naskah ringkas 2013
Post on 11-Jan-2016
25 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN MASTIKASIDAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT)
Tasya Shakina*, Chaidar Masulili, Muslita Indrasari
Departemen Prostodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia, Jakarta 10430, Indonesia
*E-mail: tasya.shakina@ui.ac.id
Abstrak
Latar belakang: Kehilangan gigi merupakan penyakit utama rongga mulut. Berkurangnya jumlah gigi akan menurunkan kemampuan mastikasi dan menyebabkan pemilihan makanan yang berujung pada kurangnya asupan nutrisi. Nutrisi yang buruk dapat berakibat pada perubahan indeks massa tubuh (IMT). Tujuan: Menganalisis hubungan antara kemampuan mastikasi dan IMT. Metode: Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang pada 129 subjek berusia 34-80 tahun. Subjek diukur tinggi badan dan berat badannya, diwawancara menggunakan kuisioner kemampuan mastikasi dan dilakukan pemeriksaan intra oral. Analisis Chi Square digunakan untuk mengetahui hubungan antara kemampuan mastikasi, kehilangan gigi, pemakaian gigi tiruan, usia, jenis kelamin dan status ekonomi dengan IMT. Hasil penelitian: Kemampuan mastikasi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan IMT (p=0,963). Ditemukan hubungan yang bermakna antara usia dengan IMT (p=0,028). Kesimpulan: Usia mempengaruhi indeks massa tubuh.
Association between Masticatory Performance and Body Mass Index (BMI)
Abstract
Background: Tooth loss is a major disease of the oral cavity. The primary function of teeth is mastication. Decreasing number of teeth will reduce the masticatory performance and causing food selection which leads to lack of nutrition. Poor nutrition resulted changes in body mass index (BMI). Objective: To analyze the relationship between masticatory performance and BMI. Methods: The study was conducted with a cross-sectional method on 129 subjects age 34-80 years. Subject was measured their height and weight, then interviewed using a questionnaire about masticatory performance and intra oral examination was conducted. Chi square was used to analyse the relation between the masticatory performance, tooth loss, denture wearer, age, gender, economic status with BMI. Result: Masticatory performance was not significantly associated with BMI (p = 0.963). A significant association was found between age and BMI (p = 0.028). Conclusion: Age affects the body mass index.
Keywords: masticatory performance; body mass index; age; Eichner index.
Pendahuluan
Kehilangan gigi merupakan kondisi yang irreversibel dan merupakan titik akhir kondisi
patologis yang terjadi pada mulut. Meskipun prevalensinya telah menurun selama dekade
1
terakhir, tetapi kehilangan gigi masih merupakan penyakit utama rongga mulut di seluruh
dunia (Emami et al., 2013). Pada survei nasional kesehatan gigi dewasa di Inggris, jumlah
orang dewasa berusia lebih dari 18 tahun yang mengalami kehilangan gigi mencapai 37%
pada tahun 1968 dan berkurang menjadi 13% pada tahun 1998. Namun pada kelompok usia
65 tahun ke atas hampir 50% tetap mengalami kehilangan gigi (Moynihan & Petersen, 2007).
Pada tahun 2007, Musacchio et al. melakukan studi kohort pada 3.054 subjek lanjut usia
(lansia) laki-laki dan perempuan berusia lebih dari 65 tahun di Italia utara. Dilaporkan bahwa
prevalensi kehilangan gigi adalah 44% (cit. Khazaei et al., 2012).
Berdasarkan WHO Global Oral Health Data Bank pada tahun 2001, prevalensi
kehilangan gigi di Indonesia pada lansia usia 65 tahun ke atas mencapai 24%. Presentase
tersebut lebih rendah daripada Malaysia dan Srilangka, namun lebih tinggi daripada
Singapura, Kamboja dan Thailand (Moynihan & Petersen, 2007). Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, indeks DMF-T (Decay Missing Filling-Teeth) di
Indonesia mencapai angka 4,6. Hal ini berarti kerusakan gigi penduduk Indonesia 460 buah
gigi per 100 orang. Indeks M-T (Missing Teeth) atau kehilangan gigi menjadi komponen
terbesar dari indeks tersebut yaitu mencapai 2,9. Hal ini berarti penduduk Indonesia
mengalami kehilangan gigi 290 buah per 100 orang, atau sekitar 3 gigi per orang. Jumlah
kehilangan gigi juga semakin tinggi seiring dengan meningkatnya usia. Berdasarkan
kelompok umur, indeks kehilangan gigi pada penduduk Indonesia kelompok umur 35-44
tahun 3 gigi per orang, kelompok umur 45-54 tahun sekitar 6 gigi per orang dan kelompok
umur 55-64 tahun sekitar 10 gigi per orang. Kehilangan gigi paling tinggi terjadi pada
kelompok umur lebih dari 65 tahun yaitu sekitar 17 gigi per orang (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan RI, 2013).
Fungsi utama gigi adalah mastikasi (Kumar et al., 2012), yaitu kemampuan untuk
memecah makanan menjadi bagian-bagian yang terpisah, melalui pengunyahan, sehingga
memungkinkan proses penelanan (Ikebe et al., 2012). Salah satu faktor yang berperan dalam
kemampuan mastikasi adalah jumlah gigi-geligi (Shaikh et al., 2012). Berdasarkan penelitian
Gotfredsen dan Walls, jumlah gigi kurang dari 20 gigi, dengan minimal 9-10 pasang gigi yang
berkontak, akan menurunkan efisiensi mastikasi (cit. Emami et al., 2013). Penurunan
kemampuan mastikasi yang dievaluasi secara subjektif pada penelitian Singh dan Brennan
pada tahun 2012 juga dilaporkan berhubungan dengan jumlah gigi yang tersisa (Singh &
Brennan, 2012). Penurunan kemampuan mastikasi akan mempengaruhi keinginan untuk
menggigit, mengunyah dan menelan makanan sehingga dapat berakibat pada pola makan dan
pemilihan makanan (Emami et al., 2013). Orang yang tidak dapat mengunyah atau menggigit
2
dengan nyaman, cenderung akan menghindari konsumsi makanan berserat tinggi, seperti roti,
sayuran, buah dan daging. Situasi ini dapat berujung pada kurangnya asupan nutrisi
(Marcenes et al., 2003). Nutrisi yang buruk dapat berakibat pada perubahan indeks massa
tubuh (IMT) (Tôrres et al., 2013).
Terdapat beberapa penelitian mengenai hubungan antara penurunan kemampuan
mastikasi akibat kehilangan gigi dengan perubahan indeks massa tubuh (IMT). Hasil
penelitian tersebut saling bertentangan. Dalam penelitian Semba et al tahun 2006, penurunan
kemampuan mastikasi berhubungan dengan tingkat IMT yang rendah pada lansia wanita di
Amerika (cit. Tôrres et al., 2013). Penelitian Ikebe et al pada tahun yang sama juga
menemukan bahwa subjek dengan kemampuan mastikasi yang buruk cenderung memiliki
IMT rendah (<20 kg/m2) (Ikebe et al., 2006). Namun, dalam studi yang dilakukan oleh
Sahyoun et al pada tahun 2003, justru terdapat peningkatan IMT pada lansia dengan
kemampuan mengunyah yang berkurang akibat kehilangan gigi (cit. Shaikh et al., 2012).
Johansson et al., dalam penelitian cross-sectional terhadap masyarakat tidak bergigi berusia
25-64 tahun, juga melaporkan bahwa mereka yang kehilangan gigi memiliki BMI lebih tinggi
daripada individu bergigi (tidak bergigi: laki-laki IMT = 26.7 dan wanita IMT = 26,8; bergigi:
laki-laki IMT = 25.8 dan perempuan IMT = 25.0) (cit. Mack et al., 2008). Sementara itu,
penelitian Kumar et al. pada tahun 2012 menyatakan bahwa tidak ditemukan hubungan antara
IMT dan kehilangan gigi (Kumar et al., 2012). Penelitian Marcenes et al. juga
mengungkapkan bahwa distribusi IMT pada subjek bergigi dan tidak bergigi tetap sama
(Marcenes et al., 2003).
Berdasarkan perbedaan hasil penelitian yang telah diuraikan tersebut, maka perlu
dilakukan penelitian mengenai hubungan antara kemampuan mastikasi dan IMT, dengan
memperhatikan beberapa faktor konfonding yaitu kehilangan gigi, pemakaian gigi tiruan dan
faktor-faktor sosiodemografi (jenis kelamin, usia, pendidikan dan status ekonomi).
Tinjauan Teoritis
Mastikasi
Mastikasi didefinisikan sebagai aksi mengunyah makanan. Mastikasi merupakan tahap awal
dari pencernaan. Makanan dihancurkan menjadi partikel yang lebih kecil (bolus) untuk
mempermudah proses penelanan. Mastikasi terdiri dari ritme membuka dan menutup rahang
yang terkontrol dengan baik dan melibatkan proses biofisika dan biokimia untuk
mempersiapkan penelanan (Okeson, 2013).
3
Gigi-geligi memiliki peran utama dalam berbagai tahap mastikasi (Kilcast, 2004).
Fungsi gigi adalah untuk memotong, memegang, menghancurkan dan mengunyah makanan.
Gigi insisif berfungsi untuk memotong makanan yang tidak memerlukan kekuatan yang besar.
Gigi kaninus didesain untuk memotong dan memisah-misahkan makanan. Gigi premolar,
memiliki dua ujung cusp yang lancip dan permukaan yang lebih luas untuk menahan dan
mengunyah makanan. Gigi molar adalah gigi yang paling besar dibandingkan gigi lainnya dan
memiliki cusp yang lebih dari dua yang digunakan untuk mengunyah makanan (Manjunatha,
2013). Selama proses mastikasi, kekuatan gigit terbesar terdapat pada regio molar pertama.
Mastikasi umumnya berlangsung pada area gigi molar dan premolar (Okeson, 2013).
Kemampuan mastikasi merupakan penilaian subjektif seorang individu terhadap
kemampuan mengunyah makanan yang dimilikinya dan dapat dievaluasi melalui kuesioner.
Menurut Gilbert, pengukuran oleh diri sendiri memberikan informasi yang dapat dipercaya,
valid, serta sangat berguna dalam memberikan penilaian yang subjektif dari status kesehatan
individu dan dampak dari masalah kesehatan mulutnya terhadap kehidupan sehari-hari (Singh
& Brennan, 2012). Kuesioner kemampuan mastikasi oleh Hanin (2012) menilai kemampuan
mastikasi berdasarkan baku emas indeks Eichner yang telah diuji validitas dan realibilitasnya.
Kuesioner ini memiliki mempunyai 8 buah pertanyaan, dengan nilai titik potong ≥12. Bila
skor <12 kemampuan kunyah buruk, sedangkan skor ≥12 kemampuan kunyah baik (Hanin,
2012).
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan alat ukur yang
paling umum digunakan dalam memperkirakan individu kelebihan berat badan atau obesitas.
(National Obesity Observatory, 2009) Obesitas tidak dapat dilihat hanya dari berat badan,
sebab berat badan sangat berhubungan dengan tinggi badan. Selain itu, penimbangan berat
badan meliputi berat dari jaringan bukan lemak, tulang dan cairan tubuh. Namun, berat badan
dapat dibandingkan dengan tinggi badan untuk menjadi sebuah indikator bentuk tubuh, yang
terlepas dari tinggi badan, dan memberikan ukuran lemak tubuh (Ruston et al., 2004). IMT
membandingkan berat badan seseorang dengan tinggi badannya, sehingga memungkinkan
individu dengan berat badan yang sama namun tinggi badan yang berbeda untuk
dibandingkan lemak tubuhnya (National Obesity Observatory, 2009). IMT dihitung dengan
cara membagi berat badan dalam satuan kilogram (kg) dengan tinggi badan dalam satuan
meter dikuadratkan (m2) (Ruston et al., 2004). Penggunaan IMT memiliki keuntungan yaitu
mudah, ekonomis dan merupakan metode non-invasif dalam mengukur kadar lemak tubuh.
4
Selain itu, IMT digunakan secara luas di seluruh dunia dan batasan untuk kategori IMT telah
dipublikasi (National Obesity Observatory, 2009). Kategori IMT yang digunakan hingga saat
ini adalah yang disarankan oleh World Health Organization (WHO) (Singh et al., 2008)
Namun, IMT merupakan gambaran umum lemak tubuh. Faktor lain seperti kesehatan, asal
etnis dan pubertas dapat mempengaruhi hasil IMT sehingga perlu dipertimbangkan (National
Obesity Observatory, 2009). Kategori yang digunakan oleh WHO dikembangkan oleh peneliti
barat berdasarkan studi pada populasi kaukasia (Singh et al., 2008). Maka dari itu,
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia juga memiliki klasifikasi IMT yang digunakan
dalam Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
RI, 2013).
Tabel 1. Klasifikasi IMT berdasarkan Kementrian Kesehatan RI(Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI, 2013)
Kategori kurus IMT < 18,5Kategori normal IMT ≥18,5 - <24,9
Kategori BB lebih IMT ≥25,0 - 27,0Kategori obesitas IMT ≥27,0
Kehilangan Gigi
Oxford Dictionary of Dentistry mendefinisikan kehilangan gigi sebagai terpisahnya gigi dari
jaringan pendukungnya (Ireland, 2010). Kehilangan gigi merupakan sebuah kondisi yang
kronis dimana gigi yang hilang tidak dapat digantikan atau kesehatan mulut pasien seperti
awal sebelum hilangnya gigi tidak dapat kembali (Borges et al., 2011) Kehilangan gigi pada
umumnya dapat terjadi akibat eksfoliasi gigi yang normal, seperti yang terjadi pada gigi susu,
resorpsi tulang atau ekstraksi (Ireland, 2010). Kehilangan gigi juga dapat terjadi sebagai
akibat dari penyakit gigi progresif, seperti karies gigi dan penyakit periodontal, atau trauma
(Ueno et al., 2010)
Yoshino et al mengemukakan jumlah gigi yang tersisa dapat memberikan estimasi
jumlah dukungan oklusal. Sejak 50 tahun yang lalu, Eichner telah mengembangkan sistem
baru untuk klasifikasi kehilangan gigi sebagian. Indeks Eichner merupakan klasifikasi
kehilangan gigi berdasarkan kontak oklusal gigi asli yang ada di antara maksila dan
mandibula pada area premolar dan molar. Kontak oklusal tersebut disebut dengan zona
pendukung.(Yoshino et al., 2011) Pada setiap kontak oklusal yang ada di area premolar, baik
pada premolar pertama, kedua atau keduanya, dihitung sebagai 1 zona dukungan. Hal yang
sama juga berlaku pada area molar (Ikebe et al., 2010), sehingga maksimum terdapat 4 zona
pendukung pada rongga mulut yang tediri dari 2 area gigi molar dan 2 area gigi premolar.
5
(Ikebe et al., 2010; Yoshino et al., 2011) Gigi yang direstorasi dengan gigi tiruan cekat
dianggap sebagai gigi asli. Berdasarkan Eichner Index, kontak oklusal antara gigi premolar
dan molar tersebut menentukan klasifikasi kehilangan gigi. Kelompok A memiliki 4 zona
pendukung. Kelompok B memiliki 1 hingga 3 zona pendukung atau kontak pada region
anterior saja dan kelompok C tidak memiliki kontak oklusal sama sekali.(Ikebe et al., 2012)
Kelompok B dapat dikelompokan lagi menjadi B1 apabila terdapat 3 zona pendukung, B2
apabila terdapat 2 zona pendukung, B3 apabila terdapat 1 zona pendukung dan B4 apabila
terdapat kontak pada gigi anterior namun tidak ada zona pendukung sama sekali.(Ikebe et al.,
2012)
Tabel 2. Klasifikasi Indeks Eichner(Yoshino et al., 2011)
Dampak Kehilangan Gigi terhadap Kemampuan Mastikasi
Kehilangan gigi akan memberikan dampak negatif terhadap estetik dan fungsional,
yaitu mastikasi (Khazaei et al., 2012). Kontak oklusal posterior dari gigi-geligi yang tersisa
merupakan kunci dalam memprediksi penurunan kemampuan mastikasi (Ikebe et al., 2012).
Berdasarkan penelitian Ikebe et al (2010), kehilangan kontak oklusal pada gigi premolar
berkontribusi pada pengurangan kekuatan oklusal sehingga menurunkan kemampuan
mastikasi (Ikebe et al., 2010).
Witter menyatakan bahwa, selama orang mempertahankan 20 gigi yang terdistribusi
dengan baik, fungsi rongga mulut akan tetap terjaga. Sebaliknya, penurunan kemampuan
mastikasi dapat terjadi apabila gigi-geligi yang ada kurang dari 20 gigi (cit. Ueno et al., 2010).
Penelitian Ueno et al pada tahun 2009 mengenai hubungan antara keadaan, jumlah dan
kategori unit gigi yang berfungsi terhadap kemampuan mastikasi juga menunjukkan bahwa
6
mempertahankan sebanyak mungkin gigi alami lebih baik untuk mempertahankan fungsi dari
rongga mulut. Jumlah unit gigi fungsional (FTUs; functional tooth units) merupakan faktor
penentu penting kinerja pengunyahan. FTUs didefinisikan sebagai gigi antagonis yang
berpasangan yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi mulut dan kinerja pengunyahan.
Jumlah FTUs yang rendah berkaitan dengan gangguan dalam kemampuan mastikasi (Ueno et
al., 2010).
Hubungan Kemampuan Mastikasi dan Indeks Massa Tubuh (IMT)
Pengurangan jumlah dan lokasi dari gigi-geligi yang berfungsi berhubungan dengan
penurunan dalam kemampuan mastikasi dan penghindaran makanan. Hilangnya gigi posterior
yang berfungsi, yaitu gabungan gigi premolar dan molar, akan mempengaruhi asupan nutrisi
penting atau kualitas makanan secara keseluruhan.(Sahyoun et al., 2003) Orang dengan
kehilangan gigi dan penurunan kemampuan mastikasi cenderung makan lebih sedikit sayuran
dan buah segar, sehingga asupan nutrisi mikro seperti kalsium, zat besi, panthonic acid,
vitamin C dan vitamin E akan lebih rendah dibandingkan dengan orang yang masih memiliki
gigi asli (Marcenes et al., 2003). Semakin sedikit jumlah dan fungsi gigi asli yang dimiliki,
akan semakin besar kemungkinan terjadinya gangguan kemampuan mastikasi dan dapat
berujung pada gangguan status nutrisi pada seseorang (Sahyoun et al., 2003).
Selain itu, individu dengan penurunan kemampuan mastikasi memilih menelan
potongan makanan secara besar atau mengubah pola makan mereka untuk menghindari
makanan yang sulit dikunyah Hal tersebut dapat menyebabkan ketidakseimbangan asupan
makanan, karena lebih menyukai makanan yang lunak dan mudah untuk dikunyah, seperti
makanan kaleng, dan pengurangan makanan yang kaya serat dan nutrisi, seperti sayuran dan
buah segar serta daging. Semakin tinggi tingkat efesiensi mastikasi, maka tingkat penyerapan
makanan akan semakin baik. Pola makan yang kurang baik dapat meningkatkan resiko
penyakit pencernaan, penyakit yang berhubungan dengan gangguan nutrisi dan indeks massa
tubuh.(Borges et al., 2011)
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain potong
lintang. Pengambilan data pada penelitian ini melalui beberapa tahap, yaitu pengukuran
tinggi badan, penimbangan berat badan, pengisian kuesioner kemampuan mastikasi, serta
pemeriksaan rongga mulut subjek penelitian yang meliputi pemeriksaan regio dan jumlah
7
kehilangan gigi dan pemakaian gigi tiruan. Kuesioner yang dipakai pada penelitian ini adalah
kuesoner kemampuan mastikasi yang diciptakan oleh Hanin(Hanin, 2012). Pada saat
pengambilan data, peneliti dibantu oleh 10 orang pembantu peneliti. Dilakukan kalibrasi
sebelum pengambilan data, sehinga para peneliti diharapkan memiliki pemahaman yang sama
terhadap pertanyaan yang terdapat pada kuesioner kemampuan mastikasi, cara pengukuran
tinggi badan dan berat badan serta pemeriksaan gigi.
Acara “Jambore Antara Generasi untuk Mewujudkan Lansia Tangguh” di Depok,
yang diadakan oleh Centre for Ageing Studies Universitas Indonesia pada tanggal 24 Mei
2014, dipilih sebagai tempat pengambilan subjek berdasarkan pertimbangan sebagian besar
masyarakat yang terlibat dalam acara tersebut adalah dewasa dan lansia. Pengambilan sampel
dilakukan dengan menggunakan metode consecutive sampling. Semua subjek yang datang
dan memenuhi kriteria inklusi disertakan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang
diperlukan terpenuhi. Subjek penelitian harus memenuhi kriteria inklusi yaitu laki-laki dan
perempuan yang mampu berkomunikasi, karena pengambilan data menggunakan metode
wawancara dalam penelitian kuesioner. Selain itu, subjek tidak boleh mengalami gangguan
mobilisasi karena subjek diharapkan datang ke tempat penelitian untuk dilakukan wawancara
dan pemeriksaan. Dalam penghitungan indeks massa tubuh (IMT) diperlukan data tinggi
badan dan berat badan, maka subjek harus bersedia diukur tinggi dan berat badannya. Subjek
yang tidak bersedia menandatangani informed consent dan subjek yang tidak dapat
menyelesaikan seluruh rangkaian penelitian dikategorikan ke dalam kriteria eksklusi.
Besar sampel pada penelitian ini 129 subjek berusia 34-80 tahun yang dikelompokan
menjadi 3 kelompok usia berdasarkan United Nations (2013)(Departement of Economic and
Social Affairs, 2013) dan Kementrian Kesehatan RI,(Pusat Data dan Informasi Kesehatan,
2011) yaitu kelompok dewasa dari usia 20 hingga 59 tahun, kelompok lanjut usia atau lansia
untuk 60 hingga 69 tahun dan lansia resiko tinggi untuk 70 tahun ke atas. Besar sampel
minimal penelitian diperoleh dari perhitungan dengan nilai signifikansi 0.05, kekuatan
statistik/power 0,75 dan menggunakan perangkat lunak G*Power yaitu sebesar 129 subjek.
Data dianalisis menggunakan SPSS. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data
univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi dan presentase masing-masing variabel untuk
mengetahui gambaran umum dari populasi subjek penelitian. Setelah itu data diolah
menggunakan uji analisis bivariat dengan Chi Square untuk mengetahui hubungan antara
variabel kemampuan mastikasi, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi dan
Indeks Massa Tubuh (IMT).
8
Hasil Penelitian
Analisis Univariat
Tabel 3. Distribusi Nilai Rata-Rata Usia, Jumlah Kehilangan Gigi, Kuesioner Kemampuan Mastikasi, Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Pengeluaran
Mean Median Standar Deviasi
Nilai Minimum
Nilai Maksimum
Usia (tahun) 59,98 62,00 10,16 34 80Jumlah Kehilangan Gigi
7,12 6,00 5,82 0 29
IMT (kg/m2) 25,33 25,28 4,35 15,82 38,78Pengeluaran (rupiah) 1.829.395 1.500.000 1.326.976 100.000 5.000.000
Berdasarkan tabel 3, dapat diketahui nilai rata-rata usia, jumlah kehilangan gigi,
Indeks Massa Tubuh (IMT) dan pengeluaran. Rata-rata usia responden penelitian yang datang
adalah 59,98 tahun, mengalami kehilangan 7 gigi, bertubuh gemuk (25,28 kg/m2). Rata-rata
pengeluaran responden penelitian tiap bulan sebesar Rp1.829.395.
Tabel 4. Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Jumlah Kehilangan Gigi, Indeks Eichner, Gigi Tiruan, Kemampuan Mastikasi, Pendidikan, dan Pengeluaran
Variabel Frekuensi Presentase (%)Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
23106
17,882,2
Usia Dewasa muda (20-39) Dewasa paruh baya (40-59) Lansia (60-69) Lansia Risiko Tinggi (>70)
7425822
5,432,64517,1
Indeks Eichner A (4 zona pendukung) B (1-3 zona pendukung) C (tidak ada zona pendukung)
55686
42,652,74,7
Gigi Tiruan Tidak Memakai Memakai
10425
80,619,4
Kuesioner Kemampuan Mastikasi Buruk (Skor <12) Baik (Skor >12)
8643
66,733,3
IMT Kurus (<18,5 kg/m2) Normal (≥18,5 - <24,9 kg/m2) Gemuk (≥25,0 – 27,0 kg/m2) Obesitas (≥27,0 kg/m2)
5562640
3,943,421,731
Tingkat Pendidikan Dasar (SD-SMP atau setara) Menengah (SMA atau setara) Tinggi (Perguruan tinggi atau
setara)
315543
24,042,633,3
Status Ekonomi
9
Pengeluaran dibawah rata-rata (<Rp1.829.395)
Pengeluaran diatas atau sama dengan rata-rata (≥Rp1.829.395)
72
57
55,8
44,2
Tabel 4 menunjukan bahwa sebagian besar responden penelitian adalah perempuan
(82,2%) dan persentase tertinggi merupakan kelompok lansia (45%). Sebanyak 46,5%
responden penelitian mengalami kehilangan gigi kurang dari 6 dan 52,7% memiliki indeks
Eichner kategori B. Namun, sebagian besar responden penelitian tidak memakai gigi tiruan
(80,6%). Sebanyak 66,7% responden penelitian memiliki kemampuan mastikasi yang buruk,
meskipun begitu 43,4% memiliki IMT yang normal (≥18,5 - <24,9 kg/m2). Sebanyak 42,6%
responden penelitian memiliki pendidikan menengah yaitu SMA atau setara dan 55,8%
memiliki pengeluaran kurang dari rata-rata (<Rp1.829.395).
Analisis Bivariat
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang bermakna antara kemampuan
mastikasi, jenis kelamin, usia, jumlah kehilangan gigi, indeks Eichner, pemakaian gigi tiruan,
pendidikan dan status ekonomi dan Indeks Massa Tubuh (IMT), dilakukan analisis bivariat
dengan Chi Square. Syarat dari uji Chi Square adalah tidak ada nilai expected kurang dari 5
yang lebih dari 20% jumlah sel. Namun, pada variabel usia, indeks Eichner dan IMT terdapat
kategori yang jumlahnya terlalu sedikit. Maka dari itu dilakukan penggabungan kategori dari
variabel tersebut agar dapat diuji. Pada variabel usia, kategori dewasa muda dan dewasa paruh
baya digabung menjadi kategori dewasa. Kategori C digabung dengan kategori B pada indeks
Eichner. Kategori kurus digabung dengan kategori normal pada variabel IMT.
Gambar 1. Diagram Perbandingan Kemampuan Mastikasi dan Indeks Massa Tubuh (IMT)
10
Berdasarkan gambar 1, dapat terlihat diagram perbandingan kemampuan mastikasi
dan IMT. Berdasarkan diagram tersebut, subjek dengan kemampuan mastikasi buruk dan baik
sebagian besar berbadan kurus-normal.
Tabel 5. Hasil Analisis Kemampuan Mastikasi, Jumlah Kehilangan Gigi, Indeks Eichner, Pemakaian Gigi Tiruan dan Faktor Sosiodemografi (Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Status Ekonomi) terhadap Indeks Massa Tubuh (IMT)
Kategori IMT pKurus/Normal Gemuk Obesitas
Kemampuan MastikasiBurukBaik
41 (67,2%)20 (32,8%)
19 (67,9%)9 (32,1%)
26 (65%)14 (35%)
0,963
Indeks EichnerAB/C
25 (41%)36 (59%)
12 (42,9%)16 (57,1%)
18 (45%)22 (55%)
0,923
Pemakaian Gigi TiruanTidak MemakaiMemakai
47 (77%)14 (23%)
21 (75%)7 (25%)
36 (90%)4 (10%)
0,190
UsiaDewasaLansiaLansia Risiko Tinggi
20 (32,8%)26 (42,6%)15 (24,6%)
8 (28,6%)14 (50%)6 (21,4%)
21 (52,5%)18 (45%)1 (2,5%)
0,028*
Jenis KelaminLaki-lakiPerempuan
14 (23%)47 (77%)
6 (21,4%)22 (78,6%)
3 (7,5%)37 (92,5%)
0,119
Tingkat PendidikanDasarMenengahTinggi
11 (18%)29 (47,5%)21 (34,4%)
8 (28,6%)8 (28,6%)12 (42,9%)
12 (30%)18 (45%)10 (25%)
0,281
Status EkonomiKurang dari rata-rataLebih dari rata-rata
35 (57,4%)
26 (42,6%)
16 (57,1%)
12 (42,9%)
21 (52,5%)
19 (47,5%)
0,879
Keterangan : tanda * adalah bermakna (p<0,05)
Tabel 5 menunjukan hasil uji analisis bivariat kemampuan mastikasi, indeks Eichner,
pemakaian gigi tiruan dan faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin, pendidikan dan status
ekonomi) terhadap indeks massa tubuh (IMT). Pada tabel tersebut, kemampuan mastikasi
memiliki nilai kemaknaan sebesar 0,963. Karena faktor peluang lebih dari 5% (p>0,05) maka
kemampuan mastikasi tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan IMT.
Jumlah kehilangan gigi, indeks Eichner, pemakaian gigi tiruan, jenis kelamin, pendidikan dan
11
status ekonomi juga tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan IMT. Sedangkan usia
memiliki nilai kemaknaan sebesar 0,028 atau faktor peluang kurang dari 5% (p<0,05) maka
terdapat hubungan yang bermakna dengan IMT.
Pembahasan
Dari hasil penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara kemampuan
mastikasi dan indeks massa tubuh (IMT). Pada kelompok dengan IMT yang kurus/normal
sebanyak 67,2% memiliki kemampuan mastikasi yang buruk. Pada kelompok dengan IMT
gemuk, 67,9% memiliki kemampuan mastikasi yang buruk. Tren yang sama juga terlihat pada
kelompok dengan IMT yang obesitas yaitu sebanyak 65% juga memiliki kemampuan
mastikasi yang buruk.
Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Ikebe et al yang menyatakan adanya
hubungan antara kemampuan mastikasi dengan IMT (Ikebe et al., 2006). Perbedaan tersebut
karena pada penelitian ini kemampuan mastikasi dinilai melalui kuesioner yang jawabannya
dapat bersifat subjektif atau disertai dengan sikap dan harapan pribadi. Sementara pada
penelitian Ikebe at al, kemampuan mastikasi diukur secara objektif melalui tes gummy jellies
(Ikebe et al., 2006).
Selain itu, kemampuan mastikasi setiap orang tidak sama (Armellini & von Fraunhofer,
2004). Subjek pada penelitian ini tidak merasa kesulitan mengunyah makanan dalam mulut,
meski sebagian besar gigi mereka telah hilang, kemungkinan karena subjek melakukan
manipulasi pada makanan mereka. Manipulasi tersebut misalnya dengan memberi banyak
kuah pada makanan, sehingga makanan menjadi lebih lunak dan tidak memerlukan
pengunyahan dalam waktu lama di dalam mulut. Pada makanan keras, subjek akan
mengunyah secara perlahan dalam jangka waktu yang lebih lama, sampai makanan lebih
mudah ditelan. Hal ini seperti yang telah dijelaskan oleh Sierpinska et al dalam penelitiannya
bahwa memperpanjang waktu pengunyahan di dalam mulut dapat meningkatkan
penghancuran makanan keras.(Sierpińska, Gołebiewska, & Długosz, 2006) Kemampuan
mastikasi juga dipengaruhi oleh kondisi otot-otot matikasi, sendi temporomandibular, saraf
dan saliva.(Soratur, 2006) Maka dari itu, untuk penelitian selanjutnya perlu diperhatikan
kondisi otot-otot mastikasi, sendi temporomandibular, saraf dan saliva subjek serta
pengaruhnya terhadap IMT.
Meskipun bertentangan dengan penelitian Ikebe et al (Ikebe et al., 2006), namun
penelitian ini sejalan dengan penelitian Kumar et al pada tahun 2012. Penelitian tersebut
12
menyatakan bahwa tidak ditemukan hubungan antara IMT dan kehilangan gigi pada subjek
lansia usia 65-85 tahun. Meskipun kemampuan mastikasi mengalami penurunan akibat
kehilangan gigi, namun konsumsi vitamin dan serat tetap sama (Kumar et al., 2012).
Pada penelitian ini juga tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara kehilangan
gigi berdasarkan kategori indeks Eichner dengan indeks massa tubuh (IMT). Hal ini sejalan
dengan penelitian Sheiham et al yang menyatakan tidak ada hubungan antara jumlah gigi
posterior yang beroklusi dengan IMT (Sheiham et al., 2002). Selain itu, penelitian Marcenes
et al (2003) et all juga mengungkapkan bahwa distribusi IMT pada subjek bergigi dan tidak
bergigi tetap sama. Hal tersebut kemungkinan karena indeks massa tubuh dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti masalah kesehatan, konsumsi obat-obatan serta jenis makanan,
sehingga IMT tidak hanya ditentukan oleh kehilangan gigi saja (Tôrres et al., 2013). Hal ini
seperti yang dijelaskan oleh Sheiham et al. (2002) dalam penelitiannya bahwa peningkatan
indeks massa tubuh seseorang cenderung dipengaruhi oleh kualitas makanannya. Maka dari
itu, untuk penelitian selanjutnya perlu juga diteliti pengaruh jenis makanan yang dikonsumsi
oleh subjek terhadap IMT.
Pada penelitian ini tidak tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara pemakaian
gigi tiruan dengan indeks massa tubuh (IMT). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Shaikh
et al. yang menyatakan bahwa tidak ada perubahan IMT signifikan yang ditemukan pada
pemakai gigi tiruan. Rehabilitasi oral tetap berperan penting dalam meningkatkan kemampuan
mengunyah makanan, namun tidak sampai mengubah pola makan seseorang. Pemakaian gigi
tiruan merupakan salah satu faktor dari berbagai faktor lain yang dapat mengubah pemilihan
makanan (Shaikh et al., 2012).
Meskipun begitu, hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Tsai dan Chang (2011)
yang menemukan bahwa pemakaian gigi tiruan lepasan berhubungan dengan resiko IMT yang
rendah. Seperti yang dijelaskan oleh Bessadet et al (2013), fungsi mastikasi yang berkurang
pada pasien dengan kontak posterior yang hilang, dapat ditingkatkan kembali dengan
pemakaian gigi tiruan lepasan. Meskipun demikian, kemampuan mastikasi pada pemakai gigi
tiruan tetap tidak sebaik individu dengan gigi asli (Bessadet et al., 2013).
Perbedaan hasil ini dapat disebabkan perbedaan pembagian kategori gigi tiruan. Pada
peneltian Tsai et al kategori gigi tiruan dibagi menjadi gigi tiruan lepasan, gigi tiruan cekat
dan tidak memakai gigi tiruan. Pada penelitian ini subjek hanya dibagi menjadi memakai dan
tidak memakai gigi tiruan, dan diperoleh jumlah yang tidak berimbang. Selain itu, seluruh
subjek pemakai gigi tiruan menggunakan gigi tiruan lepasan dan tidak ditemukan subjek
pemakai gigi tiruan cekat. Pasien dengan gigi tiruan lepasan memiliki kemampuan
13
pengunyahan yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan pasien dengan gigi
tiruan cekat atau implant (Tsai & Chang, 2011). Maka dari itu diperlukan penelitian yang
lebih berimbang proporsinya, baik dari jumlah pemakai maupun jenis gigi tiruan, sebab
perbedaan jenis gigi tiruan kemungkinan memberikan dampak yang berbeda terhadap indeks
massa tubuh seseorang.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan indeks
massa tubuh (IMT). Dari data yang tersedia dapat dilihat bahwa obesitas lebih umum terjadi
pada kelompok usia dewasa (20-59 tahun) yaitu 52,5% atau 21 dari 40 subjek. Sementara itu
tubuh yang gemuk dan kurus/normal lebih umum terjadi pada kelompok lansia (60-69 tahun).
Pada penelitian ini terlihat kecenderungan IMT yang menurun seiring dengan bertambahnya
usia. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Forster et al yang menyatakan peningkatan
usia berhubungan dengan penurunan indeks massa tubuh (Forster & Gariballa, 2005). Proses
menua pada manusia diikuti dengan beberapa perubahan seperti penurunan fungsi indera
penciuman, pengecapan serta kesehatan mulut yang dapat mempengaruhi pemilihan makanan,
pencernaan dan metabolisme seseorang (Hickson, 2006). National Diet and Nutrition Survey
di Inggris juga menemukan konsumsi makanan dan nutrisi mikro seperti vitamin C, vitamin
E, riboflavin, thiamin dan asam folat yang rendah pada kelompok usia 65 tahun ke atas
(Forster & Gariballa, 2005). Selain itu terjadi juga penurunan massa otot, jaringan organ, kulit
dan tulang seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam penelitian
Hickson yang menemukan penurunan signifikan antara IMT akibat penurunan massa otot
pada orang tua (Hickson, 2006).
Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin
dengan indeks massa tubuh (IMT). Hal ini bertentangan dengan penelitian De Marchi et al
yang menemukan bahwa wanita lebih cenderung memiliki IMT yang tinggi daripada laki-laki
(De Marchi et al., 2012). Seperti yang dijelaskan oleh Campos et al, wanita lebih mudah
terkena obesitas karena wanita memiliki akumulasi lemak organ dalam rongga perut (visceral
fat) yang lebih banyak, perbedaan dalam asupan makanan serta harapan hidup yang lebih
tinggi (cit. Tôrres et al., 2013). Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan jumlah laki-
laki dan perempuan yang kurang berimbang. Pada penelitian De Marchi et al. (2012)
presentase jumlah laki-laki dan perempuan adalah 42% banding 58%. Sementara pada
penelitian ini sebagian besar subjek yaitu 77% adalah perempuan. Maka dari itu sebaiknya
dilakukan penelitian dengan proporsi jenis kelamin yang lebih berimbang. (De Marchi et al.,
2012).
14
Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara pendidikan dan
indeks massa tubuh (IMT). Seperti yang dikemukakan oleh Devaux et al. (2011), semakin
tingginya tingkat pendidikan akan memperbesar akses seseorang terhadap informasi
kesehatan serta kemampuan untuk menerapkannya. Kesadaran seseorang terhadap resiko
terkait pilihan gaya hidup juga lebih besar dan meningkatkan kemampuan mengontrol diri
secara konsisten (Devaux et al., 2011). Hal ini sesuai dengan penelitian Yoon et al. (2006)
yang menemukan pengaruh pendidikan terhadap penurunan IMT di Korea. Berdasarkan
penelitian tersebut, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin tinggi juga
kewaspadaan seseorang terhadap masalah kesehatan yang terkait dengan obesitas dan
semakin sehat juga gaya hidupnya (Yoon et al., 2006) Perbedaan hasil penelitian ini dapat
disebabkan perbedaan kategori dari tingkat pendidikan yang digunakan. Pada penelitian ini
pendidikan terakhir subjek diklasifikasikan berdasarkan pendidikan formal di Indonesia yaitu
pendidikan dasar (SD dan SMP atau setara), pendidikan menengah (SMA atau setara) dan
pendidikan tinggi (perguruan tinggi atau setara) (Badan Pusat Statistik, 2011). Sementara
pada penelitian Yoon et al digunakan klasifikasi berdasarkan jumlah tahun sekolah yaitu 6
tahun, 7-12 tahun dan 13 tahun atau lebih.(Yoon et al., 2006)
Pada hasil penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara status
ekonomi dan indeks massa tubuh (IMT). Pengeluaran (pembelanjaan keperluan) rumah
tangga yang terdiri dari pengeluaran makanan dan bukan makanan dapat menggambarkan
bagaimana penduduk mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya.(Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013) Seperti yang dikemukakan oleh Yoon et al, pendapatan adalah hal
yang paling utama mempengaruhi kemampuan seseorang dalam dalam membeli makanan dan
melakukan aktivitas fisik.(Yoon et al., 2006)
Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Mack et al. (2008) yang menyatakan
adanya hubungan antara IMT dengan tingkat ekonomi. Hal ini mungkin karena sebagian besar
subjek adalah pensiunan yang pengeluaran tiap bulannya tidak begitu besar sebab kebutuhan
pokok seperti makanan sehari-harinya sudah ditanggung oleh keluarganya. Hal tersebut dapat
menjelaskan kecenderungan subjek dengan IMT yang baik, namun tingkat ekonominya di
bawah rata-rata.
Dalam penelitian ini, terlihat adanya hubungan antara usia dan indeks massa tubuh dan
kecenderungan IMT yang menurun seiring dengan bertambahnya usia. Maka dari itu, perlu
adanya sosialisasi bagi para lansia agar tetap menjaga pola makan dengan mengkonsumsi
makanan dan minuman yang cukup dan bernutrisi. Selain itu, dalam penelitian ini presentase
kehilangan gigi subjek penelitian cukup tinggi, namun pemakaian gigi tiruan yang masih
15
rendah. Oleh karena itu, diperlukan juga peningkatan edukasi dan kesadaran masyarakat
untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut serta pentingnya rehabilitasi oral.
Desain potong lintang memiliki kelemahan, yaitu rentan terhadap terjadinya bias. Bias
yang dapat terjadi pada penelitian ini adalah recall bias dan interviewer bias (Notoatmodjo,
2010). Recall bias merupakan bias akibat ingatan subjek pada peristiwa di masa lalu yang
dapat terjadi saat dilakukan pengisian kuesioner kemampuan mastikasi, contohnya waktu
yang diperlukan untuk pengunyahan. Interviewer bias merupakan bias yang bersumber dari
pewawancara. Hal ini dapat terjadi akibat kurangnya pemahaman pewawancara terhadap
pertanyaan pada kuisioner. Tetapi pada penelitian ini, telah diusahakan antisipasinya dengan
melatih cara melakukan wawancara pembantu peneliti agar mampu membantu subjek
menjawab kuesioner, serta dilakukan kalibrasi pewawancara agar memiliki pemahaman yang
sama terhadap pertanyaan pada kuesioner kemampuan mastikasi serta tata cara
penggunaannya. Dengan dilakukannya kalibrasi ini, pewawancara dilatih untuk mendapatkan
jawaban yang reliabilitasnya baik dari subjek penelitian. Kalibrasi dilakukan berdasarkan
pedoman pengisian kuesioner kemampuan mastikasi yang diciptakan oleh Hanin (Hanin,
2012). Proses pemeriksaan dan pengumpulan data yang bertahap dapat menyebabkan
kelelahan pewawancara dalam menggali jawaban dan kelelahan subyek penelitian dalam
menjawab pertanyaan. Kelelahan tersebut dapat menurunkan tingkat konsentrasi sehingga
mempengaruhi ketepatan data yang didapatkan. Hal ini diatasi dengan melakukan wawancara
secara efektif dan efisien, melakukan pemeriksaan secara cepat dan tepat serta mengatur
posisi duduk yang nyaman.
Dalam penelitian ini kemampuan mastikasi subjek penelitian diketahui melalui
pengisian kuesioner sehingga jawaban yang diberikan cenderung bersifat subjektif
(Notoatmodjo, 2010). Hal ini dapat diatasi dengan memakai alat yang dapat mengukur
kemampuan mastikasi secara objektif untuk peneltian selanjutnya. Selain itu penelitian potong
lintang memerlukan subjek penelitian dalam jumlah besar. Semakin besar jumlah subjek akan
meningkatkan kekuatan penelitian. Penelitian ini hanya memenuhi kekuatan penelitian
sebesar 75% dengan jumlah sampel 129. Kekuatan penelitian (1 - β) merupakan kemampuan
sebuah penelitian dalam menolak hipotesis nol jika benar-benar salah yaitu tidak ditemukan
hubungan antara variabel. Maka dari itu, semakin besar kekuatan penelitian akan semakin
besar kemungkinan penelitian tersebut untuk menemukan hubungan (Cashen & Geiger,
2004). Selain itu, distrisbusi subjek yang kurang merata pada pemakai dan jenis gigi tiruan,
jenis kelamin dan jumlah pengeluaran dapat mempengaruhi data yang diperoleh. Oleh karena
itu, disarankan pada penelitian selanjutnya untuk menambah jumlah subjek, serta diteliti
16
berdasarkan wilayah atau komunitas berbeda dengan perbandingan yang lebih berimbang
pada pemakai gigi tiruan dan jenisnya, jumlah laki-laki dan perempuan serta status ekonomi.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa :
1. Terdapat hubungan antara salah satu faktor sosiodemografi, yaitu usia, dengan
indeks massa tubuh (IMT)
2. Tidak terdapat hubungan antara kemampuan mastikasi, kehilangan gigi, pemakaian
gigi tiruan, dan beberapa faktor sosiodemografi, yaitu jenis kelamin, pendidikan
dan tingkat ekonomi, dengan indeks massa tubuh.
Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kemampuan mastikasi dan indeks massa
tubuh (IMT) dengan jumlah subjek yang lebih besar agar mendapatkan hasil yang lebih
akurat. Kondisi otot-otot mastikasi, sendi temporomandibular, saraf dan saliva subjek dapat
mempengaruhi kemampuan mastikasi sehingga perlu dilihat dampaknya terhadap IMT. Selain
itu, perlu juga diteliti pengaruh jenis makanan yang dikonsumsi subjek terhadap IMT.
Pengukuran kemampuan mastikasi juga sebaiknya menggunakan alat ukur yang lebih objektif
agar hasil yang didapat benar-benar berdasarkan kemampuan subjek dalam mengunyah
makanan. Disarankan pula untuk menggunakan wilayah atau komunitas dengan jumlah
sampel yang lebih berimbang proporsinya dalam perbandingan pemakai dan jenis gigi tiruan,
jumlah laki-laki dan perempuan serta status ekonomi.
Daftar Referensi
Armellini, D., & von Fraunhofer, J. A. (2004). The shortened dental arch: a review of the literature. The Journal of Prosthetic Dentistry, 92(6), 531–5.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Badan Pusat Statistik. (2011). Pendidikan Penduduk Indonesia : Hasil Sensus Penduduk 2010 (pp. 7–15). Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Bessadet, M., Nicolas, E., Sochat, M., Hennequin, M., & Veyrune, J.-L. (2013). Impact of removable partial denture prosthesis on chewing efficiency. Journal of Applied Oral Science : Revista FOB, 21(5), 392–6.
17
Borges, T. D. F., Mendes, F. A., de Oliveira, T. R. C., do Prado, C. J., & das Neves, F. D. (2011). Overdenture with immediate load: mastication and nutrition. The British Journal of Nutrition, 105(7), 990–4.
Cashen, L. H., & Geiger, S. W. (2004). Statistical Power and the Testing of Null Hypotheses: A Review of Contemporary Management Research and Recommendations for Future Studies. Organizational Research Methods, 7(2), 151–167.
De Marchi, R. J., Hugo, F. N., Hilgert, J. B., & Padilha, D. M. P. (2012). Association between number of teeth, edentulism and use of dentures with percentage body fat in south Brazilian community-dwelling older people. Gerodontology, 29(2), e69–76.
Departement of Economic and Social Affairs. (2013). World Population Ageing 2013 (p. ST/ESA/SER.A/348). United Nations Publication.
Devaux, M., Sassi, F., Cecchini, M., Borgonovi, F., & Church, J. (2011). Exploring the Relationship Between Education and Obesity. OECD Journal: Economic Studies, 2011(1), 1–40.
Emami, E., De Souza, R. F., Kabawat, M., & Feine, J. S. (2013). The Impact of Edentulism on Oral and General Health. International Journal of Dentistry.
Forster, S., & Gariballa, S. (2005). Age as a determinant of nutritional status: a cross sectional study. Nutrition Journal, 4, 28.
Hanin, I. (2012). Hubungan Kemampuan Mastikasi (Analisis Menggunakan Kuisioner Kemampuan Mastikasi) dengan Kualitas Hidup Wanita Pra-Lansia dan Lansia. Thesis. Universitas Indonesia.
Hickson, M. (2006). Malnutrition and ageing. Postgraduate Medical Journal, 82(963), 2–8.
Ikebe, K., Matsuda, K., Kagawa, R., Enoki, K., Okada, T., Yoshida, M., & Maeda, Y. (2012). Masticatory Performance in Older Subjects with Varying Degrees of Tooth Loss. Journal of Dentistry, 40(1), 71–6.
Ikebe, K., Matsuda, K., Murai, S., Maeda, Y., & Nokubi, T. (2010). Validation of the Eichner index in relation to occlusal force and masticatory performance. The International Journal of Prosthodontics, 23(6), 521–4.
Ikebe, K., Matsuda, K. I., Morii, K., Nokubi, T., & Ettinger, R. L. (2006). The relationship between oral function and body mass index among independently living older Japanese people. The International Journal of Prosthodontics, 19(6), 539–46.
Ireland, R. (2010). Oxford Dictionary of Dentistry.pdf. Oxford: Oxford University Press.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Khazaei, S., Firouzei, M. S., Sadeghpour, S., Jahangiri, P., Savabi, O., Keshteli, A. H., & Adibi, P. (2012). Edentulism and Tooth Loss in Iran: SEPAHAN Systematic Review No. 6. International Journal of Preventive Medicine, 3(1), S42–7.
Kilcast, D. (2004). Texture in Food. Cambridge: Woodhead Publishing Ltd.
18
Kumar, D., Rastogi, N., & Madan, R. (2012). Correlation between Health and Nutritional Status in Geriatric Population. World J Dent, 3(4), 297–302.
Mack, F., Abeygunawardhana, N., Mundt, T., Schwahn, C., Proff, P., Spassov, A., … Biffar, R. (2008). The factors associated with body mass index in adults from the study of health in Pomerania (SHIP-0), Germany. Journal of Physiology and Pharmacology : An Official Journal of the Polish Physiological Society, 59 Suppl 5, 5–16.
Manjunatha, B. S. (2013). Textbook of Dental Anatomy and Oral Physiology. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers.
Marcenes, W., Steele, J. G., Willian, A., & Walls, G. (2003). The relationship between dental status, food selection, nutrient intake, nutritional status, and body mass index in older people, 19(3), 809–816.
Moynihan, P., & Petersen, P. E. (2007). Diet, Nutrition and the Prevention of Dental Diseases. Public Health Nutrition, 7(1a), 201–226.
National Obesity Observatory. (2009). Body Mass Index as a measure of obesity. London: Association of Public Health Observatories.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan (pp. 150–151). Jakarta: Rineka Cipta.
Okeson, J. P. (2013). Management of Temporomandibular Disorders and Occlusion (7th ed.). Missouri: Elsevier Mosby.
Pusat Data dan Informasi Kesehatan. (2011). Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 2011-2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Ruston, D., Hoare, J., Henderson, L., & Swan, G. (2004). The National Diet & Nutrition Survey : Adults Aged 19 to 64 Years. The National Diet and Nutrition Survey, 4, 15–16.
Sahyoun, N. R., Lin, C. L., & Krall, E. (2003). Nutritional status of the older adult is associated with dentition status. Journal of the American Dietetic Association, 103(1), 61–66.
Shaikh, S., Aziz, F., Javed, M. U., Saeed, M. H. Bin, Sharif, M., & Azad, A. A. (2012). Body Mass Index Before and After Provision of Complete Dentures. Pakistan Oral and Dental Journal, 32(2), 335–340.
Sheiham, a, Steele, J. G., Marcenes, W., Finch, S., & Walls, a W. G. (2002). The relationship between oral health status and Body Mass Index among older people: a national survey of older people in Great Britain. British Dental Journal, 192(12), 703–6.
Sierpińska, T., Gołebiewska, M., & Długosz, J. W. (2006). The relationship between masticatory efficiency and the state of dentition at patients with non rehabilitated partial lost of teeth. Advances in Medical Sciences, 51(1), 196–9.
Singh, K., & Brennan, D. S. (2012). Chewing disability in older adults attributable to tooth loss and other oral conditions. Gerodontology, 29(2), 106–10.
Singh, L. C. S., Sikri, S. L. C. G., & Garg, L. C. M. (2008). Body Mass Index and Obesity : Tailoring “cut-off” for an Asian Indian Male Population. MJ AFI, 64, 350–353.
Soratur, S. H. (2006). Essentials of Prosthodontics. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers.
19
Tôrres, L. H. D. N., da Silva, D. D., Neri, A. L., Hilgert, J. B., Hugo, F. N., & Sousa, M. D. L. R. De. (2013). Association between underweight and overweight/obesity with oral health among independently living Brazilian elderly. Nutrition (Burbank, Los Angeles County, Calif.), 29(1), 152–157.
Tsai, a C., & Chang, T.-L. (2011). Association of dental prosthetic condition with food consumption and the risk of malnutrition and follow-up 4-year mortality risk in elderly Taiwanese. The Journal of Nutrition, Health & Aging, 15(4), 265–70.
Ueno, M., Yanagisawa, T., Shinada, K., Ohara, S., & Kawaguchi, Y. (2010). Category of functional tooth units in relation to the number of teeth and masticatory ability in Japanese adults. Clinical Oral Investigations, 14(1), 113–9.
Yoon, Y. S., Oh, S. W., & Park, H. S. (2006). Socioeconomic Status in Relation to Obesity and Abdominal Obesity in Korean Adults : A Focus on Sex Differences. Obesity Reseacrh Journal, 14(5), 909–919.
Yoshino, K., Kikukawa, I., Yoda, Y., Watanabe, H., Fukai, K., Sugihara, N., & Matsukubo, T. (2011). Relationship between Eichner Index and Number of Present Teeth. Bulletin of Tokyo Dental College, 53(1), 37–40.
20
top related