medikamentosa obesitas
Post on 03-Jan-2016
44 Views
Preview:
TRANSCRIPT
WASPADAI OBAT ANTI OBESITAS
Ni Made Rai Wahyuni S
Obesitas sering diartikan sebagai kelebihan lemak tubuh. Sebenarnya patokan
yang digunakan sebagai penentu apakah seseorang mengalami obesitas adalah suatu
ukuran yang disebut indeks massa tubuh (IMT). Indeks massa tubuh (IMT)
merupakan kalkulasi angka dari berat dan tinggi badan seseorang. Nilai IMT
didapatkan dari berat dalam kilogram dibagi dengan kuadrat dari tinggi dalam meter
(kg/m2). Nilai dari IMT pada orang dewasa tidak bergantung pada umur maupun
jenis kelamin. Overweight atau sering disebut dengan kelebihan berat badan adalah
tahap sebelum dikatakan obesitas secara klinis. Obesitas dikatakan terjadi kalau
terdapat kelebihan berat badan 20% karena lemak para pria dan 25% pada wanita.
.
Kriteria di atas merupakan kriteria untuk kawasan Asia Pasifik. Kriteria ini berbeda
dengan kawasan lain, hal ini berdasarkan meta-analisis beberapa kelompok etnik
yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama,
menunjukkan etnik Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2
dibandingkan dengan etnik kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT bangsa Cina, Ethiopia,
Indonesia, dan Thailand masing-masing adalah 1.9, 4.6, 3.2, dan 2.9 kg/m2 lebih
rendah daripada etnik Kaukasia. Hal ini memperlihatkan adanya nilai cut off IMT
untuk obesitas yang spesifik untuk populasi tertentu. (Sugondo, 2006)
Menurut WHO (2011) pada tahun 2008, sekitar 1,5 milliar dewasa (20+)
adalah overweight dan lebih dari 200 juta laki-laki dan sekitar 300 juta wanita adalah
obese. WHO juga memprediksi bahwa pada tahun 2015, sekitar 2.3 milliar dewasa
akan mengalami overweight dan lebih dari 700 milliar akan obese.
Sedangkan menurut RISKESDAS (2007) prevalensi obesitas pada penduduk
dewasa di atas 15 tahun di beberapa kota besar di Indonesa cukup tinggi seperti di
Sumatera utara 20.9% dengan 17.7% pria dan 23.8% wanita, di DKI Jakarta 26.9%
dengan 22.7% pria dan 30.7% wanita, Jawa Barat 17.0% dengan 14.4% pria dan
29.2% wanita, Jawa tengah 17.0% dengan 11.6% pria dan 22.0% wanita, DI
Yogyakarta 18.7% dengan 14.6% pria dan 22.5% wanita, Jawa timur 20.4% dengan
15.2% pria dan 25.5% wanita. Dan di Indonesia adalah 19.1% dengan wanita 23.8%
dan pria 13.9%.
Prevalensi obesitas berhubungan dengan urbanisasi dan mudahnya
mendapatkan makanan serta banyaknya jumlah makanan yang tersedia. Urbanisasi
dan perubahan status ekonomi yang terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang berdampak pada peningkatan prevalensi obesitas pada populasi di
negara-negara ini, termasuk Indonesia. Tingginya prevalensi ini, telah membuat
obesitas mendapat perhatian yang cukup singnifikan dalam medis. Obesitas lebih
sering terjadi antara wanita dan yang menyedihkan; prevalensi pada anak-anak juga
mengingkat pada taraf yang mengkhawatirkan.( Flier et al, 2005)
Obesitas yang ditandai dengan kelebihan lemak tubuh merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang utama yang banyak di dunia. Konsekuensi dari obesitas
yang penting dan perlu diperhatikan yaitu obesitas meningkatkan risiko hipertensi,
dislipidemia, diabetes tipe 2, penyakit jantung, gangguan tidur, osteoarthritis, dan
beberapa jenis kanker.
Bila seseorang mengalami obesitas ada 3 solusi yang umumnya dipilih untuk
mengatasinya. Pertama adalah pengaturan makan atau lebih popular disebut diet. Diet
paling sering menjadi solusi awal bagi orang dengan obesitas atau bahkan orang
normal yang ingin tampak lebih menarik dengan tubuh kurus. Bagi orang yang tekun
dan disiplin solusi ini mungkin berhasil, namun banyak juga yang berhenti di tengah
karena sulit mengubah kebiasaan makan dan hasil yang di dapat perlu waktu lama.
Solusi kedua yang sering dikombinasi dengan diet yaitu latihan fisik atau olahraga.
Hal ini juga sering mengalami hambatan karena perlu menyisihkan waktu terutama
bagi orang-orang dengan aktivitas padat. Pada akhirnya banyak orang mengambil
cara yang paling praktis dan efisien yaitu menggunakan obat-obatan.
Dalam pengelolaan obesitas, gaya hidup dan modifikasi perilaku, termasuk
pola makan dan olahraga yang tepat dianjurkan menjadi awal penanganan untuk
obesitas. Terapi dengan obat sebenarnya direkomendasikan untuk pasien yang telah
mengalami obesitas, atau pasien kelebihan berat badan dengan adanya penyakit
penyerta misalnya pasien dengan diabetes. Obat anti-obesitas diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok, sesuai dengan mekanisme mereka tindakan: penekan nafsu
makan, penghambat penyerapan lemak, stimulator pengeluaran energi dan
thermogenesis. Banyak obat telah digunakan untuk mengobati obesitas selama
bertahun-tahun. Namun, sebagian besar obat anti-obesitas yang telah disetujui oleh
United States Food and Drug Administration (USFDA) dan dipasarkan kini telah
ditarik karena penemuan pasca-pemasaran efek samping yang serius. Ulasan ini
merangkum nasib obat anti-obesitas yang telah diperkenalkan untuk penggunaan
klinis.
PHENTERMINE AND FENFLURAMINE
Kombinasi phentermine dengan fenfluramine atau dexfenfluramine pernah
umum digunakan dalam mengelola obesitas. Phentermine adalah obat noradrenergik,
yang merangsang pelepasan noradrenalin dan mengurangi asupan makanan dengan
bertindak pada β-adrenergik reseptor di hipotalamus perifornical. Fenfluramine dan
dexfenfluramine (d-isomer dari fenfluramine) adalah obat serotonergik, yang
menyebabkan pelepasan serotonin untuk menekan nafsu makan dan mengurangi
asupan makanan. Kedua phentermine dan fenfluramine secara individual disetujui
oleh USFDA. Kombinasi phentermine dengan fenfluramine atau dexfenfluramine
tidak dianggap lebih efektif daripada salah satunya saja, tetapi dosis yang lebih
rendah masing-masing obat dapat digunakan dalam kombinasi, menyebabkan lebih
sedikit efek samping. Namun, keduanya, fenfluramine dan dexfenfluramine ditarik
dari pasar oleh USFDA pada tahun 1997 . Keputusan itu didorong oleh laporan awal
dari 24 wanita yang menerima fenfluramine. Studi ini mengidentifikasi kerusakan
katup jantung dalam hubungan dengan penggunaan fenfluramine. Temuan
echocardiographic dan histologis menunjukkan morfologi katup tidak biasa yang
menyerupai penderita penyakit jantung karsinoid. Dalam studi ini, hipertensi arteri
paru juga diidentifikasi dari delapan wanita.
SIBUTRAMINE
Sibutramine digunakan secara luas setelah persetujuan oleh USFDA pada
tahun 1997 . Sibutramine adalah obat serotonergik dan adrenergik yang menghambat
reuptake serotonin dan norepinefrin. Sibutramine menekan nafsu makan,
menyebabkan rasa kenyang, dan meningkatkan thermogenesis (pembentukan panas
tubuh). Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa sibutramine menghasilkan
penurunan berat badan sekitar 4,45 kg dalam 12 bulan pada orang dewasa kelebihan
berat badan dan obesitas yang memiliki BMI 25 kg/m2 atau lebih besar. Pada pasien
obesitas, sibutramine mampu mengurangi lingkar pinggang, yang merupakan
prediktor kuat penyakit jantung. Selain itu, sibutramine menyebabkan penurunan
dalam kadar hemoglobin glikosilasi pada pasien obesitas dengan diabetes tipe 2.
Namun berdasarkan penelitian yang berlangsung kurang lebih 24 minggu, ada
beberapa orang yang mendapatkan peningkatan kembali berat badan setelah
pengobatan sibutramine dihentikan. Efek samping yang paling sering ditemui dari
sibutramine adalah sakit kepala, mulut kering, insomnia, dan sembelit. Tidak seperti
fenfluramine, penggunaan sibutramine tidak dihubungkan dengan peningkatan
hipertensi paru atau kerusakan katup jantung. Namun, sibutramine berakibat terhadap
peningkatan denyut jantung dan menyebabkan rata-rata peningkatan 2 mmHg pada
tekanan darah diastolik dan tekanan darah sistolik dengan dosis 10-15 mg per hari
pada beberapa pasien. Peningkatan tekanan darah lebih jelas pada pasien yang lebih
muda dan lebih gemuk.. Berdasarkan pertimbangan atas pengaruhnya pada tekanan
darah, sibutramine tidak dianjurkan untuk digunakan pada pasien dengan penyakit
jantung koroner, aritmia jantung, hipertensi yang tidak terkontrol, gagal jantung
kongestif, atau riwayat stroke. Berdasarkan studi 5 tahun yang menguji pengaruh
Sibutramin terhadap jantung (SCOUT) yang melibatkan 10742 pasien overweight
atau obesitas dengan penyakit jantung, hipertensi atau diabetes tipe 2. Setelah periode
awal 6-minggu , pasien yang menerima single-blind sibutramine memiliki rata-rata
penurunan berat badan sebanyak 2,2 kg, pengurangan lingkar pinggang sebesar 2,0
cm, penurunan tekanan darah sistolik sebesar 3,0, tekanan darah diastolic 1,0 mmHg,
dan penurunan denyut nadi 1,5 bpm. Pada bulan Januari 2010, sebuah laporan awal
dari studi SCOUT, yang menunjukkan bahwa sibutramine dikaitkan dengan
peningkatan risiko serius, non-fatal kejadian kardiovaskuler seperti infark miokard
atau stroke dibandingkan dengan plasebo menyebabkan rekomendasi untuk
menangguhkan penggunaan sibutramine oleh Committee for Medicinal Products
(CHMP) untuk Human Use of the European Medicine Agency (EMEA). Sibutramine
kemudian ditarik dari pasar Eropa. USFDA meminta agar profesional kesehatan
diberitahu bahwa sibutramine tidak boleh digunakan pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular. Hasil lengkap dari studi SCOUT diterbitkan pada bulan September
2010. Pengobatan jangka panjang sibutramine ditunjukkan untuk meningkatkan
risiko infark miokard nonfatal dan stroke non-fatal. USFDA memutuskan bahwa obat
mungkin menimbulkan risiko kardiovaskular yang tidak perlu untuk pasien, dan
sibutramine ditarik pada tanggal 8 Oktober 2010.
RIMONABANT
Sistem endocannabinoid memainkan peran penting dalam mengendalikan
asupan makanan dan keseimbangan energi, serta metabolisme lemak dan glukosa.
Endocannabinoids bertindak sebagai ligan endogen yang mampu mengaktifkan dua
jenis G protein-coupled reseptor cannabinoid, reseptor jenis cannabinoid 1 (CB1) dan
jenis cannabinoid 2 (CB2). Reseptor CB1 diekspresikan dalam sistem saraf pusat dan
pada jaringan perifer seperti jaringan adiposa, saluran pencernaan, hati dan otot, yang
semuanya terlibat dalam metabolisme lipid dan glukosa. Reseptor CB2 terletak dalam
sel-sel kekebalan tubuh dan hematopoietik (pembentuk komponen darah).
Rimonabant, obat pertama selektif antagonis reseptor CB1 di otak dan di perifer,
bertujuan memerangi obesitas dan faktor risiko yang terkait. Persetujuan penggunaan
rimonabant direkomendasikan oleh CHMP dari EMEA pada bulan April 2006.
Sejauh ini, telah ada empat uji besar klinis terhadap manusia yang menguji keamanan
dan kemanjuran rimonabant. The rimonabant in obesity (RIO) melakukan percobaan
terhadap efek rimonabant terhadap pasien obesitas, overweight, pasien
hiperlipidemia, dan diabetes tipe 2 . Rimonabant membantu menurunkan berat badan
sekitar 4,7 kg pada 1 tahun follow up. Namun, belakangan dilaporkan bahwa
penggunaan rimonabant dikaitkan dengan efek samping kejiwaan termasuk
kecemasan, depresi dan keinginan bunuh diri. Peristiwa kejiwaan samping yang
diamati dalam 26% dari peserta dalam kelompok rimonabant 20 mg dibandingkan
dengan 14% dari mereka pada plasebo dalam empat penelitian yang sama. Pada
Oktober 2008, penangguhan penggunaan rimonabant direkomendasikan oleh EMEA.
Izin untuk penggunaan rimonabant juga ditolak oleh USFDA.
ORLISTAT
Orlistat, suatu pengahambat reversibel enzim lipase di saluran pencernaan
yang berfungsi dalam pencernaan lemak. Obat ini telah disetujui untuk pengelolaan
jangka panjang dari obesitas. Orlistat mengurangi asupan kalori dan menyebabkan
penurunan berat badan dengan menghambat pemecahan lemak makanan dalam usus
dan mengurangi penyerapan. Dalam meta-analisis dari 29 studi, orlistat mengurangi
berat badan sekitar 2,59 kg dalam 6 bulan dan sekitar 2,89 kg dalam 12 bulan terapi.
Bila dibandingkan dengan pengobatan dengan plasebo dan diet, orlistat secara
signifikan mengurangi lingkar pinggang, kolesterol total, LDL-C dan tekanan darah,
dan peningkatan kadar glukosa darah dan resistensi insulin. Dalam prakteknya, efek
samping yang paling umum dari orlistat mempengaruhi sistem pencernaan, seperti
diare, perut kembung, sakit perut dan dispepsia. Selain itu, penggunaan jangka
panjang dari orlistat dapat mengakibatkan kekurangan dari vitamin larut lemak
(vitamin A, D, E, dan K). Suplementasi vitamin yang cukup oleh karena itu mungkin
diperlukan untuk pasien yang menggunakan orlistat. Harus diingat bahwa tentang
efek jangka panjang pada kejadian kardiovaskular dari terapi dengan orlistat sangat
terbatas oleh karena itu obat ini masih menjadi pilihan utama untuk terapi anti
obesitas.
EPHEDRINE AND CAFFEINE
Efedrin dan kafein termasuk dalam kategori obat yang meningkatkan
pengeluaran energi dan termogenesis. Dalam uji coba jangka panjang terkontrol
plasebo klinis, kombinasi dari efedrin dan kafein menunjukkan efek yang lebih besar
pada penurunan berat badan dari pada pengguanaan tanpa kombinasi. Zat-zat ini juga
terkandung dalam beberapa suplemen kesehatan. Namun, sampai saat ini, kombinasi
dari efedrin dan kafein belum disetujui sebagai pengobatan anti-obesitas.
Walaupun bukan merupakan penyakit yang mengancam jiwa, obesitas telah
menjadi suatu masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Hal ini dapat dikontrol
melalui obat-obatan yang tentu saja harus aman dan efektif. Fenfluramine dan
dexfenfluramine telah ditarik karena terbukti menyebabkan kerusakan katup jantung.
Sibutramine bekerja dengan menekan nafsu makan dan meningkatkan denyut jantung
dan tekanan darah. Di Eropa dan Amerika obat ini telah ditarik sehubungan dengan
peningkatan kejadian kardiovaskular. Rimonabant merupakan antagonis reseptor
endocannabinoid yang efektif mengurangi berat badan. Namun, efek samping berupa
gangguan psikis juga menyebabkan penarikan obat ini. Orlistat disetujui di Eropa dan
Amerika Serikat untuk pengobatan obesitas, namun penggunaannya dibatasi karena
menimbulkan efek samping gastrointestinal. Efedrin dan kafein adalah bahan alami
dalam makanan dan suplemen yang dapat membantu orang menurunkan berat badan.
Meskipun hasil yang menjanjikan pada pengurangan berat badan dan
beberapa faktor risiko kardiovaskular, sebagian besar obat anti-obesitas yang
dikembangkan sejauh ini belum disetujui atau harus ditarik dari pasar, karena efek
samping yang merugikan. Untuk saat ini orlistat adalah obat anti obesitas yang
disetujui secara luas. Perkembangan baru obat anti-obesitas masih sangat dibutuhkan.
Meskipun obat-obatan menjadi solusi efektif penurun berat badan, seperti yang telah
dipaparkan diatas berbagai obat ternyata memiliki efek samping terapi yang cukup
parah. Bahkan menurut beberapa sumber terapi jangka panjang menggunakan orlistat
dapat mengakibatkan kerusakan hati yang cukup parah. Namun data penelitian
terhadap efek jangka panjang penggunaan obat ini masih minim, sehingga saat ini
masih digunakan secara luas dan belum ada penangguhan dari badan pengawas obat-
obatan. Melalui paparan di atas dapat dimengerti pertimbangan mengapa para praktisi
medis akan menganjurkan diet dan olah raga sebagai terapi utama pada kasus-kasus
obesitas. Selain tidak memiliki efek negative, pengaturan makan serta olah raga
sebagai terapi sekaligus pencegahan malah mampu meningkatkan kesehatan baik
fisik maupun mental. Dengan kata lain hindarilah pemakaian obat dan jika tidak
punya pilihan lain, bersikaplah selektif terhadap pemilihan obat yang anda lakukan.
top related