terhadap Manajemen Laba. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 15, No. 1, pp. 27-42.
Ahmad, L., Suhara, E., & Ilyas, Y. 2016. The Effect of Audit Quality on Earning Management within Manufacturing Companies Listed on Indonesian Stock Exchange. Research Journal of Finance and Accounting, Vol. 7, No. 8, pp. 132-138.
Ahmed, A. S. & Duellman, S. 2007. Accounting Conservatism and Board of Director Characteristics: An Empirical Analysis. Journal of Accounting and Economics, Vol. 43, pp. 411-437.
Al-Thuneibat, A.A., Al-Angari, H.A., & Al-Saad, S.A. 2014. The Effect of Corporate Governance Mechanisms on Earnings Management: Evidence from Saudi Arabia. Review of International Business and Strategy, Vol. 26, No. 1, pp. 2-32.
Alzoubi, E. S. S. & Selamat, M. H. 2012. The Effectiveness of Corporate Governance Mechanisms on Constraining Earning Management: Literature Review and Proposed Framework. International Journal of Global Business, Vol. 5, No. 1, pp. 17-35.
Amar, A. B. 2014. The Effect of Independence Audit Committee on Earnings Management: The Case in French. International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Sciences, Vol. 4, No. 1, pp. 96-102.
Anonim. 2015. Saham Inovisi dibekukan Empat Bulan karena Laporan Keuangan Banyak Salah. http://finance.detik.com. Diakses 11 Mei 2017.
Armein, R. A. 2005. Analisis Kasus Laporan Keuangan PT. Indofarma Tbk. Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. 4, No. 3, pp. 239-247.
Ayemere, A. C. & Elijah, A. 2015. Audit Committee Attributes and Earnings Management: Evidence from Nigeria. International Journal of Business and Social Research, Vol. 05, No. 04, pp. 14-23.
Balsam, S., Krishnan, J., & Yang, J.S. 2003. Auditor Industry Specialization and Earnings Quality. Auditing: A Journal of Practice and Theory, Vol. 22, No. 2, pp. 71-97.
120
Bartov, E., Gul, F. A., & Tsui, J. S. L. 2001. Discretionary-accruals Models and Audit Qualifications. Journal of Accounting and Economics, Vol. 30, pp. 421-52.
Basu, S. 1997. The Conservatism Principle and the Asymmetric Timeliness of Earning. Journal of Accounting and Economics, Vol. 24, pp. 3-37.
Beasley, M. S. & Petroni, K. R. 2001. Board Independence and Audit‐Firm Type. Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol. 20, No. 1, pp. 97-114.
Beaver, W. H. & Ryan, S. G. 2005. The Conservatism Principle and the Asymmetric Timeliness of Earnings. Review of Accounting Studies, Vol. 10, pp. 269–309.
Becker, C.L., DeFond, M.L., Jiambalvo, J., & Subramanyam, K.R. 1998. The Effect of Audit Quality on Earnings Management. Contemporary Accounting Research, Vol. 15, No. 1, pp. 1-24.
Bedard, J., Chtourou, S. M., & Courteau, L. 2004. The Effect of Audit Committee Expertise, Independence, and Activity on Aggressive Earnings Management. Auditing: A Journal Of Practice & Theory, Vol. 23, No. 2, pp. 13-35
Burgstahler, D. & Dichev, I. 1997. Earnings Management to Avoid Earnings Decreases and Losses. Journal of Accounting and Economics, Vol. 24, pp. 99-126.
Carcello, J. V., Hermanson, D. R., Neal, T. L., & Riley JR, R. A. 2002. Board Characteristics and Audit Fees. Contemporary Accounting Research, Vol. 19, No. 3, pp. 365-384.
Challen, A. E. & Siregar, S. V. 2011. The Effect of Audit Quality on Earnings Management and Firm Value. Working Paper.
Chandrasegaram, R., Rahimansa, M. R., Rahman, K. A., Abdullah, S., & Mat, N. N. 2013. Impact of Audit Committee Characteristics on Earnings Management in Malaysian Public Listed Companies. International Journal of Finance and Accounting, Vol. 2, No. 2, pp. 114-119.
Chen, Q., Hemmer, T., & Zhang, Y. 2007. On the Relation between Conservatism in Accounting Standards and Incentives for Earnings Management. Journal of Accounting Research, Vol. 45 No. 3, pp. 541-565.
Claessens, S., Djankov, S., & Lang, L.H.P. 2000. The Separation of Ownership and Control in East Asian Corporations. Journal of Financial Economics, Vol. 58, pp. 81-112.
Cohen, D. A. & Zarowin, P. 2010. Accrual-based and Real Earnings Management Activities Around Seasoned Equity Offerings. Journal of Accounting and Economics, Vol. 50, No. 1, pp. 2–19.
121
Cohen, D.A, Dey, A., & Lys, T. Z. 2008. Real and Accrual based Earnings Management in the Pre and Post Sarbanes Oxley Periods. The Accounting Review, Vol. 83, No. 3, pp. 757-787.
Conger, J. A., Finegold, D., & Lawler, E. 1998. Peniliti boardroom performance. Harvard Business Review, Vol. 76, 136-164.
Craswell, A. T., Francis, J. R., & Taylor, S.L. 1995. Auditor Brand Name Reputations and Industry Specializations. Journal of Accounting and Economics, Vol. 20, pp. 297-322.
Davidson, R., Goodwin-Stewart, J., & Kent, P. 2005. Internal Governance Structures and Earnings Management. Accounting and Finance, Vol. 45, No. 2, pp. 241-267.
DeAngelo, L. E. 1981. Auditor Size and Audit Quality. Journal of Accounting and Economics, Vol. 3, pp. 183-199.
DeAngelo, L. E. 1986. Accounting Numbers as Market Valuation Substitutes: A Study of Management Buyouts of Public Stockholder. The Accounting Review, Vol. 61, pp. 400-420.
DeBoskey, D. G. & Jiang, W. 2012. Earning Management and Auditor Specialization in the Post-Sox Era: An Examination of the Banking Industry. Journal of Banking and Finance, Vol. 36, pp. 613-623.
Dechow, P. M. & Skinner, D. J. 2000. Earning Management: Reconciling the Views of Accounting Academics, Practitioners, and Regulators. Accounting Horizon, Vol. 14, No. 2, pp. 235-250.
Dechow, P. M. & Sloan, R. G. 1991. Executive Incentives and the Horizon Problem: An Empirical Investigation. Journal of Accounting and Economics, Vol. 14, pp. 51-89.
Dechow, P.M., Sloan, R.G., & Sweeney, A.P. 1995. Detecting Earnings Management. The Accounting Review, Vo. 70, No. 2, pp. 193-225.
Dunn, K.A. & Mayhew, B.W. 2004. Audit Firm Industry Specialization and Client Disclosure Quality. Review of Accounting Studies, Vol. 9, pp. 35-58.
Dye, R.A. 1988. Earnings Management in An Overlapping Generations Model. Journal of Accounting Research, Vol. 26, No. 2, pp. 195-235.
Eisenhardt, K. M. 1998. Agency Theory: An Assessment and Review. Academy of Management Review, Vol. 14, No. 1, pp. 57-74.
Faccio, M. & Lang, L.H.P. 2002. The Ultimate Ownership of Western European Corporations. Journal of Financial Economics. Vol. 65, pp. 365-395.
Febriyanti, A., Sawarjuwono, T., & Pratama, B. A. 2014. Manajemen Laba: Pro-Kontra Pemaknaan antara Kreditur dan Debitur dalam Proses Pembiayaan Kredit. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 16, No. 1, pp. 55-68.
122
Ferdawati. 2009. Pengaruh Manajemen Laba Riil Terhadap Nilai Perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Vol. 4, No. 1, pp. 59-74.
Forum for Corporate Governance in Indonesia. 2001. Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan). Jakarta: FCGI.
Gerayli, M. S., Yanesari, A. M., & Ma’atoofi, A. R. 2011. Impact of Audit Quality on Earnings Management: Evidence from Iran. International Research Journal of Finance and Economics, Vol. 66, pp. 77-84.
Givoly, D. & Hayn, C. 2000. The Changing Time-Series Properties of Earnings, Cash Fows and Accruals: Has Financial Reporting Become More Conservative?. The Accounting Review, Vol. 82, No. 1, pp. 65-106.
Graham, J.R., Harvey, C.R., & Rajgopal, S. 2005. The Economic Implications of Corporate Financial Reporting. Journal of Accounting and Economics, Vol. 29, pp. 287-320.
Guay, W. R & Verrecchia, R. 2006. Discussion of an Economic Framework for Conservative Accounting and Bushman and Piotroski (2006). Journal of Accounting and Economics, Vol. 42, pp. 149-165.
Guay, W. R., Kothari, S. P., & Watts, R. L. 1996, A Market-based Evaluation of Discretionary Accrual Models. Journal of Accounting Research, Vol. 34, pp. 83-105.
Gumanti, T. A. 2000. Earning Management: Suatu Telaah Pustaka. Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol. 2, No. 2, pp. 104-115.
Gunny, K. 2005. What Are The Consequences of Real Earning Management?.Working Paper. University of Colorado.
Gunny, K. 2010. The Relation Between Earnings Management Using Real Activities Manipulation and Future Performance: Evidence from Meeting Earnings Benchmarks. Contemporary Accounting Research, Vol. 27, No. 3, pp. 855-888.
Handayani, R. S. & Rachadi, A. D. 2009. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba. Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol. 11, No. 1, pp. 33-56.
Harusetya, A. & Pujilestari, R. 2013. Pengaruh Kualitas Audit terhadap Manajemen Laba Transaksi Real – Pengakuan Pendapatan Strategis. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 15, No. 2, pp. 75-85.
Harusetya, A. 2009. Pengaruh Ukuran Auditor dan Spesialisasi Auditor terhadap Kualitas Laba. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 6, No. 1, pp. 46-70.
Hayn, C. 1995. The Information Content of Losses. Journal of Accounting and Economics, Vol. 20, pp. 125-153.
123
Healy, P.M & Wahlen J.M. 1999 . A Review of The Earning Management Literature and Its Implication for Standart Setting. Accounting Horizon, Vol. 13, No. 4, pp. 365-383.
Healy, P.M. 1985. The Effect of Bonus Schemes on Accounting Decisions. Journal of Accounting and Economics, Vol. 7, pp. 85-107.
Hegazy, M., Al Sabagh, A., & Hamdy, R. 2015. The Effect of Audit Firm Specialization on Earnings Management and Quality of Audit Work. Journal of Accounting and Finance, Vol. 15, No. 4, pp.143-164.
Holthausen, R.W., Larcker, D.F., & Sloan, R.G. 1995. Annual Bonus Schemes and the Manipulation of Earnings. Journal of Accounting and Economics, Vol. 19, pp. 29-74.
Hoogervorst, H. 2012. The Concept of Prudence: Dead or Alive?. FEE Conference on Corporate Reporting of the Future, Brussels, Belgium, 18 September 2012.
Inaam, Z. 2012. Audit Quality and Earnings Management in the Tunisian Context. International Journal of Accounting and Financial Reporting, Vol. 2, No. 2.
Irianto, G. 2003. Skandal Korporasi Akuntan. Lintasan Ekonomi, Vol. 20, No. 2, pp. 104-114.
Jackson, S.B. & Pitman, M.K. 2001. Auditors and Earnings Management. The CPA Journal, Vol. 71, No. 7, pp. 38-44.
Jensen, M. C. & Meckling, W.H. 1976. Theory of The Firm: Managerial Behaviour, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Vol. 3, pp. 305-360.
Jones, J.J. 1991. Earnings Management During Import Relief Investigations. Journal of Accounting Research, Vol. 29, No. 2, pp. 193-228.
Kahneman, D. & Tversky, A. 1997. Prospect Theory: An Analysis of Decision Under Risk. Econometrica, Vol. 47, No. 2, pp. 263-289.
Kim, J., Chung, R. & Firth, M. 2003. Auditor Conservatism Asymmetric Monitoring and Earnings Management. Contemporary Accounting Research, Vol. 20, No. 2, pp. 323-359.
Klein, A. 2002. Audit Committee, Board of Director Characteristics, and Earnings Management. Journal of Accounting and Economics, Vol. 33, No. 3, pp. 375-400.
Kothari, S. P., Leone, A. J., & Wasley, C. E. 2005. Performance Matched Discretionary Accrual Measures. Journal of Accounting and Economics, Vol. 39, pp. 163-197.
Kouaib, A., & Jarboui, A. 2014. External Audit Quality and Ownership Structure: Interaction and Impact on Earnings Management of Industrial and
124
Commercial Tunisian Sectors. Journal of Economic, Finance and Administrative Science, Vol. 19, pp. 78-89.
Krishnan, G.V. 2003a. Audit Quality and the Pricing of Discretionary Accruals. Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol. 22, No. 1, pp. 109-126.
Krishnan, G.V. 2003b. Does Big 6 Auditor Industry Expertise Constrain Earnings Management?. Accounting Horizons, Vol. 17, pp. 1-16.
Lafond, R. & Roychowdhury, S. 2008. Managerial Ownership and Accounting Conservatism. Journal of Accounting Research, Vol. 46, No. 1, pp. 101-135.
Larcker, D. F., Richardson, S. A., & Tuna, I. 2007. Corporate Governance, Accounting Outcomes, and Organizational Performance. The Accounting Review, Vol. 82, No. 4, pp. 963-1008.
Lestari, M. P. 2014. Pengaruh Grup Bisnis dan Praktik Ekspropriasi terhadap Manajemen Laba dengan Kepemilikan Keluarga sebagai Variabel Moderasi. Tesis. Universitas Brawijaya.
Memis, M. U., & Jetenak, E. H. 2012. Earnings Management, Audit Quality and Legal Environment: An International Comparison. International Journal of Economics and Financial Issues, Vol. 2, No. 4, pp. 460-469.
Mohamad, M. H. S., Rashid, H. M. A., & Shawtari, F. A. M. 2012. Corporate Governance and Earnings Management in Malaysian Government Linked Companies. Asian Review of Accounting, Vol. 20, No. 3, pp. 241-258.
Morck, R. & Yeung, B. 2003. Agency Problems in Large Family Business Groups. Entrepreneurship: Theory and Practice, Vol. 27, pp. 367-382.
Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD). 2004. OECD Principles of Corporate Governance.
Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 tahun 2015 Tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit.
Owhoso, V.E., Messier, W.F., & Lynch, J.G. 2002. Error Detection by Industry-specialized Teams During Sequential Audit Review. Journal of Accounting Research, Vol. 40, No. 3, pp. 883-900.
Riduwan, A. 2010. Etika Perilaku Koruptif dalam Praktik Manajemen Laba: Studi Hermeneutika. Working Paper. STESIA Surabaya.
Roychowdhury, S. 2006. Earning Management Through Real Activities Manipulation. Journal of Accounting and Economics, Vol. 42, pp. 335-370.
Rusmin, R. 2010. Auditor Quality and Earnings Management: Singaporean Evidence. Managerial Auditing Journal, Vol. 25, No. 7, pp. 618-638.
Scott, W.R. 2009. Financial Accounting Theory. Prentice-Hall: Toronto, Canada.
125
Scott, W.R. 2012. Financial Accounting Theory. Pearson: Toronto, Canada.
Solomon, I., Shields, M.D., & Whittington, O.R. 1999. What Do Industry-specialist Auditors Know?. Journal of Accounting Research, Vol. 37, No. 1, pp. 191-208.
Subekti, I. 2012a. Accrual and Real Earning Management: One of the Perspective of Prospect Theory. Journal of Economics, Business, and Accountancy Ventura. Vol. 15, No. 3, pp. 443-456.
Subekti, I. 2012b. Real and Accruals Earning Management and Value Relevance of Accounting Information Among Indonesian Listed Companies. Disertasi. Universiti Sains Malaysia.
Surgery, A. 2012. Pelanggaran Penggunaan Dana Initial Public Offering (IPO) oleh Emiten (Analisis Kasus PT. Katarina Utama Tbk). Skripsi. Universitas Indonesia.
Vafeas, N. 2005. Audit Committees, Boards, and the Quality of Reported Earnings. Contemporary Accounting Research, Vol. 22, No. 4, pp. 1093-1122.
Vajriyanti, E., Widanaputra, P., & Putri, A. D. 2015. Pengaruh Manajemen Laba Riil pada Nilai Perusahaan dengan Good Corporate Governance sebagai Variabel Pemoderasi. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi XVIII.
Wang, D. 2006. Founding Family Ownership and Earnings Quality. Journal of Accounting Research, Vol. 44, pp. 619-656.
Watkins, A.L., Hillison, W., & Morecroft, S.E. 2004. Audit Quality: A Synthesis of Theory and Empirical Evidence. Journal of Accounting Literature, Vol. 23, pp. 153-93.
Watts, R. L. & Zimmerman, J. L. 1978. Towards a Positive Theory of the Determination of Accounting Standards. The Accounting Review, Vol. 53, No. 1, pp. 112-134.
Watts, R. L. & Zimmerman, J. L. 1986. Positive Accounting Theory. Prentice-Hall: New Jersey.
Watts, R. L. 2003. Conservatism in Accounting Part I: Explanations and Implications. Accounting Horizons, Vol. 17, No. 3, pp. 207-221.
Wijaya, A. L. 2012. Pengukuran Konservatisme Akuntansi: Sebuah Literatur Review. Jurnal Akuntansi dan Pendidikan, Vol. 1, No. 1, pp. 100-105.
Wistawan, I. M. A. P. 2015. Pengaruh Dewan Komisaris terhadap Konservatisme dengan Kepemilikan Keluarga sebagai Variabel Moderasi. Tesis. Universitas Brawijaya.
Wolnizer, P. W. 1995. Are Audit Committees Red Herrings?. ABACUS, Vol. 31, No. 1, pp. 45-66.
126
Wright, A. & Wright, S. 1997. The Effect of Industry Experience on Hypothesis Generation and Audit Planning Decisions. Behavioral Research In Accounting, Vol 9, pp. 273-294.
Xie, B., Davidson III, W. N., & DaDalt, P. J. 2003. Earnings Management and Corporate Governance: The Role of the Board and the Audit Committee. Journal of Corporate Finance, Vol. 9, pp. 295-316.
Zang, A.Y. 2012. Evidence on the Trade-Off between Real Activities Manipulation and Accrual-Based Earnings Management. The Accounting Review, Vol. 87, No. 2, pp. 657-703.
Zhu, T., Lu, N., Shan, Y., & Zhang, Y. 2015. Accrual Based and Real Activity Earning Management at the Back Door: Evidence from Chinese Reverse Mergers. Pacific-Basin Finance Journal, Vol. 35, pp. 317-339.
top related