mama2
Post on 03-Aug-2015
90 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyaknya penganut agama khususnya agama islam tidak luput
dengan sejarah-sejarah masuknya suatu agama tersebut, dan juga menurut
Bapak proklamator kita Ir. Soekarno mengatakan JAS MERAH, jangan
pernah lupa dengan sejaran, karena sejarah kita ada dan dengan sejaralah
islampun ada. Menurut perkembangan islam di Arab islam di proklamatori
oleh Baginda Nabi Muhammad, SAW, dan bagaimana di Indonesia? Oleh
karena itu penulis akan membahas tentang asal mula islam di Indonesia dan
para ulama pem-proklamator islam di Indonesia. Dan penulis akan membahas
tentang ulama, serta ulama-ulama besar proklamator islam
B. Rumusan masalah
1. Apa itu ulama?
2. Bagaimana sejarah asal mujla ulama di Indonesia?
3. Siapa saja ulama besar Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu ulama dan bagaimana asal mula ulama di
Indonesia
2. Mengetahui ulama-ulama besar proklamator islam
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ulama
Ulama (Arab: al-`Ulamā` ) adalah pemuka agama atau pemimpin
agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat
Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang
diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna
sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti
ulama tersebut berubah ketika diserap kedalam Bahasa Indonesia, yang
maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam.
B. Asal Mula Ulama Islam di Indonesia
Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan,
pendidikan, dll. Tokoh penyebar islam adalah walisongo antara lain; Sunan
Ampel, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga,
Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gresik (Maulana Malik
Ibrahim)
Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun
dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim
delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama
berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan
Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun
kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan
pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama
penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim
terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri
nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum
secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara,
adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah
kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari
Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692
2
H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula
berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika
singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah
tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang
ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek
makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah
bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475
H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-
makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk
pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M,
penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah
berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran
pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki
kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa
kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak,
Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah
campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab.
Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan
oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di
Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The
Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai
penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia
Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut
kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar
menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan
terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan
ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi
semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak.
Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam
Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar
3
sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani
berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di
Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di
abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin
Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena
berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para
penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di Nusantara,
mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut
berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka
terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari
bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum
kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga
terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab
dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi
ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka
untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk
kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat
Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu
daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-
kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk
memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka
pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda
Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun
maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari
sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada
tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang
putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih
terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga
kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat
berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki
Utsmani.
4
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat
jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman
akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang
mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi’i.
Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah
dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah
sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih
terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah
orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara
mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat
inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap
perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah
mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran
melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan
17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa,
Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang
Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam
Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar). Demikianlah proses asalmula
sebuah ulama-ulama islam di Indonesia.
C. Ulama-Ulama Indonesia
1. Abdurrauf Singkel
ABDURRAUF SINGKEL, SYEIKH nama lengkapnya adalah
Syekh Abdurrauf Ali Al Fansury Al Singkily Al Jawi. Beliau adalah
penyair, budayawan, ulama besar, pengarang tafsir, ahli hukum,
cendikiawan muslim dan seorang Sufi yang sangat terkenal di Nusantara
yang lahir pada tahun 1615 atau 1620 di Singkel, sebuah kabupaten di
Aceh Selatan. Dia berasal dari kalangan keluarga muslim yang taat
beribadah. Ayahnya berasal dari Arab bernama Syeikh Ali dan ibunya
seorang wanita berasal dari desa Fansur Barus—sebuah pelabuhan (bandar)
yang sangat terkenal waktu itu. Dimasa mudanya mula-mula Abdurrauf
belajar pada Dayah Simpang Kanan di pedalaman Singkel yang dipimpin
5
Syeikh Ali Al-Fansuri ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar
ke Barus di Dayah Teungku Chik yang dipimpin oleh Syeikh Hamzah
Fansury. Ia sempat pula belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi yang
dipimpin oleh Syeikh Samsuddin as-Sumatrani. Setelah Syeikh Samsuddin
pindah ke Banda Aceh lalu diangkat oleh Sultan Iskandar Muda sebagai
Qadhi Malikul Adil, Abdurrauf pun pergi mengembara. Beliau tidak suka
menetap di kota kelahirannya. Beliau lebih suka memilih mengembara
meninggalkan kota kelahirannya untuk menuntut ilmu di berbagai pelosok
nusantara dan Timur Tengah. Abdurrauf selalu merasa haus terhadap ilmu
pengetahuan. Beliau pernah belajar hampir dua puluh tahun di Mekkah,
Madinah, Yaman dan Turki. Sehingga tidak mengherankan kalau Beliau
menguasai banyak bahasa, terutama bahasa Melayu, Aceh. Arab dan
Persia. Disebutkan selama belajar ilmu agama di Timur Tengah, Syeikh
Abdurrauf telah berkenalan dengan 27 ulama besar dan 15 orang sufi
termashyur. Tentang pertemuannya dengan para sufu itu, ia berkata
“adapun segala mashyur wilayatnya yang bertemu dengan dengan fakir ini
dalam antara masa itu…”. Pada tahun 1661 M Syeikh Abdurraur kembali
ke Aceh dengan memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil, sebagai
Mufti Besar dan Syeikh Jamiah Baitur Rahim, untuk menggantikan Syeikh
Nuruddin ar-Raniry. Mengenai pendapatnya tentang faham Syeikh Hamzah
Fansuri (Tarekat Wujudiah) nampaknya berbeda dengan Syeikh Nuruddin
ar-Raniry. Beliau tidak begitu keras, Walaupun Syeikh Abdurrauf termasuk
penganut faham tua mengenai ajarannya dalam ilmu tasawuf. Terhadap
Tarekat Wujudiah, ia berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-
gesa mengecap penganut tarekat ini sebagai kafir. Membuat tuduhan seperti
itu sangatlah berbahaya. Jika benar ia kafir, maka perkataannya itu akan
berbalik kepada dirinya sendiri. Karya tulisnya yang diketahui lebih kurang
dua puluh buah dalam berbagai bidang ilmu—sastra, hukum, filsafat, dan
tafsir, antara lain;
1.‘Umdat al-Muhtajin ila suluki Maslak al-Mufridin; dengan
terjemahannya sendiri; Perpegangan Segala Mereka itu yang
Berkehendak Menjalani Jalan Segala Orang yang Menggunakan
6
Dirinya. Dalam karya ini diterangkannya tentang tasawuf yang
dikembangkannya itu. Dzikir dengan mengucap La Illah pada masa-
masa tertentu merupakan pokok pangkal tarikat ini. Kitab tersebut terdiri
atas tujuh faedah dan bab. Sesudah faedah yang ketujuh diberinya
khatimah yang berisi silsilah. Di samping memberi penjelasan tentang
ajaran Abdur-Rauf, silsilah ini juga memberikan gambaran di mana
dengan cara apa ulama-ulama dan pengarang-pengarang besar Melayu
lainnya mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam kitab ini pula ia
menyebut telah berada selama sembilan belas tahun di negeri Arab.
2. Mir’at al-Tullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyah li’l-Malik al-
Wahab. Dalam kitab ini disebutnya ia mengarang atas titah Sultanah
Tajul-Alam Safiatuddin Syah. Isinya ialah ilmu fikah menurut mazhab
Syafi’i. Ilmu mu’amalat yang tidak dibicarakan dalam Sirat al-
Mustaqim karangan Nuruddin ar-Raniri, dimasukkan disini.
3. Kifayat al-Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Talibin. Dalam karya ini
disebutnya ia dititahkan oleh Sultanah Tajul-Alam untuk mengarang. Isi
kitab ini ialah tentang ilmu tasawuf yang dikembangkan oleh Abdur-
Rauf.
4. Mau’izat al-Badi’ atau al-Mawa’ith al-Badi’ah. Karya ini terdiri atas
lima puluh pengajaran dan ditulis berdasarkan Qur’an, hadith, ucapan-
ucapan sahabat Nabi Muhammad saw serta ulama-ulama besar.
5. Tafsif al-Jalalain. Abdur-Rauf juga telah menterjemah sebagian teks dari
Tafsir al-Jalalain, surah 1 sampai dengan surah 10.
6. Tarjuman al-Mustafiq. Merupakan saduran dalam bahasa Melayu dari
karya bahasa Arab ini. Dalam sebuah naskah Jakarta disebut ada
tambahan dari murid Abdur-Rauf, Abu Daud al-Jawi ibn Ismail ibn
Agha Ali Mustafa ibn Agha al-Rumi (Van Ronkel, Catalogus der
Maleische Handschriften 1909 dalam ibid).
7. Syair Ma’rifat. Syair ini terdapat dalam naskah Oph 78, perpustakaan
Leiden, yang disalin pada 28 Januari 1859 di Bukit Tinggi.
2. SYAIKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
7
Nama Syaikh Muhammad Arsyad menempati hati masyarakat
Kalimantan dan Indoensia sebagai ulama besar dan pengembang ilmu
pengetahuan dan agama. Belum ada tokoh yang mengalahkan
kepopuleran nama Syaih Arsyad Al-Banjari. Karya-karyanya hinga kini
tetap dibaca orang di masjid dan disebut-sebut sebagai rujukan. Nama
kitabnya Sabilal Muhtadin diabadikan untuk nama Masjid Agung
Banjarmasin. Nama kitabnya yan lain Tuhfatur Raghibin juga diabadikan
untuk sebuah masjid yang tak jauh dari makan Syaikh Arsyad. Tak hanya
itu, hampir seluruh ulama di Banjarmasin masih memiliki tautan
dengannya. Baik sebagai keturunan atau muridnya. Sebut saja nama
almarhum K.H. Zaini, yang dikenal dengan nama Guru Ijay itu, adalah
keturunan Syaikh Arsyad. Hampir semua ulama di Kalimantan, Sumatera,
Jawa, dan Malaysia, pernah menimba ilmu dari syaikh atau dari murid-
murid syaikh.
Ulama yang memiliki nama lengkap Syeikh Muhammad Arsyad bin
Abdullah bin Abdur Rahman Al-Banjari itu ternyata memang bukan orang
biasa. Ia adalah cicit Sayid Abu Bakar bin Sayid Abdullah Al-’Aidrus bin
Sayid Abu Bakar As-Sakran bin Saiyid Abdur Rahman As-Saqaf bin
Sayid Muhammad Maula Dawilah Al-’Aidrus. Silisahnya kemudian
sampai pada Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina Fatimah binti
Rasulullah. Dengan demikian Syaikh Arsyad masih memiliki darah
keturunan Rasulullah.
Abdullah tercatat sebagai pemimpin peperangan melawan Portugis,
kemudian ikut melawan Belanda lalu melarikan diri bersama isterinya ke
Lok Gabang (Martapura). Dalam riwayat lain menyebut bahwa apakah
Sayid Abu Bakar As-Sakran atau Sayid Abu Bakar bin Sayid `Abdullah
Al-’Aidrus yang dikatakan berasal dari Palembang itu kemudian pindah ke
Johor, dan lalu pindah ke Brunei Darussalam, Sabah, dan Kepulauan Sulu,
yang kemudian memiliki keturunan kalangan sultan di daerah itu. Yang
jelas, para sultan itu masih memiliki tali temali hubungan dengan Syaikh
Arsyad yang berinduk ke Hadramaut, Yaman. Bapaknya Abdullah
8
merupakan seorang pemuda yang dikasihi sultan (Sultan Hamidullah atau
Tahmidullah bin Sultan Tahlilullah 1700-1734 M).
Bapaknya bukan asal orang Banjar,tetapi datang dari India
mengembara untuk menyebarkan Dakwah,Belia seorang ahli seni ukiran
kayu. Semasa ibunya hamil,kedua Ibu Bapaknya sering berdo’a agar dapat
melahirkan anak yang alim dan zuhud. Setelah lahir,Ibu Bapaknya
mendidik dengan penuh kasih sayang setelah mendapat anak sulung yg
dinanti-nantikan ini. Beliau dididik dengan dendangan Asmaul-
Husna,disamping berdo’a kepada Allah.Setelah itu diberikan pendidikan
al-qur’an kepadanya. Kemudian barulah menyusul kelahiran adik-adiknya
yaitu ; ’Abidin, Zainal abidin, Nurmein, Nurul Amein.
Muhammad Arsyad lahir di Banjarmasin pada hari Kamis dinihari,
pukul 03.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122 H atau 17 Maret 1710 M.
Semasa Kecil
Sejak kecil, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari Cergas dan
Cerdas serta mempunyai akhlak yang baik dan terpuji. Kehebatan
beliau sejak kecil ialah dalam bidang seni Lukis dan seni tulis, sehingga
siapa saja yang melihat karyanya akan merasa kagum dan terpukau.
Pada suatu hari, sultan mengadakan kunjungan kekampung-
kampung, Pada saat baginda sampai kekampung lok Gabang, Baginda
berkesempatan melihat hasil karya lukisan Muhammad Arsyad yang indah
lagi memukau hati itu. justeru Sultan berhajat untuk memelihara dan
mendidik Muhammad Arsyad yang tatkala itu baru berusia 7 tahun.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh
di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian beliau dikawinkan
dengan seorang perempuan yang soleha bernam Tuan Bajut, Hasil
perkawinan beliau memperoleh seorang putri yang diberinam Syarifah.
Beliau telah meneruskan pengembaraan ilmunya ke Mekah selama
30 tahun dan Madinah selama 5 tahun. Segala perbelanjaanya ditanggung
oleh sultan.
Sahabatnya yang paling penting yang banyak disebut adalah Syeikh
`Abdus Shamad Al-Falimbani, Syeikh Abdur Rahman Al-Mashri Al-
9
Batawi dan Syeikh Abdul Wahhab Bugis (yang kemudian menjadi
menantu Syaikh). Guru yang banyak disebut adalah Syeikh Muhammad
bin Sulaiman Al-Kurdi, Syeikh `Athaullah dan Syeikh Muhammad bin
Abdul Karim As-Sammani Al-Madani. Selama belajar di Mekah Syeikh
Arsyad tinggal di sebuah rumah di Samiyah yang dibeli oleh Sultan
Banjar. Syeikh Arsyad juga belajar kepada guru-guru Melayu di Arab
Saudi, seperti Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok Al-
Fathani (Thailand Selatan), Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin
Aceh dan Syeikh Muhammad `Aqib bin Hasanuddin Al-Falimbani.Hampir
semua ilmu keislaman yang telah dipelajari di Mekah dan Madinah
mempunyai sanad atau silsilah hingga ke pengarangnya. Hal ini cukup
jelas seperti yang ditulis oleh Syeikh Yasin bin Isa Al-Fadani (Padang,
Sumatera Barat) dalam beberapa buah karya beliau. Selain bukti berupa
karya-karyanya, juga dapat diambil jasa-jasanya membuka mata rakyat
Banjar atau dunia Melayu. Rekan-rekan Arsyad selama di Mekah
kemudian juga menjadi ulama terkenal. Syeikh `Abdus Shamad Al-
Falimbani pengarang Sayrus Salaikin, Syeikh `Abdur Rahman Al-Mashri
Al-Batawi (akkek Sayid `Utsman bin Yahya, Mufti Betawi yang terkenal),
Syeikh Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjari, pengarang kitab Ad-Durrun
Nafis, Syeikh Muhammad Shalih bin `Umar As-Samarani (Semarang)
yang digelar dengan Imam Ghazali Shaghir (Imam Ghazali Kecil), Syeikh
`Abdur Rahman bin `Abdullah bin Ahmad At-Tarmasi (Termas, Jawa
Timur), Syeikh Haji Zainuddin bin `Abdur Rahim Al-Fathani (Thailand
Selatan), dan banyak lagi.
Penulisan
Tradisi kebanyakan ulama, ketika mereka belajar dan mengajar di
Mekah, sekali gus menulis kitab di Mekah juga. Lain halnya dengan
Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari, walaupun dipercayai
bahawa beliau juga pernah mengajar di Mekah, namun karya yang
dihasilkannya ditulis di Banjar sendiri. Lagi pula nampaknya beliau lebih
mencurahkan khidmat derma baktinya di tempat kelahirannya sendiri yang
seolah-olah tanggungjawab rakyat Banjar terbeban di bahunya. Ketika
10
mulai pulang ke Banjar, sememangnya beliau sangat sibuk mengajar dan
menyusun segala macam bidang yang bersangkut-paut dengan dakwah,
pendidikan dan pentadbiran Islam. Walaupun begitu beliau masih sempat
menghasilkan beberapa buah karangan.
Karya-karya Syeikh Arsyad banyak ditulis dalam bahasa Arab-
Melayu atau Jawi yang memang diperuntukkan untuk bangsanya.
Meskipuin ia memiliki kemampuan menulis berbagai kitab dalam bahasa
Arab, tapi, ia lebih suka menuliskannya dalam bahasa Jawi. Ia
mengajarkan kitab-kitab semacam Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali
kepada para muridnya.
Karangannya yang sempat dicatat adalah seperti berikut di bawah
ini:
1. Tuhfah ar-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Mu’minin wa
ma Yufsiduhu Riddah ar-Murtaddin, diselesaikan tahun 1188
H/1774 M
2. Luqtah al-’Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas an-
Nis-yan, diselesaikan tahun 1192 H/1778 M.
3. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din,
diseselesaikan pada hari Ahad, 27 Rabiulakhir 1195 H/1780 M
4. Risalah Qaul al-Mukhtashar, diselesaikan pada hari Khamis 22
Rabiulawal 1196 H/1781 M.
5. Kitab Bab an-Nikah.
6. Bidayah al-Mubtadi wa `Umdah al-Auladi
7. Kanzu al-Ma’rifah
8. Ushul ad-Din
9. Kitab al-Faraid
10. Hasyiyah Fat-h al-Wahhab
11. Mushhaf al-Quran al-Karim
12. Fat-h ar-Rahman
13. Arkanu Ta’lim as-Shibyan
14. Bulugh al-Maram
15. Fi Bayani Qadha’ wa al-Qadar wa al-Waba’
11
16. Tuhfah al-Ahbab
17. Khuthbah Muthlaqah Pakai Makna. Kitab ini dikumpulkan
semula oleh keturunannya, Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari.
Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, Singapura, tanpa
dinyatakan tarikh cetak.
Ada pun karyanya yang pertama, iaitu Tuhfah ar-Raghibin, kitab ini
sudah jelas atau pasti karya Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-
Banjari bukan karya Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani seperti yang
disebut oleh Dr. M. Chatib Quzwain dalam bukunya, Mengenal Allah
Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syeikh Abdus Samad AI-
Falimbani, yang berasal daripada pendapat P. Voorhoeve. Pendapat yang
keliru itu telah saya bantah dalam buku Syeikh Muhammad Arsyad (l990).
Dasar saya adalah bukti-bukti sebagai yang berikut:
1. Tulisan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, “Maka disebut
oleh yang empunya karangan Tuhfatur Raghibin fi Bayani
Haqiqati Imanil Mu’minin bagi `Alim al-Fadhil al-’Allamah
Syeikh Muhammad Arsyad.”
2. Tulisan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari dalam
Syajaratul Arsyadiyah, “Maka mengarang Maulana (maksudnya
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, pen:) itu beberapa kitab
dengan bahasa Melayu dengan isyarat sultan yang tersebut,
seperti Tuhfatur Raghibin …” Pada halaman lain, “Maka Sultan
Tahmidullah Tsani ini, ialah yang disebut oleh orang
Penembahan Batu. Dan ialah yang minta karangkan Sabilul
Muhtadin lil Mutafaqqihi fi Amrid Din dan Tuhfatur Raghibin fi
Bayani Haqiqati Imani Mu’minin wa Riddatil Murtaddin dan
lainnya kepada jaddi (Maksudnya: datukku, pen al-’Alim
al-’Allamah al-’Arif Billah asy-Syeikh Muhammad Arsyad bin
`Abdullah al-Banjari.”
3. Pada cetakan Istanbul, yang kemudian dicetak kembali oleh
Mathba’ah Al-Ahmadiah, Singapura tahun 1347 H, iaitu cetakan
kedua dinyatakan, “Tuhfatur Raghibin … ta’lif al-’Alim
12
al-’Allamah asy-Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.” Di
bawahnya tertulis, “Telah ditashhihkan risalah oleh seorang
daripada zuriat muallifnya, iaitu `Abdur Rahman Shiddiq bin
Muhammad `Afif mengikut bagi khat muallifnya sendiri …”. Di
bawahnya lagi tertulis, “Ini kitab sudah cap dari negeri Istanbul
fi Mathba’ah al-Haji Muharram Afandi”.
4. Terakhir sekali Mahmud bin Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq al-
Banjari mencetak kitab Tuhfah ar-Raghibin itu disebutnya
cetakan yang ketiga, nama Syeikh Muhammad Arsyad bin
`Abdullah al-Banjari tetap dikekalkan sebagai pengarangnya.
Daripada bukti-bukti di atas, terutama yang bersumber daripada
Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani dan Syeikh `Abdur Rahman
Shiddiq adalah cukup kuat untuk dipegang kerana kedua-duanya ada
hubungan dekat dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-
Banjari itu. Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani adalah sahabat Syeikh
Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari sedangkan Syeikh `Abdur
Rahman Shiddiq pula adalah keturunan Syeikh Muhammad Arsyad bin
`Abdullah al-Banjari. Mengenai karya-karya Syeikh Muhammad Arsyad
bin `Abdullah al-Banjari yang tersebut dalam senarai, insya-Allah akan
dibicarakan pada kesempatan yang lain.
Masih banyak lagi tulisan dan catatan syaikh yang disimpan
kalangan muridnya yang kemudian diterbitkan di Istambul (Turki), Mesir,
Arab Saudi, Mumbai (Bombai), Singapura, dan kemudian Jakarta
Surabaya, dan Cirebon. Di samping itu beliau menulis satu naskah al
Quranul Karim tulisan tentang beliau sedikit, yang sampai sekarang masih
terpelihara dengan baik.
13
3. Syekh Nawawi al-Bantani
Sayid ’Ulamail Hijaz adalah gelar yang disandangnya. Sayid adalah
penghulu, sedangkan Hijaz wilayah Saudi sekarang, yang di dalamnya
termasuk Mekah dan Madinah. Dialah Syekh Muhammad Nawawi, yang
lebih dikenal orang Mekah sebagai Nawawi al-Bantani, atau Nawawi al-
Jawi seperti tercantum dalam kitab-kitabnya.
Al-Bantani menunjukkan bahwa ia berasal dari Banten, sedangkan
sebutan al-Jawi mengindikasikan musalnya yang Jawah, sebutan untuk
para pendatang Nusantara karena nama Indonesia kala itu belum dikenal.
Kalangan pesantren sekarang menyebut ulama yang juga digelari asy-
Syaikh al-Fakih itu sebagai Nawawi Banten.
Muhammad Nawawi lahir pada 1230 H (1815 M) di Tanara, sekitar
25 km arah utara Kota Serang. Ayahnya, Umar ibnu Arabi, adalah
penghulu setempat. Ia sendiri yang mengajar putra-putranya (Nawawi,
Tamim, dan Ahmad) pengetahuan dasar bahasa Arab, Fikih, dan Tafsir.
Kemudian mereka melanjutkan pelajaran ke Kiai Sahal, masih di
Banten, dan setelah itu mesantren ke Purwakarta, Jawa Barat, kepada Kiai
Yusuf yang banyak santrinya dari seluruh Jawa. Masih remaja ketika
mereka menunaikan ibadah haji, Nawawi baru berusia 15 tahun, dan
tinggal selama tiga tahun di mekah. Tapi, kehidupan intelektual Kota Suci
itu rupanya mengiang-ngiang dalam diri si sulung, sehingga tidak lama
setelah tiba di Banten ia mohon dikembalikan lagi ke Mekah. Dan di
sanalah ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada 25 Syawwal 1314
H/1897 M. Kabar lain menyebutkan kembalinya ke Tanah Suci, setelah
setahun di Tanara meneruskan pengajaran ayahnya, disebabkan situasi
politik yang tidak menguntungkan. Agaknya keduanya benar.
Di Mekah, selama 30 tahun Nawawi belajar pada ulama-ulama
terkenal seperti Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumbulaweni,
Syekh Nahrawi, dan Abdul Hamid Daghestani, selain pada Khatib
Sambas, pemimpin tarekat Qadiriah, penulis kitab Fathul Arifin, bacaan
pengamal tarekat di Asia Tenggara. Samba juga merupakan guru tokoh di
balik pemberontakan petani Banten (1888), KH Abdul Karim alias Kiai
14
Agung, yang menjelang ajal sang guru dipanggil kembali ke Mekah untuk
menggantikan kedudukannya.
Dalam penggambaran Snouck Hurgronje, Syekh Nawawi adalah
orang yang rendah hati. Dia memang menerima cium tangan dari hampir
semua orang di Mekah, khususnyan orang Jawa, tapi itu hanya sebagai
penghormatan kepada ilmu. Kalau ada orang yang meminta nasihatnya di
bidang fikih, dia tidak pernah menolaknya.
Snouck Hurgronje pernah menanyakan, mengapa dia tidak mengajar
di Masjid al-Haram, Syekh Nawawi menjawab bahwa pakaiannya yang
jelek dan kepribadiannya yang tidak cocok dengan kemulian seorang
profesor berbangsa Arab. Sesudah itu Snouck mengatakan bahwa banyak
orang yang tidak berpengetahuan tidak sedalam dia, toh mengajar di sana
juga. Nawawi menjawab, “Kalau mereka diizinkan mengajar di sana,
pastilah mereka cukup berjasa untuk itu”.(Lihat, Steenbrink, Beberapa
Aspek tentang Islam di Indonesia, h. 117-122)
Pada tahun 1860-1970, Nawawi mulai aktif memberi pengajaran.
Tapi itu dijalaninya hanya pada waktu-waktu senggang, sebab antara
tahun-tahun tersebut ia sudah sibuk menulis buku-buku. Di antara murid-
muridnya yang berasal dari Indonesia adalah:
1. KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Kelak
bersama KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).
2. KH Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
3. KH Mahfudh at-Tarmisi, Tremas, Jawa Timur.
4. KH Asy’ari, Bawean, yang kemudian diambil mantu oleh Syekh
Nawawi dinikahkan dengan putrinya, Nyi Maryam.
5. KH Nahjun, Kampung Gunung, Mauk, Tangerang, yang dijadikan
mantunya (cucu).
6. KH Asnawi, Caringin, Labuan (kelak memimpin Sarekat islam di
Banten).
7. KH Ilyas, Kragilan, Serang.
8. KH Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang.
9. KH Tubagus Bakri, Sempur, Purwakarta.
15
10. KH Mas Muhammad Arsyad Thawil, Tanara, Serang, yang kemudian
dibuang Belanda ke Manado, Sulawesi Utara, karena peristiwa Geger
Cilegon.
Mata pelajaran yang diajarkan Nawawi meliputi Fikih, Ilmu Kalam,
Tasawuf/Akhlak, Tafsir, dan Bahasa Arab.
Karya-karyanya
Setelah tahun 1870 Nawawi memusatkan kegiatannya hanya untuk
mengarang. Dan boleh dikata, Nawawi adalah penulis yang subur, kurang
lebih dari 80 kitab yang dikarangnya. Tulisan-tulisannya meliputi karya
pendek, berupa berbagai pedoman ibadah praktis, sampai tafsir al-Qur’an
– sebagian besarnya merupakan syarah kitab-kitab para pengarang besar
terdahulu.
Berikut contoh beberapa karya Nawawi, mulai dari fikih, tafsir,
sampai bahasa Arab, yang kita kutip dari H Rafiuddin (Sejarah Hidup dan
Silsilah al-Syeikh Kyai Muhammad Nawawi Tanari, 1399 H):
1. Sulam al-Munajah, syarah atas kitab Safinah ash-Shalah, karya
Abdullah ibn Umar al-Hadrami.
2. Al-Tsimar al-Yaniat fi riyadl al-Badi’ah, syarah atas kitab Al-Riyadl
al-Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dhu furu’usy Sar’iyyah ’ala Imam
asy-Syafi’i karya Syekh Muhammad Hasballah ibn Sulaiman.
3. Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Jawazain, kitab fikih mengenai
hak dan kewajiban suami-istri
4. Nihayatuz Zain fi Irsyad al-Mubtadiin, syarah atas kitab Qurratul
’aini bi muhimmati ad-din, karya Zainuddin Abdul Aziz al-Maliburi.
5. Bahjat al-Wasil bi Syarhil Masil, syarah atas kitab Ar-Rasail al-
Jami’ah Baina Ushul ad-Din wal-Fiqh wat-Tasawuf, karya Sayid
Ahmad ibn Zein al-Habsyi.
6. Qut al-Habib al-Ghaib, Hasyiyah atas syarah Fathul Gharib al-
Mujib karya Muhammad ibn Qasyim al-Syafi’i.
16
7. Asy-Syu’ba al-Imaniyyat, ringkasan atas dua kitab yaitu Niqayyah
karya al-Sayuthi dan al-Futuhat al-Makiyyah karya Syekh
Muhammad ibn Ali.
8. Marraqiyyul ’Ubudiyyat, syarah atas kitab Bidayatul Hidayah karya
Abu hamid ibn Muhammad al-Ghazali .
9. Tanqih al-Qaul al-Hadits, syarah atas kitab Lubab al-Hadits karya
al-Hafidz Jalaluddin Abdul Rahim ibn Abu Bakar as-Sayuthi.
10. Murah Labib li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid, juga dikenal
sebagai Tafsir Munir.
11. Qami’al Thughyan, syarah atas Syu’ub al Iman, karya Syekh
Zaenuddin ibn Ali ibn Muhammad al-Malibari.
12. Salalim al-Fudlala, ringkasan/risalah terhadap kitab Hidayatul
Azkiya ila Thariqil Awliya, karya Zeinuddin ibn Ali al-Ma’bari al-
Malibari.
13. Nasaih al-Ibad, syarah atas kitab Masa’il Abi Laits, karya Imam Abi
Laits.
14. Minqat asy-Syu’ud at-Tasdiq, syarah dari Sulam at-Taufiq karya
Syeikh Abdullah ibn Husain ibn Halim ibn Muhammad ibn Hasyim
Ba’lawi.
15. Kasyifatus Saja, syarah atas kitab Syafinah an-Najah, karya Syekh
Salim ibn Sumair al-Hadrami.
Dalam pada itu, YA Sarkis menyebut 38 karya Nawawi yang
penting, yang sebagiannya diterbitkan di Mesir. Misalnya Murah Labib,
yang juga dikenal sebagai Tafsir Munir.
Berikut beberapa contoh karya Nawawi yang penting yang terbit di
Mesir (Dhofier, 86):
1. Syarah al-Jurumiyah, isinya tentang tata bahasa Arab, terbit tahun
1881.
2. Lubab al-Bayan (1884).
3. Dhariyat al-Yaqin, isinya tentang doktrin-doktrin Islam, dan
merupakan komentar atas karya Syekh sanusi, terbit tahun 1886.
17
4. Fathul Mujib. Buku ini merupakan komentar atas karya ad-Durr al-
Farid, karya Syekh Nahrawi (guru Nawawi) terbit tahun 1881.
5. Dua jilid komentar tentang syair maulid karya al-Barzanji. Karya ini
sangat penting sebab selalu dibacakan dalam perayaan-perayaan
maulid.
6. Syarah Isra’ Mi’raj, juga karangan al-Barzanji.
7. Syarah tentang syair Asmaul Husna.
8. Syarah Manasik Haji karangan Syarbini terbit tahun 1880.
9. Syarah Suluk al-Jiddah (1883)
10. Syarah Sullam al-Munajah (1884) yang membahas berbagai persoalan
ibadah.
11. Tafsir Murah Labib.
Syekh Nawawi menjadi terkenal dan dihormati karena keahliannya
menerangkan kata-kata dan kalimat-kalimat Arab yang artinya tidak jelas
atau sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang bernafaskan
keagamaan. Kemasyhuran Nawawi terkenal di hampir seluruh dunia Arab.
Karya-karyanya banyak beredar terutama di negara-negara yang menganut
faham Syafi’iyah. Di Kairo, Mesir, ia sangat terkenal. Tafsirnya Murah
Labib yang terbit di sana diakui mutunya dan memuat persoalan-persoalan
penting sebagai hasil diskusi dan perdebatannya dengan ulama al-Azhar.
Di Indonesia khususnya di kalangan pesantren dan lembaga-lembaga
pendidikan Islam, serta peminat kajian Islam Syekh Nawawi tentu saja
sangat terkenal. Sebagian kitabnya secara luas dipelajari di pesantren-
pesantren Jawa, selain di lembaga-lembaga tradisional di Timur tengah,
dan berbagai pemikirannya menjadi kajian para sarjana, baik yang
dituangkan dalam skripsi, tesis, disertasi, atau paper-paper ilmiah, di
dalam maupun luar negeri.
Beberapa karya ilmiah tentang Syekh Nawawi yang ditulis sarjana
kita antara lain:
1. Ahmad Asnawi, Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani tentang Af’al
al-’Ibad (Perbuatan Manusia), (Tesis Magister IAIN Jakarta, 1984).
18
2. Ahmad Asnawi, Penafsiran Syekh Muhammad nawawi tentang Ayat-
ayat Qadar. (Disertasi Doktor IAIN Jakarta, 1987).
3. Hazbini, Kitab Ilmu Tafsir Karya Syeikh Muhammad Nawawi, (Tesis
Magister IAIN Jakarta, 1996).
4. MA Tihami, Pemikiran Fiqh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-
Bantani, (Disertasi Doktor IAIN Jakarta, 1998).
5. Sri Mulyati, Sufism in Indonesia: Analysisof Nawawi al-Bantani’s
Salalim al-Fudhala, (Tesis Mgister McGill University, Kanada,
1992).
6. Muslim Ibrahim Abdur Rauf, Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi:
Hayatuhu wa Atsaruhu fi al-Fiqh al-Islami. (Tesis Magister, Al-Azhar
University, Kairo, 1979).
Nawawi dan Polotik Kolonialisme
Syekh Nawawi memang tidak seaktif Syekh Nahrawi yang
menyerukan jihad dalam menghadapi kekuasaan asing di Nusantara. Toh
dia merasa bersyukur juga ketika mendengar betapa Belanda menghadapi
banyak kesulitan di Aceh. Dalam pembicaraannya dengan Snouck
Hurgronje, dia tidak menyetujui pendapat bahwa tanah Jawa harus
diperintah oleh orang Eropa.
“Andaikata Kesultanan Banten akan dihidupkan kembali, atau
andaikata sebuah negara Islam independen akan didirikan di sana, pasti dia
akan betul-betul merupakan kegiatan suatu kelompok orang fanatik yang
tidak teratur,” kata Hurgronje, yang pernah menetap selama enam bulan di
Mekah (dalam penyamaran), 1884-1885. Tak heran, jika ia memandang
pemberontakan petani di Cilegon (1888) yang dipimpin KH Wasid,
sebagai jihad yang diperintahkan.(suryana sudrajat dan abdul
malik/artikel ini juga bisa dibaca di buku Jejak Ulama Banten, dari Syekh
Nawawi Hingga Abuya Dimyati, penerbit Humas Setda Provinsi Banten,
2004)
19
4. Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Contoh ulama nenek moyang kita lainnya yang menolak paham
kelompok Wahabi yang berlandaskan pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah
adalah Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah ulama besar
Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil
Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20. Dia memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan
di sana menjadi guru para ulama Indonesia.
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-
Minangkabawi, lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat,
pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Makkah
hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M)
Awal berada di Makkah, ia berguru dengan beberapa ulama
terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.
Banyak sekali murid Syeikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi’i.
Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia,
seperti
Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayahanda dari Buya Hamka;
Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi;
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi,
Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang,
Syeikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi,
Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki,
Syeikh Khatib Ali Padang,
Syeikh Ibrahim Musa Parabek,
Syeikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan
Syeikh Hasan Maksum, Medan.
Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad
Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam
20
terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah,
merupakan murid dari Syeikh Ahmad Khatib.
Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari mazhab Syafi’i
dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia juga dikenal sebagai
ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil
Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu
falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).
Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi menyanggah beberapa
pendapat Barat tentang kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta
peredaran planet-planet lainnya yang beliau anggap bertentangan dengan
pemikiran sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu.
SANGGAHAN THARIQAT
Sungguhpun Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau sangat
terkenal menyanggah thariqat, namun dalam penelitian saya didapati
bahawa yang beliau sanggah ialah beberapa perkara yang terdapat dalam
Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Belum ditemui sanggahannya
terhadap thariqat yang lain seumpama Thariqat Syathariyah, Thariqat
Qadiriyah dan lainnya.
Mengenai Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, catatan
sejarah yang diperoleh ternyata Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau
yang mendahului pertikaian.
Mengenainya dimulai sepucuk surat yang menanyakan
kepadanya, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau pun menulis:
`Maka adalah pada tahun 1324 daripada hijrah Nabi kita alaihis shalatu
was salam datang kepada yang faqir Ahmad Khathib bin Abdul Lathif,
Imam Syafie di Mekah, satu masalah dari negeri Jawi menyatakan
beberapa ehwal yang terpakai pada Thariqat Naqsyabandiyah pada masa
kita ini. Adakah baginya asal pada syariat Nabi kita ? Atau tiada ?
Kerana telah bersalah-salahan orang kita Jawi padanya. Maka hamba
lihat, menjawab soal ini ialah terlampau masyaqqah atas hamba, kerana
pekerjaan itu telah menjadi pakaian pada negeri hamba hingga
menyangka mereka itu akan bahawasanya segala itu thariqat Nabi kita.
21
Dan orang yang mungkir akan dia ialah memungkiri akan agama Islam.
Padahal sangka itu adalah tersalah, tiada muthabaqah dengan waqi’…”
Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menuangkan sanggahan
terhadap thariqat. Beliau menulis dalam kitab yang berjudul Izhharu
Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang selesai ditulis pada
malam Ahad, 4 Rabiulakhir 1324 H/1906 M.
Kitab tersebut telah mengundang kemarahan seluruh penganut
Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah dan penganut-penganut tasawuf
daripada pelbagai thariqat yang lainnya. Akibatnya, Syeikh Muhammad
Sa’ad Mungka menanggapi karangan tersebut dengan mengarang sebuah
kitab berjudul Irghamu Unufi Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatil
Washilin yang beliau selesaikan pada akhir bulan Muharam tahun 1325
H/1907 M.
Kemunculan kitab Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau berjudul
Izhharu Zaghlil Kazibin itu hanya beberapa bulan saja mendahului kitab
Mir-atul a-’ajib karya Syeikh Ahmad al-Fathani menjawab pertanyaan
Sultan Kelantan, iaitu sama-sama dikarang dalam tahun 1324 H/1906 M.
Syeikh Muhammad Sa’ad bin Tanta’ Mungka itu tidak
membantah karya gurunya Syeikh Ahmad al-Fathani, tetapi secara serius
karya Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau dipandang sangat perlu
ditanggapi dan beliau membantah dengan hujah-hujah berdasarkan al-
Quran, hadis dan pandangan para ulama shufiyah.
Dengan terbitnya kitab Irghamu Unufi Muti’annitin oleh Syeikh
Muhammad Sa’ad Mungka itu, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau
menyerang lagi dengan kitabnya yang berjudul Al-Ayatul Baiyinat lil
Munshifin fi Izalati Khurafati Ba’dhil Muta’ashshibin.
Kitab ini disanggah pula oleh Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka
dengan karyanya berjudul Tanbihul `Awam `ala Taqrirati Ba’dhil Anam.
Sesudah karya ini tidak terdapat sanggahan Syeikh Ahmad Khathib
Minangkabau.
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah seorang yang
berpendirian keras dan radikal, sungguhpun beliau menguasai banyak
22
bidang ilmu, namun beliau masih tetap berpegang (taklid) pada Mazhab
Syafie dalam fikih dan penganut Ahli Sunnah wal Jamaah mengikut
Mazhab Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi
dalam akidah/i’tiqad.
Sebagai contoh, dalam pertikaian dua orang muridnya yang
berbeda pendapat.
Yang seorang berpihak kepada `Kaum Tua’, beliau ialah Syeikh
Hasan Ma’sum (1301 H/1884 M-1355 H/1974 M) yang berasal dari Deli,
Sumatera Utara.
Dan seorang lagi berpihak kepada `Kaum Muda’, beliau ialah
Haji Abdul Karim Amrullah (ayah kepada Prof. Dr. Hamka).
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau berpihak kepada Syeikh
Hasan Ma’sum (Kaum Tua). Bahkan dalam satu kenyataannya Syeikh
Ahmad Khatib Minangkabau menolak sumber asal pegangan Haji Abdul
Karim Amrullah (Kaum Muda) yang menurut beliau telah terpengaruh
dengan pemikiran Ibnu Taimiyah (661 H/1263 M – 728 H/1328 M), yang
ditolak oleh golongan yang berpegang dengan mazhab.
Syaikh Ahmad Khatib dengan tegas menulis Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qayyim dan Wahhabiyah yang diikuti oleh anak murid beliau [Syaikh
Abdul Karim Amrullah] adalah sesat.
Menurut Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, golongan tersebut
sesat kerana keluar daripada fahaman Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah dan
menyalahi pegangan mazhab yang empat. Antara tulisannya ialah ‘al-
Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh
bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ dan lain-lain.
Di antara nasihatnya: “Maka betapakah akan batal dengan fikiran
orang muqallid yang semata-mata dengan faham yang salah dengan taqlid
kepada Ibnu al-Qaiyim yang tiada terpakai qaulnya pada Mazhab Syafie.
……………Maka wajiblah atas orang yang hendak selamat pada
agamanya bahawa dia berpegang dengan segala hukum yang telah tetap
pada mazhab kita. Dan janganlah ia membenarkan akan yang menyalahi
demikian itu daripada fatwa yang palsu.”
23
Memang tidak seluruh pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah
keliru. Sebagian dari pemahaman beliau turut mempengaruhi dalam
pendirian kalangan Muhammadiyah.
Salah satu yang mengolah dan menfilter pemahaman Syaikh Ibnu
Taimiyah adalah ulama dari kaum “muda” yakni Haji Abdul Malik bin
Abdul Karim Amrullah atau yang kita kenal dengan Buya Hamka.
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik
Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi,
beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah
seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti
dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya
sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William
James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan
Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan
tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas
Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus
Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli
pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi
Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun
1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di
Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang
Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan
pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau
menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih
menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh
Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada
tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres
Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan
Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof.
24
Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama
Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981
karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Menulis buku mengenai tasawuf bagi Buya Hamka (1908-1981),
semata-mata dilakukan untuk mengobati jiwa masyarakat modern yang
semakin jauh dari nilai dan ajaran agama.
“Buya Hamka menulis buku yang bertajuk `Tasawuf Modern`
untuk mengobati jiwa masyarakat modern yang mengalami goncangan
jiwa dan gangguan ruhani,” kata Kepala Kantor Masjid Agung Al Azhar,
Amliwazir Saidi
Amliwazir menjelaskan, tasawuf yang dimaksud oleh Hamka
adalah membicarakan hakekat kebenaran Tuhan dengan cara bahwa
manusia harus mengenal hakekat dirinya sendiri.
Amliwazir menuturkan, Hamka mendefinisikan sufi sebagai
meninggalkan budi pekerti yang tercela dan memasuki budi pekerti yang
terpuji, berakhlak tinggi.
Maka, lanjut Amliwazir, yang dimaksud dengan “Tasawuf
Modern” oleh Hamka adalah mengembalikan akar tasawuf ke asalnya
yang semula yaitu ajaran Al Qur`an dan As Sunnah.
Ketua PBNU Dr Said Agil Shiroj dalam kesempatan terpisah,
Kamis mengatakan, Hamka merupakan sosok yang menjadi pionir dalam
penyebaran ilmu tasawuf secara nasional di Tanah Air.
“Melalui buku `Tasawuf Modern`, Buya Hamka adalah yang
pertama mengangkat tema tasawuf di tingkat nasional,” kata Said.
Menurut Said, melalui karya tersebut tasawuf tidak lagi dikenal
sebagai sekumpulan orang yang kumuh tetapi merupakan suatu pola pikir
yang bisa diaplikasikan dalam zaman modern.
Selain itu, ujar dia, banyaknya kutipan dari pemikiran Imam Al
Ghazali dalam “Tasawuf Modern” juga mengindikasikan bahwa tasawuf
Buya Hamka mengacu kepada Tasawuf Sunni.
“Tasawufnya Buya Hamka adalah Tasawuf Sunni, bukan
Tasawuf Falsafi apalagi Tasawuf Kejawen,” kata Said.
25
5. Hasbi Ash Shiddieqy
Muhammad Hasbi lahir di Lhok Seumawe, Aceh pada tanggal 10 Maret 1904. Al
Hajj Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad
Mas‘ud dan Teungku Amrah adalah nama orang tuanya. Ayahnya seorang ulama
terkenal yang memiliki sebuah dayah (pesantren) sementara ibunya adalah puteri
Teungku Abdul Aziz, pemangku jabatan Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi
Kesultanan Aceh waktu itu. Ia merupakan keturunan Abu Bakar Ash-Shiddiq
yang ketiga puluh tujuh. Oleh sebab itu gelar Ash-Shiddiq dijadikan nama
keluarganya. Ketika berusia 6 tahun, ibunya meningggal dunia. Sejak itu ia diasuh
oleh bibinya, Teungku Syamsiah.
Sejak kecil Hasbi belajar agama Islam di dayah milik ayahnya. Kemudian pada
usia delapan tahun ia sudah pergi belajar dari satu dayah ke dayah lainnya.
Mulanya ia pergi ke dayah Teungku Chik di Piyeung untuk belajar Bahasa Arab.
Setahun kemudian ia pindah ke dayah Teungku Chik di Bluk Bayu. Pada tahun
1916 ia kembali pindah ke dayah Teungku Chik Idris. Di salah satu dayah
terbesar di Aceh ini Hasbi khusus belajar fiqih. Dua tahun kemudian ia pindah ke
dayah Teungku Chik Hasan Krueng Kale untuk memperdalam ilmu hadits dan
fiqih. Setelah dua tahun belajar di dayah ini, Hasbi mendapatkan syahadah
(ijazah) sebagai tanda ilmunya telah cukup dan berhak membuka dayah sendiri.
Disamping gemar belajar, Hasbi juga gemar membaca, oleh karena itulah
kemampuan otodidaknya sangat bagus.
Sekembalinya dari merantau, Hasbi kemudian menjadi anak didik Syaikh al-
Kalali. Dari tokoh pembaharu asal Singapura yang kemudian menetap di Aceh ini
lah ia mendapat kesempatan untuk membaca kitab-kitab para ulama seperti
Fatawa Ibnu Taimiyah, Zâdul Ma’âd Ibnu Qayyim dan ‘Ilamul Muwaqi’in.
Melihat gairah dan kemampuan Hasbi itu, Syaikh al-Kalali kemudian
mengirimnya ke Surabaya untuk belajar kepada Syaikh Ahmad as-Surkati. Setelah
dites ia ditempatkan di kelas takhasus. Selama satu setengah tahun belajar di al-
Irsyad, yang paling banyak dipelajari Hasbi adalah kemahiran berbahasa arab dan
pengalaman menyaksikan kiprah kaum pembaharu di Jawa yang bergerak secara
26
terorganisir. Akhirnya Syaikh as-Surkati dengan al-Irsyadnya telah memantapkan
sikap Hasbi untuk bergabung dengan kelompok pembaharu. Berbeda dengan
kebanyakan tokoh pembaharu lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara
pembaharuan sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah. Kemudian Ia mulai
menyuarakan pembaharuannya di Aceh, masyarakat yang dikenal fanatik. Namun
ia tidak gentar dan surut kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan
diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
Sikap pembaharuan Hasbi tercermin dalam pemikiran-pemikirannya. Dalam
berpendapat ia merasa bebas, tidak terikat dengan pendapat kelompoknya. Ia
berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga
anggota dari kedua perserikatan itu. Ia bahkan berani berbeda pendapat dengan
jumhur ulama, sesuatu yang langka terjadi di Indonesia
Pada tahun 1933 Hasbi pindah ke Kutaraja (Banda Aceh). Kepindahannya ke
ibukota karesidenan ini membuka peluang bagi Hasbi untuk lebih banyak
bergerak. Kemudian ia bergabung dengan organisasi Nadil Ishlahil Islami
(Kelompok Pembarun Islam). Dalam rapat umum organisasi tahun 1933, Hasbi
ditunjuk sebagai wakil redaktur Soeara Atjeh, salah satu organ dari Nadil Ishlahil
Islami.
Hasbi juga mendaftarkan diri sebagai anggota Muhamadiyyah. Ia pernah menjadi
ketua cabang Muhamadiyah Kutaraja dan ketua Majelis Wilayah Muhamadiyyah
Aceh.
Di awal kemerdekaan Hasbi ditangkap dan dipenjara oleh Gerakan Revolusi
Sosial di Lembah Burnitelong dan Takengon selama satu tahun lebih. Apa yang
menjadi sebab semua ini tidak begitu jelas, karena Hasbi sendiri tidak pernah
diinterogasi maupun diadili. Tapi ada kemungkinan karena sikap
pembaharuannya. Selama di dalam tahanan Hasbi berhasil menyelesaikan tulisan
naskah buku al-Islam setebal 1.404 halaman dalam dua jilid. Buku ini kemudian
diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1951. Sampai tahun 1982 saja buku
ini telah mengalami tujuh kali cetak ulang.
Hasbi baru dibebaskan dari penjara setelah ada desakan dari Pimpinan
Muhamadiyyah dan surat dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Tetapi ia masih
berstatus tahanan kota. Setelah dibebaskan ia pulang ke Lhok Seumawe dan
27
menjadi Kepala Sekolah Menengah Islam di sana. Status tahanan kotanya
kemudian dicabut pada tanggal 28 Februari 1948.
Pendidik Hebat
Setahun kemudian Hasbi bersama Ali Balwi berangkat ke Yogyakarta untuk
menghadiri Kongres Muslim Indonesia (KMI) ke XV mewakili Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA). Dalam kongres itu Hasbi menyampaikan prasaran yang
berjudul ”Pedoman Perjuangan Ummat Islam mengenai Soal Kenegaraan”. Ia
juga dikenalkan oleh Abu Bakar Atjeh, ulama asal Aceh, kepada Kiai Wahid
Hasyim, Mentri Agama saat itu, dan Kiai Fatchurrahman Kafrawi, ketua Panitia
Pendirian PTAIN (cikal bakal IAIN/UIN).
Perkenalannya dengan Kiai Fatchurrahman Kafrawi membawanya kembali ke
Yogyakarta dua tahun kemudian, kali ini untuk menetap, karena ia ditawari
mengajar di Sekolah Persiapan PTAIN.
Karena kepakarannya dalam ilmu hadits, tahun 1960, ia diangkat sebagai Guru
Besar dalam bidang ilmu Hadis. Sejak itu ia juga diangkat sebagai dekan di
Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hingga tahun 1972. Ia juga
diangkat sebagai dekan fakultas Syari’ah IAIN Banda Aceh.
Atas jasa-jasanya dalam dunia pendidikan, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy telah
dianugerahi beberapa penghargaan, di antaranya adalah Anugerah Doctor Honoris
Causa dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tahun 1975 dan Anugerah
Doctor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jogjakarta tahun
1975.
Aktif Berpolitik dan Produktif Menulis
Semenjak di Aceh Hasbi sudah aktif di Masyumi. Dalam pemilihan umum tahun
1955 Hasbi terpilih sebagai anggota konstituante dari partainya. Ia kemudian
ditempatkan di Panitia Persiapan Konstitusi (PPK). Sebagai anggota konstituante,
pada tahun 1957 Hasbi berangkat ke Pakistan untuk menghadiri International
Islamic Colloquium yang diselenggarakan oleh University of Punjab. Dalam acara
ini Hasbi menyampaikan makalah dalam bahasa Arab dengan judul ”Sikap Islam
terhadap Ilmu Pengetahuan”.
28
Semasa hidupnya, Hasbi ash-Shiddieqy aktif menulis dalam berbagai disiplin
ilmu, khususnya ilmu-ilmu keislaman. Menurut catatan, karya tulis yang telah
dihasilkannya berjumlah 73 judul buku, terdiri dari 142 jilid, dan 50 artikel.
Sebagian besar karyanya adalah buku-buku fiqh yang berjumlah 36 judul.
Sementara bidang-bidang lainnya, seperti hadis berjumlah 8 judul, tafsir 6 judul,
dan tauhid 5 judul, selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum. Karya
terakhirnya adalah Pedoman Haji, yang ia tulis beberapa waktu sebelum
meninggal dunia.
Karya Hasbi paling fenomenal adalah Tafsir an-Nur. Sebuah tafsir al-Qur`an 30
juz dalam bahasa Indonesia. Karya ini fenomenal karena tidak banyak ulama
Indonesia yang mampu menghasilkan karya tafsir semacam itu.
09 Desember 1975, Hasbi mengikuti karantina guna menunaikan Ibadah haji,
namun Allah swt. menakdirkan memanggilnya dalam usia 71 tahun. Ia kemudian
dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat, Jakarta. Buya HAMKA dan
Mr. Mohammad Roem turut memberi sambutan pada acara pelepasan dan
pemakamannya.
Beberapa karya Hasbi ash-Shiddieqy:
1. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 2.
2. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 3.
3. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 4.
4. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 5.
5. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 6.
6. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 7.
7. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 8.
8. Koleksi Hadis-hadis Hukum, Jilid 9.
9. Mutiara Hadis 1 (Keimanan).
10. Mutiara Hadis 2 (Thaharah & Shalat).
11. Mutiara Hadis 3 (Shalat).
12. Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf & Haji).
13. Mutiara Hadis 5 (Nikah & Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar &
Sumpah, Pidana & Peradilan, Jihad).
29
14. Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir Teungku Muhammad Hasbi
ash-Shiddieqy.
15. Islam dan HAM (Hak Asasi Manusia): Dokumenter Politik Pokok-pokok
Pikiran Partai Islam dalam Sidang Konsituante 4 Februari 1958.
16. Sejarah Pengantar Ilmu Hadis.
17. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir.
18. Kriteria Antara Sunnah dan Bid‘ah.
19. Tafsir Alquran al-Madjied-An-Nur.
20. Pedoman Haji, (Cetakan ke-9, Edisi ke-2).
6. HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA)
“Dengan seni hidup menjadi indah, Dengan ilmu hidup menjadi mudah, Dengan agama hidup menjadi terarah“
Masa hidup HAMKA (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah) tahun 1908-
1981. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik, sastrawan, politikus, filsuf,
dan aktivis Muhammadiyah Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara.
Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera
Barat, Indonesia. Nama pemberian Ayahnya adalah Abdul Malik.Ibunya dari
keluarga bangsawan. Ayahnya, Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau Haji
Rasul, dari keluarga ulama dan seorang pelopor gerakan pembaruan/modernis
dalam Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau sekembalinya dari Makkah pada
tahun 1906
Sebutan Buya bagi HAMKA, panggilan untuk orang Minangkabau, berasal dari
kata abi. Abuya (bahasa Arab), yang berarti ayahku, atau seseorang yang
dihormati.
Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil HAMKA
dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum
adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak
dibenarkan dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari
30
Putra HAMKA bernama H. Rusydi HAMKA, kader PPP, anggota DPRD DKI
Jakarta. Anak Angkat Buya Hamka adalah Yusuf Hamka, Chinese yang masuk
Islam.
Riwayat Pendidikan
HAMKA di Sekolah Dasar Maninjau hanya sampai kelas dua. Ketika usia
10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di
situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga
pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama
terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur,
R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo
Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya,
memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk
menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki
Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA
mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo
Pakualaman, Yogyakarta.
Riwayat Karier
HAMKA bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan
Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang, HAMKA kemudian
dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas
Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957- 1958. Setelah itu, beliau
diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas
Mustopo, Jakarta.
Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai
kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid
Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan
tinggi Islam di Tanah Air.
31
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai
Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia.
Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali,
melantik HAMKA sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau
kemudian meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak
dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Riwayat Organisasi
HAMKA aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah.
Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan
khurafat, bid’ah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928
beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929
HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun
kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau
terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh
Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun
1946. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat
Muhammadiyah.
Aktivitas Politik HAMKA
Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi
anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu
menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan
menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA
diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.
Pada tahun 1955 HAMKA beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi
dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah
pemikiran HAMKA sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu.
Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki
Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, HAMKA
menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang
32
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub
dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran HAMKA ditentang keras oleh sebagian
besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya
bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden
Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia
pada tahun 1960. Meski begitu, HAMKA tidak pernah menaruh dendam terhadap
Sukarno. Ketika Sukarno wafat, justru HAMKA yang menjadi imam salatnya.
Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap HAMKA.
"Ada yang mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga tak perlu disalatkan,
namun HAMKA tidak peduli. Bagi HAMKA, apa yang dilakukannya atas dasar
hubungan persahabatan. Apalagi, di mata HAMKA, Sukarno adalah seorang
muslim.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden
Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai
menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar
dari penjara, HAMKA diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan
Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota
Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi berbeda pandangan dengan
pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang
sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.
Idealisme HAMKA kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama
Alamsyah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang
perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak
keinginan itu. Sikap keras HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan
rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, HAMKA lantas
meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula HAMKA
memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.
33
Aktivitas Sastra HAMKA
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan
seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA
menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam,
Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi
editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan
menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor
majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel
dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid).
Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara
daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa roman.
Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi
Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat
roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan
roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia
dan Singapura
Setelah itu HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang
sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.
Aktivitas Keagamaan
Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, HAMKA
secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra.
Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang
ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus
penuturannya. Keulamaan HAMKA lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua
MUI pertama tahun 1975.
HAMKA dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau
mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih
34
suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan
moral Islam.
Ada satu yang sangat menarik dari Buya HAMKA, yaitu keteguhannya
memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang
menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi
HAMKA. Pada zamam pemerintah Soekarno, HAMKA berani mengeluarkan
fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat
sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja,
HAMKA juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu
itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno.
Bahkan majalah yang dibentuknya ''Panji Masyarat'' pernah dibredel Soekarno
karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ''Demokrasi Kita'' yang
terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi
Terpimpin yang dijalankan Bung Karno.
Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari HAMKA
lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.
Wafatnya HAMKA
Pada tanggal 24 Juli 1981 HAMKA telah pulang ke rahmatullah. Jasa dan
pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam.
Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di
negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero Nusantara, termasuk Malaysia
dan Singapura, turut dihargai.
Penghargaan
Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah
penghargaan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun
1958), Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun
1958), dan Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah
Indonesia
35
Pandangan Hamka Tentang Kesastraan
Pandangan sastrawan, HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syekh
Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo tentang
kepenulisan. Buya HAMKA menyatakan ada empat syarat untuk menjadi
pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki
kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; dan keempat, memiliki
kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.
Buah Pena Buya Hamka
Kitab Tafsir Al-Azhar merupakan karya gemilang Buya HAMKA.
Tafsir Al-Quran 30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya
HAMKA semasa hidupnya. Tafsir tersebut dimulainya tahun 1960.
HAMKA meninggalkan karya tulis segudang. Tulisan-tulisannya meliputi
banyak bidang kajian: politik (Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, Urat
Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Ummat Islam, Sejarah Islam di Sumatera),
budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi), akhlak (Kesepaduan Iman &
Amal Salih ), dan ilmu-ilmu keislaman (Tashawwuf Modern).
36
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan Ulama (Arab: al-`Ulamā` ) adalah pemuka agama
atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan
membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum
masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial
kemasyarakatan.
Banyak pemuka-pemuka agama di dunia khususnya Indonesia yang
memberikan sebuah perubahan dalam islam. Jadi perubahan-perubahan serta
perkembagan islam sangatlah bergantung pada pemuka islam seperti para
ulama.
B. Saran
Sarannya adalah, budayakan keislaman yang sudah dibina oleh ulama-ulama
pemuka kita, karena tentunya sangatlah sulit suatu perkembangan, jadi
bagaimana kita mempertahankan suatu kejayaan tersebut.
37
DAFTAR PUSTAKA
http://www.wikipedia.org/pengertian-ulama.html diakses pada tanggal 02 juli
2012
http://www.chayrasyid.co.cc/ulama-pemuka-agama.html diakses pada tanggal 02
juli 2012
Abu Faiz. 2005. HAMKA, Berprinsip Tapi Lembut, (Online),
(webmaster@oaseislam.com, diakses Kamis, 24 Januari 2008, 15.30 WIB)
Liputan6. 2007. HAMKA, Ulama yang Penuh Warna, (Online),
(www.udaunisumbar.com, diakses Kamis, 24 Januari 2008, 15.30 WIB)
Muntohar. 2007. Buya Hamka. (Online), (muntohar.wordpress.com, diakses
Kamis, 24 Januari 2008, 15.30 WIB)
Prof. DR. Ir. Zoer'aini. 2002. Artikel tentang Buya, (Online), (rantau-
net@rantaunet.com, diakses Kamis, 31 Januari 2008, 14.30 WIB)
38
top related