makalah kelompok blok 16
Post on 25-Dec-2015
23 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Keracunan Makanan setelah Mengkonsumsi
Daging yang Diolah Sebelumnya
Ramli Saibun Hasudungan Simanjuntak (10-2010-356), Cathelin Stella (10-2010-219), Desy
Purnamasari Kalembu (10-2010-121), Sisilia Dina Mariana (10-2009-147), Martin Prayiggo
Utomo (10-2010-018), Kezia Natania Sudibyo Wisnu Sonjaya (102010041), Benedictus
Aldwin Ainsley (10-2010-134), Henry Reinaldo (10-2010-221) , Angela Sondang (10-2010-
289), Rucmana Aga (10- 2010 – 350)
C-6
Mahasiswa, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
_________________________________________________________________________
Pendahuluan
Pangan atau Makanan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam
kehidupan manusia. Salah satu ciri makanan yang baik adalah aman untuk dikonsumsi. Jaminan
akan keamanan pangan merupakan hak asasi konsumen. Makanan yang menarik, nikmat, dan
tinggi gizinya, akan menjadi tidak berarti sama sekali jika tak aman untuk dikonsumsi. Makanan
yang aman adalah yang tidak tercemar, tidak mengandung mikroorganisme atau bakteri dan
bahan kimia berbahaya, diolah dengan tata cara yang benar ,sehingga sifat dan zat gizinya tidak
rusak, serta tidak bertentangan dengan kesehatan manusia. Karena itu, kualitas makanan, baik
1
secara bakteriologi, kimia, dan fisik, harus selalu diperhatikan. Kualitas dari produk pangan
untuk konsumsi manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh mikroorganisme. Menurut Undang-
Undang No.7 tahun 1996, keamanan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Namun, makanan yang kita makan kadangkala ada yang dapat menimbulkan penyakit,
yaitu keracunan makanan. Disebut keracunan makanan bila seseorang mengalami gangguan
kesehatan setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi bakteri atau racun yang
dihasilkan oleh bakteri penyakit. Mikroorganisme ini dapat masuk ke dalam tubuh melalui
makanan dengan perantaraan orang yang mengolah makanan atau memang berasal dari makanan
itu sendiri akibat pengolahan yang kurang baik. Seperti diketahui, bakteri sangat menyukai
suasana lingkungan yang lembab dan bersuhu ruangan. Pada kondisi ini, pertumbuhan bakteri
akan meningkat dengan pesat. Bila suhu ini ditingkatkan atau diturunkan, maka perkembangan
biakan bakteri pun akan berkurang atau terhenti. Keracunan makanan merupakan penyakit yang
diakibatkan pengkonsumsian makan atau minuman yang memiliki kandungan bakteri baik yang
menghasilkan toksin atau tidak, parasit, virus atau bahan-bahan kimia yang dapat menyebabkan
gangguan di dalam fungsi normal tubuh.
Sering kali keracunan makanan menimbulkan kejadian yang luar biasa dan kematian.
Terdapat tiga faktor utama yang umumnya menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) keracunan
pangan akibat bakteri, yaitu kontaminasi dimana bakteri patogen harus ada dalam pangan,
kemudian pertumbuhan dimana dalam beberapa kasus bakteri patogen harus memiliki
kesempatan untuk berkembang biak dalam pangan, untuk menghasilkan toksin atau dosis infeksi
yang cukup untuk menimbulkan penyakit. Selain itu daya hidup (survival) dari bakterinya
sendiri juga penting, jika berada pada kadar yang membahayakan, bakteri patogen harus dapat
bertahan hidup dalam pangan selama penyimpanan dan pengolahannya.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai keracunan makanan oleh bakteri, khususnya
keracunan yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
2
Isi
Keracunan makanan atau food poisoning adalah penyakit gastrointestinal akut yang
hampir terjadi setiap saat terutama di Indonesesia. Hal ini disebabkan oleh makanan
terkontaminasi bakteri hidup atau oleh toksin yang dihasilkannya, serta bisa juga disebabkan
oleh faktor lain diluar bakteri.1
Karakteristik keracunan makanan yang disebabkan oleh bakteri yaitu:
Menyerang banyak orang dalam waktu yang sama
Penderita menyantap makanan yang sama
Sumber penyebab sama dan gejala penyakitnya mirip satu sama lain.
Secara umum, keracunan makanan karena bakteri memberikan gejala yang ringan dan
gejalanya akan hilang dengan sendirinya tanpa diobati.2 Sedangkan keracunan makanan yang
bukan karena bakteri tidak selalu memberikan gejala yang sama dan tidak terjadi dalam waktu
bersamaan, namun tetap berbahaya bagi kesehatannya
Anamnesis
1. Identitas Pasien
Menanyakan kepada pasien atau orang tua dari anak, meliputi :
- Nama lengkap pasien
- Umur pasien
- Tanggal lahir
- Jenis kelamin
- Agama
- Alamat
- Umur (orang tua)
- Pendidikan dan pekerjaan (orang tua)
- Suku bangsa
2. Keluhan Utama
Menanyakan keluhan utama pasien yaitu : mual , muntah dan sakit kepala.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Menanyakan kepada pasien atau orang tua sebagai wali :3
- Sejak kapan dirasakan adanya mual dan muntah?
3
- Lama mual dan muntahnya berapa lama (durasinya)?
- Kira-kira apa penyebab mualnya?
- Apakah nama atau jenis bahan yang telah dikonsumsi yang diduga menyebabkan
keracunan?
- Apakah ada keluhan tambahan, seperti :
a) Rasa kering pada mulut, nyeri tenggorok, gangguan penglihatan, penglihatan
ganda atau diplopia → curiga keracunan c. Botulinum
b) Mual, muntah, kesemutan disekitar mulut, lemah badan, susah bernapas→
curiga keracunan makanan laut.
c) Muntah, mencret, sakit kepala, pusing, sesak napas, mata melotot, mulut
berbusa, pingsan, kejang-kejang→ curiga keracunan singkong.
d) Kolik perut, muntah,mencret, haus, keringat banyak, ludah banyak,
lakrimasi, ( amanita muscaria ), pingsan, diare dengan darah ( Amanita
phalloides ) kekacauan mental, →curiga keracunan jamur.
- Kapan terakhir kali buang air kecil?
- Berapa berat badan sebelum sakit ? adakah penurunan berat badan?
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Apakah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya ? jika ya, apakah sudah
berobat ke dokter dan apa diagnosisnya serta pengobatan yang diberikan ?
5. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga.
- Apakah terdapat gejala yang sama pada ayah, ibu, saudara kandung atau orang lain
disekitarnya ?
- Jika pasien mempunyai saudara, apakah saudara pasien mengidap penyakit bawaan?
6. Riwayat Pengobatan
- Obat apa saja yang sudah diminum pasien untuk mengatasi rasa mual dan
muntahnya?
Pemeriksaan Fisik
Umum
1. Kesadaran umum dari pasien
4
Tentukan tingkat kesadaran (compos mentis, apatis, somnolen, koma), serta sifat
gangguan kesadaran.
2. Pemeriksaan tanda-tanda vitalPeriksa : Tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan, suhu
Khusus
1. Mata4
a). Inspeksi
- Adakah hiperaktifitas kelenjar air mata (lakrimasi) → keracunan jamur
- Adakah tremor kelopak mata ?
- Adakah ganguan membuka mata (bleparospasme) → curiga keracunan
c.botulinum
b). Pemeriksaan Pupil
- Tentukan besar/diameter pupil
- Dilatasi pupil menetap, reflek pupil menurun atau hilang → khas pada keracunan
c. botulinum
c). Pemeriksaan fungsi penglihatan
- Adakah kekaburan dan pandangan ganda (diplopia) → khas pada keracunan c.
botulinum
2. MulutInspeksi
- Diperiksa, adakah luka-luka disekitar mulut (jika bahan korosif)
- Warna bibir, bibir berwarna kebiruan karena sianosis pada keracunan sianida
- Diperiksa, adakah hipersalivasi → curiga keracunan jamur (amanita muscaria)
3. Lidah- Adakah tremor
- Apakah tampak kering dan kasar → khas pada keracunan c. botulinum
- Adakah kesulitan berbicara
- Adakah sisa muntahan (segera dibersihkan)
4. Kulit- Warna kulit kebiruan karena sianosis pada keracunan sianida
- Warna kulit kuning karena keracunan jamur (Amanita phalloides)
-
5
5. Abdomena). Perkusi batas hati
b). Palpasi hati
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan :
1. Laboratorium5
Pemeriksaan darah lengkap, air seni, kultur tinja atau muntahan. Toksin penghasil
Staphylococcus aureus dapat diidentifikasi dalam tinja atau muntahan, dan toksin dapat
dideteksi dalam makanan. Diagnosis keracunan makanan staphylococcal dalam individu
umumnya didasarkan hanya pada tanda dan gejala pasien. Pengujian untuk menghasilkan
racun bakteri atau toksin ini tidak biasanya dilakukan pada pasien individu. Pengujian
biasanya disediakan untuk wabah yang melibatkan beberapa orang.
2. Metode KonvensionalMetode konvensional untuk identifikasi dan penghitungan jumlah patogen.
Dengan metode ini pengujian bisa terdiri dari tahap-tahap perbenihan, perbenihan selektif
dan uji lengkap (biokimiawi). Perbenihan biasanya dilakukan pada media tumbuh untuk
mendukung pertumbuhan patogen yang umumnya terdapat dalam jumlah sedikit di dalam
makanan. Perbenihan selektif dilakukan dengan media selektif yang dapat menghambat
mikroba yang tidak diinginkan. Hal ini biasanya dilakukan dengan pengguna zat
penghambat atau penggunaan suhu inkubasi tertentu.
Masalah utama dengan metode ini adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan hasil pengujian. Pengujian terhadap salmonella, misalnya dapat
menghabiskan waktu selama 6-8 hari. Oleh karena itu beberapa modifikasi telah banyak
dilakukan. Uji lengkap biokimia dapat dilakukan dengan perangkat (kit) komersial yang
berisi substrat yang telah dikering bekukan, sehingga analisa dapat diamati hasilnya
dalam waktu lebih singkat.
3. Metode ImunokimiaMetode pengujian patogen secara imunokimia didasari oleh reaksi spesifik dan antibodi.
Uji yang sering dilakukan adalah uji. Dengan ELISA, mikroba yang akan diuji bisa
diimobilasi pada fase padat (dasar tabung, dasar multi plates, membran), kemudian
6
diinkubasi dengan antibodi yang spesifik bereaksi dengan antigen. Pemberian antibodi
kedua yang berligan enzim akan menyebabkan ikatan dengan kompleks antigen-antibodi
pertama. Subsrat spesifik untuk enzim lalu ditambahkan. Aktifitas enzim dalam
mengubah subsrat (yang ditambahkan kemudian) menjadi produk sebanding dengan
jumlah antigen yang diuji. Produk yang dihasilkan biasanya memiliki warna tertentu yang
bisa diukur absorbansinya dengan spektrofotometer
4. Metode Fisik CepatBeberapa metode cepat untuk mendeteksi patogen asal makanan telah dikembangkan.
Pada umumnya ini tidak ditujukan untuk mingidentifikasi patogen tertentu tetapi
menghitung jumlah patogen yang ada. Hasil analisisnya dapat digunakan untuk
menentukan dosis infeksi (ID50= infectious dose 50) dan sebagainya.
5. BiotypingBiotyping adalah penggolongan mikroba patogen berdasarkan kemampuannya
menggunakan substrat tertentu. Vibrio cholerae misalnya, terdiri dari dua biotipe yaitu V.
cholerae biotipe cholerae (klasik) dan V cholerae biotipe El-Tor. Penggolongan ini
didasarkan pada kemampuan masing-masing kelompok dalam mengaglutinasi dan
meghidrolisis sel darah merah. Kedua kelompok ini memiliki tingkat virulen yang
berbeda.
Differential Diagnosis
1. Bacillus cereus
Bacillus cereus merupakan bakteri yang berbentuk batang, tergolong bakteri
Gram-positif, bersifat aerobik, dan dapat membentuk endospora. Keracunan akan timbul
jika seseorang menelan bakteri atau bentuk sporanya, kemudian bakteri bereproduksi dan
menghasilkan toksin di dalam usus, atau seseorang mengkonsumsi makanan yang telah
mengandung toksin B.cereus.6
Pada suhu 180-440C, Bacillus cereus ini dapat membentuk enterotoksin7. Ada dua
tipe toksin yang dihasilkan oleh Bacillus cereus, yaitu toksin yang menyebabkan diare
dan toksin yang menyebabkan muntah (emesis). Perbedaan nya dapar dilihat dalam
Tabel. 1 .
7
Tipe Enterotoksin
Karakteristik Diare Emetic
Gejala Klinik :
Masa Inkubasi 8-16 jam 1-5 jam
Diare Lambat Cepat
Mual Tidak menentu Sering
Waktu Sakit 12-24 jam 6-24 jam
Produk Makanan Daging, sup, buah, sayur,
saos
Makanan yang dipanaskan,
nasi goreng
Tabel 1. Perbedaan toksin yang dihasilkan oleh Bacillus cereus7
Adapula gejala keracunan dari Bacillus cereus ini, yaitu :
- Bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin penyebab
diare, maka gejala yang timbul berhubungan dengan saluran pencernaan bagian
bawah berupa mual, nyeri perut seperti kram, diare berair, yang terjadi 8-16 jam
setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi.
- Bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin penyebab
muntah,gejala yang timbul akan bersifat lebih parah dan akut serta berhubungan
dengan saluran pencernaan bagian atas, berupa mual dan muntah yang dimulai 1-
6 jam setelah mengkonsumsi makanan yang tercemar.
Gambar 1. Mikroskopik Bacillus cereus8
8
Bakteri penghasil toksin penyebab muntah bisa mencemari makanan berbahan
beras, kentang tumbuk, pangan yang mengandung pati, dan tunas sayuran. Sedangkan
bakteri penghasil toksin penyebab diare bisa mencemari sayuran dan daging.
Tindakan pengendalian khusus bagi rumah tangga atau penjual makanan ,terkait
bakteri ini adalah pengendalian suhu yang efektif untuk mencegah pertunasan dan
pertumbuhan spora. Bila tidak tersedia lemari pendingin, disarankan untuk memasak
makanan dalam jumlah yang sesuai untuk segera dikonsumsi. Toksin yang berkaitan
dengan sindrom muntah bersifat resisten terhadap panas dan pemanasan berulang, proses
penggorengan pangan juga tidak akan menghancurkan toksin tersebut.
2. Clostridium perfringens
Banyak jenis klostridia penghasil toksin dapat menimbulkan infeksi invasif bila masuk ke
dalam jaringan yang rusak. Kira-kira 30 spesies klostridia dapat menimbulkannya, tetapi
penyebab paling sering dalam penyakit invasif adalah Clostridium perfringens (90%). Suatu
enterotoksin yang dihasilkan C perfringens merupakan penyebab umum keracunan makanan.4
Clostridia menghasilkan sejumlah besar jenis toksin dan enzim yang mengakibatkan
penyebaran infeksi. Toksin alfa C perfringens tipe A adalah suatu lesitinase, dan sifat letalnya
sebanding dengan laju pemecahan lesitin (suatu unsur penting dalam selaput sel) menjadi
fosforilkolin dan digliserida. Beberapa strain C perfringens menghasilkan enterotoksin yang
kuat, terutama bila tumbuh dalam masakan daging, namun enterotoksinnya tidak tahan panas
(Heat labil). Kerja enterotoksin C perfringens meliputi hipersekresi yang nyata dalam jejunum
dan ileum, disertai kehilangan cairan dan elektrolit pada diare. Mekanisme pastinya belum
diketahui, tetapi tidak melibatkan perangsangan adenil siklase atau guanil siklase. Bila lebih dari
108 sel vegetatif termakan dan bersporulasi dalam usus, terbentuk enterotoksin. Enterotoksin
adalah suatu protein (berat 35.000) yang tampaknya identik dengan komponen pembungkus
spora, berbeda dengan toksin klostridia lainnya, menyebabkan daire hebat dalam 6-18 jam.
Penyakit ini cenderung sembuh sendiri. Keracunan makanan karena C perfringens biasanya
terjadi setelah memakan sejumlah besar klostridia yang tumbuh dalam makanan daging yang
dihangatkan. Toksin terbentuk bila organisme bersporulasi dalam usus; permulaan diare –
biasanya tanpa muntah atau demam – adalah 6-18 jam. Penyakit ini berlangsung hanya 1-2 hari.4
9
Working Diagnosis
Sesuai dengan kasus yang dibahas, kasus yang terjadi ini ialah keracunan makanan
karena bakteri (bacterial food poisoning). Diagnosis ini ditegakkan karena pada kasus ini, bukan
hanya 1 orang yang mengalaminya, dan juga dikatakan mereka baru saja makan makanan yang
dibuat kemarin dan akhirnya hanya dipanaskan, serta gejala yang ditunjukkan sesuai dengan
kemungkinan etiologinya. Karena itu working diagnosisnya adalah bacterial food poisoning.
Bacterial food poisoning adalah suatu penyakit akibat menelan makanan/minuman yang
mengandung toksin bakteri. Bakteri tumbuh dan berkembang biak pada produk makanan,
akhirnya menghasilkan toksin, dan ketika makan dimakan maka toksin akan masuk,
menyebabkan gangguan GIT, mual, muntah, diare, kelumpuhan otot, dll, dan dapat berakibat
fatal. Bakteri penghasil toksin umumnya tidak merubah rasa, warna, atau konsistensi makanan,
sehingga dianggap layak dikonsumsi. Terdapat 25 genus penting yang menyebabkan keracunan
makanan ini. Food poisoning disease ini tergantung pada respon imun individu, jumlah toksin
yang termakan, dan status kesehatan individu. Diagnosis kerjanya sudah pasti merupakan
keracunan makanan, namun masalah yang penting dibahas adalah apakah kausa dari keracunan
makanan tersebut.2 Kemungkinan terbesar adalah antara enterotoksin dari Staphylococcus
aureus, Bacillus cereus tipe emetik, dan Clostridium perfringens, karena itu kita akan melihat
perbandingannya dalam tabel 1.
Mual Muntah Nyeri perut Inkubasi Makanan Heat stabil
S. aureus + + + 2-4 jam Tinggi protein
(unggas, telur,
daging, dll)
(+)
B. cereus tipe
emetik
+ + + 2-4 jam Sereal, nasi, dll (+)
C. perfringens + - + 12-36 jam Makanan
kaleng, daging
(-)
Tabel 1.2,4-6 Perbandingan Enterotoksin Berbagai Bakteri
10
Dari tabel di atas, dapat dikatakan bahwa kausa dari kasus keracunan makanan ini ialah
Staphylococcus aureus, karena sesuai dengan tanda- tanda yang dipaparkan pada kasus ini,
karena itu akan dibahas lebih lanjut mengenai kuman ini, dan selanjutnya akan dibahas mengenai
Bacillus cereus dan Clostridium perfringens.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri bulat gram-positif, biasanya tersusun dalam
rangkaian tak beraturan seperti anggur, dapat dilihat seperti pada gambar 1. Bakteri ini mudah
tumbuh pada berbagai perbenihan dan mempunyai metabolisme aktif, meragikan karbohidrat,
serta menghasilkan pigmen yang bervariasi.4
Gambar 1. Staphylococcus aureus
(Diunduh dari http://www.samaritanid.com)
Staphyloccous aureus termasuk jenis yang patogen dari genus Staphylococcus, karena itu
ia dapat menghemolisa darah, mengkoagulasi plasma, serta dapat menghasilkan berbagai macam
enzim dan juga berbagai toksin, salah satunya adalah enterotoksin yang menjadi penyebab
keracunan ini, mengenai enterotoksin akan dibahas kemudian.4-6 Staphyloccous tidak bergerak
dan tidak membentuk spora. Koloni dari bakteri ini berwarna kuning, merah, atau jingga, dan
mudah tumbuh pada banyak perbenihan bakteri, dalam keadaan aerobik ataupun mikroaerofilik.
Staphylococcus aureus membentuk koloni berwarna abu-abu sampai kuning emas tua.
Staphylococcus aureus mengandung polisakarida dan protein yang bersifat antigen yang
merupakan substansi penting di dalam struktur dinding sel.4-6
11
Etiologi
Terdapat 23 spesies Staphilococcus, tetapi Staphilococcus aureus merupakan bakteri
yang
paling banyak menyebabkan keracunan makanan dan toxic shock syndrom. Staphilococcus
aureus merupakan bakteri berbentuk kokus atau bulat, tergolong dalam bakteri gram-positif,
bersifat aerobik fakultatif, dan tidak membentuk spora. Toksin yang dihasilkan bakteri ini
bersifat tahan panas , sehingga tidak mudah rusak pada suhu memasak normal. Bakteri ini dapat
mati, tetapi toksin akan tetap tertinggal karena toksinnya dapat bertahan pada suhu 100oC.
Toksin dapat rusak secara bertahap saat pendidihan minimal selama 30 menit.
Staphylococcus aureus dapat membentuk toksin penyebab muntah yang bersifat tahan
panas. Tangan dan rongga hidung adalah sumber S. aureus terbesar, sehingga hindari kebiasaan
buruk seperti memegang hidung, batuk dan menggaruk wajah saat mengolah makanan.
Gambar 4. Pewarnaan gram Staphylococcus aureus12
Bakteri ini memproduksi toksin (enterotoksin) yang bersifat stabil terhadap pemanasan
(termostabil), tahan terhadap aktivitas pemecahan oleh enzim-enzim pencernaan, dan relatif
resisten terhadap pengeringan. Selain enterotoksin, dia juga memproduksi hemolisin (toksin yang
dapat merusak dan memecah sel-sel darah merah). Substrat yang baik untuk pertumbuhan dan
produksi enterotoksin ialah substrat atau makanan yang mengandung protein seperti daging,
ikan, susu dan produk olahannya. Sementara itu keberadaan bakteri S.aureus dan toksin yang
dihasilkan pada makanan tidak dapat dideteksi secara visual karena tidak menimbulkan
perubahan yang nyata pada makanan.
12
Epidemiologi
Staphylococcus aureus sama seperti bakteri lainnya yang dapat mencemari makanan jika
disertai dengan kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi dirinya. Makanan yang dapat
tercemar bakteri ini adalah produk makanan yang kaya protein, misalnya daging, ikan, susu, dan
daging unggas; produk makanan matang yang ditujukan dikonsumsi dalam keadaan dingin,
seperti salad, puding, dan sandwich, produk makanan yang terpapar pada suhu hangat selama
beberapa jam; dan makanan yang disimpan pada lemari pendingin yang terlalu penuh atau yang
suhunya kurang rendah, serta makanan yang tidak habis dikonsumsi dan disimpan pada suhu
ruang. Kemungkinan orang dengan sistem imun yang rendah lebih rentan terkena keracunan
makanan.1,7
Terapi
Medika Mentosa
Penanganan keracunannya adalah dengan mengganti cairan dan elektrolit yang
hilang akibat muntah atau diare. Pengobatan antidiare biasanya tidak diperlukan. Untuk
menghindari dehidrasi pada pasien, berikan air minum dan larutan elektrolit yang banyak
dijual sebagai minuman elektrolit dalam kemasan.
Infeksi-infeksi kulit yang minor biasanya dirawat dengan obat salep antibiotik
seperti campuran triple-antibiotic yang bebas resep. Pada beberapa kasus-kasus,
antibiotik-antibiotik oral mungkin diberikan untuk infeksi-infeksi kulit. Sebagai
tambahan, jika bisul-bisul bernanah muncul, mereka biasanya dialirkan keluar secara
operasi. Infeksi-infeksi yang lebih serius dan mengancam nyawa dirawat dengan
antibiotik-antibiotik intravena. Pilihan dari antibiotik-antibiotik tergantung pada
kepekaan dari strain staphylococcal tertentu seperti yang ditentukan oleh hasil-hasil
pembiakan dalam laboratorium. Beberapa strain-strain Staphylococcus aureus, seperti
MRSA yang merupakan resisten pada banyak antibiotik. MRSA
Methicillin-resistant staphylococcus aureus (MRSA) merupakan tipe dari
Staphylococcus aureus yang adalah resisten pada antibiotik methicillin dan obat-obat lain
dalam kelompok yang sama, termasuk penicillin, amoxicillin, dan oxacillin. MRSA
13
pertama terlihat pada pasien-pasien di rumah-rumah sakit dan fasilitas-fasilitas kesehatan
lain, terutama pada orang lanjut usia, yang sangat sakit, dan mereka dengan luka yang
terbuka atau kateter dalam tubuh. MRSA sejak itu telah ditemukan menyebabkan
penyakit pada komunitas diluar rumah sakit dan fasilitas-fasilitas kesehatan lain. MRSA
di masyarakat dihubungkan dengan penggunaan antibiotik baru-baru ini, berbagi item-
item yang tercemar, mempunyai penyakit-penyakit kulit yang aktif, dan hidup di
pemukiman yang penuh sesak.13
Infeksi-infeksi MRSA biasanya adalah infeksi-infeksi dangkal yang ringan dari
kulit yang dapat dirawat dengan sukses dengan perawatan kulit yang tepat dan antibiotik-
antibiotik. MRSA, bagaimanapun dapat menjadi sulit untuk dirawat dan dapat berlanjut
ke infeksi-infeksi darah atau tulang yang mengancam nyawa karena ada lebih sedikit
antibiotik-antibiotik yang efektif yang tersedia untuk perawatan.
Penularan dari MRSA adalah sebagian besar dari orang-orang dengan infeksi-
infeksi kulit MRSA yang aktif. MRSA juga adalah hampir selalu disebar oleh kontak
fisik yang langsung dan tidak melaui udara. Penyebaran mungkin juga terjadi melalui
kontak tidak langsung dengan menyentuh obyek-obyek (seperti handuk-handuk, spre-
sprei, pakain-pakaian, area-area latihan, alat-alat sport) yang tercemar oleh kulit yang
terinfeksi dari seseorang dengan MRSA. Tepat seperti S. aureus dapat dibawa pada kulit
atau di hidung tanpa menyebabkan segala penyakit.5,10,13
Lebih baru-baru ini, strain-strain dari Staphylococcus aureus telah
diidentifikasikan yang resisten pada antibiotik vancomycin, yang normalnya adalah
efektif dalam merawat infeksi-infeksi Staph. Bakteri-bakteri ini dirujuk sebagai
vancomycin-intermediate resistance S. aureus (VISA) dan vancomycin-resistant S. aureus
(VRSA).5
Non Medika Mentosa
Pertolongan pertama pada keracunan makanan:1,13
14
a. Untuk mengurangi kekuatan racun, berikan air putih sebanyak-banyaknya atau
diberi susu yang telah dicampur dengan telur mentah.
b. Agar perut terbebas dari racun, berikan norit dengan dosis 3-4 tablet selama 3 kali
berturut-turut dalam setiap jamnya.
c. Air santan kental dan air kelapa hijau yang di campur 1 sendok makan garam
dapat menjadi alternatif jika norit tidak tersedia.
d. Jika penderita dalam kondisi sadar, usahakan agar muntah. Lakukan dengan cara
memasukan jari pada kerongkongan leher dan posisi badan lebih tinggi dari
kepala untuk memudahkan kontraksi.
e. Apabila penderita dalam keadaan pingsan, bawa segera ke rumah sakit atau dokter
terdekat untuk mendapatkan perawatan intensif.
f. Jangan lupa membawa serta contoh makanan beracun ataupun mengingat
makanan yang telah dimakan untuk mempermudah diagnosa dokter.
Pencegahan
Berikut tips yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya keracunan makanan :
a. Biasakan mencuci tangan sebelum melakukan aktifitas yang berhubungan dengan
makanan. Baik itu sebelum mengolah makanan atau menyantap makanan. Cucilah
tangan menggunakan sabun agar kuman bakteri yang ada pada tangan segera mati.
b. Jangan menyiapkan makanan jika Anda memiliki infeksi hidung atau mata.
c. Pisahkan antara makanan yang belum diolah dengan makanan yang telah siap
disajikan. Jangan menghidangkan makanan pada tempat yang kotor atau bekas
dipakai tempat makanan mentah.
d. Masaklah makanan sampai benar-benar matang. Jangan mengkonsumsi makanan
mentah atau makanan setengah matang.
e. Bekukan makanan yang akan disimpan dalam waktu yang lama.
Untuk mencegah terjadinya keracunan makanan, kita sebaiknya melakukan14
a. Pengelolaan sistem hygiene yang baik
b. Pengolahan makanan yang baik
c. Hindari terjadi kontaminasi dari mana pun
15
d. Simpan makanan dalam suhu yang tepat (< 5oC untuk makanan yang disimpan
dalam kulkas dan > 60oC untuk makanan yang panas).
e. Hindari makan makanan yang asam yang dikemas dalam kemasan yang terbuat
dari logam.
f. Hindari makan jamur yang liar.
g. Hindari mengkonsumsi makanan setengah matang.
Komplikasi
Scalded skin syndrome
Scalded skin syndrome adalah efek sampingan yang berpotensi serius dari infeksi bakteri
Staphylococcus aureus yang menghasilkan protein spesifik yang mengendurkan "cement" yang
menahan beragam lapisan-lapisan kulit. Hal tersebut menyebabkan pembentukan lepuh (blister)
dan terkupasnya lapisan paling atas dari kulit. Jika ini terjadi pada daerah-daerah tubuh yang
luas, dapat mematikan, serupa pada area permukaan tubuh yang besar yang terbakar. Perawatan
scalded skin syndrome dengan antibiotik-antibiotik intravena dan untuk melindungi kulit dari
terjadinya dehidrasi jika area-area yang besar terkupas. Komplikasi ini terjadi sebagian besar
pada anak-anak namun dapat terjadi pada siapa saja.
Prognosis
Pada dasarnya keracunan makanan karena bakteri terutama karena Staphylococcus aureus
memiliki prognosis baik. Namun jika sistem kekebalan tubuh pasien terlalu rendah bisa menjadi
perburukan prognosis. Prognosis adalah bonam.
Penutup
Keracunan makanan merupakan penyakit yang diakibatkan pengkonsumsian makan atau
minuman yang memiliki kandungan bakteri, atau toksinnya, parasit, virus atau bahan-bahan
kimia yang dapat menyebabkan gangguan di dalam fungsi normal tubuh.
Berdasarkan kasus yang di dapat, pasien mengalami keracunan makanan akibat
enterotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Hal tersebut dikarenakan gejala
16
keracunan timbul sekitar 3 jam setelah konsumsi daging yang dianggap bermasalah, dan hal
tersebut sesuai dengan waktu infektif Staphylococcus aureus. Selain itu gejala-gejala
keracunannya pun sama dengan gejala keracunan Staphylococcus aureus. Yang membedakan
dengan bakteri lain adalah bakteri Staphylococcus aureus ini tahan terhadap keadaan panas
maupun dingin.
17
Daftar Pustaka
1. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas. Jakarta: EGC; 2009.h.280-2.
2. Arisman MB. Definisi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Gizi : Keracunan Makanan. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2008. h.2-3.
3. Gleadle, Jonathan. Anamnesis dan Pemeriksaan Sistem. Dalam : At a Glance Anamnesis
dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 28-9.
4. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Pendekatan Klinis. Dalam : Kedokteran Klinis . Edisi
ke-Enam. Jakarta : Penerbit Erlangga. 2007. h.29-31.
5. Davey P. Gastroenterologi. Dalam : At a Glance Medicine. Jakarta :Penerbit
Erlangga.h.204-215.
6. Staf Pengajar FKUI. Batang Positif Gram. Dalam : Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.
Jakarta : FKUI. 2002. h. 126-8.
7. Arisman MB. Keracunan oleh Bakteri. Dalam : Buku Ajar Ilmu Gizi : Keracunan
Makanan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2008. h.83-92.
8. Mikroskopik Bacilus cereus. Diunduh dari : Buku Praktikum Mikrobiologi.
9. Mikroskopik Clostridium perfringens. Diunduh dari : Buku Praktikum Mikrobiologi.
10. Staf Pengajar FKUI. Kokus Positif Gram. Dalam : Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.
Jakarta : FKUI. 2002. h. 108.
11. Mikroskopik Staphylococcus aurerus. Diunduh dari : Buku Praktikum Mikrobiologi.
12. Pewarnaan gram Staphylococcus aureus. Diuduh dari www.google.com.
13. Le Loir et al. Staphylococcus aureus dan keracunan makanan;dalam Genetika dan
Penelitian Molekuler.Jakarta; 2003.h. 63-76.
14. Supardi I. Mikrobiologi dalam pengolahan dan keamanan pangan. Bandung: Yayasan
Adikarya IKAPI; 2002.h.35-42.
18
top related