makalah gga
Post on 11-Dec-2015
83 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Fundamental Patofisiologi
Gagal Ginjal Akut
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah SP FP Urinary System
Disusun Oleh:
Dianis Rahmadani 115070200111035
Edwina Narulita 115070202111005
Ni Wayan Asma Nira Yustika 115070201111011
Asmawati Fitri 115070201111005
Shinta Ardiana Puspitasari 115070201111021
Khona’ah Toyyibah 115070200111043
Indira Rahmadewi 115070200111047
Rismaya Novitasari 115070200111041
PSIK REGULER I
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal ginjal adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit yang dapat menyebabkan uremia yaitu retensi cairan dan natrium dan sampah
nitrogen lain dalam darah (Smeltzer, 2002).
Gagal ginjal akut berat yang memerlukan dialisis, mempunyai mortalitas tinggi melebihi
50%. Nilai ini akan meningkat apabila disertai kegagalan multi organ. Walaupun terdapat
perbaikan yang nyata pada terapi penunjang, angka mortalitas belum berkurang karena usia
pasien dan pasien dengan penyakit kronik lainnya.
Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi. Di Amerika
Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat dalam 10 tahun. Pada 1990, terjadi
166 ribu kasus GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada 2000 menjadi 372 ribu kasus.
Angka tersebut diperkirakan terus naik. Pada 2010, jumlahnya diestimasi lebih dari 650 ribu
(Djoko, 2008).
Hal yang sama terjadi di Jepang. Di Negeri Sakura itu, pada akhir 1996 ada 167 ribu
penderita yang menerima terapi pengganti ginjal. Menurut data 2000, terjadi peningkatan
menjadi lebih dari 200 ribu penderita. Berkat fasilitas yang tersedia dan berkat kepedulian
pemerintah yang sangat tinggi, usia harapan hidup pasien dengan GGA di Jepang bisa
bertahan hingga bertahun-tahun. Bahkan, dalam beberapa kasus, pasien bisa bertahan
hingga umur lebih dari 80 tahun. Angka kematian akibat GGA pun bisa ditekan menjadi 10
per 1.000 penderita. Hal tersebut sangat tidak mengejutkan karena para penderita di Jepang
mendapatkan pelayanan cuci darah yang baik serta memadai (Djoko, 2008).
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan konsep dasar teori tentang
gagal ginjal akut mulai dari definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan dan pencegahan
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI GAGAL GINJAL AKUT
Gagal ginjal (renal atau kidney failure) adalah kasus penurunan fungsi ginjal yang
terjadi secara akut (kambuhan) maupun kronis (menahun). Dikatakan gagal ginjal akut
(acute renal failure) bila penurunan fungsi ginjal berlangsung secara tiba-tiba, tetapi
kemudian dapat kembali normal setelah penyebabnya segera dapat diatasi (Alam &
Hadibroto, 2007).
Menurut Smeltzer & Bare (2001), gagal ginjal akut adalah hilangnya fungsi ginjal
secara mendadak dan hampir lengkap akibat kegagalan sirkulasi renal atau disfungsi tubular
dan glomerular. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah
metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi
di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi metabolik, cairan, ekektrolit,
serta asam-basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang
umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal.
Gagal ginjal akut dapat juga disebut Acute kidney injury (AKI) atau acute renal failure
yang secara konseptual adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk
mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/tanpa gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit. Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang dungsi dasarnya normal
(klasik) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dulu, hal diatas disebut sebagai
gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan
batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai
kepustakaan. Hal Itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan
hasil penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteriaa untuk
membuat diagnosis dini dan spesifitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan
dapat menggambarkan prognosis pasien. Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality
Initiative (ADQI) yang beranggotakan pada nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun
2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI (acute kidney injury). (Sinto & Nainggolan,
2010).
Dari pengertian-pengertian tersebut, maka gagal ginjal akut adalah keadaaan dimana
ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau mengalami penurunan fungsi
regulernya secara mendadak akibat kegagalan sirkulasi atau disfungsi tubular dan
glomerular tetapi dapat kembali normal apabila penyebabnya segera dapat diatasi.
2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Gagal ginjal akut berat yang memerlukan dialisis, mempunyai mortalitas tinggi
melebihi 50%. Nilai ini akan meningkat apabila disertai kegagalan multi organ. Walaupun
terdapat perbaikan yang nyata pada terapi penunjang, angka mortalitas belum berkurang
karena usia pasien dan pasien dengan penyakit kronik lainnya.
Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi. Di Amerika
Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat dalam 10 tahun. Pada 1990, terjadi
166 ribu kasus GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada 2000 menjadi 372 ribu kasus.
Angka tersebut diperkirakan terus naik. Pada 2010, jumlahnya diestimasi lebih dari 650 ribu
(Djoko, 2008).
Hal yang sama terjadi di Jepang. Di Negeri Sakura itu, pada akhir 1996 ada 167 ribu
penderita yang menerima terapi pengganti ginjal. Menurut data 2000, terjadi peningkatan
menjadi lebih dari 200 ribu penderita. Berkat fasilitas yang tersedia dan berkat kepedulian
pemerintah yang sangat tinggi, usia harapan hidup pasien dengan GGA di Jepang bisa
bertahan hingga bertahun-tahun. Bahkan, dalam beberapa kasus, pasien bisa bertahan
hingga umur lebih dari 80 tahun. Angka kematian akibat GGA pun bisa ditekan menjadi 10
per 1.000 penderita. Hal tersebut sangat tidak mengejutkan karena para penderita di Jepang
mendapatkan pelayanan cuci darah yang baik serta memadai (Djoko, 2008).
Di Indonesia GGA pada 1997 berada di posisi kedelapan. Data terbaru dari US
NCHS 2007 menunjukkan, penyakit ginjal masih menduduki peringkat 10 besar sebagai
penyebab kematian terbanyak. Faktor penyulit lainnya di Indonesia bagi pasien ginjal,
terutama GGA, adalah terbatasnya dokter spesialis ginjal. Sampai saat ini, jumlah ahli ginjal
di Indonesia tak lebih dari 80 orang. Itu pun sebagian besar hanya terdapat di kota-kota
besar yang memiliki fakultas kedokteran. Maka, tidaklah mengherankan jika dalam
pengobatan kerap faktor penyulit GGA terabaikan.
Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas sulit didapatkan karena tidak
semua pasien GGA datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa insidens nyata pada
komunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan insidens GGA antara lain
dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria diagnosis yang menyebabkan kasus yang
lebih ringan dapat terdiagnosis. Selain itu, juga disebabkan oleh peningkatan kasus GGA
akibat meningkatnya populasi usia lanjut dengan penyakit kormobid yang beragam,
meningkatnya jumlah prosedur transplantasi organ selain ginjal, intervensi diagnostik dan
terapeutik yang lebih agresif (Sinto & Nainggolan, 2010).
3
2.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
2.3.1 Etiologi
Menurut penelitian Livinsky dan Alaexander (1976), gagal ginjal akut terjadi akibat
penyebab-penyebab yang berbeda. Ternyata 43% dari 2200 kaus gagal ginjal akut
berhubungan dengan trauma atau tindakan bedah, 26% dengan berbagai kondisi medik,
13% pada kehamilan dan 9% disebabkan nefrotoksin. Terdapat tiga kategori utama kondisi
penyebab gagal ginjal akut yaitu : prarenal, renal dan pascarenal.
1. Prarenal
Ginjal membutuhkan tekanan perfusi yang adekuat agar bisa berfungsi secara
normal. Hal ini tergantung dari tekanan darah sistemik yang harus cukup tinggi dan
kemampuan konstriksi dari arteriol eferen. Jika salah satu dari hal ini tidak terjadi, baik
penurunan yang sangat rendah dari tekanan darah (penyebab tersering) atau dilatasi
berlebih dari arteriol eferen, perfusi glomerulus akan menurun dan terjadi gagl ginjal.
Kondisi prarenal adalah masalah aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan
turunnya laju filtrasi glomerulus. Tidak ada bukti kerusakan ginjal. Kondisi klinis yang
umum adalah status penipisan volume (hemoragi atau kehilangan cairan melalui
saluran gastrointestinal), vasodilatasi (sepsis atau anafilaksis), dan gangguan fungsi
jantung (infark miokardium, gagal jantung kongestif atau syok kardiogenik). Gagal
ginjal prarenal biasanya timbul pada pasien-pasien yang sakit berat. Jika dalam waktu
tertentu, penyebab yang mendasari hipoperfusi berbalik, fungsi ginjal nantinya dapat
kembali normal. Jika hipoperfusi bertahan melampaui tingkat kritis ini, kerusakan
parenkim ginjal dapat terjadi (Smeltzer & Bare, 2001 ; Behrman et.al, 2000).
2. Renal / IntrarenalPenyebab intrarenal atau renal gagal ginjal akut adalah akibat dari kerusakan
struktur glomerulus atau tubulus ginjal. Kondisi seperti rasa terbakar, cedera akibat
benturan, dan infeksi serta agens nefrotoksik dapat menyebabkan nekrosis tubular
akut (ATN) dan berhentinya fungsi renal. Istilah nekrosis tubulus akut pada mulanya
menggambarkan sindrom gagal ginjal akut tanpa adanya lesi arteri atau glomerulus.
Mekanisme gagal ginjal yang dikemukakan adalah nekrosis sel tubulus. Agen tertentu
(logam berat, bahan kimia) sebenarnya dapat menyebabkan gagal ginjal dengan
menyebabkan nekrosis sel tubulus, tetapi perubahan histologis yang bermakna tidak
terdapat pada ginjal penderita yang menderita bentuk-bentuk nekrosis tubuklus akut
lainnya. Mekanisme yang dikemukakan meliputi perubahan hemodinamik di dalam
gijal, obstruksi tubulus, dan aliran balik pasif filtrat glomerulus melewati sel tubulus
yang terluka ke dalam kapiler peritubulus.
4
Cedera akibat terbakar dan benturan menyebabkan pembebasan hemoglobin dan
mioglobin (protein yang dilepaskan dari otot ketika terjadi cedera), sseingga terjadi
toksik renal, iskemia atau keduanya. Reaksi transfusi yang parah juga menyebabkan
gagal intrarenal. Hemoglobin dilepaskan melalui mekanisme hemolisis melewati
membran glomerulus dan terkonsentrasi di tubulus ginjal menjadi faktor pencetus
terbentuknya hemoglobin. Faktor penyebab lain adalah pemakaian obat-obata anti
inflamasi nonsteroid (NSAID), terutama pada pasien lansia. Medikasi ini mengganggu
prostaglandin yang secara normal melindungi aliran darah renal, menyebablan
iskemia ginjal.
Nefritis Interstisialis akut merupakan penyebab gagal ginjal akut yang semakin
lazim dan biasanya akibat dari reaksi hipersensitivitas terhadap agen terapeutik.
Tumor dapat menyebabkan gagal ginjal akut dengan infiltrasi ke ginjal atau dengan
obstruksi tubulus oleh kristal asam urat. Selain itu, kelainan perkembangan dan nefritis
herediter dapat dihubungkan dengan gagal ginjal akut. Ketidakmampuan menghemat
natrium dan air biasa dijumpai pada penderita yang menderita gangguan ini, tetapi
kehilangan tersebut biasanya dikompensasi dengan peningkatan masukan oral. Jika
masukkan melalui mulut terganggu (muntah) dan/atau terjadi kehilangan garam dan
air eksternal (diare), maka hal ini bersama dengan kehilangan garam dan air melali
urin secara terus-menerus dapat menyebabkan pengurangan volume intravaskuler
dan gagal ginjal (Smeltzer & Bare, 2001 ; Davey, 2005 ; Behrman et.al, 2000).
3. Pascarenal
Penyebab pascarenal yang menyebabkan gagal ginjal akut biasanya akibat dari
obstruksi di bagian distal ginjal. Tekanan di tubulus ginjal meningkat akhirnya laju
filtrasi glomerulus meningkat. Ciri unik gagal ginjal pasca-renal adalah terjadinya
anuria, yang tidak selalu terjadi pada gagal renal atau prarenal. Meskipun
patogenesis pasti dari gagal ginjal akut belum diketahui, namun terdapat masalah
mendasar yang menjadi penyebab. Beberapa faktor mungkin reversibel jika
diidentifikasi dan ditangani dengan tepat, sebelum fungsi ginjal terganggu (Smeltzer &
Bare, 2001).
2.3.2 Tahapan Gagal Ginjal Akut
Terdapat empat tahapan klinik dari gagal ginjal akut, yaitu periode awal, periode
oliguria, periode diuresis, dan periode perbaikan.
a. Periode Awal (inisiasi)
5
Tahapan awal adalah kejadian awal yang menyebabkan nekrosis tubulus yang
berbelit-belit. Perjalanan gagal ginjal akut dihubungkan dengan hebatnya akibat awal,
periode hipotensi, dan lamanya hemodinamik dipengaruhi.
b. Periode Oliguria
Tahapan oliguria (volume urin kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan
peningkatan konsentrasi serum dari substansi yang biasanya dieksresikan oleh ginjal
(urea, kreatinin, asam urat, dan kation intraseluler – kalium dan magnesium). Jumlah
urin minimal yang diperlukan untuk membersihkan produk sampah normal tubuh
adalah 400 ml. Pada tahap ini gejala uremik untuk pertama kalinya muncul, dan
kondisi yang mengancam jiwa seperti hiperkalemia terjadi.
Pada banyak pasien hal ini dapat merupakan penurunan fungsi ginjal disertai
kenaikan retensi nitrogen, namun pasien masih mengekskresikan urin sebanyak 2 liter
atau lebih setiap hari. Hal ini merupakan bentuk nonoligurik dari gagal ginjal dan
terjadi terutama setelah antibiotik nefrotoksik diberikan kepada pasien, dapat juga
terjadi pada kondisi terbakar, cedera traumatik, dan penggunaan anestesi halogen.
c. Periode Diuresis
Pada tahap ketiga, periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urin
secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Nilai laboratorium
berhenti meningkat dan akhirnya menurun. Meskipun haluaran urin mencapai kadar
normal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap normal. Tanda uremik mungkin
masih ada, sehingga penatalaksanaan medis dan keperawatan masih diperlukan.
Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya dehidrasi selama tahap ini, jika
terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat.
d. Periode Perbaikan
Merupakan tanda perbaikan fungsi ginjal dan berlangsung selama 3 sampai 12
bulan. Nilai laboratorium akan kembali normal. Meskipun terdapatreduksi laju filtrasi
glomerulus permanen sekitar 1 % sampai 3%, tetapi kali ini secara klinis tidak
signifikan (Smeltzer & Bare, 2001 ; Tambayong, 2000).
Penyebab gagal ginjal akut dapat diuraikan secara ringkas dalam tabel berikut :
Prarenal Renal PascarenalHipovolemia
PerdarahanKehilangan cairan dari saluran pencernaanHiponatremiaLuka bakarPenyakit ginjal atau
GlomerulonefritisPascastreptokokusLupus eritematosusMembranoproliferatifProgresivitas cepat idiopatikPupura anafilaktoid
Uropati obstruktifSambungan ureteropelvikUreterokelKatup uretraTumor
Refluksi vesikoureter
6
adrenal dengan pembuangan garam
HipotensiSeptikemiaKoagulasi intravaskuler tersebarHipotermiaPerdarahanGagal jantung
HipoksiaPneumoniaPenjepitan aortaSindrom kegawatan pernapasan
Koagulasi intravaskular terlokalisasi
Trombosis vena renalisNekrosis korteksSindrom hemolitik-uremik
Nekrosis tubulus akutLogam beratBahan kimiaObat-obatanHemoglobin, mioglobinSyokIskemia
Nefritis interstisialis akutInfeksi Obat-obatan
Tumor Infiltrasi parenkim ginjalNefropati asam urat
Kelainan perkembangan Penyakit kistikHipoplasia-displasia
Nefritis herediter
DidapatBatuJendalan darah
2.3.3 Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko yang dapat mengacu pada gagal ginjal akut seperti yang
dijelaskan pada penyebab diatas yaitu :
Hipovolemia
Hipotensi
Penurunan curah jantung dan gagal jantung kongestif
Obstruksi ginjal dan saluran urine oleh tumor
Bekuan darah atau batu ginjal
Obstruksi bilateral vena atau arteri renalis (Baughman, 2000).
2.4 KLASIFIKASI
Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan
kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau
penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal
dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada
tabel
7
KategoriPeningkatan kadar Cr
serumPenurunan LFG Kriteria UO
Risk ≥ 1,5 kali nilai dasar > 25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, ≥ 6
jam
Injury ≥ 2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar < 0,5 mL/kg/jam, ≥12
jam
Failure ≥3,0 kali nilai dasar atau
≥ 4 mg/dL dengan
kenaikan akut ≥ 0,5
mg/dL
>75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, ≥ 24
jam atau anuria ≥ 12
jam
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu
End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan
(Sinto & Nainggolan, 2010).
2.5 PATOFISIOLOGI
(terlampir)
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Hampir setiap sistem tubuh dipengaruhi ketika terjadi kegagalan mekanisme
pengaturan ginjal normal. Pasien tampak sangat menderita dan letargi disertai mual
persisten, muntah, dan diare. Kulit dan membran mukosa kering akibat dehidrasi, dan napas
mungkin berbau urin (fetor uremik). Manifestasi sistem saraf pusat mencakup rasa lemah,
sakit kepala, kedutan otot dan kejang.
a. Perubahan Haluaran Urin. Haluaran urin sedikit, dapat mengandung darah, dan
gravitas spesifiknya rendah (1.10 sedangkan nilai normalnya 1.015-1.025).
b. Peningkatan BUN dan Kadar Kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN,
dan laju peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein),
perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin menigkta pada kerusakan
glomerulus. Kdar kreatinin serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan
perkembangan penyakit.
c. Hiperkalemia. Pasien yang mengalami penurunan laju filtrasi glomerulus tidak mampu
mengekskresikan kalium. Katabolisme protein menghasilkan pelepasan kalium seluler
ke dalam cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat (kadar seum K+ tinggi).
Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti jantung. Sumber kalium mencakup
katabolisme jaringan normal; masukan diet; darah di saluran gastrointestinal; atau
transfusi darah dan sumber-sumber lain (infus intravena, penisilin kalium, dan
pertukaran ekstraseluler sebagai respons terhadap adanya asidosis metabolik).
8
d. Asidosis metabolik. Pasien oliguri akut tidak dapat mengeliminasi muatan metabolik
seperti substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu,
mekanisme buffer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan
kandungan karbon dioksida darah dan pH darah. Sehingga, asidosis metabolik
progresif menyertai gagal ginjal.
e. Abnormalitas Ca++ dan PO4-. Peningkatan konsentrasi serum fosfat mungkin terjadi,
serum kalsium mungkin menurun sebagai respons terhadap penurunan absorpsi
kalsium di usus dan sebagai mekanisme kompensasi terhadap peningkatan kadar
serum fosfat.
f. Anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut merupakan kondisi yang tidak dapat
dielakkan sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal
uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran
GI. Adanya bentuk eritropoetin (Epogen) yang sekarang banyak tersedia,
menyebabkan anemia tidak lagi menjadi masalah utama dibanding sebelumnya
(Smeltzeer & Bare, 2001).
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat
badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, inhibitor
ACE dan ARB. Dapat juga ditemukan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP),
penurunan turgor kulit, mukosa kering, hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. AKI
pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau suprapubik akibat
distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal atau kandung kemih (Sinto & Nainggolan, 2010).
Gejala dan tanda gagal ginjal akut antara lain pada fase awal produksi air kencing
sedikit atau tidak ada, selanjutnya mual, muntah, diare, nafsu makan turun, mudah
mengantuk, mudah tersinggung, gangguan kesadaran bisa sampai koma, gatal-gatal,
kejang, tekanan darah bisa rendah atau tinggi, memar-memar di tubuh tanpa diketahui
sebabnya, perdarahan kecil di bawah kulit (Wratsongko & Trianggoro, 2006).
2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,
tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang
didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga
menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan
pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai Icast
yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown”
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast
9
eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubuluinterstitial; cast leukosit dan
pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial.
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas
urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI,
seperti yang terlihat pada tabel :
Indeks diagnosis AKI prarenal AKI renal
Urinalisis
Gravitasi spesifik
Osmolalitas urin (mmol/kgH2O)
Kadar natrium urin (mmol/L)
Fraksi ekskresi natrium (%)
Fraksi eksresi urea (%)
Rasio Cr urin/Cr plasma
Rasio urea urin/urea plasma
Silinder hialin
>1.020
>500
<10 (<20)
<1
<35
>40
>8
Abnormal
~1.010
~300
>20 (>40)
>1
>35
<20
<3
Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokontriksi pembuluh darah ginjal
akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga mencapai (99%).
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah pemeriksaan
urin residu pasca berkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung dengan
pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil
kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto
polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi.
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum
jelas, namun penyebab pra dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan
tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non ATN yang memilik tata laksana
spesifik, seperti glomerulonfritis, vaskulitis dan lain-lain (Sinto & Nainggolan, 2010).
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah
a. Elektrokardiogram (EKG). Perubahan yang terjadi berhubungan dengan
ketidakseimbangan elektrolit dan gagal jantung.
b. Kajian foto toraks dan abdomen. Perubahan yang terjadi berhubungan dengan retensi
cairan.
c. Osmolalitas serum. Lebih dari 285 mOsm/kg
d. Pelogram Retrograd. Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
e. Ultrasonografi Ginjal. Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas
10
f. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi. Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria
dan pengangkatan tumor selektif
g. Arteriogram Ginjal. Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular
h. Darah: ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas
i. Urin: ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
j. Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
k. Gangguan keseimbangan asam basa: asidosis metabolik.
l. Gangguan keseimbangan elektrolit: hiperkalemia, hipernatremia atau hiponatremia,
hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
m. Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah
ginjal rusak.
n. Warna urine: kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin,
porfirin.
o. Berat jenis urine: kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh:
glomerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan;
menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat.
p. PH Urine: lebih dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal
kronik.
q. Osmolaritas urine: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan ratio
r. Klierens kreatinin urine: mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan
kreatinin serum menunjukan peningkatan bermakna.
s. Natrium Urine: Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak
mampu mengabsorbsi natrium.
t. Bikarbonat urine: Meningkat bila ada asidosis metabolik.
u. SDM urine: mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan GF.
v. Protein: protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan glomerulus bila
SDM dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM
menunjukan infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria
minimal.
w. Warna tambahan: Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan
selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik
pada NTA. Tambahan warna merah diduga nefritis glomular.
2.8 PENATALAKSANAAN MEDIS
11
Tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk memulihkan keseimbangan kimia normal
dan mencegah komplikasi sehingga perbaikan jaringan ginjal dan pemulihan fungsi ginjal
dapat terjadi. Identifikasi, obati, dan hilangkan semua penyebab yang mungkin.
a. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia; menyebabkan cairan, protein dan natrium dapat dikonsumsi
secara bebas.; menghilangkan kecenderungan perdarahan; dan membantu
penyembuhan luka. Hemodialisis, hemofiltrasi atau dialisis peritoneal dapat dilakukan.
b. Penangan Hiperkalemia. Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah
utama pada gagal ginjal akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling
mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu, pasien dipantau akan adanya
hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum (nilai kalium >
5,5 mEq/L; SI : 5,5 mmol/L), perubahan EKG ( tinggi puncak gelombang T rendah atau
sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi
dengan pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat [Kayexalate]),
secara oral atau melalui retensi enema. Kayeaxalate bekerja dengan merubah ion
kalium menjadi natrium di saluran intestinal. Sorbitol sering diberikan bersama dengan
Kayexalate untuk menginduksi efek tipe diare (menginduksi kehilangan cairan di
saluran gastrointestinal). Jika enema retensi diberikan (kolon merupakan tempat
utama untuk pertukaran kalium), kateter rektal yang memiliki balon dapat diresepkan
untuk memfasilitasi retensi jika diperlukan. Pasien harus menahan resin selama 30
sampai 45 menit untuk meningkatkan pengambilan kalium. Setelah itu, bersihan
enema diresepkan untuk menghilangkan resin Kayaxalate untuk mencegah impaksi
fekal.
Pasien yang kadar serum kaliumnya tinggi dan meningkat memerlukan
hemodialisis, peritoneal dialisis, atau hemofiltrasi dengan segera.
Glukosa, insulin atau kalsium glukonat secara intravena dapat digunakan
sebagai tindakan darurat sementara untuk menangani hiperkalemia. Glukosa
dan insulin mendorong kalium ke dalam sel-sel, sehingga kadar serum kalium
menurun sementara sampai kalium diambil melalui proses dialisis. Kalium akan
keluar dari sel dan kembali meningkat sampai ke tingkat yang berbahaya
kecuali diambil melalui proses dialisis. Kalsium glukonat membantu melindungi
hati dari efek tingginya kadar serum kalium. Natrium bikarbonat dapat diberikan
untuk menaikkan pH plasma.
Natrium bikarbonat meningkatkan pH, menyebabkan kalium bergerak ke dalam
sel, sehingga kadar seru, kalium pasien menurun. Ini merupakan terapi jangka
12
pendek dan digunkan bersamaan dengan tindakan jangka panjang lain, seperti
pembatasan diet dan dialisis.
Semua produk kalium eksternal dihilangkan atau dikurangi.
c. Mempertahankan Keseimbangan Cairan. Penatalaksanaan keseimbangan cairan
didasarkan pada berat badan harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi
urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah, dan status klinis pasien. Masukan
dan haluaran oral dan parenteral dari urin, drainase lambung, feses, drainase luka,
dan perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantian cairan.
Cairan yang hilang melalui kulit dan paru dan hilang sebagai akibat dari proses
metabolisme normal juga dipertimbangkan dalam penatalaksanaan cairan. Gagal
ginjak akut menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi yang berat akibat masukan yang
tidak adekuat (dari mual dan muntah), gangguan pemakaian glukosa dan sintesis
protein, serta peningkatan katabolisme jaringan. pasien ditimbang berat badannya
setiap hari dan dapat diperkirakan turun 0,2 sampai 0,5 kg setiap hari jika
keseimbangan nitrogen negatif (masukan kalori yang diterima kurang dari kebutuhan).
Jika pasien tidak kehilangan berat badan atau mengalami hipertensi, maka diduga
adanya retensi cairan.
d. Pertimbangan Nutrisional. Diet protein dibatasi sampai 1 g/kg selama fase oligurik
untuk menurunkan pemecahan protein dan mencegah akumulasi produk akhir toksik.
Kebutuhan kalori dipenuhi dengan pemberian diet tinggi karbohidrat, karena
karbohidrat memiliki efek terhadap protein yang luas (pada diet tinggi karbohidrat,
protein tidak dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi tetapi “dibagi” untuk
pertumbuhan dan perbaikan jaringan). Makanan dan cairan yang mengandung kalium
dan fosfat (pisang, buah dan jus jeruk, kopi) dibatasi. Masukan kalium biasanya
dibatasi sampai 2 g/hari. Pasien mungkin memerlukan nutrisi parenteral total.
e. Cairan IV dan Diuretik. Aliran darah ke ginjal yang adekuat pada banyak pasien dapat
dipertahankan melalui cairan intravena dan medikasi. Manito, furosemid, atau asam
etrakrinik dapat diresepkan untuk mengawali diuresis dan mencegah atau mengurangi
gagal ginjal berikutnya. Jika gagal ginjal akut disebabkan oleh hipovolemia akibat
hipoproteinmia, infus albumin dapat diresepkan. Syok dan infeksi ditangani, jika ada.
f. Koreksi Asidosis dan Peningkatan Kadar Fosfat. Jika asidosis berat terjadi, gas darah
arteri harus dipantau; tindakan ventilasi yang tepat harus dilakukan jika terjadi
masalah pernapasan. pasien memerlukan terapi natrium karbonat atau dialisis.
Peningkatan konsentrasi serum fosfat pasien dapat dikendalikan dengan agens
pengikat-fosfat (aluminium hidroksida); agens ini membantu mencegah peningkatan
serum fosfat dengan menurunkan absorpsi fosfat di saluran intestinal.
13
g. Pemantauan Berlanjut Selama Fase Pemulihan. Fase oligurik gagal ginjal akut
berlangsung dari 10 sampai 20 hari dan diikuti fase diuretik, dimana haluaran urin
mulai meningkat, menunjukkan bahwa fungsi ginjal telah membaik. Evaluasi kimia
darah dilakukan untuk menentukan jumlah natrium, kalium, dan cairan yang diperlukan
selama pengkajian terhadap hidrasi lebih dan hidrasi kurang. Setelah fase diuretik,
pasien diberikan diet tinggi protein, tinggi kalori dan didorong untuk melakukan
aktivitas secara bertahap.
h. Meningkatkan Fungsi Pulmoner. Perhatian diberikan terhadap fungsi pulmoner, dan
pasien dibantu untuk miring, batuk dan napas dalam dengan sering untuk mencegah
ateletaksis dan infeksi pernapasan. Jika tidak didorong dan dibantu, mengantuk dan
letargi dapat membatasi pergerakan pasien.
i. Mencegah infeksi. Perhatikan tindakan asepsis
j. Merawat kulit. Kulit pasien mungkin kering dan sangat rentan untuk mengalami luka
akibat edema; oleh karena itu, perawatan kulit yang cermat sangat penting. Selain itu
ekskoriasi dan gatal di kulit dapat sebagai akibat dari penimbunan toksin pengiritasi di
dalam jaringan pasien. Masase tonjolan tulang, membalikkan pasien dengan sering,
dan memandikan dengan air dingin biasanya menimbulkan rasa nyaman dan
mencegah luka di kulit (Smeltzer & Bare, 2001).
2.9 PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan antara lain :
Jaga agar pasien dengan risiko (misalnya pasien dengan ikterus obstruktif) tetap
dalam kondisi hidrasi yang baik pra dan perioperasi.
Lindungi fungsi ginjal pada pasien-pasien tertentu dengan obat-obatan seperti
dopamin dan manitol.
Pantau fungsi ginjal secara teratur pada pasien-pasien yang diberikan obat-obat
nefrotoksik (misalnya gentamisin).
Meningkatkan keadekuatan hidrasi pada pasien yang berisiko mengalami dehidrasi
o Pasien bedah : sebelum, selama dan setelah operasi.
o Pasien yang menjalani pemeriksaan diagnostik intensif dan memerlukan
pembatasan cairan dan agens kontras (Mis, barium enema, pielogram intravena),
terutama pasien lansia yang ginjalnya tidak dapat pulih dengan sempurna.
o Pasien dengan gangguan neoplastik atau gangguan metabolisme (Mis, gout) dan
mereka yang menerima kemoterapi.
Mencegah dan menangani syok dengan tepat menggunakan terapi penggantian daran
dan cairan
14
pantau tekanan vena sentral dan arterial pada pasien yang sakit dengan ketat serta
haluaran urin tiap jam untuk mendeteksi awitan gagal ginjal sedini mungkin.
Lakukan penatalaksanaan hipotensi dengan tepat.
Kaji fungsi renal secara kontinyu (haluaran urin, nilai laboratorium) jika diperlukan.
Selalu berhati-hati untuk memastikan bahwa darah yang sesuai diberikan ke pasien
yang tepat untuk menghindari reaksi transfusi yang berat, yang dapat mencetuskan
komplikasi renal.
Cegah dan tangani infeksi dengan tepat. Infeksi dapat menyebabkan kerusakan renal
progresif.
Berikan perhatian khusus terhdapa luka, terbakar dan penyebab sepsis lain.
Berikan perawatan yang cermat terhadap kateter untuk mencegah infeksi dari traktur
urinarius. Angkat kateter sedini mungkin.
Pantau dengan keteat seluruh medikasi yang dimetabolisme atau diekskresi oleh
ginjal dalam hal osis, durasi, dan kadar darah untuk mencegah efek toksik. (Smeltzer
& Bare, 2001 ; Grace & Borley, 2007).
BAB III
KESIMPULAN
15
Gagal ginjal akut dapat juga disebut Acute kidney injury (AKI) atau acute renal failure
yang secara konseptual adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk
mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/tanpa gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit. Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang dungsi dasarnya normal
(klasik) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease).
Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi. Di Amerika
Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat dalam 10 tahun. Pada 1990, terjadi
166 ribu kasus GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada 2000 menjadi 372 ribu kasus.
Angka tersebut diperkirakan terus naik. Pada 2010, jumlahnya diestimasi lebih dari 650 ribu
(Djoko, 2008). Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas sulit didapatkan
karena tidak semua pasien GGA datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa insidens nyata
pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan insidens GGA antara lain
dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria diagnosis yang menyebabkan kasus yang
lebih ringan dapat terdiagnosis.
Berdasarkan etiologinya, terdapat tiga kategori utama kondisi penyebab gagal ginjal
akut yaitu : Prarenal, dimana terjadi masalah aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan
turunnya laju filtrasi glomerulus. Renal, adalah akibat dari kerusakan struktur glomerulus
atau tubulus ginjal. Kondisi seperti rasa terbakar, cedera akibat benturan, dan infeksi serta
agens nefrotoksik dapat menyebabkan nekrosis tubular akut (ATN) dan berhentinya fungsi
renal. Pascarenal, biasanya akibat dari obstruksi di bagian distal ginjal. Tekanan di tubulus
ginjal meningkat akhirnya laju filtrasi glomerulus meningkat.Terdapat empat tahapan klinik
dari gagal ginjal akut yaitu, periode awal, periode oliguria, periode diuresis dan periode
perbaikan.
Untuk pengklasifikasian gagal ginjal akut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI)
mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori
(berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang
menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan
prognosis gangguan ginjal. Gangguan ginjal akut ini dapat menimbulkan berbagai macam
manifestasi klinis seperti perubahan haluaran urin, peningkatan BUN dan kadar kreatinin,
hiperkalemia, letargi, mual, muntah, diare, kulit dan membran mukosa kering, nafas berbau
urin, asidosis metabolik dan lain sebagainya.
Jenis-jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya kejadian
gagal ginjal akut pada pasien adalah seperti pemeriksaan urinalisis, USG ginjal,
pemeriksaan biokimiawi darah dan urin serta pemeriksaan penunjang lainnya. Gagal ginjal
akut dapat ditangani dengan beberapa penatalaksanaan seperti dialisis, penangannan
16
terhadap hiperkalemia, terapi nutrisional, cairan IV dan diuretik, dan beberapa
penatalaksanaan lainnya.
Gagal ginjal akut juga dapat dicegah terutama pada pasien-pasien yang beresiko
mengalami kejadian ini dengan cara pemantauan fungsi ginjal, peningkatan keadekuatan
hidrasi hingga perawatan cermat untuk mencegah infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
17
1. Alam, Syamsir dan Iwan Hadibroto. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama
2. Bakta, I Made dan I Ketut Suastika. 1999. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam.
Jakarta : EGC
3. Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah : Buku Saku Untuk Brunner
and Suddarth. Jakarta : EGC
4. Behrman, Richard E et.al (ed). 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta : EGC.
5. Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga
6. Grace, Pierce A dan Neil R.Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit
Erlangga
7. Sinto, Robert dan Ginova Nainggolan. 2010. Acute Kidney Injury : Pendekatan Klinis
dan Tata Laksana. Jakarta : Majalah Kedokteran Indonesia Vol. 60 No. 2 FKUI.
8. Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC.
9. Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.
10. Wratsongko, Madyo dan dr.Trianggoro. 2006. 205 Resep Pencegahan & Penyembuhan
Penyakit dengan Gerakan Shalat. Jakarta : QultumMedia.
PATOFISIOLOGI
18
Pra renal :1. Kehilangan volume cairan
tubuh2. Penurunan volume efektif
pembuluh darah3. Redistribusi cairan4. Obstruksi renovaskuler
Renal :1. Nekrosis Tubular Akut2. Nefritis interstitial akut3. Glomerulonefritis akut4. Oklusi mikrokapiler
glomerular5. Nekrosis kortikal akut
Pascarenal :1. Obstruksi ureter bilateral
atau unilateral ekstrinsik2. Obstruksi kandung
kemih atau uretra
19
Pra renal :1. Kehilangan volume cairan
tubuh2. Penurunan volume efektif
pembuluh darah3. Redistribusi cairan4. Obstruksi renovaskuler
Renal :1. Nekrosis Tubular Akut2. Nefritis interstitial akut3. Glomerulonefritis akut4. Oklusi mikrokapiler
glomerular5. Nekrosis kortikal akut
Pascarenal :1. Obstruksi ureter bilateral
atau unilateral ekstrinsik2. Obstruksi kandung
kemih atau uretra
20
Konsentrasi serum yg dieksresikan
ginjal
Urea, kreatinin, dan asam urat
Mengalir bersama aliran
darah
Aliran darah sampai ke otak, shg
dapat menembus
sawar
Kation intraseluler (kalium &
magnesium)
Hiperkalemi Hipermagnesemi
Perubahan konduksi elektrikal
impuls jantung
Resiko tinggi aritmia
urine output (UO)
Retensi cairan
interstitial
pH
Edema paru
MK : Pola Nafas Tidak Efektif
Asidosis metabolik
Penurunan pH pada cairan serebro spinal
MK : perubahan perfusi serebral
Kerusakan tubule untuk mengkonsentrasi urin
Pengeluaran jumlah urin
secara bertahap
Hipovolemi
MK : Defisit volume cairan
top related